Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

24
ASSIGNMENT PRESENTATION TEACHING & LEARNING Diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Mata Kuliah Keahlian Program Doktor Ilmu Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan DISUSUN OLEH: YANTI NIM : 11/324172/SKU/00412 0

Transcript of Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

Page 1: Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

ASSIGNMENT PRESENTATION

TEACHING & LEARNING

Diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Mata Kuliah Keahlian

Program Doktor Ilmu Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan

DISUSUN OLEH:

YANTI

NIM : 11/324172/SKU/00412

PROGRAM DOKTOR ILMU PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

TAHUN 2011

0

Page 2: Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

APLIKASI KONSTRUKTIVISME DENGAN PENDEKATAN “ACTIVE LEARNING”

DALAM PEMBELAJARAN ASUHAN KEBIDANAN PERSALINAN

A. PARADIGMA BELAJAR KONSTRUKTIVISME

1. Model Pembelajaran Konstruktivisme

Model pembelajaran merupakan suatu rencana mengajar yang memperhatikan pola

pembelajaran tertentu (Briggs, 1978:23) yang menjelaskan model adalah “seperangkat prosedur

dan berurutan untuk mewujudkan suatu proses”. Dengan demikian model pembelajaran adalah

seperangkat prosedur yang berurutan untuk melaksanakan proses pembelajaran.

Model Konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang

menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya

konflik kognitif. Konflik kognitif ini hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri (self-

regulation). Dan akhirnya proses belajar, pengetahuan akan dibangun sendiri oleh anak melalui

pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya (Bell, 1993:24, Driver & Leach,

1993:104 dalam Briggs, 1978).

Saat ini terdapat empat variasi Konstruktivisme dalam konstruksi pendidikan yaitu: 1)

Personal atau Individual, Social (emergent dan apprenticeship), Philosophical, dan

Aphiosophical (Margaret, 2009: 21).

Personal constructivism berasal dari gagasan Jean Piaget “cognitive-development theory”

yang terdiri dari tiga kerangka pemikiran, yaitu: 1) Belajar adalah proses internal yang muncul

dalam pikiran individu ; 2) Proses belajar terpenting adalah adanya konflik kognitif dan refleksi

yang muncul saat adanya tantangan pemikiran ; 3) Peran pendidik adalah mengembangkan model

pembelajaran yang adekuat untuk masing-masing cara peserta didik memandang gagasan,

merencanakan situasi belajar yang menantang cara berpikir mereka, serta membantu peserta didik

menguji hubungan cara mereka saat ini berpikir (Confrey, 1985 dalam Margaret, 2009:22).

Pada Social Constructivism, mengatakan berbeda dengan personal constructivism dalam

tiga hal, yaitu definisi pengetahuan, definisi belajar, serta lokasi belajar. Social Constructivism

memandang ruang kelas adalah sebuah komunitas yang bertugas mengembangkan pengetahuan,

dan juga memandang pengetahuan sebagai suatu yang tidak dapat dipisahkan dari aktifitas yang

memproduksinya (Bredo, 1994; Dewey & Bentley, 1949 dalam Margaret, 2009:22). Dalam

1

Page 3: Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

Social Constructivism juga mempertimbangkan pendekatannya sebagai sebuah alternatif untuk

belajar melalui menemukan (discovery) (Wood ed al, 1995 dalam Margaret, 2009:23).

Gaya belajar konstruktivist menguraikan suatu proses belajar dimana siswa bekerja secara

individu atau dalam kelompok-kelompok kecil untuk menjelajah, menyelidiki dan memecahkan

permasalahan nyata serta secara aktif terlibat dalam mencari pengetahuan dan informasi,

ketimbang sebagai penerima pasif. Dalam proses ini, siswa harus berperan aktif dan mandiri

dalam membangun arti baru dalam konteks pengetahuan dan pengalaman mereka. Siswa menjadi

sukses dalam membangun pengetahuan melalui pemecahan permasalahan yang bersifat realistis,

dan biasanya melibatkan kerja sama/kolaborasi dengan yang lain. Dalam pelaksanaannya, mereka

mendapatkan suatu pemahaman yang lebih dalam tentang suatu peristiwa dan dengan demikian

membangun pengetahuan dan solusi-solusi atas permasalahan mereka sendiri ( Duffy &Jonassen,

1991; Jonassen, 1994).

Dalam konstruktivisme ini, pengetahuan tidak diberikan tetapi sedang dibangun oleh

peserta didik melalui kegiatan mental. Peserta didik menyesuaikan diri dengan pengetahuan

melalui pembelajaran aktif dan eksplorasi. Peserta didik harus berpikir dan menjelaskan cara

penalarannya kepada guru bukan menghafal apa yang diajarkan oleh guru. Peserta didik adalah

pusat dari proses belajar dan pengetahuan dibentuk oleh kemampuannya untuk mengolah dan

menginterpretasikan informasi. Mengajar dengan demikian menjadi interdisipliner dan guru

hanya memainkan peran sebagai fasilitator. Dengan kata lain, mereka pencari-pencari informasi

dan pengetahuan mandiri.

Implikasi dari teori konstruktivisme untuk pendidik adalah bahwa ia harus

memperhitungkan bahwa peserta telah memiliki pengetahuan sebelumnya dan pengetahuan ini

mungkin digunakan dalam membangun makna. Belajar dari kesalahan dapat menjadi elemen

kunci dari kegiatan belajar konstruktivisme, karena kesalahan-kesalahan ini memberikan

kesempatan untuk belajar lebih lanjut dan merupakan bagian alami dari proses belajar (Proulx,

2006 dalam Collins, 2008).

Dalam konstruktivisme, penekanan belajar adalah pada siswa yang aktif, mencari

informasi dan pengetahuannya sendiri, menentukan bagaimana caranya mencapai hasil belajar

yang diinginkan dengan tidak bergantung pada para guru untuk menyediakan informasi bagi

mereka. Mereka belajar untuk memecahkan permasalahan dan bekerja secara kolaboratif dengan

teman sebaya mereka. Belajar berlangsung di suatu konteks penuh arti, nyata dalam lingkungan

2

Page 4: Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

sosial, suatu aktivitas kolaboratif, di mana teman sebaya memainkan satu peran yang penting di

dalam memberi harapan belajar. Dalam semangat ini, guru sudah tidak lagi merasa sebagai

tempat bersandar siswa, namun untuk memudahkan belajar, mengarahkan dan mendukung proses

siswa membangun pengetahuannya sendiri (Orlich, Harder, Callahan & Gibson, 1998).

2. Strategi Pembelajaran Konstruktivisme

Strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai sudut pandang kita terhadap proses

pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih

sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode

pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari strateginya, terdapat dua jenis strategi

pembelajaran, yaitu: (1) pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student

centered approach) dan (2) pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher

centered approach) (Newman dan Logan dalam Abin Syamsuddin Makmun, 2003).

Di dalam konstruktivisme fokus belajar adalah pada proses dibanding isi, belajar

'bagaimana caranya belajar' dibanding 'berapa banyak yang dipelajari'. Lingkungan ini

mendorong para siswa untuk mengembangkan pemikiran kritis, memecahkan masalah dan

ketrampilan-ketrampilan kelompok, dengan teknologi yang terintegrasi.

Salah satu karakteristik dari pembelajaran konstruktivisme adalah yang menggunakan

pendekatan belajar aktif (active learning strategy) dimana dituntut adanya keaktifan siswa dan

guru, sehingga tercipta suasana belajar aktif.

Beberapa kalangan berpendapat  bahwa inti dari reformasi pendidikan saat ini justru

terletak pada perubahan paradigma pembelajaran dari model pembelajaran pasif  ke model

pembelajaran aktif.

Active Learning: “Anything that involves students in doing things and thinking about the things they are doing”. Learners must reflect on what they are doing Active learning is learner-centric, new knowledge is constructed. Passive learning: Reading, watching, listening without engagement, doing, or reflection. Presumes knowledge is transferred (passively) (Bonwell & Elison, 1991 dalam Ben Graffam, 2007).

Pembelajaran aktif (active learning), merujuk pada pemikiran L. Dee Fink (Fink, 2003

dalam Ben Graffam, 2007) dalam sebuah tulisannya  yang berjudul Active Learning, di bawah ini

diuraikan konsep dasar pembelajaran aktif.  Menurut L. Dee Fink, pembelajaran  aktif  terdiri

dari  dua komponen utama yaitu: 1) unsur pengalaman (experience), meliputi  kegiatan

3

Page 5: Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

melakukan (doing) dan pengamatan (obeserving) ; 2) dialogue, meliputi dialog dengan diri

sendiri (self) dan dialog dengan orang lain (others) seperti tampak pada gambar 2 berikut.

Gambar 2: Komponen active learning menurut L. Dee Fink (2003)

a. Dialog dengan Diri (Dialogue with Self) :

Dialog dengan diri adalah bentuk belajar dimana para siswa melakukan berfikir

reflektif mengenai suatu topik. Mereka bertanya pada diri sendiri, apa yang sedang 

atau  harus dipikirkan, apa yang mereka rasakan dari topik yang dipelajarinya. Mereka

“memikirkan tentang pemikirannya sendiri, (thinking about my own thinking)”, dalam

cakupan pertanyaan yang lebih luas,  dan tidak hanya berkaitan  dengan aspek kognitif

semata.

b. Dialog dengan orang lain (Dialogue with Others) :

Dalam pembelajaran tradisional, ketika siswa membaca buku teks atau mendengarkan

ceramah, pada dasarnya mereka sedang  berdialog dengan “mendengarkan” dari orang

lain (guru, penulis buku), tetapi sifatnya sangat terbatas karena didalamnya tidak

terjadi balikan dan pertukaran pemikiran. L. Dee Fink menyebutnya sebagai “partial

dialogue“

Bentuk lain dari dialog yang lebih dinamis adalah dengan membagi siswa ke dalam

kelompok-kelompok kecil (small group), dimana para siswa dapat berdiskusi 

mengenai topik-topik pelajaran secara intensif.

4

Page 6: Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

c. Mengamati (Observing) :

Kegiatan ini terjadi dimana para siswa dapat melihat  dan mendengarkan ketika orang

lain “melakukan sesuatu (doing something)”, terkait dengan apa yang sedang

dipelajarinya. Tindakan mengamati dapat dilakukan secara “langsung” atau “tidak

langsung”. Pengamatan langsung artinya siswa diajak mengamati kegiatan  atau situasi

nyata secara langsung. Sedangkan pengamatan tidak langsung, siswa diajak melakukan

pengamatan terhadap situasi atau kegiatan melalui simulasi dari situasi nyata, studi

kasus atau diajak menonton film (video).

d. Melakukan (Doing):

Kegiatan ini menunjuk pada proses pembelajaran di mana siswa benar-benar

melakukan sesuatu secara nyata. Misalnya, membuat desain bendungan (bidang

teknik),  mendesain atau melakukan eksperimen (bidang ilmu-ilmu alam dan sosial),

menyelidiki sumber-sumber sejarah lokal (sejarah), membuat presentasi lisan,

membuat cerpen dan puisi (bidang bahasa) dan sebagainya. Sama halnya dengan

mengamati (observing), kegiatan “melakukan” dapat dilaksanakan secara langsung

atau tidak langsung.

Untuk menciptakan suasana belajar aktif tidak lepas dari beberapa komponen yang

mendukungnya. Sukandi (2003: 9) menyebutkan bahwa komponen-komponen pendekatan

belajar aktif dalam proses belajar-mengajar terdiri dari:

a. Pengalaman

Sukandi (2003: 10) mengungkapkan bahwa “Pengalaman langsung mengaktifkan lebih

banyak indra dari pada hanya melalui mendengarkan”. Sedangkan Zuhairini (1993: 116)

menyebutkan bahwa “cara mendapatkan suatu pengalaman adalah dengan mempelajari,

mengalami dan melakukan sendiri”. Melalui membaca, siswa lebih menguasai materi

pelajaran yang mereka pelajari dari pada hanya mendengarkan penjelasan dari guru.

b. Interaksi

Belajar akan terjadi dan meningkat kualitasnya bila berlangsung dalam suasana diskusi

dengan orang lain, berdiskusi, saling bertanya dan mempertanyakan, dan atau saling

menjelaskan. Pada saat orang lain mempertanyakan pendapat kita atau apa yang kita

kerjakan, maka kita terpacu untuk berpikir menguraikan lebih jelas lagi sehingga kualitas

5

Page 7: Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

pendapat itu menjadi lebih baik. Diskusi, dialog dan tukar gagasan akan membantu anak

mengenal hubungan-hubungan baru tentang sesuatu dan membantu memiliki pemahaman

yang lebih baik. Anak perlu berbicara secara bebas dan tidak terbayang-bayangi dengan

rasa takut sekalipun dengan pernyataan yang menuntut (alasan/argumen). Argumen dapat

membantu mengoreksi pendapat asalkan didasarkan pada bukti. (Sukandi, 2003: 10)

c. Komunikasi

Pengungkapan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tulisan, merupakan

kebutuhan setiap manusia dalam rangka mengungkapkan dirinya untuk mencapai

kepuasan. Pengungkapan pikiran, baik dalam rangka mengemukakan gagasan sendiri

maupun menilai gagasan orang lain, akan memantapkan pemahaman seseorang tentang

apa yang sedang dipikirkan atau dipelajari. (Sukandi, 2003: 11)

d. Refleksi

Bila seseorang mengungkapkan gagasannya kepada orang lain dan mendapat tanggapan,

maka orang itu akan merenungkan kembali (merefleksi) gagasannya, kemudian

melakukan perbaikan, sehingga memiliki gagasan yang lebih mantap. Refleksi dapat

terjadi akibat adanya interaksi dan komunikasi. Umpan balik dari guru atau siswa lain

terhadap hasil kerja seorang siswa yang berupa pernyataan yang menantang (membuat

siswa berpikir) dapat merupakan pemicu bagi siswa untuk melakukan refleksi tentang

apa yang sedang dipikirkan atau dipelajari. (Sukandi, 2003: 11)

Agar suasana belajar aktif dapat tercipta secara maksimal, maka diantara beberapa

komponen diatas terdapat pendukungnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sukandi

(2003: 12) antara lain:

1) Sikap dan perilaku guru

Sesuai dengan pengertian mengajar yaitu menciptakan suasana yang mengembangkan

inisiatif dan tanggung jawab belajar siswa, maka sikap dan perilaku guru antara lain:

terbuka, mau mendengarkan pendapat siswa, membuat siswa mendengarkan guru

atau siswa lain yang berbicara, menghargai perbedaan pendapat, mentolelir kesalahan

siswa dan mendorong untuk memperbaikinya, memberi umpan balik, tidak terlalu

cepat untuk membantu siswa, tidak pelit untuk memuji dan menghargai, serta

mendorong siswa untuk tidak takut salah dan berani menanggung resiko. (Sukandi,

2003: 12)

6

Page 8: Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

Ruang kelas yang menunjang belajar aktif, diantaranya yaitu: berisikan banyak

sumber belajar, seperti buku dan benda nyata, alat bantu belajar seperti media atau

alat peraga, hasil kerja siswa seperti laporan percobaan, dan alat hasil percobaan.

Letak bangku dan meja diatur sedemikian rupa sehingga siswa leluasa untuk

bergerak. (Sukandi, 2003: 14)

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat digambarkan sebuah ilustrasi sebagai berikut:

Bagan 1: Komponen-Komponen Strategi Belajar Aktif (Active Learning Strategy)

3. Prinsip-prinsip rancangan pembelajaran dalam konstruktivisme

Prinsip-prinsip desain instruksional dalam pembelajaran konstruktivisme meliputi:

a. Memusatkan seluruh aktifitas pembelajaran sebagai tugas yang besar atau

problem.

Bahwa belajar harus memiliki tujuan yang tak terbatas, atau merupakan sebuah tugas.

Tujuan dari beberapa aktifitas belajar seharusnya jelas bagi peserta didik. Aktifitas

pembelajaran secara mandiri menjadi isu penting dalam berbagai tipe, dimana peserta

didik merasa jelas dan menerima dengan baik kegiatan belajar tertentu yang

berhubungan dengan tugas yang lebih besar dan kompleks (Cognition an d

Technology Group at Vanderbilt (CTGV), 1992; Honebein, et.al, 1993).

7

Sikap

Guru

Ruang

Kelas

Pengalaman

Komunikasi

Refleksi

InteraksiBelajar Aktif Sikap

Page 9: Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

b. Mendukung siswa dalam pengembangan dirinya untuk keseluruhan problem atau

tugas.

Perencanaan pembelajaran secara khusus menentukan tujuan pembelajaran dan

mungkin juga mengikutsertakan peserta didik dalam sebuah perencanaan, diibaratkan

bahwa mereka akan mengerti dan mengkaitkan dengan nilai dari problem yang

relevan, antara lain dengan mengumpulkan masalah dari peserta didik dan

menggunakannya sebagai stimulus untuk aktifitas pembelajaran.

c. Merancang penugasan yang sebenarya (an authentic task).

Lingkungan pembelajaran yang sesungguhnya bukan berarti harus berada di tempat

yang secara fisik persis, dan juga bukan berarti bahwa harus dengan permasalahan

yang sama. Namun, peserta didik harus terlibat dalam aktifitas pembelajaran, dalam

lingkungan yang kita rancang untuk mereka (Honebein, et.al. 1993).

d. Merancang penugasan dan lingkungan pembelajaran untuk refleksi kompleksitas

lingkungan dimana peserta didik seharusnya mampu pada akhir pembelajaran.

Daripada menyederhanakan lingkungan bagi peserta didik, kita mencoba mendukung

mereka belajar dalam lingkungan yang kompleks. Sesuai dengan kedua teori

pemagangan (apprenticeship) (Collins, Brown, & Newman, 1989) dan teori

fleksibilitas (flexibility theories) (Spiro, et al. 1992) serta refleksi-refeksi dari konteks

yang penting dalam menentukan pengertian beberapa konsep atau prinsip khusus.

e. Memberi hak peserta didik atas proses yang digunakan dalam mengembangkan

sebuah solusi.

Peserta didik harus memiliki hak atas pembelajaran atau proses penyelesaian masalah

sendiri. Dengan demikian mereka dapat menentukan penyelesaian masalah dengan

baik atau menggunakan metode pemikiran kritis atau area khusus yang harus

dipelajari. Sebagai contoh, dalam kerangka kerja PBL, penugasan untuk membaca

disesuaikan dengan masalah. Dengan menyiapkan aktifitas yang spesifik, siswa

mendapatkan stimulus untuk penyelesaian masalah serta belajar secara mandiri (self

directed learning). Peran guru seharusnya memberikan tantangan bagi siswa untuk

berpikir dan bukan mengatur atau membuat aturan untuk berpikir.

8

Page 10: Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

f. Merancang lingkungan pembelajaran untuk mendukung dan menantang

pemikiran peserta didik.

Yang terpenting dalam hal ini adalah bahwa peran guru adalah lebih sebagai pelatih

dan fasilitator, bukan mengajari apa dan bagaimana berpikir, tetapi mengajari untuk

timbul rasa keingintahuan.

The teacher must not take over thinking for the learner by telling the learner what to do or how to think, but rather teaching should be done by inquiring at the "leading edge" of the protégé’s thinking (Fosnot, 1989). Peserta didik menggunakan sumber informasi (semua jenis media) dan bahan-bahan

pelajaran sebagai sumber informasi. Bahan pelajaran tidak dapat mengajari, tetapi

hanya mendukung keingingintahuan atau performance mereka. Dalam hal ini bukan

berarti tidak ada kebaikan dari sumber pembelajaran, namun hal itu hanya sebuah

alasan atas penggunaan media.

g. Mendorong pengujian gagasan-gagasan yang berlawanan dengan pandangan atau

konteks tertentu.

Pengetahuan secara sosial didiskusikan. Kualitas pemahaman yang mendalam hanya

dapat ditentukan dalam lingkungan sosial dimana kita bisa melihat ketika pemahaman

kita mampu mengakomodasi isu-isu serta pandangan-pandangan orang lain serta

melihat pandangan-pandangan tertentu yang dapat digunakan dalam memahami.

The importance of a learning community where ideas are discussed and understanding enriched is critical to the design of an effective learning environment. The use of collaborative learning groups as a part of the overall learning environment we have described provides one strategy for achieving this learning community (CTGV in press, Scardamalia et al, 1992, Cunningham, Duffy, & Knuth 1991).

h. Menyediakan kesempatan untuk mensupport refleksi pada isi serta proses

pembelajaran.

Tujuan penting dari pembelajaran adalah untuk mengembangkan ketrampilan-

ketrampilan self-regulation untuk menjadi mandiri. Guru seharusnya menjadi model

dalam berpikir reflektif melalui proses pembelajaran serta mendukung siswa dalam

refleksi pada strategi untuk belajar sebagaimana apa yang ia pelajari (Schon, 1987;

Clift, Houston, & Pugach 1990).

9

Page 11: Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

Munculnya teknologi multimedia sangat memungkinkan siswa untuk ikut terlibat dalam

proses pembelajaran mereka. Dengan teknologi multimedia, mereka dapat menciptakan

penggunaan multimedia yang merupakan bagian dari kebutuhan belajar mereka. Hal itu akan

membuat mereka secara aktif terlibat dalam proses belajar mereka, dan juga membantu

perkembangan pembelajaran kooperatif dan kolaboratif antar siswa, yang merupakan media

terbaik guna menyiapkan keterampilan mereka untuk situasi pekerjaan nyata (Roblyer &

Edwards, 2000).

Oleh karena itu, rancangan penggunaan multimedia menawarkan pengetahuan baru dalam

proses pembelajaran kepada perancang (guru) dan mendorong mereka untuk menyampaikan

informasi dan pengetahuan dalam sebuah cara inovasi baru (Agnew, Kellerman & Meyer, 1996).

Lingkungan pembelajaran berbasis konstruktivisme muncul untuk memberi keleluasaan

siswa agar menjadi mandiri, secara bebas terlibat dalam proses belajar mereka, juga untuk

mengembangkan keterampilan mereka dalam penyelesaian masalah, serta berlatih berfikir

kreatif, kritis dan analitis dalam pekerjaan mereka. Selaras dengan posisi konstruktivisme dalam

berbagai perspektif pada permasalahan nyata dapat dikembangkan multimedia, penggunaan

berbagai cara seperti audio, grafik, video pendukung, dimana siwa secara aktif terlibat dalam

penyelesaian permasalahan mereka sendiri (Cunningham, Duffy & Knuth, 1993). Dengan

demikian, dengan terlibat merancang multimedia, siswa tertantang untuk belajar lebih tentang

subyek materi pilihan mereka untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam untuk

mengorganisir, menganalisis, serta mensintesis tugas-tugas mereka dalam seting kelompok.

Peran guru di kelas sebagai fasilitator dan konsultan bagi siswanya. Guru dan siswa

bertemu untuk mendiskusikan hasil karya siswa dan membahas berbagai isue atau beberapa hal

penting yang mungkin mereka temukan.

Pemakaian teknologi memainkan peran dalam menyediakan sumber daya yang cukup

untuk memastikan lingkungan belajar yang memadai. Model untuk menggambarkan hubungan

kompleks ini ditunjukkan di dalam Gambar 3.

10

Model Pembelajaran Konvensional

SiswaKuliah, misal dengan Slide Presentation

Guru

Page 12: Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

Mencip. Lingk. Bjr yg “Konstruktif”

Gambar 3: Hubungan antara guru, siswa dan teknologi multimedia dalam pembelajaran konvensional dan konstruktivisme.

Secara keseluruhan uraian dalam pembelajaran konstruktivisme yang diaplikasikan

melalui pendekatan active learning serta desain instruksionalnya dapat digambarkan sebagai

berikut:

B. STRATEGI PEMBELAJARAN DAN PRINSIP-PRINSIP INSTRUKSIONAL

DALAM PENGAJARAN ASUHAN KEBIDANAN PERSALINAN

Learning Objective :

11

Instructional Principles

Learning Strategis

Constructivism(Dewey, Bruner, Voygotsky)

SiswaGuru

Tek. Mutimedia

Penggunaan Multimedia dlm proses pembelajaran

Teknologi multimedia yg memungkinkan memediasi proses

pembelajaran

Model Multimedia yg mendukung pembelajaran

konstruktif

Siswa mjd aktif & mandiri belajar memainkan peran utama dlm proses

belajarnya

Guru menyediakan petunjuk2, fasilitas belajar, mengarahkan &

memfasilitasi siswa dalam membangun pengetahuannya

1. Active learning2. Experiential learning3. Problem-solving learning4. Case-based learning5. Social interaction6. Learner-centered learning 1. Situated learning

2. Role playing3. Cooperative learning4. Collaborative learning5. Problem-based learning6. Creativity learning

1. Learning from interactive with artificial real environment

2. Learning from problem-solving to promote creatively

3. Motivating learners’ learning4. Virtual reality as a scaffolding

tool for leaners to learnBagan 2: Aplikasi konstruktivisme dalam pembelajaran

Page 13: Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

Mahasiswa mampu mendemontrasikan asuhan kebidanan pada ibu bersalin

dengan 58 langkah APN (Asuhan Persalinan Normal)

Strategi Pembelajaran:

Active learning dengan berbagai metode antara lain menerapkan konsep VAK

(Visualization, Auditory, Kinestetic), AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition) melalui

melihat video, demonstrasi, simulasi, dan role play.

Instructionals design:

1. Dosen memutarkan video tentang langkah-langkah pertolongan persalinan (58

langkah APN).

Catatan:

Saat ini dosen dan mahasiswa melihat dengan seksama video yang diputar. Selanjutnya

dosen menjelaskan beberapa ‘key point’ yang tampak dengan memutar ulang per

bagian video.

Prinsip:

Mahasiswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang

akan dibahas, dengan memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan

problematik tentang fenomena persalinan yang sering ditemui sehari-hari dengan

mengkaitkan konsep yang akan dibahas. Mahasiswa diberi kesempatan untuk

mengkomunikasikan, mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep itu.

2. Dosen mendemontrasikan langkah-langkah pertolongan persalinan (58 langkah APN)

dengan phantom dibantu seorang simulated patient.

Catatan:

saat ini mahasiswa mengamati dan mencatat beberapa hal yang dirasa merupakan ‘key

point’ yang harus diperhatikan selama melakukan tindakan.

Prinsip:

Selain mengamati peragaan yang ditampilkan dosen, mahasiswa juga diajak untuk

mendengarkan dan melihat dari orang lain, yaitu menyaksikan penampilan 

bagaimana cara kerja seorang bidan profesional ketika sedang menolong persalinan,

mahasiswa diajak untuk mengamati fenomena-fenomena lain,   terkait dengan topik

yang sedang dipelajari, yaitu sebuah proses persalinan.

3. Siswa diminta untuk mengulang (mendemontrasikan), dosen bersama siswa yang lain

mengamati sambil memberi masukan.

Catatan:

12

Page 14: Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

Dalam memberikan masukan dosen perlu hati-hati dimana harus mempertimbangkan

untuk tidak menyurutkan semangat belajar mahasiswa (constructed suggestion).

4. Untuk selanjutnya masing-masing siswa diminta mengulang ketrampilan tersebut

secara mandiri (Role Play dengan temannya sebagai simulated patient), dengan

divideo dan dievaluasi sendiri sampai dirasa sudah seperti video APN yang dijadikan

acuan.

Catatan:

Selama siswa belajar mandiri tetap diberi kesempatan untuk berkonsultasi kepada

dosen bila ada beberapa hal yang kurang dimengerti atau muncul pengalaman baru

yang butuh penjelasan dosen.

Prinsip:

Mahasiswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui

pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterpretasian data dalam suatu kegiatan

yang telah dirancang dosen. Secara keseluruhan, tahap ini akan memenuhi rasa

keingintahuan siswa tentang fenomena persalinan (secara kelompok maupun

individu).

5. Hasilnya (masing-masing video dari masing-masing siswa) kemudian ditunjukkan

kepada dosen untuk memastikan apakah tujuan pembelajaran yang diharapkan yaitu

apakah siswa sudah mampu mendemonstrasikan langkah-langkah pertolongan

persalinan (58 langkah APN) pada ibu bersalin sudah tercapai atau belum.

6. Dosen menyampaikan feedback kepada mahasiswa mengenai pencapaian ketrampilan

masing-masing mahasiswa secara positif untuk meyakinkan mahasiswa bahwa ia

sudah mampu atau masih perlu belajar lagi.

Prinsip:

Mahasiswa dapat memberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil kerjanya

ditambah dengan penguatan dosen, sehingga ia membangun pemahaman baru tentang

konsep yang sedang dipelajari. Hal ini menjadikan mahasiswa tidak ragu-ragu lagi

tentang konsepnya.

DAFTAR PUSTAKA

13

Page 15: Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja.

Agnew, P. W., Kellerman, A. S., and Meyer, J. (1996). Multimedia in the Classroom. Allyn and Bacon, Boston.

Ben Graffam. (2007). Active learning in medical education: Strategies for beginning implementation. Medical Teacher, (29): 38-42.

Briggs, Lisslie, (1978). Instructional Design, New Jersey : Ed.Techn Pub. P.23. (http://www.google.com/books?id=aOcWFqPw4JQC&lpg=PR5&ots=bPtg6_mLNt&dq=Briggs%2C%20Leslie%2C%20(1978).%20Instructional%20Design&lr&hl=id&pg=PP1#v=onepage&q&f=false)

Bruner, J. S. (1985). Models of the learner. Educational Researcher, 14(6), 5-8.

Collins, A., Brown, J.S., & Newman, S.E. (1989). Cognitive Apprenticeship: Teaching the crafts of reading, writing and mathematics. In L.B. Resnick (Ed.), Knowing, learning and instruction: Essays in honor of Robert Glaser, Hillsdale NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Cunningham, D.J., Duffy, T.M. & Knuth, R. (1993). The textbook of the future. In C. McKnight, A. Dillion & J. Richardson (Eds), Hypertext: A Psychological Perspective. Ellis Harwood.

Dewey, J. (1896). The reflex arc concept of psychology. Psychology Review, 3, 357-370.

Dewey, J. (1983). The influence of the high school upon educational methods [Reprinted from School Review, January 1896 issue]. American Journal of Education, 91, 406-418.

Duffy, T. M. and Jonassen, D. H. (1991). Constructivism: New implications for instruction technology. Educational Technology, May, pp. 7-12. (http://www.google.com/books?id=7Uv8NHvKK44C&lpg=PA1&ots=XOcB1yYdlA&dq=Duffy%2C%20T.%20M.%20and%20Jonassen%2C%20D.%20H.%20(1991).%20Constructivism%3A%20New%20implications%20for%20instruction%20technology&lr&hl=id&pg=PA1#v=onepage&q&f=false).

14

Page 16: Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

Duffy, T.M. & Jonassen, D. (Eds.), (1992).Constructivism and the technology of instruction: A conversation. Hillsdale NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Fosnot, C.T. (1989). Enquiring Teachers Enquiring Learners. A Constructivist Approach to Teaching. New York: Teacher’s College Press.

Honebein, P., Duffy, T.M., & Fishman, B. (1993). Constructivism and the design of learning environments: Context and authentic activities for learning. In Thomas M. Duffy, Joost Lowyck, and David Jonassen (Eds.), Designing environments for constructivist learning. Heidelberg: Springer-Verlag.

Jonassen, D. H., Peck, K. L. and Wilson, B. G. (1999). Learning with Technology: A Constructivist Perspective. Merrill/Prentice Hall, New Jersey.

Margaret E. Gredler. (2009). Learning and Instruction. Theory into Practice. 6th ed. New Jersey: Pearson. P. 19-31

Orlich, D. C., Harder, R. J., Callahan, R.C. and Gibson, H.W. (1998). Teaching Strategies: A Guide To Better Instruction. Houghton Mifflin Co., New York. (http://www.google.com/books?id=aKuEYJdGyTIC&lpg=PR3&ots=JRkNiDdUhj&dq=orlich%20teaching%20strategies%20a%20guide%20to%20better%20instruction&lr&hl=id&pg=PP1#v=onepage&q&f=false).

Proulx, J. (2006). Constructivism: A re-equilibration and clarification of the concepts, and some potential implications for teaching and pedagogy. Radical Pedagogy, 8(1). Retrieved September 25, 2008, from http://radicalpedagogy.icaap.org/content/issue8_1/proulx.html.

Roblyer, M.D. and Edwards, J. (2000). Integrating Educational Technology into Teaching (2nd Edition). Merrill/Prentice-Hall, New Jersey.

Schon, D.A. (1987). Educating the Reflective Practitioner. San Francisco: Jossey-Bass Limited.

Sharon R. Collins, B. (2008). Enhanced Student Learning Through Applied Constructivist Theory. Transformative Dialogues:Teaching & Learning Journal. Volume 2, Issue 2 (November 2008).

Spiro, R.J., Feltovich, P.L., Jacobson, M.J., & Coulson, R.L. (1992). Cognitive flexibility, constructivism, and hypertext: Random access for advanced knowledge acquisition in illstructured domains. In T.M. Duffy & D. Jonassen

15

Page 17: Aplikasi Konstruktivisme Dengan Pendekatan Active Learning

(Eds.), Constructivism and the technology of instruction: A conversation. Hillsdale NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Sukandi, dkk. (2003). Belajar Aktif & Terpadu. Duta Graha,Surabaya.

Thomas M. Duffy, Joost Lowyck, and David Jonassen (Eds.), Designing environments for constructivist learning. Heidelberg: Springer-Verlag.

Zuhairini, dkk, 1993. Metodologi Pendidikan Agama, Rahmadhani, Solo.

16