PENERAPAN UNSUR MEMILIKI ATAU MENGUASAI...
Click here to load reader
Transcript of PENERAPAN UNSUR MEMILIKI ATAU MENGUASAI...
Jurnal Ilmu Hukum ISSN 2302-0180
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 9 Pages pp. 84-92
Volume 2, No. 2, November 2013 - 84
PENERAPAN UNSUR MEMILIKI ATAU MENGUASAI
NARKOTIKATERHADAP PEMAKAI DALAM PERSPEKTIF
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
Rosnainah
1, Dahlan Ali
2, Mohd. Din
2
¹)Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas SyiahKuala
2) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Abstract: In the Act Number 35, 2009 regarding Narcotics, the punishment of drug abuser on
themselves has been ruled in Article 127 that the abusers are punished to prison maximal for 2
(two) years or rehabilitated. However, there are many abusers that they are charged by the
prosecution violating Article 111 or 112 of the Act with the qualification of having or possessing
drugs that the punishment in both articles is 4 (four) years. The problems raised are analyzed and
solved based on theory and existing rules. The research shows that the fundamental considerations
for the prosecution to charge the drug abusers for themselves are based on Article 111 or Article
112 rather then Article 127 of the Act Number 35, 2009 regarding Narcotics as a result of the
indictment of cases submitted to the prosecution by the investigators has passed 1 to 2 months
since the arrest, hence the urine cannot be tested to prove he consumed the drugs. The indictment
is submitted to the prosecution office that the office has suggested the abuser must be tested its
urine but it cannot conducted as the time of checking it no more than 3 days after the arrest. The
formula in Articles 111 and 112 of the Act Number 35, 2009 regarding Narcotics is broad hence it
can be imposed on drug abuser for themselves caught in the act of having or owning narcotics
without looking at the purpose of having such illegal matter that is going to be consumed for
themselves as regulated in Article 127 of the Act Number 35, 2009 regarding Narcotics. The
prosecution should be professional and honest in conducting its duty and function especially in
making an indictment and choosing proper article charged for the abuser for themselves by
considering the aims of owning and having narcotics. Moreover, law makers of Narcotics Act
should make clear the formula of Articles 111 and 112 of the Act Number 35, 2009 regarding
Narcotics by adding the purpose of owning and having.
Keywords : Possessing Narcotic, Drug Abuser and Criminal Law Policy
Abstrak: Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pemidanaan terhadap
penyalahguna narkotika bagi diri sendiri telah diatur dalam Pasal 127 dimana penyalahguna
tersebut dipidana dengan pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun atau bisa direhabilitasi. Akan
tetapi, dalam kenyataannya banyak penyalahguna yang didakwa oleh Penuntut Umum melanggar
Pasal 111 atau 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan kualifikasi
unsur memiliki atau menguasai narkotika dimana ancaman pidana dalam kedua pasal tersebut
minimal 4 (empat) tahun. Pertimbangan penuntut umum mendakwa seorang penyalahguna
narkotika bagi diri sendiri dengan Pasal 111 atau Pasal 112 daripada Pasal 127 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dikarenakan saat berkas perkara dilimpahkan ke
penuntut umum oleh penyidik telah melampaui waktu 1 sampai 2 bulan sejak penangkapan,
sehingga tidak bisa dilakukan tes urine untuk membuktikan yang bersangkutan sebagai pemakai.
Berkas perkara dilimpahkan ke penuntut umum oleh penyidik yang oleh penuntut umum telah
memberikan petunjuk supaya dilakukan tes urine, akan tetapi tidak bisa dilaksanakan oleh
penyidik karena batas waktu pemeriksaan urine tidak boleh melampaui 3 hari setelah penangkapan.
Formulasi ketentuan Pasal 111 dan 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
luas sehingga menjerat pelaku penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri yang tertangkap pada
saat sedang menguasai atau memiliki narkotika tanpa melihat tujuan kepemilikan narkotika
tersebut yang akan dipergunakan bagi diri sendiri sebagaimana telah diatur dalam pasal 127
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Penuntut Umum agar bekerja secara
profesional dan jujur dalam melaksanakan tugas dan fungsinya khususnya dalam membuat
dakwaan dan memilih pasal yang sesuai terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika bagi diri
sendiri dengan mempertimbangkan tujuan penguasaan atau kepemilikan narkotika. Pembuat
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
85 - Volume 2, No. 2, November 2013
Undang-Undang Narkotika supaya memperjelas formulasi Pasal 111 dan 112 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika dengan menambahkan tujuan menguasai atau memiliki
narkotika.
Kata Kunci : Penguasaan Narkotika, Penyalahguna Narkotika dan Kebijakan Hukum Pidana.
PENDAHULUAN
Narkotika adalah zat atau obat yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupunsemisintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan (Pasal 1 Undang-
Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika).
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut juga
disebut bahwa “Pecandu Narkotika adalah
orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan Narkotika dan dalam
keadaan ketergantungan pada narkotika, baik
secara fisik maupun psikis”.
Berbagai masalah timbul bersumber dari
narkotika ini. Narkotika bisa didapatkan dengan
mudah. Dari segi usia, narkotika tidak
dinikmati golongan remaja saja, tetapi juga
golongan setengah baya maupun golongan usia
tua. Penyebaran narkotika sudah sangat meluas
karena tidak lagi terjadi hanya dikota besar
tetapi sudah masuk ke kota-kota kecil dan
merambah dikecamatan bahkan desa-desa.
(Taufik Makaroa, 2003:4).
Undang-undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika telah mengatur tentang
hukuman pidana yang dijatuhkan terhadap
pelaku tindak pidana narkotika. Dalam pasal
111 diatur tentang penguasaan narkotika
golongan I dalam bentuk tanaman dan dalam
pasal 112 diatur tentang penguasaan narkotika
dalam bentuk bukan tanaman. Khusus terhadap
pelaku penyalahgunaan narkotika bagi diri
sendiri, Undang-Undang No.35 Tahun 2009
telah mengaturnya dalam Pasal 127 ayat (1), (2)
dan (3).
Dalam membuat surat dakwaan, Penuntut
Umum seringkali menggunakan Pasal 111
maupun Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika untuk
mendakwa pelaku tindak pidana
penyalahgunaan narkotika dengan barang bukti
yang ditemukan pada saat penangkapan
diperkirakan cukup untuk dipakai sehari.
Dengan menggunakan Pasal 111 maupun
Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika terhadap pelaku
penyalahgunaan narkotika tersebut maka akan
mengakibatkan para penyalahguna narkotika
tersebut akan dipidana minimal 4 (empat) tahun
penjara ditambah dengan denda yang apabila
tidak dibayar maka akan diganti dengan
hukuman kurungan pengganti denda.
Formulasi Pasal 111 dan 112 Undang-
Undang Nomor 35 tahun 2009 yang memakai
kata-kata “menguasai, menyimpan, memiliki”
yang memungkinkan setiap pelaku
penyalahguna narkotika terjerat dengan
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 2, No. 2, November 2013 - 86
ketentuan kedua Pasal tersebut serta tidak
jelasnya ketentuan Pasal 127 Undang-Undang
No.35 tahun 2009 tentang Narkotika mengenai
dalam keadaan bagaimana dan kriteria
seseorang dapat dikatakan sebagai
penyalahguna atau pemakai narkotika
mengakibatkan banyaknya penyimpangan
dalam penerapan Pasal 127 Undang-Undang
No.35 tahun 2009 tentang Narkotika ini
sehingga orang yang seharusnya dihukum
sebagai pemakai malah dikenakan pasal dengan
kategori memiliki atau menguasai yang
mengakibatkan penjatuhan hukuman yang tidak
tepat sasaran dimana seseorang tersebut
seharusnya direhabilitasi agar terbebas dari
ketergantungan terhadap narkotika akan tetapi
malah dihukum penjara yang minimal 4
(empat) tahun.
Hal ini sebagaimana terjadi dalam
perkara Asnawi Bin Husni Nomor perkara
159/pid.B/2012/PN.BIR dan perkara Jauhari
Nomor Perkara 115/Pid.B/2012/PN. BIR
dimana keduanya ditangkap secara bersamaan
pada saat hendak menggunakan shabu dan
dilokasi penangkapan ditemukan 0,4 (nol koma
empat) gram shabu, o,3 (nol koma tiga) gram
ganja, korek api, pipet, bong (alat penghisap
shabu), kaca pirek, kedua orang tersebut
didakwa dengan pasal 112 ayat (1) sebagai
orang yang memiliki narkotika karena pada saat
penangkapan bukan sedang memakai akan
tetapi baru akan memakai namun sudah lebih
dahulu ditangkap oleh petugas.
Dalam perkara Hasanuddin
NomorPerkara 46/Pid.Sus/2013/PN.BIR dan
RIZAL ASMADI Nomor Perkara
47/Pid.Sus/2013/PN.BIR dimana keduanya
ditangkap pada saat yang bersamaan dan
didakwa dengan dakwaan Primair melanggar
Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 dan dakwaan Subsidair melanggar
Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No.35
Tahun 2009. Pada saat keduanya ditangkap
didalam saku celana terdakwa Hasanuddin
ditemukan shabu sebanyak 0,3 (nol koma tiga)
gram yang akan dipakai bersama dengan
terdakwa Rizal Asmadi akan tetapi terhadap
keduanya tidak didakwa melanggar Pasal 127
ayat (1) dengan kategori sebagai pemakai
melainkan didakwa dengan Pasal 114 ayat (1)
dan Pasal 112 ayat (1) dan oleh Majelis Hakim
terhadap para terdakwa dipidana selama 4
(empat) tahun karena dibuktikan melanggar
dakwaan Subsidair Pasal 112 ayat (1).
Dengan membandingkan ke empat kasus
diatas dengan kasus Agusni Nomor 202
/Pid.B/2012/PN. Bireuen serta kasus Jafaruddin
Bin Ismail Nomor Perkara 203/Pid.B/2012/PN.
Bireuen yang keduanya didakwa dengan pasal
127 ayat (1) UU No.35 tahun 2009 tentang
Narkotika yang mana keduanya ditangkap pada
saat yang bersamaan dengan barang bukti yang
ditemukan berupa 0,18 (nol koma delapan
belas) gram shabu, keduanya dihukum dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 8
(delapan) bulan.
Dalam mengadili suatu perkara hakim
terikat dengan surat dakwaan jaksa penuntut
umum sebagai pedoman dalam menentukan
kesalahan seorang terdakwa. Dalam ketentuan
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
87 - Volume 2, No. 2, November 2013
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika menganut sistem pidana minimum
maka hakim juga diarahkan untuk menjatuhkan
pidana dalam batas minimal tertentu. Dalam
mengadili suatu perkara hakim tidak saja
mempertimbangkan kepastian hukum agar
sesuai dengan ketentuan undang-undang tetapi
juga harus mencerminkan rasa keadilan dan
kemanfaatan bagi semua pihak.
KAJIAN KEPUSTAKAAN
Ada beberapa pendapat tentang
pengertian hukum pidana yang dikemukakan
oleh para pakar seperti Sudarto yang
mendefinisikan hukum pidana sebagai
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada
orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu sedangkan
Roeslan Saleh mengatakan bahwa hukum
pidana adalah reaksi atas delik dan ini berujud
suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan
negara pada pembuat delik.
Menurut Alf Ross, bahwa pidana adalah
reaksi sosial yang :
1. Terjadinya berhubungan dengan adanya
pelanggaran terhadap suatu pelanggaran
hukum.
2. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-
orang yang berkuasa sehubungan dengan
tertib hukum yang dilanggar.
3. Mengandung penderitaan atau paling tidak
konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak
menyenangkan.
4. Menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar
(Mohd.Din, 2009:114).
Dari definisi diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa pidana mengandung unsur-
unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :
- Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu
pengenaan penderitaan atau nestapa atau
akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
- Pidana itu memberikan dengan sengaja oleh
orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang).
- Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang
telah melakukan tindak pidana menurut
Undang-Undang (Muladi, Barda Nawawi,
1992:4).
2. Kebijakan pemidanaan.
Menurut Marc Ancel, yang dimaksud
dengan Penal Policy (kebijakan hukum pidana)
sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi dalam
salah satu bukunya adalah suatu ilmu sekaligus
seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan
praktis untuk memungkinkan peraturan hukum
positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat
undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan
yang menerapkan undang-undang dan juga
kepada para penyelenggara atau pelaksana
putusan pengadilan(Barda Nawawi, 2010:23).
Pengertian kebijakan atau politik hukum
pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun
dari politik kriminal. Menurut Sudarto, politik
hukum adalah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-
peraturan yang baik sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu saat.
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 2, No. 2, November 2013 - 88
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan
yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang
diperkirakan bisa digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung
dalam masyarakat dan untuk mencapai apa
yang dicita-citakan (Barda Nawawi,
2010:26).
Bahwa dasar pokok dalam menjatuhkan
pidana pada orang yang telah melakukan
perbuatan pidana adalah norma yang tidak
tertulis yaitu tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan. Dasar ini adalah mengenai
dipertanggungjawabkannya seseorang atas
perbuatan yang telah dilakukannya. Dilarang
dan diancamnya suatu perbuatan pidana ada
dasar yang menjadi pokoknya yaitu asas
legalitas (principle of legality) yaitu asas yang
menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak
ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-
undangan atau yang dikenal dalam bahasa Latin
sebagai Nullum Delictum Nulla Poena Sine
Praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana
tanpa peraturan lebih dahulu) (Moeljatno,
2008:25).
Usaha dan kebijakan dalam membuat
aturan hukum pidana sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari tujuan dasar dalam
penanggulangan kejahatan. Kebijakan hukum
pidana merupakan bagian dari politik kriminal.
Usaha penanggulan kejahatan dengan hukum
pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian
dari usaha penegakan hukum (khususnya
penegakan hukum pidana). Oleh karena itu
sering pula dikatakan bahwa politik atau
kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari
kebijakan penegakan hukum (Barda nawawi,
2010: 28).
3. Teori keadilan.
Keadilan hanya bisa dipahami jika
diposisikan sebagai keadaan yang hendak
diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk
mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut
merupakan proses yang dinamis yang memakan
banyak waktu. Upaya ini seringkali juga
didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang
bertarung dalam kerangka umum tatanan politik
untuk mengaktualisasikannya (Carl Joachim
Friedrich, 2004:239).
Dalam konteks keadilan Aristoteles
mengaitkan teorinya tentang hukum dengan
perasaan sosial etis. Hukum menjadi pengarah
manusia pada nilai-nilai moral yang rasional
maka ia harus adil. Keadilan hukum identik
dengan keadilan umum. Keadilan ditandai oleh
hubungan yang baik antara yang satu dengan
yang lain, tidak mengutamakan diri sendiri
tetapi juga tidak mengutamakan orang lain serta
adanya kesamaan. Formulasinya tentang
keadilan bertumpu pada tiga sari hukum alam
yang olehnya dianggap sebagai prinsip keadilan
utama. Prinsip dimaksud adalah honeste vivere,
alterum non laedere, suum quique tribuere
(hidup secara terhormat, tidak mengganggu
orang lain, dan member kepada tiap orang
bagiannya.(Bernard L.Tanya, et.all, 2010:43-
44)
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
89 - Volume 2, No. 2, November 2013
Ada 3 (tiga) prinsip keadilan dari Rawls
yaitu:
a. Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty
of principle).
b. Prinsip perbedaan (differences principle).
c. Prinsip persamaan kesempatan (equal
opportunity principle).(Bernard L.Tanya.
2010:41)
4. Tujuan pemidanaan.
Teori pemidanaan pada umumnya terbagi
2 yaitu :
- Teori absolute atau teori pembalasan
(retributive/vergeldings theorieen).
Pidana dijatuhkan semata-mata karena orang
telah melakukan suatu kejahatanatau tindak
pidana. Pidana merupakan akibat mutlak
yang harus ada sebagai suatu pembalasan
kepada orang yang melakukan kejahatan.
- Teori relative atau teori tujuan
(utilitarian/doeltheorieen).
Menurut teori ini memidana bukanlah untuk
memuaskan teori absolute dari keadilan.
Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai
nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk
melindungi kepentingan masyarakat.
Lalu muncul teori yang ketiga yaitu
- Teori gabungan terbagi dalam tiga golongan
yaitu :
a. Yang menitikberatkan pembalasan, tetapi
pembalasan itu tidak boleh melampaui batas
keperluannya dan sudah cukup
mempertahankan tata tertib masyarakat.
b. Yang menitikberatkan pertahanan tata tertib
masyarakat, tetapi hukuman tidak boleh
lebih berat daripada penderitaan yang sesuai
dengan beratnya perbuatan yang dilakukan
oleh terhukum.
Yang menganggap bahwa kedua asas tersebut atas
harus menitikberatkan sama.(Atang
Ranoemihardja,R.1984:22-23).
METODE PENELITIAN
Jenis dan Pendekatan Penelitianini
menggunakan metode yuridis normatif.
Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan
cara terlebih dahulu meneliti peraturan
perundang-undangan yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti. Dengan perkataan
lain melihat hukum dari aspek normatif.
Untuk melengkapi data kepustakaan juga
dilakukan penelitian lapangan dengan
melakukan wawancara dengan para pihak yang
relevan dengan masalah yang diteliti. Penelitian
ini dilakukan dengan cara mengumpulkan dan
mempelajari bahan hukum primair, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
Bahan hukum primer antara lain Undang-
Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981), Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,
kemudian diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2004 dan terakhir diubah
dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009
tentang Peradilan Umum, SEMA No.4 Tahun
2010 tentang penetapan penyalahgunaan,
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 2, No. 2, November 2013 - 90
korban penyalahgunaan dan pecandu Narkotika
ke dalam Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi
sosial. Putusan Pengadilan Negeri dalam
perkara Narkotika yang dakwaan melanggar
pasal 111 atau 112 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
HASIL PENELITIAN
Seorang pemakai yang tertangkap pada
saat sedang menguasai narkotika, maka orang
tersebut akan terjerat dengan ketentuan Pasal
111 dan Pasal 112 Undang-Undang No.35
Tahun 2009 tentang Narkotika yang ancaman
pidananya minimal 4 (empat) tahun penjara.
Berdasarkan wawancara dengan
penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Bireuen
tentang permasalahan diatas maka diperoleh
data bahwa ketika sebuah berkas perkara
dilimpahkan ke kejaksaan, maka berkas tersebut
telah terlebih dahulu mengendap di tingkat
Penyidik selama lebih kurang 1 (satu) bulan
atau bahkan lebih. Ketika berkas tersebut
sampai ke tangan penuntut umum maka
penuntut umum akan mempelajari berkas
tersebut dan setelah di pelajari lalu penuntut
umum akan memberikan petunjuk tentang hal
apa yang harus dilengkapi termasuk petunjuk
agar terhadap tersangka dilakukan tes urine
terdakwa tersebut untuk dijadikan bukti
pendukung bahwa seseorang tersebut adalah
penyalah guna narkotika bagi diri sendiri yang
akan terbukti positif mengandung narkotika.
Atas petunjuk penuntut umum tersebut
maka pihak penyidik memberikan jawaban
bahwa sudah tidak mungkin dilakukan tes urine
karena pihak Laboratorium Kriminal akan
menolak untuk melakukan tes urine terhadap
tersangka yang telah ditangkap lebih dari 3
(tiga) hari dan ketika seorang tersangka
ditangkap penyidik tidak langsung melakukan
tes urine karena pada saat ditangkap si
tersangka tersebut tidak sedang menggunakan
narkotika melainkan sedang menguasai.
Penuntut umum tidak bisa mendakwakan
perbuatan yang tidak dilakukan karena
terdakwa ditangkap tidak sedang menggunakan.
Sehubungan dengan tugas penuntut
umum memberi petunjuk kepada penyidik
untuk menyempurnakan penyidikan maka
dalam hal ini berdasarkan hasil wawancara
dengan salah seorang penuntut umum pada
Kejaksaan Negeri Bireuen tersebut bahwa
penuntut umum telah memberi petunjuk untuk
melampirkan hasil tes urine dari terdakwa
penyalahgunaan narkotika akan tetapi hal
tersebut tidak bisa dipenuhi oleh penyidik.
Formulasi ketentuan Pasal 111 dan 112
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
narkotika sudah dapat diterapkan terhadap
tersangka karena hanya dengan menguasai atau
memiliki atau menyimpan narkotika saja
seseorang sudah dapat diterapkan ketentuan
pasal diatas tanpa perlu mengambil urine untuk
dites apakah positif mengandung narkotika atau
tidak yang tentunya menambah pekerjaan
penyidik.
Berdasarkan kejadian seperti yang telah
diuraikan di atas maka jaksa penuntut umum
akan menyusun surat dakwaan dan terhadap
tersangka akan diterapkan ketentuan Pasal 111
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
91 - Volume 2, No. 2, November 2013
atau 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang narkotika dengan ketentuan
menyimpan atau memiliki ataupun menguasai
narkotika dan tidak diterapkan ketentuan Pasal
127 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009
tentang narkotika yang mengatur tentang
penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri.
Penerapan Pasal 111 atau Pasal 112
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika terhadap penyalahguna narkotika
bagi diri sendiri apabila dilihat dari sudut
hukum telah memenuhi ketentuan sesuai
dengan unsur-unsur dari pasal tersebut, akan
tetapi apabila dilihat dari sudut keadilan dan
kebijakan maka penerapan pasal tersebut sama
sekali tidak sesuai karena seorang
penyalahguna narkotika bagi diri sendiri harus
dipandang sebagai korban dari kejahatan
narkotika itu sendiri maka akan sangat tidak
adil apabila terhadap penyalahguna narkotika
bagi diri sendiri diterapkan Pasal 111 atau Pasal
112 dari Undang-Undang Narkotika tersebut.
Pada umumnya penyalahguna narkotika
bagi diri sendiri adalah manusia yang masih
dalam usia yang sangat produktif yang
merupakan generasi penerus bangsa. Apabila
para penyalahguna narkotika bagi diri sendiri
ini hanya dipenjara bertahun-tahun tanpa
disembuhkan secara tepat dan benar maka bisa
dibayangkan masa depan para terpidana
tersebut karena didalam penjara ataupun
lembaga pemasyarakatan, narkotika bisa
didapatkan.
Menghukum penjara para penyalahguna
narkotika bagi diri sendiri dan menempatkan
mereka di dalam lembaga pemasyarakatan
bukanlah tindakan yang tepat dan bijaksana
karena para penyalahguna narkotika bagi diri
sendiri ini tidak akan sembuh dari
ketergantungan pada narkotika dan tindakan ini
juga menyebabkan tingkat hunian lembaga
pemasyarakatan melebihi daya tampung karena
karena sebagian besar penghuni lembaga
pemasyarakatan adalah para penyalahguna
narkotika.
Untuk mengetahui kapan seorang
penyalahguna dapat diterapkan ketentuan pasal
127 Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009
adalah terlebih dahulu harus diketahui bahwa
tujuan seorang penyalahguna sedang membeli,
menerima, menguasai dan membawa narkotika
tersebut adalah benar untuk digunakan bagi
dirinya sendiri. Penentuan tujuan seseorang
sedang menguasai, memiliki, menerima atau
membeli narkotika adalah sangat penting untuk
penerapan ketentuan pidana yang tepat.
Mahkamah Agung Republik Indonesia telah
mengeluarkan surat edaran Nomor 4 Tahun
2010 tertanggal 7 April 2010 yang dapat
dijadikan acuan untuk menentukan apakah
seseorang tersebut adalah penyalahguna bagi
diri sendiri atau bukan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pertimbangan penuntut umum dalam
membuat dakwaan dan memilih Pasal 111
atau 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika terhadap pemakai
dikarenakan pada saat berkas perkara
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 2, No. 2, November 2013 - 92
dilimpahkan ke penuntut umum oleh
penyidik telah melampaui waktu 1 sampai 2
bulan sejak penangkapan, sehingga tidak
bisa dilakukan tes urine untuk membuktikan
yang bersangkutan sebagai pemakai.Berkas
perkara dilimpahkan ke penuntut umum oleh
penyidik, oleh penuntut umum telah
memberikan petunjuk supaya dilakukan tes
urine, akan tetapi tidak bisa dilaksanakan
oleh penyidik karena batas waktu
pemeriksaan urine tidak boleh melampaui 3
(tiga) hari setelah penangkapan.
2. Formulasi ketentuan Pasal 111, 112
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika luas sehingga menjerat
pelaku penyalahgunaan narkotika bagi diri
sendiri yang tertangkap pada saat sedang
menguasai atau memiliki narkotika tanpa
melihat tujuan kepemilikan narkotika
tersebut yang akan dipergunakan bagi diri
sendiri sebagaimana telah diatur dalam Pasal
127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
Saran
1. Disarankan kepada pembuat Undang-
Undang Narkotika supaya memperjelas
formulasi Pasal 111 dan 112 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
narkotika dengan menambahkan tujuan
menguasai atau memiliki narkotika sehingga
pelaku penyalahgunaan narkotika bagi diri
sendiri yang ditangkap sedang menguasai
atau memiliki narkotika tidak terjerat dengan
unsur memiliki atau menguasai karena setiap
orang yang hendak menggunakan narkotika
dipastikan harus terlebih dahulu memiliki
atau menguasai narkotika.
2. Disarankan kepada penuntut umum agar
bekerja secara profesional dan jujur dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya
khususnya dalam membuat dakwaan dan
memilih pasal yang sesuai terhadap pelaku
penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri
dengan melihat kasus perkasus secara detil.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Andi, H., 2010. Asas-Asas Hukum Pidana.
Jakarta: Rineka Cipta.
Atang, R.,1984. Hukum Pidana, AsasAsas, Pokok
Pengertian dan Teori Serta Pendapat
Sarjana. Bandung,: Tarsito.
Barda, N.A., 2010. Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana. Jakarta: Prenada Media
Group.
Bernard L., et.all, 2010. Teori Hukum. Jakarta:
Genta Publishing,
Carl, J.F., 2004. Filsafat HukumPerspektif Historis.
Bandung: Nuansa Media.
Din, M., 2009. Stimulasi Pembangunan Hukum
Pidana Nasional. Unpad Press.
Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta:
Rineka Cipta, ,
Taufik, M.M., et.al, 2003. Tindak Pidana Narkotika.
Jakarta: Ghalia Indonesia.