PENERAPAN UNSUR MEMILIKI ATAU MENGUASAI...

9

Click here to load reader

Transcript of PENERAPAN UNSUR MEMILIKI ATAU MENGUASAI...

Page 1: PENERAPAN UNSUR MEMILIKI ATAU MENGUASAI …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.2.11.2013/... · saat sedang menguasai atau memiliki narkotika tanpa melihat tujuan

Jurnal Ilmu Hukum ISSN 2302-0180

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 9 Pages pp. 84-92

Volume 2, No. 2, November 2013 - 84

PENERAPAN UNSUR MEMILIKI ATAU MENGUASAI

NARKOTIKATERHADAP PEMAKAI DALAM PERSPEKTIF

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

Rosnainah

1, Dahlan Ali

2, Mohd. Din

2

¹)Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas SyiahKuala

2) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Abstract: In the Act Number 35, 2009 regarding Narcotics, the punishment of drug abuser on

themselves has been ruled in Article 127 that the abusers are punished to prison maximal for 2

(two) years or rehabilitated. However, there are many abusers that they are charged by the

prosecution violating Article 111 or 112 of the Act with the qualification of having or possessing

drugs that the punishment in both articles is 4 (four) years. The problems raised are analyzed and

solved based on theory and existing rules. The research shows that the fundamental considerations

for the prosecution to charge the drug abusers for themselves are based on Article 111 or Article

112 rather then Article 127 of the Act Number 35, 2009 regarding Narcotics as a result of the

indictment of cases submitted to the prosecution by the investigators has passed 1 to 2 months

since the arrest, hence the urine cannot be tested to prove he consumed the drugs. The indictment

is submitted to the prosecution office that the office has suggested the abuser must be tested its

urine but it cannot conducted as the time of checking it no more than 3 days after the arrest. The

formula in Articles 111 and 112 of the Act Number 35, 2009 regarding Narcotics is broad hence it

can be imposed on drug abuser for themselves caught in the act of having or owning narcotics

without looking at the purpose of having such illegal matter that is going to be consumed for

themselves as regulated in Article 127 of the Act Number 35, 2009 regarding Narcotics. The

prosecution should be professional and honest in conducting its duty and function especially in

making an indictment and choosing proper article charged for the abuser for themselves by

considering the aims of owning and having narcotics. Moreover, law makers of Narcotics Act

should make clear the formula of Articles 111 and 112 of the Act Number 35, 2009 regarding

Narcotics by adding the purpose of owning and having.

Keywords : Possessing Narcotic, Drug Abuser and Criminal Law Policy

Abstrak: Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pemidanaan terhadap

penyalahguna narkotika bagi diri sendiri telah diatur dalam Pasal 127 dimana penyalahguna

tersebut dipidana dengan pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun atau bisa direhabilitasi. Akan

tetapi, dalam kenyataannya banyak penyalahguna yang didakwa oleh Penuntut Umum melanggar

Pasal 111 atau 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan kualifikasi

unsur memiliki atau menguasai narkotika dimana ancaman pidana dalam kedua pasal tersebut

minimal 4 (empat) tahun. Pertimbangan penuntut umum mendakwa seorang penyalahguna

narkotika bagi diri sendiri dengan Pasal 111 atau Pasal 112 daripada Pasal 127 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dikarenakan saat berkas perkara dilimpahkan ke

penuntut umum oleh penyidik telah melampaui waktu 1 sampai 2 bulan sejak penangkapan,

sehingga tidak bisa dilakukan tes urine untuk membuktikan yang bersangkutan sebagai pemakai.

Berkas perkara dilimpahkan ke penuntut umum oleh penyidik yang oleh penuntut umum telah

memberikan petunjuk supaya dilakukan tes urine, akan tetapi tidak bisa dilaksanakan oleh

penyidik karena batas waktu pemeriksaan urine tidak boleh melampaui 3 hari setelah penangkapan.

Formulasi ketentuan Pasal 111 dan 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

luas sehingga menjerat pelaku penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri yang tertangkap pada

saat sedang menguasai atau memiliki narkotika tanpa melihat tujuan kepemilikan narkotika

tersebut yang akan dipergunakan bagi diri sendiri sebagaimana telah diatur dalam pasal 127

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Penuntut Umum agar bekerja secara

profesional dan jujur dalam melaksanakan tugas dan fungsinya khususnya dalam membuat

dakwaan dan memilih pasal yang sesuai terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika bagi diri

sendiri dengan mempertimbangkan tujuan penguasaan atau kepemilikan narkotika. Pembuat

Page 2: PENERAPAN UNSUR MEMILIKI ATAU MENGUASAI …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.2.11.2013/... · saat sedang menguasai atau memiliki narkotika tanpa melihat tujuan

Jurnal Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

85 - Volume 2, No. 2, November 2013

Undang-Undang Narkotika supaya memperjelas formulasi Pasal 111 dan 112 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika dengan menambahkan tujuan menguasai atau memiliki

narkotika.

Kata Kunci : Penguasaan Narkotika, Penyalahguna Narkotika dan Kebijakan Hukum Pidana.

PENDAHULUAN

Narkotika adalah zat atau obat yang

berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik

sintetis maupunsemisintetis, yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan (Pasal 1 Undang-

Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika).

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut juga

disebut bahwa “Pecandu Narkotika adalah

orang yang menggunakan atau

menyalahgunakan Narkotika dan dalam

keadaan ketergantungan pada narkotika, baik

secara fisik maupun psikis”.

Berbagai masalah timbul bersumber dari

narkotika ini. Narkotika bisa didapatkan dengan

mudah. Dari segi usia, narkotika tidak

dinikmati golongan remaja saja, tetapi juga

golongan setengah baya maupun golongan usia

tua. Penyebaran narkotika sudah sangat meluas

karena tidak lagi terjadi hanya dikota besar

tetapi sudah masuk ke kota-kota kecil dan

merambah dikecamatan bahkan desa-desa.

(Taufik Makaroa, 2003:4).

Undang-undang No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika telah mengatur tentang

hukuman pidana yang dijatuhkan terhadap

pelaku tindak pidana narkotika. Dalam pasal

111 diatur tentang penguasaan narkotika

golongan I dalam bentuk tanaman dan dalam

pasal 112 diatur tentang penguasaan narkotika

dalam bentuk bukan tanaman. Khusus terhadap

pelaku penyalahgunaan narkotika bagi diri

sendiri, Undang-Undang No.35 Tahun 2009

telah mengaturnya dalam Pasal 127 ayat (1), (2)

dan (3).

Dalam membuat surat dakwaan, Penuntut

Umum seringkali menggunakan Pasal 111

maupun Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika untuk

mendakwa pelaku tindak pidana

penyalahgunaan narkotika dengan barang bukti

yang ditemukan pada saat penangkapan

diperkirakan cukup untuk dipakai sehari.

Dengan menggunakan Pasal 111 maupun

Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika terhadap pelaku

penyalahgunaan narkotika tersebut maka akan

mengakibatkan para penyalahguna narkotika

tersebut akan dipidana minimal 4 (empat) tahun

penjara ditambah dengan denda yang apabila

tidak dibayar maka akan diganti dengan

hukuman kurungan pengganti denda.

Formulasi Pasal 111 dan 112 Undang-

Undang Nomor 35 tahun 2009 yang memakai

kata-kata “menguasai, menyimpan, memiliki”

yang memungkinkan setiap pelaku

penyalahguna narkotika terjerat dengan

Page 3: PENERAPAN UNSUR MEMILIKI ATAU MENGUASAI …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.2.11.2013/... · saat sedang menguasai atau memiliki narkotika tanpa melihat tujuan

Jurnal Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 2, No. 2, November 2013 - 86

ketentuan kedua Pasal tersebut serta tidak

jelasnya ketentuan Pasal 127 Undang-Undang

No.35 tahun 2009 tentang Narkotika mengenai

dalam keadaan bagaimana dan kriteria

seseorang dapat dikatakan sebagai

penyalahguna atau pemakai narkotika

mengakibatkan banyaknya penyimpangan

dalam penerapan Pasal 127 Undang-Undang

No.35 tahun 2009 tentang Narkotika ini

sehingga orang yang seharusnya dihukum

sebagai pemakai malah dikenakan pasal dengan

kategori memiliki atau menguasai yang

mengakibatkan penjatuhan hukuman yang tidak

tepat sasaran dimana seseorang tersebut

seharusnya direhabilitasi agar terbebas dari

ketergantungan terhadap narkotika akan tetapi

malah dihukum penjara yang minimal 4

(empat) tahun.

Hal ini sebagaimana terjadi dalam

perkara Asnawi Bin Husni Nomor perkara

159/pid.B/2012/PN.BIR dan perkara Jauhari

Nomor Perkara 115/Pid.B/2012/PN. BIR

dimana keduanya ditangkap secara bersamaan

pada saat hendak menggunakan shabu dan

dilokasi penangkapan ditemukan 0,4 (nol koma

empat) gram shabu, o,3 (nol koma tiga) gram

ganja, korek api, pipet, bong (alat penghisap

shabu), kaca pirek, kedua orang tersebut

didakwa dengan pasal 112 ayat (1) sebagai

orang yang memiliki narkotika karena pada saat

penangkapan bukan sedang memakai akan

tetapi baru akan memakai namun sudah lebih

dahulu ditangkap oleh petugas.

Dalam perkara Hasanuddin

NomorPerkara 46/Pid.Sus/2013/PN.BIR dan

RIZAL ASMADI Nomor Perkara

47/Pid.Sus/2013/PN.BIR dimana keduanya

ditangkap pada saat yang bersamaan dan

didakwa dengan dakwaan Primair melanggar

Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 dan dakwaan Subsidair melanggar

Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No.35

Tahun 2009. Pada saat keduanya ditangkap

didalam saku celana terdakwa Hasanuddin

ditemukan shabu sebanyak 0,3 (nol koma tiga)

gram yang akan dipakai bersama dengan

terdakwa Rizal Asmadi akan tetapi terhadap

keduanya tidak didakwa melanggar Pasal 127

ayat (1) dengan kategori sebagai pemakai

melainkan didakwa dengan Pasal 114 ayat (1)

dan Pasal 112 ayat (1) dan oleh Majelis Hakim

terhadap para terdakwa dipidana selama 4

(empat) tahun karena dibuktikan melanggar

dakwaan Subsidair Pasal 112 ayat (1).

Dengan membandingkan ke empat kasus

diatas dengan kasus Agusni Nomor 202

/Pid.B/2012/PN. Bireuen serta kasus Jafaruddin

Bin Ismail Nomor Perkara 203/Pid.B/2012/PN.

Bireuen yang keduanya didakwa dengan pasal

127 ayat (1) UU No.35 tahun 2009 tentang

Narkotika yang mana keduanya ditangkap pada

saat yang bersamaan dengan barang bukti yang

ditemukan berupa 0,18 (nol koma delapan

belas) gram shabu, keduanya dihukum dengan

pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 8

(delapan) bulan.

Dalam mengadili suatu perkara hakim

terikat dengan surat dakwaan jaksa penuntut

umum sebagai pedoman dalam menentukan

kesalahan seorang terdakwa. Dalam ketentuan

Page 4: PENERAPAN UNSUR MEMILIKI ATAU MENGUASAI …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.2.11.2013/... · saat sedang menguasai atau memiliki narkotika tanpa melihat tujuan

Jurnal Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

87 - Volume 2, No. 2, November 2013

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika menganut sistem pidana minimum

maka hakim juga diarahkan untuk menjatuhkan

pidana dalam batas minimal tertentu. Dalam

mengadili suatu perkara hakim tidak saja

mempertimbangkan kepastian hukum agar

sesuai dengan ketentuan undang-undang tetapi

juga harus mencerminkan rasa keadilan dan

kemanfaatan bagi semua pihak.

KAJIAN KEPUSTAKAAN

Ada beberapa pendapat tentang

pengertian hukum pidana yang dikemukakan

oleh para pakar seperti Sudarto yang

mendefinisikan hukum pidana sebagai

penderitaan yang sengaja dibebankan kepada

orang yang melakukan perbuatan yang

memenuhi syarat-syarat tertentu sedangkan

Roeslan Saleh mengatakan bahwa hukum

pidana adalah reaksi atas delik dan ini berujud

suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan

negara pada pembuat delik.

Menurut Alf Ross, bahwa pidana adalah

reaksi sosial yang :

1. Terjadinya berhubungan dengan adanya

pelanggaran terhadap suatu pelanggaran

hukum.

2. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-

orang yang berkuasa sehubungan dengan

tertib hukum yang dilanggar.

3. Mengandung penderitaan atau paling tidak

konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak

menyenangkan.

4. Menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar

(Mohd.Din, 2009:114).

Dari definisi diatas dapat diambil

kesimpulan bahwa pidana mengandung unsur-

unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :

- Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu

pengenaan penderitaan atau nestapa atau

akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

- Pidana itu memberikan dengan sengaja oleh

orang atau badan yang mempunyai

kekuasaan (oleh yang berwenang).

- Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang

telah melakukan tindak pidana menurut

Undang-Undang (Muladi, Barda Nawawi,

1992:4).

2. Kebijakan pemidanaan.

Menurut Marc Ancel, yang dimaksud

dengan Penal Policy (kebijakan hukum pidana)

sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi dalam

salah satu bukunya adalah suatu ilmu sekaligus

seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan

praktis untuk memungkinkan peraturan hukum

positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk

memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat

undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan

yang menerapkan undang-undang dan juga

kepada para penyelenggara atau pelaksana

putusan pengadilan(Barda Nawawi, 2010:23).

Pengertian kebijakan atau politik hukum

pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun

dari politik kriminal. Menurut Sudarto, politik

hukum adalah:

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-

peraturan yang baik sesuai dengan keadaan

dan situasi pada suatu saat.

Page 5: PENERAPAN UNSUR MEMILIKI ATAU MENGUASAI …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.2.11.2013/... · saat sedang menguasai atau memiliki narkotika tanpa melihat tujuan

Jurnal Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 2, No. 2, November 2013 - 88

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan

yang berwenang untuk menetapkan

peraturan-peraturan yang dikehendaki yang

diperkirakan bisa digunakan untuk

mengekspresikan apa yang terkandung

dalam masyarakat dan untuk mencapai apa

yang dicita-citakan (Barda Nawawi,

2010:26).

Bahwa dasar pokok dalam menjatuhkan

pidana pada orang yang telah melakukan

perbuatan pidana adalah norma yang tidak

tertulis yaitu tidak dipidana jika tidak ada

kesalahan. Dasar ini adalah mengenai

dipertanggungjawabkannya seseorang atas

perbuatan yang telah dilakukannya. Dilarang

dan diancamnya suatu perbuatan pidana ada

dasar yang menjadi pokoknya yaitu asas

legalitas (principle of legality) yaitu asas yang

menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak

ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-

undangan atau yang dikenal dalam bahasa Latin

sebagai Nullum Delictum Nulla Poena Sine

Praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana

tanpa peraturan lebih dahulu) (Moeljatno,

2008:25).

Usaha dan kebijakan dalam membuat

aturan hukum pidana sebenarnya tidak dapat

dilepaskan dari tujuan dasar dalam

penanggulangan kejahatan. Kebijakan hukum

pidana merupakan bagian dari politik kriminal.

Usaha penanggulan kejahatan dengan hukum

pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian

dari usaha penegakan hukum (khususnya

penegakan hukum pidana). Oleh karena itu

sering pula dikatakan bahwa politik atau

kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari

kebijakan penegakan hukum (Barda nawawi,

2010: 28).

3. Teori keadilan.

Keadilan hanya bisa dipahami jika

diposisikan sebagai keadaan yang hendak

diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk

mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut

merupakan proses yang dinamis yang memakan

banyak waktu. Upaya ini seringkali juga

didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang

bertarung dalam kerangka umum tatanan politik

untuk mengaktualisasikannya (Carl Joachim

Friedrich, 2004:239).

Dalam konteks keadilan Aristoteles

mengaitkan teorinya tentang hukum dengan

perasaan sosial etis. Hukum menjadi pengarah

manusia pada nilai-nilai moral yang rasional

maka ia harus adil. Keadilan hukum identik

dengan keadilan umum. Keadilan ditandai oleh

hubungan yang baik antara yang satu dengan

yang lain, tidak mengutamakan diri sendiri

tetapi juga tidak mengutamakan orang lain serta

adanya kesamaan. Formulasinya tentang

keadilan bertumpu pada tiga sari hukum alam

yang olehnya dianggap sebagai prinsip keadilan

utama. Prinsip dimaksud adalah honeste vivere,

alterum non laedere, suum quique tribuere

(hidup secara terhormat, tidak mengganggu

orang lain, dan member kepada tiap orang

bagiannya.(Bernard L.Tanya, et.all, 2010:43-

44)

Page 6: PENERAPAN UNSUR MEMILIKI ATAU MENGUASAI …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.2.11.2013/... · saat sedang menguasai atau memiliki narkotika tanpa melihat tujuan

Jurnal Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

89 - Volume 2, No. 2, November 2013

Ada 3 (tiga) prinsip keadilan dari Rawls

yaitu:

a. Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty

of principle).

b. Prinsip perbedaan (differences principle).

c. Prinsip persamaan kesempatan (equal

opportunity principle).(Bernard L.Tanya.

2010:41)

4. Tujuan pemidanaan.

Teori pemidanaan pada umumnya terbagi

2 yaitu :

- Teori absolute atau teori pembalasan

(retributive/vergeldings theorieen).

Pidana dijatuhkan semata-mata karena orang

telah melakukan suatu kejahatanatau tindak

pidana. Pidana merupakan akibat mutlak

yang harus ada sebagai suatu pembalasan

kepada orang yang melakukan kejahatan.

- Teori relative atau teori tujuan

(utilitarian/doeltheorieen).

Menurut teori ini memidana bukanlah untuk

memuaskan teori absolute dari keadilan.

Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai

nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk

melindungi kepentingan masyarakat.

Lalu muncul teori yang ketiga yaitu

- Teori gabungan terbagi dalam tiga golongan

yaitu :

a. Yang menitikberatkan pembalasan, tetapi

pembalasan itu tidak boleh melampaui batas

keperluannya dan sudah cukup

mempertahankan tata tertib masyarakat.

b. Yang menitikberatkan pertahanan tata tertib

masyarakat, tetapi hukuman tidak boleh

lebih berat daripada penderitaan yang sesuai

dengan beratnya perbuatan yang dilakukan

oleh terhukum.

Yang menganggap bahwa kedua asas tersebut atas

harus menitikberatkan sama.(Atang

Ranoemihardja,R.1984:22-23).

METODE PENELITIAN

Jenis dan Pendekatan Penelitianini

menggunakan metode yuridis normatif.

Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan

cara terlebih dahulu meneliti peraturan

perundang-undangan yang relevan dengan

permasalahan yang diteliti. Dengan perkataan

lain melihat hukum dari aspek normatif.

Untuk melengkapi data kepustakaan juga

dilakukan penelitian lapangan dengan

melakukan wawancara dengan para pihak yang

relevan dengan masalah yang diteliti. Penelitian

ini dilakukan dengan cara mengumpulkan dan

mempelajari bahan hukum primair, bahan

hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

Bahan hukum primer antara lain Undang-

Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1981), Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,

kemudian diubah dengan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2004 dan terakhir diubah

dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009

tentang Peradilan Umum, SEMA No.4 Tahun

2010 tentang penetapan penyalahgunaan,

Page 7: PENERAPAN UNSUR MEMILIKI ATAU MENGUASAI …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.2.11.2013/... · saat sedang menguasai atau memiliki narkotika tanpa melihat tujuan

Jurnal Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 2, No. 2, November 2013 - 90

korban penyalahgunaan dan pecandu Narkotika

ke dalam Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi

sosial. Putusan Pengadilan Negeri dalam

perkara Narkotika yang dakwaan melanggar

pasal 111 atau 112 Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika.

HASIL PENELITIAN

Seorang pemakai yang tertangkap pada

saat sedang menguasai narkotika, maka orang

tersebut akan terjerat dengan ketentuan Pasal

111 dan Pasal 112 Undang-Undang No.35

Tahun 2009 tentang Narkotika yang ancaman

pidananya minimal 4 (empat) tahun penjara.

Berdasarkan wawancara dengan

penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Bireuen

tentang permasalahan diatas maka diperoleh

data bahwa ketika sebuah berkas perkara

dilimpahkan ke kejaksaan, maka berkas tersebut

telah terlebih dahulu mengendap di tingkat

Penyidik selama lebih kurang 1 (satu) bulan

atau bahkan lebih. Ketika berkas tersebut

sampai ke tangan penuntut umum maka

penuntut umum akan mempelajari berkas

tersebut dan setelah di pelajari lalu penuntut

umum akan memberikan petunjuk tentang hal

apa yang harus dilengkapi termasuk petunjuk

agar terhadap tersangka dilakukan tes urine

terdakwa tersebut untuk dijadikan bukti

pendukung bahwa seseorang tersebut adalah

penyalah guna narkotika bagi diri sendiri yang

akan terbukti positif mengandung narkotika.

Atas petunjuk penuntut umum tersebut

maka pihak penyidik memberikan jawaban

bahwa sudah tidak mungkin dilakukan tes urine

karena pihak Laboratorium Kriminal akan

menolak untuk melakukan tes urine terhadap

tersangka yang telah ditangkap lebih dari 3

(tiga) hari dan ketika seorang tersangka

ditangkap penyidik tidak langsung melakukan

tes urine karena pada saat ditangkap si

tersangka tersebut tidak sedang menggunakan

narkotika melainkan sedang menguasai.

Penuntut umum tidak bisa mendakwakan

perbuatan yang tidak dilakukan karena

terdakwa ditangkap tidak sedang menggunakan.

Sehubungan dengan tugas penuntut

umum memberi petunjuk kepada penyidik

untuk menyempurnakan penyidikan maka

dalam hal ini berdasarkan hasil wawancara

dengan salah seorang penuntut umum pada

Kejaksaan Negeri Bireuen tersebut bahwa

penuntut umum telah memberi petunjuk untuk

melampirkan hasil tes urine dari terdakwa

penyalahgunaan narkotika akan tetapi hal

tersebut tidak bisa dipenuhi oleh penyidik.

Formulasi ketentuan Pasal 111 dan 112

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

narkotika sudah dapat diterapkan terhadap

tersangka karena hanya dengan menguasai atau

memiliki atau menyimpan narkotika saja

seseorang sudah dapat diterapkan ketentuan

pasal diatas tanpa perlu mengambil urine untuk

dites apakah positif mengandung narkotika atau

tidak yang tentunya menambah pekerjaan

penyidik.

Berdasarkan kejadian seperti yang telah

diuraikan di atas maka jaksa penuntut umum

akan menyusun surat dakwaan dan terhadap

tersangka akan diterapkan ketentuan Pasal 111

Page 8: PENERAPAN UNSUR MEMILIKI ATAU MENGUASAI …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.2.11.2013/... · saat sedang menguasai atau memiliki narkotika tanpa melihat tujuan

Jurnal Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

91 - Volume 2, No. 2, November 2013

atau 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang narkotika dengan ketentuan

menyimpan atau memiliki ataupun menguasai

narkotika dan tidak diterapkan ketentuan Pasal

127 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009

tentang narkotika yang mengatur tentang

penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri.

Penerapan Pasal 111 atau Pasal 112

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika terhadap penyalahguna narkotika

bagi diri sendiri apabila dilihat dari sudut

hukum telah memenuhi ketentuan sesuai

dengan unsur-unsur dari pasal tersebut, akan

tetapi apabila dilihat dari sudut keadilan dan

kebijakan maka penerapan pasal tersebut sama

sekali tidak sesuai karena seorang

penyalahguna narkotika bagi diri sendiri harus

dipandang sebagai korban dari kejahatan

narkotika itu sendiri maka akan sangat tidak

adil apabila terhadap penyalahguna narkotika

bagi diri sendiri diterapkan Pasal 111 atau Pasal

112 dari Undang-Undang Narkotika tersebut.

Pada umumnya penyalahguna narkotika

bagi diri sendiri adalah manusia yang masih

dalam usia yang sangat produktif yang

merupakan generasi penerus bangsa. Apabila

para penyalahguna narkotika bagi diri sendiri

ini hanya dipenjara bertahun-tahun tanpa

disembuhkan secara tepat dan benar maka bisa

dibayangkan masa depan para terpidana

tersebut karena didalam penjara ataupun

lembaga pemasyarakatan, narkotika bisa

didapatkan.

Menghukum penjara para penyalahguna

narkotika bagi diri sendiri dan menempatkan

mereka di dalam lembaga pemasyarakatan

bukanlah tindakan yang tepat dan bijaksana

karena para penyalahguna narkotika bagi diri

sendiri ini tidak akan sembuh dari

ketergantungan pada narkotika dan tindakan ini

juga menyebabkan tingkat hunian lembaga

pemasyarakatan melebihi daya tampung karena

karena sebagian besar penghuni lembaga

pemasyarakatan adalah para penyalahguna

narkotika.

Untuk mengetahui kapan seorang

penyalahguna dapat diterapkan ketentuan pasal

127 Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009

adalah terlebih dahulu harus diketahui bahwa

tujuan seorang penyalahguna sedang membeli,

menerima, menguasai dan membawa narkotika

tersebut adalah benar untuk digunakan bagi

dirinya sendiri. Penentuan tujuan seseorang

sedang menguasai, memiliki, menerima atau

membeli narkotika adalah sangat penting untuk

penerapan ketentuan pidana yang tepat.

Mahkamah Agung Republik Indonesia telah

mengeluarkan surat edaran Nomor 4 Tahun

2010 tertanggal 7 April 2010 yang dapat

dijadikan acuan untuk menentukan apakah

seseorang tersebut adalah penyalahguna bagi

diri sendiri atau bukan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pertimbangan penuntut umum dalam

membuat dakwaan dan memilih Pasal 111

atau 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika terhadap pemakai

dikarenakan pada saat berkas perkara

Page 9: PENERAPAN UNSUR MEMILIKI ATAU MENGUASAI …prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.2.11.2013/... · saat sedang menguasai atau memiliki narkotika tanpa melihat tujuan

Jurnal Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Syiah Kuala

Volume 2, No. 2, November 2013 - 92

dilimpahkan ke penuntut umum oleh

penyidik telah melampaui waktu 1 sampai 2

bulan sejak penangkapan, sehingga tidak

bisa dilakukan tes urine untuk membuktikan

yang bersangkutan sebagai pemakai.Berkas

perkara dilimpahkan ke penuntut umum oleh

penyidik, oleh penuntut umum telah

memberikan petunjuk supaya dilakukan tes

urine, akan tetapi tidak bisa dilaksanakan

oleh penyidik karena batas waktu

pemeriksaan urine tidak boleh melampaui 3

(tiga) hari setelah penangkapan.

2. Formulasi ketentuan Pasal 111, 112

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009

tentang Narkotika luas sehingga menjerat

pelaku penyalahgunaan narkotika bagi diri

sendiri yang tertangkap pada saat sedang

menguasai atau memiliki narkotika tanpa

melihat tujuan kepemilikan narkotika

tersebut yang akan dipergunakan bagi diri

sendiri sebagaimana telah diatur dalam Pasal

127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika.

Saran

1. Disarankan kepada pembuat Undang-

Undang Narkotika supaya memperjelas

formulasi Pasal 111 dan 112 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

narkotika dengan menambahkan tujuan

menguasai atau memiliki narkotika sehingga

pelaku penyalahgunaan narkotika bagi diri

sendiri yang ditangkap sedang menguasai

atau memiliki narkotika tidak terjerat dengan

unsur memiliki atau menguasai karena setiap

orang yang hendak menggunakan narkotika

dipastikan harus terlebih dahulu memiliki

atau menguasai narkotika.

2. Disarankan kepada penuntut umum agar

bekerja secara profesional dan jujur dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya

khususnya dalam membuat dakwaan dan

memilih pasal yang sesuai terhadap pelaku

penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri

dengan melihat kasus perkasus secara detil.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Andi, H., 2010. Asas-Asas Hukum Pidana.

Jakarta: Rineka Cipta.

Atang, R.,1984. Hukum Pidana, AsasAsas, Pokok

Pengertian dan Teori Serta Pendapat

Sarjana. Bandung,: Tarsito.

Barda, N.A., 2010. Bunga Rampai Kebijakan

Hukum Pidana. Jakarta: Prenada Media

Group.

Bernard L., et.all, 2010. Teori Hukum. Jakarta:

Genta Publishing,

Carl, J.F., 2004. Filsafat HukumPerspektif Historis.

Bandung: Nuansa Media.

Din, M., 2009. Stimulasi Pembangunan Hukum

Pidana Nasional. Unpad Press.

Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta:

Rineka Cipta, ,

Taufik, M.M., et.al, 2003. Tindak Pidana Narkotika.

Jakarta: Ghalia Indonesia.