Penerapan manajemen risiko kredit dalam proses pemberian ......Menurut Surat Edaran BI 5/21/2003,...
Transcript of Penerapan manajemen risiko kredit dalam proses pemberian ......Menurut Surat Edaran BI 5/21/2003,...
1. PENDAHULUAN
Penyaluran kredit perbankan pada sektor konsumsi mengalami
peningkatan drastis sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi dua belas tahun
yang lalu. Hal ini terjadi karena banyaknya perusahaan besar yang bangkrut
sehingga korporasi sangat sedikit menyerap kredit dari bank. Perbankan
kemudian semakin menyadari bahwa peluang di pasar konsumsi semakin
besar, dimana tanggungan akibat gagal bayar oleh kreditur yang dihadapi
relatif lebih kecil dibanding dengan kredit pada investasi dan modal kerja.
Dengan peluang bisnis yang cukup menjanjikan, maka kredit konsumsi
merupakan produk favorit bagi pelaku bisnis perbankan. Jelas bahwa
ketatnya tingkat persaingan antar bank ini menimbulkan 2 sudut pandang.
Dalam sisi positif, kehadiran bank baru memberikan kelancaran dan
kemudahan dalam transaksi perdagangan, dan pada akhirnya meningkat
pula jumlah dan nilai transaksi perbankan dan keuangan baik nasional
maupun internasional. Namun dari sisi negatifnya persaingan yang tidak
sehat antar pemilik dan pengelola bank pun meningkat. Dampak dari hal ini
sudah banyak nampak, terutama dalam pelanggaran prinsip kehati-hatian
berupa overlimit plafon kredit yang melebihi Peraturan Bank Indonesia
maupun kemudahan syarat-syarat kredit tanpa mempertimbangkan prinsip
kehati-hatian dalam pemberian kredit kepada nasabahnya.
Dari berbagai jenis bank di Indonesia, kelompok bank asing dan
campuran dinilai paling agresif dalam memangkas suku bunga kredit
konsumsi pada tahun lalu (2010). Kepala Biro Humas Bank Indonesia Difi
A. Johansyah mengatakan kelompok bank asing dan campuran merupakan
kelompok bank yang paling agresif dalam menurunkan suku bunga kredit
konsumsi dan suku bunga kredit modal kerja. Bank Indonesia (BI) mencatat
adanya penurunan suku bunga kredit. Penurunan rata-rata suku bunga kredit
tersebut didorong oleh Bank Asing yang menurunkan bunga kredit
konsumsinya hingga 80bps atau 0,8%
(http://finance.detik.com/read/2011/06/12/115530/1658451/5/bank-asing-
turunkan-bunga-kredit-konsumsi-80-bps?nd9911043).
Dengan keberanian bank asing dalam menurunkan suku bunga
kreditnya, BI mencatat bahwa selama tahun 2010-2011, NPL (Non
Performing Loan) bank asing juga memiliki prosentase paling besar
dibanding dengan penggolongan bank lain di Indonesia (lampiran 1).
1
PT. BII, Tbk merupakan salah satu bank asing milik Malaysia yang
beroperasi di Indonesia. Menurut situs BII, bank ini fokus dibidang
konsumer. Hal tersebut didorong oleh kontribusi terbesar dari total kredit
konsumsi. Yaitu sebesar 40 %, sedangkan kontribusi kredit UKM dan
kredit Korporasi masing-masing sebesar 36% dan 24 %. Namun meski
secara rata-rata Non Performing Loan (kredit bermasalah gross) bank asing
meningkat, BII justru dapat menurunkan NPL nya. Per September 2011
turun dari 3,52% menjadi 2,54%. Penurunan NPL tersebut juga didorong
oleh peran manajemen risiko kredit yang efektif
(http://www.bii.co.id/News/Pages/BII-Records-34-Increase-in-Net-Profit-).
Ketersediaan suatu sistem dan prosedur dalam hal mengendalikan
dan mengelola risiko adalah merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap
bank. Agar bank terhindar dari kerugian, baik kerugian materi berupa
penurunan pendapatan bank ,maupun non materi seperti memburuknya citra
atau reputasi dari suatu bank di mata masyarakat. Pada tingkatan yang lebih
tinggi, risiko dapat dikelola sedemikian rupa untuk memberikan penghasilan
yang lebih besar bagi bank. Bank diharapkan mampu mengidentifikasi
risiko, mengelola dan memantau agar dampak dari risiko yang mungkin
saja terjadi tidak melebihi kemampuan bank atau yang dapat mengganggu
kelangsungan usaha bank tersebut.
Menurut info bank, kredit konsumsi perbankan nasional pada 2012
diprediksi akan tetap tumbuh. KPR masih menjadi penyangga utama
pertumbuhan (http://www.infobanknews.com/2011/11/prospek-kpr-di-
bawah-bayang-bayang-krisis).
Bank Indonesia (BI) menilai keberanian sejumlah bank asing di Tanah Air
menyalurkan kredit sangat tinggi pada tahun 2011. Saat perbankan nasional
mengerem penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR), bank milik asing
justru mengincar bisnis ini. Apalagi, angka penyaluran KPR masih minim,
yakni baru dua persen dari total PDB (Produk Domestik Bruto). Sedangkan
jumlah penduduk terus meningkat. Hal itu menjadi alasan perbankan asing
mulai mengincar pasar properti di tanah air. Menurut Haryanto (EVP
Coordinator CMO, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk), penyaluran kredit
rumah di Malaysia dan Singapura sudah mulai jenuh. Karena, sudah hampir
semua orang memiliki rumah sendiri, makanya bank asing masuk ke
Indonesia (http://www.ujungpandangekspres.com/view.php).
Berdasarkan uraian di atas, maka mendorong penulis untuk
mempelajari “Bagaimana Penerapan Manajemen Risiko di PT. BII, Tbk di
bidang Kredit Pemilikan Rumah?”
2
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan
manajemen risiko KPR di BII. Hasil penelitian ini diharapkan memberi
manfaat bagi penulis agar dapat meningkatkan wawasan berpikir ilmiah
khususnya yang berkaitan dengan konsep manajemen risiko secara nyata di
perbankan Indonesia. Dan bagi pendidikan diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi pengembangan ilmu khususnya dalam praktisi didunia
perbankan terutama dalam penerapan manajemen risiko penyaluran kredit
konsumsi di bidang KPR.
3
2. Kajian Teoritis dan Empiris
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Pengertian Bank
Menurut UU Perbankan No.10 Tahun 1998 tentang perubahan UU
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pengertian Bank adalah sebagai
berikut:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan atau bentuk bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak.”
2.1.2 Pengertian Kredit
Menurut UU Perbankan No.10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, kredit dan pembiayaan adalah sebagai
berikut:
“Kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga”.
Sedangkan pengertian pembiayaan dalam Pasal 1(12) adalah:
“Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau
tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi
hasil.”
2.1.3 Unsur-unsur Kredit:
Menurut Khasmir (2004: 103), unsur-unsur kredit yang terkandung
dalam pemberian suatu fasilitas kredit adalah sebagai berikut:
a. Kepercayaan
Kepercayaan merupakan suatu keyakinan bahwa kredit yang diberikan akan
benar-benar diterima kembali dimasa tertentu dimasa yang akan datang oleh
pihak pemberian kredit.
b. Kesepakatan
Kesepakatan merupakan suatu kesepakatan yang dituangkan dalam suatu
perjanjian dimana masing-masing pihak akan menandatangani hak dan
kewajiban masing-masing.
c. Jangka waktu
Jangka waktu merupakan masa pengembalian kredit yang telah disepakati
antara pemberi kredit dan penerima kredit.
d. Risiko
4
Risiko merupakan suatu kemungkinan tidak tertagihnya pinjaman atau
macetnya pengembalian kredit dari yang telah disepakati bersama.
e. Balas jasa
Balas jasa merupakan suatu keuntungan atas pemberian suatu kredit atau
jasa, yang di kenal dengan nama bunga.
2.1.4 Analisis Kredit
Dalam pemberian kredit dibutuhkan suatu analisis terhadap usaha yang
dilakukan debitur untuk menentukan suatu keputusan dalam pemberian
kredit. Salah satu cara menilai kegiatan usaha debitur adalah dengan
menggunakan prinsip-prinsip kredit pada aspek-aspek usaha debitur.
Adapun prinsip-prinsip yang digunakan adalah berupa analisis 6C dan 7P.
1. Adapun 6C menurut Gup and Kolari (2005; 263) tersebut adalah:
a. Character, sifat dan watak dari nasabah (kejujuran, tanggungjawab,
integritas dan konsisten). Sifat atau watak dari orang-orang yang akan
diberikan kredit benar-benar dapat dipercaya, tercermi dari latar belakang
debitur baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat
pribadi.
b. Capacity, kemampuan seseorang untuk menjalankan bisnis. Debitur
perlu dianalisis apakah dia mampu memimpin dengan baik dan benar
usahanya. Jika dia mampu memimpin usahanya, maka dia juga akan
mampu untuk mengembalikan pinjamam sesuai dengan perjanjian dan
perusahaannya tetap berjalan.
c. Capital, kondisi keuangan dari nasabah (pendapatan bersihnya).
Modal yang besar maka menunjukkan besarnya kemampuan debitur untuk
melunasi kewajiban-kewajibannya.
d. Colleteral, kekayaan yang dijanjikan untuk keamanan dalam transaksi
kredit/anggunan. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang
diberikan. Jika terjadi kredit macet, maka agunan inilah yang digunakan
untuk membayar kredit tersebut.
e. Condition, faktor luar (kondisi ekonomi) yang mengontrol
perusahaan. Menilai kredit hendakya juga dinilai kondisi ekonomi sekarang
dan dimasa yang akan datang sesuai sektor masing-masing, serta prospek
usaha dari sektor yang ia (peminjam) jalankan.
f. Compliance, kepatuhan terhadap hukum dan undang-undang yang
berlaku itu sangatlah penting. Hal ini menyangkut atas kepatuhan kreditur
dan debitur dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.
2.1.5 Kredit Bermasalah (Non Performing Loan)
Kredit bermasalah akan muncul apabila debitur tidak dapat memenuhi
kewajibannya. Didalam pemberian kredit akan ada kemungkinan tidak
tercapainya kesepakatan yang telah disepakati oleh debitur dan bank. Inilah
yang sering kita sebut sebagai risiko kredit. Dan risiko kredit ini berbentuk
kredit bermasalah. Yang tergolong sebagai kredit bermasalah didalam
keseluruhan kriteria kredit adalah kredit dalam perhatian khusus, kurang
lancar, diragukan, dan macet.
5
Menurut Veithzal Rivai (2006: 467) terdapat berbagai definisi kredit
bermasalah, yaitu kredit yang memiliki kemungkinan timbulnya risiko di
kemudian hari:
1. Mengalami kesulitan didalam penyelesaian kewajiban- kewajibannya,
baik dalam bentuk pembayaran kembali pokoknya dan atau pembayaran
bunga, denda keterlambatan, serta ongkos-ongkos bank yang menjadi
beban nasabah yang bersangkutan.
2. Kredit dimana pembayaran kembalinya dalam bahaya, terutama apabila
sumber-sumber pembayaran kembali membayar kredit, sehingga belum
mencapai atau memenuhi target yang diinginkan bank.
2.1.6 Manajemen Risiko kredit
Penerapan manajemen risiko kredit ini dimaksudkan untuk menilai
risiko kredit yang melekat pada pelaksanaan pemberian kredit. Hal yang
penting didalam penerapan manajemen risiko kredit adalah adanya prosedur
dan metodologi pengelolaan risiko kredit sehingga kegiatan usaha bank,
dalam hal ini kredit dapat terkendali pada batas yang dapat diterima.
Manajemen resiko kredit diterapkan sebagai upaya meningkatkan efektivitas
prudential Banking. Situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan
mengalami perkembangan pesat yang diikuti dengan semakin kompleksnya
risiko kegiatan usaha perbankan sehingga meningkatkan kebutuhan praktek
tata kelola Bank yang sehat
(good corporate governance) dan penerapan manajemen risiko yang meliputi
pengawasan aktif pengurus bank, kebijakan, prosedur dan penentapan limit
risiko, proses identifikasi, pengukuran ,pemantauan, sistem informasi, dan
pengendalian risiko , serta sistem pengendalian intern (SE No.5/21/DPNP
2003:2).
a) Pengawasan aktif pengurus bank (Dewan Komisaris dan Direksi) , yang
meliputi:
1. Dewan Komisaris bertanggung jawab dalam melakukan persetujuan dan
peninjauan berkala atau sekurang-kurangnya secara tahunan mengenai
srategi dan kebijakan risiko kredit pada bank.
2. Direksi bertanggung jawab untuk mengimplementasikan strategi dan
kebijakan risiko kredit serta mengembangkan prosedur identifikasi,
pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko kredit.
b) Kebijakan Manajemen Risiko Kredit
Menurut Surat Edaran BI 5/21/2003, kebijakan manajemen resiko kredit
merupakan arahan tertulis dalam menerapkan manajemen resiko dan harus
sejalan dengan visi,misi, dan rencana strategik bank serta lebih terfokus pada
6
risiko yang relevan pada aktivitas fungsional Bank(SE No.5/21/DPNP 2003
:6). Terkhusus bank harus memiliki informasi yang cukup guna membantu
bank dalam melakukan penilaian secara komprehensif terhadap profil risiko
debitur(SE No.5/21/DPNP 2003:21).
Meskipun BI telah membuat suatu prosedur tertulis mengenai
manajemen risiko kredit, namun bank umum juga wajib membangun sistem
manajemen risiko kredit sesuai dengan fungsi dan visi misi yang disesuaikan
dengan organisasi manajemen risiko kredit pada bank tersebut.
c) Penetapan Limit
Penetapan limit merupakan batas /limit dari potensi kerugian yang mampu
diminimalisir oleh bank. Batas maksimum pemberian kredit adalah salah satu
cara untuk mengurangi potensi risiko kredit. Didalam penetapan limit ada 5
hal yang penting (SE No.5/21/DPNP 2003: 23), yaitu:
1. Dalam prosedur penetapan limit risiko kredit, bank antara lain harus
menggambarkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penetapan limit
risiko kredit dan proses pengambilan keputusan/penetapan limit risiko kredit.
2. Bank harus menetapkan limit untuk seluruh nasabah atau counterparty
sebelum melakukan transaksi dengan nasabah tersebut, dimana limit tersebut
dapat berbeda satu sama lain.
3. Limit untuk risiko kredit ditujukan untuk mengurangi risiko yang
ditimbulkan karena adanya konsentrasi penyaluran kredit.
4. Limit untuk satu nasabah atau counterparty dapat didasarkan atas hasil
analisis data kuantitatif yang diperoleh dari informasi laporan keuangan
maupun hasil analisis informasi kualitatif yang dapat bersumber dari hasil
interview dengan nasabah.
5. Penetapan limit risiko kredit harus didokumentasikan secara tertulis dan
lengkap yang memudahkan penetapan jejak audit untuk kepentingan auditor
intern maupun ekstern.
d) Identifikasi Risiko Kredit
Bank harus mengidentifikasi risiko kredit yang melekat pada seluruh produk
dan aktivitasnya. Identifikasi risiko kredit tersebut merupakan hasil kajian
terhadap karakteristik risiko kredit yang melekat pada aktivitas fungsional
tertentu, seperti perkreditan (penyedian dana), tresuri dan investasi , dan
pembiayaan perdagangan (SE No.5/21/DPNP 2003: 22).
Setelah dilakukan identifikasi risiko kredit secara akurat, selanjutnya secara
berturut-turut bank perlu melakukan pengukuran, pemantauan dan
pengendalian risiko kredit. Penilaian risiko merupakan serangkaian tindakan
yang dilaksanakan oleh Direksi dalam rangka identifikasi, analisis dan
menilai risiko yang dihadapi bank untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
e) Pengukuran Risiko Kredit
Pengukuran risiko kredit dimaksudkan agar bank mampu mengkalkulasi
eksposur risiko kredit yang melekat pada kegiatan usahanya sehingga bank
7
dapat memperkirakan dampaknya terhadap permodalan yang seharusnya
dipelihara dalam rangka mendukung kegiatan usaha yang dimaksud. Selain
itu pelaporan data atas kalkulasi eksposur kredit digunakan sebagai
pengambilan keputusan dengan tetap mempertimbangkan prinsip kehati-
hatian bank. Dalam sistem pengukuran risiko kredit, sekurang-kurangnya
mempertimbangkan (SE No.5/21/DPNP 2003: 24):
1. Karakteristik setiap jenis transaksi risiko kredit, kondisi keuangan debitur/
counterparty serta persyaratan dalam perjanjian kredit seperti dalam
jangka waktu dan tingkat bunga;
2. Jangka waktu kredit ( maturity profile) dikaitkan dengan perubahan
potensial yang terjadi di pasar;
3. Aspek jaminan, agunan dan atau garansi;
4. Potensi terjadinya kegagalan membayar (default),baik yang berdasarkan
hasil penilaian pendekatan konvensional maupun hasil penilaian
pendekatan yang menggunakan proses pemeringkatan yang dilakukan
secara intern;
5. Kemampuan bank untuk menyerap potensi kegagalan (default).
f) Pemantauan Risiko Kredit
Dalam rangka melaksanakan pemantauan risiko, Bank harus melakukan
evaluasi terhadap eksposur risiko, terutama yang bersifat material dan atau
yang berdampak pada permodalan bank. Dalam pemantauan risiko kredit
sekurang-kurangnya memuat ukuran-ukuran dalam rangka (SE
No.5/21/DPNP 2003: 26):
1. Memastikan bahwa bank mengetahui kondisi keuangan terakhir dari
debitur atau counterparty ;
2. Memantau kepatuhan terhadap persyaratan dalam perjanjian kredit atau
kontrak transaksi risiko kredit;
3. Menilai kecukupan agunan dibandingkan dengan kewajiban debitur atau
counterparty;
4. Mengidentifikasi ketidaktepatan pembayaran dan mengklasifikasikan
kredit bermasalah secara tepat waktu;
5. Menangani dengan cepat kredit bermasalah
Hasil pemantauan yang mencangkup evaluasi terhadap eksposur risiko
kredit dibandingkan dengan limit risiko kredit yang telah ditetapkan. Lalu,
hasilnya dilaporkan secara tepat waktu, akurat dan informatif , dalam rangka
meningkatkan efektivitas proses pengukuran risiko kredit. Yang akan
digunakan oleh Direksi dan pejabat lainnya dalam pengambilan keputusan
dalam suatu bank (SE No.5/21/DPNP 2003: 25).
Selanjutnya berdasarkan hasil pemantauan tersebut, bank melakukan
pengendalian risiko antara lain dengan teknik mitigasi risiko kredit.
g) Pengendalian Risiko Kredit dan Sistem Pengendalian intern
Didalam rangkaian manajemen risiko kredit, kegiatan pengendalian akan
berjalan efektif bila direncanakan dan diterapkan yang berguna dalam
mengendalikan risiko yang telah diidentifikasi. Sedangkan sistem
8
pengendalian intern yang efektif merupakan hal yang penting didalam
manajemen risiko kredit bank yang sehat. Sistem pengendalian intern bank
yang efektif akan membantu pengurus bank menjaga aset, menjamin
ketersediaan pelaporan keuangan dan manajerial yang dapat dipercaya,
meningkatkan kepatuhan bank terhadap ketentuan dan perundang- undangan
yang berlaku, serta mengurangi risiko terjadinya kerugian, penyimpangan
dan pelanggaran aspek kehati-hatian (SE No.5/22/DPNP 2003: 3).
2.2 Kajian Empiris (Tinjauan Peneliti Terdahulu)
Penelitian terdahulu dilakukan oleh Seno Santoso pada tahun 2008 yang
berjudul Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Pada Bank
Tabungan Negara (Persero) Cabang Bekasi. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui pelaksanaan KPR untuk rumah sederhana pada Bank BTN
cabang Bekasi, serta untuk mengetahui cara penyelesaian apabila debitur
wanprestasi. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis empiris, dimana digunakan untuk memberikan gambaran
secara kualitatif tentang kewajiban debitur dan penyelesaian kredit
bermasalah dalam pelaksanaan perjanjian kredit. Dari hasil penelitian
tersebut dapat disimpulkan ada tiga tahap dalam proses terjadinya prosedur
KPR di BTN. Yang pertama merupakan tahap wawancara antara pihak
debitur dengan pihak Bank Tabungan negara, dari hasil wawancara ini BTN
dapat melakukan seleksi awal terhadap calon debitur mengenai karakter dari
pemohon atau debitur setelah mengajukan permohonan melalui BTN dan
mempelajari syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan yang berlaku,
memeriksa identitas, kemampuan kesanggupan memenuhi syarat kredit
(melampirkan daftar gaji dari instansi calon debitur bekerja atau penghasilan
dari calon debitur). Selain itu juga adanya jaminan dari BTN kepada calon
debitur tersebut yang berupa rumah dan tanah yang akan dijadikan jaminan
dalam perjanjian kredit pemilikan rumah tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut kemudian pihak PT BTN (Persero)
Cabang Bekasi mengadakan rapat komite kredit (K/Rakomdit) untuk
menentukan apakah calon debitur tersebut dapat diterima untuk mengajukan
permohonan kredit, apabila calon debitur ditolak maka calon debitur untuk
sementara waktu tidak memenuhi syarat-syarat dan apabila diterima maka
calon debitur tinggal menunggu realisasi kredit. Tahap kedua yaitu tahap
pembinaan kredit dalam tahap ini akan diadakan rekonsiliasi atau konfirmasi,
tujuannya yaitu untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan dalam
hal kekeliruannya dalam pembukuan angsuran. Tahap yang ketiga yaitu
tahap penyelamatan kredit, di dalam tahap ini pihak BTN (Persero) Cabang
Bekasi membuat surat pernyataan kesanggupan membayar, dengan tujuan
bilamana debitur mengakui adanya tunggakan, dalam hal ini debitur diminta
untuk membayar tunggakan dalam masa tertentu. Selain itu surat peringatan
ini juga sebagai kelengkapan apabila masalah tersebut sampai ke pengadilan.
Sedangkan untuk mengatasi wanprestasi dari debitur, pihak PT BTN
melakukan cara-cara yaitu dengan musyawarah dengan melalui Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). Dan bila cara ini tidak
menemukan titik terang yang terakhir melalui pengadilan dengan
konsekuensi proses waktu yang panjang serta memakan biaya yang banyak.
9
Persamaan peneliti yang dilakukan oleh Seno dengan peneliti sekarang
adalah sama-sama meneliti tentang prosedur pemberian KPR serta cara
penyelesaian apabila debitur wanprestasi. Perbedaan penelitian terdahulu dan
peneliti sekarang adalah peneliti sekarang menambahkan adanya gambaran
mengenai manajemen risiko kredit yang dilakukan oleh BII, karena hal ini
akan dinilai bisa cukup mewakili apakah dalam pemberian kredit yang
merupakan kegiatan utama bank, mengandung risiko kredit yang dapat
memicu terjadinya kredit bermasalah. Oleh karena itu gambaran mengenai
manajemen risiko kredit ini diperlukan sebagai upaya pencegahan bahkan
evaluasi dalam pelaksanaan kredit. Dimana bank harus berpegang pada
aturan serta kebijakan kredit yang sehat sebagaimana diatur oleh Bank
Indonesia guna melindungi dan memelihara kepentingan serta kepercayaan
masyarakat.
10
3. METODE PENELITIAN
Menurut Soerjono (1986: 6) metode adalah proses, prinsip-prinsip dan
tata cara memecahkan suatu masalah, sedang penelitian adalah pemeriksaan
secara berhati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah
pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses
prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi
dalam penelitian.
Menurut Sutrisno Hadi (2000 : 4), penelitian atau research, adalah usaha
untuk menemukan, mengembangkan dan mengkaji kebenaran suatu usaha
untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu
pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode
ilmiah.
Dengan demikian, penelitian yang dilaksanakan tidak lain untuk
memperoleh data yang telah teruji kebenaran ilmiahnya. Namun untuk
mencapai kebenaran tersebut ada dua buah pola berpikir secara empiris atau
melalui pengalaman. Oleh karena itu, untuk menemukan metode ilmiah,
maka digabungkanlah metode pendekatan rasional dan metode pendekatan
empiris, di sini rasionalisme memberikan kerangka pemikiran logis, sedang
empirisme memberikan kerangka pembuktian atau pengujian untuk
memastikan suatu kebenaran (Ronny, 1990: 36).
3.1. Jenis Penelitian dan Sumber Data
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Yaitu setelah
data terkumpul, kemudian ditulis dalam bentuk uraian logis dan sistematis,
selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah,
kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif. Yaitu dari data yang bersifat
umum menuju ke hal yag bersifat khusus.
Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data primer dan sekunder.
Data primer berupa wawacara langsung secara informal dengan Account
Officer bagian KPR. Sedangkan data sekunder berupa standar operasional
pelaksanaan program KPR BII, dan dokumen pendukung lainnya. Adapun
pengumpulan datanya adalah sebagai berikut:
11
Cara Penjelasan Jenis Data
Wawancara Pengumpulan data
yang diperoleh dari
Account Officer BII
bagian KPR.
1. Gambaran umum
mengenai program
KPR BII.
2. Prosedur penyaluran
kredit pemilikan
rumah di BII.
3. Risiko-risiko yag
sering muncul dalam
program KPR BII.
4. upaya manajemen
risiko yang dilakukan
BII untuk
meminimalisasi risiko
yang muncul.
Dokumenter Pengumpulan data
yang diperoleh melalui
dokumen-dokumen
pelaksanaan penerapan
manajemen risiko
kredit program KPR
BII.
annual report, standar
operasional
pelaksanaan program
KPR BII.
3.2 Populasi dan Sampel
Dalam penelitian ini, ditujukan kepada lembaga, oleh karena itu tidak
dipersoalkan populasi dan sampel. Dalam penelitian ini yang menjadi unit
analisisnya adalah manajemen risiko kredit dalam pemberian kredit
pemilikan rumah di PT. Bank Internasional, Tbk.
3.3 Teknik dan langkah-langkah analisis data
Teknik yang digunakan dalam penelitian tentang penerapan manajemen
risiko kredit dalam pemberian kredit pemilikan rumah di BII ini bukan
penelitian yang merupakan suatu penelitian terhadap hipotesis yang hendak
diuji kebenarannya. Namun lebih kepada mendapatkan gambaran dan
informasi mengenai manajemen pengendalian risiko kredit yang dilakukan
oleh BII. Adapun langkah-langkah analisis yang dilakukan adalah:
1. Mengamati prosedur manajemen risiko kredit pemilikan rumah BII
dengan wawancara.
2. Mengumpulkan dokumen-dokumen yang digunakan dalam analisis
manajemen risiko kredit pemilikan rumah di BII.
3. Melakukan wawancara atas risiko kredit yang masih muncul dalam
pelaksanaan pemberian kredit pemilikan rumah di BII.
12
4. Menganalisis langkah-langkah yang ditempuh BII dalam
meminimalisasi risiko kredit.
5. Membuat kesimpulan dan saran.
13
4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil penelitian
PT BII,Tbk merupakan bank yang didirikan pada tahun 1980 dan
mencatatkan ke BEI pada tahun 1998 dan menjadi bank swasta di Indonesia.
Sedangkan ia menjadi bank asing setelah diambil alih oleh konsorsium Sorak
kepemilikan bank sebesar 51 % pada tahun 2003.
i. Gambaran umum program KPR PT. BII, TBK Jakarta
Produk utama :
a. Home Financing /KPR: pinjaman yang diberikan untuk pembelian
properti (untuk tempat tinggal atau hunian , kecuali untuk ruko / rukan),
biasanya dengan periode pembayaran dan bunga yang telah ditetapkan.
b. Home equity /maxima: pinjaman yang diberikan dengan jaminan properti
yang telah dimiliki untuk mendapatkan uang tunai.
ii. Proses Persetujuan Kredit Pemilikan Rumah BII (lampiran 2)
iii. Sistem Manajemen Risiko Kredit
Manajemen risiko kredit yang bersifat preventif
Merupakan manajemen risiko pada tahap preventif (pencegahan). Dimana
pada tahap ini akan dijelaskan prosedur pemberian kredit sampai kepada
penagihan dan pemantauan atas kredit yang disetujui. Jika dihubungkan
dengan penerapan manajemen risiko yang diatur oleh Bank Indonesia bagi
perbankan di Indonesia, tahap pengawasan aktif pengurus bank dan
kebijakan manajemen risiko kredit pada tahap preventif berperan sebagai
kerangka yang memberikan gambaran setiap tanggungjawab dan otorisasi
dari manajemen risiko kredit secara komprehensif. Tahap penetapan limit
dimaksudkan untuk meminimalisir potensi kerugian dikemudian hari dengan
prosedur yang ada. Dan tahap identifikasi risiko kredit serta pengukuran
risiko kredit masih masuk dalam tahap preventif, karena tahap ini
dimaksudkan sebagai upaya bank dalam mendeteksi adanya potensi risiko
kredit dimasa mendatang yang berpengaruh terhadapa usaha perbankan dan
permodalan bank tersebut. Adapun prosedur manajemen risiko pada tahap
preventif yang dimaksud:
a) Kejelasan dan kelengkapan Informasi tentang calon debitur
Petugas administrasi wajib menjelaskan mengenai persyaratan pengajuan
kredit pemilikan rumah yang meliputi dan mengecek ke Sistem Informasi
14
Debitur Bank Indonesia sedang tidak menerima kredit atau pembiayaan modal
kerja dan investasi dari bank lain maupun pemerintah, pada saat permohonan
kredit diajukan. Jika calon nasabah masih memiliki debet di dalam sistem
Informasi Debitur Bank Indonesia maka diperlukan Surat Roya dari bank asal
wajib dimintakan. Harus lancar selama 3 bulan terakhir pada tanggal
verifikasi. Tidak terdaftar dalam negatif AKKI (Asosiasi Kartu Kredit
Indonesia)
1. Legalitas dokumen calon debitur berupa KTP. Selain itu sekurang-
kurangnya salah satu dari dokumen berikut harus tersedia; Kartu
Keluarga, Surat Nikah / Akta Cerai / akta kematian.
2. Perijinan calon debitur dengan ketentuan plafond kredit sesuai dengan
bidang usaha .
3. Jenis kredit dan Jangka waktu akan dijelaskan dengan tabel yang
menggambarkan jenis kredit pemilikan rumah (KPR dan Maxima) besrta
jangka waktu yang disesuaikan dengan usia debitur saat kredit berakhir.
b) Kriteria kelayakan
Bagian administrasi melakukan pengujian kelayakan atas berkas yang
masuk dengan dasar beberapa parameter yang telah dibakukan seperti:
Kewarganegaraan : untuk menjamin bahwa nasabahnya memiliki ikatan
hukum yang jelas yang didasarkan pada Undang-undang).
Usaha debitur : untuk mengetahui usaha yang dijalankan nasabah. Untuk
memastikan sumber pendapatan debitur serta memastikan usaha debitur
tidak masuk dalam daftar hitam perusahaan, pengalaman kerja dan
usaha debitur (individu) . Dengan asumsi jika ia bisa menjalankan
bisnisnya dengan baik, ia akan mampu melunasi kewajibannya kelak.
Cakupan lokasi tempat usaha serta lokasi jaminan, dimana hal itu
mempengaruhi kesiapan operasional BII dalam upaya memperoleh
kepastian mengenai perlindungan jaminan debitur).
c) Verifikasi
Jika berkas pengajuan kredit yang lolos kriteria kelayakan, maka akan
dilanjutkan oleh bagian Account Officer dimana bagian ini mengecek
tentang keberadaan syarat informasi di lapangan yang meliputi pengecekan
dokumen dengan pengecekan jaminan. Pengecekan dokumen meliputi;
tempat tinggal, verifikasi tempat bekerja via telepon bagi karyawan , bagi
pengusaha dan profesional pengeceka keberadaan kepemilikan perusahaan.
15
Dan pengecekan ke bank asal jika masih terdapat debit kredit di bank
tersebut. Sedangkan pengecekan jaminan meliputi:
Melakukan pengecekan sertifikat tanah ke BPN oleh bagian legal.
Tim appraisal melakukan pengecekan ke Dinas Tata Kota jika lokasi berada
diluar hunian real estate.
Penilaian dilakukan oleh penilai internal atau perusahaan penilai
independen yang disetujui BII.
Berdasarkan pada nilai pasar dan nilai likuidasi (maksimal nilai likuidasi
diatas 80% dari nilai pasar).
Wajib menggunakan penilaian eksternal, jika jumlah pinjaman ≥ Rp 1
miliar.
Dalam hal di cabang BII, apabila tidak ada penilai oleh eksternal tidak
dapat dilakukan, maka dapat menggunakan penilaian internal yang berasal
dari cabang BII.
d) Proses pengecekan duplikasi
Jika proses verifikasi telah usai, maka sebelum persetujuan pelaksanaan kredit,
semua pemohon kredit (termasuk pasangan kawin dan penjamin) harus
dilakukan pengecekan melalui 3 tahap. Tahap pertama yaitu pemeriksaan oleh
BI yang berkaitan dengan sistem informasi debitur, daftar kredit macet, dan
daftar hitam. Tahap yang kedua berkaitan dengan pemeriksaan internal bank,
seperti nasabah eksisting dan maksimum eksposur. Dan tahap yang ketiga
adalah daftar hitam internal yang terdiri dari daftar hitam kartu kredit, daftar
hitam kredit kendaraan dan kredit rumah, data debitur yang ditolak, debitur
yang masuk remedial.
e) Pencairan pinjaman, pembiayaan kembali, & pelunasan kredit
a. Pencairan pinjaman : akan dicairkan ke rekening debitur( Maxima)
sedangkan KPR akan langsung ditranfer ke rekening developer sesuai
dengan perjanjian kerja sama dengan developer.
b. Ketentuan pembayaran kembali : baik KPR maupun Maxima memiliki
ketentuan yang sama yaitu, debitur harus membuka rekening di BII, dan
angsuran disetor setiap bulan pada tanggal yang telah ditetapkan dan
langsung didebet oleh sistem.
16
c. Pelunasan pembayaran : baik pelunasan penuh maupun sebagian wajib
menyertakan dokumen konfirmasi dari debitur, serta diperkenankan denga
biaya denda jika nasabah tidak menyertakannya.
f) Penagihan
Proses penagihan yang dilakukan oleh BII kepada debiturnya mula-mula
adalah mengklasifikasikan umur tunggakan dari suatu produk, dalam hal ini
produk KPR. Hal ini didasarkan pada jumlah hari yang melampaui tanggal
jatuh tempo pembayaran atau disebut DPD (Days Past due).
DPD (Days Past due) Kolektibilitas
0 Lancar
1-90 Dalam perhatian khusus
91-120 Kurang lancar
121-180 Diragukan
>180 Macet
Strategi penagihan secara keseluruhan adalah untuk memelihara hubungan
dengan nasabah untuk memperkecil kerugian, yaitu bentuk pendekatan
pelayanan untuk penunggakan awal dan pendekatan yang agresif untuk
tunggakan selanjutnya.
g) Monitoring
Proses monitoring (pemantauan kredit dilakukan sebagai upaya untuk
meminimalisir terjadinya kredit bermasalah. Pemantauan ini hanya berusaha
mengukur dan mengawasi saja. Untuk proses penanganan kredit yang
terdeteksi sebagai kredit bermasalah akan ditangani pada proses pengendalian
risiko kredit yang bersifat kuratif.
Manajemen risiko kredit yang bersifat kuratif
Merupakan manajemen risiko pada tahap kuratif (perbaikan). Dimana pada
tahap ini akan dijelaskan penyebab kredit bermasalah dan prosedur atas
penanganan kredit yang masuk dalam golongan kredit bermasalah. Dari
kerangka manajemen risiko yang dibuat oleh Bank Indonesia, tahap
pemantauan risiko kredit dan pengendalian risiko kredit serta sistem
pengendalian intern masuk dalam tahap kuratif. Karena pada tahap ini
merupakan upaya dalam evaluasi atas eksposur kredit serta bagaimana cara
menangani eksposur kredit tersebut secara tepat agar dapat meminimalisir
kerugian serta upaya dalam menjaga aset, kepatuhan terhadap perundangan
yag berlaku serta tidak melakukan penyimpangan dalam hal prinsip kehati-
hatian. Adapun prosedur manajemen risiko kredit pada tahap kurati yang
dimaksud:
17
a. Identifikasi Potensi terjadinya Risiko Kredit
Risiko kredit yang berupa kredit bermasalah bisa terjadi karena 2 pihak.
Yaitu pihak intern dan ekstern bank.
Pihak intern bank berupa :
Kebijakan pemberian kredit yang terlalu ekspansif. Dengan
menyetujui pemberia kredit yang mengandung risiko kredit tinggi.
Alasannya adalah karena adanya hubunga dengan penguasa atau
ketatnya persaingan antar bank membuat bank menurunkan standar
seleksi, sehingga NPL akan semakin tinggi.
Itikad kurang baik dari oknum bank, dengan adanya debitur fiktif.
Oknum tersebut lebih mengutamakan kepentingannya dari pada
kepentingan bank.
Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan kredit akan memicu
penyimpangan-penyimpangan yang akan mengakibatkan kegagalan
dalam pelunasa kreditnya kelak.
Pihak ekstern berupa:
Kegagalan usaha debitur. Ini bisa terjadi secara murni gagal usaha
debitur, namun juga terkadang ada debitur yang nakal dengan
memanipulasi laporan keuangan sehingga seakan-akan debitur
mengalami kebangkrutan.
Adanya kebijakan pemerintah yang menaikkan suku bunga kredit
maupun kebijakan makro lainnya.
Musibah yang terjadi kepada debitur yang tidak melakukan
pengamanan penutupan asuransi.
b. Penggolongan kredit bermasalah
Penggolongan atas risiko tersebut semakin memudahkan bank dalam
memberikan perlakuan dan kebijakan sesuai dengan klasifikasi kredit.
Pemberian surat peringatan adalah cara yang digunakan BII untuk
mengingatkan debitur akan tunggakannya. Adapun klasifikasi surat
peringatan diatur sebagai berikut:
18
Keterlambatan (hari) Jenis Surat Peringatan
1-8
9-15
16-30
31-60
61-75
Surat Pemberitahuan
Surat Peringatan 1
Surat Peringatan 2
Surat Peringatan 3
Surat Peringatan dari Lawyer
(penyitaan jaminan, gugatan
perdata, gugatan pailit)
c. Meminimalkan risiko
Dalam menangani kredit bermasalah bank membuat suatu kebijakan dalam
meminimalkan risiko kredit yang harus ditanggungnya. Dalam
meminimalkan risiko, proses penanganan debitur ini berlaku bagi debitur
yang terbukti mendapatkan kesulitan pembayaran baik pokok dan atau
bunga dan atau denda namun masih mempunyai prospek kemampuan
membayar dimasa mendatang. Ada 3 tahap yang diambil oleh BII untuk
menangani kredit bermasalah. Yaitu restrukturisasi kredit, reklasifikasi
kredit, pelunasan secara tunai, dan agunan yang diambil alih. Dan jiak
semua upaya penyelamatan kredit sudah tidak efektif lagi dan tidak punya
prospek, maka langkah terakhir yang dilakukan oleh BII adalah melakukan
kebijakan hapus buku dan hapus tagih.
1. Restrukturisasi Kredit
Hanya berlaku untuk produk ini sekali saja, yang bisa masuk dalam
proses penanganan kredit ini adalah debitur yang terkena kejadian tak
terduga /bencana, seperti gempa bumi, banjir, ledakan gunung berapi,
dll. Wajib mengikuti peraturan BI dalam hal penetapan kualitas kredit
yang direstrukturisasi sesuai dengan PBI 7/2/PBI/2005 tanggal
20/01/2005 dan SE BI No. 7/3/DPNP tanggal 31/01/2005. Selain itu
harus dibuktikan dengan dokumen sebagai dasar analisa restrukturisasi
kredit yang digolongkan sebagai berikut:
a. Diskon jumlah tunggakan bunga atau jumlah denda tunggakan atau
jumlah pokok.
Kolektibilitas Diskon (%)
Lancar 0
Dalam perhatian khusus 25
Kurang lancar 50
Diragukan 75
Macet 100
19
Petugas remedial wajib berupaya untuk mendapatkan persetujuan dari
debitur untuk setuju dengan discount yang lebih kecil untuk mengurangi
kerugian bank.
b. Penjadwalan pembayaran. Proses ini merupakan upaya penagihan yang
diberikan kepada debitur dimana jumlah angsuran yang jatuh tempo
terdiri dari pinjaman pokok, bunga dan biaya-biaya diangsur dan
diselesaikan maksimum dalam waktu 12 bulan dengan tidak melebihi
tanggal jatuh tempo kredit. Struktur kredit tidak merubah jumlah
tunggakan (pokok, bunga, denda). Namun hanya dijadwalkan kembali
tanpa tidak ada pembebanan bunga. Penjadwalan kembali ini berupa
perpanjangan jangka waktu.
Perpanjangan jangka waktu berlaku mana yang lebih dulu, antara
maksimum jangka waktu 15 tahun atau maksimum perpanjangan jangka
waktu tidak melebihi umur debitur (karyawan 55 tahun, pengusaha
/profesional 65 tahun).
c. Kombinasi dari kedua program tersebut.
2. Reklasifikasi kredit
a. Untuk kredit dengan status lancar, dalam perhatian khusus, dan kurang
lancar, kualitas kredit tidak berubah. Perjanjian restrukturisasi wajib
ditandatangani oleh debitur. Setelah perjanjian ditandatangani, kredit
dengan klasifikasi diragukan dan macet dapat diklasifikasi maksimal ke
kerang lancar.
b. Kredit yang direstruktur hanya dapat diklasifikasikan lancar setelah 3
bulan dari tanggal restruktur dan 3 bulan pembayaran angsuran
dibayarkan.
c. Dalam hal terjadi tunggakan pembayaran dan/ atau debitur gagal dalam
memenuhi kriteria dalam perjanjian restrukturisasi kredit dalam 3 bulan,
klasifikasi kredit kembali ke klasifikasi sebelum dilakukan
restrukturisasi.
20
3. Pelunasan secara tunai
Diperbolehkan kepada debitur yang mengalami kesulitan keuangan
untuk melunasi sekaligus pinjaman dengan jumlah diskon tertentu dari
pokok dan denda maupun bunga. Dikon berdasarkan kesepakatan antara
debitur dan kolektor.
4. Agunan yang diambil alih/ disita
Dilakukan secara sukarela dan paksaan. Jika secara sukarela, aset akan
diambil alih oleh bank dan debitur dengan sukarela menyerahkan
jaminan kepada bank. Sedangkan jika secara paksaan bank melakukan
penjualan jaminan kepada pihak ketiga sebagai hasil lelang. Secara
hukum eksekus hak tanggungan dilakukan olah Kantor Lelang Negara
melalui proses pengadilan.
5. Menanggung risiko
Jika semua upaya penyelamatan dipertimbangkan dan diperkirakan tidak
efektif dan tidak punya prospek lagi , kebijakan hapus buku (Write-off) dan
Hapus tagih (Charge-off) dapat dilakukan terhadap debitur-debitur
bermasalah tersebut.
a. Hapus buku (write off)
Definisi hapus buku adalah suatu tindakan administrasi bank dengan
memindahkan pencatatan kredit bermasalah (macet) yang sudah
tidak memiliki prospek usaha lagi dari on balance sheet kepada off
balance sheet tanpa menghilangkan hak tagih bank kepada debitur.
Pelaksanaan hapus buku hanya dapat dilakukan terhadap seluruh
penyediaan dana (pinjaman) yang diberikan. Dan bank wajib
memastikan bahwa telah memiliki cadangan 100% dari outstanding
apabila melakukan write off terhadap akun hapus buku ini. hapus
buku dilakukan terhadap seluruh pinjaman pokok, bunga, dan denda.
b. Hapus tagih (charge off)
Definisi hapus tagih adalah tindakan yang dilakukan untuk
memberikan pengampunan atau pembebasan debitur dari kewajiban
pembayaran pinjaman yang tidak dapat dikembalikan setelah akun
tersebut dihapus bukukan. Hapus tagih diberlakukan sebagai upaya
terakhir yang diambil oleh bank apabila usaha-usaha bank dalam
melakukan penagihan sudah benar-benar maksimal namun tetap
menemui jalan buntu. Hapus tagih dapat dilakukan secara parsial
atau keseluruhan dari pinjaman, oleh karena itu hapus tagih dapat
diberlakukan untuk pinjaman pokok, bunga, denda.
21
4.2. Pembahasan
Pengendalian Risiko Preventif
Berdasarkan sistem pengendalian risiko kredit yang bersifat preventif langkah
yang ditempuh oleh BII adalah:
1. Kejelasan dan kelengkapan Informasi tentang calon debitur
2. Kriteria kelayakan
3. Verifikasi
4. Proses pengecekan duplikasi
5. Pencairan pinjaman, pembiayaan kembali dan pelunasan kredit
6. Penagihan
7. Monitoring
Dari hasil wawancara dengan Account officer, prosedur yang dilakukan
sudah dilakukan secara terintegrasi dengan prosedur kredit yang ada serta
disesuaikan dengan analisa kelayakan kredit yang handal. Namun masih
terdapat risiko kredit yang terjadi dari prosedur yang telah dibuat dengan
sangat teliti ini. Adapun risiko yang masih muncul dan upaya bank untuk
meminimalisasi hal tersebut, sebagai bagian dari manajemen risiko kredit di
bidang KPR adalah sebagai berikut:
22
Risiko Manajemen risiko
Tenggang waktu antara waktu
persetujuan agunan dengan
pencairan melebihi batas toleransi
akibat kurang jelasnya suku bunga
yang berlaku apa seperti iklan atau
ada syarat lain yang dipakai.
Tepat 1 bulan sebelum cicilan
terakhir, bank wajib
menginformasikan kepada debitur
bahwa pencairan di BII akan segera
dilaksanakan setelah tanda lunas
cicilan diserahkan kepada BII. Selain
itu bank menjelaskan dengan jelas
suku bunga mana yang dipakai
sampai akhir perjanjian kredit sesuai
dengan iklan dan syarat yang
berlaku.
Debitur tidak memiliki rasa
memiliki ditunjukkan dengan
kelengkapan dokumen perlindungan
atas jaminan yang dijaminkan
kepada bank.
Pencairan dilakukan secara bertahap/
tidak sekaligus dan maksimum tenor
cicilan adalah 12 bulan.
Adanya debitur yang suka
melakukan spekulatif akan suku
bunga yang dimungkinkan akan
turun setiap tahunnya karena
ketatnya persaingan antar bank
Dibatasi hanya boleh melakukan
kredit atas 1 unit program KPR saja.
Keterlambatan pelunasan cicilan Bank wajib mengingatkan debitur
sebelum cicilan pertama jatuh tempo
( maksimal 1 hari sebelumnya).
Cicilan belum sepenuhnya dilunasi Sisa cicilan diambil alih bank dan
debitur wajib memberikan surat
pernyataan bahwa cicilan
sebelumnya telah lunas dan akan
segera melunasi dengan perjanjian
tertulis.
Adanya periode tambahan yang
diberikan kepada debitur untuk
melunasi cicilannya
Pembayaran cicilan dimonitori lebih
ketat dari program biasa. Dan hanya
untuk apartemen dan rumah
(maksimal 1 unit).
Debitur tiba-tiba membatalkan
agunan yang telah ditandatangani
karena kasus atau ternyata agunan
tersebut dijaminkan juga kepada
pihak lain dan telah disita pihak lain.
Jumlah besar denda yang diatur
terpisah dari kesepakatan awal.
23
Pengendalian risiko kuratif
Berdasarkan sistem pengendalian risiko kredit yang bersifat kuratif yang
ditempuh oleh BII adalah:
1. Identifikasi potensi terjadinya risiko kredit.
2. Penggolongan kredit bermasalah.
3. Meminimalkan risiko
4. Menanggung risiko.
Manajemen risiko kredit yang dilakukan pada tahap kuratif dilakukan
sebagai upaya menyelamatken kredit yang masuk dalam klasifikasi kredit
bermasalah yang telah terjadi. Kredit bermasalah bisa muncul dipengaruhi
oleh pihak internal dan eksternal. Dan upaya bank dalam melakukan
kebijakan kredit bermasalah menjadi penentu seberapa besar bank akan dari
akibat debitur yang masuk dalam ketegori kredit bermasalah. Atau dengan
kata lain tahap ini bank mengupayakan supaya NPL tidak semakin besar. 4
tahap diatas telah dilakukan dengan baik oleh BII, dengan menerapkan four
eyes principle. Prinsip ini berisi mengenai pemutusan pemberian kredit
yang dilakukan unit bisnis terkait akan senantiasa mempertimbangkan
rekomendasi independen dari unit manajemen risiko, sehingga diperoleh
keputusan yang obyektif dan mengacu pada prinsip kehati-hatian. Cara-cara
yang ditempuh telah dilakukan dengan baik oleh BII. Meski masih terjadi
kredit bermasalah, pihak BII juga sedang dalam proses mengubah format
surat perjanjian kredit agar sesuai dengan ketentuan baru terkait dengan
program yang dijalankan dan mewajibkan untuk melampirkan dalam SOP
dan ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
24
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis terhadap penerapan manajemen risiko kredit di
bidang kredit pemilikan rumah di PT.BII,Tbk, secara keseluruhan bank ini telah
menerapkan manajemen risiko kredit yang dikelola dengan baik untuk menjaga
independensi dan integritas proses penilaian risiko kredit, diantaranya
melakukan penyeimbangan antara ekspansi kredit yang sehat dengan
pengelolaan kredit secara cermat untuk menekan potensi kredit bermasalah.
Serta menerapkan four eyes principle, dimana setiap pemutusan pemberian
kredit dilakukan unit bisnis terkait akan selalu mempertimbagkan rekomendasi
independen dari unit manajemen risiko, sehingga keputusan yang obyektif dan
mengacu pada prinsip kehati-hatian. Jadi setiap unit bisnis ( misalnya produk
KPR) sebelum ia melakukan pada tahap awal sebelum persetujuan maupun
setelah pencairan meninta bagian manajemen risiko kredit untuk menganalisis
risiko apa yang melekat pada bisnisnya dan meminta pertimbangan manajemen
risiko upaya mitigasi yang perlu diambil. Meskipun begitu, kredit bermasalah
masih terjadi. Dalam tahap preventif risiko kredit yang masih muncul yang
berakibat pada keterlambatan pembayaran cicilan kredit dan yang paling krusial
diakibatkan dalam tahap penilaian kriteria kelayakan kredit dan verifikasi.
Karena pada tahap ini ada saja debitur yang memiliki dokumen palsu atas
informasi yang diperlukan oleh bank sebagai dasar persetujuan kredit.
Sedangkan pada tahap kuratif, ketidaktepatan pengklasifikasian kredit
bermasalah oleh bank dengan kenyataan yang terjadi kemudian, yang paling
berpengaruh adalah pada tahap identifikasi potensi terjadinya risiko kredit.
Sehingga sering terjadi dianggap dalam kategori layak mendapat kredit ternyata
pada jangka waktu tertentu masuk ke dalam kredit bermasalah.
5.2 Implikasi kebijakan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka implikasi kebijakan yang
dapat diambil adalah dengan optimis dari para pelaku properti Indonesia pada
awal 2012, dalam tahap preventif dapat diperbaiki dengan seleksi kredit yang
lebih ketat. Selain itu ditahap preventif juga saat taksasi jaminan hendaknya
disertai dengan surat dari notaris bahwa agunan bebas dari sengketa dan
menyatakan bahwa seluruh berkas agunan asli yang tidak dijaminkan
5.3 Keterbatasan penelitian
Metode yang dilakukan menyajikan informasi yang kualitatif dan kurang
mencerminkan seberapa besar keterukuran yang menggambarkan kualitas
penerapan manajemen risiko kredit secara nyata berpengaruh terhadap
penurunan NPL.
25
Kesulitan lainnya karena ada beberapa kebijakan dan data yang merupakan
data confidential bank dan hal tersebut tidak dapat dipaparkan karena
merupakan strategi usaha bank dalam persaingan antar bank di Indonesia
yang semakin ketat.
26
DAFTAR PUSTAKA
Berita BTN, 25 November 2008, Sektor KPR Diincar Bank Asing,
http://www.btn.co.id/ContentPage/Berita/Sektor-KPR-Diincar-Bank-Asing--
28-10-09-11-51-51.aspx , 22 Desember 2011.
Biro Pusat Statistik, 2010, Statistik Perbankan Indonesia, http//www.bps.go.id. , 20
April 2011.
Biro Pusat Statistik, 2010, Statistik Perbankan Indonesia Vol. 9, No. 10 September
2011, http//www.bps.go.id. , 20 April 2011.
Gup, Benton E and Kolari, James W, 2005, “Commercial Banking”, John Wiley and
Sons, USA.
Hadi, Sutrisno, 2000, Metode Research Jilid I, ANDI: Yogyakarta.
Hanitijo, Ronny, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia: Jakarta.
Kasmir, 2004, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT Raja Grafindo Persada:
Jakarta.
Nugraheni, Esti, 31 Oktober 2011, BII Records 34% Increase in Net Profit on The
Back of Strong Business Growth,
http://www.bii.co.id/sites/en/news/Pages/BII-Records-34-Increase-in-Net-
Profit-.aspx, 15 November 2011.
Purnomo, Herdaru, 12 Juni 2011, Bank Asing Turunkan Bunga Kredit konsumsi
80 bps, http://finance.detik.com/read/2011/06/12/115530/1658451/5/bank-
asing-turunkan-bunga-kredit-konsumsi-80-bps?nd9911043), 15 November
2011.
Peraturan Bank Indonesia, 1998, No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan.
Peraturan Bank Indonesia, 2003, No: 5/8 Tentang Penerapan Manajmen Risiko
Bagi Bank Umum.
Rivai,Veithzal., 2006, Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan, Raja
Grafindo Persada: Jakarta.
27
Seno Santoso, 2008, Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Pada
Bank Tabungan Negara (Persero) Cabang Bekasi, Tesis S2 Program
Studi Magister Kenotarian Universitas Diponegoro Semarang.
Soekanto ,Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press: Jakarta.
Surat Edaran Bank Indonesia, 2003, SE No.5/21/DPNP, Tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Wiryosukarto, Darto, 9 November 2011, Prospek KPR di Bawah Bayang-bayang
Krisis, (http://www.infobanknews.com/2011/11/prospek-kpr-di-bawah-
bayang-bayang-krisis), 12 Desember 2011.
28