PENGARUH CHARACTER LEARNING EDUCATION · PDF fileHakikat Pendidikan Karakter (Character...
Transcript of PENGARUH CHARACTER LEARNING EDUCATION · PDF fileHakikat Pendidikan Karakter (Character...
PENGARUH CHARACTER LEARNING EDUCATION TERHADAP
HASIL BELAJAR MATEMATIKA
DOSEN : LEONARD SIMANGUNSONG,M.M.,M.Pd
Diajukan untuk memenuhi tugas
Seminar Praskripsi.
OLEH:
NAMA : MAYA UMAMI
NPM : 200913500674
KELAS : S7C
FAKULTAS TEKNIK, MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI JAKARTA
TAHUN 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .....………………………….................. 1
B. Identifikasi Masalah .....….…………………………… 5
C. Pembatasan Masalah .....….…………………………... 5
D. Perumusan Masalah ...………………………………... 5
E. Tujuan Penelitian ..…………………………………..... 6
F. Manfaat Penelitian..................………………………… 6
G. Sistematika Penulisan..………………………………... 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori.……………………………………. 8
1. Hakikat Hasil Belajar Matematika ………….. 8
2. Hakikat Pendidikan Karakter (Character
Learning Education) ……………………….... 19
B. Kerangka Berfikir …………………………………. 31
C. Hipotesis Penelitian ……………………………….. 32
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................... 33
1. Tempat Penelitian ……………………………. 33
ii
2. Waktu Penelitian …………………………….. 33
B. Metode Penelitian …………………………………. 34
1. Jenis Penelitian ………………………………. 34
2. Desain Penelitian …………………………….. 35
C. Populasi dan Sampel ………………………………. 36
1. Populasi Penelitian …………………………… 36
2. Sampel Penelitian …………………………….. 36
D. Metode Pengumpulan Data ………………………... 37
1. Variabel Penelitian …………………………… 37
2. Sumber Data ………………………………….. 39
3. Teknik Pengumpulan Data …………………… 39
E. Instrumen Penelitian ………………………………. 40
1. Definisi Konseptual ………………………….. 40
2. Definisi Operasional …………………………. 41
3. Kisi-Kisi Instrumen ………………………….. 41
4. Pengujian Instrumen …………………………. 41
F. Teknik Analisis Data ……………………………… 44
1. Teknik Analisis Deskriptif……………………. 45
2. Teknik Analisis Persyaratan Data ……………. 46
3. Pengujian Hipotesis ………………………….. 48
G. Hipotesis Statistik ………………………………… 50
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv
LAMPIRAN
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Jadual Kegiatan Penelitian ..…………………………….. 33
Tabel 3.2. Desain Penelitian ..…………………………….………… 35
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan pondasi utama dalam membentuk keberhasilan
suatu bangsa, diperlukan adanya perhatian yang lebih untuk menanganinya.
Seperti yang dikemukakan oleh Hamzah dan Junaedi (2007:38) bahwa
Pendidikan adalah masalah hari depan yang harus dipersiapkan dan
ditanggulangi mulai sekarang dan apabila terjadi penundaan, maka akan
mendekatkan suatu bangsa pada jurang kehancuran. Krisis moral yang terjadi
di tiap-tiap negara merupakan salah satu faktor kehancuran bangsa. Oleh
karena itu pendidikan menjadi perhatian serius di masyarakat.
Menurut Al-Qarni (2012:10) Pendidikan kita belum berubah dari
paradigma lama yang bertumpu pada score atau nilai ujian nasional sebagai
patokan pendidikan. Pendidikan saat ini hanya semata-mata dipandang dari
segi intelektualitasnya saja padahal pada esensinya pendidikan merupakan
sebuah upaya dalam rangka membangun kecerdasan manusia, baik
kecerdasan kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Alhasil, kini dekadensi
moral yang dialami oleh bangsa Indonesia ditandai dengan maraknya aksi
kekerasan, korupsi, pembalakan liar, bahkan sampai pada praktik-praktik
kebohongan dalam dunia pendidikan seperti menyontek pada saat ujian dan
plagiatisme. Theodore Roosevelt mengatakan (dalam Wiyani, 2012:5) “To
educate a person mind and not in morals is to educate a menace to society”
2
(Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral
adalah ancaman marabahaya kepada masyarakat). Dari pernyataan diatas
maka perlu adanya keseimbangan antara kecerdasan otak dan aspek moral.
Rendahnya moralitas di masyarakat terbukti dengan adanya berbagai
tindak kriminal. Hal ini dapat dengan mudah kita jumpai, baik melalui
tayangan televisi maupun secara langsung kita lihat dengan mata kepala kita
sendiri. Belum lagi permasalahan yang sedang marak diberitakan seperti
tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di lingkungan Pemerintahan,
BUMN, dan perusahaan swasta. Para koruptorpun sulit untuk dijerat pasal
dikarenakan pasal-pasal itu sendiri seperti karet yang elastis dan mudah sekali
terputus. Tak heran bila kasus korupsi di negeri ini menjadi kasus yang
mudah dilihat, tapi tak bisa dipegang. Sebab, sekali dipegang maka akan
banyak tangan yang terpegang. Dengan keadaan yang seperti ini, sulit sekali
untuk menentukan mana yang benar-benar koruptor dan mana yang hanya
sebatas korban karena semua itu harus teruji di meja hijau atau pengadilan.
Melihat sketsa wajah negeri seperti di atas, hal itu tentu akan menjadi
tidak baik bila dilihat oleh anak-anak sebagai generasi penerus bangsa.
Mereka tentu akan kecewa karena penegakan hukum tak sesuai dengan
harapan. Sedangkan mereka selalu mendapatkan nasehat dari para guru untuk
berlaku jujur dalam situasi dan keadaan apapun. Apa yang kita dengar dan
kita lihat tersebut mengacu pada satu hal, yaitu karakter.
Semua sekolah umum diharapkan untuk mampu menjadi sekolah yang
cerdas dan berkarakter. Tentu dalam proses pelaksanaanya tak semudah
3
membalikan telapak tangan. Ada saja tantangan dan rintangan yang pasti
harus dihadapi. Sekolah berkarakter itu seperti sekolah laskar pelangi.
Sekolah dengan fasilitas apa adanya mampu bersaing dan melahirkan peserta
didik yang sangat luar biasa. Suatu kisah nyata dari sebuah sekolah yang
mampu menjaga sekolahnya tetap unggul walaupun ketiadaan fasilitas dan
ketidakadanya dana, tetap menjaga karakter sekolahnya dan membangun
kejujuran. Dari sini dapat kita lihat bahwa pendidikan karakter (character
learning education) merupakan bentuk solving problem dalam mengatasi
paradigma berfikir kebanyakan orang bahwa pendidikan lebih mengacu pada
ranah kognitif. Dalam realitas pembelajaran di sekolah, usaha untuk
menyeimbangkan ketiga ranah tersebut memang selalu diupayakan, namun
pada kenyataannya yang lebih dominan adalah ranah kognitif kemudian
psikomotorik. Akibatnya, peserta didik kaya akan kemampuan yang bersifat
hard skill namun miskin soft skill output karena ranah afektif yang
terabaikan.
Keadaan ini seakan sudah menjadi suatu budaya yang mana perlu
adanya peran aktif dari berbagai pihak seperti pihak keluarga, sekolah, dan
lingkungan. Pada dasarnya keluarga memegang peranan penting dalam
penanaman pendidikan karakter, namun sekolah juga merupakan wahana
yang tepat untuk ini. Di sekolah anak mengalami perubahan tingkah laku.
Proses perubahan tingkah laku dalam diri anak sesuai dengan nilai-nilai sosial
dan kebudayaan yang tertuang dalam kurikulum sekolah. Kurikulum
4
pendidikan yang dilaksanakan oleh guru salah satunya berfungsi untuk
membentuk tingkah laku menuju kepribadian yang dewasa secara optimal.
Pada saat ini, untuk menciptakan kurikulum berkarakter di sekolah
tidaklah mudah seperti yang dapat dibayangkan. Apalagi membangunya pada
zaman yang edan seperti sekarang. Kurikulum baru ini akan melibatkan
beberapa komponen pendidikan lainnya seperti: isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan
mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
ekstrakurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja
seluruh warga dan lingkungan sekolah. Dari semua komponen tersebut, guru
merupakan media yang efektif dalam mendistribusikan pendidikan
berkarakter kepada siswa. Dalam hal ini guru harus memulai desain
pembelajaran baru. Desain pembelajaran yang kemudian akan diterapkan
kepada siswa dengan menginternalisasi ke materi maupun ke dalam bentuk
tindakan. Desain ini akan diimplementasikan melalui metode dan strategi
yang akan digunakan oleh guru dan komponen pendukung sekolah lainnya.
Sekolah akan dikatakan berhasil apabila hasil belajar matematika
memuaskan dengan penilaian atau skor yang rata-ratanya bagus. Berkaitan
dengan pendidikan karakter terhadap hasil belajar matematika dilakukan
sebuah eksperimen oleh para expert. Buku Joseph Zins, dkk (dalam Wiyani,
2012:17) kecerdasan emosional yang di dalamnya terkait erat dengan
pendidikan karakter, ternyata berpengaruh sangat kuat dengan keberhasilan
belajar. Dengan adanya pendidikan karakter, anak akan memiliki kecerdasan
5
emosional. Kecerdasan emosional adalah bekal terpenting dalam
mempersiapkan anak menyongsong masa depan karena denganya seseorang
akan dapat berhasil menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan
dalam bidang akademik.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka diidentifikasikan
masalah sebagai berikut:
a. Apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter?
b. Bagaimana metode dan strategi pelaksanaan pendidikan karakter yang
digunakan guru di sekolah?
c. Bagaimana bentuk implementasi pendidikan karakter pada siswa di
sekolah?
d. Bagaimana hubungan pendidikan karakter dengan kecerdasan emosional?
e. Apakah pendidikan karakter dapat berpengaruh terhadap hasil belajar
matematika?
C. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, permasalahan dibatasi hanya pada: pengaruh
character learning education terhadap hasil belajar matematika.
D. Perumusan Masalah
Secara umum dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: adakah
pengaruh character learning education terhadap hasil belajar matematika?
6
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka
tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh penerapan pendidikan karakter (character learning
education) di sekolah terhadap hasil belajar matematika.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis:
Diharapkan dapat memberikan manfaat pada dunia pendidikan
terutama dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang
handal dan kokoh melalui pendidikan karakter.
2. Manfaat Praktis:
a. Bagi Sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah dapat dijadikan
referensi untuk melaksanakan kurikulum baru.
b. Bagi Guru adalah dapat dijadikan acuan selanjutnya untuk lebih
menekankan pada pengajaran berkarakter.
c. Bagi Siswa adalah agar mendapatkan hasil belajar yang baik dengan
adanya pembentukan karakter siswa.
d. Bagi Penulis adalah akan memberi manfaat yang sangat berharga
berupa pengalaman praktis dalam penelitian ilmiah. Sekaligus dapat
dijadikan referensi ketika mengamalkan ilmu terutama di lembaga
pendidikan.
e. Bagi Almamater adalah agar dapat memberi sumbangan yang berarti
serta dapat menjadi bahan acuan dalam penelitian selanjutnya.
7
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini tersusun menjadi 3 (tiga)
bab, yang terdiri dari:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam pendahuluan penulis menguraikan latar belakang, identifikasi
masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : LANDASAN TEORI
Pada bab ini peneliti membahas tentang landasan teori yang terdiri
dari hakikat hasil belajar dengan sub-sub nya yaitu: hasil belajar serta hakikat
pendidikan karakter dengan sub-sub nya yaitu: karakter, pendidikan dan
pendidikan karakter (character learning education).
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab III ini penelitian berpusat pada metodologi penelitian,
meliputi: tempat dan waktu penelitian, metode penelitian, populasi dan
sample, metode pengumpulan data, instrumen penelitian, teknik analisa data,
dan hipotesis statistik.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Hakikat Hasil Belajar Matematika
Belajar merupakan proses penting bagi perubahan perilaku
manusia dan mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan.
Belajar memegang peranan penting di dalam perkembangan,
kebiasaan,sikap, keyakinan, tujuan, kepribadian, dan bahkan persepsi
manusia. Bagi siswa, ia akan belajar sesuai dengan keinginan dan
perilakunya masing-masing. Seperti yang dikatakan oleh Skinner
(dalam Dimyati, 2009 : 9) bahwa belajar adalah sebuah perilaku. Pada
saat belajar, respon menjadi lebih baik begitupun sebaliknya ketika
respon menurun dikarenakan tidak belajar. Berkaitan dengan respon,
belajar menurut Budiningsih (2005:21) adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon. Hasil dari perilaku yang membuat respon menjadi
lebih baik adalah kepandaian. Semakin banyak belajar maka semakin
pandai juga orang tersebut. Lalu didapatkan pengertian bahwa belajar
adalah usaha untuk mendapatkan kepandaian (Suardi, 2012:9).
Kepandaian didapat atas kesadaran dari si pembelajar sebagai subyek.
Dalam memperoleh kepandaian dibutuhkan sebuah media. Menurut
Burton (dalam Aunurahman, 2010:35) yaitu perubahan tingkah laku
9
pada diri individu berkat adanya interaksi dengan lingkungan sehingga
mereka mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Disini media yang
berfungsi untuk mencapai kepandaian adalah interaksi dengan
lingkungan. Lingkungan yang bisa saja berbentuk pengalaman melalui
sebuah praktik.
Dari berbagai macam pengertian belajar yang sebelumnya telah
dikemukakan, dalam buku Aunurrahman yang berjudul Belajar dan
Pembelajaran dituliskan bahwa ada beberapa kelompok teori yang
memberikan pandangan khusus tentang belajar diantaranya: Pertama
Behaviorisme, Para penganut teori behaviorisme meyakini bahwa
manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam
lingkungannya yang memberikan pengalaman-pengalaman tertentu
kepadanya. Behaviorisme menekankan pada apa yang dapat dilihat,
yaitu tingkah laku. Perubahan tingkah laku yang terjadi adalah
berdasarkan paradigma S-R (Stimulus-Respons), yaitu suatu proses
yang memberikan respons tertentu terhadap suatu yang datang dari luar.
Tokoh aliran behaviorisme adalah Thordike. Ia merupakan orang
pertama yang menerangkan hubungan S-R. Kedua Kognitifisme,
Belajar menurut kognitifisme diartikan sebagai perubahan persepsi dan
pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman ini tidak selalu dapat
dilihat sebagaimana perubahan tingkah laku. Teori ini menekankan
bahwa bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan dengan konteks
seluruh situasi tersebut. Ketiga Teori belajar psikologi sosial, Menurut
10
teori belajar psikologi sosial, proses belajar jarang sekali merupakan
proses yang terjadi dalam keadaan menyendiri, akan tetapi melalui
interaksi-interaksi. Interaksi tersebut dapat: (1) Searah (one directional),
yaitu bilamana adanya stimuli dari luar menyebabkan timbulnya
respons, (2) dua arah, yaitu apabila tingkah laku yang terjadi merupakan
hasil interaksi antara individu yang belajar dengan lingkungannya, atau
sebaliknya, dan keempat Teori belajar Gagne, Teori belajar yang
disusun oleh Gagne merupakan teori Perpaduan yang seimbang antara
behaviorisme dan kognitifisme yang berpangkat pada teori informasi.
Menurut Gagne cara berpikir seseorang tergantung pada: (a)
keterampilan apa yang telah dimilikinya, (b) keterampilan serta hirarki
apa yang diperlukan untuk mempelajari suatu tugas. Dengan demikian
menurut Gagne dalam proses belajar terdapat dua fenomena yaitu:
meningkatnya keterampilan intelektual sejalan dengan meningkatnya
umur serta latihan yang diperoleh individu, dan belajar akan lebih cepat
bilamana strategi kognitif dapat dipakai dalam memecahkan masalah
secara lebih efisien.
Berbagai teori tentang belajar telah dikemukakan oleh banyak ahli.
Dari sejumlah pandangan dan definisi tentang belajar, kita dapat
menemukan beberapa ciri umum kegiatan belajar. Menurut Wragg
(dalam Aunurrahman, 2010:35) ciri umum kegiatan belajar adalah
Pertama, belajar menunjukan suatu aktivitas pada diri seseorang yang
disadari atau disengaja. Aktivitas ini menunjuk pada keaktifan
11
seseorang dalam melakukan sesuatu kegiatan tertentu, baik pada aspek-
aspek jasmaniah maupun aspek mental yang memungkinkan terjadinya
perubahan pada dirinya. Kedua, belajar merupakan interaksi individu
dengan lingkunganya. Lingkungan dalam hal ini dapat berupa manusia
atau obyek-obyek lainnya. Adanya interaksi individu dengan
lingkungan, mendorong seseorang untuk lebih intensif mengingkatkan
keaktifannya. Ketiga, hasil belajar ditandai dengan adanya perubahan
tingkah laku. Walupun tidak semua tingkah laku merupakan hasil
belajar, akan tetapi aktivitas belajar umumnya disertai perubahan
tingkah laku. Perubahan tingkah laku dapat berupa kognitif, afektif
maupun psikomotorik.
b. Hasil Belajar
Dari pengertian belajar diatas maka hasil belajar merupakan
perubahan pemahaman, pengetahuan, keterampilan, kecakapan, dan
sikap yang terjadi setelah siswa melakukan proses belajar. Hal ini
sependapat dengan Dimyati (2009:12) bahwa hasil belajar adalah
kapabilitas siswa yang terdiri dari infomasi verbal, keterampilan
intelek, keterampilan motorik, sikap, dan siasat kognitif.
Berdasarkan pada teori belajar yang dikemukakan Gagne, Gagne
menyimpulkan ada lima macam hasil belajar (Aunurrahman, 2010:47)
yaitu: (1) Keterampilan intelektual, atau pengetahuan prosedural yang
mencakup belajar konsep, prinsip, dan pemecahan masalah yang
diperoleh melalui penyajian materi di sekolah, (2) Strategi kognitif,
12
yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah baru dengan
jalan mengatur proses internal masing-masing individu dalam
memperhatikan, belajar, mengingat, dan berfikir, (3) Informasi verbal,
yaitu kemampuan untuk mendeskripsikan sesuatu dengan kata-kata
dengan jalan mengatur informasi-informasi yang relevan, (4)
Keterampilan Motorik, yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan
mengkoordinasikan garakan-gerakan yang berhubungan dengan otot,
dan (5) Sikap, yaitu kemampuan internal yang mempengaruhi tingkah
laku seseorang yang didasari oleh emosi, kepercayaan-kepercayaan
serta faktor intelektual. Dari kedua pengertian yang dijabarkan oleh
Dimyati dan Gagne menyatakan bahwa hasil belajar bukan hanya
dilihat dalam ranah kognitif saja, melainkan dilihat dari afektif dan
psikomotoriknya.
Salah satu perubahan yang terjadi sebagai bentuk hasil belajar
matematika adalah sikap. Sikap menurut Gagne pada teori belajar yang
sudah dikemukakan diatas, menyebutkan bahwa sikap yaitu
kemampuan internal yang mempengaruhi tingkah laku seseorang yang
didasari oleh emosi. Untuk itu perlu adanya pengkajian kecerdasan
emosi dari seseorang yang menginginkan hasil belajar yang baik.
Salovey dan Mayer (dalam Aunurrahman, 2010:87) mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial
yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada
diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan
13
menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.
Dengan mengkaji kecerdasan emosional ini, diharapkan kita dapat
memiliki pemahaman yang baik sebagai bagian penting dari proses
pembelajaran, dan untuk mewujudkan hasil belajar yang diharapkan.
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun
1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John
Meyer dari University of New Hampshire menurut Shapiro (dalam
Aunurrahman, 2010:85) yang mengatakan bahwa bentuk kualitas
emosional yang dinilai penting bagi keberhasilan, yaitu: empati,
mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah,
kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan
memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan,
keramahan, dan sikap hormat. Adanya bentuk kualitas emosional
tersebut merupakan hasil belajar yang hakiki dimana terjadi
perkembangan secara signifikan yang juga berpengaruh hebat terhadap
IQ (Intelligent Quotients) dan EQ (Emotional Quotients) . Seperti yang
dikatakan oleh Goleman (dalam Aunurrahman, 2010:86) bahwa tidak
seperti IQ yang berubah hanya sedikit setelah melewati usia remaja,
kecerdasan emosi lebih banyak diperoleh melalui belajar dari
pengalaman sendiri sehingga kecakapan-kecakapan kita dalam hal ini
akan terus tumbuh.
14
c. Konsep Matematika
Konsep, menurut W. S. Winkel (1996: 44) dapat diartikan sebagai
suatu sistem satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang
mempunyai ciri-ciri yang sama. Gagne, Robert M. (Bell, Frederick
H, 1981: 108) menyatakan bahwa konsep adalah suatu ide abstrak
yang memungkinkan kita dapat mengelompokkan objek ke dalam
contoh dan non contoh. Konsep matematika yaitu segala yang berwujud
pengertian-pengertian baru yang bisa timbul sebagai hasil pemikiran,
meliputi definisi, pengertian, ciri khusus, hakikat dan inti /isi
dari materi matematika (Budiono, 2009: 4). Pemahaman konsep
adalah kompetensi yang ditunjukkan siswa dalam memahami definisi,
pengertian, ciri khusus, hakikat, inti /isi dari suatu materi dan
kompetensi dalam melakukan prosedur (algoritma) secara luwes,
akurat, efisien dan tepat (Tim Penyusun, 2006: 142).
Konsep matematika disusun secara berurutan sehingga konsep
sebelumnya akan digunakan untuk mempelajari konsep selanjutnya.
Misalnya konsep luas persegi diajarkan terlebih dahulu daripada
konsep luas permukaan kubus. Hal ini karena sisi kubus berbentuk
persegi sehingga konsep luas persegi akan digunakan untuk menghitung
luas permukaan kubus.
Pemahaman terhadap konsep materi prasyarat sangat penting
karena apabila siswa menguasai konsep materi prasyarat maka siswa
akan mudah untuk memahami konsep materi selanjutnya. Menurut Bell
15
(1981: 117), siswa yang menguasai konsep dapat mengidentifikasi dan
mengerjakan soal baru yang lebih bervariasi. Selain itu, apabila anak
memahami suatu konsep maka ia akan dapat menggeneralisasikan
suatu obyek dalam berbagai situasi lain yang tidak digunakan
dalam situasi belajar (S.Nasution, 2005: 164).
Siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui
pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki
dari sekumpulan objek. Siswa diharapkan mampu menangkap
pengertian suatu konsep melalui pengamatan terhadap contoh-
contoh dan bukan contoh (Erman Suherman, dkk, 2003: 57).
Sedangkan menurut Orlich C. Donald, et al (2007 : 151) salah satu
pembelajaran konsep yang bisa dilakukan adalah mengemukakan
contoh/fakta yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari
dan memberi kesempatan siswa untuk menemukan sendiri konsep
tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman
konsep matematika adalah kemampuan bersikap, berpikir dan bertindak
yang ditunjukkan oleh siswa dalam memahami definisi, pengertian, ciri
khusus, hakikat dan inti /isi dari materi matematika dan kemampuan
dalam memilih serta menggunakan prosedur secara efisien dan tepat.
Pemahaman konsep materi prasyarat sangat penting untuk memahami
konsep selanjutnya. Selain itu pemahaman konsep dapat digunakan
untuk menggeneralisasikan suatu obyek. Konsep matematika harus
16
diajarkan secara berurutan. Hal ini karena pembelajaran matematika
tidak dapat dilakukan secara melompat-lompat tetapi harus tahap demi
tahap, dimulai dengan pemahaman ide dan konsep yang sederhana
sampai ke tahap yang lebih kompleks.
d. Ruang Lingkup Matematika
Matematika termasuk salah satu disiplin ilmu yang memiliki kajian
yang sangat luas sehingga masing-masing ahli bebas mengemukakan
pendapatnya tentang matematika berdasarkan sudut pandang,
kemampuan, pemahaman, dan pengalamannya masing-masing. Namun
menurut kamus umum bahasa Indonesia, “Matematika adalah ilmu
menghitung dengan menggunakan bilangan-bilangan” (Badudu,
1996:875). Menurut definisi ini matematika hanya dianggap tentang
ilmu yang berkaitan dengan angka-angka atau bilangan. Sehingga jika
bicara matematika itu berarti bicara angka dan hitung menghitung.
Pendapat senada dikemukakan oleh Ruseffendi, beliau mengatakan:
“Matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang
berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran” (Ruseffendi,
1990:149). Pendapat ini menganggap matematika sebagai pengetahuan
tentang hitung ruang dan peluang yang diperlukan sebagai sarana untuk
berfikir logis, rasional, dan eksak agar mampu memecahkan masalah.
Seiring berkembangnya zaman, berkembang pula konsep
matematika dari berbagai ahli khususnya mengenai ruang lingkup dari
matematika itu sendiri. Menurut Nugroho (1990:198), “matematika
17
merupakan alat dan bahasa dasar banyak ilmu”. Hal ini mengatakan
bahwa matematika merupakan suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri
dan tidak merupakan cabang dari ilmu pengetahuan alam. Sepaham
dengan pernyataan diatas, pengembangan dari E.T. Ruseffendi
mengenai konsep matematika mengatakan bahwa “Matematika
bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya
sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu
manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial,
ekonomi, dan pengetahuan alam” (Ruseffendi, 1990:29). Bukan hanya
dalam hal hitung menghitung ternyata pengaruh dari matematika cukup
meluas ke ilmu-ilmu lainnya. Lebih ditegaskan lagi oleh Jujun S.
Suriasumantri (1993:193) yang mengatakan bahwa “matematika
memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke
kuantitatif”. Dari pengertian tersebut, matematika dapat merupakan alat
bantu yang efisien dan diperlukan oleh setiap ilmu pengetahuan.
Dari uraian konsep matematika diatas dengan adanya pelebaran
makna matematika dapat kita ketahui bahwa ruang lingkup matematika
tidak hanya mengenai hitung menghitung atau yang berhubungan
dengan angka melainkan dapat digunakan sebagai alat bantu untuk
kehidupan manusia sehari-hari misalnya mengatur komposisi pupuk,
jual beli, memasak, sensus penduduk, dan lain-lain.
18
e. Hasil Belajar Matematika
Tujuan proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah adanya
perubahan tingkah laku yang diharapkan dapat dikuasai oleh siswa
setelah menerima atau menempuh pengalaman belajar. Perubahan
tingkah laku yang diharapkan dapat dikuasai siswa yang biasa disebut
dengan hasil belajar. Perubahan tingkah laku tersebut dapat berupa
penguasaan ilmu pengetahuan, sikap, kebiasaan, tindakan, atau
keterampilan tertentu.
Sudjana mengemukakan, “Hasil belajar adalah kemampuan-
kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman
belajarnya” (Sudjana, 2010:22). Kemudian dipertegas oleh Winkel,
beliau mengatakan: “hasil belajar adalah perubahan-perubahan dalam
pengetahuan, pemahaman keterampilan, dan nilai sikap yang bersifat
konstan/menetap” (Winkel, 1996:15). Oleh karenanya, hasil belajar
matematika dapat diartikan sebagai perwujudan dari proses
keberhasilan pembelajaran matematika yang dicerminkan dengan
perubahan tingkah laku dalam bentuk kognitif, afektif maupun
psikomotorik seseorang setelah mendapatkan pengalaman belajar
matematika atau secara singkat hasil belajar matematika merupakan
suatu indikator untuk mengukur keberhasilan siswa dalam proses
pembelajaran matematika.
19
2. Hakikat Pendidikan Karakter (Character Learning Education)
a. Karakter
Secara harfiah karakter menurut Hornby dan Parnwell (dalam
Hidayatullah, 2010:9) adalah kualitas mental atau moral, kekuatan
moral, nama atau reputasi. Disini dinyatakan bahwa kata karakter tak
lepas dari kata moral yang mana karakter lebih menekankan adanya
kualitas yang terdapat pada kekuatan moral itu sendiri. Sedangkan arti
moral adalah nilai-nilai atau norma-norma yang dijadikan pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya
(Bertens, 2007:7). Seseorang dapat dikatakan berkarakter apabila telah
berhasil menyerap nilai atau norma untuk mengatur tingkah lakunya
sebagai kekuatan moral dalam hidupnya.
Dikembangkan oleh Kemdiknas (dalam Sahlan dan Prasetyo,
2012:13) bahwa karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian
seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan
(virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara
pandang, berfikir, bersikap, dan bertindak. Berkarakter artinya
mempunyai watak, mempunyai kepribadian. Hal ini mengandung
makna bahwa karakter merupakan kebajikan yang ditanamkan melalui
internalisasi atau memasukan materi dan nilai-nilai yang memiliki
keterkaitan dalam membangun sistem berfikir dan berperilaku.
Berkaitan dengan kata membangun sistem berfikir, (Koesoema,
2007:3) mengatakan bahwa karakter merupakan kondisi dinamis
20
struktur antropologis individu yang tidak mau sekedar berhenti atas
determinasi kodratinya. Dari sini dapat terlihat bahwa adanya
pembangunan atau peningkatan dalam sistem berfikir yang mana
dijadikan sebuah usaha untuk menjadi semakin integral dalam
mengatasi determinasi alam di dirinya demi proses penyempurnaan
secara terus-menerus. Sama halnya dengan karakter yang dimiliki oleh
siswa. Siswa yang berkarakter akan berusaha memperkuat karakternya
apabila karakter itu sendiri diajarkan dengan mengenalkan,
memahamkan hingga mengajak siswa sehingga pada akhirnya mereka
mampu mempraktekan dan memaknainya sebagai sesuatu yang melekat
dan menjadi tindakan perenungan serta mengembangkanya menjadi
pusat keunggulan insani.
Watak atau karakter siswa terbangun ketika ada sebuah system
yang kuat dalam mengembangkan budaya sekolah atau school culture
(Kadarsih, 2012:48). Pernyataan Kadarsih diatas dimaksud bahwa
adanya budaya sekolah yang memiliki nilai unggul. Nilai unggul
sebuah sekolah terlihat dari upaya-upaya yang dilakukan oleh para
civitas sekolah (stakeholder) dalam mengembangkan potensi unik dari
para siswa dan potensi ini yang dikembangkan dalam pendidikan
karakter melalui budaya sekolah.
Selain budaya sekolah, karakter yang diajarkan kepada siswa akan
dapat bersinergi dengan baik apabila guru sebagai pendidik juga
berkarakter. Pendidik yang berkarakter memiliki kepribadian yang
21
ditinjau dari titik tolak etis atau moral, seperti sifat kejujuran, amanah,
keteladanan, ataupun sifat-sifat lain yang harus melekat pada diri
pendidik. Pendidik yang berkarakter kuat tidak hanya memiliki
kemampuan mengajar dalam arti sempit (hanya mentransfer
pengetahuan/ ilmu kepada siswa) melainkan ia juga memiliki
kemampuan mendidik dalam arti luas.
Tak ada bedanya dengan sifat sebagai organ pembentukan
karakter, sikap juga memegang peranan penting dalam hal ini. Ketika
siswa memiliki sifat yang baik, maka siswa tersebut secara
berkesinambungan akan membentuk sikap yang baik pula. Jika
dihubungkan dengan sikap sebagai pembentuk hasil belajar, maka sikap
menurut Gagne yang berkaitan dengan emosi merupakan salah satu
pembentukan karakter. Kecerdasan emosi yang telah kita bahas di atas
secara tidak langsung merupakan kesatuan dari karakter. Apabila
seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik, maka
seseorang tersebut dapat dikatakan berkarakter yang pada nantinya
kecerdasan emosional ini seharusnya akan berpengaruh positif terhadap
hasil belajar matematika.
b. Pendidikan
Pendidikan merupakan sarana yang menumbuh kembangkan
potensi-potensi kemanusiaan untuk bermasyarakat dan menjadi
manusia yang sempurna (Suardi, 2012:1). Manusia yang sempurna
adalah ketika manusia tersebut dapat dibedakan dari makhluk lainnya
22
yang mana manusia memiliki kemampuan menyadari diri, kemampuan
bereksitensi, pemilikan kata hati, moral, kemampuan bertanggung
jawab, rasa kebebasan, kesediaan melaksanakan kewajiban dan
menyadari hak, dan kemampuan menghayati kebahagiaan. Oleh karena
itu perlu adanya pendidikan agar semuanya itu dapat dikembangkan.
Pendidikan merupakan sebuah kegiatan manusia yang didalamnya
terdapat tindakan edukatif dan didaktis yang diperuntukan bagi generasi
yang sedang bertumbuh (Koesoema, 2007:3). Dalam kegiatan mendidik
ini, manusia menghayati adanya tujuan-tujuan pendidikan. Tujuan
pendidikan adalah seperangkat hasil pendidikan yang dicapai oleh
peserta didik setelah diselenggarakan kegiatan pendidikan (Suardi,
2012:6). Dalam konteks ini tujuan pendidikan merupakan komponen
dari sistem pendidikan yang menempati kedudukan dan fungsi sentral.
Itu sebabnya setiap tenaga pendidikan perlu memahami dengan baik
tujuan pendidikan.
Selain tujuan pendidikan, adapun fungsi pendidikan yang perlu kita
ketahui. Menurut UU RI No.20 Tahun 2003, pendidikan berfungsi
untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Berdasarkan fungsi pendidikan nasional diatas,
maka peran guru menjadi penentu keberhasilan misi pendidikan dan
pembelajaran di sekolah. Guru bertanggung jawab mengatur,
mengarahkan, dan menciptakan suasana kondusif yang mendorong
23
siswa melaksanakan kegiatan diatas. Pendidikan secara khusus
difungsikan untuk menumbuh-kembangkan segala potensi kodrat
(bawaan) yang ada dalam diri manusia.
Pendidikan menurut Charles E. Siberman (dalam Suardi, 2012:5)
tidak sama dengan pengajaran, karena pengajaran hanya menitik
beratkan pada usaha mengembangkan intelektualitas manusia. Dari sini
terlihat bahwa pendidikan mempunyai makna yang lebih luas dari
pengajaran, tetapi pengajaran merupakan sarana yang ampuh dalam
menyelenggarakan pendidikan.
Pendidikan dapat kita peroleh dari keluarga, sekolah, maupun di
lingkungan/masyarakat. Pendidikan yang kita peroleh dikeluarga
berlangsung sejak dalam kandungan sampai masuk sekolah. Pendidikan
yang diberikan orangtua hanya berkisar tentang perkembangan jasmani
dan rohani, pembiasaan dan pendidikan yang sederhana. Dan pada
tahap ini orangtua mempunyai peranan yang sangat penting dalam
perkembangan fisiknya. Selanjutnya Pendidikan di sekolah yang
merupakan kelanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Seperti yang
kita sering dengar bahwa guru disekolah merupakan orangtua kedua
siswa karena selama di sekolah guru lah yang sangat berperan dalam
perkembangan anak. Pendidikan terakhir adalah dari lingkungan.
Sekolah bagaimanapun majunya tidak mungkin mampu memberikan
semua tuntutan perkembangan manusia. Oleh sebab itu selain
24
pendidikan di sekolah dan di keluarga, diperlukan juga pendidikan di
masyarakat.
c. Pendidikan Karakter (Character Learning Education)
Mengingat akan peranan penting individu yang berkarakter, maka
perlu adanya tindak lanjut dengan adanya penerapan pendidikan
karakter di negera kita. Pendidikan karakter merupakan salah satu
elemen penting dalam mewujudkan pilar-pilar kebangkitan bangsa
(Sahlan dan Prastyo, 2012:30). Adapun fungsi dari pendidikan karakter
yang memang sepaham dengan fungsi pendidikan nasional,
sebagaimana dalam pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20
Tahun 2003, yaitu mengembangkan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Pengertian lainya menurut Ratna Megawani (dalam Wiyani,
2012:42) pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik
anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan
mempraktikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat
memberikan kotribusi positif terhadap masyarakat. Pendidikan karakter
menurt Ratna ini mematahkan statement bahwa pendidikan karakter
sama dengan mata pelajaran agama dan kewarganegaraan, pendidikan
karakter hanya menjadi tanggung jawab keluarga bukan sekolah, dan
lain sebagainya.
25
Sebelum melaksanakan pendidikan karakter, perlunya kita tahu
mengenai pilar-pilar yang terdapat didalamnya. Heritage Foundation
dalam Wiyani (2012:66) menyatakan bahwa terdapat sembilan pilar
pendidikan karakter antara lain: cinta kepada tuhan dan semesta beserta
isinya; tanggung jawab, disiplin, serta mandiri; jujur; hormat dan santu;
kasih sayang, peduli, dan kerjasama; percaya diri, kreatif, kerja keras
dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah
hati; toleransi, cinta damai, dan persatuan.
Untuk mencapai pertumbuhan integral dalam pendidikan karakter
perlu dipertimbangkan berbagai macam metode yang membantu
mencapai idealisme dan tujuan pendidikan karakter. Metode ini bisa
dijadikan unsur yang sangat penting bagi pendidikan karakter di
sekolah. Pendidikan yang mengakarkan dirinya pada konteks sekolah
akan mampu menjiwai dan mengarahkan sekolah pada penghayatan
pendidikan karakter yang realistis, konsisten, dan integral. Menurut
Wiyani (2012:73) terdapat lima unsur yang perlu dipertimbangkan yaitu
mengajarkan, keteladanan, menentukan prioritas,praksis prioritas, dan
refleksi. Dari kelima unsur tersebut digunakan beberapa metode. Masih
menurut Wiyani (2012:76) ada dua metode dasar untuk mencapai
tujuan pendidikan karakter yaitu: (1) Metode deduksi, dalam
pelaksanaan metode ini kepala sekolah dan guru harus memiliki
kepekaan terhadap perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni, memiliki dinamika yang tinggi, komitmen terhadap
26
masa depan, serta tidak bersikap seenaknya, (2) Metode induksi
konsultasi, dalam pelaksanaan metode ini kepala sekolah dan guru
harus bekerja secara maksimal dan teliti serta berkomitmen terhadap
proses dan hasil pelaksanaan pendidikan karakter.
Dari metode di atas diperlukan juga strategi yang tepat dalam
pelaksanaan pendidikan karakter. Dalam penerapan pendidikan karakter
di sekolah, komponen-komponen pendidikan (isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau
pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas
atau kegiatan ekstrakurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah)
semua harus ikut terlibat. Penerapan pendidikan di sekolah setidaknya
dapat ditempuh melalui empat alternatif strategi secara terpadu. Empat
alternatif strategi menurut Ali Mustadi (dalam Wiyani, 2012:78)
tersebut pertama, mengintegrasikan konten pendidikan karakter yang
telah di rumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran. Kedua,
mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kegiatan sehari-hari di
sekolah. Ketiga, mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam
kegiatan yang diprogramkan atau direncanakan. Keempat, membangun
komunikasi dan kerjasama antara sekolah dengan orangtua peserta
didik.
Dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, peran guru tak
lepas dari Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005,
27
disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dengan demikian, peran guru dalam pelaksanakan pendidikan karakter
di sekolah antara lain: (1) Keteladanan, kedeladanan yang diberikan
adalah teladan yang baik, baik itu masalah moral, etika atau akhlak,
dimanapun ia berada, (2) Inspirator, seorang guru akan menjadi sosok
inspirator jika ia mampu membangkitkan semangat untuk maju dengan
menggerakan segala potensi yang dimiliki guna meraih prestasi
spektakuler bagi dirinya dan masyarakat, (3) Motivator, motivator yang
dilakukan oleh guru baik disengaja ataupun tidak sehingga menjadikan
siswa semakin bersemangat dalam meraih cita-citanya, (4) Dinamisator,
artinya guru tidak hanya membangkitkan semangat tetapi juga menjadi
lokomotif yang benar-benar mendorong ke arah tujuan pendidikan
berkarakter, (5) Evaluator, guru harus mengevaluasi metode
pembelajaran yang selama ini dipakai dalam pendidikan karakter.
Dengan adanya peran guru yang sangat strategis, guru juga harus
memiliki komitmen dalam pelaksanaannya. Tanpa komitmen yang kuat,
suatu tujuan tidak akan tercapai secara optimal bahkan dapat menuai
kegagalan. Wujud komitmen dalam pelaksanaan pendidikan karakter di
sekolah menurut Hidayatullah (2010:58) adalah (1) melaksanakan
sosialisasi pendidikan karakter dan melakukan komitmen bersama
28
antara seluruh komponen warga sekolah, (2) Membuat komitmen
dengan semua stakeholders, (3) Melakukan analisis konteks terhadap
kondisi sekolah (internal dan eksternal) yang dikaitkan dengan nilai-
nilai karakter yang dikembangkan pada satuan pendidikan yang
bersangkutan. Analisis ini dilakukan untuk menetapkan nilai-nilai dan
indikator keberhasilan yang diprioritaskan, sumber daya, sarana yang
diperlukan, serta prosedur penilaian keberhasilan, (4)Menyusun rencana
aksi sekolah berkaitan dengan penetapan nilai-nilai pendidikan karakter,
(5) Membuat perencanaan dan program pelaksanaan pendidikan
karakter yang berisi pengintegrasian melalui pembelajaran, penyusunan
mata pelajaran muatan lokal, penjadwalan dan penambahan jam belajar
di sekolah, (6) Melakukan pengondisian, seperti penyediaan sarana,
keteladanan, penghargaan dan pemberdayaan, (7) Melakukan penilaian
keberhasilan dan supervisi. Adanya komitmen guru poin 5 (lima) yang
menerangkan pengintegrasian melalui mata pelajaran dapat kita lihat di
toko buku, adanya buku pendidikan karakter yang dijadikan sebagai
materi dalam mata pelajaran baru di Sekolah Dasar (SD) dan
pengaplikasian dalam bentuk tindakan di Rencana Proses Pembelajaran
(RPP) berkarakter. Pada RPP dewasa ini sedikit demi sedikit telah
diterapkan oleh guru sebagai pendidik.
Dewasa ini, kurikulum pendidikan karakter sedang digalakkan
seperti yang dilakukan oleh Totok Suprayitno sebagai Direktur
Pembinaan Sekolah Menengah Atas (SMA) Direktorat Jenderal
29
Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang
melakukan ujicoba Pendidikan Karakter di 25 SMA negeri dan swasta
di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi pada tanggal 13 - 18 Maret
2012 (Kompas.com:15/03/2012). Selain pemerintah yang bersinergi
terhadap kurikulum ini, nyatanya seluruh pihak juga harus ikut andil
sepeti yang dikatakan oleh Mahdiansyah (2011:48) bahwa
Pembangunan karakter bangsa jelas memerlukan komitmen dari
segenap pihak, dilakukan secara intensif, integratif, dan sinergis. Selain
butuhnya dukungan dari segenap pihak, pengembangan karakter juga
harus dilakukan secara terus menerus secara stabil. Selain pemerintah
yang terlihat memberikan dukungan, bentuk apresiasi masyarakat luas
ikut turut mendukung perubahan kurikulum ini. Kurikulum yang
menambahkan pembelajaran moral terkait dengan karakter membuat
Kementerian Pendidikan dan Budaya mendatangkan para pakar dan
tokoh seperti Franz Magnis Suseno, Prof Juwono Sudarsono, serta
lainnya untuk menyusun kurikulum pendidikan karakter yang sudah
direncanakan pada tahun 2010. Kurikulum ini diprediksi akan selesai
disusun pada Februari 2013 (Kompas.com:27/09/2012). Gambaran
kualifikasi yang diharapkan melekat pada setiap lulusan sekolah akan
tercemin dalam racikan kurikulum yang dirancang pengelola sekolah
yang berdangkutan. Kurikulum sendiri merupakan ruh sekaligus guide
dalam praktik pendidikan di lingkungan satuan sekolah (Wiyani,
30
2012:93). Kurikulum yang dirancang harus mencerminkan visi, misi,
dan tujuan sekolah yang berkomitmen terhadap pendidikan karakter.
Kurikulum yang dirancang oleh pemerintah tiap waktu mengalami
perubahan ke arah lebih baik mengikuti kemajuan zaman. Kurikulum
pendidikan karakter juga harus mengalami pengembangan yang mana
pengembangan itu disertai oleh langkah-langkah pembentunya.
Menurut Ali Muhtadi (dalam Wiyani, 2012:95) terdapat tujuh langkah
dalam pengembangan kurikulum pendidikan karakter yaitu: (1)
Mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan pendidikan karakter.
Ada kebiasaan-kebiasaan kecil yang dapat menghacurkan bangsa.
Kebiasaan mempermalukan diri sendiri seperti meremehkan waktu,
bangun kesiangan, dan lain-lain, kebiasaan memperlakukan lingkungan
seperti membuang sampah di sembarang tempat, kebiasaan yang
merugikan ekonomi seperti konsumtif, pamer, boros listrik, dan lain
sebagainya, kebiasaan dalam bersosial seperti demo upah gaji, tawuran,
suap-menyuap dan lain-lain, (2) Merumuskan visi, misi dan tujuan
sekolah. Statement visi mengisyaratkan tujuan puncak dari sebuah
intuisi dan untuk apa visi itu dicapai sedangkan misi merupakan hal-hal
yang digunakan untuk mencapai visi tersebut, (3) Merumuskan
indikator perilaku peserta didik. Indikator dirumuskan dalam bentuk
perilaku peserta didik di kelas dan kegiatan sekolah yang dapat diamati,
(4) Mengembangkan silabus dan rencana pembelajaran berbasis
pendidikan karakter. Silabus yaitu garis besar, ringkasan, ikhtisar atau
31
garis-garis besar program pembelajaran dan RPP merupakan pegangan
bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran baik di kelas,
laboratorium, dan/ atau lapangan untuk setiap kompetensi dasar, (5)
Mengintegrasikan konten kurikulum pendidikan karakter ke seluruh
mata pelajaran, (6) Mengembangkan instrumen penilaian pendidikan
untuk mengukur ketercapaian program pendidikan karakter, (7)
Membangun komunikasi dan kerjasama sekolah dengan orang tua
peserta didik.
B. Kerangka Berfikir
Krisis moral yang terjadi di negara kita ini sudah menjadi makanan
publik sehari-hari. Berbagai macam pertanyaan dilontarkan karena kemirisan
kita melihat bangsa yang semakin tidak terkontrol. Berkaitan dengan moral,
kata karakter melekat didalamnya. Karakter yang merupakan penyerapan nilai
atau norma untuk mengatur tingkah laku sebagai kekuatan moral dalam
hidupnya.
Karakter sendiri dibentuk dari beberapa aspek salah satunya sikap. Sikap
yang lebih cenderung berkaitan dengan emosi membutuhkan kecerdasan
dalam pengelolaanya. Kecerdasan emosional diperlukan dalam belajar yang
kemudian memiliki peran yang strategis dalam peningkatan hasil belajar.
Kecerdasan emosional yang berkaitan dengan karakter tidak begitu saja
dengan mudah didapat. Butuh adanya pendidikan yang dapat bersinergi
terhadap pembentukanya. Pendidikan yang tidak menilai dari aspek kognitif
melainkan melalui aspek afektif serta psikomotorik. Pendidikan yang
32
mencakup ketiga aspek tersebut adalah pendidikan karakter. Pendidikan
karakter bukan hanya dapat dilakukan di keluarga maupun masyarakat
melainkan pendidikan ini dapat di terapkan di sekolah sebagai rumah kedua
untuk siswa.
Keberadaan kurikulum pendidikan karakter merupakan bentuk apresiasi
dari pemerintah yang turut mendukung untuk memperbaiki moral bangsa kita.
Setelah adanya peneliti sebelumnya mengenai pelaksanaan pendidikan
karakter mulai dari adanya penerapan langsung menginternalisasi ke mata
pelajaran, silabus dan RPP berkarakter, metode yang dapat digunakan,
strategi pelaksanaan yang tentunya itu semua merupakan disain yang dibuat
untuk melaksanakan kurikulum pendidikan karakter ini. Oleh karena itu,
penulis menduga bahwa adanya pengaruh character learning education
terhadap hasil belajar matematika.
C. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berfikir diatas, maka hipotesis
penelitian ini dapat dirumuskan yaitu terdapat pengaruh positif character
learning education terhadap hasil belajar matematika.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Tempat penelitian ini akan dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama
(SMP) Negeri 107 Jakarta kelas VIII yang dipimpin oleh Ibu Dra. Ida
Farida, M.Pd sebagai Kepala Sekolah.
2. Waktu Penelitian
Kegiatan ini akan dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran
2013/2014 selama 6 (enam) bulan yaitu dari bulan Januari 2012 sampai
dengan bulan Juni 2012 dengan pembagian waktu sebagai berikut:
Tabel 3.1.
Jadual Kegiatan Penelitian
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pengajuan masalah dan judul
Menentukan lokasi dan sampel
Studi pendahuluan
Penyusunan instrumen
Pengujian Instrumen
Pengumpulan dan pengelompokan data
Membuat laporan hasil penelitian
Sidang Skripsi
April Mei JuniBulan
Kegiatan Januari Februari Maret
33
34
B. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2008:2). Dari Pernyataan
diatas, dikemukakan terdapat empat kata kunci yang harus diperhatikan
yaitu: cara ilmiah, data, tujuan dan kegunaan. Dapat disimpulkan bahwa
dalam sebuah penelitian, untuk mendapatkan suatu keberhasilan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka penulis perlu
menggunakan metode yang dianggap sesuai dengan tujuan penelitian.
Dalam penelitian ini penulis memilih metode eksperimen kuasi
atau disebut juga dengan metode eksperimen semu. Eksperimen sendiri
adalah observasi dibawah kondisi buatan (artificial condition) dimana
kondisi tersebut dibuat dan diatur oleh si peneliti (Nazir, 2009:63). Dalam
eksperimen ini masih adanya perlakuan dari lingkungan yang turut
berkecimpung. Disini peneliti akan terjun langsung ke dalam penelitianya
selama batas waktu yang ditentukan.
Sedangkan metode eksperimen kuasi adalah metode penelitian
yang mendekati percobaan sungguhan dimana tidak mungkin mengadakan
kontrol/ memanipulasikan semua variabel yang relevan (Nazir, 2009:73).
Sama hal nya dengan metode eksperimen murni hanya saja karena
berbagai hal terutama berkenaan dengan pengontrolan variabel
kemungkinan sukar sekali dapat digunakan metode eksperimen murni atau
35
sungguhan. Dan biasanya metode eksperimen murni hanya digunakan oleh
peneliti dibidang SAINS dimana tidak adanya perlakuan dari lingkungan.
2. Desain Penelitian
Berdasarkan pada metode eksperimen digunakan dalam penelitian
ini, maka desain eksperimen yang digunakan adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2.
Desain Penelitian
Kelompok Symbol Perlakuan Tes
Eksperimen Re X1 O
Kontrol Rc X2 O
Keterangan:
R : Simbol Penelitian kelas eksperimen dan kelas kontrol dua
kelompok yang ekuivalen
X1 : “Perlakuan kelas eksperimen” yaitu pemberian character
learning education
X2 : “Perlakuan kelas kontrol” yaitu pemberian metode konvensional
Dalam desain ini, hasil belajar yang merupakan data dari penelitian
itu dikelompokan menjadi hasil belajar kelas eksperimen dan hasil belajar
kelas kontrol. Manipulasi variabel dalam penelitian ini dilakukan pada
variabel bebas yaitu pembelajaran matematika dengan pemberian
36
character learning education pada kelas eksperimen dan metode
pembelajaran konvensional pada kelas kontrol.
Sebelum diberi perlakuan, terlebih dahulu akan dilihat kemampuan
awal dari sampel penelitian yang akan dikenai perlakuan, baik dari
kelompok eksperimen maupun control. Pada kelompok eksperimen
diberikan perlakuan khusus yaitu pada pembelajaran matematika dengan
pemberian character learning education, sedangkan pada kelompok
kontrol diberikan pembelajaran matematika dengan menggunakan metode
konvensional.
Pada akhir eksperimen kedua kelompok tersebut diukur dengan
menggunakan alat ukur yang sama, yaitu tes hasil belajar matematika.
Hasil pengukuran tersebut diukur kemudian dibandingkan dengan tabel
statistik yang digunakan.
C. Populasi dan Sample
1. Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto,
2010:173). Berdasarkan pada pengertian di atas, maka yang menjadi
Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 107 Jakarta
Tahun ajaran 2013/2014.
2. Sampel Penelitian
a. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi (Sugiyono, 2008:81). Dalam penelitian ini diambil
37
sampel siswa kelas VIII-1 dan VIII-2 dengan peringkat 11-20 SMP
Negeri 107 Jakarta dengan jumlah siswa 20 orang.
b. Teknik Sampling
Setelah sampel diketahui, maka langkah selanjutnya adalah pemilihan
teknik sampling. Teknik sampling merupakan teknik untuk
pengambilan sampel. Teknik Sampling yang digunakan pada penelitian
ini adalah Teknik Sampling Purposive yang mana teknik ini digunakan
dengan memilih sampel sesuai dengan kebutuhan seperti yang
dikemukakan oleh Sugiyono (2008:81) bahwa teknik sampling
purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan
tertentu. Contohnya saja dalam penelitian ini, sampel yang diambil
hanya kelas VIII yang memiliki peringkat 11-20 karena tingkat
kecerdasannya menengah. Apabila diberikan perlakuan character
learning education akan mempermudah peneliti melakukan penelitian
dan memberikan kesimpulan. Lain halnya dengan siswa yang memiliki
peringkat atas yang mana memang pada dasarnya siswa tersebut sudah
rajin. Apapun perlakuan yang diberikan akan tetap rajin dikarenakan
karakter yang sudah menempel di diri siswa. Sama halnya dengan
siswa yang memiliki peringkat bawah.
D. Metode Pengumpulan Data
1. Variabel Penelitian
Secara teoritis menurut Hatch dan Farhady (dalam Sugiyono,
2008:38) variabel dapat didefinisikan sebagai atribut seseorang atau obyek
38
yang mempunyai “variasi” antara yang satu dengan yang lain atau satu
obyek dengan obyek yang lain. Jadi, dinamakan variabel karena ada
variasinya. Misalnya berat badan sekelompok orang itu bervariasi antara
satu orang dengan yang lain dan lain sebagainya.
Oleh karena itu Sugiyono (2008:38) mengatakan bahwa variabel
penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal
tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Dari berbagai macam variasi
yang ada, maka akan ditentukan salah satu yang kemudian akan diteliti
untuk lebih concern terhadap informasi yang didapatkan yang kemudian
ditarik kesimpulan dari hasil penelitianya.
a. Variabel Independen atau Variabel Bebas (X)
Menurut Sugiyono (2008:39) Variabel bebas adalah variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya
variabel dependen (variabel terikat). Variabel bebas pada penelitian ini
adalah character learning education.
b. Variabel Dependen atau Variabel Terikat (Y)
Masih menurut Sugiyono (2008:39) Variabel terikat adalah
variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya
variabel independen (variabel bebas). Variabel terikat pada penelitian
ini adalah hasil belajar.
39
2. Sumber Data
Arikunto (2010:172) mengemukakan bahwa : sumber data adalah
subjek darimana data dapat diperoleh. Berdasarkan pengertian di atas,
maka yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah siswa
Sekolah Menengah Pertama Negeri 107 Jakarta kelas VIII-1 dan VIII-
2 peringkat 11-20.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar
untuk memperoleh data yang diperlukan (Nazir, 2009:174). Teknik
pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam
penelitian karena tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan data.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini,
sebagai berikut :
a. Studi Dokumentasi
Studi ini digunakan untuk memperoleh informasi atau data yang
ada kaitannya dengan masalah penelitian. Dengan studi dokumentasi
diharapkan dapat mengetahui prestasi akademik siswa yaitu melalui
nilai yang diperoleh dari buku raportnya.
b. Studi Literatur
Studi ini digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai teori
atau pendekatan yang erat hubungannya dengan permasalahan yang
sedang diteliti.
40
c. Tes
Tes sebagai alat penilaian adalah pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan kepada siswa untuk mendapatkan jawaban dari siswa dalam
bentuk lisan, tulisan, maupun perbuatan (Sudjana, 2010:35). Adapun tes
yang digunakan dalam teknik pengumpulan data pada penelitian ini
adalah :
Tes awal (pretest) adalah tes yang dilaksanakan sebelum
kegiatan belajar mengajar dengan suatu perlakuan yang
diberikan. Tes ini digunakan untuk mengetahui tingkat
pengetahuan awal siswa sebelum pengajaran berkarakter diberikan.
Tes akhir (posttest) adalah tes yang dilakukan setelah proses belajar
mengajar selesai, tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana
peningkatan siswa terhadap pengajaran berkarakter yang telah
diberikan.
E. Instrumen Penelitian
1. Definisi Konseptual
Hasil belajar merupakan tingkat penguasaan siswa setelah belajar
dengan memasukan character learning education dalam pembelajaran,
sehingga siswa dapat meningkatkan kecerdasan emosionalnya yang
kemudian akan berdampak terhadap prestasi kognitif, afektif serta
psikomotorik siswa itu sendiri.
41
2. Definisi Operasional
Hasil belajar adalah skor tentang kemampuan pelajaran yang
diperoleh siswa dari hasil tes belajar berbentuk pilihan ganda sebanyak 20
soal kognitif serta 5 soal dalam bentuk pertanyaan yang berkaitan dengan
afektif. Sedangkan untuk Hasil belajar secara afektif dan psikomotorik
didapat melalui pengamatan langsung dengan diterapkanya Silabus dan
RPP Berkarakter oleh peneliti dibantu guru bidang studi kelas VIII-1 dan
VIII-2 SMP Negeri 107 Jakarta.
3. Kisi-Kisi Instrumen
Instrumen variabel hasil belajar disusun berdasarkan tes hasil
belajar dalam bentuk soal pilihan ganda yang didasarkan atas materi yang
telah disampaikan oleh peneliti dibantu dengan guru bidang studi kelas
VIII-1 dan VIII-2 SMP Negeri 107 Jakarta.
4. Pengujian Instrumen
a. Pengujian validitas keshahihan atau validitas butir soal.
Pada penelitian ini, perhitungan validitas butir soal menggunakan
Product Moment Pearson angka kasar, kemudian dilanjutkan dengan
rumus Spearman Brown, dengan rumus:
Keterangan:
N : Jumlah sampel responden
X : Nilai ulangan harian 1
Y : Nilai uji coba yang dapat dijumlah tiap item genap dan ganjil
42
X2 : Jumlah Kuadrat nilai ulangan harian 1
Y2 : Jumlah kuadrat nilai uji coba
XY : Jumlah perkalian antara X dan Y
Validitas butir soal untuk tes hasil belajar matematika yang
berbentuk pilihan ganda diisi dengan menggunakan rumus korelasi
biserial, yaitu sebagai berikut:
Dimana:
rbis : Koefisien korelasi biserial antara skor butir soal nomor i dengan
skor total
Xi : Rata-rata skor total responden yang menjawab benar butir soal
nomor i
Xt : Rata-rata skor total semua responden
St : Standart deviasi skor total semua responden
Pi : Proporsi jawaban benar untuk butir soal nomor i
Qi : Proporsi jawaban salah untuk butir soal i
Untuk menentukan soal valid/ tidak, selanjutnya koefisien rbis
(rhitung) di interpretasikan dengan kriteria:
Jika nilai rhitung ≥ rtabel berarti valid
rhitung ≤ rtabel berarti tidak valid
43
b. Pengujian reliabilitas
Suatu tes dikatakan reliabel atau ajeg apabila beberapa kali
pengujian menunjukan hasil yang relatif sama (Sudjana, 2010:148).
Untuk menguji keterhandalan (reliabilitas) perangkat soal untuk pilihan
ganda diuji dengan menggunakan Product Moment Person dengan
teknik belah dua (genap-ganjil), dengan rumus:
Keterangan:
N : Jumlah sampel (responden)
X : Jumlah skor tiap item ganjil
Y : Jumlah skor tiap item genap
X2 : Jumlah Kuadrat dari tiap item ganjil
Y2 : Jumlah Kuadrat dari tiap item genap
c. Pengujian taraf kesukaran
Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui soal-soal yang
mudah, sedang, dan sukar. Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu
mudah dan tidak terlalu sukar (Arikunto, 2010:230).
Cara mengetahui tingkat kesukaran soal dengan menggunakan rumus:
Keterangan:
P : Indeks kesukaran
B : Banyaknya siswa yang menjawab butir soal dengan benar
JS : Jumlah seluruh siswa peserta test
Menentukan indeks kesukaran soal sebagai berikut:
44
P : 0,00 - 0,30 adalah soal sukar
P : 0,31 - 0,70 adalah soal sedang
P : 0,71 - 1,00 adalah soal mudah
d. Daya Pembeda Soal
Daya pembeda soal bertujuan untuk mengetahui kesanggupan soal
dalam membedakan siswa yang tergolong kurang atau lemah
prestasinya. Adapun rumus yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
DP = Indeks daya pembeda butir soal
BA = Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal benar
BB = Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal benar
JA = Banyaknya peserta kelompok atas
JB = Banyaknya peserta kelompok bawah
PA = Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar
PB = Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar
Untuk menentukan kelompok atas dan kelompok bawah, maka
siswa diperingkat berdasarkan total skor yang diperoleh kemudian
diambil 27% kelompok atas (peringkat atas) dan 27% kelompok bawah
(peringkat bawah).
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan inti menulisan proposal dikarenakan
bagian ini akan membuktikan kebenaran hasil dari hipotesis seperti yang
dikemukakan oleh Sugiyono (2008:243) bahwa Teknik analisis data pada
45
penelitian kuantitatif diarahkan untuk menjawab rumusan masalah atau
menguji hipotesis yang telah dirumuskan dalam proposal. Karena datanya
kuantitatif, maka teknik analisis data menggunakan metode statistik yang
sudah tersedia.
1. Teknik Analisis Deskriptif
Teknik Analisis Deskriptif merupakan teknik analisis data yang
dapat dinyatakan dengan angka (kuatitatif). Adapun langkah-langkahnya
adalah sebagai berikut:
a. Menentukan rentang, ialah data terbesai dikurangi data terkecil;
b. Menentukan banyak kelas interval yang diperlukan. Banyak kelas
cukup bagus dengan menggunakan aturan Struges, yaitu:
Banyak kelas = 1 + (3,3) log n
c. Menentukan panjang kelas interval;
d. Menentukan tabel distribusi frekuensi skor;
e. Menghitung rata-rata (mean);
Keterangan:
= frekuensi
= nilai tengah
f. Menentukan nilai tengah data/ median (Me);
46
Keterangan:
b = batas bawah kelas median, ialah kelas median terletak
n = jumlah data
f = frekuensi kelas median
F = frekuensi komulatif sebelum kelas median
P = panjang jelas median
g. Menentukan modus (Mo);
Keterangan:
P = panjang jelas median
b = batas bawah kelas modus, ialah kelas modus terletak
d1 = selisih frekuensi kelas modus dengan frekuensi kelas modus
sebelumnya.
d2 = selisih frekuensi kelas modus dengan frekuensi kelas modus
sesudahnya.
h. Mencari simpangan baku (S);
i. Membuat histogram.
2. Teknik Analisis Persyaratan Data
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sampel yang
sedang diteliti berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau
47
bukan. Sedangkan pengujian normalitas yang dilakukan dengan
menggunakan uji x2 (chi kuadrat). Adapun langkah-langkahnya sebagai
berikut:
1) Sajikan data dalam bentuk tabel distribusi frekuensi;
2) Menentukan rata-rata ( );
3) Menentukan simpangan baku (S);
4) Menentujan batas kelas interval;
5) Mencari Zscore dengan rumus;
6) Mencari luas O - Z dari tabel kurva normal dari O - Z dengan
menggunakan angka-angka untuk batas kelas lalu mencari luas tiap
kelasnya;
7) Mencari frekuensi yang diharapkan (Fe) dengan cara mengalihkan
luas tiap interval dengan jumlah responden;
8) Menghitung chi-kuadrat (x2 hitung);
Keterangan:
fe = frekuensi yang diharapkan
fo = frekuensi yang diperoleh
9) Membandingkan x2 hitung dangan x
2 tabel.
x2 hitung ≤ x
2 tabel maka distribusi data normal
x2 hitung ≥ x
2 tabel maka distribusi data tidak normal
48
b. Uji Homogenitas
Untuk pengujian homogenitas pada penelitian ini digunakan
hipotesis sebagai berikut:
Ho :
H1 :
Dimana adalah varian dari sampel pertama dan adalah varian
sampel kedua. Hipotesis tersebut diuji dengan menggunakan rumus
Fisher yaitu sebagai berikut:
Dimana:
S12 = Varian terbesar
S22 = Varian terkecil
Kriteria Pengujian:
Terima Ho Jika FHitung < FTabel
Tolak Ho Jika FHitung > FTabel
3. Pengujian Hipotesis
Setelah diketahui bahwa data tersebut berdistribusi normal dan
homogen, maka dilakukan uji lanjut sesuai dengan hipotesis yaitu:
a. Hipotesis statistik
Ho :
H1 :
49
Keterangan:
: Rata-rata hasil belajar matematika pada saat pre test
: Rata-rata hasil belajar matematika pada saat post test
b. Analisa data
Pengujian hipotesis penelitian dengan rumus hipotesis statistik
diatas dengan derajat kebebasan V=Na + Nb - 2 dengan taraf α
menggunakan uji perbedaan 2 rata-rata dengan uji t (t-test) yang
rumusnya sebagai berikut:
Dimana:
= Rata-rata hasil belajar matematika pada saat pre test
= Rata-rata hasil belajar matematika pada saat post test
SA = Simpangan baku siswa pada saat pre test
SB = Simpangan baku siswa pada saat post test
N = Jumlah siswa
t = Hasil hitung t/ perbedaan antara pre test dan post test
Adapun kriterianya adalah jika harga mutlak thitung > ttabel pada taraf
α, maka tidak ada yang berarti. Sedangkan jika harga mutlak thitung <
ttabel pada taraf α, maka ada perbedaan yang berarti.
50
G. Hipotesis Statistik
Ho:
H1 :
Dimana:
: Rata-rata hasil belajar matematika pada saat pre test.
: Rata-rata hasil belajar matematika pada saat post test.
Ho: Hasil belajar matematika yang diajarkan menggunakan character
learning education sama dengan yang konvensional.
H1 : Hasil belajar matematika yang diajarkan menggunakan character
learning education lebih baik dari yang dengan konvensional.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qarni, Aidh.2012.La Tahzan:For Smart Teachers. Yogyakarta: Lafal Indonesia.
Arikunto, Suharsimi.2010.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Cetakan Keempatbelas.Jakarta:Rineka Cipta. Aunurrahman.2010. Belajar dan Pemberlajaran. Cetakan Keempat.
Bandung:Alfabeta Bell, Frederick H. (1981). Teaching and Learning Mathematics (In
Secondary School). Iowa: Brown Company Publishers Bertens, K.2007.Etika.Cetakan Kesepuluh.Jakarta:Gramedia Pustaka. Budiningsih, C.Asri.2005.Belajar dan Pembelajaran.Jakarta:Rineka Cipta Budiono. (2009). Panduan Pengembangan Materi Pembelajaran. Tersedia
di http://www.scribd.com/doc/21684083/Pengemb-Materi-Pembelaj Budiono- SMANEJA-Blitar. Diakses pada tanggal 11 Februari 2013
Dimyati.2009.Belajar dan Pembelajaran.Jakarta:Rineka Cipta. E.T. Ruseffendi.1990.Pengajaran Matematika Modern.Bandung:Tarsito Erman Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Hamzah, Mustadi, dan Junaedi.2007.Pendidikan Sejarah Perjuangan PGRI
(PSP - PGRI). Jakarta:Universitas Indraprasta PGRI. Hidayatullah, M Furqon.2010.Guru Sejati:Membangun Insan Berkarakter
Kuat dan Cerdas.Cetakan Ketiga.Surakarta:Yuma Pustaka. J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain.1996.Kamus Umum Bahasa
Indonesia.Jakarta:Pustaka Sinar Harapan. Jujun S. Suriasumantri.1993.Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar
Populer).Jakarta:Pustaka Sinar Harapan. Kadarsih, Liani.2012.Power Full in Education: Jurus-Jurus Dasyat Menjadi
Guru Super. Yogyakarta:Araska.
iv
iv
Koesoema, Doni.2007.Pendidikan Karakter:Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta:Grasindo.
Mahdiansyah.2011.Pendidikan Membangun Karakter Bangsa.Jakarta:Bestari. Nazir, Moh.2009.Metode Penelitian.Cetakan Ketujuh.Bogor:Ghalia Indonesia. Nugroho.1990.Ensiklopedi Nasional Indonesia.Jilid 10.Jakarta:PT. Cipta Adi
Pustaka Orlich, C. Donald, et al. 2007. Teaching Strategies : A Guide to Effective
Instruction. USA: Houghton Mifflin Company S. Nasution. (2005). Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar.
Jakarta: Bumi Aksara Sahlan, Asmaun, dan Prastyo, Angga Teguh.2012.Desain Pembelajaran
Berbasis Pendidikan Karakter. Yogyakarta:Ar-Ruzz Media. Suardi.2012.Pengantar Pendidikan (Teori dan Aplikasi).Jakarta:Indeks. Sudjana, Nana.2010.Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.Cetakan
Kelimabelas.Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sugiyono.2008.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.Cetakan
Keempat.Bandung: Alfabeta. Tim Penyusun. (2006). Pedoman Model Penilaian Kelas KTSP TK-SD-
SMP- SMA-SMK-MI-MTs-MA-MAK. Jakarta: BP. Cipta Jaya Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. W.S. Winkel.1996.Psikologi Pendidikan dan Evaluasi
Pendidikan.Jakarta:Gramedia. Wiyani, Novan Ardy.2012.Manajemen Pendidikan Karakter.Yogyakarta:
Pedagogia. http://edukasi.kompas.com/read/2012/03/15/07253564/Uji.Coba.Pendidikan.Ka
rakter.di.25.Sekolah pukul 15.18 tanggal 5/10/2012 http://edukasi.kompas.com/read/2012/09/27/22554991/Kurikulum.Baru.Pangka
s.Jumlah.Mata.Pelajaran pukul 10.53 tgl 28/9/2012