PENGARUH CHARACTER LEARNING EDUCATION · PDF fileHakikat Pendidikan Karakter (Character...

56
PENGARUH CHARACTER LEARNING EDUCATION TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA DOSEN : LEONARD SIMANGUNSONG,M.M.,M.Pd Diajukan untuk memenuhi tugas Seminar Praskripsi. OLEH: NAMA : MAYA UMAMI NPM : 200913500674 KELAS : S7C FAKULTAS TEKNIK, MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI JAKARTA TAHUN 2013

Transcript of PENGARUH CHARACTER LEARNING EDUCATION · PDF fileHakikat Pendidikan Karakter (Character...

 

PENGARUH CHARACTER LEARNING EDUCATION TERHADAP

HASIL BELAJAR MATEMATIKA

DOSEN : LEONARD SIMANGUNSONG,M.M.,M.Pd

Diajukan untuk memenuhi tugas

Seminar Praskripsi.

OLEH:

NAMA : MAYA UMAMI

NPM : 200913500674

KELAS : S7C

FAKULTAS TEKNIK, MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI JAKARTA

TAHUN 2013

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i

DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii

DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .....………………………….................. 1

B. Identifikasi Masalah .....….…………………………… 5

C. Pembatasan Masalah .....….…………………………... 5

D. Perumusan Masalah ...………………………………... 5

E. Tujuan Penelitian ..…………………………………..... 6

F. Manfaat Penelitian..................………………………… 6

G. Sistematika Penulisan..………………………………... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori.……………………………………. 8

1. Hakikat Hasil Belajar Matematika ………….. 8

2. Hakikat Pendidikan Karakter (Character

Learning Education) ……………………….... 19

B. Kerangka Berfikir …………………………………. 31

C. Hipotesis Penelitian ……………………………….. 32

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................... 33

1. Tempat Penelitian ……………………………. 33

ii

2. Waktu Penelitian …………………………….. 33

B. Metode Penelitian …………………………………. 34

1. Jenis Penelitian ………………………………. 34

2. Desain Penelitian …………………………….. 35

C. Populasi dan Sampel ………………………………. 36

1. Populasi Penelitian …………………………… 36

2. Sampel Penelitian …………………………….. 36

D. Metode Pengumpulan Data ………………………... 37

1. Variabel Penelitian …………………………… 37

2. Sumber Data ………………………………….. 39

3. Teknik Pengumpulan Data …………………… 39

E. Instrumen Penelitian ………………………………. 40

1. Definisi Konseptual ………………………….. 40

2. Definisi Operasional …………………………. 41

3. Kisi-Kisi Instrumen ………………………….. 41

4. Pengujian Instrumen …………………………. 41

F. Teknik Analisis Data ……………………………… 44

1. Teknik Analisis Deskriptif……………………. 45

2. Teknik Analisis Persyaratan Data ……………. 46

3. Pengujian Hipotesis ………………………….. 48

G. Hipotesis Statistik ………………………………… 50

DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv

LAMPIRAN

ii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Jadual Kegiatan Penelitian ..…………………………….. 33

Tabel 3.2. Desain Penelitian ..…………………………….………… 35

iii

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan pondasi utama dalam membentuk keberhasilan

suatu bangsa, diperlukan adanya perhatian yang lebih untuk menanganinya.

Seperti yang dikemukakan oleh Hamzah dan Junaedi (2007:38) bahwa

Pendidikan adalah masalah hari depan yang harus dipersiapkan dan

ditanggulangi mulai sekarang dan apabila terjadi penundaan, maka akan

mendekatkan suatu bangsa pada jurang kehancuran. Krisis moral yang terjadi

di tiap-tiap negara merupakan salah satu faktor kehancuran bangsa. Oleh

karena itu pendidikan menjadi perhatian serius di masyarakat.

Menurut Al-Qarni (2012:10) Pendidikan kita belum berubah dari

paradigma lama yang bertumpu pada score atau nilai ujian nasional sebagai

patokan pendidikan. Pendidikan saat ini hanya semata-mata dipandang dari

segi intelektualitasnya saja padahal pada esensinya pendidikan merupakan

sebuah upaya dalam rangka membangun kecerdasan manusia, baik

kecerdasan kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Alhasil, kini dekadensi

moral yang dialami oleh bangsa Indonesia ditandai dengan maraknya aksi

kekerasan, korupsi, pembalakan liar, bahkan sampai pada praktik-praktik

kebohongan dalam dunia pendidikan seperti menyontek pada saat ujian dan

plagiatisme. Theodore Roosevelt mengatakan (dalam Wiyani, 2012:5) “To

educate a person mind and not in morals is to educate a menace to society”

2

(Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral

adalah ancaman marabahaya kepada masyarakat). Dari pernyataan diatas

maka perlu adanya keseimbangan antara kecerdasan otak dan aspek moral.

Rendahnya moralitas di masyarakat terbukti dengan adanya berbagai

tindak kriminal. Hal ini dapat dengan mudah kita jumpai, baik melalui

tayangan televisi maupun secara langsung kita lihat dengan mata kepala kita

sendiri. Belum lagi permasalahan yang sedang marak diberitakan seperti

tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di lingkungan Pemerintahan,

BUMN, dan perusahaan swasta. Para koruptorpun sulit untuk dijerat pasal

dikarenakan pasal-pasal itu sendiri seperti karet yang elastis dan mudah sekali

terputus. Tak heran bila kasus korupsi di negeri ini menjadi kasus yang

mudah dilihat, tapi tak bisa dipegang. Sebab, sekali dipegang maka akan

banyak tangan yang terpegang. Dengan keadaan yang seperti ini, sulit sekali

untuk menentukan mana yang benar-benar koruptor dan mana yang hanya

sebatas korban karena semua itu harus teruji di meja hijau atau pengadilan.

Melihat sketsa wajah negeri seperti di atas, hal itu tentu akan menjadi

tidak baik bila dilihat oleh anak-anak sebagai generasi penerus bangsa.

Mereka tentu akan kecewa karena penegakan hukum tak sesuai dengan

harapan. Sedangkan mereka selalu mendapatkan nasehat dari para guru untuk

berlaku jujur dalam situasi dan keadaan apapun. Apa yang kita dengar dan

kita lihat tersebut mengacu pada satu hal, yaitu karakter.

Semua sekolah umum diharapkan untuk mampu menjadi sekolah yang

cerdas dan berkarakter. Tentu dalam proses pelaksanaanya tak semudah

3

membalikan telapak tangan. Ada saja tantangan dan rintangan yang pasti

harus dihadapi. Sekolah berkarakter itu seperti sekolah laskar pelangi.

Sekolah dengan fasilitas apa adanya mampu bersaing dan melahirkan peserta

didik yang sangat luar biasa. Suatu kisah nyata dari sebuah sekolah yang

mampu menjaga sekolahnya tetap unggul walaupun ketiadaan fasilitas dan

ketidakadanya dana, tetap menjaga karakter sekolahnya dan membangun

kejujuran. Dari sini dapat kita lihat bahwa pendidikan karakter (character

learning education) merupakan bentuk solving problem dalam mengatasi

paradigma berfikir kebanyakan orang bahwa pendidikan lebih mengacu pada

ranah kognitif. Dalam realitas pembelajaran di sekolah, usaha untuk

menyeimbangkan ketiga ranah tersebut memang selalu diupayakan, namun

pada kenyataannya yang lebih dominan adalah ranah kognitif kemudian

psikomotorik. Akibatnya, peserta didik kaya akan kemampuan yang bersifat

hard skill namun miskin soft skill output karena ranah afektif yang

terabaikan.

Keadaan ini seakan sudah menjadi suatu budaya yang mana perlu

adanya peran aktif dari berbagai pihak seperti pihak keluarga, sekolah, dan

lingkungan. Pada dasarnya keluarga memegang peranan penting dalam

penanaman pendidikan karakter, namun sekolah juga merupakan wahana

yang tepat untuk ini. Di sekolah anak mengalami perubahan tingkah laku.

Proses perubahan tingkah laku dalam diri anak sesuai dengan nilai-nilai sosial

dan kebudayaan yang tertuang dalam kurikulum sekolah. Kurikulum

4

pendidikan yang dilaksanakan oleh guru salah satunya berfungsi untuk

membentuk tingkah laku menuju kepribadian yang dewasa secara optimal.

Pada saat ini, untuk menciptakan kurikulum berkarakter di sekolah

tidaklah mudah seperti yang dapat dibayangkan. Apalagi membangunya pada

zaman yang edan seperti sekarang. Kurikulum baru ini akan melibatkan

beberapa komponen pendidikan lainnya seperti: isi kurikulum, proses

pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan

mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan

ekstrakurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja

seluruh warga dan lingkungan sekolah. Dari semua komponen tersebut, guru

merupakan media yang efektif dalam mendistribusikan pendidikan

berkarakter kepada siswa. Dalam hal ini guru harus memulai desain

pembelajaran baru. Desain pembelajaran yang kemudian akan diterapkan

kepada siswa dengan menginternalisasi ke materi maupun ke dalam bentuk

tindakan. Desain ini akan diimplementasikan melalui metode dan strategi

yang akan digunakan oleh guru dan komponen pendukung sekolah lainnya.

Sekolah akan dikatakan berhasil apabila hasil belajar matematika

memuaskan dengan penilaian atau skor yang rata-ratanya bagus. Berkaitan

dengan pendidikan karakter terhadap hasil belajar matematika dilakukan

sebuah eksperimen oleh para expert. Buku Joseph Zins, dkk (dalam Wiyani,

2012:17) kecerdasan emosional yang di dalamnya terkait erat dengan

pendidikan karakter, ternyata berpengaruh sangat kuat dengan keberhasilan

belajar. Dengan adanya pendidikan karakter, anak akan memiliki kecerdasan

5

emosional. Kecerdasan emosional adalah bekal terpenting dalam

mempersiapkan anak menyongsong masa depan karena denganya seseorang

akan dapat berhasil menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan

dalam bidang akademik.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka diidentifikasikan

masalah sebagai berikut:

a. Apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter?

b. Bagaimana metode dan strategi pelaksanaan pendidikan karakter yang

digunakan guru di sekolah?

c. Bagaimana bentuk implementasi pendidikan karakter pada siswa di

sekolah?

d. Bagaimana hubungan pendidikan karakter dengan kecerdasan emosional?

e. Apakah pendidikan karakter dapat berpengaruh terhadap hasil belajar

matematika?

C. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, permasalahan dibatasi hanya pada: pengaruh

character learning education terhadap hasil belajar matematika.

D. Perumusan Masalah

Secara umum dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: adakah

pengaruh character learning education terhadap hasil belajar matematika?

6

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka

tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

mengetahui pengaruh penerapan pendidikan karakter (character learning

education) di sekolah terhadap hasil belajar matematika.

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis:

Diharapkan dapat memberikan manfaat pada dunia pendidikan

terutama dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang

handal dan kokoh melalui pendidikan karakter.

2. Manfaat Praktis:

a. Bagi Sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah dapat dijadikan

referensi untuk melaksanakan kurikulum baru.

b. Bagi Guru adalah dapat dijadikan acuan selanjutnya untuk lebih

menekankan pada pengajaran berkarakter.

c. Bagi Siswa adalah agar mendapatkan hasil belajar yang baik dengan

adanya pembentukan karakter siswa.

d. Bagi Penulis adalah akan memberi manfaat yang sangat berharga

berupa pengalaman praktis dalam penelitian ilmiah. Sekaligus dapat

dijadikan referensi ketika mengamalkan ilmu terutama di lembaga

pendidikan.

e. Bagi Almamater adalah agar dapat memberi sumbangan yang berarti

serta dapat menjadi bahan acuan dalam penelitian selanjutnya.

7

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini tersusun menjadi 3 (tiga)

bab, yang terdiri dari:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam pendahuluan penulis menguraikan latar belakang, identifikasi

masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Pada bab ini peneliti membahas tentang landasan teori yang terdiri

dari hakikat hasil belajar dengan sub-sub nya yaitu: hasil belajar serta hakikat

pendidikan karakter dengan sub-sub nya yaitu: karakter, pendidikan dan

pendidikan karakter (character learning education).

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab III ini penelitian berpusat pada metodologi penelitian,

meliputi: tempat dan waktu penelitian, metode penelitian, populasi dan

sample, metode pengumpulan data, instrumen penelitian, teknik analisa data,

dan hipotesis statistik.

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Hakikat Hasil Belajar Matematika

Belajar merupakan proses penting bagi perubahan perilaku

manusia dan mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan.

Belajar memegang peranan penting di dalam perkembangan,

kebiasaan,sikap, keyakinan, tujuan, kepribadian, dan bahkan persepsi

manusia. Bagi siswa, ia akan belajar sesuai dengan keinginan dan

perilakunya masing-masing. Seperti yang dikatakan oleh Skinner

(dalam Dimyati, 2009 : 9) bahwa belajar adalah sebuah perilaku. Pada

saat belajar, respon menjadi lebih baik begitupun sebaliknya ketika

respon menurun dikarenakan tidak belajar. Berkaitan dengan respon,

belajar menurut Budiningsih (2005:21) adalah proses interaksi antara

stimulus dan respon. Hasil dari perilaku yang membuat respon menjadi

lebih baik adalah kepandaian. Semakin banyak belajar maka semakin

pandai juga orang tersebut. Lalu didapatkan pengertian bahwa belajar

adalah usaha untuk mendapatkan kepandaian (Suardi, 2012:9).

Kepandaian didapat atas kesadaran dari si pembelajar sebagai subyek.

Dalam memperoleh kepandaian dibutuhkan sebuah media. Menurut

Burton (dalam Aunurahman, 2010:35) yaitu perubahan tingkah laku

9

pada diri individu berkat adanya interaksi dengan lingkungan sehingga

mereka mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Disini media yang

berfungsi untuk mencapai kepandaian adalah interaksi dengan

lingkungan. Lingkungan yang bisa saja berbentuk pengalaman melalui

sebuah praktik.

Dari berbagai macam pengertian belajar yang sebelumnya telah

dikemukakan, dalam buku Aunurrahman yang berjudul Belajar dan

Pembelajaran dituliskan bahwa ada beberapa kelompok teori yang

memberikan pandangan khusus tentang belajar diantaranya: Pertama

Behaviorisme, Para penganut teori behaviorisme meyakini bahwa

manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam

lingkungannya yang memberikan pengalaman-pengalaman tertentu

kepadanya. Behaviorisme menekankan pada apa yang dapat dilihat,

yaitu tingkah laku. Perubahan tingkah laku yang terjadi adalah

berdasarkan paradigma S-R (Stimulus-Respons), yaitu suatu proses

yang memberikan respons tertentu terhadap suatu yang datang dari luar.

Tokoh aliran behaviorisme adalah Thordike. Ia merupakan orang

pertama yang menerangkan hubungan S-R. Kedua Kognitifisme,

Belajar menurut kognitifisme diartikan sebagai perubahan persepsi dan

pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman ini tidak selalu dapat

dilihat sebagaimana perubahan tingkah laku. Teori ini menekankan

bahwa bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan dengan konteks

seluruh situasi tersebut. Ketiga Teori belajar psikologi sosial, Menurut

10

teori belajar psikologi sosial, proses belajar jarang sekali merupakan

proses yang terjadi dalam keadaan menyendiri, akan tetapi melalui

interaksi-interaksi. Interaksi tersebut dapat: (1) Searah (one directional),

yaitu bilamana adanya stimuli dari luar menyebabkan timbulnya

respons, (2) dua arah, yaitu apabila tingkah laku yang terjadi merupakan

hasil interaksi antara individu yang belajar dengan lingkungannya, atau

sebaliknya, dan keempat Teori belajar Gagne, Teori belajar yang

disusun oleh Gagne merupakan teori Perpaduan yang seimbang antara

behaviorisme dan kognitifisme yang berpangkat pada teori informasi.

Menurut Gagne cara berpikir seseorang tergantung pada: (a)

keterampilan apa yang telah dimilikinya, (b) keterampilan serta hirarki

apa yang diperlukan untuk mempelajari suatu tugas. Dengan demikian

menurut Gagne dalam proses belajar terdapat dua fenomena yaitu:

meningkatnya keterampilan intelektual sejalan dengan meningkatnya

umur serta latihan yang diperoleh individu, dan belajar akan lebih cepat

bilamana strategi kognitif dapat dipakai dalam memecahkan masalah

secara lebih efisien.

Berbagai teori tentang belajar telah dikemukakan oleh banyak ahli.

Dari sejumlah pandangan dan definisi tentang belajar, kita dapat

menemukan beberapa ciri umum kegiatan belajar. Menurut Wragg

(dalam Aunurrahman, 2010:35) ciri umum kegiatan belajar adalah

Pertama, belajar menunjukan suatu aktivitas pada diri seseorang yang

disadari atau disengaja. Aktivitas ini menunjuk pada keaktifan

11

seseorang dalam melakukan sesuatu kegiatan tertentu, baik pada aspek-

aspek jasmaniah maupun aspek mental yang memungkinkan terjadinya

perubahan pada dirinya. Kedua, belajar merupakan interaksi individu

dengan lingkunganya. Lingkungan dalam hal ini dapat berupa manusia

atau obyek-obyek lainnya. Adanya interaksi individu dengan

lingkungan, mendorong seseorang untuk lebih intensif mengingkatkan

keaktifannya. Ketiga, hasil belajar ditandai dengan adanya perubahan

tingkah laku. Walupun tidak semua tingkah laku merupakan hasil

belajar, akan tetapi aktivitas belajar umumnya disertai perubahan

tingkah laku. Perubahan tingkah laku dapat berupa kognitif, afektif

maupun psikomotorik.

b. Hasil Belajar

Dari pengertian belajar diatas maka hasil belajar merupakan

perubahan pemahaman, pengetahuan, keterampilan, kecakapan, dan

sikap yang terjadi setelah siswa melakukan proses belajar. Hal ini

sependapat dengan Dimyati (2009:12) bahwa hasil belajar adalah

kapabilitas siswa yang terdiri dari infomasi verbal, keterampilan

intelek, keterampilan motorik, sikap, dan siasat kognitif.

Berdasarkan pada teori belajar yang dikemukakan Gagne, Gagne

menyimpulkan ada lima macam hasil belajar (Aunurrahman, 2010:47)

yaitu: (1) Keterampilan intelektual, atau pengetahuan prosedural yang

mencakup belajar konsep, prinsip, dan pemecahan masalah yang

diperoleh melalui penyajian materi di sekolah, (2) Strategi kognitif,

12

yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah baru dengan

jalan mengatur proses internal masing-masing individu dalam

memperhatikan, belajar, mengingat, dan berfikir, (3) Informasi verbal,

yaitu kemampuan untuk mendeskripsikan sesuatu dengan kata-kata

dengan jalan mengatur informasi-informasi yang relevan, (4)

Keterampilan Motorik, yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan

mengkoordinasikan garakan-gerakan yang berhubungan dengan otot,

dan (5) Sikap, yaitu kemampuan internal yang mempengaruhi tingkah

laku seseorang yang didasari oleh emosi, kepercayaan-kepercayaan

serta faktor intelektual. Dari kedua pengertian yang dijabarkan oleh

Dimyati dan Gagne menyatakan bahwa hasil belajar bukan hanya

dilihat dalam ranah kognitif saja, melainkan dilihat dari afektif dan

psikomotoriknya.

Salah satu perubahan yang terjadi sebagai bentuk hasil belajar

matematika adalah sikap. Sikap menurut Gagne pada teori belajar yang

sudah dikemukakan diatas, menyebutkan bahwa sikap yaitu

kemampuan internal yang mempengaruhi tingkah laku seseorang yang

didasari oleh emosi. Untuk itu perlu adanya pengkajian kecerdasan

emosi dari seseorang yang menginginkan hasil belajar yang baik.

Salovey dan Mayer (dalam Aunurrahman, 2010:87) mendefinisikan

kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial

yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada

diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan

13

menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.

Dengan mengkaji kecerdasan emosional ini, diharapkan kita dapat

memiliki pemahaman yang baik sebagai bagian penting dari proses

pembelajaran, dan untuk mewujudkan hasil belajar yang diharapkan.

Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun

1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John

Meyer dari University of New Hampshire menurut Shapiro (dalam

Aunurrahman, 2010:85) yang mengatakan bahwa bentuk kualitas

emosional yang dinilai penting bagi keberhasilan, yaitu: empati,

mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah,

kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan

memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan,

keramahan, dan sikap hormat. Adanya bentuk kualitas emosional

tersebut merupakan hasil belajar yang hakiki dimana terjadi

perkembangan secara signifikan yang juga berpengaruh hebat terhadap

IQ (Intelligent Quotients) dan EQ (Emotional Quotients) . Seperti yang

dikatakan oleh Goleman (dalam Aunurrahman, 2010:86) bahwa tidak

seperti IQ yang berubah hanya sedikit setelah melewati usia remaja,

kecerdasan emosi lebih banyak diperoleh melalui belajar dari

pengalaman sendiri sehingga kecakapan-kecakapan kita dalam hal ini

akan terus tumbuh.

14

c. Konsep Matematika

Konsep, menurut W. S. Winkel (1996: 44) dapat diartikan sebagai

suatu sistem satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang

mempunyai ciri-ciri yang sama. Gagne, Robert M. (Bell, Frederick

H, 1981: 108) menyatakan bahwa konsep adalah suatu ide abstrak

yang memungkinkan kita dapat mengelompokkan objek ke dalam

contoh dan non contoh. Konsep matematika yaitu segala yang berwujud

pengertian-pengertian baru yang bisa timbul sebagai hasil pemikiran,

meliputi definisi, pengertian, ciri khusus, hakikat dan inti /isi

dari materi matematika (Budiono, 2009: 4). Pemahaman konsep

adalah kompetensi yang ditunjukkan siswa dalam memahami definisi,

pengertian, ciri khusus, hakikat, inti /isi dari suatu materi dan

kompetensi dalam melakukan prosedur (algoritma) secara luwes,

akurat, efisien dan tepat (Tim Penyusun, 2006: 142).

Konsep matematika disusun secara berurutan sehingga konsep

sebelumnya akan digunakan untuk mempelajari konsep selanjutnya.

Misalnya konsep luas persegi diajarkan terlebih dahulu daripada

konsep luas permukaan kubus. Hal ini karena sisi kubus berbentuk

persegi sehingga konsep luas persegi akan digunakan untuk menghitung

luas permukaan kubus.

Pemahaman terhadap konsep materi prasyarat sangat penting

karena apabila siswa menguasai konsep materi prasyarat maka siswa

akan mudah untuk memahami konsep materi selanjutnya. Menurut Bell

15

(1981: 117), siswa yang menguasai konsep dapat mengidentifikasi dan

mengerjakan soal baru yang lebih bervariasi. Selain itu, apabila anak

memahami suatu konsep maka ia akan dapat menggeneralisasikan

suatu obyek dalam berbagai situasi lain yang tidak digunakan

dalam situasi belajar (S.Nasution, 2005: 164).

Siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui

pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki

dari sekumpulan objek. Siswa diharapkan mampu menangkap

pengertian suatu konsep melalui pengamatan terhadap contoh-

contoh dan bukan contoh (Erman Suherman, dkk, 2003: 57).

Sedangkan menurut Orlich C. Donald, et al (2007 : 151) salah satu

pembelajaran konsep yang bisa dilakukan adalah mengemukakan

contoh/fakta yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari

dan memberi kesempatan siswa untuk menemukan sendiri konsep

tersebut.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman

konsep matematika adalah kemampuan bersikap, berpikir dan bertindak

yang ditunjukkan oleh siswa dalam memahami definisi, pengertian, ciri

khusus, hakikat dan inti /isi dari materi matematika dan kemampuan

dalam memilih serta menggunakan prosedur secara efisien dan tepat.

Pemahaman konsep materi prasyarat sangat penting untuk memahami

konsep selanjutnya. Selain itu pemahaman konsep dapat digunakan

untuk menggeneralisasikan suatu obyek. Konsep matematika harus

16

diajarkan secara berurutan. Hal ini karena pembelajaran matematika

tidak dapat dilakukan secara melompat-lompat tetapi harus tahap demi

tahap, dimulai dengan pemahaman ide dan konsep yang sederhana

sampai ke tahap yang lebih kompleks.

d. Ruang Lingkup Matematika

Matematika termasuk salah satu disiplin ilmu yang memiliki kajian

yang sangat luas sehingga masing-masing ahli bebas mengemukakan

pendapatnya tentang matematika berdasarkan sudut pandang,

kemampuan, pemahaman, dan pengalamannya masing-masing. Namun

menurut kamus umum bahasa Indonesia, “Matematika adalah ilmu

menghitung dengan menggunakan bilangan-bilangan” (Badudu,

1996:875). Menurut definisi ini matematika hanya dianggap tentang

ilmu yang berkaitan dengan angka-angka atau bilangan. Sehingga jika

bicara matematika itu berarti bicara angka dan hitung menghitung.

Pendapat senada dikemukakan oleh Ruseffendi, beliau mengatakan:

“Matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang

berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran” (Ruseffendi,

1990:149). Pendapat ini menganggap matematika sebagai pengetahuan

tentang hitung ruang dan peluang yang diperlukan sebagai sarana untuk

berfikir logis, rasional, dan eksak agar mampu memecahkan masalah.

Seiring berkembangnya zaman, berkembang pula konsep

matematika dari berbagai ahli khususnya mengenai ruang lingkup dari

matematika itu sendiri. Menurut Nugroho (1990:198), “matematika

17

merupakan alat dan bahasa dasar banyak ilmu”. Hal ini mengatakan

bahwa matematika merupakan suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri

dan tidak merupakan cabang dari ilmu pengetahuan alam. Sepaham

dengan pernyataan diatas, pengembangan dari E.T. Ruseffendi

mengenai konsep matematika mengatakan bahwa “Matematika

bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya

sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu

manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial,

ekonomi, dan pengetahuan alam” (Ruseffendi, 1990:29). Bukan hanya

dalam hal hitung menghitung ternyata pengaruh dari matematika cukup

meluas ke ilmu-ilmu lainnya. Lebih ditegaskan lagi oleh Jujun S.

Suriasumantri (1993:193) yang mengatakan bahwa “matematika

memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke

kuantitatif”. Dari pengertian tersebut, matematika dapat merupakan alat

bantu yang efisien dan diperlukan oleh setiap ilmu pengetahuan.

Dari uraian konsep matematika diatas dengan adanya pelebaran

makna matematika dapat kita ketahui bahwa ruang lingkup matematika

tidak hanya mengenai hitung menghitung atau yang berhubungan

dengan angka melainkan dapat digunakan sebagai alat bantu untuk

kehidupan manusia sehari-hari misalnya mengatur komposisi pupuk,

jual beli, memasak, sensus penduduk, dan lain-lain.

18

e. Hasil Belajar Matematika

Tujuan proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah adanya

perubahan tingkah laku yang diharapkan dapat dikuasai oleh siswa

setelah menerima atau menempuh pengalaman belajar. Perubahan

tingkah laku yang diharapkan dapat dikuasai siswa yang biasa disebut

dengan hasil belajar. Perubahan tingkah laku tersebut dapat berupa

penguasaan ilmu pengetahuan, sikap, kebiasaan, tindakan, atau

keterampilan tertentu.

Sudjana mengemukakan, “Hasil belajar adalah kemampuan-

kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman

belajarnya” (Sudjana, 2010:22). Kemudian dipertegas oleh Winkel,

beliau mengatakan: “hasil belajar adalah perubahan-perubahan dalam

pengetahuan, pemahaman keterampilan, dan nilai sikap yang bersifat

konstan/menetap” (Winkel, 1996:15). Oleh karenanya, hasil belajar

matematika dapat diartikan sebagai perwujudan dari proses

keberhasilan pembelajaran matematika yang dicerminkan dengan

perubahan tingkah laku dalam bentuk kognitif, afektif maupun

psikomotorik seseorang setelah mendapatkan pengalaman belajar

matematika atau secara singkat hasil belajar matematika merupakan

suatu indikator untuk mengukur keberhasilan siswa dalam proses

pembelajaran matematika.

19

2. Hakikat Pendidikan Karakter (Character Learning Education)

a. Karakter

Secara harfiah karakter menurut Hornby dan Parnwell (dalam

Hidayatullah, 2010:9) adalah kualitas mental atau moral, kekuatan

moral, nama atau reputasi. Disini dinyatakan bahwa kata karakter tak

lepas dari kata moral yang mana karakter lebih menekankan adanya

kualitas yang terdapat pada kekuatan moral itu sendiri. Sedangkan arti

moral adalah nilai-nilai atau norma-norma yang dijadikan pegangan

bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya

(Bertens, 2007:7). Seseorang dapat dikatakan berkarakter apabila telah

berhasil menyerap nilai atau norma untuk mengatur tingkah lakunya

sebagai kekuatan moral dalam hidupnya.

Dikembangkan oleh Kemdiknas (dalam Sahlan dan Prasetyo,

2012:13) bahwa karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian

seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan

(virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara

pandang, berfikir, bersikap, dan bertindak. Berkarakter artinya

mempunyai watak, mempunyai kepribadian. Hal ini mengandung

makna bahwa karakter merupakan kebajikan yang ditanamkan melalui

internalisasi atau memasukan materi dan nilai-nilai yang memiliki

keterkaitan dalam membangun sistem berfikir dan berperilaku.

Berkaitan dengan kata membangun sistem berfikir, (Koesoema,

2007:3) mengatakan bahwa karakter merupakan kondisi dinamis

20

struktur antropologis individu yang tidak mau sekedar berhenti atas

determinasi kodratinya. Dari sini dapat terlihat bahwa adanya

pembangunan atau peningkatan dalam sistem berfikir yang mana

dijadikan sebuah usaha untuk menjadi semakin integral dalam

mengatasi determinasi alam di dirinya demi proses penyempurnaan

secara terus-menerus. Sama halnya dengan karakter yang dimiliki oleh

siswa. Siswa yang berkarakter akan berusaha memperkuat karakternya

apabila karakter itu sendiri diajarkan dengan mengenalkan,

memahamkan hingga mengajak siswa sehingga pada akhirnya mereka

mampu mempraktekan dan memaknainya sebagai sesuatu yang melekat

dan menjadi tindakan perenungan serta mengembangkanya menjadi

pusat keunggulan insani.

Watak atau karakter siswa terbangun ketika ada sebuah system

yang kuat dalam mengembangkan budaya sekolah atau school culture

(Kadarsih, 2012:48). Pernyataan Kadarsih diatas dimaksud bahwa

adanya budaya sekolah yang memiliki nilai unggul. Nilai unggul

sebuah sekolah terlihat dari upaya-upaya yang dilakukan oleh para

civitas sekolah (stakeholder) dalam mengembangkan potensi unik dari

para siswa dan potensi ini yang dikembangkan dalam pendidikan

karakter melalui budaya sekolah.

Selain budaya sekolah, karakter yang diajarkan kepada siswa akan

dapat bersinergi dengan baik apabila guru sebagai pendidik juga

berkarakter. Pendidik yang berkarakter memiliki kepribadian yang

21

ditinjau dari titik tolak etis atau moral, seperti sifat kejujuran, amanah,

keteladanan, ataupun sifat-sifat lain yang harus melekat pada diri

pendidik. Pendidik yang berkarakter kuat tidak hanya memiliki

kemampuan mengajar dalam arti sempit (hanya mentransfer

pengetahuan/ ilmu kepada siswa) melainkan ia juga memiliki

kemampuan mendidik dalam arti luas.

Tak ada bedanya dengan sifat sebagai organ pembentukan

karakter, sikap juga memegang peranan penting dalam hal ini. Ketika

siswa memiliki sifat yang baik, maka siswa tersebut secara

berkesinambungan akan membentuk sikap yang baik pula. Jika

dihubungkan dengan sikap sebagai pembentuk hasil belajar, maka sikap

menurut Gagne yang berkaitan dengan emosi merupakan salah satu

pembentukan karakter. Kecerdasan emosi yang telah kita bahas di atas

secara tidak langsung merupakan kesatuan dari karakter. Apabila

seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik, maka

seseorang tersebut dapat dikatakan berkarakter yang pada nantinya

kecerdasan emosional ini seharusnya akan berpengaruh positif terhadap

hasil belajar matematika.

b. Pendidikan

Pendidikan merupakan sarana yang menumbuh kembangkan

potensi-potensi kemanusiaan untuk bermasyarakat dan menjadi

manusia yang sempurna (Suardi, 2012:1). Manusia yang sempurna

adalah ketika manusia tersebut dapat dibedakan dari makhluk lainnya

22

yang mana manusia memiliki kemampuan menyadari diri, kemampuan

bereksitensi, pemilikan kata hati, moral, kemampuan bertanggung

jawab, rasa kebebasan, kesediaan melaksanakan kewajiban dan

menyadari hak, dan kemampuan menghayati kebahagiaan. Oleh karena

itu perlu adanya pendidikan agar semuanya itu dapat dikembangkan.

Pendidikan merupakan sebuah kegiatan manusia yang didalamnya

terdapat tindakan edukatif dan didaktis yang diperuntukan bagi generasi

yang sedang bertumbuh (Koesoema, 2007:3). Dalam kegiatan mendidik

ini, manusia menghayati adanya tujuan-tujuan pendidikan. Tujuan

pendidikan adalah seperangkat hasil pendidikan yang dicapai oleh

peserta didik setelah diselenggarakan kegiatan pendidikan (Suardi,

2012:6). Dalam konteks ini tujuan pendidikan merupakan komponen

dari sistem pendidikan yang menempati kedudukan dan fungsi sentral.

Itu sebabnya setiap tenaga pendidikan perlu memahami dengan baik

tujuan pendidikan.

Selain tujuan pendidikan, adapun fungsi pendidikan yang perlu kita

ketahui. Menurut UU RI No.20 Tahun 2003, pendidikan berfungsi

untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa. Berdasarkan fungsi pendidikan nasional diatas,

maka peran guru menjadi penentu keberhasilan misi pendidikan dan

pembelajaran di sekolah. Guru bertanggung jawab mengatur,

mengarahkan, dan menciptakan suasana kondusif yang mendorong

23

siswa melaksanakan kegiatan diatas. Pendidikan secara khusus

difungsikan untuk menumbuh-kembangkan segala potensi kodrat

(bawaan) yang ada dalam diri manusia.

Pendidikan menurut Charles E. Siberman (dalam Suardi, 2012:5)

tidak sama dengan pengajaran, karena pengajaran hanya menitik

beratkan pada usaha mengembangkan intelektualitas manusia. Dari sini

terlihat bahwa pendidikan mempunyai makna yang lebih luas dari

pengajaran, tetapi pengajaran merupakan sarana yang ampuh dalam

menyelenggarakan pendidikan.

Pendidikan dapat kita peroleh dari keluarga, sekolah, maupun di

lingkungan/masyarakat. Pendidikan yang kita peroleh dikeluarga

berlangsung sejak dalam kandungan sampai masuk sekolah. Pendidikan

yang diberikan orangtua hanya berkisar tentang perkembangan jasmani

dan rohani, pembiasaan dan pendidikan yang sederhana. Dan pada

tahap ini orangtua mempunyai peranan yang sangat penting dalam

perkembangan fisiknya. Selanjutnya Pendidikan di sekolah yang

merupakan kelanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Seperti yang

kita sering dengar bahwa guru disekolah merupakan orangtua kedua

siswa karena selama di sekolah guru lah yang sangat berperan dalam

perkembangan anak. Pendidikan terakhir adalah dari lingkungan.

Sekolah bagaimanapun majunya tidak mungkin mampu memberikan

semua tuntutan perkembangan manusia. Oleh sebab itu selain

24

pendidikan di sekolah dan di keluarga, diperlukan juga pendidikan di

masyarakat.

c. Pendidikan Karakter (Character Learning Education)

Mengingat akan peranan penting individu yang berkarakter, maka

perlu adanya tindak lanjut dengan adanya penerapan pendidikan

karakter di negera kita. Pendidikan karakter merupakan salah satu

elemen penting dalam mewujudkan pilar-pilar kebangkitan bangsa

(Sahlan dan Prastyo, 2012:30). Adapun fungsi dari pendidikan karakter

yang memang sepaham dengan fungsi pendidikan nasional,

sebagaimana dalam pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20

Tahun 2003, yaitu mengembangkan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa.

Pengertian lainya menurut Ratna Megawani (dalam Wiyani,

2012:42) pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik

anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan

mempraktikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat

memberikan kotribusi positif terhadap masyarakat. Pendidikan karakter

menurt Ratna ini mematahkan statement bahwa pendidikan karakter

sama dengan mata pelajaran agama dan kewarganegaraan, pendidikan

karakter hanya menjadi tanggung jawab keluarga bukan sekolah, dan

lain sebagainya.

25

Sebelum melaksanakan pendidikan karakter, perlunya kita tahu

mengenai pilar-pilar yang terdapat didalamnya. Heritage Foundation

dalam Wiyani (2012:66) menyatakan bahwa terdapat sembilan pilar

pendidikan karakter antara lain: cinta kepada tuhan dan semesta beserta

isinya; tanggung jawab, disiplin, serta mandiri; jujur; hormat dan santu;

kasih sayang, peduli, dan kerjasama; percaya diri, kreatif, kerja keras

dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah

hati; toleransi, cinta damai, dan persatuan.

Untuk mencapai pertumbuhan integral dalam pendidikan karakter

perlu dipertimbangkan berbagai macam metode yang membantu

mencapai idealisme dan tujuan pendidikan karakter. Metode ini bisa

dijadikan unsur yang sangat penting bagi pendidikan karakter di

sekolah. Pendidikan yang mengakarkan dirinya pada konteks sekolah

akan mampu menjiwai dan mengarahkan sekolah pada penghayatan

pendidikan karakter yang realistis, konsisten, dan integral. Menurut

Wiyani (2012:73) terdapat lima unsur yang perlu dipertimbangkan yaitu

mengajarkan, keteladanan, menentukan prioritas,praksis prioritas, dan

refleksi. Dari kelima unsur tersebut digunakan beberapa metode. Masih

menurut Wiyani (2012:76) ada dua metode dasar untuk mencapai

tujuan pendidikan karakter yaitu: (1) Metode deduksi, dalam

pelaksanaan metode ini kepala sekolah dan guru harus memiliki

kepekaan terhadap perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan,

teknologi dan seni, memiliki dinamika yang tinggi, komitmen terhadap

26

masa depan, serta tidak bersikap seenaknya, (2) Metode induksi

konsultasi, dalam pelaksanaan metode ini kepala sekolah dan guru

harus bekerja secara maksimal dan teliti serta berkomitmen terhadap

proses dan hasil pelaksanaan pendidikan karakter.

Dari metode di atas diperlukan juga strategi yang tepat dalam

pelaksanaan pendidikan karakter. Dalam penerapan pendidikan karakter

di sekolah, komponen-komponen pendidikan (isi kurikulum, proses

pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau

pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas

atau kegiatan ekstrakurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,

pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah)

semua harus ikut terlibat. Penerapan pendidikan di sekolah setidaknya

dapat ditempuh melalui empat alternatif strategi secara terpadu. Empat

alternatif strategi menurut Ali Mustadi (dalam Wiyani, 2012:78)

tersebut pertama, mengintegrasikan konten pendidikan karakter yang

telah di rumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran. Kedua,

mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kegiatan sehari-hari di

sekolah. Ketiga, mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam

kegiatan yang diprogramkan atau direncanakan. Keempat, membangun

komunikasi dan kerjasama antara sekolah dengan orangtua peserta

didik.

Dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, peran guru tak

lepas dari Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005,

27

disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama

mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan

mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur

pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Dengan demikian, peran guru dalam pelaksanakan pendidikan karakter

di sekolah antara lain: (1) Keteladanan, kedeladanan yang diberikan

adalah teladan yang baik, baik itu masalah moral, etika atau akhlak,

dimanapun ia berada, (2) Inspirator, seorang guru akan menjadi sosok

inspirator jika ia mampu membangkitkan semangat untuk maju dengan

menggerakan segala potensi yang dimiliki guna meraih prestasi

spektakuler bagi dirinya dan masyarakat, (3) Motivator, motivator yang

dilakukan oleh guru baik disengaja ataupun tidak sehingga menjadikan

siswa semakin bersemangat dalam meraih cita-citanya, (4) Dinamisator,

artinya guru tidak hanya membangkitkan semangat tetapi juga menjadi

lokomotif yang benar-benar mendorong ke arah tujuan pendidikan

berkarakter, (5) Evaluator, guru harus mengevaluasi metode

pembelajaran yang selama ini dipakai dalam pendidikan karakter.

Dengan adanya peran guru yang sangat strategis, guru juga harus

memiliki komitmen dalam pelaksanaannya. Tanpa komitmen yang kuat,

suatu tujuan tidak akan tercapai secara optimal bahkan dapat menuai

kegagalan. Wujud komitmen dalam pelaksanaan pendidikan karakter di

sekolah menurut Hidayatullah (2010:58) adalah (1) melaksanakan

sosialisasi pendidikan karakter dan melakukan komitmen bersama

28

antara seluruh komponen warga sekolah, (2) Membuat komitmen

dengan semua stakeholders, (3) Melakukan analisis konteks terhadap

kondisi sekolah (internal dan eksternal) yang dikaitkan dengan nilai-

nilai karakter yang dikembangkan pada satuan pendidikan yang

bersangkutan. Analisis ini dilakukan untuk menetapkan nilai-nilai dan

indikator keberhasilan yang diprioritaskan, sumber daya, sarana yang

diperlukan, serta prosedur penilaian keberhasilan, (4)Menyusun rencana

aksi sekolah berkaitan dengan penetapan nilai-nilai pendidikan karakter,

(5) Membuat perencanaan dan program pelaksanaan pendidikan

karakter yang berisi pengintegrasian melalui pembelajaran, penyusunan

mata pelajaran muatan lokal, penjadwalan dan penambahan jam belajar

di sekolah, (6) Melakukan pengondisian, seperti penyediaan sarana,

keteladanan, penghargaan dan pemberdayaan, (7) Melakukan penilaian

keberhasilan dan supervisi. Adanya komitmen guru poin 5 (lima) yang

menerangkan pengintegrasian melalui mata pelajaran dapat kita lihat di

toko buku, adanya buku pendidikan karakter yang dijadikan sebagai

materi dalam mata pelajaran baru di Sekolah Dasar (SD) dan

pengaplikasian dalam bentuk tindakan di Rencana Proses Pembelajaran

(RPP) berkarakter. Pada RPP dewasa ini sedikit demi sedikit telah

diterapkan oleh guru sebagai pendidik.

Dewasa ini, kurikulum pendidikan karakter sedang digalakkan

seperti yang dilakukan oleh Totok Suprayitno sebagai Direktur

Pembinaan Sekolah Menengah Atas (SMA) Direktorat Jenderal

29

Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang

melakukan ujicoba Pendidikan Karakter di 25 SMA negeri dan swasta

di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi pada tanggal 13 - 18 Maret

2012 (Kompas.com:15/03/2012). Selain pemerintah yang bersinergi

terhadap kurikulum ini, nyatanya seluruh pihak juga harus ikut andil

sepeti yang dikatakan oleh Mahdiansyah (2011:48) bahwa

Pembangunan karakter bangsa jelas memerlukan komitmen dari

segenap pihak, dilakukan secara intensif, integratif, dan sinergis. Selain

butuhnya dukungan dari segenap pihak, pengembangan karakter juga

harus dilakukan secara terus menerus secara stabil. Selain pemerintah

yang terlihat memberikan dukungan, bentuk apresiasi masyarakat luas

ikut turut mendukung perubahan kurikulum ini. Kurikulum yang

menambahkan pembelajaran moral terkait dengan karakter membuat

Kementerian Pendidikan dan Budaya mendatangkan para pakar dan

tokoh seperti Franz Magnis Suseno, Prof Juwono Sudarsono, serta

lainnya untuk menyusun kurikulum pendidikan karakter yang sudah

direncanakan pada tahun 2010. Kurikulum ini diprediksi akan selesai

disusun pada Februari 2013 (Kompas.com:27/09/2012). Gambaran

kualifikasi yang diharapkan melekat pada setiap lulusan sekolah akan

tercemin dalam racikan kurikulum yang dirancang pengelola sekolah

yang berdangkutan. Kurikulum sendiri merupakan ruh sekaligus guide

dalam praktik pendidikan di lingkungan satuan sekolah (Wiyani,

30

2012:93). Kurikulum yang dirancang harus mencerminkan visi, misi,

dan tujuan sekolah yang berkomitmen terhadap pendidikan karakter.

Kurikulum yang dirancang oleh pemerintah tiap waktu mengalami

perubahan ke arah lebih baik mengikuti kemajuan zaman. Kurikulum

pendidikan karakter juga harus mengalami pengembangan yang mana

pengembangan itu disertai oleh langkah-langkah pembentunya.

Menurut Ali Muhtadi (dalam Wiyani, 2012:95) terdapat tujuh langkah

dalam pengembangan kurikulum pendidikan karakter yaitu: (1)

Mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan pendidikan karakter.

Ada kebiasaan-kebiasaan kecil yang dapat menghacurkan bangsa.

Kebiasaan mempermalukan diri sendiri seperti meremehkan waktu,

bangun kesiangan, dan lain-lain, kebiasaan memperlakukan lingkungan

seperti membuang sampah di sembarang tempat, kebiasaan yang

merugikan ekonomi seperti konsumtif, pamer, boros listrik, dan lain

sebagainya, kebiasaan dalam bersosial seperti demo upah gaji, tawuran,

suap-menyuap dan lain-lain, (2) Merumuskan visi, misi dan tujuan

sekolah. Statement visi mengisyaratkan tujuan puncak dari sebuah

intuisi dan untuk apa visi itu dicapai sedangkan misi merupakan hal-hal

yang digunakan untuk mencapai visi tersebut, (3) Merumuskan

indikator perilaku peserta didik. Indikator dirumuskan dalam bentuk

perilaku peserta didik di kelas dan kegiatan sekolah yang dapat diamati,

(4) Mengembangkan silabus dan rencana pembelajaran berbasis

pendidikan karakter. Silabus yaitu garis besar, ringkasan, ikhtisar atau

31

garis-garis besar program pembelajaran dan RPP merupakan pegangan

bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran baik di kelas,

laboratorium, dan/ atau lapangan untuk setiap kompetensi dasar, (5)

Mengintegrasikan konten kurikulum pendidikan karakter ke seluruh

mata pelajaran, (6) Mengembangkan instrumen penilaian pendidikan

untuk mengukur ketercapaian program pendidikan karakter, (7)

Membangun komunikasi dan kerjasama sekolah dengan orang tua

peserta didik.

B. Kerangka Berfikir

Krisis moral yang terjadi di negara kita ini sudah menjadi makanan

publik sehari-hari. Berbagai macam pertanyaan dilontarkan karena kemirisan

kita melihat bangsa yang semakin tidak terkontrol. Berkaitan dengan moral,

kata karakter melekat didalamnya. Karakter yang merupakan penyerapan nilai

atau norma untuk mengatur tingkah laku sebagai kekuatan moral dalam

hidupnya.

Karakter sendiri dibentuk dari beberapa aspek salah satunya sikap. Sikap

yang lebih cenderung berkaitan dengan emosi membutuhkan kecerdasan

dalam pengelolaanya. Kecerdasan emosional diperlukan dalam belajar yang

kemudian memiliki peran yang strategis dalam peningkatan hasil belajar.

Kecerdasan emosional yang berkaitan dengan karakter tidak begitu saja

dengan mudah didapat. Butuh adanya pendidikan yang dapat bersinergi

terhadap pembentukanya. Pendidikan yang tidak menilai dari aspek kognitif

melainkan melalui aspek afektif serta psikomotorik. Pendidikan yang

32

mencakup ketiga aspek tersebut adalah pendidikan karakter. Pendidikan

karakter bukan hanya dapat dilakukan di keluarga maupun masyarakat

melainkan pendidikan ini dapat di terapkan di sekolah sebagai rumah kedua

untuk siswa.

Keberadaan kurikulum pendidikan karakter merupakan bentuk apresiasi

dari pemerintah yang turut mendukung untuk memperbaiki moral bangsa kita.

Setelah adanya peneliti sebelumnya mengenai pelaksanaan pendidikan

karakter mulai dari adanya penerapan langsung menginternalisasi ke mata

pelajaran, silabus dan RPP berkarakter, metode yang dapat digunakan,

strategi pelaksanaan yang tentunya itu semua merupakan disain yang dibuat

untuk melaksanakan kurikulum pendidikan karakter ini. Oleh karena itu,

penulis menduga bahwa adanya pengaruh character learning education

terhadap hasil belajar matematika.

C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori dan kerangka berfikir diatas, maka hipotesis

penelitian ini dapat dirumuskan yaitu terdapat pengaruh positif character

learning education terhadap hasil belajar matematika.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Tempat penelitian ini akan dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama

(SMP) Negeri 107 Jakarta kelas VIII yang dipimpin oleh Ibu Dra. Ida

Farida, M.Pd sebagai Kepala Sekolah.

2. Waktu Penelitian

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran

2013/2014 selama 6 (enam) bulan yaitu dari bulan Januari 2012 sampai

dengan bulan Juni 2012 dengan pembagian waktu sebagai berikut:

Tabel 3.1.

Jadual Kegiatan Penelitian

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Pengajuan masalah dan judul

Menentukan lokasi dan sampel

Studi pendahuluan

Penyusunan instrumen

Pengujian Instrumen

Pengumpulan dan pengelompokan data

Membuat laporan hasil penelitian

Sidang Skripsi

April Mei JuniBulan

Kegiatan Januari Februari Maret

 

33 

 

34

B. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data

dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2008:2). Dari Pernyataan

diatas, dikemukakan terdapat empat kata kunci yang harus diperhatikan

yaitu: cara ilmiah, data, tujuan dan kegunaan. Dapat disimpulkan bahwa

dalam sebuah penelitian, untuk mendapatkan suatu keberhasilan yang

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka penulis perlu

menggunakan metode yang dianggap sesuai dengan tujuan penelitian.

Dalam penelitian ini penulis memilih metode eksperimen kuasi

atau disebut juga dengan metode eksperimen semu. Eksperimen sendiri

adalah observasi dibawah kondisi buatan (artificial condition) dimana

kondisi tersebut dibuat dan diatur oleh si peneliti (Nazir, 2009:63). Dalam

eksperimen ini masih adanya perlakuan dari lingkungan yang turut

berkecimpung. Disini peneliti akan terjun langsung ke dalam penelitianya

selama batas waktu yang ditentukan.

Sedangkan metode eksperimen kuasi adalah metode penelitian

yang mendekati percobaan sungguhan dimana tidak mungkin mengadakan

kontrol/ memanipulasikan semua variabel yang relevan (Nazir, 2009:73).

Sama hal nya dengan metode eksperimen murni hanya saja karena

berbagai hal terutama berkenaan dengan pengontrolan variabel

kemungkinan sukar sekali dapat digunakan metode eksperimen murni atau

35

sungguhan. Dan biasanya metode eksperimen murni hanya digunakan oleh

peneliti dibidang SAINS dimana tidak adanya perlakuan dari lingkungan.

2. Desain Penelitian

Berdasarkan pada metode eksperimen digunakan dalam penelitian

ini, maka desain eksperimen yang digunakan adalah sebagai berikut:

Tabel 3.2.

Desain Penelitian

Kelompok Symbol Perlakuan Tes

Eksperimen Re X1 O

Kontrol Rc X2 O

Keterangan:

R : Simbol Penelitian kelas eksperimen dan kelas kontrol dua

kelompok yang ekuivalen

X1 : “Perlakuan kelas eksperimen” yaitu pemberian character

learning education

X2 : “Perlakuan kelas kontrol” yaitu pemberian metode konvensional

Dalam desain ini, hasil belajar yang merupakan data dari penelitian

itu dikelompokan menjadi hasil belajar kelas eksperimen dan hasil belajar

kelas kontrol. Manipulasi variabel dalam penelitian ini dilakukan pada

variabel bebas yaitu pembelajaran matematika dengan pemberian

36

character learning education pada kelas eksperimen dan metode

pembelajaran konvensional pada kelas kontrol.

Sebelum diberi perlakuan, terlebih dahulu akan dilihat kemampuan

awal dari sampel penelitian yang akan dikenai perlakuan, baik dari

kelompok eksperimen maupun control. Pada kelompok eksperimen

diberikan perlakuan khusus yaitu pada pembelajaran matematika dengan

pemberian character learning education, sedangkan pada kelompok

kontrol diberikan pembelajaran matematika dengan menggunakan metode

konvensional.

Pada akhir eksperimen kedua kelompok tersebut diukur dengan

menggunakan alat ukur yang sama, yaitu tes hasil belajar matematika.

Hasil pengukuran tersebut diukur kemudian dibandingkan dengan tabel

statistik yang digunakan.

C. Populasi dan Sample

1. Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto,

2010:173). Berdasarkan pada pengertian di atas, maka yang menjadi

Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 107 Jakarta

Tahun ajaran 2013/2014.

2. Sampel Penelitian

a. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi (Sugiyono, 2008:81). Dalam penelitian ini diambil

37

sampel siswa kelas VIII-1 dan VIII-2 dengan peringkat 11-20 SMP

Negeri 107 Jakarta dengan jumlah siswa 20 orang.

b. Teknik Sampling

Setelah sampel diketahui, maka langkah selanjutnya adalah pemilihan

teknik sampling. Teknik sampling merupakan teknik untuk

pengambilan sampel. Teknik Sampling yang digunakan pada penelitian

ini adalah Teknik Sampling Purposive yang mana teknik ini digunakan

dengan memilih sampel sesuai dengan kebutuhan seperti yang

dikemukakan oleh Sugiyono (2008:81) bahwa teknik sampling

purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan

tertentu. Contohnya saja dalam penelitian ini, sampel yang diambil

hanya kelas VIII yang memiliki peringkat 11-20 karena tingkat

kecerdasannya menengah. Apabila diberikan perlakuan character

learning education akan mempermudah peneliti melakukan penelitian

dan memberikan kesimpulan. Lain halnya dengan siswa yang memiliki

peringkat atas yang mana memang pada dasarnya siswa tersebut sudah

rajin. Apapun perlakuan yang diberikan akan tetap rajin dikarenakan

karakter yang sudah menempel di diri siswa. Sama halnya dengan

siswa yang memiliki peringkat bawah.

D. Metode Pengumpulan Data

1. Variabel Penelitian

Secara teoritis menurut Hatch dan Farhady (dalam Sugiyono,

2008:38) variabel dapat didefinisikan sebagai atribut seseorang atau obyek

38

yang mempunyai “variasi” antara yang satu dengan yang lain atau satu

obyek dengan obyek yang lain. Jadi, dinamakan variabel karena ada

variasinya. Misalnya berat badan sekelompok orang itu bervariasi antara

satu orang dengan yang lain dan lain sebagainya.

Oleh karena itu Sugiyono (2008:38) mengatakan bahwa variabel

penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal

tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Dari berbagai macam variasi

yang ada, maka akan ditentukan salah satu yang kemudian akan diteliti

untuk lebih concern terhadap informasi yang didapatkan yang kemudian

ditarik kesimpulan dari hasil penelitianya.

a. Variabel Independen atau Variabel Bebas (X)

Menurut Sugiyono (2008:39) Variabel bebas adalah variabel yang

mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya

variabel dependen (variabel terikat). Variabel bebas pada penelitian ini

adalah character learning education.

b. Variabel Dependen atau Variabel Terikat (Y)

Masih menurut Sugiyono (2008:39) Variabel terikat adalah

variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya

variabel independen (variabel bebas). Variabel terikat pada penelitian

ini adalah hasil belajar.

39

2. Sumber Data

Arikunto (2010:172) mengemukakan bahwa : sumber data adalah

subjek darimana data dapat diperoleh. Berdasarkan pengertian di atas,

maka yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah siswa

Sekolah Menengah Pertama Negeri 107 Jakarta kelas VIII-1 dan VIII-

2 peringkat 11-20.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar

untuk memperoleh data yang diperlukan (Nazir, 2009:174). Teknik

pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam

penelitian karena tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan data.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini,

sebagai berikut :

a. Studi Dokumentasi

Studi ini digunakan untuk memperoleh informasi atau data yang

ada kaitannya dengan masalah penelitian. Dengan studi dokumentasi

diharapkan dapat mengetahui prestasi akademik siswa yaitu melalui

nilai yang diperoleh dari buku raportnya.

b. Studi Literatur

Studi ini digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai teori

atau pendekatan yang erat hubungannya dengan permasalahan yang

sedang diteliti.

40

c. Tes

Tes sebagai alat penilaian adalah pertanyaan-pertanyaan yang

diberikan kepada siswa untuk mendapatkan jawaban dari siswa dalam

bentuk lisan, tulisan, maupun perbuatan (Sudjana, 2010:35). Adapun tes

yang digunakan dalam teknik pengumpulan data pada penelitian ini

adalah :

Tes awal (pretest) adalah tes yang dilaksanakan sebelum

kegiatan belajar mengajar dengan suatu perlakuan yang

diberikan. Tes ini digunakan untuk mengetahui tingkat

pengetahuan awal siswa sebelum pengajaran berkarakter diberikan.

Tes akhir (posttest) adalah tes yang dilakukan setelah proses belajar

mengajar selesai, tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana

peningkatan siswa terhadap pengajaran berkarakter yang telah

diberikan.

E. Instrumen Penelitian

1. Definisi Konseptual

Hasil belajar merupakan tingkat penguasaan siswa setelah belajar

dengan memasukan character learning education dalam pembelajaran,

sehingga siswa dapat meningkatkan kecerdasan emosionalnya yang

kemudian akan berdampak terhadap prestasi kognitif, afektif serta

psikomotorik siswa itu sendiri.

41

2. Definisi Operasional

Hasil belajar adalah skor tentang kemampuan pelajaran yang

diperoleh siswa dari hasil tes belajar berbentuk pilihan ganda sebanyak 20

soal kognitif serta 5 soal dalam bentuk pertanyaan yang berkaitan dengan

afektif. Sedangkan untuk Hasil belajar secara afektif dan psikomotorik

didapat melalui pengamatan langsung dengan diterapkanya Silabus dan

RPP Berkarakter oleh peneliti dibantu guru bidang studi kelas VIII-1 dan

VIII-2 SMP Negeri 107 Jakarta.

3. Kisi-Kisi Instrumen

Instrumen variabel hasil belajar disusun berdasarkan tes hasil

belajar dalam bentuk soal pilihan ganda yang didasarkan atas materi yang

telah disampaikan oleh peneliti dibantu dengan guru bidang studi kelas

VIII-1 dan VIII-2 SMP Negeri 107 Jakarta.

4. Pengujian Instrumen

a. Pengujian validitas keshahihan atau validitas butir soal.

Pada penelitian ini, perhitungan validitas butir soal menggunakan

Product Moment Pearson angka kasar, kemudian dilanjutkan dengan

rumus Spearman Brown, dengan rumus:

Keterangan:

N : Jumlah sampel responden

X : Nilai ulangan harian 1

Y : Nilai uji coba yang dapat dijumlah tiap item genap dan ganjil

42

X2 : Jumlah Kuadrat nilai ulangan harian 1

Y2 : Jumlah kuadrat nilai uji coba

XY : Jumlah perkalian antara X dan Y

Validitas butir soal untuk tes hasil belajar matematika yang

berbentuk pilihan ganda diisi dengan menggunakan rumus korelasi

biserial, yaitu sebagai berikut:

Dimana:

rbis : Koefisien korelasi biserial antara skor butir soal nomor i dengan

skor total

Xi : Rata-rata skor total responden yang menjawab benar butir soal

nomor i

Xt : Rata-rata skor total semua responden

St : Standart deviasi skor total semua responden

Pi : Proporsi jawaban benar untuk butir soal nomor i

Qi : Proporsi jawaban salah untuk butir soal i

Untuk menentukan soal valid/ tidak, selanjutnya koefisien rbis

(rhitung) di interpretasikan dengan kriteria:

Jika nilai rhitung ≥ rtabel berarti valid

rhitung ≤ rtabel berarti tidak valid

43

b. Pengujian reliabilitas

Suatu tes dikatakan reliabel atau ajeg apabila beberapa kali

pengujian menunjukan hasil yang relatif sama (Sudjana, 2010:148).

Untuk menguji keterhandalan (reliabilitas) perangkat soal untuk pilihan

ganda diuji dengan menggunakan Product Moment Person dengan

teknik belah dua (genap-ganjil), dengan rumus:

Keterangan:

N : Jumlah sampel (responden)

X : Jumlah skor tiap item ganjil

Y : Jumlah skor tiap item genap

X2 : Jumlah Kuadrat dari tiap item ganjil

Y2 : Jumlah Kuadrat dari tiap item genap

c. Pengujian taraf kesukaran

Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui soal-soal yang

mudah, sedang, dan sukar. Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu

mudah dan tidak terlalu sukar (Arikunto, 2010:230).

Cara mengetahui tingkat kesukaran soal dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

P : Indeks kesukaran

B : Banyaknya siswa yang menjawab butir soal dengan benar

JS : Jumlah seluruh siswa peserta test

Menentukan indeks kesukaran soal sebagai berikut:

44

P : 0,00 - 0,30 adalah soal sukar

P : 0,31 - 0,70 adalah soal sedang

P : 0,71 - 1,00 adalah soal mudah

d. Daya Pembeda Soal

Daya pembeda soal bertujuan untuk mengetahui kesanggupan soal

dalam membedakan siswa yang tergolong kurang atau lemah

prestasinya. Adapun rumus yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

DP = Indeks daya pembeda butir soal

BA = Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal benar

BB = Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal benar

JA = Banyaknya peserta kelompok atas

JB = Banyaknya peserta kelompok bawah

PA = Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar

PB = Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar

Untuk menentukan kelompok atas dan kelompok bawah, maka

siswa diperingkat berdasarkan total skor yang diperoleh kemudian

diambil 27% kelompok atas (peringkat atas) dan 27% kelompok bawah

(peringkat bawah).

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan inti menulisan proposal dikarenakan

bagian ini akan membuktikan kebenaran hasil dari hipotesis seperti yang

dikemukakan oleh Sugiyono (2008:243) bahwa Teknik analisis data pada

45

penelitian kuantitatif diarahkan untuk menjawab rumusan masalah atau

menguji hipotesis yang telah dirumuskan dalam proposal. Karena datanya

kuantitatif, maka teknik analisis data menggunakan metode statistik yang

sudah tersedia.

1. Teknik Analisis Deskriptif

Teknik Analisis Deskriptif merupakan teknik analisis data yang

dapat dinyatakan dengan angka (kuatitatif). Adapun langkah-langkahnya

adalah sebagai berikut:

a. Menentukan rentang, ialah data terbesai dikurangi data terkecil;

b. Menentukan banyak kelas interval yang diperlukan. Banyak kelas

cukup bagus dengan menggunakan aturan Struges, yaitu:

Banyak kelas = 1 + (3,3) log n

c. Menentukan panjang kelas interval;

d. Menentukan tabel distribusi frekuensi skor;

e. Menghitung rata-rata (mean);

Keterangan:

= frekuensi

= nilai tengah

f. Menentukan nilai tengah data/ median (Me);

46

Keterangan:

b = batas bawah kelas median, ialah kelas median terletak

n = jumlah data

f = frekuensi kelas median

F = frekuensi komulatif sebelum kelas median

P = panjang jelas median

g. Menentukan modus (Mo);

Keterangan:

P = panjang jelas median

b = batas bawah kelas modus, ialah kelas modus terletak

d1 = selisih frekuensi kelas modus dengan frekuensi kelas modus

sebelumnya.

d2 = selisih frekuensi kelas modus dengan frekuensi kelas modus

sesudahnya.

h. Mencari simpangan baku (S);

i. Membuat histogram.

2. Teknik Analisis Persyaratan Data

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sampel yang

sedang diteliti berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau

47

bukan. Sedangkan pengujian normalitas yang dilakukan dengan

menggunakan uji x2 (chi kuadrat). Adapun langkah-langkahnya sebagai

berikut:

1) Sajikan data dalam bentuk tabel distribusi frekuensi;

2) Menentukan rata-rata ( );

3) Menentukan simpangan baku (S);

4) Menentujan batas kelas interval;

5) Mencari Zscore dengan rumus;

6) Mencari luas O - Z dari tabel kurva normal dari O - Z dengan

menggunakan angka-angka untuk batas kelas lalu mencari luas tiap

kelasnya;

7) Mencari frekuensi yang diharapkan (Fe) dengan cara mengalihkan

luas tiap interval dengan jumlah responden;

8) Menghitung chi-kuadrat (x2 hitung);

Keterangan:

fe = frekuensi yang diharapkan

fo = frekuensi yang diperoleh

9) Membandingkan x2 hitung dangan x

2 tabel.

x2 hitung ≤ x

2 tabel maka distribusi data normal

x2 hitung ≥ x

2 tabel maka distribusi data tidak normal

48

b. Uji Homogenitas

Untuk pengujian homogenitas pada penelitian ini digunakan

hipotesis sebagai berikut:

Ho :

H1 :

Dimana adalah varian dari sampel pertama dan adalah varian

sampel kedua. Hipotesis tersebut diuji dengan menggunakan rumus

Fisher yaitu sebagai berikut:

Dimana:

S12 = Varian terbesar

S22 = Varian terkecil

Kriteria Pengujian:

Terima Ho Jika FHitung < FTabel

Tolak Ho Jika FHitung > FTabel

3. Pengujian Hipotesis

Setelah diketahui bahwa data tersebut berdistribusi normal dan

homogen, maka dilakukan uji lanjut sesuai dengan hipotesis yaitu:

a. Hipotesis statistik

Ho :

H1 :

49

Keterangan:

: Rata-rata hasil belajar matematika pada saat pre test

: Rata-rata hasil belajar matematika pada saat post test

b. Analisa data

Pengujian hipotesis penelitian dengan rumus hipotesis statistik

diatas dengan derajat kebebasan V=Na + Nb - 2 dengan taraf α

menggunakan uji perbedaan 2 rata-rata dengan uji t (t-test) yang

rumusnya sebagai berikut:

Dimana:

= Rata-rata hasil belajar matematika pada saat pre test

= Rata-rata hasil belajar matematika pada saat post test

SA = Simpangan baku siswa pada saat pre test

SB = Simpangan baku siswa pada saat post test

N = Jumlah siswa

t = Hasil hitung t/ perbedaan antara pre test dan post test

Adapun kriterianya adalah jika harga mutlak thitung > ttabel pada taraf

α, maka tidak ada yang berarti. Sedangkan jika harga mutlak thitung <

ttabel pada taraf α, maka ada perbedaan yang berarti.

50

G. Hipotesis Statistik

Ho:

H1 :

Dimana:

: Rata-rata hasil belajar matematika pada saat pre test.

: Rata-rata hasil belajar matematika pada saat post test.

Ho: Hasil belajar matematika yang diajarkan menggunakan character

learning education sama dengan yang konvensional.

H1 : Hasil belajar matematika yang diajarkan menggunakan character

learning education lebih baik dari yang dengan konvensional.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qarni, Aidh.2012.La Tahzan:For Smart Teachers. Yogyakarta: Lafal Indonesia.

Arikunto, Suharsimi.2010.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Cetakan Keempatbelas.Jakarta:Rineka Cipta. Aunurrahman.2010. Belajar dan Pemberlajaran. Cetakan Keempat.

Bandung:Alfabeta Bell, Frederick H. (1981). Teaching and Learning Mathematics (In

Secondary School). Iowa: Brown Company Publishers Bertens, K.2007.Etika.Cetakan Kesepuluh.Jakarta:Gramedia Pustaka. Budiningsih, C.Asri.2005.Belajar dan Pembelajaran.Jakarta:Rineka Cipta Budiono. (2009). Panduan Pengembangan Materi Pembelajaran. Tersedia

di http://www.scribd.com/doc/21684083/Pengemb-Materi-Pembelaj Budiono- SMANEJA-Blitar. Diakses pada tanggal 11 Februari 2013

Dimyati.2009.Belajar dan Pembelajaran.Jakarta:Rineka Cipta. E.T. Ruseffendi.1990.Pengajaran Matematika Modern.Bandung:Tarsito Erman Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika

Kontemporer. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Hamzah, Mustadi, dan Junaedi.2007.Pendidikan Sejarah Perjuangan PGRI

(PSP - PGRI). Jakarta:Universitas Indraprasta PGRI. Hidayatullah, M Furqon.2010.Guru Sejati:Membangun Insan Berkarakter

Kuat dan Cerdas.Cetakan Ketiga.Surakarta:Yuma Pustaka. J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain.1996.Kamus Umum Bahasa

Indonesia.Jakarta:Pustaka Sinar Harapan. Jujun S. Suriasumantri.1993.Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar

Populer).Jakarta:Pustaka Sinar Harapan. Kadarsih, Liani.2012.Power Full in Education: Jurus-Jurus Dasyat Menjadi

Guru Super. Yogyakarta:Araska.

iv

 

iv

 

Koesoema, Doni.2007.Pendidikan Karakter:Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta:Grasindo.

Mahdiansyah.2011.Pendidikan Membangun Karakter Bangsa.Jakarta:Bestari. Nazir, Moh.2009.Metode Penelitian.Cetakan Ketujuh.Bogor:Ghalia Indonesia. Nugroho.1990.Ensiklopedi Nasional Indonesia.Jilid 10.Jakarta:PT. Cipta Adi

Pustaka Orlich, C. Donald, et al. 2007. Teaching Strategies : A Guide to Effective

Instruction. USA: Houghton Mifflin Company S. Nasution. (2005). Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar.

Jakarta: Bumi Aksara Sahlan, Asmaun, dan Prastyo, Angga Teguh.2012.Desain Pembelajaran

Berbasis Pendidikan Karakter. Yogyakarta:Ar-Ruzz Media. Suardi.2012.Pengantar Pendidikan (Teori dan Aplikasi).Jakarta:Indeks. Sudjana, Nana.2010.Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.Cetakan

Kelimabelas.Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sugiyono.2008.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.Cetakan

Keempat.Bandung: Alfabeta. Tim Penyusun. (2006). Pedoman Model Penilaian Kelas KTSP TK-SD-

SMP- SMA-SMK-MI-MTs-MA-MAK. Jakarta: BP. Cipta Jaya Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional. W.S. Winkel.1996.Psikologi Pendidikan dan Evaluasi

Pendidikan.Jakarta:Gramedia. Wiyani, Novan Ardy.2012.Manajemen Pendidikan Karakter.Yogyakarta:

Pedagogia. http://edukasi.kompas.com/read/2012/03/15/07253564/Uji.Coba.Pendidikan.Ka

rakter.di.25.Sekolah pukul 15.18 tanggal 5/10/2012 http://edukasi.kompas.com/read/2012/09/27/22554991/Kurikulum.Baru.Pangka

s.Jumlah.Mata.Pelajaran pukul 10.53 tgl 28/9/2012