Pengaruh Persepsi Terhadap Integrasi Sosial Di Masyarakat

22
Pengaruh Persepsi Terhadap Integrasi Sosial di Masyarakat (analisis tentang pandangan umum warga gendeng dan warga papua) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai bangsa yang besar, kita memiliki sejarah panjang perjuangan sampai pada titik kemerdekaan yang kita miliki sekarang ini. Sejarah telah mencatat bahwa perjuangan bangsa kita ini tidak hanya diperjuangkan oleh etnis tertentu saja yang ada di Indonesia, melainkan berbagai etnis yang bersatu demi cita-cita bersama agar jauh dan terbebas dari penjajahan bangsa asing. Cita-cita bersama itulah yang menjadi salah satu landasan dan semangat juang bangsa ini untuk bersatu dan mendeklarasikan diri sebagai bangsa yang merdeka. Kemudian lambat laun negara tumbuh dan membentuk sistem-sistem baru untuk menjaga keberlangsungannya dari level negara sampai pada level terkecil sekalipun yaitu masyarakat. Masyarakat sebagai representasi dari sebuah negara merupakan bagian dari suatu sistem sosial yang lebih kecil dan mudah untuk kita amati. Beragamnya ras, etnis dan budaya bisa kita amati dari scope terkecil negara ini. Sebagaimana yang kita ketahui negara kita memiliki tingkat keberagaman yang tinggi. Masing-masing bagian dari keberagaman punya caranya sendiri untuk berinteraksi satu sama lainnya, punya nilai- nilai yang diperjuangkan dalam budayanya sehingga memiliki Makalah Sistem Sosial Budaya | Pengaruh Persepsi Terhadap Integrasi Sosial diMasyarakat 1

Transcript of Pengaruh Persepsi Terhadap Integrasi Sosial Di Masyarakat

Pengaruh Persepsi Terhadap Integrasi Sosial di Masyarakat (analisis tentang pandangan umum warga gendeng dan warga papua)

BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang Indonesia sebagai bangsa yang besar, kita memiliki sejarah panjang perjuangan sampai pada titik kemerdekaan yang kita miliki sekarang ini. Sejarah telah mencatat bahwa perjuangan bangsa kita ini tidak hanya diperjuangkan oleh etnis tertentu saja yang ada di Indonesia, melainkan berbagai etnis yang bersatu demi cita-cita bersama agar jauh dan terbebas dari penjajahan bangsa asing. Cita-cita bersama itulah yang menjadi salah satu landasan dan semangat juang bangsa ini untuk bersatu dan mendeklarasikan diri sebagai bangsa yang merdeka. Kemudian lambat laun negara tumbuh dan membentuk sistem-sistem baru untuk menjaga keberlangsungannya dari level negara sampai pada level terkecil sekalipun yaitu masyarakat. Masyarakat sebagai representasi dari sebuah negara merupakan bagian dari suatu sistem sosial yang lebih kecil dan mudah untuk kita amati. Beragamnya ras, etnis dan budaya bisa kita amati dari scope terkecil negara ini. Sebagaimana yang kita ketahui negara kita memiliki tingkat keberagaman yang tinggi. Masing-masing bagian dari keberagaman punya caranya sendiri untuk berinteraksi satu sama lainnya, punya nilai-nilai yang diperjuangkan dalam budayanya sehingga memiliki ciri khas tertentu jika kita amati secara seksama. Sayangnya keragaman tersebut seringkali menjadi sumber permasalahan saat ini. Variasi budaya yang melimpah justru menjadi penghambat dan dituding menjadi biang rusaknya tatanan sosial yang ada dimasyarkat. Salah satu penyebab dari sekian banyaknya masalah tersebut berawal dari persepsi. Persepsi sebagai landasan berfikir individu maupun kelompok sosial yang ada dimasyarakat sering menjadi hal yang potensial menuju konflik. Asumsinya adalah jika dalam suatu sistem sosial memiliki sebuah konsesus, keseimbangan dan keteraturan sosial, bagaimana jika keseluruhan hal tersebut dipengaruhi oleh persepsi tertentu sehingga keseluruhan proses didalamnya termasuk konsensus dan peraturan-peraturan yang dibentuk merupkan bentuk penolakan terhadap budaya ataupun etnis tertentu. Bukankah hal tersebut tidak sejalan dengan cita-cita negara ini? Bukankah keberagaman kita merupakan hal yang seharusnya kita terima dan merupakan wujud dari persatuan indonesia? Tulisan ini ingin mengajak para pembaca untuk melihat realita yang terjadi saat ini dengan cara yang sederhana. Fokus tulisan akan tertuju pada lingkungan sekitar Kampus Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) atau berlingkup pada kawasan gendeng yang memberikan salah satu kontribusi terhadap keberagaman etnis di kawasan gendeng. Penelti ingin melihat persepsi ataupun pandangan warga gendeng pada umumnya terhadap warga papua, juga sebaliknya. Kami sepakat untuk membahas judul ini dikarenakan ingin melihat pengaruh persepsi terhadap kesatuan atau integrasi yang ada dikawasan gendeng yang memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi. Harapannya pada bahasan tulisan kali ini akan mengajak pembaca berfikiran terbuka melihat realita sosial yang ada di masyarakat.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut :Bagaimana Pengaruh Persepsi Terhadap Integrasi Sosial di Kawasan Gendeng?

C. Tujuan PenulisanTujuan penulisan makalah ini bukan untuk membandingkan mana yang benar atau salah. Tetapi ingin menampilkan fakta bahwa betapa persepsi yang dimiliki individu ataupun kelompok-kelompok sosial dapat menimbulkan permasalahan pada integrasi sosial yang ada di masyarakat.

BAB IIPersepsi dan Pengaruhnya Terhadap Integrasi Sosial

A. Persepsi sebagai Dasar PemahamanDalam keseharian kita melakukan aktifitas kita belajar melihat dan mengamati sesuatu. Baik itu dalam bentuk benda maupun perilaku. Manusia belajar mengamati untuk menilai dan menggunakan pengalaman tersebut sebagai acuan dan pengetahuan dasar untuk berfikir ataupun melakukan tindakan disuatu hari nanti. Hal tersebut yang melatarbelakangi terbentuknya persepsi di masing-masing individu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia secara harfiah persepsi sendiri memiliki pengertian sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Artinya perilaku individu seringkali didasarkan pada pengamatan dan pengalaman. Bagaimana cara mereka melihat sesuatu dan bagaimana cara mereka mengartikan sesuatu tergantung dari pengalaman dan proses pembelajaran dalam masing-masing individu. Lebih lanjut Thoha (1993) berpendapat bahwa persepsi pada umumnya terjadi karena dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri individu, misalnya sikap, kebiasaan, dan kemauan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu yang meliputi stimulus itu sendiri, baik sosial maupun fisik.Ada beberapa hal yang dapat ikut berperan dan dapat berpengaruh dalam mempersepsi manusia yaitu: 1. Keadaan stimulus, dalam hal ini berwujud manusia yang akan dipersepsi. 2. Situasi atau keadaan sosial yang melatar-belakangi stimulus. 3. Keadaan orang yang mempersepsi.

Walaupun stimulus personnya sama, tetapi jika situasi sosial yang melatar belakangi stimulus person berbeda akan berbeda hasil persepsinya. Pikiran, perasaan, kerangka acuan, pengalaman-pengalaman atau dengan kata lain keadaan pribadi orang yang mempersepsi akan berpengaruh dalam seseorang mempersepsi orang lain. Hal tersebut disebabkan karena persepsi merupakan aktivitas yang integrated. Bila orang yang dipersepsi atas dasar pengalaman merupakan seseorang yang menyenangkan bagi orang yang mempersepsi akan lain hasil persepsinya bila orang yang dipersepsi itu memberikan pengalaman yang sebaliknya. Demikian pula dengan aspek-aspek lain yang terdapat dalam diri orang yang mempersepsi. Demikian pula situasi sosial yang melatar-belakangi stimulus person juga akan ikut berperan dalam hal mempersepsi seseorang. Bila situasi sosial yang melatar belakangi berbeda, hal tersebut akan dapat membawa perbedaan hasil persepsi seseorang. Orang yang biasa bersikap keras, tetapi karena situasi sosialnya tidak memungkinkan untuk menunjukkan kekerasannya, hal tersebut akan mempengaruhi dalam seseorang berperan sebagai stimulus person. Keadaan tersebut dapat mempengaruhi orang yang mempersepsinya. Karena itu situasi sosial yang melatar belakangi stimulus person mempunyai peran yang penting dalam persepsi, khususnya persepsi social[footnoteRef:1]. [1: Persepsi sosial dan faktor penyebabnya, http://psi-sosial.blogspot.com/2011/10/persepsi-sosial.html, diunduh pada 22 Mei 2015.]

B. Pengaruh Persepsi terhadap Sistem SosialMenurut Yusuf Zainal (2004: 415) lingkungan sistem soisal terdiri atas lingkungan fisik, sistem kepribadian, sistem budaya, dan organisme perilaku. Berbagai hal tersebut dapat dilihat dari suatu hubungan yang hirarki. Adapun hierarki yang dibayangkan sebagai berikut :

Sistem BudayaSistem SosialSistem KepribadianOrganisme Perilaku

Basis konsep hierarki adalah menempatkan top struktur sebagai supra struktur dari segalanya, dia mengontrol penuh sampai pada perilaku masyarakat. Asumsinya sistem budaya merupakan orientasi nilai dasar dan pola normatif yang dilembagakan dalam sistem sosial dan diinternalisasikan dalam struktur kepribadian pada anggotannya. Norma diwujudkan melalui peran-peran tertentu sistem sosial, yang juga disatukan dalam struktur kepribadian dalam sistem itu. Kemudian pada tahapan terakhir oraganisme perilaku merupakan bentuk dari penerapan atau aplikasinya dalam pelaksanaan peran dalam sistem sosial.Lebih lanjut Talcot Parsons (dalam Yusuf Zainal : 416) melihat hubungan antara berbagai sistem melalui kontrol sibernatik (Cybernatic control) yang didasarkan pada arus informasi dari sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian, dan organiasasi pelaku. Kemudian sistem tindakan tersebut dihubungkan dengan dengan keempat prasayarat fungsional atau biasa disebut fungtional requistis yang ditunjuk dalam skema A-G-I-L yang masing-masing memiliki penjelasan sebagai berikut :A = Adaptasi G = Goal attainment (capaian yang ingin dituju) I = Integration (integrasi atau penyatuan konsensus dalam sistem sosial) L = Latency (pemeliharaan pola-pola yang laten)

Secara fungsional perubahan yang terjadi dalam sistem sosial masyarakat tidak selalu berasal dari atas (budaya) tetapi juga bisa dari level terbawah yaitu adaptasi atau organisme perilaku. Individu merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat. Keterkaitan individu akan lingkungan akan berpengaruh pada nilai-nilai yang dibangun dalam sistem sosial di masyarakat. Mengingat masing-masing pandangan masing-masing individu memiliki perbedaan maka akan banyak persepsi mengenai seesuatu hal. Semisal dalam konsensus akan norma-norma tertentu dalam suatu wilayah misalnya, dalam mengatur kawasan gendeng perlu adanya aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh seluruh warga didalamnya. Acuan awal untuk memulai norma sosial adalah biasanya didasarkan pada kondisi budaya lokal. Budaya lokal yang dimaksud adalah budaya jawa jika kita menyesuaikan dengan konteks pada kawasan gendeng. Sebagaimana yang kita ketehui budaya jawa menekankan sopan santun dan ramah tamah dalam kesehariannya dan sangat tidak mentolerir hal yang kontradiktif dari norma tersebut. Maka konsesnsus yang kemungkinan terbentuk adalah :1. Bersikap ramah pada sesama warga2. Menjaga sopan santun khususnya perilaku dan nada bicara.3. Menjaga ketertiban dan kenyamanan di lingkungan.

Setelah konsensus dalam lingkungan tersebut terbentuk maka untuk menjaganya agar tetap pada posisi seimbang (equilibrium) maka diperlukan social order dalam masyarakat. Hal ini ditujukan guna menjaga nilai-nilai dasar yang sudah terbangun dari konsesnsus yang sudah terbentuk. Social order ini dapat berupa peraturan baik itu tertulis maupun tidak tertulis dalam masyarakat. Dalam perkembangannya konsensus dapat berubah dalam suatu masyarakat. Perubahan ini akan terjadi bila mana hal-hal fundamental yang dibawa oleh nilai-nilai dasar suatu konsensus (dalam hal ini budaya jawa) mulai terusik. Perubahan ini tidak lain didasari atas pengalaman dan pengamatan yang berlangsung baik dari interaksi sosial maupun persepsi yang tumbuh dimasing-masing individu dan kelompok masyarkat. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, stimulus ini timbul dan dibutuhkan tindakan untuk menyikapinya dengan membuat sebuah konsensus baru yang lebih memproteksi misalnya pembuatan aturan RT untuk tidak melakukan judi dan minuman keras[footnoteRef:2]. Narasumber kami membenarkan hal tersebut seperti pada kutipan wawancara yang kami lakukan. Bapak Waluyo mengatakan bahwa : [2: Peraturan ini tertuang pada perjanjian point 3 tentang pemondokan atau data diri yang harus diserahkan kepada RT setempat. Setiap penghuni kos baru wajib mengisi blangko file ini dan ditanda-tangani dengan materai 6000. Peneliti melihat ini sebagai bentuk konsensus yang harus di ikuti oleh seluruh RT gendeng dan merupakan bagian dari sosial order demi menjaga keseimbangan dalam masyarkat.]

iya mas peraturan RT itu dibuat dulu gara-gara ada yang sering mabuk disini, masalahe nek mabuk sendiri yo rapopo mas, lha iki nganti ganggu warga e sampe teriak-teriak ngono lho mas

Secara teoritis ini membenarkan pendekatan struktural fungsional ataupun integrasi atau pendekatan yang diuatarakan oleh Parson bahwa perubahan dapat terjadi dari level bawah yaitu dalam hal ini adaptasi warga tentang kebiasaan yang dilakukan warga papua misalnya, sehingga pada prosesnya membentuk suatu konsensus baru.Dari cuplikan temuan kami diatas didapat bahwa pandangan bahwa betapa kuatnya pengaruh persepsi yang dimiliki warga atau kelompok sosial tertentu sehingga dapat menciptakan suatu konsensus baru. Adapatasi dalam konsep AGIL dipakai sebagai dasar energi untuk melakukan perubahan, yang mana adaptasi tersebut didasarkan dari pengalaman dan pandangan-pandangan umum atau persepsi warga tentang masalah yang dihadapinya.

BAB IIIAnalisis Temuan

Pandangan konsensus integrasi menggambarkan masyarakat yang terintegrasi secara fungsional dan relatif memiliki sistem yang stabil. Sistem tersebut diadakan dan dibuat secara bersama dan didasarkan pada suatu kesepakatan atau konsensus dasar atas nilai-nilai. Ketertiban sosial (social order) merupakan hal yang relatif permanen dan para individu dapat meraih kepentingan-kepentingan mereka melalui kerjasama. Pandangan ini justeru menekankan pada rasa kepaduan (cohesion), rasa solidaritas, rasa kesatuan (integration), sikap kerjasama (cooperation) dan stabilitas masyarakat, yang dilihat sebagai budaya berbagi dan kesepakatan pada nilai-nilai dan norma-norma yang fundamental. Pandangan konsensus integrasi ini melihat hukum sebagai suatu kerangka kerja yang netral untuk mempertahankan dan memelihara integrasi masyarakat[footnoteRef:3]. [3: Pertentangan sosial dan integrasi, http://diannasari.blogspot.com/2012/12/pertentangan-sosial-dan-integrasi.html , diunduh pada 22 Mei 2015.]

Integrasi sendiri jika dilihat dalam konteks sistem sosial merupakan salah satu penunjang atau prasyarat berjalannya sistem sosial. Sistem sosial pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk mencapai stabilitas. Karena sistem sosial memang sering kali mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar, baik dengan cara tetap memelihara status quo maupun dengan cara melakukan bersifat reaksioner. Untuk melihat bagaimana dinamika pandangan masing-masing warga kami melakukan wawancara dengan beberapa warga gendeng. Kami mengambil sample secara acak agar dapat gambaran umum tentang masing-masing warga (baik warga gendeng maupun papua). Responden terdiri dari ketua rt, pegawai kelurahan, masyarakat umum gendeng, dan mahasiswa papua yang tinggal disekitar kawasan gendeng. Pencarian gambaran umum ini ditujukan untuk melihat persepsi masing-masing warga dan ingin mengelaborasi dampak yang ditimbulkan dari masing-masing persepsi tersebut terhadap integrasi sosial yang ada di lingkungan gendeng timoho.

A. Persepsi Warga Gendeng Terhadap Warga Papua Dari beberapa penilaian Responden (warga Gendeng) secara umum mereka berpendapat bahwa warga Papua pada umumya baik. Walaupun ada beberapa dari mereka yang berprilaku kurang sesuai dengan norma atau aturan masyrakat lokal. Hal itu di sebabkan adanya perbedaan budaya antara warga Gendeng dan warga Papua. Gunadi salah satu masyrakat yang tinggal di lingkungan gendeng berpendapat :Orang Papua itu mereka baik-baik Mas, setau saya yang pernah saya amati selama ini tidak pernah ada masalah di sini. Merekanya gini Mas kalau seandainya mereka nggak di ganggu, mereka nggak ganggu kita, jadi kalau kita baik sama mereka, mereka baik sama kita.

Responden juga memiliki pandangan bahwa, warga Papua baik jika tidak ada gangguan dari luar kelompok mereka. Dalam arti, mereka berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar kelompok.Kalau berbaur, ngomong sama masyarakat sekitar mereka bisa Mas, tapi kalau ikut kegiatan ini itu kegiatan bersih lingkungan mereka belum terlibat.

Senada seperti yang diungkapkan gunadi ibu deva dan ketua rt gendeng pak waluyo juga membenarkan hal tersebut bahwa sebenarnya warga papua itu biasa saja seperti warga umumnya, tapi tetap mereka tidak lepas dari kebiasaan-kebiasannya. Sayang ketika dikonfrontir lebih lanjut narasumber enggan berbicara banyak dan hanya mengucap itu sudah menjadi rahasia umum mas sehingga kami tidak menggali lebih dalam kenapa pandangan seperti itu (tidak bisa lepas dari kebiasaannya) bisa muncul.Tidak didapat adanya data yang signifikan mengenai pola relasi antara warga Gendeng dan warga Papua. Masyarakat juga menilai bahwa sebagian warga Papua bisa berinteraksi, dan sebagian masih tertutup. Di lihat dari berbagai kegiatan yang diadakan dalam lingkungan, warga Papua belum terlibat. Warga Papua pada umumnya kurang di libatkan dalam kegiatan lingkungan. Hal ini dikarenakan, sebagian masyarakat lokal memiliki persepsi negatif terhadap warga Papua (kebiasaan ngumpul-ngumpul, dan minum minuman keras). Padahal tidak semua warga Papua memiliki kebiasaan negatif. Hal ini juga dibenarkan oleh mariadi selaku pemilik kos di kawasan gendeng :warga papua yang selama ini saya ketemu mereka baik baik saja terhadap saya. Secara komunikasi juga kita baik saling menyapa. Cuma mungkin ada beberapa yang masih muda-muda terutama mereka yang baru datang kesini mungkin agak sedikit kaget dengan kota jogjakarta. Biasanya juga mereka sering kumpul-kumpul terutama ini yang belum kerja yang saya tau yang masih muda. Tetapi kalau yang sudah bekerja mereka biasanya lebih mapan lebih dewasa. Nah kalo yang muda-muda ini yang harus diawasi karena mereka takutnya kebablasan dalam pergaulan, umumnya mereka suka minum-minuman keras

Kebanyakan dari hasil wawancara, pada umumnya kami menangkap ada kesan atau anggapan di masyarakat lokal menilai bahwa, warga Papua memiliki kebiasaan yang kurang baik. Hal itu yang menyebabkan masyarakat lokal membuat aturan-aturan yang ketat dalam lingkungan seperti pembuatan perjanjian pondokan guna untuk memproteksi diri dari gangguan luar.

B. Persepsi Warga Papua Terhadap Warga GendengBerdasarkan penilaian dari narasumber pertama kami Thoby (warga papua) dia menganggap bahwa orang jawa umumnya itu baik dan sangat ramah. Masyarakat bisa menerima orang Papua dengan baik dan tidak mendiskriminasikan mereka. Namun ada sebagian masyarakat yang menganggap sebelah mata dengan orang Papua karena mereka suka membuat keributan dan suka mabuk-mabukan. Jadi mereka cenderung menjauhi orang Papua.Ya intinya untuk keseluruhan warga di Jogja itu sangat ramah bagi kita, begitu juga dengan warga di Gendeng. Memang ada beberapa yang keras kehidupannya tapi tidak semnuanya, namun secara umum warga Jogja itu ramah dan itu nyaman bagi kita.

Hubungan narasumber dengan masyarakat terjalin dengan baik, akrab dan membaur dengan masyarakat di lingkungannya. Hal ini juga serupa dengan yang diuatarakan Marlin Nawarisa kaitannya dengan pendapatnya tentang warga gendeng :...lingkungan yang saya tinggal baik, warganya baik sama ibu kos bapak kosnya baik, Cuma ada satu kendala. Ada kk tingkat yang mabuk disitu kos kan kos putri jadi tidak diterima cowo

Frano tanggahama menyatakan hal serupa bahwa ada ketidak nyamanan yang dia rasakan selama tinggal di lingkungan gendeng :saya tidak nyaman itu karena ada teman teman yang sering mabuk bikin onar bikin suruh segala macem makanya ya kami selaku orang papua itu, aku merasakan ketidak nyamanan itu

Frano sadar bahwa hal tersebut akan berdampak terhadap penilaian warga secara keseluruhan terhadap warga papua tetapi beliau memaklumi hal tersebut.Tetapi narasumber lainnya berbeda pendapat dengan narasumber sebelumnya (Thoby) mengenai pandangan terhadap orang jawa. Siti warga papua memiliki pandangan yang lugas tentang orang jawa pada umumnya. Memiliki pendapat sebagai berikut :....orang jawa tu mikirnya tu ah orang papua tu sama padahal aslinya tidak, kita memang orang papua tu suaranya besar kasar tapi tidak seperti orang jawa kita sesuaikan dengan adat kita. Dan kita kita itu megang panah, panahnya tu didepan tapi kita kita tunjukan kalau kita tu memang seperti itu jadi apa yang kita lakukan paling kita marah sebentar, sebentar juga habis

...tapi orang jawa tidak, kan mereka punya pisau itu simpannya dibelakang jadi ketika mereka punya konflik sama orang luar, macam mereka macam aku dendam sama kamu, kamu dendam sama aku itu kamu kasih simpan. Kamu pura-pura baik didepan aku tapi dalam hati kamu sebentar kamu pas pulang aku tonjok kamu

Siti sangat menyayangkan perlakuan dan persepsi yang mereka pikir kan tentang orang papua, padahal banyak juga dari mereka sangat nyaman dengan warga gendeng dan jawa pada umumnya. Mereka merasa terdiskriminasi dari segi perlakuan orang jawa terhadap mereka. Hal ini dianggap tidak adil bagi mereka. Kebanyakan orang jawa menganggap bahwa semua orang papua itu suka membuat keributan dan mabuk-mabukan. Padahal tidak semua orang papua seperti itu, kembali lagi dari bagaimana individu tersebut. Namun masyarakat sudah terlanjur beranggapan bahwa setiap warga papua itu sama, sehingga beberapa warga papua pada akhirnya cenderung menjaga jarak dengan warga gendeng. Dan pada umumnya hubungan orang papua dengan orang jawa kurang terjalin dengan baik. Karena perbedaan pandangan mereka terhadap masing-masing kelompok menjadikan hubungan mereka tidak baik. Jadi orang papua tidak bisa membaur dengan orang jawa dan cenderung mencari tempat tinggal yang jauh dari kampus. Sehingga mereka hanya berhubungan dengan sesama orang papua dan yang mengerti adat dan kebiasaan mereka saja.

C. Integrasi Sulit DicapaiSulit melihat integrasi jika sebuah sistem sudah terpengaruh oleh persepsi. Padahal keberagaman multikultur yang ada di negara kita sudah dipahami dan ditanamkan sejak kita kecil. Hanya karena kejadian tertentu membuat semuanya berubah sekejap. Dalam dinamika sosial hal ini dianggap wajar karena pada dasarnya heterogentitas dan ketimpangan mencipatakan hambatan bagi hubungan-hubungan sosial diantara anggota masyarkat. Makin tinggi tingkat diferensiasi, maka makin besar pula hambatan terjadinya hubungan-hubungan sosial atau integrasi sosial[footnoteRef:4]. [4: Disarikan dari Bahan kuliah Sistem Sosial Budaya.]

Integrasi ditujukan untuk menyatukan namun ketika persepsi mendominasi dan berbalik menyerang serta menyudutkan keberagaman menjadi suatu hal yang aneh karena teridentifikasi berbeda dengan nilai-nilai tatanan yang ada akan menimbulkan dis-fungsi dalam proses penerimaan warga papua sebagai pendatang. Masalah yang ada hanya akan dicari penyelesaiannya tanpa mengamati lebih dalam permasalahan dan perubahan yang terjadi dimasyarkat. Similaritas konsep ini dapat kita lihat pada teori fungsionalisme struktural dimana konsep ini lebih memusatkan perhatiannya pada keseimbangan masyarakat dengan menciptakan keteraturan sosial sebagai penerapannya. Menurut paham ini semua pola normatif seperti yang ada pada kebiasaan sopan santun perlu dijaga dan diaatur karena hal tersebut turut membantu integrasi meski dalam bentuk paksaan. Sehingga kemudian pada prosesnya integrasi yang terjadi harus di patuhi oleh semua lapisan masyarakat yang termasuk kedalam sistem sosial tertentu. Selain itu salah satu yang menjadi hal penting dalam integrasi adalah komunikasi. Dari temuan pandangan masing-masing warga baik papua maupun warga gendeng cenderung untuk tidak bersinggungan dengan yang lain atau lebih mengarah pada untuk menghindari konflik. Ini dapat dipahami karena tidak adanya jembatan yang menghubungkan kedua persepsi tersebut dalam suatu pola interaksi yang baik. Akan lebih ideal jika permasalahan yang terjadi khususnya yang melibatkan dua warga ini selalu komunikasikan secara dua arah. Jadi lingkungan tinggal tidak hanya sekedar mengatur perilaku individu yang ada didalamnya tetapi juga menerima pandangan ataupun perspektif lain diluar sistemnya.

BAB IV PENUTUPA. KesimpulanDari keseluruhan pembahasan diatas kami menyimpulkan bahwa persepsi sangat berpengaruh terhadap integrasi sosial yang ada di masyarakat, terutama pada lingkungan yang memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi. pada kasus gendeng yang memiliki tingkat multikultur yang beragam sehingga sistem sosial yang ada dimasyarkat harus bisa menyesuaikan atau mengadaptasikan diri dengan lingkungan yang baru. Secara spesifik persepsi atau pandangan umum dapat memberikan stigma atau memberikan kesan khusus atas suatu obyek tertentu dimana dari penilaian tersebut akan diambil tindakan-tindakan sebagai aksi lanjutan dari penilaian yang dibuat. Jika masing-masing persepsi tersebut berdiri senidri di masing-masing warga sulit rasanya untuk mencapai integrasi sosial karena masing-masing punya penilaiannya sendiri. integrasi membutuhkan konsesnsus, keseimbangan sosial, dan social order, hal tersebut tidak akan terjadi jika tidak ada kesepahaman bersama untuk segala sesuatunya.

B. SaranPerlu adanya komunikasi yang intens diantaradua warga ini agar tiap permasalahan yang terjadi dapat dibicarakan secara bersama-sama sehingga tidak menimbulkan pandangan egois atau inward looking dimasyarakat. Wadah komunikasi bisa berbentuk variatif bisa melalui perwakilan warga papua di daerah gendeng ataupun menjalin komunikasi lain melalui pelibatan persoal dalam kegiatan warga sehingga dapat terjadi proses transfer informasi yang lebih intens dan lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Bahan Kuliah Sistem Sosial Budaya.Zainal Abidin, Yusuf. 2014. Pengantar Sistem Sosial Budaya di Indonesia. Bandung : CV. Pustaka Setia.

Sumber Internet :Persepsi sosial dan faktor penyebabnya, http://psi-sosial.blogspot.com/2011/10/persepsi-sosial.html, diunduh pada 22 Mei 2015Pertentangan sosial dan integrasi, http://diannasari.blogspot.com/2012/12/pertentangan-sosial-dan-integrasi.html , diunduh pada 22 Mei 2015

Peraturan :Peraturan Pemondokan RW XX Gendeng Kelurahan Baciro

Lampiran I

Daftar narasumber wawancaraTempat : sekitar wilayah Gendeng dan Kampus STPMD

No.NamaPekerjaan

1.Waluyo Ketua RT

2.Deva Staf pelayanan umum kelurahan

3.MariadiPemilik kos

4.GunadiMasyarakat Umum

5.ThobyMahasiswa

6.FranoMahasiswa

7.SitiMahasiswa

8.MarlinMahasiswa

Lampiran IIMakalah Sistem Sosial Budaya | Pengaruh Persepsi Terhadap Integrasi Sosial diMasyarakat 8