Pengelolaan pesisir

8

Transcript of Pengelolaan pesisir

5/10/2018 Pengelolaan pesisir - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pengelolaan-pesisir 1/7

 

Pengelolaan Pesisir BerbasisMasyarakat Dalam

Kerangka Penataan RuangOleh : Hendra Yusran Siry

Ahli Kelautan pada Riset Kelautan dan Perikanan

Departermen Kelautan daN Perikanan

Pendahuluan

Pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) telah menjadi arus utama (mainstreaming) dalam pengelolaan

sumberdaya pesisir. Kegagalan kebijakan pengelolaan yang sentralistik dalam menjamin keberlanjutan

pengelolaan sumberdaya pesisir berikut aksesibilitas masyarakat di sekitar sumberdaya tersebut, telah

memieu dan memaeu pentingnya untuk memposisikan masyarakat sebagai entitas utama dan penentu

dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Desakan untuk lebih memberikan ruang bagi masyarakat untuk

menentukan pola pengelolaan sumberdaya pesisir yang berada dalam lingkup kawasannya serta

beragamnya adat serta budaya di kawasan pesisir Indonesia, menjadikan PBMsebagai keharusan dalam

penerapan pengelolaan sumberdaya pesisir. Desakan ini semakin kuat gaungnya seiring denganmomentum reformasi yang membawa perubahan mendasar dalam tata hubungan pemerintahan dan

tata kelola wilayah pesisir.

Tata kelola wilayah pesisir sebagaimana diamanatkan UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah

memberikan kewenangan bagi Pemda serta masyarakat untuk mengelola wilayah pesisir dan

sumberdaya yang terkandung di dalamnya sesuaidengan karakteristik setempat. Lebih lanjut dalam UU

27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menempatkan masyarakat berikut

peran sertanya sebagai asas pengelolaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau keeil . Bahkan

asas kemitraan, desentralisasi dan keadilan dalam implementasinya juga mengisyaratkan pentingnya

masyarakat sebagai entitas utama pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau keeil. Amanat dari dua

dasar hukum utama pengelolaan wilayah pesisir tersebut di atas menuntut kesiapan masyarakat dalam

menjalankan mandat serta kejelian untuk mengelola wilayah pesisir yang merangkum ruang dan

penataan ruang terutama pada skala lokal. Tulisan ini menelaah pengelolaan berbasis masyarakat

dalam kerangka penataan ruang di wilayah pesisir.

Pengelolaan BerbasisMasyarakat Dan Perkembangannya

Pengelolaan berbasis masyarakat (PBM)merupakan suatu pendekatan pembangunan dan pengelolaan

sumberdaya pesisir yang berfokus dan merujuk pada konsep pendekatan berorientasi masyarakat serta

5/10/2018 Pengelolaan pesisir - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pengelolaan-pesisir 2/7

 

terpadu dalam upaya mendapatkan hasil dan manfaat yang lebih baik disbanding pendekatan yang

bersifat sentralistik (Israel,2001). PBMtelah menjadi bagian utama dalam strategi konservasi dan solusi

alternatif untuk pengelolaan sumberdaya pesisir (Berkes, 1989, 1994, 2003; Kuperan et.al, 1998, Nielsen

et.al, 2004; dan Pomeroy, 1994, 1998). PBMmenekankan pentingnya proses pengelolaan yang berbasis

kekhasan lokal, berorientasi pada peningkatan kesejahteraan serta diterapkan secara holistik dan

berkelanjutan (Israel, 2001). Asumsi yang mendasari hal ini adalah pengelolaan wilayah pesisir akan

lebih efektif dilakukan dan dirasakan manfaatnya jika dilakukan oleh komunitas atau entitas yangsehari-hari dekat dengan sumberdaya serta menjadikan sumberdaya tersebut sebagai bagian hidupnya.

'C omm u lTb it y- ba .s e d

mana,yemel1t

C"nfr<iI'i",,,tI

gov\8:i ',i fi :m:a:i i ' i I~:

" " [ , , , 1 0 0 1 1 1

II'n.tormirflg

Co i ' ii~ ! li l l ta . t r "r f I

CODpi8:r,a,~iho:n

Ool i i l tn i iiJ i i ' ii i i tafEol i i ' i

l iLrMo:nmati'o]i\ e)a:;han~e'

Adviii!;orl!' ro l '",

J0 j'iMj: att i 'O: i i1

1 H ' : a I 1 ! , , , , , " G h T p

GtHi'iirfIflilnily'wJll ro l l

1 1 1 1 . 1. r a lr " l! a . r o o i" d i rf la . H o i fl

Colm:hiiiJlii\j,ta.fEolifi

l!;" lif"Q;""""" rnanla.ittI Silf·

I m a J ii \i II g ;e h i \o 8 : n ,' fj

Untuk menjadikan asumsi tersebut efektif dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa faktor penentu

keberhasilan PBM.Berkeset.al (2004) mengidentifikasi faktor-faktor tersebut yang meliputi pra kondisi

(pre-existing condition) seperti adanya organisasi lokal dan kemampuan organisasi tersebut untuk

menggerakan dan dipercaya oleh masyarakat serta pengaturan kelembagaan. Kepemimpinan dalam

organisasi lokal tersebut juga merupakan factor yang penting dalam PBM dan revitalisasi pola PBM

yang telah ada di masyarakat jika diperlukan. Mekanisme pendelegasian hak, otoritas serta kewenangan

pengelolaan sumberdaya merupakan faktor penentu selanjutnya. Dalam skala nasional, mekanisme ini

merujuk pada sistem dan prosedur hukum, kebijakan serta adminsitrasi yang memiliki kompleksitas

tinggi yang sangat memungkinkan terjadinya tumpang tindih atau tarik ulur kepentingan (Butarbutar

et.al, 1997; Siry, 2006). Untuk melakukan perubahan atau penyesuaian sistem dan prosedur ini dengan

PBM tidak dapat dilakukan secara langsung. Dalam banyak hal, perubahan atau penyesuaian tersebut

membutuhkan restrukturisasi yang signifikan bahkan besar-besaran agar bisa mengakomodir PBM

(Berkeset.al 2004).

PBM memerlukan landasan hukum dan dukungan peraturan perundangan yang dalam banyak hal

sering terabaikan. Kurang atau tidak adanya insentif bagi masyarakat dalam mengelola wilayah pesisir

dan bersinergi dengan konsep keberlanjutan, merupakan hal utama yang sering di ketengahkan dalam

pembuatan dukungan kerangka hukum serta menjadi hal yang pelik dalam pelaksanaan PBM.Hal inilah

yang membuat PBM kurang efektif di berbagai tempat (Kuperan et.al, 1998) dan perlunya memadukan

PBM dengan konsep kemitraan yang lebih berorientasi pada sinergi positif antar pemangku

5/10/2018 Pengelolaan pesisir - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pengelolaan-pesisir 3/7

 

kepentingan. Kemitraan sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah pesrsrr yang memiliki

kompleksitas tinggi terkait dimensi ruang, pengaturan serta hubungan antar pemangku kepentingan.

Konsep ko-manajemen (pengelolaan bersama) yang mengedepankan azaskemitraan menjadi alternatif

terobosan pengarustamaan masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir. Ko-manajemen diharapkan

mampu menjawab kekosongan atau tidak penuhnya dukungan peraturan perundangan dan

kelembagaan yang memerlukan peran pemerintah. Ko-manajamen merupakan proses pengelolaan

yang membuka ruang untuk berbagai tingkatan peran pemerintah, masyarakat serta pemangkukepentingan lainnya untuk ikut menjadi bagian penentu dalam pengelolaan wilayah pesisir. Perandan

partisipasi yang dimungkinkan mulai dari proses informasi, konsultasi, kerjasama, komunikasi,

pertukaran informasi, aksi bersama, kemitraan, kontrol masyarakat dan koordinasi inter daerah.

Spektrum peran dan partisipasi tersebut diilustrasikan oleh Berkes et.al (2004) dengan mendapatkan

posisi komanajemen pada pola PBM dan pengelolaan sentralistik yang dikontrol oleh pemerintah

seperti pada Gambar 1.

Dalam konteks kekinian Indonesia, penerapan PBMakan banyak memerlukan langkah terobosan yang

lebih besar. Tiga dasawarsa dalam pola pengelolaan yang bersifat sentralistik tidak serta merta bisa

dirubah atau digantikan secara radikal, seperti langsung meletakkan hak dan tanggung jawab

pengelolaan wilayah pesisir pada masyarakat tanpa pendampingan dari pemerintah (pusat ataupun

daerah). Inisiasi lokal bisa saja dimunculkan, namun untuk tetap tumbuh kembang perlu disemai

dengan pola kemitraan pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Saat ini, tata

kelola pemerintah telah mengalami perubahan atau setidaknya mengarah pada perubahan yang

berorientasi pelayanan. Perubahan ini perlu ditangkap dan dipadukan dalam upaya prakasa masyarakat

dalam berinisiasi mengelola wilayah pesisir. Prosesyang bertahap dan butuh waktu serta pembelajaran

dari tahap pelaksanaan merupakan kata kunci dari upaya penerapan pola pengelolaan wilayah pesisir di

Indonesia. Ko-manajemen memungkinkan hal tersebut dalam pelaksanaannya. Abdullah, Visvanathan

and Pomeroy (1998) menjelaskan PBM akan mengalami kesulitan dalam implementasinya serta

melembagakannya jika (i ) unsur birokrasi baik di tingkat pusat atau lokal masih belajar untuk

mengadaptasi strategi desentralisasi, (Ii) kapasitas kelembagaan pemerintah di daerah masih diragukan

atau (iii) masyarakat belum terbiasa dalam merefleksikan dan menerapkan kewenangan dan kekuatan

politis yang dimiliki. Koordinasi, saling menghargai dan mempercayai sangat diperlukan dalam

penerapan pengelolaan wilayah pesisir yang efektif dan efisien. Komanajemen yang memungkinkan

ruang pembelajaran hal tersebut dicapai secara bertahap merupakan pola pengelolaan yang sesuai

dengan kondisi Indonesia saat ini.

Kebijakan Penataan Ruang Oi Wilayah Pesisir

UU 26/2007 tentang Penataan Ruang menggarisbawahiv bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri Nusantara yang meliputi ruang darat, ruang laut,

dan ruang udara. UU 26/2007 juga mengamanatkan pentingnya upaya pengelolaannya secara

bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna yang berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga

kualitas ruang dapat meningkatkan kesejahteraan umumdan keadilan sosial. Dalam konteks ini,

penataan ruang merupakan sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah yang bertujuan untuk

meningkatkanklitas kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup melalui upaya pengelolaan

kawasan. Menkimpraswil (2003) menjelaskan pendekatan penataan ruang dalam kaitannya dengan

pengembangan wilayah terdiri atas tiga proses yang saling berkaitan, yakni: Proses perencanaan tataruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah yang merupakan bentuk intervensi yang

dilakukan agar interaksi manusial makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras,

seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan

keberlanjutan pembangunan (development sustainability); Proses pemanfaatan ruang, yang

merupakan wujud operasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri; dan

Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme pengawasan dan penertiban

terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

dan tujuan penataan ruang wilayahnya. Sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang

5/10/2018 Pengelolaan pesisir - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pengelolaan-pesisir 4/7

 

dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, wilayah pesisir dan pulau-pulau keeil di Indonesia

memiliki potensi ekonomi yang sangat besar serta menyediakan berbagai jasa lingkungan. Penataan

ruang di wilayah pesisir menjadi faktor penting dalam pengelolaan wilayah pesisir yang efektif dan

efisien. Kebijakan penataan ruang di wilayah pesisir di samping merujuk UU 26/2007, juga diatur dalam

UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Keeil melalui empat tahapan proses

pereneanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau keeil yang terdiri atas:

• ReneanaStrategis Wilayah Pesisirdan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K);

• ReneanaZonasi Wilayah Pesisirdan Pulau-Pulau Keeil (RZWP-3-K);

• ReneanaPengelolaan Wilayah Pesisirdan Pulau-Pulau Keeil (RPWP-3-K);dan

• ReneanaAksi Pengelolaan Wilayah Pesisirdan Pulau- Pulau Keeil (RAPWP-3-K)

.Jll _k 1 \ ' , 1 1 \ 1 I i ' 1 \ 1 1

. u , .h U, ] _ J U i

Norma, standar, dan pedoman penyusunan dokumen pereneanaan pengelolaan wilayah pesisir dan

pulaupulau keeil diatur dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Reneana Strategis Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Keeil (RSWP-3-K)merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reneana

pembangunan jangka panjang setiap Pemerintah Daerah dengan jangka waktu selama 20 (dua puluh)

tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali. RSWP-3-Kberisikan arahan

strategis pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kedil yang mempertimbangkan kepentingan

pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya. Reneana Zonasi

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Keeil (RZWP-3-K)yang merupakan dokumen pereneanaan yang wajid

disusun oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing dan berjangka waktu

selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Proses penyusunannya

melibatkan masyarakat berdasarkan norma, standar, dan pedoman yang ditetapkan.

RZWP-3-Kmerupakan arahan pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau keeil yang

diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan ReneanaTata Ruang Wilayah (RTRW)pemerintah

prOVInSI atau pemerintah kabupaten/kota. Penyusunan RZWP-3-K dilakukan dengan

mempertimbangkan: Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem,

5/10/2018 Pengelolaan pesisir - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pengelolaan-pesisir 5/7

 

fungsi pemanfaatan dan fungsi

perlindungan, dimensi ruang dan waktu,

dimensi teknologi dan sosial budaya,

serta fungsi pertahanan dan keamanan;

Keterpaduan pemanfaatan berbagai

jenis sumber daya, fungsi, estetika

lingkungan, dan kualitas lahan pesisir;dan Kewajiban untuk mengalokasikan

ruang dan aksesmasyarakat (masyarakat

adat dan masyarakat Lokal yang

bermukim di wilayah pesisir dan pulau-

pulau keeil) dalam pemanfaatan wilayah

pesisir dan pulau-pulau keeil yang

mempunyai fungsi sosial dan ekonomi.

UU 27/2007 membedakan RZWP-3-K

provinsi dan kabupaten/kota, ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Untuk provinsi, RZWP-3-K

mengatur

(i) pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis

Nasional Tertentu, dan alur laut;

(ii) keterkaitan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dalam suatu bioekoregion;

(iii) penetapan pemanfaatan ruang laut; dan

(iv) penetapan prioritas

kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial budaya, ekonomi, transportasi laut, industri strategis, serta

pertahanan dan keamanan. RZWP- 3 - kabupaten 1 kota berisi arahan tentang (i) alokasi ruang dalam

Reneana Kawasan Pemanfaatan Umum, reneana Kawasan Konservasi, reneana Kawasan St rategi s Nas

ional Tertentu, dan reneana alur; serta (Ii) keterkaitan antarekosistem pesisir dan pulau-pulau keeil

dalam suatu bioekoregion. Reneana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Keeil (RPWP-3-K)

merupakan dokumen pengelolaan yang yang berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali

sekurang- kurangnya 1 (satu) kali. RPWP-3-Kberisikan : Kebijakan tentang pengaturan serta prosedur

administrasi penggunaan sumber daya yang diizinkan dan yang dilarang; Skala prioritas pemanfaatan

sumber daya sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Keeil; Jaminan

terakomodasikannya pertimbangan pertimbangan hasil konsultasi publik dalam penetapan tujuan

pengelolaan Kawasan serta revisi terhadap penetapan tujuan dan perizinan; Mekanisme pelaporan

yang teratur dan sistematis untuk menjamin tersedianya data dan informasi yang akurat dan dapat

diakses; serta Ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih untuk mengimplementasikan kebijakan

dan prosedurnya. ReneanaAksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Keeil (RAPWP-3-K)adalah

dokumen pereneanaan yang lebih bersifat teknis detail yang berisikan daftar kegiatan yang akan

dilakukan dengan merujuk kepada Reneana Pengelolaan dan Reneana Zonasi sebagai upaya

mewujudkan reneana strategis. Dokumen pereneanan ini berlaku 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) tahun.

PBM Dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir

Masyarakat memiliki peran penting dalam mekanisme penyusunan empat dokumen pereneanaan

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau keeil (RSWP-3-K,RZWP-3-K, RPWP-3-K,dan RAPWP-3-K).

Keterlibatan masyarakat diamanatkan UU 27/2007 dalam proses penyusunan keempat dokumen

pereneanaan serta penyebarluasan konsep untuk masukan, tanggapan, dan saran perbaikan. Hal ini

juga sejalan dengan tujuan dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk memperkuat

peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam

pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau keeil agar tereapai keadilan, keseimbangan, dan

keberkelanjutan (Pasal 4 huruf e UU 27/2007). Peran masyarakat dalam penataan ruang dan

5/10/2018 Pengelolaan pesisir - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pengelolaan-pesisir 6/7

 

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau keeil terus didorong oleh Departemen Kelautan dan

Perikanan (DKP)sebagai amanat pelaksanaan UU 27/2007. Prakarsapembentukan daerah perlindungan

laut (DPL)di berbagai kawasan ekosistem pesisir penting misalnya ,

merupakan eerminan peran pent ing masyarakat dalam melakukanpenetapan peruntukan ruang pesisir

serta alokasi kegiatan pemanfaatannya. Hal ini disadari dan didasari karena masyarakat setempat lebih

mengetahui karakteristik dan keunikan ekosistem pesisir di l ingkup mereka, serta mereka yang akanmenerima dampak langsung berbagai kegiatan pengelolaan wilayah pesisir baik positif maupun negatif.

Pola sinergi positif yang digulirkan melalui penguatan aspek legalitas DPL oleh pemerintah juga

berdampak positif pada keberlanjutan pengelolaan. Proses pembentukan DPL juga telah menjadi

media pembelajaran bagi pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan pemangku kepentingan

lainnya untuk ikut mengelola sumberdaya pesisir seeara berkelanjutan dan berbasis pada kondisi

setempat. Melalui program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (Coral ReefRehabilitation and

Management Program/COREMAP)fase II, keterlibatan masyarakat adapt dalam penataan ruang wilayah

pesisir telah dirangkul.

Untuk Kabupaten Raja Ampat misalnya telah ada 23 DPL yang tersebar di 21 kampung hasil

pelaksanaan program COREMAP II (Buletin COREMAP II, 2009). Masing-masing DPL memiliki luasan

yang bervariasi dan proses penetapannya juga melibatkan kompromi dan sinergi positif antar marga

yang mengelola kawasan tersebut. Proses penetapan DPL di Kabupaten Raja Ampat yang memiliki

faktor adat dan kepemilikan marga yang kuat memerlukan dukungan dan kemitraan dengan

pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya. Setiap lokasi DPLyang sudah ditetapkan diresmikan

seeara adat dan keagamaan. Pola sasi (buka tutup sumberdaya) dan penerapan sanksi sosial berupa

hukuman adat menjadi pilihan penerapan pengelolaan DPL.Hasil pembelajaran dari pembentukan DPL

di Kabupaten RajaAmpat mengindikasikan pentingnya peranan dan keberadaan fasilitator masyarakat

danmotivator desa yang dalam program COREMAPfase II menjadi tanggung jawab pemerintah. Hasil

pembelajaran ini menunjukkan bahwa pola ko-manajemen melalui sinergi positif masyarakat,

pemerintah dan pemangku kepentingan coeok diterapkan dalam pengelolaan wilayah pesisir. Peran

masyarakat pesisir juga penting dalam pereneanaan penataan ruang pesisir yang memiliki potensi

beneana, baik beneana yang diakibatkan oleh alam, manusia, maupun kombinasi keduanya. Konsep

zonasi (tata ruang) yang memperhatikan aspek kebeneanaan, diharapkan dapat meminimalkan segala

kerugian yang dapat ditimbulkan oleh beneana tersebut.

Informasi rinei tentang kondisi wilayah pesisir setempat, serta proses adaptasi masyarakat pesrsrr

terhadap lingkungannya merupakan sumbangan besar dalam penyusunan konsep dasar tata ruang

kawasanpesisir rawan beneana yang sesuai dengan karakteristik masyarakat lokal. Tanpa adanya

informasi tersebut, tidak dapat diprediksi besarnya potensi beneana dan tingkat kesiap-siagaan

masyarakat pesisir dalam mengantisipasi potensi beneana tersebut. Hal ini akan bermuara pada

besarnya jumlah korban jiwa dan besarnya kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir jika terjadi beneana.

Pasal 27 UU 27/2007 juga mengamanatkan peran penting masyarakat dalam pengawasan dan

pengendalian pemanfaatan ruang wilayah serta sumberdaya pesisir dan pulau-pulau keeil. Dalam

mekanisme pengawasan juga diperkenalkan proses akreditasi yaitu prosedur pengakuan suatu

kegiatan yang seeara konsisten telah memenuhi standar baku sistem pengelolaan wilayah pesisir dan

pulau-pulau keeil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program-program

pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat seearasukarela.

Tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan PBM

Masih belum terbiasanya masyarakat pesisir dan pulaupulau dalam mengekspresikan keinginan dan

reneana yang mereka miliki ke pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya. Di sisi lain, keinginan

dan reneana mereka tersebut sering terabaikan atau tidak ditanggapi, dan dalam beberapa kasus sering

dikorbankan atas nama pembangunan. Hal ini menyebabkan tidak optimalnya penyampaian prakarsa

dan inovasi dari masyarakat untuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan alokasi pemanfaatan ruang

5/10/2018 Pengelolaan pesisir - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pengelolaan-pesisir 7/7

 

pesisrr. Mengentaskan kekurangan tersebut memerlukan berbagai I ntervensi seperti sosialisasi,

peningkatan kepedulian, dan penguatan kelembagaan masyarakat oleh lembaga di luar masyarakat

seperti dari LSM, pemerintah atau donor; Adanya kelompok mayoritas yang lebih banyak diam (silent

majority) dalam penerapan PBM dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau keeil. Gejala ini

berpotensi menyebabkan keterwakilan keinginan dari masyarakat pesisir tidak optimal dan eenderung

bisadidominasi oleh satu pihak sajadalam masyarakat.

Sehingga alokasi peruntukan ruang pesisir tidak meneerminkan rasa keadilan bagi masyarakat

setempat dan hal ini bisa menjadi potensi konflik; dan Kultur birokrasi baik pada tataran nasional

maupun lokal yang belum memposisikan birokrasi sebagai mitra dan pelayan dalam pelaksanaan

program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau keeil untuk mensejahterakan masyarakat pesisir.

Pola sentralistik yang masih tetap membekas dalam birokrasi masih memerlukan upaya terus menerus

dan tereneana untuk meneiptakan birokrasi yang eepat tanggap dan peduli pada prakarsa dan inovasi

dari masyarakat sebagai bag ian penting dalam pengelolaan wilayah pesisir. Untuk mengatasi

tantangan tersebut di atas, pemberdayaan masyarakat merupakan kunei utama dalam peningkatan

kapabilitas dan kapasitas masyarakat pesisir dalam menentukan arah pengelolaan wilayah pesisir dan

pulaupulau keeil. Pemberdayaan masyarakat ini meliputi upaya pemberian fasilitas, dorongan atau

bantuan kepada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil agar mampu menentukan pilihan yang

terbaik dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil seearalestari.

PENUTUP

Tulisan ini menelaah PBMdalam kaitannya dengan penataan ruang wilayah pesisir. Dari hasil diskusi

pada bagian sebelumnya terlihat bahwa PBMakan efektif dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-

pulau keeil jika ada sinergi positif dengan pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya. Pola

kemitraan yang bersinergi positif ini lazim dikenal sebagai ko-manajemen yang memberi ruang untuk

saling berbagi tanggung jawab dan kewenangan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau

kecil. Merujuk pada kondisi kekinian Indonesia, komanajemen dipandang sebagai pendekatan yang

sesuaidengan keberagaman masyarakat, budaya, eksosistem dan kapasitas pemerintah dan pemangku

kepentingan lainnya untuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

DAFTARPUSTAKAAbdullah, N.M.R, K.K Viswanathan, and R.s Pomeroy. 1998. 'Transaction costs and fisheries co-management'. Marine Resource

Economic 13 (2):103 - 114. Berkes, F.1989. Common property resources: ecology and communitybased sustainable development.

London; New York: Belhaven Press. 1994. 'Property rights and coastal f isheries' . In Community Management and Common

Property of Coastal Fisheries in Asia and The Pacif ic: concepts, methods and experiences .. ICLARMConference Proceeding 45,

edited by R . S.Pomeroy. Mania: ICLARM. 2003. Rethinking Community-Based Conservation. Draft Paper for Conservation Biology.

Manitoba: Natural Resources Institute, University of Manitoba