pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

105
PENGEMBANGAN ALGORITMA UNTUK ESTIMASI KEDALAMAN PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN DATA LANDSAT-7 ETM + (Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta) PRIHATIN IKA WAHYUNINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Transcript of pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

Page 1: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

PENGEMBANGAN ALGORITMA UNTUK ESTIMASI KEDALAMAN PERAIRAN DANGKAL

MENGGUNAKAN DATA LANDSAT-7 ETM+ (Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta)

PRIHATIN IKA WAHYUNINGRUM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

Page 2: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Algoritma untuk Estimasi Kedalaman Perairan Dangkal Menggunakan Data Landsat-7 ETM+ (Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

Prihatin Ika Wahyuningrum

NIM C551020211

Page 3: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

ABSTRAK

PRIHATIN IKA WAHYUNINGRUM. Pengembangan Algoritma untuk estimasi kedalaman perairan dangkal menggunakan data Landsat-7 ETM+ (Studi kasus: Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta). Di bawah bimbingan: INDRA JAYA (Ketua), dan DOMU SIMBOLON (Anggota). Kebutuhan terhadap pemetaan batimetri perairan dangkal sangat diperlukan sekali untuk berbagai macam pekerjaan keteknikan dan keamanan pelayaran. Penelitian ini mencoba mengestimasi kedalaman perairan dangkal menggunakan citra satelit Landsat-7 ETM+ dan menentukan kombinasi terbaik dari algoritman Van Hengel dan Spitzer (VHS) mencari model nilai digital asli (NDA) terbaik. Model NDA terbaik diperoleh melalui analisis korelasi, analisis komponen utama (PCA) dan menerapkan beberapa model regresi terhadap citra satelit Landsat-7 ETM+ band 1, 2 dan 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Kedalaman perairan dangkal di Pulau Pari, sebagai lokasi penelitian, dapat diestimasi dari citra satelit Landsat-7 ETM+; 2) Kombinasi band 321 citra satelit Landsat 7 ETM+ adalah kombinasi terbaik dari algoritma VHS; 3) Model NDA terbaik untuk estimasi kedalaman perairan dangkal adalah persamaan eksponensial y = 21.07e-0.0591x; 4) Model NDA terbaik mempunyai galat rata-rata yang lebih kecil pada kedalaman kurang dari 9 meter sedangkan algoritma VHS mempunyai galat rata-rata yang lebih kecil pada kedalaman lebih dari 9 meter. Kata kunci: Kedalaman perairan dangkal, algoritma Van Hengel dan Spitzer (VHS), model

nilai digital asli (NDA), galat

Page 4: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

Abstract PRIHATIN IKA WAHYUNINGRUM. The improving algorithm to estimate shallow water depth by using Landsat-7 ETM+ Data (Case study: Pari Island, Seribu Islands, Jakarta. Supervised by INDRA JAYA and DOMU SIMBOLON.

The need for accurate shallow water mapping is highly desireable for various engineering work and navigational safety. The current research attempts to estimate shallow water depth using Landsat-7 ETM+ and to formulate the best combination of Van Hengel and Spitzer algorithm and the best original digital number model. The best digital number model is obtained by correlation analysis, Principal Component Analysis (PCA) and application of regression model to 1st, 2nd and 3rd bands of Landsat-7 ETM+ satellite images. The results show that: (1) Shallow water depth in Pari Island, as a study site, can be estimated from Landsat-7 ETM+; (2) Combination of 321 bands of Land Satellite-7 Enhanched Thematic Mapper Plus (Landsat-7 ETM+ )is the best combination of algorithm of Van Hengel and Spitzer; (3) The best model to estimate shallow water depth from original digital number is exponential equation: y = 21.07e-0.0591x; (4) The best original digital number model has smaller mean error at the depth of less than 9 meter while the Van Hengel and Spitzer algorithm has smaller mean error at the depth of more than 9 meter. Keywords: Shallow water depth, Van Hengel and Spitzer algorithm, original digital

number model, mean error

Page 5: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya

ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Institut Pertanian Bogor.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.

Page 6: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

PENGEMBANGAN ALGORITMA UNTUK ESTIMASI KEDALAMAN PERAIRAN DANGKAL

MENGGUNAKAN DATA LANDSAT-7 ETM+ (Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta)

PRIHATIN IKA WAHYUNINGRUM

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

Page 7: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

Penguji luar komisi: Dr. Ir. Bisman Nababan, M. Sc

Page 8: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

Judul Tesis : Pengembangan Algoritma untuk Estimasi Kedalaman Perairan Dangkal Menggunakan Data LANDSAT-7 ETM+ (Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta)

Nama : Prihatin Ika Wahyuningrum NIM : C551020211

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian: 16 Agustus 2007 Tanggal Lulus:

Page 9: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, pertologan dan karunia-Nyalah sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2004 ini adalah Pengembangan Algoritma untuk Estimasi Kedalaman Perairan Dangkal Menggunakan Data Landsat-7 ETM+ (Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta). Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc dan Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya (disela-sela kesibukan beliau) dalam menyempurnakan tesis ini. Terima kasih juga untuk Dr. ir. Bisman Nababan, MSc untuk kesediannya menjadi Dosen Penguji serta masukan-masukan yang membangun. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. John Haluan selaku ketua Program Studi TKL, juga seluruh dosen yang telah membagi ilmu dan diskusi-diskusinya sampai penulis menyelesaikan S2. Ucapan terimakasih untuk Ir. Rahmat Kurnia, M.Si yang telah meluangkan waktu dlm konsultasi statistik. Risti Endriani Arhatin, S.Pi, M.Si untuk diskusi dan persahabatannya. Bang Cacul untuk citra gratisnya. Muhammad Syahdan, S.Pi, M.Si untuk bantuan ke lapang. Gunawan, S.Pi; Pak Yayat; Nurdin dan teman-teman yang telah membantu pengambilan data lapang. Baharuddin, S. Kel, M.Si untuk diskusi-diskusi pasut dan arc viewnya, teman-teman yang sedang melanjutkan belajar di luar negeri (Zinoel, Shinta, Atik, Bang Acho dan teman-teman lain) yang telah membantu mencarikan jurnal-jurnal terkait dengan penelitian ini.

Terima kasih untuk teman-teman di TKL, terutama TKL’02 atas kenangan indah selama kebersamaan kita. Teman-teman di WCS (Wildlife Conservation Society) untuk pembelajaran, support dan keceriaannya.

‘Motivatorku’ untuk semua kata-kata bijak yang telah menyadarkan aku untuk segera menyelesaikan studi. Mbak Shinta dan Mbak Qib, semoga Allah membalas dengan kebaikan yang berlimpah. Juga untuk MS yang selalu mensupport dari jauh. Teman-teman pejuang syariah dan khilafah; juga untuk Iil, Agustin, Etik, Husni, Siti; teman-teman di Wisma Agung 1 dan 3; adik-adikku semuanya untuk kerelaannya tetap saling mengingatkan. The Last but not the least untuk Ayah, Bunda, Dek Heni, Dek Aji, Dedek atas untaian doa yang tidak pernah putus, jerih payah, harapan, kepercayaan, motivasi, fasilitas dan kasih sayang yang tiada henti, serta kerelaan ‘hilangnya’ kebersamaan selama penulis melanjutkan studi di Bogor; “Semuanya takkan pernah cukup hanya dengan kata”. Semoga tesis ini bermanfaat khususnya bagi penulis, rekan-rekan lain yang mengangkat masalah sejenis ini dan perkembangan ilmu pengetahuan di masa depan.

Bogor, Agustus 2007

Prihatin Ika Wahyuningrum

Page 10: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 13 Juni 1978, anak pertama dari empat bersaudara, buah cinta dari pasangan Ayahanda Sudari, BA dan Ibunda Mursinah, BA. Penulis memulai pendidikan dasarnya di SD Kanisius Cungkup I Salatiga kemudian dilanjutkan di SDN Wonokriyo 2 Gombong, Kebumen (lulus tahun 1990), kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 2 Gombong (lulus tahun 1993). Tahun 1996, penulis lulus dari SMA Negeri 1 Gombong dan diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Perikanan -kemudian menjadi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK)- Program Studi Ilmu Kelautan dan menyelesaikan studi pada tahun 2001 dengan skripsi yang berjudul “Studi Evaluasi Kesesuaian Wilayah Perairan untuk Budidaya Rumput Laut (Eucheuma) dengan Pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis”. Tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat strata dua (S2) di Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB. Selama mengikuti program S2, penulis aktif sebagai pengurus Forum Mahasiswa Teknologi Kelautan (FORMULA – IPB) serta aktif pada berbagai kegiatan nonprofit di luar kampus.

Penulis pernah aktif di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB dan di Laboratorium Model dan Simulasi Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan IPB. Juga pernah bekerja sebagai staff pengolah dan interpretasi data di PT Waindo SpecTerra Indonesia dari Bulan Oktober 2001-September 2002. Saat ini bekerja di WCS-Marine Indonesia sebagai konsultan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi.

Page 11: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

ix

DAFTAR ISI PRAKATA .................................................................................................................... vii RIWAYAT HIDUP ....................................................................................................... viii DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix DAFTAR TABEL .......................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................... xiii GLOSARI .................................................................................................................... xiv 1. PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1 1.2 Permasalahan .................................................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................... 4 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 4 1.5 Hipotesis ........................................................................................................... 4 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 5

2.1 Penginderaan Jauh .......................................................................................... 5 2.2 Transfer Cahaya (Radiative Transfer) dalam Sistem Sensor

Satelit-Matahari-Laut ........................................................................................ 5 2.3 Sifat-sifat Optik dan Unsur Utama Penyusunnya dalam Penginderaan Jauh ... 8 2.4 Penginderaan Jauh untuk Menduga Kedalaman .............................................. 11 2.5 Karakteristik LANDSAT-7 ETM+ ....................................................................... 13

2.6 Kedalaman Perairan dengan Survei Echo Sounder ......................................... 15 2.7 Pasang Surut .................................................................................................... 16 2.8 Pengertian Perairan Dangkal ............................................................................ 17 3. METODE PENELTIAN ............................................................................................ 18

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................... 18 3.2 Alat dan Bahan .................................................................................................. 18

3.2.1 Alat ......................................................................................................... 18 3.2.2 Bahan ..................................................................................................... 18

3.3 Pengumpulan dan Pengolahan Data Lapangan ................................................ 20 3.3.1 Pengukuran kedalaman ........................................................................... 20 3.3.2 Pengukuran pasang surut ........................................................................ 20 3.3.3 Koreksi pasang surut ............................................................................... 20

3.4 Pengolahan Data Penginderaan Jauh ............................................................... 22 3.4.1 Koreksi radiometrik .................................................................................. 23 3.4.2 Koreksi geometrik .................................................................................... 24 3.4.3 Pembatasan wilayah penelitian (image cropping) .................................... 25 3.4.4 Pemisahan obyek laut dan bukan laut (image masking) .......................... 26 3.4.5 Transformasi citra .................................................................................... 26 3.4.6 Klasifikasi citra ......................................................................................... 26

Page 12: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

x

3.5 Pengolahan Model Nilai Digital Asli ................................................................... 27 3.5.1 Analisis korelasi ....................................................................................... 27 3.5.2 Analisis komponen utama ........................................................................ 27 3.5.3 Penyusunan model penduga kedalaman dengan nilai respon spektral

data Landsat-7 ETM+ ............................................................................... 27 3.5.4 Pemilihan model terbaik ........................................................................... 28

3.6 Pengolahan Algoritma Van Hengel dan Spitzer ................................................ 28 3.7 Galat (Error) Model Nilai Digital Asli dengan Algoritma Van Hengel dan

Spitzer ............................................................................................................... 30 4. HASIL ...................................................................................................................... 32

4.1 Koreksi Radiometrik .......................................................................................... 32 4.2 Koreksi Geometrik ............................................................................................ 35 4.3 Pembatasan Wilayah Penelitian (Image Cropping)........................................... 35 4.4 Pemisahan Obyek Laut dan Bukan Laut (Image Masking) ............................... 35 4.5 Transformasi dengan Algoritma Van Hengel dan Spitzer ................................. 37

4.5.1 Penentuan arah rotasi citra .............................................................. 37 4.5.2 Pengolahan algoritma Van Hengel dan Spitzer ............................... 38

4.6 Pembuatan Model dengan Nilai Digital Asli ..................................................... 42 4.6.1 Penentuan koefisien korelasi ........................................................... 42

4.6.2 Komponen utama pembentuk model .............................................. 42 4.6.3 Kandidat model ................................................................................ 43 4.6.4 Pemilihan model terbaik ................................................................... 44

4.7 Galat (Error) Model Nilai Digital Asli dan Algoritma Van Hengel dan Spitzer ... 46 5. PEMBAHASAN ...................................................................................................... 49

5.1 Koreksi Radiometrik .......................................................................................... 49 5.2 Koreksi Geometrik ............................................................................................ 51 5.3 Pembatasan Wilayah Penelitian (Image Cropping)........................................... 52 5.4 Pemisahan Obyek Laut dan Bukan Laut (Image Masking) ............................... 52 5.5 Algoritma Van Hengel dan Spitzer .................................................................... 52 5.6 Model dengan Nilai Digital Asli ......................................................................... 55 5.7 Evaluasi Kemampuan Algoritma Van Hengel dan Spitzer serta Model

Kedalaman Nilai Digital Asli Terbaik dalam Menyajikan Informasi Kedalaman Perairan ........................................................................................................... 57

5.8 Evaluasi Kemampuan Citra Satelit Landsat-7 ETM+ dalam Menyajikan Informasi Kedalaman Perairan ......................................................................... 58

6. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 60

6.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 60 6.2 Saran ................................................................................................................ 60

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 61 LAMPIRAN ................................................................................................................. 65

Page 13: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

xi

DAFTAR TABEL 1 Karakteristik Landsat–7 .............................................................................. 14 2 Spesifikasi Sensor ETM+ ............................................................................ 14 3 Model regresi yang dicobakan ....................................................................... 28 4 Susunan 6 kombinasi citra masukan algoritma Van Hangel dan Spitzer ...... 29 5 Nilai spektral sebelum dan setelah koreksi geometrik .................................. 32 6 Hasil perhitungan nilai varian band 1, band 2 dan band 3 Landsat-7 ETM+ .. 37 7 Hasil perhitungan nilai kovarian band 1, band 2 dan band 3 Landsat-7 ETM+ 37 8 Nilai konstanta arah rotasi citra (r dan s)........................................................ 38 9 Persamaan regresi linear sederhana dan persamaan untuk menentukan kedalaman absolut ........................................................................................ 39 10 Koefisien korelasi antar peubah bebas Landsat-7 ETM+ .............................. 42 11 Komponen utama pembentuk model pada Landsat-7 ETM+ ......................... 43 12 Kandidat model penduga kedalaman ............................................................ 43 13 Rangkuman hasil analisis residual kandidat model band 1 ............................ 44 14 Rata-rata dan selang galat (error) pada masing-masing kelas kedalaman ... 46

halaman

Page 14: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

xii

DAFTAR GAMBAR 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pantulan cahaya menuju sensor

(a) penyebaran oleh bahan anorganik tersuspensi, (b) penyebaran oleh molekul-molekul air, (c) absorpsi oleh komponen yellow substance, (d) refleksi dari dasar perairan dan (e) penyebaran oleh komponen fitoplankton (Sathyendranath 2000) ............................................................... 6

2 Komponen spektral cahaya matahari yang diterima oleh sensor satelit (Senga 2002 yang diacu dalam Hendiarti 2003) ............................................ 7 3 Penyinaran cahaya dan interaksinya di bawah dan di atas permukaan air (Hendiarti 2003) ........................................................................................ 8 4 Koefisien penyerapan cahaya oleh air murni, klorofil a (1mg/m3) dan yellow substance (1mg/dm3) (Siegel 1986 yang diacu dalam Hendiarti 2003) ......... 10 5 Lokasi penelitian ........................................................................................... 19 6 Desain survei kedalaman .............................................................................. 22 7 Koreksi radiometrik dengan metode feature space ........................................ 23 8 Ilustrasi teknik pemilihan GCP ....................................................................... 25 9 Diagram alir proses pengolahan data ............................................................ 31 10 (a) Histogram citra band 1 sebelum koreksi radiometrik dan (b) Histogram citra band 1 setelah koreksi radiometrik ........................................................ 33 11 (a) Citra sebelum koreksi radiometrik dan (b) Citra setelah koreksi radiometrik ..................................................................................................... 34 12 (a) Citra RGB (321) sebelum masking dan (b) Citra RGB (321) setelah masking ....................................................................................................... 36 13 Grafik persamaan regresi dan koefisien determinasi kedalaman relatif algoritma Van Hangel dan Spitzer ................................................................ 40 14 Peta estimasi kedalaman laut menggunakan algoritma Van Hangel dan Spitzer ........................................................................................................... 41 15 Peta estimasi kedalaman laut menggunakan Model Nilai Digital Asli ........... 45 16 Grafik kedalaman lapang (ZL), estimasi kedalaman dengan Model Van

Hengel dan Spitzer 321 (ZVH321) dan estimasi kedalaman dengan Model Nilai Digital Asli (ZNDA) .................................................................................. 47

17 Galat (error) estimasi kedalaman dengan Model Van Hengel dan Spitzer (321) dan estimasi kedalaman dengan Model Nilai Digital Asli dalam persen (%) ..................................................................................................... 48

halaman

Page 15: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

xiii

DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta batimetri di perairan Gugus Pulau Pari ................................................... 65 2 Histogram citra sebelum dan setelah koreksi radiometrik .............................. 66 3 Contoh perhitungan nilai ur dan us sehingga menghasilkan nilai konstanta r dan s ............................................................................................................ 68 4 Nilai digital kedalaman relatif pada masing-masing citra dengan menggunakan algoritma Van Hengel dan Spitzer .......................................... 70 5a Hasil analisis residual kandidat model band 1 (linear) ................................... 77 5b Hasil analisis residual kandidat model band 1 (llogaritmik) ............................ 78 5c Hasil analisis residual kandidat model band 1 (power) .................................. 79 5d Hasil analisis residual kandidat model band 1 (eksponensial) ....................... 80 6 Perbandingan nilai kedalaman lapang (ZL), estimasi kedalaman dengan algoritma Van Hengel dan Spitzer 321 (ZVH321) serta model nilai digital asli terbaik (ZNDA) dan nilai galat (error) pada masing-masing titik kedalaman .... 81

halaman

Page 16: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

xiv

GLOSARI Algoritma : serangkaian langkah bertahap atau perintah yang dirancang

dan diprogramkan ke komputer untuk melakukan suatu fungsi spesifik atau untuk memecahkan suatu masalah (Ilyas dan Rais 1997)

Band : o disebut juga channel atau saluran. Suatu julat spektrum elektromagnetik yang dirancang untuk kepentingan misi tertentu pada sebuah pengindera. Sebuah pengindera sekurang-kurangnya memiliki satu saluran.

o sekumpulan data berisi nilai-nilai yang disimpan dalam suatu berkas (file) yang menggambarkan spectrum elektromagnetik tertentu (Howard 1991)

Batimetri : ilmu yang mempelajari pengukuran kedalaman laut, samudera atau tubuh perairan lainnya dan pemetaan topografi yang sama dari kedalaman tersebut (Nurjaya 1992; Sager 1998)

Citra : Gambaran kenampakan permukaan bumi hasil penginderaan pada spectrum elektromagnetik tertentu yang ditayangkan pada layar atau disimpan pada media rekam/cetak (Howard 1991)

Citra Digital : suatu citra yang mempunyai nilai-nilai numerik yang melukiskan sifat warna keabu-abuan (grey tones) dimana setiap nilai numerik tersebut memiliki suatu sifat warna keabu-abuan yang berlainan (Jupp 1990)

Citra Satelit : Citra hasil penginderaan suatu jenis satelit tertentu (Howard 1991)

ER Mapper : Perangkat lunak pengolah data berbasis raster buatan Earth Resources Mapping, Australia

Ground Control Point (GCP)

: Titik yang digunakan dalam menetapkan atau mengesahkan proses transformasi geometrik, juga digunakan sebagai titik referensi pada pengukuran lapangan, titik kontrol medan harus tampak jelas dan diketahui baik pada citra maupun di lapangan (Lillesand dan Kiefer 1990)

Histogram : Penayangan grafis seperangkat data yang memperlihatkkan frekuensi kejadian dari pengukuran (sepanjang sumbu vertikal) atau nilai-nilai individual (sepanjang sumbu horisontal) suatu distribusi frekuensi (Ilyas el al. 1997)

Irradiance reflectance

: perbandingan antara penyinaran ke atas dan ke bawah tepat di bawah permukaan air pada satuan panjang gelombang

Kalibrasi : Suatu proses yang membandingkan pengukuran spesifik sebuah instrumen terhadap pengukuran suatu instrumen standar (Ilyas el al. 1997)

Page 17: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

xv

Klasifikasi :

Proses pengolahan data citra menjadi peta tematik. Proses klasifikasi dapat berupa proses digital maupun proses manual (Danoedoro 1996)

Klasifikasi digital : Proses klasifikasi dengan mempergunakan metode kalkulasi algoritmis. Proses klasifikasi digital dapat berupa klasifikasi terselia (supervised/penentuan objek ditentukan penafsir) atau tak terselia (unsupervised/penentuan objek diserahkan kepada komputer) (Danoedoro 1996)

Klasifikasi multispektral

: Proses klasifikasi digital yang dilakukan dengan citra multispektral (Danoedoro 1996)

Koefisien Attenuasi : Besarnya pengurangan intensitas cahaya didalam air untuk saluran tertentu yang disebabkan oleh serapan dan hamburan oleh air (Biertwith 1993)

Koreksi Geometrik : Kegiatan ini juga sering dinamakan rektifikasi. Memperbaiki kemencengan, rotasi dan perspektif citra sehingga orientasi, projeksi dan anotasinya sesuai dengan yang ada pada peta. Koreksi geometri terdiri dari koreksi sistematik (karena karakteristik alat) dan non sistematik (Karena perubahan posisi penginderaan). Koreksi sistematik biasanya telah dilakukan oleh penyedia data. Koreksi non sistematik biasanya dilakukan dengan suatu proses koreksi geometri. Proses ini memerlukan ikatan yang disebut titik kontrol medan (ground control point/GCP) (Jensen 2000). GCP tersebut dapat diperoleh dari peta, citra yang telah terkoreksi atau tabel koordinat penjuru. GCP kemudian disusun menjadi matriks transformasi untuk rektifikasi citra

Koreksi Radiometrik : Langkah untuk memperbaiki kualitas visual citra dan memperbaiki nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran obyek yang sebenarnya (Jensen 2000)

Landsat (Land Satellite)

: Seri satelit sumberdaya alam milik Amerika Serikat yang mengelilingi bumi untuk mendapatkan citra multispektral pada band sinar tampak-infra merah jauh (Anonim 1999).

Laut Dangkal : wilayah perairan yang dekat dan berbatasan dengan daratan berada pada zone neritik pelagic. Perairan ini berada di pinggiran daratan utama, lautan sangat dangkal menutupi bawah air benua yang disebut paparan benua yang mencakup 7-8 persen seluruh luas lautan, mempunyai kemiringan sangat landai dari pantai sampai kedalaman 200m (Nybakken 1996)

Nadir : Titik permukaan bumi yang secara perspektif berada di bawah pusat lensa kamera atau lensa pandang (Iqbal 1983)

Pandangan sinoptik : Kemampuan melihat atau mengukur suatu wilayah dalam waktu dan kondisi yang sama

Page 18: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

xvi

Penajaman Citra : Proses memperbaiki kenampakan visual pada citra untuk menghasilkan citra yang memiliki kenampakan visual yang lebih baik misalnya dengan ekualisasi histogram atau dengan filter (Jensen 2000)

Penginderaan Jauh : Pengumpulan dan pencatatan informasi tanpa kontak langsung pada julat elektromagnetik ultraviolet, tampak, inframerah dan mikro dengan mempergunakan peralatan seperti penyiam (scanner) dan kamera yang ditempatkan pada wahana bergerak seperti pesawat udara atau pesawat angkasa dan menganalisis informasi yang diterima dengan teknik interpretasi foto, citra dan pengolahan citra (Fussel, Rundquist and Harrington 1986). Istilah ini juga memiliki pengertian yang sama untuk Remote Sensing (Inggris), Teledetection (Perancis) dan Sensoriamento Remoto (Spanyol)

Perairan Pantai : Daerah perairan (laut) yang masih terpengaruh oleh aktivitas daratan (Pratikno et al 1996)

Restorasi Citra : Perbaikan atau pemulihan citra untuk memperbaiki kesalahan data dengan melakukan koreksi geometrik dan radiometrik (Jensen 2000)

Resolusi : o Ukuran ketelitian data citra satelit o Kemampuan menampilkan sejumlah pixel pada layer

tayangan o Kemampuan semua jenis pengindera (lensa, antenna,

tayangan, bukaan rana, dll.) untuk menyajikan citra tertentu dengan tajam. Ukuran dapat dinyatakan dengan baris per mm atau meter. Pada citra RADAR resolusi biasa dinyatakan dalam lebar pancaran efektif dan panjang jangkauan. Pada citra infra merah resolusi biasa dinyatakan dalam IFOV. Resolusi juga dapat dinyatakan dalam perbedaan temperatur atau karakter lain yang mampu diukur secara fisik (Weissel 2005)

Resolusi spasial : Ukuran terkecil suatu obyek yang masih dapat dideteksi oleh suatu sistem pencitraan (Danoedoro 1996)

Resolusi temporal : Kemampuan suatu sistem untuk merekam ulang daerah yang sama (Danoedoro 1996)

Resolusi radiometrik : Kemampuan sensor dalam mencatat respons spektral obyek. Dinyatakan dalam satuan mWattcm-2sr. Kemampuan sensor ini secara langsung dikaitkan dengan kemampuan koding (digital coding) yaitu mengubah intensitas pantulan atau pancaran spektral menjadi angka digital. Kemampuan ini dinyatakan dlm bit (Danoedoro 1996)

Resolusi spektral : Kemampuan suatu sistem optik elektronik untuk membedakan informasi (obyek) berdasarkan pantulan atau pancaran spektralnya (Danoedoro 1996)

Page 19: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

xvii

Transformasi : Suatu metode analisis yang digunakan untuk mengolah nilai piksel melalui suatu formula matematis tertentu sehingga menghasilkan kenampakan yang lebih tajam dan mempermudah proses interpretasi

Page 20: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Batimetri atau kedalaman perairan adalah ukuran kedalaman dari permukaan air sampai dengan dasar laut. Peta batimetri memberikan informasi tentang kondisi permukaan maupun dasar laut, struktur, bentuk dan penampakan. Selain itu dasar laut sebagai bagian dari laut itu sendiri merupakan suatu sistem yang dinamis, setiap saat perubahan-perubahan terjadi sehingga perbaikan peta-peta batimetri perlu sekali dilakukan agar informasi-informasi mengenai dasar suatu perairan bisa seiring dengan perubahan yang terjadi.

Pemetaan batimetri di perairan dangkal mempunyai peranan penting untuk kegiatan perikanan dan kelautan baik secara langsung maupun tidak langsung. Terlebih lagi dengan kondisi Indonesia yang memiliki banyak pulau kecil yang tersebar di seluruh nusantara. Mengetahui kedalaman perairan dapat memberikan petunjuk atau informasi mengenai struktur dan asal pembentukan dasar laut, salah satu faktor untuk perencanaan pembangunan darmaga kapal, keselamatan pelayaran serta pemasangan maupun pemeliharaan kabel dan pipa bawah laut dan sebagainya. Informasi kedalaman perairan (batimetri) juga dapat digunakan untuk membantu membedakan dan memberikan ciri (menggolongkan) habitat terumbu karang seperti pecahan karang, karang hidup, karang mati maupun lamun dan rumput laut. Mengetahui struktur yang detail dari dasar laut di perairan dangkal akan membantu dalam menggolongkan peranan dan sifat karang yang merupakan tempat hidup ikan-ikan karang. Selain itu dalam penangkapan, pengetahuan tentang struktur dasar perairan yang bervariasi akan menentukan alat penangkapan yang lebih sesuai dengan kondisi perairan tersebut.

Teknologi pemetaan batimetri berkembang dari waktu ke waktu. Pada awalnya, kedalaman diukur dengan menggunakan tambang yang ujungnya diberi pemberat dan mencoba untuk memperhitungkan kapan pemberat tersebut menyentuh dasar. Tetapi metode ini sulit dilakukan dan hasilnya hampir selalu tidak akurat karena arus yang kuat dapat menarik tambang dan pemberatnya ke samping sehingga kedalaman yang dihasilkan seringkali bukan kedalaman sebenarnya, jika perairan yang diukur relatif lebih dalam maka tambang yang dibutuhkan akan lebih panjang dan sulit untuk mengetahui kapan pemberat tersebut menyentuh dasar. Selain metode ini kurang akurat juga

Page 21: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

2

membutuhkan waktu yang lama karena, kapal harus berhenti dalam waktu yang lama untuk menurunkan dan menaikkan tambang (Sager 1998).

Dengan ditemukannya echo sounder kedalaman perairan lebih mudah diukur. Metode ini bekerja berdasarkan prinsip perambatan suara di dalam air. Metode ini bisa menghasilkan kedalaman yang akurat untuk perairan dalam (Sager 1998). Tetapi metode ini cukup sulit untuk diterapkan di perairan dangkal, dimana ekosistem terumbu karang dan padang lamun berada di dalamnya. Kapal-kapal yang membawa berbagai perlengkapan peralatan pemetaan seperti echo sounder, sonar dan lain-lain tidak dapat masuk ke perairan tersebut dengan leluasa karena akses yang sulit sehubungan dengan karakteristik yang khas di perairan tersebut, seperti kondisi perairan yang dangkal serta keadaan substrat dasar yang tidak beraturan. Di samping itu, mengingat ekosistem perairan dangkal sangat luas maka kegiatan pemetaan dengan metode konvensional akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang sangat tinggi.

Dewasa ini teknologi penginderaan jauh telah banyak dilakukan karena dipandang sebagai salah satu cara yang efektif dan efisien serta cukup terlihat kegunaannya dalam mengkompilasi dan merevisi peta-peta sumberdaya yang ada juga berguna sebagai alat bantu dalam perencanaan dan pengelolaan suatu sumberdaya (Butler 1988; Lillesand dan Kiefer 1994; Danoedoro 1996). Teknologi ini mampu untuk mendapatkan informasi secara sinoptik sehingga dapat mengamati fenomena yang terjadi di lautan yang luas dan dinamis. Disamping itu teknologi ini mempunyai kemampuan memberikan informasi secara kontinu karena wahana satelit telah diprogram melintas daerah yang sama dalam waktu tertentu. Namun demikian, teknologi ini juga masih belum mampu memberikan hasil yang memuaskan dalam hal keakuratan informasi, sehingga masalah keakuratan ini merupakan suatu kegiatan penelitian yang terus berkembang sampai saat ini.

Keakuratan informasi yang dideteksi dengan sensor yang dipasang di satelit dipengaruhi kondisi atmosfer dan kondisi perairan yang diliput. Agar pemetaan kedalaman dengan penginderaan jauh mendekati nilai kedalaman yang sesungguhnya diperlukan kondisi perairan yang dangkal dan jernih. Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan, sensor sinar tampak hanya dapat menjangkau sampai kedalaman 30 meter pada perairan yang jernih. Harus pada perairan yang jernih, karena adanya fitoplankton, muatan padatan tersuspensi maupun yellow substance yang berada di kolom perairan maupun adanya substrat dasar yang berbeda yang akan memberikan nilai pemantulan

Page 22: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

3

berbeda yang tentunya akan memberikan estimasi kedalaman yang berbeda dengan nilai kedalaman yang seharusnya.

Secara teoritis jika dasar perairan dapat dilihat maka dapat dibentuk suatu hubungan antara kedalaman perairan dengan sinyal pantul yang diterima oleh sensor. Pengembangan konsep hubungan ini sudah banyak dilakukan seperti Lyzenga (1985), Hashim (1990), Van Hengel dan Spitzer (1991), Bierwith et al. (1993), Green et al. (2000), Stumpf et al. (2003), Islam et al. (2004), Leu dan Chang (2005). Algoritma tertentu dibuat untuk mengestimasi kedalaman perairan dengan menggunakan citra satelit.

Van Hengel dan Spitzer (1991) memperkenalkan sebuah algoritma baru untuk dapat mengestimasi kedalaman perairan dengan citra Landsat TM. Algoritma ini didasari dari hasil penelitian Lyzenga (1978), Paredes dan Spero (1983) dan Spitzer dan Dirks (1987) yang mengatakan bahwa kedalaman air berbanding lurus dengan radiansi pantul dari dasar laut. Menurut Lyzenga (1978) serta Van Hengel dan Spitzer (1988) pada penelitian terdahulunya mengatakan untuk mendapatkan nilai kedalaman relatif bisa dilakukan dengan melakukan rotasi tertentu pada nilai spektral masing-masing band.

Sebagian besar pemetaan kedalaman perairan di Indonesia menggunakan echo

sounder, sedangkan pemetaan perairan dangkal di Indonesia dengan citra satelit menggunakan algoritma-algoritma yang dihasilkan oleh peneliti-peneliti luar negeri dan sebagian lokasi penelitian di negeri 4 musim yang kondisi optik, fisika dan kimia perairannya berbeda dengan Indonesia. Sehingga muncul keinginan untuk mencari algoritma kedalaman perairan dangkal di wilayah Indonesia. 1.2 Permasalahan

Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Mencari kombinasi band terbaik pada algoritma Van Hengel dan Spitzer untuk

mengekstrak kedalaman perairan dangkal di Pulau Pari 2. Mengkaji seberapa jauh kemampuan citra digital Landsat-7 ETM+ dapat digunakan

dalam pemetaan kedalaman perairan dangkal. 3. Mencari algoritma terbaik untuk pemetaan kedalaman perairan dangkal terutama di

Indonesia.

Page 23: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

4

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui kemampuan citra digital Landsat-7 ETM+ dalam memetakan kedalaman

perairan dangkal 2. Mendapatkan kombinasi band terbaik pada algoritma Van Hengel dan Spitzer untuk

mengekstrak kedalaman perairan dangkal di Pulau Pari 3. Menentukan model terbaik yang paling efektif untuk memetakan kedalaman perairan

dangkal 4. Mengetahui nilai gallat (error) algoritma kedalaman yang dihasilkan terhadap data

lapang 1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan teknologi kelautan dalam hal metode,

teknik dan dayaguna citra penginderaan jauh khususnya citra Landsat-7 ETM+ untuk pemetaan kedalaman perairan dangkal.

2. Bermanfaat bagi pembangunan karena penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam bidang perikanan dan rekayasa kelautan.

1. 5 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Nilai digital pada citra Landsat-7 ETM+ mempunyai korelasi nyata terhadap

kedalaman. 2. Tidak ada perbedaan gallat (error) antara kedalaman perairan yang diperoleh dari

pengolahan citra digital algoritma kedalaman perairan dangkal (model nilai digital asli dan algoritma Van Hengel dan Spitzer) dengan kedalaman perairan yang diperoleh dari echo sounder (data lapang).

Page 24: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1994).

Pengamatan tanpa kontak langsung ini dimungkinkan mengingat prinsip kerja alat (yang ditempatkan pada ketinggian tertentu dari permukaan bumi) adalah memanfaatkan radiasi gelombang elektromagnetik yang berasal dari emisi atau pantulan obyek-obyek yang diamati. Adapun radiasi gelombang elektromagnetik dari objek ini bisa berasal dari alam yaitu radiasi matahari maupun yang sengaja dibuat, kemudian mengenai obyek-obyek tersebut secara berkala pula akan memancarkan dan memantulkan kembali.

Komponen penting yang terlibat dalam sistem penginderaan jauh adalah matahari sebagai sumber energi yang berupa radiasi elektromagnetik, atmosfer yang merupakan media lintasan dari radiasi elektromagnetik, target atau obyek sebagai fenomena yang terdeteksi oleh sonar, dan sensor yang mendeteksi radiasi elektromagnetik dari suatu obyek. 2.2 Transfer Cahaya (Radiative Transfer) dalam Sistem Sensor Satelit-Matahari-Laut

Transfer atau perpindahan cahaya dalam sistem sensor satelit-matahari-laut dapat dipahami sebagai proses transfer cahaya matahari ke dalam kolom air dan transfer cahaya dari permukaan air ke sensor satelit (Sathyendranath 2000) yang dapat dilihat pada Gambar 1. Interaksi antara cahaya matahari dan permukaan air laut mencakup unsur-unsur tersuspensi dan terlarut yang mampu menyerap dan menghamburkan cahaya matahari (Jerlov 1976; Mobley 1994; Hakvoort 1994 yang diacu dalam Hendiarti 2003). Penyerapan cahaya matahari oleh beberapa unsur air laut dapat menurunkan jumlah cahaya yang dipantulkan kembali oleh air laut sedangkan penghamburan cahaya matahari akan meningkatkan jumlah cahaya yang dipantulkan kembali oleh air laut. Atmosfer berperan penting sejak cahaya matahari dapat diserap dan dihamburkan oleh gas-gas, molekul air dan aerosol sebelum mencapai permukaan air laut, demikian pula halnya pada cahaya yang dipantulkan kembali oleh air laut, atmosfer akan meneruskannya ke sensor

Page 25: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

6

Sumber: Sathyendranath (2000) Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pantulan cahaya menuju sensor.

(a) penyebaran oleh bahan anorganik tersuspensi, (b) penyebaran oleh molekul-molekul air, (c)absorpsi oleh komponen yellow substance, (d) refleksi dari dasar perairan dan (e) penyebaran oleh komponen fitoplankton.

Page 26: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

7

satelit. Pada perairan dangkal, proses pemantulan cahaya pada lapisan permukaan air dapat dipengaruhi oleh refleksi cahaya matahari dari dasar perairan (Ohde dan Siegel 1999 yang diacu dalam Hendiarti 2003).

Total cahaya matahari yang diterima oleh sensor satelit Lt (dengan satuan Wm-2 sr-1 nm-1 pada panjang gelombang tertentu, dimana sr-1 adalah satuan sudut ruang (solid

angle)) terdiri dari cahaya yang dipantulkan pada permukaan air Lr dan cahaya yang akan diteruskan ke sensor satelit oleh atmosfer Ta serta jumlah cahaya matahari yang dapat dihamburkan oleh aerosol udara La dan molekul air Lm secara langsung. Jika ditulis dalam persamaan adalah sebagai berikut:

Lt (λ) = (Ta(λ)*(Lw(λ) + Lr(λ))) + La(λ) + Lm(λ) (1) Gambar 2 menunjukkan komponen spektral cahaya matahari yang diterima oleh sensor satelit dari air laut dengan panjang gelombang tampak yang berbeda. Pemantulan cahaya matahari dari permukaan laut menambah sejumlah kecil jumlah cahaya yang dipantulkan oleh air laut ke atmosfer. Oleh karena itu koreksi atmosferik merupakan bagian yang penting dalam penginderaan jauh untuk aplikasi di laut (Gordon dan Morel 1983; Gordon dan Wang 1994; Gordon 1997 yang diacu dalam Hendiarti).

Sumber: Senga (2002) yang diacu dalam Hendiarti (2003) Gambar 2 Komponen spektral cahaya matahari yang diterima oleh sensor satelit.

Page 27: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

8

φ=0

θ=0

¶/2

2.3 Sifat-sifat Optik dan Unsur Utama Penyusunnya dalam Penginderaan Jauh

Warna laut mengindikasikan adanya konsentrasi dan komposisi unsur utama penyusun air laut dan ciri optiknya. Penginderaan jauh optik dapat digunakan untuk mengamati beberapa parameter kualitas air. Perhitungan dasar untuk menjelaskan warna air laut adalah penyinaran keatas (Upwelling irradiance) Eu dan penyinaran kebawah (Downwelling irradiance) Ed. Gambar 3 memperlihatkan penyinaran cahaya di dekat permukaan laut.

Sumber: Hendiarti (2003) Gambar 3 Penyinaran cahaya dan interaksinya di bawah dan di atas permukaan air.

Penyinaran ke bawah Ed adalah penyinaran yang terus menerus per satuan luas permukaan pada semua arah ke bawah. Sementara itu penyinaran ke atas Eu adalah penyinaran yang terus menerus per satuan luas permukaan pada semua arah ke atas seperti dijelaskan pada persamaan 2 dan persamaan 3 (Jerlov dan Nielsen 1974; Sathyendranath 2000). Kedua bentuk penyinaran tersebut merupakan parameter-parameter yang bermanfaat untuk mengukur intensitas cahaya.

Ed (z) = ∫ ∫ L (z;θ,φ) cosθdω (2)

Page 28: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

9

φ=0

2¶ ¶

θ=¶/2

Kd (λ,z) = - 1 Z2 - Z1

Ed (λ,z2) Eu (λ,z2)

(ln )

Rw (λ,z) = Eu (0-) Ed (0-)

Eu (z) = ∫ ∫ L (z;θ,φ) |cosθ|dω (3)

dimana dω = sin θ dθ dφ, dan θ adalah jarak puncak serta φ adalah sudut dari nilai

cahaya matahari yang terbentuk.

Penyinaran spektral ke bawah pada kedalaman air yang berbeda Ed (λ,z) (mW

cm-2 nm-1 pada panjang gelombang λ) dapat ditentukan dari penyinaran ke atas tepat

dibawah permukaan air laut Ed (λ,0-) menurut persamaan 4.

Ed (λ,z) = Ed (λ,0-)e-Kd (λ,z)z (4)

dimana Kd (λ,z) adalah koefisien pengurangan (attenuation coeffisient) cahaya matahari

secara vertikal per unit meter yang dirata-ratakan dari bawah permukaan air laut hingga pada kedalaman tertentu (z=0-) ke kedalaman z dalam meter. Koefisien pengurangan dapat digunakan untuk mengenali area difusi cahaya seiring dengan bertambahnya kedalaman, begitu juga untuk membedakan massa air yang

secara optik tampak berbeda. Koefisien pengurangan cahaya vertikal Kd (λ,z) dapat

dihitung dari perbedaan penyinaran ke bawah antara dua kedalaman z1 dan z2.

Warna air laut ditentukan oleh pemantulan cahaya matahari oleh air laut Rw yang sama dengan perbandingan antara penyinaran ke atas-bawah tepat di bawah permukaan air pada satuan panjang gelombang. (6) Penyinaran ke bawah pada lapisan di bawah permukaan air Ed (0-) meliputi semua penetrasi cahaya hingga kolom air, sedangkan penyinaran ke atas meliputi jumlah cahaya matahari yang dihamburkan balik. Pada perairan dangkal dan jernih, terdapat bagian cahaya yang cukup signifikan dari sinar matahari yang dapat mencapai dasar perairan dan dipantulkan ke permukaan air. Pemantulan cahaya matahari pada permukaan air dipengaruhi oleh pemantulan cahaya matahari oleh dasar perairan dan dapat ditulis dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

(5)

Page 29: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

10

R (0) = Rw (λ) + (Rb – Rw (λ))θ -2kdz (7) Unsur-unsur utama air laut yang berbeda memiliki konsentrasi sifat atau karakter menyerap cahaya secara spesifik pada panjang gelombang yang berbeda yang penting artinya dalam pemodelan secara optik. Air murni menyerap cahaya dengan sangat lemah pada daerah spektrum biru dan hijau (antara 400-550 nm). Pada 550 nm, penyerapan cahaya oleh air laut mulai meningkat secara signifikan dan terus berlanjut hingga pada daerah spektrum merah (Gambar 4 pada kurva warna biru). Penyerapan cahaya maksimal oleh klorofil a terjadi pada daerah spektrum biru (430 nm) dan pada spektrum merah (662 nm) yang digambarkan warna hijau pada kurva. Penyerapan cahaya oleh yellow substance secara eksponensial meningkat hingga pada panjang gelombang pendek (warna kuning pada kurva).

Sumber: Siegel (1986) yang diacu dalam Hendiarti (2003) Gambar 4 Koefisien penyerapan cahaya oleh air murni, klorofil a (1mg/m3) dan yellow

substance (1mg/dm3).

Daya tembus cahaya matahari terhadap air sangat tergantung pada daya serap air terhadap cahaya matahari yang mengenainya. Semakin besar daya serapnya maka semakin kecil kemungkinan cahaya matahari untuk menembus air tersebut. Dua nilai ini berbeda bagi panjang gelombang yang berbeda. Daya serap air yang terkecil terletak

pada panjang gelombang 0.4-0.6 μm. Oleh karena itu sinar dengan panjang gelombang

Panjang Gelombang (nm)

Ab s o r p s i

(m-1)

Page 30: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

11

ini merupakan yang terbaik untuk menginderaan kedalaman perairan dangkal (Sutanto 1992; Lillesand dan Kiefer 1994; Richard 1995). 2.4 Penginderaan Jauh untuk Menduga Kedalaman

Lyzenga (1985), mencoba mengembangkan pemetaan batimetri dengan memanfaatkan dua sumber citra yang berskala dari citra perekaman sensor aktif (radar) dan perekaman sensor pasif (multispektral). Model ini bertujuan untuk menggabungkan keunggulan dari tiap-tiap jenis citra sehingga didapatkan ketelitian pemetaan yang cukup tinggi. Penelitian dilakukan di Pantai Pulau Bahama pada tahun 1978 dengan hasil ketelitian pemetaan yang cukup tinggi.

Jupp (1988) menyimpulkan dari beberapa hasil penelitian di perairan Great Barrier Reef Australia mengatakan bahwa citra yang dapat digunakan dalam penentuan kedalaman air adalah: (1) Citra Landsat TM band 1 mempunyai kemampuan penetrasi kedalaman perairan

sampai kedalaman 25 meter, band 2 sampai kedalaman 15 meter, band 3 sampai kedalaman 5 meter dan band 4 sampai kedalamn 0.5 meter.

(2) Citra Landsat MSS band 4 mempunyai kemampuan penetrasi kedalaman perairan hingga kedalaman 15 meter, band 5 hingga kedalaman 5 meter, band 6 hingga kedalaman 0.5 meter dan band 7 sepenuhnya diserah oleh air.

(3) Citra SPOT band 1 mempunyai kemampuan penetrasi kedalaman perairan hingga 0.5 meter.

Hal tersebut diperoleh dengan syarat kondisi citra yang bebas awan, sudut elevasi matahari tidak terlalu besar dan wilayah perairannya bebas dari kekeruhan. Hashim (1990), mengemukakan tentang kesempatan dan keterbatasan pemetaan batimetri dari citra satelit. Lokasi yang dipilih adalah di Kepulauan Langkawi dan Kuala Perlis, Kelang, Malaysia. Data yang digunakan adalah SPOT 1 dan Landsat 5 MSS. Model-model yang dikembangkan adalah (1) radiative transfer model, (2) single band

reflectance model dan (3) two band reflectance model. Dari penelitiannya diperoleh formula Y=a+b1x1+b2x2 atau Y=ax1+bx2+c dengan c=28.22; a=-0.19; b=-0.16; R2=0.62, dimana x adalah citra asli dan Y adalah citra hasil pengolahan. Kelemahan dari penelitian ini yaitu (1) pada kedalaman kurang dari 1 meter mempunyai simpangan yang sangat besar (3-10 meter), (2) pada kedalaman 1.1-14 meter simpangannya hanya 1.5 meter. Hal

Page 31: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

12

ini menggambarkan bahwa model ini tidak dapat diterapkan pada air yang sangat dangkal. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa model-model tersebut potensial untuk menentukan atau menurunkan dengan cepat informasi kedalaman perairan, namun informasi yang didapat tergantung pada jenis satelit atau sistem yang digunakan dan penyebab kesalahan-kesalahan yang terjadi (seperti tipe substrat dasar, arus dan sedimen tersuspensi). Hengel dan Spitzer (1991) mencoba mengembangkan algoritma pemetaan kedalaman perairan dengan memanfaatkan data multitemporal. Penelitian tersebut dilakukan di Pulau Vlieland dan The de Richel, Itali. Algoritma yang diperkenalkan merupakan penjabaran dari pendapat yang mengatakan bahwa kedalaman air berbanding lurus dengan algoritma radiasi dan nilai kedalaman air relatif (data digital) yang dapat diperoleh dengan melakukan transformasi khusus terhadap nilai radiasi khusus tiap band. Algoritma ini memanfaatkan 3 citra multitemporal sebagai input data yaitu citra Landsat TM bulan Juni 1986 pada masa surut, citra Landsat TM bulan Juni 1986 pada masa pasang air serta Landsat TM bulan Juli 1987. Hasil yang diperoleh yaitu metode rotasi nilai radiasi berdasarkan pendapat Lyzenga dapat digunakan untuk memperoleh data kedalaman air laut dari citra satelit. Peta kedalaman air relatif dapat diperoleh tanpa terlebih dahulu harus mengetahui nilai kedalaman air yang sebenarnya. Peta kedalaman air absolut didapat dari hasil perhitungan korelasi antara nilai kedalaman yang sebenarnya dengan nilai kedalaman air relatif. Metode ini diyakini memiliki kesalahan yang lebih kecil dibandingkan dengan metode-metode lainnya. Bierwirth et al. (1993) dari Australian Geological Survey Organizations (AGSO) pernah melakukan penelian dengan tujuan serupa. Lokasi penelitian di Hamelin Pool, Shark Bay, Australia Barat. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan memperhitungkan nilai koefisien attenuasi air terhadap masing-masing panjang gelombang pada citra Landsat TM. Band yang digunakan adalah band pada panjang gelombang sinar tampak (band 1, band 2 dan band 3). Koefisien attenuasi yang diperoleh untuk masing-masing band yaitu 0.1 untuk band 1 (panjang gelombang sinar biru), 0.13 untuk band 2 (panjang gelombang sinar hijau) dan 0.194 untuk band 3 (panjang gelombang sinar merah). Selain itu juga menghasilkan peta kedalaman perairan hingga 11 meter (dari perkiraan maksimal 24 meter) dengan interval 1 meter.

Page 32: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

13

Green et al. (2000) mencoba untuk membandingkan beberapa model pemetaan kedalaman perairan di Caicos Bank. Model yang dievaluasi adalah model dari (1) Benny dan Dawson menghasilkan koefisien korelasi (r) sebesar 0.52, (2) Interpolated DOP/ Depth

of Penetration dengan koefisien korelasi (r) 0.71, (3) Calibrated DOP/ Depth of Penetration dengan koefisien korelasi (r) 0.91 dan (4) Lyzenga dengan koefisien korelasi (r) 0.53. Algoritma standar yang biasa digunakan untuk memetakan kedalaman perairan (Lyzenga 1978) memerlukan 7 buah koefisien masukan untuk mengestimasi kedalaman perairan dangkal. Penggunaan algoritma Lyzenga (1978) ini seringkali bermasalah terutama untuk daerah yang mempunyai albedo yang rendah. Stumpf et al. (2003) mengembangkan sebuah model rasio yang membandingkan 2 buah faktor reflektansi air. Penelitian ini dilakukan di dua buah pulau atol di Hawai, menggunakan citra Ikonos dan Lidar. Hasil penelitian ini menunjukkan algoritma Lyzenga (1978) hanya bisa mengestimasi kedalaman air sampai dengan 15 meter sedangkan model rasio bisa mengestimasi kedalaman perairan sampai dengan 25 meter. 2.5 Karakteristik LANDSAT-7 ETM+

LANDSAT-TM adalah jenis satelit sumberdaya alam yang pada awalnya ditunjukkan untuk kepentingan sumberdaya alam yang ada di darat tetapi dalam perkembangannya ternyata sensor thematic mapper dapat juga diaplikasikan untuk sumberdaya kelautan (Butler et al. 1988). Generasi terbaru dari Landsat adalah Landsat 7 dengan sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+). Instrumen ETM+ berupa multispectral scanning radiometer yang berkemampuan menghasilkan informasi pencitraan resolusi tinggi terhadap permukaan bumi. Peralatan tersebut mendeteksi radiasi terfilter spektral pada sinar tampak, infra merah dekat dan kanal-kanal frekuensi infra merah termal. ETM+ akan membuat sekitar 3.8 GB data tiap scene. Sistem the Landsat World Wide Reference membuat katalog permukaan bumi menjadi 57784 scene, masing–masing mempunyai lebar 115 mil (183 km) dan panjang 106 mil (170 km). Landsat-7 menyediakan data yang berulang dan sinoptik meliputi permukaan bumi. Band-band spektral meliputi spektrum elektromagnetik sinar tampak, infra merah dekat dan infra merah termal serta kalibrasi radiometrik absolut. Karakteristik dan spesifikasi Landsat-7 dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Page 33: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

14

Tabel 1 Karakteristik Landsat-7 Tanggal peluncuran 15-Apr-99

Tinggi (km) 705

Sensor ETM+

Repetisi / Perulangan 16 hari

Kecepatan transmisi 150 Mbps

Sumber: U.S Departement of Interior, U.S Geological Survey (1999) yang diacu dalam Berita Bank Data Inderaja (2000).

Tabel 2 Spesifikasi Sensor ETM+

Band Spektral (µm)

Gelombang Resolusi (m) Tujuan Penerapan

1 0,45 – 0,52 Biru 30 Pemetaan perairan pesisir, serapan klorofil, pembeda tanah dan vegetasi, pemetaan batimetri

2 0,52 – 0,60 Hijau 30 Kesuburan vegetasi, penduga konsentrasi sedimen, batimetri

3 0,63 – 0,69 Merah 30 Daerah penyerapan klorofil, membedakan jenis tanaman

4 0,76 – 0,90 Inframerah dekat

30 Membedakan badan air dan daratan, daerah pantulan vegetasi yang kuat

5 1,55 – 1,75 Inframerah sedang

30 Pengukuran kelembaban tanah dan vegetasi, daerah pantulan batuan

6 10,4 – 12,5 Inframerah termal

60 Pemetaan termal dan informasi geologi termal

7 2,08 – 2,35 Inframerah jauh

30 Pemetaan hidrotermal, membedakan tipe batuan (geologi/minyak)

8 0,5 – 0,9 (pankromatik)

Hijau, merah dan

inframerah dekat

15 Pemetaan daerah yang besar dan studi perubahan pemukiman kota

Sumber: U.S Departement of Interior, U.S Geological Survey (1999) yang diacu dalam Berita Bank Data Inderaja (2000).

Satelit akan mengelilingi bumi pada ketinggian sekitar 438 mil (705 km) dengan

sudut inklinasi 98 derajat dan waktu lintas katulistiwa pada pukul 10.00 waktu setempat .

Page 34: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

15

Subsistem kendali akan menjaga stabilitas satelit dan arah pengamatan ke bumi yaitu 0.05 derajat.

Ilmuwan menggunakan citra satelit Landsat dalam penelitian perubahan global permukaan lahan dan sekitar wilayah pantai, studi perubahan lingkungan wilayah, serta keperluan usaha dan umum lainnya. Adapun aplikasi dan penggunaan data Landsat-7 untuk sumberdaya kelautan adalah penentuan pola dan sirkulasi kekeruhan, pemetaan perubahan garis pantai, pemetaan daerah lepas pantai dan dangkal, pelacakan erosi pantai, pelacakan polutan dan tumpahan minyak, serta pemetaan es untuk pelayaran. (Berita Bank Data Inderaja 2000).

2.6 Kedalaman Perairan dengan Survei Echo Sounder

Pada umumnya para pelaut melimpahkan kepercayaan yang tidak terhingga pada peta laut yang telah dipublikasikan, dengan pemikiran bahwa keadaan yang dipetakan itu adalah keadaan yang sebenarnya, dimana faktor yang berbahaya dapat dikurangi dan karena itulah diperlukan peta yang harus diperbaharui dengan ketepatan data yang semakin tinggi lagi. Peta laut dapat berfungsi sebagai penyedia informasi mengenai topografi dasar laut, tanda-tanda navigasi di laut, daerah kedangkalan dan dengan bantuan alat penentu posisi dapat memberikan informasi posisi kapal setiap saat di sekitar lokasi atau area yang dilalui kapal dalam pelayarannya, misalnya untuk mendapatkan lokasi pengambilan sedimen dasar laut diperlukan peta dasar laut atau peta batimetri.

Echo sounder mempunyai sebuah transducer, biasanya terletak pada dasar lambung kapal, memancarkan pulsa suara. Pulsa tersebut mengarah turun, menyentuh dasar laut dan kembali ke tranducer. Echo sounder mencatat waktu kembalinya sinyal dari dasar lautan. Karena kita tahu kecepatan suara dalam air (biasanya 1500ms-1) maka waktu bolak-baliknya dapat digunakan untuk menghitung kedalaman (Sager 2003).

Data posisi dan kedalaman biasanya dicatat secara periodik dalam survei pemetaan dasar laut (batimetri) menggunakan alat echo sounder sehingga akuisisi data batimetri terkait dengan data posisi dan data kedalaman. Salah satu syarat dari survei hidrografi secara garis besar adalah keadaan dari dasar laut harus ditentukan posisinya, perhatian khusus harus ditujukan pada puncak bukit dan benda-benda dikenal lainnya. Tinggi semua benda –benda harus ditentukan dan ditulis pada peta laut.

Page 35: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

16

Pada proses pengambilan data batimetri, sebuah data yang teramati disebut titik FIX yang harus mempunyai informasi tentang posisi dan kedalaman yang teramati pada saat bersamaan sehingga pada proses tersebut pengunaan kedua alat ini (penentu posisi dan kedalaman) harus dilakukan secara bersamaan pada saat pengamatan. Hal ini harus didukung oleh kondisi dinamis dan wahana kapal yang membawa kedua peralatan tersebut. 2.7 Pasang Surut

Pasang surut (pasut) adalah naik turunnya permukaan laut dalam selang waktu 12.4 jam dan dibeberapa tempat ada yang 24.8 jam. Pasang surut disebabkan adanya gaya-gaya gravitasi matahari, bulan dan bumi. Perbedaan pasang surut terjadi karena lintasan bumi dan bulan berbentuk elips sehingga kekuatan gaya gravitasi berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain (Pickard and Pond 1983).

Pasat surut adalah gerakan naik turunnya permukaan laut secara periodik selama suatu interval waktu tertentu yang disebabkan karena interaksi antara gaya gravitasi matahari dan bulan terhadap bumi serta gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh rotasi bumi dan sistem bulan. Akibat adanya gaya-gaya tersebut, air di pasut samudera tertarik ke atas (Nybakken 1988).

Selain dari gaya tarik matahari dan bulan pasut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal, seperti topografi dasar laut yang tidak merata tetapi sangat bervariasi dari palung yang sangat dalam sampai gunung bawah laut, lebar selat yang sempit dan ada yang panjang, bentuk laut seperti corong dengan dasar melandai dan sebagainya. Semua itu menyebabkan lokasi yang berbeda memiliki ciri-ciri pasang surut yang berbeda (Nontji 1993).

Menurut Wyrtki (1961) pasang surut di Asia Tenggara terdapat empat tipe yaitu: (1) pasang surut ganda, dimana dalam sehari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut (2) pasang surut tunggal, dimana dalam sehari terjadi satu kali pasang dan satu kali

surut (3) pasang surut campuran dominasi ganda, dimana terdapat tipe pasang surut ganda

dan tunggal tetapi lebih banyak didominasi ganda (4) pasang surut campuran dominasi tunggal, dimana terdapat tipe pasang surut

ganda dan tunggal tetapi lebih banyak didominasi tunggal.

Page 36: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

17

Secara geografi penyebaran pasang surut di Teluk Bengal, Laut Andaman, Selat

Sunda dan Barat Laut Australia memiliki pasang surut ganda. Sebagian besar Laut Cina Selatan, Selat Sunda, sebagian besar Laut Jawa dan sebagian kecil di Laut Arafuru memiliki tipe pasang surut campuran dominasi tunggal. Teluk Thailand, perairan antara Pulau Sumatera dan Kalimantan serta sedikit bagian di Laut Jawa memiliki tipe pasang surut tunggal. Kepulauan bagian timur memiliki tipe pasang surut campuran dominasi ganda, hal ini karena pengaruh dari Samudera Hindia.

2.8 Pengertian Perairan Dangkal

Menurut Nybakken (1992) laut dangkal yaitu wilayah perairan yang dekat dan berbatasan dengan daratan berada pada zone neritik pelagic. Perairan ini berada di pinggiran daratan utama, lautan sangat dangkal menutupi bawah air benua yang disebut paparan benua yang mencakup 7-8 persen seluruh luas lautan, mempunyai kemiringan sangat landai dari pantai sampai kedalaman 200m.

Sistem penginderaan jauh pasif hanya mampu mengestimasi kedalaman perairan dangkal kurang lebih sampai kedalaman 30 m (Lyzenga 1978). Pada beberapa tempat bahkan kurang dari 30 m. Bierwith (1993) di perairan Great Barrier Reef hanya mampu mengestimasi kedalaman sampai dengan 11 meter. Stumpt et al. (2003) mampu mengestimasi kedalaman pada perairan yang sedikit keruh sampai dengan kedalaman 25 meter.

Kondisi perairan yang bermacam-macam mengakibatkan dasar laut dangkal terdapat ekosistem yang berbeda dengan perairan dalam. Ekosistem yang menonjol keberadaannya adalah terumbu karang, lamun dan pasir.

Page 37: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2004 sampai bulan Desember 2006. Lokasi yang dipilih untuk studi kasus adalah Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar 5. Pemrosesan data satelit dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Peralatan lapang yang diperlukan yaitu Global Positioning System (GPS) Sounder untuk menentukan kedalaman air laut di Gugus Pulau Pari, kapal bermotor untuk transportasi pengambilan data lapangan dan papan skala untuk mengukur pasang surut.

Alat untuk pengolahan data citra yaitu sebuah personal komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak ER Mapper 6.1 untuk mengolah data citra Landsat-7 ETM+, Arc

View 3.3 untuk layout peta, MINITAB 13.3 dan Microsoft excel untuk mengolah data statistik.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan meliputi data digital citra Landsat-7 ETM+, Peta batimetri skala 1:50.000, Peta Rupa Bumi 1:25.000, data pasang surut pada saat peliputan citra dan saat pengambilan data kedalaman lapang dengan GPS Sounder di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu.

Page 38: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

19

Gambar 5 Lokasi penelitian.

P. PARI P. TENGAH

P. KONGSI BARAT

P. BURUNG

P. TIKUS

GUGUS PULAU PARI

LOKASI PENELITIAN

Darat

Laut

Perairan Dangkal

Legenda: LAUT JAWA

Page 39: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

20

3.3 Pengumpulan dan Pengolahan Data Lapangan

Data lapangan diambil pada tanggal 25-28 Juli 2004. Data yang diambil yaitu posisi koordinat dan kedalaman air serta pasang surut.

3.3.1 Pengukuran kedalaman

Desain survei dibuat sebelum survei dilakukan agar penelitian dilakukan secara baik dan sempurna sesuai rencana sehingga data yang diperoleh valid dan sesuai dengan tujuan penelitian. Desain survei terlihat pada Gambar 6. Pengambilan data kedalaman dan posisi dengan GPS sounder sesuai dengan desain tersebut.

Pengambilan data kedalaman lapang dilakukan antara pukul 08.00-11.30 WIB dan pukul 13.30-17.00 WIB. Pengambilan data kedalaman lapang dihentikan sekitar pukul 11.30-13.30 WIB karena pada waktu tersebut air laut surut sehingga banyak karang yang bermunculan yang bisa membahayakan kapal. Metode survei yang direncanakan adalah metode paralel tetapi karena lokasi penelitian yang tidak memungkinkan yaitu adanya karang-karang yang muncul ke permukaan air dan banyaknya rumput laut yang dibudidayakan maka pengambilan sampel kedalaman air dilakukan pada bagian luar tubir dan di dalam tubir (pada jalur perahu yang biasa digunakan oleh penduduk setempat dan atau petani rumput laut).

3.3.2 Pengukuran pasang surut Pasang surut diukur dengan menggunakan papan yang diberi skala. Pasang surut

diukur selama 2x24 jam, tiap 15 menit. Data pasung surut yang diperoleh digunakan untuk mengkalibrasi kedalaman dengan pengukuran GPS sounder.

3.3.3 Koreksi pasang surut Pengambilan data lapang dilakukan pada waktu yang berbeda dengan waktu perekaman citra sehingga memungkinkan kedalaman yang berbeda. Sehingga data kedalaman lapang perlu dilakukan kalibrasi dengan data kedalaman laut pada saat perekaman citra. Kalibrasi ini perlu dilakukan dengan alasan kondisi tinggi muka air laut dan kedalaman laut bersifat tidak statis dan mengalami perubahan karena adanya pasang surut air laut. Proses kalibrasi ini memerlukan data pasang surut pada waktu pengambilan data kedalaman lapang, prediksi pasang surut pada waktu kedalaman lapang dan data prediksi pasang surut pada waktu perekaman citra. Pada wilayah penelitian tidak terdapat

Page 40: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

21

data pasang surut sehingga digunakan data pasang surut dari stasiun terdekat yaitu stasiun Tanjung Priuk. Proses kalibrasi data kedalaman lapang terhadap kedalaman laut pada citra dilakukan dengan menggunakan logika langkah-langkah sebagai berikut: 1) Data kedalaman laut pada seluruh sampel tidak dapat diukur pada waktu yang

bersamaan pada seluruh tempat karena beberapa keterbatasan. Sehingga data kedalaman lapang harus dikalibrasi pada jam 10.00 WIB agar data kedalaman laut tersebut seolah-olah diukur pada waktu yang sama dengan jam perekaman citra.

2) Secara logika, pasang surut di Pulau Pari dan Tanjung Priuk memiliki beda fase. Data pasang surut lapang dan data prediksi pasang surut pada saat pengambilan data lapang dianalisa untuk menentukan beda fase antara keduanya. Beda fase digunakan untuk kalibrasi pada data pasang surut saat perekaman citra.

3) Data kedalaman lapang dan data citra perlu disamakan. Maka data kedalaman lapang yang telah dikalibrasi terhadap data pasang surut jam 10 WIB, dilakukan kalibrasi kedua terhadap data pasang surut saat perekaman citra. Dengan demikiaan data kedalaman lapang diharapkan sama dengan informasi kedalaman laut yang terekam pada citra.

Koreksi pasang surut diperlukan untuk melakukan koreksi kedalaman yang dihasilkan dari survei lapang. Perbedaan tersebut disebabkan adanya pasang naik dan pasang surut muka air laut. Teknik penyesuaian data kedalaman antara waktu perekaman citra dengan waktu pengambilan data lapangan dilakukan dengan menghitung selisih kedalaman antara kedua data.

Dengan asumsi waktu perekaman citra dilakukan pada jam 10.00 (waktu setempat). Mengurangi data kedalaman di atas jam 10.00 (waktu setempat) dengan selisih antara nilai kedalaman saat itu dengan nilai kedalaman pada jam 10.00. Persamaan yang digunakan untuk penentuan angka kedalaman (Berlianto 1998) adalah:

∆Z=(∆T/60 * Z1) + Z2 (8)

Keterangan: ∆T: Besarnya selisih waktu (dalam menit) saat satelit melintas (pukul 10.00) dengan

waktu pengambilan data lapangan Z1: Beda kedalaman antar jam saat pengambilan data lapangan dengan jam berikutnya

Z2: Perbedaan kedalaman lapang dengan kedalaman pada pukul 10.00

Page 41: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

22

Gambar 6 Desain survei kedalaman.

P. TENGAH

P. KONGSI BARAT

P. TIKUS

P. PARI

DESAIN SURVEI

KEDALAMAN Laut

Legenda:

Darat

Perairan Dangkal

Titik Sampel Kedalaman

LAUT JAWA

Datum: WGS 84 UTM Zona 48 S

P. BURUNG

Page 42: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

23

3.4 Pengolahan Data Penginderaan Jauh 3.4.1 Koreksi radiometrik Kesalahan yang berkaitan dengan proses perekaman dapat dikelompokkan menjadi kesalahan sistematis dan nonsistematis. Penyebab kesalahan sistematis telah diperhitungkan sebelumnya seperti pengaruh sudut panjang sensor. Kesalahan nonsistematis disebabkan faktor-faktor yang tidak diketahui dengan pasti seperti pengaruh atmosfer.

Ada beberapa metode untuk koreksi radiometrik yang digunakan untuk mengeliminasi kesalahan nonsistematik. Metode feature space yaitu metode yang memanfaatkan gambaran hasil pemplotan piksel-piksel pada band hijau melawan inframerah dekat dan band merah melawan inframerah dekat (Danoedoro 1996). Hasil pemplotan keseluruhan piksel akan memberikan kenampakan imajiner berupa garis vegetasi dan garis tanah (Gambar 7). Pertemuan dua garis ini diasumsikan harus bertemu di titik asal (0,0), yaitu untuk obyek air jernih, tenang dan dalam atau obyek bayangan lereng yang sangat curam. Apabila titik pertemuan ini tidak pada koordinat (0,0), maka offset pada kedua saluran dapat dihitung. Melalui cara ini akan didapatkan dua macam nilai offset untuk saluran inframerah dekat, sehingga masih perlu dirata-ratakan. Nilai offset inilah yang digunakan untuk koreksi setiap band yang akan digunakan.

Sumber: Danoedoro (1996)

Gambar 7 Koreksi radiometrik dengan metode feature space.

Page 43: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

24

Metode yang dapat digunakan untuk koreksi radiometrik adalah metode penyesuaian histogram (Jensen 1986). Metode ini didasarkan atas asumsi bahwa data pada panjang gelombang yang lebih besar cenderung lebih kecil pengaruh atmosfernya. Jika nilai minimum dari histogram seluruh piksel lebih besar dari nol, maka nilai minimum pada histogram dianggap sebagai pengaruh atmosfer. Pengaruh atmosfer dapat dikalibrasi dengan melakukan transformasi kepada citra dengan formula sebagai berikut:

DNt = DNa – B (9)

Keterangan: DNt : Nilai digital data suatu piksel yang telah dikoreksi DNa : Nilai digital data suatu piksel yang belum dikoreksi B : Nilai minimum digital data yang diperoleh dari histogram

Penelitian ini menggunakan metode penyesuaian histogram. 3.4.2 Koreksi geometrik Koreksi geometrik dilakukan untuk mendapatkan citra yang sesuai dengan posisi yang sebenarnya di bumi. Koreksi ini dilakukan dengan acuan Peta Rupabumi Indonesia skala 1:25.000.

Tahapan yang dilakukan dalam koreksi geometrik adalah: 1. Pemilihan titik kontrol lapangan (Ground Control Point/GCP) 2. Penghitungan persamaan transformasi. Pada Gambar 8 disajikan ilustrasi dari

teknik pengambilan GCP. 3. Interpolasi intensitas nilai digital mencakup ekstraksi nilai kecerahan nilai digital

dari lokasi estimasi (p’ dan l’) pada citra asli yang kemudian mengisikannya pada koordinat x dan y. Pengisian pixel pada keluaran citra dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu: nearest neighbor interpolation, bilinear interpolation atau cubic

convolution interpolation, sedangkan pada penelitian ini menggunakan metode nearest neighbor interpolation.

Page 44: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

25

(10)

P X L Y

Y

Data reference Data yang belum terkoreksi Persamaan transformasi:

P = f(X,Y), L = g(X,Y) Sumber: Jaya (1996)

Gambar 8 Ilustrasi teknik pemilihan GCP.

4. Penghitungan root mean square error (RMSE). Setelah GCP terpilih dan persamaan polinomial diperoleh, selanjutnya dihitung akar kesalahan rata-rata kuadrat. Dianjurkan RMSE lebih kecil dari 0,5 pixel. RMSE dapat dinyatakan dengan rumus: Keterangan: p, l : koordinat asli dari GCP pada citra p’, l’ : koordinat estimasi

Akhir dari proses ini akan dihasilkan citra Landsat-7 ETM+ yang sudah terkoreksi.

3.4.3 Pembatasan wilayah penelitian (image cropping) Citra Landsat-7 ETM+ full scene mempunyai ukuran 185x185 km. Proses pemotongan citra hanya dipilih pada lokasi penelitian yang diperlukan saja yaitu perairan Gugus Pulau Pari.

1

43 5

2 1

5

4

3

6 6

2

( ) ( ) 2'2'RMSE llpp −+−=

Page 45: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

26

3.4.4 Pemisahan obyek laut dan bukan laut (image masking) Langkah ini bertujuan untuk menghilangkan obyek bukan kajian. Fokus kajian

adalah di perairan Gugus Pulau Pari sehingga obyek laut dan bukan laut perlu dibedakan. Pembedaan dilakukan dengan masking citra yaitu memberikan nilai nol untuk obyek bukan laut. Tahapan ini diperlukan agar obyek bukan laut tidak memberikan kontribusi dalam analisis data pada tahap selanjutnya. Pemisahan obyek dilakukan dengan cara memberikan nilai nol untuk obyek bukan laut.

Formula yang digunakan untuk memisahkan obyek laut dan bukan laut adalah: if (i1/i2<1) then i3 else null untuk band 1, band 3, band 4 dan band 7 if (i1/i2<1) then i1 else null untuk band 5 if (i1/i2<1) then i2 else null untuk band 2

keterangan: i1 adalah input 1 (nilai digital band 5) i2 adalah input 2 (nilai digital band 2) i3 adalah input 3 (nilai digital band 1, band 3, band 4 dan band 7) 3.4.5 Transformasi citra

Transformasi yang digunakan yaitu: 1) Transformasi dengan model terbaik yang dihasilkan dari nilai digital band asli

(selengkapnya diuraikan pada sub bab 3.5 tentang pengolahan model nilai digital asli) 2) Transformasi dengan algoritma Van Hengel dan Spitzer (selengkapnya diuraikan pada

sub bab 3.6 tentang pengolahan algoritma Van Hengel dan Spitzer)

3.4.6 Klasifikasi citra Klasifikasi citra bertujuan untuk mengelompokkan nilai kedalaman air agar

mempunyai pola sebaran nilai kedalaman yang semakin jelas. Nilai-nilai hasil transformasi kedalaman dikelompokkan menjadi kelas-kelas yang sama. Metode klasifikasi yang digunakan yaitu klasifikasi tak terselia (unsupervised classification). Metode ini mendasarkan pada pendapat Lyzenga (1978; 1985) yang mengatakan bahwa kedalaman perairan merupakan fungsi linear yang ditunjukkan oleh nilai nilai digital citra. Semakin dalam suatu perairan mempunyai warna yang lebih rendah.

Page 46: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

27

3.5 Pengolahan Model Nilai Digital Asli Data yang dianalisis dari citra Landsat-7 ETM+ merupakan nilai digital masing-masing pixel pada masing-masing band. Pengambilan nilai digital berdasarkan kesamaan posisi dari titik kedalaman sesuai desain survei.

3.5.1 Analisis korelasi Penggunaan analisa korelasi bertujuan untuk menentukan besarnya hubungan antara data kedalaman dan nilai digital pada masing-masing band. Analisa korelasi untuk variabel bebas (x) yaitu nilai digital pada masing-masing band dan variabel terikat (y) yaitu nilai kedalaman adalah sebagai berikut (Walpole 1995) :

(11) Keterangan: r : koefisien korelasi n : jumlah data x : nilai digital masing-masing band y : nilai kedalaman lapang 3.5.2 Analisis komponen utama

Penggunaan analisa komponen utama (Principal Componen Analysis=PCA) adalah untuk menyederhanakan tujuh saluran Landsat-7 ETM+ menjadi 3 saluran dengan membuat sumbu koordinat baru pada tampilan diagram pencar menggunakan analisa statistik. Nilai kecerahan baru yang akan dihasilkan secara sederhana dirumuskan oleh Jensen (1986) sebagai berikut:

New DN i,j,p = Total (k=1-n) akp DN i,j,k ( 12)

Keterangan: akp : faktor muatan (eigen factor) DN i,j,k : nilai kecerahan pada saluran k, baris i, kolom j N : jumlah saluran 3.5.3 Penyusunan model penduga kedalaman dengan nilai respon spektral data

Landsat-7 ETM+

Untuk mendapatkan model hubungan data kedalaman dengan nilai respon spektral data Landsat-7 ETM+ yang terbaik, maka dilakukan analisa regresi. Analisa

( ) ( )( )( ) ( )[ ] ( ) ( )[ ]2222 ∑∑∑∑

∑∑∑−−

−=

iiii

iiii

yynxxn

yxyxnr

Page 47: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

28

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

−−−=

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

321

)cos()sin()sin()sin()cos(0)cos()sin(

)sin()cos()sin()cos()cos(

321

XXX

xssrsr

rrssrsr

YYY

regresi digunakan untuk menentukan besarnya pengaruh setiap perubahan yang dilakukan terhadap koefisien atau variabel nilai dari masing-masing operasi penajaman yang dilakukan terhadap nilai kedalaman. Model regresi yang dicobakan yaitu model linear, logaritmik, power dan eksponensial.

Tabel 3 Model regresi yang dicobakan

No. Bentuk Model Bentuk Standar 1. Linear y = Ax+B

2. Logaritmik y= Aln(x)+B

3. Power Y=Axn

4. Eksponensial Y=Aenx

3.5.4 Pemilihan model terbaik

Pemilihan model terbaik menggunakan uji visual kenormalan sisaan dan uji keaditifan model digunakan untuk menguji asumsi apakah nilai sisaan dan dugaan berbentuk pola atau tidak. Jika nilai sisaan dan dugaan menyebar secara acak maka model dikatakan handal, sedangkan jika pola sisaan dan dugaan berbentuk sistematis maka model dikatakan tidak handal.

3.6 Pengolahan Algoritma Van Hengel dan Spitzer

Algoritma yang dirumuskan oleh Van Hengel dan Spitzer merupakan algoritma transformasi nilai citra satelit untuk menghasilkan nilai kedalaman relatif air laut. Algoritma ini membutuhkan tiga masukan citra yang dirumuskan sebagai berikut: (13) Keterangan: X1 : Citra pertama X2 : Citra kedua X3 : Citra ketiga Y1 : Hasil transformasi utama Y2 dan Y3 : Hasil sampingan transformasi r dan s : Sudut arah rotasi

Page 48: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

29

))1(arctan()( 2 ++= uusr

21cov21var2var

xxxxur

+=

13cov21var3var

xxxxus

+=

Formula di atas dapat dijabarkan dalam bahasa matematika perkalian matrik 3x3 sebagai berikut:

Y1 = X1 cos(r) cos(s) + X2 sin(r) cos(s) + X3 sin(s) Y2 = -X1 sin(r) + X2 cos(r) (14) Y3 = -X1 cos(r) sin(s) – X2 sin(r)sin(s) + X3 cos(s)

Nilai sudut arah rotasi (r dan s) dalam algoritma tersebut adalah konstanta yang diperoleh dari perhitungan dengan rumus sebagai berikut:

(15)

sedangkan u diperoleh dari rumus

(16)

(17)

keterangan: var xi : nilai varian band i cov xixj : adalah covarian bandi dan bandj Nilai kedalaman hasil rotasi di atas merupakan nilai kedalaman relatif yang ditunjukkan oleh variabel Y1. Sedangkan hasil rotasi Y2 dan Y3 hanyalah efek yang dihasilkan oleh matriks 3x3 ini. Langkah di atas diberlakukan untuk enam kombinasi citra masukan. Kombinasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4

Tabel 4 Susunan 6 kombinasi citra masukan algoritma Van Hengel dan Spitzer

no Masukan 1 (X1) Masukan 2 (X2) Masukan 3 (X3) Kombinasi Band

1 Band 1 Band 2 Band 3 123

2 Band 1 Band 3 Band 2 132

3 Band 2 Band 1 Band 3 213

4 Band 2 Band 3 Band 1 231

5 Band 3 Band 1 Band 2 312

6 Band 3 Band 2 Band 1 321

Page 49: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

30

Kedalaman yang dihasilkan Y1 masih berupa kedalaman relatif citra. Kedalaman relatif tersebut harus diubah menjadi kedalaman absolut untuk mendapatkan nilai kedalaman yang sebenarnya. Hal ini dilakukan dengan analisa regresi antara nilai kedalaman air relatif (Y1) dengan kedalaman air sebenarnya (hasil pengambilan data lapang). Persamaan regresi yang diperoleh digunakan untuk mengonversi citra kedalaman air relatif menjadi kedalaman air absolut yang diformulasikan menjadi

aY1,i + b = Sti (18)

keterangan: a dan b: konstanta yang diperoleh dari analisa regresi i : nomor piksel St : kedalaman air absolut (m) 3.7 Galat (Error) Model Nilai Digital Asli dengan Algoritma Van Hengel dan Spitzer

Penghitungan kedalaman dengan survei echo sounder maupun dengan penginderaan jauh tetap akan menimbulkan Galat (error). Perhitungan Galat (error) menggunakan rumus (Chapra 1988):

(19) Keterangan: εa: nilai Galat (error)

A1: pengukuran kedalaman menggunakan data penginderaan jauh A0: estimasi kedalaman menggunakan survei echo sounder. Secara ringkas tahapan-tahapan pengolahan data dapat dilihat pada Gambar 9.

εa= X 100 % A1 – A0 A0

Page 50: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

31

Transformasi Citra

Citra Landsat -7 ETM+

Peta Rupa Bumi 1:50000

Restorasi Citra

Koreksi Radiometrik Koreksi Geometrik

Masking

Cropping

Peta Batimetri 1:100000

Pengkajian Peta Perencanaan

Jalur Sounding

Penelitian Lapang

Pasang Surut Kedalaman

Kedalaman Terkoreksi (Z Lapang)

Data DN Citra

Algoritma Van Hengel dan

Spitzer

Model Regresi

Kandidat model

Model terbaik

123 132 213 231 312 321

Regresi

Kombinasi terbaik

Galat Galat

Analisa Korelasi PCA

Band terpilih

Peta Kedalaman dengan Algoritma Van

Hengel dan Spitzer (Z VH)

Peta Kedalaman dengan Model Nilai

Digital Asli (Z NDA)

Gambar 9 Diagram alir proses pengolahan data.

Page 51: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

4. HASIL

4.1 Koreksi Radiometrik Hasil perhitungan histogram pada band 1 (biru), band 2 (hijau), band 3 (merah), band 4 (inframerah dekat), band 5 (inframerah sedang) dan band 7 (inframerah jauh) sebelum dan setelah dilakukan koreksi radiometrik dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5 Nilai spektral sebelum dan setelah koreksi radiometrik

Band Nilai Spektral Sebelum Koreksi Radiometrik

Nilai Spektral Setelah Koreksi Radiometrik

Minimum Maksimum Minimum Maksimum 1 97 151 0 54 2 58 131 0 73 3 43 114 0 71 4 16 82 0 66 5 12 145 0 133 7 9 101 0 92

Sumber: Pengolahan Citra Selain itu untuk mengetahui bahwa citra ini benar-benar sudah terkoreksi radiometrik dapat dilihat dari histogram citra. Histogram citra akan menunjukkan nilai input minimal 0 apabila citra tersebut telah terkoreksi secara radiometrik. Gambar 10 berikut menunjukkan perbedaan histogram citra yang belum terkoreksi radiometrik dan setelah dilakukan koreksi radiometrik pada band 1. Perbandingan window transformasi sebelum dan sesudah koreksi radiometrik disajikan pada Gambar 10. Pada tampilan (a) menunjukkan angka actual input limit yaitu 97-151, artinya nilai minimum citra sebelum dikoreksi radiometrik adalah 97 dan nilai maksimal adalah 151. Pada tampilan (b) menunjukkan angka actual input limit yaitu 0-54 artinya nilai minimum citra setelah dilakukan proses koreksi radiometrik adalah 0 dan nilai maksimal adalah 54. Window transformasi sebelum dan setelah koreksi geometrik untuk band 2 sampai dengan band 5 dan band 7 dapat dilihat pada Lampiran 2. Perbedaan citra sebelum dan setelah koreksi radiometrik dapat dilihat pada Gambar 11.

Page 52: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

33

(a) (b)

Gambar 10 (a) Histogram citra band 1 sebelum koreksi radiometrik dan (b) Histogram citra band 1 setelah koreksi radiometrik.

Page 53: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

34

Gambar 11 (a) Citra sebelum koreksi radiometrik dan (b) Citra setelah koreksi radiometrik.

(a)

(b)

Page 54: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

35

4.2 Koreksi Geometrik Langkah setelah koreksi radiometrik adalah koreksi geometrik. Nilai RMS yang

diperoleh pada penelitian ini adalah 0.03 artinya pergeseran titik di lapangan adalah 0.03 * 30 meter yaitu sebesar 0.9 meter. Nilai ini masih kurang dari nilai maksimal yang diperbolehkan untuk Landsat-7 ETM+ yaitu 15 meter sehingga hasil koreksi geometrik dikatakan teliti.

4.3 Pembatasan Wilayah Penelitian (Image Cropping) Citra digital Satelit Landsat-7 ETM+ mempunyai luas liputan 185kmx185km yang

meliput sebagai wilayah Jakarta dan Teluk Jakarta. Untuk mempermudah proses pengolahan citra dan mengurangi memori penyimpanan dalam computer, maka dilakukan pemotongan citra (image cropping).

4.4 Pemisahan Obyek Laut dan Bukan Laut (Image Masking) Penelitian ini difokuskan pada wilayah laut saja sehingga obyek bukan laut harus

dihilangkan. Tahapan ini diperlukan agar obyek bukan laut tidak memberikan kontribusi dalam analisis data pada tahap selanjutnya. Pemisahan obyek dilakukan dengan cara memberikan nilai nol untuk obyek bukan laut. Citra hasil masking ini disimpan menjadi dataset yang digunakan pada pengolahan selanjutnya. Perbedaan antara citra sebelum masking dan setelah masking dapat dilihat pada Gambar 12. Pada citra setelah masking terdapat obyek hitam di tengah perairan dangkal. Obyek tersebut merupakan daratan yang telah diberi nilai nol (null value) sehingga pengolahan citra selanjutnya hanya memperhatikan obyek air saja. 4.5 Transformasi dengan Algoritma Van Hengel dan Spitzer

4.5.1 Penentuan arah rotasi citra Tahap awal dalam pengolahan citra menggunakan algoritma Van Hengel dan

Spitzer adalah menentukan konstanta arah rotasi citra (r dan s) untuk masing-masing kombinasi yang dihitung dari nilai varian dan kovarian dari masing-masing nilai digital yang mempunyai nilai kedalaman lapang. Hasil perhitungan nilai varian disajikan dalam Tabel 6, sedangkan nilai kovarian disajikan dalam Tabel 7.

Page 55: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

36

Gambar 12 (a) Citra RGB (321) sebelum masking; (b) Citra RGB (321) setelah masking.

(a)

(b)

Page 56: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

37

Tabel 6 Hasil perhitungan nilai varian band 1, band 2 dan band 3 Landsat-7 ETM+

Obyek Nilai Varian Band 1 57.73271 Band 2 110.5816 Band 3 46.72252

Tabel 7 Hasil perhitungan nilai kovarian band 1, band 2 dan band 3 Landsat-7 ETM+

Band 1 Band 2 Band 3 Band 1 57.48911 77.22758 41.03687 Band 2 77.22758 110.115 61.72953 Band 3 41.03687 61.72953 46.52538 Nilai varian dan kovarian digunakan untuk mencari nilai ur dan us dan selanjutnya

digunakan untuk mencari nilai konstanta r dan s sesuai dengan persamaan (3.4)-(3.7). Contoh perhitungan nilai ur dan us sehingga menghasilkan nilai konstanta r dan s dapat dilihat pada Lampiran 3. Secara keseluruhan nilai konstanta untuk seluruh kombinasi citra masukkan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Nilai konstanta arah rotasi citra (r dan s)

Kombinasi Citra Konstanta r Konstanta s Ur r Us s

Band 123 1.0897 1.1996o 1.2727 1.2378o

Band 132 1.2727 1.2378 o 1.0897 1.1996o

Band 213 1.0897 1.1996o 1.2741 1.2381o

Band 231 1.2741 1.2381o 1.0897 1.1996o

Band 312 1.2727 1.2378o 1.2741 1.2381o

Band 321 1.2741 1.2381o 1.2727 1.2378o

Dari perhitungan dapat dilihat bahwa nilai konstanta r dan s berkisar antara 1.1996° -1.2381°. Nilai ini menunjukkan arah rotasi yang nantinya akan digunakan dalam algoritma Van Hengel dan Spitzer.

Page 57: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

38

4.5.2 Pengolahan Algoritma Van Hengel dan Spitzer

Hasil pengolahan citra dengan menggunakan algoritma Van Hengel dan Spitzer untuk satu kombinasi citra masukan akan menghasilkan citra baru yang dinyatakan dalam Y1, Y2 dan Y3. Citra Y1 merupakan citra yang nilai pikselnya menunjukkan nilai kedalaman relatif sedangkan citra Y2 dan Y3 hanya merupakan hasil sampingan dari pengolahan dan belum diketahui informasi apa yang terkandung di dalam nilai pikselnya. Nilai digital kedalaman relatif pada masing-masing citra dengan menggunakan algoritma Van Hengel dan Spitzer dapat dilihat pada Lampiran 4.

Untuk mendapatkan nilai kedalaman air yang sebenarnya, maka nilai piksel citra kedalaman air relatif (Y1) dilakukan analisa regresi dengan data kedalaman air dari titik sampel di lapang. Kedalaman air yang terkoreksi sebagai sumbu X dan kedalaman relatif sebagai sumbu Y. Persamaan regresi yang diperoleh dipergunakan untuk mentransformasi seluruh nilai piksel citra kedalaman air relatif menjadi nilai piksel citra yang menunjukkan kedalaman absolut (kedalaman yang sebenarnya). Sehingga nilai piksel citra baru sudah merefleksikan besarnya nilai kedalaman air yang dicari dengan satuan meter. Tabel 9 menunjukkan persamaan kedalaman absolut yang ditransformasi dari persamaan regresi, sedangkan grafik persamaan regresi dan koefisien determinasi selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 13.

Tabel 9 Persamaan regresi linear sederhana dan persamaan untuk penentuan kedalaman absolut

Kombinasi Band

Persamaan Regresi Linear Sederhana

R2 r Persamaan untuk Kedalaman Absolut (Z)

123 y = -2.59x + 43.20 0.67 -0.82 Z=(43.20-KR)/2.59 132 y = -3.52x + 55.54 0.76 -0.87 Z=(55.54-KR)/3.52 213 y = -2.58x + 43.19 0.67 -0.82 Z=(43.19-KR)/2.58 231 y = -2.92x + 47.82 0.79 -0.89 Z=(47.82-KR)/2.92 312 y = -3.62x + 56.65 0.78 -0.88 Z=(56.65-KR)/3.62 321 y = -3.15x + 50.62 0.80 -0.90 Z=(50.62-KR)/3.15

Untuk memudahkan pembacaan hasil estimasi kedalaman laut melalui citra, maka

hasil pengolahan tersebut disajikan dalam bentuk peta. Peta estimasi kedalaman laut dengan algoritma Van Hengel dan Spitzer dapat dilihat pada Gambar 14.

Page 58: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

39

y = -3.1496x + 50.615R2 = 0.8042

0

10

20

30

40

50

60

0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 14.0 16.0

kedalaman lapang (m)

nila

i dig

ital 3

21

y = -2.917x + 47.815R2 = 0.7952

05

10152025303540455055

0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 14.0 16.0

kedalaman lapang (m)

nila

i dig

ital 2

31

y = -3.622x + 56.65R2 = 0.7828

0

10

20

30

40

50

60

70

0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 14.0 16.0

kedalaman lapang (m)

nila

i dig

ital 3

12

y = -3.5217x + 55.542R2 = 0.7635

0

10

20

30

40

50

60

70

0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 14.0 16.0

kedalaman lapang (m)

nila

i dig

ital 1

32

y = -2.5854x + 43.189R2 = 0.675

0

10

20

30

40

50

60

0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 14.0 16.0

kedalaman lapang (m)

nila

i dig

ital 2

13

y = -2.5861x + 43.201R2 = 0.675

0

10

20

30

40

50

60

0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 14.0 16.0

kedalaman lapang (m)

nila

i dig

ital 1

23

Gambar 13 Grafik persamaan regresi dan koefisien determinasi kedalaman relatif algoritma Van Hengel dan Spitzer.

Page 59: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

40

Gambar 14 Peta estimasi kedalaman laut menggunakan algoritma Van Hengel dan Spitzer.

SEBARAN KEDALAMAN ALGORITMA VAN HENGEL

DAN SPITZER (321) Datum: WGS 84 UTM Zone 48 S

Page 60: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

41

4.6 Pembuatan Model dengan Nilai Digital Asli

4.6.1 Penentuan koefisien korelasi Langkah pertama dalam penyusunan model adalah penentuan koefisien korelasi

(r) antara peubah-peubah bebas (nilai digital/digital number/DN) dan peubah tidak bebas (kedalaman lapang atau z_lapang). Koefisien korelasi ini akan menentukan peubah bebas mana yang mempunyai korelasi tidak erat sehingga dapat dihilangkan dalam pembentukan model. Hasil koefisien korelasi ditunjukkan pada Tabel 10.

Tabel 10 Koefisien korelasi antar peubah bebas Landsat-7 ETM+

Band 1 Band 2 Band 3 Band 4 Band 5 Band 7

Band 2 0.97

Band 3 0.79 0.86

Band 4 0.36 0.38 0.57

Band 5 0.18 0.20 0.35 0.54

Band 7 0.22 0.23 0.24 0.32 0.26

Z_lapang -0.90 -0.88 -0.72 -0.32 -0.19 -0.23

Berdasarkan Tabel 10 di atas, Landsat-7 ETM+ mempunyai korelasi tinggi pada pada band 1 dan band 2 sebesar 0.97, band 1 dan band 3 sebesar 0.79 dan band 2 dan band 3 sebesar 0.86. Kesimpulannya band 1, band 2 dan band 3 mempunyai korelasi yang erat. Band yang mempunyai koefisien korelasi erat tidak bisa digabungkan dalam satu kandidat model karena band-band tersebut bersifat multikolinear artinya band-band tersebut akan dapat saling meniadakan dalam menerangkan peubah tak bebas (kedalaman lapang).

4.6.2 Komponen utama pembentuk model Analisis selanjutnya yaitu dengan melakukan analisis komponen utama (Principal

Componen Analysis/PCA). Analisa ini bertujuan untuk menentukan band mana saja yang berpengaruh pada pembentukan model kedalaman. Hasil analisa komponen utama ditunjukkan pada Tabel 11.

Page 61: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

42

Tabel 11 Komponen utama pembentuk model pada Landsat-7 ETM+

Eigenanalysis of the Correlation Matrix

Eigenvalue 3.326 1.258 0.795 0.433 0.169 0.019

Proportion 0.554 0.210 0.132 0.072 0.028 0.003

Cumulative 0.554 0.764 0.897 0.969 0.997 1.000

Variable PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6

b1 0.481 -0.367 0.059 -0.147 0.500 0.599

b2 0.496 -0.356 0.038 -0.142 0.135 -0.767

b3 0.506 -0.135 -0.114 0.106 -0.808 0.222

b4 0.376 0.439 -0.237 0.729 0.274 -0.059

b5 0.271 0.606 -0.381 -0.643 0.038 0.001

b7 0.229 0.401 0.884 -0.052 -0.053 0.006

4.6.3 Kandidat model Kandidat model diperoleh dari regresi antara nilai kedalaman perairan lapang

sebagai variabel tak bebas (y) dan nilai-nilai digital sebagai variabel bebas (x). Hasil regresi dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Kandidat model penduga kedalaman

Kandidat Model Band 1 R2 Band 2 R2 Band 3 R2

Linear y = -0.37x + 14.54 0.81 y = -0.26x + 13.57 0.77 y = -0.35x + 12.80 0.53

Logaritmik y= -7.27Ln(x) + 28.45 0.83 y = -6.03Ln(x) + 25.84 0.77 y= -5.92Ln(x) + 23.16 0.56

Power y = 175.98x-1.13 0.81 y = 117.86x-0.94 0.76 y = 82.55x-0.94 0.57

Eksponential y = 21.07e-0.06x 0.84 y = 18.03e-0.04x 0.81 y = 16.24e-0.06x 0.58

Pada Tabel 12, terlihat kandidat model band 1 mempunyai koefisien determinasi

(R2) antara 0.81-0.84, kandidat model band 2 mempunyai koefisien determinasi (R2) antara 0.77-0.81, dan kandidat model band 3 mempunyai koefisien determinasi (R2) antara 0.53-0.58. Kandidat model terkuat yaitu pada band 1 yang mempunyai koefisien determinasi paling tinggi dibandingkan dengan band-band lainnya.

Page 62: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

43

4.6.4 Pemilihan model terbaik Untuk memilih model terbaik perlu dilakukan analisis residual untuk memeriksa

apakah asumsi-asumsi yang mendasari model regresi terpenuhi. Asumsi-asumsi tersebut antara lain: kenormalan (normality), keacakan (randomness), kehomogenan ragam (homoscedasticity). Rangkuman hasil analisis residual dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil selengkapnya tentang analisis regresi dan analisis residual dapat dilihat pada Lampiran 5.

Tabel 13 Rangkuman hasil analisis residual kandidat model band 1 Kandidat

Model Band 1 R2 Kenormalan

Sisaan Keacakan

Sisaan Kehomogenan

Ragam

Linear y = -0.37x + 14.543 0.81 √ √ √

Logaritmik y= -7.27Ln(x) + 28.45 0.83 √ √ √

Power y = 175.98x-1.13 0.81 √ √ √

Eksponential y = 21.07e-0.06x 0.84 √ √ √

Dari Tabel 13 di atas dapat dilihat bahwa analisis residual memberikan hasil yang

sama terhadap semua kandidat model sehingga pemilihan model terbaik dengan melihat kandidat model yang memiliki R2 terbesar. Kesimpulannya adalah persamaan bentuk eksponential dengan nilai R2=0.84 dengan persamaan y=21.07e-0.06x merupakan model. Model ini bisa menerangkan keragaman nilai peubah Y sebesar 84%. Citra hasil pengolahan dengan model terbaik ditampilkan dalam Gambar 15.

Page 63: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

44

Gambar 15 Peta estimasi kedalaman laut menggunakan Model Nilai Digital Asli.

SEBARAN KEDALAMAN MODEL NILAI DIGITAL ASLI

Datum: WGS 84 UTM Zone 48 S

Page 64: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

45

4.7 Galat (Error) Model Nilai Digital Asli dengan Algoritma Van Hengel dan Spitzer Penghitungan kedalaman dengan survei echo sounder maupun dengan

penginderaan jauh tetap akan menimbulkan galat (error) terhadap kedalaman yang sebenarnya. Tabel 14 dibawah ini menunjukkan rata-rata galat (error) pada masing-masing kelas kedalaman.

Tabel 14 Rata-rata dan selang galat (error) pada masing-masing kelas kedalaman

Kelas Kedalaman (m)

Algoritma Van Hengel dan Spitzer (321)

Model Nilai Digital Asli

Kisaran (%) Rata-rata (%) Kisaran (%) Rata-rata (%) < 3 0-100 46 1-87 30 3-6 0-100 38 1-55 20 6-9 1-74 17 0-59 14

9-12 0-22 8 1-33 10 12-15 1-20 14 4-25 14

Grafik antara kedalaman lapang (ZL), estimasi kedalaman dengan algoritma Van Hengel dan Spitzer 321 (ZVH321) serta estimasi kedalaman dengan model nilai digital terbaik (ZNDA) dapat dilihat pada gambar 16. Grafik nilai galat (error) pada estimasi dengan algoritma Van Hengel dan Spitzer serta estimasi dengan model kedalaman nilai digital asli dapat dilihat pada Gambar 17. Perbandingan nilai kedalaman lapang dan estimasi kedalaman dengan algoritma Van Hengel dan Spitzer serta model nilai digital asli terbaik pada masing-masing titik kedalaman dan nilai galat (error) dapat dilihat pada Lampiran 6.

Page 65: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

46

0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

14.0

16.0

18.0

20.0

1 11 21 31 41 51 61 71 81 91 101 111 121 131 141 151 161 171 181 191 201 211 221 231

Titik

Ked

alam

an

ZL ZVH321 ZNDA

Gambar 16 Grafik kedalaman lapang (ZL), estimasi kedalaman dengan Model Van Hengel dan Spitzer 321(ZVH321) dan estimasi kedalaman dengan

Model Nilai Digital Asli (ZNDA).

Page 66: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

47

Gambar 17 Galat (error) estimasi kedalaman dengan Model Van Hengel dan Spitzer (321) dan estimasi kedalaman dengan Model Nilai Digital Asli dalam persen (%).

0%

20%

40%

60%

80%

100%

ZL 2.2 3.8 4.3 5.9 7.5 7.7 8.5 9.4 10.0 10.9 11.9

Z Lapang (m)

Gal

at (E

rror

) (%

)

eVH321 eNDA

2 ZL 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

GUGUS PULAU

PARI

Page 67: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

5. PEMBAHASAN

Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya untuk informasi yang bersifat spasial. Hal tersebut didukung dengan penggunaan data penginderaan jauh dan dirumuskan dalam suatu perencanaan serta strategi pengolahan data yang sesuai dengan tujuan pemanfaatannya.

Data penginderaan jauh khususnya data citra satelit memiliki beberapa keunggulan terutama dalam hal cakupan spasial dan kekontinuitasan data rekaman yang lebih baik dibandingkan dengan data penginderaan jauh yang lain. Data penginderaan jauh ini membutuhkan perlakuan khusus untuk mengekstrak informasi yang diinginkan. Perlakuan khusus ini lebih sering disebut dengan teknik pengolahan citra (Danoedoro 1996).

Pengolahan citra mempunyai tujuan untuk mendapatkan citra baru dari citra asli perekaman satelit. Citra baru yang dihasilkan dapat dianalisis lebih lanjut guna memperoleh informasi tertentu sesuai dengan tujuan pemanfaatannya. Pengolahan citra dilakukan dalam beberapa tahapan diantaranya yaitu prapemrosesan citra digital yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas citra agar mempunyai kualitas lebih baik (dari citra asli) baik secara geometrik maupun radiometrik. Selanjutnya pengolahan citra disesuaikan dan diarahkan dengan tujuan yang diharapkan.

Pada penelitian ini hanya menggunakan 6 dari 8 band yang terdapat pada Landsat-7 ETM+ yaitu band 1- band 5 dan band 7. Pemilihan band karena band 1-band 5 dan band 7 mempunyai resolusi spasial 30 meter x 30 meter, berbeda dengan band 6 yang mempunyai resolusi spasial 120 meter x 120 meter sedangkan band 8 (band pankromatik) mempunyai resolusi spasial 15 meter x 15 meter.

5.1 Koreksi Radiometrik Koreksi radiometrik citra dilakukan untuk memperbaiki kualitas visual citra dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai dengan pancaran spektral obyek yang sebenarnya (Guindon 1984 yang diacu dalam Jensen 1986). Koreksi radiometrik ini biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan

Page 68: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

49

utama, sehingga koreksi radiometrik juga dikenal untuk mengurangi atau bahkan dapat menghilangkan gangguan (distorsi) yang ditimbulkan oleh atmosfer. Koreksi radiometrik mempunyai asumsi bahwa nilai piksel terendah pada suatu kerangka liputan (scene) seharusnya bernilai nol (null value) sesuai dengan bit coding sensor. Apabila nilainya tidak nol, maka nilai penambah (nilai bias=offset) tersebut dipandang sebagai hasil hamburan atmosfer. Koreksi ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: metode penyesuaian histogram, metode penyesuaian regresi, metode kalibrasi bayangan maupun metode yang lainnya (Danoedoro 1996; Jensen1986). Masing-masing metode mempunyai keunggulan.

Pada penelitian ini koreksi yang digunakan adalah metode penyesuaian histogram (histogram adjustment). Alasan pemilihan metode ini adalah 1) metode ini cukup sederhana, 2) waktunya cukup singkat dalam pemrosesan, 3) tidak memerlukan perhitungan matematis yang rumit. Asumsi yang melandasi metode ini adalah setiap obyek yang memberikan respon spektral paling rendah seharusnya bernilai nol (null

value) apabila nilainya lebih besar dari nol maka nilai tersebut perlu dikoreksi yaitu dengan jalan mengurangi nilai masing-masing band dengan bias atau nilai minimum yang ada pada masing-masing band. Secara teori, hamburan atmosfer yang terjadi semakin besar pada panjang gelombang yang lebih rendah. Hamburan atmosfer merupakan faktor pengganggu kemurnian nilai spektral obyek air yang akan memperbesar setiap nilai piksel dalam suatu liputan citra. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 bab 4. Band 1 (panjang gelombang biru) mempunyai nilai bias yang paling tinggi yaitu 97 disusul dengan band 2 (panjang gelombang hijau) dengan nilai bias 58 kemudian band 3 (panjang gelombang merah) dengan nilai bias 43 disusul dengan band 4 (panjang gelombang inframerah dekat) dengan nilai bias 16, band 5 dan 7 (panjang gelombang inframerah) dengan nilai bias 12 dan 9.

Setelah dilakukan pengurangan pada tiap-tiap band dengan masing-masing nilai nilai bias maka nilai minimum spektral setelah koreksi radiometrik adalah nol, seperti terlihat pada gambar 9 untuk band 1 dan Lampiran 1 untuk band 2-band 5 dan band 7. Penghilangan nilai bias tersebut berarti telah menghilangkan faktor gangguan atmosfer pada liputan citra.

Page 69: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

50

Secara visual perbedaan citra sebelum dan setelah koreksi radiometrik dapat dilihat pada Gambar 11. Secara umum gambaran hasil koreksi radiometrik akan memberikan citra dengan kenampakan visual yang lebih gelap dari citra sebelum koreksi radiometrik. Hal ini karena seluruh nilai piksel terkoreksi radiometrik mempunyai nilai yang lebih rendah dari citra sebelum koreksi sehingga memiliki rona yang lebih gelap dibandingkan dengan citra sebelum koreksi yang disebabkan menurunnya nilai digital masing-masing piksel setelah dikurangi nilai bias (hamburan atmosfer).

5.2 Koreksi Geometrik Koreksi geometrik pada dasarnya merupakan suatu proses penempatan kembali

posisi piksel sedemikian rupa sehingga pada citra yang tertansformasi dapat dilihat gambaran-gambaran objek permukaan bumi yang terekam oleh sensor. Koreksi ini didasarkan pada ground control points (GCP) atau titik-titik kontrol medan yang telah diketahui koordinatnya dengan pasti di muka bumi. Peta acuan yang digunakan untuk koreksi geometrik adalah Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1: 25000 lembar Pulau Pari (lembar 1210-114) dan Pulau Payung (lembar 1210-113).

Secara ideal untuk melakukan koreksi geometrik citra terutama untuk perairan, lebih baik menggunakan peta-peta laut seperti Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN), Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI), Peta Batimetri atau Peta Topografi sebagai acuan. Akan tetapi pada wilayah perairan Pulau Pari tidak terdapat peta-peta laut skala besar karena memang belum dipetakan. Peta-peta laut yang sudah tersedia hanyalah skala kecil dengan kenampakan obyek yang tidak begitu detail sehingga tidak memungkinkan digunakan sebagai acuan untuk koreksi geometrik. Karena alasan tersebut maka digunakan Peta Rupa Bumi sebagai acuan dalam melakukan koreksi geometrik.

Koreksi geometrik dilakukan dengan dua tahapan yaitu tahap transformasi koordinat (spatial interpolation) dan transformasi spektral (resampling). Tahap transformasi koordinat dilakukan dengan metode polinomial karena koreksi ini menggunakan GCP antara citra dengan peta acuan. Fungsi polinomial yang digunakan dalam koreksi ini adalah linear dengan pertimbangan kondisi topografi daerah penelitian yang relatif datar yaitu berupa dataran pantai dan perairan dangkal. GCP yang digunakan untuk 1 scene minimal 30 titik, pemilihan titik kontrol yang baik akan menambah tingkat ketelitian koreksi geometrik.

Page 70: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

51

Proses resampling dilakukan dengan metode tetangga terdekat (nearest

neighbour interpolation) karena bersifat hanya mencari rerata diantara nilai piksel (kecerahan) terdekat sehingga penggunaan metode ini karena tidak merubah nilai-nilai piksel lainnya.

Tingkat ketelitian hasil koreksi geometrik dapat diketahui dari besarnya nilai root

means square (RMS) error. Idealnya nilai RMS error maksimal adalah 0.5 artinya kesalahan pergeseran titik pusat di lapangan maksimal adalah 0.5 dari resolusi spasialnya. Jika resolusi spasial Landsat-7 ETM+ adalah 30 meter, maka maksimal pergeseran setelah dilakukan koreksi geometrik adalah 15 meter. Nilai RMS yang diperoleh pada penelitian ini adalah 0.03 sehingga pergeseran titik di lapangan adalah 0.03*30 meter yaitu sebesar 0.9 meter. Nilai ini masih kurang dari nilai maksimal yang diperbolehkan untuk Landsat-7 ETM+ sehingga hasil koreksi geometrik dikatakan teliti.

5.3 Pemisahan Obyek Laut dan Bukan Laut (Image Masking) Penggunaan rumus pemisahan obyek laut dan bukan laut dengan menggunakan

logika jika nilai spektral band 5 dibagi dengan nilai spektral band 2, hasilnya lebih kecil dari 1 maka nilai tersebut adalah obyek laut dan diberikan nilai sesuai dengan nilai piksel pada masing-masing band. Selain nilai tersebut diberi nilai nol, diberi warna hitam dan dikenal sebagai obyek bukan laut (darat). Pemilihan rasio band 5 dan band 2 dengan alasan bahwa band 5 merupakan band inframerah yang memiliki daya serap tinggi terhadap obyek air sedangkan band 2 memiliki daya tembus yang besar dalam kolom air, apabila nilai spektral band 5 kecil dan nilai spektral band 2 tinggi maka nilai dibawah 1 merupakan obyek air.

5.4 Algoritma Van Hengel dan Spitzer Salah satu tujuan penelitian ini adalah menerapkan algoritma yang dikemukakan

oleh dua orang ilmuwan Belanda yaitu Van Hengel dan Spitzer. Algoritma ini hanyalah salah satu dari sekian algoritma yang berfungsi untuk penyadapan informasi kedalaman perairan memanfaatkan data citra penginderaan jauh. Selama ini algoritma yang banyak digunakan untuk mengekstrak kedalaman perairan di perairan Indonesia adalah algoritma Lyzenga(1979) dan Bierwith (1983). Algoritma Van Hengel dan Spitzer merupakan pengembangan algoritma kedalaman yang dipopulerkan oleh Lyzenga.

Page 71: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

52

Dalam penelitian ini penulis melakukan modifikasi terhadap penerapan algoritma Van Hengel dan Spitzer. Dalam publikasinya, algoritma Van Hengel dan Spitzer berbentuk perkalian matriks 3x3 yang membutuhkan tiga citra sebagai data masukan. Data yang digunakan adalah Landsat TM multi temporal dengan tiga waktu perekaman yang berbeda pada tempat yang sama, sedangkan pada penelitian ini mencoba menerapkan algoritma Van Hengel dan Spitzer untuk data citra Landsat-7 ETM+ multi band pada waktu perekaman yang sama. Band yang digunakan dalam penelitian ini adalah band yang diyakini memiliki respon spektral terbaik untuk obyek perairan yaitu band 1 (biru dengan panjang gelombang 0.45-0.52 µm), band 2 (hijau; 0.52-0.60 µm) dan band 3 (merah; 0.63-0.69 µm). Disamping itu karena tiap-tiap band yang dipilih diyakini memiliki karakteristik khusus terhadap perairan dan kombinasi data masukan memungkinkan mempengaruhi data yang diperoleh maka penerapan algoritma Van Hengel dan Spitzer ada enam kombinasi masukan dari tiga band yang digunakan.

Pengolahan citra menggunakan algoritma Van Hengel dan Spitzer, dimulai dengan mencari nilai konstanta arah rotasi citra (r dan s) yang diasumsikan sebagai konstanta terhadap citra yang akan dianalisa. Hasil pengolahan untuk semua kombinasi citra diperoleh nilai arah rotasi citra (r dan s) berkisar 1.2°. Hasil pengolahan untuk tiap kombinasi akan menghasilkan tiga buah citra yang diwujudkan dalam anotasi Y1, Y2 dan Y3. Tetapi, hanya citra Y1 saja yang memiliki informasi nilai kedalaman air relatif. Sedangkan citra Y2 dan Y3 merupakan hasil sampingan dan belum diketemukan keterkaitannya dengan apapun termasuk dalam penelitian yang dilakukan oleh Van Hengel dan Spitzer sendiri.

Pada prinsipnya untuk mengestimasi kedalaman air laut dari citra satelit tidak seluruhnya murni dari hasil pengolahan citra satelit. Pengolahan citra satelit hanyalah untuk memperjelas faktor yang mempengaruhi nilai kedalaman air laut, sedangkan penentuan nilai kedalaman yang sebenarnya tetap membutuhkan data kedalaman air laut yang sudah diketahui kebenarannya secara pasti. Begitu pula dalam penerapan algoritma Van Hengel dan Spitzer ini. Pengolahan dengan algoritma Van Hengel dan Spitzer hanya digunakan untuk menentukan kedalaman air relatif. Nilai digital Y1 (yang menunjukkan kedalaman relatif) diregresikan dengan nilai kedalaman air laut pada titik sampel hasil pengukuran lapang (Z lapang). Sumbu x sebagai kedalaman lapang dan sumbu Y sebagai data kedalaman air relatif.

Page 72: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

53

Cara transformasi pada Tabel 9 didasarkan pada persamaan y=a+bx, dengan y adalah citra hasil pengolahan yang menunjukkan kedalaman relatif. Pada transformasi persamaan diubah menjadi KR (kedalaman relatif), a merupakan slope (kemiringan garis) persamaan, b konstanta intercept atau nilai perpotongan garis regresi pada sumbu y dan x merupakan nilai obyek di lapangan dalam hal ini adalah kedalaman laut. Untuk mengetahui nilai x atau kedalaman absolut (kedalaman lapang), maka persamaan tersebut harus dirubah menjadi z=(y-b)/a, dengan z merupakan kedalaman absolut (kedalaman lapang). Persamaan regresi dengan algoritma Van Hengel dan Spitzer menjadi persamaan untuk menentukan kedalaman laut dapat dilihat pada Tabel 9.

Citra hasil pengolahan dengan algoritma Van Hengel dan Spitzer yang telah ditransformasi ulang menggunakan persamaan regresi sudah menunjukkan nilai kedalaman laut. Nilai-nilai digitalnya secara langsung dapat menunjukkan estimasi nilai kedalaman laut sebenarnya di lapangan (kedalaman absolut).

Hasil analisa regresi diperoleh enam persamaan regresi yang akan digunakan untuk mencari nilai kedalaman absolut. Hasil persamaan regresi memiliki nilai koefisien determinasi (R2) yang bervariasi antara 0.68-0.80. Koefisien determinasi (R2) tertinggi yaitu 0.80 dihasilkan dari kombinasi band 321 (hasil selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 9). Artinya bahwa model yang dihasilkan mampu menerangkan keragaman nilai peubah Y (dalam kasus ini adalah kedalaman relatif) sebesar 80%. Berdasarkan nilai Koefisien determinasi (R2) dapat disimpulkan bahwa kombinasi band 321 merupakan kombinasi terbaik pada pengolahan citra dengan algoritma Van Hengel dan Spitzer.

Berdasarkan analisa korelasi terhadap kedalaman lapang dan nilai digital Y1 (kedalaman relatif) diperoleh nilai koefisien korelasi (r) yang cukup tinggi yaitu berkisar antara -0.82 sampai dengan -0.9. Nilai koefisien korelasi tertinggi pada kombinasi band 321 dengan r=-0.9. Nilai koefisien korelasi -0.82 sampai dengan -0.9 menunjukkan keeratan hubungan linear antara kedalaman lapang dengan kedalaman relatif. Koefisien korelasi bernilai negatif, artinya ada hubungan terbalik antara nilai spektral dari kedalaman relatif dengan nilai kedalaman lapang perairan. Semakin dalam perairan maka nilai spektral yang dihasilkan semakin rendah. Demikian pula sebaliknya, semakin dangkal suatu perairan maka nilai spektral yang dihasilkan semakin tinggi.

Dari analisis regresi linear dan korelasi menunjukkan bahwa kedalaman lapang dan kedalaman relatif mempunyai hubungan yang erat. Kombinasi terbaik terdapat pada

Page 73: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

54

kombinasi band 321. Dari hasil yang diperoleh maka algoritma Van Hengel dan Spitzer dapat dipergunakan untuk memetakan kedalaman perairan khususnya di perairan pulau pari. 5.5 Model dengan Nilai Digital Asli

Seperti yang telah disebutkan dalam pembahasan di atas bahwa penelitian dengan topik ini sudah banyak dilakukan terutama diluar negeri yang kondisi fisik dan alamnya berbeda dengan kondisi Indonesia. Kecuali itu citra penginderaan jauh Landsat (Land Satellite/satelit untuk daratan) merupakan citra yang dibuat untuk kajian-kajian yang difokuskan di darat, sedangkan untuk kajian-kajian kelautan masih mempunyai porsi yang sedikit.

Secara teori panjang gelombang yang bisa menembus air adalah sinar tampak

dengan panjang gelombang berkisar antara 0.4-0.69μm. Pada satelit Landsat, panjang

gelombang tersebut ada pada band 1 (biru; 0,45 – 0,52 μm), band 2 (hijau; 0,52 – 0,60

μm) dan band 3 (merah; 0,63 – 0,69 μm). Pemilihan ini didukung dengan hasil analisa

korelasi antar peubah bebas Landsat-7 ETM+ yaitu band-band yang ada pada Landsat tersebut (dalam hal ini adalah band 1-5 dan band 7) dengan kedalaman lapang. Dari analisa korelasi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa band 1, band 2 dan band 3 mempunyai korelasi yang kuat dengan kedalaman lapang. Band 1 mempunyai korelasi yang paling tinggi, hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi -0.90, disusul dengan band 2 dengan nilai -0.88 dan band 3 dengan nilai -0.72.

Analisa korelasi (hasilnya dapat dilihat pada Tabel 10) menunjukkan bahwa band 1 dan band 2 mempunyai korelasi yang erat dengan nilai r=0.97, band 1 dan band 3 juga mempunyai korelasi yang erat dengan nilai r=0.79 begitu juga band 2 dan band 3 dengan nilai r=0.86. Dari data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa band 1, band 2 dan band 3 bersifat multikolinear. Artinya band-band tersebut akan saling meniadakan dalam menerangkan peubah tak bebas (kedalaman lapang). Sehingga pembuatan kandidat model hanya bisa menggunakan band 1, band 2 dan band 3 secara terpisah (band tunggal).

Sifat multikolinear band 1, band 2 dan band 3 diperkuat dengan analisa PCA yang hasilnya bisa dilihat pada Tabel 11. Dengan melihat akar ciri (eigenvalue) yang lebih dari

Page 74: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

55

1 dan proporsi ≥ 0 (dalam hal ini PC1), maka hasil analisis komponen utama menunjukkan ada 3 kelompok, yaitu: 1. Band 1, band 2 dan band 3; dengan nilai konstanta PC1 antara 0.481-0.506

merupakan band yang paling berpengaruh (komponen utama) sebagai variabel bebas dalam kandidat model,

2. Band 4 dengan nilai konstanta PC1 0.376 merupakan band yang tidak terlalu berpengaruh sebagai variabel bebas dalam kandidat model,

3. Band 5 dan band 7 dengan nilai konstanta 0.271-0.299 merupakan band yang tidak berpengaruh sebagai variabel bebas dalam kandidat model

Berdasarkan sifat panjang gelombang dan didukung dengan hasil analisis korelasi

dan analisis komponen utama maka band yang digunakan dalam model penelitian ini adalah band 1 (panjang gelombang biru) yang secara teori mempunyai daya tembus pada kolom air paling besar dibandingkan dengan panjang gelombang lainnya, band 2 (panjang gelombang hijau) dan band 3 (panjang gelombang merah).

Namun band 1, band 2 dan band 3 berada pada kelompok utama yang sama dalam PCA artinya masing-masing band memiliki korelasi erat atau bersifat multikolinear yaitu masing-masing band akan menerangkan peubah bebasnya dengan sama kuat. Sehingga dalam satu model tidak memungkinkan terdapat variabel bebas lebih dari satu band komponen utama artinya band yang digunakan adalah band tunggal saja.

Penentuan kandidat model dilakukan dengan regresi antara nilai digital dan kedalaman pada masing-masing band. Model yang diajukan ada 4 yaitu linear, logaritmik eksponensial dan power sehingga diperoleh 12 buah kandidat model. Kandidat model dan koefisien determinasi (R2) selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 12.

Penentuan model terbaik dilakukan dengan melihat koefisien determinasi (R2) yang tertinggi kemudian melihat secara visual sisaan yang dihasilkan dari model tersebut. Hasil koefisien determinasi (R2) antara band 1 dan band 2 bisa dikatakan tinggi karena lebih dari 0.75, artinya model yang dibuat bisa menerangkan keragaman kedalaman perairan dangkal sampai lebih dari 75 %. Tetapi kandidat model terkuat adalah band 1 karena secara realitas di lapang kemampuan band 1 untuk berpenetrasi ke dalam kolom air jauh lebih baik dibandingkan dengan band 2. Kandidat model terkuat tersebut kemudian dianalisis residual untuk memeriksa asumsi-asumsi yang mendasari model regresi. Asumsi-asumsi tersebut antara lain kenormalan (normality), keacakan

Page 75: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

56

(randomness), kehomogenan ragam (homoscedasticity) (Mattjik dan Sumertajaya 2002) yang hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13 dan Lampiran 5.

Dari Tabel 13 diperoleh kesimpulan bahwa semua kandidat model terkuat memenuhi asumsi yang mendasari model regresi. Sehingga kandidat model yang ditetapkan sebagai model untuk menduga kedalaman perairan dangkal adalah bentuk eksponential dengan nilai R2 0.84dengan persamaan y=21.07e-0.0591x. 5.6 Evaluasi Kemampuan Algoritma Van Hengel dan Spitzer serta Model Kedalaman

Nilai Digital Asli Terbaik dalam Menyajikan Informasi Kedalaman Perairan Citra hasil pengolahan dengan menggunakan algoritma Van Hengel dan Spitzer

(321) dan model Nilai Digital Asli Terbaik sudah tentu menunjukkan hasil yang berbeda. Walaupun penelitian ini menggunakan citra yang sama dan data primer yang digunakan juga sama tetapi karena diterapkan algoritma (model) yang berbeda maka memungkinkan memberikan hasil yang berbeda pula.

Secara umum kedua algoritma ini mampu menunjukkan kedalaman di perairan Gugus Pulau Pari dengan cukup baik seperti yang ditunjukkan dengan nilai R2 lebih dari 0.80 (0.80 untuk algoritma Van Hengel dan Spitzer (321) dan 0.84 untuk model Nilai Digital Asli Terbaik). Umumnya untuk penelitian kedalaman perairan yang dilakukan di wilayah Indonesia angka tersebut tergolong baik. Tetapi apabila dilihat dari nilai galat (error) untuk masing-masing algoritma maka akan terdapat beberapa perbedaan dari hasil pengolahan ini sebagaimana dilihat pada Tabel 14 dan Gambar 15 serta Gambar 16.

Algoritma Van Hengel dan Spitzer (321) menunjukkan nilai galat yang tinggi pada kedalaman ≤ 3 meter, dengan rata-rata galat lebih dari 40%, bahkan pada beberapa titik ada yang mempunyai galat 100%. Kemudian rata-rata galat ini menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Pada kedalaman antara 3-6 meter mempunyai rata-rata galat 38%, pada kedalaman 6-9 meter mempunyai rata-rata galat 17%. Rata-rata galat ini menjadi semakin kecil pada kedalaman lebih dari 9 meter.

Model Nilai Digital Asli mempunyai rata-rata galat yang lebih kecil dari algoritma Van Hengel dan Spitzer (321) sampai dengan kedalaman 9 meter. Pada kedalaman lebih dari 9 meter rata-rata galat meningkat kembali.

Dari nilai galat (Tabel 14 dan Gambar 17) Model Nilai Digital Asli memberikan estimasi yang mempunyai kesalahan lebih kecil pada kedalaman kurang dari 9 meter

Page 76: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

57

sedangkan Algoritma Van Hengel dan Spitzer (321) memberikan nilai kesalahan lebih kecil pada kedalaman lebih dari 9 meter.

5.7 Evaluasi Kemampuan Citra Satelit Landsat-7 ETM+ dalam Menyajikan Informasi

Kedalaman Perairan Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat diketahui kekurangan dan kelebihan

Landsat-7 ETM+ dalam mengestimasi kedalaman perairan. Landsat mempunyai band 1, band 2 dan band 3 yang merupakan band panjang gelombang sinar tampak. Band-band inilah yang sering digunakan untuk mengestimasi kedalaman perairan karena mempunyai karakteristik tersendiri. Band biru mempunyai kemampuan berpenetrasi terhadap kedalaman air paling baik dibandingkan dengan band-band lainnya. Selain itu band biru juga tidak banyak terpengaruh oleh material dasar perairan dan unsur-unsur fisik laut seperti konsentrasi sedimen dan kandungan klorofil di perairan. Sehingga band biru merupakan band yang paling baik dalam mendeteksi kedalaman perairan.

Meskipun band biru pada Landsat-7 ETM+ mempunyai banyak kelebihan, namun ada beberapa kekurangannya. Ada percampuran panjang gelombang antara spektrum biru dan spektrum hijau pada band 1 yang mengakibatkan citra band 1 kurang menunjukkan penetrasi yang maksimal dalam menyadap informasi kedalaman perairan. Demikian juga pada band 2 terdapat percampuran panjang gelombang antara spektrum hijau dan merah. Kondisi ini dapat dimaklumi karena Landsat bukanlah satelit yang dikhususkan untuk observasi kelautan tetapi merupakan satelit untuk invetarisasi darat.

Citra Landsat-7 ETM+ juga memiliki kekurangan dalam hal resolusi spasialnya terutama untuk aplikasi pemetaan dengan skala yang detail. Resolusi spasial band 1-5 dan band 7 dari Landsat-7 ETM+ adalah 30 meter yang menunjukkan bahwa obyek terkecil yang dapat direkam oleh sensor adalah obyek yang minimal berukuran 30x30 meter. Untuk obyek yang berukuran kurang dari itu maka akan digeneralisir dengan obyek lainnya yang dominan pada luas 30x30 meter. Untuk pemetaan yang bersifat detail atau memerlukan kedetailan yang lebih baik lagi citra ini kurang tepat untuk digunakan. Karena satu piksel di citra belum tentu menunjukkan kedalaman yang sama di lapangan. Ukuran 30x30 meter di lapang dapat menunjukkan angka yang sangat bervariasi terutama pada wilayah perairan yang didominasi oleh terumbu karang atau pada perairan yang mempunyai kedalaman tidak menurun secara tajam. Resolusi spasial ini lebih cocok digunakan pada pemetaan kedalaman laut yang memiliki topografi dasar laut yang landai.

Page 77: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

58

Metode pemrosesan yang digunakan pada penelitian ini menekankan pada proses penajaman citra untuk ekstraksi kedalaman laut dengan menggunakan transformasi terhadap nilai digital saluran asli. Transformasi ini memegang peranan penting dalam manipulasi data untuk analisa kualitatif. Transformasi yang digunakan merupakan transformasi matematis baik untuk algoritma Van Hengel dan Spitzer maupun untuk model nilai digital asli.

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis terhadap hasil pengolahan citra, kedua metode ini menunjukkan hasil yang baik terutama pada wilayah perairan yang mempunyai topografi dasar relatif landai.

Page 78: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari penelitian ini, yaitu: 1. Citra satelit Landsat-7 ETM+ band biru, band hijau dan band merah mempunyai

korelasi yang baik terhadap kedalaman sehingga dapat digunakan untuk mengestimasi kedalaman perairan dangkal.

2. Kombinasi band 321 merupakan kombinasi terbaik pada algoritma Van Hengel dan Spitzer untuk mengestimasi kedalaman perairan dangkal di Pulau Pari.

3. Model nilai digital asli terbaik diperoleh dari band 1 dengan persamaan eksponensial. 4. Model nilai digital asli terbaik memberikan nilai gallat rata-rata yang lebih kecil

dibandingkan algoritma Van Hengel dan Spitzer (321) pada kedalaman kurang dari 9 meter. Pada kedalaman lebih dari 9 meter algoritma Van Hengel dan Spitzer (321) memberikan nilai gallat rata-rata yang lebih kecil dibandingkan dengan model nilai digital asli terbaik.

6.2 Saran 1. Perlu dilakukan serangkaian uji coba dan kajian terhadap penerapan algoritma Van

Hengel dan Spitzer dengan menggunakan citra yang berbeda (jenis, waktu perekaman dan urutan komposisi data masukan yang dilakukan).

2. Perlu dilakukan analisis manfaat hasil sampingan (citra Y2 dan Y3) pada pengolahan algoritma Van Hengel dan Spitzer.

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengembangkan model nilai digital asli terbaik dengan memasukkan faktor-faktor optik laut sehingga model yang dihasilkan menjadi lebih baik dan akurat.

Page 79: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1999. Landsat 7 Handbook. http://ltpwww.gsfc.nasa.gov/IAS/handbook. [12 juli

2007]. Berita Bank Data Inderaja. 2000. LAPAN 1:13-16. Berlianto B. 1998. Kajian Pemanfaatan Citra Digital Landsat Thematic Mapper untuk Ekstraksi

Kedalaman Laut Dangkal di Tanjung berakit Pulau Bintan Riau [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.. 136 hal.

Bierwirth PN, Lee TJ, Burne. 1993. On-Line Algorithm Development. 1997. http:// atlas/marine /

coastal_atlas/remote_sensing/AGSO1_docs/report1/AGSOrept1b.html [23 Mei 2004]. Butler MJA, Mouchot C, Barote V, Blanc LC. 1988. The Application of Remote Sensing

Technology to Marine Fisheries. An Introductory Manual. FAO Fisheries Technical Paper No. 295. Rome: FAO.. 129 p.

Chapra CS, Canale RP. 1998. Numerical Methods for Engineers. 2nd edition. McGraw-Hill,inc.

345 p. Danoedoro P. 1996. Pengolahan Citra Digital: Teori dan Aplikasinya dalam Bidang

Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada. 254 hlm. Gordon HR. 1997. Atmospheric correction of ocean color imagery in the earth observing

system era. J Geophys Res 102:17081-17106. Gordon HR, Morel AY. 1983. Remote Assessment of Ocean Color for Interpretation of

Satellite Visible Imagery. Spinger-verlag. 114 p. Gordon HR, Wang M. 1994. Retrieval of water-leaving radiance and aerosol optical thickness

over the ocean with SeaWIFS: A preliminary algorithm. Applied Optics 33: 443-452. Green EP, Mumby PJ, Edwards AJ, Clark CD. 2000. Remote Sensing Handbook for Tropical

Coastal Management. Coastal Management Sourcebooks 3. Paris: UNESCO Publishing. 316 hlm.

Hakvoort JHM. 1994. Absorption of light by surface water [thesis]. Netherland: Delf University

of Technology. Hashim M. 1990. Opportunities limitations of bathymetric mapping from satellite remotely

sensed data dalam Remote sensing for marine studies. Remote sensing aplication for oceanography and fishery environmental analysis, Beijing China. 15 p.

Hendiarti N. 2003. Investigation on ocean color remote sensing in Indonesian water using

SeaWIFS [disertasi]. Rostock: Universität Rostock, Mathematisch-Naturwissenschaftlichen Fakultät. 93 p.

Page 80: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

61

Ilyas M. 1996. Teknologi Survey Laut. Direktorat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam,

Deputi Bidang Pengembangan Kekayaan Alam. Jakarta: BPPT. 167 hlm. Ilyas S, Rais J. 1997. Glosari istilah perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam. Jakarta:

Proyek MREP ISSN No. 0126-4983. 31 hlm. Iqbal. 1993. Radiation: orbital factors. http://www.met.wau.nl/meilukweb/drawsun.zip.

[12 Maret 2005] Islam A, Gao J, Ahmad W, Neil D, Bell P.2004. A composite DOP approach to excluding

bottom reflectance in mapping water parameters of shallow coastal zones from TM imagery. Remote Sensing of Environment 92:40–51.

JARS. 1993. Remote Sensing Note. Tokyo: Nihon Printing Co. Ltd. 253 p. Jaya NS. 1996. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Hutan. Presented on

Training Course on Geographical Information System for Suistainable Forest Management, 15-27 Juli 1996. Bogor: SEAMEO BIOTROP and PT Forest Citra Sejahtera. 58 hlm.

Jensen JR. 1986. Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing Perspective. New

Jersey: Prentice Hall. 276 p. Jerlov NG, Nielsen ES. 1974. Optical Aspect of Oceanography. London and New York:

Academic Press. 494 p. Jerlov NG. 1976. Marine Optics. Elseviers. Amsterdam. 231 p. Jupp DLB. 1988. Background and Extensions to Depth of Penetration (DOP) Mapping in

Shallow Coastal Waters. Proceedings of the Symposium on Remote Sensing of the Coastal Zone. Gold Coast. Quennsland. IV.2.1 – IV.2.19.

Leu LG, Chang HW. 2005. Remotely sensing in detecting the water depths and bed load of

shallow waters and their changes. Ocean Engineering 32:1174–1198. http:/www.elsevier.com/locate/oceaneng. [16 April 2007].

Lillesand TM, Kiefer RW. 1994. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri,

Suharsono P, Suharyadi H, penerjemah; Sutanto, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 725 hlm.

Terjemahan dari: Remote Sensing and Image Interpretation Lyzenga DR. 1978. Passive Remote Sensing Techniques for Mapping Water depth and

Bottom Features. Applied Optics 17:379-383. Lyzenga DR. 1981. Remote sensing of bottom reflectance and water attenuation parameter in

shallow water using aircraft and Landsat data. International Journal of Remote Sensing, 2:71-82.

Page 81: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

62

Lyzenga DR. 1985. Shallow-water bathymetry using combined lidar and passive

multispectral scanner data. Int. J. Remote Sens. 6: 115–125. Mattjik AA, Made S. 2002. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab jilid 1.

Bogor: IPB Press. 105 hlm. Mobley CD. 1994. Light and water radiative transfer in natural waters. Academic Press. Nontji A. 1993. Laut nusantara. Djambatan. Jakarta. 405 hlm. Nugroho A. 2000. Pemetaan Sebaran Karakteristik Dasar Perairan dan Kedalaman Perairan

Dangkal dengan Menggunakan Citra Satelit Landsat TM (Thematic Mapper) di Pulau Lintea dan Sekitarnya, Kepulauan Tukang Besi, Sulawesi Tenggara [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. 89 hlm.

Nurjaya IW. 1992. Penuntun Praktikum Dasar – dasar Oseanografi. Proyek Peningkatan

Perguruan Tinggi. Bogor :Institut Pertanian Bogor. 79 hlm. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. M. Eidman, Koesoebiono,

Dietriech G.B., Malikusworo H. dan Sukristijono S, penerjemah. Jakarta: PT. Gramedia. 459 hlm.

Ohde T, Siegel H. 1999. Elimination of bottom effects in SeaWIFS data of shallow water areas

in the Pommeranian Bight of the Baltic Sea. In IGARSS’99: IEEE International Geoscience and Remote Sensing Symposium; Hamburg, 28 Juni-2 Juli 1999. Piscataway: IEEE.2:839-841.

Paredes JM, Spero RE. 1983. Water Depth Mapping from Passive Remote Sesnsing Data

Under a Generalized Ratio Assumption. Applied Optics 22:1134-1378. Pickard GL, Pond S. 1983. Introduction Dynamical Oceanography. 2nd edition. Inggris:

Pergamon Press. 567 p. Praseno DP. 1991. Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh Di Bidang Oseanologi Dan

Perikanan Laut. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI. 157 hlm.

Richard JA. 1995. An introduction: Remote Sensing Digital Analysis. Germany. 281 p. Sager W. 1998. Measuring The Depth. Quarterdeck Online Winter 1998 / Spring 1999;

Vol. 6, No. 3. http://oceanography.tamu.edu/Quarterdeck/1998/3/sager-2.html. [1 Juni 2002].

Sathyendranath S. 2000. Remote sensing of ocean colour in coastal and other optically-

complex water. Report of the international ocean-colour coordinating group (IOCCG). Number 3. Dartmouth: MacNab Print. 140 p.

Page 82: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

63

Senga Y. 2002. Introduction of ocean color remote sensing. Lecture on PORSEC 2002 training course (unpublised).

Spitzer D, Dirks RW. 1987. Bottom Influence on The Reflection of The Sea. International

Journal of Remote Sensing 8:279-290. Stumpf RP, Holderied K, Sinclair M. 2003. Determination of water depth with high-

resolution satellite imagery over variable bottom types. LimnologyOceanography 48:547–556.

Susilo B. 2000. Penginderaan Jauh Kelautan Terapan. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan IPB. 109 hlm. Sutanto. 1992a. Penginderaan Jauh Jilid 1. Yogyakarta: Gajah Mada Press. 252 hlm. Sutanto. 1992b. Penginderaan Jauh Jilid 2. Yogyakarta: Gajah Mada Press. 380 hlm. Van Hengel W, Spitzer D. 1988. Water Depth Mapping Using TM Imagery. Delft: Netherlands

Remote Sensing Board. 58 p. Van Hengel W, Spitzer D. 1991. Multi-temporal Water Depth Mapping by Means of Landsat

TM. International Journal of Remote Sensing 12:703-712. Walpole ER. 1993. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 356

hlm. Weissel J. 2005. Remote Sensing Glossary. http://rst.gsfc.nasa.gov/AppD/glossary.html. [3

Agustus 2007]. Wyrtki K. 1961. Scientific result of marine investigation of the gulf of Thailand. Naga report 2.

California: The University of California Scripps Institution of Oceanography. 193 p.

Page 83: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

Lampiran 1 Peta batimetri di perairan Gugus Pulau Pari

L A U T

Page 84: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

65

Lampiran 2 histogram citra sebelum dan setelah koreksi geometrik

Sebelum koreksi geometrik Setelah koreksi geometrik

Band 2

Band 3

Band 4

Page 85: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

66

Lampiran 2 (lanjutan)

Sebelum koreksi geometrik Setelah koreksi geometrik

Band 5

Band 7

Page 86: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

67

Lampiran 3 Contoh perhitungan nilai ur dan us sehingga menghasilkan nilai konstanta r dan s

Contoh perhitungan mengetahui nilai r dan s dari kombinasi pertama (band 123). Komposisi citra masukan untuk kombinasi pertama yaitu: X1 adalah band 1, X2 adalah band 2 dan X3 adalah band 3. Nilai varian dan kovarian dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7

21cov21var2var

xxxxur

+=

2276.77*27327.575816.101 +

=

4552.1543143.168

=

0897.1=

))1(arctan( 2 ++= uur

))10879.1(0879.1arctan( 2 ++=

))11835.1(0879.1arctan( ++=

)1835.20879.1arctan( +=

)4790.10879.1arctan( +=

5669.2arctan=

o1966.1=

Page 87: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

68

Lampiran 3 (lanjutan) Dari perhitungan di atas diperoleh nilai r = 1.1966o dan nilai s = 1.2378o

13cov21var3var

xxxxus

+=

0369.41*27327.577225.46 +

=

0738.824552.104

=

2727.1=

))1(arctan( 2 ++= uus

))12727.1(2727.1arctan( 2 ++=

)6198.20879.1arctan( +=

))16198.1(2727.1arctan( ++=

)6186.10879.1arctan( +=

2705.2arctan=

o2378.1=

Page 88: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

69

Lampiran 4 Nilai digital kedalaman relatif pada masing-masing citra dengan menggunakan algoritma Van Hengel dan Spitzer

z_lapang Y1 (123) Y1 (132) Y1 (312) Y1 (231) Y1 (321) Y1 (213)

2.1 48.7 57.0 55.9 46.5 47.7 48.7 2.1 41.3 53.8 55.4 47.3 50.3 41.3 2.2 31.6 41.5 42.8 36.6 39.0 31.6 2.3 49.8 57.5 56.3 47.7 48.7 49.7 2.4 37.5 50.0 52.2 45.9 49.0 37.5 2.5 48.1 50.8 48.6 43.5 42.9 48.1 2.5 43.0 50.7 49.9 41.7 42.9 43.0 2.5 51.2 59.0 58.0 50.1 51.0 51.2 2.5 38.2 51.9 54.1 46.2 49.7 38.1 2.5 28.9 40.6 42.8 36.5 39.6 28.9 2.5 38.9 48.4 48.5 40.2 42.1 38.9 2.6 40.9 50.9 51.4 43.6 45.7 40.8 2.6 42.8 54.2 54.7 45.2 47.7 42.8 2.6 32.2 42.7 44.4 38.6 41.2 32.2 2.7 41.0 51.0 51.7 44.5 46.6 41.0 2.7 30.6 40.5 42.4 38.0 40.5 30.6 2.7 39.9 50.6 51.3 43.2 45.6 39.9 2.8 29.3 39.1 41.0 36.6 39.1 29.2 2.9 40.0 48.8 48.9 41.5 43.2 40.0 2.9 37.7 49.0 50.1 42.4 45.1 37.7 3.1 33.5 46.5 48.5 40.0 43.4 33.5 3.1 36.1 47.3 48.2 39.2 41.8 36.1 3.1 51.7 58.9 56.9 46.7 47.4 51.7 3.1 41.8 51.3 51.5 43.9 45.8 41.8 3.1 32.5 42.3 45.0 43.2 45.6 32.5 3.2 34.1 44.1 44.9 37.6 39.8 34.1 3.2 47.0 55.9 56.0 49.4 50.9 47.0 3.2 43.9 52.8 52.4 43.8 45.4 43.9 3.2 30.9 43.9 46.0 38.2 41.6 30.9 3.3 28.5 37.7 38.8 32.8 35.0 28.5 3.4 24.9 32.2 33.6 30.6 32.3 24.9 3.4 29.3 39.8 41.3 34.9 37.5 29.3 3.6 35.4 47.2 48.7 40.7 43.6 35.4 3.6 47.0 55.9 56.0 49.4 50.9 47.0

Page 89: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

70

z_lapang Y1 (123) Y1 (132) Y1 (312) Y1 (231) Y1 (321) Y1 (213)

3.6 25.5 35.8 37.9 32.6 35.3 25.4 3.7 43.7 51.9 51.7 44.6 46.0 43.7 3.7 48.6 58.8 58.3 48.2 50.1 48.6 3.7 30.6 41.1 42.4 35.4 37.9 30.6 3.7 31.3 43.0 44.6 36.5 39.5 31.3 3.8 30.0 41.8 43.5 36.1 39.1 30.0 3.8 33.0 42.9 44.2 38.0 40.4 33.0 3.8 47.8 56.1 55.8 48.8 50.1 47.8 3.8 36.7 47.9 49.7 43.8 46.5 36.7 3.9 33.8 39.4 38.5 32.1 32.8 33.8 3.9 41.9 52.0 51.8 42.2 44.2 41.9 4.0 44.2 53.7 53.3 43.9 45.7 44.2 4.1 34.3 46.8 48.3 39.4 42.5 34.3 4.1 41.9 52.0 51.8 42.2 44.2 41.9 4.2 33.3 37.6 37.0 32.8 33.2 33.3 4.2 33.5 46.5 48.5 40.0 43.4 33.5 4.3 32.0 46.2 49.2 42.1 46.0 32.0 4.4 36.6 40.4 38.9 33.1 33.1 36.6 4.4 23.4 32.5 34.3 30.0 32.4 23.3 4.4 25.6 32.9 33.1 26.4 28.0 25.6 4.4 32.6 45.6 48.3 42.4 45.8 32.6 4.5 35.4 39.1 37.8 32.6 32.7 35.4 4.5 31.1 40.3 41.2 34.7 36.8 31.1 4.6 30.0 39.2 40.5 35.1 37.3 30.0 4.6 32.0 46.2 49.2 42.1 46.0 32.0 4.7 21.7 28.3 29.3 25.8 27.4 21.7 4.7 21.2 27.2 28.0 24.8 26.1 21.2 4.8 19.1 27.5 29.6 26.7 29.0 19.1 5.0 19.5 31.0 33.6 27.7 31.0 19.4 5.0 27.6 37.5 39.0 33.4 35.9 27.6 5.0 25.1 33.0 34.2 29.8 31.7 25.1 5.1 33.1 34.9 33.6 30.9 30.4 33.1 5.1 25.6 36.7 38.5 31.8 34.7 25.6 5.1 23.2 34.8 36.7 29.1 32.3 23.2 5.2 28.3 39.3 40.9 33.6 36.5 28.2 5.2 29.0 39.4 40.4 32.1 34.7 29.0

Lampiran 4 (lanjutan)

Page 90: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

71

z_lapang Y1 (123) Y1 (132) Y1 (312) Y1 (231) Y1 (321) Y1 (213)

5.3 31.4 43.2 44.9 37.5 40.5 31.4 5.4 31.8 33.7 32.6 30.4 30.0 31.8 5.5 33.2 41.8 42.1 34.5 36.4 33.2 5.7 27.9 32.2 31.8 28.1 28.7 27.9 5.9 17.9 24.4 26.1 24.4 26.1 17.9 5.9 19.8 23.2 23.6 22.4 23.0 19.8 5.9 28.0 38.4 40.0 33.5 36.2 27.9 6.0 32.6 35.7 34.8 31.6 31.6 32.6 6.0 18.4 26.2 27.7 23.7 25.8 18.4 6.0 34.6 41.5 41.1 34.2 35.3 34.6 6.1 14.6 16.2 16.4 17.0 17.1 14.6 6.2 28.3 36.9 38.2 33.6 35.7 28.3 6.2 18.9 27.4 29.3 25.7 28.0 18.9 6.2 27.3 36.5 38.1 33.3 35.5 27.3 6.3 35.5 39.3 38.1 33.6 33.7 35.5 6.3 23.9 31.8 33.2 29.3 31.3 23.9 6.3 29.3 31.7 30.5 26.8 26.7 29.3 6.5 26.0 35.1 36.7 31.9 34.2 26.0 6.5 17.4 20.8 21.9 22.4 23.1 17.4 6.5 24.0 28.1 28.1 24.9 25.5 24.0 6.6 26.6 28.3 27.7 26.7 26.5 26.6 6.6 17.9 24.4 26.1 24.4 26.1 17.9 6.6 18.8 27.2 29.0 24.8 27.1 18.8 6.8 33.7 39.3 38.2 31.1 31.9 33.7 6.9 20.2 26.7 27.6 23.5 25.1 20.2 7.0 35.0 38.1 36.6 31.6 31.5 34.9 7.0 27.5 33.0 33.3 29.8 30.7 27.5 7.1 20.0 21.6 21.6 21.6 21.6 20.0 7.1 23.0 29.7 30.7 27.2 28.8 23.0 7.1 19.9 26.5 27.0 21.6 23.2 19.9 7.2 20.2 24.3 24.9 23.5 24.3 20.2 7.2 22.5 26.0 26.4 25.2 25.7 22.5 7.2 26.0 28.9 28.6 26.5 26.7 26.0 7.2 17.4 24.0 24.9 20.7 22.4 17.4 7.3 17.1 23.0 24.0 20.6 22.1 17.1 7.3 31.9 34.4 32.9 28.7 28.4 31.9

Lampiran 4 (lanjutan)

Page 91: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

72

z_lapang Y1 (123) Y1 (132) Y1 (312) Y1 (231) Y1 (321) Y1 (213)

7.4 19.1 21.3 21.4 21.3 21.5 19.1 7.4 23.1 28.5 28.3 22.8 23.8 23.1 7.4 22.7 27.4 27.0 21.7 22.6 22.7 7.5 24.6 27.5 27.2 25.1 25.3 24.6 7.5 12.1 14.2 14.3 13.4 13.7 12.1 7.5 13.4 13.0 12.7 13.8 13.3 13.4 7.6 21.6 24.5 23.9 20.4 20.7 21.6 7.6 25.3 33.8 34.9 29.0 31.0 25.3 7.6 18.9 25.5 26.6 23.0 24.7 18.9 7.6 20.8 24.3 24.1 21.0 21.5 20.8 7.7 17.8 20.0 20.4 20.8 21.0 17.8 7.7 18.3 21.7 22.0 20.1 20.7 18.3 7.7 25.4 27.8 27.0 24.5 24.5 25.4 7.8 17.4 18.9 19.1 19.8 19.8 17.4 7.8 28.0 34.1 34.5 30.8 32.0 28.0 7.8 25.3 33.8 34.9 29.0 31.0 25.3 7.9 17.2 20.6 21.2 20.6 21.2 17.2 7.9 16.1 24.4 26.3 22.0 24.4 16.1 7.9 23.7 27.2 27.1 24.7 25.2 23.6 7.9 26.5 30.7 30.2 25.8 26.3 26.5 7.9 16.6 23.7 25.1 21.3 23.2 16.6 7.9 20.9 24.4 24.4 22.0 22.5 20.9 8.0 22.9 25.2 24.9 23.6 23.6 22.9 8.0 16.4 18.6 19.0 19.4 19.7 16.4 8.0 27.0 30.0 29.0 25.1 25.2 27.0 8.0 28.7 34.2 34.0 29.3 30.2 28.7 8.0 29.0 32.6 32.2 29.4 29.7 29.0 8.0 21.0 27.0 27.4 22.9 24.3 21.0 8.0 27.6 31.8 30.9 25.3 25.8 27.6 8.1 12.1 14.2 14.3 13.4 13.7 12.1 8.2 15.6 19.6 19.6 15.6 16.4 15.6 8.4 16.5 21.2 22.1 20.4 21.4 16.5 8.4 24.8 30.8 30.6 24.3 25.5 24.7 8.5 16.6 21.3 22.4 21.3 22.4 16.6 8.5 23.1 26.0 25.6 22.8 23.0 23.1 8.6 16.7 22.0 22.7 19.5 20.8 16.7

Lampiran 4 (lanjutan)

Page 92: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

73

z_lapang Y1 (123) Y1 (132) Y1 (312) Y1 (231) Y1 (321) Y1 (213)

8.6 16.6 23.7 25.1 21.3 23.2 16.6 8.6 21.4 23.7 23.2 21.3 21.3 21.4 8.8 17.9 20.7 20.7 19.1 19.5 17.9 8.8 19.1 22.0 21.8 19.5 19.9 19.1 8.8 14.6 18.6 19.2 17.0 17.9 14.6 8.9 19.9 21.5 21.2 20.7 20.6 19.9 8.9 19.0 23.7 24.2 21.3 22.3 19.0 8.9 20.3 31.2 33.4 27.1 30.2 20.3 8.9 21.8 27.2 27.2 22.3 23.4 21.8 9.0 14.5 16.0 16.1 16.0 16.1 14.5 9.0 14.4 18.4 18.5 15.1 16.0 14.4 9.0 17.8 20.6 20.4 18.1 18.5 17.8 9.1 15.8 14.9 14.4 16.5 15.7 15.8 9.1 17.3 18.8 18.8 18.8 18.8 17.3 9.1 20.1 22.3 21.9 19.9 20.0 20.1 9.2 15.9 21.8 22.9 20.1 21.6 15.9 9.2 18.3 27.9 30.1 25.5 28.2 18.3 9.2 14.8 17.0 17.1 16.2 16.4 14.8 9.2 16.9 19.6 20.3 20.5 20.9 16.9 9.3 18.8 21.0 20.8 19.4 19.6 18.8 9.3 18.9 23.6 23.9 20.3 21.3 18.9 9.3 14.7 18.7 19.5 17.9 18.8 14.7 9.3 22.5 26.6 26.4 22.5 23.2 22.5 9.3 24.1 26.4 25.7 23.1 23.1 24.1 9.4 17.2 21.3 21.6 18.8 19.7 17.2 9.4 22.7 25.0 24.3 21.7 21.8 22.7 9.4 22.7 25.0 24.3 21.7 21.8 22.7 9.4 15.9 17.4 17.5 17.4 17.5 15.9 9.5 15.7 16.6 16.8 18.2 18.1 15.7 9.5 22.9 27.7 27.6 23.6 24.5 22.9 9.6 13.5 13.1 13.0 14.7 14.2 13.5 9.6 16.4 19.2 19.1 16.7 17.1 16.4 9.6 16.5 19.3 19.4 17.7 18.1 16.5 9.6 15.1 17.9 18.0 16.3 16.7 15.1 9.6 17.2 20.6 21.2 20.6 21.2 17.2 9.7 15.1 17.2 17.7 18.0 18.3 15.1

Lampiran 4 (lanjutan)

Page 93: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

74

z_lapang Y1 (123) Y1 (132) Y1 (312) Y1 (231) Y1 (321) Y1 (213)

9.7 21.0 25.1 24.7 20.2 20.9 21.0 9.7 23.2 28.6 28.6 23.7 24.8 23.2 9.7 14.5 18.5 18.8 16.0 16.9 14.5 9.8 13.5 15.6 15.7 14.8 15.1 13.5 9.8 21.4 23.7 23.2 21.3 21.3 21.4 9.8 22.5 26.6 26.4 22.5 23.2 22.5 9.9 16.9 20.3 20.6 18.7 19.3 16.9 9.9 22.8 25.1 24.6 22.6 22.7 22.8 9.9 17.2 19.4 18.9 16.1 16.3 17.2

10.0 15.1 22.2 23.4 19.0 20.9 15.1 10.0 15.4 18.1 18.6 18.1 18.6 15.4 10.0 19.1 22.0 21.8 19.5 19.9 19.1 10.1 11.2 11.4 11.5 13.0 12.8 11.2 10.2 18.6 20.2 20.2 20.2 20.2 18.6 10.2 16.2 18.4 18.4 17.5 17.8 16.2 10.2 23.1 28.5 28.3 22.8 23.8 23.1 10.2 22.0 22.4 22.1 23.2 22.7 22.0 10.3 13.1 16.4 17.2 16.4 17.2 13.1 10.3 12.0 13.5 14.0 15.1 15.3 12.0 10.4 15.4 18.8 18.9 16.4 17.0 15.4 10.5 14.3 17.7 18.2 16.9 17.6 14.3 10.6 18.6 20.8 20.2 17.5 17.7 18.6 10.8 11.9 15.8 16.4 14.2 15.2 11.9 10.9 15.6 16.5 16.5 17.3 17.2 15.6 10.9 14.7 14.4 14.0 15.2 14.7 14.7 10.9 17.3 18.8 18.8 18.8 18.8 17.3 11.0 22.3 24.6 23.4 18.9 18.9 22.3 11.1 15.0 17.8 17.7 15.3 15.8 15.0 11.1 17.6 19.8 19.8 18.9 19.1 17.6 11.1 17.8 18.1 17.7 18.1 17.7 17.8 11.1 11.8 13.2 13.4 13.2 13.4 11.8 11.3 11.4 14.1 14.8 14.9 15.5 11.4 11.3 12.6 13.5 13.2 12.7 12.6 12.6 11.3 14.1 15.0 14.9 15.0 14.9 14.1 11.5 15.5 16.4 16.2 16.4 16.2 15.5 11.5 18.5 20.1 19.9 19.3 19.3 18.5

Lampiran 4 (lanjutan)

Page 94: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

75

z_lapang Y1 (123) Y1 (132) Y1 (312) Y1 (231) Y1 (321) Y1 (213)

11.5 17.6 19.8 19.8 18.9 19.1 17.6 11.5 10.0 10.8 10.8 10.8 10.8 10.0 11.6 17.1 18.7 18.5 17.9 17.9 17.1 11.9 20.3 23.1 22.5 19.0 19.3 20.3 11.9 13.2 17.2 17.8 15.6 16.5 13.2 12.0 14.8 19.4 19.8 16.2 17.2 14.8 12.1 14.5 16.0 16.1 16.0 16.1 14.5 12.1 19.6 21.3 20.6 18.8 18.7 19.6 12.8 11.4 12.9 12.5 10.5 10.6 11.4 12.8 12.3 12.5 12.2 12.5 12.2 12.3 12.9 12.8 15.5 16.2 16.3 16.8 12.8 13.1 16.8 17.8 17.6 17.8 17.6 16.8 13.1 10.7 12.8 13.0 12.0 12.3 10.7 13.5 10.7 12.8 13.0 12.0 12.3 10.7 13.8 12.1 14.2 14.3 13.4 13.7 12.1 14.3 10.3 11.7 11.7 10.9 11.1 10.3 14.4 12.3 12.5 12.2 12.5 12.2 12.3 14.9 13.1 12.8 12.0 12.0 11.4 13.1 15.0 11.9 13.9 13.7 11.5 11.8 11.9

Lampiran 4 (lanjutan)

Page 95: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

Lampiran 5a Hasil analisa residual kandidat model band 1 (linear)

Page 96: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

Lampiran 5b Hasil analisa residual kandidat model band 1 (logaritmik)

Page 97: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

Lampiran 5c Hasil analisa residual kandidat model band 1 (power)

Page 98: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

Lampiran 5d Hasil analisa residual kandidat model band 1 (eksponensial)

Page 99: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

80

ZL ZVH321 ZNDA eVH321 eNDA 2.5 0.3 2.5 88% 1% 2.4 0.5 2.5 79% 5% 2.5 2.5 2.7 0% 8% 2.9 1.8 3.2 39% 10% 2.7 1.3 3.0 53% 10% 2.6 0.9 3.0 64% 14% 2.7 3.2 3.2 18% 16% 2.1 0.1 2.5 95% 17% 2.6 1.6 3.2 39% 24% 2.9 2.4 3.6 18% 24% 2.3 0.6 3.0 74% 29% 2.7 1.6 3.6 41% 31% 2.8 3.7 3.8 29% 34% 2.6 3.0 3.6 13% 36% 2.5 2.7 3.8 7% 50% 2.5 3.5 3.8 38% 50% 2.1 0.9 3.2 55% 52% 2.5 0.0 3.8 100% 54% 2.5 2.5 3.8 0% 54% 2.2 3.7 4.0 72% 87% 3.8 3.3 3.8 14% 1% 3.1 1.5 3.2 50% 3% 3.2 1.7 3.4 48% 5% 3.6 2.2 3.4 37% 5% 3.8 0.2 4.0 96% 7% 3.7 3.5 4.0 5% 8% 3.9 5.6 3.6 44% 9% 3.1 2.8 3.4 9% 10% 3.1 2.3 3.4 25% 10% 3.2 2.9 3.6 11% 11% 3.7 0.2 3.2 95% 13% 3.1 1.6 2.7 49% 15% 3.7 4.0 4.3 9% 16% 4.0 1.6 3.4 61% 16% 3.2 0.0 2.5 100% 21% 3.7 1.5 2.8 60% 23% 3.1 1.0 3.8 66% 24% 3.4 4.2 4.3 21% 24%

Page 100: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

81

ZL ZVH321 ZNDA eVH321 eNDA 3.6 4.9 4.5 33% 25% 3.8 1.3 2.8 66% 25% 3.2 3.4 4.0 8% 27% 3.8 3.7 2.7 3% 29% 3.6 0.0 2.5 100% 30% 3.9 2.0 5.7 48% 46% 3.3 5.0 4.8 51% 47% 3.4 5.8 5.1 69% 48% 4.5 4.4 4.5 2% 1% 4.6 4.2 4.3 8% 7% 5.0 6.0 5.4 20% 8% 5.0 4.7 4.5 6% 9% 5.0 6.2 5.4 25% 9% 4.1 2.6 3.6 37% 12% 4.1 2.0 3.6 51% 13% 4.4 5.8 5.1 32% 17% 4.2 2.3 3.4 45% 20% 4.8 6.9 5.7 44% 20% 4.5 5.7 5.7 28% 29% 4.2 5.5 5.4 34% 30% 4.4 5.5 5.7 28% 32% 4.3 1.5 2.8 66% 35% 4.4 7.2 2.8 62% 36% 4.7 7.4 6.5 58% 39% 4.6 1.5 2.8 68% 39% 4.7 7.8 6.9 66% 46% 4.4 1.5 6.9 65% 55% 5.2 4.5 5.1 13% 1% 6.0 6.0 5.7 2% 4% 5.1 5.1 4.8 0% 5% 5.1 5.8 5.4 15% 7% 5.9 7.8 6.5 33% 10% 5.2 5.1 4.5 2% 12% 5.5 4.5 4.8 18% 13% 5.4 6.5 6.1 22% 14% 5.7 7.0 6.5 23% 14% 6.0 7.9 6.9 32% 15% 6.0 4.9 5.1 20% 15%

Lampiran 6 (lanjutan)

Page 101: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

82

ZL ZVH321 ZNDA eVH321 eNDA 5.1 6.4 6.1 27% 21% .9 4.6 4.5 22% 23%

5.3 3.2 3.8 39% 29% 5.9 8.8 7.7 50% 32% 6.2 7.2 6.1 16% 1% 6.6 7.5 6.5 14% 2% 6.6 7.8 6.5 18% 2% 6.6 7.7 6.9 17% 5% 6.9 8.1 7.3 17% 5% 6.8 5.9 6.1 12% 10% 6.5 8.0 7.3 23% 13% 6.5 8.7 7.3 35% 13% 7.0 6.1 6.1 13% 13% 6.3 5.4 5.4 14% 13% 6.3 6.1 5.4 2% 14% 6.3 7.6 7.3 21% 15% 7.0 6.3 5.7 10% 18% 6.5 5.2 4.8 19% 25% 6.2 4.7 4.5 23% 26% 6.2 4.8 4.5 23% 27% 6.1 10.7 9.8 74% 59% 7.7 8.3 7.7 7% 0% 7.2 8.4 7.3 17% 2% 7.5 8.0 7.3 8% 2% 7.9 8.7 7.7 10% 3% 8.0 8.6 7.7 8% 3% 7.9 8.9 8.2 12% 3% 8.0 6.5 7.7 19% 3% 8.0 8.4 7.7 4% 4% 8.0 7.9 7.7 2% 4% 7.2 7.9 6.9 10% 4% 7.9 9.3 8.2 19% 4% 7.6 8.2 7.3 8% 5% 7.2 7.6 6.9 5% 5% 7.3 7.0 6.9 3% 5% 7.7 9.4 8.2 23% 7% 7.9 8.3 7.3 6% 8% 7.9 8.1 7.3 2% 8%

Lampiran 6 (lanjutan)

Page 102: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

83

ZL ZVH321 ZNDA eVH321 eNDA 7.9 7.7 7.3 3% 8% 8.0 9.8 8.7 23% 9% 7.4 8.5 8.2 14% 10% 7.4 9.3 8.2 26% 11% 7.8 9.8 8.7 26% 12% 7.7 9.5 8.7 23% 12% 7.3 9.1 8.2 25% 13% 7.2 9.0 8.2 24% 13% 7.1 6.9 6.1 2% 14% 7.6 9.2 8.7 21% 14% 7.1 8.7 8.2 22% 15% 7.1 9.2 8.2 31% 16% 7.4 8.9 8.7 20% 17% 7.6 9.5 9.2 25% 21% 8.0 8.1 6.1 1% 24% 8.0 6.6 6.1 17% 24% 7.6 6.2 5.7 18% 24% 7.8 6.2 5.7 21% 27% 7.8 5.9 5.4 25% 31% 7.5 11.7 11.7 55% 55% 7.5 11.8 11.7 57% 55% 8.6 9.3 8.7 8% 0% 8.6 9.5 8.7 10% 1% 8.9 9.5 8.7 8% 2% 8.4 9.3 8.2 11% 2% 8.5 8.8 8.2 3% 4% 8.8 9.8 9.2 11% 5% 8.8 9.9 9.2 13% 5% 8.9 9.0 8.2 1% 8% 9.0 10.2 9.8 13% 8% 8.9 8.6 8.2 3% 8% 8.4 8.0 7.7 6% 9% 8.5 9.0 7.7 6% 9% 8.8 10.4 9.8 18% 11% 8.6 8.7 7.7 1% 11% 9.0 11.0 10.4 22% 16% 9.0 11.0 11.0 22% 22% 8.2 10.9 11.0 33% 34%

Lampiran 6 (lanjutan)

Page 103: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

84

ZL ZVH321 ZNDA eVH321 eNDA 8.9 6.5 5.7 27% 35% 8.1 11.7 11.7 44% 43% 9.3 9.9 9.2 6% 1% 9.3 10.1 9.2 9% 1% 9.1 9.7 9.2 6% 1% 9.1 10.1 9.2 11% 1% 9.6 10.3 9.8 7% 1% 9.4 9.8 9.2 5% 1% 9.5 8.3 9.2 12% 3% 9.4 10.5 9.8 12% 4% 9.7 10.3 9.2 6% 5% 9.7 9.4 9.2 2% 5% 9.3 9.3 8.7 0% 6% 9.7 10.7 10.4 10% 6% 9.9 9.9 9.2 1% 7% 9.4 9.2 8.7 2% 7% 9.4 9.2 8.7 2% 7% 10.0 10.2 9.2 2% 8% 10.0 9.8 9.2 2% 8% 9.6 10.8 10.4 12% 8% 9.6 10.6 10.4 11% 8% 9.2 7.1 8.2 22% 11% 9.9 10.9 11.0 10% 11% 9.2 9.4 8.2 3% 11% 9.8 8.7 8.7 12% 12% 9.3 8.7 8.2 7% 12% 9.3 8.7 8.2 7% 12% 10.0 9.4 8.7 5% 13% 9.8 11.3 11.0 16% 13% 9.2 10.9 10.4 19% 13% 9.1 11.1 10.4 22% 14% 9.6 11.5 11.0 21% 15% 9.6 9.3 8.2 3% 15% 9.8 9.3 8.2 6% 17% 9.9 8.9 8.2 11% 17% 9.5 10.3 7.7 9% 18% 9.7 8.2 7.7 16% 21% 9.2 9.2 6.1 1% 33%

Lampiran 6 (lanjutan)

Page 104: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

85

ZL ZVH321 ZNDA eVH321 eNDA 10.3 11.2 10.4 8% 0% 10.4 10.7 10.4 2% 1% 10.9 10.1 11.0 7% 1% 10.8 11.3 11.0 4% 1% 10.6 10.5 10.4 2% 3% 10.2 8.5 9.8 17% 4% 10.3 10.6 9.8 4% 5% 11.0 10.1 10.4 8% 5% 10.5 10.5 9.8 0% 7% 10.9 10.6 9.8 2% 10% 10.2 9.7 8.7 5% 15% 10.1 12.0 11.7 18% 15% 10.9 11.4 9.2 5% 15% 10.2 10.4 8.2 2% 20% 10.2 8.9 7.7 14% 25% 11.1 11.1 11.0 0% 0% 11.3 11.2 11.0 2% 3% 12.8 12.7 12.4 1% 4% 11.1 11.8 11.7 6% 5% 13.1 12.2 12.4 8% 6% 14.3 12.5 13.1 12% 8% 12.8 12.2 13.9 5% 9% 11.3 11.4 10.4 0% 9% 13.5 12.2 12.4 10% 9% 11.3 12.1 12.4 7% 9% 11.5 10.9 10.4 5% 9% 11.1 10.0 9.8 10% 12% 14.9 12.4 13.1 17% 12% 15.0 12.3 13.1 18% 13% 11.9 10.8 10.4 9% 13% 11.5 12.6 13.1 10% 14% 12.0 10.6 10.4 12% 14% 12.1 10.1 10.4 16% 14% 14.4 12.2 12.4 16% 14% 11.6 10.4 9.8 10% 15% 13.8 11.7 11.7 15% 16% 11.1 10.5 9.2 5% 17% 11.9 9.9 9.8 16% 18%

Lampiran 6 (lanjutan)

Page 105: pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan ...

86

ZL ZVH321 ZNDA eVH321 eNDA 12.1 11.0 9.8 9% 19% 11.5 10.0 9.2 13% 20% 11.5 10.0 9.2 13% 20% 12.9 10.7 9.8 17% 24% 13.1 10.5 9.8 20% 25%

Lampiran 6 (lanjutan)