PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

44

Transcript of PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

Page 1: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA
Page 2: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

Page 3: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002

Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta

Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 4: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

Chatarina Muryani

Sorja Koesuma Yasin Yusup

Page 5: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

Penulis:

Chatarina Muryani

Sorja Koesuma

Yasin Yusup

Penata letak

Sorja Koesuma

Penerbit

CV. Pramudita Press

Goresan Rt.2 Rw.8 Demakan, Mojolaban, Sukoharjo www.pramudita.wordpress.com email: [email protected] November 2020

Chatarina Muryani, Sorja Koesuma, Yasin Yusup

Pengembangan Desa Tangguh Bencana

Surakarta, 2020

ISBN: 978-623-6815-07-6

Page: 102 + viii

Hak cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang memperbanyak karya ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin dari penerbit @ All right reserved

Page 6: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan Sukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penyertaan dan

lindungaNYa sehingga buku kami yang berjudul ―PENGEMBANGAN DESA

TANGGUH BENCANA‖ ini dapat selesai kami susun dan berhasil terbit. Buku ini

merupakan salah satu luaran penelitian kami yang berjudul ―PENGEMBANGAN

DESA TANGGUH BENCANA MANDIRI DI KOTA SURAKARTA‖ , berisi

bagaimana langkah-langkah yang harus diambil dalam mengembangkan Desa

Tangguh Bencana (DESTANA)

Atas terselesaikanya buku ini kami tim penyusun mengucapkan banyak terima kasih

kepada :

1. Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah

memberi ijin dan membeayai penelitian kami ini,

2. Bapak Rektor Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ijin

penelitian kami ini

3. Ibu Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdiak kepada Masyarakat (LPPM)

Universitas Sebelas Maret yang telah memberi ijin dan mendorong

tersusunnya buku ini

4. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Surakarta yang telah

bersedia menjadi mitra dan sekaligus memberikan fasilitas-fasilitas untuk

keberhasilan penelitian ini

5. Teman-teman Peer Group Pusat Studi Bencana atas kerjasama dalam

berbagai kegiatan di PSB LPPM Universitas Sebelas Maret

6. Hikari, Tanasiva, Abdul, Fitria dan Meylida yang telah membantu penelitian

dan penyusunan buku ini

Buku ini masih jauh dari sempurna. Kritik dan saran untuk perbaikan buku ini akan

kami terima dengan senang hati

Terima kasih

Tim Penyusun

Page 7: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

vii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB I. PRB (Pengurangan Risiko Bencana) Berbasis 1

Masyarakat……………………………………………….

BAB II. Kesiapsiagaan dan Ketangguhan Bencana…………….. 17

2.1 Kesiapsiagaan Bencana 17

2.3 Ketangguhan Bencana 27

BAB III. Konsepsi DESTANA (Desa Tangguh Bencana)……….. 42

3.1 Pengertian 42

3.2 Penilaian Ketangguhan Bencana 44

3.3 Langkah-langkah Pengembangan DESTANA 54

BAB IV. Penilaian Risiko Bencana……………………………….. 61

4.1 Pengertian Risiko 61

4.2 Indikator Risiko 62

4.3 Analisis Risiko 64

4.4 Tahapan Analisis Risiko 66

BAB V. Rencana Penanggulangan Bencana dan Rencana 76

Kontinjensi………………………………………………..

5.1 Rencana Penanggulangan Bencana 76

5.2 Rencana Kontinjensi 84

5.3 Rencana Penanggulangan Bencana dan Rencana 96

Kontinjensi Bencana Partisipatif

BAB VI. Forum Pengurangan Risiko Bencana…………………... 97

6.1 Konsepsi Forum Pengurangan Risiko Bencana 97

6.2 Mekanisme Pembentukan Forum Pengurangan Risiko 99

Bencana Desa

Daftar Pustaka………………………………………………………… 106

Page 8: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Tingkat Keterlibatan dan Partisipasi Masyarakat 5

1.2 Proses Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas 11

2.1 Grafis Sub-model Kesiapsiagaan 20

2.2 Parameter Ketahanan Bencana 31

5.1 Tahapan Penanggulangan Bencana 71

5.2 Rencana Penanggulangan Bencana pada Setiap Tahapan

Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana 72

5.3 Peta Ancaman Bahaya Tanah Longsor Desa Gunung Wuled 76

5.4 Mekanisme Penanggulangan Bencana 77

5.5 Diagram Alir Penyusunan Rencana Kontinjensi 81

5.6 Penyusunan Rencana Kontinjensi Bencana Tanah Longsor Desa

Gunung Wuled TIM KKN Tematik UNS 2019 81

5.7 Peta Rawan Bencana Banjir Kabupaten Klaten 84

6.1 Bagan Kepengurusan Forum Pengurangan Risiko Bencan 96

Page 9: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

ix

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1 Perbandingan Pendekatan Berbasis Komunitas dan Konvesional 7

2.1 Scorecard Toolkit 32

2.2 Skor Tingkat Ketahanan Bencana 38

3.1 Aspek dan Indikator Desa/Kelurahan Tangguh Bencana 45

4.1.Parameter Bahaya 61

4.2 Parameter Kerentanan 64

4.3Parameter Kapasitas 68

4.4 Klasifikasi Tingkat Risiko 69

5.1 Besar kecilnya kejadian, dampak dan tindakan yang dilakukan 79

5.2 Contoh Tabel untuk Mengkaji Jumlah Warga 83

5.3 Contoh tabel situasi 87

5.4 Contoh tabel kegiatan 87

5.5 Kebutuhan dan Ketersediaan Sumber Daya 88

Page 10: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

1

BAB 1

PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS MASYARAKAT

Era saat ini kegiatan pembangunan tidak terkendali yang berdampak pada

tekanan sumberdaya alam serta degradasi lingkungan yang sangat serius, hal ini

membuat kerentanan terhadap bahaya semakin meningkat. Berbagai kegiatan

mitigasi telah dilakukan pemerintah baik mitigasi struktural dan non struktural,

namun akhir-akhir ini kegiatan ini melibatkan partisipasi masyarakat karena

pemerintah atau pembuat kebijakan mulai memahami bencana secara kompleks

dan menyadari bahwa diperlukanannya tindakan structural yang memadai untuk

menangani masalah kerentanan masyarakat (Pribadi, Argo, Mariani, Parlan, &

Hening, 2011). Akhir – akhir ini karakteristik bencana telah berubah sedemikian

rupa sehingga masyarakat sekarang perlu bersiap menghadapi bencana yang tidak

pernah alami dan yang mereka sulit dapat informasinya (Takeuchi, Mulyasari, &

Shaw, 2011). Masyarakat dapat berbuat banyak untuk meningkatkan

kesiapsiagaan dan meningkatkan kapasitas respons mereka sendiri atau untuk

melakukan tindakan mintigasi dari bahaya fisik wilayah setempat. Namun

masyarakat tidak mampu mengontrol sumberdaya sehingga mendekatkan mereka

terhadap bahaya, oleh karena itu diperlukannya keterlibatan masyarakat dan

melibatkan actor supra-lokal seperti instansi pemerintah pusat dan daerah serta

Lembaga Swadaya Mayarakat (LSM) untuk mendukung kegiatan penanggulangan

bahaya. Oleh karena itu, tantangannya bukanlah mendorong masyarakat untuk

berpartisipasi dalam kegiatan pengurangan risiko di tingkat lokal, karena sebagian

besar masyarakat sudah melakukan pengolaan risiko dengan sumberdaya yang

terbatas, namun tantangan sebenarnya adalah mendorong pemerintah dan actor

supra-lokal lainnya untuk berpartisipasi dalam mendukung proses berbasis

masyarakat (Maskrey, 2011).

LSM (lokal, nasional dan internasional) sekarang tampil dalam banyak

rencana pengurangan bencana. Namun mereka sering dianggap sebagai pemain

kecil, terutama di negara-negara yang pemerintahnya tetap enggan menyerahkan

otoritas dan sumber daya kepada masyarakat sipil. Mereka juga terkadang merasa

Page 11: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

2

sulit untuk diterima secara internasional. Pemerintah tidak selalu menyambut

pertumbuhan masyarakat sipil dan beberapa menolak perluasan perannya,

terutama jika ini melibatkan kritik terhadap pemerintah. Bencana juga dapat

membuka peluang bagi organisasi masyarakat sipil untuk beroperasi lebih leluasa

dan berkolaborasi dengan mitra baru. Menurut Twigg, 2015 berikut beberapa

lembaga masyarakat yang dapat dilakukan dalam pengurangan risiko bencana :

a. Serikat pekerja aktif dalam kesehatan dan keselamatan di tempat kerja,

dan juga memberikan prioritas tinggi untuk melindungi lingkungan

mempromosikan alam dan pembangunan ekonomi yang bertanggung

jawab secara sosial. Mereka memiliki keterampilan organisasi dan

keanggotaan massal yang dapat dimobilisasi untuk menangani bahaya

dan kerentanan secara umum. Hal yang sama berlaku untuk asosiasi

profesional atau perdagangan dan koperasi lainnya

b. Lembaga keagamaan dan kelompok berbasis keyakinan memiliki tradisi

mendukung mereka yang membutuhkan dan korban bencana. Organisasi

kepercayaan lokal dengan jemaat yang mapan dan afiliasi keanggotaan

sering menjadi sumber sukarelawan dan terkadang pemimpin dalam

keadaan darurat, tetapi ada risiko bahwa kelompok semacam itu akan

menyukai orang-orang yang beragama sendiri, dan anggota agama

minoritas termasuk di antara kelompok yang lebih rentan di beberapa

masyarakat. Namun demikian, jangkauan luas akar rumput dari

kelompok agama memberi mereka peran yang berpotensi signifikan

dalam pengurangan risiko.

c. Universitas dan lembaga penelitian lainnya meningkatkan pemahaman

kita tentang bahaya, kerentanan, dan manajemen bencana. Jaringan

akademik dan publikasi merupakan saluran yang mapan dan efektif untuk

berbagi pengetahuan di antara peneliti. Jaringan internasional dan berbagi

informasi sangat kuat di antara para ilmuwan dan insinyur. Diperlukan

interaksi yang lebih baik antara peneliti bencana, lembaga teknis, dan

praktisi, tetapi ada banyak contoh kolaborasi, seperti ilmuwan yang

memberikan informasi tentang bahaya dan perkiraan jangka panjang,

Page 12: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

3

universitas yang melakukan penelitian pasar untuk mendukung

diversifikasi produk mata pencaharian, dan badan teknis yang

mengembangkan pedoman dan standar .

d. Kelompok profesional dengan keahlian dan pengalaman teknis sering

menawarkan dukungan secara sukarela.

1.1. Pengertian

Menurut International Organization for Migration (IOM) , 2011

Pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat diartikan sebagai pendekatan

yang digunakan oleh masyarakat untuk mengelola risiko bencana dalam wilayah

geografis mereka. Masyarakat atau komunitas mengacu pada sekelompok orang

yang memiliki minat dan kepentingan yang sama di daerah. Kepentingan bersama

dapat bersifat sosial atau ekonomi, dan biasannya dimiliki bersama oleh

penduduk, sektor swasta, seklah, lembaga keagamaan dan organisasi

kemasyarakatan yang sering berada ditingkat administrasi terendah. Tujuan

prinsip dari pendekatan ini adalah untuk mengelola risiko bencana dengan

meningkatkan kapasitas dan ketahanan lokal serta mengurangi kerentanan. Hal ini

menawarkan solusi yang dibuat khusus untuk mengelola risiko bencana lokal.

Keterlibatan masyarakat telah menjadi salah satu prioritas utama untuk

membangun kemitraan yang efektif dalam pengurangan risiko bencana sesuai

dengan kerangka Aksi Hyogo 2005 – 2015. Berkaitan dengan bencana,

mengidentifikasi faktor-faktor risiko dan memahami cara masyarakat menangani

dan menghadapi bencana serta beradaptasi dengan lingkungan yang berbahaya

dianggap faktor penentu penting bagi pengurangan risiko dan pengambilan

keputusan di tingkat lokal (Hendarsah, 2012). Pengetian lain tentang

pengurangan risiko berbasis masyarakat tertera dalam Peraturan Kepala Badan

Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1 Tahun 2012 bahwa Pengurangan

Risiko Bencana Berbasis Masyarakat adalah proses pengelolaan risiko bencana

yang melibatkan secara aktif masyarakat yang berisiko dalam mengkaji,

menganalisis, menangani, memantau dan mengevaluasi risiko bencana untuk

mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuannya.

Page 13: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

4

Penanggulangan bencana berbasis masyarakat pada intinya merupakan

sebuah pendekatan penanggulangan bencana yang berbasis komunitas lokal,

pendekatan ini pada dasarnya mensyaratkan adanya sikap politik yang

memberikan keberpihakan kepada kepentingan komunitas lokal. Dalam

praktiknya pendekatan ini mengakomodasi potensi dan modal sosial yang ada

dimasyarakat sebagai sumber daya dalam melaksanakan program penanggulangan

bencana, sehingga masyarakat akan tanggap dan sadar bahwa mereka hidup di

daerah rawan bencana (Sukmana, 2018).

Sifat partisipasi dalam pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat

juga sangat bervariasi, sesuai dengan konteks geografis, sosial dan kelembagaan,

berbagai komunitas dan agen eksternal yang terlibat, skala dan sifat masalah yang

akan ditangani, dan jenis pekerjaan proyek yang diusulkan atau dijalankan. .

Secara garis besar, partisipasi dapat dilihat sebagai 'hak yang dimiliki oleh semua

orang untuk terlibat dalam masyarakat dan dalam pengambilan keputusan yang

berdampak pada kehidupan mereka. Istilah 'partisipasi' digunakan dalam berbagai

cara dalam praktiknya: misalnya, dapat merujuk pada swadaya, kesukarelaan,

debat sipil, konsultasi publik, desentralisasi politik / administratif, pendelegasian

tanggung jawab, kemitraan formal antara kelompok atau organisasi,

1.2. Pendekatan PRBBM

Pendekatan terhadap partisipasi juga mengambil banyak bentuk, dan tingkat

kontrol masyarakat juga sangat bervariasi, tetapi partisipasi kadang-kadang

dikelompokkan lebih sederhana menjadi dua jenis utama: terpandu dan berpusat.

Partisipasi terpandu (atau instrumental) berusaha untuk memasukkan sebagagian

besar orang-orang dalam proyek, dalam pelaksanaan dan terkadang perencanaan.

Namun, meskipun mungkin ada konsultasi publik, didanai dan pada akhirnya

dikendalikan oleh lembaga dan profesional eksternal; dalam beberapa kasus,

partisipasi masyarakat mungkin terbatas pada melaksanakan tugas-tugas yang

ditentukan. Partisipasi yang berpusat pada masyarakat (atau transformatif)

bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dengan melibatkan mereka dalam

mendefinisikan masalah dan kebutuhan, memutuskan solusi, melaksanakan

Page 14: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

5

kegiatan yang disepakati, mengevaluasi hasil dan berbagi manfaat. Partisipasi

masyarakat dalam manajemen risiko bencana dapat menjadi tantangan dan sulit

untuk dikelola. Diperlukan fasilitasi yang baik, dan fasilitator perlu memiliki

keterampilan dan kepekaan. Mungkin harus ada perubahan sikap untuk mencapai

rasa saling menghormati dan pengertian di antara keduanya. Berikut gambar

mengenai tingkat keterlibatan dan partisipasi masyarakat dikutip dari buku Twigg,

2015 yang berjudul Pengurangan Risiko Bencana

Gambar 1.1 tingkat keterlibatan dan partisipasi masyarakat

Tujuan dari Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat adalah

memungkinkan masyarakat melindungi diri mereka sendiri secara lebih efektif

dari bahaya. Partisipasi adalah sarana untuk mencapai tujuan ini. Sejauh kita dapat

memberdayakan masyarakat dengan demikian mampu mobilisasi masyarakat

secara kolektif, dan akan berhasil. Jika hanya beberapa bagian dari komunitas

yang dilibatkan, maka dampaknya akan terbatas, kemungkinan besar

mengabaikan mereka yang paling membutuhkan, dan dalam beberapa keadaan hal

itu dapat menyebabkan perpecahan komunitas dan karenanya menjadi kegagalan

total. Untuk menghindari bahaya tersebut, harus ada pemahaman yang

menyeluruh tentang masyarakat sejak awal. Pemangku kepentingan dan analisis

situasi yang baik sangat penting untuk mengungkap komposisi masyarakat,

Page 15: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

17

BAB II

KESIAPSIAGAAN DAN KETANGGUHAN BENCANA

2.1 Kesiapsiagaan Bencana

Menurut (Surtiari, Djalante, Setiadi, & Garschagen, 2017), Indonesia

adalah salah satu negara paling rawan bencana di Bumi ini, mengingat paparannya

yang tinggi terhadap bahaya alam ditambah dengan kerentanan sosial ekonomi

yang tinggi. Berdasarkan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI), kejadian

bencana pada tahun 2019 di Indonesia mencapai 9383 peristiwa yang

mengakibatkan 911 orang meninggal dan hilang, 2,163 luka-luka, dan 5.371.345

terdampak & mengungsi.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

menyebutkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penanggung

jawab penyelenggaraan penanggulangan bencana. Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB) menjadi penanggung jawab penyelenggaraan

penanggulangan bencana di tingkat nasional dan Badan Penanggulangan Bencana

Daerah (BPBD) di tingkat daerah dengan didukung kementerian/Lembaga terkait,

seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian

Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, TNI, Polri, Badan

Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Badan Meteorologi, Klimatologi dan

Geofisika (BMKG), Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG),

dan kementerian/lembaga terkait lain.

2.1.1. Pengertian Kesiapsiagaan Bencana

BNPB menetapkan tanggal 26 April sebagai Hari Kesiapsiagaan Bencana

Nasional. Dalam Buku Saku Tanggap Tangkas Tangguh Menghadapi Bencana

(BNPB, 2008) menjelaskan bahwa untuk menghadapi ancaman bencana,

kesiapsiagaan menjadi kunci keselamatan. Kesiapsiagaan merupakan serangkaian

kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian

serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.

Terdapat lembaga dan ahli yang mendefinisikan kesiapsiagaan bencana.

Adapun beberapa definisi kesiapsiagaan bencana sebagai berikut:

Page 16: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

18

1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana, mendefinisikan kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan

yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui

pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya

guna.

2. Peraturan Kepala BNPB Nomor 17 Tahun 2011 tentang Pedoman

Relawan Penaggulangan Bencana, mendefinisikan kesiapsiagaan adalah

serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana

melalui langkah-langkah yang tepat dan berdaya guna untuk menjamin

adanya respons yang cepat dan efektif bila terjadi bencana.

3. Menurut (Tierney & Lindell, 2001), kesiapan merupakan tindakan yang

dilakukan sebelum dampak bencana yang memungkinkan unit sosial

untuk merespons secara aktif ketika bencana terjadi.

4. Menurut (O‘Leary, 2004), kesiapsiagaan bencana adalah total langkah

yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana yang akan terjadi (mis.,

analisis bahaya, pengawasan, peringatan, latihan, logistik).

5. Menurut (Coppola & Maloney, 2009), kesiapan adalah kegiatan yang

melibatkan dan memperlengkapi orang-orang yang mungkin terkena

dampak bencana, atau yang mungkin dapat membantu mereka yang

terkena dampak, dengan alat untuk meningkatkan kemungkinan mereka

untuk bertahan hidup dan untuk meminimalkan kerugian finansial dan

kerugian lainnya.

Secara garis besar, kesiapsiagaan bencana diselenggarakan dengan

maksud dan tujuan tertentu (BNPB, 2017). Maksud penyelenggaraan

kesiapsiagaan bencana sebagai berikut:

- Merencanakan dan melaksanakan latihan kesiapsiagaan sesuai dengan

ancaman di masing-masing daerah, khususnya dalam melakukan

aktivasi sirine peringatan dini (early warning system), latihan evakuasi

mandiri di sekolah/madrasah, rumah sakit, gedung, serta pemukiman

dan uji terap tempat pengungsian sementara/akhir (shelter) se-

Indonesia.

Page 17: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

19

- Mendorong latihan kesiapsiagaan yang dilakukan oleh pemerintah, baik

pusat maupun daerah, dan para pemangku kepentingan lainnya, seperti

NGO/LSM, masyarakat, sekolah, perguruan tinggi, pihak swasta seperti

hotel, perusahaan, pengelola mall, LSM, yang memerankan sesuai

dengan fungsinya masing-masing.

Secara garis besar, diselenggarakannya kesiapsiagaan bencana

bertujuan untuk:

- Menilai tindakan respon/reaksi masyarakat, baik individu, keluarga dan

komunitas untuk melakukan evakuasi yang terencana.

- Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dalam melaksanakan

Standart Operasional Prosedur (SOP) yang telah dibuat.

- Mengkaji kemampuan peralatan penunjang komunikasi sistem

peringatan dini, penunjang evakuasi, serta penunjang tanggap darurat.

- Mengkaji kerja sama antar institusi/organisasi lokal.

- Melakukan evaluasi dan mengidentifikasi bagian persiapan dan

perencanaan yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan.

Dalam buku Disaster Preparedness for Effective Response (ISDR, U.,

& OCHA, 2008) menjelaskan bahwa mempersiapkan kesiapsiagaan untuk

peristiwa bahaya utamanya berkaitan dengan dua tujuan, yaitu meningkatkan

kapasitas untuk memprediksi, memantau dan bersiap untuk mengurangi

kerusakan atau mengatasi potensi ancaman dan memperkuat kesiapsiagaan

untuk merespons dalam keadaan darurat dan untuk membantu mereka yang

terkena dampak buruk.

Terdapat sejumlah komponen kesiapsiagaan bencana (Penman et al.,

2013), yaitu kapasitas personal penduduk yang membela properti; peralatan

yang tersedia; dan kondisi lahan properti. Kapasitas personal berkaitan dengan

kapasitas praktis, fisik, dan mental penduduk yang diperlukan untuk

menanggung kondisi yang akan dihadapi saat bencana. Peralatan yang tersedia

mendefinisikan sifat dan kondisi peralatan yang diperlukan untuk

Page 18: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

20

mempertahankan properti dari paparan bencana. Kondisi lapangan terutama

berkaitan dengan faktor yang memicu terjadinya bencana.

Ukuran kesiapsiagaan secara keseluruhan ditentukan sebagai tingkat

keterpaparan yang mampu dipertahankan oleh seorang penduduk.

Kesiapsiagaan dihitung dengan menentukan kapasitas minimum di seluruh

kapasitas personal, peralatan yang tersedia, dan kondisi lahan. Berikut

penggambaran grafis dari sub-model kesiapsiagaan:

Gambar 2.1 Grafis Sub Model Kesiapsiagaan

2.1.2. Faktor yang mempengaruhi Kesiapsiagaan Bencana

Telah banyak penelitian kebencanaan yang menghasilkan sintesis temuan-

temuan dan mengidentifikasi faktor yang berpengaruh penting pada perilaku

sosial. Dalam kesiapsiagaan terdapat faktor-faktor kontekstual dalam membentuk

cara-cara di mana individu, kelompok, organisasi formal , dan masyarakat bersiap

untuk dan merespons bencana. Menurut (Tierney et al., 2001), faktor yang

mempengaruhi kesiapsiagaan individu sebagai berikut:

1. Persepsi bahaya dan penyesuaian bahaya;

2. Pengalaman bencana;

3. Faktor sosial budaya, termasuk etnis, status minoritas, dan perbedaan

bahasa;

4. Jaringan sosial dan hubungan antar organisasi;

Personal

Capacity

Available

Equipment

Condition

of The

Grounds

Capacity

of

Defend

Page 19: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

21

5. Sumber daya ekonomi, seperti pendapatan dan kekayaan;

6. Jenis kelamin; dan

7. Pengaruh sosio-demografis terkait.

Faktor sosial ekonomi dan sosial budaya mempengaruhi paparan bahaya dan

strategi dalam mengelola risiko bencana. Keuangan menjadi sumber daya yang

menentukan tindakan perlindungan diri serta mempengaruhi akses mereka ke

berbagai bentuk bantuan pascabencana. Sumber daya keuangan membeli tingkat

keamanan yang lebih tinggi, sedangkan orang yang kurang mampu cenderung

untuk tinggal perumahan berkualitas buruk yang rentan terhadap kerusakan akibat

bencana. Bahasa, ras, etnis, dan jaringan sosial memengaruhi cara orang memberi

peringatan bencana dan apa yang mereka lakukan sebagai tanggapan atas

peringatan tersebut. Kesiapsiagaan bencana berhubungan erat dengan kerentanan

bencana. Pendekatan untuk menjelaskan kerentanan bencana sejalan dengan teori

tentang cara-cara yang dilakukan untuk membentuk peluang hidup dan

pengalaman hidup.

2.1.3. Pengembangan Kesiapsiagaan

Fase kesiapsiagaan mencakup pengembangan rencana yang dirancang untuk

menyelamatkan nyawa dan untuk meminimalkan kerusakan saat terjadi

bencana(Centers for Disease Control and Prevention [CDC], 2014). Langkah-

langkah pencegahan dan kesiapsiagaan bencana harus dikembangkan dan

diberlakukan jauh sebelum bencana terjadi. Rencana kesiapsiagaan harus

dikembangkan berdasarkan identifikasi potensi bencana dan risiko terkait yang

terkait dengan bencana tersebut. Jika memungkinkan, rencana kesiapsiagaan harus

mencakup pemetaan bahaya untuk menentukan lokasi yang memiliki risiko tinggi

untuk bencana tertentu. Rencana tersebut harus mencakup pelatihan tenaga

kesehatan, anggota masyarakat, dan calon responden pertama lainnya, serta

membangun sistem untuk mengkomunikasikan peringatan kepada masyarakat.

Strategi untuk mengevakuasi masyarakat rentan sebelum bencana yang akan

terjadi harus dipikirkan dengan baik dan dikomunikasikan kepada anggota

Page 20: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

42

BAB III

KONSEPSI DESA TANGGUH BENCANA

Indonesia adalah negara paling rawan bencana kedua di dunia, dengan lebih

banyak gempa bumi dan gunung berapidaripada negara lain (Maarif, 2010).

Pemerintah Indonesia menghubungkan kebijakan pusat dan undang-undang

penanggulangan bencana untuk menanggulangi risiko bencana yang signifikan. Salah

satu strategi yang akan digunakan untuk mewujudkan pengurangan risiko bencana

adalah melalui pengembangan desa-desa dan kelurahan-kelurahan yangtangguh

terhadap bencana(Perka BNPB Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum

Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, 2012). Pengembangan Desa/Kelurahan

TangguhBencana juga sejalan dengan Visi Badan Nasional Penanggulangan

Bencana: ―Ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana‖.

Kajian risiko bencana sebagai upaya pengurangan risiko bencana,

memperhatikan tiga aspek yang terdiri dari ancaman, kerentanan, dan kapasitas dalam

menghadapi bencana (Wardani & Putra, 2016). Salah satuupaya pengurangan risiko

bencana yang sedang dilakukan memperkuat kapasitas masyarakat. Penguatan

kapasitas masyarakat yang dilakukan adalah pengembangan Desa Tangguh Bencana

(DESTANA).

3.1. Pengerian

Berdasarkan Perka BNPB Nomor 1 Tahun 2012 menerangkan, Desa/Kelurahan

Tangguh Bencana adalah desa/kelurahan yang memiliki kemampuan mandiri untuk

beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana,serta memulihkan diri dengan segera

dari dampak bencana yang merugikan,jika terkena bencana. Dengan demikian sebuah

Desa/Kelurahan TangguhBencana adalah sebuah desa atau kelurahan yang memiliki

kemampuan untukmengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir

sumber dayamasyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus

meningkatkankapasitas demi mengurangi risiko bencana. Kemampuan ini

Page 21: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

43

diwujudkandalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-

upayapencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan

peningkatankapasitas untuk pemulihan pasca keadaan darurat.

Tujuan dari adanya program Desa Tangguh Bencana (DESTANA) dalam Perka

BNPB Nomor 1 Tahun 2012 sebagai berikut:

1. Memberikan panduan bagi pemerintah dan/atau pemerintah daerah

dalammengembangkan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana sebagai bagian

dariupaya untuk melaksanakan pengurangan risiko bencana berbasismasyarakat;

2. Memberikan acuan bagi pelaksanaan pengembangan Desa/KelurahanTangguh

Bencana bagi aparatur pelaksana dan pemangku kepentinganPRB.

Pengembangan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana merupakan salah satuupaya

pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat. Pengurangan risikobencana

berbasis masyarakat adalah segala bentuk upaya untuk mengurangiancaman bencana

dan kerentanan masyarakat, dan meningkatkan kapasitaskesiapsiagaan, yang

direncanakan dan dilaksanakan oleh masyarakat sebagaipelaku utama. Dalam

Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, masyarakat terlibataktif dalam mengkaji,

menganalisis, menangani, memantau, mengevaluasidan mengurangi risiko-risiko

bencana yang ada di wilayah mereka, terutamadengan memanfaatkan sumber daya

lokal demi menjamin keberkelanjutan.

Secara garis besar terdapat 6 komponen dalam Desa/Kelurahan Tangguh

Bencana sebagai berikut:

1. Legislasi: penyusunan Peraturan Desa yang mengatur pengurangan risikodan

penanggulangan bencana di tingkat desa;

2. Perencanaan: penyusunan rencana Penanggulangan Bencana Desa;Rencana

Kontinjensi bila menghadapi ancaman tertentu; dan RencanaAksi Pengurangan

Risiko Bencana Komunitas (pengurangan risikobencana menjadi bagian terpadu

dari pembangunan);

Page 22: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

44

3. Kelembagaan: pembentukan forum Penanggulangan BencanaDesa/Kelurahan

yang berasal dari unsur pemerintah dan masyarakat,kelompok/tim relawan

penanggulangan bencana di dusun, RW dan RT,serta pengembangan kerjasama

antar sektor dan pemangku kepentingandalam mendorong upaya pengurangan

risiko bencana;

4. Pendanaan: rencana mobilisasi dana dan sumber daya (dari APBDKabupaten/

Kota, APBDes/ADD, dana mandiri masyarakat dan sektorswasta atau pihak-

pihak lain bila dibutuhkan);

5. Pengembangan Kapasitas: pelatihan, pendidikan, dan penyebaraninformasi

kepada masyarakat, khususnya kelompok relawan dan parapelaku

penanggulangan bencana agar memiliki kemampuan dan berperanaktif sebagai

pelaku utama dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan,dan evaluasi

kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana;

6. Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana: kegiatan-kegiatan mitigasi fisik

struktural dan non-fisik; sistem peringatan dini; kesiapsiagaan untuktangggap

darurat, dan segala upaya pengurangan risiko melalui intervensipembangunan

dan program pemulihan, baik yang bersifat struktural-fisikmaupun non-

struktural.

3.2. Penilaian Ketangguhan Bencana

Desa/Kelurahan Tangguh Bencana dibagi menjadi tiga kriteria utama,

yaituDesa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama, Madya dan Pratama. Kriteria

iniditetapkan berdasarkan tingkat pencapaian atas beberapa indikator yangtercantum

dalam kuesioner. Pertanyaan dalam kuesioner disusun dengan jawaban ―Ya‖ atau

―Tidak‖ dan setiap jawaban ―Ya‖ akan diberi skor 1, sementara jawaban ―Tidak‖

akan diberi skor 0. Berdasarkan penilaian ini desa atau kelurahan dapat

dikelompokkan menjadi:

Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama (skor 51-60)

Page 23: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

45

Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Madya (skor 36-50)

Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Pratama (skor 20-35)

Tabel 3.1 Aspek dan Indikator Desa/Kelurahan Tangguh Bencana

ASPEK INDIKATOR YA/

TIDAK

Legislasi

1. Apakah telah ada upaya-upaya awal untuk

menyusun kebijakan PRB di tingkat desa atau

kelurahan?

(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 4,

bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)

2. Apakah kebijakan PRB di tingkat desa atau

kelurahan telah tersusun secara konsultatif dan

melibatkan seluruh pemangku kepentingan?

(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 4,

bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)

3. Apakah kebijakan PRB di tingkat desa atau

kelurahan telah dilegalkan dalam bentuk Perdes

atau perangkat hukum serupa di kelurahan?

Perencanaan

4. Apakah telah ada upaya-upaya awal untuk

menyusun dokumen perencanaan

penanggulangan bencana seperti Rencana

Penanggulangan Bencana, Rencana Aksi PRB

atau Rencana Kontinjensi?

(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no 7,

bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)

5. Apakah dokumen perencanaan penanggulangan

bencana seperti Rencana Penanggulangan

Bencana, Rencana Aksi PRB atau Rencana

Kontinjensi telah tersusun?

(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 7,

bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)

6. Apakah dokumen perencanaan penanggulangan

bencana seperti Rencana Penanggulangan

Bencana dan Rencana Aksi PRB yang tersusun

telah dipadukan ke dalam Rencana Pembangunan

Desa atau Kelurahan? (Lanjutkan ke

pertanyaan selanjutnya)

7. Apakah telah ada upaya-upaya awal untuk

membentuk forum PRB?

(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 10,

bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)

8. Apakah forum PRB yang beranggotakan wakil-

Page 24: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

46

Kelembagaan wakil dari masyarakat dan pemerintah, termasuk

kelompok perempuan dan kelompok rentan telah

terbentuk dan mulai berfungsi walau belum

terlalu aktif?

(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 10,

bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)

9. Apakah forum PRB yang terbentuk telah

berfungsi aktif dengan program-program

pengurangan risiko yang terencana dan

diimplementasikan dengan baik?

(Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)

Kelembagaan

10. Apakah telah ada upaya-upaya awal untuk

membentuk tim relawan/siaga PB

Desa/Kelurahan yang terutama akan terlibat

dalam tanggap darurat bencana, PRB dan

pendidikan kebencanaan?

(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 13,

bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)

11. Apakah tim relawan/siaga PB Desa/Kelurahan

telah terbentuk dan memiliki kelengkapan

personil dan peralatan yang memadai untuk

melaksanakan tugasnya?

(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 13,

bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)

12. Apakah tim relawan/siaga PB Desa/Kelurahan

telah secara rutin melakukan kegiatan pelatihan,

praktik simulasi, dan geladi respons tanggap

darurat bagi para anggotanya dan masyarakat,

melalui kegiatan-kegiatan yang terencana dan

terprogram dengan baik?

(Lanjutkan ke pertanyaan selanjutnya)

Kelembagaan

13. Dalam upaya pengurangan risiko bencana,

apakah sudah ada pembicaraan untuk menjalin

kerjasama dengan desa/kelurahan lain,

kecamatan, kabupaten, pihak swasta, organisasi

sosial dll ?

(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no.

16, bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan

selanjutnya)

14. Apakah sudah ada perjanjian kerjasama yang

disepakati bersama dengan desa/kelurahan lain,

kecamatan, kabupaten, pihak swasta, organisasi

sosial, dll?

(Bila ‘Tidak’ lanjutkan ke pertanyaan no. 16,

bila ‘Ya’ lanjutkan ke pertanyaan

selanjutnya)

Page 25: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

61

BAB IV

PENILAIAN RISIKO BENCANA

4.1. Pengertian Risiko

Menurut definisi yang dipaparkan (UNDRO 1979; Dao & Peduzzi, 2004),

risiko mengacu pada kerugian yang timbul akibat bahaya tertentu yang terjadi pada

elemen tertentu yang berisiko dalam jangka waktu tertentu di masa depan. Kerugian

dapat diperkirakan dari segi korban, atau bangunan hancur atau secara finansial yang

ditimbulkan. Berbicara dalam konteks kerugian, tentu memberikan pengaruh terhadap

pembangunan kehidupan suatu manusia. Dalam hal ini tentu akan lebih baik apabila

hilangnya mata pencaharian juga ikut diperhitungkan dalam penentuan kerugian,

mata pencaharian didefinisikan sebagai ―perintah yang dimiliki dan dikerjakan oleh

seseorang atau keluarga atau kelompok lain atas suatu penghasilan dan / atau

kumpulan sumber daya yang dapat digunakan atau ditukar untuk memenuhi

kebutuhannya‖ (Blaikie et al, 2003). Dapat dikatakan bahwa risiko mewakili kerugian

dan bahaya dapat didefinisikan sebagai potensi ancaman bagi manusia.

Jenis ancaman dapat dibedakan kedalam kategori seperti bahaya buatan

manusia (konflik, kecelakaan teknis, dll) dan bahaya alam yang diakibatkan oleh

penyebab iklim, tektonik atau biologis (banjir, kekeringan, gempa bumi, epidemic,

dll). Bahaya adalah kejadian ekstrim yang dapat menimbulkan risiko dan berpotensi

menjadi bencana jika elemen yang terpapar rentan. Dalam kasus risiko kematian,

elemen yang berisiko adalah populasi yang terpapar. Terjadinya bahaya mengacu

pada frekuensi periode kembali pada besaran tertentu, sedangkan kerentanan adalah

tingkat kerugian untuk setiap elemen jika bahaya dengan tingkat keparahan tertentu

terjadi.

(Crichton 1999; Wolf, 2012)memperluas pendekatan yang digunakan dalam

manajemen bencana dengan segitiga menggambarkan itu dan bagaimana risiko

bergantung pada komponennya bahaya, kerentanan dan keterpaparan. Hubungan

antara ketiga komponen tersebut sangatlah erat, apabila ada satu komponen yang

Page 26: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

62

meningkat, sedangkan dua lainnya tetap konstan, risiko yang terjadi akan meningkat.

Sekali lagi, risiko dapat dinilai dengan menilai tiap komponennya dan kemudian

menggabungkan hasil penilaian tiap komponen. Berbicara terkait dengan dampak

yang ditimbulkan, komponen ketiga dari risiko yaitu kerentanan, perlu dilihat lebih

dekat sebagai kasus yang luar biasa. Kerentanan didefinisikan sebagai sejauh mana

properti dalam hal ini meliputi manusia dan benda atau makhluk disektitarnya akan

mengalami kerusakan atau kerugian. Kerentanan diukur dalam kaitannya dengan

kerusakan atau kerusakan yang diharapkan dan begitu juga dengan risiko.

Risiko selalu melibatkan gagasan tentang teori kemungkinan terjadi. Informasi

terkait dengan kapan" atau seberapa seringnya risiko terjadi, menunjukkan bahwa

terjadi hubungan antara frekuensi kerusakan atau hanya definisi periode kembali

untuk peristiwa tertentu secara terus menerus. Sementara kerentanan hanya

menginformasikan tentang konsekuensi dari kemungkinan kejadian buruk. Maka dari

itu hubungan besaran dan frekuensi dapat menjadi alat penting untuk mendukung

pengambilan keputusan tingkat risiko. Manajer bencana bertanggung jawab untuk

memutuskan langkah apa yang harus disiapkan dan dilakukan oleh komunitas.

Apabila dikaitkan dengan pendapat yang dikemukakan oleh (Thywissen, 2006)maka

risiko dapat dipahami sebagai fungsi dari bahaya, kerentanan, keterpaparan, dan

ketahanan.

4.2. Indikator Risiko

Pengkajian risiko bencana merupakan sebuah pendekatan untuk

memperlihatkan potensi dampak negatif yang mungkin timbul akibat suatu potensi

bencana yang ada. Potensi dampak negatif tersebut dihitung juga dengan

mempertimbangkan indikator –indikator risiko itu sendiri, Menilik berdasarkan

definisi risiko itu sendiri, negara Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (BNPB) mengemukakan bahwa risiko memiliki tiga indikator yang

dituangkan dalam pengertian risiko dibawah ini

Page 27: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

63

―Potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu kawasan dan kurun

waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya

rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan

masyarakat‖ (BNPB, 2012).

1. Bahaya (Hazard)

Bahaya adalah fenomena ataupun aktivitas manusia yang dapat

menyebabkan hilangnya nyawa atau luka, kerusakan harta benda, kehidupan

sosial ekonomi terganggu maupun penurunan kualitas lingkungan. Setiap

ancaman atau bahaya memiliki karakteristik berupa keterkaitannya terhadap

peluang, lokasi, waktu, dan besarnya dampak (intensitas atau magnitudo).

Dampak yang ditimbulkan dari terjadinya sebuah bencana dapat diminimalisir

bahkan dihindari dengan cara mengenali dan memahami terlebih dahulu

ancaman atau bahaya yang ada. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah

dengan penilaian bahaya (hazard assessment). Penilaian bahaya yang

dilakukan meliputi kegiatan analisis aspek fisik yang berasal dari fenomena

atau kejadian alam melalui pengumpulan data historis, interpretasi data

topografi, geologi, hidrologi untuk mendapatkan prakiraan kemungkinan

spasial dan temporal datangnya kejadian dan besarnya bahaya. Kemudian

dapat dilakukan pemetaan bahaya (hazard mapping), untuk menampilkan

karakteristik dari bahaya tersebut baik dari sifat dan jenis bahaya yang terjadi,

waktu terjadinya bencana dan durasi dampak yang ditimbulkan serta luas

daerah pengaruh sebagai zona-zona bahaya yang berguna untuk langkah

mitigasi bencana.

2. Kerentanan (Vulnerability)

Kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau

menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bencana. Disebut

sebagai kerentanan (BNPB, 2012). Kerentanan disebutkan sebagai komponen

yang digunakan untuk menggambarkan keterpaparan daerah tersebut ketika

bencana terjadi, dengan kata lain kerentanan juga dapat disebut sebagai

Page 28: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

64

kecenderungan seseorang. Sistem seperti masyarakat atau ekonomi, struktur

atau aset yang terpengaruh oleh dampak bahaya alam. Komponen risiko

kerentanan ini jika dikompilasikan dengan bahaya, kerentanan yang tinggi

adalah faktor yang mempertinggi nilai risiko yang dihadapi. Kerentanan disini

dilihat dari emapt segi yaitu segi sosial, fisik, ekonomi, dan lingkungan.

3. Kapasitas (Capacity)

Berdasarkan Perka nomor 3 tahun 2012 tentang Panduan Penilaian Kapasitas

Daerah Dalam Penanggulangan Bencanaapasitas adalah kemampuan daerah

dan masyarakat untuk melakukan tindakan pengurangan ancaman dan potensi

kerugian akibat bencana secara terstruktur, terencana dan terpadu.

4.3. Analisis Risiko

Perhitungan risiko bencana menggunakan pendekatan fungsi dari tiga

komponen pembentuk risiko bencana, yaitu yaitu komponen bahaya, kerentanan dan

kapasitas(Mohd. Robi Amri et al., 2016). Perhitungan risiko bencana sangat

dipengaruhi oleh ketiga komponen penyusunnya. Dari ketiga komponen penyusun

risiko, hanya komponen bahaya yang tidak diturunkan parameternya, selain itu

terdapat turunan dalam perhitungan parameternya. Dalam analisis data, pengaruh

masing-masing komponen yang dalam hal ini bobot mempunyai presentase berbeda

di tiap komponennya, meliputi komponen bahaya 40%, komponen kerentanan 30%

dan komponen kapasitas 30%. Pengkajian risiko menggunakan rumus umum sebagai

berikut:

Penentuan risiko bencana menggunakan tiga tahap yang terbagi menjadi klasifikasi

data, pembobotan dan skoring (IRBI, 2018).

Page 29: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

65

1. Klasifikasi Data

Data yang digunakan terdiri dari data bahayaper jenis bencana untuk

mewakili komponen bahaya, data jiwa terpapar, kerugian rupiah dan

kerusakan lingkungan (ha) per jenis bencana untuk mewakili komponen

kerentanan dan data kapasitas pemerintah daerah perkabupaten/kota.untuk

mewakili komponen kapasitas.

2. Pembobotan

Penentuan bobot per jenis bahaya (komponen 1) ditentukan berdasarkan

hubungan antara frekuensi kejadian dengan adanya tidakperingatan. Bobotper

jenis bahaya dan nilai tingkat bahaya 1 untukrendah, 2 untuk sedang dan 3

untuk tinggi.

Bobot kerentanan (komponen 2) berbeda dengan komponen bahaya

yang dihitung berdasarkanindeks penduduk terpapar dalam jiwa,kerugian

dalam rupiah dan kerusakan lingkungan dalam hektar.Komponen kapasitas

disusun untuksemua jenis bencana berdasarkan parameterkapasitas regulasi,

kelembagaan, sistemperingatan dini, pendidikan, pelatihan,

keterampilan,mitigasi, dan sistem kesiapsiagaan.

Masing-masing parameter kemudian dikelompokkan menjadi 3 kelas

yang kemudian digunakan untuk menghitung risiko bencana dengan

menggunakan rumus risiko. Penentuan interval kelas masing-masing indeks

jenis bencana dilakukan menggunakan nilai indeks dari kelas 1 untuk rendah,

kelas 2 untuk sedang dan kelas 3 untuk tinggi.

3. Skoring

Penentuan skor untuk masing- masing parameter dilakukan dengan

metode pengkalian antarakelas (1, 2, dan 3) dengan bobot yang

telahditentukan. Skor masing- masing parameterkemudian dijumlahkan secara

keseluruhan untukmemperoleh skor total bencana di wilayah kabupaten / kota.

Page 30: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

76

BAB V

RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA

DAN RENCANA KONTINJENSI

5.1. Rencana Penanggulangan Bencana

Bencana alam, baik yang bersumber dari meterorologi seperti banjir,

kekeringan, angin puting beliung, dan tornado maupun bersumber dari geologi

seperti gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung api merupakan bencana alam

yang dampaknya dapat merusak kehidupan manusia, ekonomi dan lingkungan.

Indonesia merupakan Negara kepulauan dimana masyarakatnya hidup

berdampingan dengan bencana alam baik meteorologi maupun geologi dengan

tingkat kepadatan penduduk yang tinggi menempatkan Indonesia kedalam

kerentanan terhadap bencana tinggi.Oleh sebab itu perlu adanya suatu manajemen

dalam menghadapi bencana. Dimana tercantum dalam UU No 27 Tahun 2007

mengenai penanggulangan bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana

yaitu serangkaian kegiatan yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang

beresiko menimbulkan bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat,

dan rehabilitasi.Sedangkan pencegahan bencana adalah suatu kegiatan yang

dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko terhadap suatu kejadian

bencana, baik melalui pengurangangan ancaman bencana, ataupun kerentanan

pihak yang terancam bencana. Menurut Peraturan Kepala Badan Penanggulangan

Bencana Nomor 4 Tahun 2008, rangkaian penanggulangan bencana sebagai

berikut:

1. Pra Bencana yang meliputi:

- Situasi tidak terjadi bencana

- Situasi ada potensi bencana

2. Saat tanggap darurat yang dilakukan dalam situasi terjadi bencana

3. Pascabencana yang dilakukan setelah terjadi bencana

Page 31: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

77

Gambar 5.1 Tahapan Penanggulangan Bencana

Sumber: Panduan Perencanaan Kontijensi Menghadapi Bencana (Edisi Kedua),

BNPB 2011

Pada gambar diatas menjelaskan bahwasannya pada saat Pra-Bencana

kegiatan yang lebih banyak dilakukan adalah pencegahan dan mitigasi serta

kesiapsiagaan jauh sebelum terjadinya bencana terjadi. Upaya ini dirasa untuk

mengantisipasi terjadinya banyak sedikitnya korban jiwa yang akan timbul akibat

bencana. Pada saat terjadi bencana tanggap darurat merupakan kegiatan yang

berperan besar sebagai upaya untuk menyelamatkan diri ke lokasi yang aman dari

bencana. Tahapan pasca bencana merupakan tahapan recovery atau pemulihan

ulang kembali baik dari segi pembangunan secara struktural ataupun memulihkan

kembali keadaan seperti sebelum terjadi bencana.

Berdasarkan tahap penanggulangan bencana diatas, dapat disusun rencana

dalam penanggulangan bencana yang berisi:

1. Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster Management Plan)

2. Rencana Mitigasi (Mitigation Plan)

3. Rencana Kontinjensi (Contigency Plan)

4. Rencana Operasi (Operational Plan)

5. Rencana Pemulihan (Recovery Plan)

Page 32: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

78

Gambar 5.2 Rencana Penanggulangan Bencana pada Setiap Tahapan

Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

Sumber: Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nomor 4

Tahun 2008

Dalam UN / ISDR 2004 juga menjelaskan fase-fase penanggulangan bencana

secara global sebagai berikut:

1. Prediction, pada tahap ini dilakukan kegiatan mitigasi dan kesiapsiagaan.

Fase ini termasuk kedalam tindakan struktural yang dilakukan untuk

mengurangi serta membatasi dampak yang merugikan dari bencana alam,

termasuk kedalam penerbitan peringatan dini yang tepat waktu dan efektif

serta evakuasi properti beserta manusia dari lokasi bahaya.

2. Warning, pada tahap ini mengacu pada penyediaan informasi secara tepat

waktu dan efektif melalui lembaga yang berwenang. Hal ini bertujuan

supaya individu yang terpapar oleh bahaya dapat mengambil tindakan

untuk menyelamatkan diri, sehingga risiko timbulnya korban dapat

dikurangi.

3. Emergency Relief, pada tahap ini merupakan fase pemberian bantuan

sesegera mungkin setelah terjadinya bencana berupa kebutuhan dasar

hidup untuk korban yang terkena bencana. Memiliki durasi langsung,

pendek, atau berkepanjangan.

Page 33: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

79

4. Rehabilitation, pada tahap ini mencangkup keputusan dan tindakan yang

diambil setelah bencana dengan tujuan untuk memulihkan kembali kondisi

masyarakat sebelum terjadi bencana, dengan dibarengi dorongan dan

memfasilitasi penyesuaian yang diperlukan untuk mengurangi risiko

bencana.

5. Reconstruction, pada tahap ini kegiatan yang dilakukan yaitu mencangkup

semua kegiatan dari awal prediksi berupa kegiatan mitigasi dan

kesiapsiagaan sampai dengan tahap rehabilitasi dengan kondisi setelah

terjadi bencana sehingga memiliki cara yang berbeda dari sebelum terjadi

bencana dan sesudah terjadi bencana dengan tujuan untuk mitigasi dan

kesiapsiagaan yang lebih baik lagi dan risiko yang ditimbulkan

kedepannya dapat ditekan lagi.

Perencanaan penanggulangan bencana disusun berdasarkan analisis risiko

bencana dan penjabarannya serta menjadi bagian dari rencana pembangunan baik

jangka panjang, menengah, dan rencana kerja pemerintah tahunan. Secara garis

besar berdasarkan (Suriadi et al., 2008)penyususan rencana penanggulangan

bencana dijabarkan pada tahap-tahap sebagai berikut:

1. Pengenalan dan pengkajian bahaya

Sebagai masyarakat yang hidup di antara banyaknya ancaman bahaya,

masyarakat Indonesiadiharuskan untuk selalu waspada akan kondisi

lingkungan disekitar. Ancaman bencana disuatu wilayah harus dapat

dikenali melalui tanda-tanda yang terlihat baik berupa pengetahuan

mengenai potensi bencana ataupun berdasarkan tanda yang tampak

terlihat jelas. Kemudian dibuat daftar potensi bencana dan langkah-

langkah penanggulangannya. Pada prinsipnya pembuatan rencana

penangulangan ini dibuat berdasarkan pengelolaan risiko bencana

secara holistik. Potensi bahaya yang ada disekitar kita berupa bencana

alam, bencana ulah manusia, ataupun kedaruratan kompleks. Dalam

konteks pembahasan buku ini mengenai Desa Tangguh Bencana maka

Page 34: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

80

bencana yang diartikan disini yaitu bencana alam gempa bumi, tanah

longsor, tsunami, banjir, letusan gunung api, dan kebakaran hutan.

2. Pengenalan kerentanan

Kerentanan (vulnerability) adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia

atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi

bahaya atau ancaman. Kerentanan dapat berupa kerentanan fisik,

kerentanan sosial, kerentanan ekonomi, dan kerentanan lingkungan.

1) Kerentanan fisik yaitu kekuatan menghadapi bencana dalam segi

kekuatan bangunan, baik bangunan rumah atau bangunan seperti

tanggul.

2) Kerentanan sosial yaitu kondisi sosial masyarakat dalam

menghadapi bencana seperti segi pendidikan yang kurang terhadap

pengetahuan mengenai risiko bencana yang kurang menjadikan

masyarakat rentan, tingkat kesehatan yang rendah juga

meingkatkan indeks kerentanan.

3) Kerentanan ekonomi yaitu berdasarkan kondisi ekonomi

masyarakat. Semakin rendah ekonomi masyarakat maka semakin

rentan terhadap suatu bencana karena tidak dapat melakukan upaya

pencegahan dan mitigasi bencana.

4) Kerentanan lingkungan yaitu berupa kondisi lingkungan sekitar

yang mempengaruhi, seperti masyarakat yang tinggal di bantaran

sungai maka rentan bencana banjir, masyarakat yang tinggal di

lereng bukit akan rentan bencana longsor, masyarakat yang tinggal

di kaki gunung api akan rentan bencana gunung meletus, dsb.

3. Analisis kemungkinan dampak bencana

Risiko = f (Bahaya x Kerentanan/Kemampuan)

Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin tinggi

risiko daerah tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin tinggi

tingkat kerentanan masayarakat atau penduduk, maka semakin tinggi

pula tingkat risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi tingkat

kemampuan masyarakat, maka semakin kecil risiko yang dihadapinya.

Page 35: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

97

BAB VI

FORUM PENGURANGAN RISIKO BENCANA

6.1. Konsepsi Forum Pengurangan Risiko Bencana

Berbagai Negara di Dunia pada tahun 1990an belum memiliki kerangka

hukum untuk mitigasi bencana, bahkan masih dilakukuan oleh lembaga tertentu

yang dibentuk untuk bantuan darurat, jelas bahwa metode ini tidak dapat bertahan

karena tanggung jawab saat bencana dan mitigasi cenderung diberikan kepada

hanya satu badan yang memiliki sumberdaya terbatas sehingga tingkat tanggung

jawab dapat diperjelas dengan mengacu pada Negara dan masyarakat umum

(Ingleton, 1999). Adanya desentralisasi tanggung jawab dalam pengurangan

risiko bencana pada satu lembaga akan membuat masalah yang berkelanjutan

pada suatu daerah. Dalam manajemen risiko bencana akhir-akhir ini terdapat

pemahaman yang sama bahwa pemerintah daerah dan masyarakat lokal adalah

poin focus terpenting (Shaw, Shiwaku, & Takeuchi, 2011). Pembangian tugas

secara menyeluruh dan saling kerjasama antara lembaga baik dalam bidang

pemerintahan dan non pemerintahan akan mencapai tujuan yang terbaik dalam

pengurangan risiko bencana dengan menyediakan seperangkat pedoman tentang

pembuatan kebijakan untuk mengurangi kerentanan yang menyebabkan penyebab

sebenarnya dari bencana itu sendiri (Alcántara-Ayala et al., 2017). Semua

lembaga baik pemeritah dan non pemerintah serta masyarakat memiliki

kepentingan yang sama dalam hal pengurangan risiko bencana sehingga

diperlukan adanya wadah dalam bentuk forum pengurangan risiko bencana atau

disingkat dengan FPRB. Semua actor yang terlibat dalam forum pengurangan

risiko bencana memiliki peran yang sama dalam mengurangi risiko bersama-sama

dan tentunya dengan masyarakat yang rentan yang merupakan actor utama dalam

mitigasi, kesiapsiagaan, respon, dan pemulihan tingkat lokal (Twigg, 2015).

Undang – undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan

Peraturan Pemerintah No. 21 Penyelenggaraan penanggulangan bencana beserta

peraturan – peraturan turunannya menyebutkan secara spesifik tentang

diperlukannya suatu wadah atau mekanisme untuk memfasilitasi kerjasama para

Page 36: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

98

pihak dalam upaya penguranag risiko bencana melalui suatu forum PRB. Forum

pengurangan resiko bencana menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana

(BNPB) adalah Wadah yang menyatukan organisasi pemangku kepentingan, yang

bergerak dalam mendukung upaya-upaya pengurangan risiko becana (PRB).

Pembentukan Forum PRB dilakukan pada tingkat nasional maupun lokal yang

meliputi tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota hingga tingkat Desa/Kelurahan.

Pembentukan FPRB merupakan salah satu bentuk penyusunan rencana aksi

pengurangan risiko bencana yang disusun secara menyeluruh dan terpadu yang

meliputi unsur dari Pemerintah, non pemerintah, masyarakat dan lembaga usaha

yang dikoordinasikan oleh BNPB maupun BPBD. Forum pengurangan risiko

bencana dalam PP No. 21 Tahun 2008 merupakan sebuah rencana aksi

pengurangan risiko bencana yang terdiri dari rencana aksi nasional dan daerah.

Perbedaan keduannya adalah rencana aksi nasional ditetapkan oleh kepala BNPB

setelah dikoordinasikan dengan instansi atau lembaga yang bertanggung jawab

dibidang perencanaan pembangunan nasional dan rencana aksi daerah ditetapkan

oleh BPBD setelah dikoordinasikan dengan instansi atau lembaga yang

bertanggung jawab dibidang perencanaan pembangunan daerah dengan mengacu

pada rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana. Rencana aksi baik

nasional maupun daerah ditetapkan untuk jangka 3 tahun dan dapat ditinjau sesuai

dengan kebutuhan.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Forum PRB

merupakan suatu mekanisme koordinasi dan berperan dalam pembentukan dan

pengembangan sistem PRB menyeluruh. Diharapkan forum PRB akan dapat

mengawal pencapaian upaya-upaya kerja PRB Pembentukan forum PRB harus

memperhatikan partisipasi atau perwakilan dari berbagai unsur meliputi

pemerintahan, lembaga usaha, organisasi masyarakat, kelompok-kelompok

profesi, kategori-kategori lain termasuk kelompok difabel, kelompok perempuan

dan keterwakilan dari wilayah.

Forum pengurangan risiko bencana di Indonesia sudah dilakukan diberbagai

daerah baik skala nasional, provinsi, kabupaten/kota dan desa/kelurahan. Salah

satu forum yang pernah dibentuk di Indonesia adalah Forum PRB DIY – Jawa

Page 37: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

99

Tengah yang didirikan pada tahun 2009-2010. Kegiatan yang dilakukan forum

PRB diantarannyan (a) Perencanaan secara cepat (b) Kerjasama dengan

pemerintah daerah (c) Mewadahi anggota forum yang sesuai kebutuhan,

memfasilitasi, koordinasi yang mendorong mengatasi bencana Merapi (e) Rapat

koordinasi forum PRB diadakan dua hari sekali (f) Mengkordinasi dengan pihak –

pihak lain seperti pemerintahan Provinsi, Pemerintah Daerah, Lembaga LSM, dan

media massa (Lestari, Prabowo, & Wibawa, 2012). Unit wilayah terkecil seperti

desa juga perlu dibentuk suatu forum PRB sebagai bentuk pengorganisasian desa

tangguh bencana atau DESTANA. Forum dibentuk untuk mengawal upaya-upaya

kerja PRB dan menjamin keterlibatan, integrasi dan kesinambungan PRB. Forum

ini mempermudah BPBD dalam mengawasi kegiatan serta memberikan

pengarahan kepada masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa forum ini

sebagai perantara antara masyarakat dan BPBD. Forum pengurangan risiko

bencana yang memiliki tujuan sebagai pihak koordinator dalam penyelenggaraan

penanggulangan bencana pada suatu desa. Forum ini dapat dikatakan BPBD

tingkat desa yang memiliki kewenangan mengatur segala sesuatu yang berkaitan

mengenai penanggulangan bencana (Kusumaratih & Satlita, 2015). Guna

mendukung kerja-kerja operasional dari forum PRB maka dibentuk relawan yang

mendukung dan menjamin kerja penanggulangan benna dari pra bencana, saat

bencana dan pasca bencana yang disusun oleh forum PRB dapat terlaksana.

6.2. Mekanisme Pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana Desa

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pendoman Umum Desa/kelurahan Tangguh

Bencana bahwa untuk mendukung upaya pengurangan risiko bencana, Desa dan

Kelurahan perlu membentuk Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB). Forum

ini dapat dibentuk secara khusus atau mengembangkan kelompok yang telah ada

di desa dan kelurahan. Forum ini tidak menjadikan bagian dari struktur resmi

pemerintahan desa/kelurahan, tetapi pemerintahan dapat terlibat di dalamnya

bersama komponen masyarakat sipil lainnya. Pembentukan Forum Pengurangan

Risiko Bencana Desa/Kelurahan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

Page 38: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

100

1. Penting menghadirkan dan menyuarakan kepentingan kelompok rentan

dan mereka yang terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan

2. Perlu ada keterwakilan semua unsur masyarakat dan keikutsertaan

kelompok marjinal dalam kepengurusan

3. Perlu dijamin agar forum memiliki kelompok kerja yang kompak, efektif,

dapat dipercaya dan kreatif

4. Forum Pengurangan Risiko Bencana Desa/ Kelurahan perlu diberi

kewenangan yang cukup dan status hokum yang pasti, sehingga dapat

menjalin kerjasama dan hubungan kelembagaan yang baik dengan

pemerintahan Desa/Kelurahan dan pemangku kepentingan lainnya.

5. Forum perlu menyusun rencana kerja yang realistis dan dapat dikerjakan,

lengkap dengan prioritas rencana aksi masyarakat serta sumber

penganggarannya.

Berbagai alasan pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana di desa

yang akan dibentuk FPRB seperti memiliki potensi atau berada pada kawasan

rawan bencana, belum adanya organisasi masyarakat sosial kemasyarakatan

tingkat desa yang mengurusi mengenai bencana, adanya potensi kemandirian

warga atau masyarakat desa yang belum terwadai dalam hal penanggulangan

bencana, serta belum adanya pendanaan untuk pengurangan risiko bencana yang

terkordinir secara tepat.

Tujuan dari pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) di

Desa meliputi forum ini sebagai wadah untuk melakukan kerja kebencanaan di

tingkat desa, adanya program dan anggaran yang terwadai dalam lembaga,

menyadarkan berbagai pihak pentingnya kesiapsiagaan dalam kebencanaan,

mempermudah komunikasi warga dalam pengurangan risiko bencana,

menimalkan jatuhnya korban apabila terjadi bencana, memperlancar komunikasi

pemerintahan desa dengan pihak-pihak terkait dengan urusan bencana, dan

mempercepat penanganan bila terjadi bencana. Dilihat dari tujuan dari

pembentukan FPRB maka dapat disimpulkan bahwa forum ini menjunjung nilai

dan norma antara lain saling menghormati satu sama lain, kebersamaan,

Page 39: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

101

mendorong kepedulian berbagai pihak, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, dan

mengutamakan kepentingan umum dari kepentingan pribadi.

Mekanisme pembentukan forum pengurangan risiko bencana desa merujuk

pada hasil kajian risiko bencana yang menunjukan adanya kebutuhan masyarakat.

Hasil dari kajian tersebut dibawa ke dalam rembug desa dan disepakati adanya

wadah seluruh elemen masyarakat desa. Wadah tersebut selanjutnya disebut

forum pengurangan risiko bencana desa. Mekanisme pembentukan forum PRB

desa sangat fleksibel sesuai kondisi desa. Menurut Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (2020) tahapan proses pembentukan forum

pengurangan risiko bencana dan relawan tingkat desa meliputi

1. Persiapan (Inisiasi)

Pada tahapan persiapan meliputi beberapa tahapan

a. Pertemuan dengan tokoh-tokoh kunci di tingkat desa untuk

menjelaskan perlunya forum dan relawan untuk meyatukan berbagai

pihak, meliputi pemangku kepentingan, tokoh masyarakat dan elemen

dalam masyarakat yang memiliki perhatian dalam pengurangan risiko

bencana di tingkat desa.

b. Mengidentifikasi keberadaan semua kelompok masyarakat yang dapat

menjadi pendukung pembentukan forum dan organisasi relawan di

desa yang dapat berfungsi sebagai wahana untuk kegiatan

pengurangan risiko bencana bagi masyarakat.

c. Dalam identifikasi ini bisa juga dilakukan dengan mengisi formulir

yang berisi informasi dasar dari setiap kelompok masyarakat. Apabila

menggunakan formulir harus dilakukan di dalam kelompok –

kelompok kecil.

2. Pelaksanaan (pembentukan)

Pembentukan draft struktur organisasi forum dan relawan termasuk personil

tugas-tugasnya:

a. Kelompok kerja memutuskan untuk menguatkan forum dan relawan

yang sudah ada (yang belum ada forum dan relawan membentuk

forum dan relawan lebih dahulu) atau memperbarui yang ada sesuai

Page 40: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

106

DAFTAR PUSTAKA

Abarquez, I., & Murshed, Z. (2004). Community Based Disaster Risk

Management: Field Practitioners’ Handbook. Retrieved from

http://info.worldbank.org/etools/docs/library/230352/Session-3/Reading 3 -

ADPC Handbook.pdf

Alcántara-Ayala, I., Sassa, K., Mikoš, M., Han, Q., Rhyner, J., Takara, K., …

Briceño, S. (2017). The 4th World Landslide Forum: Landslide Research and

Risk Reduction for Advancing the Culture of Living with Natural Hazards.

International Journal of Disaster Risk Science, 8(4), 498–502.

https://doi.org/10.1007/s13753-017-0139-4

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2020). Pengembangan Forum

Relawan PRB Desa (VIII 2020). Indonesia: Badan Nasional Penanggulangan

Bencana.

Badan Pusat Statistika. (2020). Statistik Indonesia 2020 Statistical Yearbook of

Indonesia 2020. Statistical Yearbook of Indonesia, April, 192.

Bahagia, N., Sandee, H., & Meeuws, R. (2013). State of Logistics Indonesia 2013.

http://www.panteia.eu/nl/News/2013/09/~/media/9

PanteiaEU/files/StateofLogisticsIndonesia2013.ashx

Ben Wisner, Piers Blaikie, T. C. and I. D. (2003). AT RISK Natural hazards,

people‘s vulnerability and disasters (Second edition). In Routledge (Second

Edi, Vol. 2). Retrieved from

http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&PAGE=reference&D=emed6&N

EWS=N&AN=2003372014

BNPB. (2008). Tanggap Tangkas Tangguh Menghadapi Bencana. Pedoman

Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana., 62.

https://doi.org/10.1016/j.jpcs.2003.10.007

BNPB. (2017). Buku Pedoman Latihan Kesiapsiagaan: Membangun Kesadaran,

Kewaspadaan, dan Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Bencana. In N.

Kumalasari, Susilastuti, J. Tarigan, & T. Mulyadi (Eds.), BNPB.

https://doi.org/10.24198/jkk.v1i1.6031

BNPB. (2018). Buku IRBI 2018 Diterbitkan Oleh : Badan Nasional

Penanggulangan Bencana.

Buchari, A., Santoso, M. B., & Marlina, N. (2017). Jurnal Analisis dan Kebijakan

Publik. Jurnal Analisis Kebijakan Dan Pelayanan Publik, 3(1), 1–13.

Centers for Disease Control and Prevention [CDC]. (2014). Disaster

Preparedness and Response Training: Complete Course. Retrieved from

https://www.cdc.gov/nceh/hsb/disaster/Facilitator_Guide.pdf

Coppola, D., & Maloney, E. (2009). Communicating Emergency Preparedness:

Strategies for Creating a Disaster Resilient Public. In Disaster Prevention

and Management: An International Journal.

https://doi.org/10.1108/09653561111126139

Dao, H., & Peduzzi, P. (2004). Global evaluation of human risk and vulnerability

Page 41: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

107

to natural hazards. Hy Dao, Pascal Peduzzi, “Global Evaluation of Human

Risk and Vulnerability to Natural Hazards”, Enviro- Info 2004, 1–12.

Retrieved from http://www.em-dat.net/

Hendarsah, H. (2012). Pemetaan Partisipatif Ancaman, Strategi Coping Dan

Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana

Berbasis Masyarakat Di Kecamatan Salam Kabupaten Magelang.

Sosiokonsepsia, 17(03), 318–335.

Hennik, M. M. (2014). Focus Group Discussions. Oxford University Press 2014.

Hutter, I., Hennink, M. M., & Bailey, A. (2010). Qualitative Research Methods.

Ingleton, J. (1999). Natural Disaster Management (C. Trowbridge, ed.). Retrieved

from http://www.ghbook.ir/

IOM. (2011). Community-Based Disaster Risk Management: Experiences from

Indonesia.

ISDR, U., & OCHA, U. (2008). Disaster Preparedness for Effective Response

Guidance and Indicator Package for Implementing Priority Five of the

Hyogo Framework Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the

resilience of nations and communities to disasters. 60. Retrieved from

https://www.unisdr.org/files/2909_Disasterpreparednessforeffectiveresponse.

pdf

Kusumaratih, A., & Satlita, L. (2015). Manajemen Desa Tangguh Bencana Di

Desa Poncosari Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul Daerah Istimewah

Yogyakarta. Jurnal Adinegara, 5(1), 1–15.

Lassa, J, Pujiono, P., Pristiyanto, D., & ... (2009). Kiat Tepat Mengurangi Risiko

Bencana. In Jakarta: Gramedia …. Retrieved from

https://www.researchgate.net/profile/Jonatan_Lassa1/publication/328230831

_Kiat_tepat_mengurangi_risiko_bencana_pengelolaan_risiko_bencana_berb

asis_komunitas_PRBBK/links/5bc00031458515a7a9e2a03b/Kiat-tepat-

mengurangi-risiko-bencana-pengelolaan-risiko-benca

Lassa, Jonathan, Paripurno, E. T., Jannah, N. M., Pujiono, P., Magatani, A.,

Pristianto, J., … Parlan, H. (2014). Pengelolaan risiko bencana berbasis

komunitas (prbbk). Indonesia: MPBI.

Lestari, P., Prabowo, A., & Wibawa, D. A. (2012). Manajemen Komunikasi

Bencana Merapi 2010 pada saat Tanggap Darurat. Jurnal Ilmu Komunikasi,

10, 173–197. Retrieved from http://bencana.bappenas.go.id/imdff/renaksi-

Maarif, S. (2010). Desa Tangguh : Resilient Villages in Indonesia.

Maskrey, A. (2011). Revisiting community-based disaster risk management.

Environmental Hazards, 10(1), 42–52.

https://doi.org/10.3763/ehaz.2011.0005

Mohd. Robi Amri, Yulianti, G., Yunus, R., Wiguna, S., Adi, A. W., Ichwana, A.

N., … Septian, R. T. (2016). Risiko Bencana Indonesia (R. Jati & M. R.

Amri, eds.). Jakarta: BNBP.

O‘Leary, M. (2004). Measuring Disaster Preparedness: A Practical Guide to

Indicator Development and Application. Retrieved from

Page 42: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

108

http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf

Oktari, R. S. (2019). Peningkatan Kapasitas Desa Tangguh Bencana. Jurnal

Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(2), 189–197.

https://doi.org/10.22146/jpkm.29960

Pambudi, N. A. (2018). Geothermal power generation in Indonesia, a country

within the ring of fire: Current status, future development and policy.

Renewable and Sustainable Energy Reviews, 81(March 2017), 2893–2901.

https://doi.org/10.1016/j.rser.2017.06.096

Penman, T. D., Eriksen, C., Blanchi, R., Chladil, M., Gill, A. M., Haynes, K., …

Bradstock, R. A. (2013). Defining adequate means of residents to prepare

property for protection from wildfire. International Journal of Disaster Risk

Reduction, 6, 67–77. https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2013.09.001

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun

2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.

Perka BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan

Tangguh Bencana, Peraturan Kepala BNPB (2012).

https://doi.org/10.19641/j.cnki.42-1290/f.2012.03.022

Pribadi, K. S., Argo, T., Mariani, A., Parlan, & Hening. (2011).

IMPLEMENTATION OF COMMUNITY BASED DISASTER RISK

MANAGEMENT IN INDONESIA: PROGRESS, ISSUES AND

CHALLENGES. In R. Osti & K. Miyake (Eds.), Forms of Community

Participation in Disaster Risk Management Practices. Nova Science

Publishers.

Shaw, R., Shiwaku, K., & Takeuchi, Y. (2011). Community, Environment and

Disaster Risk Management. https://doi.org/10.1108/s2040-

7262(2011)0000008018

Sukmana, O. (2018). PENGETAHUAN DAN NILAI KEARIFAN SOSIAL

DALAM PROSES MANAJEMEN BENCANA GUNUNG KELUD (Studi

di Desa Pandansari, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang). Sosio

Konsepsia, 7(3), 190–204. https://doi.org/10.33007/ska.v7i3.1417

Surtiari, G. A. K., Djalante, R., Setiadi, N. J., & Garschagen, M. (2017). Disaster

Risk Reduction in Indonesia. In Disaster Risk Reduction in Indonesia:

Progress, Challenges and Issues. https://doi.org/10.1007/978-3-319-54466-3

Takeuchi, Y., Mulyasari, F., & Shaw, R. (2011). ROLES OF FAMILY AND

COMMUNITY IN DISASTER EDUCATION. Disaster Education

Community, Environment and Disaster Risk Management, 7, 77–94.

Thywissen, K. (2006). Components of Risk. A Comparative Glossary. UNU-EHS

Publications, Germany. https://doi.org/10.1093/iclqaj/24.3.577

Tierney, K. J., & Lindell, M. K. (2001). Facing the Unexpected. In Facing the

Unexpected. https://doi.org/10.17226/9834

Torrens Resilience Institute. (2015). A way to measure Community Disaster

Resilience Community Disaster Resilience Scorecard Toolkit, Version 2

Community Disaster Resilience Scorecard Toolkit. June, 26.

Page 43: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

109

Twigg, J. (2015). Disaster Risk Reduction. In Humanitarian Policy Group.

https://doi.org/10.4337/9781782548232.00014

UNISDR. (2009). Terminology on Disaster Risk Reduction. United Na_tions

International Strategy for Disaster Risk Reduction.

Wandasari, Shandra L (2013). Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan

Dalam Mewujudkan Pengurangan Risiko Bencana. Unnes Law Journal, 2(2),

137–150.

Wolf, S. (2012). Vulnerability and risk: Comparing assessment approaches.

Natural Hazards, 61(3), 1099–1113. https://doi.org/10.1007/s11069-011-

9968-4

Wardani, N. R., & Putra, D. F. (2016). Strengthening Local Capacity for Disaster

Risk Reduction. 1st International Conference on Geography and Education

(ICGE 2016), 79, 13–17.

Zhao, L., He, F., & Zhao, C. (2020). A framework of resilience development for

poor villages after the wenchuan earthquake based on the principle of ―build

back better.‖ Sustainability, 12. https://doi.org/10.3390/su12124979

Page 44: PENGEMBANGAN DESA TANGGUH BENCANA

110

Diterbitkan Oleh:

Pramudita Press [email protected]