PENGEMBANGAN REGULASI TENTANG - … · Deputi Pengkajian Keselamatan Nuklir, BAPETEN, Jakarta ......
Transcript of PENGEMBANGAN REGULASI TENTANG - … · Deputi Pengkajian Keselamatan Nuklir, BAPETEN, Jakarta ......
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
PENGEMBANGAN REGULASI TENTANG
KESIAPSIAGAAN NUKLIR
Sudarto, Wiryono, Direktorat Pengaturan Pengawasan Instalasi dan Bahan Nuklir,Deputi Pengkajian Keselamatan Nuklir, BAPETEN, Jakarta
ABSTRAK
Secara hipotetis kedaruratan nuklir dapat disebabkan oleh atau melibatkan beberapa jenis bahaya yang berbeda, meliputi akibat alam (misalnya petir, gempa), penggunaan teknologi (misalnya kedaruratan fasilitas nuklir atau reentry nuclear satelite), atau tindakan kriminal (misalnya pencurian, sabotase, serangan teroris pada fasilitas nuklir atau selama pengangkutan zat radioaktif, senjata nuklir, penyebaran zat radioaktif ke lingkungan dengan menggunakan peledak konvensional atau bom kotor atau mekanisme lain). Dalam Undangundang No. 10 Tahun 1997 tetang Ketenaganukliran, Pasal 16 ayat (1), dinyatakan bahwa “Setiap kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memperhatikan keselamatan, keamanan, dan ketentraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup”, dan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”. Dengan mempertimbangkan skenario hipotetis dan Undangundang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) tersebut, dalam makalah ini dibahas proses pengembangan regulasi tentang kesiapsiagaan nuklir.
Pengembangan regulasi ini dimaksudkan untuk menghasilkan konsepsi rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional (SKNN), dengan memfokuskan pada system nasional yang memiliki peran penting dalam pembangunan sosial, ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Sampai dengan sekarang, ruang lingkup peraturan yang terkait dengan kesiapsiagaan nuklir terbatas pada pemegang izin/pengusaha instalasi nuklir yang subyek dan obyeknya tidak mencakup koordinasi pemerintah tingkat nasional dan lokal. Dalam makalah ini dibahas subyek dan obyek SKNN secara menyeluruh yang harus diatur dalam peraturan tersebut. Subyek dan obyek SKNN masingmasing adalah pemegang izin, institusi/lembaga tingkat nasional dan daerah yang terkait kesiapsiagaan nuklir; pemanfaatan tenaga nuklir termasuk penggunaan secara tidak syah bahan nuklir/zat radioaktif atau sumber tak bertuan ataupun reentry nuclear satelite di Indonesia.
Akhirnya, dalam makalah ini disajikan hasil pengembangan regulasi tentang kesiapsiagaan nuklir yang dapat digunakan sebagai pertimbangan utama untuk mendukung penyusunan konsepsi RPP tentang SKNN. Dan dalam penutup disajikan beberapa implikasi yang diharapkan, apabila regulasi tersebut ditetapkan, yaitu implikasi hukum, kelembagaan, bisnis, dan peran serta masyarakat.
Kata kunci: kedaruratan nuklir, subyek dan obyek SKNN, konsepsi draft RPP tentang SKNN.
770
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
REGULATION DEVELOPMENT ON
NUCLEAR EMERGENCY PREPAREDNESS
Sudarto, Wiryono, Directorat of Regulating the Control of Nuclear Installation and Fuel, Deputy of Nuclear Safety Assessment, National Energy Regualtory Agency, Jakarta
ABSTRACT
Hypotetical scenarios of nuclear emergency may be caused by or may involve different types of hazards, including natural (e.g. storms, earthquake), technological (e.g. nuclear facility emergency or reentry nuclear satelite), or criminal or malicious activity (e.g. theft, sabotage, terrorist attacks on nuclear facility or during transport of radioactive material, nuclear weapon, dispersion of radioactive material into the environment by using the conventional explosive or dirty bomb or other mechanism). In the Act No. 10 Year 1997 on Nuclear Energy, Article 16 (1), stated that “Any use of nuclear energy shall consider the safety, security, and properity, worker and public health, and environment protections”, and in Article (2) stated that “Provision as intended in Article 16 (2) will be governed by Goverment Regulation”. By considering this hypotetical scenarios and Act No. 10 Year 1997 on Nuclear Energy, Article 16, in this paper discussed the process of regulation development on nuclear emergency preparedness.
Regulation development is intended to produce conceptual draft regulation government on national’s system of nuclear emergency preparedness, by focusing this national’s system which has important role in the social, economical and continuosly environmental developments. Up to now, the scope of existing regulations concerning the nuclear emergency preparedness limited to licensee which subject and object of regulations not covered the national’s and local’s coordinations. In this paper dicussed the holistic subjects and objects of national’s system of nuclear emergency preparedness which shall be governed in that regulation. The Subjects and objects of national’s system of nuclear emergency preparedness are repectively the licensee, national’s and local’s institution/agency related to emergency preparedness; the use of nuclear energy include illegal use of nuclear/radiation sources or orphane sources or reentry nuclear satelite in Indonesia.
Finally, in this paper presented the result of regulation development on nuclear emergency preparedness which can be used as main considerations to support in formulating the draft Government Regulation on national’s system of nuclear emergency preparedness. In the last chapter presented the expected implications, if this Government Regulation is stipulated, are implications of law, institutions/agencies, and role of public
Keywords: nuclear emergency, subjects and objects of national’s system of nuclear emergency preparedness, conceptual draft Government Regulation, expected implications
771
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keselamatan, keamanan, dan ketentraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat,
serta perlindungan terhadap lingkungan hidup dalam pemanfaatan tenaga nuklir akan
terwujud apabila sistem keselamatan dan keamanan instalasi bahan nuklir dan fasilitas
radiasi dan zat radioaktif memenuhi persyaratan perizinan, dan kedaruratan nuklir dapat
ditangani dengan baik dan dilakukan secara terintegrasi. Skenario hipotetis kedaruratan
nuklir dapat terjadi akibat kecelakaan nuklir/radiasi yang bersal dari kesalahan atau
kelalaian sistem keselamatan atau gangguan/serangan terhadap sistem keamanan (tidak
disengaja ataupun disengaja, misalnya serangan teroris) yang dimiliki oleh pemegang izin
(PI) atau pengusaha instalasi nuklir (PIN), selain itu kecelakaan nuklir/radiasi dapat
berasal dari sumber radioaktif/bahan nuklir yang hilang atau tidak diketahui pemiliknya
(misalnya berupa SADM, RDD, reentry nuclear satelite). Dalam kenyataannya,
sebagaimana kita ketahui akhirakhir ini, banyak kecelakaan yang terjadi baik kecelakaan
nuklir/radiasi dan/atau kecelakaan nonnuklir dapat/berpotensi menimbulkan kedaruratan
nuklir (misalnya peristiwa 11 September di Amerika dan kecelakaan JCO di Jepang,
peristiwa bom di Bali dan Hotel JW Marriot).
Dalam Pasal 16 ayat (1) Undangundang RI No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
dinyatakan bahwa ”Setiap kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir
wajib memperhatikan keselamatan, keamanan, dan ketentraman, kesehatan pekerja dan
anggota masyarakat, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup”. Dan dalam Pasal
16 ayat (2) Undangundang RI No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dinyatakan
bahwa ”Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah”. Sesuai dengan amanat UndangUndang Nomor 10 Tahun 1997
tentang Ketenaganukliran Pasal 14 ayat (2) BAPETEN melakukan pengawasan terhadap
pemanfaatan tenaga nuklir melalui peraturan, perizinan, dan inspeksi. Namun demikian
sampai dengan saat ini, peraturan perundangundangan ketenaganukliran yang ada
(misal Perka BAPETEN No. 05P/03 tentang Pedoman Rencana Penanggulangan
Keadaan Darurat) belum mengatur tentang SKNN.
Dengan pertimbangan skenario hipotetis kedaruratan nuklir dan landasan hukum tersebut
(Undangundang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Pasal 16) dalam makalah
ini dibahas proses pengembangan regulai kesiapsiagaan nuklir.
772
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
1.2 Identifikasi Masalah dan Pemecahannya
Pengembangan regulasi ini diarahkan untuk dapat menghasilkan konsepsi Peraturan
Pemerintah yang mengatur mengenai Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Nasional, dengan
kesadaran bahwa kesiapsiagaan nuklir memiliki peran penting dalam pembangunan
sosial, ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Berbagai masalah yang ingin dipecahkan
oleh regulasi ini dapat disimak pada Tabel 11.
Tabel 11. Identifikasi Masalah dan Pemecahannya
Masalah Pemecahan Masalah Menurut PP ini1. Kebijakan kesiapsiagaan nuklir masih
terbatas pada lingkup pemegang izin
(fasilitas) dan belum terkoordinasi
dengan baik.
Mengingat pentingnya peranan
kesiapsiagaan nuklir di tingkat nasional,
maka kesiapsiagaan nuklir harus terpadu,
terarah, dan terencana dengan baik.
2. Koordinasi pelaksanaan
kesiapsiagaan nuklir masih belum
efisien, rasional, dan belum bijaksana
dengan memperhatikan segisegi
teknologi, keselamatan kerja, sosial,
ekonomi dan lingkungan hidup.
Guna menjaga koordinasi kesiapsiagaan
nuklir, maka pelaksana kesiapsiagaan nuklir
wajib melaksanakan prosedur/rencana
kesiapsiagaan nuklir secara efisien, rasional
dan bijaksana dengan memperhatikan segi
segi teknologi, keselamatan kerja, sosial,
ekonomi dan lingkungan hidup.3. Terjadinya perkembangan model
ancaman yang semakin meluas
bahkan lintas negara. Misalnya,
terorisme lintas negara.
Diupayakan pengembangan sistem
kesiapsiagaan nuklir dengan memanfaatkan
pelbagai ilmu dan teknologi yang
berkembang di dalam atau di luar negeri.
Koordinasi lintas negara dalam mendukung
kesiapsiagaan nuklir dapat memanfaatkan
instrumen hukum yang ada, misal konvensi.
4. Banyaknya lembaga yang langsung
atau tidak langsung berhubungan
dengan kesiapsiagaan nuklir dapat
menimbulkan konflik kepentingan.
Harus ada kelembagaan yang
mengkoordinasi kebijakan kesiapsiagaan
nuklir, sehingga menjadi terarah dan
terintegrasi dengan baik.
773
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
5. Belum adanya regulasi mengenai
kesiapsiagaan yang secara eksplisit
memuat fungsi pemerintahan yang
baik, di antaranya membuka akses
bagi masyarakat untuk ikut berperan
serta dalam sistem kesiapsiagaan
nuklir.
Mengatur agar kebijakan mengenai
kesiapsiagaan nuklir memenuhi prinsip
prinsip tata pemerintahan yang baik untuk
berpartisipasi dalam sistem kesiapsiagaan
nuklir.
1.3 Tujuan Yang Ingin Diwujudkan
Untuk menjamin adanya perlindungan bagi pekerja, masyarakat, dan/atau lingkungan
dari bahaya radiasi dalam keadaan operasional maupun kondisi kecelakaan pada
pemanfaatan tenaga nuklir atau kepemilikan tidak sah sumber radioaktif/bahan nuklir
(misal untuk RDD, SADM atau reentry satellite) melalui pembentukan sistem
kesiapsiagaan nuklir nasional.
1.4. Ruang Lingkup
Berkaitan dengan kesiapsiagaan nuklir, sampai saat ini Peraturan Kepala BAPETEN No.
05P/KaBAPETEN/V03 tentang Pedoman Rencana Penanggulangan Keadaan Darurat
pengaturan hanya mencakup fasilitas nuklir, jangkauan pengaturan baru sampai pada
pemegang izin, sedangkan koordinasi tingkat lokal dan nasional belum terjalin dengan
memadai karena belum adanya regulasi yang mengatur Sistem Kesiapsiagaan Nuklir
Nasional. Obyek Sistem Kesiapsiagaan Nuklir secara menyeluruh yang harus diatur
meliputi: Instalasi dan bahan nuklir (IBN); fasilitas radiasi dan zat radioaktif (FRZR); dan
zat radioaktif/van nuklir yang tidak jelas penanggung jawabnya: contohnya Orphan
Source, SADM, RDD, reentry nuclear satelite. Sedangkan subyek yang harus dicakup
oleh SKNN adalah PI/PIN, Pemda (termasuk lembaga/instansi teknis di daerah terkait
kesiapsiagaan dan respon kedaruratan jika terjadi kecelakaan nuklir); dan Nasional
(termasuk Badan Pengawas, lembaga/instansi teknis di pusat terkait kesiapsiagaan dan
respon kedaruratan jika terjadi kecelakaan nuklir). Sehingga ruang lingkup regulasi KN
yang dibahas dalam konsep ini mengatur setiap pemanfaatan tenaga nuklir (baik IBN
maupun FRZR, termasuk kegiatan lain yang berhubungan dengan pemanfaatan tenaga
nuklir yang memungkinkan terjadinya kedaruratan nuklir (misalnya kepemilikan bahan
nuklir atau zat radioaktif secara tidak syah untuk SADM, RDD, ataupun reentry nuclear
satelite).
774
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
1.5 Keluaran
Tersedianya bahan pertimbangan utama untuk penyusunan konsepsi Peraturan Pemerintah dalam penyiapan dan pembentukan SKNN (nasional dan daerah serta PI/PIN) dan memfungsikannya jika terjadi kecelakaan nuklir/radiologi pada pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia atau pada kepemilikan van nuklir atau sumber radioaktif secara tidak sah (untuk RDD, SADM) dan reentry nuclear satelite.
1.6 Metodologi Pengembangan Regulasi Kesiapsiagaan Nuklir
Pengembangan Regulasi KN ini disusun dengan menggabungkan pendekatan legal
formal (analisis terhadap berbagai instrumen hukum yang ada), analisis kebutuhan, dan
dengar pendapat publik (pendekatan sosiologis) berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004.
Pada Tabel 12 disajikan Proses Pengembangan Regulasi KN berdasarkan pendekatan
legal formal dan pendekatan sosiologis.
Tabel 12 Proses Pengembangan Regulasi KN berdasarkan pendekatan legal formal dan
pendekatan sosiologis
No. Proses/Kegiatan Keluaran Keluaran
1. Analisis terhadap substansi berbagai
peraturan perundang undangan yang
secara langsung atau tidak langsung
berhubungan dengan kesiapsiagaan
nuklir.
Pemahaman mengenai kerangka
kerja hukum dan peraturan
perundang undangan mengenai
kesiapsiagaan nuklir saat ini.
2. Identifikasi kebutuhan dan cakupan
substansi yang akan diatur dalam
Regulasi kesiapsiagaan nuklir.
Identifikasi masalah yang akan
dipecahkan, tujuan, jangkauan dan
arah regulasi kesiapsiagaan nuklir.3. Penulisan Konsep Awal Pengembangan
Regulasi KN
Konsep Awal Pengembangan
Regulasi KN4. Dengar Pendapat Publik Masukan dari berbagai stakeholder
terhadap Konsep Awal
Pengembangan Regulasi KN.5. Penulisan Naskah Akademis agar
substansi Pengembangan Regulasi KN
dapat difahami dan
dipertanggungjawabkan kepada publik.
Naskah akademis yang memuat latar
belakang, metode, tujuan, dan ruang
lingkup yang akan datur Regulasi
KN, berikut substansi disajikan
dalam bentuk pasal per pasal. 6. Pembahasan Naskah Akademis
pengembangan regulasi KN yang telah
dilampiri naskah akademisnya.
Naskah Akademis pengembangan
regulasi KN yang telah dilampiri
naskah akademisnya.
775
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
2. RUANG LINGKUP MATERI MUATAN REGULASI
2.1. Landasan Filosofis, Jangkauan, dan Arah Regulasi
a. Landasan Filosofis
Materi muatan konsep pengembangan regulasi kesiapsiagaan nuklir didasarkan pada
asasasas keselamatan dan keamanan nuklir sebagai sistem yang harus dilengkapi
dengan sistem kesiapsiagaan nuklir yang baik, efektif dan efisien.
b. Jangkauan Regulasi
Regulasi mengenai KN diarahkan untuk mengatur Kesiapsiagaan nuklir sebagai sistem
nasional, daerah, dan PI/PIN yang berfungsi untuk mengantisipasi kedaruratan nuklir
melalui pengorganisasian, langkahlangkah yang tepat dan berdaya guna serta evaluasi.
c. Arah Regulasi
Pengembangan regulasi mengenai KN diarahkan untuk menjadikan SKNN ini dapat
berfungsi sesuai dengan asasasas universal yang berlaku bagi Kesiapsiagaan nuklir.
Asasasas ini juga diharapkan dapat diterima oleh seluruh elemen sosial dan
kemasyarakatan seluruh indonesia. Asas tersebut meliputi sifat, fungsi, kewenangan,
tugas, proses kerja, susunan, dan proses penentuan, perubahan, serta
pertanggungjawaban pelaksana SKN disetiap tingkat.
2.2 AsasAsas Materi Muatan
Asasasas materi muatan sekurangkurangnya memuat: Asas Keselamatan manusia,
Asas Keamanan, Asas NonDiskriminasi, Asas Keadilan, Asas kelestarian lingkungan
hidup, Asas Akuntabilitasi, Asas Koordinasi, Asas Partisipatif, Asas Pemberdayaan
Masyarakat.
2.3 PokokPokok Materi Muatan Yang Akan Diatur
A. Kesiapsiagaan
Tingkat koordinasi kesiapsiagaan nuklir terdiri dari tingkat onsite (pemegang izin atau
pengusha instalasi nuklir), offsite (Pemda), dan Nasional.
1) Kesiapsiagaan Nuklir Pemegang Izin atau Pengusaha Instalasi Nuklir
a. PIN harus menyusun program kesiapsiagaan nuklir dengan infrastruktur lokal dan
fungsi penanggulangan yang lengkap. Dalam menyusun program kesiapsiagaan
tersebut, PIN harus berkoordinasi dengan Pemda yang memiliki wilayah jurisdiksi
776
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
yang termasuk dan instansi teknis terkait di daerah. Ketentuan mengenai program
kesiapsiagaan nuklir diatur dengan Peraturan Kepala BAPETEN.
b. PIN bertanggungjawab atas pelaksanaan pendidikan dan pelatihan kedaruratan
nuklir, dan berkoordinasi dengan Pemda dan instansi terkait.
c. Pelatihan Kedaruratan terpadu dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan
Pemda dan instansi terkait 1 (satu) kali tiap 2 (dua) tahun.
2) Kesiapsiagaan Nuklir Pemda
a. Pemda yang memiliki wilayah jurisdiksi yang termasuk dalam zona perencanaan
kedaruratan, harus menyusun program kesiapsiagaan nuklir dengan infrastruktur
dan fungsi penanggulangan yang lengkap.
b. Pemda yang memiliki wilayah jurisdiksi yang termasuk dalam zona perencanaan
kedaruratan mendirikan dan mengoperasikan Pusat Gabungan Informasi Publik
di luar tapak memberikan informasi yang akurat dan terpusat mengenai bencana
nuklir kepada PIN, instansi/lembaga teknis di daerah, dan masyarakat.
c. Pemda yang memiliki wilayah jurisdiksi yang termasuk dalam zona perencanaan
kedaruratan mempertimbangkan pendapat atau saran dari komisi
teknis/instansi/lembaga yang terlibat dalam kesiapsiagaan nuklir tingkat daerah.
d. Pemda terlibat aktif dalam latihan kedaruratan yang diselenggarakan oleh PIN 1
(satu) kali setiap 2 (dua) tahun.
3). Kesiapsiagaan Nuklir Nasional
a. Departemen/lembaga teknis terkait kesiapsiagaan nuklir meliputi sekurang
kurangnya: Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesejahteraan Rakyat,
Departemen Keuangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,
Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen
Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Pertanian, Departemen
Perdagangan, Komunikasi dan Informatika, Tentara Nasional Indonesia,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Palang Merah Indonesia, Badan Tenaga
Nuklir Nasional, Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Badan Meteorologi dan
Geofisika
b. BAPETEN mengkoordinasikan pembentukan sistem kesiapsiagaan nuklir
nasional, termasuk didalamnya penetapan OTDN dan posko tanggap darurat
nuklir.
c. Departemen/lembaga teknis terkait kesiapsiagaan nuklir tersebut harus
menyediakan infrastruktur dan fungsi penanggulangan sesuai dengan bidang
tugasnya.
777
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
d. Dalam hal kesiapan pemberian layanan medis kedaruratan nuklir, Depkes harus
menyediakan pusat medis kedaruratan nuklir nasional.
e. BAPETEN mengkoordinasikan pelatihan dan gladi kedaruratan nuklir tingkat
nasional yang melibatkan Pemda dan pemegang izin 1 (satu) kali setiap 3 (tiga)
tahun.
B. Tanggap Darurat
Dalam sub bagian ini mengatur pokokpokok materi muatan yang meliputi kewajiaban
pemegang izin, tanggap darurat Pemda, tanggap darurat nasional.
1) Kewajiban PIN
a. Pengusaha instalasi harus melakukan upaya pencegahan terjadinya kecelakaan
nuklir.
b. Dalam hal terjadi kadaruratan, pengusaha instalasi wajib melakukan upaya
penanggulangan.
c. Dalam upaya penanggulangan kedaruatan nuklir sebagaimana dimaksud pada
huruf b keselamatan manusia harus diutamakan.
d. Dalam hal terjadi kedaruratan nuklir, pengusaha instalasi harus segera melaporkan
terjadinya kedaruratan nuklir dan upaya penanggulangannya kepada BAPETEN
dan instansi terkait lainnya.
2) Tanggap Darurat Pemda
a. Pemda menetapkan OTDND dan posko tanggap darurat nuklir.
b. Pelaksanaan tanggap darurat Pemda mengikuti mekanisme BAKORNAS PB
sebagaimana diatur dalam PERPRES.
3) Tanggap Darurat Nasional
a. Tanggap darurat nasional diaktivasi setelah mendapat laporan dari PIN.
c. Pelaksanaan tanggap darurat nasional mengikuti mekanisme BAKORNAS PBP
sebagaimana diatur dalam PERPRES.
d. BAPETEN dapat memimpin langsung tindakan penanggulangan apabila
kedaruratan nuklir/radiasi berasal dari kecelakaan yang melibatkan kepemilikan
zat radioaktif/bahan nuklir secara tidak syah (seperti SADM, RDD) atau reentry
nuclear satelite.
C. Deklarisasi Kedaruratan
Presiden menetapkan tingkat bencana nasional atau lokal setelah adanya pernyataan
kecelakaan nuklir oleh Badan Pengawas (Kepala BAPETEN). Pernyataan kecelakaan
nuklir oleh Badan Pengawas didasarkan atas Bagian 2.2.3 huruf B nomor 3.
778
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
D. Kerjasama Internasional
Dalam hal terjadinya kedaruratan nuklir, BAPETEN memberitahukan Badan Tenaga Atom
Internasional serta negaranegara terkait mengenai rincian kedaruratan nuklir dan
meminta bantuan kedaruratan, jika perlu, dalam rangka Konvensi Pemberitahuan Dini
Kecelakaan Nuklir, Konvensi mengenai Bantuan dalam hal terjadinya Kecelakaan atau
Kedaruratan nuklir, konvensikonvensi internasional lainnya serta persetujuan bilateral.
E. Sanksi Administratif
Dalam hal terdapat pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah ini, PIN harus
bertanggung jawab atas sanksi administratif sesuai dengan tingkat pelanggarannya.
Ketentuan pidana mengacu pada peraturan perundangundangan yang berlaku.
F. Pendanaan
1) Pembiayaan untuk penyiapan dan penyelenggaraan sistem kesiapsiagaan nuklir
nasional dibebankan kepada APBN masingmasing depatemen/lembaga sesuai
dengan bidang tugasnya.
2) Pembiayaan untuk penyiapan dan penyelenggaraan sistem kesiapsiagaan nuklir
tingkat daerah dibebankan kepada APBD Pemda yang memiliki jurisdiksi atas
semua atau sebagian zona perencanaan kedaruratan.
3) Pembiayaan untuk penyiapan dan penyelenggaraan sistem kesiapsiagaan nuklir
tingkat fasilitas dibebankan kepada anggaran PIN.
2.4 Kedudukan Hukum
Melihat posisi dan cakupan materi yang diatur, maka peraturan ini sebaiknya ditetapkan
dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Dalam konstelasi peraturan perundang undangan
yang lain, Peraturan Pemerintah ini dapat ditempatkan sebagai:
1) Perekat dari berbagai peraturan perundangundangan yang terkait dengan
kesiapsiagaan nuklir bersifat sektoral. Dengan kata lain Peraturan Pemerintah ini
harus menjadi rujukan dalam menyusun sistem kesiapsiagaan nuklir di setiap
tingkatan (PIN, daerah dan Nasional), termasuk akibat RDD (radiological dispersal
device) atau dikenal dengan dirty bomb, SADM, sumber tak bertuan (orphan
source), jatuhnya satelit yang bertenaga nuklir (satellite reentry)
2) Dasar yang mengikat berbagai lembaga/instansi di pusat dan daerah yang langsung
maupun tidak langsung berhubungan dengan kesiapsiagaan nuklir agar dapat
berkoordinasi dengan baik. Secara umum, koordinasi dilakukan oleh BAKORNAS
PB yang langsung diketuai oleh Wakil Presiden. Badan koordinasi ini menjamin
779
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban penanggulangan bencana
termasuk kesiapsiagaan nuklir sehingga dapat terintegrasi dengan baik.
3) Dasar bagi keberadaan OTDNN yang memberikan masukan kepada Ketua
BAKORNAS PB mengenai strategi, kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan
pemantauan kebijakan di bidang Kesiapsiagaan nuklir. OTDNN ini penempatannya
dalam struktur operasional penanggulangan bencana ditetapkan dalam PERPRES.
2.5 Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup
Klausul mengenai ketentuan peralihan dan penutup ditentukan berdasarkan status
perizinan instalasi dan bahan nulkir atau fasilitas radiasi dan zat radioaktif yang telah ada.
Adapun materi pokok muatan ketentuan peralihan dan penutup ini disusun berdasarkan
UU No. 10 Tahun 2004.
3. PENUTUP
Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang Sistem Kesiapsiagaan Nuklir
Nasional, maka ada beberapa konsekwensi yang harus segera diantisipasi sebagai
berikut ini.
3.1 Implikasi Hukum
Perlu dibentuk Peraturan Daerah, Peraturan Menteri, Lembaga/Instansi teknis di
pusat/daerah yang merupakan aturan pelaksanaan lebih lanjut dan/atau yang terkait
dengan Peraturan Pemerintah ini.
3.2 Implikasi Kelembagaan
Pembentukan OTDN ditingkat pusat, daerah serta milik PIN.
3.3 Implikasi Bisnis
Tersusunnya OTDN sebagaimana dimaksud angka 3.2, akan menarik bagi investor,
misalnya memudahkan PIN dalam memenuhi persyaratan perizinan sebagaimana diatur
tersendiri dalam PP Perizinan reaktor nuklir.
3.4 Implikasi Peran Serta Masyarakat
Peraturan Pemerintah ini memberikan akses pada masyarakat untuk mengetahui dan
berpartisipasi baik dalam prosesproses pembuatan kebijakan maupun pengawasan
pelaksanaan kebijakan sistem kesiapsiagaan nuklir. Dengan kata lain Peraturan
Pemerintah ini menempatkan sistem kesiapsiagaan nuklir sebagai bagian dari urusan
publik yang penetapan kebijakannya harus diproses melalui ruang publik. Dengan
780
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
pendekatan ini, maka kebijakan sistem kesiapsiagaan nuklir dan pelaksanaanya dapat
lebih absah dan diterima oleh masyarakat luas. Kondisi ini penting dan merupakan syarat
utama bagi stabilitas dan kemajuan masyarakat.
781
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
DAFTAR PUSTAKA
1) UndangUndang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Jakarta, 1997.
2) UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundangundangan, Jakarta, 2004.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan
terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion, Jakarta, 2000.
4) Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional
Penanganan Bencana, Jakarta, 2005.
5) DP2IBNDeputi PKN, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perizinan Reaktor
Nuklir, BAPETEN, Jakarta, 2006.
6) DP2IBNDeputi PKN, KonsepsiAwal Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Sistem Kesiapsiagaan Nuklr Nasional, , BAPETEN, Jakarta, 2006
7) IAEA NSC Report, Sistem Kesiapsiagaan Nuklir Korea dan Jepang, IAEA, 2004.
8) Technical Document IAEA 953 updating, Method for Developing Arrangements for
Response to a Nuclear or Radiological Emergency, IAEA, 2004.
9) GSR2 Nuclear or Radiological Emergency Preparedness and Respond
(Kesiapsiagaan dan Tanggap Kedaruratan Nuklir atau Radiologi), IAEA, 2004.
782
Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ISSN: 14123258
783