PENDAPAT IMAM ASY-SYÂFI'I TENTANG PEMBERLAKUAN...
-
Upload
truongxuyen -
Category
Documents
-
view
244 -
download
0
Transcript of PENDAPAT IMAM ASY-SYÂFI'I TENTANG PEMBERLAKUAN...
PENDAPAT IMAM ASY-SYÂFI'I TENTANG
PEMBERLAKUAN HUKUM RAJAM BAGI PEZINA
KAFIR DZIMMY
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh:
ABDUL WAHAB NIM: 2103094
JURUSAN SIYASAH JINAYAH
FAKULTAS SYARI’AH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2010
MOTTO
تأخذكم ي فاجلدوا كل واحد منهما مئة جلدة والالزانية والزان دهشليم الآخر وواليون بالله ومنؤت مأفة في دين الله إن كنتا ربهم
مننيؤالم نا طائفة ممهذاب٢:النور(ع( Artinya: "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah betas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur: 2)."
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 543. .
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat
dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang
selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang
tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat: o Bapak dan Ibuku tercinta (Bapak H. Saroni dan Ibu Hj. Taripah) yang
telah mengenalkan ku pada sebuah kehidupan dengan sebuah kasih
sayang yang tak bertepi Dalam diri beliau kutemui contoh sosok orang
tua yang sangat hebat.
o Kakak dan adikku serta seluruh keluarga ku tercinta, semoga kalian
temukan istana kebahagiaan di dunia serta akhirat, semoga semuanya
selalu berada dalam pelukan kasih sayang Allah SWT.
o Teman-teman Fak Syariah Jurusan Siyasah Jinayah.
Penulis
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang telah pernah ditulis oleh
orang lain atau diterbitkan, kecuali informasi
yang terdapat dalam referensi yang dijadikan
bahan rujukan.
Semarang, 13 Pebruari 2010
Deklarator,
ABDUL WAHAB NIM: 2103094
ABSTRAK Perzinaan merupakan perbuatan yang sangat tercela karena selain
bertentangan dengan agama juga bertentangan dengan hukum dan adat istiadat masyarakat. Dampak dari perzinaan sangat besar baik bagi pelakunya maupun bagi masyarakat. Atas dasar itu agama Islam menciptakan hukuman bagi pelaku perzinaan yaitu rajam bagi yang telah menikah dan dicambuk 100 kali bagi yang belum menikah. Akan tetapi masalah yang muncul adalah apakah orang di luar Islam seperti kafir zimmy dapat dihukum dengan hukuman yang sama? dan karenanya muncul pertanyaan, apa latar belakang pendapat Syafi'i bahwa pelaku zina kafir dzimmy dapat dikenakan hukum rajam? Bagaimana metode istinbat hukum Syafi'i tentang pelaku zina kafir dzimmy dapat dikenakan hukum rajam? Apakah penerapan pendapat Syafi'i tentang hukuman bagi pelaku zina kafir dzimmy dalam konteks negara Islam?
Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian library research. Sebagai data primer yaitu karya-karya Imam Al-Syafi'i yaitu kitab Al-Umm dan al-Risalah dan data sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul di atas. Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, maka peneliti menggunakan metode deskriptif analitis dan historical approach yaitu suatu periodesasi atau tahapan-tahapan yang ditempuh untuk suatu penelitian sehingga dengan kemampuan yang ada dapat mencapai hakikat sejarah. Menurut Bambang Sunggono, penelitian historis pada umumnya bertujuan untuk membuat rekonstruksi secara sistematis dan obyektif dari kejadian atau peristiwa di masa lalu, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, serta mensintesiskan data-data untuk menegakkan fakta dengan kesimpulan yang kuat (sahih).
Hasil dari pembahasan menunjukkan bahwa menurut Imam Syafi'i bahwa pelaku zina kafir dzimmy dapat dikenakan hukum rajam. Dalam hal ini Imam Syafi'i tidak mensyaratkan Islam, karena dalam perspektif Imam Syafi'i bahwa orang kafir dzimmy yang melakukan zina bisa dikenakan hukum rajam. Menurut penulis, jika kafir dzimmy yang melakukan perzinaan tidak dikenakan hukum rajam, sedangkan perbuatannya bisa menularkan penyakit, maka perbuatan zina kafir dzimmy akan meresahkan umat Islam dan posisi umat Islam sangat dirugikan. Perzinaan jika dibiarkan akan merusak sendi-sendi moral dan akhlaq yang pada akhirnya bisa merusak generasi umat Islam. Dengan demikian terasa adil apabila kafir dzimmy dikenakan hukum rajam. Dalam hubungannya dengan hukum rajam bagi pelaku zina kafir dzimmy, Imam Syafi'i menggunakan metode istinbat hukum yaitu al-Qur'an, yaitu surat al-Maidah ayat 42 dan 48, serta hadis riwayat dari Abu ath-Thahir dari Abdullah bin Wahb dari Rijal dari ahlul ilmi dari Malik bin Anas. Hadis riwayat Muslim.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas
taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini.
Skripsi yang berjudul: “PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG
PEMBERLAKUAN HUKUM RAJAM BAGI PEZINA KAFIR ZIMMY” ini
disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata
Satu (S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo
Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang.
2. Bapak Prof. Dr. Mujiono, M.A selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak
H.A. Furqon, Lc, MA selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan
layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo,
yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi.
5. Seluruh Staff Fakultas Syari'ah yang telah banyak membantu dalam
akademik.
Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang
tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para
pembaca pada umumnya. Amin.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ v
DEKLARASI ............................................................................................. vi
ABSTRAK ............................................................................................... vii
KATA PENGANTAR................................................................................ viii
DAFTAR ISI ............................................................................................. ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................. 5
C. Tujuan Penulisan ................................................................. 6
D. Telaah Pustaka .................................................................... 6
E. Metode Penulisan................................................................. 9
F. Sistematika Penulisan ......................................................... 12
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA DAN HUKUMAN
A. Zina .................................................................... 14
1. Pengertian Zina.............................................................. 14
2. Klasifikasi Zina.............................................................. 19
3. Unsur-Unsur Zina .......................................................... 27
B. Hukuman .................................................................... 33
1. Pengertian dan Dasar-Dasar Penjatuhan Hukuman ........... 33
2. Tujuan Hukuman ............................................................. 35
3. Macam-Macam Hukuman dan Pelaksanaannya ................ 39
BAB III : PENDAPAT SYAFI'I TENTANG PEMBERLAKUAN
HUKUMAN RAJAM BAGI PEZINA KAFIR ZIMMY
A. Biografi Syafi’i, Pendidikan dan Karyanya .......................... 44
B. Pendapat Syafi'i tentang Pemberlakuan Hukuman Rajam
bagi Kafir zimmy ................................................................ 51
C. Istinbat Hukum Syafi'i tentang Pemberlakuan
Hukuman Rajam bagi Kafir zimmy...................................... 59
BAB IV: ANALISIS PENDAPAT SYAFI'I TENTANG PEMBERLAKUAN
HUKUMAN RAJAM BAGI PEZINA KAFIR DZIMMY
A. Pendapat Syafi'i tentang Pemberlakuan Hukuman Rajam
bagi Kafir zimmy................................................................. 68
B. Istinbat Hukum Syafi'i tentang Pemberlakuan
Hukuman Rajam bagi Kafir zimmy...................................... 79
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 88
B. Saran-saran .......................................................................... 89
C. Penutup................................................................................ 89
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perzinaan merupakan perbuatan yang sangat tercela karena selain
bertentangan dengan agama juga bertentangan dengan hukum dan adat istiadat
masyarakat. Dampak dari perzinaan sangat besar baik bagi pelakunya maupun
bagi masyarakat. Atas dasar itu agama Islam menciptakan hukuman bagi
pelaku perzinaan yaitu rajam bagi yang telah menikah dan dicambuk 100 kali
bagi yang belum menikah. Akan tetapi masalah yang muncul adalah apakah
orang di luar Islam seperti kafir zimmy dapat dihukum dengan hukuman yang
sama?
Menariknya mengungkap persoalan zina dalam konteksnya dengan
kafir zimmy adalah karena al-Qur'an telah banyak menjelaskan tentang hukum-
hukum pidana berkenaan dengan masalah-masalah kejahatan termasuk
persoalan zina. Dalam hukum pidana Islam (fiqh jinayah), tindak pidana
(jarimah/delik) dibagi menjadi tiga macam : 1) tindak pidana yang sanksinya
dominan ditentukan oleh Allah, disebut jarimah hudud, 2) tindak pidana yang
sanksinya dominan ditentukan oleh Allah, tetapi haknya lebih ditekankan
kepada manusia, disebut jarimah qishas-diyat, dan 3) tindak pidana yang
sanksinya merupakan kompetensi pemerintah untuk menentukannya, disebut
jarimah ta'zir.1
1Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri' al-Jina'i al-Islamy, Juz I, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby,
tth, hlm. 78.
Jarimah hudud adalah suatu jarimah (tindak pidana) yang diancam
padanya hukuman hadd, yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan
jumlahnya oleh Allah Swt. jarimah hudud ada 7 (tujuh) macam, yaitu : zina,
qadzaf (menuduh berzina), sukr (minum-minuman keras), sariqah
(pencurian), hirabah (perampokan), riddah (keluar dari Islam) dan bughah
(pemberontakan).2
Berdasarkan keterangan tersebut menunjukkan bahwa jarimah zina
merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman hadd.
Selama ini telah terjadi penyimpangan seks, dan penyimpangan seks
berkembang dalam bentuk perzinaan. Allah Swt berfirman:
)٣٢: اإلسراء(شة وساء سبیال وال تقربوا الزنى إنھ كان فاح
Artinya: "Dan janganlah kalian dekati zina. Sesungguhnya perzinaan itu perbuatan keji dan jalan hidup yang buruk." (Al-Isra: 32).3
Hukuman untuk pelaku zina muhsan ini ada dua macam: (1) dera
seratus kali, dan (2) rajam. Landasan hukuman bagi pelaku zina muhsan
adalah hadiś Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ubadah ibn Ash-Shamit
bahwa Rasulullah saw bersabda:
أخبرنا بشر بن عمر الزھراني حدثنا حماد بن سلمة عن قتادة عن الحسن عن حطان بن ابن الصامت أن رسول اهللا صلى اهللا علیھ وسلم قال خذوا عني خذوا عبد اهللا عن عبادة
عني قد جعل اهللا لھن سبیال البكر بالبكر والثیب بالثیب البكر جلد مائة ونفي سنة والثیب 4)الترمذى(جلد مائة والرجم
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Bisri bin Umar Zahroniy dari
2Ibid., hlm. 79. 3Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:
DEPAG RI, 1978, hlm. 429. 4CD program Mausu'ah Hadiś al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software
Company
Hammad bin Salamah dari Qatadah dari al-Hasan dari Khittan bin Abdullah dari Ubadah bin Ash-Shamit, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda Allah telah memberikan jalan ke luar bagi mereka (pezina), jejaka dengan gadis, hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dengan janda, hukumannya dera seratus kali dan rajam"
Perzinaan merupakan perbuatan tercela dan merusak sendi-sendi
agama dan moral serta meruntuhkan seluruh norma dan tatanan kehidupan
masyarakat.5 Dalam pandangan Quraish Shihab bahwa seks dalam pandangan
Islam adalah sesuatu yang suci.6 Namun dengan adanya perzinaan maka seks
menjadi sesuatu yang kotor, menjijikkan dan menimbulkan berbagai penyakit
yang membahayakan kehidupan manusia. Atas dasar itu, semua agama langit
mengharamkan dan memerangi perzinaan. Dalam kitab Taurat, Injil masalah
perzinaan sangat dilarang. Dalam kitab Injil perjanjian lama ditegaskan
janganlah berzina.7
Agama Islam, yang dengan sangat keras melarang dan mengancam
pelakunya. Demikian itu karena zina menyebabkan simpang siurnya
keturunan, terjadinya kejahatan terhadap keturunan, dan berantakannya
keluarga. Bahkan hingga menyebabkan tercerabutnya akar kekeluargaan,
menyebarnya penyakit menular, merajalelanya nafsu, dan maraknya
kebobrokan moral.8
Lalu bagaimana bagi kafir zimmy muhsan, apa baginya berlaku
5http://anived.multiply.com/journal/item/54/Kasus_Pemerkosaan_Pekerja_Indonesia_di_
Malaysia, diakses tgl 5 Maret 2009 6Quraish Shihab, Mistik, Seks, dan Ibadah, Jakarta: Republika, 2004, hlm. 2. 7Lembaga al-Kitab, al-Kitab (Perjanjian Lama: Keluaran 20: 14), Jakarta: Lembaga al-
Kitab Indonesia, 1988, hlm. 90 8Yusuf Qardawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1986, hlm.
134.
hukuman yang sama yaitu dirajam? Dalam hal ini Imam Syafi'i menetapkan
hukuman rajam juga berlaku bagi kafir zimmy, karena Imam Syafi'i dalam
kitabnya al-Umm menyatakan sebagai berikut:
وحكم رسول اهللا صلى اهللا علیھ وسلم في یھودیین زنیا رجمھما وھذا معنى : قال الشافعىوأن "ومعنى قول اهللا تبارك وتعالى " وإن حكمت فاحكم بینھم بالقسط"قولھ عز وجل
9" أحكم بینھم بما أنزل اهللا
Artinya: Syafi'i berkata: Rasulullah Saw menghukumi dua orang Yahudi yang berzina untuk merajam keduanya, dan ini pengertian firmannya Azza wa Jalla (yang artinya): "Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil" (Al-Maidah/5: 42). Dan pengertian firman Allah Tabaraka wa Ta'ala (yang artinya) "dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah".
Signifikansi judul ini sebagai berikut: pertama, jika kafir zimmy yang
melakukan perzinaan tidak dikenakan hukum rajam, sedangkan perbuatannya
bisa menularkan penyakit, maka perbuatan zina kafir zimmy akan meresahkan
umat Islam dan posisi umat Islam sangat dirugikan. Kedua, perzinaan jika
ditolerir akan merusak sendi-asendi moral dan akhlaq yang pada akhirnya bisa
merusak generasi umat Islam. Dengan demikian terasa adil apabila kafir
zimmy dikenakan hukum rajam.
Berdasarkan keterangan tersebut, penulis hendak meneliti pendapat
Imam Syafi'i tersebut. Bertolak dari pernyataan Imam Syafi'i di atas, peneliti
terdorong mengangkat tema ini dengan judul: Pendapat Imam Syafi'i tentang
Pemberlakuan Hukum Rajam bagi Pezina Kafir Zimmy.
9Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. 6, Beirut: Dâr al-
Kutub al-Ilmiah, tth, hlm 150.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah yang menjadi latar belakang di atas, sebagai berikut:
1. Apa latar belakang pendapat Syafi'i bahwa pelaku zina kafir zimmy dapat
dikenakan hukum rajam?
2. Bagaimana istinbat hukum Syafi'i tentang pelaku zina kafir zimmy dapat
dikenakan hukum rajam?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah
Untuk mengetahui latar belakang pendapat Syafi'i bahwa pelaku zina kafir
zimmy dapat dikenakan hukum rajam.
Untuk mengetahui istinbat hukum Syafi'i tentang pelaku zina kafir dzimy
dapat dikenakan hukum rajam.
D. Telaah Pustaka
Berdasarkan penelitian terhadap literatur yang ada ditemukan adanya
judul skripsi yang hampir sama tapi konteks dan tokohnya berbeda dengan
skripsi yang sedang penulis susun. Skripsi yang dimaksud hanya ada dua yang
temanya mirip dengan skripsi yang sekarang yaitu:
Pertama, skripsi yang disusun oleh M. Irkhammudin Sholeh (NIM:
2199205 IAIN Walisongo) dengan judul Analisis Hukum Islam Terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Pemalang Nomor 98/Pid.B/2000 PN.PML
tentang Tindak Pidana Perzinaan Secara Berlanjut. Skripsi ini menggunakan
jenis penelitian kualitatif dengan sumber data diperoleh dari field research
(penelitian lapangan) dan library research (penelitian kepustakaan).
Sedangkan metode analisisnya menggunakan metode deskriptif analisis.
Menurut penyusun skripsi ini bahwa terhadap kejahatan
perzinahan/kesusilaan, ancaman hukuman berdasarkan KUHP tidak sampai
seberat dan sebijak Hukum Pidana Islam. Bandingkan dengan apa yang
disebut kejahatan terhadap kesusilaan pasal 281, 282, 283, dan pasal 284, 285
KUHP, serta lainnya. Dalam pasal tersebut, tidak terlihat adanya ancaman
berupa pendidikan seperti tersirat dalam hukum pidana Islam, baik bagi yang
bersangkutan, maupun masyarakat. Kejahatan perzinaan tidak dapat diberikan
pemaafan, seperti halnya kejahatan lain. Sebagaimana disebutkan dalam al-
Qur'an Surat al-Baqarah/2: 178. Namun, bukan mustahil dapat pengampunan
illahi sebagaimana terbukti tidak mau menerima pengakuan, kecuali memberi
kesempatan bertobat atau bukan.
Kedua, skripsi yang disusun oleh Sayidatul Fadlilah (NIM: 3100238
IAIN Walisongo) dengan judul Larangan perzinaan dalam Islam dan
Implikasinya terhadap Pendidikan Akhlak Anak. Skripsi ini menggunakan
jenis penelitian kualitatif dengan sumber data diperoleh dari library research
(penelitian kepustakaan). Sedangkan metode analisisnya menggunakan
metode deskriptif analisis. Menurut penyusun skripsi ini bahwa zina adalah
hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya ikatan
perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur
subhat. Delik perzinaan ditegaskan dalam al-Qur'an dan sunnah.
Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah (ghair muhsan)
didasarkan pada ayat al-Qur'an, yakni didera seratus kali. Sementara bagi
pezina muhsan dikenakan sanksi rajam. Rajam dari segi bahasa berarti
melempari batu. Sedangkan menurut istilah, rajam adalah melempari pezina
muhsan sampai menemui ajalnya. Adapun dasar hukum dera atau cambuk
seratus kali adalah firman Allah dalam surat an-Nur ayat 2.
Ketiga, skripsi yang disusun oleh Choirun Nidzar Alqodari (NIM:
2102247 IAIN Walisongo) dengan judul Studi Analisis Pendapat Syafi'i
tentang Hukuman Isolasi Bagi Pelaku Zina Ghair Muhsan. Skripsi ini
menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan sumber data diperoleh dari
field research (penelitian lapangan) dan library research (penelitian
kepustakaan). Sedangkan metode analisisnya menggunakan metode deskriptif
analisis.
Menurut penyusun skripsi ini bahwa menurut Syafi'i, setiap pezina
ghair muhsan harus dikenakan pengasingan di samping hukuman dera, yakni
bagi laki-laki atau perempuan, merdeka maupun hamba. Pendapat Imam al-
Syafi'i berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan Malik. Menurut Abu
Hanifah dan para pengikutnya, tidak ada pengasingan bagi pezina ghair
muhsan. Sedangkan menurut Malik, pengasingan hanya dikenakan kepada
pezina laki-laki dan tidak dikenakan terhadap pezina perempuan, pendapat ini
juga dikemukakan oleh al-Auza'i. Malik juga berpendapat tidak ada
pengasingan bagi hamba. Dalil yang digunakan Syafi'i adalah hadis yang
diriwayatkan dari Abu Salamah Yahya ibn Khalaf, dari Bisyr ibn al-
Mufaddhal, dari Yahya ibn "Ummarah dari Abu Sa'id al-Khudri dari
Turmudzi
Dari beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa penelitian
terdahulu berbeda dengan penelitian yang akan diteliti, karena penelitian
terdahulu belum mengungkapkan latar belakang pendapat Syafi'i tentang
dikenakannya hukum rajam bagi pelaku zina kafir zimi. Hal ini menunjukkan
tidak ada upaya pengulangan baik secara langsung maupun tidak langsung.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:10
1. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data menggunakan penelitian kepustakaan
dengan menggunakan sumber data sebagai berikut:
a. Data Primer, yaitu karya-karya Imam Al-Syafi'i yang berhubungan
dengan judul di atas yaitu Al-Umm dan al-Risalah.
b. Data Sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul di
atas, di antaranya: Kitab Imla al-Shagir; Amali al-Kubra; Mukhtasar
al-Buwaithi;11 Mukhtasar al-Rabi; Mukhtasar al-Muzani.12
Siradjuddin Abbas dalam bukunya telah mengumpulkan 97
10Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian atau metodologi research adalah ilmu yang memperbincangkan tentang metode-metode ilmiah dalam menggali kebenaran pengetahuan. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991, hlm. 24.
11Ahmad Asy Syurbasy, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi Empat Imam Mazhab", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 144.
12Ali Fikri, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para Imam Madzhab", Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003, hlm. 109-110
(sembilan puluh tujuh) buah kitab dalam fiqih Al-Syafi'i. Namun dalam
bukunya itu tidak diulas masing-masing dari karya Al-Syafi'i tersebut.13
Ahmad Nahrawi Abd al-Salam menginformasikan bahwa kitab-kitab Al-
Syafi'i adalah Musnad li Al-Syafi'i; al-Hujjah; al-Mabsuth, al-Risalah, dan
al-Umm.14
2. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data,15 penulis menggunakan analisis data
kualitatif, yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka
secara langsung (angka statistik).16 Dalam hal ini hendak diuraikan
pemikiran dan latar belakang pendapat Syafi'i tentang dikenakannya
hukum rajam bagi pelaku zina kafir zimmy.
Untuk itu digunakan metode:
a. Deskriptif analitis yakni cara penulisan dengan mengutamakan
pengamatan terhadap gejala, peristiwa dan kondisi aktual di masa
sekarang.17
Skripsi ini merupakan kajian sebuah konsep pemikiran, maka
dengan metode ini dapat digunakan untuk menggambarkan dan
menguraikan secara menyeluruh pemikiran Imam Syafi'i tentang
13Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’î, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004, hlm. 182-186.
14Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 44
15Moh. Nazir. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia,1999, hlm, 419. 16Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada,
1995, hlm. 134. Bandingkan dengan Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2001, hlm. 2. Koencaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1970, hlm. 269.
17Tim Penulis Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi, Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2000, hlm. 17.
dikenakannya hukum rajam bagi pelaku zina kafir zimmy. Dengan
pendekatan ini maka corak khas atau karakteristik sang tokoh akan
menjadi penelitian.
b. Historical approach, yaitu suatu periodesasi atau tahapan-tahapan
yang ditempuh untuk suatu penelitian sehingga dengan kemampuan
yang ada dapat mencapai hakikat sejarah.18 Menurut Bambang
Sunggono, penelitian historis pada umumnya bertujuan untuk
membuat rekonstruksi secara sistematis dan obyektif dari kejadian
atau peristiwa di masa lalu, dengan cara mengumpulkan,
mengevaluasi, memverifikasi, serta mensintesiskan data-data untuk
menegakkan fakta dengan kesimpulan yang kuat (sahih).19
Aplikasi metode ini dengan menyelidiki secara kritis latar belakang
socio-kultural pemikiran Imam Syafi'i pada waktu menyusun
karyanya.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi penulis membaginya dalam lima bab dan
diuraikan dalam sub-sub bab, sebagai berikut:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang merupakan garis besar dari
keseluruhan pola berpikir dan dituangkan dalam konteks yang jelas serta
padat. Atas dasar itu deskripsi skripsi diawali dengan latar belakang masalah
18Hasan Usman, Metode Penelitian Sejarah, Terj. Muin Umar, et. al, Departemen Agama,
1986, hlm. 16. 19Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007, hlm. 34.
yang terangkum di dalamnya tentang apa yang menjadi alasan memilih judul,
dan bagaimana rumusan masalahnya. Dengan penggambaran secara sekilas
sudah dapat ditangkap substansi skripsi. Selanjutnya untuk lebih memperjelas
maka dikemukakan pula tujuan dan manfaat penulisan baik ditinjau secara
teoritis maupun praktis. Penjelasan ini akan mengungkap seberapa jauh
signifikansi tulisan ini. kemudian telaah pustaka, metode penelitian, dan
sistematika penelitian.
Bab kedua tinjauan umum tentang zina dan hukuman yang meliputi
perzinaan (pengertian zina, klasifikasi zina, unsur-unsur zina), hukuman
(pengertian dan dasar-dasar penjatuhan hukuman, tujuan hukuman, macam-
macam hukuman dan pelaksanaannya).
Bab ketiga berisi pendapat Syafi'i tentang pemberlakuan hukum rajam
bagi kafir zimmy yang meliputi biografi Syafi’i, pendidikan dan karyanya
(latar belakang Syafi’i, pendidikan, karyanya), pendapat Syafi'i tentang
pemberlakuan hukum rajam bagi pezina kafir zimmy, metode istinbat hukum
Syafi'i tentang pemberlakuan hukum rajam bagi kafir zimmy.
Bab keempat berisi analisis pendapat Syafi'i tentang pemberlakuan
hadd zina bagi kafir zimmy yang meliputi pendapat Syafi'i tentang
pemberlakuan hukum rajam bagi kafir zimmy, istinbat hukum Syafi'i tentang
pemberlakuan hukum rajam bagi kafir zimmy.
Bab kelima merupakan bab penutup dari keseluruhan rangkaian
pembahasan skripsi ini yang terdiri atas kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ZINA DAN HUKUMAN
A. Zina
1. Pengertian Zina
Kata "zina" dalam bahasa Arab disebut 20,الزنى dalam bahasa
Belanda disebut "overspel"21 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, zina
mengandung makna sebagai berikut:
a). Perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak
terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan);
b) Perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan
dengan seorang perempuan yang bukan isterinya, atau seorang
perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang
bukan suaminya.22
Dalam Kamus Hukum karya Fockema Andreae, zina atau overspel
yaitu persetubuhan yang dilakukan oleh seseorang yang telah menikah
dengan orang yang bukan isterinya atau suaminya. Sampai tanggal 1
oktober 1971, perbuatan itu adalah perbuatan yang dapat dihukum, dapat
dituntut atas pengaduan suami atau isteri yang dihina, dan mengakibatkan
alasan perceraian atau pisah hidup.23
20Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 588. 21S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1992, hlm. 479. 22Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 1280. 23Fockema Andreae, Fockema Andrea's Rechtsgeleard Handwoordenboek, Terj. Saleh
Adwinata, et al, "Kamus Istilah Hukum", Bandung: Binacipta, 1983, hlm. 380.
Secara terminologi, zina dirumuskan secara berbeda-beda sesuai
dengan titik berat pendekatan masing-masing. Hal ini tidak berbeda
dengan definisi hukum dalam ilmu hukum Barat pun tidak ada
kesepakatan para ahli tentang apa itu hukum? Kurang lebih 200 tahun
yang lalu Immanuel Kant pernah menulis sebagai berikut: “Noch suchen
die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffi von Recht” (masih juga para
sarjana hukum mencari-cari suatu definisi tentang hukum).24 Demikian
pula definisi zina menurut syara masih menjadi perselisihan para ahli
fikih, sesuai dengan pengertian masing-masing menurut sebab penetapan
haramnya
a. Menurut R. Soesilo, zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh
laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau
laki-laki yang bukan isteri atau suaminya.25
b. Menurut A. Rahman I Doi, zina adalah hubungan kelamin antara
seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan.26
c. Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairi,
27ى قبل كان أودبرالزنا ھوالوطء المحرم ف
Artinya: "Zina adalah melakukan hubungan seksual yang diharamkan di kemaluan atau di dubur oleh dua orang yang bukan suami isteri".
24C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1986, hlm. 35. 25R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Bogor: Politeia, 1996, hlm. 209. 26A. Rahman I Doi, Syari'ah the Islamic Law, Terj. Zaimudin dan Rusydi Sulaiman,
"Hudud dan Kewarisan", Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 35. 27Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 2004,
hlm. 432.
d. Menurut Ibnu Rusyd,
الزنا فھوكل وطء وقع على غیر نكاح صحیح وال شبھة نكاح وال ملك یمین لة من علماء اإلسالم فان كانوااختلفوا فیماھو شبھة وھذا متفق علیھ بالجم
28تدرأالحدود مما لیس بشبھة دارئة
Artinya: "Zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena syubhat, dan bukan pula karena pemilikan (budak). Secara garis besar, pengertian ini telah disepakati oleh para ulama Islam, meskipun mereka masih berselisih pendapat tentang mana yang dikatakan syubhat yang menghindarkan hukuman had dan mana pula yang tidak menghindarkan hukuman tersebut."
e. Menurut Imam Syafi'i ء وقع على غیر نكاح صحیحالزنا فھوكل وط
Artinya: zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah.29
f. Menurut Sayyid Sabiq
ان كل اتصال جنسي قائم على أساس غیر شرعي یعتبر زنا تترتب علیھ 30تھا العقوبة المقررة من حیث إنھ جریمة من الجرائم التي حددت عقوبا
Artinya: "Bahwa semua bentuk hubungan kelamin yang menyimpang dari ajaran agama (Islam) dianggap zina yang dengan sendirinya mengundang hukuman yang telah digariskan, karena ia (zina) merupakan salah satu di antara perbuatan-perbuatan yang telah dipastikan hukumnya."
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
perzinaan adalah suatu hubungan seksual melalui pertemuan dua alat vital
antara pria dan wanita di luar ikatan pernikahan untuk keduanya.
Dalam hukum Islam perzinaan dianggap sebagai suatu perbuatan
yang sangat terkutuk dan dianggap sebagai jarimah. Pendapat ini
28Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid, Juz. 2, Beirut: Dar Al-Jiil,
1409 H/1989, hlm. 324. 29Imam Syafi'i, Al-Umm, Juz VI, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 143. 30Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1980, hlm. 400.
disepakati oleh ulama, kecuali perbedaan hukumannya. Menurut sebagian
ulama tanpa memandang pelakunya, baik dilakukan oleh orang yang
belum menikah atau orang yang telah menikah, selama persetubuhan
tersebut berada di luar kerangka pernikahan, hal itu disebut sebagai zina
dan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Juga tidak mengurangi
nilai kepidanaannya, walaupun hal itu dilakukan secara sukarela atau suka
sama suka. Meskipun tidak ada yang merasa dirugikan, zina dipandang
oleh Islam sebagai pelanggaran seksualitas yang sangat tercela, tanpa
kenal prioritas dan diharamkan dalam segala keadaan.31
Anggapan seperti ini sangat jauh berbeda dengan pandangan
hukum positif yang bersumber dari hukum Barat. Dalam hukum positif,
zina tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran dan tentu tidak dihukum,
selama tidak ada yang merasa dirugikan. Menyandarkan suatu perbuatan
sebagai tindak pidana hanya karena akibat kerugian semata, hukum positif
mengalami kesulitan membuktikan, siapa yang merugi dalam kasus
seperti ini. 32 Sebagai salah satu jarimah kesusilaan, sangat sulit
dibuktikan unsur kerugiannya apalagi kalau dilakukan dengan kerelaan
kedua belah pihak.
KUHP memang menganggap bahwa persetubuhan di luar
perkawinan adalah zina, namun tidak semua perbuatan zina dapat
dihukum. Perbuatan zina yang memungkinkan untuk dihukum adalah
31Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung: CV Pustaka Setia,
2000, hlm. 69. 32Di beberapa negara selain Belanda, misalnya Inggris, Amerika Serikat, Perancis dan
lain-lain, zina sebagai delik telah dihapus.
perbuatan zina yang dilakukan oleh laki-laki maupun wanita yang telah
menikah sedangkan zina yang dilakukan laki-laki maupun wanita yang
belum menikah tidak termasuk dalam larangan tersebut. Pasal 284 ayat (I)
ke. I a dan b: Penuntutan terhadap pelaku zina itu sendiri hanya dilakukan
atas pengaduan dari salah satu pasangan yang terlibat dalam kasus ini,
atau mereka yang merasa tercemar akibat perbuatan tersebut.33
Oleh karena itu, kalau mereka semua diam, tidak ada yang merasa
dicemari atau tidak merasa dirugikan, mereka dianggap melakukannya
secara sukarela dan tentu tidak dihukum. Hukum positif menganggap
kasus perzinaan sebagai delik aduan, artinya hanya dilakukan penuntutan
manakala ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. Pengaduan itu
pun masih dapat ditarik selama belum disidangkan (Pasal 284 ayat 4).
Kecuali untuk masalah perkosaan karena perkosaan menunjukkan secara
jelas adanya kerugian, Pasal 285 KUHP. Dalam kasus perkosaan, ada
pemaksaan untuk melakukan perzinaan, baik dengan kekerasan maupun
ancaman kekerasan.34
Dalam syari'at Islam, hukum zina yang sudah menikah dan yang
belum menikah, perzinaan bukan saja suatu perbuatan yang dianggap
jarimah. Lebih dari itu, perzinaan dikategorikan sebagai suatu tindak
pidana yang termasuk dalam kelompok jarimah hudud, yaitu kelompok
jarimah yang menduduki urutan teratas dalam hirarki jarimah-jarimah.
33Rahmat Hakim, op.cit., hlm. 70. 34Lebih rinci dapat dilihat PAF. Lamintang, Delik-Delik Khusus: Tindak Pidana-Tindak
Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, Bandung: CV Mandar Maju, 1990, hlm. 92 - 96 dan 108.
Kelompok jarimah hudud ini mengancamkan pelakunya dengan hukuman
yang sangat berat, dan rata-rata berupa hilangnya nyawa, paling tidak
hilangnya sebagian anggota tubuh pelaku jarimah.
2. Klasifikasi Zina
Menurut Syeikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-
Dimasyqi, para imam mazhab sepakat bahwa zina merupakan perbuatan
keji yang besar, yang mewajibkan had atas pelakunya. Hukuman had itu
berbeda-beda menurut macam perzinaan itu sendiri, karena perbuatan zina
terkadang dilakukan oleh orang-orang yang belum menikah, seperti jejaka
atau gadis, dan kadang-kadang dilakukan juga oleh muhsan, seperti orang
yang sudah menikah, duda, atau janda.35 Atas dasar itu ditinjau dari segi
pelakunya, maka perzinaan dapat diklasifikasikan: (1) zina muhsan; (2)
zina ghair muhsan.
1. Zina muhsan adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
yang sudah berkeluarga (bersuami/beristeri). Hukuman untuk pelaku
zina muhsan ini ada dua macam: (1) dera seratus kali, dan (2) rajam.
Landasan had zina muhsan adalah hadiś Rasulullah saw yang
diriwayatkan oleh Ubadah ibn Ash-Shamit bahwa Rasulullah saw
bersabda:
أخبرنا بشر بن عمر الزھراني حدثنا حماد بن سلمة عن قتادة عن الحسن عن وسلم حطان بن عبد اهللا عن عبادة ابن الصامت أن رسول اهللا صلى اهللا علیھ
قال خذوا عني خذوا عني قد جعل اهللا لھن سبیال البكر بالبكر والثیب بالثیب
35Syekh Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah, Terj. Abdullah Zaki al-Kaf, "Fiqih Empat Mazhab", Bandung: Hasyimi Press, 2004, hlm. 454.
36)الترمذى(البكر جلد مائة ونفي سنة والثیب جلد مائة والرجم Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Bisri bin Umar
Zahroniy dari Hammad bin Salamah dari Qatadah dari al-Hasan dari Khittan bin Abdullah dari Ubadah bin Ash-Shamit, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda Allah telah memberikan jalan ke luar bagi mereka (pezina), jejaka dengan gadis, hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dengan janda, hukumannya dera seratus kali dan rajam".
2. Zina ghair muhsan adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan yang belum berkeluarga. Hukuman untuk zina ghair
muhsan ini ada dua macam, yaitu
1) dera seratus kali, dan
2) pengasingan selama satu tahun.
Apabila jejaka dan gadis melakukan perbuatan zina, mereka
dikenai hukuman dera seratus kali. Hal ini didasarkan kepada firman
Allah dalam Surah An-Nur ayat 2 dan hadiś Nabi saw.
a) Surah An-Nur ayat 2
ي فاجلدوا كل واحد منھما مئة جلدة وال تأخذكم بھما رأفة في دین الزانیة والزاناللھ إن كنتم تؤمنون باللھ والیوم الآخر ولیشھد عذابھما طائفة من المؤمنین
)٢:النور( Artinya: "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah betas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur: 2)."37
36Abu Isa Muhammad ibn Isa bin Surah at-Tirmizi, hadiś No. 2610 dalam CD program
Mausu'ah Hadiś al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company). 37Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 543.
b) Hadiś Rasulullah saw.
أخبرنا بشر بن عمر الزھراني حدثنا حماد بن سلمة عن قتادة عن الحسن عن حطان بن عبد اهللا عن عبادة ابن الصامت أن رسول اهللا صلى اهللا علیھ وسلم
جعل اهللا لھن سبیال البكر بالبكر والثیب بالثیب قال خذوا عني خذوا عني قد 38)الترمذى(البكر جلد مائة ونفي سنة والثیب جلد مائة والرجم
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Bisri bin Umar
Zahroniy dari Hammad bin Salamah dari Qatadah dari al-Hasan dari Khittan bin Abdullah dari Ubadah bin Ash-Shamit, sesungguhnya Umar az-Zahrani dari Hammad bin Salamah dari Qatadah dari al-Hasan dari Khittan bin Abdullah dari Ubadah bin Ash-Shamit, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda Allah telah memberikan jalan ke luar bagi mereka (pezina), jejaka dengan gadis, hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dengan janda, hukumannya dera seratus kali dan rajam."
Hukuman dera adalah hukuman had, yaitu hukuman yang sudah
ditentukan oleh syara'. Oleh karena itu, hakim tidak boleh mengurangi,
menambah, menunda pelaksanaannya, atau menggantinya dengan
hukuman yang lain. Di samping telah ditentukan oleh syara', hukuman
dera juga merupakan hak Allah Swt atau hak masyarakat, sehingga
pemerintah atau individu tidak berhak memberikan pengampunan.
Hukuman yang kedua untuk zina ghair muhsan adalah hukuman
pengasingan selama satu tahun. Hukuman ini didasarkan kepada hadiś
Ubadah ibn Shamit tersebut di atas. Akan tetapi, apakah hukuman ini
wajib dilaksanakan bersama-sama dengan hukuman dera, para ulama
berbeda pendapatnya. Menurut Imam Abu Hanifah dan kawan-kawannya
hukuman pengasingan tidak wajib dilaksanakan. Akan tetapi, mereka
38Abu Isa Muhammad ibn Isa bin Surah at-Tirmizi, loc.cit.
membolehkan bagi imam untuk menggabungkan antara dera seratus kali
dan pengasingan apabila hal itu dipandang maslahat.39
Dengan demikian menurut mereka, hukuman pengasingan itu
bukan merupakan hukuman had, melainkan hukuman ta'zir. Pendapat ini
juga merupakan pendapat Syi'ah Zaidiyah. Alasannya adalah bahwa hadiś
tentang hukuman pengasingan ini dihapuskan (di-mansukh) dengan Surah
An-Nur ayat 2. Jumhur ulama yang terdiri atas Imam Malik, Syafi'i, dan
Ahmad berpendapat bahwa hukuman pengasingan harus dilaksanakan
bersama-sama dengan hukuman dera seratus kali. Dengan demikian
menurut jumhur, hukuman pengasingan ini termasuk hukuman had, dan
bukan hukuman ta'zir.40 Dasarnya adalah hadiś Ubadah ibn Shamit
tersebut yang di dalamnya tercantum:
أخبرنا بشر بن عمر الزھراني حدثنا حماد بن سلمة عن قتادة عن الحسن عن حطان بن عبد اهللا عن عبادة ابن الصامت أن رسول اهللا صلى اهللا علیھ وسلم قال خذوا عني
مائة ونفي خذوا عني قد جعل اهللا لھن سبیال البكر بالبكر والثیب بالثیب البكر جلد 41)الترمذى(سنة والثیب جلد مائة والرجم
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Bisri bin Umar Zahroniy
dari Hammad bin Salamah dari Qatadah dari al-Hasan dari Khittan bin Abdullah dari Ubadah bin Ash-Shamit, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda Allah telah memberikan jalan ke luar bagi mereka (pezina), jejaka dengan gadis, hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dengan janda, hukumannya dera seratus kali dan rajam".
39Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 30 40Ibid., hlm. 31. 41Abu Isa Muhammad ibn Isa bin Surah at-Tirmizi, loc.cit.
Di samping hadiś tersebut, jumhur juga beralasan dengan tindakan
sahabat antara lain Sayidina Umar dan Ali yang melaksanakan hukuman
dera dan pengasingan ini, dan sahabat-sahabat yang lain tidak ada yang
mengingkarinya. Dengan demikian maka hal ini bisa disebut ijma'.42
Dalam hal pengasingan bagi wanita yang melakukan zina, para
ulama juga berselisih pendapat. Menurut Imam Malik hukuman
pengasingan hanya berlaku untuk laki-laki, sedangkan untuk wanita tidak
diberlakukan. Hal ini disebabkan wanita itu perlu kepada penjagaan dan
pengawalan. Di samping itu, apabila wanita itu diasingkan, ia mungkin
tidak disertai muhrim dan mungkin pula disertai muhrim. Apabila tidak
disertai muhrim maka hal itu jelas tidak diperbolehkan, karena Rasulullah
saw. melarang seorang wanita untuk bepergian tanpa disertai oleh
muhrimnya. Dalam sebuah hadiś Rasulullah saw. bersabda:
حدثنا آدم قال حدثنا ابن أبي ذئب قال حدثنا سعید المقبري عن أبیھ عن أبي ھریرة رضي اهللا عنھ قال قال النبي صلى اهللا علیھ وسلم ال یحل المرأة تؤمن باهللا والیوم
43)رواه البخارى(ال مع محرم الآخر أن تسافر مسیرة یوم ولیلة إ
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Adam berkata dari Ibnu Abu Dzi'bin dari Sa'id al-Maqburi dari bapaknya dari Abu Hurairah ra. Berkata: Nabi saw. bersabda: tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian dalam perjalanan sehari semalam kecuali bersama muhrimnya (HR. al-Bukhari)."
Sebaliknya, apabila ia (wanita) diasingkan bersama-sama dengan
seorang muhrim maka hal ini berarti mengasingkan orang yang tidak
melakukan perbuatan zina dan menghukum orang yang sebenarnya tidak
42Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 400. 43Imam Bukhary, Sahih al-Bukhari, Juz. 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 193.
berdosa. Oleh karena itu, Malikiyah mentakhsiskan hadiś tentang
hukuman pengasingan tersebut dan membatasinya hanya untuk laki-laki
saja dan tidak memberlakukannya bagi perempuan.
Cara pelaksanaan hukuman pengasingan diperselisihkan oleh para
fuqaha. Menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syi'ah Zaidiyah,
pengasingan itu pengertiannya adalah penahanan atau dipenjarakan. Oleh
karena itu, pelaksanaan hukuman pengasingan itu adalah dengan cara
menahan atau memenjarakan pezina itu di tempat lain di luar tempat
terjadinya perbuatan zina tersebut. Adapun menurut Imam Syafi'i dan
Ahmad, pengasingan itu berarti membuang (mengasingkan) pelaku dari
daerah terjadinya perbuatan zina ke daerah lain, dengan pengawasan dan
tanpa dipenjarakan. Tujuan pengawasan tersebut adalah untuk mencegah
pelaku agar tidak melarikan diri dan kembali ke daerah asalnya. Akan
tetapi walaupun demikian, kelompok Syafi'iyah membolehkan penahanan
orang yang terhukum di tempat pengasingannya apabila dikhawatirkan ia
akan melarikan diri dan kembali ke daerah asalnya.44
Menarik untuk dicatat uraian Ahmad Hanafi yang menyatakan:
"Sebenarnya lebih tepat kalau pengasingan dianggap sebagai hukuman pelengkap ('uqubah takmiliah), dan hal ini karena dua alasan. Pertama, hukuman tersebut dimaksudkan sebagai jalan untuk dilupakan jarimah secepat mungkin oleh masyarakat dan hal ini mengharuskan dijauhkannya pembuat dari tempat terjadinya jarimah tersebut, sebab apabila ia tetap berada di tengah-tengah masyarakat di mana jarimah tersebut terjadi, maka kenangan orang-orang tidak akan mudah terhapus. Kedua, pengasingan terhadap pembuat zina akan menjauhkan berbagai-bagai kesulitan (sengsara, kerepotan dan sebagainya) yang harus dialaminya apabila ia tetap hidup di masyarakat sekelilingnya, dan boleh jadi sampai
44Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, op.cit., hlm. 32.
hilangnya jalan mendapat rizki dan kehormatan diri. Jadi pengasingan menyiapkan kembali hidup baru dan terhormat bagi pembuatnya agar ia bisa kembali diterima di masyarakat. Di sini kita melihat bahwa meskipun pengasingan tersebut merupakan hukuman, namun yang pertama-tama dimaksudkan adalah kepentingan pembuat sendiri selain kepentingan masyarakat. Mengenai tempat dan cara dilakukannya pengasingan, maka para fuqaha tidak sama pendapatnya. Menurut satu pendapat pengasingan harus dilakukan di negeri lain yang masih termasuk dalam negeri Islam, asal jaraknya tidak kurang dari satu jarak qasar. Sedangkan menurut Imam Malik, pembuat harus dipenjarakan di negeri pengasingannya itu. Menurut imam Syafi'i, pembuat di negeri pengasingannya hanya diawasi dan tidak perlu dipenjarakan, kecuali kalau dikhawatirkan akan melarikan diri dan kembali ke negerinya semula. Bagi Imam Ahmad, terhukum tidak dipenjarakan sama sekali." 45
Apabila orang yang terhukum melarikan diri dan kembali ke-
daerah asalnya, ia harus dikembalikan ke tempat pengasingannya dan
masa pengasingannya dihitung sejak pengembaliannya tanpa
memperhitungkan masa pengasingan yang sudah dilaksanakannya
sebelum ia melarikan diri. Akan tetapi, kelompok Hanabilah dalam kasus
ini tetap memperhitungkan masa pengasingan yang telah dilaksanakan dan
tidak dihitung dari masa pengembaliannya.46
Apabila orang yang terhukum di tempat pengasingannya
melakukan perbuatan zina lagi maka ia didera seratus kali dan diasingkan
lagi ke tempat yang lain, dengan perhitungan masa pengasingan yang baru
tanpa menghiraukan masa pengasingan lama yang belum selesai. Pendapat
ini dikemukakan oleh Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad,
tetapi kelompok Zahiriyah berpendapat bahwa orang yang terhukum harus
45Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1961, hlm. 265.
46Ahmad Wardi Muslich, op.cit, hlm. 32.
menyelesaikan sisa masa pengasingannya yang lama, setelah itu baru
dimulai dengan masa pengasingan yang baru.47
Hukuman jilid tidak boleh sampai menimbulkan bahaya terhadap
orang yang terhukum, karena hukuman ini bersifat pencegahan. Oleh
karena itu, hukuman tidak boleh dilaksanakan dalam keadaan panas terik
atau cuaca yang sangat dingin. Demikian pula hukuman tidak
dilaksanakan atas orang yang sedang sakit sampai ia sembuh, dan wanita
yang sedang hamil sampai ia melahirkan.48
3. Unsur-Unsur Zina
Perzinaan mempunyai beberapa unsur, baik unsur umum maupun
unsur khusus. Unsur umum adalah unsur-unsur yang ada dalam setiap
jarimah, sedangkan unsur khusus yang hanya ada dalam jarimah-jarimah
tertentu.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan para ahli, sekalipun
terdapat perbedaan redaksional, kita dapati kesamaan visi. Mereka bersatu
pendapat terhadap hal-hal, seperti persetubuhan (wathi) yang haram serta
itikad jahat yang diekspresikan dalam bentuk kesengajaan melakukan
sesuatu yang haram tadi. Menurut ajaran Islam, pelampiasan nafsu
seksualitas hanya dianggap legal, apabila dilakukan melalui perkawinan
yang sah. Di luar itu, persetubuhan dianggap melampaui batas dan
dianggap haram. Bahkan, mendekatinya saja merupakan perbuatan
47Ahmad Hanafi, op.cit., hlm. 266. 48Ahmad Wardi Muslich, op.cit, hlm. 59.
terlarang. Termasuk kategori haram adalah persetubuhan melalui
hubungan homoseks dan lesbinianisme walaupun para ulama berselisih
faham, apakah homosex dan lesbianisme termasuk kategori zina atau
hanya sekedar haram.49 Surat Al-Mu 'minun ayat 5 dan 7 berbunyi:
إلا على أزواجھم أو ما ملكت أیمانھم فإنھم غیر } ٥{والذین ھم لفروجھم حافظون )٥-٧: المؤمنون(فمن ابتغى وراء ذلك فأولئك ھم العادون } ٦{لومین م
Artinya: "Dan orang-orang yang menjaga kehormatannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka dan budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya dalam hal ini mereka tidak tercela. Barang siapa yang mencari selain yang demikian itu, maka mereka itulah yang melampaui batas". (Q.S.Al-Mu'minun:5-7).50
Surat Al-Isra ayat 32:
)٣٢: اإلسراء(وال تقربوا الزنى إنھ كان فاحشة وساء سبیال Artinya: "Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan". (Q.S. Al-Isra: 32).51
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipertegas bahwa
unsur-unsur jarimah zina itu ada dua, yaitu
1. Persetubuhan yang diharamkan (الوطء المحرم), dan
2. Adanya kesengajaan atau niat yang melawan hukum
(تعمد الوطء أو القصر الجنائ)
Persetubuhan yang dianggap sebagai zina adalah persetubuhan
dalam farji (kemaluan). Ukurannya adalah apabila kepala kemaluan
(kasyafah) telah masuk ke dalam farji walaupun sedikit. Juga dianggap
sebagai zina walaupun ada penghalang antara zakar (kemaluan laki-laki)
49Rahmat Hakim, op.cit, hlm. 72 50Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit, hlm. 526 51Ibid, hlm. 429.
dan farji (kemaluan perempuan), selama penghalangnya tipis yang tidak
menghalangi perasaan dan kenikmatan bersenggama.
Di samping itu, kaidah untuk menentukan persetubuhan sebagai
zina adalah persetubuhan yang terjadi bukan pada miliknya sendiri.
Dengan demikian, apabila persetubuhan terjadi dalam lingkungan hak
milik sendiri karena ikatan perkawinan maka persetubuhan tersebut tidak
dianggap sebagai zina, walaupun persetubuhannya itu diharamkan karena
suatu sebab. Hal ini karena hukum haramnya persetubuhan tersebut datang
belakangan karena adanya suatu sebab bukan karena zatnya.52
Contohnya, seperti menyetubuhi isteri yang sedang haid, nifas,
atau sedang berpuasa Ramadan. Persetubuhan ini semuanya dilarang,
tetapi tidak dianggap sebagai zina. Apabila persetubuhan tidak memenuhi
ketentuan-ketentuan tersebut maka tidak dianggap sebagai zina yang
dikenai hukuman had, melainkan hanya tergolong kepada perbuatan
maksiat yang diancam dengan hukuman ta'zir, walaupun perbuatannya itu
merupakan pendahuluan dari zina. Contohnya seperti mufakhadzah
(memasukkan penis di antara dua paha), atau memasukkannya ke dalam
mulut, atau sentuhan-sentuhan di luar farji.53
Demikian pula perbuatan maksiat lain yang juga merupakan
pendahuluan dari zina dikenai hukuman ta'zir. Contohnya seperti ciuman,
berpelukan, bersunyi-sunyi dengan wanita asing (bukan muhrim), atau
tidur bersamanya dalam satu ranjang. Perbuatan-perbuatan ini dan
52Ahmad Wardi Muslich, op. cit, hlm. 8. 53Ibid
semacamnya yang merupakan rangsangan terhadap perbuatan zina
merupakan maksiat yang harus dikenai hukuman ta'zir.54 Larangan
terhadap perbuatan-perbuatan tersebut tercakup dalam firman Allah Surah
Al-Israa' ayat 32:
)٣٢: اإلسراء(ھ كان فاحشة وساء سبیال وال تقربوا الزنى إن
Artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan merupakan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Israa': 32).55
Meskipun pada umumnya para fuqaha telah sepakat bahwa yang
dianggap zina itu adalah persetubuhan terhadap farji manusia yang masih
hidup, namun dalam penerapannya terhadap kasus-kasus tertentu mereka
kadang-kadang berbeda pendapat. Di bawah ini akan penulis kemukakan
satu kasus dan pendapat para ulama mengenai hukumnya yaitu wathi pada
dubur (liwath).
Budi Handrianto dan Nana Mintarti dalam bukunya yang berjudul:
Seks dalam Islam menyatakan:
"Anal seks atau hubungan seksual melalui dubur (baik pria pada dubur wanita atau pria pada dubur pria) dikenal sebagai sodomi ini memang ada dan berkembang di masyarakat. Pada masa Nabi Luth as yang kaumnya gemar melakukan perbuatan laknat itu, bahkan ketika malaikat Jibril betandang ke rumah Nabi Luth dalam bentuk seorang pria rupawan, kaum Nabi Luth memaksa agar malaikat tersebut diserahkan kepada mereka. Akhirnya, oleh Allah ditimpakan suatu musibah yaitu bumi (tanah tempat mereka berpijak) dibalikkan sehingga mereka terkubur hidup-hidup. Kaum Nabi Luth ini bernama Sodom. Berawal dari kejadian inilah perbuatan itu dinamakan sodomi."56
54Ibid., hlm. 9. 55Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit, hlm. 526 56Budi Handrianto dan Nana Mintarti, Seks dalam Islam, Jakarta: Puspa Swara, 1997,
hlm. 108 – 109.
Sahal Mahfudh dalam bukunya yang berjudul Nuansa Fiqih Sosial
memberi penjelasan sebagai berikut:
"Hubungan seks yang dilakukan dengan cara pertama, antara suami isteri yang secara legal sesuai dengan ketentuan lembaga pernikahan yang lazim; kedua, antara lelaki dan perempuan bukan suami isteri yang dilakukan secara syubhat, misalnya, seorang lelaki dalam keadaan tertentu menyetubuhi perempuan yang diduga isterinya, ternyata bukan, maka dalam Islam kiranya telah jelas dari sisi hukumnya. Bahkan untuk yang pertama para pelakunya mendapat pahala. Akan tetapi bila dilakukan lewat dubur meskipun dengan isterinya sendiri, ada pendapat ulama yang berselisih. Imam Syafi'i dan Abu Hanifah mengharamkan berdasarkan sebuah hadiś, maka janganlah kalian menyetubuhi isterimu lewat duburnya. Imam Malik berpendapat boleh, sama halnya pada qubulnya."57
Quraish Shihab menyatakan:
"Homoseksual merupakan perbuatan yang sangat buruk, sehingga ia dinamai fahisyah. Ini antara lain dapat dibuktikan bahwa ia tidak dibenarkan dalam keadaan apa pun. Pembunuhan misalnya, dapat dibenarkan dalam keadaan membela diri atau menjatuhkan sanksi hukum, tetapi homoseksual sama sekali tidak ada jalan untuk membenarkannya."58
Mengenai hukumannya, ketiga mazhab (Maliki, Hambali, dan
Syafi'i) berbeda pendapatnya. Menurut Malikiyah, Hanabilah, dan
Syafi'iyah dalam satu riwayat, hukumannya adalah hukuman rajam
dengan dilempari batu sampai mati, baik pelakunya maupun yang
dikerjainya, baik jejaka maupun sudah berkeluarga (nikah). Akan tetapi
menurut Syafi'iyah dalam riwayat yang lain, hukuman homoseksual sama
dengan hukuman had zina, yaitu apabila ia ghair muhsan maka didera
seratus kali ditambah dengan pengasingan selama satu tahun, dan apabila
ia muhsan maka ia dirajam sampai mati. Menurut Abu Hanifah, wathi
57Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS 2004, hlm. 88. 58M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, Jakarta:
Lentera Hati, Volume 5, 2005, hlm.161.
pada anus (homoseksual) tidak dianggap sebagai zina, baik yang di wathi
itu laki-laki maupun perempuan.59
B. Hukuman
1. Pengertian dan Dasar-Dasar Penjatuhan Hukuman
Hukuman dalam bahasa Arab disebut 'uqubah. Lafaz 'uqubah
menurut bahasa berasal dari kata: (عقب) yang sinonimnya: (خلفھ وجاء بعقبھ),
artinya: mengiringnya dan datang di belakangnya.60 Dalam pengertian
yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafaz
tersebut bisa diambil dari lafaz: (عاقب) yang sinonimnya: (جزاه سواء بما فعل),
artinya: membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.61
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu
disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan
sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua
dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan
balasan terhadap perbuatan menyimpang yang telah dilakukannya.
Dalam bahasa Indonesia, hukuman diartikan sebagai "siksa dan
sebagainya", atau "keputusan yang dijatuhkan oleh hakim".62 Pengertian
yang dikemukakan oleh Anton M. Moeliono dan kawan-kawan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tersebut sudah mendekati
pengertian menurut istilah, bahkan mungkin itu sudah merupakan
59Abdurrrahmân al-Jazirî, op.cit, hlm. 140 - 141 60Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayat,
Jakarta: sinar Grafika, 2004, hlm. 136. 61Ibid., 62 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka,
1976, hlm. 364.
pengertian menurut istilah yang nanti akan dijelaskan selanjutnya dalam
skripsi ini.
Dalam hukum positif di Indonesia, istilah hukuman hampir sama
dengan pidana. Walaupun sebenarnya seperti apa yang dikatakan oleh
Wirjono Projodikoro, kata hukuman sebagai istilah tidak dapat
menggantikan kata pidana, oleh karena ada istilah hukuman pidana dan
hukuman perdata seperti misalnya ganti kerugian ...,63 Sedangkan
menurut Mulyatno, sebagaimana dikutip oleh Mustafa Abdullah, istilah
pidana lebih tepat daripada hukuman sebagai terjemahan kata straf.
Karena, kalau straf diterjemahkan dengan hukuman maka straf recht harus
diterjemahkan hukum hukuman.64
Menurut Sudarto seperti yang dikutip oleh Mustafa Abdullah dan
Ruben Ahmad, pengertian pidana adalah penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu. Sedangkan menurut Roeslan Saleh yang juga
dikutip oleh Mustafa Abdullah, pidana adalah reaksi atas delik dan ini
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada
pembuat delik itu.65 Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa pidana
berarti hal yang dipidanakan, yaitu yang oleh instansi yang berkuasa
63Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: PT. Eresco,
1981, hlm. 1. 64Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, hlm. 1 – 12. 65Ibid., hlm. 48.
dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak
dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.66
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas dapat
diambil intisari bahwa hukuman atau pidana adalah suatu penderitaan atau
nestapa, atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
Menurut hukum pidana Islam, hukuman adalah seperti
didefinisikan oleh Abdul Qadir Audah dalam Kitab al-Tasyri' al-Jina'i al-
Islamy menyatakan:
العقوبة ھى الجزء المقررلمصلحة الجما عة على عصیان امرالشارع
Artinya: "Hukuman adalah pembalasan atas pelanggaran perintah syara' yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara'."67
Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa hukuman adalah
salah satu tindakan yang diberikan oleh syara' sebagai pembalasan atas
perbuatan yang melanggar ketentuan syara', dengan tujuan untuk
memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga untuk
melindungi kepentingan individu.
2. Tujuan Hukuman
Tujuan pemberi hukuman dalam Islam sesuai dengan konsep
tujuan umum disyariatkannya hukum, yaitu untuk merealisasi
kemaslahatan umat dan sekaligus menegakkan keadilan.68 Atas dasar itu,
66Wirjono Projodikoro, loc.,cit. 67Abdul Qadir Audah, op.cit., hlm. 609. 68Abd al-Wahhâb Khalâf, ‘Ilm usûl al-Fiqh, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978, hlm. 198.
Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hlm. 351.
tujuan utama dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syariat Islam
adalah sebagai berikut.
a. Pencegahan (الردع والزجر)
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat
jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia
tidak terus-menerus melakukan jarimah tersebut. Di samping
mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang
lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab
ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku
juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan
perbuatan yang sama. Dengan demikian, kegunaan pencegahan adalah
rangkap, yaitu menahan orang yang berbuat itu sendiri untuk tidak
mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk tidak berbuat
seperti itu serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.69
Oleh karena perbuatan-perbuatan yang diancam dengan
hukuman adakalanya pelanggaran terhadap larangan (Jarimah positif)
atau meninggalkan kewajiban maka arti pencegahan pada keduanya
tentu berbeda. Pada keadaan yang pertama (jarimah positif)
pencegahan berarti upaya untuk menghentikan perbuatan yang
dilarang, sedang pada keadaan yang kedua (jarimah negatif)
pencegahan berarti menghentikan sikap tidak melaksanakan kewajiban
tersebut sehingga dengan dijatuhkannya hukuman diharapkan ia mau
69Ahmad Wardi Muslich, op.cit., hlm. 137.
menjalankan kewajibannya. Contohnya seperti penerapan hukuman
terhadap orang yang meninggalkan salat atau tidak mau mengeluarkan
zakat.70
Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan maka
besarnya hukuman harus sesuai dan cukup mampu mewujudkan tujuan
tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan,
Dengan demikian terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan
hukuman. Apabila kondisinya demikian maka hukuman terutama
hukuman ta'zir, dapat berbeda-beda sesuai dengan perbedaan
pelakunya, sebab di antara pelaku ada yang cukup hanya diberi
peringatan, ada pula yang cukup dengan beberapa cambukan saja, dan
ada pula yang perlu dijilid dengan beberapa cambukan yang banyak.
Bahkan ada di antaranya yang perlu dimasukkan ke dalam penjara
dengan masa yang tidak terbatas jumlahnya atau bahkan lebih berat
dari itu seperti hukuman mati.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa tujuan yang pertama
itu, efeknya adalah untuk kepentingan masyarakat, sebab dengan
tercegahnya pelaku dari perbuatan jarimah maka masyarakat akan
tenang, aman, tenteram, dan damai. Meskipun demikian, tujuan yang
pertama ini ada juga efeknya terhadap pelaku, sebab dengan tidak
dilakukannya jarimah maka pelaku akan selamat dan ia terhindar
dari penderitaan akibat dan hukuman itu.
70A.Hanafi, op.cit, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hlm. 255-256.
b. Perbaikan dan Pendidikan (اإلصالح والتھذیب)
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik
pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari
kesalahannya. Di sini terlihat, bagaimana perhatian syariat Islam
terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan
timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah
bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri
dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat
rida dari Allah SWT. Kesadaran yang demikian tentu saja merupakan
alat yang sangat ampuh untuk memberantas jarimah, karena seseorang
sebelum melakukan suatu jarimah, ia akan berpikir bahwa Tuhan pasti
mengetahui perbuatannya dan hukuman akan menimpa dirinya, baik
perbuatannya itu diketahui oleh orang lain atau tidak. Demikian juga
jika ia dapat ditangkap oleh penguasa negara kemudian dijatuhi
hukuman di dunia, atau ia dapat meloloskan diri dari kekuasaan dunia,
namun pada akhirnya ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari
hukuman akhirat.71
Di samping kebaikan pribadi pelaku, syariat Islam dalam
menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang
baik yang diliputi oleh rasa saling menghormati dan mencintai antara
sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan
kewajibannya. Pada hakikatnya, suatu jarimah adalah perbuatan yang
71Wardi Muslich, op.cit, hlm. 138.
tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan serta membangkitkan
kemarahan masyarakat terhadap pembuatnya, di samping
menimbulkan rasa iba dan kasih sayang terhadap korbannya.
Hukuman atas diri pelaku merupakan salah satu cara
menyatakan reaksi dan balasan dari masyarakat terhadap perbuatan
pelaku yang telah melanggar kehormatannya sekaligus juga merupakan
upaya menenangkan hati korban. Dengan demikian, hukuman itu
dimaksudkan untuk memberikan rasa derita yang harus dialami oleh
pelaku sebagai imbangan atas perbuatannya dan sebagai sarana untuk
menyucikan dirinya. Dengan demikian akan terwujudlah rasa keadilan
yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.72
3. Macam-Macam Hukuman dan Pelaksanaannya
Hukuman dalam hukum pidana Islam dapat dibagi kepada
beberapa bagian, dengan meninjaunya dari beberapa segi. Dalam hal ini
ada lima penggolongan.
(1) Ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman
yang lainnya, hukuman dapat dibagi kepada empat bagian, yaitu
sebagai berikut.
a. Hukuman pokok ('uqubah asliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan
untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman yang asli,
seperti hukuman qisâs untuk jarimah pembunuhan, hukuman dera
72Ibid., hlm. 257.
seratus kali untuk jarimah zina, atau hukuman potong tangan
untuk jarimah pencurian.
b. Hukuman pengganti ('uqubah badaliyah), yaitu hukuman yang
menggantikan hukuman pokok, apabila hukuman pokok tidak
dapat dilaksanakan karena alasan yang sah, seperti hukuman diat
(denda) sebagai pengganti hukuman qisas, atau hukuman ta'zir
sebagai pengganti hukuman had atau hukuman qisas yang tidak
bisa dilaksanakan. Sebenarnya hukuman diyat itu sendiri adalah
hukuman pokok, yaitu untuk pembunuhan menyerupai sengaja
atau kekeliruan, akan tetapi juga menjadi hukuman pengganti
untuk hukuman qisas dalam pembunuhan sengaja. Demikian pula
hukuman ta'zir juga merupakan hukuman pokok untuk jarimah-
jarimah ta'zir, tetapi sekaligus juga menjadi hukuman pengganti
untuk jarimah hudud atau qisas dan diat yang tidak bisa
dilaksanakan karena ada alasan-alasan tertentu.73
c. Hukuman tambahan ('uqubah taba'iyah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan secara
tersendiri, seperti larangan menerima warisan bagi orang yang
membunuh orang yang akan diwarisnya, sebagai tambahan untuk
hukuman qisas atau diyat, atau hukuman pencabutan hak untuk
menjadi saksi bagi orang yang melakukan jarimah qadzaf
73Ahmad Wardi Muslich, op.cit, hlm. 142 – 143.
(menuduh orang lain berbuat zina), di samping hukuman
pokoknya yaitu jilid (dera) delapan puluh kali.
d. Hukuman pelengkap ('uqubah takmiliyah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok dengan syarat harus ada keputusan
tersendiri dari hakim dan syarat inilah yang membedakannya
dengan hukuman tambahan. Contohnya seperti mengalungkan
tangan pencuri yang telah dipotong dilehernya.
(2) Ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat
ringannya hukuman maka hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian.
a. Hukuman yang mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas
tertinggi atau batas terendah, seperti hukuman jilid (dera) sebagai
hukuman had (delapan puluh kali atau seratus kali). Dalam
hukuman jenis ini, hakim tidak berwenang untuk menambah atau
mengurangi hukuman tersebut, karena hukuman itu hanya satu
macam saja.
b. Hukuman yang mempunyai dua batas, yaitu batas tertinggi dan
batas terendah. Dalam hal ini hakim diberi kewenangan dan
kebebasan untuk memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas
tersebut, seperti hukuman penjara atau jilid pada jarimah-jarimah
ta'zir.74
74Ibid, hlm. 67 – 68.
(3) Ditinjau dari segi keharusan untuk memutuskan dengan hukuman
tersebut, hukuman dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu sebagai
berikut.
a. Hukuman yang sudah ditentukan ('uqubah muqaddarah), yaitu
hukuman-hukuman yang jenis dan kadarnya telah ditentukan oleh
syara' dan hakim berkewajiban untuk memutuskannya tanpa
mengurangi, menambah, atau menggantinya dengan hukuman
yang lain. Hukuman ini disebut hukuman keharusan ('uqubah
lazimah). Dinamakan demikian, karena ulil amri tidak berhak
untuk menggugurkannya atau memaafkannya.
b. Hukuman yang belum ditentukan ('uqubah ghair muqaddarah),
yaitu hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk memilih
jenisnya dari sekumpulan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh
syara' dan menentukan jumlahnya untuk kemudian disesuaikan
dengan pelaku dan perbuatannya. Hukuman ini disebut juga
Hukuman Pilihan ('uqubah mukhayyarah), karena hakim
dibolehkan untuk memilih di antara hukuman-hukuman tersebut.75
(4) Ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman maka hukuman dapat
dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
a. Hukuman badan ('uqubah badaniyah), yaitu hukuman yang
dikenakan atas badan manusia, seperti hukuman mati, jilid (dera),
dan penjara.
75Ibid, hlm. 68.
b. Hukuman jiwa ('uqubah nafsiyah), yaitu hukuman yang dikenakan
atas jiwa manusia, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan,
atau teguran.
c. Hukuman harta ('uqubah maliyah), yaitu hukuman yang dikenakan
terhadap harta seseorang, seperti diyat, denda, dan perampasan
harta.
(5) Ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman,
hukuman dapat dibagi kepada empat bagian, yaitu sebagai berikut.
a. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-
jarimah hudud.
b. Hukuman qisas dan diyat, yaitu hukuman yang ditetapkan atas
jarimah-jarimah qisâs dan diyat.
c. Hukuman kifarat, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk sebagian
jarimah qisas dan diat dan beberapa jarimah ta'zir.
d. Hukuman ta'zir, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah-
jarimah ta'zir.76
76Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka,
2004, hlm. 44 - 45.
BAB III
PENDAPAT SYAFI'I TENTANG PEMBERLAKUAN HUKUMAN RAJAM
BAGI PEZINA KAFIR ZIMMY
A. Biografi Syafi’i, Pendidikan dan Karyanya
a. Latar Belakang Syafi’i
Nama lengkap Imam al-Syafi'i adalah Muhammad ibn Idris ibn al-
Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn
Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf.77 Lahir di Ghaza (suatu
daerah dekat Palestina) pada tahun 150 H/767 M, kemudian dibawa oleh
ibunya ke Makkah. Ia lahir pada zaman Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada
zaman kekuasaan Abu Ja’far al Manshur (137-159 H./754-774 M.), dan
meninggal di Mesir pada tahun 204 H/820 M.78
Imam al-Syafi'i berasal dari keturunan bangsawan yang paling
tinggi di masanya. Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana,
namun kedudukannya sebagai putra bangsawan, menyebabkan ia
terpelihara dari perangai-perangai buruk, tidak mau merendahkan diri dan
berjiwa besar. Ia bergaul rapat dalam masyarakat dan merasakan
penderitaan-penderitaan mereka.
Imam al-Syafi'i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal al-
Qur'an dalam umur yang masih sangat muda (9 tahun) dan umur sepuluh
77Syaikh Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60
Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006, hlm. 355. 78Ibid, hlm. 356.
tahun sudah hafal kitab al-Muwatta' karya Imam Malik.79 Kemudian ia
memusatkan perhatian menghafal hadis. Ia menerima hadis dengan jalan
membaca dari atas tembikar dan kadang-kadang di kulit-kulit binatang.
Seringkali pergi ke tempat buangan kertas untuk memilih mana-mana yang
masih dapat dipakai.80
Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri
dari pengaruh Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu.
Ia pergi ke Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari
bahasa Arab yang fasih. Sepuluh tahun lamanya Imam al-Syafi'i tinggal di
Badiyah itu, mempelajari syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam
bidang syair yang digubah golongan Huzail itu, amat indah susunan
bahasanya. Di sana pula ia belajar memanah dan mahir dalam bermain
panah. Dalam masa itu Imam al-Syafi'i menghafal al-Qur'an, menghafal
hadis, mempelajari sastera Arab dan memahirkan diri dalam mengendarai
kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah dan penduduk-
penduduk kota. 81
Imam al-Syafi'i belajar pada ulama-ulama Makah, baik pada
ulama-ulama fiqih, maupun ulama-ulama hadis, sehingga ia terkenal
dalam bidang fiqh dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang
itu. Gurunya Muslim Ibn Khalid Al-Zanji, menganjurkan supaya Imam al-
79Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi'i, Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
2004, hlm. 28. 80Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung: CV
Pustaka Setia, 2000, hlm. 17. 81Syaikh Ahmad Farid, op.cit, hlm. 357 – 360.
Syafi'i bertindak sebagai mufti. Sungguh pun ia telah memperoleh
kedudukan yang tinggi itu namun ia terus juga mencari ilmu.82
Sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah ada seorang ulama
besar yaitu Malik, yang memang pada masa itu terkenal di mana-mana
dan mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu dan hadis. Imam al-
Syafi'i ingin pergi belajar kepadanya, akan tetapi sebelum pergi ke
Madinah ia lebih dahulu menghafal al-Muwatta', susunan Malik yang
telah berkembang pada masa itu. Ia berangkat ke Madinah untuk belajar
kepada Malik dengan membawa sebuah surat dari gubernur Makah. Mulai
ketika itu ia memusatkan perhatian mendalami fiqh di samping
mempelajari al-Muwatta’. Imam al-Syafi'i mengadakan mudarasah
dengan Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan Malik. Di waktu
Malik meninggal tahun 179 H, Imam al-Syafi'i telah mencapai usia
dewasa dan matang.83
Di antara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam al-
Syafi'i adalah tentang metode pemahaman' Al-Qur'an dan sunnah atau
metode istinbat (usul fikih). Meskipun para imam mujtahid sebelumnya
dalam berijtihad terikat dengan kaidah-kaidahnya, namun belum ada
kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah buku sebagai satu disiplin ilmu
yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum Islam. Dalam kondisi
demikianlah Imam al-Syafi'i tampil berperan menyusun sebuah buku usul
82Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 28. 83TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT
Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 480 – 481.
fikih. Idenya ini didukung pula dengan adanya permintaan dari seorang
ahli hadis bernama Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H) di Baghdad agar
Imam al-Syafi'i menyusun metodologi istinbat.84
Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M; ahli hukum
Islam berkebangsaan Mesir) menyatakan buku itu (al-Risalah) disusun
ketika Imam al-Syafi'i berada di Baghdad, sedangkan Abdurrahman bin
Mahdi ketika itu berada di Mekah. Imam al-Syafi'i memberi judul
bukunya dengan "al-Kitab" (Kitab, atau Buku) atau "Kitabi" (Kitabku),
kemudian lebih dikenal dengan "al-Risalah" yang berarti "sepucuk surat."
Dinamakan demikian, karena buku itu merupakan surat Imam 'asy-Syafi'i
kepada Abdurrahman bin Mahdi. Kitab al-Risalah yang pertama ia susun
dikenal dengan ar-Risalah al-Qadimah (Risalah Lama).85
Dinamakan demikian, karena di dalamnya termuat buah-buah
pikiran: Imam al-Syafi'i sebelum pindah ke Mesir. Setelah sampai di
Mesir, isinya disusun kembali dalam rangka penyempurnaan bahkan ada
yang diubahnya, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan al-Risalah al-
Jadidah (Risalah Baru). Jumhur ulama usul-fikih sepakat menyatakan
bahwa kitab ar-Risalah karya Imam al-Syafi'i ini merupakan kitab pertama
yang memuat masalah-masalah usul fikih secara lebih sempurna dan
sistematis. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai penyusun pertama usul fikih
sebagai satu disiplin ilmu.86
84Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 29. 85Syaikh Ahmad Farid, op.cit, hlm. 361. 86Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 30.
b. Pendidikan
Imam al-Syafi'i menerima fiqh dan hadis dari banyak guru yang
masing-masingnya mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-
tempat berjauhan bersama lainnya. Imam al-Syafi'i menerima ilmunya dari
ulama-ulama Makah, ulama-ulama Madinah, ulama-ulama Iraq dan ulama-
ulama Yaman.87
Imam al-Syafi'i berguru dari ulama-ulama Makkah, Madinah, Irak
danYaman. Ulama Makkah yang menjadi gurunya diantaranya adalah:
Sufyan bin 'Uyainah, Muslim bin Khalid al-Zanzi, Sa'id bin Salim al-
Kaddah, Daud bin 'Abdirahman al-Attars dan Abdul Hamid bin Abdul
Aziz Abi Zuwad. Ulama Madinah yang menjadi gurunya adalah: Malik
bin Anas, Ibrahim bin Sa'ad al-Ansari, Abd al-Aziz bin Muhammad
Addahrawardi, Ibrahim bin Abi Yahya al-Asami, Muhammad bin Abi
Sa'id bin Abi Fudaik, Abdullah bin Nafi' teman ibnu Abi Zuwaib. Ulama
Yaman yang menjadi gurunya adalah: Muttaraf bin Hazim, Hisyam bin
Yusuf, 'Umar bin Abi Salamah teman al-Auza'i dan Yahya bin Hasan
teman al-Lais.
Sedangkan ulama Irak yang menjadi gurunya adalah: Waki' bin
Jarrah, Abu Usamah, Hammad bin Usamah, dua ulama Kuffah, Isma'il bin
Ulaiyah dan Abdul Wahab bin Abdul Majid, dua ulama Bashrah, juga
menerima ilmu dari Muhammad bin al-Hasan yaitu dengan mempelajari
87Mahmud Syalthut, op.cit., hlm. 18.
kitab-kitabnya yang didengar langsung dari padanya. Dari sinilah ia
memperoleh pengetahuan fiqh Irak.88
Setelah sekian lama mengembara menuntut ilmu, pada tahun 186 H
Imam al-Syafi'i kembali ke Makah. Di masjidil Haram ia mulai mengajar
dan mengembangkan ilmunya dan mulai berijtihad secara mandiri dalam
membentuk fatwa-fatwa fiqihnya. Tugas mengajar dalam rangka
menyampaikan hasil-hasil ijtihadnya ia tekuni dengan berpindah-pindah
tempat. Selain di Makah, ia juga pernah mengajar di Baghdad (195-197
H), dan akhirnya di Mesir 198-204 H). Dengan demikian ia sempat
membentuk kader-kader yang akan menyebarluaskan ide-idenya dan
bergerak dalam bidang hukum Islam. Di antara murid-muridnya yang
terkenal ialah Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri madzhab Hanbali), Yusuf
bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H), Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-
Muzani (w. 264 H), dan Imam Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (174-270
H). Tiga muridnya yang disebut terakhir ini, mempunyai peranan penting
dalam menghimpun dan menyebarluaskan faham fiqih Imam al-Syafi'i.89
Imam al-Syafi'i wafat di Mesir, tepatnya pada hari Jum’at tanggal
30 Rajab 204 H, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak
orang. Kitab-kitabnya hingga saat ini masih banyak dibaca orang, dan
makamnya di Mesir sampai detik ini masih diziarahi orang.90
88Muhammad Abu Zahrah, Hayatuhu wa Asruhu wa Fikruhu ara-uhu wa Fiqhuhu, Terj.
Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, “Imam al-Syafi'i Biografi dan Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, Jakarta: PT Lentera Basritama, 2005, hlm. 42-45
89Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1680.
90Ibid.,hlm. 18.
c. Karyanya
Karya-karya Imam Syafi'i yang berhubungan dengan tema skripsi
ini di antaranya: (1) Al-Umm. Kitab ini disusun langsung oleh Imam
Syafi'i secara sistematis sesuai dengan bab-bab fikih dan menjadi rujukan
utama dalam Mazhab Syafi'i. Kitab ini memuat pendapat Imam Syafi'i
dalam berbagai masalah fikih. Dalam kitab ini juga dimuat pendapat Imam
Syafi'i yang dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim (pendapat lama) dan
al-qaul al-jadid (pendapat baru). Kitab ini dicetak berulang kali dalam
delapan jilid bersamaan dengan kitab usul fikih Imam Syafi'i yang
berjudul Ar-Risalah. Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar asy-
Sya'b Mesir, kemudian dicetak ulang pada tahun 1388H/1968M.91
(2) Kitab al-Risalah. Ini merupakan kitab ushul fiqh yang pertama
kali dikarang dan karenanya Imam Syafi'i dikenal sebagai peletak dasar
ilmu ushul fiqh. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran Syafi'i
dalam menetapkan hukum.92 (3) Kitab Imla al-Shagir; Amali al-Kubra;
Mukhtasar al-Buwaithi;93 Mukhtasar al-Rabi; Mukhtasar al-Muzani; kitab
Jizyah dan lain-lain kitab tafsir dan sastera.94 Siradjuddin Abbas dalam
bukunya telah mengumpulkan 97 (sembilan puluh tujuh) buah kitab dalam
fiqih Syafi’i. Namun dalam bukunya itu tidak diulas masing-masing dari
91TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm, 488. 92Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132. 93Ahmad Asy Syurbasyi, Biografi Empat Imam Mazhab, Terj. Futuhal Arifin, Jakarta:
Pustaka Qalami, 2005, hlm. 144. 94Ali Fikri, op.cit., hlm. 109-110.
karya Syafi’i tersebut.95 Ahmad Nahrawi Abd al-Salam menginformasikan
bahwa kitab-kitab Imam al-Syafi'i adalah Musnad li al-Syafi'i; al-Hujjah;
al-Mabsut, al-Risalah, dan al-Umm.96
B. Pendapat Syafi'i tentang Pemberlakuan Hukuman Rajam bagi Kafir Zimmy
هللا صلى اهللا عليه وسلم يف يهوديني زنيا رمجهما وهذا وحكم رسول ا: قال الشافعىومعىن قول اهللا تبارك وتعاىل " وإن حكمت فاحكم بينهم بالقسط"معىن قوله عز وجل
97" وأن أحكم بينهم مبا أنزل اهللا"Artinya: “Syafi'i berkata: dan Rasulullah Saw menghukumi dua orang Yahudi
yang berzina untuk merajam keduanya, dan ini pengertian firmannya Azza wa Jalla (yang artinya): "Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil" (Al-Maidah/5: 42). Dan pengertian firman Allah Tabaraka wa Ta'ala (yang artinya) "dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah".
Dalil yang jelas bahwa orang yang menghukumi mereka dari ahli
agama Allah maka sesungguhnya ia menghukumi di antara mereka dengan
hukum kaum muslimin. Apa yang menjadi hukuman pada kaum muslimin
maka harus pula menjadi hukuman bagi orang yang bukan Islam dan
dihukumkan hukum itu atas dan untuknya. Asy Syafi'i berkata : "Malik
memberitakan kepada kami dari Nafi' dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw
merajam dua orang Yahudi yang berzina". Abdullah berkata : "Maka saya
melihat seorang laki-laki itu mendatangi (berzina) dengan 'orang perempuan
95Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 2004, hlm. 182-186. 96Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 44. 97Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. 6, Beirut: Dâr al-
Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 150.
yang mana laki-laki itu menjaga orang perempuan itu, dari batu (wanita itu
tidak terkena rajam)". Asy Syafi'i berkata : "Allah Azza wa Jalla
memerintahkan kepada Nabi Nya saw untuk menghukumi di antara mereka
dengan apa yang diturunkan oleh Allah dengan adil". Kemudian Rasulullah
saw menghukumi di antara mereka dengan rajam. Itu adalah sunnah terhadap
orang sudah kawin serta muslim apa bila dia berzina dan merupakan dalil
bahwa tidak ada bagi seorang muslim hukum di antara mereka selama-
lamanya untuk dihukumkan diantara mereka kecuali dengan hukum Islam".98
Asy Syafi'i berkata : "Seseorang berkata kepadaku bahwa firman Allah
Tabaraka wa Ta'ala (yang artinya); "Dan hendaklah kamu memutuskan
perkara antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah" (Al Maaidah
(V) ; 49) adalah menasakh terhadap firman Allah 'Azza wa jalla (yang artinya)
: "Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan),
maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari
mereka" (Al Maaidah (V) ; 42). Lalu saya berkata kepadanya : "Yang
menasakh itu hanya didasarkan kepada khabar (hadits) dari Nabi saw atau dari
sebahagian shahabatnya yang tidak ada yang menyalahinya atau urusan yang
diijmakkan oleh umum para fuqaha. Adakah anda salah satu dari ini ?" la
berkata : "Tidak adakah pada anda sesuatu yang menjelaskan bahwa pilihan
itu (memberi hukum atau berpaling) tidak mansukh?". Saya berkata : "Firman
Allah azza wa jalla (yang artinya): "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara
di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah" (Al Maaidah (V) ; 49)
98Ibid., hlm. 52-57
mengandung kemungkinan jika kamu menghukumi. Sebagian teman-teman
anda telah meriwayatkan dari Sufyan Sauri dari Samak bin Harb dari Khabus
bin Mukhariq bahwa Muhammad bin Abu Bakar di mana Ali bin Abi Thalib
ra menulis surat kepadanya tentang seorang muslim yang berzina dengan
wanita dzimmi untuk meng-had muslim itu menurut hukum agamanya".99
Asy Syafi'i berkata : "Apabila ini shahih menurut anda maka itu
menunjukkan bahwa imam itu diperbolehkan memilih untuk menghukumi di
antara mereka atau meninggalkan hukum atas mereka, ataupun hukum itu
lazim bagi imam dengan lazim nya menghukumi di antara mereka dalam satu
jenis had yang mana seorang muslim dijatuhkan had padanya dan wanita
dzimmi tidak di jatuhi had".100
Asy Syafi'i berkata : "Bagaimana wanita dzimmi itu tidak di jatuhi had
dari segi bahwasanya wanita dzimmi itu tidak setuju kepada hukum imam dan
imam itu diberi hak memilih untuk menghukumkan wanita itu (dengan hukum
Islam) atau tidak menghukumkan". la berkata : "Apakah keadaan yang
melazimkan imam untuk menghukumkan (wanita itu dengan hukum Islam)
untuk dihukumkan bagi dan atas mereka ?". Saya berkata : "Apabila ada
ikutan di antara mereka dan antara muslim atau musta'man (orang yang
dilindungi) maka tidak boleh untuk menghukumkan bagi dan atas muslim
kecuali orang Islam dan tidak boleh ada aqad dengan musta'man yang
memberi keamanan atas harta dan darahnya sehingga kembali menghukumkan
99Ibid., hlm. 153. 100Ibid
atasnya kecuali muslim".101
la berkata :
"Ini adalah zina yang satu di mana Ali ra telah mengembalikan wanita dzimmi itu kepada ahli agamanya (untuk dihukumi menurut agamanya). Kami berkata : "Bahwasanya tidak ada sesuatu bagi wanita itu dengan zina atas orang muslim dimana wanita itu mengambil dari padanya, dan tidak ada sesuatu bagi muslim atas wanita dzimmi itu dihukumkan bagi wanita itu dan atas wanita itu (hak dan kewajiban) yang ada hanyalah had maka saya mengambilnya jika haditsmu itu shahih dari pada orang Islam dan Ali mengembalikan wanita dzimmi itu kepada ahli agamanya karena sesuatu yang kami sifatkan bahwasanya wanita itu tidak ridha kepada hukum imam dan bahwasanya imam itu diperkenankan memilih untuk memberi hukum bagi dan atas wanita itu".102
Asy Syafi'i berkata : "Lalu ia berkata :
"Bajalah telah meriwayatkan dari Umar bin Khaththab ra bahwasanya ia menulis surat bedakanlah di antara setiap orang yang mempunyai mahram dari Majusi dan laranglah mereka untuk berkumpul. Maka bagaimana anda tidak mengambilnya ?". Lalu saya berkata kepadanya : "Bajalah adalah seorang laki-laki yang majhul dan ia tidak mengetahui bahwa bagian Mu'awiyah itu yang sebagai pegawai Umar bin Khaththab ra. Dan kami bertanya kepada anda, dan jika anda berkata seperti apa yang kami katakan maka mengapa anda berhujjah dengan sesuatu yang telah anda ketahui sesuatu itu tidak ada (nilai) hujjah padanya. Jika anda berkata : "Bahkan kami berpegang kepada hadits Bajalah maka hadits Bajalah itu adalah sesuai bagi kami karena Umar hanyalah membebankan kepada mereka jika itu atas sesuatu yang dibebankan kepada kaum muslimin karena mahram-mahram (dari Majusi) itu tidak halal bagi kaum muslimin dan tidak seyogya bagi Muslim untuk berkumpul. Ini menunjukkan jika itu shahih bahwa mereka menanggung atas apa yang ditanggung oleh kaum muslimin maka anda menanggungkan atas sesuatu yang di tanggung oleh kaum muslimin, dan anda mengikuti mereka sebagai mana anda mengikuti kaum muslimin". la berkata : "Tidak". Saya berkata : "Anda telah menyalahi kepada apa yang anda riwayatkan dari Umar". la berkata : "Jika saya berkata "Saya mengikuti mereka pada apa yang saya lihat bahwasanya Umar mengikuti mereka padanya". Saya berkata: "Mengapakah anda mengikuti mereka padanya kecuali bahwa itu
101Ibid., hlm. 154. 102 Ibid., hlm. 155.
diharamkan atas mereka?. la berkata : "Ya". Saya berkata : "Maka demikianlah anda mengikuti mereka pada setiap apa yang dia ketahui bahwa mereka itu melakukan atasnya dari apa yang diharamkan atas mereka". la berkata : "Jika saya berkata 'saya mengikuti mereka pada ini yang saya riwayatkan bahwa Umar mengikuti mereka padanya secara khusus". la berkata : "Saya berkata lalu wajib bagi anda untuk mengikuti mereka pada selainnya apa bila anda mengetahui mereka melakukannya dan anda berdalil bahwa Umar mengikuti mereka dari sesuatu yang sampai padanya bahwa mereka melakukan dari apa yang diharamkan atas mereka untuk mengikuti mereka menurut yang semisalnya. Dan lebih besar dari padanya dari apa yang diharamkan atas mereka maka lazim bagi anda untuk anda mengetahui bahwa Umar itu memperlakukan kepada mereka bahwa hukum atas mereka kepada apa yang ia hukumkan atas kaum muslimin. Maka anda mengetahui bahwa Allah Tabaraka wa ta'ala memerintahkan untuk menghukumi di antara mereka dengan adil kemudian Rasulullah saw menghukumi di antara mereka dengan rajam. Dan itu adalah sunnahnya yang beliau sunnahkan untuk kaum muslimin dan beliau saw bersabda tentangnya: Artinya: "Sungguh saya akan memutuskan (melaksanakan hukum) mengenai apa yang di antaramu dengan kitabullah azza wa jalla (Al Qur'an)".103
Kemudian anda menduga dari Umar bahwasanya ia mengharamkan
atas mereka apa yang diharamkan atas kaum muslimin kemudian anda
menduga dari Ali ra bahwasanya beliau menyerahkan wanita Nasraniyah
kepada ahli agamanya. Seluruh apa yang kami dan anda menduga adalah
hujjah bagi kami, dan setiap apa yang anda duga di mana anda mengetahuinya
dan tidak kami mengetahuinya bahwa itu hujjah bagi kami dan ia tidak
menyalahi perkataan kami sedangkan anda menyalahi apa yang anda berhujjah
dengannya". la berkata: "Di antara mereka ada orang yang berkata:
"Bagaimanakah anda tidak menghukumi di antara mereka apabila mereka
datang kepada anda dengan berkumpul atau mereka terpisah-pisah ?". Saya
berkata:
103 Ibid., hlm. 157.
"Adapun dengan terpisah-pisah maka sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla berfirman : (yang artinya); "Jika mereka (orang Yahudi) datang
kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah perkara itu di antara
mereka atau berpalinglah 'dari mereka" (Al Maaidah (V) ; 42). Maka Firman
Allah Tabaraka Wa ta'ala (yang artinya) ; "Jika mereka (orang Yahudi) datang
kepadamu (untuk meminta putusan)", itu menunjukkan bahwa mereka itu
berkumpul, bukan sebagian mereka datang kepadamu bukan sebagian yang
lain. Dan ayat itu menunjukkan bahwa hak bagi Nabi untuk memilih apabila
mereka datang kepada beliau untuk menghukumi atau berpaling dari mereka,
dan bahwasanya Jika beliau menghukumi maka beliau menghukumi di antara
mereka dengan hukum di antara kaum muslimin".104
Asy Syafi'i berkata: "Dan saya belum mendengar seseorang dari ahli
ilmu di negeri kami yang berselisih pendapat bahwa dua orang Yahudi yang
dirajam Rasulullah saw dalam zina adalah orang yang sudah terlepas dari
jaminan tawanan, bukan orang dzimmi (orang yang dalam Jaminan
keamanan).
Asy Syafi'i berkata : "Sebagian orang yang menyatakan pendapat yang
telah diceritakan perselisihannya berkata kepadaku bahwasanya tidak boleh
bagi imam untuk menghukumkan terhadap dua orang yang terlepas jaminan
keamanannya meskipun keduanya setuju kepada hukum imam. Hal ini
menyalahi As Sunnah, sedangkan kami berkata : "Apabila keduanya setuju
kepada hukum imam lalu imam memilih untuk memberi hukum maka imam
104 Ibid., hlm. 157.
menghukumi kepada keduanya (menurut hukum Islam)"
Asy-Syafi'i berkata : "Telah ada ahli kitab bersama Rasulullah saw di
sebagian penjuru Madinah mereka terlepas jaminah keamanannya suatu waktu
dan ia orang yang berdamai dan orang yang dijamin bersamanya di Khaibar,
Fidak, Wadil Qura, Mekkah, Najran dan Yaman di mana berlaku atas mereka
hukum Nabi saw. Kemudian bersama Abu Bakar pada masanya kemudian
bersama Umar pada awal kekhalifahannya sehingga Umar mengusir mereka
karena sesuatu yang sampai kepadanya dari Rasulullah saw kemudian dalam
wilayah kekuasaannya, di mana hukumnya berlaku di Syam, Irak, Mesir dan
Yaman. Kemudian (pada masa) Utsman bin Affan kemudian bersama Ali bin
Abi Thalib ra. Kami tidak mengetahui dari seseorang yang telah kami
sebutkan menghukumkan di antara mereka pada sesuatu dan kalau
dihukumkan diantara mereka niscaya sebagian dari mereka ada yang ingat
walaupun tidak ada yang mengingat seluruhnya".105
Asy-Syafi'i berkata : "Orang-orang dzimmi adalah orang yang tidak
diragukan bahwa mereka itu saling menganiaya mengenai apa yang ada di
antara mereka, dan mereka saling berselisih dan saling menuntut hak dan
mereka membayar diyat atau sebagian mereka apa yang menjadi hak dan
kewajiban mereka dan kami tidak ragu bahwa penuntut itu loba terhadap
orang yang mengambil haknya dan orang yang dituntut itu loba terhadap
orang yang dapat menolak dari padanya apa yang dituntutnya. Dan masing-
masing kadang-kadang menyukai untuk dikenakan hukum orang-orang yang
105Ibid., hlm. 158.
mengambil untuknya dan dihukumkan atasnya orang-orang yang menolak dari
padanya. Dan kadang-kadang masing-masing mengharap kepada para hakim
kaum muslimin dan mengetahui hukum mereka atau tidak mengetahuinya
akan sesuatu yang ndak diharapkan pada hakimnya. Dan seandainya ada pada
hakim kaum muslimin hukum untuk mereka apa bila sebagian datang kepada
mereka bukan sebagian yang lain dan apabila mereka datang' kepada mereka
dengan berkelompok niscaya mereka datang kepada mereka (para hakim)
dalam sebagian keadaan dengan berkelompok".106
C. Istinbat Hukum Syafi'i tentang Pemberlakuan Hukuman Rajam bagi Kafir
Zimmy
1. Imam al-Syafi'i menyusun konsep pemikiran usûl fiqnya dalam karya
monumentalnya yang berjudul al-Risalah. Di samping itu, dalam al-Umm
banyak pula ditemukan prinsip-prinsip usûl fiqh sebagai pedoman dalam
ber- istinbat. Di atas landasan ushul fiqh yang dirumuskannya sendiri
itulah ia membangun fatwa-fatwa fiqihnya yang kemudian dikenal dengan
mazhab Syafi’i. Menurut Imam al-Syafi'i “ilmu itu bertingkat-tingkat”.
Tidak boleh berpegang kepada selain al-Qur’an dan sunnah dari
beberapa tingkatan tadi selama hukumnya terdapat dalam dua sumber tersebut.
Ilmu secara berurutan diambil dari tingkatan yang lebih atas dari tingkatan-
tingkatan tersebut.
Dalil atau dasar hukum Imam al-Syafi'i dapat ditelusuri dalam fatwa-
fatwanya baik yang bersifat qaul qadim (pendapat terdahulu) ketika di
106 Ibid., hlm. 159.
Baghdad maupun qaul jadid (pendapat terbaru) ketika di Mesir. Tidak berbeda
dengan mazhab lainnya, bahwa Imam al-Syafi'i pun menggunakan Al-Qur’an
sebagai sumber pertama dan utama dalam membangun fiqih, kemudian
sunnah Rasulullah SAW bilamana teruji kesahihannya.107
Dalam urutan sumber hukum di atas, Imam al-Syafi'i meletakkan
sunnah sahihah sejajar dengan al-Qur’an pada urutan pertama, sebagai
gambaran betapa penting sunnah dalam pandangan Imam al-Syafi'i sebagai
penjelasan langsung dari keterangan-keterangan dalam al-Qur’an. Sumber-
sumber istidlal108 walaupun banyak namun kembali kepada dua dasar pokok
yaitu: al-Kitab dan al-Sunnah. Akan tetapi dalam sebagian kitab Imam al-
Syafi'i, dijumpai bahwa al-Sunnah tidak semartabat dengan al-Kitab. Mengapa
ada dua pendapat Imam al-Syafi'i tentang ini.109
Imam al-Syafi'i menjawab sendiri pertanyaan ini. Menurutnya, al-
Kitab dan al-Sunnah kedua-duanya dari Allah dan kedua-duanya merupakan
dua sumber yang membentuk syariat Islam. Mengingat hal ini tetaplah al-
Sunnah semartabat dengan al-Qur’an. Pandangan Imam al-Syafi'i sebenarnya
adalah sama dengan pandangan kebanyakan sahabat.110 Imam al-Syafi'i
menetapkan bahwa al-Sunnah harus diikuti sebagaimana mengikuti al-Qur’an.
Namun demikian, tidak memberi pengertian bahwa hadis-hadis yang
107Syaikh Ahmad Farid, op.cit, hlm. 362. 108Istidlal artinya mengambil dalil, menjadikan dalil, berdalil. Lihat TM. Hasbi Ash
Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 588 dan 585. Menurut istilah menegakkan dalil untuk sesuatu hukum, baik dalil tersebut berupa nash, ijma' ataupun lainnya atau menyebutkan dalil yang tidak terdapat dalam nash, ijma ataupun qiyas. Lihat TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 214.
109Ibid., hlm. 239. 110Imam al-Syafi'i, al-Risalah, Mesir: al-Ilmiyyah, 1312 H, hlm. 32.
diriwayatkan dari Nabi semuanya berfaedah yakin. Ia menempatkan al-Sunnah
semartabat dengan al-Kitab pada saat meng-istinbat-kan hukum, tidak
memberi pengertian bahwa al-Sunnah juga mempunyai kekuatan dalam
menetapkan aqidah. Orang yang mengingkari hadis dalam bidang aqidah,
tidaklah dikafirkan.111
Imam al-Syafi'i menyamakan al-Sunnah dengan al-Qur’an dalam
mengeluarkan hukum furu’, tidak berarti bahwa al-Sunnah bukan merupakan
cabang dari al-Qur’an. Oleh karenanya apabila hadis menyalahi al-Qur'an
hendaklah mengambil al-Qur'an.Adapun yang menjadi alasan ditetapkannya
kedua sumber hukum itu sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah
karena al-Qur'an memiliki kebenaran yang mutlak dan al-sunnah sebagai
penjelas atau ketentuan yang merinci Al-Qur'an.112.
Ijma113 menurut Imam al-Syafi'i adalah kesepakatan para mujtahid di
suatu masa, yang bilamana benar-benar terjadi adalah mengikat seluruh kaum
muslimin. Oleh karena ijma baru mengikat bilamana disepakati seluruh
mujtahid di suatu masa, maka dengan gigih Imam al-Syafi'i menolak ijma
penduduk Madinah (amal ahl al-Madinah), karena penduduk Madinah hanya
sebagian kecil dari ulama mujtahid yang ada pada saat itu.114
Imam al-Syafi'i berpegang kepada fatwa-fatwa sahabat Rasulullah
SAW dalam membentuk mazhabnya, baik yang diketahui ada perbedaan
111Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 45. 112Ibid 113Menurut Abdul Wahab Khallaf, ijma’ menurut istilah para ahli ushul fiqh adalah
kesepakatan para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978, hlm, hlm. 45.
114Imam al-Syafi'i, al-Risalah , op. cit, hm. 534.
pendapat, maupun yang tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di
kalangan mereka. Imam al-Syafi'i berkata:115
رأ يهم لنا خري من رأ ينا أل نفسناArtinya: "Pendapat para sahabat lebih baik daripada pendapat kita sendiri
untuk kita amalkan" Bilamana hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tersurat dalam
sumber-sumber hukum tersebut di atas, dalam membentuk mazhabnya, Imam
al-Syafi'i melakukan ijtihad. Ijtihad dari segi bahasa ialah mengerjakan
sesuatu dengan segala kesungguhan. Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali
untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah. Menurut istilah,
ijtihad ialah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-
hukum syari’at. Dengan ijtihad, menurutnya seorang mujtahid akan mampu
mengangkat kandungan al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW secara lebih
maksimal ke dalam bentuk yang siap untuk diamalkan. Oleh karena demikian
penting fungsinya, maka melakukan ijtihad dalam pandangan Imam al-Syafi'i
adalah merupakan kewajiban bagi ahlinya. Dalam kitabnya al-Risalah, Imam
al-Syafi'i mengatakan, “Allah mewajibkan kepada hambanya untuk berijtihad
dalam upaya menemukan hukum yang terkandung dalam al-Qur'an dan as-
Sunnah”.116
Metode utama yang digunakannya dalam berijtihad adalah qiyas.
Imam al-Syafi'i membuat kaidah-kaidah yang harus dipegangi dalam
menentukan mana ar-rayu yang sahih dan mana yang tidak sahih. Ia membuat
115Ibid., hlm. 562. 116Ibid, hm. 482.
kriteria bagi istinbat-istinbat yang salah. Ia menentukan batas-batas qiyas,
martabat-martabatnya, dan kekuatan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.
Juga diterangkan syarat-syarat yang harus ada pada qiyas. Sesudah itu
diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan macam-macam istinbat yang
lain selain qiyas.117
Ulama usul menta'rifkan qiyas sebagai berikut:
إحلاق أمرغريمنصوص على حكمه بأمر معلوم حكمه الشتراكه 118معه ىف علة احلكم
Artinya: "Menyamakan sesuatu urusan yang tidak ditetapkan hukumnya dengan sesuatu urusan yang sudah diketahui hukumnya karena ada persamaan dalam illat hukum."
Dengan demikian Imam al-Syafi'i merupakan orang pertama dalam
menerangkan hakikat qiyas. Sedangkan terhadap istihsan, Syafi'i menolaknya.
Khusus mengenai istihsan ia mengarang kitab yang berjudul Ibtalul Istihsan.
Dalil-dalil yang dikemukakannya untuk menolak istihsan, juga disebutkan
dalam kitab Jima’ul Ilmi, al-Risalah dan al-Umm. Kesimpulan yang dapat
ditarik dari uraian-uraian Imam al-Syafi'i ialah bahwa setiap ijtihad yang tidak
bersumber dari al-Kitab, al-Sunnah, asar, ijma’ atau qiyas dipandang istihsan,
dan ijtihad dengan jalan istihsan, adalah ijtihad yang batal.119 Jadi alasan
Imam al-Syafi'i menolak istihsan adalah karena kurang bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalil hukum lainnya yang dipakai Imam al-Syafi'i adalah maslahah
117Ibid, hlm. 482. 118TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 257. 119Ibid, hlm. 146.
mursalah. Menurut Syafi’i, maslahah mursalah adalah cara menemukan
hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Al-Qur’an
maupun dalam kitab hadis, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan
masyarakat atau kepentingan umum.120 Menurut istilah para ahli ilmu ushul
fiqh maslahah mursalah ialah suatu kemaslahatan di mana syari’ tidak
mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada
dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.121
Dalam menguraikan keterangan-keterangannya, Imam al-Syafi'i
terkadang memakai metode tanya jawab, dalam arti menguraikan pendapat
pihak lain yang diadukan sebagai sebuah pertanyaan, kemudian ditanggapinya
dengan bentuk jawaban. Hal itu tampak umpamanya ketika ia menolak
penggunaan istihsan.122
Dalam format kitab al-Umm yang dapat ditemui pada masa sekarang
terdapat kitab-kitab lain yang juga dibukukan dalam satu kitab al-Umm
diantaranya adalah :
1 Al-Musnad, berisi sanad Imam al-Syafi'i dalam meriwayatkan hadis-hadis
Nabi dan juga untuk mengetahui ulama-ulama yang menjadi guru Imam
al-Syafi'i.
2 Khilafu Malik, berisi bantahan-bantahannya terhadap Imam Malik
gurunya.
120Imam al-Syafi'i, al-Risalah, op.cit., hlm. 479. 121Abdul Wahab Khallaf, op. cit., hlm. 84. 122Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. 7, Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 271-272.
3 Al-Radd 'Ala Muhammad Ibn Hasan, berisi pembelaannya terhadap
mazhab ulama Madinah dari serangan Imam Muhammad Ibn Hasan,
murid Abu Hanifah.
4 Al-Khilafu Ali wa Ibn Mas'ud, yaitu kitab yang memuat pendapat yang
berbeda antara pendapat Abu Hanifah dan ulama Irak dengan AH Abi
Talib dan Abdullah bin Mas'ud.
5 Sair al-Auza'i, berisi pembelaannya atas imam al-Auza'i dari serangan
Imam Abu Yusuf.
6 Ikhtilaf al-Hadis, berisi keterangan dan penjelasan Imam al-Syafi'i atas
hadis-hadis yang tampak bertentangan, namun kitab ini juga ada yang
dicetak tersendiri.
7 Jima' al-'llmi, berisi pembelaan Imam al-Syafi'i terhadap Sunnah Nabi
Saw.123
Dalam hubungannya dengan hukum rajam bagi pelaku zina kafir
zimmy, Imam Syafi'i menggunakan metode istinbat hukum sebagai berikut:
1. Al-Qur'an, yaitu surat al-Maidah ayat 42 dan 48
)٤٢: املائدة(وإن حكمت فاحكم بينهم بالقسط
Artinya: Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil" (QS. Al-Maidah/5: 42).124
ل اللها أنزم بمهنيكم ب٤٨: املائدة(فاح(
123Abd al-Halim al-Jundi, Imam al-Syafi'i, hlm. 252-253. 124Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Departemen Agama, 1986, hlm. 166.
Artinya: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah (QS. Al-Maidah/5: 48).125
2. Hadis riwayat dari Abu ath-Thahir dari Abdullah bin Wahb dari Rijal dari
ahlul ilmi dari Malik bin Anas
حدثني أبو الطاهر أخبرنا عبد الله بن وهب أخبرني رجال من أهل س أن نأن نب الكم مهأنالعلم من رمن عن ابع مهربا أخول الله افعسر
عليه وسلم رجم في الزنى يهوديين رجلا وامرأة زنيا فأتت صلى اللهيث بنحوه عليه وسلم بهما وساقوا الحدى رسول الله صلى اللهاليهود إل
126) رواه مسلم(
Artinya: Telah mengabarkan kepadaku dari Abu ath-Thahir dari Abdullah bin Wahb dari Rijal dari ahlul ilmi dari Malik bin Anas sesungguhnya Nafi'an mengabarkan kepada mereka dari Ibnu Umar sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah memberlakukan hukuman rajam dalam perbuatan zina yang telah dilakukan oleh dua orang Yahudi laki-laki dan perempuan yaitu setelah mereka berdua dihadapkan oleh orang-orang Yahudi kepada Rasulullah Saw. seterusnya para perawi menuturkan lanjutan hadis ini yang senada dengan hadis di atas (HR. Muslim).
125 Ibid., hlm. 168. 126Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh Muslim,
Juz. 3, Mesir: Tijariah Kubra, tth, hlm. 122.
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT ASY-SYÂFI'I TENTANG PEMBERLAKUAN
HUKUMAN RAJAM BAGI PEZINA KAFIR ZIMMY
A. Pendapat Asy-Syâfi'i tentang Pemberlakuan Hukuman Rajam bagi
Pezina Kafir Zimmy
Pembuat undang-undang dalam Islam adalah Allah Swt., walaupun
pada sebagian besar hukum-hukumnya membedakan antara kaum muslimin
dan lainnya. Namun dalam diyat dan qishash, Allah menyamakan
pemberlakuan hukum antara muslim dan nonmuslim, karena di balik itu ada
hikmah yang amat tinggi nilainya. Bagi orang-orang yang menyangka bahwa
kaum muslimin terlalu fanatik terhadap agamanya, ketika mengetahui hikmah
di balik semua hukum Islam, mereka akan memberikan stempel pada lisannya
dengan memakai cap syariat Islam. Selain itu, mereka juga akan tunduk dan
patuh terhadap Islam yang memiliki dasar keadilan yang bersifat moderat.
Kecuali jika orang itu benar-benar telah disesatkan Allah, maka mereka akan
tetap menyimpang. Ataupun, orang-orang yang di mata hatinya terdapat
penutup, mereka akan jauh dari jalan kebenaran.127
Apa hikmah yang dimaksud? Yaitu bahwa seorang dzimmi (orang
kafir yang ada perjanjian damai dengan kaum muslimin), ketika ia mau
membayar jizyah (upeti), maka jiwanya, hartanya, dan anak-anaknya akan
127Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuh, Juz II, Beirut: Dâr al-
Fikr, 1980, hlm. 204.
mendapat jaminan dari orang-orang Islam. Kaum muslimin dan kaum dzimmi
diperlakukan sama dalam hak-hak sipil. Barangsiapa berbuat zalim terhadap
dzimmi dengan membunuhnya, maka seakan-akan ia telah berbuat zalim
kepada kaum muslimin dan membatalkan tanggungan kaum muslimin. Oleh
karena itu, pembalasannya adalah dengan cara dibunuh atau membayar ganti
rugi berupa uang. Hal ini dilakukan dengan jalan damai. Ini apabila keluarga
terbunuh merelakannya. Semua ini membuktikan keadilan agama Islam,
sebagai rahmat bagi seluruh manusia.128
Dalam konteksnya dengan zina, menurut Syeikh Ali Ahmad Al-
Jurjawi bahwa karena zina bisa mendatangkan kemudharatan yang lebih besar
dan menimbulkan bencana yang memedihkan, maka Allah Swt., memberikan
satu siksaan pedih yang mampu membuat orang lain berhenti dan tidak
melakukannya.129
Menurut Imam al-Mawardi, perbuatan zina adalah jika seorang lelaki
memasukkan kepala kemaluannya ke dalam lubang kemaluan atau dubur
wanita, sementara kedua orang itu bukan suami-istri dan tidak ada kesamaran
(syubhat)130 saat melakukannya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, suatu
perbuatan baru dikatakan zina jika dilakukan lewat lubang kemaluan wanita,
dan bukan pada dubur. Hukuman had zina berbentuk sama bagi laki-laki dan
wanita. Masing-masing pelaku perzinaan itu dapat berstatus perawan atau
perjaka; atau sudah muhsan. Perjaka atau perawan adalah seseorang yang
128Ibid., hlm. 204. 129Ibid., hlm. 196. 130Maksudnya, saat ia melakukan persetubuhan itu ia menyadari bahwa wanita yang ia
setubuhi itu adalah bukan istrinya.
belum pernah bersetubuh dengan wanita atau pria dalam sebuah ikatan
pernikahan.131
Sebelum menganalisis pendapat Imam Syafi'i, ada baiknya
dikemukakan sepintas pendapat para ulama lainnya tentang pemberlakuan
hukum rajam bagi kafir zimmy. Berdasarkan hal itu maka dalam sub ini
hendak diketengahkan dua hal: (1) Pendapat Imam Syafi'i; (2) pendapat imam
atau ulama lain
(1) Pendapat Imam Syafi'i
sebagaimana diketahui bahwa hukuman untuk pelaku zina muhsan ini
ada dua macam: (1) dera seratus kali, dan (2) rajam. Landasan hukuman bagi
pelaku zina muhsan adalah hadiś Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh
Ubadah ibn Ash-Shâmit bahwa Rasulullah saw bersabda:
أخربنا بشر بن عمر الزهراين حدثنا محاد بن سلمة عن قتادة عن الحسن عن حطان بن عبد اهللا عن عبادة ابن الصامت أن رسول اهللا صلى اهللا عليه
وسلم قال خذوا عني خذوا عني قد جعل اهللا هلن سبيال البكر بالبكر والثيب بالثيب البكر جلد مائة ونفي سنة والثيب جلد مائة والرجم
132)الترمذى(
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Bisri bin Umar Zahroniy dari Hammad bin Salamah dari Qatadah dari al-Hasan dari Khittan bin Abdullah dari Ubadah bin Ash-Shamit, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda Allah telah memberikan jalan ke luar bagi mereka (pezina), jejaka dengan gadis, hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dengan janda,
131Imam al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sultaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, Terj. Abdul
Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin, "Hukum tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam", Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hlm. 428.
132CD program Mausu'ah Hadiś al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company
hukumannya dera seratus kali dan rajam"
Masalah yang muncul terhadap pezina muhsan yaitu apakah orang
kafir zimmy yang melakukan zina, dirajam atau tidak? Dalam hal ini Imam
Syafi'i tidak mensyaratkan Islam, karena dalam perspektif Imam Syafi'i bahwa
orang kafir zimmy yang melakukan zina bisa dikenakan hukum rajam. Hal ini
sebagaimana diungkapkan dalam kitabnya sebagai berikut:
وحكم رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم يف يهوديني زنيا : قال الشافعى" احكم بينهم بالقسطوإن حكمت ف"رمجهما وهذا معىن قوله عز وجل
133" وأن أحكم بينهم مبا أنزل اهللا"ومعىن قول اهللا تبارك وتعاىل
Artinya: Syafi'i berkata: dan Rasulullah Saw menghukumi dua orang Yahudi
yang berzina untuk merajam keduanya, dan ini pengertian firmannya Azza wa Jalla (yang artinya): "Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil" (Al-Maidah/5: 42). Dan pengertian firman Allah Tabaraka wa Ta'ala (yang artinya) "dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah".
(2) Pendapat Imam atau Ulama lain
Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah bahwa pezina muhsan
tidak dapat dikenai hukuman rajam, karena di antara syarat hukuman rajam itu
yaitu Islam, dewasa dan merdeka. Sedangkan Imam Syafi'i tidak
mensyaratkan Islam.134
Menurut penulis, jika kafir zimmy yang melakukan perzinaan tidak
dikenakan hukum rajam, maka perbuatan zina kafir zimmy akan merusak
133Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. 6, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm 150.
134Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid, Juz. 2, Beirut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 327.
generasi muslim dan posisi umat Islam sangat dirugikan. Perzinaan jika
dibiarkan akan merusak sendi-sendi moral dan akhlak yang pada akhirnya bisa
merusak generasi umat Islam. Dengan demikian terasa adil apabila kafir
zimmy dikenakan hukum rajam.
Dari sini tampak tepat pendapat Imam Syafi'i tentang pemberlakuan
hukum rajam bagi kafir zimmy.
Dalam hukum Islam perzinaan dianggap sebagai suatu perbuatan yang
sangat terkutuk dan dianggap sebagai jarimah. Pendapat ini disepakati oleh
ulama, kecuali perbedaan hukumannya. Menurut sebagian ulama tanpa
memandang pelakunya, baik dilakukan oleh orang yang belum menikah atau
orang yang telah menikah, selama persetubuhan tersebut berada di luar
kerangka pernikahan, hal itu disebut sebagai zina dan dianggap sebagai
perbuatan melawan hukum. Juga tidak mengurangi nilai kepidanaannya,
walaupun hal itu dilakukan secara sukarela atau suka sama suka. Meskipun
tidak ada yang merasa dirugikan, zina dipandang oleh Islam sebagai
pelanggaran seksualitas yang sangat tercela, tanpa kenal prioritas. Zina
diharamkan dalam segala keadaan.
Pemberian sanksi yang sangat berat bagi pelaku perzinaan, selain
karena anggapan bahwa zina merupakan perbuatan yang sangat terkutuk serta
menyebabkan terganggunya kemaslahatan umum, juga karena Islam telah
menawarkan bentuk penyaluran biologis secara legal, terhormat, dan
manusiawi, yaitu institusi perkawinan. Tawaran tersebut pada saat yang kritis
sampai pada taraf kewajiban untuk dilaksanakan. Jadi, wajarlah bila pelaku
perzinaan diberikan hukuman yang berat karena sebelumnya telah diberikan
alternatif melalui perkawinan. Pemilihan alternatif pelampiasan seksualitas
selain melalui institusi nikah adalah pembangkangan terhadap pembuat
syari'at dan itu layak dihukum berat.
Hukum Islam melarang zina dan mengancamnya dengan hukuman
karena zina merusak sistem kemasyarakatan dan mengancam keselamatannya.
Zina merupakan pelanggaran atas sistem kekeluargaan, sedangkan keluarga
merupakan dasar untuk berdirinya masyarakat. Membolehkan zina berarti
membiarkan kekejian, dan hal ini dapat meruntuhkan masyarakat. Sedangkan
syariat Islam menghendaki langgengnya masyarakat yang kukuh dan kuat.135
Hukum positif menganggap perbuatan zina sebagai urusan pribadi
yang hanya menyinggung hubungan individu dan tidak menyinggung
hubungan masyarakat. Oleh karenanya dalam pandangan hukum positif,
apabila zina itu dilakukan dengan sukarela (suka sama suka) maka pelaku
tidak perlu dikenakan hukuman, karena dianggap tidak ada pihak yang
dirugikan, kecuali apabila salah satu atau keduanya dalam keadaan sudah
kawin. Dalam hal ini perbuatan tersebut baru dianggap sebagai tindak pidana
dan pelakunya dikenai hukuman, karena hal itu melanggar kehormatan
perkawinan.136
Apa yang terjadi di Eropa dan negara-negara Barat pada umumnya
memperkuat pandangan syariat Islam. Kondisi masyarakat di negara-negara
Barat dan Eropa sudah mulai rusak dan persatuannya sudah mulai mengendur.
135Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 4. 136 Ibid.,
Penyebabnya adalah karena menjalarnya kekejian (zina) dan dekadensi moral
serta kebebasan yang tanpa batas. Hal ini terjadi karena dibolehkannya
perzinaan dan dibiarkannya setiap individu menurutkan syahwat dan
nafsunya. Di samping itu, mereka juga menganggap bahwa zina adalah
persoalan pribadi yang tidak menyinggung kepentingan masyarakat. Apa yang
dihadapi oleh negara-negara bukan Islam berupa krisis masyarakat dan krisis
politik, penyebabnya adalah karena dibolehkannya zina. Di beberapa negara,
keturunan (populasi manusia) sudah mulai menyusut sedemikian rupa, yang
apabila dibiarkan lama-kelamaan akan mengakibatkan kepunahan negara
tersebut atau terhenti pertumbuhannya. Berkurangnya populasi keturunan ini,
sebabnya adalah karena keengganan kebanyakan orang untuk melakukan
perkawinan.137
Keengganan terhadap perkawinan ini, sebabnya adalah karena seorang
laki-laki merasa telah dapat memperoleh apa yang diinginkannya dari seorang
wanita tanpa melakukan perkawinan. Di samping itu, juga karena mereka
tidak yakin akan kesetiaan istrinya setelah kawin, berhubung dengan
kebiasaannya sebelum kawin, mereka sudah sering melakukan hubungan
dengan pria lain. Sebaliknya, seorang wanita yang menurut fitrahnya bertugas
mengurus rumah tangga dan mendidik anak yang lahir dari hasil
perkawinannya, banyak yang enggan melakukan perkawinan, dan ia tidak mau
diikat oleh seorang laki-laki. Sebabnya adalah karena ia merasa yakin dengan
mudah dapat memperoleh apa yang diinginkannya dari berpuluh-puluh laki-
137 Ibid., hlm. 4.
laki tanpa harus diikat dan dibelenggu dengan tali perkawinan dan tanpa
banyak menanggung risiko.138
Kenyataan-kenyataan ini-sebenarnya jelas memperkuat pandangan
syariat Islam, bahwa zina bukan hanya urusan pribadi yang menyinggung
hubungan individu semata-mata, melainkan juga mempunyai dampak negatif
bagi masyarakat. Oleh karena itu, sungguh tepatlah apabila syariat Islam
melarang semua bentuk perbuatan zina, baik yang dilakukan oleh gadis
denganjejaka secara sukarela, maupun oleh prang-prang yang sudah bersuami
atau beristri.139
Syariat Islam melarang zina karena zina itu banyak bahayanya, baik
terhadap akhlak dan agama, jasmani atau badan, di samping terhadap
masyarakat dan keluarga. Bahaya terhadap agama dan akhlak dari perbuatan
zina sudah cukup jelas. Seseorang yang melakukan perbuatan zina, pada
waktu itu ia merasa gembira dan senang, sementara di pihak lain perbuatannya
itu menimbulkan kemarahan dan kutukan Tuhan, karena Tuhan melarangnya
dan menghukum pelakunya. Di samping itu, perbuatan zina itu mengarah
kepada lepasnya keimanan dari hati pelakunya, sehingga andaikata ia mati
pada saat melakukan zina tersebut maka ia mati dengan tidak membawa
iman.140
138Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung: CV Pustaka Setia,
2000, hlm. 72. 139Ibid 140Syekh Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-
Aimmah, Terj. Abdullah Zaki al-Kaf, "Fiqih Empat Mazhab", Bandung: Hasyimi Press, 2004, hlm. 454.
Di samping itu, wanita yang berzina akan kehilangan kehormatannya,
rasa malunya, agamanya, dan di mata masyarakat ia sudah jatuh dan tidak ada
harganya lagi, padahal kenikmatan yang diperolehnya dari perbuatannya itu
hanya beberapa menit saja. Selain dari itu, perbuatannya itu juga menjatuhkan
nama baik keluarganya yang sama sekali tidak ikut melakukan perbuatan
tersebut.141
Dampak negatif dari perbuatan zina terhadap kesehatan jasmani adalah
timbulnya penyakit kelamin. Penyakit ini merupakan penyakit yang berbahaya
dan menular. Penularan bukan hanya dengan melakukan hubungan seksual,
melainkan juga dengan bersentuhan melalui kulit, sapu tangan, kain, dan
sebagainya.142 Akibat yang lebih berbahaya lagi dari penyakit kelamin ini
adalah bahwa bisa ini mengakibatkan cacat pada anak yang lahir dari orang
tua yang mengidap penyakit tersebut. Dengan demikian, orang lain yang tidak
berdosa ikut menderita karena perbuatan orang tuanya.
Penyakit lain yang ditimbulkan oleh perbuatan zina ini adalah penyakit
AIDS, yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yang
mengakibatkan hilangnya kekebalan (daya tahan) tubuh. Penyakit ini pada
zaman sekarang sangat ditakuti karena sampai sekarang belum ditemukan
obatnya. Akibatnya, orang yang terserang penyakit ini akan mengalami
penurunan kekebalan, sehingga lama-kelamaan ia tidak tahan hidup dan
akhirnya meninggal dunia.143
141Ibid 142Rahmat Hakim, op.cit., hlm. 73. 143Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 30
Adapun bahaya zina terhadap keluarga dan masyarakat adalah bahwa
perbuatan zina merusak sendi-sendi kehidupan rumah tangga dan keluarga.
Apabila dalam suatu keluarga terjadi perbuatan zina, baik oleh pihak suami
maupun oleh pihak istri maka kerukunan dalam rumah tangga itu akan hilang.
Hubungan antara suami dan istri serta anak-anak sudah tidak serasi lagi, dan
akibatnya rumah tangga itu akan hancur. Di sisi lain, perbuatan zina dapat
mendorong timbulnya keengganan untuk melakukan pernikahan, sebab apa
yang diinginkan oleh seorang laki-laki dari seorang wanita atau sebaliknya,
dapat diperoleh dengan mudah tanpa banyak risiko.
Apabila pandangan semacam ini merata di kalangan masyarakat maka
pada gilirannya masyarakat akan menjadi punah karena tidak adanya
keturunan. Masyarakat yang ada hanyalah masyarakat yang akhlaknya sudah
rusak, yang sudah tidak mengindahkan lagi norma-norma agama dan aturan-
aturan kemasyarakatan. Karena besarnya bahaya yang ditimbulkan oleh
perbuatan zina tersebut, syariat Islam melarangnya dan mengancamnya
dengan hukuman yang berat.144
Imam Syafi'i sebagai figur yang memiliki sejumlah paradigma dalam
pemikiran mulai dari pemikiran yang sederhana sampai level kompleks
ditengarai sebagai seorang imam yang mumpuni dalam mengidentifikasi
permasalahan yang menyangkut fikih dan ushul fikih. Sehingga kitab al-Umm
dan kitab al-Risalah dianggap sebagai karya monumental yang pendapat dan
pemikirannya sesuai dengan dinamika dan mobilitas masyarakat. Hampir
144Ibid
seluruh lapisan masyarakat dan rulling class merekognisi kepiawaian Imam
Syafi'i dfan merespon masalah yang berkembang dan fenomena sosial.145
Berhubung dengan itu keadilan yang direfleksikan oleh pemikiran
Imam Syafi'i terhadap pelaku zina kafir zimmy menjadi indikator bahwa
dalam perspektifnya semua orang dalam kapasitas agama apa saja harus
diperlakukan dalam prinsip equality before the law hal ini sejalan dengan
ungkapan all man are born equal. Atas dasar itu penjatuhan hukuman terhadap
kafir zimmy yang berzina menjadi petunjuk bahwa Imam Syafi'i sungguh-
sungguh berpijak pada kesamaan hukum bahwa setiap orang sama dalam
hukum. Hal lain yang bisa ditarik dari pendapatnya bahwa ia melihat zina itu
bukan saja menyangkut hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan
melainkan juga hubungan horizontal antar sesama manusia karena zina
merupakan patologi sosial yang berdampak sangat luas dan berdimensi
banyak baik menyangkut moralitas, mentalitas, medis maupun tatanan
kesucian dunia perkawinan. Dengan demikian pendapat Imam Syafi'i
memiliki skop yang luas dengan menjangkau semua aspek yang menyangkut
kepentingan universal dengan berpijak pada visi bahwa zina merupakan
perbuatan terkutuk yang dapat menghancurkan seluruh tatanan sosial.146
B. Istinbat Hukum Syafi'i tentang Pemberlakuan Hukuman Rajam bagi
Pezina Kafir Zimmy
145M. Alfatih Suryadilaga (ed), Studi Kitab Hadis, Yogyakarta: Teras, 2003, hlm. 220. 146Ibid., hlm. 220.
Istinbat adalah mengeluarkan makna-makna dari nash-nash (yang
terkandung) dengan menumpahkan pikiran dan kemampuan (potensi)
naluriah. Nash itu ada dua macam yaitu yang berbentuk bahasa (lafaziyah)
dan yang tidak berbentuk bahasa tetapi dapat dimaklumi (maknawiyah). Yang
berbentuk bahasa (lafadz) adalah al-Qur'an dan as-Sunnah, dan yang bukan
berbentuk bahasa seperti istihsan, maslahat, sadduzdzariah dan sebagainya.147
Cara penggalian hukum (turuq al-istinbat) dari nash ada dua macam
pendekatan, yaitu pendekatan makna (turuq ma'nawiyyah) dan pendekatan
lafaz (thuruq lafziyyah). Pendekatan makna (turuq ma'nawiyyah) adalah
(istidlal) penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung seperti
menggunakan qiyas, istihsan, mashalih mursalah, zara'i dan lain sebagainya.
Sedangkan pendekatan lafaz (thuruq lafziyyah) penerapannya membutuhkan
beberapa faktor pendukung yang sangat dibutuhkan, yaitu penguasaan
terhadap ma'na (pengertian) dari lafaz-lafaz nash serta konotasinya dari segi
umum dan khusus, mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq
lafzy ataukah termasuk dalalah yang menggunakan pendekatan mafhum yang
diambil dari konteks kalimat; mengerti batasan-batasan (qayyid) yang
membatasi ibarat-ibarat nash; kemudian pengertian yang dapat dipahami dari
lafaz nash apakah berdasarkan ibarat nash ataukah isyarat nash. Sehubungan
dengan hal tersebut, para ulama ushul telah membuat metodologi khusus
dalam bab mabahits lafziyyah (pembahasan lafaz-lafaz nash).148
147Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1995,
hlm. 2. 148Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, 1971, hlm. 115-
116
Dalam hubungannya dengan hukum rajam bagi pelaku zina kafir
zimmy, Imam Syafi'i menggunakan dasar hukum sebagai berikut:
1. Al-Qur'an, yaitu surat al-Ma'idah ayat 42 dan 48
)٤٢: املائدة(وإن حكمت فاحكم بينهم بالقسط
Artinya: Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil" (QS. Al-Maidah/5: 42).149
Asbab al-nuzul ayat di atas sebagai berikut: ketika Rasulullah Saw.
telah diutus, terjadilah suatu peristiwa seorang dari Bani Nadir membunuh
seseorang dari Quraizah. Orang-orang Quraizah berkata, "Kalian harus
membayar diat kepadanya." Orang-orang Nadir pun berkata, "Yang
memutuskan antara kami dan kalian adalah Rasulullah." Maka turunlah
firman-Nya: "Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah
(perkara itu) di antara mereka dengan adil. (Al-Maidah: 42)". Imam Abu
Daud, Imam Nasai, Imam Ibnu Hibban, dan Imam Hakim di dalam kitab Al-
Mustadrak meriwayatkannya melalui hadis Ubaidillah ibnu Musa dengan lafaz
yang semisal. Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah, Muqatil ibnu
Hayyan, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.150
Al-Aufi dan Ali ibnu Abu Talhah Al-Walibi telah meriwayatkan dari
Ibnu Abbas, bahwa ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang
Yahudi yang berbuat zina, seperti yang telah diterangkan dalam hadis-hadis
sebelumnya. Dapat pula dikatakan bahwa kedua penyebab inilah yang
149Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1986, hlm. 166.
150Ismâ'îl ibn Kasîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, terj. Bahrun Abu Bakar, Jilid 6, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003, hlm. 466
melatarbelakangi turunnya ayat dalam waktu yang sama, lalu ayat-ayat ini
diturunkan berkenaan dengan semuanya. Karena itulah sesudahnya disebutkan
oleh firman-Nya: "Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya
(Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata. (Al-Maidah:
45), hingga akhir ayat.151
Ayat ini memperkuat pendapat yang mengatakan bahwa penyebab
turunnya ayat-ayat ini berkenaan dengan masalah hukum qisas: Firman Allah
Swt.: "Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 44)"
Dalam surat al-Ma'idah ayat 42 ada kata al-qist yang berarti adil.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan didefinisikan sebagai sama
berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar,
berpegang pada kebenaran.152 Kata adil (al-'adl) berasal dari bahasa Arab, dan
dijumpai dalam al-Qur'an, sebanyak 28 tempat yang secara etimologi
bermakna pertengahan.153 Pengertian adil, dalam budaya Indonesia, berasal
dari ajaran Islam. Kata ini adalah serapan dari kata Arab ‘adl.154 Secara
etimologis, dalam Kamus Al-Munawwir, al’adl berarti perkara yang tengah-
tengah.155 Dengan demikian, adil berarti tidak berat sebelah, tidak memihak,
atau menyamakan yang satu dengan yang lain (al-musâwah). Istilah lain dari
151Ibid 152Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 8 153Muhammad Fu'ad Abd al-Baqiy, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur'an al-Karim,
Beirut: Dar al-Fikr, , 1981, hlm. 448 – 449. 154M.Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 2002, hlm. 369. 155Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 906.
al-‘adl adalah al-qist, al-misl (sama bagian atau semisal). Secara terminologis,
adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai
maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan
tidak berbeda satu sama lain. Adil juga berarti berpihak atau berpegang
kepada kebenaran.156 Menurut Ahmad Azhar Basyir, keadilan adalah
meletakkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya atau menempatkan sesuatu
pada proporsinya yang tepat dan memberikan kepada seseorang sesuatu yang
menjadi haknya
Asbab al-nuzul ayat di atas sebagai berikut: Al-Barra ibnu Azib,
Huzaifah ibnut Yaman, Ibnu Abbas Abu Mijlaz, Abu Raja Al-Utaridi,
Ikrimah, Ubaidillah Ibnu Abdullah, Al-Hasan Al-Basri, dan lain-lainnya
mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ahli Kitab.Al-Hasan
Al-Basri menambahkan, ayat ini hukumnya wajib bagi kita(kaum muslim).
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Sufyan As-Sauri, dari Mansur, dari
Ibrahim yang telah mengatakan bahwa ayat-ayat ini diturunkan berkenaan
dengan orang-orang Bani Israil, sekaligus merupakan ungkapan rida dari
Allah kepada umat yang telah menjalankan ayat ini; menurut riwayat Ibnu
Jarir.157
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami
Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada
kami Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman, dari Salamah ibnu Kahil, dari
Alqamah dan Masruq, bahwa keduanya pernah bertanya kepada sahabat Ibnu
156Abdual Aziz Dahlan, et. al, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 25
157Ismâ'îl ibn Kasîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, op.cit., hlm. 467.
Mas'ud tentang masalah suap (risywah). Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa
risywah termasuk perbuatan yang diharamkan.
Salamah ibnu Kahil mengatakan, "Alqamah dan Masruq bertanya,
Bagaimanakah dalam masalah hukum?'." Ibnu Mas'ud menjawab, "Itu
merupakan suatu kekufuran."
Dalam surat al-Ma'idah ayat 48 ada kata "bima anzalallah" yang
berarti dengan apa yang telah diturunkan Allah Swt. Jadi dalam tafsir Al-
Marâgî kata-kata tersebut menunjukkan bahwa putuskanlah perkara di antara
mereka dengan hukum-hukum yang telah diturunkan Allah Swt.158
Apabila diperhatikan dan dikaji korelasi surat al-Maidah ayat 42
dengan ayat 48 dan dengan hukum rajam bagi pelaku zina kafir zimmy, bahwa
kedua ayat tersebut menyuruh kepada manusia untuk berlaku adil dalam
menjatuhkan hukuman. Pemberlakuan hukuman yang sama pada umat Islam
dan kafir zimmy tidak boleh keluar dari al-Qur'an. Karena al-Qur'an adalah
sumber hukum Islam yang pertama yang senantiasa mencerminkan keadilan,
dan persamaan di muka hukum
2. Hadis riwayat dari Abu ath-Thahir dari Abdullah bin Wahb dari Rijal dari
ahlul ilmi dari Malik bin Anas
خبرنا عبد الله بن وهب أخبرني رجال من أهل العلم منهم حدثني أبو الطاهر أ لمسه وليلى الله عول الله صسأن ر رمن عن ابع مهربا أخافعس أن نأن نب الكم
مرأة زنيا فأتت اليهود إلى رسول الله صلى الله رجم في الزنى يهوديين رجلا وا
158Ahmad Mustafâ Al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî, Terj. Bahrun Abubakar, Semarang: Toha
Putra, 1993, hlm. 238
159) رواه مسلم(عليه وسلم بهما وساقوا الحديث بنحوه
Artinya: Telah mengabarkan kepadaku dari Abu ath-Thahir dari Abdullah bin Wahb dari Rijal dari ahlul ilmi dari Malik bin Anas sesungguhnya Nafi'an mengabarkan kepada mereka dari Ibnu Umar sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah memberlakukan hukuman rajam dalam perbuatan zina yang telah dilakukan oleh dua orang Yahudi laki-laki dan perempuan yaitu setelah mereka berdua dihadapkan oleh orang-orang Yahudi kepada Rasulullah Saw. seterusnya para perawi menuturkan lanjutan hadis ini yang senada dengan hadis di atas (HR. Muslim).
Hadis sahih Muslim ini menunjukkan adanya hukum rajam bagi pelaku
zina dua orang Yahudi.
نالله ع ديبا عنربأخ قحإس نب بيعا شثندالح حو صى أبوسم نب كمثني الحدح وديهبي أتي لمسه وليلى اللهم عول الله صسأن ر هربأخ رمع نالله ب دبافع أن عن
قد زنيا فانطلق رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى جاء يهود فقال ما ويهودية نيب الفخنا وملهمحنا ومهوهجو دوسى قالوا ننز نلى ماة عروون في التجدت
فأتوا بالتوراة إن كنتم صادقني فجاءوا بها فقرءوها وجوههما ويطاف بهما قال نيا بأ مقرم وجة الرلى آيع هدأ يقرى الذي يالفت عضم وجة الروا بآيرى إذا متح
الله ب دبع ا فقال لهاءهرا وما وهيده يليلى الله عول الله صسر عم وهلام وس نوسلم مره فليرفع يده فرفعها فإذا تحتها آية الرجم فأمر بهما رسول الله صلى الله
160)رواه مسلم(عليه وسلم فرجما
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari al-Hakam bin Musa Abu Shaleh dari Syu'ab bin Ishak dari Ubaidillah dari Nafi' bahwa Abdullah bin Umar; sesungguhnya pernah suatu ketika dua orang Yahudi lelaki dan perempuan yang berbuat zina dihadapkan kepada Rasulallah s.a.w. Kemudian Rasulallah s.a.w. berangkat menemui orang-orang Yahudi, seraya bertanya: "Ketentuan apakah yang kalian dapati dalam kitab Taurat yang mestinya diberlakukan atas
159Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh Muslim,
Juz. 3, Mesir: Tijariah Kubra, tth, hlm. 122. 160Ibid., hlm. 116.
orang yang telah berbuat zina?" Mereka menjawab: "Kami akan mencoreng muka mereka dengan warna hitam, menaikkannya di atas kendaraan dalam kendaraan beriringan, kemudian mengaraknya keliling jalan." Selanjutnya beliau bersabda: "Coba datangkanlah kitab Taurat apabila kalian jujur." Kemudian mereka mengambil kitab Taurat dan membacanya. Ketika bacaan mereka sampai pada ayat rajam (pancung), seorang pemuda yang ikut membaca tiba-tiba meletakkan tangannya di atas tersebut dan dia hanya membaca ayat yang sebelum dan sesudahnya. Abdullah bin Salam yang saat itu ikut bersama Rasulullah s.a.w. berkata kepada beliau: "Perintahlah dia untuk mengangkat tangannya." Pemuda tadi lalu mengangkat tangannya. Dan yang dia tutupi tadi adalah ayat rajam. Kemudian Rasulallah s.a.w. memerintahkan agar kedua orang yang berzina tadi dihukum rajam. Dan hukuman itupun dilaksanakan.(HR. Muslim).
حدثني هارون بن عبد الله حدثنا حجاج بن محمد قال قال ابن جريج أخبرني أبو الزبير أنه سمع جابر ابن عبد الله يقولا رجم النبي صلى الله عليه وسلم رجلا
لمأس من هأترامود وهالي لا منجر161)رواه مسلم( و
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Harun bin Abdillah dari Hajaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Abuz Zubair bahwa beliau mendengar Jabir bin Abdullah berkata: "Rasulallah s.a.w. pernah menghukum pancung seorang lelaki dari daerah Aslam, seorang lelaki Yahudi, dan seorang perempuan yang dizinainya. (HR. Muslim).
161Ibid.,, hlm. 117.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan melihat dan mencermati uraian bab pertama sampai dengan
bab keempat skripsi ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut Imam Syafi'i bahwa pelaku zina kafir zimmy dapat dikenakan
hukum rajam. Dalam hal ini Imam Syafi'i tidak mensyaratkan Islam,
karena dalam perspektif Imam Syafi'i bahwa orang kafir zimmy yang
melakukan zina bisa dikenakan hukum rajam. Menurut penulis, jika kafir
zimmy yang melakukan perzinaan tidak dikenakan hukum rajam,
sedangkan perbuatannya bisa menularkan penyakit, maka perbuatan zina
kafir zimmy akan meresahkan umat Islam dan posisi umat Islam sangat
dirugikan. Perzinaan jika dibiarkan akan merusak sendi- sendi moral dan
akhlaq yang pada akhirnya bisa merusak generasi umat Islam. Dengan
demikian terasa adil apabila kafir zimmy dikenakan hukum rajam.
2. Dalam hubungannya dengan hukum rajam bagi pelaku zina kafir zimmy,
Imam Syafi'i menggunakan dasar hukum yaitu al-Qur'an, yaitu surat al-
Maidah 48, serta hadis riwayat dari Abu ath-Thahir dari Abdullah bin
Wahb, Hadis riwayat dari al-Hakam bin Musa Abu Shaleh dari Syu'ab bin
Ishak, dan hadis riwayat dari Harun bin Abdillah dari Hajaj bin
Muhammad dari Ibnu Juraij. Hadis riwayat Muslim.
B. Saran-Saran
Meskipun pendapat Imam Syafi'i bersifat klasik, namun hendaknya
pendapat dan argumentasinya dijadikan studi banding ketika pembentuk
undang-undang atau para pengambil keputusan membuat peraturan undang-
undang yang baru atau pada waktu merevisi atau merubah undang-undang
yang sedang berlaku.
C. Penutup
Tiada puja dan puji yang patut dipersembahkan kecuali kepada Allah
SWT yang dengan karunia dan rahmatnya telah mendorong penulis hingga
dapat merampungkan tulisan yang sederhana ini. Dalam hubungan ini sangat
disadari bahwa tulisan ini dari segi metode apalagi materinya jauh dari kata
sempurna. Namun demikian tiada gading yang tak retak dan tiada usaha besar
akan berhasil tanpa diawali dari yang kecil. Semoga tulisan ini bermanfaat
bagi pembaca budiman.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin. Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004.
Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1995.
Andreae, Fockema, Fockema Andrea's Rechtsgeleard Handwoordenboek, Terj. Saleh Adwinata, et al, "Kamus Istilah Hukum", Bandung: Binacipta, 1983.
Bukhary, Imam, Sahih al-Bukhari, Juz. 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M.
Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Dimasyqi, Syekh Muhammad bin Abdurrahman, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah, Terj. Abdullah Zaki al-Kaf, "Fiqih Empat Mazhab", Bandung: Hasyimi Press, 2004.
Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Al-Qur'an, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003.
Farid, Syaikh Ahmad, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60 Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006.
Fikri, Ali, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para Imam Madzhab", Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003.
Hakim. Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Ham, Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah (Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam), Semarang: Aneka Ilmu, 2000.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1961.
Handrianto, Budi dan Nana Mintarti, Seks dalam Islam, Jakarta: Puspa Swara, 1997.
Harahap, Syahrin, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, Jakarta: Istiqamah Mulya Press, 2006.
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramida, 1996.
I Doi, A. Rahman, Syari'ah the Islamic Law, Terj. Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, "Hudud dan Kewarisan", Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Jazairi, Abu Bakar Jabir, Minhaj al-Muslim, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 2004.
Jazirî, Abdurrrahmân, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Juz 5, Beirut: Dâr al-Fikr, 1972.
Jundi, Abd al-Halim, Imam al-Syafi'i.
Jurjawi, Syeikh Ali Ahmad, Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuh, Juz II, Beirut: Dâr al-Fikr, 1980.
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Khalaf, Abd al-Wahhab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Koencaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1970.
Lamintang. PAF., Delik-Delik Khusus: Tindak Pidana-Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, Bandung: CV Mandar Maju, 1990.
Mahfudh. Sahal, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta: LKiS 2004.
Mahmassani, Sobhi, Falsafah al-Tasyri fi al-Islam, Terj. Ahmad Sudjono, “Filsafat Hukum dalam Islam”, Bandung: PT al-Ma’arif, 1976.
Mawardi, Imam, Al-Ahkam as-Sultaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin, "Hukum tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam", Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002.
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2001.
Mubarok, Jaih, Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002.
Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
--------, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayat, Jakarta: sinar Grafika, 2004.
Naisaburi, Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahîh Muslim, Juz. 3, Mesir: Tijariah Kubra, tth.
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991.
Nazir., Moh., Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia,1999.
Palmer, Richard E.. Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed, Evaston: Northwestern University Press, 2005.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976.
Projodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: PT. Eresco, 1981.
Qardawi, Yusuf, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1986.
Rusyd, Ibnu, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid, Juz. 2, Beirut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989.
Sabiq. Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1980.
Shiddieqy, TM. Hasbi ash, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
--------, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT Putaka Rizki Putra, 1997.
Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, Jakarta: Lentera Hati, Volume 5, 2005.
--------, Mistik, Seks, dan Ibadah, Jakarta: Republika, 2004.
Soesilo. R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Bogor: Politeia, 1996.
Sumantri, Jujun S. Suria, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. VII, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, 1993.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Syafi’î, Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris, Al-Umm, Juz. 6, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth.
--------, al-Risalah, Mesir: al-Ilmiyyah, 1312 H,.
Syalthut, Mahmud, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Syihab, Umar, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Semarang: Dina Utama, 1996.
Syurbasy, Ahmad Asy, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi Empat Imam Mazhab", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003.
Tim Penulis Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Pedoman Penulisan Skripsi, Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2000.
Tirmizi, Abu Isa Muhammad ibn Isa bin Surah, hadiś No. 2610 dalam CD program Mausu'ah Hadiś al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
Usman, Hasan, Metode Penelitian Sejarah, Terj. Muin Umar, et. al, Departemen Agama, 1986.
Wojowasito. S., Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1992.
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI, 1978.
Zahrah, Muhammad Abu, Usûl al-Fiqh, Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
--------, Hayatuhu wa Asruhu wa Fikruhu ara-uhu wa Fiqhuhu, Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, “Imam al-Syafi'i Biografi dan Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, Jakarta: PT Lentera Basritama, 2005.