Penentuan Besarnya Kompensasi Untuk Pemulihan Lingkungan

download Penentuan Besarnya Kompensasi Untuk Pemulihan Lingkungan

If you can't read please download the document

description

PENENTUAN BESARNYA KOMPENSASI

Transcript of Penentuan Besarnya Kompensasi Untuk Pemulihan Lingkungan

93

93

Penentuan Besarnya Kompensasi untuk Pemulihan LingkunganAkibat Angkutan Batubara di Sungai Barito,Kabupaten Barito Kuala - Kalimantan Selatan

Syaefudin

Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

(PTISDA BPPT),Gedung 2 Lantai 19, Jl. MH. Thamrin no. 8, Jakarta 10340, Tel. (021) 316 9711, Fax. (021) 316 9720

Email: [email protected]

Abstrak

Transportasi tongkang batubara yang melewati Sungai Barito Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan diyakini telah merusak ekosistim lingkungan Sungai Barito. Dampak negatif yang sangat nyata akibat transportasi ini berupa: penurunan jumlah tangkapan nelayan jaring insang hanyut, penurunan jumlah produksi ikan budidaya keramba dan keramba jaring apung serta dampak akibat kecelakaan. Berdasarkan konsep Polluter Pays Principle di mana pencemar harus membayar akibat yang ditimbulkan, maka dengan metoda valuasi ekonomi diperoleh besarnya kompensasi pemulihan lingkungan akibat transportasi batubara di Sungai Barito sebesar Rp. 152 (seratus lima puluh dua rupiah) per ton batubara.

Kata kunci: batubara, kompensasi, tongkang

Abstract

Coal Barge transportation that passes through the Barito River Barito Kuala District of South Kalimantan Province is believed to have damaged the environment of the Barito River ecosystem. The very real negative impact due to this form of transportation: a decrease in the amount of drift gill net catch of fishermen, a decrease in production of farmed fish and floating net cages and the impact of the accident. Based on the concept of polluter Pays Principle which the polluter should pay the consequences thereof, the method of economic valuation obtained by the amount of compensation due to the environmental recovery of coal transportation in the Barito River Rp. 152 (one hundred and fifty two dollars) per ton of coal.

Keywords: coal, compensation, barge

1. Pendahuluan

Beberapa tahun terakhir sejalan dengan terbukanya pasar batubara yang lebih luas baik pasar domestik maupun pasar luar negeri, aktivitas ekploitasi batubara di Kalimantan Selatan semakin terus meningkat. Menurut Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, pada tahun 2005 produksi batubara di Kalimantan Selatan yang tercatat secara resmi pada tahun 2003 adalah 46.116.289,80 ton dan meningkat pada tahun 2004 yaitu sebesar 54.540.977,16 ton. Sebagian besar produksi batubara tersebut dihasilkan oleh perusahaan besar dengan modal asing (PMA) seperti PT Arutmin dan PT Adaro Indonesia. Jumlah produksi ini menyumbang sebesar 40,35% dari total produksi nasional sebesar 114.278.195, 13 ton pada tahun 2003 dan 41,21% dari total produksi nasional sebesar 132.352.024, 79 ton pada tahun 2004. Jumlah ini merupakan kedua terbesar setelah Kalimantan Timur yang memproduksi sebesar 50.295.758,61 ton pada tahun 2003 dan sebesar 68.396.462,38 ton pada tahun 2004. Kemudian tercatat penjualan domestik batubara Kalimantan Selatan pada tahun 2003 sebesar 13.153.674,52 ton dan pada tahun 2004 sebesar 14.666.467,21 ton sedangkan

93

untuk penjualan ekspor pada tahun 2003 sebesar 32.805.818,99 ton dan pada tahun 2004 sebesar 34.499.239,35 ton.

Usaha pemanfaatan sumber daya alam tambang batubara di Kalimantan Selatan saat ini secara resmi (legal) dilakukan oleh beberapa perusahaan besar, menengah dan skala kecil (koperasi) serta perorangan. Pengusahaan pertambangan batubara tersebut terdiri dari perusahaan pemegang izin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) dan perusahaan atau koperasi pemegang izin KP (Kuasa Pertambangan), pengelola pelabuhan, para trader dan eksportir.

Selama ini angkutan batubara di Kalimantan Selatan menggunakan moda transportasi darat mulai dari Binuang (Kabupaten Hulu Sungai Selatan) sampai dengan Pelabuhan Trisakti (Banjarmasin) menggunakan jalan negara, jalan propinsi maupun kabupaten. Bupati Hulu Sungai Selatan pernah mengungkapkan bahwa kegiatan pertambangan di wilayahnya mengakibatkan dampak negatif senilai Rp. 500 Juta, berupa kerusakan jalan dan jembatan. Hal ini masih ditambah lagi dengan reklamasi lubang-lubang bekas galian yang membutuhkan biaya sekitar Rp. 3,4 triliyun. Secara kumulatif kerugian mencapai hampir Rp. 4 triliyun, sedangkan pendapatan yang diterima daerah dalam bentuk pajak dan retribusi tidak lebih dari 50 juta seperti yang diberitakan oleh Harian Kompas tanggal 18 Desember 2003.

Selain hal di atas ekses negatif lain yang disebabkan oleh transportasi batubara menuju Pelabuhan Trisakti berupa: (i) kemacetan arus lalu lintas ;(ii) kerusakan jalan karena kelebihan muatan; (iii) peningkatan waktu tempuh; (iv) ekonomi biaya tinggi; serta (v) dampak sosial berupa kecelakaan yang mengakibatkan cedera atau luka bahkan kematian.

Bertolak dari keprihatinan terhadap kondisi di atas serta keinginan daerah Kalimantan Selatan untuk memperbaiki kondisi lingkungannya, maka dikeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No 3 Tahun 2008, yang pada intinya melarang angkutan batubara dan komoditas perkebunan melintasi jalan negara dan keharusan bagi pengusaha pertambangan dan perkebunan untuk membuat jalan sendiri.

Konsekuensi dari berlakunya Peraturan Daerah tersebut maka transportasi angkutan batubara yang selama ini diangkut melalui jalan darat beralih ke sungai dari lokasi tambang ataupun penumpukan (stockpile) ke Pelabuhan Trisakti. Sungai Barito merupakan satu-satunya sungai besar yang sekarang ini digunakan untuk alur transportasi batubara. Dengan berlakunya Peraturan Daerah tersebut di atas maka alur transportasi Sungai Barito khususnya yang malalui Kabupaten Barito Kuala akan bertambah padat.

2. Permasalahan

Selama ini Sungai Barito merupakan sumber utama air baku yang dipergunakan oleh masyarakat Kabupaten Barito Kuala, baik untuk air minum, sumber air PDAM, pertanian, perikanan dan transportasi. Pengangkutan batubara melalui sungai menggunakan kapal tongkang melalui jalur Sungai Barito di wilayah Kabupaten Batola, ditengarai merusak ekosistem perairan, menimbulkan masalah sosial ekonomi dan pencemaran lingkungan serta memperparah abrasi di perairan sungai tersebut.

Pada UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 42 disebutkan bahwa dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup, yang meliputi perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi, pendanaan lingkungan hidup dan insentif dan/atau disinsentif. Selanjutnya pada Pasal 43 disebutkan bahwa pendanaan

93

lingkungan hidup meliputi dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup, yang dapat diperoleh dari penerapan pajak, retribusi dan sub sidi lingkungan hidup untuk pemulihan lingkungan hidup. Menurut Pasal 2 huruf j Penerapan pajak, retribusi maupun subsidi lingkungan dapat dikenakan kepada pencemar yaitu setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.

Oleh karena itu berdasarkan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menganut konsep Polluter Pays Principle, maka kapal-kapal pengangkut batubara di Sungai Barito seharusnya dapat dikenakan biaya atas pencemaran yang ditimbulkan. Selanjutnya biaya yang dipungut oleh Pemerintah Kabupaten Batola dapat digunakan langsung untuk biaya pemulihan kerusakan lingkungan Sungai Barito (Pasal 63 ayat C butir b). Hal ini juga sejalan dengan UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang disempurnakan dengan UU No. 32 tahun 2004, di mana UU ini memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur atau menyelenggarakan pemerintah sendiri sesuai dengan potensi dan sumberdaya yang dimiliki sendiri.

3. Metodologi

Perhitungan besarnya kompensasi dilakukan setelah diketahui secara pasti dampak yang benar-benar timbul akibat transportasi tongkang barubara, dengan menggunakan metoda valuasi ekonomi. Valuasi ekonomi adalah konsep untuk memberi nilai moneter atas dampak lingkungan dan sosial yang terjadi akibat aktivitas terhadap sumberdaya alam (Fauzi, 2010). Dengan valuasi ekonomi ini diharapkan dapat diterapkan konsep Polluter Pays Principle (Pencemar harus membayar akibat yang ditimbulkan). Konsep Polluter Pays Principle adalah salah satu upaya untuk menginternalisasikan eksternalitas.

Eksternalitas adalah dampak aktivitas yang ditimbulkan oleh satu pihak dan tidak diperhitungkan sebagai biaya atau manfaat oleh pihak yang menyebabkannya. Eksternalitas ini dapat bersifat positif maupun negatif. Internalisasi adalah upaya untuk memasukkan eksternalitas sebagai salah satu input dalam proses produksi.

Dalam konteks dampak penggunaan alur sungai Barito sebagai jalur angkutan batubara, valuasi ekonomi perlu dilakukan sebagai upaya internalisasi eksternalitas yang ditimbulkan oleh lalu lintas kapal tongkang pengangkut batubara.

Metode valuasi ekonomi yang digunakan adalah metode Damage Cost Analysis. Metode ini menghitung nilai ekonomi kerusakan lingkungan berupa kerugian akibat transportasi batubara melalui Sungai Barito.

Oleh karena itu perhitungan kajian ini, digunakan perhitungan harga pasar, dengan memperhitungkan penurunan produksi dan potensi kerugian akibat terjadinya kecelakaan di alur sungai.

3.1. Metode Perbandingan Data Pasar

Pendekatan perbandingan data pasar (market comparison data approach), merupakan metode pendekatan yang paling sering digunakan untuk menilai suatu objek yang tangible dan memiliki nilai pasar. Penilaian ini adalah membandingkan secara langsung data pembanding dengan obyek penilaian dengan menggunakan faktorfaktor penyesuaian yang lebih lengkap. Dalam aplikasinya harus:

Mencari data pembanding yang mirip dengan obyek penilaianMembuat ringkasan dan menyusun informasi data pembanding

93

Analisa tentang obyek penilaian dan pembanding.

Mengukur perbedaan antara obyek pembanding dengan obyek penilaian.Menghitung Nilai Waktu uang.

3.2. Metode Kalkulasi Biaya (Cost Approach)

Metode pendekatan biaya adalah pendekatan untuk memperkirakan nilai pasar dari suatu obyek penilaian berdasarkan biaya reproduksi atau biaya pengganti/subtitusi. Pengertian biaya reproduksi dan biaya pengganti sbb:

Pengertian biaya reproduksi (Reproduction Cost) adalah biaya-biaya untuk membuat bangunan dengan material/bahan, ukuran, bentuk dan fungsi yang sama dari bangunan penilaian dengan dasar harga sekarang.Biaya pengganti (Replacement cost) adalah biaya-biaya untuk membuat bangunan yang sebanding dengan bangunan obyek penilaian, baik material, ukuran, bentuk maupun fungsinya dengan dasar harga sekarang.

Langkah-langkah Metode Pendekatan Biaya adalah sebagai berikut:

Menghitung biaya pembangunan bangunan baru yang serupa dengan bangunan obyek penilaian.Menghitung besarnya penyusutan (depresiasi) bangunan obyek penilaian.Mengurangkan biaya pembangunan bangunan baru dengan penyusutan, sehingga mendapatkan nilai bangunan obyek penilaian.

3.3. Metode Kapitalisasi Pendapatan (Income Approach)

Pendekatan kapitalisasi pendapatan adalah teknik penilaian yang didasarkan pada pendapatan bersih yang dihasilkan oleh suatu usaha, selanjutnya diproses dengan perhitungan melalui capitalization. Penggunaan metode ini dengan syarat obyek penilaian dapat menghasikan. Pendekatan ini bertitik tolak dari prinsip antisipasi, yang menganggap bahwa nilai terjadi karena harapan atas keuntungan yang akan diperoleh dimasa depan (income stream). Dalam aplikasinya, dilakukan tahapantahapan, yaitu:

Menghitung pendapatan kotor tiap tahun yang diharapkan dari kepemilikanMenaksir kerugian sewa yang memungkinkan per tahun yang disebabkan oleh pengosongan dan kegagalan sewa dan mengurangi kerugian dari pendapatan kotor untuk mencapai pendapatan kotor efektif.Menghitung biaya pasti dan operasi per tahun yang akan terjadiMengurangi biaya-biaya dari pendapatan kotor sehingga mendapatkan taksiran bersih.Melakukan proses perhitungan kapitalisasi untuk menghasilkan estimasi nilai.

4. Identifikasi Dampak

Penambangan batubara di wilayah Propinsi Kalimantan Selatan pada umumnya terletak di wilayah pedalaman. Selama bertahun-tahun batubara diangkut melalui jalan darat dari wilayah penambangan menuju lokasi penumpukan (stockpile) untuk dikirim keluar Kalimantan. Dengan diterapkannya Perda No 3 Tahun 2008, Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan melarang penggunaan angkutan darat untuk membawa

93

batubara dari wilayah penambangan menuju lokasi Pelabuhan Trisakti di Banjarmasin untuk dikirim ke luar Kalimantan Selatan. Sebagai alternatif, mulai digunakan tongkang untuk mengangkut batubara dari lokasi penambangan ke lokasi ekspor, salah satunya melalui alur Sungai Barito (PTISDA, 2010).

Pengangkutan batubara melalui Sungai Barito terutama menggunakan tongkang tarik (towed barge), dengan ukuran muatan 7.000 10.000 ton, lalu lintas tongkang pengangkut batubara ini terasa mengganggu lalulintas sungai dan kegiatan para nelayan dalam mencari ikan.

Selain itu pelayaran tongkang dalam jumlah yang banyak juga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem perairan sungai, dalam bentuk abrasi tebing maupun ceceran minyak dan tumpahan batubara yang diangkut dalam keadaan tidak tertutup. Secara skematis, dampak pemanfaatan Sungai Barito untuk pengangkutan batubara ini digambarkan dalam skema alur pikir tersebut di atas. Dari skema tersebut dan berdasarkan data lapangan, secara umum beberapa bentuk dampak yang dapat disebabkan oleh adanya transportasi tongkang batubara meliputi (Rahayu et al., 2009):

1.Erosi dan Sedimentasi.

Tanah alluvial berwarna coklat hijau yang terbentuk dari endapan alluvium dengan bahan induk berupa pasir dan lumpur yang dibawa dan diendapkan oleh arus sungai dari pedalaman. Karena kondisi jenis tanah sepanjang sungai Barito memiliki karakteristik alluvial, maka kondisi tersebut rentan terhadap resiko erosi air. Pengikisan lahan sepanjang Sungai Barito tidak secara langsung diakibatkan oleh riak gelombang yang ditimbulkan oleh baling-baling tug-boat dan tongkang batubara. Proses erosi yang terjadi dalam kurun 10 tahun terakhir telah mengakibatkan kerusakan infrastruktur jalan dan properti masyarakat, seperti rumah, lahan pertanian dan jembatan dari kayu.

1.Peningkatan kekeruhan.

93

Akibat material pasir dan lumpur yang teraduk akibat baling-baling dan laju tongkang batubara serta penambangan pasir. Peningkatan kekeruhan ini kurang baik, karena air Sungai Barito digunakan sebagai sumber air minum, mandi dan mencuci masyarakat sepanjang sungai. Walaupun terlihat adanya peningkatan kekeruhan akan tetapi hasil analisis kualaitas air yang telah dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Batola masih memiliki nilai parameter kualitas air sungai masih berada di bawah standar baku kualitas air untuk kelayakan budidaya air tawar baik kategori II maupun untuk kategori III berdasarkan Standar Baku Mutu PERGUB KALSEL No.5/2007. Selain itu hampir semua hasil uji laboratorium dari BLHD Kabupaten Batola Kuala pada kualitas air Sungai Barito untuk kelayakan air pertanian berada pada ambang batas yang layak.

3.KecelakaanTransportasi Tongkang batubara.

Resiko kecelakan transportasi tongkang batu bara ini merupakan yang dampak paling penting dari beberapa resiko dampak yang ada. Akibat kecelakaan ini selain kerusakan materil, seperti perahu, rumah, alat tangkap ikan, jetty, penahan tebing (siring) dan lahan, juga masalah cidera dan hilangnya jiwa.

3.Perubahan Mata Pencaharian (Sosial).

Angkutan batubara menggunakan tongkang secara langsung akan merubah mata pencaharian penduduk di sepanjang Sungai Barito, baik perubahan itu negatif maupun positif. Dari survey lapangan perubahan jelas terlihat seperti penurunan frekuensi tangkap ikan maupun budidaya ikan. Hal ini akan mengurangi hasil tangkapan maupun hasil produksi ikan, yang selanjutnya akan mengurangi pendapatan para petani ikan. Perubahan yang lain adalah memberikan kesempatan tempat pemasaran hasil tani seperti buah-buahan (jeruk dan pisang), namun sisi lain juga adanya praktek pemerasan terselubung dengan dalih sistem pengawalan alur angkutan, serta praktek terselubung jasa seks komersil.

3.Resiko penurunan kualitas udara dan air.

Penurunan kualitas udara akibat peningkatan debu batubara yang tertiup angin masuk ke dalam perkampungan yang padat penduduk dapat mengakibatkan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA). Sedangkan penurunan kualitas air dapat menimbulkan penyakit diare dan kulit. Pengamatan lapangan dan berdasarkan hasil wawancara dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Batola, adanya penyakit ISPA, kulit maupun diare belum dapat diidentifikasi dengan jelas apakah penyakit yang timbul akibat pengaruh penurunan kualitas udara dan air, oleh karena itu untuk waktu-waktu mendatang sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut.

3.Pendangkalan

Pendangkalan terjadi akibat akumulasi sedimen pasir dan lumpur pada lokasi-lokasi sepanjang Sungai Barito yang memiliki arus permukaan dan bawah permukaan tenang. Pendangkalan ini dapat mengakibatkan resiko kapal kandas. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa gejala erosi tebing sungai yang mengakibatkan pendangkalan akibat transportasi tongkang batubara belum menunjukkan gej ala yang berarti.

5. Perhitungan Kompensasi

93

Dari beberapa dampak yang diamati dilapangan seperti pada pembahasan di atas maka untuk perhitungan kompensasi hanya dampak penting yang ditimbulkan ditimbulkan oleh adanya tansportasi tongkang batubara yaitu:

1.Penurunan Jumlah Tangkapan Nelayan Jaring Insang Hanyut.

Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan dan penyuluh perikanan Dinas Perikanan Kabupaten Batola, diketahui terjadi banyak kasus tersangkutnya jaring apung nelayan oleh Kapal Tongkang. Pada awalnya, panjang jaring insang hanyut yang biasa digunakan oleh nelayan di perairan Sungai Barito mencapai 100-130 m, namun karena dapat terkena resiko tersangkut oleh kapal tongkang maka panjang jaring insang hanyut dikurangi menjadi separohnya atau hanya 50-65 m saja.

Tabel 1. Jumlah Tangkapan Ikan Sungai Berdasarkan Jenis Ikan (Ton)Tahun 2007 2009.

Pengurangan panjang jaring insang hanyut tersebut telah mengakibatkan turunnya jumlah hasil tangkapan ikan oleh nelayan di Sungai Barito. Menurut penyuluh perikanan, turunnya jumlah hasil tangkapan mencapai 30% dibandingkan dengan panjang jaring insang hanyut yang belum dilakukan pemendekan/pengurangan.

Berdasarkan data pada Tabel 1, jumlah tangkapan ikan berdasarkan jenis diketahui bahwa pada tahun 2009 jumlah tangkapan ikan dari Sungai Barito mencapai 1.402 ton. Sedangkan jumlah alat jaring insang hanyut pada tahun 2009 adalah 539 unit (Tabel 2). Dengan menggunakan asumsi bahwa jumlah ikan yang tertangkap oleh jaring insang hanyut sebesar 40% dari jumlah tangkapan pada tahun 2009 dan pada tahun tersebut secara keseluruhan jaring insang hanyut telah dimodifikasi panjangnya maka jumlah ikan yang ditangkap menggunakan jaring insang hanyut adalah 560 ton. Dengan adanya penurunan hasil produksi sebelum dan sesudah jaring di potong sebesar 30%, maka jumlah hasil tangkapan yang hilang adalah sebesar 168,2 ton. Jika harga pasar rata-rata ikan sungai Rp.20.000,-/kg maka dapat dihitung nilai kehilangan pendapatan nelayan jaring insang hanyut seluruhnya sebesar Rp. 3.363.600.000,- per tahun. Jika dihitung berdasarkan per unit jaring insang hanyut maka nilai kehilangan pendapatan sebesar Rp.6.240.450,-/unit jaring insang hanyut per tahun.

1.Penurunan Jumlah Produksi Ikan Budidaya Keramba dan Keramba Jaring Apung. Selain terdapat dampak terhadap jumlah tangkapan nelayan jaring insang hanyut, lalulintas kapal tongkang batubara berdampak pula terhadap penurunan jumlah keramba dan keramba jaring apung (KJA) disepanjang Sungai Barito.

93

Berdasarkan data statistic jumlah keramba dan KJA dari tahun 2007 sampai 2008 mengalami penurunan yang drastis. Jumlah Produksi keramba turun sebesar 86 % dan produksi KJA turun sebesar 73%

Dengan jumlah penurunan tersebut dapat dihitung besarnya nilai kerugian terhadap budidaya keramba dan keramba jaring apung. Untuk melakukan valuasi ekonomi dampak kapal tongkang terhadap budidaya keramba dan keramba jarring apung, asumsi yang digunakan bahwa tahun 2007 sebagai tahun patokan produksi yang normal dan jumlah penurunan produksi tahun 2008 sebagai patokan jumlah kerugian untuk tahun-tahun mendatang (Tabel 3). Dengan demikian dapat dihitung nilai kerugian sebagai berikut:

Produksi keramba turun sebesar 69,11 ton dan KJA turun sebesar 29,5 ton.Harga pasar rata-rata ikan budidaya sungai Rp.20.000,-/kg

Maka nilai kerugian adalah jumlah penurunan produksi dikali harga pasar rata- rata ikan per satuan, masing-masing untuk budidaya keramba adalah sebesar Rp. 1.382.200.000,- per tahun dan budidaya KJA sebesar Rp. 590.000.000,- per tahun.

3. Dampak Kecelakaan.

Pengangkutan batubara melalui Sungai Barito telah mengakibatkan sejumlah kecelakaan, dan menimbulkan kerugian material dan immaterial. Besarnya kerugian material, seperti kerusakan dermaga dan kapal, dapat diturunkan dari data kecelakaan yang terjadi. Sedangkan kerugian immaterial agak sulit, karena terkait dengan emosi dan perasaan manusia. Kerugian immaterial terutama terkait dengan kehilangan jiwa. Sejauh ini kehilangan jiwa memang dapat dinilai, tetapi dampak berupa perasaan kehilangan, tertekan, sedih dan sebagainya yang dialami pihak keluarga

93

almarhum/almarhumah nampaknya masih sulit diterapkan. Lebih jauh lagi, kehilangan nyawa yang dinilai saat ini masih sangat rendah (under value), karena patokan yang digunakan adalah nilai yang dibayarkan oleh PT Jasa Rahardja.

Pada tahun 2009 terdapat tiga peristiwa kecelakaan yang khusus diakibatkan oleh kapal tug boat tongkang batubara di Sungai Barito Barito Kuala. Kecelakan tersebut telah membawa satu korban jiwa, tenggelamnya kapal klotok dan merusak dermaga pasar (Tabel 4).

Rangkaian perisriwa kecelakaan pada tahun 2009 tersebut diperkiraan mencapai Rp. 181 juta. Secara materil, nilai kerugian terbesar adalah hilangnya kapal klotok akibat tenggelam, disusul oleh rusaknya dermaga pasar. Meskipun nilai jiwa manusia tidak ternilai namun dengan menggunakan nilai tanggungan kecelakaan yang berakibat pada kematian dari jasa raharja diperoleh nilai kompenasi sebesar Rp.18 juta per jiwa.

Pada tahun 2010, jumlah kecelakaan meningkat dua kali lipatnya. Terjadi 8 kali peristiwa kecelakaan yang disebabkan oleh kapal tug boat/tongkang. Kecelakan meliputi kecelakaan yang berakibat ringan seperti rusaknya lampu taman pemda sampai kecelakaan yang menyebabkan kematian. Nilai kerugian akibat kecelakaan pada tahun 2010 diperkirakan sebesar Rp.250 juta (Tabel 5). Hal tersebut di atas menunjukan betapa resiko kecelakaan pada tahun-tahun yang akan datang akan lebih besar mengingat jumlah kapal tongkang dan tug boat akan lebih banyak melintas Sungai Barito.

Untuk itu, upaya pencegahan kecelakaan melalui berbagai program perbaikan system lalulintas sungai menjadi keharusan. Nilai kerugian tersebut di atas sebaiknya menjadi patokan kompensasi untuk program perbaikan dan peningkatan system lalulintas sungai yang lebih baik.

93

6. Kompensasi

Kerugian yang ditimbulkan oleh transportasi angkutan batubara sebagaimana diuraikan di atas merupakan eksternalitas bagi publik. Artinya telah terjadi dampak yang dirasakan oleh masyarakat luas sebagai akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh transportasi angkutan batubara. Sebagaimana telah ditetapkan oleh Undangundang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan bahwa penyebab polusi harus membayar atas dampak yang ditimbulkannya (polluter pays principle), maka perlu ditetapkan nilai kompensasi.

Penentuan nilai kompensasi tersebut tentu harus didasarkan pada suatu dasar ilmiah. Dalam kaitan ini telah dilakukan valuasi ekonomi sebagaimana diuraikan di atas. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perhubungan Barito Kuala tahun 200 9, diperoleh jumlah keluar masuk tongkang batubara menunjukkan bahwa total batubara yang diangkut/keluar selama tahun 2009, baik melalui Rute Banjarmasin Kelanis maupun Banjarmasin Teweh sebesar 36.344.000 ton, dengan asumsi tongkang yang digunakan mempunyai kapasitas 8.000 ton (Tabel 6 dan Tabel 7).

Berdasarkan hasil analisis atas variabel-variabel yang dapat diperoleh datanya, maka dengan menggunakan dasar perhitungan tahun 2009 diperoleh nilai total Rp. 5.516.800.000,-. Nilai total tersebut terdiri dari kerugian pada sektor perikanan Rp. 5.335.800.000,- dan kerugian karena kecelakaan Rp. 181 .000.000,-.

Nilai ini dikaitkan dengan jumlah batubara yang diangkut, yang jumlahnya mencapai 36.344.000 ton per tahun. Dengan merujuk pada data di atas, maka dapat ditetapkan nilai kompensasi sebesar Rp. 152 (seratus lima puluh dua rupiah) per ton batubara.

93

7. Kesimpulan

Transportasi angkutan batubara dengan tongkang di Sungai Barito, yang termasuk dalam jurisdiksi Kabupaten Barito Kuala, telah menyebabkan dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial.

Dampak lingkungan yang terjadi berupa kerusakan fisik pada lingkungan buatan, dan degradasi (penurunan kualitas) lingkungan pada lingkungan alami. Kerusakan fisik yang terjadi berupa kerusakan dermaga, rumah/pemukiman, fasilitas transportasi air, dan fasilitas umum lainnya.

Dampak ekonomi yang terjadi terkait dengan dampak kerusakan fisik. Banyak jaring insang hanyut yang tersangkut dan rusak, sehingga nelayan terpaksa mengurangi lebar jaring yang ditebarkan. Selain itu, olakan gelombang yang ditimbulkan oleh gerakan tongkang telah mengganggu kekuatan konstruksi karamba jaring apung.

Dampak sosial yang terjadi terkait dengan kecelakan yang mengakibatkan kehilangan nyawa dan harta benda.

Besaran nilai kompensasi yang harus ditanggung pihak-pihak yang menimbulkan dampak dikaitkan dengan volume batubara yang diangkut. yang patut ditetapkan adalah Rp. 152 per ton batubara yang lewat.

Nilai kompensasi tersebut dapat dipungut sebagai retribusi oleh Pemerintah Kabupaten Barito Kuala.

93

Daftar Pustaka

Fauzi, Akhmad. 2010. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi, PT Gramedia Pustaka Utama, Juli, Jakarta.

PTISDA, 2010. Laporan Akhir Studi Kompensasi Kerusakan Lingkungan Akibat Transportasi Batubara di Sungai Barito Kabupaten Barito Kuala Propinsi Kalimantan Selatan. Kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Barito Kuala dengan Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam, BPPT, Jakarta

Rahayu, S., Rudy Harto, W., Meine van N., Indra, S., dan Bruno, V., 2009, Monitoring Air di Daerah Aliran Sungai, World Agroforestry Center, Bogor.