Penerapan Metode Active Learning pada Klasifikasi Pola Berbasis Contoh

5
Seminar Nasional Teknologi Informasi 2005 1 PENERAPAN METODE ACTIVE LEARNING PADA KLASIFIKASI POLA BERBASIS CONTOH Setyo Nugroho 1) Agus Harjoko 2) 1) Jurusan Teknik Informatika, STMIK STIKOM Balikpapan Jl. Kapten P Tendean 2A, Balikpapan 76111 Indonesia email : [email protected] 2) Program Pascasarjana Ilmu Komputer, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Indonesia email : [email protected] ABSTRACT Pada pengklasifikasi pola hasil pembelajaran berbasis contoh, kelengkapan training data set (contoh data pelatihan) memegang peran penting dalam menentukan kualitas pengklasifikasi pola yang dihasilkan. Salah satu kesulitan dalam sistem pembelajaran berbasis contoh ini adalah memilih data mana yang akan digunakan sebagai training data set dari sejumlah besar data contoh yang tersedia. Metode active learning dapat membantu mengatasi hal ini dengan cara melakukan seleksi secara otomatis data mana yang akan digunakan sebagai bagian dari training data set. Dengan demikian jumlah data yang digunakan untuk pelatihan dapat diminimalkan dan hanya data yang benar-benar perlu saja yang akan digunakan sebagai training data set untuk proses pembelajaran. Pada penelitian ini dilakukan eksperimen untuk menerapkan metode active learning pada jaringan syaraf tiruan yang disusun untuk menghasilkan sistem pendeteksi wajah manusia pada citra digital. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa metode active learning dapat mengurangi jumlah data yang diperlukan untuk proses training. Key words active learning, deteksi wajah, jaringan syaraf tiruan, klasifikasi pola 1. Pendahuluan Pada pengklasifikasi pola yang diperoleh dari pembelajaran dengan berbasis contoh (example-based learning), kelengkapan contoh data pelatihan (training data set) memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan kualitas pengklasifikasi pola yang dihasilkan. Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam sistem pembelajaran berbasis contoh ini adalah memilih data mana yang akan digunakan sebagai training data set dari sejumlah besar data contoh yang tersedia. Semakin lengkap data contoh yang digunakan semakin bagus juga sistem yang diperoleh. Namun semakin besar jumlah training data set, semakin besar juga waktu dan biaya komputasi yang diperlukan untuk pelatihan. Pada penelitian ini dilakukan eksperimen untuk menerapkan metode active learning pada jaringan syaraf tiruan yang dilatih dengan menggunakan algoritma Quickprop untuk menghasilkan sistem pendeteksi wajah manusia pada citra digital. 2. Klasifikasi Pola Tujuan dari klasifikasi pola adalah untuk memberikan keputusan terhadap suatu pola masukan untuk diklasifikasikan ke dalam salah satu kelas yang ada. Deteksi wajah dapat dipandang sebagai masalah klasifikasi pola dimana dengan input berupa citra masukan akan ditentukan output berupa label kelas dari citra tersebut. Dalam hal ini terdapat dua label kelas, yaitu wajah dan non-wajah [12]. 2.1 Active Learning Penelitian tentang metode active learning antara lain telah dilakukan oleh Hasenjager [6], Plutowski dan White [7], Cohn, Atlas, dan Ladner [2], Zhang [15], Adejumo dan Engelbrecht [1], Sung [12] dan Vijayakumar[13]. Sedangkan penelitian tentang penerapan metode active learning untuk deteksi wajah telah dilakukan oleh Sung [12] dan Rowley [8]. Dalam active learning atau query learning, pelajar (student) ikut berperan aktif dalam memilih contoh data yang akan digunakan untuk training, sedangkan dalam pelatihan tradisional atau passive learning pelajar hanya menerima contoh data secara pasif. Tujuan dari active learning adalah untuk menghasilkan training data set yang

description

Penerapan Metode Active Learning pada Klasifikasi Pola Berbasis Contoh , Setyo Nugroho dan Agus Harjoko.Seminar Nasional Teknologi Informasi (SNTI) 2005, 1 Oktober 2005, Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Tarumanagara, Jakarta .ABSTRACTPada pengklasifikasi pola hasil pembelajaran berbasiscontoh, kelengkapan training data set (contoh datapelatihan) memegang peran penting dalam menentukankualitas pengklasifikasi pola yang dihasilkan. Salah satukesulitan dalam sistem pembelajaran berbasis contoh iniadalah memilih data mana yang akan digunakan sebagaitraining data set dari sejumlah besar data contoh yangtersedia.Metode active learning dapat membantu mengatasi halini dengan cara melakukan seleksi secara otomatis datamana yang akan digunakan sebagai bagian dari trainingdata set. Dengan demikian jumlah data yang digunakanuntuk pelatihan dapat diminimalkan dan hanya data yangbenar-benar perlu saja yang akan digunakan sebagaitraining data set untuk proses pembelajaran.Pada penelitian ini dilakukan eksperimen untukmenerapkan metode active learning pada jaringan syaraftiruan yang disusun untuk menghasilkan sistem pendeteksiwajah manusia pada citra digital. Hasil eksperimenmenunjukkan bahwa metode active learning dapatmengurangi jumlah data yang diperlukan untuk prosestraining.Key wordsactive learning, deteksi wajah, jaringan syaraf tiruan,klasifikasi pola

Transcript of Penerapan Metode Active Learning pada Klasifikasi Pola Berbasis Contoh

Page 1: Penerapan Metode Active Learning pada Klasifikasi Pola Berbasis Contoh

Seminar Nasional Teknologi Informasi 2005 1

PENERAPAN METODE ACTIVE LEARNING PADA

KLASIFIKASI POLA BERBASIS CONTOH

Setyo Nugroho 1)

Agus Harjoko 2)

1)

Jurusan Teknik Informatika, STMIK STIKOM Balikpapan

Jl. Kapten P Tendean 2A, Balikpapan 76111 Indonesia email : [email protected]

2) Program Pascasarjana Ilmu Komputer, Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta, Indonesia email : [email protected]

ABSTRACT Pada pengklasifikasi pola hasil pembelajaran berbasis

contoh, kelengkapan training data set (contoh data

pelatihan) memegang peran penting dalam menentukan

kualitas pengklasifikasi pola yang dihasilkan. Salah satu

kesulitan dalam sistem pembelajaran berbasis contoh ini

adalah memilih data mana yang akan digunakan sebagai

training data set dari sejumlah besar data contoh yang

tersedia.

Metode active learning dapat membantu mengatasi hal

ini dengan cara melakukan seleksi secara otomatis data

mana yang akan digunakan sebagai bagian dari training

data set. Dengan demikian jumlah data yang digunakan

untuk pelatihan dapat diminimalkan dan hanya data yang

benar-benar perlu saja yang akan digunakan sebagai

training data set untuk proses pembelajaran.

Pada penelitian ini dilakukan eksperimen untuk

menerapkan metode active learning pada jaringan syaraf

tiruan yang disusun untuk menghasilkan sistem pendeteksi

wajah manusia pada citra digital. Hasil eksperimen

menunjukkan bahwa metode active learning dapat

mengurangi jumlah data yang diperlukan untuk proses

training.

Key words active learning, deteksi wajah, jaringan syaraf tiruan,

klasifikasi pola

1. Pendahuluan

Pada pengklasifikasi pola yang diperoleh dari

pembelajaran dengan berbasis contoh (example-based

learning), kelengkapan contoh data pelatihan (training

data set) memegang peranan yang sangat penting dalam

menentukan kualitas pengklasifikasi pola yang dihasilkan.

Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam sistem

pembelajaran berbasis contoh ini adalah memilih data

mana yang akan digunakan sebagai training data set dari

sejumlah besar data contoh yang tersedia. Semakin

lengkap data contoh yang digunakan semakin bagus juga

sistem yang diperoleh. Namun semakin besar jumlah

training data set, semakin besar juga waktu dan biaya

komputasi yang diperlukan untuk pelatihan.

Pada penelitian ini dilakukan eksperimen untuk

menerapkan metode active learning pada jaringan syaraf

tiruan yang dilatih dengan menggunakan algoritma

Quickprop untuk menghasilkan sistem pendeteksi wajah

manusia pada citra digital.

2. Klasifikasi Pola

Tujuan dari klasifikasi pola adalah untuk memberikan

keputusan terhadap suatu pola masukan untuk

diklasifikasikan ke dalam salah satu kelas yang ada.

Deteksi wajah dapat dipandang sebagai masalah

klasifikasi pola dimana dengan input berupa citra masukan

akan ditentukan output berupa label kelas dari citra

tersebut. Dalam hal ini terdapat dua label kelas, yaitu

wajah dan non-wajah [12].

2.1 Active Learning

Penelitian tentang metode active learning antara lain

telah dilakukan oleh Hasenjager [6], Plutowski dan White

[7], Cohn, Atlas, dan Ladner [2], Zhang [15], Adejumo

dan Engelbrecht [1], Sung [12] dan Vijayakumar[13].

Sedangkan penelitian tentang penerapan metode active

learning untuk deteksi wajah telah dilakukan oleh Sung

[12] dan Rowley [8].

Dalam active learning atau query learning, pelajar

(student) ikut berperan aktif dalam memilih contoh data

yang akan digunakan untuk training, sedangkan dalam

pelatihan tradisional atau passive learning pelajar hanya

menerima contoh data secara pasif. Tujuan dari active

learning adalah untuk menghasilkan training data set yang

Page 2: Penerapan Metode Active Learning pada Klasifikasi Pola Berbasis Contoh

Seminar Nasional Teknologi Informasi 2005 2

sesedikit mungkin namun memiliki nilai informasi yang

tinggi. Hal ini sangat berguna dalam keadaan di mana

tersedia data contoh yang jumlahnya sangat banyak,

sedangkan sebagian data tersebut mungkin bersifat

redundan, sehingga membuat proses training menjadi tidak

efisien [6].

2.2 Supervised Learning dengan Multi-Layer

Perceptron

Salah satu metode yang banyak digunakan untuk

klasifikasi pola adalah dengan menggunakan jaringan

syaraf tiruan. Jaringan syaraf tiruan adalah suatu sistem

pemrosesan informasi yang cara kerjanya memiliki

kesamaan tertentu dengan jaringan syaraf biologis [5].

Multi-Layer Perceptron adalah jaringan syaraf tiruan

feed-forward yang terdiri dari sejumlah neuron yang

dihubungkan oleh bobot-bobot penghubung. Neuron-

neuron tersebut disusun dalam lapisan-lapisan yang terdiri

dari satu lapisan input (input layer), satu atau lebih lapisan

tersembunyi (hidden layer), dan satu lapisan output

(output layer). Lapisan input menerima sinyal dari luar,

kemudian melewatkannya ke lapisan tersembunyi pertama,

yang akan diteruskan sehingga akhirnya mencapai lapisan

output.

Setiap neuron i di dalam jaringan adalah sebuah unit

pemrosesan sederhana yang menghitung nilai aktivasinya

yaitu si terhadap input eksitasi yang juga disebut net input

neti.

∑∈

−=

)(ipredj

iijji wsnet θ (1)

dimana pred(i) melambangkan himpunan predesesor dari

unit i, wij melambangkan bobot koneksi dari unit j ke unit

i, dan θ i adalah nilai bias dari unit i.

Tujuan dari pembelajaran supervised learning adalah

untuk menentukan nilai bobot-bobot koneksi di dalam

jaringan sehingga jaringan dapat melakukan pemetaan

(mapping) dari input ke output sesuai dengan yang

diinginkan. Pemetaan ini ditentukan melalui satu set pola

contoh atau data pelatihan (training data set).

Setiap pasangan pola p terdiri dari vektor input xp dan

vektor target tp. Setelah selesai pelatihan, jika diberikan

masukan xp seharusnya jaringan menghasilkan nilai output

tp. Besarnya perbedaan antara nilai vektor target dengan

output aktual diukur dengan nilai error yang disebut juga

dengan cost function:

∑∑∈

−=

Pp n

pn

pn stE

2)(

2

1 (2)

di mana n adalah banyaknya unit pada output layer.

Tujuan dari training ini pada dasarnya sama dengan

mencari suatu nilai minimum global dari E.

Salah satu algoritma pelatihan jaringan syaraf tiruan

yang banyak dimanfaatkan dalam bidang pengenalan pola

adalah backpropagation. Algoritma ini umumnya

digunakan pada jaringan syaraf tiruan yang berjenis multi-

layer feed-forward, yang tersusun dari beberapa lapisan

dan sinyal dialirkan secara searah dari input menuju

output. Secara matematis, ide dasar dari algoritma

backpropagation ini sesungguhnya adalah penerapan dari

aturan rantai (chain rule) untuk menghitung pengaruh

masing-masing bobot terhadap fungsi error [9].

Algoritma Quickprop merupakan pengembangan dari

algoritma backpropagation yang diusulkan oleh Fahlman

[4]. Pada algoritma Quickprop dilakukan pendekatan

dengan asumsi bahwa kurva fungsi error terhadap masing-

masing bobot penghubung berbentuk parabola yang

terbuka ke atas, dan gradien dari kurva error untuk suatu

bobot tidak terpengaruh oleh bobot-bobot yang lain.

Dengan demikian perhitungan perubahan bobot hanya

menggunakan informasi lokal pada masing-masing bobot.

Eksperimen dengan masalah XOR dan encoder/decoder

oleh Fahlman [4], dan eksperimen dari Schiffmann [10]

menunjukkan bahwa algoritma Quickprop dapat

meningkatkan kecepatan training.

3. Cara Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan data yang terdiri dari

satu set citra untuk pelatihan (training data set) dan satu

set citra untuk pengujian (testing data set). Untuk data

pelatihan digunakan citra wajah berukuran 20x20 pixel

sebanyak 3000 buah. Sedangkan untuk citra non-wajah

diperoleh dari file-file citra yang tidak terdapat wajah

manusia di dalamnya.

Sistem ini menggunakan jaringan syaraf tiruan (JST)

dengan arsitektur yang diadaptasi dari penelitian Rowley

[8], namun lebih disederhanakan. Lapisan input terdiri dari

400 unit input, yang menerima masukan dari nilai

grayscale pixel 20x20 dari subcitra yang akan dideteksi.

Lapisan output terdiri dari sebuah unit dengan nilai

keluaran berkisar antara –1 dan 1. Pada training data set

didefinisikan nilai 1 untuk data wajah dan –1 untuk data

non-wajah.

Lapisan tersembunyi (hidden layer) terdiri dari total

25+16=41 unit. Bagian pertama terhubung dengan lapisan

input yang membentuk 25 area berukuran 4x4 pixel.

Bagian kedua terhubung dengan lapisan input yang

membentuk 16 area berukuran 5x5 pixel. Secara

keseluruhan jaringan ini memiliki 883 bobot penghubung,

sudah termasuk bias. Jaringan ini lebih sederhana

dibandingkan dengan sistem [8] yang jumlah bobot

penghubungnya mencapai 4357.

3.1 Pelatihan dengan Metode Active Learning

Pelatihan dilakukan secara bertahap dengan

menggunakan metode active learning seperti yang

Page 3: Penerapan Metode Active Learning pada Klasifikasi Pola Berbasis Contoh

Seminar Nasional Teknologi Informasi 2005 3

digunakan oleh Sung [12] dan Rowley [8]. Selama

pelatihan digunakan semua data wajah yang ada sebanyak

3000 data wajah. Namun karena data non-wajah yang

tersedia sangat banyak, mencapai lebih dari satu milyar

data, maka dilakukan seleksi secara bertahap terhadap data

non-wajah.

Pada tahap pertama training digunakan 1000 data non-

wajah yang dipilih secara random. Pada setiap tahap

berikutnya, data training non-wajah ditambah sebanyak

200 data. Data tambahan tersebut diseleksi hanya untuk

data non-wajah yang belum dapat dideteksi dengan benar

oleh detektor hasil training tahap sebelumnya, yaitu data

non-wajah yang dideteksi sebagai wajah (false positive).

Dengan cara ini jumlah data training yang digunakan

untuk jaringan syaraf tiruan tidak terlalu besar, sehingga

memori yang diperlukan untuk pelatihan lebih kecil dan

waktu yang diperlukan untuk proses training juga lebih

singkat. Gambar 2 menunjukkan metode active learning

yang digunakan untuk sistem pendeteksi wajah.

3.2 Detektor Wajah

Bagian detektor wajah menggunakan arsitektur

jaringan syaraf yang sama dengan yang digunakan untuk

training. Bobot penghubung yang digunakan diambil dari

bobot terakhir yang dihasilkan pada proses training. Hasil

deteksi akan diputuskan sebagai wajah jika output dari

JST lebih dari 0, dan diputuskan sebagai non-wajah jika

output JST kurang dari atau sama dengan 0.

Posisi wajah bisa berada di mana saja pada citra yang

akan dideteksi. Untuk itu digunakan window berukuran

20x20 pixel yang akan digeser melalui seluruh daerah

citra. Daerah citra yang dilewati oleh window tersebut

akan diperiksa satu persatu apakah ada wajah atau tidak di

area tersebut.

Untuk mengantisipasi ukuran wajah yang bervariasi di

dalam citra yang dideteksi, citra diperkecil secara bertahap

dengan skala perbandingan 1:1,2 sebagaimana dilakukan

pada [8]. Pada setiap ukuran citra yang diperkecil, window

20x20 pixel akan digeser melalui seluruh area citra.

Sebelum digunakan sebagai training data set, citra

akan melalui tahap-tahap preprocessing berupa histogram

equalization untuk memperbaiki kontras citra, masking,

untuk menghilangkan bagian sudut-sudut citra dengan

tujuan mengurangi variasi citra sehingga memperkecil

dimensi data. Setelah itu dilakukan normalisasi pada nilai

intensitas grayscale citra sehingga memiliki range antara

-1 sampai dengan 1. Tahap-tahap preprocessing yang sama

juga dilakukan pada saat pendeteksian wajah. Gambar 3

menunjukkan contoh citra wajah yang telah mengalami

preprocessing.

4. Hasil Percobaan

Untuk mengukur unjuk kerja detektor wajah,

digunakan dua parameter, yaitu detection rate dan false

positive rate [14]. Detection rate adalah perbandingan

antara jumlah wajah yang berhasil dideteksi dengan

jumlah seluruh wajah yang ada. False positive rate adalah

banyaknya subcitra non-wajah yang dideteksi sebagai

wajah.

Pengujian dilakukan dengan data uji citra yang berasal

dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang

terdiri dari 23 file citra yang secara keseluruhan berisi 149

wajah (data uji MIT-23). Kumpulan citra ini pertama kali

dipublikasikan pada [12]. Contoh hasil deteksi dapat

dilihat pada gambar 4. Pada data uji ini diperoleh hasil

detection rate sebesar 71,14% dan false positives

sebanyak 62. Hasil ini diperoleh dari training yang

menggunakan 3000 data wajah dan 5200 data non-wajah

yang diperoleh melalui metode active learning.

Tabel 1 dan gambar 5 menunjukkan pengaruh

banyaknya data training yang digunakan terhadap hasil

deteksi. Tabel ini berdasarkan hasil deteksi pada suatu

citra berisi 15 wajah dan memiliki total 790.797 window

yang dideteksi. Terlihat bahwa semakin banyak data

training non-wajah yang digunakan, semakin kecil angka

false positive yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa

dengan data yang semakin lengkap, hasil belajar sistem

akan semakin baik.

Tabel 2 menunjukkan perbandingan antara hasil

training yang menggunakan metode active learning untuk

memilih contoh data non-wajah, dengan hasil training

yang menggunakan data yang dipilih secara random untuk

data non-wajah. Pada eksperimen pertama digunakan 3000

data wajah dan 3000 data non-wajah. Sedangkan pada

eksperimen kedua digunakan 3000 data wajah dan 5200

data non-wajah. Terlihat bahwa teknik active learning

memberikan hasil yang lebih baik.

5. Kesimpulan dan Saran

Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa

pada sistem pendeteksi wajah, metode active learning

dapat digunakan untuk memilih data contoh yang lebih

tepat, sehingga meminimalkan jumlah data training yang

digunakan.

Pada penelitian ini seleksi data training hanya

dilakukan pada contoh data non wajah karena jumlahnya

jauh lebih banyak daripada contoh data wajah. Untuk

penelitian selanjutnya seleksi data training mungkin dapat

digunakan juga pada contoh data wajah.

Page 4: Penerapan Metode Active Learning pada Klasifikasi Pola Berbasis Contoh

Seminar Nasional Teknologi Informasi 2005 4

REFERENSI [1] A. Adejumo, A.P. Engelbrecht, 1999, “A Comparative

Study of Neural Network Active Learning Algorithms”,

Proceedings of the International Conference on Artificial

Intelligence, 32-35.

[2] D. A. Cohn, L. Atlas, R.E. Ladner, ”Improving

generalization with active learning", 1994, Machine

Learning 15(2), 201-221.

[3] A. P. Engelbrecht, 2001, “Selective Learning for Multilayer

Feedforward Neural Networks”, International Work-

Conference on Artificial and Natural Neural Networks,

IWANN 2001: 386-393.

[4] S.E. Fahlman, 1988, “An Empirical Study of Learning

Speed in Back-Propagation Networks”, Technical Report

CMU-CS-88-162, Carnegie Mellon University, USA.

[5] L. Fausett, 1994, “Fundamentals of Neural Networks:

Architectures, Algorithms, and Applications”, Prentice-Hall

Inc., USA.

[6] M. Hasenjager, H. Ritter, 2002, “Active Learning in Neural

Networks”, New Learning Paradigms in Soft Computing,

Springer, Berlin.

[7] M. Plutowski, H. White, 1993, “Selecting concise training

sets from clean data”, IEEE Transactions on Neural

Networks, 4, 305-318 (1993).

[8] H. Rowley, S. Baluja, T. Kanade, 1998, “Neural Network-

Based Face Detection”, IEEE Trans. Pattern Analysis and

Machine Intelligence, vol. 20, no. 1.

[9] D.E. Rumelhart, G.E. Hinton, R.J. Williams, 1986,

“Learning Internal Representations by Error Propagation”,

Parallel Distributed Processing, chapter 8, MIT Press,

Cambridge, MA.

[10] W. Schiffmann, M. Joost, R. Werner, 1993, “Comparison

of Optimized Backpropagation Algorithms”, Proc. of the

European Symposium on Artificial Neural Networks

(ESANN) ’93, Brussels.

[11] K.K. Sung, 1996, “Learning and Example Selection for

Object and Pattern Detection”, AITR 1572, Massachusetts

Institute of Technology AI Lab.

[12] K.K. Sung, T. Poggio, 1994, “Example-Based Learning for

View-Based Human Face Detection”, Technical Report AI

Memo 1521, Massachusetts Institute of Technology AI Lab.

[13] S. Vijayakumar, H. Ogawa, February 1999, “Improving

generalization ability through active learning”, IEICE

Transactions on Information and Systems, Vol. E82D No.2,

480-487.

[14] M.H. Yang, D. Kriegman, N. Ahuja, 2002, “Detecting

Faces in Images: A Survey”, IEEE Trans. Pattern Analysis

and Machine Intelligence, vol. 24, no. 1.

[15] B. T. Zhang, 1994, “Accelerated Learning by Active

Example Selection”, International Journal of Neural

Systems, 5(1), 67-75.

Setyo Nugroho, memperoleh gelar ST dari ITS (Institut

Teknologi Sepuluh Nopember) Surabaya di bidang Teknik

Elektro - Komputer pada tahun 1998, dan MKom dari UGM

(Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta di bidang Ilmu

Komputer pada tahun 2004. Saat ini sebagai staf pengajar di

Jurusan Teknik Informatika, STMIK STIKOM Balikpapan.

Agus Harjoko, memperoleh gelar Drs dari UGM (Universitas

Gadjah Mada) Yogyakarta dalam bidang Elektronika dan

Instrumentasi pada tahun 1986. Gelar M.Sc. dan Ph.D. diperoleh

pada tahun 1990 dan 1996 dari University of New Brunswick,

Canada dalam bidang Computer Science. Saat ini bekerja

sebagai staff akademik pada program studi Elektronika dan

Instrumentasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tabel 1 Pengaruh Jumlah Data Training

pada Unjuk Kerja Deteksi Wajah

Jumlah data training

wajah non-

wajah total

Detect

ion

Rate

False

Positive

1000 1000 2000 15/15 42

1000 1200 2200 15/15 32

1000 1400 2400 15/15 31

1000 1600 2600 15/15 24

1000 1800 2800 15/15 23

1000 2000 3000 15/15 19

1000 2200 3200 15/15 10

1000 2400 3400 15/15 5

1000 2600 3600 15/15 4

1000 2800 3800 15/15 2

1000 3000 4000 15/15 2

1000 3200 4200 15/15 2

1000 3400 4400 15/15 2

1000 3600 4600 15/15 1

1000 3800 4800 15/15 1

1000 4000 5000 15/15 1

Tabel 2 Hasil Kinerja Metode Active Learning

Seleksi Data secara

Random

Seleksi Data

dengan Active

Learning

Jumlah

Data

Training

Detection

Rate

False

Positive

Detection

Rate

False

Positive

6000 62,42% 1160 71,14% 201

8200 63,76% 732 71,14% 62

Page 5: Penerapan Metode Active Learning pada Klasifikasi Pola Berbasis Contoh

Seminar Nasional Teknologi Informasi 2005 5

Gambar 1 Arsitektur jaringan syaraf tiruan untuk sistem pendeteksi wajah

Gambar 2 Teknik active learning untuk sistem pendeteksi wajah

Gambar 3 Contoh citra wajah yang telah mengalami proses

resizing, histogram equalization, dan masking

Gambar 4 Contoh hasil deteksi

Gambar 5 Grafik false positive terhadap

jumlah contoh data non-wajah dari tabel 1

False Positive Hasil Deteksi

JST Detektor Wajah

Training JST

Data Training untuk JST

Bobot JST Hasil Training

Pilih random

Koleksi Contoh Data Non-Wajah

Koleksi Contoh

Data Wajah

Hidden Layer

Input Layer

grid 5x5 pixel

input 20x20 pixel

grid 4x4

Output

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

1000

1200

1400

1600

1800

2000

2200

2400

2600

2800

3000

3200

3400

3600

3800

4000

Jumlah data non-wajah

Fals

e P

osit

ive