PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

31
121 PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL Oleh : Shintya Septiani dan Seto Herwandito 1 Pendahuluan Pernah suatu ketika pada saat saya berada di Percik Institute 2 sore hari sekitar pukul 16.00 WIB, ada seorang anak kecil berlari menghampiri dan bertanya kepada saya...”Om..kenapa anak itu kok memakai penutup kepala? Itu apa sih Om?”, sambil menunjuk anak kecil perempuan yang berlari-lari di sekitar kebun”. Saya lalu menjawab..”O anak tersebut memakai kerudung”. Setelah saya menjelaskan ia lalu bertanya lagi kepada saya...”Om..Om kenapa anak itu memakai kerudung, sedangkan saya tidak?“. Mendengar pertanyaan anak tersebut saya tersentak, anak yang belum berusia genap 7 tahun ini memiliki pertanyaan yang simpel, akan tetapi maknanya luar biasa. Dalam hati saya, bagaimana mungkin anak yang mungkin masih duduk di bangku sekolah dasar menanyakan pertanyaan yang begitu dalam. Mungkin saja anak tersebut bertanya karena ada sesuatu yang beda dengan dirinya, yaitu ia tidak memakai kerudung (jilbab) dan ia melihat ada anak perempuan 1 Shinya Septiani, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Satya Wacana. Seto Herwanindto, Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Satya Wacana 2 Percik Institute atau Percik. (www.percik.or.id)

Transcript of PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

Page 1: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

121

PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL

Oleh : Shintya Septiani dan Seto Herwandito1

Pendahuluan

Pernah suatu ketika pada saat saya berada di Percik Institute2 sore hari sekitar pukul 16.00 WIB, ada seorang anak kecil berlari menghampiri dan bertanya kepada saya...”Om..kenapa anak itu kok memakai penutup kepala? Itu apa sih Om?”, sambil menunjuk anak kecil perempuan yang berlari-lari di sekitar kebun”. Saya lalu menjawab..”O anak tersebut memakai kerudung”. Setelah saya menjelaskan ia lalu bertanya lagi kepada saya...”Om..Om kenapa anak itu memakai kerudung, sedangkan saya tidak?“. Mendengar pertanyaan anak tersebut saya tersentak, anak yang belum berusia genap 7 tahun ini memiliki pertanyaan yang simpel, akan tetapi maknanya luar biasa. Dalam hati saya, bagaimana mungkin anak yang mungkin masih duduk di bangku sekolah dasar menanyakan pertanyaan yang begitu dalam. Mungkin saja anak tersebut bertanya karena ada sesuatu yang beda dengan dirinya, yaitu ia tidak memakai kerudung (jilbab) dan ia melihat ada anak perempuan

1 Shinya Septiani, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Satya Wacana.

Seto Herwanindto, Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Satya Wacana

2 Percik Institute atau Percik. (www.percik.or.id)

Page 2: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

122

Media dan Pluralisme di Indonesia

yang berlari-lari memakai sesuatu di kepalanya. Saya pun menjelaskan kepada anak tersebut, kalau

orang muslim biasanya yang perempuan akan memakai kerudung atau penutup kepala. Ini bisa menjadi identitas bahwa mereka adalah orang yang beragama Islam. Selain itu memakai kerudung merupakan suatu panggilan hati dalam memurnikan hati dan pikiran. Setelah menjelaskan beberapa hal mengenai kerudung tersebut, anak tersebut bertanya lagi, “O berarti saya tidak memakai kerudung ya om?” ,“Agama kamu apa?..tanya saya kepada anak itu”. “Aku biasanya ke gereja di depan KFC kalau minggu bersama dengan papa mama, jawab anak itu”. “Kalau begitu kamu beragama Katholik, saya menjawab..”. Anak tersebut setelah mendengarkan penjelasan saya, ia pun pergi, sambil berkata..”Dah Om, saya main bola lagi ya..”.

Sepenggal percakapan diatas tadi mengingatkan saya bahwa pergaulan anak sebaiknya tidak di kotak-kotak, artinya tidak hanya dibatasi oleh sekat agama, RAS, etnisitas, golongan maupun kekayaan. Perbedaan memang sejak dahulu sudah ada, meskipun berbeda agama, RAS, etnisitas, golongan dan lain sebagainya anak-anak haruslah bsia bermain bergandengan tangan dengan sesamanya (orang lain). Adanya kebudayaan serta latar belakang dari orang tua anak tersebut memunculkan latar belakang yang berbeda-beda, sehingga anak-anak tersebut pasti memiliki pengalaman yang berbeda pula. Sudah menjadi tugas kita untuk mengenalkan perbedaan serta membantu untuk memahami perbedaan tersebut, sehingga anak-anak dari kecil mengerti dan paham akan arti kemurnian dari kerukunan terhadap sesama walaupun mereka berbeda.

Indonesia sendiri dari dulu sudah mengenal konsep

Page 3: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

123

Media dan Pluralisme di Indonesia

multikultural, seperti pada semboyan pada burung garuda yaitu “Berbeda-beda Tetapi Satu” memberi arti bahwa perbedaan itu bukanlah sesuatu yang dipandang sebagai pemisah, akan tetapi perbedaan tersebut lebih enak jika dipandang sebagai keberagaman yang dijadikan satu menjadi pemersatu suatu negara yang solid. Multikultur menurut Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si di dalam tulisannya3 yaitu “Pendidikan Multikutural dalam Pluralisme” mengungkapkan bahwa multikulturalisme secara sederhana dapat dikatakan pengakuan atas pluralisme budaya. Pluralisme budaya bukanlah suatu yang “given” tetapi merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai di dalam suatu komunitas.

Indonesia memang terdiri dari beribu-ribu pulau serta banyaksekali suku, bahasa, ras dan lain sebagainya. Kita sendiri hidup di dalam dalam keberagaman suku, bahasa, budaya, sosial dan agama. Keberagaman ini merupakan bagian apa yang dimiliki Indonesia dan merupakan karunia Tuhan.Di antara keberagaman tersebut, identitas keagamaan menjadi salah satu hal penting dalam setiap sisi kehidupan masyarakat. Identitas agama sekarang ini mulai mencuat menjadi salah satu hal penyebab dari konflik. Sehingga kurang pahamnya masyarakat atau minimnya pengetahuan mengenai keberagaman terutama tentang agama seringkali memunculkan konflik berkepanjangan. Perasaan curiga, iri, sakit hati terkadang muncul antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.

Untuk mengurangi gesekan-gesekan yang terjadi serta perasaan curiga perlu dibangun suatu alternatif atau

3 http://eprints.uny.ac.id/307/1/PENDIDIKAN_MULTIKUL-TURAL_DALAM_PLURALISME_BANGSA.pdf

Page 4: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

124

Media dan Pluralisme di Indonesia

konsep bagaimana membangun masyarakat Indonesia yang paham, mengerti serta tidak adanya perasaan curiga antara satu sama lain. Konsep ini bisa dilakukan dengan menitikiberatkan pada pendidikan multikultur dengan menerapkan strategi dan konsep pendidikan yang pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dll

Pendidikan Multikural

Sebenarnya apa itu Pendidikan Multikutural? Mengutip dari tulisan Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si bahwa tokoh perintis dari pendidikan multikutural adalah James Bank, ia memberi penekanan dan perhatian khusus pada pendidikannya. Banks menjelaskan bahwa siswa harus diajari memahami semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan konstruksi pengetahuan (knowledge construction) dan interpretasi yang berbeda-beda (Banks, 1993). Dalam tulisannya Banks menjelaskan bahwa siswa yang baik adalah siswa yang selalu mempelajari semua pengetahuan dan turut serta secara aktif dalam membicarakan konstruksi pengetahuan. Siswa harusnya sadar bahwa di dalam menerima pengetahuan tersebut, terdapat juga interpretasi yang berbeda-beda dari siswa lain. Interpretasi yang beraneka ragam tersebut sangat ditentukan oleh kepentingan masing-masing, bisa jadi interpretasi bertentangan dengan sudut pandang pandangnya dan adanya beda pendapat atau interpretasi yang berbeda inilah harus bisa diterima dengan “lapang dada” oleh siswa.

Page 5: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

125

Media dan Pluralisme di Indonesia

Banks4 (2001) sendiri mengemukakan bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan atau (set of beliefs). Pendidikan multikultural adalah ide, gerakan, pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah (Banks, 1993).

Banks menjelaskan di dalam pendidikan multikultural terdapat 5 aspek5 yang sangat penting yaitu:1. Content Integration (Integrasi Konten) Integrasi Konten berisi mengenai penggunaan

contoh dan isi dari berbagai budaya dan grup untuk mengilustrasi konsep utama, generalisasi prinsip dan teori sebagai subjek area atau disiplin ilmu, dengan kata lain guru haruslah menggunakan sumber dan text dari berbagai sumber dan budaya sebagai alat untuk mengajar.

2. Knowledge Construction (Konstruksi Pengetahuan) Dalam aspek ini Banks menjelaskan bahwa Proses

konstruksi pengetahuan berhubungan dengansejauh mana guru membantu siswa untuk memahami,

4 Saduran dari http://eprints.uny.ac.id/307/1/PENDIDIKAN_MULTIKULTURAL_DALAM_PLURALISME_BANGSA.pdf

5 Saduran dari Banks, James A. and Michelle Tucker. “Multiculturalism’s Five Dimensions.” NEA Today Online. Used with permission http://www.learner.org/workshops/socialstudies/pdf/session3/3.Multiculturalism.pdf

Page 6: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

126

Media dan Pluralisme di Indonesia

menyelidiki dan menentukan bagaimana asumsi-asumsi implisit budaya, frame referensi, perspektif, dan bias dalam disiplin yang mempengaruhi cara dimana pengetahuan dibangun di dalamnya.

3. Prejudice Reduction (Pengurangan Prasangka) Aspek ini penting dalam menciptakan “perilaku etnik

dan rasial yang positif”. Pada dasarnya, dimensi ini adalah aspek pendidikan dimana guru membantu untuk mengurangi jumlah prasangka yang ada dalam siswa.

4. Equity Pedagogy (Ekuitas Pedagogy) Ekuitas Pedagogi ada bilamana guru mengubah ajaran

mereka dengan cara memfasilitasi prestasi akademik siswa dari berbagai ras, budaya, dan kelompok-kelompok kelas sosial. Ini termasuk menggunakan gaya mengajar berbeda untuk memenuhi kebutuhan yang beragam dari siswa

5. An Empowering School Culture and Social Structure (Memberdayakan Budaya Sekolah dan Struktur Sosial )

6. Memberdayakan Budaya Sekolah dan Struktur Sosial dapat dilakukan dengan menggunakan keempat dimensi lainnya untuk membuat lingkungan pendidikan yang aman dan sehat untuk semua.

Adapun Howard (1993) berpendapat bahwa pendidikan multukultural memberi kompetensi multikultural. Siswa pada awal kehidupan akan hidup dan mengacu pada daerah, budaya, dan etnis masing-masing dari mereka. Kesalahan dalam mentransformasi nilai,

Page 7: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

127

Media dan Pluralisme di Indonesia

aspirasi, etiket dari budaya tertentu, sering berdampak pada primordialisme kesukuan, agama, dan golongan yang berlebihan. Faktor ini menjadi penyebab timbulnya permusuhan antar etnis dan golongan.

Menurut Baker dalam bukunya “Planning dan Organizing for Multicultural Instruction” menjelaskan bahwa pendidikan multikultural mendidik anak untuk melihat, mendukung dan memperhatikan satu atau beberapa budaya, sebagai contoh adalah sistem, bahasa, gaya hidup, dan lain sebagainya. Pendidikan multikultural menyangkup 3 aspek, yaitu: (1) Ide dan kesadaran akan pentingnya nilai keragaman budaya, (2) Gerakan pembaharuan pendidikan dan (3) Proses.

Dengan adanya pendidikan multikutur sejak dini anak-anak diharapkan untuk mengerti dan menerima keberagaman dari masing-masing budaya, etnis, suku, agama, termasuk pada usage (cara individu bertingkah laku); folkways (kebiasaan-kebiasaan yang ada di masyarakat), mores (tata kelakuan di masyarakat), dan customs (adat istiadat suatu komunitas). Dengan adanya pendidikan multikultur sejak dini, maka akan menumbuhkan rasa toleransi, empati, simpati serta mampu dan mengerti untuk menerima keberagaman (perbedaan) tanpa memandang golongan, status, gender, dan kemampuan akademik (Farida Hanum, 2005).

Sobat Anak - Percik

Percik, merupakan lembaga independen yang diperuntukan bagi penelitian sosial, demokrasi dan keadilan sosial. Lembaga ini didirikan pada awal tahun 1996 (1 Pebruari 1996) oleh sekelompok ilmuwan di

Page 8: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

128

Media dan Pluralisme di Indonesia

Salatiga yang terdiri dari sejumlah peneliti sosial, pengajar universitas, serta aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang bantuan hukum serta pengorganisasian masyarakat. Para pendiri ini merupakan sebagian dari staf akademik sebuah universitas di Salatiga yang terpaksa keluar dari universitas tersebut karena menolak beberapa kebijakan dari pengurus yayasan dan pimipinan universitas yang dinilai tidak demokratis, bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan tidak menjunjung tinggi kebebasan akademis serta otonomi kampus. Berdirinya Lembaga Percik merupakan wadah baru untuk mewujudkan idealisme mereka mengenai masyarakat yang demokrastis dan berkeadilan sosial.

Dalam hubungannnya dengan multikultural, Percik mencoba menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep berkaitan dengan pendidikan multikultural. Yang terpenting dalam pendidikan multikultural menurut adalah seorang guru atau pendidik tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan dari sekolah tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain.

Dalam konteks Percik, usaha untuk mengurangi pilarisasi agama dan kecurigaan antara agama yang

Page 9: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

129

Media dan Pluralisme di Indonesia

muncul karena pilarisasi tersebut sudah di lakukan sejak berdirinya lembaga Percik melalui berbagai kegiatan penelitian dan advokasi. Persoalan pendidikan anak menjadi hal yang di perhatikan Percik. Oleh sebab itu Percik mencoba menggagas persoalan ini dengan membuat suatu forum lintas kultural anak yang dinamakan “Sobat Anak” dimana forum ini bertujuan untuk memberi ruang bagi anak untuk belajar bersama tentang pluralisme melalui bermain dan mengenal tradisi dari agama-agama yang ada.

Forum ini menggelar kegiatan pertamanya pada november 2007 dengan nama “Ketupat Persahabatan”. Di dalam acara ini anak-anak dari berbagai suku dan agama dikumpulkan menjadi satu untuk berbaur. Kebanyakan dari mereka adalah berumur 6 -12 tahun atau dalam usia sekolah dasar. Awalnya mereka masih malu, dan hanya mau bermain dengan orang tua mereka, akan tetapi lama-kelamaan mereka akhirnya mau bermain dengan sesama. Anak-anak yang muslim banyak yang menggunakan kopiah atau peci, sedangkan yang perempuan banyak yang memakai kerudung, anak-anak lain yang melihat atribut atau dalam berpakaian menimbulkan berbagai pertanyaan, seperti “Kenapa memakai kopiah atau kerudung, sedangkan aku tidak?”. Pertanyaan-pertanyaan semcam itu banyak sekali ditanyakan oleh anak-anak yang bukan beragama muslim. Setelah bermain anak-anak lalu dikumpulkan untuk diberi pengertian mengenai kopiah atau kerudung hingga makna berpuasa bagi anak muslim.

Ada keunikan di dalam kegiatan ini, yaitu dilakukan simulasi mengenai silaturahmi dengan sasaran mengenal tradisi perayaan hari raya Idul Fitri (termasuk simulasi Salat

Page 10: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

130

Media dan Pluralisme di Indonesia

Ied). Dalam simulasi ini anak-anak yang tidak merayakan idul fitri atau beragama selain Islam, akan mendatangi anak-anak yang beragama Islam untuk bersilaturahmi, bersalaman dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah dibuat. Setelah bersilaturahmi, anak-anak yang beragama Islam akan melakukan Sholat Ied disaksikan oleh anak-anak lain yang beragama selain Islam. Harapannya bahwa anak-anak yang beragama selain Islam akan menanamkan budaya silaturahmi dan meminta maaf kepada teman-teman yang beragama Islam atas kesalahan yang pernah ia perbuat. Sedangkan untuk Sholat Ied, anak-anak akan mengetahui bagaimana peribadatan dalam perspektif Islam, termasuk makna dari Sholat Ied itu sendiri.

(Gambar:6 Kegiatan Sobat Anak- Percik)

Contoh lain adalah kegiatan pada bulan Februari 2010 dimana anak-anak diajak untuk mengikuti studi banding di KPPT Salatiga. Anak-anak diperkenalkan dengan alam lebih dekat agar mereka mencintai dan bersahabat dengan alam lingkungannya. Pada kegiatan ini banyak sekali diajarkan mengenai local wisdom, atau

6 Sumber gambar dari Percik, Pustaka Percik

Page 11: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

131

Media dan Pluralisme di Indonesia

kebudayaan lokal terkait dengan alam. Apa yang anak-anak bisa pelajari terutama di dalma menjaga alam supaya ke depannya alam tersebut tidak punah dan bersahabat dengan manusia. Hal-hal kecil seperti membuang sampah di tempat sampah, tidak membuang sampah di sungai dan mengambil sampah yang berserakan dan memasukkannya ke tempat sampah merupakan sesuatu hal yang sederhana tetapi manfaatnya sangat besar di kemudian hari.

Yang tak kalah seru adalah kegiatan pada bulan Juli 2012 bertempat di Percik, anak-anak baik yang beragama Kristen, Katholik, Budha, Islam maupun Hindu mereka diajak untuk mengikuti “Wisuda Bumi”, dimana kegiatan tersebut diisi dengan peribadatan umat Hindu. Anak-anak diminta untuk melihat bagaimana umat Hindu beribadat, apa saja yang dilakukan serta diperkenalkan mengenai tata cara peribadatan, salam apa yang digunakan beserta dengan artinya menggunakan bahasa yang sederhana.

(Gambar:7 Kegiatan “Wisuda Bumi” yang diikuti oleh Sobat Anak)

7 Sumber gambar dari Percik, Pustaka Percik

Page 12: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

132

Media dan Pluralisme di Indonesia

Sekolah komunitas “Qaryah Thayyibah”

Paradigma masyarakat kita bahwa untuk mencari ilmu haruslah bersekolah. Banyak sekali sekolah-sekolah yang dibangun baik di pusat maupun di daerah. Ragamnya juga berbagai macam, ada yang kejuruan, international school, negeri, swasta atau banyak juga sekolah yang menggunakan orang asing (native) sebagai pengajar atau guru. Masalahnya, sekolah saat ini tidak hanya menuntut tekad bulat untuk menuntut ilmu, namun juga harus diiringi kesediaan dan kemampuan finansial orang tua dalam menyekolahkan anaknya. Sebagai contoh apabila orang tua ingin menyekolahkan anaknya di Sekolah Dasar, bisa saja gratis, akan tetapi tetap ada biaya yang harus dikeluarkan oleh orag tua, biaya seperti seragam, buku, iuran-iuran, belum lagi jika ada perjalanan studi banding. Itupun belum sekolah favorit atau sekolah yang bertaraf internasional dengan pengajarnya adalah orang asing. Bagaimana jika ada seorang anak yang pintar dengan IQ tergolong jenius tetapi tidak mampu? Apakah sekolah yang notabene adalah tempat untuk mencari ilmu hanya diperuntukkan bagi orang mampu?

Berkaca dari permasalahan diatas serta keresahan yang ada, Bahruddin, inisiator sekaligus penggerak model pendidikan alternatif di Salatiga mengajukan ide untuk membangun Learning Based Community (pendidikan berbasis komunitas) di desa Kalibening, kecamatan Tingkir, Salatiga. ‹Sekolah› setingkat SMP ini diberi nama Qaryah Thayyibah (QT) yang berarti Desa milik Allah yang dilimpahi keberkahan. Kini QT sudah memiliki 150 siswa setingkat SMP dan SMA. Qoriyah Toyibah merupakan sebuah kelompok belajar yang berada di lingkungan

Page 13: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

133

Media dan Pluralisme di Indonesia

paguyuban tani. Bahruddin merupakan lulusan PGA (Pendidikan

Guru Agama) yang setara SMA. Telah lulus dari universitas STAIN namun tidak mengambil ijasahnya hingga saat ini. Bahruddin merupakan seorang aktivis yang kemudian membentuk kelompok tani di desanya sendiri yaitu desa Kalibening.

Salah satu latar belakang didirikannya QT adalah keprihatinan dari masyarakat sekitar terutama dari Bahruddin tentang pendidikan. Pada awalnya, QT berdiri secara tidak sengaja ketika Bahruddin hendak memasukkan anaknya ke SMP. Warga di sekitar desa Kalibening dikumpulkan oleh Bahruddin kemudia bermusyawarah bersama bagaimana dengan kelanjutan sekolah dari masing-masing anak dari tiap-tiap keluarga. Ada beberapa warga yang mengaku keberatan dengan biaya pendidikan di SMP yang mahal. Kemudian Bahruddin berinisiatif untuk mendirikan sekolah sendiri. Asalkan ada 10 orang yang mau mengikuti, Bahruddin akan mendirikan sekolah sendiri. Awalnya banyak warga yang mencemooh ide tersebut. Namun, setelah bermusyawarah, ternyata ada 12 anak yang mau menyetujui untuk membuat sekolah sendiri. QT pun berdiri awalnya dengan 12 orang murid. Tempat belajarnya pun berada didalam rumah Bahruddin sendiri.

Pada tahun 2003, QT sudah memiliki unlimited internet sumbangan dari seorang pengusaha warnet “indo.net” salatiga. Bahruddin berasumsi bahwa setiap anak harus punya komputer. Oleh sebab itu, setiap anak setiap harinya di wajibkan membawa uang Rp 3000 ,00. Uang itu diakumulasikan dengan rincian Rp 1000,00 digunakan

Page 14: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

134

Media dan Pluralisme di Indonesia

untuk menabung beli komputer, Rp 1.000,00 digunakan untuk membeli kebutuhan seperti kamus,gitar,dll dan Rp 1.000,00 digunaka untuk membeli makanan dan susu setiap harinya. Setelah berjalan setengah tahun, Bahruddin berhasil membeli komputer untuk muridnya.

Qoriyah Toyibah merupakan komunitas atau kelompok belajar bukan sekolah formal. QT ini didirikan untuk memacu agar anak didiknya kreatif. QT ini merupakan suatu bentuk pendidikan alternatif. Buktinya, para siswa yang masih berusia belasan tahun mampu membuat rancangan dan design properti layaknya arsitek dan designer interior. Di QT, semua proses belajar mengajar ditentukan oleh siswa sendiri. Setiap senin diadak upacara. Namun upacara disini bukanlah upacara dilapangan melainkan suatu bentuk diskusi untuk menentukan apa yang akan dipelajari seminggu kedepan. Setiap senin pagi juga para siswa mengadakan kerja bakti membuat pematang sawah di persawahan warga sekitar. Disetiap akhir semester, akan diadakan test semester yang akan menguji sejauh mana siswa dapat mengembangkan imajinasinya dalam bentuk produk. Hingga kini, QT yang sudah berusia 9 tahun memiliki 45 siswa. QT memiliki banyak penghargaan dari beberapa bidang. Salah satu contohnya adalah Bahruddin yang memperoleh penghargaan “Pejuang Pendidikan”.

Hingga kini, setiap bulannya QT memiliki newsletter8 yang dibuat oleh siswanya sendiri. Pembiayaan untuk pembuatan itu pun dimusyawarahkan bersama dan akhirnya memperoleh keputusan bahwa setiap bulannya

8 Buletin

Page 15: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

135

Media dan Pluralisme di Indonesia

setiap anak diharuskan membayar Rp6.000,00 untuk mengganti ongkos cetak. Selain itu, sudah banyak karya-karya dari para siswa di QT ini selain newsletter dan novel, ada juga lukisan dan komik serta video clip yang mereka buat sendiri mulai dari perekaman, editing hingga tahap akhirnya.

Selain karena keprihatinan terhadap pendidikan, latar belakang dari Bahruddin dalam mendirikan QT adalah karena masalah yang sedang dialami oleh bangsa kita saat ini yaitu ketika seorang anak masuk dalam pendidikan paling rendah yaitu tingkat SD, mereka malahan tidak pernah mempelajari masalah-masalah sosial yang terjadi di daerhanya sendiri melainkan belajar tentang kerajaan-kerajaan Singasari, Majapahit,dll. Yang Bahruddin inginkan adalah mengajak siswanya untuk berfikir keluar dari “kotak” (hal-hal atau pelajaran pelajaran formal) dan mengajak agar siswanya berfikir secara lokal tentang masalah-masalah yang terjadi di daerah sekitar mereka.

Konsep dari QT hampir mirip dengan homeschooling, akan tetapi ada beberapa hal yang beda, yaitu jika homeschooling menerapkan kurikulum serta mata pelajaran yang harus dipelajari siswa, di QT tidak ada acuan mata pelajaran. Jadi siswa secara bebas memilih mata pelajaran atau pengetahuan yang ia inginkan dan ia butuhkan. Homeschooling sendiri secara sederhana sering diartikan pendidikan atau sekolah di rumah, kritik yang ada mengenai homeschooling adalah interaksi siswa dengan orang lain menjadi terbatas, karena mereka jarang bertemu antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan di QT, lingkungan sekitar dan masyarakatnya adalah ‹sekolah› bagi siswa QT. Jadi model pendidikan alternatif dijamin

Page 16: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

136

Media dan Pluralisme di Indonesia

tidak akan mengisolasi siswa dari lingkungannya. Justru mendorong siswa untuk terlibat aktif di lingkungannya.

Kedua hal diatas digagas oleh Bahruddin karena sesuatu yang dipaksakan, seperti sekolah-sekolah pada umunya hasil nya tidak akan baik atau bahkan tidak produktif. Lihat saja bagaimana anak usia sekolah dasar sudah “dicekoki9” pengetahuan yang sangat luas, berbeda dengan pendidikan di luar negeri bahwa pengetahuan yang diberikan kepada siswa sangatlah fokus. Akibatnya anak-anak bukan menjadi konsumtif akan pengetahuan, karena terlalu banyak pengetahuan yang diserap, tetapi anak menjadi tidak produktif.

(Gambar10: Bahruddin pencetus Pendidikan Alternatif QT)

9 Diberi tanpa memperhatikan kondisi dari yang bersangkutan10 Sumber gambar http://www.hidupkatolik.com/foto/bank/

images/sajut-ahmad-bahruddin-hidup-katolik.jpg

Page 17: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

137

Media dan Pluralisme di Indonesia

(Gambar11: Kegiatan-kegiatan di Pendidikan Alternatif QT)

Bahruddin memiliki konsep bahwa siswa atau anak haruslah mandiri dalam belajar. Di dalam pendidikan alternatif seperti QT ini, anak dikondisikan untuk terbiasa belajar secara mandiri. Bayangkan, jika selama 6 tahun mereka dilatih untuk memilih sendiri apa yang akan mereka pelajari. Juga merumuskan sendiri (bersama teman satu forum) materi yang akan dipelajari dan menyiapkan sendiri segala macam perangkat yang dibutuhkan untuk belajar, maka bisa dipastikan setelah lulus ‹sekolah› dia tidak akan kesulitan untuk terus belajar meski sudah tidak berada di lingkungan sekolah.

Prinsip dasar QT adalah memberi kebebasan pada siswa untuk belajar apa pun yang mereka sukai. Guru (di QT disebut pendamping) hanya memberikan ide atau masukan, apakah nanti akan diterima anak atau tidak, semua dikembalikan ke siswa.

Apakah dengan model alternatif seperti ini akan

11 Sumber gambar http://halamandunia06.blogspot.com/2013/02/mengenal-lebih-jauh-sekolah-alternatif.html

Page 18: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

138

Media dan Pluralisme di Indonesia

membuat siswa atau anak bisa berprestasi? Pertanyaan tersebut sempat ditanyakan kepada Bahruddin selaku penggagas dari pendidikan alternatif ini. Menurut Bahruddin, justru dengan konsep ini anak malah lebih giat, semangat, rajin dan tahu akan kebutuhan yang ia butuhkan, untuk prestasi beliau mengungkapkan siswanya banyak menorehkan prestasi12, diantaranya yaitu Maia Rosyida, yang sudah menulis 20 buku. “Saat ini umurnya 18 tahun,” ungkap Bahruddin. Saat mulai bersekolah di QT, Maia menyampaikan kalau suka menulis, maka yang dilakukan para pendamping adalah mendukung dan mendorongnya untuk terus menulis. Hasilnya, benar-benar tak terduga, karena si anak didukung melakukan sesuatu yang sesuai minatnya, dalam waktu singkat 20 buku berhasil ditulisnya. Sebagian di jilid, di-copy dan disebarluaskan oleh pihak sekolah, sebagian lagi diterbitkan oleh penerbit profesional.

Fina, Izza dan Siti, tiga orang siswa QT berhasil menerima penghargaan Creative Kids Award dari Yayasan Creatif Indonesia pimpinan Seto Mulyadi. Ketiga anak itu membuat karya tulis berjudul “Haruskah UN Dihapus?” Karya tulis itu dibuat sebagai tugas akhir sebelum mereka lulus dari QT.

Belum lagi sejumlah karya berupa hasil penelitian, film, musik yang dibuat oleh siswa-siswa QT. Semua karya tersebut ide orisinal dari si anak dengan masukan para pendamping. Semua karya yang mengagumkan itu bersumber pada sebuah prinsip pendidikan yang membebaskan anak untuk mempelajari apa yang dia

12 Saduran http://manusiaindonesiaraya.blogspot.com/2011/06/sekolah-tanpa-sekolah-pendidikan.html

Page 19: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

139

Media dan Pluralisme di Indonesia

suka, sambil tetap mendampingi dan mendukung sebisa mungkin. Anggapan orang untuk berprestasi anak haruslah diberikan pengarahan dengan ketat, ikut berbagai macam les atau bimbingan belajar dengan jadwal yang padat, guru-guru yang berkualitas atau bahkan native13 nampaknya terpatahkan dengan adanya prestasi yang bisa dihasilkan oleh anak-anak dari pendidikan alternatif QT. Dengan ketiadan jadwal pelajaran, tanpa guru, gedung sekolah, laboratorium justru mendorong para siswa untuk lebih kreatif.

Berdasakan dari cerita tentang QT, dapat diketahui bahwa kebudayaan di kelompok tani di desa kalibening sangatlah kuat. Kebudayaan merupakan satu unit interpretasi, ingatan dan makna yang ada dalam manusia dan bukan sekedar dalam kata-kata. Kebudayaan meliputi kepercayaan,nilai dan norma. Berdasar dari cerita QT, masyarakat setempat masih mempercayai bahwa sesuatu yang dibangun bersama akan berhasil dan buktinya QT masih dapat bertahan hingga sekarang. Unsur kekeluargaan dalam kelompok tani desa Kalibening pun masih tinggi. Hal itu dapat dibuktikan ketika ada salah satu warga desanya yang tak mampu membiayai anaknya untuk melanjutkan pendidikan di sekolah formal, mereka mengadakan musyawarah untuk menyelesaikan masalah tersebut dan akhirnya bersama-sama mendirikan QT. Dalam setiap senin pagi, para siswa mengadakan gotong royong membuat pematang sawah. Hal ini juga menunjukkan bahwa kebudayaan di desa Kalibening masih sangatlah kuat.

13 Guru Native (orang asing)

Page 20: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

140

Media dan Pluralisme di Indonesia

QT terbentuk karena adaya komunikasi yang baik yang diciptakan antara warga sekitar dan dengan Bahruddin. bentuk komunikasi yang mereka lakukan adalah dengan cara musyawarah. Melalui musyawarah, masyarakat terutama masyarakat desa Kalibening dapat mengungkapkan aspirasinya sehingga komunikasi dapat berjalan dengan efektif dapat terbentuklah keputusan untuk mendirikan QT.

Pendidikan Alternatif Sebagai Pendidikan Multikultural

Penjelassan diatas mengungkapkan bahwa pengertian multikultural terutama dalam dunia pendidikan. Apa yang sudah dilakukan oleh Percik dengan Sobat Anak, maupun Bahrudin dengan ‘Sekolah” Qaryah Thayyibah (QT) merupakan pendidikan multikultural. Meminjam aspek dari Baker14 (1994: 11) dikatakan bahwa paling tidak ada 3 aspek yang terkait dengan pendidikan multikultural, yaitu

1. Ide dan Kesadaran akan Pentingnya Nilai Keragaman Budaya

Di saat berada di sekolah atau pendidikan alternatif sudah pasti bahwa siswanya berasal bukan hanya dari 1 golongan saja, atau dari 1 budaya saja, akan tetapi berbagai macam budaya, bahasa, gaya hidup, dialek, dan lain sebagainya. Ide ini dirasa penting dalam dunia pendidikan, dimana siswa walaupun berbeda akan tetapi memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk belajar dan mencari

14 Saduran dari http://eprints.uny.ac.id/307/1/PENDIDIKAN_MULTIKULTURAL_DALAM_PLURALISME_BANGSA.pdf

Page 21: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

141

Media dan Pluralisme di Indonesia

ilmu tanpa melihat perbedaan yang ada. Semua siswa walaupun berbeda budaya sejatinya haruslah memliki hak dan kesempatan yang sama dalam pendidikan. Pentingnya untuk mengerti dan paham mengenai budaya siswa lain atau orang lain dirasa perlu untuk memahami karakter dari seseorang. Yang paling penting adalah adanya perbedaan perlu dipahami dan diterima dengan sebaik-baiknya serta adanya toleransi agar dapat hidup rukun berdampingan tanpa melihat unsur yang berbeda.

Substansi pendidikan multikultural pada tahap ini adalah menanamkan pada siswa bahwa manusia yang hidup di sekitarnya dan di tempat lain serta di dunia ini sangat beragam. Sebenarnya semua nilainya sama. Sama-sama orang indonesia, rumah juga sama, makanan, lagu, berpakaian, tokoh, ibadah, perkawinan, maksud kata, dan sebagainya. Dengan demikian siswa mulai mengerti bahwa ada cara yang berbeda tetapi maksud dan nilainya sama. Sehingga mereka dapat belajar untuk menerima perbedaan dengan proses rasa yang menyenangkan. Akhirnya siswa merasa berbeda itu bukanlah masalah tetapi anugerah.

Hal ini yang dicoba oleh Percik dengan membuat suatu pendidikan alternatif yaitu Sobat Anak dengan memberikan gambaran akan perbedaan kepada siswa atau anak-anak sedini mungkin. Dengan memberikan gambaran, simulasi, bertemu dengan anak yang berbeda agama, anak-anak tersebut akan menerima pengetahuan mengenai perbedaan. Apabila diberi pengertian yang baik mengenai perbedaan maka akan menumbuhkan sikap toleransi yang kuat sedini mungkin. Adanya toleransi yang kuat maka akan memberikan pengertian “tidak ada

Page 22: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

142

Media dan Pluralisme di Indonesia

yang salah dengan perbedaan”, bahkan perbedaan itu ternyata menyenangkan. Bekal inilah yang nantinya atau kedepannya akan di bawa anak-anak dalam memahami dan menyadari akan makna perbedaan.

2. Gerakan Pembaharuan Pendidikan

Adanya pergumulan mengenai pendidikan di sekollah formal yang sifatnya “dicekoki” atau adanya kesenjangan sosial mengenai yang mampu maka akan mendapat pendidikan yang lebih layak, dirasa oleh Bahruddin sebagai suatu hal yang salah. Oleh karena itu untuk gerakan pembaharuan pendidikan, Bahruddin dengan sekolah (QT) mencoba untuk menerapkan pendidikan yang “keluar dari kotak”. Sama-sama mencari ilmu hanya konsep mulai dari dini dirubah. Apabila di sekolah formal anak-anak belajar dengan berbagai macam pengetahuan, maka di sekolah QT anak-anak hanya belajar mengenai apa yang mereka inginkan dan sukai.

Masalah dana yang selama ini menjadi masalah yang utama, apabila di sekolah QT hal itu buka menjadi penghalang. Justru dengan adanya keterbatasan (dana, ruangan, gedung, buku, dll) inilah maka siswa yang belajar di sekolah QT malah lebih kreatif dan produktif.

Bahkan konsep yang diterapkan oleh Bahruddin membawa siswa untuk meraih berbagai prestasi walaupun hal itu ia lakukan tidak menggunakan sistem sekolah formal yang harus ada kurikulum atau berbagai mata pelajaran. Contoh itu dapat kita lihat sebagai suatu bentuk gerakan pembaharuan pendidikan, dimana Bahruddin berusaha untuk keluar dari “pakem” nya dalam dunia pendidikan formal.

Page 23: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

143

Media dan Pluralisme di Indonesia

3. Proses Pendidikan.

Pendidikan multikultural menurut Baker adalah suatu proses, dimana yang tujuan dari pendidikan multikultur tidak akan pernah terealisasikan secara penuh, jadi terus bergulir. Pendidikan multikultural adalah proses menjadi, proses yang berlangsung terus-menerus dan bukan sebagai sesuatu yang langsung tercapai.

Tujuan pendidikan multikultural adalah untuk memperbaiki prestasi secara utuh bukan sekedar meningkatkan nilai dan angka, akan tetapi lebih dari itu. Percik dengan Sobat Anak dan Bahruddin dengan Sekolah QT mencoba untuk terus menerapkan tujuannya di dalam pendidikan multikultural, beberapa tujuannya adalah memberi kesadaran akan perbedaan sehingga menumbuhkan toleransi dan membuat perubahan terutama dalam dunia pendidikan dengan konsep dan ide yang keluar dari “pakemnya”.

Perbedaan ras, gender, prejudice atau prasangka dan diskriminasi terhadap orang lain pasti akan selalu ada. Jika prasangka dan diskriminasi bisa dikurangi atau bahkan dihapus maka hidup akan semakin menyenangkan. Prasangka dan diskriminasi ini bisa dicegah dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menanamkan rasa toleransi dan kesadaran kepada siswa atau anak sedini mungkin, melalui pendidikan laternatif seperti Percik dan Sekolah QT, dimana tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan persamaan pendidikan untuk semua siswa, mengajarkan sikap toleransi dan memberi kesadaran akan perbedaan.

Page 24: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

144

Media dan Pluralisme di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Baker G.C. 1994. Planning dan Organizing for Multicultural Instruction. (2nd). California: Addison-Elsey Publishing Company.

Banks, James A. 1993. An Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn and Bacon.

………… Cherry A McGee Banks (editor). 2001. Handbook of Research on Multicultural Education 2nd Edition. San Fransisco: Jossey Bass.

Bhiku Parekh. 1996. The Concept of Multicultural Education in Sohen Modgil, et.al.(ed) Multicultural Education the Intermitable Debate. London: The

Falmer Press.Farida Hanum. 2005. Fenomena Pendidikan Multikural

pada Mahasiswa Aktivis UNY. Laporan Penelitian. Lemlit UNY.

…………, dan Setya Raharja. 2006. Pengembangan Model dan Modul Pendidikan Multikultural di SD. (Sebagai suplemen Mata Pelajaran IPS). Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Lemlit UNY.

…………. 2009. Classroom Practice in A Multicultural Context. Paper Presentation in International Seminar on Multiculturalism And (Language and Art) Education. “Unity and Harmony in Diversity”. Yogyakarta State University 21-22 October 2009.

Gollnick, M.Donna, and C. Philip Chinn. 1998. Multicultural Education in a Pluralistic Society. New Jersey: Prentice Hall.

Page 25: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

145

Media dan Pluralisme di Indonesia

H.A.R Tilaar. 2004. Kekuatan dan Pendidikan. Jakarta: Grasindo.

Hasyim Djalal. 2007. Jati Diri Bangsa dalam Ancaman Globalisasi, Pokok-Pokok Pikiran Guru Besar Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press.

Haviland, William A. 1998. Antropologi 2. Terj. Jakarta: Airlangga.

Lawrence, E. Harrison and Samuel P. Huntington. 2000. Culture Matters, How Values Shape Human Progress. New York: Basic Books.

Murrell, P. 1991. Cultural Politics in Teacher Education: What is missing in the

preparation of minority teachers? In M. Foster, ed., Reading on Equal Education, vol. 11: Qualitative Investigation into Schools and Schooling, 2005-225. New York: AMS.

Musa Asy’arie. 2004. Pendidikan Multikutlural dan Konflik 1-2. www.kompas.co.id. Akses Nov 2013

Nasikun. 2005. Imperatif Pendidikan Multikultural di Masyarakat Majemuk. Makalah. Disampaikan di Universitas Muhammadiyah Surakarta Sabtu, 8 Januari 2005 di Ruang Seminar FE UMS.

Prakoso Bhairawa Putra. 2008. Strategi Pemeliharaan Batas Wilayah Melalui Penguatan Pengelolaan Tata Ruang Pulau-Pulau Kecil Terluar. Inovasi Online, vol. 12/xx/Nov. 2008. http://cc.msnscache.com/cache.aspx?q.

Ross, Mac Howard. 1993. the Culture of Conflict: Interpretation and Interest in

Page 26: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

146

Media dan Pluralisme di Indonesia

Comparative Perspective. Connecticut: Yale University Press.

Soedjatmoko. 1996. Etika Pembebasan. Jakarta: LP3ES.Suryadinata, Leo, Evi Nurvida Arifin. 2003. Penduduk

Indonesia. Jakarta: LP3ES.Sutarno. 2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Ditjen

Dikti.

WEBSITE• www.percik.or.id• http://eprints.uny.ac.id/307/1/PENDIDIKAN_

MULTIKULTURAL_DALAM_PLURALISME_BANGSA.pdf

• http://www.learner.org/workshops/socialstudies/pdf/session3/3.Multiculturalism.pdf

• http://www.hidupkatolik.com/foto/bank/images/sajut-ahmad-bahruddin-hidup-katolik.jpg

• http://halamandunia06.blogspot.com/2013/02/mengenal-lebih-jauh-sekolah-alternatif.html

• h t t p : / / m a n u s i a i n d o n e s i a r a y a . b l o g s p o t .com/2011/06/sekolah-tanpa-sekolah-pendidikan.html

Page 27: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

147

Media dan Pluralisme di Indonesia

PLURALISME DALAM VISUAL

Berbeda Dalam Satu15

Sebuah grup band dari kalimantang menggandeng seorang pemain terompet dari luar negeri dalam suatu pertunjukan di Ngayogjazz 2013

15 Wahyu Adi Nugroho, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Satya Wacana

Page 28: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

148

Media dan Pluralisme di Indonesia

Beriringan16

Seorang penari mengajak salah satu penonton yang berasal dari luar negeri untuk menari bersama dalam salah satu penampilan di Festival Lima Gunung 2013

16 Ibid.,

Page 29: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

149

Media dan Pluralisme di Indonesia

Berkunjung17

Dua orang perempuan muslim berkunjung ke klenteng untuk melihat dan menikmati suasana di klenteng Sam Po Khong

Perenungan Di Depan Sam Po Khong18

17 Ibid.,18 Ibid.,

Page 30: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

150

Media dan Pluralisme di Indonesia

Seorang pensiunan menikmati suasana hening di depan patung Sam Po Khong di klenteng daerah pecinan Semarang

Page 31: PENDIDIKAN ALTERNATIF DAN MULTIKULTURAL - UKSW

151

Media dan Pluralisme di Indonesia