PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

16
1 PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM 1 Abdul Rokhim 2 (Dipublikasikan dalam Buku Kumpulan Makalah Berjudul Ilmu Humaniora: Sebuah Antologi Pemikiran, Cet. I, Penerbit Nirmana Media, Tangerang-Banten-Jakarta, ISBN 602-8298-15-8, Mei 2017, hlm. 207-219) Abstrak Pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia dilakukan berdasarkan konsep Hak Penguasaan Negara (HPN). HPN atas SDA mengandung makna bahwa negara memegang kekuasaan untuk menguasai dan mengusahakan segenap sumber daya alam (termasuk barang tambang) yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. HPN atas barang tambang tidak dapat dialihkan dan didelegasikan kepada badan swasta, meskipun negara tidak atau belum mempunyai kemampuan sepenuhnya untuk mengusahakan sendiri untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sesuai amanat konstitusi. Dalam hukum positif, HPN atas barang tambang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengusahakan sendiri atau memberikan izin atau bahkan bekerjasama dengan sektor swasta melalui kontrak pertambangan untuk melakukan eksploitasi barang tambang milik bangsa Indonesia. Muncul dilema, di satu sisi pemerintah belum mampu mengusahakan sendiri dan karena itu itu perlu bekerja sama dengan sektor swasta, namun di sisi lain HPN atas barang tambang secara hukum tidak dapat dialihkan kepada sektor swasta. Relasi antara pemerintah dengan badan swasta dalam pengusahaan pertambangan idealnya melalui izin pertambangan, bukan dalam bentuk kontrak pertambangan yang menempatkan pemerintah sebagai salah satu pihak, agar posisi pemerintah sebagai pengemban kekuasaan negara memiliki kedudukan lebih tinggi dan dapat mengontrol sektor yang mendapatkan izin dari pemerintah. Dalam perspektif hukum Islam, menempatkan pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam pengusahaan barang tambang yang merupakan hajat hidup orang banyak sejalan dengan prinsip maslahah ummat yang menurut syariat Islam bertujuan untuk menarik kemanfaatan dan mencegah bahaya untuk umum. Kata Kunci: Pengelolaan; Barang Tambang; Hukum Positif; Hukum Islam A. Pengantar Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Hal ini berarti secara ideologis, penguasaan negara atas sumber daya alam (termasuk barang tambang) harus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan atau kemakmuran rakyat. Meskipun secara idiil Hak Penguasaan Negara (HPN) atas sumber daya alam harus digunakan sebagai sarana memperbesar kemakmuran rayat, namun dalam kenyataannya hal itu sangat bias karena beberapa sebab, antara lain: pertama, politik hukum negara 1 Makalah ini pernah dipresentasikan dalam National Conference dalam rangka Dies Natalis ke-36 Universitas Islam Malang pada tanggal 26 Maret 2017, dengan tema Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni (IPTEKS) untuk Kemaslahatan Umat, subtema “Tata Kelola Hukum, Pemerintahan dan Ekonomi dalam Perspektif Islam Menuju Indonesia Berkeadilan. 2 Dr. H. Abdul Rokhim, SH, MH adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.

Transcript of PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

Page 1: PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

1

PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN

HUKUM ISLAM1

Abdul Rokhim2

(Dipublikasikan dalam Buku Kumpulan Makalah Berjudul “Ilmu Humaniora: Sebuah

Antologi Pemikiran”, Cet. I, Penerbit Nirmana Media, Tangerang-Banten-Jakarta,

ISBN 602-8298-15-8, Mei 2017, hlm. 207-219)

Abstrak

Pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia dilakukan berdasarkan konsep

Hak Penguasaan Negara (HPN). HPN atas SDA mengandung makna bahwa negara

memegang kekuasaan untuk menguasai dan mengusahakan segenap sumber daya alam

(termasuk barang tambang) yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan

Indonesia. HPN atas barang tambang tidak dapat dialihkan dan didelegasikan kepada

badan swasta, meskipun negara tidak atau belum mempunyai kemampuan sepenuhnya

untuk mengusahakan sendiri untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sesuai

amanat konstitusi. Dalam hukum positif, HPN atas barang tambang memberikan

kewenangan kepada pemerintah untuk mengusahakan sendiri atau memberikan izin atau

bahkan bekerjasama dengan sektor swasta melalui kontrak pertambangan untuk

melakukan eksploitasi barang tambang milik bangsa Indonesia. Muncul dilema, di satu

sisi pemerintah belum mampu mengusahakan sendiri dan karena itu itu perlu bekerja

sama dengan sektor swasta, namun di sisi lain HPN atas barang tambang secara hukum

tidak dapat dialihkan kepada sektor swasta. Relasi antara pemerintah dengan badan

swasta dalam pengusahaan pertambangan idealnya melalui izin pertambangan, bukan

dalam bentuk kontrak pertambangan yang menempatkan pemerintah sebagai salah satu

pihak, agar posisi pemerintah sebagai pengemban kekuasaan negara memiliki kedudukan

lebih tinggi dan dapat mengontrol sektor yang mendapatkan izin dari pemerintah. Dalam

perspektif hukum Islam, menempatkan pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam

pengusahaan barang tambang yang merupakan hajat hidup orang banyak sejalan dengan

prinsip maslahah ummat yang menurut syariat Islam bertujuan untuk menarik

kemanfaatan dan mencegah bahaya untuk umum.

Kata Kunci: Pengelolaan; Barang Tambang; Hukum Positif; Hukum Islam

A. Pengantar

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat”. Hal ini berarti secara ideologis, penguasaan negara atas sumber daya

alam (termasuk barang tambang) harus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan atau

kemakmuran rakyat.

Meskipun secara idiil Hak Penguasaan Negara (HPN) atas sumber daya alam harus

digunakan sebagai sarana memperbesar kemakmuran rayat, namun dalam kenyataannya

hal itu sangat bias karena beberapa sebab, antara lain: pertama, politik hukum negara

1 Makalah ini pernah dipresentasikan dalam National Conference dalam rangka Dies Natalis ke-36

Universitas Islam Malang pada tanggal 26 Maret 2017, dengan tema Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni

(IPTEKS) untuk Kemaslahatan Umat, subtema “Tata Kelola Hukum, Pemerintahan dan Ekonomi dalam

Perspektif Islam Menuju Indonesia Berkeadilan”. 2 Dr. H. Abdul Rokhim, SH, MH adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.

Page 2: PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

2

sering diboncengi oleh sejumlah kepentingan kelompok atau individu yang mengatas-

namakan kepentingan umum, kepentingan negara, atau kepentingan pembangunan. Kedua,

dilihat dari substansi hukum, pengertian “dikuasai” oleh negara tidak mencerminkan

makna yang jelas dan lugas, sehingga mengandung banyak penafsiran (multi-interpretasi)

yang berimplikasi pada ketidakpastian hukum dalam implementasinya. Akibatnya, sering

terjadi benturan kepentingan dan konflik wewenang di antara departemen atau instansi

pemerintah sektoral dalam penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia.3

B. Konsep Penguasaan Negara atas Barang Tambang

Istilah “dikuasai oleh negara” mempunyai padanan arti “negara menguasai atau

penguasaan negara”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian kata

“menguasai” ialah berkuasa atas (sesuatu), memegang kekuasaan atas (sesuatu), sedangkan

pengertian kata “penguasaan” berarti proses, cara, perbuatan menguasai atau

mengusahakan”.4 Dengan demikian, pengertian kata penguasaan lebih luas dari pada kata

menguasai. Oleh karena itu, menurut Abrar Saleng, penyebutan yang tepat kekuasaan

negara atas sumber daya alam dalam rangka pasal 33 UUD 1945 adalah Hak Penguasaan

Negara (HPN).5

Pengertian “hak”, menurut Apeldoorn, adalah suatu kekuasaan (macht) yang teratur

oleh hukum yang berdasarkan kesusilaan (zakelijheid; moraal). Tetapi kekuasaan semata-

mata bukanlah hak. Hanya kekuasaan yang dibenarkan oleh hukum (het recht in zijn

veroorlovende gedaante) saja yang dijadikan dasar bagi adanya hak untuk mengatur oleh

negara.6

Apabila konsep penguasaan negara dikaitkan dengan pengertian hak, maka makna

HPN tertuju kepada negara sebagai subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban.

Dengan demikian maka makna HPN di dalamnya terdapat sejumlah wewenang dan

tanggung jawab (kewajiban) yang bersifat publik. Hal ini berarti bahwa HPN harus dilihat

dan dipahami dalam konteks hak (wewenang) dan kewajiban negara sebagai subyek yang

memiliki kekuasaan atas sumber daya alam yang bersifat publik (publiekrechtelijk), bukan

bersifat privat (privaatrechtelijk) dalam arti negara sebagai pemilik (eigenaar).

Pemahaman yang demikian bermakna bahwa negara memiliki kewenangan sebagai

pengatur, perencana, pelaksana dan sekaligus sebagai pengawas dalam pengelolaan dan

pemanfaatan sumber daya alam nasional.7

Mengacu pada pengertian HPN tersebut di atas, maka dalam kerangka penguasaan

negara atas barang tambang, HPN mengandung makna bahwa negara memegang

kekuasaan untuk menguasai dan mengusahakan segenap sumber daya bahan galian

(barang tambang) yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. Konsep

yang demikian sejalan dengan maksud kata-kata dikuasai oleh negara yang tertuju kepada

obyek-obyek penguasaan yang tersebut dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945:

“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang

banyak dikuasai negara”.

3 Achmad Sodiki, “40 Tahun Masalah-masalah Dasar Hukum Agraria”, Pidato Pengukuhan Guru

Besar Ilmu Hukum Unibraw, dalam Buku: 70 Tahun Prof. Abdul Gani, Malang, 2000, hlm. 164. 4 Departemen Pendidikan dan Kebuadayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta:

Balai Pustaka, 1995), hlm. 533. 5 Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 21.

6 L.J. van Apeldoorn, Inleiding tot de Studie van het Nederlansche Recht. Terjemahan Oetarid Sadino:

“Pengantar Ilmu Hukum”, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2001), hlm. 22. 7 Abrar Saleng, Op. Cit., hlm. 33

Page 3: PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

3

Berdasarkan hal tersebut di atas, penguasaan negara atas bahan galian dalam konteks

HPN menjadi dilematis. Karena, di satu sisi, HPN atas barang tambang tidak dapat

dialihkan dan didelegasikan kepada badan usaha swasta. Namun, di sisi lain, dalam situasi

tertentu negara tidak (belum) mempunyai kemampuan untuk mengusahakan sendiri bahan

tambang agar bermanfaat bagi kemakmuran rakyat sesuai amanat konstitusi. Berhadapan

dengan situasi demikian maka perlu diciptakan suatu piranti hukum yang kondusif untuk

membangun relasi antara pemerintah (selaku pengemban atau pelaksana kekuasaan negara

atas barang tambang) dengan sektor swasta (selaku pihak yang memiliki kemampuan

untuk mengelola, memanfaatkan dan mengusahakan barang tambang), sehingga mampu

memberi nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dengan tidak

menyimpang dari amanat Pasal 33 UUD 1945.

Dalam hal penguasaan dan pengusahaan minyak dan gas bumi (migas), misalnya,

Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

(UU Migas) menyatakan bahwa penguasaan minyak dan gas bumi oleh negara

diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan (KP).8

Selanjutnya, pada ayat (3)-nya dinyatakan bahwa pemerintah sebagai pemegang KP

membentuk Badan Pelaksana (BP) sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 23 yang bertugas

untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu Migas. Mekanisme seperti ini oleh

pembentuk undang-undang dimaksudkan sebagai instrumen hukum ekonomi yang

dianggap mampu untuk membangun dan memberikan landasan hukum bagi langkah-

langkah pembaruan penataan atas penyelenggaraan pengusahaan Migas dalam kerangka

mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.9

Berdasarkan pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia (MKRI) Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012, MKRI Indonesia

(MKRI) menyatakan bahwa “Penguasaan negara atas Migas harus dimaknai, rakyat secara

kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk

mengadakan kebijakan (beleid) berupa tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan

(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk

tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemerintah melakukan tindakan pengurusan

atas sumber daya alam Migas dengan memberikan konsesi kepada satu atau beberapa

Badan Usaha Milik Negara untuk melakukan kegiatan usaha Migas pada sektor hulu.

Badan Usaha Milik Negara itulah yang akan melakukan kerja sama dengan Badan Usaha

Milik Daerah, Koperasi, Usaha Kecil, badan hukum swasta, atau Bentuk Usaha Tetap”.

Pertimbangan hukum tersebut mengandung makna bahwa mining right dan

economic right atas sumber daya alam sepenuhnya dipegang oleh pemerintah. Putusan

MKRI juga mengamanatkan dua perubahan. Pertama, mengenai siapa wakil negara dalam

melakukan pengaturan dan pengawasan, serta pengendalian dan pengelolaan kegiatan

industri hulu Migas. Kedua, bagaimana pola penunjukan pelaksana kegiatan eksplorasi dan

eksploitasi migas, atau yang sering disebut granting instrument.

8 Istilah Kuasa Pertambangan (KP) tidak diatur lagi di dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009

tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Istilah KP tertuang di dalam Pasal 2 huruf i UU Nomor 11

Tahun 1967 yang menyebutkan bahwa kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan kepada

badan/perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Pengaturan KP tertuang di dalam Pasal 10

ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 1967 yang menyebutkan bahwa Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai

kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat

dilaksanakan sendiri oleh Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang

kuasa pertambangan. 9 Lihat bagian Menimbang huruf f Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi.

Page 4: PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

4

Mengenai perubahan yang pertama, MKRI menghendaki agar tindakan pengaturan

dan pengawasan serta pengendalian dan pengelolaan kegiatan industri hulu Migas

dilakukan langsung oleh pemerintah (eksekutif) melalui kementerian terkait (ESDM). Hal

ini berarti UU Migas yang baru nantinya harus mengganti kedudukan dan fungsi BP Migas

(sekarang: SKK Migas) yang sudah dinyatakan inkonstitusional berdasarkan putusan

MKRI sebagai bagian dari Pemerintah (eksekutif). Selain itu, tugas dan wewenang SKK

Migas harus diperluas tidak hanya meliputi tindakan pengaturan dan pengawasan (mining

right), tetapi juga tindakan pengendalian dan pengelolaan (economic right).

C. Hubungan antara Pemerintah dengan Perusahaan Pertambangan

Dalam masyarakat tradisional inti hubungan antara subyek hukum yang memerintah

(pemerintah) dengan yang diperintah (masyarakat) lebih mengandalkan pada status, yang

menurut Talcott Parson berintikan pada power and priveleges.10

Hubungan yang

dilakukan berdasarkan pada status berlangsung bukan karena konsensus subyek individual,

tetapi didasarkan pada kerangka normatif struktur sosial yang ada.11

Pola hubungan dalam masyarakat yang berdasarkan status umumnya terjadi atau

digunakan pada masyarakat tradisional, namun dalam perkembangannya pola hubungan

ini berubah menjadi pola hubungan yang sifatnya kontraktual pada masyarakat modern.

Inti hubungan kontraktual pada masyarakat modern menurut Talcott Parson adalah “free

agreement of individual”.12

Motivasi yang fundamental mengenai beralihnya suatu pola

hubungan dari status ke kontraktual adalah hasrat untuk maju dan lebih rasional sesuai

dengan tuntutan perkembangan ekonomi dan hubungan industrial.

Berdasarkan pada pola hubungan tersebut, pemerintah dalam statusnya sebagai

pemegang HPN jika dikaitkan dengan pengaturan pengusahaan barang tambang yang

sifatnya atributif (kewenangan menurut undang-undang), maka seyogyanya hubungan

hukum yang timbul berdasarkan kewenangan atributif lebih didasarkan pada status

pemerintah selaku pemegang hak istimewa. Dengan demikian, maka hubungan hukum

antara pemerintah sebagai pemegang KP dengan perusahaan pertambangan swasta

(kontraktor) bukanlah suatu mekanisme pengalihan (delegasi) hak pengusahaan negara,

tetapi merupakan suatu sarana atau instrumen hukum yang memungkinkan pihak swasta

nasional atau asing untuk dapat turut serta di dalam usaha pertambangan. Posisi kontraktor

dalam hal ini tidak setara dengan pemerintah, melainkan di bawah “subordinasi” dari

pemerintah sebagai pihak yang memiliki wewenang atau kekuasaan atas barang tambang.

Masalahnya adalah dalam pertambangan Migas misalnya, berdasarkan ketentuan

Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU Migas, setelah pemerintah memegang KP dari negara, maka

pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menyerahkan wewenang

tersebut kepada pelaku usaha swasta (kontraktor) melalui Pasal 1 angka 5 dan Pasal 12

ayat (3) UU Migas. Pasal tersebut membuka tafsir bahwa kewenangan yang dimiliki

pemerintah telah diserahkan sepenuhnya kepada kontraktor. Berdasarkan ketentuan Pasal

12 ayat (3) tersebut, berarti UU Migas mereduksi KP yang dimiliki atau dipegang

pemerintah sebagai wujud kedaulatan negara atas tambang Migas. Hal ini juga berarti

menghilangkan kekuasaan konstitusional negara atas bahan tambang Migas. Oleh karena

itu, pemerintah harus merevisi Pasal 12 ayat (3) UU Migas, agar sesuai dengan amanat

konstitusi. Ini berarti MKRI telah (berupaya) mengembalikan kedaulatan negara melalui

10

Anis Ibrahim, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum & Hukum Milenium Ketiga, (Malang:

Penerbit In-TRANS, 2007), hlm. 112. 11

Deno Kamelus, Fungsi Hukum terhadap Ekonomi Indonesia, Disertasi Program Pascasarjana

Universitas Airlangga, Surabaya, 1998, hlm. 326. 12

Anis Ibrahim, Op. Cit., hlm. 114.

Page 5: PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

5

HPN atas Migas sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena

KP ada pada pemerintah, maka keterlibatan badan usaha swasta (kontraktor) dalam

kegiatan pengusahaan Migas adalah subordinasi pemerintah.

Jadi, kedudukan kontraktor dalam pengusahaan tambang bukan yang memiliki

wewenang atas barang tambang, tetapi “diikutsertakan” dalam pengusahaan tambang.

Inilah konstruksi yuridis yang sebenarnya dikehendaki oleh UUD 1945, yakni negara

melalui pemerintah tetap memegang monopoli atas sumber daya alam, termasuk tambang

Migas, tetapi kompetitif terhadap persaingan pasar global, atau menurut kalimat mantan

Ketua MKRI, Jimly Asshiddiqie: “MK mencari jalan tengah antara idealisme versus

pragmatisme berkaitan dengan peran negara versus mekanisme pasar”.13

Bagaimana halnya dengan kontrak pertambangan yang menempatkan pemerintah

sebagai salah satu pihak dengan kontraktor swasta sebagai pihak lainnya, seperti kontrak

karya14

pada PT Freeport Indonesia?

Dalam rangka mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam konsep negara

hukum kesejahteraan (welfare state), pemerintah turut menyelenggarakan berbagai fungsi

di luar fungsi penyelenggaraan pemerintahan, yang menuntut pemerintah turut serta dalam

pergaulan kemasyarakatan atau hubungan hukum sebagai pihak atau subyek perjanjian

yang tidak berbeda dengan subyek hukum keperdataan pada umumnya. Tindakan

pemerintah yang demikian ini, menurut Bagir Manan,15

adalah hubungan hukum

kesederajatan yang merupakan hubungan keperdataan antara pemerintah dan orang atau

badan hukum keperdataan. Hubungan keperdataan timbul dari perbuatan keperdataan,

misalnya melakukan kontrak dengan subyek hukum lainnya. Sedangkan yang dapat

melakukan hubungan atau perbuatan perdata adalah manusia (natuurlijk persoon) dan

badan hukum (rechtspersoon).

Berdasarkan pemahaman ini, maka perbuatan hukum keperdataan pemerintah hanya

dapat dilakukan oleh badan pemerintahan yang berstatus badan hukum (rechtspersoon).

Salah satu badan pemerintahan yang berstatus badan hukum adalah negara. Negara dalam

melakukan perbuatan keperdataan (dalam hal ini kontrak) dilakukan oleh pemerintah.

Kedudukan pemerintah di sini semacam dengan kedudukan direksi dalam Perseroan

Terbatas. Karena itu, menurut Mariam Darus Badrulzaman, pemerintah (pusat atau

daerah), baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui Badan Usaha Milik

Negara/Badan Usaha Milik Daerah) dapat mengadakan perjanjian perdata.16

Di samping itu, menurut Mariam Darus Badrulzaman,17

pemerintah juga dapat

mengadakan perjanjian yang diwarnai sifat hukum publik (publiekrechtelijk). Perjanjian

ini berorientasi pada kepentingan umum dan bersifat memaksa. Di dalam kontrak yang

demikian ini, tidak terdapat kebebasan berkontrak, karena syarat-syarat yang ditentukan di

dalam kontrak tidak didasarkan kepada kehendak kedua belah pihak, tetapi hanya

didasarkan kepada kehendak satu pihak, yaitu pemerintah. Syarat-syarat tersebut

ditentukan oleh perangkat peraturan perundang-undangan. Hubungan antara pemerintah

dan mitranya (perorangan atau badan hukum swasta) dalam perjanjian ini tidak berada

13

Harian Kompas, 23 Desember 2004, hlm. 9. 14

Kontrak karya adalah suatu perjanjian antara Pemerintah RI dengan perusahaan swasta asing atau

patungan antara asing dengan nasional (dalam rangka Penanaman Modal Asing) untuk pengusahaan mineral

dengan berpedoman kepada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing serta

Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok Pertambangan Umum. 15

Bagir Manan, “Bentuk-bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh Pemerintah

Daerah”, dalam Journal of Padjadjaran University, No. 3 Vol. 14, Bandung, 1996, hlm. 24. 16

Mariam Darus Badrulzaman, “Perjanjian dengan Pemerintah (Government Contract)”, dalam Seri

Dasar Hukum Ekonomi 5: Hukum Kontrak di Indonesia, (Jakarta: Proyek Elips, 1998), hlm. 159. 17

Ibid.

Page 6: PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

6

dalam kedudukan yang sama (nebengeordnet), tetapi pemerintah mempunyai kedudukan

yang lebih tinggi dari mitranya (untergeordnet). Karena itu perjanjian ini disebut dengan

perjanjian publik (government contract). Kontrak-kontrak publik itu diatur dalam

peraturan perundang-undangan, misalnya kontrak production sharing yang diatur dalam

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina.18

Dalam perjanjian publik, khususnya dalam joint venture, Sunaryati Hartono

memandang bahwa hubungan pemerintah dan lawan kontraknya di samping sebagai

“pihak” (partner) juga sebagai “pemerintah” (government). Oleh karena itu, kontrak yang

melahirkan joint venture dimana pemerintah sebagai pihak tidak dapat dikatakan sebagai

suatu perjanjian komersial (commercial contract) biasa, sebab pemerintah mempunyai

kedudukan rangkap, baik sebagai pihak maupun sebagai pemerintah.19

Dalam

hubungannya dengan kontrak dimana pemerintah sebagai salah satu pihak, Brietzke

mengatakan bahwa “government intervention has and will continue decisively to change

the face of Indonesian contracts law. The conventional contract model is not necessarily

appropriate to the relation between government and private individuals or companies”.20

Dalam rangka melaksanakan HPN atas barang tambang, kedudukan pemerintah

sebagai pemegang KP memiliki kewenangan mengatur dan mengontrol perusahaan

pertambangan swasta. Itulah sebabnya, dapatlah dikatakan bahwa kontrak pertambangan

bukanlah kontrak bisnis biasa yang murni berkarakter privat (privaat-rechtelijk),

melainkan merupakan kontrak khusus, lain dari pada yang lain (sui generis). Kontrak

pertambangan antara pemerintah dan pihak swasta senantiasa memiliki karakter hukum

publik dan hukum privat. Meskipun, pada hakikatnya “kontrak” itu merupakan hubungan

hukum yang sifatnya privat, namun karakter publik dalam kontrak pertambangan tidak

bisa dilepaskan.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa dalam kontrak pertambangan, posisi

hukum pemerintah bersifat “monodualis”, karena di satu sisi pemerintah berkedudukan

sebagai regulator dan sekaligus pemegang KP, namun di sisi lain pemerintah juga

berkedudukan sebagai salah satu pihak dalam kontrak yang kedudukannya setara dengan

kontraktor. Posisi ganda pemerintah seperti tersebut tidak bisa dihindari, bahkan

merupakan suatu kebutuhan hukum, mengingat sebagaimana dikatakan oleh Brietzke: “. .

. government must constantly safeguard the public interest in and through its contractual

relations. Government agencies increasingly use contracts (rather than regulations) to

spell out their relations with individuals and institutions, and this trend gives the ‘private’

law of contract much more of a ‘public’ flavor.21

Atas dasar itu maka dapatlah dipahami apabila dalam hal-hal tertentu demi

kepentingan publik (public interest) pemerintah terpaksa harus melakukan peninjauan

kembali terhadap kontrak-kontrak pertambangan yang pernah dibuat oleh pemerintahan

rezim sebelumnya, seperti pada kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia, yang dinilai

18

Ibid. 19

Sunaryati Hartono, Masalah-masalah dalam Joint Ventures antara Modal Asing dan Modal

Indonesia, (Bandung: Alumni, 1974), hlm. 28. 20

“ . . . intervensi pemerintah secara tegas telah dan akan terus mengubah wajah hukum kontrak

Indonesia. Model kontrak konvensional belum tentu sesuai dengan hubungan antara pemerintah dengan

swasta perorangan atau perusahaan”. Lihat, Paul H. Brietzke, “The Formation of Contracts According to

American Law”, dalam Buku Seri Dasar Hukum Ekonomi 5: Hukum Kontrak di Indonesia, (Jakarta: Proyek

Elips, 1998), hlm. 91. 21

Pemerintah harus terus-menerus menjaga kepentingan publik dalam dan melalui hubungan

kontraktual. Instansi pemerintah semakin banyak menggunakan kontrak (dari pada regulasi) untuk

menguraikan hubungan mereka dengan individu dan institusi, dan kecenderungan ini memberikan hukum

kontrak perdata lebih terasa 'publik'. Ibid.

Page 7: PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

7

berat sebelah dan sangat merugikan kepentingan bangsa dan negara. Idealnya, apabila

dinilai ada “ketidakadilan” dalam kontrak pertambangan, maka para pihak harus “duduk

bersama” berunding untuk melakukan perubahan isi kontrak (adendum) berdasarkan

kesepakatan baru sesuai dengan prinsip kewajaran dan keadilan yang menguntungkan

kedua belah pihak. Karena, pada hakikatnya kedudukan para pihak dalam hukum

perjanjian itu sifatnya setara (equal), maka secara hukum pemerintah tidak boleh secara

sepihak mengubah isi kontrak yang telah disepakati dengan PT Freeport Indonesia.

Meskipun dalam hal ini salah satu pihaknya adalah pemerintah yang notabene adalah

pengemban dan pelaksana HPN atas sumber daya alam (dalam hal ini barang tambang)

yang ada di seluruh wilayah NKRI. Posisi inilah yang menyebabkan pemerintah

“tersandra” dengan kontrak-kontrak pertambangan yang telah dibuatnya sendiri dengan

perusahaan pertambangan swasta, terutama dalam rangka Penanaman Modal Asing

(PMA). Namun, karena kontrak pertambangan itu pada dasarnya bukanlah kontrak biasa

(sui generis), yang juga memiliki karakter hukum publik di samping tentunya karakter

privat, maka sebagai pengemban dan pelaksana HPN pemerintah tentu saja berwenang

mengontrol dan bahkan memastikan bahwa kontrak-kontrak pertambangan yang telah ada

harus menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku setelah kontrak

itu ditandangani.

Terkait dengan posisi pemerintah yang demikian itu, maka dalam pengelolaan

(pengusahaan) barang tambang ke depan pemerintah harus menggunakan instrumen

perizinan (Izin Usaha Pertambangan), bukan dengan membuat atau memperpanjang

kontrak-kontrak pertambangan dengan swasta, seperti kontrak karya dengan PT Freeport

Indonesia. Karena, barang tambang merupakan sumber daya alam yang menyangkut hajat

hidup orang banyak, maka pemerintah harus menjalankan kedaulatan negara atas barang

tambang, bukan malah tunduk pada kepentingan kontraktor pertambangan yang

dikendalikan oleh swasta (asing).

Menempatkan pemerintah sebagai pengemban kedaulatan negara atas barang

tambang yang merupakan kekayaan alam bangsa Indonesia agar terhindar dari penguasan

atau eksploitasi perusahaan asing, sejalan dengan pernyataan Presiden Soekarno: “Kami

tinggalkan kekayaan alam agar seluruh dunia iri dengan Indonesia. Kami tinggalkan

kekayaan alam hingga bangsa Indonesia sendiri mampu mengelolanya”. Statemen ini

merupakan perwujudan dari politik “berdiri di kaki sendiri” (Berdikari) terkait dengan

pengelolaan sumber daya alam (SDA), yang harus direalisasikan oleh pemerintah, kalau

negeri ini ingin berdaulat di bidang SDA.

Untuk itu perlu memikirkan kembali (rethinking) konsep dan penjabaran HPN atas

barang tambang yang ideal menurut UUD 1945, termasuk dengan mengadopsi prinsip-

prinsip pengelolaan barang tambang menurut hukum Islam.

D. Penguasaan Negara atas Barang Tambang dalam Perspektif Hukum Islam

Dalam perspektif hukum Islam, secara umum ada dua jenis barang berharga yang

bisa diperolah manusia dalam perut bumi, yaitu barang tambang dan harta peninggalan

orang-orang zaman dahulu yang tertimbun di bumi (harta karun). Dalam melihat

kepemilikan barang-barang tambang atau harta karun ini, ada perbedaan pendapat di

kalangan para ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah di satu pihak dan pendapat

Malikiyah di pihak lain.

Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa kepemilikan barang

tambang itu adalah merujuk atau berdasarkan kepada kepemilikan tanah itu sendiri.

Artinya, jika tanahnya merupakan hak milik seseorang dan di dalamnya ada barang

tambang, maka barang tambang itu juga menjadi miliknya, dan jika barang tambang itu

Page 8: PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

8

terdapat di tanah negara maka barang tambang itu adalah kepunyaan (dalam kekuasaan)

negara, dan jika barang tambang itu terdapat di tanah yang tidak ada pemiliknya maka

barang tambang itu untuk (milik) yang menemukannya”.22

Sedangkan ulama Malikiyah

berpendapat bahwa barang-barang tambang adalah dikuasai oleh negara. Pendapat para

ulama ini bisa ditelusuri dalam beberapa kitab klasik karya ulama-ulama mazhab tersebut.

Dalam Kitab “Al-Muhazzab”, Imam Abi Ishaq Ibrahim Al-Fairuz, berkata:

“Apabila orang merdeka yang muslim mengeluarkan barang tambang dari tanah mati

(tanah tak bertuan) atau dari tanah yang dimilikinya lalu telah sampai nisabnya berupa

emas dan perak, maka diwajibkan kepada muslim yang mendapat barang tambang tersebut

untuk mengeluarkan zakatnya. Dan jika dia memperoleh barang tambang itu di tanah yang

dimiliki oleh orang lain maka barang tambang itu untuk si pemilik tanah, dan si penemu

barang tambang wajib menyerahkan barang temuannya itu kepada si pemilik tanah”.

Pendapat mayoritas (Jumhur) ulama seperti tersebut di atas berbeda dengan pendapat

yang masyhur di kalangan Malikiyah. Para ulama Malikiyah berpendapat bahawa barang

tambang sepenuhnya di bawah kepemilikan (kekuasaan) negara. Dalam hal ini Wahbah

Az-Zuhaily berkata: “Pendapat yang masyhur dari golongan Malikiyah mengatakan

bahwa seluruh barang tambang itu tidak dapat dimiliki dengan cara penguasaan atasnya

sebagaimana tidaklah dimiliki ia disebabkan mengikuti kepemilikan tanah tersebut, akan

tetapi barang tambang itu adalah untuk negara”. Pendapat ini sejalan dengan pendapat

Yusuf Qardawi yang mengatakan dalam Kitab Fiqh Zakat bahwa segala sesuatu yang

dikeluarkan dari perut bumi baik itu berbentuk padat maupun cair semuanya itu adalah

milik Baitul Mal, maka barang galian dan minyak tanah yang mengalir dalam perut bumi

adalah milik negara”.23

Persoalannya adalah bagaimana pengelolaan barang tambang menurut hukum Islam

atau menurut prinsip-prinsip syariah, khususnya terkait dengan penguasaan dan

pengusahaannya.

Secara umum pengelolaan sumber daya alam (SDA) termasuk barang tambang,

sesungguhnya telah diatur dalam Al Quran. Al Quran telah mengingatkan bahwa alam

semesta beserta isinya, termasuk barang tambang, ditundukkan untuk kepentingan atau

kemanfaatan manusia secara keseluruhan sebagaimana disebutkan dalam Surat Al

Jaatsiyah ayat 13:

“Dan Dia (Allah) menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang ada di

bumi. Ini semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya apa yang demikian itu

benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.

Pengelolaan SDA barang tambang yang baik merupakan salah satu kegiatan

memakmurkan bumi. Bahkan ia merupakan salah satu tujuan utama syariah Islam yang

diserukan oleh para ulama.24

Tugas manusia untuk memakmurkan bumi ini antara lain

dengan melakukan pemanfaatan barang tambang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

22

Agussalam Nasution, Kepemilikan Bahan Galian Pertambangan (BGP) dalam Perspektif Hukum

Islam dan Hukum Nasional Indonesia (Suatu Tinjauan Terhadap Status Tambang Rakyat Ilegal di

Mandailing Natal), dalam http://agussalamn.blogspot.co.id/2012/04/artikel-hukum-kepemilikan-bahan-

galian.html. Diakses 17 Maret 2017. 23

Ibid. 24

Yusuf Al Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. (Jakarta: Robbani Press,

2004).

Page 9: PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

9

Dalam konsep Islam, tugas manusia untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang

memiliki dampak terhadap kepentingan umum (maslahatul ummah) dilakukan melalui

pemerintah atau negara. Barang tambang merupakan SDA yang sangat penting bagi

kemakmuran dan kemaslahatan umum, karena itu keberadaan barang tambang dalam suatu

negara harus dalam penguasaan negara agar dapat dikelola (diatur, diusahakan, dan

diawasi) untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat (ummat).

Ini berarti bahwa dalam konsepsi hukum Islam, penguasaan negara atas barang

tambang hanyalah sah apabila hal itu dilakukan oleh pemerintah (sebagai wakil dari

negara), yakni dengan memanfaatkannya untuk kemaslahatan ummat (kemakmuran

rakyat), bukan untuk kepentingan segelintir orang atau pengusaha tertentu.

Dalam bidang pertambangan, misalnya, Allah menciptakan besi dan kemudian

diolah oleh manusia menjadi berbagai macam benda sesuai dengan kebutuhannya dalam

kehidupan hari-hari, sebagaimana difirmankan dalam Al Qur’an dalam Surat Al Hadid

ayat 25:

“ . . . dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai

manfaat bagi manusia . . . ”.

Dalam konsep Islam, pemilikan atas suatu barang dibagi menjadi tiga macam:25

(1) Kepemilikan individu (private property), setiap orang dapat memiliki atau menguasai

dengan cara-cara tertentu, misalnya dengan jual beli, waris, hibah, dan lain-lain.

(2) Kepemilikan umum (collective property), dengan izin Allah kepada komunitas

masyarakat memiliki hak untuk secara bersama-sama memanfaatkan barang-barang

yang dalam katagori untuk hajat hidup orang banyak, dan Allah melarang benda

tersebut dikuasai oleh perorangan. Benda-banda tersebut terdiri dari: (a) fasilitas

umum seperti sungai, laut, jalan dan lain-lain; (b) barang tambang yang tidak terbatas;

(c) sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh

perorangan, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: “Kaum muslim

bersekutu (memiliki hak bersama) dalam tiga hal, yaitu air, padang, dan api”. Dalil

tersebut diperkuat dengan hadits riwayat Tirmidzi, yang mengatakan: “Sesungguhnya

ia meminta kepada Rasulullah SAW untuk mengelola tambang garam. Lalu, Beliau

memberikannya. Setelah is pergi, ada seseorang dari majelis tersebut bertanya wahai

Rasulullah tahukah engkau apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya

engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air mengalir. Rasulullh SAW kemudian

bersabda: kalau begitu cabut kembali tambang tersebut darinya”.

(3) Kepemilikan negara (state property), yakni hak seluruh umat (Islam) yang sepenuhnya

menjadi milik (domain) atau kekuasaan negara, seperti harta fai, kharaj, jizyah, dan

lain-lain.

Penetapan aturan kepemilikan bersama, menurut Al Qardawi, terkait benda-benda

yang bersifat dharuri (sangat dibutuhkan) bagi semua orang itu, dapatlah di-qiyaskan

bahwa barang-barang tambang yang sangat vital bagi kepentingan masyarakat merupakan

milik bersama dan barang tersebut harus dikuasai negara untuk kemakmuran masyarakat.26

Pendapat Qardhawi mengambil mazhab Imam Malik, yang mengatakan bahwa segala yang

25

Istiyanti dan Nurul Huda, Solusi Model Perikatan Pengelolaan SDA Pertambangan Mineral dan

Batubara Sesuai Syariah, Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan, Vol. 19 No. 3, September 2015, hlm. 323-

324 26

Yusuf Al Qardhawi, Loc. Cit.

Page 10: PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

10

keluar dari perut bumi seperti emas, tembaga, minyak dan gas bumi, dan lain-lain, yang

jumlahnya banyak adalah “milik” negara (Baitul Mal), yang harus dikelola pemerintah

untuk kemaslahatan ummat (dalam hal ini suatu bangsa), sedangkan barang tambang yang

depositnya tergolong kecil atau sangat terbatas dapat dimiliki oleh perorangan atau

perserikatan. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi SAW yang mengizinkan kepada Bilal

bin Harith al Muzani memiliki barang tambang yang sudah ada di bagian Najd dan

Tihamah, hanya saja mereka wajib membayar khumus (semacam pajak atau royalty)

seperlima dari yang diproduksinya kepada Baitul Mal (kas negara).27

Berdasarkan hadits-hadits tersebut di atas, negara atau pemerintah dalam konsep

Islam merupakan khalifah (wakil Allah SWT) yang diberikan amanat sebagai pengelola

barang tambang yang merupakan milik umum (collective property), sehingga negara atau

pemerintah idealnya harus menguasai sepenuhnya barang tambang dan mengusahakannya

untuk kemaslahatan umat (kemakmuran rakyat). Namun, apabila pemerintah tidak mampu

mengelola atau mengusahakan sendiri (melalui perusahaan negara), maka pemerintah

dapat memberikan izin kepada orang atau perusahaan swasta untuk mengusahakannya

dengan kewajiban membayar khumus, semacam royalty, yang besarnya seperlima atau

20% dari nilai barang tambang yang dihasilkannya.

E. Simpulan

Dalam hukum positif kita, pengelolaan sumber daya alam (SDA) dilakukan

berdasarkan konsep Hak Penguasaan Negara (HPN) sebagaimana diatur dalam pasal 33

ayat (3) UUD 1945. HPN atas SDA mengandung makna bahwa negara memegang

kekuasaan untuk menguasai dan mengusahakan segenap sumber daya alam berupa barang

tambang yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. HPN atas barang

tambang tidak dapat dialihkan dan didelegasikan kepada badan swasta, meskipun negara

tidak atau belum mempunyai kemampuan sepenuhnya untuk mengusahakan sendiri untuk

sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sesuai amanat konstitusi. Dalam hukum positif,

HPN atas barang tambang memberikan kewenangan kepada pemerintah memberikan

kewenangan untuk mengusahakan sendiri atau memberikan izin atau bahkan bekerjasama

dengan sektor swasta melalui kontrak pertambangan untuk melakukan eksploitasi barang

tambang milik bangsa Indonesia. Muncul dilema, di satu sisi pemerintah belum mampu

mengusahakan sendiri dan karena itu itu perlu bekerja sama dengan sektor swasta, namun

di sisi lain HPN atas barang tambang secara hukum tidak dapat dialihkan kepada sektor

swasta.

Relasi antara pemerintah dengan badan swasta dalam pengusahaan pertambangan

idealnya melalui izin pertambangan, bukan dalam bentuk kontrak pertambangan yang

menempatkan pemerintah sebagai salah satu pihak, agar posisi pemerintah sebagai

pengemban kekuasaan negara memiliki kedudukan lebih tinggi dan dapat mengontrol

sektor yang mendapatkan izin dari pemerintah. Dalam perspektif hukum Islam,

menempatkan pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam pengusahaan barang tambang

merupakan hak milik bersama (collective property) yang harus dikelola atau diusahakan

oleh pemerintah untuk kemaslahatan ummat (kemakmuran rakyat) agar barang tambang

yang vital dan jumlahnya banyak tidak jatuh dalam penguasaan perorangan atau swasta

yang dapat merugikan rakyat banyak, sesuai dengan prinsip maslahah ummat, yakni

menarik kemanfaatan dan mencegah bahaya untuk umum.

27

Sanrego, Y. D. dan Rusdi Batun, “Pandangan Islam Terhadap Privatisasi BUMN”, dalam Jurnal

Ekonomi Islam La Riba III (2), 2009, hlm. 131-149

Page 11: PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

11

Daftar Rujukan

Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press, 2004)

Achmad Sodiki, “40 Tahun Masalah-masalah Dasar Hukum Agraria”, Pidato Pengukuhan

Guru Besar Ilmu Hukum Unibraw, dalam Buku: 70 Tahun Prof. Abdul Gani,

Malang, 2000.

Agussalam Nasution, Kepemilikan Bahan Galian Pertambangan (BGP) dalam Perspektif

Hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia (Suatu Tinjauan Terhadap Status

Tambang Rakyat Ilegal di Mandailing Natal), dalam http://agussalamn.

blogspot.co.id/2012/04/artikel-hukum-kepemilikan-bahan-galian.html

Al Qardhawi, Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. (Jakarta:

Robbani Press, 2004).

Anis Ibrahim, Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum & Hukum Milenium Ketiga,

(Malang: Penerbit In-TRANS, 2007)

Apeldoorn, L.J. van, Inleiding tot de Studie van het Nederlansche Recht. Terjemahan

Oetarid Sadino: “Pengantar Ilmu Hukum”, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2001)

Bagir Manan, “Bentuk-bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh

Pemerintah Daerah”, dalam Journal of Padjadjaran University, No. 3 Vol. 14, Bandung, 1996

Brietzke, Paul H., “The Formation of Contracts According to American Law”, dalam Buku

Seri Dasar Hukum Ekonomi 5: Hukum Kontrak di Indonesia, (Jakarta: Proyek Elips,

1998)Departemen Pendidikan dan Kebuadayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995)

Deno Kamelus, Fungsi Hukum terhadap Ekonomi Indonesia, Disertasi Program

Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1998

Istiyanti dan Nurul Huda, “Solusi Model Perikatan Pengelolaan SDA Pertambangan

Mineral dan Batubara Sesuai Syariah”, dalam Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan

Keuangan, Vol. 19 No. 3, September 2015

Kompas, 23 Desember 2004

Mariam Darus Badrulzaman, “Perjanjian dengan Pemerintah (Government Contract)”,

dalam Seri Dasar Hukum Ekonomi 5: Hukum Kontrak di Indonesia, (Jakarta: Proyek

Elips, 1998)

Sanrego, Y. D. dan Rusdi Batun, “Pandangan Islam Terhadap Privatisasi BUMN”. Dalam

Jurnal Ekonomi Islam La Riba III (2), 2009

Sunaryati Hartono, Masalah-masalah dalam Joint Ventures antara Modal Asing dan

Modal Indonesia, (Bandung: Alumni, 1974)

Page 12: PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

12

Page 13: PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

13

Page 14: PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

14

Page 15: PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

15

Page 16: PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM …

16