Pendirian Dilema Kewenangan Pusat dan erah,pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/09/... ·...

2
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 ___~ !.~ ~~ :! !.~ @__:_~ 25 26 27 28 30 Cl Peb 0 Mar Cl Apr C; Me; (--) Jun C': Jul r-;, Ags Sep () Okt Pendirian Rumah Ibadah Dilema Kewenangan Pusat dan Oil erah , T EMPATibadahsejatinya merupakan simbol sakral sebagai medium berlang- sungnya hubungan vertikal anta- ra para penganut agama dengan Tuhan sebagai khalik-nya. Bah- kan bagi agama-agama tertentu, tempat ibadah sangatIah identik dengan agama Sedemikian iden- tiknya, tempat-tempat ibadah yangsecarafisiksebenarnya lebih merupakan ekspresi kultural dan simbolik, seolah telah bertrans- formasi menjadi sebuah identi- tas yangtak terpisahkan dari aga- ma yang bersangkutan. Nuansa transendental yang melekat dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, terasa lebiheksotikmanakala diIakukan di dalam tempat ibadah. Telah menjadi panggilanjiwa dan batin bagisetiappemelukagama untuk bisa menjalankan ibadahnya di "tempat Tuhan". Sejalan dengan itu, gempita soal pendirian ru- mah ibadah, telah menjadi tren dikalangan umat beragama, khu- susnya di Indonesia. Pola-pola pendirian temp at ibadah memiliki karakteristik yang berbeda-beda antara mas- ing-masing agama. Jika umat Is- lam cenderung mendirikan mas- jid dengan cara sistematis sesuai dengan persebaran geografis umatnya, maka lain lagi dengan umat agama yang lain, khusus- nya umat Kristiani. Mereka cen- derung mendirikan tempat iba- dahnya (gereja) tidak berdasar- kan pertimbangan geografis na- mun lebih kepada keberadaan para penganutnya yang berada di suatu daerah, sesuai dengan aliranfkredonyamasing-masing, meskipun terkadangjumlahnya tidaklah signifikan. Akibatnya, banyak bangunan yang "disalah- gunakan" sebagaitempat ibadah. Misalnya, rumah-rumah pendu- duk, ruko, hotel, dan sebagainya. Inilah yangkemudian sering me- mantikkegundahan masyarakat awam dan berpotensi menim- bulkan gesekan-gesekan sosial. Berdasarkan laporan Setara Institute, sejak memasuki tahun 2010, eskalasi penyerangan ter- hadap rumah ibadah, khususnya terhadap jemaat Kristiani terus meningkat dibandingkan pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2008, terdapat rz tindakan: pa- da tahun 2009, terdapat 18tin- dakan pelanggaran yang menya- sarjemaal Kristianidalam berba- gai bentuk. Tahun 2010, hingga bulan JuIi tercatat 28 peristiwa pelanggaran kebebasan beraga- mafberkeyakinan. Mengapa ka- sus seperti itu terus terjadi, pada- ha!negara katanya menjamin ke- bebasan beribadah? Problem tempat ibadah di Indonesia sejatinya adalah prob- lem klasik yang sering memicu ketegangan antarumat beraga- ma. Di sejumlah daerah, prob- leminiseringmuncul dalamben- tuk konflikmenyangkut pendiri- an rumah ibadah, kemudian ter- kait perizinan, dan yang tidak ka- lah banyak adalah kontlik dalam bentuk penyerangan atau peru- sakan rumah ibadah agama ter- tentu oleh umat agama lain. Hingga saat ini, sederet masalah tersebut tidak pernah be-nar-be- nar selesai. SebaIiknya, hal ini terus menjadi konflik laten yang setiap saat bisa muncul sebagai akibat dari ketidakpahamam ter- hadap tradisi agama lain. Ketidakpahaman akan tradisi agama lain initelah mereproduk- si konflik dan kesalahpahaman antaragama, karena dari sinilah muncul prasangka, kecurigaan yang berlebihan, dan penolakan untuk mengakui keragaman ke- yakinan dengan tulus. Sebagian besarpemelukagama menyadari bahwa tempat ibadah adalah si- Kliping Humas Unpad 2010 Oleh: GalihImaduddin tus suciyang harus diperlakukan berbeda dari bangunan pada umumnya. Bahkan, mayoritas umat beragama meyakini tem- pat ibadah adalah tempat paling otoritatif untuk menyembah Tu- han, sehingga disebut "rumah Tuhan". Apa pun dapat diperta- ruhkan demi memeIihara kesu- cian tempat ibadah. Sayangnya, pemahaman se- perti inikurang diiringi kerenda- han hati untukmenerima pema- haman yang sama pada orang lain yang berbeda agama. Ke- inginan untuk melindungi kesu- cian tempat ibadah sendiri jus- tru dibarengi sikap agresif, baik terhadap tempat ibadah agama lain maupun kepada internal aga- ma tersebut, seperti pada penye- rangan MasjidAhmadiyah di Ka- bupaten Kuningan beberapa bu- lan yang lalu. Akhirnya, mana- kala konflik tempat ibadah mun- cul, yang mengemuka adalah cara-cara penyelesaian yangjauh dari paradigma kedamaian dan salingmenghargai, sebagaimana diajarkan oleh agama itu sendiri. Kajiulang Peliknyapersoalan rumah iba- dah ini akan berpengaruh terha- dap hubungan antarumat bera- gama secara lebih luas dan tentu akan mengganggu stabilitas yang sangat dibutuhkan pemerintah dalam mendorongpertumbuhan ekonomi. Jika diusut lebihjauh, akar permasalahan penyalahgu- naan tempat ibadah ini berawal dari Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri DalamNegeriNo. 01/ BER/mdn- mag/1969 tentang pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengem- bangan dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeluknya. Pemerin-

Transcript of Pendirian Dilema Kewenangan Pusat dan erah,pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/09/... ·...

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15___~ !.~ ~~ :! !.~@__:_~25 26 27 28 30

Cl Peb 0Mar Cl Apr C; Me; (--) Jun C': Jul r-;, Ags • Sep () Okt

Pendirian Rumah Ibadah

Dilema Kewenangan Pusat dan Oil erah,

T EMPATibadahsejatinyamerupakan simbol sakralsebagai medium berlang-

sungnya hubungan vertikal anta-ra para penganut agama denganTuhan sebagai khalik-nya. Bah-kan bagi agama-agama tertentu,tempat ibadah sangatIah identikdengan agama Sedemikian iden-tiknya, tempat-tempat ibadahyang secara fisiksebenarnya lebihmerupakan ekspresi kultural dansimbolik, seolah telah bertrans-formasi menjadi sebuah identi-tas yang tak terpisahkan dari aga-ma yang bersangkutan.Nuansa transendental yang

melekat dalam hubungan antaramanusia dengan Tuhan, terasalebih eksotikmanakala diIakukandi dalam tempat ibadah. Telahmenjadi panggilanjiwa dan batinbagi setiap pemelukagama untukbisa menjalankan ibadahnya di"tempat Tuhan". Sejalan denganitu, gempita soal pendirian ru-mah ibadah, telah menjadi trendikalangan umat beragama, khu-susnya di Indonesia.Pola-pola pendirian temp at

ibadah memiliki karakteristikyang berbeda-beda antara mas-ing-masing agama. Jika umat Is-lam cenderung mendirikan mas-jid dengan cara sistematis sesuaidengan persebaran geografisumatnya, maka lain lagi denganumat agama yang lain, khusus-nya umat Kristiani. Mereka cen-derung mendirikan tempat iba-dahnya (gereja) tidak berdasar-kan pertimbangan geografis na-mun lebih kepada keberadaanpara penganutnya yang beradadi suatu daerah, sesuai denganaliranfkredonyamasing-masing,meskipun terkadangjumlahnyatidaklah signifikan. Akibatnya,banyak bangunan yang "disalah-gunakan" sebagai tempat ibadah.Misalnya, rumah-rumah pendu-duk, ruko, hotel, dan sebagainya.

Inilah yang kemudian sering me-mantikkegundahan masyarakatawam dan berpotensi menim-bulkan gesekan-gesekan sosial.Berdasarkan laporan Setara

Institute, sejak memasuki tahun2010, eskalasi penyerangan ter-hadap rumah ibadah, khususnyaterhadap jemaat Kristiani terusmeningkat dibandingkan padatahun sebelumnya. Pada tahun2008, terdapat rz tindakan: pa-da tahun 2009, terdapat 18 tin-dakan pelanggaran yang menya-sar jemaal Kristianidalam berba-gai bentuk. Tahun 2010, hinggabulan JuIi tercatat 28 peristiwapelanggaran kebebasan beraga-mafberkeyakinan. Mengapa ka-sus seperti itu terus terjadi, pada-ha! negara katanya menjamin ke-bebasan beribadah?Problem tempat ibadah di

Indonesia sejatinya adalah prob-lem klasik yang sering memicuketegangan antarumat beraga-ma. Di sejumlah daerah, prob-lem ini seringmuncul dalam ben-tuk konflikmenyangkut pendiri-an rumah ibadah, kemudian ter-kait perizinan, dan yang tidak ka-lah banyak adalah kontlik dalambentuk penyerangan atau peru-sakan rumah ibadah agama ter-tentu oleh umat agama lain.Hingga saat ini, sederet masalahtersebut tidak pernah be-nar-be-nar selesai. SebaIiknya, hal initerus menjadi konflik laten yangsetiap saat bisa muncul sebagaiakibat dari ketidakpahamam ter-hadap tradisi agama lain.Ketidakpahaman akan tradisi

agama lain ini telah mereproduk-si konflik dan kesalahpahamanantaragama, karena dari sinilahmuncul prasangka, kecurigaanyang berlebihan, dan penolakanuntuk mengakui keragaman ke-yakinan dengan tulus. Sebagianbesarpemelukagama menyadaribahwa tempat ibadah adalah si-

Kliping Humas Unpad 2010

Oleh: Galih Imaduddintus suci yang harus diperlakukanberbeda dari bangunan padaumumnya. Bahkan, mayoritasumat beragama meyakini tem-pat ibadah adalah tempat palingotoritatif untuk menyembah Tu-han, sehingga disebut "rumahTuhan". Apa pun dapat diperta-ruhkan demi memeIihara kesu-cian tempat ibadah.Sayangnya, pemahaman se-

perti ini kurang diiringi kerenda-han hati untukmenerima pema-haman yang sama pada oranglain yang berbeda agama. Ke-inginan untuk melindungi kesu-cian tempat ibadah sendiri jus-tru dibarengi sikap agresif, baikterhadap tempat ibadah agamalainmaupun kepada internal aga-ma tersebut, seperti pada penye-rangan MasjidAhmadiyah di Ka-bupaten Kuningan beberapa bu-lan yang lalu. Akhirnya, mana-kala konflik tempat ibadah mun-cul, yang mengemuka adalahcara-cara penyelesaian yangjauhdari paradigma kedamaian dansalingmenghargai, sebagaimanadiajarkan oleh agama itu sendiri.

KajiulangPeliknya persoalan rumah iba-

dah ini akan berpengaruh terha-dap hubungan antarumat bera-gama secara lebih luas dan tentuakan mengganggu stabilitas yangsangat dibutuhkan pemerintahdalam mendorongpertumbuhanekonomi. Jika diusut lebihjauh,akar permasalahan penyalahgu-naan tempat ibadah ini berawaldari Surat Keputusan BersamaMenteri Agama dan MenteriDalamNegeriNo. 01/ BER/mdn-mag/1969 tentang pelaksanaantugas aparatur pemerintahandalam menjamin ketertiban dankelancaran pelaksanaan pengem-bangan dan ibadat agama olehpemeluk-pemeluknya. Pemerin-

tab memangtelah membuatatu-ran pengganti yang secara khususmengaturmasalah tempat ibadahyakni Peraturan Bersama MenteriAgamadan Menteri DalamNegeriNomor 8 dan 9 Tahun 2006. At-uran inilah yang menjadi pedo-man pemerintah, termasuk pe-merintab daerah, dalam menye-lesaikan persoalan rumah ibadahyang muncul.

Aturan ini dimaksudkan un-tuk memperbaiki sejumlah kele-mahan aturan sebelumnya yangdinilai masih membuka peluangmunculnya kontlik. Aturan ini,misalnya, membuat persyaratanyang lebih rinei dalam prosespendirian rumah ibadah, seper-ti adanya persyaratan khususyang dalam aturan sebelumnyatidak ada. Hal ini dimaksudkanagar rumah ibadah yang telahberdiri tidak menjadi persoalandi kemudian hari.

Aturan ini sebenarnya memili-ki sisipositifkarena memberi ru-ang lebih besar kepada masya-rakat untuk mengelola persoalanhubungan antaragama yang me-reka hadapi tanpa campurtanganyang terlalu besar dari pemerin-tab. Wujud dariha!iniadalah den-ganpembentukan Forum Keruku-nan Antarumat - Beragama(FKUB)ditiapdaerah.Foruminipula yang berwenang memberirekomendasiapakahsuaturumahibadah bisa di-dirikan atau tidak.Artinya, negara telah berkomit-men untuk tidak menceburkandiri terlalujauh dalam bidang-bidarig teknis keagamaan.

Aturan ini pun kemudian se-lalu dijadikan pedoman oleh apa-ratur pemerintah daerah. Hal.yang samajuga dilakukan olehWali Kota Bekasi dalam menen-gahi persoalan antaragama diwilayahnya, setelah terjadinyapenyerangan kepada jemaatgereja HKBP Pondok Timur In-

dah oleh sekelompok orang saat. hendak melangsungkan kebak-tian di Kampung CiketingAsem,Bekasibeberapa waktu yang lalu.Ketika dihadapkan pada soalotonomi daerah, yang berartidaerah berwenanguntukrnemu-tuskan perihal yang terbaik un-tuk daerahnya, alasan yang dike-mukakan adalah persoalan aga-ma masih menjadi kewenanganpemerintah pusat. Ini memangdilema yang bisa menimbulkankegamangan di kalangan apara-tur pemerintah daerah.

Yang jelas, setiap produk hu-kum ataupun peraturan yangdibuat pemerintah semestinyatidak boleh mengabaikan aspek-aspek sosio-kultural yang ber-kembang pada suatu komunitastertentu pada masyarakat dimana peraturan itu akan diber-lakukan, terlebih lagi menyang-kut isu yang sensitif sepertipendirian tempat ibadah. Sosial-isasi yang lebih gencar mengenaiaturan baru ini semestinya dap-at mencegah munculnya be-ragam interpretasi, baik oleh pe-merintah daerah maupun ma-syarakat.

Oleh karena itu, selain peru-musan ulang terhadap sejumlahpasal,juga dibutuhkan kajian ter-hadap efektivitaspenerapan per-aturan bersama itu selama em-pat tabun terakhir ini. Bercerminpada berbagai kontlikyang masihmuncul, terutama terkaittempatiba-dah, sudah saatnya pemer-intab danjuga masyarakat dudukbersama membicarakan hal inisecara lebih komprehensif. Inipenting karena tampaknya hal-hal menyangkut bidang keaga-maan tidak bisa lagi semata-ma-ta menjadi urusan pusat, namunharus didelegasikan ke tanganpemerintah daerah. (Penulis,alumnusmagister DmuPoH-tik FISIP Unpad)**