Pengaruh Militer Terhadap Kepemimpinan Soeharto

3
PENGARUH MILITER TERHADAP KEPEMIMPINAN SOEHARTO Soeharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta. Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL. Selama Perang Dunia II, dia menjadi komandan batalion di dalam militer yang disponsori oleh Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air). Setelah proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno pada 1945, pasukannya bentrok dengan Belanda yang sedang berupaya mendirikan kembali hukum kolonialisme. Soeharto dikenal luas dalam militer dengan serangan tiba-tibanya yang menguasai Yogyakarta pada 1 Maret 1949 (lihat Serangan Umum 1 Maret) hanya dalam satu hari Di tahun berikutnya dia bekerja sebagai pejabat militer di Divisi Diponegoro Jawa Tengah. Pada 1959 dia dituduh terlibat kasus penyelundupan dan kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani. Namun atas saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat. Soeharto mengalami konflik pribadi dengan Kolonel D.I. Panjaitan. Sebelumnya Letkol Soeharto menjadi komandan penumpasan pemberontakan di Makassar dibawah komando Kolonel Alex Kawilarang di mana Soeharto mengalami konflik pribadi dengan Kawilarang akibat keteledorannya sehingga huru-hara meletus kembali ketika Kawilarang melaporkan situasi Makassar yang dianggap aman kepada Presiden Soekarno di Jakarta. Pada 1961 dia mencapai pangkat brigadir jendral dan memimpin Komando Mandala yang bertugas merebut Irian Barat. Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965. Pada 1965, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat mengalami konflik internal, terutama akibat

Transcript of Pengaruh Militer Terhadap Kepemimpinan Soeharto

Page 1: Pengaruh Militer Terhadap Kepemimpinan Soeharto

PENGARUH MILITER TERHADAP KEPEMIMPINAN SOEHARTO

Soeharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta. Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL. Selama Perang Dunia II, dia menjadi komandan batalion di dalam militer yang disponsori oleh Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air).

Setelah proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno pada 1945, pasukannya bentrok dengan Belanda yang sedang berupaya mendirikan kembali hukum kolonialisme. Soeharto dikenal luas dalam militer dengan serangan tiba-tibanya yang menguasai Yogyakarta pada 1 Maret 1949 (lihat Serangan Umum 1 Maret) hanya dalam satu hari

Di tahun berikutnya dia bekerja sebagai pejabat militer di Divisi Diponegoro Jawa Tengah. Pada 1959 dia dituduh terlibat kasus penyelundupan dan kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani. Namun atas saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat. Soeharto mengalami konflik pribadi dengan Kolonel D.I. Panjaitan. Sebelumnya Letkol Soeharto menjadi komandan penumpasan pemberontakan di Makassar dibawah komando Kolonel Alex Kawilarang di mana Soeharto mengalami konflik pribadi dengan Kawilarang akibat keteledorannya sehingga huru-hara meletus kembali ketika Kawilarang melaporkan situasi Makassar yang dianggap aman kepada Presiden Soekarno di Jakarta.

Pada 1961 dia mencapai pangkat brigadir jendral dan memimpin Komando Mandala yang bertugas merebut Irian Barat. Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965.

Pada 1965, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat mengalami konflik internal, terutama akibat politik Nasakom pada saat itu sehingga digambarkan pecah menjadi dua faksi, satu sayap kiri dan satu lagi sayap kanan, dengan Soeharto berada di bagian sayap kanan. Hal terpenting yang diperoleh Soeharto dari operasi militer ini adalah perkenalannya dengan Kol. Laut Sudomo, Mayor Ali Murtopo, Kapten Benny Murdani yang kemudian tercatat sebagai orang-orang terpenting dan strategis di tubuh pemerintahannya kelak.

Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Sutopo bersama pasukan lain menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu Jendral A.H. Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos.

Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima

Page 2: Pengaruh Militer Terhadap Kepemimpinan Soeharto

Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S (Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia. dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Jendral Soeharto akhirnya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS pada tahun 1967, kemudian mendirikan apa yang disebut Orde Baru.

Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin).