Pengembangan Model Klasifikasi Kematangan Buah Manggis ... · dan daerah tropis lainnya seperti...

24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Manggis (Garcinia Mangostana Linn) Manggis merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari hutan tropis yang teduh di kawasan Asia Tenggara, yaitu hutan belantara Malaysia atau Indonesia. Dari Asia Tenggara, tanaman ini menyebar ke daerah Amerika Tengah dan daerah tropis lainnya seperti Srilanka, Malagasi, Karibia, Hawaii dan Australia Utara. Sentra produksi manggis di Indonesia antara lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Barat dan Nagroe Aceh Darussalam. Manggis di Indonesia disebut dengan berbagai macam nama lokal seperti manggu (Jawa Barat), Manggus (Lampung), Manggusto (Sulawesi Utara), Manggista (Sumatera Barat) (Kastaman et al. 2008). Buah manggis berbentuk bulat, terdiri dari bagian perikarp (kulit luar) dan daging buah yang menyelimuti biji. Pada bagian pangkal buah terdapat calyx (daun buah) dan pada bagian ujung terdapat 4 – 8 tonjolan berbentuk segitiga (triangle), mencirikan jumlah daging buah. Daging buah berwarna putih susu, diameter buah berkisar antara 3,4 – 7,5 cm. Biji buah kadang-kadang tidak seluruhnya didapati pada daging buah. Daging buah ini berukuran panjang 2,5 cm dan lebar 1,6 cm, berbentuk oval. Pada buah berumur muda daging buah berasa asam, semakin matang berasa manis. Buah manggis termasuk rendah kalori, protein, lemak dan vitamin, namun jumlah seratnya termasuk cukup tinggi. Kadar gula total (sukrosa, glukosa, fruktosa) sebesar 16,42 – 16,82 % dari total karbohidrat. Selain itu, terdapat pula senyawa tanin dan resin sebesar 7 – 14 %, polyhydroxy-xanthone, dan mangostin (Morton J 1987). Manggis bermanfaat sebagai antioksidan dan berbagai obat, diantaranya sariawan, wasir, luka, anti peradangan dan nyeri, mencegah alzheimer dan arthritis, memperbaiki sistem pernafasan, mendukung tulang rawan dan sendi, serta menjaga pencernaan. Manggis merupakan salah satu komoditas ekspor yang menjadi andalan Indonesia untuk meningkatkan pendapatan devisa. Berdasarkan data volume

Transcript of Pengembangan Model Klasifikasi Kematangan Buah Manggis ... · dan daerah tropis lainnya seperti...

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manggis (Garcinia Mangostana Linn)

Manggis merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari hutan

tropis yang teduh di kawasan Asia Tenggara, yaitu hutan belantara Malaysia atau

Indonesia. Dari Asia Tenggara, tanaman ini menyebar ke daerah Amerika Tengah

dan daerah tropis lainnya seperti Srilanka, Malagasi, Karibia, Hawaii dan

Australia Utara. Sentra produksi manggis di Indonesia antara lain di Jawa Barat,

Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Barat dan Nagroe Aceh

Darussalam. Manggis di Indonesia disebut dengan berbagai macam nama lokal

seperti manggu (Jawa Barat), Manggus (Lampung), Manggusto (Sulawesi Utara),

Manggista (Sumatera Barat) (Kastaman et al. 2008).

Buah manggis berbentuk bulat, terdiri dari bagian perikarp (kulit luar) dan

daging buah yang menyelimuti biji. Pada bagian pangkal buah terdapat calyx

(daun buah) dan pada bagian ujung terdapat 4 – 8 tonjolan berbentuk segitiga

(triangle), mencirikan jumlah daging buah. Daging buah berwarna putih susu,

diameter buah berkisar antara 3,4 – 7,5 cm. Biji buah kadang-kadang tidak

seluruhnya didapati pada daging buah. Daging buah ini berukuran panjang 2,5 cm

dan lebar 1,6 cm, berbentuk oval. Pada buah berumur muda daging buah berasa

asam, semakin matang berasa manis. Buah manggis termasuk rendah kalori,

protein, lemak dan vitamin, namun jumlah seratnya termasuk cukup tinggi. Kadar

gula total (sukrosa, glukosa, fruktosa) sebesar 16,42 – 16,82 % dari total

karbohidrat. Selain itu, terdapat pula senyawa tanin dan resin sebesar 7 – 14 %,

polyhydroxy-xanthone, dan mangostin (Morton J 1987). Manggis bermanfaat

sebagai antioksidan dan berbagai obat, diantaranya sariawan, wasir, luka, anti

peradangan dan nyeri, mencegah alzheimer dan arthritis, memperbaiki sistem

pernafasan, mendukung tulang rawan dan sendi, serta menjaga pencernaan.

Manggis merupakan salah satu komoditas ekspor yang menjadi andalan

Indonesia untuk meningkatkan pendapatan devisa. Berdasarkan data volume

6

ekspor manggis Indonesia dari tiga tahun terakhir terus mengalami peningkatan

dari 6.9 ribu ton pada tahun 2002 meningkat menjadi 7.2 ribu ton pada tahun

2003. Dengan pangsa pasar utama adalah Taiwan dan Hongkong (Departemen

Pertanian 2004). Volume ekspor Manggis Indonesia meningkat nyata pada dua

bulan pertama tahun 2011, hampir sama dengan volume ekspor sepanjang tahun

2009.

Buah manggis merupakan buah klimakterik sehingga buah dapat matang

selama masa penyimpanannya. Puncak klimakterik dicapai setelah penyimpanan

10 hari pada suhu ruang (Martin 1980). Pemanenan umumnya dilakukan setelah

buah berumur 104 hari dihitung mulai bunga mekar, saat itu warna kulit buah

manggis masih berwarna hijau dengan sedikit ungu muda pada permukaan kulit

buahnya. Enam hari setelah dipanen warna kulit buah menjadi ungu tua (Suyanti

et al. 1999a.). Buah yang dipanen saat buah berwarna merah tua (114 hari)

menyebabkan daya simpannya lebih singkat dan tidak dapat memenuhi

persyaratan mutu manggis untuk ekspor.

Perubahan warna buah dari hijau menjadi ungu hitam setelah panen yang

mencerminkan perkembangan warna kematangan tahap 1 sampai tahap 6

digunakan sebagai panduan kualitas bagi petani dan konsumen. Tidak ada

perbedaan yang signifikan dalam kualitas buah pada buah manggis yang dipanen

pada salah satu tahap dari tahap yang ditetapkan (tahap 1-6), sehingga matang

pada tahap 6 untuk masing-masing (Palapol et al. 2009). Hal ini menunjukkan

bahwa pemeraman buah manggis yang dipetik pada salah satu tahap untuk

kebutuhan ekspor tidak memiliki efek merugikan pada kualitas buah akhir.

Berdasarkan SPO panen manggis departemen pertanian 2004 dinyatakan

bahwa panen manggis dilakukan berdasarkan penentuan umur dan visual.

Manggis layak dipanen bila telah berumur 104-110 setelah bunga mekar (SBM)

atau bila secara visual sudah banyak buah yang matang, hal ini hanya bisa

ditentukan oleh seseorang yang telah berpengalaman. Pemanenan buah dalam satu

pohon dapat dilakukan dua sampai tiga kali sesuai dengan tingkat kematangan

buah.

7

Mutu buah manggis ditentukan oleh berbagai parameter diantaranya

adalah parameter tingkat ketuaan dan kematangan (indeks warna) serta ukuran

(Deptan 2004). Proses grading dalam SPO komoditas manggis 2004, merupakan

suatu pengelompokan buah berdasarkan kriteria/kelas dan indek kematangan

manggis untuk mendapatkan ukuran, warna buah dan tingkat kematangan yang

seragam. Tingkat kematangan manggis berdasarkan indek warna berdasarkan SPO

manggis dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Tingkat/Tahap kematangan manggis berdasarkan warna

2.2 Pengolahan Citra

Berbagai aplikasi pengolahan citra secara garis besar digunakan untuk

memperbaiki kualitas suatu citra (gambar) sehingga lebih mudah diinterpretasikan

oleh manusia dan mengolah informasi yang terdapat pada citra (gambar) untuk

keperluan pengenalan objek secara otomatis.

Citra adalah gambar dua dimensi yang dihasilkan dari gambar analog dua

dimensi yang kontinus menjadi gambar diskrit melalui proses sampling. Gambar

analog dibagi menjadi N baris dan M kolom sehingga menjadi gambar diskrit.

8

Persilangan antara baris dan kolom tertentu disebut dengan piksel. Contohnya

adalah gambar/titik diskrit pada baris n dan kolom m disebut dengan piksel[n,m].

Suatu citra dapat didefinisikan sebagai fungsi dua dimensi f(x,y) yaitu

fungsi intensitas atau tingkat keabuan dari citra pada titik tersebut. Fungsi ini

berukuran M baris dan N kolom, dengan x dan y adalah koordinat spasial dalam

sistem koordinat piksel, dan amplitudo f di titik koordinat (x,y). Jika nilai x, y,

dan nilai amplitudo f secara keseluruhan berhingga (finite) dan bernilai diskrit

maka dapat dikatakan bahwa citra tersebut adalah cira digital. Matrik citra digital

direpresentasikan dalam suatu koordinat piksel, yang tidak mempunyai nilai x dan

y negatif.

Citra digital dapat ditulis dalam bentuk matrik sebagai berikut :

Masing-masing elemen dalam matriks disebut dengan elemen citra atau

piksel, f(x,y) merupakan intensitas citra, sedangkan x dan y

2.3 Model Warna

merupakan posisi

piksel dalam citra.

Model warna RGB (Red, Green, Blue) mendefinisikan warna berdasarkan

tingkat intensitas komponen warna merah, hijau dan biru atau RGB, yang

disajikan dalam bentuk koordinat tiga dimensi yang disebut kubus warna,

disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kubus warna

9

Jika ketiga intensitas warna tersebut bernilai 0, maka warna yang terjadi

adalah hitam, sedangkan jika ketiga intensitas warna tersebut bernilai 1, maka

warna yang terjadi adalah putih. Nilai RGB didapatkan dari rata-rata keseluruhan

piksel. Proses konversi dari model warna RGB ke model warna lain sebelumnya

dilakukan menormalisasi nilai RGB menjadi rgb dengan membaginya dengan

255. Konsep Model Warna RGB berorientasi pada hardware dan kita jumpai di

peralatan seperti : monitor computer, LCD proyektor, scanner, kamera video dan

kamera digital.

Model HSV (Hue, Saturation dan Value) menunjukkan ruang warna dalam

bentuk tiga komponen utama, yaitu hue, saturation, dan value atau disebut juga

brightness, disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Nilai hue, saturasi dan value

Hue adalah sudut dari 0 sampai 360 derajat yang menunjukkan jenis warna

(seperti merah, biru atau kuning) atau corak warna yaitu tempat warna tersebut

ditemukan dalam spektrum warna (Putra, 2010). Saturation (saturasi) dari suatu

warna adalah ukuran seberapa besar kemurnian dari warna tersebut, yang bernilai

antara 0 sampai 1 (atau 0 sampai 100%) dan menunjukkan nilai keabu-abuan

warna (Putra, 2010). Value disebut juga intensitas yaitu ukuran seberapa besar

kecerahan dari suatu warna atau seberapa besar cahaya datang dari suatu warna.

Value dapat bernilai 0 sampai 100%. Nilai HSV didapatkan dengan mengkonversi

nilai rgb dengan persamaan (Putra, 2010) :

𝑉𝑉 = max(𝑟𝑟,𝑔𝑔, 𝑏𝑏) …………………………………………. …… (1)

𝑆𝑆 = �0 , 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 𝑉𝑉 = 0𝑉𝑉 − min (𝑟𝑟 ,𝑔𝑔,𝑏𝑏)

𝑉𝑉, 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 𝑉𝑉 > 0

� ………………………..……. (2)

10

𝐻𝐻 = �0 , 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 𝑆𝑆 = 060∗(𝑔𝑔−𝑏𝑏)

𝑆𝑆∗𝑉𝑉, 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 𝑉𝑉 = 𝑟𝑟

� ………………………………………….. (3)

𝐻𝐻 = �60 ∗ �2 + (𝑏𝑏−𝑟𝑟)

𝑆𝑆∗𝑉𝑉� , 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 𝑉𝑉 = 𝑔𝑔

60 ∗ �4 + (𝑟𝑟−𝑔𝑔)𝑆𝑆∗𝑉𝑉

� , 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 𝑉𝑉 = 𝑏𝑏� .………………………….. (4)

𝐻𝐻 = 𝐻𝐻 + 360, 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 𝐻𝐻 < 0 ……………………………………. (5)

Model warna CIE L*a*b* bekerja berdasar pada persepsi manusia atas

warna, yaitu lightness A (Green-red axis) dan lightness B (Blue-yellow Axis).

Model ini terdiri dari besaran Lightness/Luminance (L*), dimensi a (a*), dan

dimensi b (b*), disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Model warna CIELab

Nilai skala untuk Lightness/Luminance berkisar 0 sampai 100, yaitu dari

warna hitam sampai warna putih (L* = 100 untuk warna putih dan L* = 0 untuk

warna hitam). Dimensi a* dan b* menyimpan informasi komponen kromatik

warna hijau sampai merah dan warna biru sampai kuning. Angka negatif a*

mengindikasikan warna hijau dan sebaliknya a* positif mengindikasikan warna

merah, sedangkan angka negatif b* mengindikasikan warna biru dan sebaliknya

CIE_b* positif mengindikasikan warna kuning. Nilai L*a*b* didapatkan dengan

mengkonversi nilai rgb dengan persamaan :

x ≤ 0,03928; 𝑓𝑓(𝑥𝑥) = 𝑥𝑥12,92

……………………………………. (6)

x ≥ 0,3928; 𝑓𝑓(𝑥𝑥) = �𝑥𝑥+0,0551,055

�2,4

..……………………………. (7)

Nilai x adalah nilai R'G' atau B'. Nilai f(x) menunjukkan nilai konversi sR,

sG dan sB. Nilai sRGB selanjutnya dikonversi ke model warna CIE XYZ

menggunakan persamaan :

11

�𝑋𝑋𝑌𝑌𝑍𝑍� = �

0,4124 0,3576 0,18050,2126 0,7152 0,07220,0193 0,1192 0,9505

� �𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠� .……………………….. (8)

Untuk menghitung nilai L*a*b* dari CIE XYZ menggunakan persamaan :

𝐿𝐿∗ = 116 ∗ 𝑓𝑓 � 𝑌𝑌𝑌𝑌𝑛𝑛� − 16 …..……………………………………. (9)

𝑗𝑗∗ = 500 ∗ �𝑓𝑓 � 𝑋𝑋𝑋𝑋𝑛𝑛� − 𝑓𝑓 � 𝑌𝑌

𝑌𝑌𝑛𝑛�� ………………………….…… (10)

𝑏𝑏∗ = 200 ∗ �𝑓𝑓 � 𝑌𝑌𝑌𝑌𝑛𝑛� − 𝑓𝑓 � 𝑍𝑍

𝑍𝑍𝑛𝑛�� …………………………...… (11)

dengan f(τ) = �𝜏𝜏

13 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 𝜏𝜏 > 0,008856

7,7867 𝜏𝜏 + 16116

𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 𝜏𝜏 ≤ 0,008856�

Nilai Xn, Yn dan Zn adalah nilai XYZ dengan observer 2o

dan illuminant D65

(easyrgb.com 2011).

CIELuv (L*u*v*) merupakan model warna yang sebanding dengan

persepsi mata manusia yang didefinisikan dengan menggambarkan 3 koordinat

geometrik L*, u* dan v*, disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Model warna CIELuv

CIE_ L* merupakan lightness atau kecerahan warna. CIE_u* merupakan

kuat warna pada sumbu merah – hijau. CIE_v* merupakan kuat warna pada

sumbu kuning – biru. Konversi dari sistem X, Y, Z ke sistem L*u*v*

menggunakan persamaan (Lu G & Phillips J, 1998) :

L∗ = 116 �𝑌𝑌𝑌𝑌0� 13 − 16 untuk 𝑌𝑌

𝑌𝑌0> 0,008856 ............................ (12)

12

𝐿𝐿∗ = 903,3 � 𝑌𝑌𝑦𝑦0� untuk 𝑌𝑌

𝑌𝑌0≤ 0,008856 ................................... (13)

u* = 13L* (u' – u'0) ........................................................................ (14)

v* = 13L* (v' – v'0) ........................................................................ (15)

dengan :

u′ = 4𝑋𝑋(𝑋𝑋+15𝑌𝑌+3𝑍𝑍)

= 4𝑥𝑥−2𝑥𝑥+12𝑦𝑦+3

..................................................... (16)

v′ = 9𝑌𝑌(𝑋𝑋+15𝑌𝑌+3𝑍𝑍)

= 9𝑦𝑦−2𝑥𝑥+12𝑦𝑦+3

.................................................... (17)

𝑢𝑢0′ = 4𝑥𝑥0

𝑥𝑥0+15𝑦𝑦0+3𝑧𝑧0 ........................................................................ (18)

𝑣𝑣0′ = 9𝑦𝑦0

𝑥𝑥0+15𝑦𝑦0+3𝑧𝑧0 ....................................................................... (19)

Dimana x0, y0 dan z0 adalah x, y dan z dengan observer 2o dan illuminant D65

(easyrgb.com 2011).

2.4 Analisis Tekstur

Salah satu cara untuk mengenali suatu citra adalah dengan membedakan

tekstur yang merupakan komponen dasar pembentuk citra dan dapat dimanfaatkan

sebagai dasar klasifikasi citra. Tekstur citra dapat dibedakan berdasar kerapatan,

keseragaman, keteraturan, kekasaran dan lain-lain. Untuk mengetahui pola suatu

citra digital berdasarkan ciri yang diperoleh secara matematis digunakan analisis

tekstur. Ciri atau karakteristik suatu tekstur diperoleh melalui proses ekstraksi ciri.

Salah satu metode untuk mendapatkan ciri atau karakteristik suatu tekstur adalah

metode co-occurrence.

Secara umum tekstur mengacu pada repetisi elemen-elemen tekstur dasar

yang disebut elemen tekstur. Elemen tekstur terdiri dari beberapa piksel dengan

aturan posisi bersifat periodik, kuasiperiodik atau acak. Dua syarat terbentuknya

tekstur (Ahmad 2005) adalah : (1) adanya pola-pola primitif yang terdiri dari satu

atau lebih piksel. Bentuk-bentuk pola primitif ini dapat berupa titik, garis lurus,

garis lengkung, luasan dan lain-lain yang merupakan elemen dasar dari suatu

bentuk. (2) pola-pola primitif tadi muncul berulang-ulang dengan interval jarak

dan arah tertentu sehingga dapat dipresiksi atau ditemukan karakteristik

pengulangannya.

13

Metode co-occurrence bekerja dengan membentuk sebuah matriks

kookurensi dari data citra dan menentukan ciri sebagai fungsi dari matriks

tersebut. Matriks kookurensi dibentuk dari suatu citra greyscale dengan melihat

pada piksel-piksel yang berpasangan yang memiliki intensitas tertentu.

Penggunaan metode ini berdasar pada hipotesis bahwa dalam suatu tekstur akan

terjadi perulangan pola-pola primitif. Misalkan d didefinisikan sebagai jarak

antara dua posisi piksel (x1, y1) dan (x2, y2), dan θ didefinisikan sebagai sudut

diantara keduanya, maka matriks kookurensi didefinisikan sebagai matriks yang

menyatakan distribusi spasial antara dua piksel yang bertetangga yang memiliki

intensitas i dan j, yang memiliki jarak d dan sudut θ diantara keduanya. Orientasi

dibentuk dalam empat arah sudut dengan interval sudut 45°, yaitu 0°, 45°, 90°,

dan 135°. Sedangkan jarak antar piksel biasanya ditetapkan sebesar 1 piksel.

Matriks kookurensi dinyatakan sebagai Pdθ(i,j).

Matriks kookurensi didapatkan melalui tiga tahap, yaitu : (1) mengubah

citra RGB menjadi citra grayscale, (2) menghitung kookurensi matrik dalam 4

arah, masing-masing 0o, 45o, 90o dan 135o, (3) menentukan nilai untuk setiap ciri

tekstur dengan merata-rata nilai dari keempat arah sudut tersebut. Langkah untuk

membuat matriks kookurensi simetris ternormalisasi yaitu : (1) membuat area

kerja matriks, (2) menentukan hubungan spasial antara piksel referensi dengan

piksel tetangga, berapa nilai sudut θ dan jarak d, (3) menghitung jumlah

kookurensi dan mengisikannya pada area kerja, (4) menjumlahkan matriks

kookurensi dengan transposenya untuk menjadikannya simetris, dan (5)

normalisasi matriks untuk mengubahna ke bentuk probabilitas. Pembuatan

matriks kookurensi ditunjukkan oleh Gambar 5.

Setelah memperoleh matriks kookurensi tersebut, dapat dihitung ciri yang

merepresentasikan citra yang diamati. Berbagai jenis ciri tekstural dapat

diekstraksi dari matriks kookurensi. Komponen yang digunakan dalam

pengukuran tekstur adalah energi, kontras, homogenitas dan entropi (Haralic et

al., 1973).

14

Gambar 5 Ilustrasi pembuatan matriks kookurensi, (a) Citra masukan, (b)

Nilai intensitas citra masukan, (c) Hasil matriks kookurensi 0°, (d) Hasil matriks

kookurensi 45°, (e) Hasil matriks kookurensi 90°, (f) Hasil matriks kookurensi

135°.

Fitur energy berfungsi untuk mengukur konsentrasi pasangan grey level

pada matrik co-occurance. Nilai energi didapatkan dengan memangkatkan setiap

elemen dalam grey level co-occurance matrix (GLCM), kemudian dijumlahkan.

Fitur kontras digunakan untuk mengukur perbedaan lokal dalam citra atau

mengukur variasi derajat keabuan suatu daerah citra atau menyatakan sebaran

terang (lightness) dan gelap (darkness) dalam sebuah citra. Fitur homogenitas

berfungsi untuk mengukur kehomogenan variasi grey level (perbedaan lokal)

dalam sebuah citra. Fitur entropi digunakan untuk mengukur keteracakan dari

distribusi perbedaan lokal dari sebuah citra (Mathwork 2011).

15

Komponen pengukuran tekstur yang meliputi energi, kontras, homogenitas

dan entropy dapat diambil menggunakan persamaan :

𝐸𝐸𝑛𝑛𝐸𝐸𝑟𝑟𝑔𝑔𝑗𝑗 = ∑ ∑ 𝑝𝑝2𝑛𝑛𝑗𝑗=1

𝑚𝑚𝑗𝑗=1 (𝑗𝑗, 𝑗𝑗) ........................................................ (20)

𝐾𝐾𝐾𝐾𝑛𝑛𝐾𝐾𝑟𝑟𝑗𝑗𝑠𝑠 = ∑ ∑ (𝑗𝑗 − 𝑗𝑗)2𝑛𝑛𝑗𝑗=1

𝑚𝑚𝑗𝑗=1 𝑝𝑝(𝑗𝑗, 𝑗𝑗) ............................................ (21)

𝐻𝐻𝐾𝐾𝑚𝑚𝐾𝐾𝑔𝑔𝐸𝐸𝑛𝑛𝑗𝑗𝐾𝐾𝑗𝑗𝑠𝑠 = ∑ ∑ 𝑝𝑝(𝑗𝑗 ,𝑗𝑗 )1+|𝑗𝑗−𝑗𝑗 |

𝑛𝑛𝑗𝑗=1

𝑚𝑚𝑗𝑗=1 ........................................... (22)

𝐸𝐸𝑛𝑛𝐾𝐾𝑟𝑟𝐾𝐾𝑝𝑝𝑗𝑗 = −∑ ∑ 𝑝𝑝(𝑗𝑗, 𝑗𝑗) log𝑝𝑝(𝑗𝑗, 𝑗𝑗) 𝑛𝑛𝑗𝑗=1

𝑚𝑚𝑗𝑗=1 .................................. (23)

Dengan i dan j adalah intensitas dari resolusi 2 piksel yang berdekatan.

Sedangkan P(i, j) adalah frekuensi relatif matrik dari resolusi 2 piksel yang

berdekatan.

2.5 Transformasi Data

Sebelum menggunakan data dengan metode atau teknik tertentu perlu

dilakukan praproses terhadap data dengan maksud agar data dapat dikenali dengan

lebih baik. Salah satu praproses yang sering dipakai adalah transformasi data.

Transformasi data dilakukan untuk mengubah data ke dalam rentang nilai tertentu.

Rentang nilai ditentukan berdasarkan kasus dan keperluan terntentu. Sebagai

misal penggunaan fungsi aktivasi sigmoid pada jaringan FNN. Untuk keperluan

tersebut maka data mesti ditransformasi sehingga semua data memiliki range yang

sama dengan range keluaran fungsi aktivasi sigmoid yang dipakai, yaitu [0, 1].

Data dapat ditransformasi ke interval [0,1]. Namun akan lebih baik jika

ditransformasikan ke interval yang lebih kecil, misal pada interval [0.1 0.9]. Hal

ini mengingat bahwa fungsi sigmoid merupakan fungsi asimtotik yang nilainya

tidak pernah mencapai nilai 0 maupun 1.

Berikut adalah transformasi linier yang dipakai untuk mentrasformasikan

data ke interval [0.1 0.9] jika a adalah data minimum dan b adalah data

maksimum.

𝑥𝑥′ = 0.8(𝑥𝑥−𝑗𝑗)𝑏𝑏−𝑗𝑗

+ 0.1 ...................................................................... (24)

2.6 Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi pada regresi linier sering diartikan sebagai seberapa

besar kemampuan semua variabel bebas dalam menjelaskan varians dari variabel

16

terikatnya. Secara sederhana koefisien determinasi dihitung dengan

mengkuadratkan Koefisien Korelasi (R). Sebagai contoh, jika nilai R adalah

sebesar 0,80 maka koefisien determinasi (R Square) adalah sebesar 0,80 x 0,80 =

0,64. Berarti kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan varians dari variabel

terikatnya adalah sebesar 64,0%. Berarti terdapat 36% (100%-64%) varians

variabel terikat yang dijelaskan oleh faktor lain. Berdasarkan interpretasi tersebut,

maka tampak bahwa nilai R Square adalah antara 0 sampai dengan 1.

Berikut adalah penetapan dan interpretasi koefisien korelasi dan koefisien

determinasi pada regresi linier sederhana.

𝑟𝑟 = 𝑛𝑛 ∑ 𝑥𝑥𝑗𝑗𝑦𝑦𝑗𝑗𝑛𝑛𝑗𝑗=1 −�∑ 𝑥𝑥𝑗𝑗𝑛𝑛

𝑗𝑗=1 ��∑ 𝑦𝑦𝑗𝑗𝑛𝑛𝑗𝑗=1 �

��𝑛𝑛 ∑ 𝑥𝑥12𝑛𝑛

𝑗𝑗=1 −�∑ 𝑥𝑥𝑗𝑗𝑛𝑛𝑗𝑗=1 �2��𝑛𝑛 ∑ 𝑦𝑦1

2𝑛𝑛𝑗𝑗=1 −�∑ 𝑦𝑦𝑗𝑗𝑛𝑛

𝑗𝑗=1 �2�

𝑠𝑠 = 𝑟𝑟2 ........................................................................................... (25)

Berikut adalah koefisien determinasi untuk regresi linier berganda.

𝑠𝑠𝑦𝑦 .122 = 1 − 𝐽𝐽𝐾𝐾𝑠𝑠

(𝑛𝑛−1)𝑠𝑠𝑦𝑦2 ...................................................... (26)

Dimana JKG adalah jumlah kuadrat galat sedangkan sy2 adalah jumlah

kuadrat y dengan definisi sebagai berikut :

𝑠𝑠𝑦𝑦2 = 𝑛𝑛 ∑𝑦𝑦2−(∑𝑦𝑦)2

𝑛𝑛(𝑛𝑛−1)

𝐽𝐽𝐾𝐾𝑠𝑠 = ∑𝑦𝑦2 − 𝑗𝑗∑𝑦𝑦 − 𝑏𝑏1 ∑𝑥𝑥1𝑦𝑦 − 𝑏𝑏2 ∑𝑥𝑥2𝑦𝑦

2.7 Klasifikasi

Klasifikasi adalah tugas pembelajaran sebuah fungsi target f yang

memetakan setiap himpunan atribut x ke salah satu label kelas y yang telah

didefinisikan sebelumnya. Data input yang digunakan untuk klasifikasi adalah

koleksi dari record. Setiap record dikenal sebagai instance atau contoh, yang

ditentukan oleh sebuah tuple (x,y) dimana x adalah himpunan atribut yang disebut

atribut predictor dan y adalah suatu atribut tertentu yang dinyatakan sebagai label

kelas atau target.

17

Pendekatan umum yang digunakan dalam klasifikasi adalah adanya

training set yang berisi record berlabel kelas, digunakan untuk membangun

model klasifikasi. Selanjutnya model klasifikasi diaplikasikan ke test set yang

berisi record tanpa label kelas. Hal ini merupakan proses pengenalan kembali

suatu objek berdasarkan pola yang telah dikenal (Duda, Hart & Stork 1997).

Teknik klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi fuzzy

menggunakan neural network yang dikenal dengan fuzzy neural network.

2.8 Neural Network (NN)

Neural Network (NN) atau Jaringan syaraf tiruan (JST) adalah sistem

komputasi dimana arsitektur dan operasi diilhami dari pengetahuan tentang sel

syaraf biologi di dalam otak (Fausett 1994). NN didasari oleh kemampuan otak

manusia dalam mengorganisasikan sel-sel penyusunnya yang disebut neuron,

sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas tertentu khususnya pengenalan pola

dengan efektifitas yang tinggi. Pengetahuan diperoleh jaringan melalui proses

belajar dan kekuatan hubungan antar sel syaraf (neuron) yang dikenal sebagai

bobot-bobot sinaptik digunakan untuk menyimpan pengetahuan (Haykin &

Simon, 1994). Model syaraf ditunjukkan dengan kemampuannya dalam emulasi,

analisis, prediksi dan asosiasi.

NN adalah pemrosesan informasi yang mempunyai karakteristik kinerja

tertentu seperti jaringan neural biologis, yang berdasarkan pada asumsi (Siang

2009) : (1) pemrosesan informasi terjadi pada banyak elemen sederhana yang

disebut neuron, (2) sinyal diberikan antara neuron lewat jalinan koneksi, (3) setiap

jalinan koneksi mempunyai bobot yang mengalikan sinyal yang ditransmisikan,

(4) setiap neuron menerapkan fungsi aktivasi (yang biasannya non linier) terhadap

jumlah sinyal masukan terbobot untuk menentukan sinyal keluarannya.

NN dicirikan oleh (Fauset 1994) : (1) pola hubungan antara neuron-

neuron-nya, yang disebut arsitektur, (2) metode penentuan bobot (weight) pada

hubungan, yang disebut pelatihan (training), pembelajaran (learning) atau

algoritma (3) fungsi aktivasinya.

Struktur jaringan neural terdiri atas sejumlah besar komponen yang

disebut neuron. Setiap neuron terhubung dengan neuron lainnya dengan jalinan

18

koneksi yang berkaitan dengan bobot. Bobot mewakili informasi yang diterima

jaringan dan dijadikan sebagian nilai untuk menyelesaikan masalah. Gambar 6

memperlihatkan model tiruan sebuah neuron.

Gambar 6 Model Neuron (Hermawan, 2006).

Sebuah neuron menerima sejumlah n masukan, yaitu 𝑥𝑥1, 𝑥𝑥2, … , 𝑥𝑥𝑛𝑛 . Setiap

masukan dimodifikasi oleh bobot sinapsis 𝑤𝑤1,𝑤𝑤2, … ,𝑤𝑤𝑛𝑛 sehingga masukan ke

dalam neuron adalah 𝑥𝑥𝑗𝑗 = 𝑥𝑥𝑗𝑗𝑤𝑤𝑗𝑗 , dimana 𝑗𝑗 = 1,2, … ,𝑛𝑛. Kemudian neuron akan

menghitung hasil penjumlahan seluruh masukan, dan fungsi aktivasi akan

menentukan keluaran neuron :

𝑛𝑛𝐸𝐸𝐾𝐾 = 𝑥𝑥1𝑤𝑤1 + 𝑥𝑥2𝑤𝑤2 + ⋯+ 𝑥𝑥𝑛𝑛𝑤𝑤𝑛𝑛 atau 𝑛𝑛𝐸𝐸𝐾𝐾 = ∑ 𝑥𝑥𝑗𝑗𝑤𝑤𝑗𝑗𝑛𝑛𝑗𝑗=1 ........... (27)

Dengan mengasumsikan suatu black box yang tidak tahu isinya, neural

network akan menemukan pola hubungan antara input dan output melalui fasa

training. Neural network masuk dalam kategori supervised learning. Dalam

kategori ini suatu network dilatih untuk menemukan parameter model yaitu w dan

b yang terbaik.

Hal yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain suatu neural network

adalah tipe jaringan, jumlah layer, banyaknya simpul/node di tiap layer, fungsi

transfer atau activation function dalam setiap layer dan jumlah epoch/iterasi yang

digunakan untuk training (Santosa 2007).

2.8.1 Arsitektur Backpropagation

Backpropagation adalah salah satu tipe neural network yang paling

populer dan sering digunakan. Jaringan neuron yang sering digunakan dalam NN

untuk pengenalan pola adalah jaringan lapis tunggal (single layer network) dan

jaringan lapis banyak (multi layer network). Perbedaan kedua arsitektur ini adalah

adanya lapisan tersembunyi. Pada jaringan lapis tunggal tidak ada lapisan

19

tersembunyi, sedangkan pada jaringan lapis banyak memiliki minimal satu

lapisan tersembunyi (Kusumadewi, 2003).

Lapisan-lapisan penyusun neural network terdiri dari lapisan input (input

layer), lapisan tersembunyi (hidden layer) dan lapisan output (output layer).

Gambar 7 menunjukkan arsitektur backpropagation dengan n buah masukan

(dengan sebuah bias), sebuah layar tersembunyi yang terdiri dari p unit (dengan

sebuah bias) serta m unit keluaran. Vji merupakan bobot garis dari unit masukan xi

ke unit layar tersembunyi zj (vjo merupakan bobot garis yang menghubungkan bias

di unit masukan ke layar tersembunyi zj). wkj merupakan bobot dari layar

tersembunyi zj ke unit keluaran yk (wk0 merupakan bobot dari bias di layar

tersembunyi ke unit keluaran zk).

Gambar 7 Arsitektur backpropagation (Siang, 2009).

2.8.2 Fungsi Aktivasi

Fungsi aktivasi merupakan keadaan internal suatu neuron yang digunakan

pada perhitungan input yang diterima neuron, setelah itu diteruskan ke neuron

berikutnya. Dengan fungsi aktivasi ini neuron dapat mengambil keputusan dari

pengolahan bobot-bobot yang ada dan menentukan kuat lemahnya sinyal yang

dikeluarkan oleh suatu neuron. Dalam backpropagation fungsi aktivasi yang

dipakai harus memenuhi beberapa syarat, yaitu kontinyu, terdiferensial dengan

mudah dan merupakan fungsi yang tidak turun.

20

Fungsi aktivasi yang sering digunakan pada backpropagation neural

network adalah sigmoid biner dan sigmoid bipolar. Sigmoid biner adalah fungsi

biner yang memiliki rentang 0 s/d 1 dengan rumus fungsi pada persamaan 25 dan

mempunyai grafik fungsi seperti pada Gambar 8.

𝑓𝑓(𝑥𝑥) = 11+exp(−𝑥𝑥)

................................................................... (28)

dengan turunan 𝑓𝑓′(𝑥𝑥) = 𝑓𝑓(𝑥𝑥)(1 − 𝑓𝑓(𝑥𝑥))

Gambar 8 Fungsi aktivasi sigmoid biner (Kusumadewi, 2003).

Sigmoid bipolar adalah fungsi yang memiliki rentang -1 s/d 1 dengan

rumus fungsi pada persamaan 26 dan mempunyai grafik fungsi seperti pada

Gambar 9.

𝑓𝑓(𝑥𝑥) = 21+exp(−𝑥𝑥)

− 1 ............................................................. (29)

dengan turunan 𝑓𝑓′(𝑥𝑥) = �1+𝑓𝑓(𝑥𝑥)�(1−𝑓𝑓(𝑥𝑥))2

Gambar 9 Fungsi aktivasi sigmoid bipolar (Kusumadewi, 2003).

2.8.3 Algoritma Pelatihan Lavenberg-Marquadt

Algoritma lavenberg-marquadt (LM) adalah algoritma pelatihan

backpropagation yang dapat mencapai nilai konvergen lebih cepat dibandingkan

dengan algoritma pelatihan lainnya dan sangat direkomendasikan sebagai pilihan

pertama dalam supervised learning. Konsep dari algoritma LM adalah penentuan

21

matriks hessian untuk mencari bobot-bobot dan bias koneksi (Budi & Sumiyati

2007).

Matriks hessian adalah matriks yang setiap elemennya terbentuk dari

turunan kedua dari fungsi kinerja terhadap setiap komponen bobot dan bias.

Untuk memudahkan komputasi, matriks hessian diubah dengan pendekatan iteratif

pada setiap epoch selama algoritma berjalan. Proses pengubahannya dilakukan

menggunakan fungsi gradien. Berikut adalah estimasi matriks hessian jika fungsi

kinerja yang digunakan berbentuk jumlah kuadrat error (SSE).

𝐻𝐻 = 𝐽𝐽𝑇𝑇𝐽𝐽 + 𝜂𝜂𝜂𝜂 .............................................................................. (30)

Dimana η merupakan parameter marquadt, I merupakan matriks identitas

dan J adalah matriks jacobian yang terdiri dari turunan pertama error jaringan

terhadap masing-masing komponen bobot bias.

Nilai parameter marquadt (η) dapat berubah pada setiap epoch. Jika

setelah berjalan satu epoch nilai fungsi error menjadi lebih kecil, nilai η akan

dibagi oleh faktor τ. Bobot dan bias baru yang diperoleh akan dipertahankan dan

pelatihan dapat dilanjutkan ke epoch berikutnya. Sebaliknya jika setelah berjalan

satu epoch nilai fungsi error menjadi lebih besar maka nilai η akan dikalikan

faktor τ. Nilai perubahan bobot dan bias dihitung kembali sehingga menghasilkan

nilai yang baru.

2.8.4 Proses Pembelajaran Backpropagation

Proses pembelajaran merupakan proses perubahan bobot-bobot yang ada

pada jaringan dengan tujuan untuk meminimalkan mean square error (mse) atau

toleransi galat antara keluaran yang dihasilkan dengan keluaran yang diinginkan

(target). Perubahan ini dapat berkurang atau bertambah sesuai dengan informasi

yang diberikan oleh neuron yang bersangkutan. Perubahan ini akan berhenti jika

bobot-bobot pada jaringan sudah cukup seimbang. Kondisi ini mengindikasikan

bahwa setiap input telah berhubungan dengan output yang diharapkan.

Pembelajaran terawasi (supervised learning) merupakan metode yang

hanya berlaku jika output yang diharapkan sudah diketahui, sehingga dalam

proses pembelajaran, setiap input akan memiliki target output yang harus dicapai.

22

Jika terjadi perbedaan pola output hasil pembelajaran dengan pola target, maka

akan muncul galat. Jika nilai galat ini masih cukup besar, maka perlu iterasi

pembelajaran yang berikutnya (Kusumadewi, 2003). Ilustrasi supervised learning

dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Supervised Learning (Rios).

Backpropagation adalah salah satu algoritma yang menggunakan metode

supervised learning. Pelatihan backpropagation meliputi 3 fase. Fase pertama

adalah fase maju atau propagasi maju. Pola masukan dihitung maju mulai dari

layar masukan hingga layar keluaran menggunakan fungsi aktivasi yang

ditentukan. Fase kedua adalah fase mundur atau propagasi mundur. Selisih antara

keluaran jaringan dengan target yang diinginkan merupakan kesalahan yang

terjadi. Kesalahan tersebut dipropagasikan mundur, mulai garis yang berhubungan

langsung dengan unit-unit di layar keluaran. Fase ketiga adalah modifikasi bobot

untuk menurunkan kesalahan yang terjadi. Ketiga fase tersebut diulang-ulang

terus hingga kondisi penghentian dipenuhi. Umumnya kondisi penghentian yang

dipakai adalah jumlah iterasi atau kesalahan. Berikut proses selengkapnya yang

terjadi pada setiap fase (Siang 2009).

Fase I : Propagasi maju

Selama propagasi maju, sinyal masukan (xi) dipropagasikan ke lapisan

tersembunyi menggunakan fungsi aktivasi yang ditentukan. Keluaran setiap unit

lapisan tersembunyi (zj) tersebut selanjutnya dipropagasikan maju ke layar

tersembunyi di atasnya menggunakan fungsi aktivasi yang ditentukan. Demikian

seterusnya hingga menghasilkan keluaran jaringan (yk). Berikutnya keluaran

23

jaringan (yk) dibandingkan dengan target yang harus dicapai (tk). Selisih dari tk

terhadap yk yaitu tk-yk adalah kesalahan yang terjadi. Jika kesalahan ini lebih kecil

dari batas toleransi yang ditentukan, maka iterasi dihentikan. Tetapi apabila

kesalahan masih lebih besar dari batas toleransinya, maka bobot setiap garis

dalam jaringan dimodifikasi untuk mengurangi kesalahan yang terjadi.

Fase II : Propagasi Mundur

Berdasarkan kesalahan tk-yk, dihitung faktor δk (k = 1, 2, …, m) yang dipakai

untuk mendistribusikan kesalahan di unit yk ke semua unit tersembunyi yang

terhubung langsung dengan yk. Faktor δk juga dipakai untuk mengubah bobot

garis yang berhubungan langsung dengan unit keluaran. Dengan cara yang sama,

dihitung faktor δj (j = 1, 2, …, m) di setiap unit di lapisan tersembunyi di layar

bawahnya. Demikian seterusnya hingga semua faktor δ di unit tersembunyi yang

berhubungan langsung dengan unit masukan dihitung.

Fase III : Perubahan Bobot

Setelah semua faktor δ dihitung, bobot semua garis dimodifikasi bersamaan.

Perubahan bobot satu garis didasarkan atas faktor δ neuron di lapisan atasnya.

Sebagai contoh, perubahan bobot garis yang menuju lapisan keluaran didasarkan

atas δk yang ada di unit keluaran.

Ketiga fase tersebut diulang-ulang terus hingga kondisi penghentian dipenuhi.

Umumnya kondisi penghentian yang sering dipakai adalah jumlah iterasi atau

kesalahan. Iterasi dihentikan jika jumlah iterasi yang dilakukan sudah melebihi

jumlah maksimum iterasi yang ditetapkan atau jika kesalahan yang terjadi sudah

lebih kecil dari batas toleransi yang diijinkan. Setelah pelatihan selesai dilakukan,

jaringan dapat dipakai untuk pengenalan pola. Dalam hal ini hanya propagasi

maju saja yang digunakan untuk menentukan keluaran jaringan. Algoritma

selengkapnya disajikan pada Lampiran 1.

Berikut fungsi kinerja yang digunakan oleh backpropagation, yaitu Mean

Square Error (MSE) yang didapatkan dari nilai rata-rata kuadrat error yang

terjadi antara output jaringan (yk) dan target (tk).

𝑀𝑀𝑆𝑆𝐸𝐸 = 1𝑚𝑚� (tk − yk)2𝑚𝑚

𝑗𝑗=1 .................................................... (31)

24

2.9 Logika Fuzzy

Teori himpunan fuzzy merupakan perluasan dari himpunan klasik (crisp).

Pada teori himpunan crisp keberadaan suatu elemen pada suatu himpunan A

hanya akan mempunyai dua kemungkinan nilai keanggotaan atau derajat

keanggotaan, yaitu menjadi anggota A (𝜇𝜇𝐴𝐴(𝑥𝑥) = 1) atau tidak menjadi anggota

A (𝜇𝜇𝐴𝐴(𝑥𝑥) = 0) (Chak et al. 1998), Sehingga akan mengakibatkan perbedaan

kategori yang cukup bermakna dengan himpunan klasik. Himpunan crisp

diilustrasikan menggunakan Gambar 11. Pada teori himpunan fuzzy yang

diperkenalkan oleh Lotfi A. Zadeh keberadaan suatu elemen pada suatu himpunan

A akan mempunyai derajat keanggotaan antara 0 dan 1. Hal ini banyak digunakan

untuk membuat suatu klasifikasi sebagai solusi terhadap suatu pola yang berada

diantara dua kelas yang tidak dapat diselesaikan oleh klasifikasi klasik.

Gambar 11 Himpunan klasik.

Pada himpunan fuzzy seseorang akan dapat masuk dalam 2 himpunan yang

berbeda. Seseorang dengan umur 40 tahun masuk dalam himpunan usia muda

dengan derajat keanggotaan 0.25 dan sekaligus masuk dalam himpunan usia

parobaya dengan derajat keanggotaan 0.5, hal ini diilustrasikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Fungsi keanggotaan umur dengan representasi segitiga.

25

Beberapa hal yang berhubungan dengan sistem fuzzy adalah variabel fuzzy,

himpunan fuzzy, semesta pembicaraan dan domain. Variabel fuzzy merupakan

variabel yang akan dibahas di dalam fuzzy, misalnya umur, permintaan,

temperatur dan sebagainya. Himpunan fuzzy merupakan suatu grup yang mewakili

kondisi tertentu dalam variabel fuzzy, misalnya variabel umur dibagi menjadi

muda, parobaya dan tua. Semesta pembicaraan adalah seluruh nilai yang

diperbolehkan untuk dioperasikan dalam suatu variabel fuzzy, misalnya semesta

pembicaraan variabel umur adalah 0 sampai 100. Domain adalah keseluruhan nilai

yang diijinkan dalam semesta pembicaraan dan boleh dioperasikan dalam

himpunan fuzzy, misalnya domain umur muda 20-45, domain umur parobaya 25-

65 dan domain umur tua 45-70.

2.9.1 Fungsi Keanggotaan (membership function)

Fungsi keanggotaan (membership function) adalah suatu kurva yang

menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotaan yang

memiliki interval antara 0 - 1. Ada beberapa fungsi keanggotaan yang digunakan

untuk mendapatkan fungsi keanggotaan antara lain representasi kurva sigmoid,

triangular dan trapezoid.

Metode popular untuk menentukan fuzzy set adalah menggunakan fungsi

keanggotaan bell (lonceng), karena kehalusan dan keringkasannya (mathwork

2011).

Fungsi keanggotaan : 𝑠𝑠(𝑥𝑥; 𝛾𝛾,𝛽𝛽) = 1

1+�𝑥𝑥−𝛾𝛾𝛽𝛽 �2 ......................................... (32)

Terdapat tiga kurva berbentuk bell (lonceng) yaitu PI, beta dan Gauss,

dengan perbedaan terletak pada gradien-nya. Kurva beta sama halnya dengan PI

hanya saja kurva beta lebih rapat. Kurva beta didefinisikan dengan dua parameter,

yaitu nilai pada domain yang menunjukkan pusat kurva (γ) dan setengah lebar

kurva (β), seperti terlihat pada Gambar 13.

Fungsi keanggotaan akan mendekati 0 (nol) jika nilai β sangat besar.

26

Gambar 13 Karakteristik fungsional kurva beta (Cox, 1994).

2.10 Fuzzy Neural Network (FNN)

Fuzzy neural network (FNN) merupakan suatu model yang dilatih

menggunakan jaringan syaraf, namun struktur jaringannya diinterpretasikan

dengan sekelompok aturan fuzzy (Kasabow 2002). Pada FNN parameter-

parameter yang dimiliki oleh neuron dan bobot-bobot penghubung yang biasanya

disajikan secara numeris, dapat diganti menggunakan parameter fuzzy.

Adakalanya input dan bobot bernilai crisp, sedangkan output-nya bernilai fuzzy.

Terdapat tujuh tipe FNN dengan variasi jenis nilai bobot, input dan output-nya

(Mashinchi & Shamsuddin, 2009), seperti dalam Tabel 2.

Tabel 2 Tipe-tipe Fuzzy Neural Network (FNN)

Type weights inputs outputs Case 0 of ANNs : crisp value crisp value crisp value Case 1 of FNNs : crisp value fuzzy crisp value Case 2 of FNNs : crisp value fuzzy fuzzy Case 3 of FNNs : fuzzy crisp value fuzzy Case 4 of FNNs : fuzzy fuzzy fuzzy Case 5 of FNNs : crisp value crisp value fuzzy Case 6 of FNNs : fuzzy crisp value crisp value Case 7 of FNNs : fuzzy fuzzy crisp value

Pada klasifikasi klasik menggunakan jaringan backpropagation, jumlah

neuron pada lapisan output sama dengan jumlah kelas. Output neuron akan

bernilai 1 jika output sesuai dengan target dan bernilai 0 jika tidak sesuai, dengan

27

konsep winner take all. Namun adakalanya, suatu pola berada pada batas kelas

yang tumpang tindih, sehingga berada diantara 2 kelas. Apabila hal ini terjadi,

maka tidak akan bisa diselesaikan menggunakan klasifikasi klasik (Pal & Mitra,

1992).

Pal dan Mitra (1992) memperkenalkan klasifikasi pola secara fuzzy

menggunakan algoritma pembelajaran backpropagation. Konsep data dari model

ini adalah menggunakan derajat keanggotaan pada neuron output sebagai target

pembelajaran. Penghitungan derajat keanggotaan diawali dengan penghitungan

jarak terbobot pola terhadap target output. Berdasar jarak terbobot tersebut

selanjutnya dihitung derajat keanggotaan.

Penghitungan jarak terbobot terhadap sekelompok pola xk = {x1, x2, …,

xn} yang terdiri dari p kelas akan menghasilkan sejumlah p neuron pada lapisan

output. Jarak terbobot dengan nilai terkecil pada tiap pola menunjukkan kelas

target. Jarak terbobot pola pelatihan ke-k dari xk terhadap kelas target ke-k,

dihitung sebagai berikut (Sarkar et al. 1998) :

𝑧𝑧𝑗𝑗𝑗𝑗 = �∑ �𝑥𝑥𝑗𝑗𝑗𝑗 −𝑚𝑚𝑗𝑗𝑗𝑗

𝑣𝑣𝑗𝑗𝑗𝑗�

2𝑛𝑛𝑗𝑗=1 ;𝑗𝑗 = 1, … , 𝑝𝑝 ..... ........................... (33)

Dengan mk dan vk adalah mean dan deviasi standar dari kelas ke-k, xij

adalah nilai komponen ke-j dari pola ke-i.

Derajat keanggotaan pola ke-i pada kelas ck dapat dihitung sebagai

(Sarkar, 1998) :

𝜇𝜇𝑗𝑗(𝑥𝑥𝑗𝑗) = 1

1+�𝑧𝑧𝑗𝑗𝑗𝑗𝑓𝑓𝑑𝑑�𝑓𝑓𝐸𝐸 ;𝑗𝑗 = 1, … , 𝑝𝑝 .................................... (34)

Dengan fd dan fe adalah konstanta yang akan mengendalikan tingkat

kekaburan pada himpunan keanggotaan kelas tersebut. Dari sini didapatkan p

vector derajat keanggotaan �𝜇𝜇1(𝑥𝑥1),𝜇𝜇2(𝑥𝑥2), … , 𝜇𝜇𝑝𝑝�𝑥𝑥𝑝𝑝��. Pada kasus paling fuzzy,

akan digunakan operator INT (intensified) (Sarkar et al. 1998) :

𝜇𝜇𝜂𝜂𝐼𝐼𝑇𝑇𝑥𝑥𝑗𝑗 = �2[𝜇𝜇𝑗𝑗𝑥𝑥𝑗𝑗]2; 0 ≤ 𝜇𝜇𝑙𝑙(𝑥𝑥𝑗𝑗) ≤ 0,5

1 − 2[1 − 𝜇𝜇𝑗𝑗(𝑥𝑥𝑗𝑗)]2; 0,5 ≤ 𝜇𝜇𝑗𝑗(𝑥𝑥𝑗𝑗) ≤ 1�

28

sehingga pola input ke-i, xi akan memiliki target output ke-k (Sarkar et al. 1998) :

𝑑𝑑𝑗𝑗 = �𝜇𝜇𝜂𝜂𝐼𝐼𝑇𝑇(𝑗𝑗)(𝑥𝑥𝑗𝑗); 𝑢𝑢𝑛𝑛𝐾𝐾𝑢𝑢𝑗𝑗 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑠𝑠𝑢𝑢𝑠𝑠 𝑝𝑝𝑗𝑗𝑙𝑙𝑗𝑗𝑛𝑛𝑔𝑔 𝑓𝑓𝑢𝑢𝑧𝑧𝑧𝑧𝑦𝑦𝜇𝜇𝑗𝑗𝑥𝑥𝑗𝑗 ; 𝑦𝑦𝑗𝑗𝑛𝑛𝑔𝑔 𝑙𝑙𝑗𝑗𝑗𝑗𝑛𝑛𝑛𝑛𝑦𝑦𝑗𝑗

dengan 0 ≤ 𝑑𝑑𝑗𝑗 ≤ 1 untuk setiap k. Dalam tahap ini dihasilkan derajat

keanggotaan dari tiap pola yang ada terhadap kelas target, dimana nilai yang

paling tinggi di setiap pola menunjukkan kelas target. Selanjutnya pola input dan

output yang terbentuk akan digunakan sebagai data training menggunakan

algoritma backpropagation.