PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

22
PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP RISIKO INFEKSI PERNAFASAN PADA PASIEN POST OPERASI LAPARATOMI DENGAN GENERAL ANESTESI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LABUANG BAJI MAKASSAR 2017 Arifuddin 1 Kusnanto 2 Fitrian Rayasari 3 Universitas Muhammadiyah Jakarta, Program Magister Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan e-mail : [email protected] ABSTRAK Laparatomi merupakan salah satu prosedur pembedahan yang menggunakan anestesi. Salah satu efek general anestesi adalah hypersekresi mucus di saluran pernafasan, untuk mengatasi salah satunya adalah dengan batuk efektif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaruh batuk efektif terprogram terhadap risiko infeksi pernafasan pada pasien post operasi laparatomi dengan general anestesi di RSUD Labuang Baji Makassar. Besar sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 orang untuk kelompok intervensi 15 orang dan kelompok kontrol 15 orang. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, lembar observasi dan SOP tehnik batuk efektif. Penelitian ini menggunakan desain Quasi Eksperimental dengan pendekatan pre-test and post-test with control group design. Analisis data yang digunakan adalah Uji Chi-Square. Hasil yang didapatkan bahwa ada perbedaan pengaruh latihan batuk efektif terprogram terhadap resiko infeksi pernafasan pada katagori leukosit dengan nilai P Value = 0,040 (p < 0,05). Suhu dengan nilai P Value = 0,009 (p < 0,05), batuk dengan nilai P Value = 0,006 (p < 0,05), dan frekuensi nafas dengan nilai P Value = 0,000 (p < 0,05). Saran dari penelitian ini diharapkan tenaga perawat mampu mengajarkan latihan batuk efektif yang baik dan benar serta mampu memantau pelaksanaan latihan tersebut, tepatnya pada pasien post operasi dengan general anastesi. Sehingga akan tercapai manfaat yang lebih maksimal. Kata kunci : Latihan batuk efektif, infeksi pernapasan, general anestesi. Kepustakaan : 39 (2007-2017)

Transcript of PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

Page 1: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP RISIKO

INFEKSI PERNAFASAN PADA PASIEN POST OPERASI LAPARATOMI DENGAN

GENERAL ANESTESI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LABUANG BAJI

MAKASSAR 2017

Arifuddin 1

Kusnanto 2 Fitrian Rayasari

3

Universitas Muhammadiyah Jakarta, Program Magister Keperawatan, Fakultas Ilmu

Keperawatan

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Laparatomi merupakan salah satu prosedur pembedahan yang menggunakan anestesi. Salah

satu efek general anestesi adalah hypersekresi mucus di saluran pernafasan, untuk mengatasi

salah satunya adalah dengan batuk efektif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

menganalisa pengaruh batuk efektif terprogram terhadap risiko infeksi pernafasan pada pasien

post operasi laparatomi dengan general anestesi di RSUD Labuang Baji Makassar. Besar

sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 orang untuk kelompok intervensi 15 orang dan

kelompok kontrol 15 orang. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, lembar

observasi dan SOP tehnik batuk efektif. Penelitian ini menggunakan desain Quasi

Eksperimental dengan pendekatan pre-test and post-test with control group design. Analisis

data yang digunakan adalah Uji Chi-Square. Hasil yang didapatkan bahwa ada perbedaan

pengaruh latihan batuk efektif terprogram terhadap resiko infeksi pernafasan pada katagori

leukosit dengan nilai P Value = 0,040 (p < 0,05). Suhu dengan nilai P Value = 0,009 (p <

0,05), batuk dengan nilai P Value = 0,006 (p < 0,05), dan frekuensi nafas dengan nilai P

Value = 0,000 (p < 0,05). Saran dari penelitian ini diharapkan tenaga perawat mampu

mengajarkan latihan batuk efektif yang baik dan benar serta mampu memantau pelaksanaan

latihan tersebut, tepatnya pada pasien post operasi dengan general anastesi. Sehingga akan

tercapai manfaat yang lebih maksimal.

Kata kunci : Latihan batuk efektif, infeksi pernapasan, general anestesi.

Kepustakaan : 39 (2007-2017)

Page 2: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

LATAR BELAKANG

Operasi atau pembedahan merupakan suatu

penanganan medis secara invasif yang

dilakukan untuk mendiagnosa atau

mengobati penyakit, injuri, atau deformitas

tubuh (Nainggolan, 2013). Kiik (2012)

menyatakan bahwa tindakan pembedahan

akan mencederai jaringan yang dapat

menimbulkan perubahan fisiologis tubuh

dan mempengaruhi organ tubuh lainnya.

Salah satu jenis pembedahan yang

bertujuan untuk mengatasi masalah pada

abdomen adalah laparatomi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari

World Health Organization (WHO) dalam

Sartika (2013), jumlah pasien dengan

tindakan operasi mencapai angka

peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat

di tahun 2011 terdapat 140 juta pasien di

seluruh rumah sakit di dunia, sedangkan

pada tahun 2012 data mengalami

peningkatan sebesar 148 juta jiwa.

Tindakan operasi di Indonesia pada tahun

2012 mencapai 1,2 juta jiwa (WHO dalam

Sartika, 2013). Berdasarkan Data Tabulasi

Nasional Departemen Kesehatan Republik

Indonesia Tahun 2009, tindakan bedah

menempati ururan ke-11 dari 50 pertama

penanganan pola penyakit di rumah sakit

se Indonesia yang diperkirakan 32%

diantaranya merupakan tindakan bedah

laparatomi yang meningkat 15 % dari

tahun sebelumnya (DEPKES RI, 2009).

General anestesi adalah anestesi yang

biasanya dilakukan pada operasi besar,

memerlukan ketenangan dari pasien karena

waktu pelaksanaannya yang lama. Anestesi

ini dilakukan dengan cara memasukkan

obat bius baik secara inhalasi maupun

intravena sesaat sebelum pasien dioperasi.

Obat-obatan tersebut bekerja menghambat

aliran listrik ke otak, sehingga otak tidak

bisa mengenali impuls nyeri di area tubuh

tertentu, membuat pasien dalam kondisi

tidak sadar, dan merelaksasi otot. Semua

obat general anestesi dapat menyebabkan

depresi pernapasan sekunder yang

berlangsung selama operasi hingga paska

operasi sebagai efek sisa anestesi.

Perubahan system pernapasan yang terjadi

pada paru ditandai oleh penurunan volume

paru terutama adanya penurunan VC (Vital

Capacity) yang sangat besar yang dapat

mencapai 40–70% dari nilai pre-

operativnya. Disamping itu juga terjadi

penurunan FRC (Functional Residual

Capacity) yang mempunyai efek yang

signifikan terhadap fungsi paru, yaitu

terjadinya penurunan komplian paru,

peningkatan tahanan jalan napas,

mempercepat kolapsnya paru pada bagian

dependent dan berkontribusi terhadap

abnormalitas dari pertukaran gas (Nur

Basuki, 2009).

Mual muntah pasca operasi atau

postoperative nausea and vomiting

(PONV) adalah efek samping yang sering

terjadi setelah tindakan anestesi, angka

kejadiannya lebih kurang 1/3 dari seluruh

pasien yang menjalani operasi atau terjadi

pada 30% pasien rawat inap dan sampai

70% pada pasien rawat inap yang timbul

dalam 24 jam pertama, Chandra (2012).

Efek lain dari general anestesi pada system

pernapasan adalah penurunan kemampuan

pengontrolan posisi lidah yang akan

berpengaruh terhadap patensi jalan napas,

dan juga penurunan kemampuan batuk

efektif serta muntah, sehingga dapat

menyebabkan terjadinya penumpukan

sekret pada saluran napas. Reflek batuk

yang masih lemah dan nyeri akibat luka

operasi pada abdomen dapat menimbulkan

akumulasi secret di jalan napas. Kondisi ini

akan menimbulkan komplikasi paska

operasi pada system pernapasan.

(Muttaqin, 2009; Perry & Poter, 2014,

Rondhianto,dkk. 2016).

Hipersekresi mukus dan depresi

pernapasan efek anestesi dan immobilisasi

akan menyebabkan penumpukan sekret di

orofaring. Staphylococcus aureus pada

awalnya merupakan flora normal yang ada

pada saluran napas dalam 48 jam akan

berkembang dan berkolonisasi serta dapat

Page 3: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

masuk ke paru-paru melalui inhalasi yang

dapat menyebabkan pneumonia (Kohl &

Hanson, 2010; Rondhianto,dkk. 2016).

Beberapa tindakan pembedahan dengan

derajat sedang sampai operasi besar yang

memerlukan perawatan di ruang intensive

care unit (ICU) dengan lama perawatan 5

sampai 10 hari sering menimbulkan

komplikasi pneumonia. Berdasarkan

national nasocomial infection survailence

system, angka kejadian pneumonia pasca-

operasi mencapai 18% dan angka kesakitan

serta kematian sekitar 30% sampai 46%

tergantung jenis dan tipe pembedahan. hal

tersebut menambah lama rawat inap sekitar

7–9 hari dan meningkatkan biaya

perawatan di rumah sakit sekitar US $

12.000-US $ 40.000 per pasien

(Supriadi,dkk, 2016).

Hasil survey point prevalensi dari 11

rumah sakit di DKI Jakarta yang dilakukan

oleh Perdalin Jaya dan Rumah Sakit

Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso

Jakarta pada tahun 2003 didapatkan angka

infeksi IADP (Infeksi Aliran Darah

Primer) 26,4%, pneumonia 24,5% dan

infeksi saluan napas lain 15,1% (Depkes

RI 2008). Pneumonia adalah infeksi atau

peradangan pada salah satu atau kedua

paru-paru, lebih tepatnya peradangan itu

terjadi pada kantung udara (alveolus,

jamak: alveoli). Kantung udara akan terisi

cairan atau nanah, sehingga menyebabkan

gejala sesak napas (napas cepat), batuk

berdahak, demam, menggigil, dan

kesulitan bernapas. Infeksi tersebut

disebabkan oleh berbagai organisme,

termasuk bakteri, virus dan jamur

(McLuckie, 2009).

Hospital-acquired pneumonia yaitu

neumonia yang didapat di rumah sakit

merupakan infeksi bakteri yang terjadi

selama 48 jam lebih dirawat di rumah sakit

karena penyakit lainnya. Pneumonia ini

bisa lebih serius karena biasanya bakteri

penyebab lebih resisten (kebal) terhadap

antibiotik. Health care-acquired

pneumonia perawatan kesehatan

pneumonia adalah infeksi bakteri yang

terjadi pada orang-orang yang tinggal di

fasilitas perawatan jangka panjang atau

telah dirawat di klinik rawat jalan,

termasuk pusat-pusat dialisis ginjal.

Pneumonia aspirasi yaitu terjadi ketika

seseorang menghirup makanan, minuman,

muntahan atau air liur masuk ke dalam

paru-paru. Pengobatan utama pneumonia

tergantung pada jenis pneumonianya

(penyebab) dan tingkat keparahannya,

sehingga ada yang hanya perlu rawat jalan,

namun beberapa perlu perawatan inap di

rumah sakit atau klinik, Jeffrey C.

Pommerville (2010).

Batuk efektif beserta teknik melakukanya

akan memberikan banyak manfaat

diantaranya untuk melonggarkan dan

melegakan pernapasan maupun mengatasi

asma akibat adanya lendir yang memenuhi

saluran pernapasan baik dalam bentuk

sputum maupun secret dalam hidung yang

timbul akibat adanya infeksi pada saluran

pernapasan maupun karena sejumlah

penyakit yang diderita seseorang serta

untuk mengeluarkan sekret yang

menyumbat jalan napas dan untuk

meringankan keluhan saat terjadi sesak

napas pada penderita jantung, (Depkes RI,

2011). Tujuan dari batuk efektif adalah

Melatih otot pernapasan agar dapat

melakukan fungsi dengan baik,

mengeluarkan dahak atau sputum yang ada

disaluran pernapasan dan melatih pasien

agar terbiasa melakukan cara pernapasan

dengan baik (Depkes RI, 2011).

Studi pendahuluan yang telah dilakukan di

RSUD Labuang Baji Makassar yaitu

rumah sakit Negeri kelas B yang mampu

memberikan pelayanan kedokteran

spesialis dan subspesialiasi luas sehingga

oleh pemerintah di tetapkan sebagai

rujukan regional atau sebagai rumah sakit

pemerintah daerah (PEMDA). Jumlah

pasien dengan general anestesi pada tahun

2016 adalah 964 pasien. Hasil wawancara

dengan perawat di bangsal yang merawat

pasien paska operasi di RSUD Labuang

Page 4: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

Baji Makassar diperoleh informasi bahwa

dalam sehari rata rata terdapat 1-2 pasien

pasca operasi laparatomi dengan general

anestesi mengalami peningkatan sekresi

mukus dan saliva. Masalah lain yang

ditemukan pada pasien pasca operasi

laparatomi dengan general anestesi selain

nyeri, pasien mengeluhkan rasa haus,

mual, muntah, bibir kering, dan berdahak.

Dalam pengelolan pasien pasca operasi

dengan general anestesi di RSUD Labuang

Baji Makassar adalah dengan latihan

napas dalam dengan teknik deep breathing

exercise (DBE) yang bertujuan untuk

memperbaiki ventilasi, meningkatkan

kapasitas paru dan mencegah kerusakan

paru. Pemberian latihan batuk efektif pasca

operasi laparatomi dengan general anestesi

belum menjadi pilihan di RSUD.Labuang

Baji Makassar karena pasien takut luka

operasi bertambah nyeri, perdarahan dan

khawatir jahitan luka operasi terlepas.

Dalam penelitian Rondhianto, dkk (2016)

responden diajarkan batuk efektif yaitu

cara batuk yang benar untuk membantu

dalam membuang sekret beserta bakteri

termasuk Staphylococcus aureus, sehingga

jalan napas menjadi bersih dan bakteri

Staphylococcus aureus menjadi berkurang

jumlahnya yang ada di jalan napas. Dalam

keadaan normal saluran pernapasan

memproduksi sekitar 100 ml sekret per

harinya. Pada keadaan lingkungan yang

tidak mendukung seperti pemberian obat

anestesi ataupun dalam keadaan sakit,

maka produksi dahak bertambah, oleh

karena itu sekret harus dikeluarkan dengan

jalan batuk efektif.

Menurut model konsep Dorothea E. Orem

berfokus pada self care dan kebutuhan

perawatan diri pasien untuk

mempertahankan kehidupan, kesehatan,

perkembangan dan kesejahtraan. Ada 3

prinsip dalam keperawatan diri sendiri

yaitu: 1). Perawatan diri yang bersifat

holistik, seperti kebutuhan oksigen, air,

nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, 2).

Perawatan mandiri yang harus dilakukan

sesuai dengan tumbuh kembang manusia,

3). Perawatan mandiri yang harus

dilakukan karena adanya masalah

kesehatan atau penyakit (Alligood, 2017).

Self care adalah kemampuan individu

untuk melakukan perawatan diri.

Perawatan diri dapat mengalami gangguan

atau hambatan bila seseorang jatuh pada

kondisi sakit atau kondisi yang melelahkan

seperti stres fisik dan psikologis. Self- care

deficit terjadi apabila self -care agency

lebih kecil dari self-care demands atau

kemampuan lebih kecil dari kebutuhan.

Apa bila kekuatan self-care demands lebih

besar atau sama dengan self -care agency

maka tidak terjadi deficit atau klien mampu

memenuhi self-care. Pada saat klien

mengalami deficit maka dibutuhkan

nursing agency melalui nursing system

yaitu apakah klien di bantu sepenuhnya,

sebagian atau hanya dengan dukungan dan

pendidikan. Nursing agency menggunakan

kegiatan gabungan berarti bahwa kegiatan

perawat perlu dikoordinasi, dilakukan

secara serentak atau berhubungan dengan

layanan asuhan keperawatan yang akan

diberikan. Seseorang yang melakukan

kegiatan ini harus mempunyai pengetahuan

tentang asuhan keperawatan yang

diberikan sehingga dapat mengambil suatu

keputusan yang tepat bagi klien

(Burhanuddin, 2016).

Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Diketahuinya pengaruh latihan batuk

efektif terprogram terhadap risiko

infeksi pernapasan pada pasien post

operasi laparotomi dengan general

anestesi bagi perawat di RSUD

Labuang Baji Makassar

2. Praktisi

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan

masukan bagi manajemen RSUD

Labuang Baji Makassar terhadap

mutu pelayanan keperawatannya.

b. Memperkaya sumber bacaan di

bidang keperawatan serta dapat

dijadikan acuan penelitian lebih

lanjut.

Page 5: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

c. Dapat dijadikan bahan

pertimbangan dalan meningkatkan

kualitas pemberian asuhan

keperawatan kepada pasien secara

profesional.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain Quasi

Eksperimental. Menurut Sopiyuddin

(2013), penelitian Quasi Eksperimental

merupakan desain yang memiliki

kelompok kontrol yang bertujuan untuk

mengungkapkan hubungan sebab akibat

dan pemilahan kedua kelompok tersebut

dilakukan dengan cara Non Random atau

tidak acak. Penelitian ini menggunakan

pre-test and post-test with control group

design. Dalam penelitian ini responden

adalah pasien pasca operasi laparatomi

yang dipilih tanpa melakukan random

kemudian akan dibagi dalam dua

kelompok, untuk kelompok intervensi akan

diberikan latihan batuk efektif terprogram

sedangkan untuk kelompok kontrol akan

diberikan juga perlakuan sesuai dengan

standar operasional prosedur yang

ditetapkan oleh RSUD Labuang Baji

Makassar. Selanjutnya untuk kedua

kelompok tersebut akan dilakukan pre-test

sebelum intervensi dan dilakukan post-tes

setelah dilakukan intervensi (Kelana,

2011).

Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek

penelitian atau objek yang diteliti

(Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam

penelitian ini adalah semua pasien post

operasi laparatomi dengan general

anastesi yang di rawat di ruang rawat

inap dalam 3 bulan terakhir januari

sampai dengan maret 2017 mencapai

97 orang di RSUD Labuang Baji

Makassar.

2. Sampel Sampel adalah sebagian yang diambil

dari keseluruhan objek yang diteliti dan

dianggap mewakili seluruh populasi

(Sopiyuddin, 2016). Dalam penelitian

ini penarikan sampel dilakukan secara

tidak acak non probability sampling

yang menggunakan metode

consecutive sampling. Sampel dalam

penelitian ini adalah pasien post

operasi dengan general anastesi di

RSUD Labuang Baji Makassar. Maka

peneliti mengambil sampel 15 untuk

masing-masing kelompok intervensi

dan kelompok kontrol sehingga total

sampel sebanyak 30 orang.

Tempat & Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang rawat

inap RSUD Labuang Baji Makassar yang

merupakan salah satu rumah sakit rujukan

paru di Sulawesi Selatan. Waktu

penelitian yang digunakan adalah sekitar 3

bulan meliputi persiapan satu bulan,

pelaksanaan satu bulan, dan perekapan satu

bulan. Waktu penelitian akan di mulai pada

bulan April sampai dengan bulan Juni

2017.

Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data atau Instrument

penelitian merupakan alat-alat yang akan

digunakan untuk pengumpulan data.

Instrument penelitian ini dapat berupa :

lembar observasi, formulir–formulir lain

berkaitan dengan pencatatan data dan

sebagainya (Notoatmodjo, 2012).

Dalam penelitian ini digunakan kuesioner

terkait karakteristik responden, lembar

observasi dengan risiko infeksi saluran

pernapasan dan SOP batuk efektif untuk

mengumpulkan yang terdiri dari:

1. Kuesioner mengenai karakteristik

responden.

Kuesioner mengenai karakteristik

responden terdiri dari usia, jenis

kelamin, pendidikan dan pekerjaan,

selanjutnya kebiasaan merokok.

Page 6: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

2. Standar Operasional Prosedur

Pelaksanaan batuk efektif terpadu

dengan menggnakan standar

operasional prosedur yang terdiri dari

pengertian, tujuan, indikasi,

kontraindikasi, persipan alat, persiapan

klien, prosedur pelaksanaan yang terdiri

dari 13 langkah, evaluasi dan 5 hal yang

harus diperhatikan.

3. Infeksi pernapasan

Untuk pengukuran infeksi pernapasan

yaitu: kadar leukosit diukur dengan

pemeriksaan laboratorium dengan hasil

ukur 1. Leukositosis (>12000 /µl, 2.

Normal (4000-12000 / µl . Suhu diukur

dengan menggunakan alat ukur

thermometer dengan hasil ukur 1. >

37,5 °C dan 2. 36-37,5°C. Batuk diukur

dengan menggunakan lembar observasi

dengan hasil ukur 1. Berdahak dan 2.

Tidak berdahak. Suara napas diukur

dengan menggunakan Stetoskop dengan

hasil ukur 1. Tidak normal dan 2.

Normal. Sesak napas diukur

menggunakan lembar observasi dengan

hasil ukur 1. Sesak napas dan 2. Tidak

sesak napas. Irama napas diukur dengan

menggunakan lembar observasi dengan

hasil ukur 1. Irama tidak teratur dan 2.

Irama teratur. Frekuensi napas diukur

dengan menggunakan lembar observasi

dengan hasil ukur 1. RR > 20 x/menit

dan 2. RR 16-20 x/menit (frekuensi

normal). Usia diukur dengan

menggunakan lembar observasi diukur

dalam satuan usia dalam tahun.

Kebiasaan merokok diukur dengan

menggunakan lembar observasi dengan

hasil ukur 1. Merokok, 2. Tidak

merokok.

Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisis Univariat adalah analisis yang

bertujuan untuk menjelaskan atau

medeskripsikan karakteristik distribusi

frekuensi variabel yang diteliti

(Hastono, 2010). Hasil analisis

meliputi proporsi untuk data kategorik

sedangkan mean, median, standar

deviasi, nilai minimal dan maksimal

untuk data numerik. Variabel yang

dilakukan analisis meliputi usia, jenis

kelamin, agama, pendidikan dan

pekerjaan dengan jenis data kategorik

sehingga menggunakan analisis

statistik distribusi frekuensi.

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat merupakan analisa

data terhadap variabel penelitian

dilakukan untuk mengetahui apakah

ada perbedaan antara 2 kelompok

(Hastono & Sabri, 2011). Analisa

bivariat pada penelitian ini adalah uji

hipotesis komparatif numerik

berpasangan, dengan alasan peneliti

membandingkan 2 metode dengan 2

kali pengukuran (pre-test dan post-

test), analisis data yang digunakan

adalah Uji Chi-Square.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini akan ditampilkan

dalam bentuk distribusi frekuensi,analisa

univariat dan bivariat.

A. Analisis Univariat

Analisis univariat dalam penelitian ini

meliputi karakteristik pasien post

operasi laparotomi yang terdiri dari

usia, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan, riwayat merokok, dan risiko

infeksi pernapasan (pemeriksaan

leukosit, suhu, batuk, sesak napas,

suara napas, irama napas dan frekuensi

napas) pada kelompok latihan batuk

efektif terprogram dan tidak

terprogram. Deskripsi variabel dapat

dilihat sebagai berikut :

1. Gambaran Karakteristik

Responden

Tabel dibawah ini menunjukan

karakteristik responden

berdasarkan usia, jenis kelamin,

pendidikan, pekerjaan, riwayat

merokok jumlah 30 responden.

Table 5.1 Distribusi Responden

Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Pendidikan,

Page 7: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

Pekerjaan, Riwayat Merokok di RSUD Labuang

Baji Makassar (n=30) N

o

Variable Deskripsi Katagori

Kelompok

Intervensi

n=15

Kelompok

Kontrol

n=15

F % F %

1 Usia 15-25 tahun

26-30 tahun

31-40 tahun

> 40 tahun

0

1

4

10

0

3,3

13,3

33,3

2

0

8

5

13,3

0

53,3

16,7

2 Jenis

Kelamin

Laki-laki

Perempuan

11

4

36,7

13,3

9

6

30,0

20,0

3 Pendidikan Tidak

sekolah

SD

SMP

SMA

Perguruan

Tinggi

1

10

2

1

1

3,3

33,3

6,7

3,3

3,3

1

4

5

4

1

3,3

13,3

16,7

13,3

3,3

4 Pekerjaan IRT

Buruh

Petani

Wiraswasta

Guru

Pelajar

4

3

4

3

1

0

13,3

10,0

13,3

10,0

3,3

0

4

2

2

4

1

2

13,3

6,7

6,7

13,3

3,3

6,7

5 Kebiasaan

Merokok

Tidak

Merokok

Merokok

10

5

33,3

16,7

10

5

33,3

16,7

Pada table 5.1 dapat disimpulkan bahwa

mayoritas yang menjadi responden pada

kelompok intervensi adalah mayoritas usia

>40 tahun sebanyak 10 orang (33,3). Jenis

kelamin responden mayoritas laki-laki

sebanyak 11 orang (36,7%). Pada

umumnya pendidikan responden

berpendidikan SD sebanyak 10 orang

(33,3%). Mayoritas pekerjaan responden

sebagai ibu rumah tangga sebanyak 4

orang (13,3%) dan petani sebanyak 4 orang

(13,3%). Dan kebiasaan merokok dari

responden mayoritas tidak merokok

sebanyak 10 orang (33,3%).

Sedangkan pada kelompok kontrol adalah

mayoritas usia 31-40 tahun sebanyak 8

orang (53,3). Jenis kelamin responden

mayoritas laki-laki sebanyak 9 orang

(30,0%). Pada umumnya pendidikan

responden berpendidikan SMP sebanyak 5

orang (16,7%). Mayoritas pekerjaan

responden sebagai ibu rumah tangga

sebanyak 4 orang (13,3%) dan wiraswasta

sebanyak 4 orang (13,3%). Dan kebiasaan

merokok dari responden mayoritas tidak

merokok sebanyak 10 orang (33,3%).

2. Statistik Deskriptif

Distribusi kadar leukosit, suhu,

kondisi batuk, kondisi sesak, suara

napas, irama napas, dan frekuensi

napas responden di RSUD.

Labuang Baji Makassar. Table 5.2

Distribusi kadar leukosit, suhu, kondisi batuk, kondisi sesak,

suara napas, irama napas, dan frekuensi napas responden di

RSUD. Labuang Baji Makassar

No Variable Kelompok

Intervensi

Kelompok Kontrol

Mean SD Mean SD

1 Kadar Leukosit

Pre test

Post test

1,67

1,80

0,488

0,414

3,07

1,80

0,488

0,414

2 Suhu

Pre test

Post test

1,73

1,80

0,458

0,414

1,73

1,80

0,458

0,414

3 Kondisi Batuk

Pre test

Post test

1,47

1,60

0,516

0,507

1,47

1,60

0,516

0,507

4 Kondisi Sesak

Pre test

Post test

1,73

1,93

0,458

0,258

1,73

1,93

0.458

0,258

5 Suara Napas

Pre test

Post test

1,87

1,93

0,352

0,258

1,87

1,93

0,352

0,258

6 Irama Napas

Pre test

Post test

1,73

1,87

0,458

0,352

1,73

1,93

0,458

0,352

7 Frekuensi

Napas

Pre test

Post test

1,67

1.67

0,488

0,488

1,67

1.67

0,488

0,488

Statistik deskriptif yang tertera pada tabel

5.2 berguna untuk mengetahui karakter

sampel yang digunakan dalam penelitian.

Dari tabel dapat dilihat bahwa N atau

jumlah sampel adalah 30 responden di

antranya 15 kelompok intervensi dan 15

responden kelompok kontrol. Responden

diambil dari populasi responden pasca

operasi laparatomi yang baresiko

mengalami infeksi pernafasan di RSUD

Labuang Baji Makassar. Mean atau rata-

rata berfungsi memberikan informasi

mengenai nilai tengah dari sebaran data-

data yang ada. Standar deviasi adalah nilai

statistik yang digunakan untuk menentukan

bagaimana sebaran data dalam sampel, dan

seberapa dekat titik data sampel ke mean

atau rata-rata nilai sampel.

B. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk

menjelaskan perbedaan antara variabel,

analisis ini dinilai sebelum dan sesudah

diberikan latihan batuk efektif

terprogram terhadap sampel yang

Page 8: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

berisiko mengalami infeksi pernapasan

di RSUD Labuang Baji Makassar.

Analisa bivariat dilakukan dengan

menggunakan uji statistik Chi-Square

dilakukan pada kelompok intervensi

dan kelompok kontrol untuk

mengetahui perbedaan pengaruh batuk

efektif terhadap risiko pernapasan

antara sebelum dan sesudah diberikan

intervensi. Secara lengkap hasil analisis

sebagai berikut:

1. Risiko Infeksi Pre dan Post

Intervensi Terprogram

Analisis pengaruh latihan batuk

efektif terprogram terhadap risiko

infeksi pada responden di RSUD.

Labuang Baji Makassar dianalisis

dengan Chi-Square. Hasil analisis

dapat dilihat pada tabel 5.3. Tabel 5.3

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif

Terprogram Terhadap Leukosit Pada

Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar (n=15)

Leuk

osit

Post Test

Total

P

Value

Pre

Test

Tidak

norm

al

Normal

N % N % N % 0,022

Tidak

normal

3 60 2 40 5 33,3

Normal 0 0,0 10 83,

3

10 66,7

Total 3 20 12 80,

0

15 100

Hasil analisis pada tabel 5.3 pada

penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi

didapatkan bahwa sebelum

diberikan latihan batuk efektif

terprogram terdapat 5 orang

(33,3%) responden yang

mempunyai leukosit tidak normal,

dan 10 orang (66,7%) responden

mempunyai leukosit normal.

Setelah diberikan latihan batuk

efektif terprogram terdapat 3 orang

(20,0%) responden yang masih

mempunyai leukosit tidak normal

dan 12 orang (80,0%) responden

mempunyai leukosit normal. Hasil

uji statistik Chi-Square

menunjukkan bahwa terdapat

pengaruh yang signifikan leukosit

responden sebelum dan setelah

diberikan latihan batuk efektif

terprogram dengan nilai P Value =

0,022 (p < 0,05). Tabel 5.4

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terprogram Terhadap Suhu Pada Responden di

RSUD. Labuang Baji Makassar

(n=15) Suhu Post Test

Total

P

Value

Pre

Test

Tidak

normal

Normal

N % N % N % 0,009

Tidak

normal

3 75,0 1 25,0 4 26,

7

Normal 0 0,0 11 91,7 11 73,

3

Total 3 20,0 12 80,0 15 10

0

Hasil analisis pada tabel 5.4 pada

penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi

didapatkan bahwa sebelum

diberikan latihan batuk efektif

terprogram terdapat 4 orang

(26,7%) responden yang

mempunyai suhu tidak normal, dan

11 orang (73,3%) responden

mempunyai suhu normal. Setelah

diberikan latihan batuk efektif

terprogram terdapat 3 orang

(20,0%) responden yang masih

mempunyai suhu tidak normal dan

12 orang (80,0%) responden

mempunyai suhu normal. Hasil uji

statistik Chi-Square menunjukkan

bahwa terdapat pengaruh yang

signifikan suhu responden sebelum

dan setelah diberikan latihan batuk

efektif terprogram dengan nilai P

Value = 0,009 (p < 0,05). Tabel 5.5

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terprogram Terhadap Batuk Pada Responden di

RSUD. Labuang Baji Makassar

(n=15) Batuk Post Test

Total

P

Value

Pre

Test

Berdaha

k

Tidak

Berdahak

N % N % N % 0,006

Berdahak 6 75,

0

2 22,

2

8 53,

3

Tidak

Berdahak

0 0,0 7 77,

8

7 46,

7

Total 6 75,

0

12 80,

0

15 10

0

Hasil analisis pada tabel 5.5 pada

penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi

didapatkan bahwa sebelum

Page 9: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

diberikan latihan batuk efektif

terprogram terdapat 8 orang

(53,3%) responden yang

mempunyai batuk berdahak, dan 7

orang (46,7%) responden

mempunyai batuk tidak berdahak.

Setelah diberikan latihan batuk

efektif terprogram terdapat 6 orang

(75,0%) responden yang masih

mempunyai batuk berdahak dan 12

orang (80,0%) responden

mempunyai batuk tidak berdahak.

Hasil uji statistik Chi-Square

menunjukkan bahwa terdapat

pengaruh yang signifikan batuk

responden sebelum dan setelah

diberikan latihan batuk efektif

terprogram dengan nilai P Value =

0,006 (p < 0,05). Tabel 5.6

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif

Terprogram Terhadap Sesak Napas Pada

Responden di RSUD. Labuang Baji

Makassar

(n=15) Sesak Napas Post Test

Total

P

Value

Pre

Test

Sesak Tidak

sesak

N % N % N % 0,267

Sesak 1 22,

0

3 75,

0

4 26,

7

Tidak

sesak

0 0,0 1

1

77,

8

11 73,

3

Total 1 6,7 1

4

93,

3

15 10

0

Hasil analisis pada tabel 5.6 pada

penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi

didapatkan bahwa sebelum

diberikan latihan batuk efektif

terprogram terdapat 4 orang

(26,7%) responden yang masih

sesak napas, dan 11 orang (73,3%)

responden yang tidak sesak napas.

Setelah diberikan latihan batuk

efektif terprogram terdapat 1 orang

(6,7%) responden yang masih sesak

napas 14 orang (93,3%) responden

yang tidak sesak napas. Hasil uji

statistik Chi-Square menunjukkan

bahwa tidak terdapat pengaruh

yang signifikan sesak napas

responden sebelum dan setelah

diberikan latihan batuk efektif

terprogram dengan nilai P Value =

0,267 > 0,05. Tabel 5.7

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terprogram Terhadap Suara Napas Pada

Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar

(n=15) Suara Napas Post Test

Total

P

Value

Pre

Test

Tidak

normal

Normal

N % N % N % 0,867

Tidak

normal

0 0,0 2 14,

7

2 13,

3

Normal 1 7,7 12 93,

3

13 86,

7

Total 1 6,7 14 93,

3

15 10

0

Hasil analisis pada tabel 5.7 pada

penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi

didapatkan bahwa sebelum

diberikan latihan batuk efektif

terprogram terdapat 2 orang

(13,3%) responden yang

mempunyai suara napas tidak

normal, dan 13 orang (86,7%)

responden mempunyai suara napas

normal. Setelah diberikan latihan

batuk efektif terprogram terdapat 1

orang (6,7%) responden yang masih

mempunyai suara napas tidak

normal dan 14 orang (93,3%)

responden mempunyai suara napas

normal. Hasil uji statistik Chi-

Square menunjukkan bahwa tidak

terdapat pengaruh yang signifikan

suara napas responden sebelum dan

setelah diberikan latihan batuk

efektif terprogram dengan nilai P

Value = 0,867 > 0,05. Tabel 5.8

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terprogram Terhadap Irama Napas Pada

Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar

(n=15) Irama Napas Post Test

Total

P

Value

Pre

Test

Tidak

teratur

Teratur

N % N % N % 0,057

Tidak

teratur

2 50,

0

2 50.

0

4 26,

7

Teratur 0 0,0 11 84,

6

11 73,

3

Total 2 13,

3

13 84,

7

15 10

0

Hasil analisis pada tabel 5.8 pada

penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi

didapatkan bahwa sebelum

diberikan latihan batuk efektif

Page 10: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

terprogram terdapat 4 orang

(26,7%) responden yang

mempunyai irama napas tidak

teratur, dan 11 orang (73,3%)

responden mempunyai irama napas

teratur. Setelah diberikan latihan

batuk efektif terprogram terdapat 2

orang (13,3%) responden yang

masih mempunyai irama napas

tidak teratur dan 13 orang (84,7%)

responden mempunyai irama napas

teratur. Hasil uji statistik Chi-

Square menunjukkan bahwa tidak

terdapat pengaruh yang signifikan

irama napas responden sebelum

dan setelah diberikan latihan batuk

efektif terprogram dengan nilai P

Value = 0,057 > 0,05. Tabel 5.9

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif

Terprogram Terhadap Frekuensi Napas Pada

Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar (n=15)

Frekuensi Napas Post Test

Total

P

Value

Pre

Test

Tidak

normal

normal

N % N % N % 0,000

Tidak

normal

5 10

0

0 0.0 5 33,

3

Normal 0 0,0 10 10

0

10 66,

7

Total 5 33,

3

10 66,

7

15 10

0

Hasil analisis pada tabel 5.9 pada

penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi

didapatkan bahwa sebelum

diberikan latihan batuk efektif

terprogram terdapat 5 orang

(33,3%) responden yang

mempunyai frekuensi napas tidak

normal, dan 10 orang (66,7%)

responden mempunyai frekuensi

napas normal,. Setelah diberikan

latihan batuk efektif terprogram

terdapat 5 orang (33,3%) responden

yang masih mempunyai frekuensi

napas tidak normal, dan 10 orang

(66,7%) responden mempunyai

frekuensi napas normal. Hasil uji

statistik Chi-Square menunjukkan

bahwa terdapat pengaruh yang

signifikan frekuensi napas

responden sebelum dan setelah

diberikan latihan batuk efektif

terprogram dengan nilai P Value =

0,000 (p < 0,05).

2. Risiko Infeksi Pre dan Post

Intervensi Tidak Terprogram

Analisis pengaruh latihan batuk

efektif tidak terprogram terhadap

risiko infeksi pada responden di

RSUD. Labuang Baji Makassar

dianalisis dengan Chi-Square. Hasil

analisis dapat dilihat pada tabel

5.10. Tabel 5.10

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak

Terprogram Terhadap Leukosit Pada

Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar

(n=15) Leuk

osit

Post Test

Total

P

Value

Pre

Test

Tidak

normal

Normal

N % N % N % 0,400

Tidak

normal

1 16,

7

5 35,

7

6 40,

0

Normal 0 0,0 9 64,

3

9 60,

0

Total 1 6,7 14 63,

3

15 10

0

Hasil analisis pada tabel 5.10 pada

penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi

didapatkan bahwa sebelum

diberikan latihan batuk efektif tidak

terdapat 6 orang (40,0%) responden

yang mempunyai leukosit normal

tidak normal, dan 9 orang (60,0%)

responden mempunyai leukosit

normal. Setelah diberikan latihan

batuk efektif tidak terprogram

terdapat 1 orang (6,7%) responden

yang masih mempunyai leukosit

tidak normal dan 14 orang (63,3%)

responden mempunyai leukosit

normal. Hasil uji statistik Chi-

Square menunjukkan bahwa tidak

terdapat pengaruh yang signifikan

leukosit responden sebelum dan

setelah diberikan latihan batuk

efektif tidak terprogram dengan

nilai P Value = 0,400 > 0,05.

Page 11: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

Tabel 5.11

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif tidak Terprogram Terhadap Suhu Pada Responden di

RSUD. Labuang Baji Makassar (n=15)

Suhu Post Test

Total

P

Value

Pre

Test

Tidak

normal

Normal

N % N % N % 0,267

Tidak

normal

2 25,

0

6 46,

2

8 53,

3

Normal 0 0,0 7 53,

8

7 46,

7

Total 2 13,

3

13 86,

7

15 10

0

Hasil analisis pada tabel 5.11 pada

penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi

didapatkan bahwa sebelum

diberikan latihan batuk efektif tidak

terprogram terdapat 8 orang

(53,3%) responden yang

mempunyai suhu tidak normal, dan

7 orang (46,7%) responden

mempunyai suhu normal. Setelah

diberikan latihan batuk efektif tidak

terprogram terdapat 2 orang

(13,3%) responden yang masih

mempunyai suhu tidak normal dan

13 orang (86,7%) responden

mempunyai suhu normal. Hasil uji

statistik Chi-Square menunjukkan

bahwa tidak terdapat pengaruh

yang signifikan suhu responden

sebelum dan setelah diberikan

latihan batuk efektif tidak

terprogram dengan nilai P Value =

0,267 > 0,05. Tabel 5.12

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak Terprogram Terhadap Batuk Pada Responden di

RSUD. Labuang Baji Makassar (n=15) Batuk Post Test

Total

P

Value

Pre

Test

Berdaha

k

Tidak

Berdahak

N % N % N % 0,363

Berdahak 3 27,

3

8 66,

7

11 73,

3

Tidak

Berdahak

0 0,0 4 33,

3

4 26,

7

Total 3 20,

0

12 80,

0

15 10

0

Hasil analisis pada tabel 5.12 pada

penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi

didapatkan bahwa sebelum

diberikan latihan batuk efektif tidak

terprogram terdapat 11 orang

(73,3%) responden yang

mempunyai batuk berdahak, dan 4

orang (26,7%) responden yang

batuk tidak berdahak. Setelah

diberikan latihan batuk efektif tidak

terprogram terdapat 3 orang

(20,0%) responden yang masih

mempunyai batuk berdahak dan 12

orang (80,0%) responden yang

tidak berdahak. Hasil uji statistik

Chi-Square menunjukkan bahwa

tidak terdapat pengaruh yang

signifikan batuk responden sebelum

dan setelah diberikan latihan batuk

efektif tidak terprogram dengan

nilai P Value = 0,363 >0,05. Tabel 5.13

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak Terprogram Terhadap Sesak Napas Pada

Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar (n=15)

Sesak Napas Post Test

Total

P

Value

Pre

Test

Sesak Tidak

sesak

N % N % N % 0,000

Sesak 5 100 0 0,0 5 33,3

Tidak

sesak

0 0,0 10 10

0

10 66,7

Total 5 33,3 10 66,

7

15 100

Hasil analisis pada tabel 5.13 pada

penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi

didapatkan bahwa sebelum

diberikan latihan batuk efektif tidak

terprogram terdapat 5 orang

(33,3%) responden yang

mempunyai sesak napas, dan 10

orang (66,7%) responden tidak

sesak. Setelah diberikan latihan

batuk efektif tidak terprogram

terdapat 5 orang (33,3%) responden

yang masih sesak napas dan 10

orang (66,7%) responden yang

tidak sesak. Hasil uji statistik Chi-

Square menunjukkan bahwa

terdapat pengaruh yang signifikan

sesak napas responden sebelum dan

setelah diberikan latihan batuk

efektif tidak terprogram dengan

nilai P Value = 0,000 (p < 0,05).

Page 12: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

Tabel 514

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak Terprogram Terhadap Suara Napas Pada

Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar

(n=15) Suara Napas Post Test

Total

P

Value

Pre

Test

Tidak

normal

Normal

N % N % N % 0,524

Tidak

normal

0 0,0 4 30,

8

4 26,

7

Normal 2 18,

2

9 69,

2

11 73,

3

Total 2 13,

3

13 86,

7

15 10

0

Hasil analisis pada tabel 5.14 pada

penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi

didapatkan bahwa sebelum

diberikan latihan batuk efektif tidak

terprogram terdapat 4 orang

(26,7%) responden yang

mempunyai suara napas tidak

normal, dan 11 orang (73,3%)

responden mempunyai suara napas

normal. Setelah diberikan latihan

batuk efektif tidak terprogram

terdapat 2 orang (13,3%) responden

yang masih mempunyai suara

napas tidak normal dan 13 orang

(86,7%) responden mempunyai

suara napas normal. Hasil uji

statistik Chi-Square menunjukkan

bahwa tidak terdapat pengaruh

yang signifikan suara napas

responden sebelum dan setelah

diberikan latihan batuk efektif tidak

terprogram dengan nilai P Value =

0,524 > 0,05. Tabel 5.15

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak

Terprogram Terhadap Irama Napas Pada

Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar

(n=15) Irama Napas Post Test

Total

P

Value

Pre

Test

Tidak

teratur

Teratur

N % N % N % 0,200

Tidak

teratur

1 33,

3

2 14,

3

3 20,

0

Teratur 0 0,0 12 85,

7

12 80,

0

Total 1 6,7 14 93,

3

15 10

0

Hasil analisis pada tabel 5.15 pada

penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi

didapatkan bahwa sebelum

diberikan latihan batuk efektif tidak

terprogram terdapat 3 orang

(20,0%) responden yang

mempunyai irama napas tidak

teratur, dan 12 orang (80,0%)

responden mempunyai irama napas

teratur. Setelah diberikan latihan

batuk efektif tidak terprogram

terdapat 1 orang (6,7%) responden

yang masih mempunyai irama

napas tidak teratur dan 14 orang

(93,3%) responden mempunyai

irama napas teratur. Hasil uji

statistik Chi-Square menunjukkan

bahwa tidak terdapat pengaruh

yang signifikan irama napas

responden sebelum dan setelah

diberikan latihan batuk efektif tidak

terprogram dengan nilai P Value =

0,200 > 0,05. Tabel 5.16

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak

Terprogram Terhadap Frekuensi Napas Pada

Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar (n=15)

Frekuensi Napas Post Test

Total

P Value

Pre

Test

Tidak

normal

normal

N % N % N % 0,007

Tidak

normal

5 71,

4

2 20,

0

7 46,

7

Normal 0 0,0 8 80,

0

8 53,

3

Total 5 33,

3

10 66,

7

1

5

10

0

Hasil analisis pada tabel 5.16 pada

penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi

didapatkan bahwa sebelum

diberikan latihan batuk efektif tidak

tidak terprogram terdapat 7 orang

(46,7%) responden yang

mempunyai frekuensi napas tidak

normal, dan 8 orang (53,3%)

responden mempunyai frekuensi

napas normal. Setelah diberikan

latihan batuk efektif tidak

terprogram terdapat 5 orang

(33,3%) responden yang masih

mempunyai frekuensi napas tidak

normal, dan 10 orang (66,7%)

responden mempunyai frekuensi

napas normal. Hasil uji statistik

Chi-Square menunjukkan bahwa

terdapat pengaruh yang signifikan

frekuensi napas responden sebelum

dan setelah diberikan latihan batuk

Page 13: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

efektif tidak terprogram dengan

nilai P Value = 0,007 (p < 0,05).

PEMBAHASAN

Penelitian pada kelompok ini menunjukkan

bahwa terdapat pengaruh latihan batuk

efektif terprogram terhadap risiko infeksi

pernapasan dengan menggunakan indikator

kadar leukosit, suhu, batuk, sesak napas,

suara napas, irama napas, dan frekuensi

napas diantaranya sebagai berikut:

1. Kadar leukosit

Dimana hasil penelitian ini

menunjukkan data dari risiko infeksi.

Pada penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi didapatkan

bahwa sebelum diberikan latihan batuk

efektif terprogram terdapat 5 orang

(33,3%) responden yang mempunyai

leukosit normal tidak normal, dan 10

orang (66,7%) responden mempunyai

leukosit normal. Setelah diberikan

latihan batuk efektif terprogram

terdapat 3 orang (20,0%) responden

yang masih mempunyai leukosit tidak

normal dan 12 orang (80,0%)

responden mempunyai leukosit normal.

Hasil uji statistik Chi-Square

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

yang signifikan leukosit responden

sebelum dan setelah diberikan latihan

batuk efektif terprogram dengan nilai P

Value = 0,040 (p < 0,05).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Diah Susmiarti

(2014), Hasil foto thoraks yang

menggambarkan adanya infiltrat dan

terdapatnya bakteri C. Freundii pada

kultur sputum responden 3 menambah

skor pada penilaian CPIS. Menurut

Porzecanski (2006) berdasarkan pada

kriteria klinik National Nosocomial

Infection Surveillance System (NNIS)

untuk diagnosis pneumonia tidak hanya

ditentukan berdasarkan satu gejala

klinis saja yaitu peningkatan suhu

seperti yang terjadi pada responden 1

akan tetapi penegakan diagnosis

pneumonia dapat ditegakkan dengan

kriteria klinis lain yaitu leukositosis.

Menurut Isselbacher (1999) perubahan

warna dan konsistensi pada seseorang

menunjukkan adanya infeksi oleh

bakteri atau kuman penyebab. Dahak

atau sputum yang dikeluarkan terdiri

dari air, elektrolit dan glukosa, lendir

glikoprotein, transudat, dan lipid

sehingga diperlukan pemeriksaan

sputum yang teliti yang akan

memperjelas keadaan pasien dari pada

pemeriksaan sputum secara kasat mata.

Nilai PaO 2/FiO2 pada responden 3

yaitu < 240 seperti yang terjadi pada

responden 1. Menurut Morton (2012)

tekanan parsial oksigen dalam darah

arteri (PaO2) menggambarkan tingkat

kelarutan oksigen di dalam plasma,

sedangkan fraksi oksigen inspirasi

(FiO2) merupakan jumlah kandungan

oksigen inspirasi yang diberikan oleh

ventilator ke pasien dengan konsentrasi

21-100%. Nilai normal PaO2/FiO2

yaitu 300–500. Adanya penurunan

PaO2/FiO2 menggambarkan

perburukan pada sistem respirasi

pasien. Bakteri C. Freundii yang

ditemukan pada hasil kultur sputum

responden 3 merupakan enterobacter

spesies, gram negatif, berbentuk

batang, anaerob dan merupakan flora

normal pada saluran pencernaan.

Adapun pergerakan bakteri ini ke organ

lain dikaitkan dengan lemahnya daya

tahan tubuh penderita.

Analisis peneliti bahwa bahwa

diagnosis infeksi pernapasan tidak

hanya ditentukan berdasarkan satu

gejala klinis saja yaitu peningkatan

suhu, tetapi penegakan diagnosis

infeksi pernapasan dapat ditegakkan

dengan kriteria klinis lain yaitu

leukositosis. Apabila suhu tubuh naik

terlalu tinggi, sel-sel tubuh dapat

mengalami kerusakan, hususnya sel-

sel pada sistem saraf sedangkan

leukositosis yang terjadi merupakan

Page 14: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

tanda reaksi tubuh terhadap masuknya

mikroorganisme patogen dengan

meningkatkan jumlah dan jenis sel-sel

darah putih yang beredar di mana

leukosit atau sel darah putih berperan

dalam melindungi tubuh terhadap

infeksi dan bakteri berbahaya.

2. Suhu

Pada penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi didapatkan

bahwa sebelum diberikan latihan batuk

efektif terprogram terdapat 4 orang

(26,7%) responden yang mempunyai

suhu normal tidak normal, dan 11

orang (73,3%) responden mempunyai

suhu normal. Setelah diberikan latihan

batuk efektif terprogram terdapat 3

orang (20,0%) responden yang masih

mempunyai suhu tidak normal dan 12

orang (80,0%) responden mempunyai

suhu normal. Hasil uji statistik Chi-

Square menunjukkan bahwa terdapat

pengaruh yang signifikan suhu

responden sebelum dan setelah

diberikan latihan batuk efektif

terprogram dengan nilai P Value =

0,009 (p < 0,05).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Diah Susmiarti

(2014), Pada responden 1 terdapat

peningkatan suhu pada hari ke 3 yaitu

≥ 39° C disertai adanya sputum namun

tidak purulent dan tidak ada

peningkatan leukosit. Nilai PaO2 = 93

dan FiO2 = 40% didapatkan

PaO2/FiO2 = 232,5. Penilaian foto

thorak hari ke 3 terhadap responden 1

tidak dapat dilaksanakan oleh karena

mesin thoraks cito bed sedang dalam

perbaikan, sedangkan foto thoraks hari

ke 1 adanya infiltrat sulit terbaca

dikarenakan adanya hemotoraks pada

rongga pleura. Hasil kultur sputum

terdapat adanya bakteri klebsiella

ozaenae.

Menurut Porzecanski (2006)

berdasarkan pada kriteria klinik

National Nosocomial Infection

Surveillance System (NNIS) bahwa

adanya tanda klinis demam > 38° C (>

100,4°F) yang bukan disebabkan

gangguan lain merupakan salah satu

tanda klinik adanya infeksi nosokomial

pneumonia. Menurut Kowalak (2012)

demam terjadi ketika agen penyebab

infeksi memasuki tubuh. Kenaikan

suhu akan membantu tubuh melawan

infeksi karena banyak mikroorganisme

tidak bisa hidup dalam lingkungan

yang panas. Apabila suhu tubuh naik

terlalu tinggi, sel-sel tubuh dapat

mengalami kerusakan, hususnya sel-sel

pada sistem saraf sedangkan

leukositosis yang terjadi merupakan

tanda reaksi tubuh terhadap masuknya

mikroorganisme patogen dengan

meningkatkan jumlah dan jenis sel-sel

darah putih yang beredar di mana

leukosit atau sel darah putih berperan

dalam melindungi tubuh terhadap

infeksi dan bakteri berbahaya.

Menurut Augustyn (2007) penurunan

terhadap kemampuan tubuh dalam

menyaring dan melembabkan udara

pada saluran nafas atau berkurangnya

reflek batuk akibat adanya

endotrachealtube serta terganggunya

mechanisms clearanse dari silia dalam

pembersihan karena cedera mukosa

selama intubasi. Adanya endotracheal

tube akan menyediakan tempat bagi

bakteri untuk masuk ke dalam trakea,

keadaan selanjutnya dari halhal

tersebut akan meningkatkan produksi

dan sekresi lendir. Mekanisme

pertahanan alami pasien yang menurun

akan meningkatkan kemungkinan

kolonisasi bakteri dari mikrorganisme.

Analisis peneliti bahwa demam terjadi

ketika agen penyebab infeksi

memasuki tubuh. Kenaikan suhu akan

membantu tubuh melawan infeksi

karena banyak mikroorganisme tidak

bisa hidup dalam lingkungan yang

panas. Apabila suhu tubuh naik terlalu

tinggi, sel-sel tubuh dapat mengalami

Page 15: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

kerusakan, khususnya sel-sel pada

sistem saraf. Sehingga dibutukan

latihan batuk efektif untuk membantu

meransang terbukanya sistim koleteral,

meningkatkan distribusi ventilasi,

meningkatkan volume paru dan

memfasilitasi pembersihan saluran

napas.

3. Batuk

Pada penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi didapatkan

bahwa sebelum diberikan latihan batuk

efektif terprogram terdapat 8 orang

(53,3%) responden yang mempunyai

batuk berdahak, dan 7 orang (46,7%)

responden mempunyai batuk tidak

berdahak. Setelah diberikan latihan

batuk efektif terprogram terdapat 3

orang (20,0%) responden yang masih

mempunyai batuk berdahak dan 12

orang (80,0%) responden mempunyai

batuk tidak berdahak. Hasil uji statistik

Chi-Square menunjukkan bahwa

terdapat pengaruh yang signifikan

batuk responden sebelum dan setelah

diberikan latihan batuk efektif

terprogram dengan nilai P Value =

0,006 (p < 0,05).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh (Yuliati Alie dan

Rodiyah, 2013) dimana dalam

penelitiannya dihasilakn pengeluaran

sputum sesudah dilatih batuk efektif

secara terprogram dari 24 responden 19

responden (79,2%) dapat

mengeluarkan sputum dan 5 responden

(20,8%) tidak dapat mengeluarkan

sputum. Pemeriksaan specimen

menunjukkan adanya peningkatan rata-

rata volume sputum yaitu pada

specimen 1 (sebelum batuk efektif

terprogram) sebesar 0,32 cc menjadi

0,88 cc pada specimen 1 (sesudah

dilatih batuk efektif terprogram),

sedangkan pada specimen 2 (sesudah

dilatih batuk efektif terprogram) rata-

rata volume sputum menjadi 1,6 cc.

Pemeriksaan specimen menunjukkan

adanya peningkatan volume sputum

yang dihasilkan dari pasien TB paru

yang telah diajarkan bagaimana batuk

efektif. Berdasakan hasil penelitian

perbandingan specimen 1 (sebelum

batuk efektif terprogram) dengan

specimen post 2 (setelah batuk efektif

terprogram) sebanyak 19 responden

(79,2%) mengalami peningkatan

volume sputum (cc) yang dihasilkan

setelah bantuk efektif. Sedangkan 5

responden (20,8) tidak mengalami

peningkatan sputum (cc) yang

dihasilkan setelah batuk efektif.

Dalam penelitian (Yosef Agung

Nugroho, 2011) dimana hasil penelitian

pengaruh batuk efektif terhadap

pengeluaran dahak pada pasien dengan

ketidakefektifan bersihan jalan nafas

sehingga uji pengaruh menggunakan

uji Wilcoxon untuk melihat kemaknaan

pengaruh batuk efektif dengan α = 0,05

didapatkan p=0,003 (p<0,05) berarti

bahwa berarti ada pengaruh sebelum

dan sesudah perlakuan batuk efektif.

Hasil penelitian menunjukkan ada

perubahan yang signifikan sebelum dan

sesudah diberikan tindakan batuk

efektif, dengan riwayat penyakit

responden yang berbeda – beda seperti

asma bronchial, bronkopneumonia,

bronchitis, efusi pleura.

Latihan batuk efektif merupakan

aktivitas perawat untuk membersihkan

sekresi pada jalan nafas. Tujuan batuk

efektif adalah meningkatkan mobilisasi

sekresi dan mencegah resiko tinggi

retensi sekret. Pemberian batuk efektif

dilaksanakan terutama pada klien

dengan masalah keperawatan ketidak

efektifan jalan nafas dan masalah

resiko tinggi infeksi saluran pernafasan

bagian bawah yang berhubungan

dengan akumulasi sekret pada jalan

nafas yang sering disebabkan oleh

kemampuan batuk yang menurun atau

adanya nyeri setelah pembedahan

Page 16: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

thoraks atau pembedahan abdomen

bagian atas sehingga klien merasa

malas untuk melakukan batuk.

Batuk diperlukan untuk membuang

produk-produk radang keluar. Karena

terlibatnya bronkus pada setiap

penyakit tidak sama, mungkin saja

batuk baru ada setelah penyakit

berkembang dalam jaringan paru yakni

setelah berminggu-minggu atau

berbulan-bulan peradangan bermula.

Sifat batuk dimulai dari batuk kering

kemudian setelah timbul peradangan

menjadi produktif (menghasilkan

sputum). Tetapi kadang-kadang tidak

mudah untuk mengeluarkan sputum.

Terutama pada pasien yang tidak batuk

atau batuk yang non produktif. Dalam

hal ini dianjurkan satu hari sebelum

pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan

minum sebanyak 2 liter dan diajarkan

melakukan reflek batuk. untuk

mempermudah pengeluaran sputum

dapat dipengaruhi beberapa faktor

yaitu batuk efektif, postural drainase,

vibrating dan clapping.

Analisis peneliti bahwa batuk efektif

penting untuk menghilangkan

gangguan pernapasan dan menjaga

paru-paru agar tetap bersih. Batuk

efektif dapat di berikan pada pasien

dengan cara diberikan posisi yang

sesuai agar pengeluaran dahak dapat

lancar. Batuk efektif ini merupakan

bagian tindakan keperawatan untuk

pasien dengan gangguan penapasan

akut dan kronis dimana batuk efektif

yang baik dan benar akan dapat

mempercepat pengeluaran dahak pada

pasien dengan gangguan saluran

pernafasan.

4. Sesak

Pada penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi didapatkan

bahwa sebelum diberikan latihan batuk

efektif terprogram terdapat 4 orang

(26,7%) responden yang masih sesak,

dan 11 orang (73,3%) responden yang

tidak sesak. Setelah diberikan latihan

batuk efektif terprogram terdapat 1

orang (6,7%) responden yang masih

mempunyai sesak dan 14 orang

(93,3%) responden yang tidak sesak.

Hasil uji statistik Chi-Square

menunjukkan bahwa tidak terdapat

pengaruh yang signifikan sesak napas

responden sebelum dan setelah

diberikan latihan batuk efektif

terprogram dengan nilai P Value =

0,267 > 0,05.

Penelitian ini tidak sejalan dengan

penelitian yang di lakukan oleh (Erva

Elli Kristiani, 2011) berdasarkan hasil

penelitian didapatkan hasil yaitu

pengeluaran dahak awal pada pasien

dengan ketidakefektifan bersihan jalan

nafas di instalasi rehabilitasi medik RS

Baptis Kediri. Frekuensi pengeluaran

dahak awal adalah sedikit 8 (53,33%).

Dahak adalah materi yang dikeluarkan

dari saluran napas bawah oleh batuk

(FKUI,2001). Orang dewasa normal

bisa memproduksi mukus (sekret

kelenjar) sejumlah 100 ml dalam

saluran napas setiap hari. Mukus ini

digiring ke faring dengan mekanisme

pembersihan silia dari epitel yang

melapisi saluran pernapasan. Keadaan

abnormal produksi mukus yang

berlebihan (karena gangguan fisik,

kimiawi, atau infeksi yang terjadi pada

membran mukosa), menyebabkan

proses pembersihan tidak berjalan

secara adekuat normal seperti tadi,

sehingga mukus ini banyak tertimbun.

Bila hal ini terjadi, membran mukosa

akan terangsang, dan mukus akan

dikeluarkan dengan tekanan

intrathorakal dan intra abdominal yang

tinggi (Darmanto, 2006).

Dalam penelitian (Yosef Agung

Nugroho, 2011) menunjukkan

pengeluaran dahak sebelum perlakuan

batuk efektif pada pasien dengan

ketidakefektifan bersihan jalan nafas

Page 17: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

lebih dari 50% sedikit sebanyak 8

responden (53,33%). Lebih dari 50%

responden mengeluarkan dahak sedang

kemungkinan dipengaruhi keadaan

pasien sehingga pasien sulit

mengeluarkan dahak, karena

disebutkan pada teori pasien

memproduksi dahak setiap hari

sebanyak 100 ml di saluran pernapasan

sehingga memicu dahak menumpuk di

saluran pernapasan dan responden

dengan keadaan yang kurang baik

seperti sesak, lemas, dan susah untuk

batuk bisa memungkinkan responden

kesulitan untuk mengeluarkan dahak.

Oleh karena itu kebanyakan responden

mengeluarkan dahak dalam jumlah

yang sedikit.

Analisis peneliti berdasarkan observasi

pada pasien dengan ketidakefektifan

bersihan jalan nafas pasien mengalami

sesak, terdengar suara nafas seperti

mengi, pusing, lemas. Hal ini

dibutuhkan solusi untuk mengatasinya

salah satunya dengan melakukan batuk

efektif.

5. Suara Napas

Pada penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi didapatkan

bahwa sebelum diberikan latihan batuk

efektif terprogram terdapat 2 orang

(13,3%) responden yang mempunyai

suara napas tidak normal, dan 13 orang

(86,7%) responden mempunyai suara

napas normal. Setelah diberikan latihan

batuk efektif terprogram terdapat 1

orang (6,7%) responden yang masih

mempunyai suara napas tidak normal

dan 11 orang (93,3%) responden

mempunyai suara napas normal. Hasil

uji statistik Chi-Square menunjukkan

bahwa tidak terdapat pengaruh yang

signifikan suara napas responden

sebelum dan setelah diberikan latihan

batuk efektif terprogram dengan nilai p

value = 0,867 > 0,05.

Dalam penelitia ini tidak sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh

(Budi Susatia, 2016) dalam

penelitiannya, dimana peneliti

membagi responden menjadi dua

kelompok, yaitu kelompok yang

diberikan latihan batuk efektif dan

kelompok yang tidak diberikan latihan

batuk efektif. Peneliti mendapatkan

hasil yang sangat signifikan, sangat

jelas bahwa setelah diberikan latihan

batuk efektif sebagian besar responden

8 orang pada kelompok intervensi,

kondisi bersihan jalan nafas kembali

bersih (Ronchi (-), Secret (-)), setelah

24 jam post operasi, dan 2 responden

(20%) yang belum mengalami

pemulihan pada kondisi bersihan jalan

nafas. (Roper, 1996).

Hal ini juga didukung oleh pernyataan

Smeltzer (2001), bahwa batuk

merupakan cara efektif dan efisien

untuk mengeluarkan lendir di saluran

pernapasan. Agar batuk jadi efektif

maka perlu diberikan latihan batuk.

Latihan batuk merupakan cara yang

paling efektif untuk membersihkan

laring, trakea, bronkhioli dari sekret

dan benda asing. Latihan batuk efektif

juga sangat diperlukan bagi klien

terutama klien yang mengalami operasi

dengan general anstesi. Selain karena

efek dari anastesi, pasien juga akan

mengalami pemasangan alat bantu

nafas selama dalam kondisi teranastesi.

Sehingga ketika sadar pasien akan

mengalami rasa tidak nyaman pada

tenggorokan, karena mengalami

gangguan pada bersihan jalan nafasnya.

Dengan terasa banyak lendir kental di

tenggorokan yang disertai dengan

adanya bunyi nafas tambahan (ronchi).

Timbulnya ronchi dikarenakan aliran

udara pada jalan nafas terhambat oleh

adanya penumpukan lendir yang

berlebih. Dari hasil penelitian diketahui

bahwa proses pembelajaran latihan

batuk efektif pada fase post operasi

sangat berpengaruh terhadap kondisi

bersihan jalan nafas. Pemahaman

tentang teknik latihan batuk efektif

Page 18: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

yang lebih awal akan menyebabkan

implementasi yang lebih efektif,

sehingga tujuan yang ingin dicapai

akan lebih mudah dan hasilnya lebih

maksimal.

Analisis peneliti bahwa timbulnya

suara napas tambahan dikarenakan

adanya secret dijalan nafas yang tidak

dikeluarkan atau dimobilisasai secara

efektif, sehingga menyebabkan adanya

bunyi nafas tambahan (ronchi). Dengan

melakukan batuk efektif dapat

memobilisasi secret yang berada di

jalan nafas, karena dengan cara ini

bagian basis paru dapat memperoleh

aliran udara dan mencegah stagnasi

sekret yang merupakan penyebab

utama timbulnya bunyi nafas tambahan

(ronchi).

6. Irama Napas

Pada penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi didapatkan

bahwa sebelum diberikan latihan batuk

efektif terprogram terdapat 4 orang

(26,7%) responden yang mempunyai

irama napas tidak teratur, dan 11 orang

(73,3%) responden mempunyai irama

napas teratur. Setelah diberikan latihan

batuk efektif terprogram terdapat 2

orang (13,3%) responden yang masih

mempunyai irama napas tidak teratur

dan 13 orang (84,7%) responden

mempunyai irama napas teratur. Hasil

uji statistik Chi-Square menunjukkan

bahwa tidak terdapat pengaruh yang

signifikan irama napas responden

sebelum dan setelah diberikan latihan

batuk efektif terprogram dengan nilai P

Value = 0,057 >0,05.

Penelitin ini tidak sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh (Hendro

Djoko Tj, 2015) dimana bersihan jalan

nafas dapat juga dipengaruhi oleh

pemberian anestesi inhalasi dimana

tindakan ini dapat mengiritasi saluran

nafas, menimbulkan batuk maupun

spasme jalan nafas. Hasil uji Chi

Square diperoleh p=0,011 yaitu Ho

ditolak dan H1 diterima. Hal ini dapat

diartikan bahwa p < 0,05 dimana batuk

efektif mempunyai pengaruh bermakna

terhadap bersihan jalan nafas post

operasi dengan anestesi inhalasi.

Pengaruh yang sangat bermakna ini

terjadi bila tercapai hasil yang

maksimal yaitu pernafasan klien

menjadi normal (16-20 x/menit), irama

nafas teratur, sekret dapat keluar

sedikit/dengan mudah mengeluarkan

sekret banyak, tidak ada pergerakan

cuping hidung, klien jarang.

Analisis peneliti bahwa latihan batuk

efektif merupakan aktivitas perawat

untuk membersihkan sekresi pada jalan

nafas. Tujuan batuk efektif adalah

meningkatkan mobilisasi sekresi dan

mencegah resiko tinggi irama nafas

tidak teratur. Pemberian batuk efektif

dilaksanakan terutama pada klien

dengan masalah keperawatan ketidak

efektifan jalan nafas dan masalah

resiko tinggi infeksi saluran

pernafasan.

7. Frekuensi Napas

Pada penelitian ini dari 15 responden

pada kelompok intervensi didapatkan

bahwa sebelum diberikan latihan batuk

efektif terprogram terdapat 4 orang

(33,3%) responden yang mempunyai

frekuensi napas tidak normal, dan 10

orang (66,7%) responden mempunyai

frekuensi napas normal,. Setelah

diberikan latihan batuk efektif

terprogram terdapat 5 orang (33,3%)

responden yang masih mempunyai

frekuensi napas tidak normal, dan 10

orang (66,7%) responden mempunyai

frekuensi napas normal. Hasil uji

statistik Chi-Square menunjukkan

bahwa terdapat pengaruh yang

signifikan frekuensi napas responden

sebelum dan setelah diberikan latihan

batuk efektif terprogram dengan nilai P

Value = 0,000 (p < 0,05).

Page 19: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

Penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh (Sasono

Mardiono, 2013) dimana hasil

penelitiannya didapatkan rata-rata

frekuensi pernafasan sebelum

melakukan batuk efektif yaitu 23,37

kali per menit dengan standar deviasi

6,45, nilai minimum 8 dan maksimum

31, rata-rata frekuensi pernafasan

sesudah melakukan batuk efektif yaitu

19,81 kali per menit dengan standar

deviasi 4,17, nilai minimum 10 dan

maksimum 25, ada perbedaaan yang

signifikan antara frekuensi pernafasan

sebelum dan sesudah tindakan latihan

batuk efektif (p value = 0,000).

Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa

menghirup udara dari luar yang

mengandung O2 (oksigen) kedalam

tubuh serta mengembuskan udara yang

banyak mengandung CO2

(karbondioksida) sebagai sisa dari

oksidasi keluar tubuh. Penghisapan ini

disebut inspirasi dan menghembuskan

disebutkan ekspirasi.

Sistem pernapasan terdiri atas paru-

oaru dan system saluran yang

menghubungkan jaringan paru dengan

lingkungan paru yang berfungsi untuk

menyediakan oksigen untuk darah dan

mengbuang karbondiosida. Menurut

teori Parsudi, dkk (2002) dalam

(Suddarth & Brunner, 2002) latihan

nafas dalam adalah bernapas dengan

perlahan dan menggunakan diafragma,

sehingga memungkinkan abdomen

terangkat perlahan dan dada

mengembang penuh.

Sedangkan menurut Brunner &

Suddarth (2002) latihan nafas dalam

bukanlah bentuk dari latihan fisik, ini

merupakan teknik jiwa dan tubuh yang

bisa ditambahkan dalam berbagai

rutinitas guna mendapatkan efek relaks.

Praktik jangka panjang dari latihan

pernafasan dalam akan memperbaiki

kesehatan. Bernafas pelan adalah

bentuk paling sehat dari pernafasan

dalam. Menurut Mutaqin (2008) Batuk

efektif adalah aktivitas perawat untuk

membersihkan sekresi pada jalan nafas,

yang bertujuan untuk meningkatkan

mobilisasi sekresi dan mencegah risiko

tinggi retensi sekresi.

Sedangkan menurut (Kapuk, 2012)

batuk efektif merupakan latihan

mengeluarkan secret yang terakumulasi

dan mengganggu di saluran nafas

dengan cara dibatukkan batuk efektif:

merupakan suatu metode batuk dengan

benar, dimana klien dapat menghemat

energi sehingga tidak mudah lelah dan

dapat mengeluarkan dahak secara

maksimal.

Hasil penelitian ini jugak sejalan

dengan hasil penelitian Pranowo

(2012), membuktikan bahwa latihan

batuk efektif sangat efektif dalam

pengeluaran sputum dan membantu

membersihkan secret pada jalan nafas

serta mampu mengatasi sesak napas

pada pasien TB paru di ruang rawat

inap Rumah Sakit Mardi Rahayu

Kudus dan didukung juga oleh hasil

penelitian Septherisa (2012) yang

membuktikan bahwa adanya efektifitas

latihan batuk efektif dalam peningkatan

sekresi mucus dan membantu

mengatasi sesak napas pada klien

Asma Bronkial d I IRNA Penyakit

Dalam Teratai Rumah Sakit AK. Gani

(Septherisa, 2012).

Analisis peneliti bahwa latihan batuk

efektif terbukti dapat mempengaruhi

frekuensi pernafasan pasien. Tujuan

batuk efektif adalah untuk mencapai

ventilasi yang lebih terkontrol dan

efisien serta untuk mengurangi kerja

bernapas, meningkatkan inflasi

alveolar maksimal, meningkatkan

relaksasi otot, menghilangkan ansietas,

menyingkirkan pola aktifitas otot-otot

pernapasan yang tidak berguna, tidak

terkoordinasi, melambatkan frekuensi

pernafasan, mengurangi udara yang

Page 20: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

terperangkap serta mengurangi kerja

bernapas.

PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa:

1. Terdapat pengaruh yang signifikan

leukosit responden sebelum dan

setelah diberikan latihan batuk

efektif terprogram.

2. Terdapat pengaruh yang signifikan

suhu responden sebelum dan

setelah diberikan latihan batuk

efektif terprogram.

3. Terdapat pengaruh yang signifikan

batuk responden sebelum dan

setelah diberikan latihan batuk

efektif terprogram.

4. Tidak terdapat pengaruh yang

signifikan sesak napas responden

sebelum dan setelah diberikan

latihan batuk efektif terprogram.

5. Tidak terdapat pengaruh yang

signifikan suara napas responden

sebelum dan setelah diberikan

latihan batuk efektif terprogram.

6. Tidak terdapat pengaruh yang

signifikan irama napas responden

sebelum dan setelah diberikan

latihan batuk efektif terprogram.

7. Terdapat pengaruh yang signifikan

frekuensi napas responden sebelum

dan setelah diberikan latihan batuk

efektif terprogram.

B. Saran

1. Saran Bagi Rumah Sakit Umum

Daerah Labuang Baji Makassar

Dengan adanya penelitian ini,

diharapkan tenaga perawat mampu

mengajarkan latihan batuk efektif

yang baik dan benar serta mampu

memantau pelaksanaan latihan

tersebut, tepatnya pada pasien post

operasi dengan general anastesi.

Sehingga akan tercapai manfaat

yang lebih maksimal. Pasien

diharapkan menerapkan latihan

batuk efektif setelah operasi jika

menggunakan general anastesi.

Karena latihan tersebut mampu

meningkatkan kondisi bersihan

jalan napas, sehingga kondisi jalan

napas tetap dalam kondisi yang

bersih. Latihan ini bisa terus

dilakukan sampai pasien benar-

benar merasakan bahwa kondisi

bersihan jalan napas sudah baik.

2. Bagi Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini sebagai bahan

pustaka dalam pengembagan ilmu

keperawatan selanjutnya dan

sebagai acuan penelitian

selanjutnya yang terkait dengan

pengaruh latihan batuk efektif

terprogram terhadap risiko infeksi

pernapasan pada pasien post

operasi laparatomi dengan general

anestesi.

3. Bagi penelitian

Untuk pengembangan penelitian

keperawatan maka disarankan bagi

calon peneliti selanjutnya dapat

dilakukan dengan penelitian ulang

yaitu penelitian yang sama, namun

untuk mengetahui infeksi

pernapasan dapat melalui kultur

sputum.

DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M., (2017). Nursing Theory And

Their Work. USA.Vol.1 edisi ke-8:

Mosby Elsevier.

Allman,Richard M. et al., (2009). Pressure

Ulcers, Hospital Complications, and

Disease Severity : Impact on

Hospital Costs and Length of Stay.

Advances In Wound Care. 12(1),84-

93.

Anaya, D.A., Dellinger, P.E., (2008).

Surgical complications. Dalam:

Townsend, C.M.,Beauchamp, R.D.,

Evers, B.M., Mattox, K.L.

2008.Sabiston Textbook of Surgery

The Biological Basis of Modern

Surgical Practice. 18 th ed.

Philadelphia: Saunders, pp. 328-334

Page 21: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

Andanawari, Sartika., (2013). Hubungan

antara tipe kepribadian dengan

posttraumatic growthpada orang

dengan HIV/AIDS (ODHA). Skripsi.

Universitas Pendidikan

Indonesia.Bandung.

Arif, Muttaqin., (2009). Asuhan

Keperawatan Klien dengan

Gangguan Sistem Kardiovaskular

dan hematologi. Salemba Medika,

Jakarta.

Baradero, dkk., (2008). Klien Gangguan

Kardiovaskuler. Jakarta: EGC

Basri, Burhanuddin,, (2016). Teori Ilmu

Keperawatan Para Ahli “ Teori dan

Aplikasi “(Nursing Theorists and

Their Work). Jakarta: Pustaka Muda.

Black,J dan Hawks, J., (2014).

Keperawatan Medikal Bedah:

Manajemen Klinis untuk Hasil yang

Diharapkan. Dialihbahasakan oleh

Nampira R. Jakarta: Salemba Emban

Patria.

Brown, Richard E., (2009). Electric Power

Distribution Reliability, edisi 2, CRC

Press Taylor & Francis Group,

United States of America.

Chandra B., (2012). Pengantar Kesehatan

Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Dahlan, S., (2016). Statistik Untuk

Kedokteran Dan Kesehatan.

Depkes RI., (2008). Millenium

Development Goals. 2015. Jakarta.

Depkes RI., (2011). Profil Kesehatan

Indonesia tahun. 2010. Jakarta.

Dharma, Kelana. K., (2011), Metodologi

Penelitian Keperawatan : Panduan

Melaksanakan dan Menerapkan

Hasil Penelitian, Jakarta, Trans

InfoMedia

Dorland, W.A Newman. (2011). Kamus

Saku Kedokteran Dorland Ed.28

(Alih Bahasa : AlbertusAgung

Mahode). Jakarta : EGC

Hadyan.S dan Ida Bagus.S., (2014).

Penatalaksanaan Anestesia Pada

Laparotomi Kistoma Ovari

Permagna. Jurnal Ilmiah Kedokteran.

Medicina Volume 45 Nomor 2. Mei

2014.

Hilton, Lisette dan Sam Uretsky., (2011).

Seputar Obat Bius: Bag. 2. Diunduh

dari

www.ikatanapotekerindonesia.net/.../

1464-seputar-obat-bius-bagian-

2.html pada tanggal 28 Mei 2011.

Cheap Offers:

http://bit.ly/gadgets_cheap.

Hutapea, Ronald., (2013). Why

Rokok?Tembakau dan Peradaban

Manusia. Jakarta:Bee Media

Indonesia.

Jeffrey, C. dan J. C. Pommerville., (2010).

Microbial Growth and Nutrition

(Chapter 5). Jo nes & Bartlett

Learning Publisher, Sudbury MA.

Jensen, B. M, et al., (2011). Postoperative

changes in fatigue, physical function

and body composition: an analysis of

the amalgated data from five

randomized trials on patien

undergoing colorectal surgery.

Kiik, S. M., (2012). Early Mobilization

Influence to Peristaltic’s Recovery

Time Intestine on Pasca’s Patient

Hands out Abdomen at Icu BPRSUD

Labuang Baji Makassar. Jurnal

Kesehatan Volume 1 No.1 13-20.

Dapat diakses di

http://stikesmaranathakupang.ac.id/m

edia/file/Jurnal.pdf dibuka pada

tanggal 12 Oktober 2014.

Kozier, B., Berman, A.and Shirlee J.

Snyde, alih bahasa Pamilih Eko

Karyuni, dkk. 2010. Buku Ajar

Fundamental Keperawatan Konsep

Proses dan Praktik edisi VII Volume

1. Jakarta : EGC

Medicastore., (2011). Apotik Online dan

Media Info Obat-Penyakit-Online.

Diakses 26 September 2011, dari

http://medicastore.com/penyakit/42/

Obesitas.html.

Miharja, L., (2009). Faktor Yang

Berhubungan dengan Pengendalian

Gula Darah

pada Penderita Diabetes Mellitus di

Perkotaan Indonesia. Majalah

Page 22: PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP …

Jurnal Kedokteran Indonesia,

Volume 59, Nomor 9, Jakarta.

Munaf, S., (2008). Kumpulan Kuliah

Farmakologi. Palembang: EGC

Nainggolan, Olwin., (2009). Prevalensi

dan Determinan Penyakit Rematik di

Indonesia: Puslitbang Biomedis dan

Farmasi Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI [online],

Vol 59 [59], 7 halaman. Tersedia: [4

Mei 2013].

Notoatmodjo, Soekidjo., (2010). Metode

Penelitian Kesehatan Edisi.

Revisi.Jakarta : Rineka Cipta.

Nur Basuki., (2009). Fisiologi Pernapasan,

catatan kuliah FT D, Akademi

Fisioterapi Surakarta.

Nurhayati dkk., (2012). Konsep kebidanan.

Jakarta:Salemba Medika

Nursalam., (2011). Metode penelitian.

Jakarta : Rineka Cipta

Rondhianto,dkk., (2016). Batuk Efektif

Dan Napas Dalam Untuk

Menurunkan Kolonisasi

Staphylococcus Aureus Dalam

Sekret Pasien Pasca Operasi Dengan

Anastesi Umum di RSD Dr.

SOEBANDI JEMBER. NurseLine

Journal Vol. 1 No. 1 Mei 2016: 151-

158

Santoso, S., (2010). Statistik Multivariat

Konsep dan Aplikasi dengan SPSS.

Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Sjamsuhidajat & Jong.D., (2010). Buku

Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:EGC.

Suryani., (2016). Penerapan Teori Selfcare

Orem Dan Comfort Kolcaba Pada

Ibu Post Partum Seksio Sesarea

Dengan Tubektom. P- ISSN: 2086-

3071, E-ISSN: 2443-0900. Volume

7, Nomor 2, Juli 2016.

ttp://ejournal.umm.ac.id/index.php/k

eperawatan/issue/view

Susatia, Budi., (2016). Efektivitas

Pemberian Hot-Pack terhadap

Hipotermi Pasien Post Operasi

http://www.kompasiana.com/wigati/e

fektivitas-pemberian-hot-pack-

terhadap-hipotermi-pasien-post-

operasi-seksio-

caesaria_58d0cb063dafbd8a19538b5

1

Supriadi, Kasum., (2016). Pneumonia

pasca-operasi. Departemen

Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran

Respirasi FKUI/ RSUP

Persahabatan.

https://infolaboratoriumkesehatan.wo

rdpress.com/tag/nilai-normal-

leukosit-sel-darah-putih/

Potter, P.A, Perry, A.G (2005).. Buku

Ajar Fundamental Keperawatan:

Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi

4.Volume 2. Alih Bahasa: Renata

Komalasari,dkk. Jakarta:EGC.

WHO. (2007). Pencegahan dan

Pengendalian Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA) Yang

Cenderung Menjadi Epidemi dan

Pandemi di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan. Pedoman Interim

WHO.Alih Bahasa: Trust Indonesia.

Jakarta.

Zulman, D. M., Rosland, A. M., Choi, H.,

Langa, K. M., & Heisler, M., (2011).

The influence of diabetes

psychosocial attributes and self

management

practices on change in diabetes

status. Patient Educational and

Counseling, 30, 1-7, doi:

10.1016/j.pec.2011.07013