Pengelolaan DM Tipe II Yang Disertai TB Paru BTA
-
Upload
auladi-lubis- -
Category
Documents
-
view
23 -
download
4
Transcript of Pengelolaan DM Tipe II Yang Disertai TB Paru BTA
Pengelolaan DM tipe II yang disertai TB paru BTA positifPosted: September 29, 2009 in case report Tag:alur diagnosa suspek TB paru, diabetes melitus, diagnosis TB, efek samping OAT,hemoptoe, indikasi insulin, mikobakterium tuberkulosis, rifampisin, terapi hemoptoe
2PENDAHULUAN
Di seluruh dunia, satu dari dua orang terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberkulosis (TB). Jumlah penderita TB sekitar 2,5% dari
seluruh penyakit, dan merupakan penyebab kematian tersering pada wanita muda. TB sekarang menduduki peringkat 7 pada
penyebab kematian dari penyakit. Meskipun obat yang efektif untuk TB telah ada selama 50 tahun yang lalu, setiap 15 detik
seseorang meninggal karena TB, dan tiap satu detik seseorang terinfeksi dengan TB. 75 % pasien TB berada pada usia
produktif, antara 15-54 tahun. Sembilan puluh lima persen kasus dan 99% kematian karena TB muncul di negara-negara
berkembang, terutama pada Sub-saharan Africa dan South East Asia, dan sekitar 48% pasien dengan TB tinggal di Asia;
termasuk Indonesia. Di masa-masa yang akan datang perhatian perlu diberikan pada interaksi antara penyakit kronik dengan
TB, diantaranya yaitu diabetes.1 Tuberkulosis (TB) dan diabetes melitus (DM) seringkali ditemukan bersama sama (42,1%),
terutama pada seseorang dengan resiko tinggi untuk menderita TB. DM telah dilaporkan dapat merubah gejala klinis dari TB
serta berhubungan dengan respon yang lambat dari pengobatan TB dan tingginya mortalitas. TB dapat mengakibatkan
pengaruh yang buruk terhadap kadar gula darah karena intoleransi glukosa yang menyebabkan keadaan hiperglikemia, namun
akan membaik atau menjadi normal dengan pengobatan anti TB.2 Penyakit-penyakit penyerta tersebut 61,5% ditemukan
sebagai penyakit primer (lebih dulu) dan 38,5% sebagai penyakit sekunder, yaitu TB Paru yang lebih dulu, penyakit
penyertanya belakangan timbul.3
LAPORAN KASUS
Pada tanggal 11 juni 2008 datang seorang laki-laki berusia 54 tahun dengan keluhan utama batuk darah. Anamnesa riwayat
penyakit sekarang didapatkan Pasien telah mengalami batuk darah 1 hari sebelum masuk rumah sakit (MRS), dengan frekuensi
<3x/hari, jumlahnya sekitar 1 sendok makan, beserta dahak, berbusa dan berwarna merah kehitaman bercampur dengan
dahak. Pasien juga mengalami batuk batuk berdahak dengan frekuensi sering setiap harinya sejak dua minggu sebelum MRS,
berwarna hijau kekuning-kuningan, batuk berdahak diperberat dengan minuman yang manis atau makanan berminyak, dan
juga pasien merasakan perubahan suara menjadi serak semenjak batuk batuk. Pasien juga mengalami rasa sesak saat
bernafas sejak 2 minggu yang lalu, rasa sesak berkurang jika dahak dibatukkan. Pasien juga merasakan sering demam sejak 2
minggu yang lalu, dan lebih sering terjadi pada malam hari tapi pasien tidak melakukan pengobatan. pasien juga menyadari
adanya penurunan berat badan yang semula 62 kg menjadi 45 kg pada tahun 2007, dan menjadi 38 kg pada tahun 2008,
namun tidak ada penurunan dalam nafsu makan. Pasien juga sering mengalami kram pada kedua kaki pada tahun 2006 dan
cepat merasa letih saat melakukan aktifitas, tidak ada rasa cepat haus, cepat lapar maupun sering kencing saat malam hari.
Anamnesa riwayat penyakit dahulu pasien didiagnosa menderita diabetes melitus pada tahun 2006 saat periksa di puskesmas,
setelah obat dari puskesmas habis pasien tidak pernah kontrol untuk berobat lagi. Dalam hal makan pasien tidak pernah
membatasi makanannya. Pasien juga tidak pernah menderita sakit paru-paru sebelumnya. Riwayat penyakit keluarga
didapatkan riwayat kerabat terdekat dengan penyakit kencing manis, namun tidak ada kerabat maupun tetangga terdekat
yang mempunyai riwayat batuk-batuk lama. Riwayat kebiasaan menghisap tembakau selama 34 tahun dengan 1 bungkus/3
hari. Namun telah berhenti selama 3 bulan terakhir. Olahraga bulutangkis 2 kali seminggu, dahulu dilakukan rutin namun
sekarang tidak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 84
kali/menit, suhu 36,5 0C, pernafasan 20 kali/menit, berat badan 38 kg, tinggi badan 172 cm, status gizi termasuk BB kurang
dengan Body Mass Index 12,84 kg/m2. status lokalis kepala, leher, thorax, abdomen, dan ekstrimitas dalam batas normal.
PEMBAHASAN
Hemoptoe secara definisi adalah ekspektorasi darah atau mukus yang berdarah. Hemoptoe merupakan salah satu gejala yang
penting dari penyakit paru, pertama karena merupakan bahaya potensial adanya perdarahan yang gawat yang memerlukan
tindakan yang segera dan intensif, dimana batuk darah yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan angka kematian
yang tinggi. Kedua, karena hemoptoe hampir selalu disebabkan oleh penyakit bronkopulmonal.4
Etiologi hemoptoe sangat banyak, namun dari segi insiden yaitu TB paru (25-40%), bronkiektasis (20%), dan ca bronkogenik
(10-15%), sedangkan jika berdasarkan usia penderita, pada usia >40 tahun kemungkinan etiologinya adalah ca bronkogenik,
TB dan bronkiektasis. 4
Kriteria hemoptoe masif menurut yeoh (1965) adalah perdarahan 200 cc dalam 24 jam, sedangkan menurut sdeo (1976)
adalah perdarahan lebih dari 600 cc dalam 24 jam.4 Pasien TB paru mempunyai indikasi rawat inap jika terdapat keadaan atau
komplikasi: keadaan umum buruk, batuk darah masif, pneumothorax, empiema, efusi pleura masif/bilateral, dan sesak nafas
berat (bukan karena efusi pleura).8 Pasien ini hemoptoe yang terjadi bukan termasuk hemoptoe masif sehingga tidak
mempunyai indikasi untuk rawat inap.
Tujuan pokok terapi hemoptoe adalah mencegah tersumbatnya saluran pernafasan oleh bekuan darah, mencegah
kemungkinan penyebaran infeksi dan menghentikan perdarahan. Pada hemoptoe yang tidak masif maka penanganan dapat
secara konservatif, yang dilakukan pada penanganan secara konservatif adalah: 4
1. Menenangkan penderita dan memberitahu agar jangan takut untuk membatukkan darahnya.
2. Penderita diminta untuk berbaring pada bagian paru yang sakit atau sedikit tredelenburg, terutama apabila reflek batuknya
tidak adekuat.
3. Jaga agar jalan nafas tetap terbuka, bila terdapat tanda tanda sumbatan jalan nafas maka perlu dilakukan penghisapan atau
bila diperlukan dengan memasang pipa endotrakeal. Pemberian oksigen hanya berguna jika jalan nafas bebas sumbatan.
4. Pemasangan IVFD untuk penggantian cairan maupun pemberian obat secara parenteral.
5. Pemberian obat hemostatik tidak jelas manfaatnya pada batuk darah yang tidak disertai kelainan faal hemostatik.
6. Obat dengan efek sedasi ringan dapat diberikan bila penderita gelisah. Obat obat penekan reflek batuk hanya diberikan bila
terdapat batuk yang berlebihan dan merangsang timbulnya perdarahan yang lebih banyak.
7. Transfusi diberikan bila hematokrit turun dibawah 25-30% atau hemoglobin dibawah 10 gr%.
gambar 1. alur diagnosa suspek TB paru
Dugaan diagnosis TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologis dan
penunjang yang lain.4 Gejala gejalanya termasuk gejala respiratorik (batuk ≥ 3 minggu, batuk berdahak, batuk darah, nyeri
dada, sesak nafas) dan gejala sistemik (demam, keringat malam, penurunan berat badan, malaise, nafsu makan menurun).
Pada pemeriksaan fisik TB tidak khas, sehingga tidak dapat membantu membedakan dengan penyakit lainnya, temuan fisik
tergantung lokasi kelainan, serta luasnya kelainan struktur paru. 4
Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan dahak untuk menentukan bakteri tahan
asam (BTA) merupakan pemeriksaan yanng harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita TB atau suspek,
pemeriksaan dilakukan 3 kali (sewaktu/pagi/sewaktu). Diagnosis TB paru ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada
pemeriksaan mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif jika sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak ditemukan BTA (+).
Bila hanya satu spesimen positif maka perlu dilakukan pemeriksaan foto thorax atau sputum ulangan. Bila foto thorax
mendukung TB maka didiagnosis TB paru BTA (+). Bila foto thorax tidak mendukung maka perlu dilakukan pemeriksaan
sputum ulang. Bila hasil sputum ulangan negatif berarti bukan penderita TB. Bila foto roentgen mendukung TB namun sputum
negatif maka diagnosis adalah TB paru BTA (-) roentgen positif. 4
Pada pasien ini dari anamnesis didapatkan bahwa pasien ini memiliki episode batuk berulang dengan dahak yang telah
berlangsung selama 2 minggu, kemudian adanya riwayat demam malam hari dan riwayat penurunan berat badan, berdasarkan
hal ini maka pasien dapat dicurigai menderita TB paru. Pada pemeriksaan sputum ditemukan adanya bakteri tahan asam positif
2, oleh karena itu pasien ini dapat langsung didiagnosa sebagai penderita TB paru.
Pada kasus dimana sputum positif maka pemeriksaan roentgen tidak diperlukan lagi. Namun beberapa kasus perlu dilakukan
foto thorax bila: 4,9
1. Sputum BTA negatif
2. Sputum BTA positif
a. curiga adanya komplikasi (contoh efusi pleura, pneumothorax).
b. hemoptisis berulang atau berat.
c. didapatkan hanya 1 spesimen BTA (+).
Tujuan pengobatan adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke
orang lain dan mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT. 4 Saat menegakkan diagnosa TB, dan sebelum memulai
pengobatan, harus ditentukan definisi kasus TB yang ditentukan oleh 4 determinan: 4
1. lokasi penyakit
2. hasil hapusan dahak
3. riwayat pengobatan sebelumnya
4. beratnya penyakit
Tabel 2. Kategori pengobatan TB
kategori Pasien TB Fase
intensif lanjutan
I
TB paru BTA (+) kasus baru TB paru BTA (-) kasus baru
dengan kerusakan parenkim yang luas
TB ekstra pulmoner kasus baru dengan kerusakan paru berat
2HRZE
4H3R3
4HR
6HE
II
TB paru BTA (+) kasus baru dengan riwayat pengobatan sebelumnya:
o kambuho gagal pengobatano pengobatan tidak selesai
2HRZES
+
1HRZE
5H3R3E3
5HRE
III TB paru BTA (-) kasus baru
diluar kategori I kasus baru yang berat dengan
TB ekstrapulmoner
2HRZ
4H3R3
4HR
6HE
IV kasus kronis (BTA tetap positif,
setelah pengobatan ulang)
Rujuk ke dokter spesialis paru
Pada pasien ini lokasi TB berada pada paru dengan hapusan dahak (+) dan belum pernah diobati dengan OAT sebelumnya,
sehingga definisi kasus pada pasien ini adalah TB paru BTA (+) kasus baru. 4 Sehingga dimasukkan kedalam kategori I pada
pengobatan TB, dengan fase intensif 2HRZE dan fase lanjutan 4HR.
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping, namun sebagian kecil dapat mengalami efek
samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat berat atau ringan, jika efek samping yang terjadi ringan, dapat diatasi dengan obat
simptomatis dan pemberian OAT dapat dilanjutkan, namun jika efek samping berat yang terjadi maka OAT dihentikan.
Pemantauan efek samping selama pengobatan secara klinis dilakukan dengan menjelaskan kepada penderita mengenai tanda-
tanda efek samping, menanyakan kepada penderita adanya gejala efek samping pada saat penderita mengambil OAT,
melakukan pemeriksaan fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin), fungsi ginjal (ureum, kreatinin), gula darah, asam urat (bila
menggunakan pirazinamid) untuk data dasar penyakit penyerta dan efek samping pengobatan, pemeriksaan visus dan uji buta
warna jika ada keluhan / setiap bulan (bila menggunakan ethambutol).8,9
Tabel 3. Efek samping OAT dan tatalaksana
OATEfek samping
evaluasi tatalaksanaMayor* Minor
H Hepatitis
- kesemutan- kaki rasa terbakar
AST/ALT
Vitamin B6(piridoksin) 100 mg/hari(profilaksis 10mg/hari)
R
- Hepatitis- Syok, purpura,gagal ginjal, anemia hemolitik (jarang)
- anorexia- nyeri perut- urin warna merah
- AST/ALT- Alkali phospatase- bilirubin
- Dimakan sebelum tidur
Z - Hepatitis- nyeri sendi
- AST/ALT- Asam urat
Beri aspirin / allopurinol / probenescid
E
Neuritis optika(buta warna merah-hijau dan tajam penglihatan menurun)
- uji visus setiap bulan/jika ada keluhan
Ket: * efek samping mayor hentikan OAT(dari pustaka 8, 9, 10)
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak perlu dilakukan pemeriksaan awal tersebut. Yang penting adalah evaluasi klinis
adanya efek samping, dan bila dicurigai adanya efek samping maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping sesuai pedoman.8,9
Secara definisi menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin ataupun
keduanya. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes, kecurigaan akan adanya DM perlu dipikirkan apabila
terdapat keluhan klasik DM, seperti poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya, atau keluhan lain berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulvae pada wanita. Pasien didiagnosis DM jika:5
1. gejala klasik DM dan GDS ≥ 200 mg/dl
2. gejala klasik DM dan GDP ≥ 126 mg/dl
3. G2PP ≥ 200 mg/dl
Dari anamnesis pada pasien ini didapatkan bahwa pada tahun 2006 pasien sering merasakan cepat lelah pada otot saat
beraktifitas dan ekstrimitas sering kram, namun tidak terdapat keluhan poliuri, polidipsi, dan polifagi. Pasien ini tidak memiliki
gejala klasik DM, oleh karena itu diagnosis DM ditegakkan berdasarkan nilai G2PP ≥ 200 mg/dl.
Meningkatnya kepekaan pasien DM terhadap infeksi disebabkan oleh berbagai faktor. Pada umumnya efek hiperglikemia
memudahkan pasien DM terkena infeksi. Hal ini disebabkan karena hiperglikemia mengganggu fungsi neutrofil dan monosit
(makrofag) termasuk kemotaksis, perlengketan, fagositosis dan mikroorganisme yang terbunuh dalam intraselular. 11
Diabetes melitus dianggap oleh WHO sebagai suatu penyakit imunodefisiensi sekunder yang karakteristik oleh adanya resolusi
bila kausa yang mendasarinya dieliminasi, perlangsungan lebih lama dan lebih berat serta infeksi sering rekuren, gangguan
salah satu respon imun biasanya granulosit PMN dan atau aktifitas subset limfosit. Bila mengenai PMN maka manifestasi
kemotaksis dan fagositosis terganggu. Leukosit PMN ditarik ketempat infeksi oleh substansi kemotaksis yang disekresikan oleh
mikroorganisme dan oleh aktifasi komplemen dan faktor faktor yang diindus secara lokal oleh PMN. Pada penelitian in vitro sel
sel pasien DM mempunyai kemotaksis yang menurun, terutama pada keadaan DM yang tidak terkontrol. Fagositosis pada DM
juga terganggu dikaitkan dengan defek intrinsik dari PMN. Hiperglikemia juga berkaitan dengan killing activity dari enzim
lisosom yang menurun. Normalisasi kadar glukosa darah akan segera meningkatkan aktifitas membunuh dalam 48 jam. 11
Infeksi adalah penyebab utama krisis hiperglikemia pada DM. Tercatat 30% episode KAD dipresipitasi oleh infeksi dan pada
umumnya DM tipe II. Infeksi ringan pada DM biasanya menaikkan toleransi glukosa dengan meningkatkan kadar glukosa darah
dan menaikkan kebutuhan insulin pada pasien DM tipe I. Efek metabolik infeksi pada DM diawali oleh kenaikan kadar glukosa
darah karena glukoneogenesis yang distimulasi oleh meningkatnya sekresi counter regulatory hormones (glukagon, kortisol,
growth hormon dan katekolamin) maupun penekanan sekresi insulin oleh sel sel beta pankreas. Katekolamin diproduksi oleh
simpatis dan adrenalin dihasilkan oleh medula adrenal, keduanya menyebabkan meningkatnya glukoneogenesis dan
penekanan sekresi insulin. Vasopresin bekerjasama dengan hormon antagonis dan ini juga berperan pada stadium awal. Tahap
selanjutnya walaupun sekresi meningkat pada non diabetik maupun pada DM tipe II akan tetapi akibat adanya resistensi
insulin, hiperglikemia menetap dan malahan cenderung meningkat. Resistensi insulin terutama pada otot skelet dimana insulin
tidak mampu meningkatkan asupan glukosa demikian pula dihati. Mekanisme yang mendasarinya belum diketahui dengan
pasti. Namun kadar kortisol yang meningkat dalam sirkulasi dan sitokin yang disekresi oleh sel imun akibat infeksi ikut
berperan. Selanjutnya interleukin dan TNF alfa yang mengganggu kerja insulin diperifer dengan menekan tirosin kinase activity
pada reseptor insulin. Kenaikan kadar glukagon terutama pada defisiensi insulin akan merangsang ketogenesis yang terkait
erat dengan terjadinya ketoasidosis pada infeksi DM. 11
TB sering ditemukan menyertai DM dan menyebabkan resistensi insulin dan “brittle” diabetes. Di Negara-negara Barat insiden
TB sudah menurun walaupun insidensinya masih tinggi pada populasi imigran dan terutama pada pasien AIDS. Didaerah
dimana TB masih endemik maka insiden TB pada DM masih tinggi. Perjalanan TB dengan DM lebih berat dan kronis dibanding
DM saja. Hal ini disebabkan meningkat kepekaan terhadap kuman TB pada pasien DM, reaktifasi fokus infeksi lama, cenderung
lebih banyak cavitas dan pada hapusan serta kultur sputum lebih banyak positif, keluhan dan tanda tanda klinis TB paru toksik
tersamar sehingga tidak pernah didiagnosis atau dianggap TB paru ringan dan akhirnya pada keadaan hiperglikemia
pemberian obat kemoterapi tidak efektif. 11
Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM, aktifitas TB meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM
ringan. Penelitian TB paru pada DM di indonesia masih cukup tinggi yaitu 12,8-42% dan bila dibanding dengan luar negeri
maka prevalensi indonesia masih tinggi. Telah diketahui sejak dahulu terdapat hubungan bermakna antara DM dengan TB paru
khususnya pada pasien DM yang tidak terkontrol dengan baik. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi antara lamanya
DM dengan prevalensi TB paru. Demikian pula tidak ditemukan adanya korelasi riwayat kontak pada pasien tuberkulosis.
Penelitian menunjukkan bahwa TB paru pada DM berkorelasi dengan meningkatnya umur. Sejumlah penelitian menunjukkan
prevalensi TB pada DM rata-rata diatas 40 tahun (mean 55,4 tahun). Faktor umur berperan dalam meningkatkan prevalensi TB
paru pada DM karena umur lebih tua meningkatkan kepekaan terhadap TB. Disamping itu disfungsi sel beta terganggu berat,
biasanya usia lanjut sudah lama menderita DM serta kontrol DM yang tidak baik. Pasien DM laki-laki mempunyai kemungkinan
2 kali mendapat TB dibanding wanita. Dan 71% adalah pasien DM non obes, 15% obes dan hanya 14% kurus. Sedang peneliti
lainnya menemukan sebagian besar DM dengan TB mempunyai berat badan normal. 11
Pengobatan DM pada TB paru meliputi pengobatan terhadap DM-nya dan pengobatan terhadap TB parunya. Pengobatan DM
adalah sama saja pengobatan DM pada umumnya yang meliputi perencanaan makan/diet, anti diabetes oral maupun insulin.
Perencanaan makan selain untuk menormalkan kadar glukosa darah, juga untuk mengembalikan berat badan ke BB ideal. 11
Sebagai petunjuk atau guidellines untuk pengelolaan DM selama infeksi adalah sebagai berikut: pada pasien yang berobat jalan
tindakan adalah monitor kadar glukosa plasma sekurang-kurangnya 4 jam terakhir, pada pasien yang sudah mendapat insulin,
dosis insulin ditingkatkan untuk mengantisipasi hiperglikemia persisten, pertahankan asupan cairan, kendalikan DM seoptimal
mungkin kadar GDP 80-109 mg/dl, GD2PP 0-144 mg/dl, HbA1c <6,5, kolesterol total <200 mg/dl, LDL <100 mg/dl, HDL > 45
mg/dl, Tg < 150 mg/dl, IMT 18,5-23 dan Td <130/80 mmHg. Awasi bila timbul muntah-muntah atau terjadi hiperglikemia berat
atau hipoglikemia dan tindaki segera. Pada pasien rawat inap tindakan adalah monitor kadar glukosa plasma 4 jam terakhir,
tingkatkan dosis insulin untuk mengatasi hiperglikemia bila perlu berikan insulin IV atau tetes. Pada pasien yang memakai obat
hiperglikemia oral pertimbangkan untuk mengganti atau menambah dosis insulin, pertahankan hidrasi dengan pemberian
cairan intravena bila diperlukan. 11
Pengobatan pasien ini dengan menggunakan insulin karena; pertama, efek rifampisin terhadap obat hipoglikemik oral dimana
rifampisin dapat mempercepat metabolisme obat-obat anti diabetik oral, menginaktifasi sulfonilurea dan meningkatkan
kebutuhan insulin. Sebaliknya INH dapat mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea.
Walaupun jarang INH menyebabkan pankreatitis, menghambat efek metformin pada absorbsi glukosa diusus, mengganggu
absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea. Kedua; Pemberian sulfonilurea pada DM dengan TB
paru adalah kontraindikasi karena TB dianggap penyakit dengan infeksi serius yang intercurrent. Sedang biguanid tidak
diberikan karena pada umumnya TB paru mempunyai keluhan nafsu makan menurun, BB menurun dan adanya malabsorbsi
glukosa11, dan ketiga; terdapatnya indikasi penggunaan insulin. 5
Rifampisin merupakan obat anti tuberkulosis lini pertama, yang juga mempunyai spektrum luas terhadap organisme lain,
termasuk beberapa bakteri gram positif dan gram negatif Legionella spp, M. kansasii, dan M. marinum. Aktifitas bakterisidal
dari rifampisin pada intraselular dan ekstraselular dengan memblok sintesis, dengan mengikat dan menginhibisi secara spesifik
sintesis RNA pada DNA dependent RNA polimerase. Rifampisin merupkan antibiotik yang bersifat larut lemak dan terdistribusi
dengan baik pada seluruh jaringan tubuh, termasuk meninges yang terinflamasi. Rifampisin diekskresi terutama melalui
saluran empedu dan sirkulasi enterohepatik, sedangkan 30-40% diekskresikan melalui ginjal. Meskipun secara umum rifampisin
ditoleransi dengan baik, namun efek samping yang paling sering adalah masalah gastrointestinal. Pasien dengan penyakit
hepar, terutama dengan alkoholisme dan usia lanjut terlihat beresiko tinggi untuk memiliki efek samping serius yaitu hepatitis.
Rifampisin merupakan inducer enzim mikrosomal hepar yang poten sehingga dapat menurunkan waktu paruh dari beberapa
obat, dimana salah satunya adalah obat hipoglikemik oral.6
Indikasi mutlak penggunaan insulin adalah DM type I, tetapi seringkali diberikan pada bukan DM type I dengan tujuan agar
tubuh memiliki jumlah insulin efektif pada saat yang tepat. Beberapa indikasi penggunaan insulin adalah pada DM type I, DM
type II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan obat hipoglikemik oral, DM dan keadaan khusus (kehamilan,
nefropati diabetik tipe B3 dan Be, gangguan faal hati berat, infeksi akut, TB paru berat, ketoasidosis diabetik, operasi, patah
tulang, underweight, dan penyakit graves).7
Telah dikenal berbagai macam insulin kerja cepat, sedang sampai lama yang disuntikkan sendiri atau mixed dalam satu
semprit. Saat ini tersedia insulin kerja cepat yaitu insulin lispro dan insulin aspart, kerja sedang tersedia actrapid, humulin NPH,
kerja lama adalah ultra lente dan insulin gargline. Insulin yang dikombinasi antara kerja pendek dan sedang adalah insulin
mixtard, yang terdiri monotard 70% dan actrapid 30%. Insulin yang beredar sekarang adalah insulin murni atau human insulin
yang dibuat dengan tehnologi rekombinan DNA dan mempunyai kerja lebih cepat dan masa kerja lebih pendek dibandingkan
insulin babi. Di indonesia hanya beredar insulin dengan dosis 40 IU/ml dan 100 IU/ml. Di luar negeri tersedia pula insulin
dengan dosis 500 IU/ml yang ditujukan pada kasus-kasus resistensi insulin dimana memerlukan insulin dosis besar. 11
Pemberian insulin sebaiknya dimulai dengan insulin kerja cepat seperti actrapid atau monotard R dengan dosis kecil 5 unit
diberikan tiap ½ jam sebelum makan dan dosis ditingkatkan 2-4 unit dalam waktu 2-4 hari. Macam dan jadwal pemberian
insulin dapat diubah sesuai respon pasien. 11
Bila pengendalian DM berlangsung baik dan keadaan TB paru sudah membaik maka insulin kerja pendek dapat dilanjutkan
dengan insulin kerja menengah seperti monotard atau humulin N dengan dosis 2/3 dari dosis total insulin kerja pendek. Bila
dosis total perhari diperlukan kurang 30 unit perhari maka cukup pemberian insulin kerja menengah cukup diberikan sekali
perhari dan apabila dosis lebih 30 unit maka pemberian insulin diberikan 2 kali perhari yaitu 2/3 dosis sebelum makan pagi dan
1/3 dosis sebelum makan malam. 11
Pemberian insulin mixed lebih baik dalam menormalkan kadar glukosa darah dibanding insulin tunggal. Namun demikian
insulin campuran sebaiknya mengikuti petunjuk dan prosedur standar pemberian seperti penyuntikan dilakukan 15 menit
sebelum makan, dianjurkan hanya pada pasien yang sudah terkontrol baik. Tidak dianjurkan menggabungkan antara lente
insulin dengan NPH karena zink pospat dapat mempresipitasi sehingga insulin kerja lambat akan menjadi kerja pendek.
Demikian pula insulin gargline tidak dapat dicampur dengan insulin lainnya karena pH rendah akan saling mengencerkan. 11
Dosis insulin pada pasien DM tergantung respons glikemik setiap individu dan asupan makanan serta latihan jasmani. Pada
umumnya pada pemberian awal diberikan 3 kali pemberian atau lebih suntikan perhari dengan insulin kerja pendek untuk
memperoleh derajat euglikemik. Jadwal penyuntikan tergantung dari kadar glukosa darah, jumlah asupan makanan, aktifitas
fisik dan tipe insulin yang dipakai. Pada umumnya penyuntikan dilakukan 30 menit sebelum makan khusus untuk insulin kerja
pendek karena penyuntikan setelah makan atau segera sebelum makan akan menyebabkan hipoglikemia atau insulin tidak
efektif menekan kenaikan glukosa darah postprandial. 11
Pada saat ini pemberian insulin khususnya dalam periode lama seperti DM dengan TB paru maka perlu monitor kadar glukosa
darah sendiri. Untuk memantau kadar glukosa dapat dipakai darah kapiler dengan memakai glukosa meter. Hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah dengan glukosa meter dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan
dilakukan sesuai dengan standar yang diperlukan. Secara berkala hasil pemantauan dengan meter atau reagen perlu
dibandingkan dengan cara konvensional. Waktu pemeriksaan untuk pemantauan adalah pada saat sebelum makan dan waktu
tidur untuk menilai resiko hipoglikemia dan pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah makan untuk menilai ekskursi maksimal
glukosa selama sehari.11
RESUME
Telah di anamnesa seorang pasien laki-laki berusia 54 tahun yang masuk rumah sakit dengan keluhan hemoptoe. Pada
pemeriksaan telah terbukti bahwa pasien menderita TB paru BTA positif dengan diabetes melitus tipe II. Pasien selama
diruangan telah mendapat pengobatan berupa H 300,R 450, Z 1000, E 750 dan rapid insulin 12 unit 3 kali sehari. Setelah
beberapa hari dirawat kondisinya semakin membaik, dan pada hari ke 12 pasien dipulangkan dan dirujuk ke poli paru untuk
mendapatkan pengobatan TB dan kontrol ke poli endokrin untuk pengobatan DM.
Daftar Pustaka
1. Palomino JC, Leão SC, Ritacco V. 2007. Tuberculosis 2007: From basic science to patient care First Edition.
TuberculosisTextbook.com
2. Jabbar A, Hussain SF, Khan AA. 2006. Clinical characteristics of pulmonary tuberculosis in adult Pakistani patients with co-
existing diabetes mellitus. Eastern Mediterranean Health Journal, Vol. 12, No. 5,
3. Misnadiarly. 2001. Penelitian Survey Penyakit Penyerta pada Penderita TB Paru/Mycobacteriosis Paru secara Restrospektif.
Research Report from JKPKBPPK Center for Research and Development of Disease Control, NIHRD. Badan Litbang Kesehatan.
4. Alsagaff H, Wibisono MJ, Winariani. 2004. buku ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru. FK Unair-RSU dr. Soetomo.
Surabaya.
5. PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta.
6. Kasper DL et al. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. United States
of America.
7. Tjokroprawiro A. 1999. Diabetes Melitus, Klasifikasi, Diagnosis, dan Terapi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis, pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
9. DEPKES. 2001. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 6th Ed. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
10. Price SA, Wilson LM. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses penyakit. EGC: Jakarta.
11. Sanusi H. Diabetes melitus tipe II pada TB paru. Naskah lengkap Pertemuan Ilimiah Khusus (PIK) ke X perhimpunan dokter
paru indonesia 2-5 juli 2003, sahid makassar.