PENGATURAN KOMPENSASI PENJUALAN LANGSUNG...
Transcript of PENGATURAN KOMPENSASI PENJUALAN LANGSUNG...
PENGATURAN KOMPENSASI PENJUALAN LANGSUNG
BERJENJANG SYARIAH (PLBS) DI INDONESIA
TESIS
Oleh
SITI SOLIHAH
NIM. 21140433100011
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M/ 1439 H
PENGATURAN KOMPENSASI PENJUALAN LANGSUNG
BERJENJANG SYARIAH (PLBS) DI INDONESIA
Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Hukum (M.H.)
Oleh
SITI SOLIHAH
NIM. 21140433100011
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M/ 1439 H
ABSTRAK
Siti Solihah. Pengaturan Kompensasi Bisnis Penjualan Langsung Berjenjang
Syariah Dalam Fatwa DSN MUI dan Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia, 2018.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya kegiatan bisnis
Penjualan Langsung Berjenjang Syariah di Indonesia yang diikuti dengan
meningkatnya penipuan yang terjadi akibat janji perusahaan dalam memberikan
kompensasi yang sangat tinggi dan tidak dapat mewujudkannya. Penelitian ini
bertujuan menganalisis pengaturan kompensasi bisnis Penjualan Langsung
Berjenjang Syariah dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI dan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia, selain itu perspektif Pemerintah sebagai Regulator
dan Perusahaan sebagai Pelaku Usaha terhadap pengaturan kompensasi yang terdapat
dalam kedua aturan tersebut juga menjadi bahan analisis penelitian. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan normatif yaitu
melalui pendekatan perundang-undangan (statue approach).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia dan Fatwa DSN-MUI tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah
selaras dalam mengatur sistem kompensasi bisnis penjualan langsung berjenjang agar
terhindar dari praktik money game, skema piramida dan unsur penipuan, namun
kedua aturan tersebut berbeda dalam penetapan besaran kompensasi. Perusahaan
cenderung mengharapkan agar penetapan batas maksimal besaran kompensasi dikaji
ulang berdasarkan kebutuhan perusahaan. Penelitian diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dan stimulus bagi regulator dalam merevisi dan membuat
hukum positif tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah.
.
Kata Kunci: Kompensasi, Komisi, Bonus, Penjualan Langsung Berjenjang, Fatwa, Perundang-undangan
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Maha Besar Allah yang telah memberikan ilmu kepada penulis,
serta rasa syukur yang mendalam atas curahan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya
sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada
Rasulullah SAW.
Penulisan tesis ini bukanlah semata-mata usaha penulis saja, banyak pihak yang
telah memberikan kontribusinya selama penulisan ini, ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr.
Asep Saepudin Jahar, M.A, atas sumbangan pemikiran serta motivasi yang
senantiasa diberikan untuk penulis.
2. Wakil Dekan Bidang Akademik, Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag atas nasihat dan
saran yang konstruktif yang menjadi kekuatan penulis dalam melanjutkan studi
ke jenjang Magister ini. Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, Bapak Dr.
Ahmad Tholabi Kharlie, SH, MA MH., atas dukungan kepada penulis untuk
menyelesaikan studi sekaligus mengabdi di Fakultas Syariah dan Hukum. Wakil
Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Bapak Dr. Yayan Sopyan, SH, MH,
M.Ag yang senantiasa menyalurkan ilmunya dan motivasinya bagi penulis.
3. Ketua Program Magister Hukum Ekonomi Syariah, Ibu Dr. Nurhasanah, M.Ag
dan Sekretaris Program Magister Hukum Ekonomi Syariah, Bapak Ahmad
Chairul Hadi, M.A, yang dengan jiwa kepemimpinan dan kesabarannya
senantiasa mengarahkan mahasiswanya untuk bisa menyelesaikan studi hingga
tahap akhir.
4. Dosen Pembimbing Tesis, Bapak Dr. Muhammad Maksum, SH, MA, M.DC, atas
bimbingan, arahan, motivasi dan ilmu yang diberikan dalam membimbing
penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
i
5. Dosen Penasihat Akademik, Dr. Supriyadi Ahmad, M.A. atas bimbingannya
selama penulis dalam masa studi hingga proses akhir studi.
6. Pihak Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), serta PT. K-Link Nusantara yang telah
memberikan izin dan perkenannya untuk melakukan wawancara dan
pengambilan data yang diperlukan.
7. Pihak Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan FSH UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta atas semua bantuannya dalam penyediaan referensi yang dibutuhkan.
8. Orang tua penulis, Drs. H. Busman Hamid dan Hj. Siti Pupu Sapuro, S.Pd.I. atas
segala ridho dan dukungan bagi penulis, untuk suamiku tercinta Komaruddin,
S.Pd.I, Danang Hidayatullah, MM, Sa’adah Yuliana Purmanti, SHI, kepada
mereka penulis ucapkan terima kasih atas dukungannya dan untuk anak-anak
tercinta (M. Labib Zaidan, M. Afif Sholahuddin, Adiva Husna Humairo) yang
senantiasa mendoakan bundanya dan ketulusan mereka yang membuat penulis
tersenyum.
9. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua dan
Sekretaris Prodi, Para Dosen, Kabag, para Kasub FSH atas amanah yang
diberikan untuk bekerja dan belajar di FSH, untuk seluruh pegawai FSH UIN
Jakarta yang menjadi rekan penulis selama penulis bekerja mulai tahun 2007
hingga 2018 ini atas support yang diberikan kepada penulis. Tesis ini diharapkan
menjadi salah satu dari kilauan berlian suatu ilmu.
10. Teman-teman di Magister Hukum Ekonomi Syariah (MHES) dan Magister
Hukum Keluarga (MHK) atas waktunya untuk saling berdiskusi dan mendukung
satu sama lainnya.
Jakarta, 23 Juli 2018 Penulis, Siti Solihah
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………...…i
DAFTAR ISI………………………………………………………………….....iii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………..... 1
B. Permasalahan…...…………………………………………....................10
C. Tujuan Penelitian……………………………………………….............12
D. Manfaat Penelitian…………………………………………………...…12
E. Review Kajian Terdahulu………………………………………………12
F. Metodologi Penelitian……………….………………………………….16
G. Sistematika Penulisan……………………………………………..........18
II. KOMPENSASI BISNIS PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG
SYARIAH
A. Sistem Kompensasi ……………………………………………….......19
B. Pemberian Upah dalam Islam …………………………………………28
III. PENGATURAN AKAD KOMPENSASI BISNIS PENJUALAN
LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH
A. Konsepsi Kompensasi……………………………………...……….......36
B. Pengaturan Perjanjian atau Akad…………………………………...…..51
C. Hak dan Kewajiban Pihak Pemberi dan Penerima Kompensasi…..……54
D. Pengaturan Besaran dan Bentuk Kompensasi……………………..……56
iii
IV. PENGATURAN SISTEM KOMPENSASI BISNIS PENJUALAN
LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH
A. Antisipasi Jaringan Pemasaran Terlarang………………………………60
B. Aspek Pelarangan Ighra’……………………………………………….64
C. Prinsip Keadilan dan Larangan Eksploitasi………………….…………67
V. PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………......................76
B. Rekomendasi……………………………………………………………77
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..................79
LAMPIRAN-LAMPIRAN
iv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Banyak jenis transaksi baru yang ditawarkan yang menjanjikan
keuntungan berlipat ganda. Bahkan ada sebuah sistem bisnis yang banyak
menawarkan kekayaan dalam waktu singkat.1 Sistem ini adalah Penjualan
Langsung Berjenjang. Penjualan Langsung Berjenjang merupakan bagian dari
penjualan langsung (direct selling). Penjualan langsung dalam sistem pemasaran
penjualan mempunyai dua tingkatan, yaitu Pemasaran Satu Tingkat (Single Level
Marketing) dan Pemasaran Multi Tingkatan (Multi Level Marketing).2
Multi Level Marketing3 dapat diartikan sebagai pemasaran berjenjang.
Pemasaran (terjemahan dari marketing) dan penjualan, keduanya mempunyai
konsep yang berbeda. Konsep pemasaran sebagai falsafah manajemen pemasaran
yang berkeyakinan bahwa pencapaian sasaran organisasi tergantung pada
penentuan kebutuhan dan keinginan pasar sasaran dan pesaing. Sementara
konsep penjualan sebagai gagasan bahwa konsumen tidak akan membeli produk
organisasi dalam jumlah cukup kecuali organisasi mengadakan usaha penjualan
dan promosi berskala besar.4
1Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia , (Jakarta: Prenada Media, 2005),
h.187 2Single Level Marketing (Pemasaran Satu Tingkat) yaitu Metode pemasaran barang dan/atau
jasa dari sistem Penjualan Langsung melalui program pemasaran berbentuk satu tingkat, dimana Mitra
Usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan/atau jasa
yang dilakukannya sendiri. Multi Level Marketing (Pemasaran Multi Tingkat) yaitu Metode pemasaran
barang dan/atau jasa dari sistem Penjualan Langsung melalui program pemasaran berbentuk lebih dari
satu tingkat, dimana mitra usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil
penjualan barang dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri dan anggota jaringan di dalam
kelompoknya. Lihat: https://www.apli.or.id/direct-selling/ 3MLM adalah strategi pemasaran di mana tenaga penjual (sales) tidak hanya mendapatkan
kompensasi atas penjualan yang mereka hasilkan, tetapi juga atas hasil penjualan sales lain yang
mereka rekrut. Tenaga penjual yang direkrut tersebut dikenal dengan anggota "downline". Lihat:
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemasaran_berjenjang diakses pada 8 April 2017
2
Istilah Multi Level Marketing (MLM) tidak digunakan dalam Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia dan Fatwa DSN MUI, melainkan memakai
istilah Penjualan Langsung Berjenjang. Adapun yang tercantum dalam Pasal 7
Bagian Kedua Bab IV Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2014 Tentang Perdagangan, hanyalah istilah multilevel yang didefiniskan sebagai
salah satu dari sistem penjualan langsung dalam proses pendistribusian.5
Ketentuan mengenai distribusi barang ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Menteri Perdagangan.
Perusahaan yang pertama kali berdiri di Indonesia adalah PT. Nusantara
Sun Chorella. Perusahaan ini didirikan di Kota Bandung pada tahun 1986.
Perkembangan selanjutnya PT. Nusantara Sun Chorella telah berganti nama
menjadi PT. Centra Nusa Insan Cemerlang. Dewasa ini perusahaan MLM PT.
Centra Nusa Insan Cemerlang lebih sering dikenal orang dengan sebutan
perusahaan MLM CNI. Perusahaan penjualan langsung berjenjang lainnya pun
kemudian bermunculan seperti perusahaan Amway yang berasal dari Amerika
dan diikuti oleh lahirnya penjualan langsung berjenjang dari dalam negeri seperti
perusahaan Capriasi, Sophie Martin, Melia Nature, dan beberapa perusahaan
penjualan langsung berjenjang lainnya.
Penjualan Langsung Berjenjang masih menjadi bisnis yang kontroversial
dalam masyarakat Indonesia sampai saat ini. Kontroversial dari sisi sistemnya,
dimana sistem Penjualan Langsung Berjenjang memangkas jalur distribusi dalam
penjualan konvensional karena tidak melibatkan distributor atau agen tunggal
dan grosir atau sub agen, tetapi langsung mendistribusikan produk kepada
distributor independen yang bertugas sebagai pengecer atau penjual langsung
4Philip Kotler, Gary Armstrong, Terj. Alexander Sindoro, Dasar-Dasar Pemasaran, (Jakarta,
Prenhallindo, 1997), h.16-17 5Pasal 7 Bagian Kedua Bab IV Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014
tentang Perdagangan, menyatakan bahwa: “Distribusi Barang secara langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan pendistribusian khusus melalui sistem penjualan
langsung secara: a.Single level; atau b.Multilevel.”
3
kepada konsumen.6 Banyaknya penipuan yang dilakukan oleh perusahaan juga
menimbulkan pro kontra bisnis ini. Perusahaan penjualan langsung berjenjang
yang menawarkan keuntungan-keuntungan besar kepada para anggotanya
mengakibatkan anggota hanya mengandalkan bonus maupun komisi yang
dijanjikan perusahaan tanpa melakukan kegiatan bisnis (passive income).
Beberapa kasus money game, arisan berantai, koperasi simpan pinjam dan
penggandaan uang yang seringkali menjadi penyebab utama kontroversi ini dan
membuat buruk nama bisnis Penjualan Langsung Berjenjang. Setidaknya tercatat
beberapa bisnis money game7 dengan istilah investasi atau sejenis yang telah
menelan banyak korban di tanah air ini. Contoh paling nyata dari kecenderungan
penduplikasian money game ini bisa ditemui dalam kasus Kospin di Pinrang,
kasus Golden Saving di Jakarta, atau kasus Pohon Mas di Surabaya- Malang, PT
BMA, dan masih banyak lagi lainnya.8
Penipuan yang pernah menjadi kasus di Indonesia salah satunya adalah
kasus PT Banyumas Mulia Abadi (BMA) yang berkedok sebagai usaha Multi
Level Marketing. PT BMA menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
yang kurang jelas, penyimpan dana diberikan seperangkat tekstil dan atau hak
untuk meminjam sejumlah uang. PT BMA pada tahun 1996, mempunyai sistem
6Biaya pemasaran dan distribusi (transportasi, sewa gudang, gaji dan komisi tenaga
penjualan dan lain-lain) dalam MLM dapat dialihkan kepada distributor independen dengan suatu
sistem berjenjang yang umumnya disesuaikan dengan pencapaian target penjualan atau omzet
distributor yang bersangkutan sehingga Multi Level Marketing (MLM) dalam kasus ini terlihat
bertolak belakang dengan etika bisnis Islam. Lihat: Andrias Harefa, Multi Level Marketing:
Alternatif Karier d an Usaha Menyongsong Milinium Ketiga, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1999), h. 4 7Money Game atau Penggandaan uang atau permainan uang, secara sederhana dapat diartikan
sebagai cara berbisnis yang tidak wajar dan cenderung menipu yang dilakukan oleh perusahaan
investasi palsu, dengan cara menawarkan produk investasi yang dijamin pasti aman dan pasti untung.
Produk investasi yang ditawarkan dapat berupa kerjasama bisnis pertanian dan perkebunan, kerjasama
perdagangan pulsa telepon, kerjasama bisnis Upaya Preventif Berkembangnya Money Game di
Indonesia. Lihat: Serfianto, dkk, Multi Level Marketing, Money Game & Skema Piramid, (Jakarta: PT
Elex Media Computindo, 2011), h. 69 8Imam Mas Arum, “Multi Level Marketing (MLM) Syariah : Solusi Praktis Menekan Praktik
Bisnis Riba, Money Game”, Jurnal Muqtasid, Salatiga: Sekolah Tinggi Agama Islam, Volume 3
Nomor 1, Juli 2012
4
sebagai berikut, anggota belanja 1 paket kaos dan jean senilai Rp 1,5 juta maka
21 hari kemudian dijanjikan bonus sebesar Rp. 2,5 juta sehingga orang tertarik
bukan pada paket produknya melainkan pada janji bonusnya.
Praktik bisnis seperti di atas dilarang dalam hukum Islam. Menurut
pandangan Yusuf Qardhawi, orang yang membeli barang dari toko atau
perusahaan hanya dengan motivasi ingin mendapatkan hadiah, sedang ia tidak
punya tujuan (keperluan) untuk membelinya, maka hal ini mengarah kepada judi
yang terlarang atau mendekatinya. Sebab hadiah-hadiah yang dibagikan kepada
sebagian pembeli itu pada akhirnya menimbulkan kenaikan harga yang note bene
harus ditanggung oleh semua pembeli. Dengan demikian, seolah-olah pembeli
yang beruntung mendapatkan hadiah itu memungut harganya dari seluruh
pembeli. Hal inilah yang menimbulkan kesamaran (syubhat) walaupun sebagian
pedagang (produsen) beralasan bahwa hadiah yang diberikan itu diambilkan dari
laba atau keuntungannya.9
Kontroversi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia
mendorong Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
untuk mengeluarkan fatwa tentang Pedoman Penjualan Langsung Berjenjang
Syariah. Fatwa Ulama sebagai instrumen untuk menetapkan suatu hukum sangat
penting posisinya dalam memberikan legitimasi terhadap legalitas suatu transaksi
ekonomi. Majelis ulama Indonesia (MUI) yang merupakan wadah musyawarah
para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim dipandang sebagai lembaga paling
berkompeten dalam pemberian jawaban masalah sosial keagamaan (ifta’) yang
senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat Indonesia.10
Fatwa menjadi salah satu alternatif dalam memecah kebekuan
perkembangan hukum Islam dan dapat dijadikan instrumen untuk menjawab
9Lihat: Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press,1995),
h.584 dan 606 10
Ma’ruf Amin, Fatwa Produk Halal Melindungi dan Menenteramkan, (Bogor: Pustaka
Jurnal Halal, 2010), h.41
5
setiap kejadian baru yang belum tercover dalam nash-nash syar’i ataupun dalam
pendapat para ulama terdahulu.11
Fatwa tentang Pedoman Penjualan Langsung
Berjenjang Syariah disahkan pada tahun 2009, kemudian pada tahun 2012
disahkan Fatwa tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah Jasa Perjalanan
Umrah.12
Proses operasional Penjualan Langsung Berjenjang (PLB) konvensional
berbeda dengan Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS). Perbedaan
operasional tersebut secara signifikan terlihat dari empat hal: Pertama, sebagai
perusahaan yang beroperasi secara syariah, niat, konsep dan praktik
pengelolaannya senantiasa merujuk kepada Al-Quran dan Hadits Rasulullah
SAW, dan untuk itu struktur organisasi perusahaan pun dilengkapi dengan
Dewan Syariah Nasional (DSN) dari MUI untuk mengawasi jalannya perusahaan
agar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Kedua, usaha PLB Syariah
pada umumnya memiliki visi dan misi yang menekankan pada pembangunan
ekonomi nasional. Ketiga, sistem pemberian insentif disusun dengan
memperhatikan prinsip keadilan dan kesejahteraan. Keempat, PLB Syariah pada
umumnya mengusahakan untuk tidak membawa para distributornya pada suasana
materialism dan konsumerisme, yang jauh dari nilai-nilai Islam.13
Perbedaan Penjualan Langsung Berjenjang dengan sistem konvensional
dan Penjualan langsung Berjenjang Syariah juga terlihat dari keorganisasian,
produk, sistem pembagian bonus dan marketing plan-nya.14
Perusahaan PLB
Syariah yang mendapatkan Sertifikasi Syariah dari DSN MUI harus memenuhi
semua perizinan yang berlaku di Indonesia. Perusahaan Penjualan Langsung
Berjenjang Syariah yang telah mendapatkan sertifikat DSN-MUI adalah: PT
11
Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), h.281 12
https://dsnmui.or.id/produk/fatwa/ diakses pada 30 Juli 2018 13
Kuswara, Mengenal MLM Syariah dari Halal-Haram, Kiat Berwirausaha, sampai dengan
Pengelolannya, (Jakarta: Qultum Media, 2005), h.102 14
Sofwan Jauhari, MLM Syariah, (Jakarta: STIU Dirosat Islamiyah Al-Hikmah, 2013), h.51-
54
6
Veritra Sentosa Internasional, PT Momen Global Internasional, PT Singa Langit
Jaya (TIENS), PT K-Link Nusantara, PT UFO Bisnis Kemitraan Bersama
Syariah, PT HPA Indonesia dan PT Nusantara Sukses Selalu.15
Perusahaan Penjualan Langsung Berjenjang konvensional maupun
Penjualan Langsung Berjenjang Syariah dapat mendaftarkan perusahaannya
dalam APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia).16
APLI mempunyai kode
etik yang wajib dipatuhi semua anggotanya, sehingga bisnis penjualan langsung
berjenjang berjalan sesuai aturan perundang-undangan, seperti tidak melakukan
money game, tidak menggunakan sistem piramid, tidak melakukan money
launderying. Bergabungnya perusahaan-perusahaan penjualan langsung
berjenjang dalam APLI dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada
perusahaan. Bisnis perusahaan ini tidak akan dianggap illegal karena anggota
APLI yang diterima adalah perusahaan yang sudah mendapatkan Surat Izin
Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) dari Kementerian Perdagangan. Jumlah
anggota APLI sampai saat ini adalah 83 perusahaan.17
Penjualan Langsung Berjenjang di Indonesia diatur dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan serta beberapa Peraturan
Menteri Perdagangan, sementara Penjualan Langsung Berjenjang Syariah selain
berpedoman pada peraturan perundang-undangan tersebut juga berdasarkan
Fatwa DSN MUI tentang Pedoman Penjualan Langsung Berjenjang Syariah dan
Penjualan Langsung Berjenjang Syariah Jasa Perjalanan Umroh. Aturan-aturan
ini dibuat untuk menghindari penipuan perusahaan penjualan langsung
15
https://dsnmui.or.id/daftar-perusahaan-penjualan-langsung-berjenjang-syariah/ diakses pada
30 Juli 2018 16
APLI didirikan pada tanggal 24 Juli 1984 dan merupakan satu-satunya Asosiasi Penjualan
Langsung di Indonesia yang telah diakui oleh Federasi Penjualan Langsung Internasional (World
Federation of Direct Selling Association/ WFDSA). APLI merupakan organisasi independen dan
mempunyai kegiatan professional dalam bidang mewujudkan Penjualan Langsung (Direct Selling),
termasuk penjualan dengan sistem berjenjang yang murni dan benar. Lihat situs resmi APLI:
www.apli.or.id 17
https://www.apli.or.id/de/anggota/ diakses pada 29 Maret 2017
7
berjenjang maupun perusahaan yang berkedok penjualan langsung berjenjang
yang dapat merugikan masyarakat. Namun kasus penipuan masih saja terjadi di
masyarakat.
Kasus yang terjadi di tahun 2016 adalah Nasional Ekonomi Sosial
Indonesia (NESIA), PT Promo Indonesia Mandiri dan Loketnesia. Ketiganya
adalah perusahaan yang terafiliasi dan menjadi payung aktivitas
komunitas Dream For Freedom. Dream For Freedom (D4F) berada di bawah PT
Promo Indonesia Mandiri dan mulai menawarkan investasi sejak Januari 2015.
Tawaran imbal hasil yang sangat tinggi dari program ini sangat memotivasi
masyarakat untuk mengikuti program investasi. Para calon anggota bergabung ke
D4F dengan memilih berbagai paket, dengan modal awal mulai Rp 1 juta hingga
Rp 30 juta. Calon anggota juga harus membayar biaya registrasi Rp 200.000.
Anggota dijanjikan pemasukan pasif hingga sekitar 30% per bulan, padahal hal
tersebut sangat bertentangan dengan hukum positif karena termasuk jaringan
terlarang18
dan melanggar hukum Islam19
.
Kasus lainnya adalah penipuan oleh perusahaan yang menamakan dirinya
Koperasi Simpan Pinjam, yaitu Koperasi Pandawa di Depok. Sistem
berjenjangnya mirip dengan Penjualan Langsung Berjenjang namun
perbedaannya adalah Pandawa tidak menawarkan produk untuk dijual kepada
konsumen. KSP Pandawa Group sendiri mulai beroperasi 2015 dan juga
18
Permendag nomor: 13/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan
Surat Izin Usaha Penjualan Langsung di dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 11 menyatakan
bahwa “Jaringan Pemasaran Terlarang adalah kegiatan usaha dengan nama atau istilah apapun dimana
keikutsertaan Mitra Usaha berdasarkan pertimbangan adanya peluang untuk memperoleh imbalan yang
berasal atau didapatkan terutama dari hasil partisipasi orang lain yang bergabung kemudian atau
sesudah bergabungnya mitra usaha tersebut, dan bukan dari hasil kegiatan penjualan barang dan/atau
jasa” 19
Berlebih-lebihan dalam memberikan nasehat kepada pelanggan/pembeli, serta dalam
memuji-muji perusahaan atau instansi yang dipromosikan melebihi proporsinya merupakan bentuk
tipuan dalam ucapan yang membuat pelanggan terkecoh. Sehingga upah yang ia dapatkan pada
akhirnya adalah upah atas tipu daya yang ia lakukan kepada orang banyak. Perilaku seperti ini adalah
haram serta sama saja bekerja dengan mengambil harta orang lain secara batil. Lihat: Ash-Shadiq
Abdurrahman Al-Gharyani, terj. A.Syakur Fatwa-Fatwa Mu’amalah Kontemporer, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 2004), Cet.4, h.136
8
menghimpun dana dari masyarakat dengan menjanjikan keuntungan 10% setiap
bulannya.20
Islam mengharamkan seluruh macam penipuan, baik dalam masalah jual
beli maupun dalam segala macam muamalah. Seorang muslim dituntut untuk
berlaku jujur dalam seluruh urusannya. Sebab keikhlasan dalam beragama,
nilainya lebih tinggi daripada seluruh usaha duniawi.21
Pelanggaran peraturan
Penjualan Langsung Berjenjang sehingga terjadi kasus-kasus hukum seperti
diatas merupakan akibat adanya minat yang tinggi dari masyarakat22
untuk
menerima kompensasi yang tinggi tanpa kegiatan bisnis yang sesuai dengan nilai
kompensasi yang didapat.
Kompensasi bisnis yang diberikan perusahaan penjualan langsung
berjenjang kepada mitra usaha yang berbentuk komisi, bonus atau penghargaan
lainnya, seringkali menjadi suatu permasalahan. Masyarakat yang ingin menjadi
mitra usaha cenderung memilih perusahaan penjualan langsung berjenjang yang
mampu memberikan kompensasi bisnis yang tinggi bagi mereka. Perusahaan pun
untuk memikat calon mitra usaha akhirnya menjanjikan kompensasi tinggi yang
dinilai dapat menjadi daya tarik bagi calon mitra usaha, pengaturan kompensasi
ini terdapat dalam marketing plan23
perusahaan.
Pemerintah sendiri telah mengatur kompensasi bisnis penjualan langsung
berjenjang ini, namun tetap saja kompensasi ini masih menjadi permasalahan
dalam dunia penjualan langsung berjenjang, termasuk penjualan langsung
20
https://finance.detik.com/ diakses pada 1 Desember 2017 pk.09.00 WIB 21
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, (Bandung: Jabal, 2007), h. 266 22
Menurut teori, manusia terbentuk, bertahan dan berubah berdasarkan kemampuan manusia
untuk berpikir, untuk mendefinisikan, untuk melakukan refleksi diri dan untuk melakukan evaluasi.
Lihat: Damsar, Pengantar Sosiologi Ekonomi, (Jakarta: Kencana, Prenada Media Group, 2009), Cet.2,
h.63 23
Marketing plan merupakan salah satu alat yang sangat penting dalam melakukan assessment
terhadap kesempatan yang sebenarnya dimiliki oleh organisasi bisnis. Dalam marketing plan
digambarkan secara garis besar tentang bagaimana melakukan penetrasi, meraih, serta melakukan
perbaikan atas market position. Dengan demikian marketing plan menjadi landasan penting bagi
penyusunan operasi perusahaan. Lihat: A. Usmara, Strategi Baru Manajemen Pemasaran, (Jogjakarta:
Amara Book, 2003), h.48
9
berjenjang syariah. Sebagian besar peraturan tentang ketenagakerjaan dirancang
untuk memberikan kesetaraan kesempatan bekerja. Akan tetapi beberapa
peraturan telah melampaui kesetaraan kesempatan bekerja salah satunya adalah
peraturan yang meliputi pemberian kompensasi.
Keunggulan dari suatu penawaran penjualan langsung berjenjang
dibandingkan dengan penawaran bisnis tradisional adalah program
kompensasinya. Program kompensasi bisa jadi daya saing utama dan terpenting
bagi bisnis penjualan langsung berjenjang. Perusahaan bisnis penjualan langsung
berjenjang bisa saja menjual produk yang tidak lebih baik daripada produk yang
sama dari bisnis tradisional, namun program kompensasi bisnis penjualan
langsung berjenjang bisa membuat masyarakat lebih memilih bermitra dengan
perusahaan penjualan langsung berjenjang daripada menjadi agen atau pengecer
dari perusahaan yang menjual produknya secara tradisional.
Menyikapi maraknya bisnis penjualan langsung berjenjang dan bisnis
syariah yang semakin berkembang, sudah sewajarnya pemerintah melalui
lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengatur usaha Penjualan Langsung
Berjenjang Syariah untuk memberikan perhatian khusus, sehingga tidak banyak
lagi masyarakat yang menjadi korban akibat terjebak dalam impian kaya dalam
waktu singkat dengan mengharapkan kompensasi tinggi tanpa menjalani usaha
nyata atau tanpa perwujudan kompensasi tersebut oleh perusahaan. Perlu diteliti
bagaimana hukum positif dan hukum Islam di Indonesia mengatur kompensasi
bisnis penjualan langsung berjenjang yang semakin pesat perkembangannya.24
Hal ini menjadi daya tarik peneliti untuk melakukan penelitian berjudul
24
Penelitian ini didukung pula dengan argument bahwa pandangan dan design dari para aktor
dalam masyarakat selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat, ekonomi,
tingkat pendidikan masyarakat, ilmu dan teknologi. Karena itu, dalam bidang hukum misalnya, karena
peran pandangan dan design dari para aktor hukum yang selalu berkembang dan berubah, sehingga
hukum pun harus dapat mengkonstruksi dirinya sebagai pranata yang dinamis yang cepat dapat
menyesuaikan diri. Lihat: Munir Fuady, Teori-Teori dalam Sosiologi Hukum, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013), Cet.2, h.312
10
“Pengaturan Kompensasi Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS)
di Indonesia”.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Masalah penelitian diidentifikasi sebagai berikut:
1. Hukum positif belum mengatur secara khusus Penjualan Langsung
Berjenjang Syariah di Indonesia
2. Ketentuan akad ijarah dan ju’alah dalam Penjualan Langsung Berjenjang
Syariah (PLBS) belum diatur secara khusus dalam Fatwa DSN MUI.
3. Pemberian komisi dan bonus oleh perusahaan PLB Syariah kepada mitra
usaha yang sangat tinggi bisa menimbulkan kelalaian mitra usaha
terhadap kewajibannya untuk menjual produk.
4. Komisi dan bonus diperhitungkan berdasarkan volume penjualan produk,
namun produk tersebut hanya kamuflase atau tidak mempunyai
mutu/kualitas yang sesungguhnya.
5. Penjualan langsung berjenjang menuntut mitra usaha untuk merekrut
mitra usaha baru sesuai dengan sistem jejaring pemasaran perusahaan,
sehingga bisa menimbulkan money game dalam bentuk penggandaan
uang dengan praktik memberikan komisi dan bonus dari hasil perekrutan
tersebut.
6. Beberapa perusahaan Penjualan Langsung Berjenjang menyatakan
perusahaannya adalah perusahaan Penjualan Langsung Berjenjang
Syariah namun kenyataannya sistem perusahaan tersebut tidak sesuai
syariah
7. Perusahaan Penjualan Langsung Berjenjang Syariah yang mendapatkan
Sertifikat Kesesuaian Syariah yang dikeluarkan DSN MUI belum bisa
11
sepenuhnya menjadi acuan bahwa perusahaan tersebut otomatis terhindar
dari larangan syariah
8. Mitra usaha yang tidak mempunyai waktu untuk melakukan pembinaan
dan pengawasan kepada anggota yang direkrutnya, belum ditentukan
sanksinya atau teguran bagi pelanggaran kewajiban ini.
9. Fatwa DSN MUI dan Peraturan Perundang-undangan belum bisa
memberikan efek jera bagi para pelaku penipuan bisnis Penjualan
Langsung Berjenjang
2. Pembatasan Masalah
1. Fatwa DSN MUI dalam penelitian ini dibatasi pada Fatwa terkait
Penjualan Langsung Berjenjang Syariah, yaitu Fatwa DSN MUI Nomor
75/DSN-MUI/VII/2009 tentang Pedoman Penjualan Langsung Berjenjang
Syariah (PLBS) dan Fatwa DSN MUI Nomor 83/DSN-MUI/VI/2012
tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah Jasa Perjalanan Umroh.
2. Peraturan Perundang-undangan dibatasi pada Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2014 Tentang Perdagangan, juga Peraturan Menteri Perdagangan
terkait Penjualan Langsung Berjenjang.
3. Pengaturan Penjualan Langsung Berjenjang Syariah dibatasi pada
pengaturan kompensasi bisnis.
3. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI mengatur
kompensasi bisnis Penjualan Langsung Berjenjang Syariah di Indonesia?
2. Bagaimanakah Peraturan Perundang-undangan mengatur kompensasi
bisnis Penjualan Langsung Berjenjang di Indonesia?
12
C. Tujuan Penelitian
1. Menganalisis aturan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI terkait
kompensasi bisnis Penjualan Langsung Berjenjang Syariah.
2. Menganalisis Peraturan Perundang-undangan terkait kompensasi bisnis
Penjualan Langsung Berjenjang.
3. Menganalisis perspektif Pemerintah dan Perusahaan terkait pengaturan
kompensasi bisnis Penjualan Langsung Berjenjang.
D. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi regulator dalam mengatur kompensasi bisnis Penjualan Langsung
Berjenjang di Indonesia dan diharapkan menjadi stimulus untuk membuat
hukum positif terkait Pernjualan Langsung Berjenjang Syariah.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
perusahaan penjualan langsung berjenjang syariah agar menjalankan
usahanya sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan baik Fatwa DSN
MUI maupun Peraturan Perundang-undangan.
3. Diharapkan memberikan arahan kepada masyarakat agar terhindar dari
penipuan-penipuan penjualan langsung berjenjang yang menjanjikan
kompensasi yang tidak wajar serta memberikan motivasi kepada masyarakat
untuk memilih bisnis penjualan langsung berjenjang yang sesuai syariah.
E. Review Kajian Terdahulu
Muhammad Tahmid Nur, 2015, judul penelitian “Kompensasi Kerja
dalam Islam”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Ajaran Islam sangat peduli
kepada keberadaan karyawan, sebagai bentuk kepedulian kepada dunia kerja,
karena Islam menginginkan umatnya untuk giat bekerja, sehingga mereka akan
memperoleh hasil yang halal dari pekerjaannya. Tenaga kerja dan
kompensasinya tidak dapat dipisahkan. Kompensasi adalah semua penghargaan
13
(materi dan non materi) yang diberikan oleh perusahaan atas jasa karyawan
dengan tujuan untuk menarik, mempertahankan dan memotivasi para pekerja.
Ajaran Islam sangat menghargai setiap “tetes keringat” orang yang bekerja,
sebagai bentuk apresiasi terhadap pekerjaan dan dunia usaha, sehingga orang
yang bekerja harus mendapatkan penghargaan berupa upah segera setelah
pekerjaannya selesai dan berdasarkan “tetes keringat” (beratnya pekerjaan) yang
dikeluarkannya.25
Muhammad Taufiq, 2015, judul penelitian “Multi Level Marketing
Perspektif Etika Bisnis Islam”. Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun
praktik MLM ini merupakan bentuk baru, akan tetapi hukum Islam dapat
memandang kehalalan maupun keharamannya dengan sumber hukum yang
ada, baik dari Al-Qur 'an dan Hadits maupun produk dari ijtihad dan qiyas
yang dilakukan oleh ulama-ulama. Pengembangan hukum Islam terhadap
MLM ini sangat penting, sehingga masyarakat mengetahui bagaimana posisi
praktik ini dan bisa mengatakan bahwa praktik bisnis MLM itu haram atau
halal, j ika MLM tersebut memenuhi syarat syarat halal yang sesuai dengan
sumber hukum Islam, maka praktiknya adalah sah. Namun jika dalam praktik
MLM tersebut terdapat unsur-unsur yang mengharamkan seperti gharar,
penipuan dan riba, maka jelas hukumnya haram.26
Ahmad Mardalis dan Nur Hasanah, 2016, judul penelitian “Multi-Level
Marketing (MLM) Perspektif Ekonomi Islam”. Penelitian ini menunjukkan
bahwa Islam memberikan jalan bagi manusia untuk melakukan berbagai
improvisasi dan inovasi melalui sistem, teknik dan mediasi dalam melakukan
perdagangan. Dalam menyikapi bisnis MLM, perlu adanya wawasan dan
pemahaman yang utuh dan mendalam (kaffah). Sebab segala bentuk bisnis,
25
Muhammad Tahmid Nur, “Kompensasi Kerja dalam Islam”, Jurnal Muamalah, Volume V
Nomor 2, Desember 2015 26
Muhammad Taufiq, “Multi Level Marketing Perspektif Etika Bisnis Islam”, Jurnal
Rasail, Volume II Nomor 1 (Januari-Juni 2015), jurnal diakses pada 20 Desember 2016 dari
https://jurnalrasailstebi.almuhsin.ac.id/
14
termasuk MLM, pada dasarnya adalah boleh jika tidak ada hal-hal yang dilarang
oleh syariah. Namun jika terdapat unsur-unsur yang diharamkan, maka bisnis
tersebut haram hukumnya. Konsep ekonomi Islam dalam penjualan suatu produk
menekankan kehalalan, manfaat, dan mematuhi prinsip dasar ekonomi syariah
secara makro yang terbebas dari tujuh (7) unsur yaitu maysir (judi), aniaya
(zhulm), gharar (penipuan), haram, riba (bunga), iktinaz atau ihtikar.27
Perbedaan kedua penelitian diatas dengan penelitian penulis terletak pada
fokusnya. Kedua penelitian di atas fokus pada konsep kehalalan atau keharaman
sebuah perusahaan MLM ditinjau dari etika bisnis maupun ekonomi Islam
sementara penelitian penulis fokus pada Peraturan Perundang-undangan dan
Fatwa DSN MUI terkait PLB Syariah.
Choirul Huda, 2013, yang menulis penelitian dengan judul “Syariah
dalam Perspektif Pelaku Bisnis MLM Syariah Ahadnet Internasional (Studi
Kasus di Kota Semarang)”. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman
mitraniaga Ahadnet tentang syariah tidaklah utuh sebagaimana pemaknaan asli
dari istilah syariah yang ada. Pemaknaan yang mereka pahami tentang syariah
adalah agama Islam. Pemaknaan yang mereka miliki yaitu MLM Syariah adalah
MLM yang Islami, MLM yang berdasarkan pada ajaran Islam. Pemaknaan yang
benar tentang istilah syariah yang dipergunakan akan sangat membantu
operasionalisasi MLM Ahadnet ke depannya, karena akan didapatkan mitraniaga
yang handal dan militan, di samping tercapainya edukasi terhadap umat sehingga
mitraniaga tidak mengalami kesalahan dalam menjalankan bisnis tersebut.28
Perbedaan penelitian yang dilakukan Choirul Huda dengan penelitian
penulis adalah Choirul Huda hanya memfokuskan penelitian pada praktik PLB di
perusahaan Ahadnet. Sementara penelitian penulis menekankan pada aspek
27
Ahmad Mardalis dan Nur Hasanah, “Multi-Level Marketing (MLM) Perspektif Ekonomi
Islam”, Jurnal Falah, Vol.I Nomor I (Februari 2016), h.29-37 28
Choirul Huda, “Syariah dalam Perspektif Pelaku Bisnis MLM Syariah Ahadnet
Internasional (Studi Kasus di Kota Semarang)”, Jurnal Economica, Volume IV Edisi II (November
2013), h.55-74
15
hukum Penjualan Langsung Berjenjang Syariah. Aspek hukum ditekankan pula
pada aspek pemberian kompensasi bagi mitra usaha.
Mohamad Fairuz Tamjis dan Buerah Tunggak, 2015, “Konsep Akad Al-
Ju’alah dalam Perusahaan Multi-Level Marketing (MLM) Patuh Syariah”. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa akad menjadi aspek penting dalam
memastikan suatu MLM beroperasi diatas landasan Syariah atau tidak. Salah satu
akad yang digunakan adalah akad ju’alah yang pada praktiknya di perusahaan
MLM Malaysia masih terdapat pelanggaran-pelanggaran yang perlu diperbaiki
dengan cara membentuk model MLM Patuh syariah yang mengandung rukun
dan syarat akad yang telah ditetapkan Syara’.29
Perbedaannya dengan penulis,
penelitian ini meneliti pada aspek kepatuhan syariah antara praktek perusahaan
PLB dengan Fatwa Ulama Malaysia, sementara penelitian penulis meneliti
tentang kesesuaian teori yang terkait Penjualan Langsung Berjenjang Syariah
dengan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dan Fatwa DSN MUI.
Harizan, 2017, “Upaya Preventif Berkembangnya Money Game Di
Indonesia”. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa money game adalah
interpretasi dari Skema Bisnis Ponzi melalui perekrutan anggota atau investor.
Perusahaan berjanji memberikan keuntungan dari keanggotaan dan investasinya
yang terkadang keuntungan itu melebihi bank konvensional maupun bank
syariah. Harizan kemudian merekomendasikan agar pemerintah merumuskan dan
mensahkan Undang-undang Anti Money Game, sehingga bisa dilakukan usaha
preventif yang bisa menekan perkembangan bisnis Haram ini. 30
29
Mohamad Fairuz Tamjis, Buerah Tunggak, “Konsep Akad Al’Ju’alah dalam Perusahaan
Multi-Level Marketing (MLM) Patuh Syariah”, Umran International Journal of Islamic and
Civilization Studies, (Malaysia: UTM Press, 2015), h.37-47 30
Harizan, Upaya Preventif Berkembangnya Money Game Di Indonesia, Asy-Syar’iyyah:
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Perbankan Islam, (Bangka Belitung: STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik,
2017), h.80-101
16
F. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan
pendekatan normatif yaitu melalui pendekatan perundang-undangan (statue
approach).
2. Sumber Data
Sumber Data Primer dalam penelitian ini yaitu hasil wawancara peneliti
terhadap Legal Manager Perusahaan Penjualan Langsung Berjenjang Syariah
PT. K-Link Nusantara, Pihak Direktorat Bina Usaha dan Pelaku Distribusi
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia dan wawancara terhadap Ketua
Bidang Bisnis dan Ekonomi Syariah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN MUI) terkait peraturan Penjualan Langsung Berjenjang
Syariah khususnya permasalahan kompensasi.
Sumber Data sekunder terdiri dari:
1) Bahan hukum primer.
Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah:
a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan,
b) Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag), yaitu Permendag No.
32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha
Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung serta perubahannya
pada Permendag No. 47/M-DAG/9/2009; dan Permendag No.
55/MDAG/PER/10/2009 tentang Pendelegasian Wewenang Penerbitan
Surat Izin Usaha Penjualan Langsung kepada Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal; Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 73/MPP/Kep/3/2000 tentang Ketentuan Kegiatan
Usaha Penjualan Berjenjang; Peraturan Menteri Perdagangan Republik
17
Indonesia Nomor 22/M- DAG/PER/3/2016 Tentang Ketentuan Umum
Distribusi Barang mengatur Distribusi Barang Secara Langsung
c) Fatwa DSN MUI No.75/DSN MUI/VII/2009 tentang Pedoman
Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) dan Fatwa DSN MUI
No.83/DSN-MUI/VI/2012 tentang Penjualan Langsung Berjenjang
Syariah Jasa Perjalanan Umroh
2) Bahan hukum sekunder, terdiri dari buku, artikel, karya ilmiah, tesis,
disertasi, dan informasi lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian
3) Bahan hukum tersier, yaitu kamus hukum maupun ensiklopedia yang
digunakan untuk menunjang dan memberikan penjelasan atas bahan hukum
primer dan sekunder
3. Teknik Pengumpulan Sumber Data
Untuk mengumpulkan data digunakan model pengumpulan data Studi Pustaka
dengan cara mengumpulkan literatur yang terkait `kompensasi bisnis
penjualan langsung berjenjang syariah, seperti peraturan perundang-undangan,
Fatwa DSN-MUI, buku, artikel, karya ilmiah, tesis dan disertasi.
4. Teknik Analisis Data
Pengolahan data dilakukan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari
permasalahan yang bersifat umum untuk permasalahan yang bersifat konkret
yang dihadapi. Selanjutnya meneliti bahan pustaka berupa peraturan
perundang-undangan dan fatwa DSN MUI. Bahan-bahan tersebut disusun
secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti.
18
5. Teknik Penulisan
Teknik Penulisan penelitian ini mengacu pada Keputusan Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017 Tentang Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini diawali dengan Bab Pendahuluan. Bab ini menguraikan
latar belakang masalah yang mendasari penyusunan penulisan ini, Identifikasi
Masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Review Kajian Terdahulu, Metodologi Penelitian dan Sistematika
Penulisan.
Bab II mengenai Kompensasi Bisnis Penjualan Langsung Berjenjang
dengan mennjelaskan teori mengenai Sistem Kompensasi Penjualan dan konsep
Pemberian Upah dalam Islam. Analisis terdapat pada Bab III yang berisi
Pengaturan Akad Kompensasi. Bab ini menganalisis tentang Konsep Kompensasi
Penjualan Langsung Berjenjang, Pengaturan Perjanjian atau Akad, Hak dan
Kewajiban Pihak Pemberi dan Penerima Kompensasi, serta Pengaturan Besaran
dan Bentuk Kompensasi. Analisis juga terdapat pada Bab IV yang menguraikan
tentang Pengaturan Sistem Kompensasi yang mencakup Antisipasi Jaringan
Pemasaran Terlarang, Aspek Pelarangan Ighra’, juga Prinsip Keadilan dan
Larangan Eksploitasi.
Bab terakhir adalah Penutup yang berisi yang berisikan kesimpulan
penelitian dengan disertai beberapa saran dan rekomendasi penelitian selanjutnya
dari penulis.
BAB II
KOMPENSASI BISNIS PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH
A. Sistem Kompensasi Penjualan
Kompensasi dalam berbagai sudut pandang mempunyai berbagai makna.
KUH Perdata dalam Buku Ketiga Tentang Perikatan pada Bagian 4 menyebutkan
istilah “Kompensasi atau Perjumpaan Utang”, Pasal 1425 menyatakan bahwa:
Jika dua orang saling berutang, maka terjadilah antara mereka suatu
perjumpaan utang yang menghapuskan utang-utang kedua orang tersebut
dengan cara dan dalam hal-hal berikut.
Sementara dari sudut ekonomi, kompensasi diartikan sebagai harga yang
dibayarkan kepada pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan seperti faktor
produksi lainnya, tenaga kerja diberikan imbalan atas jasanya.1 Kompensasi
dinilai juga dalam Manajemen Sumber Daya Manusia sebagai sesuatu yang
diberikan perusahaan/ seseorang kepada karyawan (orang yang bekerja padanya)
sebagai balas jasa mereka dan kompensasi tersebut dapat dinilai dengan uang
atau tanpa uang dengan mempunyai kecenderungan yang tetap selama karyawan
tersebut bekerja padanya.2
Sistem kompensasi merupakan penetapan imbalan yang diberikan
organisasi kepada individu sebagai balas jasa atas kesediaan mereka untuk
melakukan berbagai pekerjaan dan tugas dalam organisasi3. Kompensasi
diartikan juga sebagai suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen
kompensasi mulai dari penentuan besaran kompensasi dan cara pemberiannya4
yang menjadi daya tarik terbesar dalam bisnis penjualan langsung berjenjang.
1Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Jakarta: Dana Bhakti Wahab, 2005), h.23 2Muhammad Tahmid Nur, “Kompensasi Kerja dalam Islam”, Jurnal Muamalah, Volume V
Nomor 2, Desember 2015 h.122 3Ricky W. Griffin, terj. Sita Wardhani, Bisnis, Ed.8, (Jakarta: Erlangga, 2006), h.221
19
20
Perusahaan penjualan langsung berjenjang terus memperbaharui sistem
kompensasi mereka untuk menghasilkan keuntungan terbaik bagi bisnis mereka.
Perusahaan yang menggunakan metode penjualan langsung berjenjang pada
dasarnya bertujuan memasarkan produk namun dilakukan oleh para
distributornya (anggotanya) yang biasanya dilakukan dalam kuantitas penjualan
yang terbatas saja. Situasi kompetisi bisnis yang sangat ketat, dimana sektor
pemasaran baik berupa produk barang maupun jasa menjadi faktor yang penting,
maka peranan tenaga penjualan menjadi sangat strategis.
Tenaga penjualan akan berperan baik bagi perusahaan jika kompensasi
yang diberikan perusahaan sesuai dengan yang diharapkan. Sistem insentif yang
terdapat di dalam kompensasi menghubungkan kompensasi dengan kinerja,
dalam hal ini kinerja tenaga penjualan. Secara umum jenis tenaga penjualan
dapat dibedakan dalam tiga kelompok besar yaitu:
1. Direct Sales. Mereka berfungsi untuk menjual produk secara langsung kepada
konsumen dalam suatu wilayah tertentu. Untuk seorang direct sales,
kemungkinan sistem yang tepat adalah komisi atau bonus.
2. Account Manager. Tenaga penjualan ini berfungsi mengembangkan dan
membina hubungan baik dengan pelanggan yang sudah ada.
3. Technical support. Fungsinya adalah memberi dukungan teknis secara terus
menerus terhadap proses penjualan produk seperti yang dilakukan oleh sales
representative, dan lainnya.5
Martocchio6 mengemukakan bahwa program kompensasi yang tepat bagi
tenaga penjualan mampu memberi kontribusi yang sangat berarti bagi perusahaan
4Suwatno dan Donni Juni Priansa, Manajemen SDM dalam Organisasi Publik dan Bisnis,
(Bandung: Alfabeta, 2013), Cet.3, h.224 5Budi W. Soetjipto, dkk, Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia (Artikel-Artikel
Pilihan), (Yogyakarta: Amara Books, 2002), h.237
21
dalam mencapai tujuannya.7 Program kompensasi yang memadai selanjutnya
memiliki kemampuan mengintegrasikan keinginan individu dengan strategi
pemasaran perusahaan. Terdapat hubungan signifikan antara desain kompensasi
dengan pencapaian target organisasi. Tujuan utama setiap organisasi merancang
sistem imbalan (reward) adalah untuk memotivasi karyawan dalam
meningkatkan kinerjanya serta mempertahankan karyawan yang kompeten.
Kompensasi karyawan sebagai bentuk pembayaran atau imbalan yang
diberikan kepada karyawan dan timbul dari dipekerjakannya karyawan itu.8
Penghargaan atau ganjaran yang diterima sebagai insentif dibedakan dalam
beberapa jenis yaitu:
1. Kompensasi atau insentif total, yaitu keseluruhan penghargaan atau ganjaran
yang diterima oleh seseorang tenaga kerja untuk seluruh pekerjaannya yang
dilakukannya sebagai kontribusi pada pencapaian tujuan organisasinya.
2. Kompensasi khusus, yaitu penghasilan tambahan yang diberikan kepada
tenaga kerja dengan status tertentu dalam perusahaan.
Imbalan yang terlalu tinggi yang diberikan perusahaan kepada
karyawannya namun tidak mencapai sasaran karena imbalan tersebut tidak
mempengaruhi kinerja karyawan, maka hal ini akan sia-sia saja. Di sisi lain
imbalan yang terlalu tinggi akan meningkatkan biaya operasional.9 Imbalan
dalam bentuk insentif terdiri dari:
6Joseph J. Martocchio adalah Professor of Labor and Industrial Relations and of Psychology
pada Institute of Labor and Industrial Relations di University of Illinois at Urbana-Champaign. Minat penelitiannya dalam bidang kompensasi, pelatihan pekerja, dan keberadaan pekerja. Lihat: https://www.prenhall.com/divisions/bp/app/martocchio/2e/content/bio.html
7Martoccchio, JJ, 1997, Strategic Compensation: a Human Resource Management Approach, (Prentice Hall, 1997), h.238-242
8Gary Dessler, Manajemen Sumber Daya Manusia, terj. Benyamin Molan, (Jakarta: Prenhallindo, 1998), Ed.7, h.85
9Budi W. Soetjipto, dkk, Pradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia (Artikel-Artikel Pilihan), (Yogyakarta: Amara Books, 2002), h.218
22
a. Insentif Finansial.
Menurut Coletti dan Cichelli, bahwa insentif finansial terdiri dari: 10
1) Base Salary.
Upah dan gaji adalah jumlah uang yang dibayarkan kepada karyawan
untuk tenaga mereka. Gaji dibayar untuk pemenuhan tanggung jawab
pekerjaan. Gaji biasanya dinyatakan sebagai jumlah yang dibayar per tahun
atau per bulan.11 Dalam perencanaan gaji (salary plan), para penjual
dibayarkan suatu gaji yang tetap, walupun mungkin ada insentif sewaktu
dalam bentuk bonus, hadiah kontes penjualan dan sejenisnya.
Perbedaan gaji di atas dengan upah yaitu upah dibayar berdasarkan
waktu kerja. Sebagai contoh, pekerja dibayar berdasarkan waktu kerjanya
yaitu dalam hitungan jam, hari, ataupun bulan. Upah dapat digolongkan
menjadi:
a) Upah Sistem Waktu
Besarnya upah sistem waktu hanya didasarkan kepada lamanya bekerja
bukan dikaitkan dengan prestasi kerja.
b) Upah Sistem Hasil
Dalam sistem hasil, besarnya upah ditetapkan atas kesatuan unit yang
dihasilkan pekerja, seperti per potong, meter, liter dan kilogram.
c) Upah Sistem Borongan
Sistem borongan adalah suatu cara pengupahan yang penetapan
besarnya jasa didasarkan volume pekerjaan dan lama
mengerjakannya.12
10Coletti dan Cichelli, Increasing Sales Force Effectiveness Through the Compensation Plan,
dalam Rock ML and Berger, A (eds), The Compensation Handbook, (Mc Graw-Hill, 1991), h.290-306 11Ricky W. Griffin, terj. Sita Wardhani, Bisnis, Ed.8, (Jakarta: Erlangga, 2006), h.221 12Veithzal Rivai, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), Ed.1,
h.759
23
2) Commissions.
Sistem ini secara mudah menghitung kompensasi berdasarkan prosentase
penjualan. Tenaga penjualan menerima penghasilan atas dasar
penghitungan prosentase dari beberapa indikator misalnya berupa volume
penjualan, unit yang terjual atau berapa keuntungan kotor perusahaan
yang diperoleh dari hasil penjualan yang telah dilakukan. Semakin tinggi
hasil penjualan semakin tinggi komisi untuk mereka.
3) Base Salary Plus Commission.
Merupakan kombinasi antara pemberian base salary ditambah komisi
dengan sedikit pengabaian pada hasil penjualan.
4) Base Salary Plus Bonus
Rumusan bonus mengacu pada performance quota untuk tujuan-tujuan
pembayaran kompensasi. Perhitungan bonus dapat mengacu baik sebagai
prosentase dari basic salary ataupun dari hasil penjualan. Penggunaan
formula bonus memberi keuntungan bagi perusahaan yakni dapat
mengendalikan program kompensasi secara efisien.
b. Insentif Non Finansial
Perusahaan juga menggunakan insentif non finansial sebagai pelengkap
kompensasi. Meski sebagai pelengkap, insentif non finansial dapat
meningkatkan kinerja penjualan sekaligus menarik antusias tenaga penjualan
untuk bekerja lebih dari biasanya. Perusahaan seolah mengirim sebuah pesan
kepada tenga penjual betapa perusahaan sangat menghargai jerih payah
mereka sehingga perusahaan mampu meraih keuntungan.13
13Lihat Martoccchio, JJ, Strategic Compensation: a Human Resource Management Approach,
(Prentice Hall, 1997), h.238-242
24
Terdapat berbagai macam bentuk insentif non finansial. Program
tunjangan juga termasuk insentif non finansial. Tunjangan membentuk
persentase terbesar pada anggaran kompensasi. Kebanyakan perusahaan
dituntut oleh undang-undang untuk memberikan jaminan sosial berupa
tunjangan pensiun dan asuransi kompensasi pekerja. Kebanyakan bisnis juga
secara sukarela menyediakan asuransi kesehatan, jiwa dan cacat. Tunjangan
lazim lainnya adalah membayar waktu cuti untuk liburan.14
Setidaknya perusahaan mengadaptasi satu dari empat jenis atau
mengkombinasikannya dalam satu paket insentif non finansial yang tersebut
di bawah ini:
1) Luxury consumer goods. Insentif ini termasuk dalam kategori tangible
rewards dan menyiratkan arti sebagai sebuah penghargaan terhadap
pencapaian suatu prestasi sekaligus sebagai suplemen penting terhadap
insentif finansial. Contoh insentif ini adalah hadiah, voucher perjalanan
dan lainnya.
2) Holidays. Perjalanan liburan ke suatu tempat yang menarik dapat
dilakukan secara individual disertai dengan keluarga ataupun bersama
kelompok tenaga penjaulan lainnya.
3) Car Schemes. Mobil yang diberikan dapat digunakan untuk keperluan
pribadi yang sekaligus juga mendukung kinerja tenaga penjualan.
4) Premium Club. Perusahaan membuat perkumpulan tertentu yang untuk
memasukinya harus membayar dengan biaya tertentu pula.
Motif-motif dan imbalan-imbalan yang dibentuk untuk memperbaiki
produksi disebut sebagai insentif. Insentif diartikan juga sebagai tambahan balas
jasa yang diberikan kepada karyawan tertentu yang prestasinya di atas prestasi
standar. Insentif ini merupakan alat yang dipergunakan pendukung prinsip adil
14Ricky W. Griffin, terj. Sita Wardhani, Bisnis, Ed.8, (Jakarta: Erlangga, 2006), h.223
25
dalam pemberian kompensasi. Selain prinsip adil, ada beberapa asas yang
penting untuk diterapkan dalam pemberian kompensasi, yaitu:
a. Asas keadilan
Asas keadilan memberikan adanya konsistensi imbalan bagi para
karyawan yang melakukan tugas dengan bobot yang sama. Kompensasi
dikatakan adil bukan berarti setiap karyawan menerima kompensasi yang
sama besarnya. Tetapi berdasarkan asas adil, baik itu dalam penilaian,
perlakuan, pemberian hadiah, maupun hukuman bagi setiap karyawan.
Sehingga dengan asas keadilan akan tercipta suasana kerja sama yang baik,
motivasi kerja, disiplin, loyalitas, dan stabilitas karyawan yang lebih baik.15
Manajemen kompensasi berusaha keras menjaga keadilan internal dan
eksternal.16
Lingkungan eksternal kompensasi yaitu sesuatu yang diluar
perusahaan yang mempengaruhi kompensasi, terdiri dari: pasar tenaga kerja,
tingkat persaingan tenaga kerja sebagian menetukan batas rendah tingkat
pembayaran, kondisi ekonomi, Peraturan Pemerintah dan Serikat pekerja.
Lingkungan internal terdiri dari anggaran tenaga kerja dan pembuat keputusan
kompensasi.
b. Asas Kelayakan dan Kewajaran
Kompensasi yang wajar berarti besaran kompensasi harus
mempertimbangkan faktor-faktor seperti prestasi kerja, pendidikan, jenis
pekerjaan, risiko pekerjaan, tanggung jawab, jabatan, dan lain-lain, sementara
tolak ukur layak adalah relatif, tetapi besaran minimal kompensasi yang akan
diberikan oleh perusahaan harus mengacu kepada standar hidup daerah,
15Suwatno, Donni Juni Priansa, Manajemen SDM dalam Organisasi Publik dan Bisnis,
(Bandung: Alfabeta, 2013), Cet.3, h.221 16Wibowo, Manajemen Kinerja, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016), Ed.5, Cet.10, h.291
26
dengan berpijak pada standar Upah Minimum Regional (UMR) baik di tingkat
provinsi, maupun tingkat kota/kabupaten17 dan eksternal konsistensi yang
berlaku18.
Tujuh kriteria untuk efektivitas kompensasi yaitu:
1. Adequate. Tingkat kompensasi mimimum yang harus dipenuhi baik oleh
pemerintah, serikat pekerja maupun manajer.
2. Equitable. Setiap orang harus dibayar dengan jujur, sesuai dengan usaha,
kemampuan, dan pelatihan mereka.
3. Balanced. Bayaran, tunjangan dan penghargaan lain harus dapat
memberikan paket imbalan yang layak.
4. Cost-Effective. Bayaran tidak boleh berlebihan, perlu mempertimbangkan
apa yang dapat diusahakan oleh perusahaan atau organisasi untuk
membayar.
5. Secure. Bayaran harus cukup untuk membantu pekerja merasa aman dan
membantu memuaskan kebutuhan dasar mereka.
6. Incentive Providing. Bayaran harus memotivasi efektivitas dan pekerjaan
produktif.
7. Acceptable to the Employee. Pekerja harus memahami sistem bayaran dan
merasakan sebagai sistem yang layak u tuk perusahan atau organisasi dan
diri mereka.19
Terdapat empat norma dalam sifat hubungan antara pekerja dan majikan,
yaitu:
17Suwatno, Donni Juni Priansa, Manajemen SDM dalam Organisasi Publik dan Bisnis,
(Bandung: Alfabeta, 2013), Cet.3, h.221 18Veithzal Rivai, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), Edisi 1,
h.763. Lihat juga h.746-748 19Ivancevich, John M., Robert Konopaske dan Michael T. Mattesson Wibowo, terj. Wibowo,
Manajemen Kinerja, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016), Ed.5, Cet.10, h.292.
27
1) Profit maximation (memaksimumkan keuntungan). Perusahaan yang mencari
keuntungan maksimum membayar upah rendah untuk usaha maksimum.
Sebaliknya pekerja yang mencari keuntungan maksimum akan mencari
penghargaan maksimum.
2) Equity (keadilan). Memberikan penghargaan dilakukan dengan
mempertimbangkan aspek keadilan. Penghargaan harus dialokasikan secara
proporsional sesuai dengan kontribusinya.
3) Equality (kesamaan). Setiap orang harus mendapat penghargaan yang sama,
tanpa memandng perbandingan kontribusi.
4) Need (kebutuhan). Penghargaan didistribusikan menurut kebutuhan pekerja,
tanpa memandang kontribusinya.20
Asas, norma dan upaya pencapaian efektivitas kompensasi ini harus
terangkai dalam bentuk dan system pemberian kompensasi penjualan langsung
berjenjang. Kompensasi yang baik dan sesuai dengan tujuan perusahaan dan
harapan mitra usaha akan menimbulkan sinergitas yang baik di antara semua
pihak, termasuk meningkatkan kepercayaan masayarakat terhadap bisnis
penjualan ini.
Motif masyarakat juga perlu diluruskan dalam pencapaian kompensasi agar
mereka tidak mengandalkan perekrutan anggota di bawah jaringannya (down
line). Kompensasi diberikan berdasarkan kinerja nyata setiap mitra usaha,
dihitung jumlahnya dan ditentukan bentuknya sesuai dengan marketing plan
perusahaan.
20Wibowo, Manajemen Kinerja, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016), Ed.5, Cet.10, h.310
28
B. Pemberian Upah dalam Islam
Proses produksi, konsumsi dan distribusi harus memiliki norma dan etika
agar tidak keluar dari ajaran Islam sehingga Islam bukan hanya sekedar simbol
dan pengakuan saja. Pemasaran dan penjualan sebagai bagian dari proses
distribusi produk merupakan kegiatan bermuamalah yang harus disertai dengan
norma dan etika. Norma dan etika dalam bermuamalah. sebagai berikut:21
1. Bertitik Tolak dari Paham Ketuhanan
Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini
bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan
sarana yang tidak lepas dari syariat Allah. Seorang muslim harus merasa
bahwa apa yang ia kerjakan adalah ibadah karena Allah.
2. Sistem Ekonomi Berlandaskan Etika
Islam tidak pernah memisahkan antara ekonomi dengan etika. Pekerja
muslim disatu sisi diberi kebabasan untuk mencari keuntungan sebesar-
besarnya, namun disisi lain terikat dengan iman dan etika sehingga ia tidak
bebas mutlak dalam menginvestasikan modalnya atau membelanjakan
hartanya.
3. Sistem Ekonomi Bercirikan Kemanusiaan
Tujuan ekonomi Islam adalah menciptakan kehidupan manusia yang aman
dan sejahtera. Manusia diwajibkan melaksanakan tugasnya terhadap
Tuhannya, terhadap dirinya, keluarganya, umatnya dan seluruh umat
manusia. Manusia bisa bekerja karena izin Allah. Allah memberikan
manusia kekuatan dan alat sehingga bisa melaksanakan tugasnya sebagai
khalifah di bumi ini.
21Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2013), Cet.2, h.45-51
29
4. Asas Tatanan ekonomi Islam: Pertengahan dan keseimbangan yang Adil
Islam mengakui hak individu dan masyarakat dengan meletakkannya dalam
neraca keseimbangan yang adil, yaitu dengan tidak mendzalimi kaum yang
lemah dan tidak pula mendzalimi hak individu. Islam mengharuskan
manusia untuk melaksanakan kewajibannya masing-masing sehingga
manusia tersebut dapat memperoleh haknya.
Islam memandang seorang buruh atau pekerja bukan hanya suatu usaha
atau jasa yang abstrak yang ditawarkan untuk dijual kepada para pencari tenaga
kerja. Perusahaan yang mempekerjakan karyawannya mempunyai tanggung
jawab moral dan sosial. Tanggung jawab sosial ini mempunyai arti bahwa
seorang pekerja dalam melakukan pekerjannya harus bersungguh-sungguh dan
penuh tanggung jawab. Dengan begitu, seorang buruh atau pekerja akan
dipandang baik oleh seorang yang mempekerjakan.
Pekerja yang telah melaksanakan kewajibannya berhak mendapatkan
kompensasi yakni berupa upah atau gaji karena telah menyelesaikan semua
pekerjaannya dengan baik. Upah dalam konsep ekonomi Islam disebut Ju’alah.
Ibnu Faris menyatakan bahwa al-ja’lu, al-ja’alah artinya sesuatu pekerjaan yang
ia lakukan.22 Ada dua jenis pekerja (ajir):
a. Ajir Kha^̂̂̂sh (pekerja khusus), yaitu pekerja yang disewa untuk bekerja
sampai batas waktu tertentu. Penyewa berhak memanfaatkan tenaganya
sepanjang waktu itu. Pekerja pun berhak atas upah sekalipun tidak ada yang
dikerjakan. Bisa juga, pekerja ini disewa untuk suatu pekerjaan dan tidak
boleh menerima pekerjaan dari orang lain sebelum pekerjaannya selesai,
seperti buruh pabrik, penjaga toko, dan pekerja garmen.
22Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4
Mazhab, (Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), h.415
30
b. Ajir musytarak, yaitu pekerja yang disewa untuk mengerjakan suatu
pekerjaan tertentu. Ia berhak atas upah setelah pekerjaannya selesai. Ia pun
masih mungkin menerima pekerjaan yang sama dari orang lain pada waktu
yang sama. Upah yang ia terima hanyalah kompensasi dari pekerjaannya,
sedangkan barang-barang yang dipegangnya semata-mata untuk kepentingan
penyewa.23
Tenaga kerja yang terus belajar dalam hal bekerja perlu diberikan upah
yang lebih tinggi sebagai bentuk apresiasi atasan terhadap usaha perbaikan
yang dilakukan oleh tenaga kerja tersebut sehingga pekerja akan
meningkatkan produktivitas lagi. Peningkatan produktivitas akan semakin
memberikan keuntungan kepada produsen.24 Guna memenuhi prinsip-prinsip
keadilan dalam masyarakat muslim, upah haruslah ditentukan melalui
negosiasi antara pekerja, majikan dan negara.25
Kepentingan para pekerja dan majikan harus diperhitungkan secara
adil sampai ada keputusan tentang upah. Tugas Negara adalah memastikan
bahwa upah tidak ditetapkan terlalu rendah sehingga menafikan kebutuhan
hidup pekerja. Sebaliknya, upah juga tidak ditentukan terlalu tinggi sehingga
menafikan bagian untuk majikan. Untuk mendapatkan tingkat upah yang
layak, maka peran Negara yang paling menentukan adalah adanya upah
minimum dengan mempertimbangkan kebutuhan yang senantiasa berubah-
ubah.26
23Musthafa Dib Al-Bugha, Fiqh Al-Mu’awadhah, Terj. Fakhri Ghafur, Buku Pintar Transaksi
Syariah Menjalin Kerja Sama Bisnis Dan Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan Panduan Islam, (Jakarta: Hikmah, 2010), h.170-171
24Lihat: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h.358
25Jusmaliani, Bisnis Berbasis Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h.52 26Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani
Press, 2001), h.
31
Upah yang layak bukanlah suatu konsesi, tetapi suatu hak asasi, yang
dapat dipaksakan oleh seluruh kekuasaan Negara. Bila reorientasi sikap
Negara telah dilaksanakan, maka penetapan upah dan perumusan
produktivitas sesungguhnya hanya merupakan soal penyesuaian yang tepat.27
Penentuan upah harus memperhatikan dua hal sebagai berikut:28
1. Nilai Kerja.
Tidak mungkin disamakan antara orang yang pandai dengan orang yang
bodoh, orang yang tekun dengan orang yang lalai, orang yang spesialis
dengan orang yang bukan spesialis, karena menyamakan kedua orang yang
berbeda adalah kezaliman sebagaimana pembedaan antara dua orang yang
sama.
2. Kebutuhan Pekerja.
Ada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi, baik
berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, kendaraan,
pengobatan, pendidikan anak maupun segala sesuatu yang diperlukan
sesuai dengan kondisinya tanpa berlebih-lebihan dan tanpa kekikiran,
untuk pribadi orang tersebut dan untuk orang yang menjadi tanggungannya.
Beberapa prinsip bisnis perdagangan (tijarah) dalam perspektif fikih
muamalah yang dapat dijadikan dasar pengembangan aktifitas transaksi bisnis
dan perekonomian modern, yaitu:
1. Sesungguhnya syari'at Islam telah mendorong umatnya untuk
memperoleh kesuksesan hidup bahkan menganjurkan mereka agar tidak
hanya mampu mencukupi kebutuhan hidup melainkan juga dapat meraih
“yang lebih” [QS. Al-Baqarah (2): 198]
27Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek (Dasar-Dasar Ekonomi
Islam), Terj. Potan Arif Harahap, (Jakarta: Intermasa, 1992), h.117 28Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam…h. 406
32
2. Syari'at Islam mengakui bahwa kuantitas rezeki umat terkonsentrasi pada
bisnis perdagangan, oleh karenanya syari'at Islam memberi perhatian
yang besar pada masalah perdagangan, yang demikian ditunjukkan
dengan pernyataan tegas al-Qur'an tentang kehalalan jual-beli dan
keharaman riba dalam mencapai kemapanan di bidang ekonomi [QS. al-
Baqarah (2): 275]
3. Kegiatan bisnis perdagangan tidak hanya dipandang sebagai aktifitas
komersial semata melainkan juga merupakan wujud dari ibadah dalam
pengertiannya yang luas, yang meliputi saling kenal mengenal, silaturahi
dan interaksi berihsan [QS. Al-Dzariyat (51) : 56]
4. Islam memberikan jalan lebar bagi manusia untuk berimprovisai dan
berinovasi dalam mengenal sistem, teknis dan mediasi bisnis
perdagangan; sebagaimana dinyatakan dalam adagium ushul fikih:
“Hukum asal muamalah (termasuk perdagangan dan segala macam
transaksi yang berkaitan) adalah mubah selama tidak ada pernyataan dalil
yang menyatakan kebalikannya”
5. Bisnis perdagangan yang dilakukan dalam bentuk apapun harus
senantiasa memenuhi rukun jual-beli serta akhlak yang baik. Di samping
itu, komoditas yang akan diperjualbelikan harus halal dan dengan
menggunakan modus penawaran produk (promosi) yang senantiasa
mengindahkan norma-norma agama dan kesusilaan.29
Satu hal mendasar dalam penataan hubungan antar manusia yang Islami,
yaitu tidak ada yang didzalimi dan mendzalimi atau dengan kata lain
ditegakkannnya konsep adil. Pekerja harus memperoleh upahnya sesuai
sumbangsihnya dalam produksi, sementara majikan harus menerima
29Mohamad Hidayat, Analisa Teoritis Normatif Multilevel Marketing dalam Perspektif
Muamalah, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), h. 8
33
keuntungannya sesuai dengan modal dan sumbangsihnya terhadap produksi.30
Keadilan pada dasarnya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara
tuntutan hak dan pelaksanaan kewajiban.
Manusia dituntut untuk tidak hanya menuntut hak dan melupakan
kewajiban karena akan cenderung mengarah kepada pemerasan dan eksploitasi
orang lain. Manusia juga tidak boleh hanya menjalankan kewajiban dan
melupakan haknya karena akan mudah diperas atau diperbudak orang lain.
Kompensasi dengan memperhatikan kontribusi tenaga kerja terhadap efisiensi
produksi jelas lebih adil sebab tenaga kerja mendapatkan imbalan yang lebih
proporsional dari apa yang telah mereka berikan.31
Prinsip bagi hasil (Profi Loss Sharing) merupakan prinsip syariah dalam
pendapatan. Produktivitas modal dalam menghasilkan tingkat pengembalian
tidak ditentukan secara pasti dalam nilai presentase tertentu, akan tetapi
ditentukan dari presentase nilai keuntungan yang didapat dari produktivitas
modal tersebut (bagi hasil).32
Konsep profit and loss sharing (bagi hasil) merupakan investasi dalam
bentuk kerjasama antara dua belah pihak; pihak penyandang dana/ pemodal
(shahib al-mal) dan pihak pengusaha/ investor (mudharib) dengan ketentuan jika
mendapatkan keuntungan dalam berinvestasi maka keuntungan dalam bentuk
pendapatan kotor tersebut dibagi antara pemodal dan investor tersebut dibagi
antara pemodal dan investasi setelah dikurangi biaya operasional. Sebaliknya jika
dalam berinvestasi nantinya mengalami kerugian maka kerugian tersebut
ditanggung juga antara kedua belah pihak, dimana pemodal telah rugi dalam
30Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Terj. Soeroyo, Nastangin, (Jakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1995), h.365 31Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali
Press, 2011), h.358 32Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006), h.171
34
bentuk hilangnya modal yang diinvestasikan, sedang pihak investor telah rugi
tenaga dan waktu.33
Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah mudharabah dan
musyarakah. Islam meletakkan kaidah “Al gunnu bil ghurum wal al kharraj
biddhaman” (tidak ada pengembalian tanpa adanya risiko dan tidak ada
pendapatan tanpa adanya pengeluaran). Kaidah ini kemudian akan dibatasi
melalui instrumen pasar yang dikenal dengan istilah sistem “mudharabah”.34
Mudharabah sebagai bentuk kerjasama antara pemilik dana dan pengelola yang
menyediakan pekerjaan dengan menentukan nisbah bagi hasil tertentu,
sedangkan bila terjadi kerugian maka menjadi tanggung jawab pemilik modal. 35
Kesepakatan pemilik dan pengelola dana selain dalam hal bagi hasil, juga
harus menyepakati siapa yang akan menanggung biaya, dapat saja disepakati
bahwa biaya ditanggung oleh si pelaksana atau ditanggung oleh si pemodal. Bila
menurut kesepakatan biaya ditanggung oleh si pelaksana, ini berarti yang
dilakukan adalah bagi penerimaan (revenue sharing). Namun bila biaya
ditanggung oleh si pemodal maka yang dilakukan adalah bagi keuntungan dan
kerugian (profit loss sharing).36
Prinsip Prestas atau Kinerja penting juga diperhatikan dalam proses
distribusi pendapatan. Dalam pandangan Islam, kerja bukanlah sekedar aktivitas
yang bersifat duniawi, tetapi memiliki nilai transendensi. Kerja merupakan
sarana untuk mencari penghidupan serta mensyukuri nikmat Allah yang
diberikan kepada makhluk-Nya.37
33Muhammad Nadratuzzaman Hosen, dkk., Dasar-Dasar Ekonomi Islam, (Jakarta: Pusat
Komunikasi Ekonomi Syariah, 2008), h.22 34Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam.. h.171 35Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta,
2004), h.233-253 dan 337 36M. Nur Rianto Al Arif dan Euis Amalia, Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan
Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional, Cet.3, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h.206 37Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali
Press, 2011), h.362
35
Etika kerja dalam Islam mengharuskan bahwasanya gaji dan bayaran serta
spesifikasi dari sebuah pekerjaan yang akan dikerjakan hendaknya jelas disetujui
pada saat mengadakan kesepakatan awal. Ini juga mengharuskan bahwa gaji
yang telah ditentukan, dan juga bayaran-bayaran yang lain hendaknya dibayarkan
saat pekerjaan itu telah selesai tanpa ada sedikitpun penundaan dan pengurangan.
Gaji yang didapat oleh para pekerja tidak harus sama dan rata. Al-Quran
mengakui adanya perbedaan diantara para pekerja atas dasar kualitas dan
kuantitas kerja yang dilakukan sehingga pekerja memperoleh haknya
berdasarkan penyelesaian kewajiban yang telah dilakukannya, sebagaimana
Firman Allah SWT dalam QS. Asy-Syura (26):183 sebagai berikut:
Artinya: “dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
Kedua belah pihak yang terlibat dalam transaksi bisnis secara bebas
menentukan untung rugi bisnis tersebut. Bisnis yang dilakukan seseorang
diarahkan untuk mencapai empat hal, yaitu:
1. Profit baik materi dan non-materi.
2. Pertumbuhan, artinya terus meningkat.
3. Keberlangsungan dalam kurun waktu yang selama mungkin.
4. Keberkahan atau keridhaan Allah. Bisnis dalam pandangan Islam
menempatkan profit dalam dua sisi yang saling menyatu yaitu material dan
non material (spiritual).38
38Muhammad, Aspek Hukum dalam Muamalat, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), cet.1, h.87-
88. Lihat juga Muhammad Ismail Yusanto dan M. Karebat Widjayakusuma, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta: GIP, 2002), h.17-18
BAB III
PENGATURAN AKAD KOMPENSASI BISNIS
PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH
A. Konsep Kompensasi Penjualan Langsung Berjenjang
1. Konsep Komisi
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
yang mengatur tentang Penjualan Langsung Berjenjang sebanyak dua fatwa,
yaitu Fatwa DSN MUI Nomor: 75/DSN-MUI/VII/2009 Tentang Pedoman
Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) dan Fatwa DSN MUI
Nomor: 83/DSN-MUI/VI/2012 Tentang Penjualan Langsung Berjenjang
Syariah Jasa Perjalanan Umrah. Fatwa DSN MUI Nomor: 75/DSN-
MUI/VII/2009 Tentang Pedoman Penjualan Langsung Berjenjang Syariah
(PLBS) memberikan konsep komisi sebagai berikut:
Komisi adalah imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada mitra usaha atas penjualan, yang besaran maupun bentuknya diperhitungkan berdasarkan prestasi kerja nyata yang terkait langsung dengan volume atau nilai hasil penjualan barang dan atau produk jasa.
Komisi tidak didefinisikan secara eksplisit dalam Fatwa DSN MUI
Nomor: 83/DSN-MUI/VI/2012 Tentang Penjualan Langsung Berjenjang
Syariah Jasa Perjalanan Umrah, melainkan dijelaskan tentang imbalan atau
ju’alah yaitu:
Ju 'alah adalah janji atau komitmen (iltizam) perusahaan untuk memberikan imbalan (reward/'iwadh/ju'l) tertentu kepada anggota ('amil) atas pencapaian hasil (prestasi/natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan (obyek akad Ju'alah)
Imbalan Ju 'alah dalam PLBS yang dimaksud dalam Fatwa ini adalah
komisi dan/atau bonus yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota.
Fatwa Nomor 83 ini belum diimplementasikan oleh Perusahaan Penjualan
Langsung Berjenjang Syariah di Indonesia dikarenakan belum ada satu pun
36
37
perusahaan Penjualan Langsung Berjenjang Syariah yang memenuhi Syarat-
syarat Kelayakan Syariah sebagaimana ditentukan oleh Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia. Perusahaan yang pernah
mengatasnamakan dirinya sebagai perusahaan jasa perjalanan umrah syariah
kini dinyatakan resmi oleh DSN MUI bahwa perusahaan tersebut tidak
sesuai dengan Fatwa DSN MUI Nomor 83. Perusahaan jasa perjalanan
umrah tersebut mempunyai legalitas sebagai Lembaga Bisnis Syariah bukan
Perusahaan Penjualan Langsung Berjenjang Syariah.
Tabel PENGATURAN KOMISI PENJUALAN LANGSUNG
BERJENJANG SYARIAH DALAM FATWA DSN-MUI
NO PERATURAN PENGATURAN KOMISI
A FATWA DSN-MUI
1 No : 75/DSN MUI/VII/2009 Tentang Pedoman Penjualan Langsung Berjenjang Syariah(PLBS)
Komisi adalah imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada mitra usaha atas penjualan, yang besaran maupun bentuknya diperhitungkan berdasarkan prestasi kerja nyata yang terkait langsung dengan volume atau nilai hasil penjualan barang dan atau produk jasa. Ketentuan hukum mengenai komisi: Komisi yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota baik besaran maupun bentuknya harus berdasarkan pada prestasi kerja nyata yang terkait langsung volume atau nilai hasil penjualan barang atau produk jasa, dan harus menjadi pendapatan utama mitra usaha dalam PLBS. Tidak boleh ada komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh secara reguler tanpa melakukan pembinaan dan atau penjualan barang dan atau jasa; Pemberian komisi atau bonus oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) tidak
38
menimbulkan ighra’. Tidak ada eksploitasi dan ketidakadilan dalam pembagian bonus antara anggota pertama dengan anggota berikutnya
2 NO : 83/DSN-MUI/VI/2012 Tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah Jasa Perjalanan Umrah
Ju 'alah adalah janji atau komitmen (iltizam) perusahaan untuk memberikan imbalan (rewardl'iwadh/ju'l) tertentu kepada anggota ('amil) atas pencapaian hasil (prestasi/natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan (obyek akad Ju'alah); Imbalan Ju 'alah dalam PLBS adalah komisi dan/atau bonus yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota; 2.c. Ketentuan mengenai Obyek Akad Ju'alah
a. Objek akad ju 'alah (mahal al- 'aqd) harus jelas, yaitu pekerjaan yang berupa rekrut calon anggota dan pembinaan; anggota yang berhasil direkrut dan dibina merupakan natijah;
b. Jumlah anggot/mitra level bawah (down-line) dan yangdibina oleh mitra level atas (up-line) harus dibatasi sesuai kebutuhan dan kewajaran untuk umrah;
c. Sistem perekrutan keanggotaan, bentuk penghargaan dan acara seremonial yang dilakukan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan aqidah, syariah dan akhlak mulia, seperti syirik, kultus, dan lain-lain.
2.d. Ketentuan mengenai Imbalan (Ju'l) a. Imbalan ju'alah (reward/’iwadh/ju'l)
harus ditentukan besarannya oleh ja'il dan diketahui oleh anggota pada saat pendaftaran;
b. Imbalan ju 'alah yang diberikan kepada anggota harus berasal dari komponen biaya paket perjalanan umrah yang telah diakui dan
39
dibukukan sebagai pendapatan perusahaan dan/atau dari kekayaan perusahaan;
c. Imbalan ju 'alah harus digunakan seluruhnya atau disisihkan sebagiannya untuk biaya keberangkatan umrah, guna menghindari penyimpangan tujuan mengikuti PLBS, yaitu melaksanakan umrah (bukan bertujuan untuk mendapatkan imbalan semata);
d. Imbalan ju'alah yang dijanjikan oleh perusahaan kepada anggota tidak menimbulkan ighra';
e. Sistem pembagian imbalan ju'alah bagi anggota pada setiap peringkat/level harus mengacu pada prinsip keadilan dan menghindari unsur eksploitasi;
f. Imbalan ju 'alah yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota, baik besaran maupun bentuknya, harus berdasarkan pada hasil prestasi yang dilakukan anggotasebagaimana tertuang dalam akad;
g. Tidak boleh ada imbalan ju 'alah secara pasif yang diperoleh anggota secara regular tanpa melakukan pembinaan dan/atau prestasi.
Pengaturan tentang kompensasi bisnis Penjualan Langsung Berjenjang
dalam hukum positif di Indonesia akan dibahas sesuai hierarki perundang-
undangan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, BAB III Jenis,
Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 7,
menyatakan bahwa Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri
atas:
40
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Komisi dalam Peraturan Perundang-undangan tercantum dalam
Penjelasan Atas UU Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Perdagangan yang menyatakan bahwa “penjualan langsung secara multilevel
adalah penjualan Barang tertentu melalui jaringan pemasaran berjenjang
yang dikembangkan oleh mitra usaha yang bekerja atas dasar komisi
dan/atau bonus berdasarkan hasil penjualan Barang kepada konsumen.”
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.73/MPP/Kep/3/2000 tentang Ketentuan Kegiatan Usaha Penjualan
Berjenjang, BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat (1):
Penjualan Berjenjang adalah suatu cara atau metode penjualan secara berjenjang kepada konsumen melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh perorangan atau badan usaha yang memperkenalkan barang dan/atau jasa tertentu kepada sejumlah perorangan atau badan usaha lainnya secara berturut-turut yang bekerja berdasarkan komisi atau iuran keanggotaan yang wajar;
Kepmendag ini menunjukan bahwa komisi adalah satu-satunya
imbalan dalam penjualan berjenjang. Komisi pun disamakan dengan iuran
keanggotaan, sementara pengertian berbeda tercantum pada Pasal 1 Ayat (8):
Komisi adalah imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada Penjual yang besarnya dihitung berdasarkan hasil kerja nyata sesuai volume atau nilai hasil penjualan barang dan/ atau jasa;
41
Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 13/M-Dag/PER/3/2006
tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Penjualan
Langsung menunjukan pengertian yang lebih jelas atas komisi. Komisi disini
lebih ditekankan pada Komisi Penjualan, sehingga sudah terlihat lebih sesuai
dengan Teori Kompensasi Penjualan, karena jika disebutkan komisi saja bisa
diartikan ke berbagai makna, namun jika ditulis komisi penjualan maka
terdapat kesesuaian makna dengan maksud peraturan tersebut. Komisi
Penjualan ini diatur pada BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 8 yaitu:
Komisi atas Penjualan adalah imbalan yang diberikan oleh Perusahaan kepada Mitra Usaha yang besarnya dihitung berdasarkan hasil kerja nyata sesuai volume atau nilai hasil penjualan barang dan/atau jasa baik secara pribadi maupun jaringannya.
Pengertian diatas sama halnya dengan komisi yang diatur dalam
Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 32/MDAG/PER/8/2008 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan
Langsung, BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 5:
Komisi atas penjualan adalah imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada mitra usaha yang besarnya dihitung berdasarkan hasil kerja nyata, sesuai volume atau nilai hasil penjualan barang dan/atau jasa, baik secara pribadi maupun jaringannya.
Penjualan Langsung diatur melalui Undang-Undang Perdagangan dan Permendag 32/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha dengan Sistem Penjualan Langsung. Tujuan pengaturan kegiatan ini adalah: a. Menciptakan tertib usaha dengan sistem penjualan langsung agar
Perusahaan Penjualan langsung, Mitra Usaha dan konsumen memperoleh kepastian hukum.
b. Mendorong peningkatan investasi, perluasan kesempatan bekerja serta peningkatan pemasaran barang produksi dalam negeri.
42
c. Meningkatkan transparansi usaha melalui kewajiban melakukan presentasi konsep marketing plan.1
2. Konsep Bonus
Akhlak yang mulia dalam transaksi bisnis diantaranya adalah
memberikan tambahan kepada buruh dengan sesuatu di luar upahnya sebagai
hadiah atau bonus darinya, khususnya jika ia menunaikan pekerjaannya
dengan baik. Bonus ini memilki makna yang berbeda yang diterapkan oleh
perusahaan penjualan langsung berjenjang, sehingga diperlukan pemahaman
mendalam mengenai konsep bonus ini.
Adapun pengaturan mengenai bonus penjualan dalam Fatwa Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) disajikan dalam
tabel berikut ini:
Tabel
PENGATURAN BONUS PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH DALAM FATWA DSN-MUI
NO PERATURAN PENGATURAN 1 No : 75/DSN MUI/VII/2009
Tentang Pedoman Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS)
Bonus adalah tambahan imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada mitra usaha atas penjualan, karena berhasil melampaui target penjualan barang dan atau produk jasa yang ditetapkan perusahaan. Ketentuan hukum mengenai bonus: Bonus yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) harus jelas jumlahnya ketika dilakukan transaksi (akad) sesuai dengan target penjualan barang dan atau produk jasa yang ditetapkan oleh perusahaan;
1Hasil Wawancara dengan Bapak Roni, Direktorat Bina Usaha dan Pelaku Distribusi, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan RI, pada Senin 13 Nopember 2017 Pk. 09.45-10.30 WIB
43
Fatwa DSN MUI Nomor 75/DSN-MUI/VII/2009 Tentang Pedoman
Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) menyatakan bonus sebagai
tambahan imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada mitra usaha atas
penjualan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa imbalan yang dimaksud
adalah bentuk kompensasi dari perusahaan kepada mitra usahanya, sehingga
dalam aturan Fatwa ini bonus dinilai sebagai kompensasi yang diberikan
oleh perusahaan diluar dari kompensasi tetap yang diterima oleh mitra usaha.
Fatwa DSN MUI Nomor 75/DSN-MUI/VII/2009 Tentang Pedoman
Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) tersebut lebih lanjut
menyatakan bahwa bonus tidak akan diterima mitra usaha kecuali mitra
usaha tersebut berhasil melampaui target penjualan barang dan atau produk
jasa yang ditetapkan perusahaan. Hal ini menandakan bahwa perusahaan
Penjualan Langsung Berjenjang Syariah memiliki target penjualan yang
harus dicapai mitra usahanya dalam memasarkan produk barang dan atau
jasa. Persyaratan bagi mitra usaha dalam rangka memperoleh haknya
mendapatkan bonus, dalam Fatwa ini sudah sesuai dengan teori kompensasi,
yaitu bonus diberikan jika mitra usaha berhasil melampaui target penjualan.
Dijelaskan bahwa insentif dalam bentuk bonus, diberikan pada karyawan
yang mampu bekerja sedemikian rupa sehingga tingkat produksi yang baku
terlampaui.2
Pengaturan Bonus Penjualan Langsung Berjenjang dalam Peraturan
Perundang-Undangan diatur dalam beberapa Peraturan Menteri Perdagangan
dan Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Berikut ini tabel
pengaturan tersebut:
2M.Kadarisman, Manajemen Kompensasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), Ed.1, Cet.3, h.215
44
Tabel PENGATURAN BONUS PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
NO PERATURAN PENGATURAN 1 Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No. 73/MPP/Kep/3/2000 tentang Ketentuan Kegiatan Usaha Penjualan Berjenjang
BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat (9):
Bonus adalah tambahan imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada Penjual karena berhasil melebihi target penjualan barang dan/ atau jasa yang ditetapkan perusahaan;
2 Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 13/M-Dag/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Penjualan Langsung
BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 9: Bonus atas Penjualan adalah tambahan imbalan yang diberikan oleh Perusahaan kepada Mitra Usaha karena berhasil melebihi target penjualan barang dan/atau jasa yang ditetapkan Perusahaan Penjualan Langsung.
3 Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 32/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung
BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6: Bonus atas penjualan adalah tambahan imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada mitra usaha, karena berhasil melebihi target penjualan barang dan/atau jasa yang ditetapkan perusahaan.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.
73/MPP/Kep/3/2000 tentang Ketentuan Kegiatan Usaha Penjualan
Berjenjang BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat (9) Bonus diatur hanya
sebagai tambahan atas imbalan penjualan yang dilakukan penjual karena
penjual tersebut melebihi target penjualan perusahaan. Jika dihubungkan
dengan pengaturan sebelumnya tentang komisi, jelaslah bahwa komisi
memang imbalan sebagai pendapatan yang utama bagi mitra usaha
sedangkan bonus hanya sebagai imbalan tambahan yang diterima mitra
usaha jika melebihi target penjualan perusahaan.
45
Pengaturan bonus pada Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor
13/M-Dag/PER/3/2006 sama halnya dengan Peraturan Menteri Perdagangan
RI Nomor 32/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha
Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung, BAB I Ketentuan Umum
Pasal 1 angka 6. Persyaratan yang dicantumkan dalam kedua peraturan
diatas bahwa bonus diberikan jika mitra usaha melebihi target penjualan,
berarti jika penjualan yang dilakukan mitra usaha tepat dengan target atau
sama sekali tidak melebihi target, maka mitra usaha tidak mendapatkan
bonus. Semestinya kata “melebihi” tidak dicantumkan karena bonus dalam
teori kompensasi dinyatakan sebagai kompensasi jika berhasil mencapai
target, bukan melebihi target.
Perbandingan konsep bonus dengan Negara lainnya salah satunya
yaitu konsep bonus di Negara Malaysia dalam pengaturannya dalam
Garis Panduan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia Bilangan 1 Tahun
2013, Garis Panduan Perniagaan Jualan Langsung Secara Pemasaran
Berbilang Tingkat (Multi-Level Marketing) Menurut Syariah yang
menyatakan bonus sebagai berikut:
“Bonus” bermaksud jumlah bayaran komisen yang dijanjikan dan dibayar kepada peserta sebagai upah kepada peserta kerana berjaya, baik secara berseorangan mahupun secara berkumpulan, menghasilkan natijah-natijah sebagaimana yang ditetapkan di dalam akad dan diperincikan di dalam pelan pemasaran atau pelan ganjaran.3
Bonus diartikan sebagai komisi yang dijanjikan perusahaan
yang bisa karena usaha perorangan maupun usaha jaringannya,
namun disini tekankan bahwa selain marketing plan, ada juga
3http://www.islam.gov.my/references/guidelines/131-garis-panduan-perniagaan-jualan-
langsung-secara-pemasaran-berbilang-tingkat-multi-level-marketing-menurut-syariah? diakses pada 5 Juli 2018
46
marketing kompensasi yang disetujui dalam akad antara
perusahaan dan mitra usahanya.
3. Komisi dan/atau Bonus
Kompensasi penjualan yang mencakup teori komisi dan bonus,
memberikan maksud yang berbeda diantara keduanya. Namun dalam Fatwa
DSN MUI dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia kedua jenis
kompensasi tersebut beberapa kali disebutkan secara bersamaan dengan kata
“dan/atau” yang bisa menjadikan perusahaan penjualan langsung berjenjang
memilih salah satu kompensasi atau memakai kedua jenis kompensasi
penjualan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dalam
Penjelasan Atas UU Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Perdagangan Pasal 7 Ayat (3) menggunakan kedua istilah baik komisi
maupun bonus:
Yang dimaksud dengan “penjualan langsung” adalah sistem penjualan Barang tertentu melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh mitra usaha yang bekerja atas dasar komisi dan/atau bonus berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran. Yang dimaksud dengan “penjualan langsung secara multilevel” adalah penjualan Barang tertentu melalui jaringan pemasaran berjenjang yang dikembangkan oleh mitra usaha yang bekerja atas dasar komisi dan/atau bonus berdasarkan hasil penjualan Barang kepada konsumen.
Fatwa DSN MUI tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah
memberikan ketentuan hukum bagi komisi atau bonus bahwa:
Tidak boleh ada komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh secara reguler tanpa melakukan pembinaan dan atau penjualan barang dan atau jasa;
47
Pemberian komisi atau bonus oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) tidak menimbulkan ighra’.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.73/MPP/Kep/3/2000 tentang Ketentuan Kegiatan Usaha Penjualan
Berjenjang, BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat (4) menyatakan bahwa
Penjual adalah anggota mandiri jaringan pemasaran yang memasarkan
barang dan/ atau jasa milik perusahaan berdasarkan komisi dan/atau bonus;
Pemakaian kata komisi dan/atau bonus lebih banyak lagi ditemukan
dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 13/M-Dag/PER/3/2006
tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Penjualan
Langsung, sebagaimana yang diuraikan di bawah ini:
BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1:
Penjualan Langsung (Direct Selling) adalah metode penjualan barang dan/atau jasa tertentu melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh Mitra Usaha yang bekerja atas dasar komisi dan/atau bonus atas penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran tetap.
Ketentuan umum ini menyatakan bahwa mitra usaha harus
mengembangkan jaringan pemasarannya kepada konsumen yang berada di
luar lokasi eceran tetap dan mitra usaha berhak mendapatkan komisi
dan/atau bonus atas penjualannya tersebut.
BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 3:
Mitra Usaha adalah anggota mandiri jaringan pemasaran yang berbentuk badan usaha atau perorangan yang memasarkan barang dan/atau jasa milik Perusahaan dan bukan merupakan bagian dari struktur organisasi Perusahaan dengan mendapatkan imbalan berupa komisi dan/atau bonus atas penjualan.
48
Pasal 1 angka 3 ini menambahkan aturan bahwa mitra usaha tidak boleh
berasal dari bagian struktur organisasi perusahaan, sehingga jika ditemukan
mitra usaha yang tidak sesuai aturan berarti dia tidak berhak mendapatkan
komisi dan/atau bonus yang dijanjikan perusahaan.
Komisi dan atau bonus juga diatur dalam Peraturan Menteri
Perdagangan RI Nomor 32/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung, dalam
BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa:
Penjualan langsung (Direct Selling) adalah metode penjualan barang dan/atau jasa tertentu melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh mitra usaha yang bekerja atas dasar komisi dan/atau bonus berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran tetap.
Selain itu diatur juga dalam BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 4 yang
menyatakan bahwa:
Mitra usaha adalah anggota mandiri jaringan pemasaran atau penjualan yang berbentuk badan usaha atau perseorangan dan bukan merupakan bagian dari struktur organisasi perusahaan yang memasarkan atau menjual barang dan/atau jasa kepada konsumen akhir secara langsung dengan mendapatkan imbalan berupa komisi dan/atau bonus atas penjualan.
Ketentuan Peraturan Menteri tersebut diatas, bahwa komisi dan/atau
bonus diberikan atas dasar hasil penjualan kepada konsumen, sebagimana
halnya pada BAB II Persyaratan Kegiatan Usaha Perdagangan dengan
Sistem Penjualan Langsung, Pasal 2 menyatakan bahwa Perusahaan wajib
memenuhi ketentuan diantaranya memberikan komisi, bonus, dan
penghargaan lainnya berdasarkan hasil kegiatan penjualan barang dan/atau
jasa yang dilakukan oleh mitra usaha dan jaringannya sesuai dengan yang
diperjanjikan.
49
Secara khusus peraturan komisi dan atau bonus diatur dalam distribusi
barang, sebagaimana Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 22/M- DAG/PER/3/2016 Tentang Ketentuan Umum Distribusi
Barang mengatur Distribusi Barang Secara Langsung pada Bab IV Pasal 15
sampai dengan Pasal 18. Peraturan Menteri ini mulai berlaku tanggal 28
Maret 2016 sehingga Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Nomor 23/MPP/Kep/l/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Komisi dan bonus dinyatakan
pada BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 18 bahwa:
Penjualan langsung secara multi tingkat (multi level marketing) adalah penjualan barang tertentu melalui jaringan pemasaran berjenjang yang dikembangkan oleh penjual langsung yang bekerja atas dasar komisi dan/atau bonus berdasarkan hasil penjualan barang kepada konsumen.
4. Penghargaan Lainnya
Pengaturan kompensasi bisnis penjualan langsung berjenjang selain
komisi, bonus dan kedua istilah itu, komisi dan/atau bonus, ada juga istilah
penghargaan lainnya. Penghargaan lainnya dimaksudkan yaitu seperti
insentif.
Penghargaan lainnya ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan
RI Nomor 13/M-Dag/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Penerbitan Surat Izin Usaha Penjualan Langsung pada BAB II Persyaratan
Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung Pasal 2
huruf h:
Memberikan komisi, bonus dan penghargaan lainnya berdasarkan hasil penjualan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh Mitra Usaha dan jaringannya sesuai dengan yang diperjanjikan;
50
Pasal 2 huruf h menambahkan jenis kompensasi penjualan yang
diterima mitra usaha selain komisi dan bonus juga ada penghargaan.
Peraturan ini juga mulai mengatur bahwa ketiga jenis kompensasi ini berhak
diperoleh bukan hanya untuk member tapi juga berhak diperoleh jaringannya
berdasarkan yang diperjanjikan. Kata “diperjanjikan” ini belum jelas
maksudnya, diperjanjikan oleh siapa dan kepada siapa, semestinya dalam
peraturan tidak menggunakan kata yang ambigu.
Peraturan Menteri yang sama namun dalam BAB berbeda yaitu BAB
II Persyaratan Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan
Langsung Pasal 4 Ayat (2) menyatakan bahwa Perjanjian tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit wajib memuat:
Ketentuan tentang pemberian komisi, bonus, dan penghargaan lainnya. Pasal
ini menunjukkan bahwa bentuk pemberian kompensasi penjualan langsung
berjenjang ada 3 bentuk, yaitu komisi, bonus dan bentuk penghargaan
lainnya.
Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 32/MDAG/PER/8/2008
tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem
Penjualan Langsung dalam BAB II Persyaratan Kegiatan Usaha
Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung, Pasal 2, Perusahaan wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
Memberikan komisi, bonus, dan penghargaan lainnya berdasarkan hasil kegiatan penjualan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh mitra usaha dan jaringannya sesuai dengan yang diperjanjikan;
Pengaturan penghargaan lainnya dinilai kurang merinci dan
mengatur ketentuan besaran maupun bentuknya, tidak disebutkan syarat
pemberian penghargaan lainnya apa saja. Jika pada pengaturan komisi
disebutkan bahwa komisi adalah pendapatan utama seorang mitra usaha,
sementara bonus adalah pendapatan tambahan dari pencapaian lebih hasil
51
penjualan seorang mitra usaha maupun jaringannya, maka pada
penghargaan lainnya ini belum diatur konsep yang mendetail.
Penghargaan lainnya inilah yang seringkali dijadikan daya tarik lebih
dari bisnis penjualan langsung berjenjang, seperti rumah mewah, mobil
mewah, rekreasi ke luar negeri, dan sebagainya.
Sementara itu, di Negara Malaysia pada Garis Panduan Jabatan
Kemajuan Islam Malaysia Bilangan 1 Tahun 2013, Garis Panduan
Perniagaan Jualan Langsung Secara Pemasaran Berbilang Tingkat
(Multi-Level Marketing) Menurut Syariah menyatakan bentuk
kompensasi Multi-Level Marketing selain komisi dan bonus yaitu
berupa insentif dengan pengertian sebagai berikut:
“lnsentif'” bermaksud sesuatu yang diberikan atau ditawarkan sebagai dorongan atau galakan.4
Pemakaian istilah insentif ini sudah sesuai dengan teori kompensasi
yang menyatakan bahwa bentuk kompensasi bisa berupa insentif langsung
maupun insentif tidak langsung, namun terkadang perusahaan menyamakan
insentif ini dengan bonus, seperti tiket perjalanan ke luar negeri, umroh,
rumah maupun mobil mewah.
B. Pengaturan Perjanjian atau Akad
Data World Federation of Direct Selling Association (WFDSA) menunjukan
bahwa total nilai industri penjualan langsung dunia mencapai US$ 182,556 juta
pada tahun 2016, meningkat 1,9% dibandingkan tahun sebelumnya. Sesuai data
WFDSA, industri penjualan langsung di Indonesia melibatkan 14,003,000 orang
4http://www.islam.gov.my/references/guidelines/131-garis-panduan-perniagaan-jualan-langsung-secara-pemasaran-berbilang-tingkat-multi-level-marketing-menurut-syariah? diakses pada 5 Juli 2018
52
penjual langsung dengan nilai penjualan mencapai US$ 1.184 juta pada tahun
2016.
Hingga Oktober 2017 Kementerian Perdagangan mencatat terdapat 159
Surat Ijin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) yang diterbitkan oleh Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bagi Perusahaan Penjualan Langsung
yang terdiri dari 73 Perusahaan Modal Asing dan 86 Perusahaan Modal dalam
Negeri.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas pada Pasal 109, Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS)
yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI).
MUI mendelegasikan perihal penunjukkan DPS tersebut kepada Dewan Syariah
Nasional (DSN). Setiap perusahaan PLB yang ingin menjadi perusahaan PLB
Syariah harus meminta rekomendasi syariah kepada DSN MUI.
Penjualan Langsung Berjenjang Syariah mempunyai aturan syariah
tersendiri.5 DSN MUI mensyaratkan semua perusahaan PLB yang mengajukan
permohonan menjadi perusahaan PLBS harus mempunyai SIUPL dari
Kementerian Perdagangan, sementara itu Dewan Pengawas Syariah DSN MUI
bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan
Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah dan memberikan laporan per
semester. DSN MUI bekerjasama dengan APLI karena dengan bersilaturahim
dengan APLI maka DSN MUI bisa mendapatkan informasi terbaru dari
perusahaan-perusahaan PLBS. DSN MUI juga mengadakan silaturahim kepada
industri-industri setiap tahunnya.6
5Secara garis besar tata krama perilaku bisnis itu ada tiga hal yaitu: murah hati, motivasi
untuk berbakti dan ingat kepada Allah sebagai prioritas utamanya. Lihat: Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet.4, h.109
6Hasil wawancara dengan Dr. Moch. Bukhori Muslim, Lc, M.A. (Ketua Bidang Bisnis dan Ekonomi Syariah DSN-MUI) pada tanggal 11 Januari 2018
53
PT K-Link Nusantara turut serta mensosialisasikan aturan tersebut kepada
para member melalui Marketing Plan PT K-Link. Marketing Plan tersebut sudah
sesuai dengan Fatwa DSN MUI serta Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor
32/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan
dengan Sistem Penjualan Langsung.7
Calon mitra usaha yang sudah setuju dengan suatu Marketing Plan dari
perusahaan penjualan langsung berjenjang akan diikat dengan akad antara mitra
usaha dengan perusahaan sehingga seseorang tersebut sehingga resmi menjadi
mitra usaha dan nantinya berhak memperoleh kompensasi bisnis dengan
persyaratan yang tercantum dalam akad yang telah disepakati.
Penjualan yang dilakukan mitra usaha perlu juga diatur agar penjualan
tersebut bukanlah digunakan untuk konsumsi pribadi tetapi memang dikonsumsi
oleh konsumen yang membutuhkan.
Perusahaan wajib membayar imbalan yang dijanjikan kepada anggota ('amil), jika anggota mencapai prestasi (menyelesaikan hasil pekerjaan/natijah/obyek akad) yang telah disepakati; Perusahaan wajib membuat akun setiap anggota secara tersendiri untuk membukukan imbalan berikut sumbernya yang diterima oleh anggota sebelum obyek akad ijarah maushufah fi al-dzimmah diwujudkan untuk diserah terimakan kepada anggota.
Imbalan yang dibukukan dalam akun khusus masing-masing mitra usaha ini
diimplementasikan salah satunya oleh PT K Link bahwa dalam implementasinya
pemberian komisi dan/atau bonus dilakukan secara terbuka dan dibagikan secara
online lewat akun masing-masing mitra usaha. Dengan demikian, mitra usaha
bisa menuntut perusahaan jika kompensasi yang diterima tidak sesuai dengan
marketing plan yang dijanjikan perusahaan.
7Hasil wawancara dengan Bapak Bayu Riono (Bagian Legal PT K.Link Nusantara) pada pada
Senin 13 Nopember 2017 Pk. 13.00-15.00 WIB
54
C. Hak dan Kewajiban Pihak Pemberi dan Penerima Kompensasi
Islam telah menetapkan hukum untuk perlindungan hak-hak dan kewajiban
antara para pekerja dan yang mempekerjakan. Masalah pemenuhan kebutuhan
hidup dari masing-masing individu untuk pencapaian penghidupan yang layak,
merupakan kebutuhan mendasar yang menjadi hak asasi manusia. Hak ini
diperoleh dengan diimbangi kewajiban yang harus dipenuhi oleh individu, yaitu
melaksanakan suatu pekerjaan.
Perjanjian kerja akan menciptakan suatu hubungan kerja antara pemberi
kerja dan buruh, dalam bahasan ini yaitu perusahaan dan mitra usaha.
Fatwa DSN MUI Nomor: 83/DSN-MUI/VI/2012 Tentang Penjualan
Langsung Berjenjang Syariah Jasa Perjalanan Umrah menyatakan bahwa: “Tidak
boleh ada imbalan ju 'alah secara pasif yang diperoleh anggota secara regular
tanpa melakukan pembinaan dan/atau prestasi.”
Kewajiban pihak pemberi kompensasi atau Perusahaan (Ja'i/):
a. Perusahaan sebagai ja'il wajib memenuhi syarat-syarat legalitas formal, termasuk Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) dari pihak otoritas;
b. Perusahaan wajib memiliki pedoman pelaksanaan pemasaran dan mekanisme pengawasan yang sesuai dengan syariah;
c. Perusahaan wajib menyebutkan/menjelaskan risiko-risiko yang mungkin akan dialami oleh peserta, termasuk dalam hal anggota tidak mampu menambah uang muka dan/atau tidak mendapatkan imbalan karena tidak berhasil merekrut anggota/mitra lainnya;
d. Perusahaan wajib membayar imbalan yang dijanjikan kepada anggota ('ami/), jika anggota mencapai prestasi (menyelesaikan hasil pekerjaan/natijah/obyek akad) yang telah disepakati;
Perusahaan wajib membuat akun setiap anggota secara tersendiri untuk
membukukan imbalan berikut sumbernya yang diterima oleh anggota sebelum
55
obyek akad ijarah maushufah fi al-dzimmah diwujudkan untuk diserah terimakan
kepada anggota. PT K-Link sangat terbuka. Member bisa membaca langsung
laporan perolehan bonus dan atau komisi yang mereka peroleh pada website K-
Link dengan login sesuai ID mereka masing-masing. K-Link juga memberikan
laporan rutin kepada BKPM.
Fatwa DSN MUI Nomor: 83/DSN-MUI/VI/2012 Tentang Penjualan
Langsung Berjenjang Syariah Jasa Perjalanan Umrah mengatur mengenai
perusahaan dan kewajiban perusahaan terhadap anggotanya terkait imbalan
sebagai berikut:
Perusahaan wajib menyebutkan/menjelaskan risiko-risiko yang mungkin
akan dialami oleh peserta, termasuk dalam hal anggota tidak mampu
menambah uang muka dan/atau tidak mendapatkan imbalan karena tidak
berhasil merekrut anggota/mitra lainnya;
Seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan
pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat
Islam terikat terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Selama ia
mendapatkan upah secara penuh, maka kewajibannya juga harus dipenuhi.
Hak dan kewajiban kedua belah pihak, yaitu pemberi kompensasi
(perusahaan) dan penerima kompensasi (mitra usaha) harus dijelaskan secara
detail dalam perjanjian atau akad yang disepakati saat mitra usaha mendaftarkan
dirinya menjadi mitra usaha. Kewajiban yang ditentukan oleh Islam adalah setiap
pemilik hak diberikan haknya dengan cara yang baik, tidak kurang dan tidak
lebih. Pemerintah perlu membuat pengaturan untuk menjaga hak dan kewajiban
berbagai pihak dari ketidakadilan.
56
Penjualan Langsung Di Indonesia diatur melalui Undang-Undang
Perdagangan dan Permendag 32/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha
dengan Sistem Penjualan Langsung. Tujuan pengaturan kegiatan ini adalah:
a. Menciptakan tertib usaha dengan sistem penjualan langsung agar Perusahaan
Penjualan langsung, Mitra Usaha dan Konsumen memperoleh kepastian
hukum.
b. Mendorong peningkatan investasi, perluasan kesempatan bekerja serta
peningkatan pemasaran barang produksi dalam negeri.
c. Meningkatkan transparansi usaha melalui kewajiban melakukan presentasi
konsep marketing plan.
D. Pengaturan Besaran dan Bentuk Kompensasi
Unsur-unsur perjanjian kerja yaitu pekerjaan, perintah dan upah. Pekerjaan
memuat jenis pekerjaan yang harus dilakukan oleh buruh terhadap pemberi kerja.
Perintah adalah ciri utama dalam sebuah perjanjian kerja, bahwa ada orang yang
memberikan sebuah perintah dari satu pihak (pengusaha sebagai pemberi kerja)
ke pihak lainnya (buruh sebagai penerima kerja) yang berada di bawah
perintahnya.8 Besaran upah ditentukan berdasarkan persetujuan antara pemberi
kerja dan pekerja, namun tetap tunduk kepada peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Fatwa DSN MUI Nomor: 83/DSN-MUI/VI/2012 Tentang Penjualan
Langsung Berjenjang Syariah Jasa Perjalanan Umrah menyatakan bahwa:
“Imbalan ju 'alah yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota, baik besaran
maupun bentuknya, harus berdasarkan pada hasil prestasi yang dilakukan
anggota sebagaimana tertuang dalam akad”. Adapun pemberian komisi diatur
dalam Fatwa DSN MUI Nomor: 75/DSN-MUI/VII/2009 Tentang Pedoman
8Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.48
57
Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) dengan ketentuan hukum
bahwa:
Komisi yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota baik besaran maupun bentuknya harus berdasarkan pada prestasi kerja nyata yang terkait langsung volume atau nilai hasil penjualan barang atau produk jasa, dan harus menjadi pendapatan utama mitra usaha dalam PLBS.
Ketentuan hukum dalam Fatwa ini menunjukkan bahwa dalam Penjualan
Langsung Berjenjang Syariah yang dijadikan pendapatan utama mitra usaha
adalah komisi, tidak disebutkan bahwa bonus menjadi pendapatan utama.
a. Imbalan ju 'alah (reward/’iwadh/ju'l) harus ditentukan besarannya oleh ja'il dan diketahui oleh anggota pada saat pendaftaran;
b. Imbalan ju 'alah yang diberikan kepada anggota harus berasal dari komponen biaya paket perjalanan umrah yang telah diakui dan dibukukan sebagai pendapatan perusahaan dan/atau dari kekayaan perusahaan;
c. Imbalan ju 'alah harus digunakan seluruhnya atau disisihkan sebagiannya untuk biaya keberangkatan umrah, guna menghindari penyimpangan tujuan mengikuti PLBS, yaitu melaksanakan umrah (bukan bertujuan untuk mendapatkan imbalan semata);
Hukum positif di Indonesia mengatur besaran kompensasi bisnis penjualan
langsung berjenjang dalam BAB II Persyaratan Kegiatan Usaha Perdagangan
dengan Sistem Penjualan Langsung Pasal 3:
Jumlah komisi dan/atau bonus atas penjualan yang dibagi kepada seluruh Mitra Usaha dan jaringan pemasaran di bawahnya paling banyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah penjualan barang dan/atau jasa Perusahaan kepada Mitra Usaha.
Pasal ini menekankan bahwa perusahaan harus membatasi pemberian
komisi dan/atau bonus kepada mitra usahanya dengan batasan maksimal 40%
dari jumlah penjualan produk perusahaan yang bertujuan untuk melindungi
perusahaan dari pembayaran berlebih. Kenyataannya tujuan peraturan ini
tidaklah dinilai sama oleh perusahaan, seperti hasil wawancara dengan
perusahaan K-Link yang menyatakan bahwa perusahaan yang ingin
58
mengembangkan bisnisnya justru jangan dibatasi pada 40%, pembatasan ini
menimbulkan ketidakadilan dengan penjualan yang dilakukan secara
konvensional yang tidak memberikan batasan seperti itu.9
Implementasi besaran kompensasi Penjualan Langsung Berjenjang pada
Perusahaan Penjualan Langsung Berjenjang Syariah dapat dilihat salah satunya
pada PT. K-Link Nusantara. Walaupun di kiri hanya satu downline tapi kanan
ada dua atau tiga downline, perusahaan tetap memberi bonus kepada member
sesuai penjualan member. Bonus diberikan ke setiap downline sesuai dengan
marketing plan tanpa menambah maksimal bonus yang dibagikan.
Bentuk lain dari kompensasi yang diberikan kepada member adalah adanya
point reward. K-Link tidak memberikan reward yang mewah-mewah, namun
memberikan point reward yang bisa digunakan untuk biaya perjalanan umroh.
Adapun Marketing Plan K-Link terdiri dari:
1. PLAN A K-LINK Plan A K-Link = 74 % (10 Insentif Istimewa) a. Bonus Kepemimpinan 28% b. Bonus Kepemimpinan 30% c. Dana S.R.E.D. 3% d. Dana Crown 1% e. Dana Crown Ambassador 2% f. Dana Senior Crown Ambassador 1% g. Dana Royal Crown Ambassador 1% h. Dana Rumah/ Mobil 3% i. Bonus Akhir Tahun 3% j. Liburan Ke Luar Negeri 2%
2. PLAN B K-LINK
a. Dynamic Fund 9% b. Initiative Plan 30% c. Unilevel 18% (9 Level) d. Global Bonus Sharing 15%
9 Hasil Wawancara dengan PT K Link pada Senin 13 Nopember 2017
59
Member baru yang tidak melakukan penjualan apapun maka upline nya
juga tidak akan mendapatkan bonus dan atau komisi apapun. Bonus yang
dibagikan saat perekrutan member juga tidak sesuai dengan Fatwa DSN MUI.
Harapannya, agar adanya perlakuan yang adil terhadap perusahaan Penjualan
Langsung Berjenjang, contohnya harga produk air mineral yang dijual secara
“konvensional” di warung, supermarket, hotel dibolehkan berbeda-beda
harganya, seperti di warung Rp.3000, di supermarket Rp.4000, di hotel bisa
mencapai Rp.20000. Namun, perusahaan Penjualan Langsung Berjenjang yang
banyak menyerap tenaga kerja justru pemberian bonus dan atau komisinya
dibatasi maksimal 40 persen dan tidak boleh lebih. Hal ini berbeda dengan
penjualan dengan sistem “konvensional” seperti yang dicontohkan di atas.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan berpandangan bahwa pengaturan
jumlah komisi dan/atau bonus sebenarnya untuk melindungi perusahaan dari over
pay yang akan menyebabkan tidak sehatnya keuangan perusahaan.10 Perspektif
yang berbeda inilah yang perlu ditarik jalan tengahnya, perlu dibicarakan
bersama secara langsung antara perusahaan dan pemerintah, terlihat kontroversi
bahwa pemerintah menentukan batas maksimal 40 % dengan tujuan melindungi
perusahaan, namun perusahaan penjualan langsung berejenjang syariah (sebagai
contoh, PT. K Link Nusantara) menganggap bahwa aturan ini justru mengekang
mereka karena bisnis penjualan tradisonal (yaitu tanpa berjenjang) tidak dibatasi
keuntungannya, hanya kekuatan pasar yang menentukan, intervensi dilakukan
jika pasar menolak harga produk tersebut yang dinilai tinggi, namun penjualan
langsung berjenjang dibatasi oleh pemerintah secara langsung sehingga
perusahaan tidak bisa memberikan bonus melebihi 40 persen dari keuntungan
perusahaan.
10Hasil Wawancara dengan Bapak Roni, Direktorat Bina Usaha dan Pelaku Distribusi, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan RI, pada Senin 13 Nopember 2017 Pk. 09.45-10.30 WIB
BAB IV
PENGATURAN SISTEM KOMPENSASI BISNIS
PENJUALAN LANGSUNG BERJENJANG SYARIAH
A. Antisipasi Jaringan Pemasaran Terlarang
Undang-undang terkait dengan praktik Money Game berbasis Penjualan
Langsung Berjenjang yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan. Praktik Money Game dalam Penjualan Langsung Berjenjang
legalitasnya diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI No.32/M-
DAG/PER/8/2008 tentang Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem
Penjualan Langsung serta perubahannya yaitu Permendag No.47/M-
DAG/9/2009.
Banyak Perusahaan Penjualan Langsung Berjenjang yang mengaku
sebagai Perusahaan Penjualan Langsung Berjenjang Syariah, namun
kenyataannya perusahaan-perusahaan tersebut belum mendapatkan Sertifikat
Kelayakan Syariah sebagai Perusahaan Penjualan Langsung Berjenjang Syariah.
Berikut ini daftar Perusahaan Penjualan Langsung Berjenjang Syariah yang telah
mendapatkan sertifikat DSN-MUI:
NO LEMBAGA PRODUK NO SURAT KEPUTUSAN
1 PT Veritra Sentosa Internasional
Layanan Pembayara Multiguna
010.57.01/DSN-MUI/VIII/2017
2 PT Momen Global Internasional Nutrisi Kesehatan 006.53.01/DSN-
MUI/VII/2017
3 PT UFO Bisnis Kemitraan Bersama
Produk Kesehatan 003.50.01/DSN-MUI/I/2017
4 PT K-Link Nusantara Produk Kesehatan 002.49.01/DSN-MUI/I/2017
5 PT Nusantara Sukses Selalu Produk Kesehatan 003.40.01/DSN-
MUI/III/2016
6 PT Singa Langit Jaya (TIENS) Produk Kesehatan 003.38.01/DSN-
MUI/II/2016
60
61
7 PT HPA Indonesia Produk Kesehatan 002.36.01/DSN-MUI/IV/2015
Sumber: https://dsnmui.or.id/daftar-perusahaan-penjualan-langsung-berjenjang-syariah/
Penelitian ini dilakukan pada salah satu perusahaan Penjualan Langsung
Berjenjang Syariah yaitu PT K-Link Nusantara. K-Link International didirikan
pada tahun 2001, sementara K-LINK telah berada di Indonesia sejak tahun 2002
dan menyediakan produk-produk penunjang kesehatan. Member PT K-Link
Nusantara mendapatkan keuntungan langsung sebesar ±20 % dari penjualan
produk yang dilakukan member.
Sistem pemasaran dan pembagian bonus yang dipakai PT K-Link adalah
break away, yaitu member berhak merekrut dengan kelebaran yang tak terbatas.
K-Link memakai sistem break away karena memberi kebebasan kepada para
member untuk membangun jaringan, seperti matahari namun ada pembatasan.1
PT K-Link Nusantara turut serta mensosialisasikan aturan tersebut kepada para
member melalui Marketing Plan PT K-Link. Marketing Plan tersebut sudah
sesuai dengan Fatwa DSN MUI serta Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor
32/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan
dengan Sistem Penjualan Langsung.
Perusahaan yang menggunakan sistem piramida atau jaringan pemasaran
yang terlarang oleh peraturan telah menjadikan pemasaran penjualan langsung
berjenjang menjadi buruk di pandangan masyarakat. Pandangan sebagian besar
masyarakat tentang Penjualan Langsung Berjenjang masih negatif. Disinilah
perjuangan K Link maupun seluruh anggota APPLI untuk terus memperjuangkan
agar Penjualan Langsung Berjenjang ini bisa diterima masyarakat Indonesia
sehingga sama seperti di luar negeri, seperti Amerika dan Malaysia yang
perkembangannya sudah lumayan bagus. Pelaku usaha Penjualan Langsung
1Hasil wawancara dengan Bapak Bayu Riono (Bagian Legal PT K.Link Nusantara) pada pada
Senin 13 Nopember 2017 Pk. 13.00-15.00 WIB
62
Berjenjang Syariah yang melakukan penipuan, money game, ataupun
pelanggaran lainnya akan dilaporkan oleh DPS perusahaan tersebut kepada DSN
MUI dan akan diproses sesuai prosedur.
Kementerian Perdagangan senantiasa berkoordinasi secara aktif melalui
Satgas Waspada Investasi, yang di dalamnya terdapat 6 (enam)
Kementerian/Lembaga lintas sektoral lainnya, terutama dalam hal pencegahan
penghimpunan dana masyarakat dan pengelolaan investasi yang berkedok
Penjualan Langsung. Adapun untuk Penjualan Langsung Syariah, saat ini belum
diatur oleh Kementerian Perdagangan.
Kementerian Perdagangan bersama Asosiasi Penjualan Langsung
Indonesia (APLI) bersinergi dalam hal mengawal kesesuaian Marketing Plan dan
Kode Etik Perusahaan terhadap Permendag 32/2008 pada tahap presentasi
penerbitan SIUPL. Selain itu, dalam keadaan tertentu (jika diperlukan)
melakukan pembianaan secara bersama.
Kemendag sangat bermitra dengan APLI dalam rangka menciptakan
perdagangan direct selling yang sesuai aturan untuk menghindari money game
atau skema piramida. APLI berfungsi sebagai Pembina Anggota. Kemendag juga
melakukan sosialisasi dalam rangka penerbitan SIUPL dimana perusahaan
memberikan presentasi didepan ketiga pihak yaitu BKPM, Kemendag dan APLI.
Penentuan diterima atau tidaknya permohonan penerbitan SIUPL suatu
perusahaan terletak pada keputusan pemerintah, namun Kemendag membuka
ruang kepada APLI untuk memberikan saran serta masukan. Rapat rutin
Kemendag dengan APLI diadakan setiap minggu dalam rangka membahas
perusahaan-perusahaan yang sudah mendapatkan SIUPL, kemudian silaturahmi
antar lembaga diadakan minimal setahun dua kali. Hubungan informal juga
sering terjalin untuk membicarakan seputar Penjualan Langsung Berjenjang.
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan berperan
secara efektif terhadap para pelaku usaha Penjualan langsung begitu juga
sebaliknya terhadap usaha berkedok Penjualan langsung (Ponzi, Piramida,
63
Money Game). Dapat dikatakan efektif selama perusahaan memang benar
menerapkan Marketing Plan yang telah diterima oleh Kementerian Perdagangan,
BKPM, dan APLI ketika melakukan presentasi permohonan penerbitan SIUPL.
Sesuai pasal 105 Undang-undang 7 Tahun 2014 menyebutkan bahwa
Pelaku Usaha Distribusi yang menerapkan sistem skema piramida dalam
mendistribusikan Barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 10.000.000.000
(sepuluh miliar rupiah).
Pasal 106 Undang-Undang 7 Tahun 2014 Pelaku Usaha yang melakukan
kegiatan usaha Perdagangan tidak memiliki perizinan di Bidang Perdagangan
yang diberikan oleh Menteri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000 (sepuluh
miliar rupiah).
Bentuk sanksi yang diberikan sesuai dengan aturan yang ada.
Pelanggaran yang dilakukan perusahaan diantaranya melakukan skema piramida.
Skema Piramida disini diartikan sebagai jumlah bonus yang melebihi ambang
batas 40 persen. Total bonus maupun komsi yang dibayarkan perusahaan
maksimal 40 persen setelah pajak.
Perusahaan harus mempresentasikan marketing plan nya, jika lebih dari
40% maka ditolak dan Kemendag akan meminta perusahaan untuk merubahnya.
Jika implementasi pemberian bonus dan atau komisi tidak sesuai dengan
marketing plan yang telah disetujui Kemendag, maka Kemendag akan
bekerjasama dengan Polisi dan Satgas Waspada Investasi untuk menyelidiki.
Langkah yang dilakukan yaitu pemanggilan untuk klarifikasi langsung ke
perusahaan, jika perusahaan dinyatakan khilaf maka perusahaan tersebut masih
bisa dibina, namun jika pelanggarannya dinilai berat maka akan diproses secara
jalur hukum. Kemendag punya dua penyidik yaitu Penyidik PNS dan Penyidik
Umum. Pembinaan dan pengawasan dilakukan secara berkala maupun kejut
dengan cara melakukan kunjungan lapangan ke perusahaan maupun
64
menggunakan sarana media yang dibutuhkan (on line, aduan masyarakat, dan
lain-lain).2
B. Aspek Pelarangan Ighra’
Ketentuan mengenai Imbalan (Ju'l) dalam Fatwa DSN MUI Nomor:
83/DSN-MUI/VI/2012 Tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah Jasa
Perjalanan Umrah dinyatakan bahwa “Imbalan ju'alah yang dijanjikan oleh
perusahaan kepada anggota tidak menimbulkan ighra';”.
Ketentuan Umum dalam Fatwa DSN-MUI tentang Ighra, menyebutkan
Ighra merupakan daya tarik luar biasa yang menyebabkan orang lalai terhadap
kewajibannya demi melakukan hal-hal atau transaksi dalam rangka memperoleh
bonus atau komisi yang dijanjikan. Posisi seorang jika sudah terikat dalam akad
penjualan langsung berjenjang syariah tidak lepas dari dua posisi yaitu yang
pertama (1) sebagai pembeli langsung/konsumen dengan akad Bai’, kedua (2)
sebagai makelar dengan akad wakalah bil ujrah.
Pembeli langsung manakala manakala orang tersebut melakukan transaksi
pembelian secara langsung baik kepada perusahaan maupun melalui distributor
atau pusat stock. Sedangkan disebut makelar karena dia telah menjadi perantara,
melalui perekrutan yang telah dia lakukan bagi orang lain untuk menjadi anggota
dan membeli produk perusahaan tersebut. 3 terkadang seorang makelar (syimsar)
dalam memasarkan produk untuk mendapatkan sebuah bonus atau komisi dengan
memberikan motivasi berlebih atau janji-janji manis kepada orang lain untuk
mau bergabung menjadi anggota mlm yang dimna motivasi atau janji-janji
2Hasil Wawancara dengan Bapak Roni, Direktorat Bina Usaha dan Pelaku Distribusi,
Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan RI, pada Senin 13 Nopember 2017 Pk. 09.45-10.30 WIB
3Journal ASAS, Vol.3, No.1, Januari 2011, Moh. Bahruddin, Multi Level Marketing (MLM) Dalam Perspektif Hukum Islam, hlm. 67-68.
65
tersebut mengarah kepada sesuatu hal penipuan dan gharar dan maisir kepada
orang lain.
Selain itu juga yang perlu dicatat adalah bahwa pola pemasaran dengan
menggunakan sistem penjualan langsung berjenjang berpotensi menimbulkan
propaganda penjualan langsung berjenjang itu sendiri. Terdapat beberapa aspek
pelarangan ighra dalam sistem MLM sebagai berikut :
1. MLM dikenalkan sebagai bisnis yang menawarkan kesempatan yang lebih
baik untuk mendapatkan banyak keuntungan dibandingkan dengan bisnis
maupun pekerjaan lain. Padahal hampir semua orang yang menanamkan
uangnya pada bisnis MLM berakhir dengan hilangnya uang. Kurang dari
1% distributor MLM mendapatkan laba, dan mereka yang mendapatkan
pendapatan seumur hidup dalam bisnis ini persentasenya jauh lebih kecil
lagi.
2. Suatu saat nanti semua produk diklaim akan dijual dengan model MLM.
Para pengecer, mall, katalog, dan sebagian besar pengiklanan akan mati
karena MLM. MLM tidak akan menggantikan cara-cara pemasaran yang
sekarang ada. MLM sama sekali tidak bisa menyaingi cara-cara pemasaran
yang lain. Namun yang lebih pasti, MLM melambangkan program investasi
baru yang meminjam istilah pemasaran dan produk. Produk MLM yang
sesungguhnya adalah keanggotaan (menjadi distributor) yang dijual dengan
cara menyesatkan dan membesar-besarkan janji mengenai pendapatan.
3. MLM dinilai sebagai gaya hidup baru yang menawarkan kebahagiaan dan
kepuasan. MLM merupakan cara untuk mendapatkan segala kebaikan
dalam hidup. Perlu diperhatikan lagi bahwa daya tarik paling menonjol dari
industri MLM adalah melalui presentasi penarikan anggota baru.
4. Perusahaan MLM akan memotivasi mitra usahanya di waktu luang sesuai
kesempatan masing-masing karena sebagai sebuah bisnis, MLM
menawarkan fleksibilitas dan kebebasan mengatur waktu. Beberapa jam
seminggu dapat menghasilkan tambahan pendapatan yang besar dan dapat
66
berkembang menjadi sangat besar sehingga tidak perlu lagi bekerja yang
lain.
5. MLM dianggap bisnis baru yang positif dan suportif mendukung yang
memperkuat jiwa manusia dan kebebasan pribadi. Profesi, perdagangan,
dan usaha konvensional terus-menerus dikecilkan artinya karena tidak
menjanjikan (penghasilan tak terbatas). Menjadi karyawan adalah sama
dengan perbudakan bagi mereka yang kalah. MLM dinyatakan sebagai
tumpuan terbaik terakhir bagi banyak orang.
6. MLM dianggap sebagai pilihan terbaik untuk memiliki bisnis sendiri dan
mendapatkan kemandirian ekonomi yang nyata. Perlu dipertimbangkan
kembali secara matang bahwa MLM bukanlah self-employment (usaha
mempekerjakan sendiri) yang sejati.
7. MLM sering menolak dianggap sebagai program piramid karena adanya
produk (barang) yang dijual dan bukan money game. Perlu diamati bahwa
penjualan produk sama sekali bukan penangkal bagi MLM untuk lolos dari
undang-undang anti program piramid, juga bukan jawaban atas tuduhan
tentang praktek perdagangan yang tidak sehat (unfair) sebagaimana
dinyatakan dalam undang-undang negara bagian maupun federal di
Amerika. MLM bisa menjadi bisnis yang legal jika sudah memenuhi
prasyarat tertentu yang sudah ditetapkan.4
4Moh. Bahruddin, Multi Level Marketing (MLM) Dalam Perspektif Hukum Islam, Journal
ASAS, Vol.3, No.1, Januari 2011, h. 67-68, Lihat juga: Robert L. Fitzpatrick dan Joyce K. Reynolds, False Profits: Seeking Financial and Spiritual Deliverance in Multi-Level Marketing and Pyramid Schemes, Herald Press Charlotte. Paper Back, 1991
67
Kompensasi agar terhindar dari ighra’ maka dalam penentuan
kompensasinya harus mencakup dua hal sebagai berikut:
1. Nilai Kerja.
Menyamakan kedua orang yang berbeda adalah kezaliman sebagaimana
pembedaan antara dua orang yang sama. Penjualan langsung berjenjang
tidak boleh memberikan kompensasi kepada mitra usaha dengan
menyamakan jumlahnya antara mitra usaha satu dengan lainnya tanpa
melihatkan hasil capaian penjualan. Pengaturan tentang ini sudah diatur
jelas dalam Fatwa DSN MUI maupun Peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
2. Kebutuhan Pekerja.
Pekerja yang dimaksud dalam bahasan ini adalah mitra usaha perusahaan.
Kompensasi tidak boleh terlalu kecil yang bisa mengakibatkan kebutuhan
mitra usaha dipenuhi dengan di bawah standar, namun juga tidak
berlebihan sehingga menimbulkan Ighra’.
Cara pemasaran dan penjualan yang buruk menjadi penyebab utama
kegagalan bisnis penjualan langsung berjenjang. DPS perlu lebih mengawasi
bonus maupun komisi yang ditawarkan perusahaan PLBS dan penerapannya
kepada para mitra usaha. Jangan sampai bonus maupun komisi tersebut
menjadikan mitra usahanya lalai dan menimbulkan ighra’.
C. Prinsip Keadilan dan Larangan Eksploitasi
Sistem pembagian imbalan ju'alah bagi anggota pada setiap
peringkat/level harus mengacu pada prinsip keadilan dan menghindari unsur
eksploitasi. Pembagian bonus antara anggota pertama dengan anggota berikutnya
dituntut atas dasar keadilan. Asas keadilan dalam akad berkaitan erat dengan asas
kesamaan, meskipun keduanya tidak sama, dan merupakan lawan dari kezaliman.
68
Salah satu bentuk kezaliman adalah mencabut hak-hak kemerdekaan orang lain,
dan/ atau tidak memenuhi kewajiban terhadap akad yang dibuat.5
Pengaturan keadilan dalam penjualan langsung berjenjang syariah dalam
Fatwa DSN MUI No : 75/DSN MUI/VII/2009 Tentang Pedoman Penjualan
Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) tertuang dalam ketentuan umumnya yaitu
“Tidak ada eksploitasi dan ketidakadilan dalam pembagian bonus antara anggota
pertama dengan anggota berikutnya.” Penjualan Langsung Berjenjang yang benar
adalah yang harus bisa memberikan jaminan bahwa downline paling bawah akan
bisa mendapatkan imbal hasil yang sama upline nya jika ia berhasil melakukan
distribusi produk walaupun downline tersebut tidak lagi memiliki downline.
Pengaturan bahwa mitra usaha tidak berhak memperoleh komisi atau bonus atas
keberadaan downline tersebut jika mitra usaha tidak berhasil memenuhi kuota
penjualan dalam jumlah dan waktu yang ditentukan ataupun anggota paling awal
tidak berhasil melakukan penjualan dengan kuota tertentu, maka dia tidak berhak
memperoleh komisi atau bonus adalah suatu prinsip keadilan.
Keadilan dan eksploitasi ini saling mengikat erat. Keadilan dalam
penentuan besaran kompensasi akan menghindarkan penjualan langsung
berjenjang dari unsur eksploitasi mitra usahanya. Secara teori, asas penting untuk
diterapkan dalam pemberian kompensasi, yaitu:
a. Asas keadilan
Asas keadilan memberikan adanya konsistensi imbalan bagi para
karyawan yang melakukan tugas dengan bobot yang sama. Fatwa DSN
MUI No : 83/DSN-MUI/VI/2012 Tentang Penjualan Langsung Berjenjang
Syariah Jasa Perjalanan Umrah juga menekankan prinsip keadilan dalam
pemberian kompensasi , disebutkan bahwa:
5Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, Cet.2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),h.20
69
Sistem pembagian imbalan ju'alah bagi anggota pada setiap peringkat/level harus mengacu pada prinsip keadilan dan menghindari unsur eksploitasi;
Pengaturan kompensasi dalam Fatwa DSN MUI sudah mencantumkan
pentingnya prinsip keadilan dalam pembagian bonus antara anggota pertama
dengan anggota berikutnya, artinya setiap mitra usaha diberikan kompensasi
sesuai hasil usaha penjualannya masing-masing. Sementara dalam Peraturan
Perundang-undangan hanya menyatakan bahwa pemberian komisi, bonus, dan
penghargaan lainnya berdasarkan hasil kegiatan penjualan barang dan/atau
jasa yang dilakukan oleh mitra usaha dan jaringannya sesuai dengan yang
diperjanjikan, jadi letak keadilannya pada hitungan berdasarkan hasil kerja
nyata, sesuai volume atau nilai hasil penjualan barang dan/atau jasa, baik
secara pribadi maupun jaringannya. KUHPerdata Pasal 1601q menyatakan
pula bahwa:
Jika dalam perjanjian atau reglemen tidak ditetapkan jumlah upah oleh
kedua belah pihak, maka buruh berhak untuk memperoleh upah sebanyak
upah yang biasa di tempat itu bagi pekerjaan yang serupa dengan
pekerjaannya. Jikalau kebiasaan seperti ini tidak ada di tempat itu, maka upah
itu harus ditentukan dengan mengingat keadaan, menurut keadilan.
b. Asas Kelayakan dan Kewajaran
Kompensasi yang wajar berarti besaran kompensasi harus
mempertimbangkan faktor-faktor seperti prestasi kerja sementara tolak ukur
layak adalah relatif, tetapi besaran minimal kompensasi yang akan diberikan
oleh perusahaan harus mengacu kepada aturan. Peraturan Menteri
Perdagangan RI Nomor 32/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung sudah
70
mengatur besaran yang layak dan wajar bagi kompensasi bisnis penjualan
langsung berjenjang dengan menyatakan bahwa jumlah komisi dan/atau bonus
atas hasil penjualan yang diberikan kepada seluruh mitra usaha dan jaringan
pemasaran di bawahnya paling banyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah
nilai penjualan barang dan/atau jasa perusahaan kepada mitra usaha.
Fatwa DSN MUI tidak menentukan prosentase kompensasi bisnis ini,
namun membatasi bahwa imbalan atau ju'alah yang dijanjikan oleh perusahaan
kepada anggota tidak boleh sampai menimbulkan ighra'. Imbalan ju 'alah yang
diberikan oleh perusahaan kepada anggota, baik besaran maupun bentuknya,
harus berdasarkan pada hasil prestasi yang dilakukan anggota sebagaimana
tertuang dalam akad. Namun demikian, aturan dalam Peraturan Menteri
Perdagangan RI Nomor 32/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung diatas juga
harus diikuti oleh perusahaan penjualan langsung berjenjang yang menjalankan
usahanya sesuai syariah.
Bonus harus jelas jumlahnya ketika dilakukan transaksi (akad) sesuai
dengan target penjualan barang dan atau produk jasa yang ditetapkan oleh
perusahaan. Mitra usaha yang hendak mendaftarkan dirinya sebagai mitra usaha
dari perusahaan Penjualan Langsung Berjenjang harus mengetahui terlebih
dahulu Sasaran Pemasaran (Marketing Plan) perusahaan tersebut.
Marketing Plan merinci target penjualan dan kompensasi yang akan
didapatkan oleh mitra usaha. Kompensasi dalam bentuk bonus inilah yang harus
jelas perhitungannya dan sesuai dengan batas yang ditentukan dalam peraturan
Perundang-Undangan. Batas disini dimaksudkan bahwa tidak diperbolehkan
adanya eksploitasi. Fatwa ini melarang eksploitasi dalam pembagian bonus.
71
Prinsip keadilan dalam perekonomian Islam sebagai berikut:
a. Prinsip Keadilan: Perbedaan Pendapatan dan Pemerataan Kesempatan.
Perbedaan pendapatan berdasarkan keahlian dan kerja keras mereka.
Jika kita memberikan kesempatan kepada dua orang untuk bekerja di satu
bidang, lalu salah satunya tekun, baik, membuktikan kegiatan dan
kemampuannya, sedangkan yang lainnya malas, dan lemah produktivitasnya,
maka adalah termasuk kezhaliman jika kita menyamakan dalam segala segi
antara kedua orang tersebut.6
b. Perbedaan secara adil yang diperbolehkan adalah pembedaan yang
didasarkan pada ilmu, amal, dan penunaian secara baik (ihsan).7 Hal ini akan
mengakibatkan pada perbedaan pendapatan.
Pemerataan kesempatan dalam hal ini berarti semua manusia harus
mendapatkan hak yang sama dalam hidup, memiliki, belajar, bekerja,
berobat, kelayakan hidup, dan jaminan keamanan dari bencana alam. Selama
semua orang sama dalam arti kemanusiaan, maka pembedaan antara satu
individu dengan individu lain atau satu kelompok dengan kelompok lain
adalah suatu kezaliman yang tidak beralasan sama sekali, Karena hal itu
berarti pembedaan antara dua pihak yang sama dalam berbagai segi.
c. Prinsip Keadilan: Memenuhi Hak Para Pekerja
Pemenuhan hak pekerja harus menggunakan tolak ukur keadilan dalam
memberikan upah dan gaji kepada seorang buruh tanpa dikurangi atau
ditunda-tunda. Buruh harus diberikan upahnya sebelum keringatnya
mengering.
6Yusuf Qardhawi, Peran Nilai Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani Press,
2001), h.398 7Yusuf Qardhawi, Peran Nilai Moral dalam Perekonomian Islam …h.399
72
Wajib memberikan upah buruh setelah selesai bekerja jika ia meminta,
meskipun ia tidak berkeringat atau berkeringat namun sudah kering. Seorang
buruh yang telah menunaikan pekerjaannya adalah lebih berhak dan lebih
pantas mendapatkan upahnya dengan segera karena upahnya adalah harga
kerjanya bukan harga barangnya.
d. Prinsip Keadilan: Takaful (Kesetiakawanan Sosial) yang Menyeluruh
Prinsip keadilan yang dimaksud disini adalah mewajibkan masyarakt untuk
tidak membiarkan kaum lemah ditindas oleh kaum yang kuat dan
mewajibkan masyarakat untuk membimbing kaum lemah agar menjadi kuat
dan mandiri. Jaminan sosial dalam Islam berupaya untuk memenuhi taraf
kebutuhan bidup yang cukup. Zakat tampil sebagai sumber pendapatan
pokok untuk merealisasikan jaminan hidup ini.
Prinsip keseimbangan perlu diterapkan dalam pembagian bonus untuk
menghapus kemungkinan adanya eksploitasi. Hubungan antara perusahaan dan
karyawan pun harus seimbang, hubungan ini merupakan hubungan simbiosis
mutualisme dalam artian hidup bersama yang saling menguntungkan. Hubungan
keduanya seperti hubungan antara pihak penjual dan pembeli di pasar dengan
proses pertukaran dimana karyawan menjual jasa/ tenaganya sementara
perusahaan sebagai pembeli jasa yang memberikan kompensasi, sehingga
terpenuhi kebutuhan keduanya.8
Pemisahan kompensasi penjualan langsung berjenjang dari prinsip tauhid
sama artinya dengan memberi peluang lahirnya perilaku penyimpangan norma
dan etika bisnis serta perilaku eksploitasi pendapatan yang membuka peluang
untuk menumpuk kekayaan dengan jalan yang pintas. Pihak yang kuat dalam
8 Edy Sutrisno, M.Si, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Prenada Media, 2016),
h.198
73
akad (kontrak) tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pihak yang lemah dan
memberikan kepadanya upah di bawah standar.
Keadilan adalah salah satu kata yang memang susah untuk didefinisikan
secara komprehensif dan rinci, tetapi dapat dirasakan dan dilihat dampaknya
secara nyata. Keadilan tentu saja tidak sama dengan kesamarataan, karena
keadilan menuntut adanya keseimbangan pada setiap sisi kehidupan dengan
pertimbangan-pertimbangan yang logis, masuk akal dan memenuhi hasrat
kepuasan batin yang sehat.9 Keadilan itu tidak berarti semuanya harus sama,
tetapi saling memiliki keterkaitan satu sama lain. Antara kebutuhan dan sarana,
antara kewajiban dan hak serta hubungan pemilik kekuasaan dan rakyat yang
perlu adanya hubungan yang integral.
Pemberi kerja tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan darurat buruh untuk
membeli jerih payah dan cucuran keringatnya dengan upah yang sangat minim
yang tidak dapat menggemukkan dan tidak dapat menghilangkan lapar.10
Kementerian Perdagangan melakukan diseminasi dan FGD Permendag 32/2008
kepada pelaku usaha maupun pemangku kepentingan terkait secara berkala untuk
menerima masukan mengenai perkembangan sektor usaha Penjualan Langsung.
Sosialisasi peraturan-peraturan tersebut dilakukan kepada tiga pihak,
yaitu:
1.) Sosialisasi kepada Aparat yang terdiri dari Pemerintah Daerah, Polisi,
Kejaksaan serta Instansi Terkait.
2.) Sosialisasi kepada Pengusaha. Sosialisasi ini bekerjasama dengan APLI
Sosialisasi kepada masyarakat
9Nurdin, Konsep Keadilan dan Kedaulatan Dalam Persepektif Islam dan Barat, Journal Media
Syariah, Vol.XIII No.1 Januari-Juni 2011, h.121-122 10Yusuf Qardhawi, Peran Nilai Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani Press,
2001), h.405
74
PT K-Link memberikan tindakan sesuai Kode Etik bagi para distributor
atau member yang melanggar aturan yang ditetapkan, mulai dari pembekuan
keanggotaaan, pencabutan keanggotaan bahkan tuntutan pidana. Semua sanksi
tercantum pada Kode Etik. Penerapan fatwa di masing-masing perusahaan
diawasi oleh DPS. Sejauh ini fatwa tersebut berjalan efektif karena DSN MUI
belum menerima persoalan yang dilaporkan oleh DPS terkait perusahaan-
perusahaan PLBS. Pengaturan Penjualan Langsung Berjenjang Syariah ke
depannya akan dikaji ulang, saat ini tim di DSN MUI sedang melakukan
pengkajian kembali tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah.
Peraturan pemerintah juga perlu direvisi. Pertama, karena Permendag RI
Nomor: 32/M-DAG/PER/8/2008 sudah tidak update. Pada masa ini, walaupun
pemasaran secara direct selling tapi perusahaan juga menggunakan sistem online.
Kedua, perlu dipertegas ciri-ciri umum skema piramida, sehingga jika ada
perusahaan sudah terindikasi seperti itu maka Kemendag bisa memberikan sanksi
kepada perusahaan. Saat ini hanya ada pembatasan pada pemberian bonus dan
atau komisi yang dibatasi 40 persen yang pada umumnya perusahaan dapat
dengan mudah memenuhinya, namun mengenai harga jual produk bisa dibuat
tidak wajar oleh perusahaan. Sebenarnya, peraturan Penjualan Langsung
Berjenjang sedang dalam proses revisi, namun tidak dapat dipastikan kapan
peraturan tersebut akan dikeluarkan.
Setiap peraturan perundangan akan dilakukan revisi apabila dinilai sudah
tidak relevan dengan kondisi sektor usaha terkait. Saat ini sedang dilakukan
proses revisi terhadap Permendag 32/2008 dimaksud. Ke depannya Pemerintah
tetap akan melakukan pengaturan atas besarnya jumlah komisi dan /atau bonus
atas hasil penjualan yang besarannya akan disesuaikan dengan kondisi saat itu.
Pengaturan-pengaturan kompensasi di atas sudah memenuhi prinsip
bisnis perdagangan (tijarah) dalam perspektif fikih muamalah yang dapat
dijadikan dasar pengembangan aktifitas transaksi bisnis dan perekonomian
modern. Penjualan Langsung Berjenjang Syariah yang diatur dalam fatwa DSN
75
MUI dan juga Peraturan Perundang-undangan di Indoensia telah mendorong
masyarakat untuk memperoleh kesuksesan hidup bahkan menganjurkan mereka
agar tidak hanya mampu mencukupi kebutuhan hidup melainkan juga dapat
meraih “yang lebih”. Bisnis penjualan langsung berjenjang syariah juga
menggunakan prinsip kehalalan jual-beli dan keharaman riba dalam bisnisnya,
produknya harus yang sudah disahkan kehalalannya oleh BPOM MUI, dan
marketing plan sesuai dengan ketentuan Fatwa DSN MUI.
Prinsip tijarah juga terkandung dalam aturan ini karena kegiatan bisnis
penjualan langsung berjenjang syariah ini tidak hanya dipandang sebagai aktifitas
komersial semata melainkan juga merupakan wujud dari ibadah dalam
pengertiannya yang luas, yang meliputi saling kenal mengenal dan meningkatkan
silaturahmi dan interaksi dalam pembinaan anggota yang dilaksanakan
perusahaan secara rutin. Marketing plan juga memberikan kesempatan bagi
manusia untuk berimprovisai dan berinovasi dalam mengenal sistem kompensasi,
terlebih improvisasi saat menentukan besaran kompensasi yang didapat mitra
usaha dengan berbagai bentuk kompensasinya.
Bisnis perdagangan yang dilakukan dalam bentuk apapun harus
senantiasa memenuhi rukun jual-beli serta akhlak yang baik. Fatwa DSN MUI
sudah menentukan aturan tentang akad penjualan langsung berjenjang syariah,
diantaranya Ketentuan mengenai Perusahaan (Mu'jir), Ketentuan mengenai
Anggota (Musta'jir), Ketentuan mengenai Obyek Akad (Mu'jar) dan Ketentuan
mengenai Imbalan (Ju'l).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia terkait Penjualan Langsung
Berjenjang dan Fatwa DSN-MUI tentang Penjualan Langsung Berjenjang
Syariah selaras dalam mengatur sistem kompensasi bisnis penjualan langsung
berjenjang agar sistem terhindar dari praktik money game, skema piramida dan
unsur penipuan. Perbedaan diantara kedua aturan tersebut adalah dalam hal
penetapan besaran kompensasi. Pemerintah mengatur bahwa Perusahaan
Penjualan Langsung Berjenjang harus membatasi pemberian komisi dan/atau
bonus kepada mitra usahanya dengan batasan maksimal 40% (empat puluh
persen) dari jumlah nilai penjualan barang dan/atau jasa perusahaan kepada mitra
usaha. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mendapatkan sanksi dari
pemerintah sesuai aturan yang ada dalam Permendag RI. Sementara itu, Fatwa
DSN-MUI tidak menetapkan jumlahnya secara prosentase namun menekankan
pada prinsip keadilan dan larangan eksploitasi pada pemberian kompensasi.
Salah satu perusahaan Penjualan Langsung Berjenjang yang sudah
mendapatkan Sertifikasi Kelayakan Syariah yaitu PT K-Link Nusantara
cenderung mengharapkan agar penetapan batas maksimal besaran kompensasi
dikaji ulang berdasarkan kebutuhan perusahaan. Hal ini berdasarkan keinginan
perusahaan yang sebenarnya bisa memberikan komisi dan/atau bonus melebihi
prosentase yang telah ditetapkan Pemerintah. Pemerintah sendiri mempunyai
alasan bahwa penetapan prosentase tersebut justru untuk melindungi perusahaan
dari kelebihan pembayaran. Tujuan lainnya yaitu agar perusahaan tidak
menjanjikan kompensasi bisnis penjualan langsung berjenjang yang terlalu tinggi
yang dapat membuat mitra usaha lalai terhadap kewajibannya ataupun untuk
menghindari penipuan oleh perusahaan.
76
77
B. Saran dan Rekomendasi
Pengaturan tentang kompensasi bisnis penjualan langsung berjenjang
dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia hanya diatur secara umum,
belum ada peraturan khusus tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah,
berbeda dengan Perbankan Syariah maupun Asuransi Syariah yang sudah
mempunyai hukum positif. Perkembangan yang pesat akan Penjualan Langsung
Berjenjang dan banyaknya perusahaan yang menginginkan mendapat Sertifikat
Kelayakan Syariah dari DSN MUI menuntut adanya Peraturan Perundang-
undangan tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah.
Pembukaan Unit Syariah bagi Direktorat Bina Usaha dan Pelaku
Distribusi juga dibutuhkan dalam Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
karena pembinaan dan pengawasan bagi pelaku Penjualan Langsung Berjenjang
Syariah seharusnya dibedakan dengan Penjualan Langsung Berjenjang pada
umumnya. Hal ini dapat membawa implikasi positif bagi perkembangan hukum
di Indonesia dan penerapan yang lebih terarah dan tertata dalam setiap
perusahaan Penjualan Langsung Berjenjang Syariah.
Sistem Penjualan Langsung Berjenjang Syariah perlu disosialisasikan
karena banyaknya mitra usaha yang telah bergabung dalam Penjualan Langsung
Berjenjang (konvensional), apabila bisnis ini dijalankan dengan sistem
kompensasi yang sesuai dengan syariah maka akan memberikan nilai lebih dan
menambah keyakinan masyarakat yang ingin menjalankan bisnis dengan sistem
ini. Pertumbuhan perusahaan Penjualan Langsung Berjenjang Syariah telah
memberikan tambahan pilihan bagi masyarakat.
Penelitian ini hanya memberikan contoh satu perusahaan Penjualan
Langsung Berjenjang yang sudah layak dinyatakan sesuai Syariah oleh Dewan
Syariah Nasional MUI. Rekomendasi kepada penulis lain yang ingin meneliti
masalah komisi dan bonus untuk meneliti perusahaan syariah lainnya untuk
memperkaya penelitian dan membandingkan penerapan kompensasi penjualan di
masing-masing perusahaan. Penulis juga merekomendasikan agar makna komisi
78
dan bonus lebih diperjelas lagi dalam penelitian selanjutnya, sehingga dapat
dipastikan apakah kompensasi yang diberikan perusahaan kepada mitra usahanya
itu disebut sebagai komisi atau bonus atau penghargaan. Hal ini dikarenakan
perusahaan sendiri kerap menyamakan ketiga istilah di atas, padahal masing-
masing istilah akan mempunyai aturan dan dampak hukum yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Al Arif, M. Nur Rianto, Amalia, Euis, Dr., Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional, Cet.3, Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.
Al-bugha, Dr. Musthafa Dib, Fiqh Al-Mu’awadhah, Terj. Fakhri Ghafur. Buku Pintar
Transaksi Syariah Menjalin Kerja Sama Bisnis Dan Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan Panduan Islam, Jakarta: Hikmah, 2010
Amin, Ma’ruf. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: Elsas, 2008
Amin, Ma’ruf. Fatwa Produk Halal Melindungi dan Menenteramkan. Bogor: Pustaka Jurnal Halal, 2010
Abdurrahman Al-Gharyani, Ash-Shadiq. Fatwa-Fatwa Mu’amalah Kontemporer. Surabaya: Pustaka Progressif, 2014
Ahmad, Mustaq. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006 Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam
Pandangan 4 Mazhab. Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009 Coletti dan Cichelli, Increasing Sales Force Effectiveness Through the Compensation
Plan, dalam Rock ML and Berger, A (eds), The Compensation Handbook, Mc Graw-Hill, 1991
Damsar. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group,
2009 Dewi, Gemala. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2005 Djamil, Fathurrahman. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika. 2013 Fuady, Munir. Teori-Teori dalam Sosiologi Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2013 Griffin, Ricky W., terj. Sita Wardhani, Bisnis, Ed.3, Jakarta: Erlangga, 2006. Judul
Asli Business Eight Edition, Ricky W. Griffin, Ronald J. Ebert, Perason Education, Prentice Hall, 2006
79
80
Harefa, Andrias. Multi Level Marketing: Alternatif Karier dan Usaha Menyongsong
Milinium Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999 Harizan, Upaya Preventif Berkembangnya Money Game Di Indonesia, Asy-
Syar’iyyah: Jurnal Ilmu Syari’ah dan Perbankan Islam, Bangka Belitung: STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik, 2017
Hidayat, Mohamad, Drs., H.,MBA., MBL., Analisa Teoritis Normatif Multilevel
Marketing dalam Perspektif Muamalah, Jakarta : Gema Insani Press, 2003 Hosen, Muhammad Nadratuzzaman, Dr, MS, M.Ec, dkk, Dasar-Dasar Ekonomi
Islam, Jakarta: Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, 2008 Ivancevich, John M., Robert Konopaske dan Michael T. Mattesson Wibowo, terj.
Wibowo, Manajemen Kinerja, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016 Jauhari, Sofwan. MLM Syariah. Jakarta: STIU Dirosat Islamiyah Al-Hikmah, 2013 Jusmaliani, ME, dkk, Bisnis Berbasis Syariah, Jakarta: Bumi Aksara, 2008 Kadarisman, M., Dr., Manajemen Kompensasi, Jakarta: Rajawali Pers. 2016 Kotler, Philip, Armstrong, Gary. 1997. Dasar-Dasar Pemasaran. Jakarta:
Prenhallindo Kuswara. 2005. Mengenal MLM Syariah dari Halal-Haram, Kiat Berwirausaha,
sampai dengan Pengelolannya. Jakarta: Qultum Media Mardani. 2013. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana. Cet.2 Martoccchio, JJ. Strategic Compensation: a Human Resource Management
Approach, Prentice Hall, 1997 Muhammad, M.Ag, Drs., Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, Yogyakarta:
BPFE, 2004. Muhammad. Aspek Hukum dalam Muamalat, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007 Muhammad Ismail Yusanto dan M. Karebat Widjayakusuma. Menggagas Bisnis
Islami, Jakarta: GIP, 2002
81
Nasution, Mustafa Edwin, M.Sc, MAEP, Ph.D., dkk, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, Jakarta:
Rajawali Press, 2011 Qardhawi, Yusuf. 1995. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press Qardhawi, Yusuf. 2007. Halal dan Haram. Bandung: Jabal Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, Jakarta: Dana Bhakti Wahab, 2005 Rivai, Veithzal. Manajemen Sumber Daya Manusia, Ed.1, Jakarta: Rajawali Press,
2009 Serfianto, dkk, Multi Level Marketing, Money Game & Skema Piramid, Jakarta: PT
Elex Media Computindo, 2011 Soetjipto, Budi W., dkk. Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia
(Artikel-Artikel Pilihan). Yogyakarta: Amara Books, 2002 Sutedi, Adrian. Hukum Perburuhan. Jakarta: Sinar Grafika, 2009 Sutrisno, Edy, M.Si, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Prenada Media,
2016 Suwatno, Dr., M.Si, Priansa, Donni Juni, S.Pd, SE, MM, Manajemen SDM dalam
Organisasi Publik dan Bisnis, Cet.3, Bandung: CV. Alfabeta, 2013
Usmara, A, Strategi Baru Manajemen Pemasaran, Jogjakarta: Amara Book, 2003 Wibowo, Prof. Dr, SE, M.Phil, Manajemen Kinerja, Ed.5, Cet.10, Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2016. Jurnal: Arum, Imam Mas, “Multi Level Marketing (MLM) Syariah : Solusi Praktis Menekan
Praktik Bisnis Riba, Money Game”, Jurnal Muqtasid, Salatiga: Sekolah Tinggi Agama Islam, Volume 3 Nomor 1, Juli 2012
Bahruddin, Moh. Multi Level Marketing (MLM) Dalam Perspektif Hukum Islam,
Journal ASAS, Vol.3, No.1, Januari 2011
82
Huda, Choirul. 2013. “Syariah dalam Perspektif Pelaku Bisnis MLM Syariah
Ahadnet Internasional (Studi Kasus di Kota Semarang)”, Jurnal Economica, Volume IV Edisi II (November 2013)
Mardalis, Ahmad, Nur Hasanah. 2016. “Multi-Level Marketing (MLM) Perspektif
Ekonomi Islam”, Jurnal Falah, Volume I Nomor I (Februari 2016) Nurdin, “Konsep Keadilan dan Kedaulatan Dalam Persepektif Islam dan Barat”,
Journal Media Syariah, Vol.XIII No.1 Januari-Juni 2011 Tahmid Nur, Muhammad. 2015. “Kompensasi Kerja dalam Islam”, Jurnal
Muamalah, Volume V Nomor 2 (Desember 2015) Tamjis, Mohamad Fairuz, Tunggak, Buerah. 2015. “Konsep Akad Al’Ju’alah dalam
Perusahaan Multi-Level Marketing (MLM) Patuh Syariah”, Umran International Journal of Islamic and Civilization Studies. Malaysia: UTM Press
Taufiq, Muhammad. 2015. “Multi Level Marketing Perspektif Etika Bisnis Islam”,
Jurnal Rasail, Volume II Nomor 1 (Januari-Juni 2015). https://jurnalrasailstebi.almuhsin.ac.id/
Peraturan Fatwa DSN MUI Nomor: 75/DSN-MUI/VII/2009 Tentang Pedoman Penjualan
Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) Fatwa DSN MUI Nomor: 83/DSN-MUI/VI/2012 Tentang Penjualan Langsung
Berjenjang Syariah Jasa Perjalanan Umrah Garis Panduan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia Bilangan 1 Tahun 2013 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 73/MPP/Kep/3/2000 tentang
Ketentuan Kegiatan Usaha Penjualan Berjenjang KUH Perdata Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 13/M-Dag/PER/3/2006 tentang Ketentuan
dan Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Penjualan Langsung
83
Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 32/MDAG/PER/8/2008 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 22/M- DAG/PER/3/2016
Tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang Hasil Wawancara: Hasil wawancara dengan Dr. Moch. Bukhori Muslim, Lc, M.A. (Ketua Bidang Bisnis
dan Ekonomi Syariah DSN-MUI) pada tanggal 11 Januari 2018 Hasil Wawancara dengan Bapak Roni, Direktorat Bina Usaha dan Pelaku Distribusi,
Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan RI, pada Senin 13 Nopember 2017
Hasil wawancara dengan Bapak Bayu Riono (Bagian Legal PT K.Link Nusantara)
pada pada Senin 13 Nopember 2017 Internet: www.kemendag.go.ig www.apli.or.id www.dsnmui.or.id www.wikipedia.org www.finance.detik.com www.islam.gov.my
PENGATURAN KOMPENSASI PENJUALAN LANGSUNG
BERJENJANG SYARIAH (PLBS) DI INDONESIA
Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Hukum (M.H.)
Oleh
SITI SOLIHAH
NIM. 21140433100011
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018 M/ 1439 H