Penelitian Batik Gedhog Tuban

97
LAPORAN PENELITIAN INVENTARISASI MOTIF TRADISIONAL BATIK GEDHOK TUBAN SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN KHASANAH TRADISI JAWA TIMUR Tim Penyusun Penelitian Jurusan Seni Rupa Ketua Tim Peneliti: Drs. Bramantijo, M.Sn. Anggota: Totok Priyoleksono, M.Sn. Alamsyah Sinaga, S.Sn. Hari Prajitno, S.Sn. Taufik Solehkhudin, S.Sn. Tim Mahasiswa Pengumpul Data : Sri Sefri Habibullah Minhatus Syaniyah Agung Budianto Novy Rosandy Jurusan Seni Rupa Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya 2014

description

LAPORAN PENELITIANINVENTARISASI MOTIF TRADISIONAL BATIK GEDHOK TUBAN SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN KHASANAH TRADISI JAWA TIMUR Tim Penyusun Penelitian Jurusan Seni RupaKetua Tim Peneliti:Drs. Bramantijo, M.Sn.Anggota:Totok Priyoleksono, M.Sn.Alamsyah Sinaga, S.Sn.Hari Prajitno, S.Sn.Taufik Solehkhudin, S.Sn.Tim Mahasiswa Pengumpul Data :Sri SefriHabibullahMinhatus SyaniyahAgung BudiantoNovy RosandyJurusan Seni RupaSekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya2014

Transcript of Penelitian Batik Gedhog Tuban

  • LAPORAN PENELITIAN

    INVENTARISASI MOTIF TRADISIONAL BATIK GEDHOK TUBAN SEBAGAI

    UPAYA PELESTARIAN KHASANAH TRADISI JAWA TIMUR

    Tim Penyusun Penelitian Jurusan Seni Rupa

    Ketua Tim Peneliti:

    Drs. Bramantijo, M.Sn.

    Anggota:

    Totok Priyoleksono, M.Sn.

    Alamsyah Sinaga, S.Sn.

    Hari Prajitno, S.Sn.

    Taufik Solehkhudin, S.Sn.

    Tim Mahasiswa Pengumpul Data :

    Sri Sefri

    Habibullah

    Minhatus Syaniyah

    Agung Budianto

    Novy Rosandy

    Jurusan Seni Rupa

    Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya

    2014

  • ABSTRAK

    Bramantijo, dkk. 2014. Inventarisasi Motif Tradisional Batik Gedhok Tuban sebagai upaya Pelestarian Khasanah Tradisi Jawa Timur Jurusan Seni Rupa, STK Wilwatikta Surabaya Salah satu penyebab punahnya warisan budaya tradisional karena masyarakat penduduknya mulai bergeser meninggalkan nilai-nilai tradisi dan menyesuaikan diri menjadi masyarakat yang lebih modern. Warisan tradisi yang bernilai tinggi sering tidak tersampaikan secara lengkap pada generasi selanjutnya, karena sudah tidak ada lingkungan yang memungkinkan proses belajar secara naluriah, juga tidak ada dokumentasi yang dapat dipelajari dan diwarisi. Batik gedhok yang akhir-akhir ini mulai populer dikhawatirkan akan mengalami hal yang serupa, mengingat pesatnya usaha pembaharuan untuk menjaga kelangsungannya. Saat ini banyak dijumpai motif pengembangan pada batik gedhok yang diproduksi untuk mengimbangi persaingan di pasaran dan motif tradisional yang kurang dapat mengimbangi usaha persaingan mulai ditinggalkan. Keadaan seperti ini mempercepat proses kepunahan motif tradisional, apalagi tidak ada usaha inventarisasi dan pendokumentasian.

    Penelitian, inventarisasi dan dokumentasi terhadap motif tradisional batik gedhok Tuban ini bertujuan menginventarisasi dan mendokumentasi ragam hias tradisional batik gedhok dengan mendeskripsikan : (1) motif tradisional berdasarkan jenis motif yang dipakai dan susunan motifnya, (2) produksi motif tradisional ditinjau dari kepopuleran dan produksinya, dan (3) pengembangan motif tradisional dan alasannya.

    Sasaran utama penelitian ini adalah 23 motif tradisional batik gedhok. Informan yang dipergunakan sebanyak 20 orang yang terdiri dari para perajin batik dari desa Margorejo. Dari hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa adanya kaitan yang erat antara kepopuleran suatu motif dengan produksinya sehingga timbul suatu kecenderungan motif yang populer semakin ditingkatkan produksinya, sedang yang kurang popular atau tidak populer produksinya semakin menurun atau bahkan tidak diproduksi dan nyaris punah. Pengembangan terhadap motif tradisional juga banyak diarahkan pada motif yang sudah populer dan dinikmati konsumen.

    iii

  • KATA PENGANTAR

    Syukur Alhamdulillah tim peneliti panjatkan ke hadirat Illahi karena penelitian

    dengan judul Inventarisasi Motif Tradisional Batik Gedhok Tuban sebagai upaya

    Pelestarian Khasanah Tradisi Jawa Timur ini telah dapat diselesaikan.

    Dalam penyelesaian penelitian ini berbagai pihak banyak terlibat, sejak

    perencanaan, pelaksanaan penelitian, dan penulisannya. Oleh karena itu, penulis

    mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah banyak membantu penulis

    sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.

    Mudah-mudahan segala budi baik yang telah diberikan akan memperoleh

    balasan dari Allah SWT.

    Peneliti menyadari sepenuhnya, bahwa penelitian ini tidak lepas dari

    kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran dari pembaca atau penulis selanjutnya

    sangat diharapkan demi kesempurnaan penelitian selanjutnya.

    Besar harapan peneliti semoga hasil penelitian ini memiliki menfaat bagi

    pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

    Surabaya, Nopember 2014

    iv

  • DAFTAR ISI

    Halaman Judul .......................................................................................................

    Halaman Pengesahan ............................................................................................

    Abstrak ..

    Kata Pengantar ..

    Daftar Isi ...

    Daftar Gambar ..

    i

    ii

    iii

    iv

    v

    vii

    BAB I

    BAB II

    BAB III

    BAB IV

    PENDAHULUAN ..

    1.1 Latar Belakang Masalah ...........................................................

    1.2 Rumusan Masalah .....................................................................

    1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................

    1.4 Manfaat Penelitian ...............................................................

    1.5 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................

    1.6 Keterbatasan Penelitian...........................................................

    1.7 Metode Penelitian....................................................................

    LANDASAN TEORI ..........................................................................

    2.1 Selintas Daerah Tuban dan Sentral Produksi Batik Gedhok .....

    2.2 Selintas tentang Batik ................................................................

    2.3 Sejarah Batik di Indonesia ........................................................

    2.4 Ragam Hias pada Peninggalan Benda-benda Sejarah ...............

    2.5 Penciptaan Motif Batik

    PROSES PEMBUATAN BATIK GEDHOK TUBAN...

    3.1 Proses Pembuatan Batik Gedhok ..

    3.2 Menenun ...

    3.3 Membatikatik

    3.4 Proses Pembuatan Warna Alam

    3.5 Motif Batik Gedhok ...

    3.6 Klasifikasi Ragam Hias Batik .

    PEMAHAMAN PERAJIN DAN PEMAKNAAN MOTIF

    4.1 Penganalan Motif dan Stategi Pengembangan

    4.2 Susunan Motif Batik Gedhok

    4.3 Pengenalan dan Produksi Motif Tradisional Batik Gedhok

    1

    1

    3

    4

    4

    5

    6

    6

    12

    12

    14

    14

    16

    17

    21

    21

    23

    25

    35

    38

    38

    40

    40

    45

    68

    v

  • vi

    BAB V

    KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Kesimpulan

    5.2 Saran-saran .

    84

    84

    86

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 88

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Masalah

    Industri kerajinan merupakan salah satu usaha sehari-hari penduduk di hampir

    seluruh daerah pedesaan di Jawa Timur, serta menjadi sumber penghidupan bagi

    sebagian penduduk di wilayah perkotaan. Berbagai jenis bahan alami dari lingkungan

    sekitarnya diolah dengan daya kreativitas sehingga menjadi bentuk yang layak menjadi

    hiasan maupun berfungsi membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari.

    Tenun Batik Gedhok sebagai usaha industri kecil masyarakat pedesaan di

    Kabupaten Tuban, khususnya di Kecamatan Kerek telah menjadi tumpuan penghidupan

    masyarakat, selain berladang atau bertani. Ketrampilan menenun dan membatik yang

    diperoleh secara turun-temurun dengan peralatan yang sangat sederhana diupayakan

    tetap bertahan dan dapat mengikuti perkembangan zaman, sehingga usaha tersebut tetap

    dapat menopang kelangsungan hidup sehari-hari.

    Arus modernisasi dan industrialisasi yang melanda Indonesia saat ini di satu sisi

    sangat bermanfaat bagi perkembangan industri tekstil termasuk di dalamnya produksi

    batik modern, di lain sisi berdampak kurang sehat terhadap industri batik tradisional

    sebagai produk kecil dari daerah atau industri rakyat. Menurut pengamatan John Heskett

    (1986 : 25), revolusi industri tidak hanya mengubah kerajinan-kerajinan tradisional,

    melainkan juga sejalan dengan meningkatnya pembaharuan teknik telah melahirkan

    beberapa industri baru yang menerapkan proses mekanisasi produksi untuk

    menghasilkan berbagai bentuk baru.

    Mengingat hal tersebut layak bila kita perlu waspada dan selalu mencari jalan

    pemecahan agar modernisasi tetap berjalan tanpa mengabaikan nilai-nilai yang telah

    mentradisi di masyarakat. Tradisi merupakan kebiasaan yang turun temurun dalam

    sebuah masyarakat, ia merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat (Rendra, 1982 :

    3). Nilai nilai yang telah mentradisi dalam kehidupan masyarakat sangatlah kompleks,

  • 2

    sehingga sukar dipilah-pilah menjadi rincian yang pasti serta dicari batasannya. Jadi

    dengan demikian masyarakat sebagai pendukung suatu tradisi perlu menyiapkan diri

    menghadapi perubahan-perubahan yang sedang atau akan terjadi. Perubahan-perubahan

    tersebut dapat merubah pula sikap mental masyarakat terhadap nilai-nilai dan produk

    tradisi. Bila masyarakat mulai bergeser menuju kebentuk masyarakat non-tradisional

    atau tidak begitu tradisional, maka kesenian (karya-karya) tradisional yang ada di

    masyarakat sulit untuk bertahan (Umar Khayam, 1987 : 65).

    Lunturnya nilai-nilai budaya tradisional ini jelas akan menghambat proses

    pelestarian dan pewarisan budaya saat terjadi alih generasi. Penekanan pada pelestarian

    budaya tradisional tidak berarti kita menutup diri dari modernisasi dan industrialisasi.

    Tenun Batik Gedhok sebagai batik tradisional daerah pesisiran tentunya

    dilingkupi oleh nilai-nilai tradisi pula. Hal ini tidak lepas dari masyarakat yang sejak

    awal menjadi pendukung dan penerus tradisi tersebut. Namun demikian gesekan dengan

    pola budaya baru lambat laun akan mempengaruhi pula kesetiaan masyarakat terhadap

    tradisi yang selama ini dipegangnya, sehingga mereka harus merelakan apa-apa yang

    selama ini dibanggakan harus tertinggal oleh zaman. Seperti yang dikemukakan oleh

    Umar Khayam (1987 : 58), bahwa tidak terlalu sulit membayangkan kegelisahan

    sekelompok pendukung warisan budaya itu, bila suatu ketika sebagai suatu konsekuensi

    dari kesediaan mereka untuk menerima kesetiaan yang lebih besar, ia harus melepaskan

    sebagian dari atau bahkan seluruh warisan itu.

    Kegelisahan ini tampaknya juga dialami oleh sebagian pendukung yang setia

    dan mendambakan kelangsungan hidup Batik Gedhok, Disatu sisi ingin

    mempertahankan segala sesuatu yang telah mentradisi dan bersifat tradisional, di lain

    sisi mereka harus bersaing dengan produksi batik dari daerah lain yang sudah mulai

    mengikuti perkembangan teknologi serta selera pasar. Sehingga kini mulai tampak

    berbagai usaha untuk mengupayakan agar Batik Gedhok tetap dapat hidup dan

    mengikuti selera pasar walau harus mengutak-atik motif tradisional untuk diwujudkan

    dalam motif yang baru agar lebih menarik minat konsumen. Dan hasilnya kini mulai

    tampak, popularitasnya semakin meningkat.

    Namun dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup Tenun Batik Gedhok

    tersebut mereka sering kali lupa meninggalkan agenda yang berupa catatan atau

  • 3

    dokumentasi terhadap segala sesuatu yang pernah dikerjakan dan dimiliki yang nantinya

    dapat dihayati dan dipelajari oleh generasi penerusnya.

    Dari observasi pendahuluan yang peneliti lakukan di lokasi penelitian, yaitu di

    Desa Margorejo Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban terhadap perajin dan hasil

    kerajinan berupa motif Tenun Batik Gedhok, ditemui beberapa permasalahan,

    diantaranya :1) sebagian besar motif batik yang diproduksi oleh perajin adalah motif

    pengembangan, 2) sejumlah motif tradisional yang dulu populer dan banyak diproduksi

    kini sudah jarang atau bahkan sudah tidak diproduksi lagi, 3) sejumlah motif tradisional

    yang ada pada Batik Gedhok terancam kepunahan dan sudah kurang populer atau

    dikenal sebagian besar perajin, 4) sebagian besar masyarakat dan perajin tidak

    memahami makna yang terkandung dalam motif Tenun Batik Gedhok Tuban.

    Mengingat hal tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk memperoleh data yang

    berguna dan dapat membantu ke arah penyelamatan motif tradisional melalui

    penginventarisasian dan pendokumentasian serta pembahasan melalui sumber teoritis.

    Dengan langkah tersebut diharapkan generasi selanjutnya masih dapat mengetahui dan

    mempelajari motif tradisional serta diharapkan perkembangan produksi motif

    tradisional Tenun Batik Gedhok dapat segera diketahui guna menentukan langkah-

    langkah selanjutnya.

    1.2 Rumusan MasaIah

    Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah pokok

    dalam penelitian ini adalah, INVENTARISASI MOTIF TRADISIONAL BATIK

    GEDHOK TUBAN SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN KHASANAH TRADISI

    JAWA TIMUR. Masalah pokok penelitian ini dapat dijabarkan menjadi sub-masalah

    sebagai berikut.

    1. Bagaimana proses produksi Batik Gedhok di Tuban?

    2. Motif tradisional apa saja yang terdapat pada batik gedhok Tuban ?

    3. Motif tradisional apa yang sudah tidak diproduksi dan kurang dikenal oleh

    masyarakat?

    4. Bagaimana pemahaman para perajin batik gedhok terhadap ragam motif yang

    ada beserta pemaknaannya ?

  • 4

  • 5

    1.3 Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian ini adalah untuk menginventarisasi motif tradisional Batik

    Gedhok Tuban serta memperoleh deskripsi secara mendalam tentang motif tradisional

    Batik Gedhok, yang dapat dirinci sebagai berikut:

    1. Memperoleh gambaran secara deskriptif proses produksi Tenun Batik Gedhok

    berdasarkan: pengenalan bahan dan alat, pemintalan, pembatikan, pewarnaannya.

    2. Memperoleh gambaran secara deskriptif ragam motif tradisional Batik Gedhok

    berdasarkan:

    a) jenis motif ;

    b) susunan motif pada pola ragam hias batik.

    3. Memperoleh gambaran secara deskriptif produksi motif tradisional, berdasarkan

    kepopuleran motif ;

    4. Memperoleh gambaran secara deskriptif pemaknaan tentang motif tradisional Batik

    Gedhok.

    1.4 Manfaat Penelitian

    Dari penelitian ini diharapkan memiliki manfaat yang cukup penting, yaitu dari

    segi teoritis dan dari segi praktis, yang masing-masing dapat dijabarkan sebagai berikut.

    1.4.1 Manfaat Teoritis

    Karena penelitian ini memaparkan klasifikasi motif tradisional Batik Gedhok

    dengan menggunakan beberapa sumber acuan tentang jenis-jenis motif di Indonesia,

    seperti dari Van Der Hoop ( 1949), Soegeng Toekio M (1987) dan pengklasifikasian

    sacara khusus terhadap ragam hias batik, seperti klasifikasi dari Balai penyelidikan

    Batik Yogyakarta (1964 : 11-14), Sewan Susanto (1973), LRKN-LIPI (1986), Nian S

    Djoemena (1986). Maka secara tidak langsung ciri-ciri motif tradisional Batik Gedhok

    ini mencari keterkaitan secara teoritis dan mempelajari kemanfaatan motif dari sumber

    yang ada terhadap motif Batik Gedhok. Apabila pada penelitian ini ditemukan

    penyimpangan-penyimpangan terhadap teori yang ada maka hasil dari penelitian ini

  • 6

    dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam menyempurnakan teori yang

    sudah ada, sehingga hasilnya dapat menjadi bahan pengetahuan terhadap motif batik

    yang ada di tanah air.

    1.4.2 Manfaat Praktis

    Sejalan dengan bahasan yang tercakup dalam penelitian ini tentang inventarisasi

    motif yang dipakai serta susunan dan pola motif yang di dalamnya menyinggung

    masalah penempatan motif sebagai motif pokok, pelengkap pelengkap dan isen-isen

    motif, maka memungkinkan dimanfaatkan sebagai bahan studi atau dipakai sebagai

    acuan dalam pengembangan disain motif Batik Gedhok. Karena penelitian ini juga

    membahas masalah pemaknaan motif Batik Gedhok tradisional maka manfaat yang

    cukup penting yang dapat dipetik diantaranya :

    1) sebagai data inventarisasi dan sekaligus dokumentasi terhadap motif Batik

    Gedhok Tuban ;

    2) dengan mengetahui jenis motif dan susunan motif maka dapat dijadikan sarana

    belajar bagi generasi selanjutnya, khususnya para pelajar di kota Tuban;

    3) dengan mengetahui perkembangan produksi ragam hias batik tradisional

    diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan

    kebijaksanaan terhadap pengembangan dan pelestarian budaya daerah oleh pihak

    yang berkepentingan ;

    4) dengan terdokumentasinya motif tradisional batik gedhok, maka dapat menjadi

    tambahan bahan studi tentang motif yang dapat dimanfaatkan bagi kalangan

    yang berkepentingan, khususnya perguruan tinggi.

    1.5 Ruang Lingkup Penelitian

    Ruang lingkup penelitian ini berkaitan dengan permasalahan yang ada pada

    motif tradisional Batik Gedhok, dengan penekanan pada inventarisasi motif tradisional.

    Motif tradisional Batik Gedhok yang akan dinventarisasi berjulmah 23 motif

    berdasarkan keterangan lisan dari para informan yang telah dipilih pada saat observasi

    pendahuluan.

    Sedangkan yang akan dibahas dalam pengenalan motif adalah:

  • 7

    1) pendataan terhadap kepopuleran suatu motif berdasarkan pengenalan para informan

    dan sumber pengenalannya;

    2) Produksi terhadap motif batik yang pernah dilakukan para informan;

    3) Pendataan terhadap motif tradisional yang sudah tidak diproduksi bahkan tidak

    dikenal;

    1.6 Keterbatasan Penelitian

    Beberapa keterbatasan yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain

    keterbatasan dalam hal dana, waktu, luas wilayah penelitian, ruang lingkup penelitian,

    dan lain-lain diluar jangkauan peneliti. Keterbatasan itu antara yang satu dengan lainnya

    saling berkaitan dan mempengaruhi, sehingga berpengaruh juga pada hasil penelitian.

    Mengingat dana dan waktu yang ada pada penelitian ini sangat terbatas jika

    dibandingkan dengan penyebaran obyek yang dapat diteliti maka ruang lingkup dan

    wilayah penelitian terbatas pula. Ruang lingkup penelitian sudah dikemukakan pada

    bagian 1.5 dan wilayah penelitian dapat dikemukakan sebagai. berikut :

    1) tidak semua daerah penghasil Batik Gedhok di Tuban ditetapkan sebagai

    wilayah/lokasi penelitian, penelitian ini hanya dilaksanakan di Kecamatan Kerek,

    dengan pertimbangan Kecamatan Kerek memiliki jumlah perajin terbesar dan

    memiliki variasi ragam hias yang cukup banyak ;

    2) dipilih 1 (satu) desa di kecamatan Kerek yang menjadi sentral produksi batik

    gedhok dan sudah mendapat pembinaan dari Depertemen Perindustrian serta

    memiliki kelompok perajin, yaitu Desa Margorejo.

    1.7 Metode Penelitian

    Pada bab ini akan dibicarakan tujuh pokok bahasan, 1) sasaran penelitian, 2)

    informan penelitian, 3) rancangan penelitian, 4) metode penelitian, 5) instrumen peneliti

    6) prosedur pengumpulan data, 7) analisis data.

    1.7.1 Sasaran Penelitian

    Seperti telah dikemukakan pada bagian 1.5 penelitian ini menitikberatkan

    pembahasan pada permasalahan inventarisasi motif tradisional Batik Gedhok di

  • 8

    Kabupaten Tuban khususnya di Kecamatan Kerek. Batik Gedhok saat ini sudah sangat

    populer di kalangan masyarakat Tuban, namun hanya beberapa kecamatan di Kabupaten

    Tuban yang menjadi daerah penghasil Batik Gedhok, yaitu Kecamatan Kota Tuban,

    Kecamatan Semanding, dan Kecamatan Kerek. Dari ketiga kecamatan tersebut,

    Kecamatan Kerek yang menjadi sentral produksi Batik Gedhok, karena daerah tersebut

    memiliki jumlah perajin yang terbesar. Perajin Batik Gedhok di Kecamatan Kerek

    tersebar di beberapa desa, diantaranya Desa Gaji, Kedungrejo, Margorejo, Karanglo,

    dan Temayang. Namun yang dijadikan sasaran penelitian adalah desa Margorejo, hal ini

    didasari oleh beberapa pertimbang, yaitu : 1) desa tersebut sudah memiliki kelompok

    perajin yang terorganisasi cukup baik di bawah pembinaan departemen Perindustrian, 2)

    masih banyak perajin senior yang memiliki pengalaman yang cukup dan mempunyai

    wawasan yang luas tentang Batik Gedhok di daerahnya, 3) masih cukup mudah digali

    informasi tentang keberadaan motif tradisional Batik Gedhok.

    Mengingat bahwa sasaran penelitian ini adalah motif batik dengan penekanan

    pada inventarisasi terhadap motif tradisional, maka hal-hal lain di luar sasaran penelitian

    dibatasi pembahasannya atau tidak disinggung sama sekali.

    1.7.2 Informan Penelitian

    Penelitian ini tentang inventarisisi dan rekonstruksi motif tradisional Batik

    Gedhok. Karena yang menjadi sasaran adalah motif tradisional lama atau kuno, maka

    kemungkinan sekali motif tersebut sudah kurang dikenal oleh sebagian besar perajin

    Batik Gedhok pada saat ini. Selain itu sebagian besar motif tradisional yang ada belum

    terdokumentasi dan terinventarisasi secara baik atau mungkin sudah jarang diproduksi.

    Hal ini dapat dibuktikan dengan belum adanya koleksi motif tradisional Batik Gedhok

    di Museum Kambang Putih Tuban atau di Departemen Perindustrian Tuban. Oleh sebab

    itu dibutuhkan informan yang dapat memberikan gambaran yang cukup jelas tentang

    persoalan-persoalan dalam penelitian ini. informan adalah orang yang dimanfaatkan

    untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Jadi ia harus

    mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian (Moleong, 1989 : 97). Lebih

    lanjut dijelaskan oleh Moleong (1989), seorang informan harus memiliki sifat jujur, taat

    pada janji, patuh pada peraturan, mudah berkomunikasi, tidak termasuk salah satu

  • 9

    kelompok yang bertentangan dengan latar penelitian dan memiliki pandangan tertentu

    tentang sesuatu hal atau tentang peristiwa yang terjadi. Informan ditentukan secara

    purposive (purposive sampling) dan jumlahnya mengikuti karakteristik elemen-elemen

    yang ditemukan di lapangan.

    Untuk memperoleh informan yang diharapaan dapat dilakukan dengan cara : 1)

    melalui keterangan orang yang berwenang, baik secara formal (aparat pemerintah) atau

    informal (tokoh masyarakat), 2) melalui wawancara pendahuluan yang dilakukan oleh

    peneliti. Sanapiah Faizal (1990 : 44-45) memberikan syarat secara umum untuk

    informan awal maupun lanjut : 1) mereka yang menguasai dan memahami sesuatu

    melalui proses enkulturasi, sehingga sesuatu itu bukan sekedar diketahui tetapi juga

    dihayati, 2) yang tergolong masih sedang berkecimpung atau terlibat pada kegiatan yang

    tengah diteliti, 3) mereka yang mempunyai kesempatan/waktu yang memadahi untuk

    dimintai informasi, 4) mereka yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil

    "kemasannya" sendiri, dan 5) mereka yang tergolong cukup asing akan peneliti

    sehingga lebih menggairahkan untuk dijadikan semacam guru atau nara sumber.

    Berdasarkan uraian di atas, maka yang digunakan sebagai persyaratan memilih

    informan dalam penelitian ini adalah : 1) penduduk Kecamatan Kerek yang masih aktif

    membatik serta dipilih peneliti saat observasi pendahuluan, 2) komunikatif, dan 3) dapat

    mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa.

    Dari ketiga persyaratan tersebut, peneliti menetapkan perajin yang akan

    dijadikan informan yaitu : 1) semua ketua kelompok perajin batik gedhok dari desa-desa

    yang menjadi wilayah penelitian, 2) perajin senior yang memiliki pengalaman

    membatik cukup lama dan rutin serta berwawasan luas tentang batik gedhok dan

    dijadikan panutan perajin lainnya (dalam pencariannya dibantu ketua kelompok atau

    tokoh formal atau informal).

    Pemilihan para ketua kelompok pembatik ini diasumsikan bahwa para ketua

    kelompok sebagai perajin yang memiliki pengetahuan dan wawasan terhadap apa yang

    dilakukan anggota kelompoknya. Pemilihan perajin senior diasumsikan bahwa mereka

    selama kurun waktu yang cukup panjang sempat mengamati dan mengikuti

    perkembangan motif tradisional batik gedhok di daerahnya.

  • 10

    1.7.3 Metode Pengumpulan Data

    Penelitian mengenai inventarisasi motif tradisional Batik Gedhok dilakukan

    dengan tujuan untuk memperoleh gambaran secara lebih jelas tentang motif batik

    berdasarkan jenis motif dan susunan motif dalam pola ragam hias dengan mengacu pada

    beberapa sumber rujukan tentang klasifikasi motif yang selanjutnya akan diperoleh

    gambaran motif secara visual serta deskripsinya.

    Seperti telah dijelaskan pada bagian awal bahwa data yang diperlukan pada

    penelitian ini diperoleh sebagian dari informan, maka dari sini secara implisit terlihat

    salah satu metode yaang dipakai yaitu wawancara. Dan karena yang jadi obyek utama

    penelitian ini adalah motif tradisonal Batik Gedhok, maka metode lain yang dipakai

    yaitu observasi.

    1. Metode Wawancara

    Pemakaian metode wawancara ini dilakukan terhadap informan bertujuan untuk

    mengetahui kepopuleran suatu motif melalui pengenalan dan produksinya, serta hal-hal

    lainnya yang berkaitan dengan ragam hias tradisional Batik Gedhok.

    Wawancara ini dilakukan terhadap informan dengan pedoman pada beberapa

    arahan, yaitu :

    a. wawancara dilakukan langsung di lokasi penelitian terhadap informan yang telah

    ditentukan ;

    b. wawancara dilakukan dengan memakai bahasa yang komunikatif, baik bahasa

    Indonesia ataupun bahasa Jawa, tergantung pada penguasaan bahasa informan dan

    dilakukan oleh peneliti sendiri ;

    c. wawancara dilakukan secara bebas terpimpin, yaitu dengan mengajukan pertanyaan

    tentang pokok-pokok permasalahan yang telah disusun sebelumnya, dan informan

    diberikan kebebasan dalam memberikan jawaban.

    2. Metode Observasi

  • 11

    Pemakaian metode observasi ini bertujuan untuk mengetahui jenis motif,

    susunan motif pada pola ragam hias dan untuk meyakinkan informasi yang telah

    disampaikan informan pada saat wawancara.

    Dalam melakukan observasi pada penelitian ini berpedoman pada beberapa

    arahan, yaitu :

    a. observasi dilakukan langsung pada obyek yang diteliti ;

    b. setiap obyek diteliti berdasarkan indikator yang telah ditentukan pada instrumen

    observasi;

    c. apabila dalam observasi .ditemukan data yang tidak tercakup dalam instrumen,

    maka dilakukan pencatatan tersendiri

    1.8 Analisis Data

    Pada bagian ini dikemukakan 1) acuan yang digunakan untuk menganalisis data

    dan 2) teknik yang digunakan untuk menganalisis data yang masing-masing akan

    diuraikan sebagai berikut .

    1. Acuan Analisis Data

    Penelitian deskriptif bila memberikan fenomena yang muncul, maka peneliti

    perlu membandingkan dengan acuan yang ada. Acuan tersebut dapat dijadikan kriteria

    atau rujukan guna menentukan apakah fenomena mencapai acuan. Bila peneliti tidak

    menetapkan salah satu model analisis, maka peneliti wajib menguraikan prosek analisis

    (Soetopo, 1990: 10). Hasil inventarisasi motif yang diklasifikasian berdasarkan jenis

    motif yang menyusun ragam hias dan susunan motif pada pola ragam hias yang

    disesuaikan dengan acuan yang telah ditentukan sebelumnya. Oleh karena penelitian ini

    membahas motif batik, maka yang menjadi acuan adalah teori yang membahas tentang

    motif.

    Acuan yang digunakan merupakan rujukan dari beberapa sumber seperti Van

    Der Hoop (1949), Balai Penyelidikan Batik Yogyakarta (1964), Sewan Susanto (1973),

    Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN)-Lembaga Ilmu Pengetahuan

    lndonesia (LIPI) ( 1981), Nian S DJoemena (1986), Soegeng Toekio (1987) serta

    sumber-sumber lain yang mendukung.

  • 12

  • 13

    2. Prosedur Analisis

    Prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh untuk mendeskripsikan motif

    tradisional Batik Gedhok adalah sebagai berikut.

    Analisis terhadap instrumen wawancara

    a. Mempelajari seluruh data yang sudah terkumpul dari seluruh informan.

    b. Melakukan identifikasi terhadap semua jawaban untuk dikelompokkan menurut

    pokok permasalahannya.

    c. Menyusun data yang sudah dalam kelompok untuk ditransfer dalam matriks atau

    table untuk memudahkan analisis.

    d. Menguraikan data pada matriks dalam kalimat yang singkat dan mudah dimengerti

    atau dideskripsikan.

    e. Melakukan analisis tiap-tiap faktor untuk mengarahkan pada langkah kesimpulan.

    Analisis terhadap instrument observasi

    a. Mempelajari seluruh data yang sudah terkumpul dari observasi.

    b. Melakukan identifikasi terhadap hasil observasi untuk dikelompokkan menurut

    pokok permasalahannya.

    c. Mendeskripsikan setiap motif sesuai dengan pokok permasalahan yang telah di

    tentukan.

    d. Menganalisis motif secara keseluruhan berdasarkan deskripsi yang tersusun dan

    mengklasifikasikannya berdasarkan kelompok pokok permasalahan.

    e. Menyajikan hasil analisis untuk memudahkan penarikan kesimpulan.

  • 14

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    Pada bab ini dikemukakan kerangka teori yang menjadi acuan penelitian ini

    serta konsep-konsep yang berkaitan dengan kondisi, lingkungan penelitian, sejarah batik

    dan motif batik, pengetahuan tentang motif batik, teori yang melandasi klasifikasi motif,

    dan selintas tentang motif tradisional batik gedhok Tuban. Untuk lebih jelasnya dapat

    diikuti pada uraian berikut.

    2.1 Selintas Daerah Tuban dan Sentral, Produksi Batik Gedhok

    Kabupaten Tuban termasuk wilayah Propinsi Jawa Timur yang terletak paling

    barat di tepi pantai utara, jarak kota Tuban dengan ibukota propinsi +114 km. Di Jawa

    Timur, Kabupaten Tuban termasuk daerah penghasil jagung, kacang tanah, dan kapas

    yang cukup besar.

    Ditinjau dari letak geografis, menurut penelitian US Army pada tahun 1944 yang

    dikutip Salladien (1969: 10) kota Tuban memiliki letak astronomis antara :

    112o 4' 9" Bujur Timur - 112o 4' 4" Bujur Timur

    6o 38' 51" Lintang Selatan - 6 o 59' 24" Lintang Selatan

    Melihat kenyataan di atas, kota Tuban termasuk daerah beriklim tropis dengan curah

    hujan yang relatif rendah. Dalam arti bulan-bulan kering lebih banyak dibandingkan

    bulan-bulan basah

    Daerah perkotaan terletak di tepi pantai utara dengan kondisi wilayah sebelah

    utara merupakan daerah pantai dan wilayah sebelah selatan berbukit kapur. Karena

    letaknya di tepi pantai utara, maka wilayah utara kota dapat dikatakan sebagai sentral

    perekonomian. Di sini lalu lintas antar propinsi (Surabaya-Semarang) cukup lancar,

    sehingga aktifitas perdagangan, pemerintahan, budaya dan sebagainya banyak dilakukan

  • 15

    di wilayah utara ini. Mata pencaharian masyarakat kota juga sangat bervariasi, mulai

    dari pedagang, buruh, pegawai, nelayan dan juga perajin batik.

    Sedang wilayah sebelah selatan kota sebagian besar berupa bukit-bukit,

    tanahnya berwarna merah dan mengandung endapan kapur. Daerah sebelah selatan ini

    memiliki areal yang lebih luas dibandingkan wilayah sebelah utara. Dengan kondisi

    tanah yang berbukit dan mengadung endapan kapur, maka wilayah selatan digolongkan

    daerah yang kurang subur. Masyarakat di wilayah ini sebagian besar sebagai peladang

    dan buruh penggarap, sehingga bila ditinjau dari penghasilan perkapita termasuk dalam

    taraf rendah.

    Demikian halnya dengan Kecamatan Kerek yang dijadikan sebagai wilayah

    penelitian ini. Kecamatan Kerek terletak +23 km sebelah barat daya Kabupaten Tuban,

    dikenal sebagai daerah gersang dan kering. Sebagian besar lahannya berupa tegalan dan

    hanya dapat ditanami kacang tanah, jagung, singkong, dan sebagian kapas. Jangan

    berharap padi dapat tumbuh subur di daerah ini, karena curah hujannya sangat kecil. Di

    daerah Kerek dan sekitarnya memiliki sistim pertanian tadah hujan. Tetapi di daerah ini

    justru tersimpan warisan budaya bernilai tinggi yaitu tenun dan batik gedhok. Aktivitas

    kerajinan tenun dan batik dilakukan sebagian besar wanita di daerah ini untuk mengisi

    waktu luang saat selesai musim garap, serta karena daerah tersebut memiliki potensi

    alam dan manusia yang memungkinkan dilakukannya aktivitas tersebut. Menurut Umar

    Khayam (1987: 314), suatu pranata lahir dari masyarakat karena masyarakat

    membutuhkan, la terbentuk dan lahir karena pengalamannya dan potensi alamnya.

    Pengalaman mengajarkan mereka untuk membangun media-media yang akan menjadi

    sasaran mencari maksud dan tujuan.

    Di Kecamatan Kerek pembuatan tenun dan batik gedhok ini berpusat di Desa

    Gaji, Kedungrejo, Margorejo, Karanglo, dan Temayang. Belum ada yang dapat

    mengungkapkan riwayat pengembangan tenun dan batik gedhok di Kecamatan Kerek

    Kabupaten Tuban ini, yang jelas kerajinan ini merupakan warisan turun-temurun yang

    proses pengerjaannya banyak melibatkan kaum wanita mulai dari anak-anak sampai

    nenek-nenek.

  • 16

    2.2 Selintas Tentang Batik

    Bangsa Indonesia telah lama mengenal adanya batik sebagai salah satu corak

    bahan sandang yang dipakainya guna menunjukkan ketinggian peradaban dan

    kepribadian bangsa. Bahan sandang itu bermacam-macam kegunaanya, yaitu untuk

    menutup sebagian anggota badan atau penghias rumah, contoh : penutup kepala, baju,

    kain panjang, kemben dan stagen.

    Motif batik di Indonesia sangat banyak jumlahnya, mulai dari yang sederhana

    sampai yang sangat rumit dan memiliki nilai keindahan tersendiri. Tiap Motif batik di

    Indonesia mengandung falsafah yang dalam dan disesuaikan dengan kegunaan batik

    tersebut. Motif-motif batik itu memiliki motif yang diambil dari perwujudan bentuk-

    bentuk yang memiliki kesaktian, dimana bentuk aslinya sudah diubah sedemikian rupa

    sehingga bentuknya menjadi lebih indah. Contoh hal ini terdapat pada motif semen,

    udan riris, ceplok keci, parang rusak, dan kawung.

    Di tiap-tiap daerah pembatikan di Indonesia corak dan perwujudan motif batik

    satu sama lain berbeda-beda dalam hal ini saling mempertahankan tradisi, proses

    teknologinya dan selera masing-masing. Corak dan motif batik daerah-daerah itu

    sampai kini masih kelihatan jelas unsur-unsur yang mempengaruhi pertumbuhannya,

    baik dari corak pewarnaan, susunan, penempatan motif dan isian (pelengkap) pada

    ragam hias batik. Dengan corak dan motif yang khas, membatik dapat hidup tumbuh

    dan berkembang sebagai kegiatan yang bersifat naluri dan sebagai kegiatan untuk

    melestarikan hidup. Hal ini terlihat karena daerah-daerah yang menghasilkan batik

    menunjukkan kemajuannya dalam membangun daerah dan memberikan lapangan kerja

    kepada masyarakat.

    2.3 Sejarah Batik di Indonesia

  • 17

    Sejak jaman dahulu, batik telah menjadi bahan sandang sehari-hari bagi bangsa

    Indonesia. Batik merupakan gambaran pada bahan sandang dari tenunan atau mori

    dengan teknik batik dan pewarnaan dengan teknik pencelupan, sehingga tidak tahan

    disimpan sampai berpuluh-puluh tahun, apalagi berabad-abad. Maka guna mengetahui

    rentetan kejadian dalam masalah kegiatan seni kerajinan batik di Indonesia sampai saat

    ini agak mendapat kesulitan. Selain karena di zaman penjajahan benda-benda

    peninggalan sejarah banyak yang dibawa penjajah sebagai koleksi museum di

    negaranya. Khususnya museum dan istana kerajaan negeri Belanda memiliki banyak

    peninggalan dan buku sejarah, khususnya tentang batik di Indonesia.

    Dari beberapa penulisan, diantaranya (Tirtaamidjaja, 1966 dalam LRKN-LIPI,

    1986; Yudoseputro, 1986; Ila Keller, 1971) menyatakan bahwa batik di Indonesia mulai

    berkembang bersamaan dengan berkembangnya agama Hindu di Indonesia. Pada saat

    itu para seniman Indonesia yang belajar membuat benda-benda atau barang keperluan

    agama mendapat pula pengetahuan tentang batik di India. Pendapat lain menyatakan

    bahwa batik adalah asli Indonesia, dengan alasan bahwa teknik dasar batik yaitu

    menutup bagian-bagian kain yang tidak akan diberi warna dengan lilin atau malam.

    Teknik ini tidak hanya dikenal di daerah-daerah yang terkena kebudayaaa Hindu saja

    (Jawa dan Madura), tetapi juga dikenal di Toraja, Flores, Halmahera, bahkan di Irian

    (Tirtaamidjaja, 1966 dalam LRKN-LIPI, 1986 : 112-113).

    Pada akhir abad 17 di Minahana Koromandel (India) berkembang kegiatan

    pembatikan dengan teknik lilin (waxresist technique), sehingga merupakan hasil

    kegiatan yang ekonomis (menjadi barang dagangan) dan merupakan produk sandang

    yang bernilai tinggi. Perkembangan batik di negara kita mencapai kesempurnaan pada

    abad 14-15. Adapun pengaruh luar yang terdapat pada batik terjadi pada zaman kerajaan

    Daha Kediri. Fungsi batik pada zaman itu belum menjadi barang yang ekonomis, tetapi

    baru merupakan barang-barang kepentingan kerajaan atau sebagai perkakas untuk sang

    Sakti. Setelah mereka mempunyai hubungan dagang yang luas dengan negara lain maka

    batik tidak hanya sebagai alat untuk sang Sakti melainkan sudah merupakan barang

    dagangan.

  • 18

    Kerajaan Kediri mempunyai hubungan dagang yang luas dengan kerajaan

    Sriwijaya, India, dan Tiongkok. Pada zaman ini seni kesusastraan dan seni rupa

    mengalami perkembangan yang amat pesat. Para seniman yang belajar membuat benda-

    benda keperluan agama Hindu di India, setelah kembali ke Indonesia merupakan tenaga

    penyuluh dan instruktur yang cakap dalam segi pembatikan. Dilandasi dengan

    kecakapan yang telah dimiliki para seniman Indonesia dalam segi teknik pembatikan,

    pewarnaan, dan pembuatan motif serta penyusunannya menjadi ragam hias, maka

    sebelum abad 17 batik di Indonesia mulai maju dan berkembang.

    Kemajuan yang dicapai sesudah abad ke 17 lebih pesat lagi, malahan dari segi

    mutu lebih tinggi baik pewarnaan, motif, dan susunan motif dalam ragam hias

    dibandingkan dengan batik dari India. Faktor yang mempengaruhi mutu batik di

    Indonesia adalah bahan campuran untuk lilin batik lebih sempurna.

    2.4 Ragam Hias pada Peninggalan Benda-benda Sejarah

    Sebelum munculnya kerajaan Hindu Mataram di Jawa, banyak orang India telah

    datang ke Indonesia untuk berdagang, disamping menyebarkan agama Hindu dan

    kebudayaan. Hal ini jelas dapat dilihat dari ragam hias yang terdapat pada patung di

    candi Singsari, candi Lumpang, candi Dieng, candi Banon di kompleks Borobudur dan

    dari benda berupa gendering dari Sangeang Bima. Bangsa Indonesia lebih kurang mulai

    abad 9 telah membuat batik sebagai bahan sandang. Kegunaan batik pada zaman itu

    belum merupakan barang yang ekonomis melainkan hanya sebagai peralatan

    kelengkapan upacara keagamaan.

    Temuan arkeologis berupa ragam hias yang terdapat bagian patung

    menunjukkan bahwa proses batik di Indonesia telah dikerjakan sejak sebelum agama

    Hindu datang di Indonesia. Ragam hias yang dipakai pada batik telah ada sejak zaman

    perunggu sampai dengan zaman kerajaan Islam di Indonesia, hal ini terus berkembang

    dan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada serta sifat dan kegunaannya.

    Contoh pada zaman perunggu telah adanya genderang perunggu dengan motif cecek

  • 19

    dan sawut, pada abad 9 telah ada patung yang menggambarkan Syiwa dari gemuruh

    Dieng memakai kain dengan ragam hias lereng, pada zaman kerajaan Daha Kediri telah

    ada patung yang berpakaian kain dengan ragam hias semacam kawung.

    Petunjuk di atas menggambarkan bahwa ragam hias yang dipakai di Indonesia

    tidak mengambil dari luar, tetapi merupakan hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri.

    Contohnya, di Indonesia terdapat ragam hias tumpal tetapi di India tidak ada ragam hias

    semacam itu.

    2.5 Penciptaan Motif Batik

    Ketrampilan membatik dikenal hampir di seluruh wilayah Indonesia, sehingga memiliki

    corak dan ragam hias yang sangat bervariasi. Variasi motif batik di Indonesia sangat

    ditentukan oleh kebudayaan etnik daerah serta pengaruh dari luar daerah, termasuk

    pengaruh kebudayaan asing. Seperti corak dan motif batik pesisiran yang

    memperlihatkan tanda-tanda pengaruh dari kebudayaan Cina, yang tampak berbeda

    dengan corak dan ragam hias batik Yogyakarta dan Solo (Vorstenlanden). Antara kedua

    kelompok tersebut memiliki ciri-ciri khas yang secara garis besar dapat dijelaskan

    sebagai berikut (Nian S Djoemena, 1986 : 7- 9).

    1. Batik Yogyakarta-Solo (batik keraton) memiliki ciri-ciri :

    a. Motif bersifat simbolis dan berlatar kebudayaan Hindu-Jawa ;

    b. warna : sogan, indigo (biru), hitam, dan putih.

    2. Batik Pesisiran memiliki ciri-ciri :

    a. Motif bersifat naturalistis dan pengaruh kebudayan asing terlihat kuat;

    b. warna : beraneka ragam (bervariasi).

    Pada batik pesisir dari berbagai daerah tata warna dengan komposisi warna biru-putih

    (kelengan), merah-putih-hijau (bang-biru-ijo), merah-putih (bang-bangan), merah-biru

    (bang-biru) hampir selalu ada, tentu saja dengan perbedaan nuansa warna menurut

    selera daerah yang bersangkutan. Sebagai contoh, warna merah dari pekalongan

  • 20

    bernuansa lebih cerah dan terang dibandingkan dengan warna merah Indramayu yang

    condong ke arah merah tua.

    Dilihat dari segi ragam hias, tata warna serta gayanya, batik pesisir yang paling

    menonjol dan sekarang masih digemari, antara lain batik dari daerah Indramayu,

    Cirebon, Pekalongan, Lasem, Garut , Madura, dan Jambi. Antara batik Solo-Yogyakarta

    dengan batik pesisiran meskipun terdapat keragaman corak dan motif yang

    menunjukkan perbedaan, tidak berarti tidak ada keterkaitan atau terlepas sama sekali,

    namun sedikit banyak masih memiliki unsur-unsur yang mengarah pada kesamaan yang

    universal. Hal ini dapat dimaklumi karena setiap manusia pada dasarnya dalam

    mewujudkan kemampuannya selalu menyangkut tiga unsur pokok yang merupakan satu

    kebulatan, yaitu pikiran atau cipta, kemauan atau karsa, dan rasa. Serta se1alu harus

    ditunjang oleh tersedianya bahan. Maka tidak mengherankan bila suatu hasil budaya

    dari negeri satu dengan lainnya, pulau satu dengan lainnya, atau dalam satu pulau

    terdapat persamaan gaya. Seperti yang dikemukakan Yudoseputro (1983: 151), gaya

    seni kerajinan tidak selalu terbatas pada satu daerah atau pulau, tetapi dalam pulau yang

    sama bisa terdapat lebih satu gaya.

    Di pulau Jawa saja dikenal berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus motif

    batik. motif tersebut ada yang diciptakan dengan satu harapan tertentu, misalnya : motif

    batik sido mukti mempunyai garis-garis corak yang merupakan pengungkapan harapan

    agar pemakainya dapat mengalami hidup bahagia dan kecukupan atau mukti

    (Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 3, 1989 : 206 - 207).

    Dalam budaya pakaian adat di pulau Jawa, terutama di lingkungan keraton ada

    motif batik tertentu yang terlarang bagi rakyat kebanyakan, misalnya di lingkungan

    sekitar keraton Yogyakarta dan Solo, misalnya motif batik parang barong yang hanya

    boleh dikenakan oleh raja dan pangeran, rakyat biasa dan orang kaya sekalipun dilarang

    mengenakannya. Pada zaman itu pelanggaran terhadap ketentuan adat mendapatkan

    sanksi, karena dianggap ingin menyamai kedudukan raja, Karena motif diciptakan

    dengan bentuk gambaran simbolis yang melambangkan harapan dan doa, maka

    pemakainya disesuaikan dengan isi perlambang itu. Misalnya kain batik dengan motif

  • 21

    parang tidak boleh dikenakan oleh pengantin, pengantin harus mengenakan kain dengan

    motif sido mukti, sido luhur, sido mulyo, atau sido asih. Pada upacara pernikahan, orang

    tua pengantin baik laki-laki maupun perempuan mengenakan kain batik dengan ragam

    hias truntum, karena motif tersebut melambangkan tuntunan orang tua pada anaknya,

    sementara itu golongan orang tua lainnya selain orang tua kandung pengantin

    mengenakan kain batik dengan motif wirasat.

    Ide penciptaan motif dan susunan motif yang membentuk suatu ragam hias

    sangat bervariasi sekali, mulai dari bentuk-bentuk geomtris sampai ke bentuk-bentuk

    non-geometris atau naturalis atau stilirisasi dari segala sesuatu yang ada di alam dengan

    pengerjaan yang berbeda-beda di tiap daerah.

    Motif pada ragam hias batik biasanya dapat dipilah-pilah menurut

    penempatannya, seperti : 1) motif pokok, 2) motif pelengkap, 3) isen-isen motif. Namun

    demikian kehadiran suatu motif dalam membentuk suatu ragam hias tidak harus terdiri

    dari ketiganya, dapat hanya berupa motif pokok saja atau bergabung dengan salah satu

    unsur lainnya, susunan seperti ini biasanya ada pada ragam hias geometris. Dalam

    pembatikan dengan teknik cap biasanya isen-isen motif langsung dikerjakan sendiri

    oleh sipembatik, karena dia sudah tahu pasti dimana motif yang harus diberi isen-isen

    (terutama batik klasik dengan isen-isen cecek, sawut atau cecek-sawut). Kekhususan

    motif batik itu yaitu adanya cecek dan sawut (garis-garis yang halus dan rajin) terdapat

    pada gambaran-gambaran motif sebagai isen-isen guna memperindah dan

    menghidupkan motif batik itu (Murtihadi dan Mukminatun, 1979 : 4).

    Penempatan motif sebagai motif pokok pada ragam hias batik umumnya

    dimaksud sebagai unsur yang diutamakan dan mengandung arti serta menjiwai

    perwujudan ragam hias batik secara keseluruhan. Sedang motif pelengkap (tambahan)

    merupakan pengisi bidang, sehingga ada keluwesan antara motif pokok dengan motif

    pengisi lainnya agar tampak lebih harmonis. Sebagai contoh ragam hias batik semen

    dimana motif pokoknya terdiri dari meru, pohon, burung, ular, dan api. Sedang motif

    pelengkap berupa daun-daun dan bunga-bunga. Motif utama/pokok tersebut mempunyai

    arti sebagai berikut :

  • 22

    1) meru, melambangkan gunung atau tanah yang disebut bumi ;

    2) api atau lidah api, melambangkan nyala api atau geni;

    3) ular atau naga, melambangkan air atau banyu/tirta;

    4) burung, melambangkan angin atau maruta;

    5) garuda atau lar garuda (sayap), melambangkan mahkota atau penguasa tinggi

    yaitu penguasa jagad dan isinya.

    Keindahan visual dari perwujudan ragam hias yaitu dari segi penempatan dan susunan

    motif, tata warna yang harmonis. Keindahan filosofis yang ditunjang keindahan

    visualnya dapat menggambarkan sesuai dengan pegangan dan pandangan hidup saat itu.

    Karena sedikit banyak aspek-aspek kehidupan manusia sudah tergambar dalam motif

    tersebut.

  • 23

    BAB III

    PROSES PEMBUATAN BATIK GEDHOK TUBAN

    Batik gedhok Tuban, mempunyai ciri khusus yang jarang dijumpai pada

    kebanyakan kain batik, bahkan batik gedhok ini merupakan satu-satunya batik yang

    menggunakan kain jawa atau lawon sebagai bahan dasarnya. Dinamakan batik gedhok

    karena merupakan gabungan antara tenun dan batik (Bentara Budaya, 1987 : 4). Alat

    yang digunakan menenun disebut tenun gedhok atau tenm gendong.

    3.1 Proses Pembuatan Batik Gedhok

    Proses pembuatan batik gedhok sebenarnya diawali dari proses yang paling

    awal, yaitu pembuatan kain tenun atau lawon sebagai bahan dasar, baru dilanjutkan

    proses pembatikan

    1. Proses Pembuatan Kain Tenun Gedhog

    Nama Gedhok adalah kain tenun yang berasal dari Tuban, juga sekaligus nama

    untuk hasil batiknya. Gedhok berasal dari suara dhok-dhok alat tenun sederhana

    ketika sedang digerakkan. Proses pembuatan kain tenun gedhok, ada tiga proses yang

    perlu dikuasai agar mendapatkan hasil yang bagus, yaitu proses mengolah kapas (bibis),

    pembuatan benang (memintal) dan proses merajut benang menjadi selembar kain

    (menenun).

    2. Bibis

    Tanaman kapas menghasilkan buah yang ketika masih muda dibungkus

    cangkang yang keras. Ketika matang, cangkang terbalah. Tampak di dalamnya empat

    penampan berisi gumpalan kapas berbiji. Bibis (mbibis) adalah proses bembersikan

    kapas, yaitu memisahkan biji dari kapas, atau sebaliknya. Proses ini dilakukan sebelum

    kapas siap dijadikan benang. Tapi sebelum proses ini lakukan, langkah pertama dalam

    mengolah kapas adalah menjemur gumpalan yang sudah di keluarkan dari cangkannya.

  • Kapas yang sudah kering, diambil dari penjemuran. Setelah itu kapas dipisahkan

    dari diji-bijinya dengan menggunakan alat gilingan. Yaitu menarik kapas ke celah

    sempit antara dua kayu, sehingga biji-bijinya tertinggal. Kapas yang sudah bersih dan

    agak padat, kemudian diurai dengan alat berbentuk busur (alat: sendeng) dan digulung

    sampai mencapai konsistensi yang pas untuk dipintal (alat: pusoh).

    Gambar: Kapas yang sudah dipisahkan dari bijinya

    3. Pintal

    Kapas yang sudah bersih dari biji-bijiya dan tergulung akan siap di pintal

    menggunakan roda pintal (jantra). Helai demi helai serat kapas dari gulungan akan

    terkumpul pada batang bambu pendek (kisi), yang berputar karena tali yang

    menghubungkannya dengan gerakan roda pintal. Setelah kisi ini penuh, maka diganti

    dengan kisi yang masih kosong. Begitu seterusnya, sampai helai-helai benang yang

    dihasilkan ini cukup untuk menenun selembar kain.

    Setelah itu, benang tadi dipindahkan dengan digulung di sebuah alat yang

    berbentuk bingkai kayu (alat: likasan). Hasil gulungan benang ini disebut tukel benang,

    siap dicuci, tiadak atau diberi warna, dan dikasih kanji supaya kuat dan tidak kusut.

    Tukel benang, setelah dicuci dan dijemur, diurai lagi pada kerangk kayu (ingan) dan

    pada akhirnya dipindahkan ke kumparan untuk pakan dan gulungan untuk lungsi.

    Di Desa Kedungrejo, proses tersebut di atas, biasanya dikerjakan oleh nenek dan

    cucu perempuannya, sekaligus menurunkan keahliannya. Sementara memasang benang

    lungsi ke alat tenun (maneni) biasanya dikerjakan oleh perempuan yang lebih dewasa,

    di bawah pengawasan ibu mereka yang lebih berpengalaman. Tapi sekaraang ini,

    24

  • kegiatan memintal dilakukan anak-anak perempuan sepulang sekolah, di antara aktifitas

    mengerjakan PR dan membantu ibu merekan mengurus rumah tangga.

    Gambar: Dua jantra yang ada di Sanggar Batik H.M. Sholeh

    3.2. Menenun

    Pekerjaan menenun merupakan pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan serta

    tenaga yang tidak sedikit. Seorang penenun dapat mengerjakan paling panjang 2 meter

    dalam sehari jika tidak mengalami gangguan dalam pengerjaannya, sebab biasanya

    setiap saat harus berhenti untuk mengurusi kebutuhan rumah tangga, karena biasanya

    memang sebagai kerja sambilan wanita di desa.

    Memasang benang lungsi (maneni) ke alat tenun ini sebenarnya adalah tugas

    seorang perempuan yang sudah menikah. Namun sekarang ini karena usia menikah

    makin bertambah, maka untuk kain yang bukan diperuntukkan sebagai perangkat

    upacaya tradisional, tugas ini bisa juga dilakukan oleh perempuan yang sudah akil balik.

    Dibutuhkan pengalaman yang cukup banyak untuk menyelesaikan pekerjaan ini dengan

    baik. Biasanya satu atau dua orang akan ikut membantu, duduk berhadapan denganalat

    tenun dan memasukkan benang satu demi satu, dari satu ujung ke ujung lainnya, bolak-

    balik sepanjang alat tenun, sampai selesai.

    Alat tenun gedhog adalah alat tenun yang tidak permanen, bisa dipindahkan

    kapan dan ke mana saja, biasanya diletakkan di lantai. Komponen alat ini sangat

    25

  • sederhana, hanya terdiri dari apit, suri, liro, gun, usek, gligen, gedheg, dan por yang

    menjepit si penenun dengan apit terhubung tali sumbi di kedua sisinya. Gedheg

    dipasang sebagai penahan di ujung alat tenun sekaligus sebagai gulungan benang

    lungsi, sedangkan apit merupakan tempat gulungan bagian yang telah ditenun. Seiring

    dengan proses menenun, gulungan benang lungsi di gebheg, sedikit demi sedikit dibuka

    sementara bagian yang telah ditenun digulung di apit. Adanya suri di ujung alat tenun

    menandakan kain yang dikerjakan bukanlah berbentuk selongsong dengan lungsi

    bersinambung, melainkan selembar kain yang ujungnya tidak bertemu, artinya

    berbentuk persegi.

    Di daerah Kerek kapas ini dapat dibeli di pasar Kerek saat hari pasaran yaitu hari

    Senin atau Jumat. Kemudian kapas ini dikeringkan serta diurai baru setelah kering

    diantih atau dipintal menjadi benang dengan alat yang namanya ingan. Setelah

    dirasa cukup panjang benang yang dihasilkan digulung dalam jantra hingga menjadi

    gulungan benang yang siap ditenun. Sebelum ditenun benang dilumuri kanji supaya

    padat dan tidak mudah putus.

    Pada tahap berikutnya adalah nyucuk atau memasukkan benang satu-persatu

    pada suri atau sisir yang terbuat dari bambu sepanjang 60 cm atau 90 cm, kemudian

    memasang benang tersebut pada alat tenun gedhok. Setelah lusi terpasang kemudian

    alat yang disebut teropong diisi benang (pakan). Pakan ini kemudian ditenunkan

    sehingga terbentuk anyaman atau tenunan benang sedikit demi sedikit membentuk

    lembaran kain. Untuk merapatkan pakan yang satu dengan lainnya benang pakan

    digedhok dengan bambu panjang yang disebut blero atau balero

    26

  • 27

    Gambar: Alat tenun gedhog

    Ukuran kain tenun ini ada dua macam, yaitu untuk sayut atau selendang

    berukuran lebar 52 cm - 60 cm, sedang untuk kain jarit berukuran lebar 90 cm dan

    panjangnya dapat mencapai 250 cm - 270 cm. Setelah selesai ditenun kain tersebut

    lalu dilepas dari alat tenun. Untuk sayut masih harus dikerjakan lagi bagian atas dan

    bawahnya yaitu dengan merenda sisa-sisa benang lusi menjadi hiasan berupa rumbai-

    rumbai, caranya dengan dipintal membentuk segi tiga atau segi empat kecil, baru

    kemudian sayut siap dibatik.

    Ada beberapa hasil tenun yang khusus disiapkan untuk motif tertentu pada batik

    gedhok, yaitu tenun jenis jangan menir dan kedele kecer untuk motif batik cuken,

    satriyan, kijing miring, dan jenis tenun krompol untuk motif batik krompol. Tenun

    tersebut terdapat garis-garis yang membentuk kotak-kotak kecil.

    3.3. Membatik

    Dalam proses pembatikan batik gedhok tidak jauh dengan proses pembatikan

    pada kain mori seperti di daerah-daerah lain. Hanya saja para perajin batik gedhok

    dalam menggambarkan motif-motif secara langsung tanpa memerlukan sketsa atau

    gambar pembantu dengan pensil, sebab gambaran motif sudah dihafal di luar kepala.

    Pengerjaannya dimulai dari tepi terus berkembang memenuhi semua kain dengan

    motif-motif yang dikehendaki.

    Keunikan batik gedhok ini adalah warna cecekannya berwarna gelap, tidak

    seperti warna cecekan pada batik tulis dari daerah lain yang biasanya warna

    cecekannya putih kain (warna dasar). Hal ini karena batik gedhok ini tidak

    menggunakan canting cecek, tetapi menggunakan duri jeruk untuk menusuk kain yang

    sudah ditutup malam, sehingga bekas tusukan kemasukan zat warna, maka membekas

    menjadi cecekan yang berwarna gelap.

    Setelah selesai menggambarkan motif pada kain, kemudian kain dicelup untuk

    diberikan warna. Ada dua cara dalam pewarnaan, yaitu cara tradisional dengan

  • 28

    menggunakan nila (merah), soga (coklat), dan wedel (biru atau hitam) atau dengan

    menggunakan pewarna kimiawi seperti naptol, indigo. Proses pewarnaan dengan

    pewarna tradisional jauh lebih sulit, lama dan harus sering membersihkan untuk

    kemudian direndam kembali. Kualitas pewarna tradisional jauh lebih kuat

    dibandingkan dengan pewarna kimia, hal ini dapat dibuktikan dari hasil pembatikan

    yang sudah berusia lebih dari 70 tahun tetapi masih belum kusam.

    Batik gedhok biasanya tidak mengutamakan banyak warna, kebanyakan jumlah

    warna yang digunakan hanya dua yaitu biru dan merah tua, jika ada yang tiga warna

    itupun hanya pada batik tertentu saja, malah banyak ditemukan batik dengan satu

    warna, misalnya biru atau merah saja.

    Lebih lanjut proses pembatikan dapat dijelaskan sebagai berikut : Sebelum

    memulai kerja kretif (membatik), pembatik harus menyiapkan tempat dan beberapa

    bahan dan alat, di antaranya yaitu:

    1). Kain

    Kain yang akan ditorehkan corak hias bisa putih polos, berwarna atau lurik

    (bercorak gatis-garis) yang sudah siap. Untuk mempersiapkan dan membersikan

    biasanya dilakukan tahap yang disebut Ngetel, tahap perendaman kain untuk

    menghilangkan kanji atau kotoran-kotoran yang menempel dan setelah itu

    dijemur di bawah matahari.

    2). Malam

    Warna malam yang biasa disiapkan disesuaikan dengan jenis kain dan jenis

    pengerjaan. Untuk jenis kain sutra biasanya memakai malam putih. Biasanya

    dua warna untuk membedakan Ngengreng/ lengreng dengan isen-isen agar tidak

    terjadi kelewatan.

  • Gambar: Persediaan malam di Sanggar Batik H.M. Sholeh

    3). Canting

    Canting adalah alat khusus untuk menggambar motif batik di atas kain yang

    berisi cairan lilin atau malam panas untuk membuat motif atau menutup bagian-

    bagian tertentu sesuai dengan pola yang dibuat.

    Gambar: Canting

    Di Sanggar Batik H.M. Sholeh, setiap pembatik diharuskan punya

    canting sendiri-sendiri. Canting yang dimiliki para pembatik bisa lebih dari lima,

    karena tiap jenis pekerjaan akan membedakan pula jenis cantingnya, juga

    berbeda untuk setiap jenis kain yang dibatik.

    29

  • 4). Kompor

    Biasanya kompor kecil karena lebih mudah untuk mengatur suhu malam yang

    diinginkan atau kompor listrik. Tapi di Sanggar Batik H.M. Sholeh, walaupun

    pernah dapat bantuan kompor listrik, tidak ada yang mau memakainya karena

    terkadang bisa menyengat.

    5). Wajan

    Karena mengunakan kompor kecil, wajan yang dipakai sebagai tempat untuk

    memanaskan malam (mencairkan) pun berukuran kecil. Wajan yang dipakai

    seperti wajan yang biasa dipakai oleh penjual serabih.

    Gambar: Dari kiri, wajan yang berisi malam, kompor dan 3 canting

    6). Korek api

    Korek api yang biasa dipakai adalah korek batang. Korek jenis itu dianggap

    lebih efisien, karena digesekkan dan nyala, bisa langsung dipakai untuk

    menyulut sumbu-sumbu kompor.

    7). Minyak tanah

    Sebagai bahan bakar kompor.

    8). Gawangan

    Terbuat dari kayu, bertuknya seperti gawang, berfungsi sebagai tempat untuk

    menyampirkan kain, baik yang ingin dibatik maupun yang sudah selesai proses

    pembatikan.

    9). Tempat atau ruang untuk membatik

    Tempat yang cukup luas dalam proses ini harus tersedia.

    30

  • 3.3.1. Pembatikan

    Setelah semua bahan dan alat juga tempat sudah di siapkan, barulah memulai

    proses penting dalam seni batik, yaitu penorehan corak hias pada kain. Berikut adalah

    tahap-tahap membatik:

    a. Ngengreng/ lengreng

    Adalah proses menorehkan pola corak pada kain dengan menggunakan canting

    yang berisi cairan malam. Untuk pemula, biasanya pola corak digambar terlebih dahulu

    pada kain yang akan dibatik. Sedangkan untuk yang berpengalaman, mereka langsung

    menggambar kain sesuai dengan ingatan. Dan kalau ingin menghasilkan pola corak

    yang hampir sama, biasanya menumpuk kain polos di atas kain batik yang sudah atau

    berpola, kemudian menggambarnya dengan mengikuti pola corak kain yang ada

    dibaliknya.

    Selain itu, mengetahui karakter kain dan peka pada suhu malam juga harus

    dimiliki. Missal untuk kain tenun gedhog, malam yang terlalu tua (panas tinggi) akan

    membuat malam yang ditorehkan merembes lebar dan kalau enom (kurang panas) tidak

    bisa tembus pada sisi satunya. Dan tingkat suhu panas malam yang akan ditorehkan,

    setiap jenis kain akan berbeda.

    Gambar: Pembatik sedang nglengreng

    b. Ngiseni

    Pemberian isen-isen pada bagian dalam pola corak atau di luar pola, berfungsi

    sebagai pelengkap, biasanya berbentuk kecil dan sederhana, misalnya titik-titik, garis.

    31

  • Isen yang masih berkembang sampai saat ini antara lain adalah cecek-cecek, cecek pitu,

    sisik melik, cecek sawut, cecek sawut daun, herangan, sisik, gringsing, sawut, galaran,

    rambutan dan rawan, sirapan, cacah gori.

    32

    Gambar: Remaja perempuan yang sedang memberi isen-isen

    c. Nerusi

    Ini biasanya harus dilakukan karena kain yang dibatik terlalu tebal sehingga

    malam tidak sepenuh merembes pada sisi baliknya. Nerusi adalah membalik kain dan

    membatik sesuai dengan pola corak yang sama dengan sisi yang sudah dibatik.

    Walaupun proses ini tergolong lebih mudah, tapi tetap butuh ketepatan untuk

    menghasilkan garis-garis di kedua sisi bisa sama persis. Untuk kain jenis sutra, mori,

    atau yang tipis lainnya, proses ini tidakdiperlukan karena malam bisa merembes dan

    akan menghasilkan pola corak sama di kedua sisi.

    d. Nemboki

    Yaitu menutup semua pola corak yang tidak akan ikut diwarnai melalui tahap

    pewarnaan pertama dengan malam tebal. Proses ini tergolong yang paling mudah dan

    biasanya dilakukan oleh pembatik pemula atau anak-anak. Dan sesuai dengan rujukan,

    tahap pertama ini disebut pembatikan. Walaupun tergolong muda, menurut pembatik

    profesional, nemboki corak hias yang rumit dan kecil-kecil juga dibutuhkan ketelatenan

    dan ketelitian. Karena sering juga terjadi kelewatan, yaitu masih ada bagian-bagian

    yang belum ditembok dan ini akan merusak corak seusai pewarnaan.

  • 33

    Gambar: Nemboki

    e. Pembabaran

    Setelah tahap pembatikan, tahap-tahap berikutnya adalah tahap penyelesaian

    pembabaran. Tahap ini merupakan tahap pewarnaan pada kain yang sudah diberi pola

    corak.

    1). Persiapan

    Untuk melakukan proses pembabaran, ada beberapa hal penting yang harus

    disiapkan, di antaranya adalah:

    a). Ruang

    Untuk proses pembabaran dibutuhkan tempat yang jauh lebih luas

    dibandingkan tempat untuk proses pembatikan. Tempat yang harus disediakan, di

    antanya yaitu:

    1) Tempat untuk pewarnaan (nyelup dan nyolet)

    2) Tempat untuk menyimpan bahan pewarna

    3) Tempat untuk merendam (warna alam indigo)

    4) Tempat untuk ngetus

    5) Tempat untuk merebus

    6) Tempat untuk membuang air sisa rebusan (untuk endapan malam)

    7) Tempat untuk mencuci

    8) Tempat untuk menjemur

    b). Alat

    Alat yang harus disiapkan, di antaranya:

    1) Kuas dan tempat cairan pewarna (biasanya gelas-gelas plastik) untuk nyolet

  • 34

    2) Bak celup (glondongan)

    3) Tungku pembakaran

    4) Drum atau panci besar untuk merebus (nglorot)

    5) Bak untuk mencuci

    6) Sampiran (tempat untuk menjemur)

    c). Bahan

    Bahan yang perlu disediakan untuk proses pembabaran, yaitu:

    1) Pewarna (alam atau sistetis)

    2) Bahan bakar

    3) Air

    1. Pengerjaan Pewarnaan

    Di workshop Batik Tulis Tenun Gedhog H.M. Sholeh ada dua cara pewarnaan,

    yaitu dengan menggunakan pewarna alam dan pewarna sistetis. Dan di tempat itu ada

    dua teknik mewarnai, yaitu:

    a. Nyelup

    Ini adalah awal dimulainya tahap pembabaran, yaitu menyelupkan kain yang

    sudah di tembok (pembatika) dalam warna yang (kadang) bisa berulang-ulang selama

    berhari-hari sampai mendapatkan nada warna yang diinginkan. Untuk pewarnaan yang

    menggunakan warna alam, proses pencelupan ini akan lebih lama dibandingkan

    pewarna sistetis.

    Proses dibutuhkan orang yang sudah perpengalaman di bidang pewarnaan

    (pencampuran warna) dan juga untuk mngerjaannya. Karena hasil (warna) akan

    menentukan keelokan motif (keserasian).

    b. Nyolet

    Nyolet adalah teknik mewarnai pola cocak dengan cara langsung menorehkan

    warna pada kain, dengan menggunakan kuas. Jika memang terlalu banyak warna yang

    diingikan dan pola corak yang rumit, pewarnaan teknik ini bisa dilakukan tanpa harus

    menutup (nemboki) pola corak sperti pada tahap pembatikan di atas. Atau dengan kata

    lain, bisa langsung memberikan warna pada kain yang sudah di diberikan pola dan atau

    sebelum diberi isen-isen.

  • Pada pewarnaan teknik ini nyolet, warna yang biasa dipakai adalah pewarna

    sintetis (indigosol dan remazol), kerena proses penyerapannya (warna) ke kain lebih

    cepat dibanding memakai pewarna alam yang harus, direndam, direbus dan harus

    mengulang tahap-tahap untuk warna kedua dan seterusnya.

    Gambar: Mewarnai teknik membalurkan warna sistetis (remazol) dengan kuas

    Gambar: Proses mengikat warna dengan lautan waterglass (untuk pewarna remazol

    Setelah pengikatan, kain dimasukkan ke kolam yang berisi air. Diinjak-injak

    dengan maksud untuk membersihkan cairan sisa warna sistetis (remazol dan waterglass)

    yang ada di kain.

    35

  • Gambar: Ibu Ami sedang menginja-injak kain yang baru saja dicelup

    Setelah kain dibersikan dari sisa warna bekas pencelupan dan pengikatan,

    barulah kemudian dilakukan penjemuran yang disebut ngetus.

    Gambar: Ngetos

    Setelah kain meneteskan air (hampir kering), kain dimasukkan ke dalam drum

    yang berisi air mendidih. Ini bertujuan untuk melepaskan malam dari kain, proses ini

    disebut nglorot. Kain yang usai melalui tahap ini, kemudian dicuci untuk membersikan

    sisa-sisa malam yang masih menempel. Setelah bersih, kain akan langsung dijemur di

    bawah terik matahari. Kain kering, lalu diambil, dilipat, dikemas dan dipasarkan. Jika

    masih harus melakukan pewarnaan kedua atau berikutnya, kain yang sudah dicuci

    bersih tidak langsung dijemur di bawah terik matahari. Melainkan kain dijemur di

    tempat yang teduh sampai kering dan lalu tahap-tahap di atas diulang lagi, yaitu mulai

    dari memberi isen-isen, nembok i, sampai nglorot.

    36

  • Gambar: Nglorot

    Gambar: Mencuci kain yang telah direbus (ngorot)

    3.4. Proses Pembuatan Warna Alam

    Pohon Tom (indigo) merupakan bahan dasar untuk membuat warna biru (nila).

    Proses mengolahan bahan ini cukup sederhana, tetapi sangat sensitif. Untuk kemudian,

    dari pohon indigo tersebut diolah menjadi bentuk pasta nila yang bisa digunakan dan

    disimpan dalam jangka waktu yang lama.

    Pohon Tom diambil sebelum matahari terbit, lalu langsung direndam semalam

    dalam bejana besar dengan air yang didapat dari telaga Luwuk, Kedungrejo. Air dari

    dari telaga tersebut dianggap yang paling bagus, karena kualitas air yang buruk dapat

    mengganggu proses fermintasi. Keesokan paginya, bejana disaring, airnya diolah lagi

    37

  • 38

    dan ampas endapannya digunakan sebagai pupuk hijau. Air tom yang telah disaring

    ditambahkan gamping (kapur) dan kemudian dikebur sambil terus membuang busa yang

    timbul. Proses mengebur ini bisa sampai sejam, kegiatan ini biasa dilakukan oleh laki-

    laki.

    Setelah adonan tom-kapur tidak berbusa, diendapkan lagi. Sore harinya, cairan ini

    disaring lagi dengan cara menutup sebuah lubang yang digali dengan kain kasa. Cairan

    ditumpahkan ke atas kain kasa, sehingga endapan terkumpul, sementara air yang

    terbuang mererap dalam tanah. Dan endapan inilah, pasta tom yang digunakan untuk

    mewarnai. Untuk menyimpannya, pasta ini bisa dimasukkan kaleng atau kantong plastic

    dan siap digunakan setiap saat.

    Proses menggukan pasta indigo untuk mewarnai kain adalah sebagai berikut: pasta

    dicampur air, gamping dan gula kelapa. Setelah diaduk sampai rata, didiamkan

    semalam. Keesokan harinya sebelum matahari terbit, kain dicelup, direndam lima belas

    menit, kemudian dijemur ketempat tetuh sampai kering. Proses akan diulang untuk bisa

    menghasilkan warna biru yang diharapkan. Dan untuk menghasilkan warna biru tua,

    cairan tom tersebut bisa ditambahkan akar pohon ketapang.

    Untuk membuat warna merah bata, ada dua resep yang bisa digunakan. Pertama:

    Mencampurkan bubuk kayu tegeran (Cudrania javanensis), sogo jambal (Peltophorum

    ferrugineum), dan kulit kayu tinggi (Ceriops candolleana), dilarutkan dengan air dan

    direbus. Untuk mendapatkan merah yang agak terang bisa ditambahkan kapur, tawas

    untuk merah sedang, dan tunjung untuk merah agak tua.

    Kedua: Dengan merebus kayu tegeran, tunjung, serpihan kayu mahoni, dan kulit

    kayu tinggi sehingga tinggal separuh rebusan yang tertinggal. Hasil rebusan dari kedua

    resep tersebut di atas bisa langsung dibalurkan pada kain yang setelah itu direndam

    dalam air rebusan yang sama.

    Dan untuk menghasilkan warna kuning, bisa merendam kayu tegeran semalam,

    lalu keesokan paginya direbus sampai kental. Saring kemudian ditambahkan tawas.

  • Gambar: Daun tom atau tumbuham indigovero

    Gambar: Persediaan pasta indigo

    Gambar: Menjemur kulit pohon kajaran/ jaranan

    39

  • 40

    3.5. Motif Batik Gedhok

    Motif atau gambaran yang menghiasi kain batik gedhok cukup banyak

    jumlahnya, antara lain : kembang waluh, jemprakan, asem londo, galaran, wal-awil,

    ganggeng, guntingan, krompol, cuken, dan lain-lain. Sayut pada batik gedhok biasanya

    menggunakan ragam hias kembang waluh, guntingan, jemprakan, asem londo, wal-

    awil. Sedangkan kain panjangnya banyak menggunakan ragam hias kembang waluh,

    ganggeng, satriyan, krompol, cuken, kijing miring, dan kenongo uleren. Disamping

    ragam hias tradisional tersebut, saat ini banyak kita jumpai ragam hias baru yang

    dikarang para perajin, seperti ragam hias untuk taplak, bantalan kursi, dan bahkan ada

    ragam hias dengan lambang KB (Bentara Budaya, 1987 : 5).

    Di Kabupaten Tuban penyebaran kerajinan batik gedhok ini ada di beberapa

    kecamatan, seperti kecamatan kota Tuban di Desa Sumur Gung Dukuh Bongkol, di

    Kecamatan Semanding di Desa Mbejagung, dan di Kecamatan Kerek sebagai

    sentralnya di Desa Gaji, Kedungrejo, Margorejo, Karanglo, dan Temayang. Motif

    batik gedhok dari daerah Bongkol mempunyai kemiripan dengan motif batik dari

    daerah Kerek, khususnya dalam penggunaan jenis motif daun-daunan, bunga dan

    burung, yang membedakan hanyalah corak warnanya, batik dari Bongkol biasanya

    berwarna kuning gading pada latarnya, sedang batik Kerek warnanya lebih bersih

    (putih). Hampir semua bahan dasar berupa lawon (kain tenun) yang dibatik di

    kabupaten Tuban berasal dari Kecamatan Kerek, khususnya dari Desa Gaji sebab desa

    tersebut juga merupakan sentral produksi tenun gedhok.

    3.6. Klasifikasi Ragam Hias Batik

    Mengingat banyaknya ragam hias batik di Indonesia dengan variasi corak dan

    perwujudan motifnya serta pengaruh budaya pada masing-masing ragam hias menarik

    minat para ahli ragam hias untuk dianalisis menurut spesifikasinya menjadi suatu

    klasifikasi yang dapat memudahkan dalam mempelajarinya.

  • 41

    Dari beberapa sumber dapat dikemukakan beberapa klasifikasi ragam hias yang

    dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya :

    1. Van Der Hoop, (1949), secara umum mengklasifikasikan ragam hias di Indonesia

    menjadi, a) ragam hias ilmu ukur, b) ragam hias naturalis dalam urutan ilmu hayat

    dari atas ke bawah, jadi mula-mula manusia dan bagian-bagian tubuh manusia,

    kemudian hewan yang lebih tinggi, lalu hewan yang lebih rendah, tanaman, dan

    akhirnya beberapa ragam hias yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu

    golongan tadi.

    Dari penggolongan Van Der Hoop di atas lebih lanjut dapat diuraikan sebagai

    berikut.

    a. Ragam hias ilmu ukur atau geometris, terdiri dari tumpal, pilin, parang, banji

    (meander, swastika, kait, dan kunci), kawung, dan pola kertas tempel.

    b. Ragam hias naturalis atau non-geometris, diantaranya :

    1) manusia dan bagian-bagiannya, termasuk yang sudah distilir, seperti bagian

    dari wajah (mata, hidung, telinga, dsb), topeng, wayang;

    2) hewan yang lebih tinggi atau hewan bersayap termasuk yang sudah distilir,

    seperti burung (phoniks, merak, nuri, ayam, garuda, atau lar garuda, dsb),

    kupu-kupu ;

    3) hewan yang lebih rendah dan hewan darat termasuk yang sudah digubah,

    seperti kerbau, gajah, singa, kuda, ular, kadal, biawak, udang, kerang;

    4) tanaman atau gubahannya, seperti daun, bunga, buah, sulur-suluran, lung-

    lungan, ranting, dan juga jenis tanaman air ;

    5) ragam hias yang tidak termasuk klasifikasi di atas, seperti gunung, awan, api,

    bulan, matahari, ombak, lidah api, batu karang, dsb.

  • 42

    BAB IV

    PEMAHAMAN PERAJIN DAN PEMAKNAAN MOTIF BATIK GEDHOK

    Pendekatan informal peneliti terhadap perajin saat tanya-jawab dengan perajin

    sambil melakukan aktivitas bekerja membatik, diperoleh gambaran bahwa secara

    implisit perajin mengerti motif batik gedhok, karena perajin bisa menggambarkan

    kembali tentang motif yang pernah ia lakukan. Disisi lain perajin tidak memahami

    terhadap ragam motif yang telah diproduksinya, karena yang mereka ketahui adalah ada

    beberapa motif yang laris di pasaran. Perajin juga tidak bisa menjawab pemaknaan

    motif-motif yang ada, yang mereka ketahui adalah nama-nama motif itu ada di sekitar

    lingkungannya, misalnya: Motif Kembang Jeruk, Kembang Randu, Kemiri Kopong,

    Uleren, Kopi Pecah, Kembang Klawuh, Kembang Waluh, Asem Londo, Manuk

    Jemprak, Manuk Guntingan, Manuk Emprit, bahwa nama motif tersebut adalah identik

    dengan tumbuhan dan binatang yang ada di daerah Tuban.

    Keberadaan Tenun Batik Gedhok ditinjau dari historis, maka secara filosofi

    Tenun Batik Gedhok digunakan sebagai tanda mata atau bawaan dalam acara adat

    lamaran yang disebut seserahan (menyerahkan barang bawaan calon pengantin laki-laki

    yang melamar kepada calon pengantin perempuan), jika lamaran laki-laki tersebut

    diterima, maka pengantin perempuan juga membalas dengan batik yang bermotif

    lainnya. Pada masa modern ini, masyarakat sudah tidak lagi menggunakan Tenun Batik

    Gedhok sebagai barang bawaan pada acara lamaran pengantin.

    4.1. Pengenalan Motif dan Startegi Pengembangan

    Kesamaan startegi pengembangan motif serta pengetahuan dan pemahaman

    para pembatik di sentra pembatikan milik H. M. Sholeh dan Ibu Nanik (sebagai sampel

    penelitian) , antara lain:

  • 43

    1. Keduanya senantiasa sama-sama melakukan revitalisasi/ pembaharuan motif

    karena berhubungan dengan peningkatan omset penjualan.

    2. Proses yang digunakan pada Tenun Batik Gedhok didominasi menggunakan

    proses pewarnaan secara kimia, sebagai alasan mengejar target pemesan karena

    dapat dikerjakan dengan waktu lebih singkat, sedangkan penggunaan pewarna

    alami memerlukan waktu yang lama (warna satu dalam pewarna alam

    memerlukan waktu satu minggu).

    3. Rata-tara pengetahuan dan pemahaman para pembatik terhadap motif tradisional

    batik gedhok sangat terbatas. Pengenalan hanya sebatas pada nama dan

    perkitaan gambaran motif, bahkan banyak pula yang mereka tidak mengenalnya.

  • 44

    TABEL I

    Data Pengenalan Motif Tradisional Batik Gedhok di sentra pembatikan milik H. M. Sholeh dan Ibu Nanik

    No Nama Motif

    Batik

    Sentra Pembatikan H.M. Sholeh Sentra Pembatikan Ibu Nanik

    AdaTdk

    AdaKeterangan Pengrajin Ada

    Tdk

    AdaKeterangan Pengrajin

    1. Cuken Hanya diproduksi apabila ada

    pesanan

    Tidak memproduksi, tapi mengenali

    motif

    2. Satriyan Tidak memproduksi, tapi mengenali

    motif

    Tidak memproduksi, tapi mengenali

    motif

    3. Kijing Miring Hanya diproduksi apabila ada

    pesanan

    Tidak memproduksi, tapi mengenali

    motif

    4. Krompol Tidak memproduksi, tapi mengenali

    motif

    Tidak memproduksi, tapi mengenali

    motif

    5. Wal-awil Tidak memproduksi, tapi mengenali

    motif

    Tidak memproduksi, tapi mengenali

    motif

    6. Rengganis Tidak memproduksi, tapi mengenali

    motif

    Tidak memproduksi, tapi mengenali

    motif

  • 45

    7. Gringsing Tidak dikenali Tidak dikenali

    8. Kembang Jeruk Hanya diproduksi apabila ada

    pesanan

    Tidak memproduksi, tapi mengenali

    motif

    9. Kembang Randu Tidak memproduksi, tapi mengenali

    motif

    Hanya diproduksi apabila ada

    pesanan

    10. Kemiri Kopong Hanya diproduksi apabila ada

    pesanan

    Hanya diproduksi apabila ada

    pesanan

    11. Kopi Pecah Hanya diproduksi apabila ada

    pesanan

    Hanya diproduksi apabila ada

    pesanan

    12. Panji Krentil Hanya diproduksi apabila ada

    pesanan

    Hanya diproduksi apabila ada

    pesanan

    13 Panji Serong Hanya diproduksi apabila ada

    pesanan

    Hanya diproduksi apabila ada

    pesanan

    14. Panji Konang Dikenali dan sering diproduksi Dikenali dan sering diproduksi

    15. Panji Ori Dikenali dan sering diproduksi Dikenali dan sering diproduksi

    16. Ganggeng Dikenali dan sering diproduksi Dikenali dan sering diproduksi

    17. Ganggeng

    Klabang Mlaku Dikenali dan sering diproduksi Dikenali dan sering diproduksi

    18. Gedang Secengkeh Motif tidak dikenali oleh pengrajin Motif tidak dikenali oleh pengrajin

  • 46

    19. Kembang Kluweh Dikenali dan sering diproduksi Dikenali dan sering diproduksi

    20. Kembang Waluh Dikenali dan sering diproduksi Dikenali dan sering diproduksi

    21. Dampung Pokak Motif tidak dikenali oleh pengrajin Motif tidak dikenali oleh pengrajin

    22. Asem Londo Dikenali dan sering diproduksi Dikenali dan sering diproduksi

    23. Manuk Jemprak Dikenali dan sering diproduksi Dikenali dan sering diproduksi

  • 4.2. Susunan Motif Batik Gedhok

    Pada bagian ini akan diuraian tentang susunan motif beserta bagian-

    bagiannya, yaitu motif pokok, motif pelengkap dan isen-isen motif, sebagai berikut:

    1. Motif Cuken

    Batik gedhok dengan motif cuken terdiri dari susunan motif yang

    tersusun mengikuti garis horisontal dan vertikal membentuk suatu pola. Dalam

    satu raport terdapat sebuah motif pokok yang ditempatkan dalam kurungan yang

    tersusun dari cecekan dan sekaligus menjadi penghubung antara raport yang

    satu dengan lainnya. Motif pokok cuken berbentuk menyerupai kitiran (baling-

    baling) yang tersusun dari empat bidang segi tiga dan masing-masing segi tiga

    tersusun dari cecekan (cecek enam atau cecek sepuluh). Motif ini tidak memiliki

    motif pelengkap dan isen-isen.

    Motif disusun dengan mengikuti pola pada motif tenun jangan menir atau

    kedele kecer.

    Gbr. Motif Cuken

    2. Motif Satriyan

    47

  • Batik gedhok dengan motif satriyan terdiri dari susunan motif yang

    tersusun mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Tiga motif pokok

    terletak pada sebuah raport masing-masing tersusun dari cecekan (cecek songo)

    membentuk bujur sangkar. Bila melihat ragam hias secara keseluruhan tampak

    seperti susunan bujur sangkar yang berselang seling (Bali : poleng) dan saling

    bersinggungan. Motif ini disusun dengan mengikuti pola pada motif tenun

    "jangan menir atau kedele kecer". Motif ini tidak memiliki motif pokok dan

    isen-isen.

    Gbr. Motif Satriyan

    48

  • 3. Motif Kijing Miring

    Batik gedhok dengan motif kijing miring terdiri dari susunan motif yang

    tersusun mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Motif pokok tersusun

    dari cecekan (cecek sepuluh) dan antara motif pokok yang satu dengan yang

    lainnya tersusun saling bersinggungan. Motif ini memiliki motif yang disusun

    mengikuti pola pada ragam tenun jangan menir atau kedele kecer. Motif ini

    tidak memiliki motif pelengkap dan isen-isen motif.

    Gbr. Motif Kijing Miring

    49

  • 4. Motif Krompol

    Batik gedhok dengan motif krompol terdiri dari susunan motif yang

    tersusun mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Dalam satu raport

    terdiri motif pokok yang tersusun dari cecekan (cecek songo) membentuk suatu

    bujur sangkar yang ditempatkan dalam suatu kurungan yang tersusun tidak

    bersinggungan atau berkaitan serta penyusunannya mengikuti pola pada motif

    tenun krompol. Motif ini tidak memiliki motif pelengkap dan isen-isen.

    Gbr. Motif Krompol

    50

  • 5. Motif Wal-awil

    Batik gedhok motif wal-awil tersusun dari motif mengikuti garis diagonal

    membentuk suatu pola. Motif pokok yang terletak pada satu raport tersusun dari

    dua buah motif banji (meander : T) yang saling berkaitan. Motif ini memiliki

    motif pelengkap dari jenis motif tumbuhan dan hewan yang ditempatkan pada

    lingkaran-lingkaram kecil seperti pada motif ceplok.

    Gbr. Motif Wal-awil

    6. Motif Rengganis

    51

  • Batik dengan motif rengganis memiliki susunan motif yang tersusun mengikuti

    garis diagonal membentuk suatu pola. Motif pokok yang terletak pada satu

    raport dari jenis motif ceplok berupa kitiran mubeng (baling-naling berputar)

    yang ditempatkan dalam kurungan berbentuk segi empat dan disetiap sudut

    kurungan terdapat bidang segi empat yang tersusun dari cecekan (cecek songo),

    kurungan tersebut sekaligus sebagai penghubung antara raport yang satu dengan

    lainnya. Di dalam motif pokok terdapat isen-isen yang berupa lintangan dan

    upan-upan.

    Gbr. Motif Rengganis

    7. Motif Gringsing

    52

  • Batik gedhok dengan motif gringsing terdiri dari susunan motif yang

    disusun mengikuti garis horisontal dan vertical membentuk suatu pola. Motif

    pokok dari jenis motif ceplok berupa bidang segi dua belas yang di dalamnya

    terdapat isen-isen cecekan yang disusun mengikuti bentuk motif pokok dan di

    dalam susunan tersebut terdapat isen-isen lintangan dan cecek papat. Disekitar

    motif pokok terdapat motif pelengkap dari jenis motif ceplok pula dan

    bentuknya lebih kecil dari motif pokok berbentuk segi enam yang sisinya tidak

    sama serta bidang menyerupai segi empat yang terangkai dari delapan buah

    garis setengah lingkaran. Motif pelengkap yang lebih kecil lagi berupa bidang

    segi empat, bentuk daun, waru dan lingkaran yang di dalam tiap motif

    pelengkap terdapat isen-isen berupa cecekan yang tersusun mengikuti bentuk

    motif dan lintangan. Latar pada motif ini dipenuhi oleh cecekan yang disusun

    mengikuti garis-garis lurus.

    Gbr. Motif Gringsing

    8. Motif Kembang Jeruk

    53

  • Batik gedhok dengan motif kembang jeruk memiliki motif yang tersusun

    mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Motif pokok yang

    terletak pada satu raport jenis motif ceplok yang merupakan gubahan

    dari kembang jeruk. Antara motif pokok yang satu dengan lainnya tidak

    saling bersinggungan atau berkaitan. Motif pelengkap pada ragam hias

    ini jenis motif ceplok berupa gubahan bentuk bunga dan cecek pitu.

    Gbr. Motif Kembang Jeruk

    9. Motif Kembang Randu

    54

  • Batik gedhok dengan motif kembang randu terdiri dari susunan motif yang

    tersusun mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Motif pokok pada

    motif ini dari jenis motif ceplok yang merupakan gubahan kembang randu dan

    saling berkaitan dengan motif pelengkap dari jenis ceplok dengan isen-isen

    cecek pitu, lintangan dan angina-angin. Motif pelengkap lainnya jenis banji

    (meander : T). Dalam raport motif pelengkap yang berupa ceplok terpotong

    oleh garis tepi raport dan akan tampak jelas/utuh jika raport tersebut saling

    dihubungkan.

    Gbr. Motif Kembang Randu

    10. Motif Kemiri Kopong

    55

  • Batik gedhok dengan motif kemiri kopong terdiri dari susunan motif

    yang mengikuti garis horisontal dan vertikal membentuk suatu pola. Motif

    pokok yang terletak dalam satu raport sejenis motif ceplok berbentuk lingkaran

    yang tersusun dari cecekan dengan isen-isen sawut dan lintangan yang

    ditempatkan dalam kurungan. Motif pelengkap ragam hias ini jenis motif ceplok

    yang terbentuk dari rangkaian 12 garis setengah lingkaran dengan isen-isen

    lintangan dan angin-angin. Motif pelengkap dalam satu raport akan tampak

    lebih jelas setelah raport tersebut disusun, karena motif pelengkap tersebut

    susunannya terpotong oleh garis tepi raport.

    Gbr. Motif Kemiri Kopong

    11. Ragam Hias Kopi Pecah

    56

  • Batik gedhok dengan motif kopi pecah terdiri dari susunan motif yang

    mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Motif pokok dari jenis motif

    ceplok berupa susunan gubahan biji kopi yang disusun saling bersinggungan.

    Disekitar motif pokok terdapat motif pelengkap berupa cecek pitu, lintangan

    dan angin-angin. Dalam satu raport angin-angin ini terpotong oleh garis tepi

    raport dan akan tampak utuh setelah masing-masing raport disusun.

    Gbr. Motif Kopi Pecah

    12. Motif Panji Krentil

    57

  • Batik gedhok dengan motif panji krentil terdiri dari susunan motif yang

    mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Motif pokok dari jenis ceplok

    berupa gubahan bentuk bunga dengan motif pelengkap berupa cecek pitu,

    angin-angin dan ceplikan. Dalam satu raport motif pelengkap jenis angina-

    angin dan ceplikan terpotong oleh garis tepi raport dan akan tampak utuh

    setelah masing-masing raport utuh.

    Gbr. Motif Panji Krentil

    13. Motif Panji Serong

    58

  • Batik gedhok dengan motif panji serong terdiri susunan motif yang

    mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Motif pokok dari jenis motif

    ceplok berupa gubahan bunga berkelopak empat dengan isen-isen berupa cecek

    pitu dan angin-angin. Disekitar motif pokok terdapat motif pelengkap jenis

    motif banji (meander : T) dan cecek pitu yang ditempatkan dalam kurungan

    bersilang. Dalam satu raport motif pelengkap yang berupa kurungan dengan

    cecek pitu terpotong oleh garis tepi raport, akan tampak utuh setelah masing-

    masing raport disusun.

    Gbr. Motif Panji Serong

    14. Motif Panji Konang

    59

  • Batik gedhok dengan motif panji konang terdiri dari susunan motif yang

    mengikuti garis horisontal dan vertical membentuk suatu pola. Motif pokok dari

    jenis motif ceplok berupa segi dua puluh empat yang disetiap sudut luarnya

    terdapat upan-upan dan didalamnya terdapat isen-isen jenis lintangan, angin-

    angin dan kurungan rangkap. Motif ini memiliki motif pelengkap jenis motif

    ceplok yang lebih kecil (ceplik'an) dan lintangan. Motif pelengkap ini akan

    tampak utuh setelah raport yang satu dengan yang lainnya saling disusun atau

    dihubungkan, sebab kedudukan motif ini terpotong oleh garis tepi raport.

    Gbr. Motif Panji Konang

    15. Motif Panji Ori

    60

  • Batik gedhok dengan motif panji ori terdiri dari susunan motif yang

    mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Dalam satu raport terdapat

    motif pokok dari jenis moti