pengalaman penggunaan progesteron
-
Upload
ngurah-ardhi-wiratama -
Category
Documents
-
view
22 -
download
0
description
Transcript of pengalaman penggunaan progesteron
-
PENGALAMAN PENGGUNAAN PROGESTERON PESSARY PADA ABORTUS IMINENS
Adnan Abadi1.2 , Ali Baziad1., Andon Hestiantoro1
1Divisi Imunoendrinologi Reproduksi Departemen Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta 2Divisi Imunoendrinologi Reproduksi Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP M. Hoesin Palembang
Abstrak Pemakaian sediaan Progestogen maupun progesteron dalam penatalaksanaan abortus iminens masih terdapat silang pendapat baik mengenai cara, dosis, jenis sediaan maupun manfaatnya secara klinik, namun demikian pemeberian progestogen maupun obat yang dianggap sebagai progestogen sangat banyak dilakukan. Sekarang ini telah tersedia sedian progesteron baik sediaan oral, injeksi dan pessary. Pemakaian progesteron untuk terapi abortus iminens telah banyak dilakukan meskipun rancangan dan cara penelitian yang dilakukan berbeda -beda tetapi beberapa penelitian menunjukan manfaat pemberian progesteron khususnya dalam menghilangkan keluhan rasa kram suprapubik/uterus dan lama masa perdarahan pada abortus iminens. Pada penelitian kami yang dilakukan dengan menggunakan Progesteron 400 mg pessary (Cyclogest/Cygest) yang dilakukan di Jakarta dengan hasil sebagai berikut Selama kurun waktu Juli 2005 November 2005 , terkumpul 64 kasus abortus iminens yang memenuhi kriteria dan bersedia ikut penelitian. Setelah randomisasi sederhana secara tersamar ganda didapatkan kelompok pertama sebanyak 32 peserta mendapat terapi progesteron 400 mg (Cyclogest) dan kelompok kedua sebanyak 32 peserta mendapat terapi plasebo masing-masing berupa pessary vaginal sekali sehari selama 7 hari. Sebanyak 47 peserta penelitian yang dapat dilakukan analisis statistik, yang terdiri dari kelompok yang di terapi Progesteron 400 mg supositoria vaginal sebanyak 25 peserta dan yang diterapi plasebo sebanyak 22 peserta. Data ciri kasus penelitian tidak berbeda bermakna secara statistik. Setelah perlakuan terdapat perbedaan peningkatan kadar hormonal antara kelompok progesteron dibandingkan plasebo yaitu sebesar : Progesteron 3,19 10,54 ng/ml Vs 0,174 10,71 ng/ml (TB) , Estradiol 152,62 612,65 pg/ml Vs 21,31 1028,91 pg/ml (TB). Lama masa perdarahan pervaginam dan hilangnya rasa mulas/keram perut bagian bawah pada kelompok progesteron lebih singkat dan secara statistik berbeda bermakna. Luaran kehamilan berupa abortus spontan pada masa terapi sebesar 4/25 kelompok progesteron berbanding 6/22 kelompok plasebo yang secara statistik tidak berbeda bermakna. Kesimpulan : Progesteron 400 mg pessary vaginal 1 kasli sehari bermanfaat mempersingkat masa perdarahan pervaginam dan hilangnya rasa mulas/kram perut bagian bawah yang berbeda bermakna secara statistik dan meningkatkan kadar progesteron serum lebih tinggi dibandingkan dengan plasebo meskipun secara statistik tidak berbeda bermakna . Kata kunci : Abortus iminens, progesteron supositoria vaginal, perdarahan vaginal, kontraksi uterus.
-
I. PENDAHULUAN
Komplikasi pada kehamilan muda yang paling sering dijumpai adalah abortus
iminens dengan angka kejadian berkisar antara 16 21 % dari kehamilan. Namun
walaupun keadaan ini sering ditemukan penatalaksanaannya kebanyakan masih secara
empirik, biasanya dianjurkan tirah baring dan terapi medikamentosa berupa obat-obatan
berupa progestogen/progesteron dan obat penghambat kontraksi uterus yang mana
manfaat pemberian obat-obatan tersebut masih terjadi silang pendapat.(1-4)
Etiologi abortus dapat disebabkan oleh faktor janin, faktor maternal dan faktor
faternal. Faktor maternal yang dapat menyebabkan abortus spontan adalah infeksi,
penyakit kronis, kelainan hormonal, pemakaian obat-obatan dan faktor lingkungan.
Kelainan hormonal memberikan kontribusi sebagai penyebab abortus sebesar 35 % - 50
% hal yang diduga oleh kurang adekuatnya fungsi korpus luteum sehingga menyebabkan
kadar progesteron yang rendah.(5-7)
Fungsi progesteron dalam memelihara kehamilan dimulai dengan menjadikan
endometrium fase sekresi setelah terjadi priming oleh estrogen untuk persiapan
inplantasi, menurunkan tonus otot polos sehingga uterus relaksasi, meningkatkan
kepekaan otot uterus terhadap relaksin, bersama estrogen mempersiapkan payudara untuk
laktasi dan berfungsi menjaga keseimbangan imunologis melalui protein yang
dinamakan Progesterone-induced blocking factor ( PIBF) yang menghambat
menghambat aktivitas sel Natural Killer (NK). Pada abortus spontan yang terjadi pada
manusia telah dibuktikan adanya hubungan peningkatan produksi sitokin yang bersifat
sitotoksik yang dihasilkan oleh sel T helper (Th)1 yaitu interleukin (IL)-2 dan Interferon
(IFN)-? dan Tumour necrosis factor (TNF)- yang berpengaruh buruk terhadap
kehamilan, sedangkan sitokin yang dihasilkan oleh Th2 yaitu IL-4,IL-6,IL-5 dan IL-10
yang bermanfaat dalam menjaga kelangsungan kehamilan kadarnya terjadi penurunan.
Jadi kelangsungan kehamilan tergantung dengan hasil keseimbangan antara aktifitas Th1
dan Th2 yang merupakan penampakan polarisasi sel mononukleus pada darah tepi yaitu
sel T helper.(10-15)
Dari beberapa hasil penelitian tentang manfaat pemeberian terapi progesteron/
progestogen dalam penatalaksanaan abortus iminens baik rancangan penelitian dan
hasilnya masih sangat berbeda-beda.(2, 4, 7, 16-19)
-
Saat ini sudah tersedia sedian progesteron yang sangat mirip dengan progesteron
yang dihasilkan oleh di korpus luteum, yang dapat diberikan secar oral, injeksi dan
supositoria. Pada pemberian progesteron secara oral dapat di absorbsi dari traktus
gastrointestinal tetapi dimetabolisme secara cepat di usus halus dan hati. Progesteron 100
mg secara oral sehari dilaporkan dapat menjadikan konsenterasi plasma progesteron 22
35 nmol/l yang setara dengan selama fase luteal normal (Whithead et al, 1980).
Bioavailabilitas dari progesteron oral di perkirakan 25 %. Oleh karena bioavaillabilitas
yang rendah dan bervariasi biasanya progesteron diberikan secara intramuskuler (IM)
atau secara supositoria baik vaginal ataupun rektal. Pemberian progesteron 25 mg atau
lebih secara IM. Menghasilkan kadar maksimal setara dengan fase luteal dalam 8 jam
(Nillius & Johansson, 1971). Pemberian progestreon 100 mg 400 mg secara rektal atau
vaginal menghasilkan konsentrasi setara fase luteal madya yang dicapai secara maksimal
dalam 1 8 jam dan menurun dalam 24 jam ( Nillius & Johansson, 1971; Villaneuava et
al ,1981; Glazener et al ,1985 ).(7, 17, 19).
Dari uraian diatas diharapkan dgan pemberian 400 mg progesteron ( Cyclogest)
supositoria pada abortus imenens diharapkan bermanfaat karena akan dapat mengurangi
masa perdarahan pervaginal, menpercepat hilangnya kontraksi uterus melalui mekanisme
imunologis dan sekaligus terapi pada keadaan kekurangan hormonal progesteron pada
abortus iminens (ancaman keguguran) .
Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai manfaat pemberian progesteron 400
mg (Cyclogest) dalam penatalaksanaan abortus iminens.
II. BAHAN DAN CARA KERJA
Penelitian mendapat persetujuan Panitia tetap Penilai Etik Penelitian Universitas
Indonesia dengan Surat Keterangan No.52 / PT02.FK/ETIK/2005. Semua peserta
penelitian menyatakan kesedian mengikuti penelitian dengan sukarela dan
menandatangani surat persetujuan setelah mendapat penjelasan.
Sebanyak 64 peserta penelitian dengan diagnosis abortus iminens yang
memenuhi kriteria penerimaan yaitu usia 20 35 tahun, kehamilan 6 -12 minggu,
pemeriksaan ultrasonografi dengan kehamilan intra uterin konsepsi hidup, belum pernah
-
mendapat terapi hormonal, tidak menderita penyakit sistemik seperti penyakit jantung,
hati atau ginjal. Dilakukan randomosasi secara sederhana tersamar ganda menjadi 2
kelompok, dan kelompok pertama mendapat terapi Progesteron supositoria vaginal 400
mg (Cyclogest) dan kelompok kedua mendapat terapi supositoria yang mengandung
plasebo sebanyak satu kali sehari selama 7 hari. Dilakukan pemengambilan darah vena
sebanyak 6 ml untuk pemeriksaan hormonal Progesteron, Estradiol dan hCG Semua
peserta penelitaian diperlakukan sama dengan anjuran banyak istirahat tirah baring dan
diminta untuk mengisi formulir pemantauan keluhan berupa perdarahan vagimam dan
rasa keram/mulas perut bagian bawah setiap hari, dicatat kapan keluhan menghilang dan
apabila terjadi abortus maka penderita disarankan untuk datang ke RS sesuai yang telah
ditentukan. Setelah hari ke delapan peserta diminta datang untuk kontrol dan dilakukan
pemeriksa klinik dan ultrasonografi untuk menilai keaadaan kehamilan dan dilakukan
pengambilan darah vena untuk pemeriksaan hormonal progesteron , estradiol dan hCG.
Pemeriksaan hormonal dilakuakan di Laboratorium Makmal Terpadu
Imunoendokrinologi FKUI. Setelah semua data terkumpul dilakukan analisis statistik
dengan Uji Students t untuk membandingkan rerata nilai.
III. HASIL PENELITIAN
Dari 64 peserta penelitian hanya sebanyak 47 peserta penelitian yang dapat
dilakukan analisis statistik, yang terdiri dari kelopok perlakuan diberikan terapi
progesteron (Cyclogest) supositoria sebanyak 25 peserta dan yang diberikan plasebo
sebanyak 22 peserta.
III .1. Data ciri dasar kasus penelitian
Tidak terdapat perbedaaan yang bermakna antara kelompok progesteron dengan plasebo
mengenai data ciri dasar kasus penelitian yang meliputi usia peserta, pendidikan, paritas,
abortus, anak hidup, kadar progesteron, estradiol, hCG sebelum terapi , usia kehamilan
saat pengambilan sampel yang pertama dan kedua.
-
Rerata kadar hormonal serum pada 47 kasus abortus iminens sebelum terapi
adalah progesteron = 17,97 9,52 ng/ ml , estradiol = 804,83 590,65 pg/ml dan
hCG = 89178,94 62191,06 mIU/ml.
Tabel.3.1. Kadar rerata hormonal pada kasus abortus iminens berdasarkan kelompok usia kehamilan
III.2. Efek Progesteron terhadap perubahan rerata kadar hormonal pada abortus
iminens , lama masa hilangnya perdarahan pervaginam, rasa keram perut bagian
bawah dan luaran kehamilan.
Terdapat perbedaan peningkatan rerata kadar hormonal pada kelompok terapi
dengan progesteron 400 mg Vs plasebo yaitu masing-masing kadar Progesteron
meningkat sebesar 3,19 10,54 ng/ml Vs 0,370 ng/ml ; Estradiol meningkat sebesar
152,62 612,65 pg/ml Vs 21,31 1028,91 pg/ml dan hCG meningkat sebesar 8215
6250 mIU/ml VS 17127 7782,5 mIU/ml.(Tabel 3.2).
Rerata lama masa perdarahan pervaginam dan rasa kram perut bagian bawah
antara kelompok terapi progesteron dibandingkan dengan kelompok terapi plasebo adalah
sebagai berikut ; 2,43 0,93 hr Vs 4,06 0,77 hr p < 0,05 = BB dan perasaan
keram/nyeri perut bagian bawah 2,52 1,03 Vs 4,06 0,77 dengan nilai P < 0,05 = BB.
(Tabel.3.2)
Kelangsungan kehamilan pada abortus iminens pada penelitian ini didapatkan
sebesar 79 %. Jika dibandingkan antara kelompok terapi progesteron dengan kelompok
Jenis hormon Usia kehamilan (minggu )
Jumlah (n)) Nilai Rerata SD
Progesteron (ng/ml) 6 9 > 9
34 13
14,94 6,91 25, 91 11,03
Estradiol (pg/ml) 6 9 > 9
34 13
702,88 531,01 1071, 46 674,86
hCG (mIU/ml) 6 9 > 9
34 13
77127,23 59888,45 120698, 80 58951,02
-
terapi plasebo adalah 4/25 (86 %)berbanding 6/22 (73 %) yang secara statistik tidak
berbeda bermakna.(Tabel.3.2).
Tabel 3.2. Perbandingan perubahan rerata kadar Progesteron, Estradiol dan hCG
sebelum pengobatan dan setelah pengobatan
Pengukuran Obat Plasebo Nilai P
Progesteron (ng/ml) Sebelum Sesudah Peningkatan
17,97 7,97
20,97 10,12 3,19 10,54
18,58 11,19 19,84 9,98
0,370
TB TB TB
Berhentinya perdarahan pervaginam (hari)
2,43 0,93
4,06 0,77
BB
Hilangnya rasa kram perut bawah (hari).
2,52 1,03
4,06 0,77
BB
Kejadian Abortus
4/25
6/22
TB
Data ditampilkan sebagai rerata dengan indeks kepercayaan 95% Nilai P bermakna bila < 0.005 TB : Tidak berbeda bermakna BB : Berbeda bermakna
IV. DISKUSI
Progesteron adalah hormon yang sangat penting dalam proses reproduksi,
meskipun farmakokinetik dan farmakodinamiknya telah diketahui denga n jelas tetapi
peran nya dalam patofisiologi kehamilan masih terdapat silang pendapat. Reaksi lokal
jaringan terhadap withdrawal progesteron yang menyebabkan menstruasi
memperlihatkan beberapa gambaran karakteristik reaksi inflamasi seperti pelepasan
prostaglandin, peningkatan permiabilitas kapiler , dan terjadi sebukan lekosit pada
endometrium, namun mekanisme lokal sebenarnya yang terjadi pada inplantasi,
desidualisasi dan menstruasi belum sepenuhnya diketahui . Dengan adanya progesteron ,
sel limfosit pada perempuan hamil mengeluarkan suatu protein yang dinamakan
progesterone-induced blocking factor (PIBF) yang berfungsi sebagai media
imunomodulator dan anti abortif. (11, 20-23)
-
Manfaat terapi suplementasi progesteron pada abortus iminens belum sepenuhnya
diketahui dan kadar progesteron yang normal pada kehamilan trimester pertama yang
bermakna untuk memprediksi luaran kehamilan juga masih bervariasi antara penelitian
yang telah dilakukan. Sehingga pemberian suplementasi progestogen/progesteron pada
abortus iminens masih banyak terjadi silang pendapat , meskipun demikian progesteron
banyak digunakan di dalam penatalaksaan abortus iminens, pencegahan abortus pada
abortus berulang, dukungan fase luteal pada program reproduksi berbantu dan pada
partus prematurus iminens.(4, 11, 24, 25)
Dari 47 kasus abortus iminens pada penelitian ini didapatkan sebanyak 71 %
kadar progesteron serum yang lebih rendah dari 20 ng /ml, dan rerata kadar progesteron
sebesar 17,97 9,25 ng / ml, dan jika dikelompokan berdasarkan usia kehamilan didapat
rerata kadar progesteron serum pada kehamilan 6 9 Minggu sebesar 14,94 6,91 ng /
ml , sedangkan pada kehamilan > 9 Minggu sebesar 25,91 11,03 ng / ml. Berdasarkan
beberapa hasil penelitian disebutkan kadar rerata progesteron serum pada kehamilan
trimester pertama yang normal adalah > 20 ng /ml atau pada penelitian Daily dkk tahun
1994 mendapatkn rerata kadar progesteron pada kehamilan normal adalah 22,1 9,5 ng
/ml. Maka berdasarkan data penelitian ini tampaknya sebanyak lebih dari dua pertiga
kehamilan dengan abortus imenens dengan kehamilan kurang dari 9 Minggu memerlukan
terapi suplementasi progesteron.(2, 4, 6, 8, 18, 26)
Hasil penelitian dari Gerhard I, dkk ( tahun 1987 ) merekomendasikan terapi
progesteron pada kehamilan trimester pertama dengan abortus iminens apabila : usia
kehamilan < 7 Minggu , Usia ibu > 30 th , riwayat abortus sebelumnya, hasil
ultrasonografi kehamilan intrauterin , kadar hormonal Estradiol dan hCG serum dalam
batas normal , sedangkan kadar Progesteron kurang dari normal.(13)
Pada penelitian ini pada abortus iminens yang diterapi dengan progesteron 400
mg supositoria vaginal peningkatan rerata kadar progesteron serum sebesar 3,19 10, 54
ng/ ml lebih tinggi dibanding dengan plasebo.
-
Pada penelitian yang dilakukan Norman T R. Dkk dengan pemberian progesteron
supositoria vaginal 400 mg terjadi peningkatan kadar progesteron serum sebesar 4.4-
181.1 ng/mL, kadar optimal tertinggi dicapai setelah 8 jam pemberian. (27)
Kadar rerata progesteron pada abortus iminens yang kehamilan berlanjut baik
yang di terapi dengan progesteron maupun plasebo adalah 23,59 8,09 ng/ml Vs 23,57
7,58 ng/ml. Kadar serum progesteron pada kedua kelompok ini jelas lebih tinggi dari
kadar rerata kehamilan normal yang didapat oleh Daily CA,dkk 22,1 9,5 ng / ml dan
hasil Pene litian yang dilakukan Jacoeb TZ batas kritis kadar progesteron serum adalah
18,9 ng/ml, keadaan ini tampaknya menunjukan bahwa supaya kehamilan dapat
berlangsung dengan normal maka kadar progesteron serum harus meningkat lebih dari 20
ng/ml.(2, 5, 6, 8, 23)
Masa perdarahan pervaginam dan rasa keram perut bagian bawah lebih cepat
menghilang pada kelompok progesteron dibandingkan dengan kelompok plasebo,
keadaan ini sangat dimungkinkan karena progesteron mempunyai efek yang kompleks
dalam menjaga kelangsungan kehamilan seperti dikemukan oleh Szekeres-Bartho J dkk
bahwa progesteron terbukti bermanfaat (efektif) jika kelangsungan kehamilan terganggu
akibat faktor imunologi, defisiensi neuroendokrin, defisiensi korpus luteum dan
hiperkontratilitas miometrium dan telah dibuktikan oleh beberapa peneliti antara lain
Bulleti C dkk, 2001. Gerhard I, 1987 menemukan bahwa pemberian progesteron
supositoria vaginal mempersingkat waktu hilangnya keluhan perdarahan pervaginam dan
rasa keram perut bagian bawah.(17, 18, 28)
Angka kejadian abortus pada perempuan hamil yang mengalami abortus iminens
diasumsikan adalah 30 40 %. Pada penelitian yang dilakukan oleh Gerhard dkk ,
kejadian abortus hanya 15 % dimana penelitian dilakukan pada abortus iminens pada
kehamilan lebih dari 7 Minggu dan gambaran ultrasonografi embryo yang hidup
intrauterus, sedangkan apabila gerakan fetus dan denyut jantung sudah terlihat dengan
ultrasonografi risiko kejadian abortus sekitar 10 % (Gerhard dkk,1979, Hertz dkk, 1980,
Jouppila dkk, 1980, Eriksen dan Philipsen 1980 dan Batzer dkk 1983).Pada penelitian
acak yang dilakukan Berle dan Behnke (1977) , Tognoni dkk 1980, dimana mereka
memberikan terapi Allylestrenol atau 17-hydroksiprogesteron dengan hasil angka
kejadian abortus 34 % pada kelompok terapi dan 39 % pada kelompok plasebo (P = NS),
-
dimana penelitian ini tidak memperhatikan hasil ultrasonografi, sama seperti penelitian
yang dilaporkan oleh Gerhard dan Rennebaum 1984.(18). Pada penelitian ini meskipun
terdapat perbedaan kejadian abortus tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna
mungkin disebabkan oleh sampel penelitian yang sedikit.
Pada beberapa literatur dan penelitian pemberian progesteron injeksi
menghasilkan metabolit yang mempunyai efek sama setara dengan Benzodiazepin dalam
menghilangkan rasa cemas, apabila ini juga terjadi pada pemberian supositoria vaginal
maka pemberian progesteron secara vaginal akan sangat bermanfaat karena mempunyai
efek sebagai suplementasi hormon progesteron, mengurangi kontraksi uterus ,
mengendalikan sistem imunitas pada kehamilan dan sekaligus menghilangkan
kecemasan akibat gejala perdarahan pada kehamilan.(24, 29)
V. KESIMPULAN
Pemberian terapi progesteron pessary vaginal 400 mg sehari selama 7 hari bermanfaat
memperpendek masa perdarahan dan mempercepat hilangnya rasa kram/nyeri uterus
pada abortus iminens.
DAFTAR PUSTAKA 1. Hemminki E, Forssas E. Epidemiology of miscarriage and its relation to other reproductive events in Finland. Am J Obstet Gynecol 1999;181(2):396-401.
-
2. Oates-Whitehead RM, Haas DM, Carrier JA. Progestogen for preventing miscarriage. Cochrane Database Syst Rev 2003(4):CD003511.
3. Weiss JL, Malone FD, Vidaver J, Ball RH, Nyberg DA, Comstock CH, et al. Threatened abortion: A risk factor for poor pregnancy outcome, a population-based screening study. Am J Obstet Gynecol 2004;190(3):745-50.
4. Sotiriadis A, Papatheodorou S, Makrydimas G. Threatened miscarriage: evaluation and management. Bmj 2004;329(7458):152-5.
5. Jacoeb TZ. Nasib Kehamilan Triwulan Pertama: Manfaat Penentuan Progesteron dan Antibodi Antikardioloipin Serum berulang. In: Prosiding Simposium Temu Ilmiah Akbar 2002. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2002. p. 93 - 125.
6. Cunningham FG GN, Leveno KJ, C Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD. Williams Obstetrics. 21 th ed ed. New York: Mc Grow -Hill; 2001.
7. Daya S. Efficacy of progesterone support for pregnancy in women with recurrent miscarriage. A meta-analysis of controlled trials. Br J Obstet Gynaecol 1989;96(3):275-80.
8. Daily CA, Laurent SL, Nunley WC, Jr. The prognostic value of serum progesterone and quantitative beta-human chorionic gonadotropin in early human pregnancy. Am J Obstet Gynecol 1994;171(2):380-3; discussion 383-4.
9. Posaci C, Smitz J, Camus M, Osmanagaoglu K, Devroey P. Progesterone for the luteal support of assisted reproductive technologies: clinical options. Hum Reprod 2000;15 Suppl 1:129-48.
10. Glass. R. Egg transport and fertilization In: Schiarra JJ, editor. Gynecology and Obstetrics. 5 Ed ed. Cambridge : Harper and Row Publ; 1981.
11. Szekeres-Bartho J, Faust Z, Varga P. The expression of progesterone-induced imunomodulatory protein in pregnancy lymphocytes. Am J Reprod Immunol 1995;34:342 - 348.
12. Sperroff L GR, Kase NG. Recurrent Early Pregnancy Losses in Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. Recurrent Early Pregnancy Losses in Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. 6th ed ed. Baltimore: Lippincott William & Wilkin; 1999.
13. Par G, Bartok B, Szekeres-Bartho J. Cyclooxygenase is involved in the effects of progesterone-induced blocking factor on the production of interleukin 12. Am J Obstet Gynecol 2000;183(1):126-30.
14. Polgar B, Kispal G, Lachmann M, Paar C, Nagy E, Csere P, et al. Molecular cloning and immunologic characterization of a nove l cDNA coding for progesterone-induced blocking factor. J Immunol 2003;171(11):5956-63.
15. Farina A, Rizzo N, Concu M, Banzola I, Sekizawa A, Grotti S, et al. Lower maternal PLAC1 mRNA in pregnancies complicated with vaginal bleeding (threatened abortion
-
18. Gerhard I, Gwinner B, Eggert-Kruse W, Runnebaum B. Double-blind controlled trial of progesterone substitution in threatened abortion. Biol Res Pregnancy Perinatol 1987;8(1 1ST Half):26-34.
19. Bulletti C, de Ziegler D, Flamigni C, Giacomucci E, Polli V, Bolelli G, et al. Targeted drug delivery in gynaecology: the first uterine pass effect. Hum Reprod 1997;12(5):1073-9.
20. Faas M, Bouman A, Moesa H, Heineman MJ, de Leij L, Schuiling G. The immune response during the luteal phase of the ovarian cycle: a Th2-type response? Fertil Steril 2000;74(5):1008-13.
21. Szekeres-Bartho J. Immunological relationship between the mother and the fetus. Int Rev Immunol 2002;21(6):471-95.
22. Szekeres-Bartho J, Reznikoff-Etievant MF, Varga P, Pichon MF, Varga Z, Chaouat G. Lymphocytic progesterone receptors in normal and pathological human pregnancy. J Reprod Immunol 1989;16(3):239-47.
23. Di Renzo GC, Mattei A, Gojnic M, Gerli S. Progesterone and pregnancy. Curr Opin Obstet Gynecol 2005;17(6):598-600.
24. Kalinka J, Szekeres-Bartho J. The impact of dydrogesterone supplementation on hormonal profile and progesterone-induced blocking factor concentrations in women with threatened abortion. Am J Reprod Immunol 2005;53(4):166-71.
25. Ayoubi JM, Fanchin R, Kaddouz D, Frydman R, de Ziegler D. Uterorelaxing effects of vaginal progesterone: comparison of two methodologies for assessing uterine contraction frequency on ultrasound scans. Fertil Steril 2001;76(4):736-40.
26. Gerhard I, Runnebaum B. Predictive value of hormone determinations in the first half of pregnancy. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 1984;17(1):1-17.
27. Norman TR, Morse CA, Dennerstein L. Comparative bioavailability of orally and vaginally administered progesterone. Fertil Steril 1991;56(6):1034-9.
28. Palagiano A, Bulletti C, Pace MC, D DEZ, Cicinelli E, Izzo A. Effects of vaginal progesterone on pain and uterine contractility in patients with threatened abortion before twelve weeks of pregnancy. Ann N Y Acad Sci 2004;1034:200-10.
29. Ludwig M, Diedrich K. Evaluation of an optimal luteal phase support protocol in IVF. Acta Obstet Gynecol Scand 2001;80(5):452-66.