PENGAMATAN GUNUNGAPI

download PENGAMATAN GUNUNGAPI

of 10

description

PENGAMATAN GUNUNGAPI

Transcript of PENGAMATAN GUNUNGAPI

  • PENGAMATAN GUNUNGAPI

    Ragkuman

    Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Vulkanologi

    Oleh

    ANGGI PISKO

    NPM. 270110120092 ( GEOLOGI D )

    FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI

    UNIVERSITAS PADJADJARAN

    JATINANGOR

    2014

    TUGAS KE - 10

    RABU, 14 MEI 2014

  • BAB I

    HASIL BACAAN

    Indonesia merupakan negara dengan 129 Gunung api aktif, pengamatan gunung api merupakan pekerjaan yang mutlak dilakukan dalam upaya pengurangan risiko bencana gunung api. Syukur Alhamdulillah, pemerintah kita melalui Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sudah membangun pos pengamatan di beberapa gunung api aktif yang ada di seluruh Indonesia. Petugas di pos pengamatan bertugas untuk mengamati aktifitas gunung api secara visual dan berdasarkan data pengukuran (seismisitas, thermal, deformasi, densitas batuan, gas, dll).. Pada gambar bisa dilihat beberapa jenis pengamatan gunung api. Semua pengamatan ini perlu dilakukan karena ketika gunung api berhajat untuk erupsi maka akan ada perubahan yang drastis terhadap semua komponen yang diamati. Karena perubahan tersebut mengindikasi gunung api akan meletus maka pengamatan tersebut mutlak dilakukan di setiap gunung api yang ada di Indonesia.

    Berikut ini penjelasan setiap pengamatan yang harus dilakukan;

    Pengamatan Seismisitas

    Pengamatan seismisitas gunung api pertama sekali diperkenalkan pada akhir tahun 1970-an melalui publikasi Aki et.al pada tahun 1977. Ketika sebuah gunung api akan meletus maka akan ada aktifitas seismisitas berupa tremor/getaran-getaran kecil/gempa vulkanik yang biasanya dirasakan oleh masyarakat yang dekat dengan gunung api. Aktifitas seismisitas ini meningkat karena peningkatan aktifitas dan

    tekanan di dapur magma. Peningkatan ini menyebabkan terjadinya rekahan-rekahan yang menjadi sumber gempa vulkanik.

    Sebelum pengamatan seismisitas ini bisa dilakukan, hal pertama yang harus dilakukan adalah pemasangan seismometer di sekitar gunung api yang akan diamati. Untuk pengamatan lebih akurat, harus dipasang lebih dari satu seismometer di setiap gunung api. Di Indonesia, dari 129 gunung api aktif saat ini sudah dilakukan pengamatan sebanyak 69 gunung api sisanya mudah-mudahan bisa disegera dilakukan pengamatan (PVMBG). Pengamatan seismisitas akan menyelamatkan banyak jiwa seperti ketika gunung api Pinatubo di Philipina erupsi pada tahun 1991.

  • Pengamatan Gas dan Thermal

    Selain peningkatan seismisitas, peningkatan gas dan thermal (suhu) juga terjadi apabila sebuah gunung api akan erupsi. Beberapa gas keluar ketika gunung api mau dan sedang erupsi antara lain; Karbonmonoksida (CO), Karbondioksida (CO2), Hidrogen Sulfide

    (H2S), Sulfurdioksida (S02), dan Nitrogen (NO2). Peningkatan suhu juga bisa teramati dari mulai mengeringnya sungai dan danau serta perpohonan yang mulai mati di sekitar gunung api.

    Pengukuran untuk gas dan thermal bisa dilakukan secara langsung, namun pengukuran secara langsung sangat berisiko bagi pengukur. Solusi lain adalah dengan cara memasang alat pengukuran gas dan thermal di lapangan fumaroel dan datanya terekam secara terus-menerus dan bisa dikirim secara automatis ke pusat pengamatan. Untuk saat ini pengukuran kandungan gas juga sudah bisa dilakukan melalui pesawat terbang seperti gambar (USGS) disamping tulisan ini.

    Pengamatan Deformasi

    Ketika gunung api akan meletus (erupsi) akan terjadi peningkatan tekanan di dapur magma. Peningkatan tekanan di dalam dapur magma ini akan

    menyebabkan deformasi (naik dan turun) permukaan gunung api. Deformasi ini bisa diamati menggunakan GPS, Tiltmeter, dan beberapa peralatan lainnya.

    Pengamatan deformasi ini akan memberikan informasi apakah gunung api sedang

    mengembang (mau2 meletus) atau sedang tidak mengembang (tidur). Saat ini, beberapa gunung api di kepulauan Jawa dan Bali sudah dilakukan pengamatan deformasi menggunakan GPS Geodetik L1 & L2.

    Pengamatan deformasi (perubahan horizontal dan vertikal) terhadap gunung api dilakukan secara berkala. Gunung api yang diamati yaitu Gunung api Guntur, Papandayan, Galunggung, Kelud, Bromo, Semeru, Ijen, Batur dan lain-lain. Untuk Gunung api yang berada di kawasan pulau Sumatra banyak yang belum teramati deformasinya. Pada gambar 2 ditunjukkan beberapa titik pengamatan deformasi gunung api Guntur. Penjelasan detail tentang deformasi ini akan saya jelaskan pada tulisan saya berikutnya.

  • Pengamatan Gravity dan Geomagnet

    Pengamatan berat jenis (graviti) merupakan salah satu pengamatan menggunakan metode geofisika. Ketika gunung api mau meletus maka akan terjadi perubahan densitas (berat jenis) di bawah permukaan karena adanya magma yang menuju ke permukaan tanah. Untuk mengetahui perubahan magma bawah permukaan ini perlu dilakukan pengukuran metode graviti secara berkala pada sebuah gunung api. Permodelan hasil pengukuran graviti akan bisa memprediksi volume dapur magma suatu gunung api.

    Pengamatan Geomagnet dilakukan untuk mengamati nilai intensitas magnet di atas gunung api, apabila magma mulai naik ke atas permukaan maka nilai intensitas magnet di atas gunung api akan rendah karena pengaruh panas magma. Magma yang naik ke atas permukaan akan memiliki nilai susceptibilitas yang rendah dibandingkan dengan batuanvulkanik pembentuk gunung api. Hasil akhir dari pengukuran Geomagnet juga untuk memodelkan volume daripada dapur magma.

    Pengamatan Remote Sensing

    Salah satu tujuan utama penginderaan jauh dalam bidang pemetaan adalah untuk mengetahui atau mendapatkan gambar suatu obyek tanpa harus mendatangi obyek tersebut secara langsung. Metode ini terkait dengan sensor yang bisa mengamati suatu obyek, yang analoginya adalah kamera foto. Jika kamera atau sensor ini terletak di pesawat udara, maka hasilnya adalah foto udara; jika terletak di satelit atau pesawat luar angkasa, maka hasilnya adalah citra satelit. Sensor merekam semua pantulan radiasi yang dipancarkan oleh obyek di permukaan bumi. Radiasi yang umum adalah dari pantulan sinar matahari (gelombang cahaya) yang direkam oleh sensor dan diterjemahkan dalam warna yang berbeda tergantung panjang gelombangnya. Metode ini dikelompokkan menjadi penginderaan jauh pasif, karena sensor hanya menerima pantulan panjang gelombang cahaya. Kelemahannya adalah sangat tergantung kepada sinar matahari, artinya tidak berfungsi di malam hari, dan tidak dapat menembus awan.

    Aplikasi remote sensing bisa digunakan dalam pemetaan topografi, pembuatan model permukaan (digital elevation model), pemetaan arus laut, pekerjaan hidrologi, aktivitas terkait dengan seismik, kegiatan terkait dengan deformasi permukaan (penurunan atau kenaikan permukaan tanah), gunung api, perubahan daerah pesisir serta aplikasi kehutanan.

    Pos PGA ( Pos Pengamatan Gunung Api )

    Pos Pengamatan Gunung Api (Pos PGA) dibangun oleh pemerintah sebagai sarana untuk mengamati aktivitas gunung api, baik secara visual maupun instrumentatif. Pengamatan secara visual dilakukan dengan mengamati semua aktivitas gunung api menggunakan mata telanjang dibantu teropong antara lain, warna dan tekanan gas asap kawah, suhu di lapangan solfatara atau fumarola (kawah), dan semua perubahan yang tampak di permukaan yang ada di sekitar kawah.

    Sedangkan secara instrumentatif adalah pengamatan aktivitas gunung api dengan peralatan bantu berupa seismograf, alat ukur deformasi, dan peralatan lainnya. Secara operasional Pos PGA berada di bawah kendali Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, KESDM. Setiap Pos PGA dilayani oleh 2 hingga 3 orang pengamat

  • gunung api. Mereka bertugas sebagai operator peralatan, di samping melakukan pengamatan secara rutin di kawah (puncak) guna pengukuran suhu lapangan solfatara/fumarola, juga mengamati gejala lainnya. Oleh karena itu informasi awal tentang aktivitas suatu gunung api berasal dari para pengamat Pos PGA ini.

    Pada umumnya setiap gunung api diamati oleh satu pos pengamatan. Gunung api yang mempunyai aktivitas yang sangat tinggi, misalnya Merapi dan Semeru, diamati oleh lebih dari satu Pos PGA.

    Setiap gunung api mempunyai data dasar (database) hasil pengamatan yang dilakukan sebagai sumber informasi yang diperlukan untuk menentukan adanya perubahan tingkat aktivitas gunung api tersebut. Acuan penentuan perubahan itu adalah informasi dari hasil pemantauan para pengamat gunung api yang bekerja di Pos Pengamatan Gunung Api. Itulah sebabnya mereka disebut sebagai the front liner.

    Ada 4 tingkat status aktivitas gunung api berdasarkan hasil pemantauan, yaitu,

    1. Aktif Normal. Secara definitive aktivitas gunung api dalam fase normal, baik secara visual maupun instrumentatif. Misalnya, data dasar aktif normal Gunung Merapi antara lain asap kawah putih tipis bertekanan gas lemah. Gempa vulkanik tipe A terekam 12 kejadian setiap minggu, gempa fase-banyak terekam

  • 7. Memberikan sosialisasi secara berkala kepada masyarakat yang bermukim di sekitar gunung api yang diamatinya.

    8. Melayani/memberikan informasi kegunungapian kepada masyarakat yang datang ke Pos PGA.

    Memantau Gunung Berapi dengan Indra dan Teknologi

    Bencana alam akibat letusan gunung berapi bisa dikatakan berbeda dengan bencana gempa bumi. Salah satu faktor pembedanya ialah pertanda terjadinya gempa bumi belum dapat diprediksi oleh manusia hingga saat ini. Gempa bumi sering kali datang tanpa memberi tandatanda terlebih dahulu. Kejadian nya terasa mengagetkan karena datang tiba-tiba tanpa pernah disangkadisangka sebelumnya.

    Berbeda halnya dengan letusan gunung berapi. Meskipun letusan tidak bisa 100 persen diperkirakan seluruh detail aktivitasnya, tetapi masih bisa dibaca sejumlah per tandanya dengan menggunakan tek nologi pemantauan gunung berapi. IGM Agung Nandaka, Kepala Seksi Metode dan Teknologi Mitigasi Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) mengatakan pada intinya pemantauan bertujuan un tuk memprediksi erupsi dengan menggu nakan serangkaian metode.

    Metode- metode itu dapat digunakan untuk mengetahui waktu terjadinya erupsi, lama erupsi, pusat letusan, serta karakteristiknya. Proses dan berbagai tanda yang muncul menjelang erupsi sangat berbeda antara gunung berapi yang satu dengan gunung berapi lainnya, bahkan gunung berapi di lokasi yang sama sekalipun. Pemantauan aktivitas gunung berapi, apalagi pada saat aktivitasnya meningkat, harus melibatkan berbagai disiplin ilmu dengan berbagai macam peralatan.

    Secara sederhana peman tauan dapat dikate go rikan atas pemantauan dengan indra manusia langsung atau dengan peralatan instrumentasi, ujar Agung. Pemantauan perubahan-perubah an yang muncul pada gunung berapi dengan cara melihat langsung melalui indra manusia disebut sebagai pemantauan visual. Beberapa perubahan yang biasanya diamati, antara lain kepulan asap dan perubahan warna, perubahan morfologi tubuh gunung berapi, dan munculnya kubah lava.

    Berdasarkan catatan sejarah diketahui biasanya ada beberapa tanda yang dirasakan penduduk yang tinggal dekat dengan gunung berapi sebelum gunung tersebut meletus. Tanda-tanda itu, antara lain bau belerang yang semakin menyengat, warna asap yang berubah menjadi lebih gelap, adanya suara-suara gemuruh, dan layunya tumbuhan di sekitar puncak gunung berapi. Menurut Agung, meski pemantauan visual sering kali cukup efektif, cara tersebut memiliki kelemahan pada tingkat akurasi dan subjektivitasnya.

    Apabila ada kabut, misalnya, pengamatan visual tidak bisa dilakukan. Pada kasus erupsi Gunung Merapi, yang hingga kini masih berlangsung, pemantauan visual dilakukan oleh petugas pos pengamatan yang berada di lima titik, yakni di Kaliurang, Ngepos, Babadan, Jrakah, dan Selo. Selain tanda-tanda fisik yang bisa teramati oleh indra manusia, tanda lain

  • yang juga bisa menjadi indikator bakal terjadinya erupsi ialah peningkatan aktivitas seismik (kegempaan).

    Tanda itu sering dijadikan indikator adanya perubahan aktivitas gunung berapi. Jika magma dari dalam bumi naik ke permukaan, maka batuan di sekelilingnya akan menerima tekanan yang lebih tinggi dan apabila kekuatan batuan di sekitar kantong atau saluran magma terlampaui, maka batuan tersebut akan retak dan terjadilah gempa. Perubahan jumlah dan jenis gempa per satuan waktu serta sebaran hiposenter adalah parameter penting untuk peramalan erupsi gunung berapi.

    Kegempaan di Gunung Merapi dipantau melalui jaringan seismik yang tersebar di sekeliling gunung dengan tujuan lokasi gempa dapat ditentukan dengan lebih teliti. Adapun gempa- gempa yang dipantau adalah gempa-gempa yang terjadi secara alamiah, terutama yang berkaitan dengan aktivitas gunung berapi. Agung memaparkan alat untuk memantau aktivitas kegempaan itu disebut dengan seismograf.

    Terdapat 10 stasiun seismik untuk memantau seismisitas Merapi. Empat stasiun seismik dengan sistem trans misi analog menggunakan seismometer periode pendek natural. Stasiun-stasiun tersebut ada lah Pusunglondon, Klatakan, Pla wa ngan, dan Deles. Enam stasiun, yaitu Woro, Pasarbubar, Jurang grawah, Gemer, Cerme (di luar peta), dan Labuhan merupakan stasiun seismik digital dengan meng gunakan sistem transmisi digital, jelas dia.

    Aktivitas seismik yang terukur oleh seismograf ada beberapa macam. Pertama, gempa volcano tectonic tipe A (VTA). Gempa itu berasal dari kedalaman 2 sampai 5 kilometer. Kedua, gempa volcano tectonic tipe B (VTB). Gempa jenis itu bersumber di kedalaman kurang dari 2 kilometer di bawah puncak. Ketiga, gempa multi phase (MP), merupakan gempa yang terjadi di kubah lava. Pada saat kubah lava tumbuh cepat, frekuensi gempa MP dapat mencapai 700 kali per hari.

    Tampaknya gempa itu terjadi pada kerakkerak kubah lava yang bergesekan pada saat kubah tumbuh. Aktivitas gempa lainnya ialah gempa low frequencies (LF). Gempa LF memunyai frekuensi dominan sekitar 1,5 hertz. Gempa LF mengindikasikan mulai terbentuknya kubah lava baru. Kelima, guguran lava atau material dari puncak Merapi yang menuju ke lereng terlihat pada rekaman seismogram sebagai sinyal gempa dengan durasi yang panjang.

    Keenam, tremor yang memiliki frekuensi tinggi berkaitan dengan kejadian erupsi. Sebelum letusan, sering tercatat adanya tremor dengan frekuensi tinggi. Hal yang kemudian menjadi pertanyaan, apabila letusan telah terjadi apakah berarti seismograf yang dipasang di atas Merapi rusak? Agung menyatakan alat-alat itu dipasang di area yang sebelumnya sudah diteliti tidak akan dilewati oleh tumpahan materialmaterial akibat erupsi.

  • Deformasi dan Geokimia

    Parameter lain yang dapat pula digunakan untuk memantau perkiraan terjadinya letusan gunung berapi ialah laju deformasi atau penggemukan badan gunung. Hal itu diperlukan untuk mengetahui seberapa banyak magma yang tersimpan di badan gunung. Ini adalah komplementernya seismik. Dalam memantau aktivitas gunung berapi tidak cukup digunakan satu metode, tetapi harus ada kompilasinya, kata Agung.

    Alat untuk mengukur deformasi, disebut sebagai reflector electro opting distance measurement (EODM). Alat itu dapat mengukur jarak yang dipasang mengelilingi tubuh gunung berapi. Sementara itu, tiltmeter merupakan alat untuk mengukur kemiringan tubuh gunung. Agung menjelaskan cara kerja tiltmeter didasarkan pada sifat material sebuah benda. Sebelum retak, material biasanya akan mengalami percepatan.

    Ciri percepatan adalah grafik deformasinya makin tajam. Untuk tiltmeter yang dipasang di sisi gunung yang diperkirakan men jadi arah erupsi, pengukuran di lakukan dengan menggunakan waterpass yang diubah menjadi vol tase yang kemudian dikalibrasi dengan ukuran sudut. Karena EODM dipasang mengelilingi badan gunung dan tiltmeter dipasang di sisi erupsi gunung, maka apabila erupsi sudah terjadi, pemantauan deformasi sudah tidak bisa dilakukan.

    Sesudah erupsi, kata Agung, yang diandalkan adalah seismisitas, pengamatan visual, citra satelit, dan geokimia. Pengamatan geokimia dilakukan dengan correlation spectrometer (cospect), dan mini-DOAS (miniature- deferential pptical absorption spectrometer) untuk mengukur kadar emisi sulfur oksida (SO2).

    Seiring meningkatnya aktivitas gunung berapi, maka dipastikan meningkat pula suplai SO2 dari kawah magma. Untuk memantau aktivitas Gunung Merapi, peralatan tersebut dipasang di pos Jrakah, sekitar 7 kilometer dari puncak gunung.

  • BAB II

    RANGKUMAN

    Seperti kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara dengan 129 gunung api aktif. Oleh sebab itulah pemerintah melalui Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi ( PVMBG ) nya membangun pos pembangunan di beberapa gunung api aktif yang ada diseluruh Indonesia, yang berfungsi untuk mengamati aktifitas gunung api secara visual dan berdasarkan data pengukuran ( seismik, thermal, deformasi, densitas batuan, gas, dll ).

    Pengamatan Seismik

    Ketika suatu gunung api akan meletus, maka akan ada aktifitas seismisitas berupa tror / getaa-getran kecil/ gempa vulkanik yang biasanya dirasakan oleh masyarakat. Aktivitas ini meningkat karena peningkatan aktivitas dan tekana di dapur magma. Untuk melakukan pengamatan seismisitas harus dipasang terlebguih dahulu seismometer di sekitar gunung api. Pemasangan harus lebih dari satu agar data yang didapat lebih akurat.

    Pengamatan Gas dan Thermal

    Apabila sebuah gunung api akan erupsi, akan terjadi peningkatan gas dan thermal. Akan keluar beberapa gas ketika gunung api mau dan sedang erupsi antara lain CO, CO2, H2S, SO2, NO2. Peningkatan suhu juga bisa diamati dari mulai mengeringnya sungau dan danau serta pepohonan yang mulai mati di sekitar gunung api. Pegukuran bisa secara langsung yang sangat berbahaya bagi pengamat. Namun juga bisa dilakukan dengan memasang alat pengukur gas dan thermal di lapangan fumaroel dan datanya bisa secara otomatis terkirim ke pusat.

    Pengamatan Deformasi

    Ketika akan meletus terjadi peningkatan tekanan di dapur magma, peningkatan tekanan ini akan menyebabkan deformasi ( naik dan turun ) permukaan gunung api yang bisa diamati dengan menggunakan GPS, tiltmeter, dan beberapa peralatan lainnya.

    Pengamatan Gtavity dan Geomagnet

    Pengamatan gravity dilakukan dengan metode geofisika yang dilakukan secara berkala. Ketika gunung mau meletus maka akan terjadi perubahan densitas di bawah permukaan karena adanya magma yang menuju ke permukaan tanah. Sedangkan pengamatan Geomagnet dilakukan untuk mengamati nilai intensitas magnet di atas gunung api. Apabila magma mulai naik, maka nilai intensitas magnet akan rendah karena pengaruh panas magma.

  • Daftar pustaka

    Anonim. 2013. PGA Melayani Masyarakat untuk Memperoleh Informasi Aktivitas Gunung Api. http://www.esdm.go.id/berita/37-umum/3508-pga-melayani-masyarakat-untuk-memperoleh-informasi-aktivitas-gunung-api.html?tmpl=component&print=1&page=. Diakses tanggal 09 Mei 2014.

    Anonim. 2010. Memantau Gunung Berapi dengan Indra dan Teknologi. http://www.ristek.go.id/?module=News%20News&id=7232. Diakses tanggal 09 Mei 2014.

    Rusydy, Ibnu. 2012. Pengamatan Gunung Api. http://www.ibnurusydy.com/pengamatan-gunungapi/. Diakses tanggal 09 Mei 2014.