Pengaruh Osteoporosis Pada Kesehatan Rongga Mulut

download Pengaruh Osteoporosis Pada Kesehatan Rongga Mulut

of 21

Transcript of Pengaruh Osteoporosis Pada Kesehatan Rongga Mulut

Pengaruh osteoporosis pada kesehatan rongga mulut BAB I PENDAHULUAN Osteoporosis merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Pada penderita penyakit ini, tulang menjadi titpis dan rapuh dan pada akhirnya akan patah (Lane, 2004). Perubahan kepadatan tulang rahang lebih banyak dijumpai pada penderita osteoporosis dibandingkan dengan orang normal. Tulang rahang atas lebih mudah mengalami osteoporosis dibanding tulang rahang bawah. Kekurangan hormon estrogen berpengaruh pada hilangnya massa tulang rahang. Kondisi ini telah mendapat perhatian di bidang kedokteran gigi karena jumlah penderita osteoporosis yang semakin bertambah dari tahun ke tahun. Gejala osteoporosis biasanya mulai timbul pada wanita berusia 51-75 tahun. Gejala ini dapat muncul lebih cepat atau lebih lambat karena tidak semua wanita memiliki resiko sama menderita osteoporosis. Prevalensi wanita menderita osteoporosis di Indonesia semakin bertambah sesuai dengan meningkatnya usia harapan hidup wanta (50-70 tahun) yaitu sejumlah 24% pada wanita berusia diantara 50-59 tahun dan sebanyak 63% untuk usia 60-70 tahun. Kerusakan tulang rahang akibat terjadinya osteoporosis adalah : rendahnya kepadatan tulang mandibula, terjadinya resorbsi residual ridge alveolar, meni[pisnya korteks mandibula, anbertambahnya jumlah gigi yang hilang karena kondisi tulang rahang yang berubah kepadatannya akibat osteoporosis dipengaruhi oleh: variasi kondisi penderita yang berhubungan dengan tekanan mekanis pada tulang rahang, perbedaan jumlah gigi, dan riwayat pemeliharaan gigi.(Barunawati, 2006). Baik osteoporosis maupun penyakit periodontal adalah penyakit resorptif tulang. Osteoporosis dan osteopenia dikarakteristikkan dengan reduksi pada massa tulang dan dapat menyebabkan fraktur dan fragilitas tulang. Kehilangan tulang alveolar yang berhubungan dengan osteoporosis membuat host rentan terhadap penyakit periodontal. (Sumintarti, 2005) Kehilangan kandungan mineral tulang pada rongga mulut berkaitan erat dengan faktor usia yang secara signifikan muncul pada usia pertengahan atau orang tua dan berhubungan dengan kondisi fisiologis serta jenis kelamin. Wanita beresiko tinggi menderita osteoporosis setelah menopause karena terhentinya produksi estrogen. Hilangnya mineral tulang dua kali lebih besar pada wanita disbanding laki-laki. Wanita kehilangan 1-5% massa tulang selama tahun pertama di awal menopause, kemudian massa tulang hilang secara perlahan. Kondisi osteoporosis dan kehilangan tulang pada ronggamulut merupakan gejala asimtomatik, biasanya baru diketahui setelah timbulnya patah tulang dan kegoyahan gig( Barunawati, 2006). Osteoporosis merupakan faktor resiko penyebab hilangnya tulang dalam rongga mulutyang dihubungkan dengan derajat keparahan resorbsi residual ridge. Hubungan antara osteoporosis sistemik dan kesehatan mulut masih menjadi masalah yang menarik untuk diteliti sampai saat ini. Resorbsi residual ridge merupakan proses biofisika yang kompleks sehingga

menyebabkan hilangnya kandungan mineral dan perubahan struktur tulang. Jumlah keseluruhan tulang dan kecepatan resorbsi tulang akan bervariasi di antara individu yang berbeda, individu yang sama dengan waktu yang berbeda. Perubahan kepadatan tulang rahang lebih banyak dijumpai pada penderita osteoporosis dibandingkan dengan orang normal. Tulang rahang atas lebih mudah mengalami osteoporosis dibanding tulang rahang bawah. Kekurangan hormon estrogen berpengaruh pada hilangnya massa tulang rahang. Kondisi ini telah mendapat perhatian di bidang kedokteran gigi karena jumlah penderita osteoporosis yang semakin bertambah dari tahun ke tahun. Gejala osteoporosis biasanya mulai timbul pada wanita berusia 51-75 tahun. Gejala ini dapat muncul lebih cepat atau lebih lambat karena tidak semua wanita memiliki resiko sama menderita osteoporosis. Prevalensi wanita menderita osteoporosis di Indonesia semakin bertambah sesuai dengan meningkatnya usia harapan hidup wanta (50-70 tahun) yaitu sejumlah 24% pada wanita berusia diantara 50-59 tahun dan sebanyak 63% untuk usia 60-70 tahun. Kerusakan tulang rahang akibat terjadinya osteoporosis adalah : rendahnya kepadatan tulang mandibula, terjadinya resorbsi residual ridge alveolar, meni[pisnya korteks mandibula, anbertambahnya jumlah gigi yang hilang karena kondisi tulang rahang yang berubah kepadatannya akibat osteoporosis dipengaruhi oleh: variasi kondisi penderita yang berhubungan dengan tekanan mekanis pada tulang rahang, perbedaan jumlah gigi, dan riwayat pemeliharaan gigi.(Barunawati, 2006). Dalam penelitian Taguchi et al menyimpulkan bahwa osteoporosis pada bagian tubuh lain berhubungan dengan tanda-tanda dalam mulut, antara lain berupa resorpsi tulang alveolar, berkurangnya ketebalan korteks mandibula dan hilangnya sejumlah gigi. Defisiensi estrogen dan osteoporosi dibuktikan oleh Payne sebagai factor resiko berkurangnya densitas tulang alveolar.(Lindawati et al, 2004) Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bahwa osteoporosis dapat mempengaruhi kesehatan rongga mulut, sehingga dapat dilakukan perawatan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. OSTEOPOROSIS 1. Definisi Penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah (Marques et al, 2003).

2.

Etiologi dan Faktor Risiko 2.1 Faktor risiko yang tidak bisa diubah Umur Tiap peningkatan 1 dekadi, risiko meningkat 1,4-1,8 Genetik Etnis (kaukasia dan oriental > kulit hitam dan polinesia), seks (wanita > pria), riwayat keluarga 2.2 Faktor risiko yang bisa diubah Lingkungan Defisiensi kalsium, aktivitas fisik kurang, obat-obatan (kortikosteroid, anti konvulsan, heparin, siklosporin), merokok, defisiensi vitamin D, alkohol, gangguan makan (anoreksia), risiko terjatuh yang meningkat (gangguan keseimbangan, licin, gangguan penglihatan) Hormonal dan penyakit kronis

Defisiensi

estrogen/androgen,

tirotoksikosis,

hiperparatiroidisme

primer, hiperkortisolisme, penyakit kronik (sirosis hepatis, gagal ginjal, gastrektomi) Sifat fisik tulang Densitas, ukuran dan geometri, miroarsitektur, komposisi

3.

Klasifikasi Chehab Rukmi Hylmi (1994) membagi osteoporosis sebagai berikut : a. Osteoporosis Primer Adalah suatu osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya dengan jelas, ini merupakan kelompok terbesar. Osteoporosis primer dibagi menjadi: 1) Osteoporosis tipe I yang timbul pada wanita post menoupouse, 2) Osteoporosis tipe II yang terdapat pada kedua jenis kelamin dengan usia yang semakin bertambah (senilis) b. Osteoporosis Sekunder Adalah suatu osteoporosis yang diketahui penyebabnya jelas. Biasanya disebabkan oleh : 1) Penyakit endokrin, 2) Nutrisi, 3) Obat-obatan c. Osteoporosis Idiopatik Adalah terjadinya pengurangan masa tulang pada: 1) Anak-anak, 2) Remaja, 3) Wanita pra menoupouse, 4) Laki-laki berusia

muda/pertengahan. Osteoporosis jenis ini lebih jarang terjadi.

4.

Patofisiologi 4.1 Umum Sel tulang terdiri atas osteoblas, osteosit dan osteoklas yang dalam aktifitasnya mengatur homeostasis kalsium yang tidak berdiri sendiri melainkan saling berinteraksi. Homeostasis kalsium pada tingkat seluler didahului penyerapan tulang oleh osteoklas yang memerlukan waktu 40 hari, disusul fase istirahat dan kemudian disusul fase pembentukan tulang kembali oleh osteoblas yang memerlukan waktu 120 hari. Dalam penyerapannya, osteoklas melepas Transforming Growth Factor yang

merangsang aktivitas awal osteoblas. Dalam keadaan normal, kuantitas dan kualitas penyerapan tulang oleh osteoklas sama dengan kuantitas dan kualitas pembentukan tulang baru oleh osteoblas. Pada osteoporosis penyerapan tulang lebih banyak dari pada pembentukan tulang baru (Roeshadi, 2001).

4.2 Osteoporosis Primer Estrogen memang merupakan salah satu faktor terpenting dalam mencegah hilangnya kalsium tulang. Selain itu, estrogen juga merangsang aktivitas osteoblas serta menghambat kerja hormon paratiroid dalam merangsang osteoklas. Estrogen memperlambat atau bahkan menghambat hilangnya massa tulang dengan meningkatkan penyerapan kalsium dari saluran cerna. Dengan demikian, kadar kalsium darah yang normal dapat dipertahankan. Semakin tinggi kadar kalsium di dalam darah, semakin kecil kemungkinan hilangnya kalsium dari tulang (untuk menggantikan kalsium darah). Estrogen juga menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cell dan sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6, dan TNFyang berperan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas osteoklas meningkat. Menopause juga menurunkan absorbsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium, maka kadar PTH akan meningkat sehingga osteoporosis akan semakin berat. Selain itu, menopause juga menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa 1,25 (OH)2 D, sehingga pemberian estrogen akan meningkatkan konsentrasi 1,25 (OH)2 D di dalam plasma. Secara umum, pada usia tua terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana resorpsi tulang meningkat sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur.

Peningkatan resorpsi tulang merupakan risiko fraktur yang independen terhadap BMD. Peningkatan osteokalsin seringkali didapatkan pada usia tua, tetapi hal ini lebih menujukkan peningkatan turnover tulang dan bukan peningkatan formasi tulang. Sampai saat ini belum diketahui pasti penyebab penurunan fungsi osteoblas pada usia tua, diduga karena penurunan kadar estrogen dan IGF-1.

4.3 Osteoporosis Sekunder Defisiensi kalsium dan vitamin D sering disebabkan oleh asupan yang kurang, anoreksia, malabsorbsi, dan paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium akan timbul hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang. Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi protein yang akan menyebabkan penurunan sintesis IGF-1. Defisiensi vitamin K juga akan menyebabkan osteoporosis karena meningkatkan karboksilasi protein tulang, misalnya osteokalsin. Defisiensi estrogen juga menjadi salah satu penyebab osteoporosis baik pada pria maupun wanita. Defisiensi estrogen pada pria juga berperan pada kehilangan massa tulang. Karena pria tidak pernah mengalami

menopause (penurunan kadar estrogen mendadak), maka kehilangan massa tulang yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Estrogen pada pria berfungsi mengatur resorpsi tulang, sedangkan estrogen dan progesteron mengatur formasi tulang. Penipisan trabekula pada pria terjadi karena penurunan formasi tulang, sedangkan putusnya trabekular pada wanita disebabkan karena peningkatan resorpsi yang berlebihan akibat penurunan kadar estrogen yang drastis saat menopause. Penurunan hormon pertumbuhan (GH) dan IGF-1 juga berperan terhadap peningkatan resorpsi tulang.

5.

Aspek Biologi Osteoporosis 5.1 Remodeling Tulang Proses yang seimbang dari resorpsi tulang secara berlanjut akan membentuk kembali tulang normal, termasuk tulang alveolar, oleh osteoklas, diikuti deposisi tulang oleh osteoblas. (Rodan, Martin, 2000) Osteoblas mensekresi protein matriks tulang, termasuk kolagen tipe-I, proteoglikan, osteokalsin, osteopontin, dan faktor pertumbuhan, lalu kemudian menstimulasi mineralisasi tulang. Osteoklastogenesis juga dibawah pengaruh osteoblas, semenjak osteoblas dipengaruhi oleh faktorfaktor yang dapat mendukung resorpsi tulang, seperti hormon paratiroid (PTH), 1,25 dihidroksivitamin D3, kalsitonin, dan prostaglandin E2 (PGE2). Tidak seperti osteoklas, osteoblas tidak memiliki turunan hemopoetik, tapi diambilkan dari prekursor mesenkimal. Prekursor sel ditarik secra kemotaktik, kemudian sel tulang mitogen, termasuk growth factor beta (TGFb) transform, platelet-derived growth factor (PDGF), protein morfogenetik tulang, fibroblast growth factor, dan insulin-like growth factors-I dan II, menyebabkan proliferasi dan diferensiasi mereka pada osteoblas. Banyak dari faktor-faktor pertumbuhan ini dirilis sebagai osteoklas pelarut tulang. Resorpsi demikian secara otomatis memicu penggantian. 5.2 Osteopenia

Osteopenia didefinisikan sebagai reduksi pada massa tulang dan deteriorasi pada arsitektur tulang, yang dapat terjadi pada usia diatas 40 tahun, merupakan ciri dari osteoporosis yang berakibat pada peningkatan fragilitas tulang dan mudahnya terjadi fraktur. (Kanis et al, 2002) Sekarang ini tidak ada metode yang akurat untuk mengukur keseluruhan kekuatan tulang. Bone Mineral Density (BMD) sering digunakan sebagai pengukuran yang mewakili dan menghitung sekitar 70% kekuatan tulang. (Kanis et al, 2002) Berdasarkan densitas massa tulang (pemeriksaan massa tulang dengan menggunakan alat densitometri), WHO membuat kriteria sebagai berikut : Normal Osteopenia Osteoporosis Osteoporosis Berat : : : : Nilai T pada BMD > -1 Nilai T pada BMD antara -1 dan -2,5 Nilai T pada BMD < -2,5 Nilai T pada BMD , -2,5 dan ditemukan fraktur

5.3 Faktor Risiko untuk Osteoporosis Prevalensi dari osteoporosis dan insidensi dari fraktur bervariasi dari segi jenis kelamin dan ras/etnik. Baik pria maupun wanita mengalami penurunan BMD terkait usia semenjak pertengahan hidup. Wanita mengalami kehilangan tulang yang lebih cepat pada awal-awal tahun menginjak menopause, yang menempatkan mereka pada risiko untuk fraktur lebih dini. (Rodan, Martin, 2000) Penyebab tersering osteoporosis pada wanita adalah penurunan estrogen yang menyertai menopause. Kehilangan estrogen dikaitkan dengan peningkatan resorpsi tulang yang disebabkan oleh peningkatan sitokin yang meregulasi generasi osteoklas, seperti: RANK-ligand; TNF-a; interleukin-1 (IL-1), IL-2, IL-6; M-CSF (Macrophage-Colony Stimulating Hormone), dan prostaglandin E. Produksi dari seluruh sitokin ini secara langsung maupun tidak langsung ditekan atau diregulasi oleh estrogen. (Kanis et al, 2002) Penggunaan glukokortikoid menyebabkan bentuk paling sering drug-related osteoporosis, dan penggunaan glukokortikoid jangka panjang

pada penyakit-penyakit seperti rheumatoid arthritis dan penyakit paru obstrukstif kronik terkait dengan angka kejadian fraktur tulang yang tinggi (Rodan, Martin, 2000). Orang yang menjalani transplantasi organ berada pada risiko tinggi untuk osteoporosis mengacu pada berbagai faktor Hipertiroidisme juga merupakan faktor risiko osteoporosis (Rodan, Martin, 2000).

6. Tanda dan Gejala Kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita osteoporosis senilis), sehingga pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala. Beberapa penderita tidak memiliki gejala. Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari punggung, yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk Dowager), yang menyebabkan ketegangan otot dan sakit. Tulang lainnya bisa patah, yang seringkali disebabkan oleh tekanan yang ringan atau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul. Yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Selain itu, pada penderita osteoporosis, patah tulang cenderung menyembuh secara perlahan. 7. Diagnosis

Pada

seseorang

yang

mengalami

patah

tulang,

diagnosis

osteoporosis ditegakkan berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik dan rontgen tulang. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan untuk menyingkirkan keadaan lainnya yang bisa diatasi, yang bisa menyebabkan osteoporosis. Untuk mendiagnosis osteoporosis sebelum terjadinya patah tulang dilakukan pemeriksaan yang menilai kepadatan tulang. Pemeriksaan yang paling akurat adalah DXA (dual-energy x-ray absorptiometry).

Pemeriksaan ini aman dan tidak menimbulkan nyeri, bisa dilakukan dalam waktu 5-15 menit. DXA sangat berguna untuk:

wanita yang memiliki risiko tinggi menderita osteoporosis penderita yang diagnosisnya belum pasti penderita yang hasil pengobatannya harus dinilai secara akurat.

8. Penatalaksanaan a. Terapi Hormon 1) Hormone Replacement Therapy (HRT) HRT melibatkan penggunaan estrogen, baik estrogen tunggal maupun kombinasi dengan dengan progesteron. Terapi ini mencegah berkurangnya massa tulang saat menopause yang disebabkan

kekurangan estrogen pada tahun-tahun berikutnya. Estrogen juga berperan dalam homeostasis kalsium yang berkaitan dengan perbaikan efisiensi absorbsi kalsium usus. (Lane, 2001) Dengan pemberian yang tepat dan jumlah yang sesuai, HRT juga akan memberikan perlindungan pada kekuatan tulang, bila kekuatan tulang dapat dijaga, kejadian patah tulang yang berbahaya dapat dihindari. (Leman, 2005) 2) Selective Estrogen Receptor Modulator (SERM) Baru-baru ini timbul minat yang besar terhadap penggunaan tamoxifen, sejenis unsur gabungan seperti estrogen (SERM) yang memiliki khasiat sebagian estrogen tetapi tidak memiliki sebagian efek samping negatifnya. (Lane, 2001)

Penggunaan tamoxifen pada wanita menopause, seperti halnya penggunaan estrogen, mencegahnya berkurangnya massa tulang pada pinggul dan tulang punggung. Oleh karena itu tamoxifen dikembangkan untuk mencegah dan mengobati osteoporosis. (Lane, 2001) b. Obat-obatan 1) Kalsium Kalsium merupakan mineral yang paling sering diberikan untuk merawat osteoporosis. Kalsium juga dapat memacu pertumbuhan tulang pada saat remaja untuk membantu mencapai puncak massa tulang. Pada wanita yang telah lama mengalami menopause, suplemen kalsium dengan dosis setidaknya 1 gram per hari dapat menurunkan tingkat berkurangnya massa tulang baik pada tulang kortikal maupun pada tulang trabekular. (Lane, 2001) 2) Biophosphonat Biophosphonat menstabilkan struktur tulang dengan menekan kerja osteoklas sendiri dan beberapa enzim pendukung kerja sel penyerap tulang tersebut (Muljadi, 2001). Keistimewaan biophosphonat adalah kemampuannya untuk mencegah berkurangnya tulang.

Biophosphonat mempengaruhi dan membatasi resorpsi tulang dengan menduduki permukaan tulang dan membentuk sel osteoklas yang menguraikan tulang, agar tidak melekat pada tulang atau tidak melepaskan enzim yang melarutkan tulang. Namun, unsur ini tidak menghancurkan osteoklas. (Lane, 2001) 3) Kalsitonin Keistimewaan kalsitonin adalah memelihara dan mencegah berkurangnya massa tulang pada penderita osteoporosis (Lane, 2001). Kalsitonin turut menjaga kestabilan struktur tulang dengan mengaktifkan kerja osteoblas dan menekan kinerja osteoklas. Hanya saja efek sampingnya juga kurang menyenangkan seperti, pusing, dada berdebar, mual, kesemutan, gatal dan bengkak pada muka karena alergi. (Muljadi, 2001)

c. Hormon Paratiroid Merupakan protein hormon yang dibentuk dalam tubuh oleh kelenjar paratiroid yang terletak di leher. Berfungsi mengontrol jumlah kalsium dan fosfat dalam tubuh. Kalsium yang dilepaskan dari tulang secara cepat digantikan. Hormon paratiroid juga dapat meningkatkan aktivitas osteoblas untuk mencapai pertambahan jaringan dari tulang baru. (Arnaud, 2001) d. Vitamin D Pengaruh vitamin D dalam memperlambat proses terjadinya osteoporosis adalah melalui kemampuannya memelihara kesehatan tulang. Caranya dengan meningkatkan meningkatkan penyerapan mineral kalsium dari sistem pencernaan serta mengurangi ekskresinya dari ginjal. (Muljadi, 2001) Perawatan pasien osteoporosis dengan 1,25 dihidroxyvitamin D, meningkatkan absorbsi kalsium, memperbaiki keseimbangan kalsium dan mengurangi kehilangan tulang. (Arnaud, 2001) Perawatan estrogen pada wanita pascamenopause juga akan meningkatkan kadar vitamin D dalam darah dan meningkatkan penyerapan kalsium dalam usus. Namun kekurangan vitamin D dapat terjadi pada orang yang selalu berada dalam ruangan atau mengalami malnutrisi akut. (Lane, 2001) e. Olahraga Pada usia 50-55 tahun merupakan masa pencegahan puncak, seperti dengan latihan beban dan olahraga yang melatih ketahanan. Menurut penelitian, olahraga dapat menahan dan membentuk massa tulang. Olahraga merupakan aspek positif bagi kesehatan tulang. Dengan berolahraga, bukan hanya kekuatan otot yang terpelihara, namun sumsum tulang juga akan dipacu aktif untuk menghasilkan sel-sel darah merah. Dengan kondisi ini, menyebabkan rendahnya pengambilan senyawa kalsium dari tulang. (Muljadi, 2001)

B. Osteoporosis dan Kesehatan rongga mulut 1. Patofisiologi Osteoporosis merupakan penyakit tulang metabolic yang paling sering dijumpai pada perempuan setelah menopause. Berkurangnya kepadatan tulang secara progresif mengakibatkan tulang menjadi rapuh dan mudah patah, terjadi gangguan keseimbangan formasi tulang dan resorbsii tulang. Osteoporosis ditandai dengan berkurangnya jumlah kalsium dan fosfor pada tulang. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya pembentukan tulang dan kekuatan tulang, meskipun rasio mineral dengan elemen organic tidak berubah pada tulang normal yang tersisa. Kondisi osteoporosis yang mengakibatkanhilangnya tulang rongga mulut merupakan gejala asimtomatik dan biasanya baru terdiagnosa setelah terjadi kegoyahan gigi yang diikuti dengan hilangnya gigi dalam rongga mulut. Berkurangnya kepadatan tulang sebesar 2,6% menyebabkan kekuatan tulang dalam menahan beban berkurang sebesar 20%. Berkurangnya kepadatan tulang 35-49% pada kelompok usia 20-80 tahun akan menyebabkan berkurangnya kekuatan tulang dalam menhan beban sebesar 6065%. Kondisi tulang yang mengalami osteoporosis tidak dapat lagi menahan beban fungsional sehingga pada akhirnya akan terjadi resorbsi tulang yang berlangsung lebih cepat bahkan terjadi fraktur. Osteoporosis dikelompokkan menjadi : osteoporosis setelahmenopause dan osteoporosis senilis, serta osteoporosis sekunder. Faktor yang mempengaruhi kecepatan resorbsi tulang diantara individu yang berbeda adalah : a) Anatomi struktur mandibula, yang meliputi: ukuran, bentuk, ketebalan mukoperiostium, kepadatan residual ridge yang bisa diketahui melalui pemeriksaan rontgen foto; B0 Metabolisme tubuh yang meliputi : factor anabolisme dankaytabolisme, factor nutrisi,hormonal,usia dan kesehatan umum; c) Faktor fungsional, seperti: frekuensi, intensitas, durasi, arah tekanan yang diberikan pada tulang kemudian ditranslasikan ke dalam bentuk aktivitas seluler sehingga menghasilkan pembentukan dan resorbsi tulang; d) Faktor prostetik, meliputi: teknik, bahan, konsep, prinsip, praktek yang berhubungan dengan protesa. Estrogen merupakan hormone utama pada wanita yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang, Kesimbangan antara pembentukan resorbsi tulang tulang pada prosesmremodeling tulang membutuhkan jumlah kalsium yang cukup. Gangguan pada proses remodeling tulang akanmenyebabkan wanita yang telah mengalami menopause beresiko tinggi ,menderita osteoporosis. Jumlah estrogen yang berkurang akan menyebabkan resorbsi tulang berlangsung lebih cepat dibandingkan peembentukan tulang, sehingga masa tulang menjadi

berkurang. Kondisi berkurangnya estrogen akan mengakibatkan osteoblas menjadi hipoaktif dan terjadi peningkatan jumlah osteoklas. Proses remodeling tulang melibatkan osteoklas dan osteoblas. Osteoklas akan berpindah ke area permukaan tulang yang akan diresorbsi sehingga terjadi proses resorbsi tulang, selanjutnya osteoblas akan berdiferensiasi di tempat terjadinya terjdinya rsorbsi tulang sehingga akan terbentuk tulang baru. Perubahn jumlah osteoklas yang menigkat dan kondisi osteoblas menjadi hipoaktif akanmengakibatkan proses resorbsi tulang tidak dapat diimbangi oleh proses pembentukan tulang,sehingga proses remodeling tulang menjadi terganggu pada penderita osteoporosis. Osteoporosis ditandai dengan berkurangnya jumlah kalsium dan fosfor pada tulang. Menurunnya kadar kalsium dalam darah berpengaruh pada pelepasan kalsium oleh tulang yang berperan menjaga kadar mineral dalam darah tetap seimbang. Jika tubuh tidak mampu mengaturkandungan mineral dalam tulang, tulang menjadi kurang padat, lebih rapuh seperti yang terjadipada kondisi osteoporosis. Tulang yang mengalami osteoporosis tidak dapat menahan beban fungsional tubuh sehingga pada akhirnya menyebabkan resorbsi tulang berlangsung lebih cepat bahkan terjadi fraktur. Pelepasan kalsium tulang ke dalam darah akan memperparah kondisi kehilangan massa tulang pada penderita osteoporosis. Kekurangan hormone estrogen berperan pada terjadinya osteopenia. Beberapa penelitian menemukan hubungan antara osteoporosis, osteopenia dan hilangnya tulang rongga mulut. Manifestasi oral pada penderita osteoporosis berupa: kehilangan tulang pada rongga mulut, kehilangan sebagian besar gigi karena gigi banyak yang goyah sehingga perlu dicabut, berkurangnya kepadatan mineral tulang, dan resorbsi alveolar ridge. Osteoporosis merupakan derajat terberat akibat osteopenia atau berkurangnya massa tulang, yang dapat mengakibatkan rasa sakit, kerusakan bentuk, dan fraktur tulang. Hormon estrogen yang berkurang npada kondisi osteoporosis akan berpengaruh pada kepadatan tulang rongga mulut dan tulang rangka tubuh. Tanda awal osteoporosis dapat terlihat pada rontgen gigi yang ditunjukkan dengan perluasan lamina dura, hiklangnya gigi pada mandibula dan hilangnya perlekatan jaringan periodontal. Radiografi rongga mulut digunakan untuk mengetahui kepadatan residual ridge sehingga dapat dipakai untukmengidentifikasi individu dengan kepadatan mineral tulang yang rendah, perubahan kepadatan massa tulang, resiko tinggi terjadinya patah tulangosteoporosis. Penilaian radiografi diperlukan sebelum dilakukan rencana perawatan prostodonsi untuk mengetahuikepadatan mineral tulang (BMD) rahang, sepeerti radiografi panoramic dan radiografi periapikal. Kepadatan mineal tulang rangka tubuh dapat dihubungkan dengan kondisi kesehatan tulang pada rongga mulut seperti: pengurangan residual ridge, pengurangan tinggi tulang alveolar, dan kepadatan massa tulang mandibula.

Hubungan antaara kepadatan mineral tulang rangka tubuh dengan kondisi kesehatan rongga mulut dapat dibandingkan dengan menggunakan pengukuran secara radiografis. Porositas tulang korteks mandibulka pada pemeriksaan raadiografik panoramic berkaitan erat dengan fraktur tulang rangka akibat osteoporosis. Radiografi tulang basal dan tulang alveolar pada wanita penderita osteoporosis memperlihatkan adanya adanya perubahan morfologi tulang trabekula mandibula dan maxilla. Pemeriksaan kepadatan tulang pada radiografi gigi dapat untuk mendeteksi gejala awal osteoporosis sehingga seorang dokter gigi dapat segera merujuk pasiennya kepada seorang dokter untuk penanganan lebih lanjut. Perbandingan kepadatsn tulang rongga mulut dengantulang rangka tubuh dapat digunakan untuk mendeteksi gejala awal osteoporosis, apabila ditemukan gambaran radiografis berkurangnya kepadatan tulang. Pemeriksaan radiogarfi memerlukan teknik khusus karena obyek tiga dimensi berubah menjadi dua dimensi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi buruknya, luas atau sempitnya residual ridge dan kalsifikasi tulang. Metode terbaru dalam mendiagnosa osteoporosis adalah dengan menggunakan alat ukur postur P (tipe 1) yang terdiri atas beberapa pertanyaan mengenai factor resiko yang dapat diukur sendiri oleh sub yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi buruknya, luas atau sempitnya residual ridge dan kalsifikasi tulang. Metode terbaru dalam mendiagnosa osteoporosis adalah dengan menggunakan alat ukur postur P (tipe 1) yang terdiri atas beberapa pertanyaan mengenai factor resiko yang dapat diukur sendiri oleh subek/pasien tanpa bantuan tenagaa kesehatan/dokter gigi. Apabila hasil penskoran yanmg dilakukan pasien menunjukkan resiko terjadinya osteoporosi tulang mandibula pasien dapat dirujuk lebih lanjut untuk pemeriksaan radiograf periapikal/digitized radiograph. Pasien dengan riwayat dan factor resiko tinggi terkena osteoporosis perlu mendapat pemeriksaan awal tentang kepadatan tulang rongga mulut sebelum dilakukan perawatan lebih lanjut. Baik osteoporosis maupun penyakit periodontal adalah penyakit resorptif tulang. Osteoporosis dan osteopenia dikarakteristikkan dengan reduksi pada massa tulang dan dapat menyebabkan fraktur dan fragilitas tulang rangka. Pada kebanyakan wanita, massa tulang mencapai puncaknya pada dekade ketiga (usia 20-30 tahun) dan menurun sesudahnya. Penurunan pada massa tulang dipercepat oleh oleh onset menopause, dan gejala-gejala oral juga ditemukan sebagai penyerta pada menifestasi sistemik dari menopause.

Peningkatan insiden diamati dari ketidaknyamanan oral, termasuk nyeri, sensasi terbakar, kekeringan, gangguan persepsi rasa. Selama dekade terakhir ini, beberapa orang peneliti yang mempelajari hubungan antara osteoporosis dan kehilangan tulang di sekitar rongga mulut menyimpulkan bahwa osteoporosis menyebabkan perubahan yang nyata pada tulang belakang, tulang panjang, dan juga terjadi pada tulang mandibula. Kehilangan tulang alveolar secara mudah dapat menujukkan terjadinya oesteoporosis. Usia dihubungkan dengan kehilangan tulang yang dapat mempengaruhi tulang skeletal dalam kurun waktu tertentu, dan beberapa peneliti mendukung bahwa meningkatnya kehilangan tulang alveolar terutama kahilangan gigi merupakan manifestasi dari osteoporosis. Dalam penelitian Lindawati et al (2004) menyimpulkan bahwa adanya hubungan antara densitas tulang mandibula dan densitas tulang lainnya, dimana dalam penelitian ini digunakan analisis trabekulasi tulang mandibula melalui radiograf periapikal, karena osteoporosis pada wanita pasca menopause lebih banyak mengenai tulang trabekula, yang disebabkan adanya perbedaan respon tulang kortikal dan tulang trabekula terhadap kehilangan tulang. (Lindawati et al, 2004) Fisiologi tulang normal bergantung pada aktivitas seimbang 3 jenis sel yaitu osteoblas yang berguna untuk membentuk tulang, osteosit untuk mempertahankan, serta osteoklas untuk menghancurkan tulang. Bila

keseimbangan ini terganggu,

maka tulang akan resorpsi. Gangguan

keseimbangan fisiologis tulang dapat terjadi akibat kombinasi faktor anatomis, metabolik, dan mekanis. Faktor anatomis berupa kualitas dan kuantitas tulang alveolar, faktor metabolik berupa faktor sistemik seperti berkurang hormon estrogen, hormon paratiroid, faktor mekanis berupa besar, lama, serta arah gaya yang bekerja pada tulang alveolar. Weinman dan Sicher menyatakan bahwa beban pada tulang akan menghambat sirkulasi darah pada tulang dan menyebabkan resorpsi tulang. (Lindawati et al, 2000) Defisiensi estrogen mempertinggi tingkat kerusakan komponen jaringan ikat dari ginggiva dengan menstimulasi sinstesis matrix metalloproteinases

(MMP-8 dan MMP-13), nitric oxide, dan beberapa sitokin yang terlibat dalam resorpsi tulang. Defisiensi estrogen juga meningkatkan konsentrasi IL-6 pada sumsum tulang, serum, dan ginggiva (Johnson et al, 2002), yang secara kooperatif menstimulasi resorpsi tulang osteoklas. Sebuah studi cross sectional pada wanita pre dan postmenopausal melaporkan korelasi yang signifikan antara alveolar dan metacarpal BMD dan peningkatan konsentrasi IL-6 saliva pada wanita postmenopause (Reihardt et al, 1999). Kribbs pada penelitiannya membuktikan adanya hubungan antara densitas mandibula dengan tulang skeletal, serta adanya pengaruh langsung osteoporosis pada tulang mandibula. Ini dapat diasumsikan bahwa pasien dengan densitas mandibula yang kurang, patut dicurigai adanya osteoporosis (Lindawati et al, 2000). Kehilangan tulang alveolar yang berhubungan dengan osteoporosis membuat host rentan terhadap penyakit periodontal. Beberapa gambaran dapat menerangkan kemungkinan hubungan, walaupun osteoporosis adalah suatu penyakit metabolit tulang dan penyakit periodontal adalah suatu penyakit inflamasi. Proses resorpsi tulang dapat diperhitungkan untuk menghubungkan osteoporosis dan penyakit periodontal. Penyakit periodontal adalah penyakit inflamasi kronik yang pada akhirnya menyebabkan kehilangan dari struktur penyangga gigi, termasuk resorpsi dari tulang alveolar rahang. Periodontitis adalah penyakit yang paling sering pada tulang pada manusia, menjadi cukup berat untuk menyebabkan kehilangan gigi pada 10-15% orang dewasa (Brown, Loe, 2000) dan dapat dieksaserbasi oleh faktor sistemik, seperti defisiensi estrogen (Johnson et al, 2002). Suatu penelitian menyimpulkan bahwa tingginya kehilangan perlekatan disertai oleh besarnya kedalaman probing dan resesi ginggiva telah ditemukan pada tempat-tempat osteoporosis di mandibula bukan pada maksila. Parameter periodontal dipengaruhi oleh pemeriksaan faktor penumpukan plak, lokasi gigi, dan rahang. Mereka juga mendukung bahwa osteoporosis pascamenopause mempunyai peranan dalam patogenesis penyakit periodontal, khususnya pada

mandibula, walaupun penyebab dari penyakit periodontal masih tetap multifaktorial. (Shen et al, 2004) Wactawski-Wende mengatakan bahwa orang yang didiagnosa dengan penyakit periodontal memiliki risiko tinggi yang mendasari osteoporosis. Osteoporosis dan penyakit periodontal merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius (Baker, 1998). Kehilangan tulang secara sistemik telah dikutip sebagai faktor risiko terhadap penyakit periodontal. Beberapa peneliti dalam penelitiannya menyimpulkan Bone Mineral Density wanita pascamenopause dihubungkan dengan kehilangan tulang alveolar. Penelitian lain menunjukkan bahwa wanita yang memilki banyak kalkulus dan Bone Mineral Density yang rendah, secara klinis menunjukkan kehilangan perlekatan yang sangat besar dibanding wanita yang memiliki Bone Mineral Density normal. Menurut Papas, ketika gigi masih lengkap, tulang alveolar merespon tekanan fisiologik dengan membentuk trabekula dengan baik. Namun setelah gigi hilang, massa tulang berkurang. Hal ini disebabkan oleh atrofi karena tidak aktifnya tulang sehingga mempengaruhi pergantian tulang pada saat remodeling. Penelitian lain menyatakan bahwa penurunan densitas tulang berhubungan dengan kehilangan gigi-gigi posterior pada perempuan

pascamenopause. (Lindawati et al, 2004)

a.

Evaluasi dan Penatalaksanaan Gigi dapat mencegah tulang rahang dari penipisan. Bila seseorang

kehilangan gigi, tulang rahang menjadi kehilangan bentuknya yang menyebabkan kesulitan dalam pembuatan implant dan gigi tiruan. Akibat pengurangan massa tulang yang berlebihan, gigi tiruan menjadi longgar dan goyah. Oleh karena itu, osteoporosis perlu dideteksi lebih dini agar pola perawatannya tepat serta tidak terjadi fraktur dan patah tulang.

Ketidaknyamanan pada gigi tiruan dapat menimbulkan mulut sakit dan kehilangan fungsi utamanya yaitu berbicara dan makan. (Lindawati et al, 2004)

Dokter gigi mempunyai posisi strategis dalam mendeteksi osteoporosis dengan radiografi. Seorang dokter gigi dapat menggunakan status gigi pasiennya yang menderita periodontitis dan kehilangan gigi sebagai petunjuk mempermudah diagnosa umum dari osteoporosis, dan untuk evaluasi dari perawatan secara sistemik serta manfaatnya pada kesehatan mulut. (Ronit et al, 2004) Dokter gigi harus memberikan beberapa anjuran pada pasien yang mengalami osteoporosis dan periodontitis. Pertama, dokter gigi harus menegaskan kebiasaan membersihkan rongga mulut setiap hari dengan tepat. Kedua, menginstruksikan pada pasien untuk memperbaiki gaya hidup dengan berhenti merokok serta mengkonsumsi alkohol dan kafein yang terlalu banyak. Terakhir, dokter gigi harus menginformasikan manifestasi osteoporosis di rongga mulut sehingga memudahkan evaluasi medis dan perawatan

Kesimpulan 1. Osteoporosis diakibatkan oleh berkurangnya kadar estrogen sehingga akan berpengaruh pada berkurangnya massa dan kepadatan mineral tulang alveolar. 2. Pada kondisi osteoporosis terjadi peningkatan jumlah osteoklas sedangkan osteoblas menjadi hipo aktif. Kondisi ini mengakibatkan proses resorbsi tulang alveolar tidak diimbangi dengan pembentukan tulang baru. 3. Kondisi hilangnya massa tulang alveolar karena osteoporosis akan berpengaruh pada keberhasilan perawatan prostodonsi, oleh karena itu kondisi osteoporosis pada pasien menjadi salah satu factor yang harus diperhatikan sebelum pembuatan gigi tiruan dan pemakaian implant. Dalam penelitian Lindawati et al (2004) menyimpulkan bahwa adanya hubungan antara densitas tulang mandibula dan densitas tulang lainnya, dimana dalam penelitian ini digunakan analisis trabekulasi tulang mandibula melalui radiograf periapikal, karena osteoporosis pada wanita pasca menopau lebih se banyak mengenai tulang trabekula, yang disebabkan adanya perbedaan respon

tulang kortikal dan tulang trabekula terhadap kehilangan tulang. (Lindawati et al, 2004) Fisiologi tulang normal bergantung pada aktivitas seimbang 3 jenis sel yaitu osteoblast yang berguna untuk membentuk tulang, osteosit untuk mempertahankan, keseimbangan serta osteoklas maka untukmenghanmcurkan tulang tulang. Bila

ini terganggu

akan resorpsi.

Gangguan

keseimbangn fisiologis tulang dapat terjadi akibat kombinasi factor anatomis, metabolic dan mekanis. Faktor anatomis berupa kuantitas dan kualitas tulang alveolar, factor metabolic berupa factor sistemik seperti berkrangnya hormone estrogen, hormone paratiroid, factor mekanis berupa besar lama serta arah gaya bekerja pada tulang alveolar. Weinman and Sicher menyatakan bahwa beban pada tulang akan menghambat sirkulasi darah pada tulang dan menyebabkan resorpsi tulang. Kribbs pada penelitiannya membuktikan adanya hubungan antara densitas mandibula dengan skeletal, srta adanya pengaruh langsung osteoporosi pada tulang mandibula. Ini dapat diasumsikan bahwa pasien dengan densitas mandibula yang kurang, patut dicurigai adanya osteoporosis. Suatu penelitian penelitian menyimpulkan bahwa tingginya kehilangan perlekatan disertai besarnya kedalaman probing dan resesi gingival telah ditemukan pada tempat-tempat osteoporosis di mandibula bukan pada maksila. Parameter periodontal dipengaruhi oleh pemeriksaan factor penumoukan plak, loksai gigi, dan rahang. Mereka juga mendukung bahwa osteoporosi pasca menopause mempunyai peranan dalam pathogenesis penyakit periodontal khususnya pada mandibula, walaupun penyebab dari penyakit periodontal masih tetap multifaktorial.(Echin sen) Perempuan dengan osteoporosis beresiko tinggi mengembangkan penyakit gusi dan kehilangan gigi mereka, penilaian skala besar pertama dari hubungan antara metabolisme tulang dan lisan kesehatan telah ditampilkan. Para peneliti di Universitas di Buffalo yang dipimpin oleh Jean WactawskiWende, Ph.D., dibandingkan kepadatan tulang-mineral dan dua ukuran kesehatan mulut di 2.599 wanita pascamenopause yang berpartisipasi dalam

Kesehatan dan Nutrisi Ujian Nasional Survey III (NHANES), dilakukan antara 1988 dan 1994.

Analisis mereka menunjukkan hubungan yang kuat dan langsung antara kehilangan tulang, lampiran permen-rugi (indikator periodontitis, atau penyakit gusi) dan gigi rugi.

Hasil analisis disajikan di Philadelphia hari ini di sebuah simposium yang ditujukan untuk biomedis integratif pada pertemuan tahunan Asosiasi Amerika untuk Kemajuan Ilmu.Simposium ini dipimpin oleh Robert J. Genco, DDS, Ph.D., profesor dan ketua Departemen Lisan Biologi Universitas Brawijaya. Wactawski-Wende mengatakan mereka berpikir bahwa hilangnya kandungan mineral membuat tulang lebih rentan terhadap bakteri periodontal, yang kemudian meningkat detasemen gusi dan resiko kehilangan gigi.