Pendidikan Melalui Seni (Kria) -...
Transcript of Pendidikan Melalui Seni (Kria) -...
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 1
Pendidikan Melalui Seni Kria
Oleh
Zakarias S. Soeteja*)
Seni Kependidikan dan non kependidikan
Pendidikan melalui seni (education through arts) pada judul
tulisan ini pada dasarnya merujuk pada konsepsi art education atau lebih
dikenal sebagai seni yang digunakan dalam pendidikan atau seni sebagai
sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Seni dalam kategori ini
dikenal juga dengan istilah seni kependidikan, untuk membedakannya
dengan kegiatan seni non kependidikan. Walaupun istilah yang terakhir
lebih dikenal dikalangan perguruan tinggi eks IKIP yang berubah bentuk
menjadi Universitas, dimana perubahan ini membawa konsekuensi
pembukaan program studi non kependidikan. Istilah non kependidikan
mungkin tidak terlampau tepat, karena memberikan kesan seolah-olah
tidak bersifat mendidik padahal bagaimanapun juga penyelenggaranya
tetap melalui suatu proses pendidikan. Istilah non kependidikan ini
sebenarnya lebih tepat untuk menunjukkan posisi materi dan proses
pembelajaran yang tidak mempersiapkan peserta didiknya untuk menjadi
seorang pendidik (guru).
Selanjutnya dalam tulisan ini, istilah seni kependidikan akan
digunakan untuk menggantikan istilah pendidikan seni yang merujuk
pada praktek pembelajaran seni dalam institusi pendidikan yang
berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan secara umum. Dengan
demikian nama cabang seni yang ditambahkan pada istilah seni
kependidikan seperti seni rupa kependidikan, seni kria kependidikan,
seni tari kependidikan atau seni musik kependidikan, secara otomatis
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 2
menunjuk pada praktek pembelajaran seni seperti telah disebukan di
atas. Banyak pihak, khususnya ahli pendidikan dalam bidang seni,
mungkin kurang setuju dengan istilah “seni kependidikan” yang
digunakan dalam tulisan ini karena istilah “pendidikan seni” yang
dipadankan dari istilah “art education”dalam bahasa Inggris lebih umum
digunakan sebagai nama bidang studi atau kajian yang menunjukkan
praktek pembelajaran seni dalam dunia pendidikan.
Berkenaan dengan pokok bahasan dalam tulisan ini tentang
pendidikan melalui seni kria, maka seni kria kependidikan yang dimaksud
tidak lain adalah seni kria yang digunakan dalam praktek pendidikan
(pembelajaran) di sekolah umum sebagai sarana atau alat (tolls) untuk
mencapai tujuan pendidikan secara umum. Hal ini harus dibedakan
dengan tujuan penyelenggaraan pendidikan seni kria di sekolah-sekolah
kejuruan yang secara tegas mengupayakan lulusannya menjadi tenaga
ahli dalam salah satu bidang kekriaan. Sebagai sebuah alat (tolls) atau
sebagai medium untuk mencapai tujuan pendidikan secara umum, seni
kria kependidikan ini pada dasarnya lebih digunakan untuk
mengembangkan potensi kepribadian dan kecerdasan emosional peserta
didik dari pada potensi keterampilan berkarya seninya an sich. Dengan
kata lain dalam penyelenggaraannya di sekolah umum, para pendidik
lebih menekankan pada proses pembelajaran dari pada hasil.
Posisi ini secara paradigmatik mungkin saja menimbulkan
perdebatan bahkan di kalangan ahli pendidikan seni sekalipun. Hal in
terbukti dengan munculnya pandangan yang sedikit bertentangan
berkaitan dengan tujuan penyelenggaraan praktek pendidikan seni di
sekolah umum. Para penganut DBAE (Discipline Base Art Education)
menganggap penekanan pada pengembangan kepribadian dan kecerdasan
emosi peserta didik semata akan melemahkan perkembangan atau
mereduksi esensi seni sebagai sebuah disiplin ilmu. Perbedaan
pandangan ini tentunya berpengaruh terhadap bentuk penyeleng-
garaannya di sekolah. Menurut mereka pendekatan untuk
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 3
mengembangkan potensi kepribadian dan kecerdasan emosional jangan
sampai mengabaikan upaya untuk mempelajari disiplin ilmu seni.
Chapman (1978:17) mengemukakan pentingnya mempelajari ilmu
seni rupa di samping tujuan pengembangan pribadi. Para penganut
pendekatan ini berkeyakinan bahwa disiplin ilmu seni perlu di kuasai
oleh siswa dengan pendekatan yang sistematis. Isi pendekatan disiplin
seni kemudian diarahkan pada empat disiplin utamanya yaitu estetika,
sejarah, dan kreasi seni. Kurikulum yang digunakan disusun secara
sistematis dan berkelanjutan serta mengacu pada konteks lokal. Melalui
pendekatan ini anak diharapkan mampu menyerap dan menanggapi
berbagai aspek seni, mengapresiasi seni sebagai bentuk pengalaman
manusia yang penting, berkarya seni, memahami persoalan seni serta
menilai kualitas artistik.
Penyelenggaraan seni kependidikan di Indonesia bagaimanapun
juga dipengaruhi pemikiran pendekatan-pendekatan di atas. Sejak awal
penyelenggaraan praktek seni dalam pendidikan modern di Indonesia,
secara filosofis, penyusunan kurikulum seni kependidikan mengikuti
perkembangan tersebut. Khususnya seni rupa, praktek pembelajaran seni
kependidikan ini sangat diwarnai filosofi atau paragdima Seni Rupa
Modern Barat. Hal ini tidak bisa disalahkan karena sebagian besar pakar
(ahli seni dan pendidik seni) penyusun kurikulum seni rupa kependidikan
dibesarkan dalam tradisi ini. Walaupun dalam realitanya pelaksanaan di
sekolah nyaris tidak berubah secara signifikan. Para pendidik lebih
disibukkan dengan pengaturan materi dan alokasi jam pelajaran.
Pertanyaan mendasar, terlepas dari pendekatan apa yang dominan
dalam penyusunan kurikulum seni kependidikan ini, adalah untuk apa
dan mengapa seni diajarkan di sekolah umum? Jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan inilah yang pada akhirnya mempengaruhi paradigma para
penyusun kurikulum seni kependidikan, para pendidik seni dan praktek
pembelajaran seni yang mereka lakukan sehari-hari di sekolah.
Berdasarkan jawaban ini pulalah kita dapat melihat keunikan (kalau
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 4
tidak mau disebut kerancuan) posisi seni kria dalam peta pendidikan
umum di Indonesia.
Kerajinan, Keterampilan dan Kria
Dalam perjalanan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia,
istilah ”kerajinan”, ”keterampilan” dan terakhir ”kria” muncul dengan
makna yang relatif berbeda tetapi dengan beberapa praktek yang nyaris
tidak berbeda bahkan persis sama. Persis seperti semboyan the three
muskaterrs ”one for all, all for one”, ketiga aspek tersebut ada dalam
praktek Seni Kria Kependidikan (SKK). Lihat saja judul mata pelajaran
Seni Budaya dan Keterampilan (SBK) di Sekolah Dasar dalam kurikulum
2006 atau Kerajinan Tangan dan Kesenian (Kertakes/KTK) dalam
kurikulum 1994. “Kerajinan Tangan” berubah menjadi “Keterampilan”
dan “Kesenian” menjadi “Seni Budaya”. Pada tingkat sekolah menengah
(SMP dan SMA) posisi ini dipisahkan dalam dua mata pelajaran yang
berbeda yaitu mata pelajaran Seni Budaya dan mata pelajaran
Keterampilan. Jika pada tingkat SD antara keterampilan dan kesenian
seolah olah menjadi satu kesatuan, pada tingkat sekolah menengah
justru dipisahkan. Anehnya, beberapa materi dalam kesenian juga
terdapat dalam mata pelajaran keterampilan. Dalam mata pelajaran
keterampilan tersebut beberapa praktek atau materi yang terdapat
dalam mata pelajaran kesenian di sebut juga sebagai kerajinan. Dalam
kurikulum sebelumnya bahkan muncul pula istilah ”prakarya” yang
maknanya kurang lebih sama dengan kerajinan tangan.
Perbedaan orientasi menjadi salah satu sebab mengapa sebuah
materi pelajaran terdapat dalam dua mata pelajaran yang berbeda. Yang
satu lebih menekankan pada aspek apresiasi dan ekspresi sedangkan yang
lainnya lebih menekankan pada aspek keterampilan (vokasional).
Walaupun demikian, pada kenyataanya kesan tumpang-tindih dalam
prakteknya tetap terjadi. Kondisi ini bisa jadi merugikan bagi
perkembangan kria tetapi sekaligus juga menguntungkan. Dari segi
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 5
pemahaman mungkin saja membingungkan, tetapi dari segi praktek
justru menguntungkan karena alokasi waktu yang tersedia menjadi lebih
banyak. Atau sebaliknya dari segi pemahaman mungkin menguntungkan
karena disampaikan dalam dua mata pelajaran atau lebih, tetapi dari
segi praktek justru merugikan karena guru mereduksi hanya pada satu
mata pelajaran saja.
Harus diakui kondisi ini tidak terlepas dari tumbuh dan
berkembangnya konsep seni, kria dan kerajinan yang digunakan oleh
para pakar penyusun dan pengembang kurikulum seni kependidikan.
Bagaimana tidak, sebagian dari para pakar tersebut adalah juga para
praktisi dan ilmuwan yang dalam kesehariannya memiliki paradigma yang
berbeda terhadap ketiga konsepsi tersebut. Hal ini tidak dapat
disalahkan karena wacana yang melingkupi ketiga konsep tersebut sangat
terbuka untuk reinterpretasi. Dengan demikian tidaklah mengherankan
jika kita membaca naskah kurikulum seni kependidikan saat ini juga
sangat terbuka untuk ditafsirkan dan dikembangkan oleh guru.
Pengaruh pemikiran posmodern dalam dunia seni rupa yang
mendorong tumbuh dan berkembangnya pemikiran dan praktek seni rupa
Kontemporer menjadi salah satu faktor penting yang menyebabkan
konsepsi seni, kria dan kerajinan menjadi sangat terbuka. Berbagai
konsepsi memungkinkan untuk diterima atau ditolak secara argumentatif
logis bahkan secara intuitif sekalipun. Dalam berbagai seminar tentang
kria, perbedaan cara penulisan ”kria” dengan ”kriya”, perbedaan
penafsiran terhadap istilah ”kria” dengan ”kerajinan tangan”, ”seni
kria” dengan ”kria seni”, ”seni rupa Kontemporer” dengan ”kria
Kontemporer” adalah beberapa contoh peristilahan yang tidak kunjung
usai diperdebatkan. Padahal jawabannya seringkali sangat sederhana,
seperti pembedaan cara penulisan ”kria” dan ”kriya”, konon hanya
karena istilah ”kria” dianggap lebih irit dalam menggunakan huruf(?).
Dalam pembelajaran praktek seni kria di sekolah, perbedaan
paradigma dan konsepsi tentang kria ini mungkin tidak terlalu
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 6
mengemuka, tetapi dalam pembelajaran teori (apresiasi), perbedaan ini
menimbulkan dilematis bagi para guru yang menyampaikannya. Jika
disampaikan dikhawatirkan akan membingungkan peserta didik (karena
sebagian gurunya juga tidak paham), tidak disampaikan juga tidak
mungkin karena menjadi kewajiban materi dalam kurikulum. Sebagai
contoh adalah materi kria keramik, kria batik dan kria anyam. Ketiga
materi ini kerap muncul dengan bentuk yang nyaris sama dalam
pembelajaran seni rupa maupun keterampilan atau kerajinan.
Bagi para pendidik seni di sekolah, perbedaan pengertian
terhadap istilah-istilah tersebut sebenarnya dapat dijembatani dengan
domain yang menjadi tujuan pembelajarannya. Jika mata pelajaran
keterampilan lebih menekankan pada aspek psikomotor maka pelajaran
seni rupa (seni budaya) seyogianya lebih menekankan pada aspek kognitif
dan afektif. Artinya, kegiatan praktek dalam pembelajaran seni rupa
pada dasarnya lebih ditujukan untuk meningkatkan dan mendorong
potensi diri siswa di kedua wilayah tersebut. Hal ini sesuai dengan asumsi
dan konsepsi pendidikan melalui seni yang tidak menuntut siswa untuk
menjadi seorang perupa profesional. Adapun pengembangan minat dan
bakat seni rupa yang dimiliki siswa dapat dilakukan dalam kegiatan
kokulikuler atau ekstra kulikuler.
Pendidikan dan Seni Kria
Seperti telah diuraikan di atas, melihat kesejajaran konsepnya
dengan konsep seni kependidikan secara umum, maka seni kria
kependidikan pada hakekatnya merupakan proses pembentukan manusia
melalui seni kria. Pendidikan secara umum berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan setiap siswa (peserta didik) menemukan
pemenuhan dirinya (personal fulfillment) dalam hidup, untuk
mentransmisikan warisan budaya, memperluas kesadaran sosial dan
sebagai jalan untuk menambah pengetahuan. Tujuan seni kria
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 7
kependidikan seyogianya sejalan dengan fungsi dari pendidikan secara
umum tersebut. Program seni kria kependidikan di sekolah memfasilitasi
siswa menyediakan peluang untuk pemenuhan dirinya melalui
pengalaman apresiasi dan berkarya seni kria berdasarkan sesuatu yang
dekat dengan kehidupan dan dunianya (dunia siswa). Melalui seni kria
kependidikan, siswa dapat melakukan studi tentang warisan artistik,
memberikan pengetahuan tentang seni kria sebagai salah satu bentuk
yang paling signifikan dari pencapaian prestasi manusia. Demikian pula
dengan kesadaran terhadap peran sosial seni kria di masyarakat hal ini
sangat esensial ketika siswa akan mempelajari norma estetik yang
berlaku di lingkungannya. Dengan kata lain, siswa akan menemukan seni
kria sebagai sesuatu yang penuh arti, otentik dan relevan dalam
kehidupannya. Pengalaman siswa di sekolah diharapkan dapat memberi
inspirasi yang berguna bagi mereka untuk melanjutkan pendidikannnya
hingga menjadi mahluk dewasa. Tujuan pendidikan melalui program seni
kria akan memelihara perilaku tersebut sehingga menjadi lebih esensial
membentuk kemadirian belajar seumur hidup, walaupun tujuan jangka
pendek (di lingkungan sekolah) mungkin terfokus pada kegiatan belajar
untuk mempelajari tentang seni kria dan atau melalui seni kria.
1. Tujuan Dasar Seni kria kependidikan
Seni kria kependidikan di sekolah umum diberikan dengan berbagai
tujuan. Walaupun demikian, berbagai tujuan tersebut didasari oleh
keyakinan bahwa seni kria membentuk kepekaan siswa sejak pertama
kali mereka mengalaminya sebagai tanggapan untuk dan dalam
kehidupan. Dua buah model pengalaman tersebut (ekspresi dan
tangapan) adalah saling berhubungan dan saling melengkapi. Keduanya
merupakan keseimbangan yang penting dan dibutuhkan, menjadi tujuan
dasar seni kria kependidikan dalam rangka pemenuhan diri, pemahaman
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 8
terhadap warisan artistik dan studi aspek sosial untuk memahami peran
seni kria di masyarakat.
a. Pemenuhan diri (Personal fulfillment)
Untuk menemukan pemenuhan dirinya melalui seni kria, siswa
butuh belajar bagaimana kehidupan mereka dapat diperkaya dengan
berkreasi dan menanggapi bentuk-bentuk seni kria. Para siswa akan
menikmati manipulasi dan rekayasa berbagai material seni kria dan
dengan “bimbingan” mereka dapat memproduksi karya yang memiliki
kekuatan serta kejujuran ekspresi. Dalam pembelajaran seni kria
aktivitas ekspresi bebas dan keberhasilan yang untung-untungan harus
ditinggalkan karena hal tersebut sangat miskin dengan ukuran-ukuran
belajar. Pengalaman kreatif melalui media seni kria perlu di rencanakan
dengan seksama agar tidak menjadi eksperimen tanpa tujuan. Walaupun
anak memperoleh pengalaman sensasional dalam diri yang sangat kuat,
dari membentuk sesuatu, yang mengekspresikan sesuatu tentang dirinya,
menemukan ekspresi diri yang jujur dan asli tidaklah mudah. Anak
mungkin pada suatu saat akan mengalami sakit hati atau frustasi karena
ketidak mampuan untuk mengkomunikasikan apa yang dirasakan, dilihat,
diketahui dan dibayangkannya. Salah satu bentuk praktek seni kria yang
penuh kedisiplinan, ketelitian dan kehati-hatian dapat dijadikan sarana
untuk melatih ketahanan terhadap rasa sakit hati dan frustasi tersebut,
disamping potensi untuk membuat gagasan dan perasaan menjadi hidup.
Untuk berfungsi secara ekspresif (sebagai media ekspresi), bentuk dan
praktek seni kria harus dikreasikan agar menyerupai perasaan dan
imajinasi dari pengalaman yang berguna bagi pengembangan diri.
b. Memahami warisan artistik (Understanding the artistic heritage)
Seni kria kependidikan, khususnya kria tradisional, berpotensi
membangun kesadaran dan pemahaman anak terhadap warisan artistik
sebagai bagian yang signifikan dari warisan kebudayaan secara
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 9
keseluruhan. Hal itu termasuk tanggapan terhadap karya pengrajin dan
kriyawan baik masa lalu maupun masa kini, demikian pula kontribusi
orang-orang yang memelihara dan menginterpretasikan karya seni kria
seperti kolektor, kurator, kritikus, dan guru. Warisan artistik mungkin
tidak secara langsung memiliki arti personal untuk siswa kecuali hal
tersebut berkaitan dengan kehidupannya secara pribadi. Keterkaitan ini
haruslah eksplisit, fokus terhadap proses dan bersifat kontekstual,
sehingga tidak sekedar mengumpulkan dan menghafalkan fakta (sejarah)
seperti kronologis, nama, tanggal dan judul karya.
Benang merah yang menghubungkannya dapat terjadi bila disadari
bahwa siswa seperti juga masyarakat (pengrajin/kriawan) pada awalnya
menemukan banyak problem untuk memvisualisasikan gagasannya. Siswa
membangun ide dari pengalamannya sendiri, interpretasi gagasan dalam
bentuk visual dan menggunakan media dalam berkarya seni kria untuk
menemukan ekspresinya sendiri. Ketika hubungan ini terjadi, siswa tidak
hanya memiliki basis personal untuk membandingkan karya yang dibuat
oleh masyarakat tetapi juga menjadi alasan yang kuat untuk meyakini
bahwa tindakan mereka adalah asli seperti halnya karya seni. Tujuan
dari aspek ini sejalan dengan tujuan ekspresi komunal yang mempelajari
bagaimana masyarakat berkespresi dan mengkreasi gagasannya untuk
menghasilkan sebuah karya seni kria.
Siswa juga belajar warisan artistik masa lampau dari berbagai
sudut pandang orang-orang yang memiliki kemampuan dalam
menanggapi karya seni kria seperti kritikus, guru seni, kolektor atau
kurator. Mereka memberikan pengalaman bagaimana mendeskripsikan
dan menginterpretasikan karyaseni kria, mengartikan, mempersepsikan
dan memberikan penilaian terhadapnya. Selanjutnya siswa juga akan
belajar bahwa kegiatan berkarya seni kria bukan hanya untuk dirinya
sendiri tetapi juga untuk orang lain yang tertarik untuk menggunakan,
memiliki, melihat, mendengar atau menanggapinya. Melalui seni kria,
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 10
fungsi pakai mungkin menjadi salah satu aspek penting yang harus
dipertimbangkan siswa.
c. Memahami peran seni kria dalam masyarakat
Melalui seni kria kependidikan siswa diajak untuk memahami
peran seni kria dalam masyarakat. Seperti yang kita lihat, masyarakat
atau kebudayaan sebagian diidentifikasi melalui berbagai bentuk
kesenian yang dikreasikannya. Siswa dapat menjadi peduli terhadap
bentuk-bentuk kesenian tersebut sebagai makna yang kuat dari ekspresi
sosial, tidak hanya pada masyarakatnya sendiri, tetapi juga kebudayaan
dan bentuk kesenian pada masyarakat yang lain. Penggambaran aspek
sosial dari seni kria dapat menjadi dasar bagi siswa untuk memahami
lingkungannya.
Tujuan dari aspek pemahaman sosial dalam seni kria kependidikan
adalah mempelajari bagaimana bentuk-bentuk karya seni kria yang asli
dalam masyarakat, bagaimana kualitas sebuah karya seni kria mampu
mengekspresikan nilai sosial dan bagaimana media digunakan untuk
mengekspresikan nilai-nilai sosial tersebut. Dengan mempelajari
bagaimana masyarakat menanggapi bentuk-bentuk seni kria dalam
lingkungannya atau dalam kebudayaan lainnya, siswa dapat belajar
untuk menjadikannya sebagai kebiasaan untuk menghargai lingkungan
yang dekat dengan dirinya maupun lingkungan lain yang kurang
dikenalnya. Hal ini berarti memberikan keterampilan dasar untuk mampu
beradaptasi dalam berbagai lingkungan sosial.
Ekspresi dan tanggapan berkaitan erat dalam pengalaman seni.
Disamping untuk pemenuhan diri, memahami warisan artistik dan aspek
sosial seni kria dalam masyarakat, tujuan seni kria kependidikan harus
memfokuskan pula terhadap dasar proses pengembangan manusia yang
meliputi: pengembangan gagasan dan penemuan, penggunaan media,
persepsi, interpretasi dan penilaian terhadap karya seni kria itu sendiri.
Dasar proses pengembangan manusia ini melalui seni kria kependidikan
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 11
di sekolah di kembangkan untuk mendukung kemampuan-kemampuan di
luar seni kria, berintegrasi dalam berbagai area belajar lainnya.
Pembelajaran Seni kria Lintas Kurikulum.
Pokok pembelajaran melalui seni kria pada dasarnya menyertakan
pengembangan kompetensi lintas kurikulum (cross-curricular priority)
seperti literasi, kemampuan dalam matematika, lifeskills (kecakapan
hidup) dan membangun suatu perspektif terhadap masa depan.
1. Literasi (Literacy)
Literasi adalah suatu praktek sosial yang menggunakan bahasa
untuk berpikir dan membuat arti dalam kebudayaan. Praktek ini meliputi
pembacaan dan penulisan, berbicara dan mendengarkan, mengamati dan
membentuk, yang dikombinasikan dalam multimodal teks pada sebuah
wilayah konteks dimana berpikir kritis (critical thinking) juga dilibatkan
dalam praktek ini. Melalui pembelajaran literasi, para siswa mencari dan
dengan kritis menilai informasi serta membuat pilihan. Keterampilan
literasi ini berpotensi menjadikannya pebelajar yang mandiri
(independent learners). Literasi kritik dikembangkan dengan
mempertanyakan praktek-praktek budaya, sosial dan politis dalam
pembicaraan, tulisan, visual, pendengaran, kinestetik dan berbagai teks
yang berhubungan dengan seni kria. Para siswa mempelajari hubungan
antara konteks dan audiens dari semua teks itu. Para siswa mulai
memahami pengaruh literasi tersebut, bagaimana orang-orang
memandang diri mereka, identitas mereka dan lingkungan mereka serta
bagaimana semua itu tervisualisasikan dalam bentuk karya seni kria.
Para siswa menjadi literat terhadap sistem simbol yang digunakan di
dalam berbagai bentuk seni kria untuk menyampaikan makna
menggunakan teknologi yang tersedia saat ini dan di masa yang akan
datang.
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 12
Para siswa menggunakan keterampilan literasi untuk
mengkomunikasikannya dalam berbagai aktivitas seni kria. Mereka
menggunakan konvensi bahasa sesuai dengan aturan yang berlaku dan
belajar kosa kata seni kria yang spesifik untuk menginterpretasikan,
mengkomunikasikan dan menyelidiki pemikiran imajinatif, perasaan dan
pemahamannya. Para siswa belajar untuk mempertimbangkan tujuan dan
pembaca teks dan bagaimana pertimbangan tersebut mempengaruhi
pilihan mereka terhadap bentuk, kosa kata dan elemen-elemen
struktural lainnya. Ketika para siswa mengembangkan literasi kritisnya,
mereka akan mampu memperjelas gagasan, membenarkan pendapat dan
keputusan, mencari dan dengan kritis menilai informasi.
Para siswa akan memahami bahwa, sebagai konsumen dan
produsen, mereka saling berhubungan, memposisikan dirinya dan orang
lain dengan teks (karya seni kria). Pada waktu yang sama, seni kria
kependidikan memberikan kontribusi tertentu kepada pengembangan
literasi berbahasa. Awal pengalaman dalam representasi dunia fisik,
gagasan dan perasaan melalui gambaran, bunyi dan gerak memberikan
suatu kontribusi penting kepada pengembangan pemahaman yang
semakin abstrak dan penggunaan lambang dalam membaca dan menulis.
Menggabungkannya dalam aktivitas seni kria membantu siswa
mengembangkan konsep mereka, kapasitas untuk memfokuskan pada
hambatan bunyi, serta kepekaan terhadap pola dan irama. Selama
sekolah, melalui pelajaran seni kria para siswa dilibatkan untuk
menciptakan dan mengekspresikan gagasan dan perasaan setidaknya
dalam bentuk tulisan, percakapan dan visual secara terpisah, atau
dikombinasikan sebagai multi teks. Melalui pengalaman ini para siswa
mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan melihat dengan
penuh perhatian dan untuk bekerja secara metafora. Mereka
mengembangkan kemampuan lisan, aural dan memori kinestetik dan
kepekaan terhadap kata-kata. Mereka mengeksplorasi berbagai format
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 13
ekspresi sebagai cara bagaimana membuat makna dan belajar untuk
mencari makna yang berlapis dalam teks.
Para siswa juga menjadi literat dalam sistem simbol berbagai
bentuk seni kria. Mereka belajar untuk mengkomunikasikan makna
melalui memilih, mengkombinasi dan memanipulasi tulisan, berbicara,
unsur-unsur visual, melalui indera pendengar dan kinestetik (seperti
warna, gestur, irama dan ruang) ke dalam format yang sesuai dengan
konteks tertentu. Para siswa menggunakan pengembangan pemahaman
mereka terhadap unsur-unsur dan bentuk dalam seni kria untuk
mengenali, menginterpretasi dan mengekspresikannya dalam kondisi
tertentu serta mengalaminya secara imajinatif.
Untuk mendorong, dan mencerminkan, pengalaman seni kria
berperan dalam pengembangan literasi, para siswa di latih untuk: (a)
bereksperimen dengan, menguji, mencerminkan dan menggunakan suatu
tingkatan bahasa, sistem simbol, format dan teknologi untuk
mengekspresikan gagasan, perasaan dan pengalaman mereka; (b)
mendekonstruksi, merekonstruksi, menginterpretasikan dan mengkrea-
sikan percakapan, tulisan, visual, kinestetik, auditori dan berbagai
perasaan yang terdapat dalam teks; (c) mengembangkan suatu kapasitas
untuk memahami berbagai makna yang bentuk dan pesannya
disampaikan secara terbuka atau tersembunyi; (d) mempertimbangkan
audiens dan tujuan dalam membangun, mempertunjukkan, mengatur dan
mencerminkan dengan kritis karya seni kria yang mempunyai suatu fungsi
komunikatif; (e) mengekspresikan, merundingkan, mengkonstruksi,
mengkomunikasikan dan menginterpretasikan makna dalam hubungan
dengan konteks budaya, sosial dan historis di mana karya seni kria
diciptakan dan dihadirkan; (f) menciptakan, menginterpretasikan dan
merekam tanda, notasi, gambar dan lambang yang digunakan dalam
berbagai disiplin seni kria dan (g) menerapkan pemahaman sebagai
partisipan di dalam teks seperti halnya pendengar, dan pembaca sebuah
teks.
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 14
2. Kemampuan dalam angka (Numeracy)
Kemampuan dalam angka meliputi disposisi dan praktek yang
dengan teliti, efisien dan wajar menghadapi tuntutan situasi sehari-hari
yang menyertakan nomor, jumlah, ruang, dan pengukuran. Keterampilan
dalam angka dikembangkan melalui seni kria seperti saat para siswa
memecahkan permasalahan dengan menerapkan teknik dan konsep
mengenai ruang dan perhitungan. Para siswa mendukung kemampuan
dalam matematika dengan menghadirkan motif-motif simbolik, objek-
objek khayal atau riil. Secara khusus, seni kria menggunakan visual,
konsep kinestetik dan temporal dari ruang serta pola angka. Penerapan
motif hias tradisional pada karya seni kria kerap kali menuntut
kemampuan dalam angka tersebut.
Dengan menggunakan, dan merefleksikannya dalam aktivitas seni
kria para siswa dapat mengembangkan kemampuan di dalam
matematika. Dengan demikian berpeluang untuk mengembangkan
pemahaman konsep bahwa seni kria dan matematika saling
membutuhkan dan saling melengkapi. Sebagai contoh, siswa mencoba
menggunakan konsep ukuran panjang, bentuk simetris, dan sistem
perbandingan atau pengukuran lainnya yang digunakan dalam budayanya
ketika beraktivitas seni kria. Menyatakan kemampuan dan kepekaan
terhadap angka melalui seni kria mungkin tidak terlihat secara langsung
sebagai kemampuan dasar dalam matematika. Secara praktis
keterampilan matematika digunakan dalam aktivitas seni kria berkaitan
dengan kegiatan perencanaan (desain), melalui hitungan, ukuran, grafik,
pemetaan dan mengkalkulasi atau saat mengidentifikasi, membuat dan
menggunakan pola serta urutan.
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 15
3. Kecakapan Hidup (Lifeskills )
‘Lifeskills’ atau kecakapan hidup adalah suatu istilah yang
digunakan untuk menguraikan gabungan pengetahuan, proses,
keterampilan dan sikap yang penting bagi orang-orang untuk berfungsi
pada kehidupan mereka sekarang atau saat menghadapi perubahan peran
hidup dan situasi di masa datang. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi sedikitnya empat satuan lifeskills yang memungkinkan
para siswa untuk mengambil bagian dalam peran hidup. Lifeskills dan
hubungannya dengan peran hidup meliputi: (a) keterampilan
pengembangan pribadi—tumbuh dan berkembang sebagai individu; (b)
keterampilan sosial—hidup bersama dan berhubungan dengan orang lain;
(c) keterampilan mengatur diri sendiri—mengatur sumber daya dan (d)
keterampilan sebagai warga negara—menerima dari dan berkontribusi
kepada masyarakat lokal, nasional dan global. Dengan mengikutsertakan,
dan merefleksikannya dalam aktivitas seni kria, para siswa dapat
mengembangkan setiap kemampuan lifeskills ini pada situasi masyarakat
yang berbeda-beda.
a. Keterampilan Pengembangan pribadi (personal development
skills).
Melalui keterampilan ini para siswa diharapkan dapat
mengidentifikasi dan mengembangkan bakat dan minatnya, mengenali
kelemahan dan kekuatan individu, mengenali sudut pandang pribadi,
sikap, kepercayaan dan nilai-nilai, menyadari gagasan, gambaran dan
perasaan, mengembangkan pengetahuan, keterampilan, proses dan
kesadaran estetik serta mengembangkan kepercayaan dan keyakinan diri
sendiri.
b. Keterampilan Sosial (Social skills).
Keterampilan sosial diajarkan kepada para siswa agar dapat
bekerja dengan cara kerja sama dan kolaboratif ke arah sasaran bersama
serta mengkomunikasikan gagasan secara efektif di dalam maupun lintas
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 16
budayanya. Keterampilan ini membiasakan sikap untuk berbagi sumber
daya, mengembangkan dan menggunakan strategi mengatasi berbagai
konflik yang terjadi di masyarakat serta belajar dari kenyataan dan
situasi seperti kehidupan sebenarnya.
c. Keterampilan mengatur diri (Self-management skills).
Pendidikan dalam aspek ini mengajarkan para siswa untuk mampu
mengembangkan keterampilan metakognitif, mengambangkan pandangan
yang berbeda, pemikiran kreatif dan menerapkan strategi pemecahan
masalah. Para siswa juga dilatih untuk mengembangkan kesadaran yang
berhubungan dengan perasaan (sensory awareness) dan kemampuan
perseptual, membangkitkan, memanipulasi, menyimpan, menyajikan dan
mengakses informasi. Keterampilan mengatur diri diharapkan dapat
mengembangkan sikap kecenderungan untuk selalu mencoba sesuatu
yang baru, merumuskan tujuan dan mengembangkan jalan yang dapat
dikerjakan untuk merealisasikannya, mengambil nilai resiko sebagai
kesempatan belajar serta kemampuan mengatur sumber daya dengan
bertanggung jawab— pribadi, lokal, nasional dan global.
d. Keterampilan Kewarganegaraan (Citizenship skills).
Melalui keterampilan sebagai warganegara, para siswa dilatih
untuk mengakui adanya praktek budaya dalam bentuk seni kria dari
suatu lingkup masyarakat yang berbeda, membuat keputusan atas dasar
pemahaman dan penghargaan keanekaragaman budaya dan etika serta
mengembangkan keterampilan advokasi pada tingkatan kolektif maupun
pribadi.
4. Perspektif Masa depan
Suatu perspektif masa depan melibatkan praktek dan disposisi
yang mendorong ke arah identifikasi tentang kemungkinan, yang lebih
berpeluang dan lebih disukai individu untuk membagi bersama kehidupan
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 17
di masa depan. Suatu perspektif masa depan memimpin ke arah
pengertian yang mendalam dan pemahaman tentang pemikiran di depan
dan peran individu dalam menggolongkan, mengharapkan dan
menetapkan apa yang disukainya di masa depan. Para siswa dengan
suatu perspektif masa depan mempunyai suatu disposisi untuk
mengambil tanggung jawab keputusan dan tindakan yang dilakukannya.
Mereka diberdayakan untuk berpartisipasi secara optimis dalam proses
inovasi, recovery dan pembaruan sosial.
Pengetahuan dan pengertian yang mendalam tentang masa lalu
dan saat ini mendorong kearah pertimbangan konsekwensi tindakan
pribadi dan kolektif di masa depan. Konsep masa depan menyediakan
suatu basis untuk berpikir tentang, dan mengambil tanggung jawab
dalam membuat keputusan dan tindakan. Pendekatan perspektif masa
depan melalui seni kria kependidikan mendorong para siswa agar
mampu mengembangkan dan memprediksi masa depan lewat sudut
pandang pribadi melalui bentuk-bentuk, sistem simbol dan proses seni.
Para siswa diharapkan dapat berkembang dan bertindak dalam cakupan
kapasitas humanis, melalui imajinasi, intuisi dan pandangan ke depan
dengan mengeksplorasi dan meng komunikasikan persepsi tentang masa
depan
Melalui seni kria kependidikan para siswa di ajarkan unutuk
memahami dan empati dengan pesan-pesan yang mengkomunikasikan
perspektif masa depan pada karya seni kria masa lampau dan masa kini
dari berbagai kultur. Melalui seni kria kependidikan para siswa juga
belajar untuk memahami bagaimana karya seni kria yang mempengaruhi,
dan dipengaruhi oleh, lingkungan, konteks dan tujuan. Para siswa
menyelidiki konsekwensi dan dampak yang diakibatkan teknologi pada
individu, masyarakat global dan lokal, dan terutama lingkungan mereka
dengan tujuan untuk membayangkan dan menciptakan masa depan yang
lebih baik.
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 18
Prespektif masa depan yang di bangun melalui seni kria
kependidikan melatih siswa untuk mengembangkan dan menggunakan
pemikiran kreatif dan lateral, dalam pengambilan keputusan, pemecahan
masalah, refleksi, sehingga memperoleh pengertian mendalam yang
bersifat optimistik mencakup hal yang tak diduga atau diprediksi
sebelumnya. Kritis terhadap visi masa depan sebagaimana yang
diekspresikan dalam karya seni kria, menunjukkan kemampuan
membayangkan kontribusi diri mereka sendiri yang dapat mendukung
masa depan kehidupan budayanya.
Aspek Belajar dan Pelajar dalam Seni kria kependidikan
1. Belajar dengan Seni kria (Learning with Crafts)
Pembelajaran melalui seni kria meliputi segala hal yang berhubungan
dengan aspek perasaan dan estetika, aspek kognitif, fisik dan relasi
sosial.
a. Estetika dan belajar yang berhubungan dengan perasaan
Estetika dapat diuraikan sebagai pengetahuan yang berhubungan
dengan perasaan dan mengacu pada penggunaan pikiran untuk
belajar, merasa dan bereaksi terhadap ciptaan manusia dan
lingkungan di dalam seni kria. Pengalaman estetik meliputi aspek
produktif dan tanggapan termasuk aspek pertimbangan serta
pilihan. Para siswa dilibatkan dalam proses pemahaman tentang
perannya sebagai peserta belajar dan belajar di mana mereka
memilih unsur-unsur, komponen, konsep dan bentuk. Mereka
kemudian memilih, mengkombinasikan, memanipulasi,
mengerjakan lagi dan menekankan unsur-unsur ini untuk
menyatakan gagasan, perasaan dan makna tertentu.
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 19
Keterlibatan di dalam pengalaman seni kria mendorong siswa
untuk berinteraksi dengan aspek perasaan yang berhubungan
dengan dunia mereka. Akal sehat yang berhubungan dengan aspek
kognitif, secara fisik dan afektif, memungkinkan para siswa untuk
mengembangkan suatu pemahaman estetik dari kultur mereka
sendiri dan dari kultur yang lain. Para siswa bisa merasakan,
menikmati, bereaksi dan membuat pertimbangan tentang
pengalaman mereka serta mengembangkan diskriminasi dan
kesadaran yang berhubungan dengan perasaan mereka. Proses ini
berperan untuk mengkonstruksi sesuatu yang estetik secara
pribadi dan membantu perkembangan kesadaran kritis tentang
nilai-nilai estetik di dalam dan lintas budaya serta berbagai
kelompok sosial.
b. Belajar Kognitif
Belajar kognitif dalam seni kria bertujuan mengembangkan
keterampilan berpikir kompleks. Keterampilan ini merupakan
bagian penting dari aspek yang digunakan dalam semua disiplin
ilmu atau pada salah satu disiplin seni. Cara belajar ini
memungkinkan para siswa untuk mengembangkan kemampuan
intuitif, kreatif, imajinatif dan keterampilan riset untuk
memecahkan masalah. Keterampilan ini meliputi kemampuan
untuk merasa, meneliti, mencerminkan, membuat pertimbangan,
dekonstruksi dan mensintesis informasi dari berbagai sumber
untuk menghasilkan gagasan. Para siswa menjadi terbiasa dan
belajar untuk mengendalikan serta menggunakan, teknik, sistem
simbol dan proses yang merupakan aktivitas inti dari masing-
masing disiplin seni. Kemampuan ini secara integral mendukung
kepada tujuan pendidikan yang lebih luas dan sangat menonjol di
antara kemampuan kecakapan hidup dimana para siswa akan
memerlukannya.
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 20
c. Pembelajaran Fisik
Dimensi fisik dalam area pembelajaran seni kria berfungsi untuk
mengembangkan memori otot, keterampilan motorik kasar dan
halus. Dimensi ini mengembangkan pula kemampuan koordinasi
dan kesadaran mengenai ruang melalui pengalaman seperti
permainan, bergerak, mempertunjukan dan menggunakan
peralatan. Dimensi fisik merupakan aspek belajar yang penting
meliputi keikutsertaan dalam aktivitas praktis sesuai kemampuan
siswa, dimana para siswa tersebut memperoleh keterampilan fisik
dan teknik yang relevan dalam suatu disiplin seni. Pelajaran fisik
dapat juga melibatkan pengulangan dan praktek gerakan-gerakan
atau pola-pola tertentu untuk mengembangkan kemampuan
kontrol dan penguasaan.
d. Pembelajaran Sosial
Sebagai karya yang bersifat komunal, melalui seni kria masyarakat
dapat saling terkoneksi misalnya melalui kegiatan perayaan,
upacara adat dan upacara keagamaan. Ketika para siswa
mengambil bagian dalam praktek seni kria yang ada di
masyarakat, mereka mengembangkan suatu pemahaman tentang
dinamika masyarakat dalam konteks budaya, sosial, ekonomi dan
historis tertentu serta berbagi makna sosial yang diproduksi dan
dihargai oleh kelompok masyarakat tersebut. Melalui kegiatan dan
pengalaman ini, para siswa mengembangkan keterampilan
interaktif, kepercayaan sosial, pemahaman dinamika kelompok
dan kemampuan untuk bermusyawarah dalam kelompok ketika
mereka bekerja ke arah suatu tujuan bersama. Kegiatan ini akan
mendidik siswa untuk memahami perasaan mereka sendiri dan
orang lain, tanggapan secara emosional seperti halnya ketika
mereka terlibat dalam dan merefleksikan sebuah pengalaman
seni. Kondisi ini membawa mereka ada dalam situasi yang
memungkinkan untuk berempati dengan yang lain, berbagi
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 21
kegembiraan, mengenadalikan frustrasi dan mengekspresikan
perasaan dan gagasan ketika menciptakan produk seni kria.
2. Pendekatan yang berpusat pada pebelajar
Pendekatan yang berpusat pada pebelajar atau learner-centred
approach adalah suatu pendekatan kepada belajar-mengajar yang
memandang belajar sebagai konstruksi makna dan pengajaran yang aktif,
sebagai tindakan untuk memandu dan memfasilitasi belajar. Pendekatan
ini mempertimbangkan pengetahuan sebagai sesuatu yang secara konstan
mengubah dan membangun pengalaman utama. Suatu pendekatan
learner-centred menyediakan peluang bagi para siswa untuk berlatih
kritis melalui pemikiran kreatif dalam memecahkan masalah dan
mengambil keputusan. Pendekatan ini melibatkan penggunaan
keterampilan dan kemampuan memproses melalui daya ingat, aplikasi,
analisa, sintesa, ramalan dan evaluasi. Semua ini berperan untuk
peningkatan dan pengembangan pemahaman konseptual. Suatu
pendekatan learner-centred juga mendorong para siswa untuk
merefleksikan dan memonitor pemikiran mereka ketika mereka akan
membuat keputusan dan mulai bertindak.
Aktivitas dalam berkarya seni kria harus disesuaikan secara
konstan untuk menemukan kemampuan, kebutuhan dan minat individu
maupun kelompok siswa. Hal ini berarti menyediakan sejumlah waktu,
ruang atau material berbeda serta menawarkan tingkat dan jenis
dukungan yang berbeda pada para siswa. Sebagai contoh, karena sesuatu
hal yang secara geografis mengisolasi para siswa, fokus pembelajaran
mungkin pada aktivitas seni kria yang tidak memerlukan interaksi tatap
muka secara reguler dengan rekan sebaya. Para siswa diijinkan terlibat
dalam pengalaman seni kria dengan jalan berbeda atau aneka pilihan
yang dibuat dari berbagai bidang pilihan sedemikian rupa sehingga
pelajaran tetap relevan dan penuh arti. Mereka tetap mempunyai
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 22
berbagai peluang untuk mengambil bagian dalam aktivitas belajar
sehingga dapat mempertunjukkan apa yang mereka ketahui dan apa yang
dapat dilakukan dengan apa yang mereka ketahui. Pendekatan ini
melibatkan para siswa dan guru dalam perancangan pelajaran dan
penilaian yang memerlukan negosiasi dan bersifat fleksibel.
3. Kemitraan dengan Komunitas
Seni kria dapat menciptakan kebersamaan di antara para siswa,
anggota sekolah, masyarakat sekitar dan komunitas seni. Kemitraan ini
melibatkan siswa dalam pendekatan dengan banyak orang, pengalaman
dan konteks. Beberapa siswa dapat mengakses manfaat pribadi melalui
pengalaman seni kria yang ada di masyarakat seperti halnya pengalaman
belajar yang diciptakan di sekolah. Mengembangkan kemitraan dengan
pihak yang menawarkan keikutsertaan dalam berbagai program seni kria
memungkinkan untuk menghubungkan pelajaran di dalam sekolah dengan
realitas yang ada dimasyarakat. Kemitraan juga menyediakan peluang
untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang pendidikan dalam
dan melalui aktivitas seni kria.
Dengan asumsi sumber daya masyarakat dan sekolah berbeda,
aktivitas belajar siswa dapat diperkaya dengan membangun kemitraan
dengan orang lain pihak yang terlibat dalam seni kria. Orang tua,
anggota masyarakat, organisasi (asosiasi) kriawan, kriawan lokal, para
guru serta para pemilik dan pekerja industri kria dapat memberi
dukungan dengan berbagi kegiatan, pengalaman, keahlian, dan
keterampilan.
Kemitraan dengan komunitas dapat juga memperkaya aktivitas
pelajaran yang ditawarkan pada siswa dengan menyediakan akses ke
peralatan, fasilitas, industri, dan kegiatan seni kria di masyarakat.
Pengertian yang bermakna terhadap praktek seni kria dapat disajikan
melalui pengalaman kriawan dalam program sekolah, karya seni kria
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 23
yang asli dan “ruang” aktivitas seni kria di luar kelas, “ruang” publik dan
“ruang” virtual. Kegiatan ini berharga bagi para siswa dan anggota
masyarakat karena memiliki peluang untuk berinteraksi dan
berkolaborasi pada proyek seni kria dalam situasi belajar di kehidupan
nyata.
Penghargaan dan pemahaman tentang keaneka ragaman budaya
dan sifat alami saling berhubungan antara seni kria dan budaya
dieksplorasi dengan jalan yang penuh makna. Hal ini ditingkatkan
melalui representasi praktek seni kria dan kriawan tradisional yang lahir
dari budaya asli yang ada di masyarakat ke dalam lingkungan sekolah.
Kemitraan dengan masyarakat pedalaman dan penduduk asli misalnya,
menyediakan peluang belajar yang cukup esensial bagi siswa. Masyarakat
semacam ini umumnya mempunyai kultur dengan suatu orientasi lisan
dan pendekatan holistik kepada transmisi pengetahuan budaya. Ekspresi
dari identitas budaya, sejarah, hukum, hubungan dengan alam dan
sistem kekerabatan melalui suatu variasi makna artistik menyediakan
pengalaman belajar yang kaya bagi para siswa. Untuk menciptakan dan
memelihara kemitraan dengan masyarakat pedalaman atau penduduk
asli, pihak sekolah dan peserta belajar harus menghormati protokol dan
prosedur yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Efektivitas dari
proses pembelajaran melalui program kemitraan ini, dapat dilakukan
dengan mencari pembimbing (guidance) dari penduduk lokal, organisasi
dan anggota masyarakat yang relevan.
PENUTUP
Melalui paparan sederhana di atas dapat terpetakan peran dan
manfaat seni kria dalam dunia pendidikan umum. Terlepas dari
fenomena tumbuh dan berkembangnya penciptaan seni kria yang
mengarah pada produk pemenuhan kebutuhan praktis dan penciptaan
karya seni kria yang mengarah pada tujuan ekspresi pribadi, pada
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 24
dasarnya kedua orientasi ini dapat digunakan sebagai sarana pendidikan.
Kekayaan budaya kria tradisi yang dimiliki bangsa Indonesia seyogianya
merupakan kekayaan materi pembelajaran Seni Budaya yang dapat
dieksplorasi oleh para siswa maupun para pendidik seni di sekolah-
sekolah umum.
Menggunakan seni kria dalam pendidikan di sekolah umum tidak
saja berfungsi meningkatkan kemampuan praktis dalam berkarya seni
kria, tetapi seperti telah disampaikan di atas, memiliki pula potensi
laten untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi peserta didik secara
optimum menjadi manusia dewasa yang utuh. Kesadaran terhadap
kebermanfaatan seni kria dalam penyelenggaraan pendidikan umum ini
seharusnya secara eksplisit menjadi bingkai kurikulum dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan calon pendidik seni rupa di
Indonesia. Pada gilirannya para pendidik ini akan mentransformasikan
pengetahuannya kepada anak didiknya sehingga pencapaian tujuan
pendidikan untuk menjadikan manusia Indonesia seutuhnya yang
memiliki jati diri dan rasa keindonesiaan dan bukan lagi menjadi harapan
dan angan-angan semata.
Bandung, Agustus 2008
DAFTAR PUSTAKA
Boyd, Janis,“Myth, Misconceptions, Problems, and Issues in Arts Education” Quensland Studies Authority. terdapat dalam http://www.qsa.qld.edu.au/yrs1-10/kla/arts/pdf/rp_Jbyod.pdf. diakses 24 April 2004
Caldwell, Barbara A., dan Dake, Deniss M., (2000), “The Changing Face of Art Education” dalam School Arts Vol. 99 Maret 2000. Davis Publication Inc.
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 25
Chapman, Laura H., (1978), Approach to Art in Education, New York:
Harcourt Brace Jovanovich
Cunliffe, Leslie, (1998), “Art and Art Education As A Cognitive Proses and the National Curriculum”, dalam Burden, Robert dan Williams, Marion, (ed.), 1998, Thinking Through The Curriculum, USA, Kanada: Routledge.
De Bono, Edward, (1991), Berpikir Lateral, Sutoyo (terj.), Jakarta: Erlangga.
Dorn, Charles M., (1993), “Art as Intelligent Activity”, dalam Jurnal Arts Education Policy Review. Vol. 95. Issue. 2 1993.
Duncum, Paul, 2001, “Theoretical Foundations for an Art Education of Global Culture and Principles for Classroom Practice” dalam International Journal of Education and The Arts V.2 No. 3 10 Juni 2001.
Emery, Lee, (1998), “The Arts”, A Statement On the Arts As A Key Learning Area Of The School Curriculum, Paper Prepared for Queensland School Curriculum Council, Department Of Language, Literacy and Arts Education the University Of Melbourne.
Feeney, Stephanie, (2002), “Art as a Way of Learning [TM]: Exploration Learning”, dalam Jurnal Childhood Education Vol.72, Issue.2, Association for Children Education International.
Ferguson, Winnie J. dan Owen, Luisa L., (1993), “Art Appreciation: The Learning Disabled Look, Talk and Create”, dalam Majalah School Arts, Volume 92. No. 9, May 1993, Davis Publication Inc 1993.
Johnson, Mia, (1997), “Teaching Children to Value Art and Artists”, dalam Jurnal Phi Delta Kappan. Vol. 78, Issue.6, Phi Delta Kappan 1997.
Kavolis, Vytautas, History On Art’s Side Social Dynamic In Efflorescences, Cornel University Press, Itacha, New York, 1972.
Perrin, Stephanie, (1994), “Education in the Arts Is an Education for Life” dalam Jurnal Phi Delta Kappan. Vol. 75, Issue.6, Phi Delta Kappan 1994.
QSCC, (2002), The Arts, Year 1-10 Syllabus, Quensland: QSA Quensland, tersedia dalam http://www.qsa.edu.au/yrs1-10/kla/arts/pdf. di akses 27 April 2004
Read, H. (1958) Education Through Art. London: Faber and Faber
Wachowiak, F and Clements R., (1993). Emphasis Art, A Qualitative Art Program for Elementary and Midle Schools. Fifth Edition. New York: Harper Collins College Publishers.
Z. S. Soeteja, Pendidikan Melalui Seni Kria 26
Yampolsky, P. (2001) “Konsep Pendidikan Apresiasi Seni Nusantara”.
Makalah, disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Pendidikan Seni 18-19 April 2001 di Jakarta.
*) Zakarias S. Soeteja, S,Pd., M.Sn., alumni Pendidikan Seni Rupa UPI
dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta, Staf Pengajar Jurusan
Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas
Pendidikan Indonesia.