PENGARUH PEMBERIAN SITOKININ DAN ASAM …/Pengaruh... · 3 pengaruh pemberian sitokinin dan asam...
Transcript of PENGARUH PEMBERIAN SITOKININ DAN ASAM …/Pengaruh... · 3 pengaruh pemberian sitokinin dan asam...
PENGARUH PEMBERIAN SITOKININ DAN ASAM GIBERELAT (GA3)
TERHADAP PERKECAMBAHAN BIJI DAN PERTUMBUHAN TANAMAN
PULE PANDAK (Rauvolfia verticillata Lour.)
Naskah Publikasi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Sains
Oleh :
Sri Lestari
NIM. M0405062
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
2
PENGESAHAN
Naskah Publikasi
PENGARUH PEMBERIAN SITOKININ DAN ASAM GIBERELAT (GA3) TERHADAP PERKECAMBAHAN BIJI DAN PERTUMBUHAN TANAMAN
PULE PANDAK (Rauvolfia verticillata Lour.)
Oleh: Sri Lestari
NIM. M0405062
Telah disetujui untuk dipublikasikan
Surakarta, Oktober 2009
Mengetahui
Ketua Jurusan Biologi
Dra. Endang Anggarwulan, M. Si
NIP. 19500320 197803 2 001
Pembimbing I
Solichatun, M. Si NIP. 197102211997022001
Pembimbing II
Dra. Endang Anggarwulan, M. Si NIP. 195003201978032001
3
PENGARUH PEMBERIAN SITOKININ DAN ASAM GIBERELAT (GA3) TERHADAP PERKECAMBAHAN BIJI DAN PERTUMBUHAN TANAMAN
PULE PANDAK (Rauvolfia verticillata Lour.)
THE EFFECT OF TREATMENT CYTOKININ AND GIBBERELLIC ACID (GA3) FOR SEED GERMINATION AND GROWTH OF PULE PANDAK
(Rauvolfia verticillata L.)
Sri Lestari, Solichatun, dan Endang Anggarwulan Department of Biology, Faculty of Mathematic and Natural Sciences.
Sebelas Maret University, Surakarta
ABSTRACT
The purpose of this research are to study the effect of cytokinin and gibberellic acid (GA3) for seed germination and growth of R. verticillata L. and determine the best for the treatment combination that have an optimal effect to the seed germination and growth of pule pandak (R. verticillata L.).
The research had been done in randomized complete design by combination treatment of gibberellic acid and cytokinin that consist of 6 treatment combination are GA3 0 ppm/ cytokinin 0 ppm, GA3 50 ppm/ cytokinin 0 ppm, GA3 0 ppm/ cytokinin 50 ppm, GA3 50 ppm/ cytokinin 50 ppm, GA3 50 ppm/ cytokinin 75 ppm, GA3 75 ppm/ cytokinin 50 ppm and 8 replicates. The treatment were given by soaking the mature seed on the hormone solution. Some parameters such as germination and growth parameter were measured.
The result shows that presoaking treatment with GA3 50 ppm more influenced increase for time of germinating, germination precentage, plant height, leaf number, leaf wide, and dry weight than presoaking use cytokinin 50 ppm. Presoaking treatment using combination GA3 and cytokinin (G50S50) give significant influence to increase fresh weight and dry weight. Combination GA3 and cytokinin in concentration G50S75 give influence to increase fresh weight and dry weight plant. Combination GA3 and cytokinin in concentration G75S50 give influence to increase germination precentage, plant height, leaf number, and leaf wide.
Kata kunci: Rauvolfia verticillata, cytokinin, gibberellic acid (GA3), germination, growth
4
PENDAHULUAN
Kegiatan pengambilan tumbuhan obat dengan tidak mempertimbangkan aspek
kelestarian dapat dipandang sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian dan
penurunan populasi tumbuhan obat sehingga secara tidak disadari kelangkaan jenis
tumbuhan obat terus meningkat. Pemanfaatan tumbuhan obat Indonesia diduga akan terus
berlangsung mengingat eratnya keterikatan bangsa Indonesia pada tradisi kebudayaannya
dalam memakai jamu. Beberapa bahan baku jamu telah menjadi komoditas ekspor yang
handal untuk menambah devisa negara. Peningkatan pemanfaatan tumbuhan obat sebagai
komoditas ekspor belum diikuti dengan pembudidayaan yang rasional dan pelestarian
plasma nutfahnya (Sulandjari, 2008).
Salah satu tanaman yang sekarang ini banyak digunakan adalah pule pandak
(Rauvolfia verticillata Lour.). Pule pandak dikenal dengan nama akar tikus, termasuk
keluarga Apocynaceae. Tanaman ini tersebar di berbagai tempat wilayah di Indonesia
misalnya, pulau Sumatera, Jawa, dan kepulauan Nusa Tenggara, yang biasanya tumbuh
di daerah dengan ketinggian 1000 m sampai dengan 2100 m di atas permukaan laut (dpl)
(Iptekda-LIPI, 2001).
Pule pandak berkhasiat antara lain sebagai pencegah kenaikan suhu badan, obat
penenang, obat tekanan darah tinggi, dan menormalkan denyut jantung. Di antara
alkaloid yang terkandung dalam akar pule pandak, reserpina adalah unsur yang paling
penting karena lazim digunakan sebagai obat hipertensi (Lilly, 1990; Nigg dan Seigler,
1992; Duke, 1992).
Di Indonesia sampai sekarang belum ada upaya budidaya pule pandak secara
intensif (Rosita et al., 1992). Tanaman pule pandak dapat dikembangbiakkan melalui
perbanyakan biji, stek, dan kultur jaringan. Perkecambahan biji pule pandak jenis
Rauvolfia serpentina terjadi 10-12 hari setelah tanam. Hal ini disebabkan karena
tempurung biji pule pandak ini cukup keras (Iptekda-LIPI, 2001). Hal yang sama juga
terjadi pada R. verticillata. Waktu berkecambah ini dapat dikatakan lama jika
dibandingkan dengan kacang tanah (Arachis hypogea) yang hanya 5 hari, 2-3 hari untuk
biji jagung (Zea mays), dan 5-7 hari pada biji kapas (Gossypium sp.) (Goldsworthy dan
Fisher, 1992).
5
Secara alami pule pandak berkembangbiak dengan biji, tetapi persentase
perkecambahannya rendah yaitu sekitar 7%-15%, karena biji pule pandak mempunyai
kulit biji yang keras. Persentase keberhasilan perbanyakan pule pandak jenis R.
serpentina dengan biji dapat ditingkatkan melalui pengupasan separuh dari tempurung
biji menjelang ditanam atau dapat juga melalui perendaman biji di dalam larutan asam
sulfat (H2SO4) pekat atau setengah pekat selama lima menit sebelum ditanam (Sulandjari,
2008).
Banyak peneliti menyatakan bahwa hormon tumbuh giberelin (GA3) dan sitokinin
berpengaruh terhadap aktifitas enzim-enzim pada proses metabolisme tanaman (Wringler
et al., 1998; Leitei et al., 2003). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Setyowati
dan Utami (2008) terhadap biji Brusea javanica diketahui bahwa perendaman biji dalam
larutan GA3 1000 mg/L efektif untuk mempercepat dan meningkatkan perkecambahan B.
javanica.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (2005) telah melakukan
penelitian terhadap biji balsa (Ochroma sp.) untuk meningkatkan pertumbuhan semai
melalui biji. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perendaman dalam air panas
selama 12 jam terbukti efektif meningkatkan persentase perkecambahan benih. Perendaman
biji dalam air panas selama 12 jam dan dikombinasi dengan penggunaan atonik 500 ppm
pada bibit terbukti meningkatkan pertumbuhan tinggi, panjang akar dan berat kering semai.
Kombinasi dua jenis hormon lebih efektif dibandingkan dengan kombinasi
dengan tiga jenis hormon, empat jenis hormon atau bahkan lebih (Cavusoglu dan Kabar,
2007). Hal ini disebabkan efek sinergi dari masing-masing hormon sehingga akan saling
mendukung karena setiap hormon yang digunakan akan mempunyai efek yang berbeda
dalam mempengaruhi pertumbuhan. Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini
digunakan dua jenis hormon yang diperlakukan sendiri-sendiri dan dikombinasikan untuk
mengetahui pengaruhnya terhadap perkecambahan biji dan pertumbuhan pule pandak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian hormon sitokinin
dan asam giberelat (GA3) terhadap perkecambahan dan pertumbuhan tanaman pule
pandak (R. verticilllata Lour.) serta dapat menentukan konsentrasi optimal dari hormon
sitokinin dan asam giberelat (GA3) yang berpengaruh meningkatkan perkecambahan dan
pertumbuhan tanaman pule pandak.
6
BAHAN DAN METODE
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji pule pandak yang
sudah tua yang diambil dari tanaman pule pandak yang tumbuh di daerah Boyolali; air
untuk menyiram media; media tanam berupa tanah yang diambil juga dari daerah
Boyolali pada bulan Desember 2008; hormon sitokinin (kinetin); asam giberelat (GA3);
dan Dhitane M45 2% untuk mencegah tumbuhnya jamur dalam biji. Sedangkan alat
utama yang digunakan adalah erlenmeyer, gelas ukur, timbangan analitik, gelas beker,
polibag, sekop, pisau, penggaris, timbangan, ember, handsprayer, kertas, gunting,
timbangan analitik, oven, dan benang. Jenis-jenis perlakuan yang dilakukan meliputi:
I = Kontrol (G0S0)
II = GA3 50 ppm: Sitokinin 0 ppm (G50S0)
III = GA3 0 ppm : Sitokinin 50 ppm (G0S50)
IV = GA3 50 ppm: Sitokinin 50 ppm (G50S50)
V = GA3 50 ppm: Sitokinin 75 ppm (G50S75)
VI = GA3 75 ppm: Sitokinin 50 ppm (G75S50
Metode Penelitian
Penelitian ini dimulai dengan pengambilan biji tanaman yang sudah tua yang
ditandai dengan warna biji yang sudah abu-abu (kehitaman). Biji-biji tersebut
dikeringanginkan selama 2-3 hari. Biji-biji tersebut dihilangkan kulit bijinya dan diberi
perlakuan dengan merendam biji-biji tersebut dalam hormon (sitokinin dan GA3).
Larutan hormon tersebut dibuat dengan cara melarutkan hormon yang berbentuk serbuk
dengan menggunakan etanol dan aquadest. Etanol ini digunakan untuk melarutkan
hormon sebelum ditambahkan aquadest. Setelah biji siap maka dilanjutkan dengan
perendaman biji tersebut. Biji direndam dalam larutan hormon pada masing-masing
konsentrasi selama semalam. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Setyowati dan Utami (2008) pada biji Brucea javanica yang mempunyai struktur biji
hampir sama dengan pule pandak. Biji kemudian ditanam dalam polibag. Media yang
digunakan adalah tanah yang diambil dari daerah Boyolali dengan penempatannya pada
polibag sebanyak ¾ polibag ( 1 kg/ polibag). Sebelum biji ditanam, biji direndam
7
dengan larutan Dhitane M45 2% selama 5 menit untuk menghindari jamur selama
perkecambahan (Setyowati dan Utami, 2008). Setiap polibag terdiri dari 3 biji yang
ditanam dengan jarak sekitar 3-4 cm. Setelah biji tertanam semua kemudian ditutup lagi
lubang tersebut dengan tanah, lalu disiram dengan air sebanyak 100 ml (Lestari,
2008). Polibag-polibag yang berisi biji-biji yang telah ditanam tersebut ditempatkan pada
rumah kaca dengan paparan sinar matahari yang tidak terlalu banyak.
Perawatan dilakukan dengan penyiraman sejak penanaman hingga akhir
perlakuan. Pemeliharaan yang berupa penyiraman dilakukan sesuai dengan kebutuhan
tanaman tersebut. Jika dilihat tanah yang ada dalam polibag tidak terlalu kering maka
tidak dilakukan penyiraman karena jika terlalu basah maka dikhawatirkan biji akan
busuk.
Pengambilan data dilakukan selama perlakuan ataupun pada akhir perlakuan
tergantung parameter-parameter yang akan diamati. Pengamatan parameter
perkecambahan meliputi:
a. Waktu munculnya kecambah
b. Persentase perkecambahan
Persentase perkecambahan dihitung tiap polibag, dengan perhitungan:
Persentase perkecambahan = 100biji semuajumlah
tumbuhyang bijijumlah x %
Pengamatan pertumbuhan tanaman dimulai saat tanaman sudah muncul daun
yang pertama. Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan tanaman pule pandak.
Parameter-parameter yang diamati meliputi:
a. Tinggi tanaman
Tinggi tanaman diukur mulai dari permukaan tanah sampai ujung tanaman yang
tertinggi.
b. Jumlah daun dan luas daun
Jumlah daun dihitung setelah muncul daun yang pertama, sedangkan luas daun
dihitung pada akhir perlakuan atau saat panen, yaitu 1 minggu setelah waktu yang
ditentukan berakhir. Luas daun diukur dengan menggunakan metode gravimetri.
Daun digambar pada sehelai kertas yang berat dan luasnya sudah diketahui sebagai
replika daun, kemudian digunting dan diukur luas daunnya dengan persamaan:
8
xLKWtWrLD
Keterangan: LD = luas daun
Wr = berat kertas replika daun
Wt = berat total kertas
LK = luas total kertas (Sitompul dan Guritno, 1995).
c. Bobot basah
Bobot basah tanaman diukur dengan penimbangan tanaman pada akhir perlakuan.
d. Bobot Kering
Tanaman dikeringkan dengan cara dioven pada suhu 600C sampai kering kemudian
ditimbang bobot keringnya.
Pengamatan dilakukan setiap hari untuk mengetahui proses perkecambahan dan 1
minggu sekali untuk parameter yang lainnya. Pengamatan dihentikan saat tanaman
berumur 8 minggu ( 2 bulan).
Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan analisis varian (ANAVA)
untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diukur. Jika terdapat
beda nyata antar perlakuan maka dilakukan uji lanjut menggunakan uji Duncan’s
Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 5%.
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Waktu Munculnya Kecambah
Hasil rerata waktu perkecambahan biji pule pandak dengan perlakuan GA3 dan
sitokinin disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rerata waktu perkecambahan biji pule pandak dengan perlakuan GA3 dan sitokinin
Konsentrasi
sitokinin dan GA3
Rerata Waktu
Perkecambahan (hari)
G0S0 6
G50S0 6
G0S50 12
G50S50 6
G50S75 6
G75S50 6
Keterangan: G = konsentrasi GA3 (ppm), G0= 0, G50= 50, G75= 75 S = konsentrasi Sitokinin (ppm), S0= 0, S50= 50, S75= 75
Hasil pengamatan waktu berkecambah pada Tabel 1. didapatkan hasil bahwa biji
mulai berkecambah pada hari ke-6. Biji-biji yang berkecambah ini berasal dari masing-
masing perlakuan (kontrol, G0S0, G50S0, G50S50, G75S50, G50S75), namun pada perlakuan
konsentrasi G0S50 belum menunjukkan tanda-tanda biji yang mulai berkecambah. Hal ini
menunjukkan bahwa perkecambahan biji pule selain dipengaruhi oleh faktor dalam yaitu
umur biji juga dipengaruhi faktor luar yaitu hormon, khususnya GA3.
Pertumbuhan embrio selama perkecambahan bergantung pada persiapan bahan
makanan yang ada di dalam endosperm. Kelangsungan hidup embrio tergantung pada
terjadinya penguraian secara enzimatik yaitu terjadi perubahan pati menjadi gula yang
selanjutnya ditranslokasikan ke embrio sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya
yang melibatkan aktivitas amilase (Abidin, 1994).
GA3 selain berasal dari luar (eksogen) juga terdapat dalam tumbuhan itu sendiri
(endogen). Peningkatan GA3 endogen juga dapat meningkatkan hidrolisis pati, fruktan,
dan sukrosa menjadi molekul glukosa dan fruktosa. Gula heksosa tersebut menyediakan
10
energi melalui respirasi, berperan dalam pembentukan sel, serta membuat potensial air sel
lebih negatif pada saat-saat tertentu. Akibat penurunan potensial air, air akan bergerak
masuk lebih cepat dan menyebabkan pembesaran sel (Salisbury dan Ross, 1955).
GA3 diproduksi oleh embrio yang merangsang sel-sel pada lapisan aleuron untuk
mensintesis dan menghasilkan enzim -amylase dan protease yang mengubah pati
dalam endosperm menjadi gula untuk pertumbuhan biji muda. Setelah biji mengimbibisi
air,embrio melepaskan GA3 sebagai sinyal yang akan disampaikan ke aleuron, yang
merupakan selaput tipis endosperm. Aleuron menanggapi respon dengan mensintesis dan
mengeluarkan enzim yang akan menghidrolisis cadangan makanan yang terdapat dalam
endosperm. Salah satu contohnya adalah -amylase, yang akan menghidrolisis
karbohidrat (sama seperti enzim saliva pada air liur yang membantu menghancurkan roti
dan karbohidrat yang lain). Gula dan nutrien diserap dari endosperm oleh skutelum
(kotiledon) yang akan digunakan selama pertumbuhan embrio sampai dewasa (Sponsel,
1987).
Pada penelitian ini, sitokinin tidak memberikan pengaruh yang signifikan dalam
memacu perkecambahan. Hal ini mungkin terjadi karena konsentrasi sitokinin yang
belum optimal. Sitokinin dapat berfungsi dalam mempengaruhi perkecambahan,
pertumbuhan maupun perkembangan tanaman. Hormon ini umumnya berinteraksi
dengan hormon auksin (Abidin, 1994). Sitokinin dan auksin (IAA) bekerja sama dalam
memacu pertumbuhan embrio, sitokinin menginduksi pembelahan sel dan auksin (IAA)
merangsang pemanjangan sel (Hess, 1970).
Persentase Perkecambahan
Persentase perkecambahan dihitung dengan membandingkan jumlah biji yang
berkecambah dengan semua biji yang ditanam dan mengalikannya dengan 100%. Hasil
rerata persentase perkecambahan biji pule pandak dengan perlakuan GA3 dan sitokinin
disajikan pada Tabel 2.
11
Tabel 2. Rerata persentase perkecambahan biji pule pandak dengan perlakuan GA3 dan sitokinin pada umur 30 hari setelah tanam
Konsentrasi
sitokinin dan GA3
Rerata (%)
Perkecambahan
G0S0 62,50
G50S0 41,62
G0S50 33,25
G50S50 24,88
G50S75 33,25
G75S50 45,88
Keterangan: G = konsentrasi GA3 (ppm), G0= 0, G50= 50, G75= 75 S = konsentrasi Sitokinin (ppm), S0= 0, S50= 50, S75= 75 Persentase perkecambahan yang ditunjukkan pada Tabel 2 dihitung selama 30
hari setelah proses penanaman. Hasil yang ditunjukkan Tabel 2 menunjukkan bahwa pada
kontrol diperoleh perkecambahan terbanyak. Hasil terendah diperoleh pada perlakuan
dengan kombinasi G50S50. Perlakuan hormon pada konsentrasi yang menggunakan GA3
lebih besar dari sitokinin memberikan hasil yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa
hormon GA3 memberikan pengaruh pada proses perkecambahan biji. Giberelin dapat
berfungsi untuk menghilangkan zat penghambat perkecambahan, mematahkan dormansi,
dan mengaktifkan enzim yang mengakibatkan meningkatnya aktivitas metabolik
(Salisbury dan Ross, 1995).
Biji yang tidak berkecambah kebanyakan mengalami kebusukan. Hal ini
disebabkan karena imbibisi air oleh biji yang terlalu banyak menyebabkan kondisi
anaerob sehingga banyak biji yang membusuk didukung dengan keadaan biji yang belum
matang sempurna akan menyebabkan terjadinya kebusukan tersebut. Hasil ini seperti
yang dilaporkan pada penelitian perkecambahan jelutung (Dyera costulata), bahwa
perendaman biji yang terlalu lama pada biji yang sensitif terhadap kondisi anaerob
menjadikan biji busuk dan tidak mampu berkecambah (Utami et al., 2007).
Perkecambahan adalah proses pertumbuhan embrio yang melibatkan aktivitas
morfologi, yang ditandai dengan pemunculan organ tanaman seperti akar, batang, daun,
dan aktivitas kimiawi yang meliputi beberapa tahapan yaitu imbibisi, sekresi hormon dan
12
enzim, hidrolisis cadangan makanan terutama karbohidrat dan protein dari bentuk
kompleks menjadi bentuk sederhana, translokasi makanan terlarut dan hormon ke daerah
titik tumbuh dan bagian lain serta fotosintesis (Hidayat, 1995). Kehadiran air di dalam sel
mengaktifkan sejumlah hormon perkecambahan awal. Fitohormon asam absisat menurun
kadarnya, sementara giberelin meningkat. Selain itu masuknya air pada biji juga
menyebabkan enzim aktif bekerja. Enzim amilase bekerja memecah tepung menjadi
maltosa, selanjutnya maltosa dihidrolisis oleh maltase menjadi glukosa. Protein juga
dipecah menjadi asam amino. Senyawa glukosa masuk ke dalam proses metabolisme dan
dipecah menjadi energi dan senyawa karbohidrat yang menyusun struktur tubuh. Asam–
asam amino tersebut dirangkaikan menjadi protein yang berfungsi menyusun struktur sel
dan enzim–enzim baru. Asam lemak terutama dipakai untuk menyusun membran sel
(Salisbury dan Ross, 1995).
Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman yang paling sering diamati baik
sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk
mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan. Hal ini dilakukan karena
tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan yang paling mudah dilihat. Sebagai
parameter pengaruh lingkungan, tinggi tanaman sensitif terhadap faktor lingkungan
(Sitompul dan Guritno, 1995).
Hasil rerata tinggi tanaman dengan perlakuan GA3 dan sitokinin pada akhir
penelitian disajikan dalam Tabel 3.
13
Tabel 3. Rerata tinggi tanaman pule pandak (R. verticillata) dengan perlakuan GA3 dan sitokinin pada umur 60 hari setelah tanam
Konsentrasi
sitokinin dan GA3
Rerata
Tinggi Tanaman (cm)
G0S0 4,14
G50S0 4,64
G0S50 4,06
G50S50 2,2
G50S75 3,38
G75S50 5,06
Keterangan: G = konsentrasi GA3 (ppm), G0= 0, G50= 50, G75= 75 S = konsentrasi Sitokinin (ppm), S0= 0, S50= 50, S75= 75 Tabel rerata tinggi tanaman menunjukkan bahwa untuk perlakuan pemberian
hormon G50S0 dan G75S50 memberikan peningkatan terhadap tinggi tanaman daripada
perlakuan hormon yang lain dan juga kontrol.
Pemberian GA3 dari luar pada perkembangan stolon tanaman kentang liar yang
dilakukan oleh Wareing dan Philips dalam Abidin (1994) menunjukkan bahwa
pertumbuhan tunas memperlihatkan perpanjangan internodus pada tunas yang tumbuh
pada ketiak daun. GA3 yang diberikan pada ujung tanaman dan kinetin diberikan pada
ketiak daun menunjukkan hasil bahwa terjadi pertumbuhan yang seimbang antara tinggi
tanaman dan pertumbuhan cabang ke samping (Abidin, 1994).
Pemanjangan batang yang terjadi karena pemanjangan ruas terjadi akibat
pertumbuhan meristem rusuk yang membentuk deretan sel panjang dalam meristem
korteks dan empulur. Pemanjangan batang terjadi dengan adanya pemanjangan sel dan
penambahan jumlah sel pada meristem rusuk (Hidayat, 1995). Meristem rusuk
merupakan tipe jaringan meristematik yang terdiri atas serangkaian vertikal sel yang
membelah secara melintang (Fahn, 1995).
Giberelin akan memacu pembentukan enzim yang melunakkan dinding sel
terutama enzim proteolitik yang akan melepaskan amino triptofan (prekusor/pembentuk
auksin) sehingga kadar auksin meningkat. Giberelin juga merangsang pembentukkan
14
polihidroksi asam sinamat yaitu senyawa yang menghambat kerja dari enzim IAA
oksidase (Green Tect, 2009).
Sitokinin (kinetin) apabila digunakan secara tersendiri akan menstimulasi sintesis
DNA dan diperlukan dalam proses mitosis walaupun IAA yang biasanya lebih dominan
dalam fase tersebut. Sitokinin bekerjasama dengan asam nukleat di dalam sel dan dapat
menyebabkan meningkatnya nuclear RNA synthesis dan mengatur besarnya RNA yang
masuk ke dalam sitoplasma (Abidin,1994).
Jumlah Daun
Daun merupakan organ penghasil fotosintat utama, maka pengamatan daun sangat
diperlukan dan sebagai parameter pertumbuhan untuk menjelaskan terjadinya proses
pertumbuhan. Pengamatan terhadap jumlah daun dilakukan satu minggu sekali. Data
pengamatan jumlah daun dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rerata jumlah daun tanaman pule pandak (R. verticillata) dengan perlakuan GA3 dan sitokinin pada umur 60 hari setelah tanam
Perlakuan Kombinasi
GA3 dan sitokinin
Rerata
Jumlah Daun
G0S0 5,8
G50S0 6,2
G0S50 3,6
G50S50 4,4
G50S75 4,4
G75S50 5,0
Keterangan: G = konsentrasi GA3 (ppm), G0= 0, G50= 50, G75= 75 S = konsentrasi Sitokinin (ppm), S0= 0, S50= 50, S75= 75
Hasil terbaik dari perlakuan hormon seperti terlihat pada tabel di atas ditunjukkan
pada perlakuan hormon dengan konsentrasi G50S0 dan terendah pada konsentrasi G0S50.
Hal ini disebabkan karena giberelin dan sitokinin pada konsentrasi yang sama atau
konsentrasi giberelin lebih besar daripada sitokinin akan bekerja berlawanan pada
pembentukan daun dan perkembangan meristem. GA3 juga dapat menghilangkan
beberapa pengaruh sitokinin pada diferensiasi epidermis. Meskipun demikian, GA3 dan
sitokinin bisa menstimulasi pembentukan struktur epidermis yang disebut trikoma (Gan
15
et al., 2007) sehingga konsentrasi sitokinin yang diberikan tidak memperlihatkan
pengaruh yang signifikan.
Penambahan jumlah daun diduga karena meningkatnya pembelahan sel-sel
primordia daun dan diferensiasi sel ujung batang (Hidayat, 1995). Daun sebagai alat
fotosintesis akan dapat berperan secara optimal jika didukung oleh ketersediaan air,
cahaya, dan unsur-unsur hara yang cukup (Salisbury dan Ross, 1995; Loveless, 1991).
Pengaruh GA3 terhadap proses pembentukan daun sesuai hasil penelitian Windarsih
(2007) bahwa pemberian hormon GA3 tidak berpengaruh pada jumlah daun tanaman rami
(Boehmeria nivea).
Luas Daun
Luas daun merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui laju
fotosintesis per satuan tanaman. Metode yang digunakan untuk mengetahui luas daun
adalah metode gravimetri yang cukup menggunakan alat sederhana (Sitompul dan
Guritno, 1995). Pengamatan dilakukan pada saat panen. Hasil rata-rata luas daun dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rerata luas daun tanaman pule pandak (R. verticillata) dengan perlakuan GA3 dan sitokinin pada umur 60 hari setelah tanam
Konsentrasi
GA3 dan sitokinin
Rerata
Luas Daun (cm2)
G0S0 0,519
G50S0 0,663
G0S50 0,362
G50S50 0,362
G50S75 0,504
G75S50 0,612
Keterangan: G = konsentrasi GA3 (ppm), G0= 0, G50= 50, G75= 75 S = konsentrasi Sitokinin (ppm), S0= 0, S50= 50, S75= 75 Tabel 5 menunjukkan bahwa luas daun tertinggi terdapat pada tanaman pule
pandak dengan perlakuan pemberian hormon GA3 konsentrasi 50 ppm sebesar 0,663 cm2,
sedangkan luas daun terendah terdapat pada perlakuan G0S50 dan G50S50.
16
Peningkatan luas daun merupakan salah satu bentuk pertumbuhan tanaman yang
merupakan hasil dari aktivitas pembelahan dan pemanjangan sel. Pembelahan dan
pemanjangan sel ini salah satunya dipengaruhi oleh adanya peran dari hormon GA3 yang
bekerja pada sel dan sitokinin bertanggungjawab untuk mengatur derajat pengembangan
daun menurut kondisi tanah seperti ketersediaan air dan nitrogen yang termineralisasi
(Goldsworty dan Fisher, 1992).
Bobot Basah Tanaman
Berat basah tanaman merupakan salah satu parameter untuk menggambarkan
biomassa tanaman. Pertambahan berat basah tanaman dilakukan dengan memanen
seluruh atau sebagian tanaman, dan menimbangnya cepat-cepat sebelum air terlalu
banyak menguap dari bahan tersebut (Salisbury dan Ross, 1995). Hasil rerata bobot basah
tanaman pule pandak disajikan pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Rerata bobot basah tanaman pule pandak (R. verticillata) pada perlakuan kombinasi GA3 dan sitokinin pada umur 60 hari setelah tanam
Konsentrasi
GA3 dan sitokinin
Rerata
Bobot Basah (gram)
G0S0 0,3308b
G50S0 0,2662b
G0S50 0,2842b
G50S50 0,3992b
G50S75 0,2706b
G75S50 0,1244a
Keterangan: 1. G = konsentrasi GA3 (ppm), G0= 0, G50= 50, G75= 75 S = konsentrasi Sitokinin (ppm), S0= 0, S50= 50, S75= 75
2. Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf uji DMRT 5%
Pada perlakuan kontrol diperoleh rata-rata bobot basah sebesar 0,3308 gram. Pada
perlakuan G50S0 dan G75S50 menunjukkan hasil sebesar 0,2662 gram dan 0,1244 gram
yang merupakan hasil terendah dibandingkan perlakuan yang lain. Pada perlakuan G50S75
menghasilkan bobot basah sebesar 0,2706 gram. Pada perlakuan G0S50 menunjukkan
17
hasil sebesar 0,2842 gram dan pada perlakuan G50S50 menunjukkan hasil sebesar 0,3992
gram yang merupakan hasil tertinggi di antara semua perlakuan.
Berdasarkan hasil rerata bobot basah yang diperoleh dari semua perlakuan
didapatkan hasil bahwa perlakuan dengan konsentrasi GA3 yang sama dengan sitokinin
akan menghasilkan bobot basah tanaman yang lebih baik. Hasil ini menunjukkan bahwa
pada konsentrasi yang seimbang antara giberelin dan sitokinin akan menyebabkan
pertumbuhan yang optimal pada tanaman pule pandak. Hal ini disebabkan karena kedua
hormon ini akan memiliki efek yang saling mendukung perkembangan tanaman terutama
dalam mendorong perkembangan sel (Cavusoglu dan Kabar, 2007).
Kandungan GA3 endogen yang meningkat dapat menyebabkan potensial sel
menjadi lebih negatif dan air akan masuk lebih cepat, sehingga menyebabkan pembesaran
sel (Lakitan, 1996). Adanya peningkatan pengambilan air oleh sel tersebut dapat
menyebabkan peningkatan berat basah tanaman (Wattimena, 1988).
Bobot Kering
Pertumbuhan sebagai pertambahan dalam bahan lebih akurat bila dinyatakan
dalam berat kering, baik tanaman secara keseluruhan maupun bagiannya. Berat basah
atau berat segar suatu waktu akan mengalami perubahan besar dalam status airnya yang
bisa berubah-ubah dalam sehari. Saat jaringan yang lebih tua mengering, terjadilah
kehilangan berat segar yang besar karena kehilangan air. 90% bahan kering tanaman
adalah hasil fotosintesis, sehingga analisis pertumbuhan dinyatakan dengan berat kering
terutama untuk mengukur kemampuan tumbuhan sebagai penghasil fotosintat
(Goldsworthy dan Fisher, 1992). Hasil rerata bobot kering tanaman pule pandak disajikan
pada Tabel 7 berikut ini.
18
Tabel 7. Rerata bobot kering tanaman pule pandak (R. verticillata) pada perlakuan
kombinasi GA3 dan sitokinin pada umur 60 hari setelah tanam
Perlakuan Kombinasi
GA3 dan sitokinin
Rerata
Bobot Kering (gram)
G0S0 0,0188ab
G50S0 0,0246b
G0S50 0,0148ab
G50S50 0,0252b
G50S75 0,0180ab
G75S50 0,0088a
Keterangan: 1. G = konsentrasi GA3 (ppm), G0= 0, G50= 50, G75= 75 S = konsentrasi Sitokinin (ppm), S0= 0, S50= 50, S75= 75
2. Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf uji DMRT 5%
Berdasarkan Tabel 7 di atas dapat dilihat bahwa rerata bobot kering tertinggi
diperoleh pada tanaman dengan perlakuan G50S50 dan terendah G75S50. Hal ini
menunjukkan bahwa kombinasi konsentrasi yang sama antara GA3 dan sitokinin pada
konsentrasi 50 ppm memberikan hasil yang optimal bagi bobot kering tanaman. Hasil
optimal juga ditunjukkan pada konsentrasi G50S50 untuk bobot basah.
Konsentrasi yang seimbang antara sitokinin dan asam giberelat akan
menimbulkan efek sinergis yang saling mendukung sehingga pertumbuhan dan
perkembangan sel akan optimal yang berpengaruh juga terhadap bobot kering tanaman
(Cavusoglu dan Kabar, 2007).
Penambahan sitokinin dan giberelin eksogen akan terjadi peningkatan kandungan
sitokinin dan giberelin di tanaman (tajuk) dan akan meningkatkan jumlah sel (oleh
hormon sitokinin) dan ukuran sel (oleh hormon giberelin) yang bersama-sama dengan
hasil fotosintat yang meningkat di awal penanaman akan mempercepat proses
pertumbuhan vegetatif tanaman (termasuk pembentukan tunas-tunas baru) selain juga
mengatasi kekerdilan tanaman (Green Tect, 2009).
19
Peningkatan berat kering terjadi karena meningkatnya laju fotosintesis berupa
fotosintat yang merupakan hasil akhir dari proses metabolisme. Produk akhir dari proses
fotosintesis adalah karbohidrat. Karbohirat merupakan materi dasar penyusun materi
organik dalam sel tanaman, seperti senyawa-senyawa struktural, metabolik dan cadangan
makanan yang penting. Bagian-bagian sel tanaman seperti sitoplasma, inti sel dan
dinding sel tersusun atas materi organik tersebut. Proses ini mengakibatkan akumulasi
berat kering (Salisbury dan Ross, 1992).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh menunjukkan bahwa
perendaman menggunakan GA3 pada konsentrasi 50 ppm lebih berpengaruh dalam
mempercepat waktu berkecambah, meningkatkan persentase perkecambahan, tinggi
tanaman, jumlah daun, luas daun, dan bobot kering daripada perendaman dengan
menggunakan sitokinin 50 ppm. Perlakuan perendaman dengan menggunakan kombinasi
GA3 dan sitokinin (G50S50) berpengaruh secara signifikan meningkatkan bobot basah dan
bobot kering. Kombinasi GA3 dan sitokinin pada konsentrasi G50S75 memberikan
pengaruh meningkatkan bobot basah dan bobot kering tanaman. Kombinasi GA3 dan
sitokinin pada G75S50 memberikan pengaruh meningkatkan persentase perkecambahan,
tinggi tanaman, jumlah daun, dan luas daun.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2005. Skarifikasi Benih Dan
Penggunaan Atonik Dalam Peningkatan Pertumbuhan Semai Balsa. Cavusoglu, K dan Kabar, K. 2007. Comparative Effects of Some Plant Growth
Regulations on The Germination of Barley and Radish Seeds under High Temperature Stress. EurAsian Jurnal of BioSciences 1:1-10
Davies, J. P. 1995. Plant Hormones, Physiology, Biochemistry and Moleculer Biology.
Kluwer Academic Publisher. Boston Duke, J. A. 1992. Promising Phytomedicinals. Advances in new crops. Timber Press.
Portland. Fahn, A. 1995. Anatomi Tumbuhan. Diterjemahkan oleh: Ahmad Soediarto dkk.
Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta
20
Gan, Y., Liu, C., Yu, H., dan Broun, P. 2007. Integration Of Cytokinin and Gibberellin
Signalling By Arabidopsis Transcription Factors GIS, ZFP8 and GIS2 In The Regulation Of Epidermal Cell Fate. Development 134: 2073-2081
Goldsworthy, P. R. dan Fisher, N. M. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik
(Diterjemahkan oleh: Tohari). Universitas Gadjah Mada Press.Yogyakarta. Green Tect. 2009. Hormonik (Hormon Tumbuh/ ZPT).
http://hijauqoe.wordpress.com/2009/01/03/hormonik-hormon-tumbuh-zpt/ [16 Juli 2009]
Hess, D. 1970. Plant Physiology: Moleculer, Biochemical, and Physiological
Fundamentals of Metabolism and Development. Springer International. Singapura
Hidayat, E. B. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji. Penerbit ITB. Bandung Iptekda-LIPI. 2001. Mengenal Tanaman Obat Pengembangan Pule Pandak (Rauvolfia
serpentine (I.) Benth. Ex. Kurz). Buletin IPTEKDA-LIPI. 1(4). Khan, M. A., Gul, B., dan Weber, D. J. 2004. Action of Plant Growth Regulators and
Salinity on Seed Germination of Ceratoides lanata. Canada Journal Botani 82: 37-42
Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta Lilly, L. M., 1990. Atributed Properties and Uses Medicinal Plants of East and Southest
Asia. The Mitt Press Cambrige. London. Leitei , C., Rosolemi, A, dan Rodriques, J. D. 2003. Gibberellin and Cytokinin Effects on
Soybean growth. Sci. Agric 60(3). Lestari, P. P. 2008. Pertumbuhan Klorofil dan Karotenoid serta Aktivitas Nitrat
Reduktase Rauvolfia verticillata Lour. pada Ketersediaan Air yang Berbeda. Skripsi. UNS. Surakarta.
Loveless, A. R. 1991. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik 1
(diterjemahkan oleh Kartawinata, K., danimiharja, S., dan Soetisna, U.). PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Nigg, H. N. dan Seigler, D. S. 1992. Phytochemia: Resources for Medicine and
Agriculture. Plenum Press. New York.
21
Rosita, M. S. D., Rostiana, O., Wachid, P., Sitepu, D. 1992. Program Penelitian Tanaman Obat di Indonesia. Makalah Seminar Pelestarian Pemanfaatan Tumbuhan Obat Dari Hutan Tropis Indonesia. IPB
Salisbury, F. B. dan Ross, C. W. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3 (diterjemahkan oleh
Dian Lukman). Penerbit ITB.Bandung. Setyowati, N dan Utami, N. W. 2008. Pengaruh Tingkat Ketuaan Buah, Perlakuan
Perendaman dengan Air dan Larutan GA3 terhadap Perkecambahan Brucea javanica (L.) Merr. Jurnal Biodiversitas (9)1: 13-16
Sitompul, S. M. dan Guritno, B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Universitas
Gadjah Mada Press. Yogyakarta Sulandjari. 2008. Tanaman Obat Rauvolfia serpentine. Ekofisiologi dan Budidaya. UNS
Press. Solo. Utami, N. W., E. A. Widjaja, dan A. Hidayat. 2007. Aplikasi Media Tumbuh dan
Perendaman Biji pada Perkecambahan Jelutung (Dyera costulata (Miq.)Hook.f). Jurnal Ilmiah Nasional Berita Biologi 8(4): 291-298.
Wattimena, G.A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. PAU IPB dengan Lembaga
Sumber Daya Informasi IPB. Bogor Windarsih, G. 2007. Pertumbuhan dan Diferensiasi Berkas Pengangkut Pada Rami
(Boehmeria nivea L. Gaudich) dengan Pemberian Asam Indol-3-Asetat dan Asam Giberelat. Skripsi. UNS. Surakarta.
Wringler, A., Purdy, S., McLean, J.A., dan Pourtau, N. 1998. Regulation of Leaf
senescence by Cytokinin, and Light. Effect on NADH-dependent Hydroxypiruvate Reductase. Plant Physiology. 116: 329-335.