JINAYAH - fatkhiyahwae.files.wordpress.com · Jinayat terhadap organ tubuh, yaitu pelanggaran...
Transcript of JINAYAH - fatkhiyahwae.files.wordpress.com · Jinayat terhadap organ tubuh, yaitu pelanggaran...
1
JINAYAH
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Fiqih
Dosen Pengampu : Dr. Jafat Baehaqi, S. Ag, M. H
Disusun Oleh :
Fatkhiyatul Mubarokah N. S. (1601016039)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdebatan mengenai penerapan hukum Islam (syari’at) di beberapa Negara sampai
sekarang merupakan persoalan yang belum kunjung selesai. Permasalahan ini disebabkan
oleh sekelompok muslim yang pro dan kontra seputar pelaksanaan hukum islam itu sendiri.
Salah satunya tentang masalah penerapah hukum pidana Islam.
Sedangkan secara sistematik, hukum pidana islam dikenal dengan 3 istilah yaitu
jinayat,ma’shiyat dan jarimah. Ketiga istilah ini dalam konteks hukum positif yang memiliki
arti sama yaitu hukum pidana.1 Dalam Jinayah terdapat bayak sekali yang harus kita bahas.
Maka dari itu makalah yang ini akan membahas tentang Jinayah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Jinayah?
2. Apa saja Macam Jinayah?
3. Bagaimana Penerapan dan Hubungan Kedudukan Jinayah dalam Hukum Pidana Islam?
1 Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum:Prespektif Hukum Perdata Dan Pidana Islam Serta Ekonomi Syariah, (Jakarta:Prenadamedia Group,2016). Hal. 297
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jinayah
Istilah jinayat dalam literatuf fiqih berarti perbuatan yang diharamkan maupun dilarang
oleh syara’ atau hukum, baik perbuatan itumengenai jiwa seseorang sebagai sasaran atau
mengenai hartamaupun mengenai selain kedua hal tersebut. Sehingga istilah tersebut hanya
menyangkut mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum, sedang unsure
ancaman sanksi pidana sama sekali tidak tercakup dalam definisi istilah Jinayat berdasarkan
hal tersebut sebagian ahli hukum berpendapat bahwa jinayat tidak tepat diartikan sebagai
hukum pidana Islam, karena todak dapat mencakup keseluruhan dari unsur-unsur hukum
pidana Islam.
Sedangkan jinayat bentuk jamak (plural) dari jinayah. Menurut bahasa, jinayat bermakna
penganiayaan terhadap badan, harta, jiwa. Sedangkan menurut istilah, jinayat pelanggaran
terhadap badan yang didalamnya diwajibkan qisas atau diyat. Jinayat juga bermakna sanksi-
sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan atas badan. Dengan demikian, tindak penganiayaan
itu sendiri dan sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan badan disebut jinayat.2 Jinayat
meliputi beberapa hukum diantaranya membunuh orang, melakukan, memotong anggota
badan, menghilangkan manfaat badan, seperti menghilangkan salah satu panca indra. 3
Jinayat secara garis besar dibedakan menjadi dua kategori, yaitu sebagai berikut:
1. Jinayat terhadapa jiwa, yaitu pelanggaran terhadap seseorang dengan menghilangkan
nyawa, baik sengaja maupun tidak sengaja.
2. Jinayat terhadap organ tubuh, yaitu pelanggaran terhadap seseorang dengan merusak
salah satu organ tubuhnya, atau melukai salah satu badannya, baik sengaja maupun
tidak sengaja.
2 Ahmad wardi muslich. Pengantar dan asas hukum pidana islam, (Jakarta:Sinar Grafika). Hal. 45 3 Sulaiman Hasjid, Fiqih Islam, (Jakarta:Attahiyah). Hal. 405
4
Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinayat juga
dengan istolah Jarimah, merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara
etimologi, jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan Jinayat diartikan sebagai
perbuatan dosa atau perbuatan salah. Serta secara terminology kata jinayat mempunyai
beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abdul Qodir Awdah bahwa jinayat
adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda,
atau yang lainnya. Pada dasarnya, pengertian dari istilah Jinayat mengacu kepada hasil
perbuatan seseorang. Biasanya hanya terbatas pada perbuatan terlarang. Jinayah tersebut
mengadung bahasan perbuatan pidana yang luas, yaitu pelanggaran terhadap jiwa, harta dan
sebagainya. Sedangkan menurut jamhur ulama, istilah Jinayat itu untuk pelanggaran yang
menyangkut jiwa dan anggota badan.4
Hukum pidana islam sebagai bagian dari hukum Islam secara keseluruhannya memiliki
prinsi sumber hukum yang sama dengan bagian hukum lain yang ada dalam lingkup
keseluruhan hukum islam tersebut. Sebagian besar ahli hukum islam sepakati bahwa sumber
aturan hukum islam terdiri dari Al-Qur’an, Al-Hasits, dan Ijtihad. Seperti dalam firman Allah
SWT, sebagai berikut:
ن تن ر منكأ فا مأ لأ
سول وٱول ٱ لرذ
وٱطيعوا ٱ للذ
ا ٱطيعوا ٱ ين ءامنو لذ
ا ٱ أيه ء ف اي تأ ف شأ سول زعأ لرذ
وٱ للذ
ل ٱ
ا و ره
سن تأويل وٱحأ ل خيأ ءاخر ذ لأ م ٱ لأيوأ
وٱ للذ
منون بأ ن كنتأ تؤأ
ا
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.
4 Amran Suadi dan Mardi Candra, Op. Cit., Hal 279-280
5
B. Macam-macam Jinayah
1. Hudud
Kata hudud adalah bentuk jamak dari kata hadd. Menuru bahasa, hadd berarti “batas
pemisah antara dua hal agar tidak saling bercampur atau agar salah satunya tidak
menerobos masuk pada wilayah yang lainnya”. Hadd juga bermakna “pelanggaran,
pencegahan, serta batas akhir dari sesuatu yang disetujui”. Sedang kata hadd dalam
istilah fiqih dimaksudkan pada suatu perbuatan atau perbuatan yang telah ditetapkan
keharamannya dan hukumannya olah nass syar’i. kata hadd juga dipakai untuk
menyebut hukuman itu sendiri. Hudud didefinisikan sebagai perbuatan-perbuatan yang
terlarang oleh syara’ dan diancam dengan hukuman yng sudah ditentukan dan ditetapkan.
Jinayah yang diancam dengan hukuman hudud antara lain:
a. Zina
b. Tuduhan zina (qadaf)
c. Meminum khamar
d. Mencuri
e. Merampok. 5
2. Qisas atau Diyat
Kata qisas berasal dari kata qassa yang berarti memotong atau mengikuti jejak. Dari
ini qisas diartikan sebagai hukuman kesepadanan atau pembalasan yang sepadan. Artinya,
pelaku tindak pidana dikenai hukuman yang setimpal atau sepadan dengan perbuatannya.
Hukum qisas bukanlah hal yang baru dikalangan umat Nabi Muhammad SAW. para
umat sebelum beliau juga telah menerima hukuman qisas sebagaimana disebutkan dala
QS Al-Maidah ayat 45
نأف والأ نأف بلأ والأ بلأعيأ مأ فيا ٱنذ النذفأس بلنذفأس والأعيأ نن ذن ب وكتبأنا عليأ نذ بلسن ذن والسن لأ
ئك فأول كأ بما ٱنأزل اللذ ق به فهو كفذارة ل ومنأ لمأ يأ والأجروح قصاص فمنأ تصدذ المون اللاذ
Artinya : Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya
jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
5 Ridwan, Limitasi Hukum Pidana Islam, (Semarang:Walisongo Press,2008), Hal.19
6
telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang
melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Sebenarnya hukuman qisas dibangun atas dasar prinsip-prinsip keadilan dan
persamaan nilai dalam kehidupan manusia. Penegasan ini dapat dipahami seperti dalam
surat Al-Baqarah ayat 178 yang berbunyi
د وال د بلأعبأ والأعبأ ك الأقصاص ف الأقتأل الأحره بلأحرن ين ءامنوا كتب عليأ ا الذ ل يٱيه فمنأ عف بلنأ نأ
ء ف د ذل منأ ٱخيه شأ تدى بعأ ة فمن اعأ فيف منأ ربنكأ ورحأ سان ذل تأ حأه ب ليأ
روف وٱاء ا نباع بلأمعأ ات
فل عذاب ٱلمي
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara
yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat
pedih.
Kesepadanan dalam hal hukuman sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tersebut
dapat dikatakan sebagai batasan tingkat keadilan yang seadil-adilnya. Ketika hukuman
qisas tidak bisa diterapkan karena tidak memenuhi persyaratan. Maka hukuman tersebut
diganti dengan diyat meskipun tidak diminta oleh korban atau walinya. 6
6 Ibid, Hal. 31-32
7
3. Ta’zir
Aturan hukum pidana islam yang paling fleksibel terdapat pada ta’zir. Pada kategori
ini, baik kriminalisasi suatu perbuatan maupun hukumannya diserahkan pada hakim.
Ta’zir sendiri berarti ta’dib (pengajaran) terhadap perbuatan dosa yang tidak dikenai
hukum hudud. Jadi ta’zir merupakan hukuman bagi perbuatan pidana yang tidak ada
ketetapan nas tentang hukumnya.
Dilihat dari keberadaanya, ta’zir sama dengan hudud yaitu sebagai ta’dib menuju
kemaslahatan dan pencegahan umum yang macam hukumnya berbeda-beda sesuai
dengan jenis perbuatan dosa yang dilakukannya.7
C. Penerapan dan Hubungan Kedudukan Jinayah dalam Hukum Pidana Islam
Persoalan penerapan hukum pidana Islam masih menyisihkan sederetan permasalahan
yang belum selesai. Karena disatu sisi dianggap senbagai hukum yang secara tegas ada dalam
Al-Qur’an, namun disisilain dia berbenturan dengan untunan kesepakatan regional dan
internasional yang sangat mengedepankan nilai-nilai humanis dan pembelaan hak asasi
manusia. Dengan demikian hukum islam ditafsirkan secara emansepatoris, progresif sesuai
dengan perubahan ruang dan waktu serta mampu mengakomodasi persoalan kekinian dan
menyentuh problem kemanusiaan.
Sebagai contoh Penerapan Syariat Islam di Aceh terdapat kecenderungan berbeda dalam
kasus Aceh dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Hemat penulis hal ini terkait erat
dengan politik hukum Belanda pada masa itu dan tak terlepas dari peranan besar Snouck
Hugronje. Sejalan dengan organisasi pemerintahan Belanda di Nusantara sejak tahun 1881,
telah diadakan pengadilan Landraad untuk penduduk non-pribumi di Aceh, 9 namun bagi
penduduk Aceh ditetapkan pengadilan Musapat dan Districtgerecht yang mendasar- kan
hukum materiilnya pada hukum adat setempat, sebagaimana ditegaskan di dalam Staatblad
1904 No. 473 dan Zelfbestuursregelen 1919, serta Musapat Ordonantie Staatblad 1916 No.
432. Dalam hal ini, pengadilan Musapat dan Districtgerecht memeriksa perkara pidana dan
perdata di mana pribumi terlibat di dalamnya. Pengadilan Agama sendiri termasuk dalam
sistem pengadilan Musapat ini, namun pengadilan agama tidak pernah menerapkan hukum
pidana dan hanya terbatas pada keluarga.
7 Ibid, Hal.34-35
8
Sisi yang lain, terdapat ketentuan lain dalam penerapan hukum pidana adat di Aceh
tersebut dan menjadi catatan dalam penerapannya, di antaranya adalah: Pertama , hukum
pidana adat diperlakukan sepanjang tdak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang
tersebut di dalam perundang-undangan tertentu. Kedua , banyak ketentuan nasional yang
disebutkan di dalam KUHP diterapkan kepada orang-orang pribumi. Ketiga , banyak juga
ordonantie diperlakukan kepada orang- orang bumi putera Aceh. Keempat , pengaruh
Ketua/penasihat sidang Musapat tidak dapat diabaikan terhadap perkembangan hukum
pidana adat, sehingga per- kembangan seperti ini menghilangkan kesadaran ke arah
kodifikasi hukum pidana adat itu sendiri. Kelima , sehubungan dengan perkembangan hukum
adat ini, maka banyak keputusan-keputusan pidana dari Musapat didasarkan kepada norma-
norma yang disebut sebagai KUHP, sambil menunjuk pada pasal-pasalnya juga, seperti
pencurian, penyaniayaan, penggelapan, pembunuhan, perzinaan, dan se- bagainya, termasuk
pula jenis dan besaran hukuman yang ditetapkan oleh peng- adilan adat, walaupun terhadap
tindak pidana ini masih disesuaikan dengan hukum Adat dan masih pula dimungkinkan
penerapan hukum badan yang melebihi ketentuan KUHP. Keenam , banding atau eksaminasi
putusan dilakukan oleh Gubernur atau Kepala Daerah yang pada umumnya memiliki
pandangan hidup/ kesadaran hukum dan politik peradilan menurut prinsip-prinsip dunia
Barat dan ditambah lagi dengan pandangan dalam politik peradilan tanah jajahan. Ketujuh ,
keputusan-keputusan Musapat tidak banyak yang dipublikasikan, hingga banyak yang
terlepas dari sorotan para ahli hukum.
Setelah Periode Revolusi Nasional dan penggabungan wilayah nusantara di bawah
naungan NKRI menegaskan keberhasilan rakyat Aceh mengatasi sentimen “ke- Aceh-an”
dan menjadi pendukung paling hebat berdirinya Republik Indonesia. Teungku Daud
Beureueh pada tahun 1949 menyatakan:
“Kesetiaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah RI bukan dibuat-buat serta diada-adakan,
tetapi kesetiaan yang tulus dan iklas yang keluar dari lubuk hati nurani dengan perhitungan
dan perkiraan yang pasti” .
Memasuki era reformasi dan perdamaian Helsinki, Aceh kemudian mendapat- kan status
otonominya untuk menerapkan Syariat Islam, termasuk hukum pidana, yang
membedakannya dengan hukum di wilayah lain. Penerapan Syariat Islam ini secara utuh
ditegaskan di dalam UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh
9
dan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
yang merevisi UU ini. Kedua UU ini kemudian menjadi legitimasi bagi penerapan Syariat
Islam di Aceh sebagai hukum materil yang mengembangkan dan mengatur pendidikan sesuai
dengan ajaran Islam, me- ngembangkan dan menyelenggarakan kehidupan adat, dan
mengembangkan peran serta kedudukan ulama dalam penerapan kebijakan daerah. Dengan
kewenangan ini, sekitar 13 Qānūn Syariat Islam telah ditetapkan di Aceh, termasuk Qānūn
Jināyat .8
Kedudukan jinayah adalah sebagai perbuatan yang dilarang agama sedangkan unsur-
unsur saksi dan ancaman pidana tidak termasuk dala jinayah. Jadi, hukum pidana islam itu
didalamnya mencakup jinayah, saksi dan yang lainnya ada dalam hukum pidana Islam.
8 Samsudin Aziz, Jurnal: KANUNISASI FIKIH JINAYAT KONTEMPORER Studi Materi Muatan Qānūn Jināyat Aceh dan
Brunei Darussalam
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah jinayat dalam literatuf fiqih berarti perbuatan yang diharamkan maupun dilarang
oleh syara’ atau hukum, baik perbuatan itumengenai jiwa seseorang sebagai sasaran atau
mengenai hartamaupun mengenai selain kedua hal tersebut. Sehingga istilah tersebut hanya
menyangkut mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum, sedang unsure
ancaman sanksi pidana sama sekali tidak tercakup dalam definisi istilah Jinayat berdasarkan
hal tersebut sebagian ahli hukum berpendapat bahwa jinayat tidak tepat diartikan sebagai
hukum pidana Islam, karena todak dapat mencakup keseluruhan dari unsur-unsur hukum
pidana Islam.
Jinayat secara garis besar dibedakan menjadi dua kategori, yaitu sebagai berikut:
1. Jinayat terhadapa jiwa, yaitu pelanggaran terhadap seseorang dengan menghilangkan
nyawa, baik sengaja maupun tidak sengaja.
2. Jinayat terhadap organ tubuh, yaitu pelanggaran terhadap seseorang dengan merusak
salah satu organ tubuhnya, atau melukai salah satu badannya, baik sengaja maupun
tidak sengaja.
Macam-macam Jinayah
1. Hudud
2. Qisas atau Diyat
3. Ta’zir
Persoalan penerapan hukum pidana Islam masih menyisihkan sederetan permasalahan
yang belum selesai. Karena disatu sisi dianggap senbagai hukum yang secara tegas ada dalam
Al-Qur’an, namun disisilain dia berbenturan dengan untunan kesepakatan regional dan
internasional yang sangat mengedepankan nilai-nilai humanis dan pembelaan hak asasi
manusia. Dengan demikian hukum islam ditafsirkan secara emansepatoris, progresif sesuai
dengan perubahan ruang dan waktu serta mampu mengakomodasi persoalan kekinian dan
menyentuh problem kemanusiaan.
11
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami susun, semoga bisa bermanfaat bagi kami dan bagi
teman-teman semua. Maka dari itu kami mohon kritik dan saran untuk menunjang perbaikan
makalah kami selanjutnya. Apabila ada kesalahan dan kurang lengkapnya apa yang telah
kami paparkan, kami mohon maaf. Terima Kasih
12
DAFTAR PUSTAKA
Amran Suadi, Mardi Candra, Politik Hukum:Prespektif Hukum Perdata Dan Pidana Islam Serta
Ekonomi Syariah, (Jakarta:Prenadamedia Group,2016).
Ahmad Wardi Muslich. Pengantar dan asas hukum pidana islam, (Jakarta:Sinar Grafika).
Sulaiman Hasjid, Fiqih Islam, (Jakarta:Attahiyah)
Amran Suadi dan Mardi Candra
Ridwan, Limitasi Hukum Pidana Islam, (Semarang:Walisongo Press,2008)
Samsudin Aziz, Jurnal: KANUNISASI FIKIH JINAYAT KONTEMPORER Studi Materi Muatan
Qānūn Jināyat Aceh dan Brunei Darussalam