Penelitian Kuantitatif
-
Upload
muslim-jafar -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
description
Transcript of Penelitian Kuantitatif
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Praktik ekonomi yang terjadi saat ini, baik yang dilakukan para praktisi
maupun para akademisi, lebih banyak menggunakan sistem ekonomi sekuler.
Ekonomi sekuler yang telah berlaku berabad-abad lamanya bukan saja
dipraktikkan orang-orang bukan Islam tetapi juga oleh umat Islam sendiri.
Keadaan seperti ini tentu saja tidak terlepas dari modernisasi dan kemajuan
peradaban bangsa Barat yang sekuler, yang dipengaruhi teori ekonomi liberal atau
kapitalisme, dan sosialisme, modernisme, dan teori ekonomi pembangunan yang
menggabungkan kedua teori tersebut.
Teori ekonomi liberal yang dilahirkan Adam Smith lebih menitikberatkan
kepada individualistis, artinya dalam praktik ekonomi, baik oleh para praktisi
ekonomi yang menjadi penggerak utama perekonomian negara maupun
pemerintah, nilai-nilai sosial yang semakin terkikis. Praktik ekonomi liberal
dalam menggapai keberhasilan ekonominya dilakukan dengan berbagai cara
asalkan tidak melanggar ketentuan yang berlaku.1
Ada teori yang menggabungkan teori kapitalisme dengan teori sosialisme
yang dikenal dengan teori ekonomi pembangunan. Teori ini menunjukkan
kemajuan berarti terhadap negara-negara maju seperti Amerika Serikat karena
didukung dana yang memadai untuk membangun infrastruktur yang menjadi
fokus ekonomi pembangunan.2
Namun penerapan Negara-negara berkembang seperti Indonesia menjadi
masalah karena memerlukan dukungan dari Negara-negara donor dan sejumlah
lembaga keuangan, seperti Bank Dunia (World Bank), dalam bentuk pinjaman
untuk membangun infrastrukturnya.
1 Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2012), hlm. 1
2 Syukri Iska, Sistem Perbankan ………, hlm. 2
2
Wujud dari sistem ekonomi Islam tersebut secara institusional diantaranya
ditandai dengan berdirinya lembaga-lembaga perbankan.
Pada umumnya, tidak terdapat defenisi yang tepat berkenaan dengan bank.
Undang-undang perbankan NewYork mendefinisikan pengertian bank sebagai
segala tempat transaksi valuta setempat, juga merupakan tempat usaha yang
berbentuk trust, pemberian diskonto, memperjualbelikan surat kuasa, rekening,
dan sistem peminjaman. Istilah “banker” dalam undang-undang, didefinisikan
sebagai orang-orang yang hendak melakukan perdagangan dalam dunia
perbankan tanpa menimbulkan akibat apapun terhadap para pelakunya.
Ada beberapa fungsi Bank, diantaranya adalah menyelesaikan berbagai urusan
uang, seperti penukaran uang, pengiriman uang dan memperjualbelikan surat-
surat berharga, menerima deposito, memberi pinjaman dengan menggunakan
jaminan atau dengan cara overdraf, mengurus bidang pegadaian atau dengan
membeli saham perusahaan-perusahaan industri, mengurus pertukaran valuta
asing, dan melaksanakan fungsi agensi bagi para nasabah. 3
Bank terbagi atas dua, yaitu bank konvensional dan bank syariah. Bank
konvensional adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syari'ah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sedangkan bank syariah adalah
bank yang tata cara operasionalnya didasari dengan tatacara Islam yang mengacu
kepada ketentuan Al-Qur’an dan Al Hadist.
Keberadaan Bank Syariah dalam sistem perbankan Indonesia sebenarnya telah
dikembangkan semenjak tahun 1992, seiring dengan lahirnya Undang-undang No.
7 Tahun 1992, tentang perbankan. Kemudian diiringi oleh Peraturan Pemerintah
No. 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, sebagai dasar
opersionalnya. Sesudah Undang-undang No 7 tersebut diganti menjadi Undang-
undang No. 10 Tahun 1998 tentang layanan perbankan, Perbankan Syariah
3 Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan dalam Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), hlm. 2
3
semakin memiliki landasan hukum yang lumayan kuat, yakni adanya peluang
bagi bank konvensional melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
melalui Unit usaha Syariah (UUS).
Namun undang-undang ini pun masih belum memberikan landasan hukum
yang kuat terhadap pengembangan bank Syariah karena belum secara tegas
mencantumkan Prinsip Syariah.
Walaupun demikian, secara politis, peluang umat Islam Indonesia untuk
mengembangkan Bank Syariah telah terbuka luas. Keadaan inilah yang
dimanfaatkan. Berawal dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada
tanggal 1 Mei 1992 yang kemudian diikuti dengan pendirian dan perkembangan
bank-bank syariah lainnya, baik dalam bentuk bank umum, maupun berupa unit-
unit Syariah, seperti Bank Negara Indonesia (BNI), sebagai bank konvensional
pertama yang membuka unit usaha Syariah dengan nama BNI Syariah yang
didirikan pada bulan April 2000.
Pada bank syariah ini banyak terdapat akad-akad, salah satunya adalah akad
musyarakah.4
Akad musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk
usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.5 Istilah ini berkonotasi lebih terbatas dari pada istilah syirkah yang
lebih umum digunakan dalam fiqh Islam.
Didalam terminologi Fiqh Islam syirkah dibagi dalam dua jenis, yaitu syirkah
kepemilikan, dan syirkah akad.
a. Syirkah kepemilikan tercipa karena warisan, wasiat, atau kondisinya yang
mengakibatkan pemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih. Dan
syirkah ini, kepemilikannya satu orang atau lebih berbagi dalam sebuah
4 Syukri Iska, Sistem Perbankan ………, hlm. 45 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 49
4
asset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilakn asset
tersebut.6
b. Syirkah akad berarti kemitraan yang terjadi karena adanya kontrak
bersama, atau usaha komersial bersama.
Pada skim musyarakah, bank dan nasabah sama-sama memiliki kontribusi
dana dalam usaha. Pengembalian hasil usaha tergantung kepada nisbah bagi hasil
yang disepakati nasabah dan bank. Semakin tinggi kinerja usaha nasabah,
semakin tinggi pula bagi hasil untuk masing-masing pihak.
Berdasarkan data dibawah ini bahwa perhitungan bagi hasil
dua tahun terakhir ini sangat besar omzetnya terlihat dari tahun
ke tahun. Untuk keterangan lebih jelasnya akan digambarkan
dalam tabel dibawah ini :
Tabel 3. Perhitungan Bagi Hasil
BULAN OMZETBAGI HASIL
NASABAH BANK
NOVEMBER '02 Rp. 75.000.000 Rp. 70.830.000 Rp. 4.170.000DESEMBER '02 Rp. 75.000.000 Rp. 70.830.000 Rp. 4.170.000JANUARI '03 Rp. 75.000.000 Rp. 70.830.000 Rp. 4.170.000FEBRUARI '03 Rp. 75.000.000 Rp. 70.830.000 Rp. 4.170.000MARET '03 Rp. 75.000.000 Rp. 70.830.000 Rp. 4.170.000APRIL '03 Rp. 75.000.000 Rp. 70.830.000 Rp. 4.170.000MEI '03 Rp. 65.000.000 Rp. 61.386.000 Rp. 3.614.000JUNI '03 Rp. 65.000.000 Rp. 61.386.000 Rp. 3.614.000JULI '03 Rp. 90.000.000 Rp. 84.996.000 Rp. 5.004.000AGUSTUS '03 Rp. 90.000.000 Rp. 84.996.000 Rp. 5.004.000SEPTEMBER '03 Rp. 90.000.000 Rp. 84.996.000 Rp. 5.004.000OKTOBER '03 Rp. 90.000.000 Rp. 84.996.000 Rp. 5.004.000TOTAL Rp. 940.000.000 Rp. 887. 736.000 Rp. 52.264.000
6 Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 91
5
Dari tabel 3 diatas, maka terlihat bahwa keuntungan bank dapat menurun
ataupun meningkat tergantung kepada realisasi pendapatan nasabah. Hal ini
sangat berbeda dengan sistem perbankan kovensional yang menetapkan
keuntungan yang pasti. Dalam perhitungan bagi hasil diatas, bank syariah
mengalami penurunan pendapatan di bulan Mei dan Juni 2003, tetapi meningkat
di 4 bulan terakhir.7
Di dalam akad musyarakah, terdapat beberapa syarat pokok diantaranya
adalah:
a. Syarat Akad
Karena musyarakah merupakan hubungan yang dibentuk oleh para mitra
melalui kontrak/akad yang disepakati bersama, maka otomatis empat syarat
akad yaitu:
1. Syarat berlakunya akad
2. Syarat sahnya akad
3. Syarat terealisasikanna akad
4. Syarat lazim harus dipenuhi
b. Pembagian Proporsi Keuntungan
Dalam pembagian proporsi keuntungan harus dipenuhi hal-hal berikut:
1. Proporsi keuntungan yang dibagikan kepada para mitra usaha harus
disepakati diawal kontrak/akad.
2. Rasio/nisbah keuntungan untuk masing-masing mitra usaha harus
ditetapkan sesuai dengan keuntungan nyata yang diperoleh dari usaha, dan
tidak ditetapkan berdasarkan modal yang disertakan.8
Contoh: jika A dan B bermitra dan sepakat bahwa A akan
mendapatkan bagian keuntungan setiap bulan sebesar Rp. 100.000, dan
sisanya merupakan bagian keuntungan dari B, maka kemitraan ini tidak
7Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2003), hlm. 78
8 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, ………, hlm. 53
6
sah. Demikian pula, jika disepakati bahwa A akan memperoleh 15% dari
nilai investasinya, kemitraan ini tidak sah. Dasar yang benar untuk
mendistribusikan keuntungan adalah persentase yang disepakati dari
keuntungan yang benar-benar diperoleh dalam usaha.
3. Penentuan Proporsi Keuntungan
Menurut Imam Abu Hanafiah, yang dapat dikatakan sebagai pendapat
tengah-tengah, berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda
dari proporsi modal pada kondisi normal. Namun demikian, mitra yang
memutuskan menjadi sleeping partner, proporsi keuntungannya tidak
boleh melebihi proporsi modalnya.
4. Pembagian Kerugian
Jika seorang mitra menyertakan 40% modal, maka dia harus
menanggung 40% kerugian, tidak lebih, atau tidak kurang. Apabila tidak
demikian, akad musyarakah tidak sah.9 Jadi, menurut Imam Syafi’I, porsi
keuntungan atau kerugian dari masing-masing mitra harus sesuai dengan
porsi penyertaan modalnya.
5. Sifat Modal
Sebagian besar ahli hukum Islam berpendapat bahwa modal yang
diinvestasikan oleh setiap mitra harus dalam bentuk modal likuid.
6. Manajemen Musyarakah
7. Penghentian Musyarakah
8. Penghentian musyarakah tanpa menutup usaha
Jika salah seorang mitra ingin mengakhiri musyarakah sedangkan
mitra lain ingin tetap meneruskan usaha, maka hal ini dapat dilakukan
dengan kesepakatan bersama. Mitra yang ingin tetap menjalankan usaha
dapat membeli saham/bagian dari mitra yang ingin berhenti karena
9 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, ………, hlm. 54
7
berhentinya seorang mitra dari musyarakah tidak berarti bahwa mitra lain
juga berhenti.10
10 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, ………, hlm. 58