Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

60

Transcript of Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Page 1: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran
Page 2: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Pendahuluan

Pada 22 Januari 2020, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah resmi

mengesahkan Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 yang berisi 50 Rancangan Undang-

Undang (RUU). Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah adanya empat RUU yang

bertajuk Omnibus Law, yaitu RUU Cipta Kerja, RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan

untuk Penguatan Perekonomian, RUU Kefarmasian, dan RUU Ibu Kota Negara.

Adanya RUU bertajuk omnibus law merupakan salah satu langkah progresif

Pemerintah di bidang hukum. Hal ini disinyalir karena kegeraman Presiden Joko Widodo atas

melempemnya progres Indonesia di bidang investasi. Berdasarkan laporan Ease of Doing

Business 2019, Indonesia menempati peringkat 73 dari 190 negara.1 Pembentukan omnibus

law—khususnya di bidang perekonomian—diharapkan mampu untuk meningkatkan iklim

investasi di Indonesia, Rosan Roeslani mengatakan bahwa salah satu tujuan dari adanya

omnibus law ini adalah untuk menungkatkan peringkat Indonesia di Ease of Doing Business.2

Pemerintah melalui Airlangga Hartanto—Menko Perekonomian—telah resmi

menyerahkan Surat Presiden dan draft omnibus law RUU Cipta Kerja ke Pimpinan DPR RI

pada 12 Februari 2020. Menurut Puan Maharani—Ketua DPR—RUU ini terdiri dari 79

RUU, 15 bab, dan 174 pasal yang rencananya akan melibatkan tujuh komisi terkait untuk

pembahasannya.3

Adanya omnibus law tidak lepas dari perhatian masyarakat, terutama banyaknya hal-

hal bermasalah dimulai dari konsep, prosedur pembuatan, hingga subtansi dari pasal-pasal di

dalamnya. Dari sinilah BEM Kema Unpad 2020 mencoba memberikan beberapa catatan

kritis terhadap RUU Cipta Kerja dalam tajuk omnibus law.

1 World Bank. 2019. Doing Business 2019, Training for Reform. Diakses dari https://www.doingbusiness.org/content/dam/doingBusiness/media/Annual-Reports/English/DB2019-report_web-version.pdf pada 21 Februari 2020 2 BBC Indonesia. 2019. Omnibus Law: Harapan Menarik Investasi dan Pembahasan yang ‘sentralistik’. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50837794 pada 21 Februari 2020 3 Haris Prabowo. 2020. Ganti Nama, Pemerintah Akhirnya Serahkan RUU Cipta Kerja ke DPR. Diakses dari https://tirto.id/ganti-nama-pemerintah-akhirnya-serahkan-ruu-cipta-kerja-ke-dpr-eyvupada pada 21 Februari 2020

Page 3: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Konsep Omnibus Law

Bryan A. Garner dalam Black Law Dictionary Ninth Edition menyebutkan bahwa

omnibus merupakan “relating to or dealing with numerous object or item at once; including

many thing or having various purposes”.4 Dimana jika dipadankan dengan kata law maka

dapat didapatkan bahwa omnibus law merupakan hukum yang mengatur berbagai macam

objek, item dan tujuan dalam satu instrumen hukum.

The Duhaime Legal Dictionary mengatakan bahwa omnibus law merupakan “a draft

law before a legislature which contains more than one substantive matter, or several minor

matters which have been combined into one bill, ostensibly for the sake of convenience”.5

Dalam hal ini, The Duhaime Legal Dictionary menyoroti bahwa omnibus law merupakan

suatu rancangan undang-undang yang menyoroti lebih dari satu masalah substantif atau

masalah-masalah kecil yang telah digabung dalam satu instrumen hukum.

Menurut Barbara Sinclair, omnibus bill merupakan proses pembuatan peraturan yang

bersifat kompleks dan penyelesaiannya memakan waktu lama karena mengandung banyak

materi meskipun subjek, isu, dan programnya tidak selalu terkait.6 Dalam hal ini, Barbara

menitik fokuskan omnibus bill sebagai proses dalam membentuk aturan hukum yang

kompleks.

Fachri Bachmid menyatakan bahwa omnibus law merupakan suatu konsep produk

hukum yang berfungsi untuk mengkonsolidir berbagai tema, materi, subjek, dan peraturan

perundang-undangan pada setiap sektor yang berbeda untuk menjadi satu produk hukum

besar dan holistik.7 Menurut Bivitri Susanti, ruang lingkup omnibus law lazim menyasar isu-

isu besar yang terdapat dalam suatu negara.8

Louis Massicotte menyatakan ada beberapa alasan mengapa para legislator

menggunakan teknik omnibus law dalam membentuk suatu undang-undang. Pertama, hal ini

4 Sarah Safira Aulianisa. 2019. Menakar Kompabilitas Transplantasi Omnibus Law dalam Konteks Peraturan Perundang-undangan dengan Sistem Hukum Indonesia. Paper dipresentasikan di Konferensi Ilmiah Hukum dan HAM 2019, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia 5 Louis Massicotte. 2013. Omnibus Bills in Theory and Practice. Canadian Parliamentary Review/ Spring 2013., hlm. 14 6 Barbara Sinclair. 2012. Unortodhox Lawmaking: New Legislative Processes in the U.S Congress. Los Angeles: Sage., hlm. 33 7 Agnes Fitryantica. 2019. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia melalui Konsep Omnibus Law. Jurnal Gema Keadilan., vol. 6, edisi 3, Oktober-November 2019., hlm. 303 8 Ibid.,

Page 4: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

dikarenakan terjadi negosiasi yang kompleks dari masing-masing orientasi legislator, selain

itu teknik omnibus membuat pemerintah dapat memangkas waktu dan prosedur legislatif

dalam membentuk suatu undang-undang. Kedua, praktik ini ditujukan untuk menggalang

dukungan publik pada suatu undang-undang, sehingga menekan golongan oposisi untuk

tunduk pada agenda pemerintah.9

Teknik omnibus bill kebanyakan dipergunakan oleh negara-negara yang menganut

sistem hukum common law. Sistem hukum common law merupakan sistem hukum yang

berkembang di Inggris sejak abad 16 dan berkembang pesat hingga di luar negara Inggris

seperti Kanada, Amerika, dan negara-negara bekas koloni Inggris.10

Menurut Louis Massicotte, omnibus law dimulai ketika Desember 1967 ketika Pierre

Trudeau—Menteri Hukum Kanada—mengenalkan Criminal Law Amandement Bill yang

mengatur berbagai macam isu seperti homoseksualitas, aborsi, kontrasepsi, kepemilikan

senjata, kekerasan terhadap binatang, dll.11

Di Amerika, omnibus law sendiri dapat dilihat dari peraturan Transportation Equity

Act for the 21st Century (TEA-21) yang merupakan undang-undang pengganti dari

Intermodal Surface Transportation Efficiency Act (ISTEA). Selain itu dapat dilihat dari

Omnibus Trade and Competitiveness Act of 1988 (OCTA) yang disusun dalam rangka

memperbaiki defisit neraca perdagangan Amerika Serikat pada saat itu. UU ini mengatur

secara luas revisi terhadap ketentuan perdaganganm penyesuaian bantuan, dorongan ekspor,

harmonisasi tarif, kebijakan perdagangan internasional, investasi asing, dll.12

Di Australia, omibus law juga dapat terlihat dalam Civil Law and Justice Act 2015.

UU ini mengubah peratuuran di dalam 16 UU yang memiliki materi muatan yang berbeda.

Diantaranya adalah UU Bandung Administratif Tribunal 1975, UU Kebangkrutan 1966, UU

Pengadilan Federal 1976, UU Arbitase Internasional 1974, dll.13

Menurut Firman Freaddy Busroh, ada beberapa tujuan terkait pembentukan omnibus

law, antara lain (1) mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif,

9 Louis Massicotte., op.cit hlm. 15 10 Farihan Aulia dan Sholahuddin Al-Fatih. 2017. Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Islamic Law dalam Perspektif Sejarah dan Karakteristik Berpikir. Jurnal Legality, vol. 25, No. 1, Maret 2017., hlm. 103 11 Louis Massicotte., loc.cit 12 Agnes Fitryantica., op.cit hlm. 304 13 Ibid.,

Page 5: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

dan efisien; (2) menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah; (3) pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien, dan efektif; (4)

mampu memutus rantai birokrasi yang berlama-lama; (5) meningkatnya hubungan koordinasi

antar instansi terkait karena telah diatur dlaam kebijakan omnibus yang terpadu; (6) adanya

jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.14

Namun, dalam putusan commonwealth vs Barnett yang dikeluarkan Commonwealth

Court of Pennsylvania, terdapat komentar terhadap proses legislasi dalam putusan tersebut.

Pengadilan bahkan menyebutkan omnibus bill sebagai crying evil karena mengaduk-adukan

subjek yang tidak sesuai.15

Dimana Letak Omnibus Law dalam Sistem Hukum Indonesia?

Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu

susunan hierarki, norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang

lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian

seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut

dengan norma dasar atau grundnorm.16

Hans Nawiasky—murid Hans Kelsen—mengembangkan teori gurunya tentang

jenjang noma dalam kaitannya dengan suatu negara. Ia berpendapat bahwa selain norma itu

berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum di suatu negara itu juga berkelompok-

kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat

kelompok besar yaitu staatsfundamentalnorm, staatsgrundgesetz, formell gesetz, dan

verordnung & autonome satzung.17 Teori ini turut menjadi dasar yang berlaku di negara-

negara modern mengenai hierarki peraturan perundang-undangan.

14 Firman Freaddy Busroh. 2017. Konseptualitas Omnibus Law dalam Menyelesaikan Permasalahan Regulasi Pertanahan. Jurnal Arena Hukum, Vol. 10, No. 2, Agustus 2017., hlm. 247 15 Louis Massicotte., loc.cit 16 Maria Farida Indrati. 2011. Ilmu Perundang-Undangan I. Yogyakarta : Kanisius., Hlm. 41 17 Ibid,

Page 6: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan menyatakan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia ialah

sebagai berikut

1. UUD Negara Republik Indonesia 1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah Provinsi

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Dalam hal ini, konteks daripada teori yang dicanangkan Hans Nawiasky dapat

tercermin dalam sistem hukum Indonesia. staatsfundamentalnorm yang merupakan landasan

dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut ada

dalam butir-butir Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945,

staatsgrundgesetz yang tercermin dalam UUD 1945, formell gesetz yang tercermin dalam

UU, verordnung & autonome satzung yang merupakan peraturan pelaksana dan peraturan

otonom tercermin dalam hierarki PP kebawah.

Dimanakah letak omnibus law ? Dalam hal ini, omnibus law yang dimaksud dalam

sistem hukum Indonesia merupakan bentuk undang-undang yang mengatur berbagai macam

objek dalam satu instrumen hukum. sehingga terdapat penyebaran wacana terkait omnibus

staatsfundamentalnorm

staatsgrundgesetz

formell gesetz

verordnung & Autonome satzung

Page 7: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

law yang disamakan dengan UU Payung, yaitu UU yang menjadi induk dari UU lain yang

masih satu sektor. Namun, apabila omnibus law dinarasikan sebagai UU Payung, maka

omnibus law tidak diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, karenanya omnibus law dalam konteks Indonesia dinarasikan sebagai

undang-undang

Konsep Negara Hukum dan Pentingnya Partisipasi Masyarakat

Pada dasarnya, bilamana berbicara mengenai peraturan perundang-undangan—

sebagaimana dikatakan oleh Crabbe—maka tidak hanya berbicara mengenai pengaturannya,

tetapi juga sampai ke pembentukannya yang harus sesuai dengan asas-asas yang berkaitan

dengan materi muatannya.18 Maria Farida Indrati menyatakan bahwa asas-asas pembentukan

peraturan perundang-undangan merupakan suatu pedoman atau rambu-rambu dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.19

Adanya proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang sedemikian rupa

merupakan bentuk perwujudan dari digunakannya konsep negara hukum kesejahteraan.

Menurut Bagir Manan, konsep tersebut menempatkan negara atau pemerintah tidak hanya

menjadi sekedar penjaga malam, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan

kesejahteraan sosial dan kesejahteraan umum bagi rakyatnya.20

Menurut A. Hamid S. Attamimi, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan

yang baik meliputi asas formal yang mencakup tujuan yang jelas, perlunya pengaturan, organ

atau lembaga yang tepat, materi muatan yang tepat, dapat dilaksanakan, dan dapat dikenali.

Juga harus meliputi asas material seperti sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma

fundamental negara, sesuai dengan hukum dasar negara, sesuai dengan prinsip negara

berdasarkan hukum, sesuai dengan prinsip pemerintah berdasarkan konstitusi.21

Sebagaimana dikatakan oleh A. Hamid S. Attamimi, bahwa pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik secara material haruslah sesuai dengan prinsip negara

berdasarkan hukum sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dalam hal ini,

konsep negara hukum dapat pula dipahami sebagai filsafat teori politik yang menetukan

18 VCRAC Crabbe. 1994. Legislative Drafting. London: Carendish Publishing Limited., hlm. 4 19 Maria Farida Indrati., op.cit hlm.252 20 Syauqi dan Habibullah. 2016. Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Jurnal Sosio Informa Vol. 2, No. 01, Januari-April 2016., hlm. 20 21 Maria Farida Indrati., opcit hlm. 331

Page 8: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

sejumlah persyaratan mendasar terhadap hukum, ataupun sebagai sarana prosedural

(prosedural device) yang diperlukan oleh mereka yang memerintah berdasarkan hukum.22

Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang ia sebut dengan istilah rechtsstaat

mencakup empat elemen penting yaitu perlindungan hak asasi manusia, pembagian

kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang dan peradilan tata usaha negara.23

Merujuk pada apa yang dikatakan Stahl, bahwa pemerintah dalam negara yang menganut

kedaulatan hukum harus bertindak berdasarkan undang-undang. Dalam hal ini pembentukan

peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan hukum tertulis yang mengatur bagaimana

cara membentuk suatu undang-undang yaitu UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

Dalam omnibus law cipta kerja versi pemerintah, teknik omnibus justru dibuat untuk

merubah yang terdiri atas pencabutan, penggantian atau menambah materi berbagai macam

ketentuan dalam berbagai UU dalam satu instrumen hukum, bukan membuat suatu undang-

undang baru. Dalam hal ini, perubahan suatu undang-undang tentu bukanlah suatu hal yang

inkonstitusional. Namun, ketika berbicara konteks pembentukan undang-undang, maka harus

mengacu pada materi muatan yang telah ditentukan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu (1) pengaturan lebih lanjut mengenai

ketentuan UUD 1945; (2) perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang;

(3) pengesahan perjanjian internasional; (4) tindak lanjut putusan MK dan; (5) pemenuhan

kebutuhan hukum dalam masyarakat. Jelas, bilamana omnibus law yang dibentuk pemerintah

didasarkan pada perintah sesuatu undang-undang maka pertanyaannya undang-undang mana

yang memberikan amanat perubahan UU harus dilakukan menggunakan teknik omnibus?

Secara historis, bentuk undang-undang di Indonesia menganut single subject clause rule.

Daniel N. Boger dalam tulisannya menyatakan bahwa single subject clause rule melarang

suatu undang-undang mengandung berbagai macam subjek.24 Jelas mencampuradukan

berbagai macam subjek dalam satu undang-undang menimbulkan pertanyaan sendiri dimana

landasan yang mengatur penggunaan teknik omnibus dalam membentuk undang-undang di

Indonesia.

22 Hilaire Barnett.2002. Constitutional and Administrative Law. London: Cavendish Publishing Ltd., hlm.9 23 Jimly Asshiddiqie. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika., hlm. 125 24 Daniel N. Boger. 2017. Constitutional Avoidance: The Single Sunject Rule As An Interpretive Principle. Virginia Law Review Vol. 103: 1247., hlm. 1249

Page 9: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Bilamana argumen yang dipakai menggunakan logika pemenuhan kebutuhan hukum

masyarakat, maka hal yang wajib dipenuhi adalah adanya Partisipasi masyarakat dalam

proses pembentukan peraturan perundang-undangan, terutama untuk individu atau kelompok

yang mempunyai kepentingan atas substansi dari peraturan perundang-undangan.25 Namun,

Ombudsman menyoroti bahwa pembentukan omnibus law Cipta Kerja minim partisipasi

publik.26

Hal ini tentu menjadi catatan aneh ketika omnibus law cipta kerja malah minim partisipasi

masyarakat. Pembentukan undang-undang haruslah aspiratif dan partisipatif yang dalam hal

ini mengandung makna proses dan substansi. Proses dalam pembentukan undang-undang

haruslah transparan, sehingga aspirasi masyarakat dapat berpartisipasi dalam memberikan

masukan-masukan. Sementara substansi berkaitan dengan materi yang diatur harus ditujukan

bagi kepentingan masyarakat sehingga menghasilan undang-undang yang demokratis,

aspiratif, partisipatif, dan berkarakter responsif.27

Dalam hal ini, proses pembentukan omnibus law cipta kerja harus melibatkan partisipasi

publik secara masif. Menurut Handoyo, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk

membuka ruang partisipasi masyarakat, yaitu28

1. Membuka akses informasi seluruh komponen masyarakat tentang proses penyusunan

suatu peraturan perundang-undangan

2. Merumuskan aturan main khususnya yang menyangkut transparansi penyusunan dan

perumusan rancangan peraturan perundang-undangan

3. Merumuskan secara bersama-sama sebuah prosedur dan tata cara mengakomodi

aspirasi masyarakat dalam pembahasan peraturan perundang-undangan

4. Menyusun kode etik sekaligus membentuk Majelis Kehormatan yang susunannya

terdiri dari unsur DPR, masyarakat, akademisi, dan media massa

25 Vide pasal 96 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 26 Gosanna Oktavia. 2020. Omnibus Law Minim Partisipasi Publik, Ombudsman Buka Kesempatan Pengaduan. Diakses dari https://ombudsman.go.id/news/r/omnibus-law-minim-partisipasi-publik-ombudsman-buka-kesempatan-pengaduan pada 22 Februari 2020 27 Ibid., 28 Joko Riskiyono. 2015. Partisipasi Masarakat dalam Pembentukan Perundang-Undangan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan. Jurnal Aspirasi Vol. 6, No. 2, Desember 2015., hlm. 160

Page 10: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

5. Memperluas jaringan kerjasama di kalangan civil society yang selama ini sifatnya ad

hoc. Jaringan tersebut harus bersifat permanen sekaligus ada pembagian tugas dan

tanggung jawab memantau proses perumusan kaidah hukum.

Dengan kata lain, menurut Nonet dan Selznick, pentingnya peran masyarakat dalam

pembentukan produk hukum harus terlihat pada proses pementukannya yang partisipatif

dengan mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari

segi individu maupun kelompok masyarakat. Selain itu harus bersifat aspiratif yang

bersumber dari keinginan masyarakat bukan hanya kehendak dari penguasa untuk

melegitimasikan kekuasaannya.29 Itulah substansi dari pemenuhan kebutuhan hukum

masyarakat yang ideal dengan mengedepankan proses deliberatif sebagai kunci agar hukum

dapat diterima masyarakat.

Pada akhirnya, pembentukan omnibus law sendiri harus mengikuti mekanisme layaknya

membentuk undang-undang seperti pada umumnya, yaitu meliputi tahap perencanaan,

penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan yang harus sesuai dengan ketentuan yang telah

diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan. Dalam hal ini tentu pemerintah alangkah lebih baiknya jika memfokuskan dulu

melegalkan bentuk omnibus law dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Hal ini didasari agar pemerintah tidak sewenang-wenang dalam menentukan langkah

progresif di bidang hukum, mengingat segala bentuk tindakan pemerintah harus didasari oleh

undang-undang, bukan hanya pidato semata.

Politik Hukum yang Rawan Kepentingan

Geliat membentuk omnibus law telah ditunjukan Presiden Joko Widodo sejak

mengikuti kontestasi elektoral. Dalam Debat Presiden dan Wakil Presiden ke-5, presiden

menyinggung kegeramannya atas pencapaian investasi Indonesia yang kalah dengan negara-

negara tentangga di Asia Tenggara.

Pada saat pelantikan, presiden mendeklarasikan akan membentuk omnibus law yang

ditujukan untuk memangkas regulasi yang dirasanya terlalu berbelit. Hal ini ditujuk

meningkatkan tingkat investasi di Indonesia, sebagaimana sesuai dengan laporan ease of

29 Rahendro Jati. 2015. Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang yang Responsif. Jurnal Rechtsvinding, Vol. 1, No. 3, Desember 2015., hlm. 331

Page 11: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

doing business, dimana perizinan yang berbelit membuat peringkat Indonesia mangkrak

dibawah negara-negara tetangga di Asia Tenggara.

Dari sini, kita dapat melihat secara tesirat adanya tujuan pembentukan omnibus law

adalah untuk meningkatkan tingkat investasi Indonesia, yang dalam hal ini akan dikupas

secara lebih dalam segmen geliat investasi Indonesia. Dalam hal ini, Tengku Muhammad

Radi mendefinisikan tujuan pembentukan hukum atau yang lazim disebut sebagai politik

hukum adalah pernyataan kehendak dari penguasa mengenai tujuan tertentu yang ingin

dicapai lewat hukum.30

Dari sini, satu hal yang hendak disoroti adalah adanya penyamarataan politik hukum

dalam RUU Cipta Kerja. Dalam kenyataannya, RUU Cipta Kerja yang digadang-gadang

sebagai terobosan baru dalam bidang hukum di Indonesia terdiri dari 11 klaster, 15 bab dan

174 pasal yang menyosor sekitar 79 UU yang hendak diubah. Dalam konteks ini kita telah

berbicara bahwa wujud omnibus law berbentuk multi subject clause yang mengatur berbagai

macam sektor, ambil contoh UU Ketenagakerjaan, UU Pendidikan Tinggi, UU Kehutanan,

UU Guru dan Dosen, UU Varietas Tanaman, UU Pendidikan Dokter yang pasti dalam proses

pembentukannya memiliki politik hukum yang berbeda satu sama lain.

Dalam hal ini, politik hukum investasi akan memengaruhi jalan logika dari UU-UU

yang akan diubah dalam RUU Cipta Kerja sehingga dapat memenuhi kehendak pemerintah

dalam meningkatkan tingkat investasi Indonesia. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah

apakah penyamarataan tersebut malah justru bagus bila diterapkan hanya untuk memuaskan

kepentingan politik demi memuluskan investasi?

Secara pragmatis, interaksi hukum dan politik berada dalam derajat determinasi yang

seimbang antara satu sama lain. Karenanya, hal ini tidak menafikan bahwa hukum adalah

produk politik, namun kehidupan politik juga harus tunduk pada aturan-aturan hukum.

Konfigurasi politik akan memengaruhi karakter dari produk hukum dan hukum harus menjadi

guideline, agar konfigurasi politik yang dilakukan oleh para elite tidak menyimpang dari

tujuan bernegara.31

Oleh karenanya, dibutuhkan adanya politik hukum dalam pembangunan hukum di

Indonesia. Hal ini didasari agar hukum terus menjadi wahana yang responsif terhadap

30 Moh. Mahfud M.D. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Yogyakarta: LP3ES., hlm. 10 31 Merdi Hajiji. 2013. Relasi Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia. Jurnal Rechtsvinding Vol. 2, No. 3, Desember 2013., hlm. 369

Page 12: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

kebutuhan masyarakat.Politik hukum sendiri berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap

materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan dan menunjukan sifat dan arah

kemana hukum akan dibangun dan ditegakan.

Secara praktik, terdapat banyak kritik terhadap RUU Cipta Kerja, yaitu dapat

mengkambing hitamkan hak masyarakat dan dianggap terlalu memihak kalangan elite.

Sejumlah praktisi dan masyarakat pun menilai, lahirnya RUU Cipta kerja lebih memihak

pada pengusaha daripada buruh. Faisal Basri mengatakan bahwa omnibus law bisa menjadi

bias yang menguntungkan dunia usaha, karena komposisi tim penyusun yang mayoritas diisi

oleh kalangan pengusaha.32

Pada akhirnya, berbicara tentang politik hukum yang sederhananya diartikan sebagai

tujuan dibentuknya suatu hukum. Kita tidak dapat menjauhkan hubungan politik dan hukum.

di satu sisi, keduanya bagai tulang dan daging yang sulit terpisah satu sama lain. Hukum

merupakan produk politik sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum. Namun, hukum

tidak boleh dibentuk tanpa adanya suatu politik hukum yang berorientasi kebutuhan rakyat.

maka pembentukan politik hukum yang menyerap aspirasi dan kebutuhan rakyat secara riil

dibutuhkan dalam hal merumuskan tujuan pembentukan omnibus law melalui cara-cara yang

telah disebutkan di segmen sebelumnya dalam melibatkan partisipasi masyarakat.

Salah Kaprah Asas Lex Supreriori Derogat Legi Inferiori

Salah satu problematika lainnya ialah kerancuan yang terdapat pada Pasal 170 yang

menyatakan bahwa Undang-undang dapat diubah ketentuannya melalui Peraturan

Pemerintah. Sebelum meninjau polemik ini, mari kita lihat terlebih dahulu ketentuan

Perundang-undangan mengenai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah sebagai berikut :

Peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis dan berisikan norma

hukum yang bersifat mengikat untuk umum baik yang ditetapkan oleh badan legislator

maupun oleh regulator atau lembaga pelaksana Undang-undang untuk menetapkan peraturan-

peraturan tertentu menurut Peraturan yang berlaku. Produk legislatif dalam hal ini merupakan

peraturan yang berbentuk Undang-undang dan dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) dan pembahasannya dilakukan bersama dengan Presiden/ pemerintah untuk

mendapatkan persetujuan bersama yang setelah mendapatkan persetujuan bersama akan

32 Efrem Siregar. 2020. Faisal Basri Kritik Omnibus Law Jokowi, Apa Alasannya?. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20191218211906-4-124277/faisal-basri-kritik-omnibus-law-jokowi-apa-alasannya pada 19 Maret 2020

Page 13: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

disahkan oleh Presiden dan kemudian diundangkan sebagaimana mestinya atas perintah dari

Presiden. Bagi undang-undang tertentu pembahasan bersama dilakukan dengan melibatkan

peran dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Disamping peraturan yang berbentuk Undang-

undang ada pula peraturan yang disusun dan ditetapkan oleh lembaga eksekutif pelaksana

Undang-undang dimana lembaga eksekutif pelaksana diberi kewenangan regulasi oleh

Undang-undang dalam rangka menjalankan Undang-undang terkait. Selain itu, pemerintah

karena fungsinya juga diberi kewenangan untuk menetapkan suatu peraturan yang

regulasinya ditentukan oleh lembaga regulasi tertentu pula. Menurut Pasal 7 Undang-undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat jenis

dan hierarki yang terdiri atas :

a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Kemudian, mari kita lihat pengertian dan isi dari masing-masing peraturan khususnya

mengenai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah sebagai berikut :

a. Undang-undang.

Produk Undang-undang merupakan bentuk hukum yang paling tinggi

statusnya setelah Undang-undang Dasar. Jika kita komparasikan dengan sistem

hukum di Belanda Undang-undang dapat disepadankan dengan wet yang memiliki

kedudukan tertinggi dibawah grondwet, atau seperti di Amerika Serikat dengan Act

(Legislative Act) dan berada dibawah Constitution sebagai produk hukum, Undang-

undang baru mengikat untuk umum sebagai algemene verbidende vioorschiften atau

peraturan yang mengikat untuk umum yaitu ketika diundangkan. Bentuk

administrasi pengundangan Undang-undang dilakukan dengan cara menerbitkan

naskah Undang-undang dimaksud melalui Lembaran Negara Republik Indonesia

(LN-RI). Sementara itu, untuk naskah penjelasannya dalam Tambahan Lembaran

Page 14: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Negara Republik Indonesia (TLN-RI).33 Sederhananya, Undang-undang merupakan

hanya salah satu bentuk peraturan yang dibentuk oleh DPR, dibahas dan disetujui

bersama oleh DPR dan Presiden, dan disahkan oleh Presiden dan diundangkan

sebagaimana mestinya atas perintah Presiden sehingga menjadi norma hukum yang

mengikat untuk umum. Dengan begitu, Undang-undang berbeda dengan pengertian

Peraturan Perundang-undangan pada umumnya. Peraturan Perundang-undangan itu

adalah segala bentuk peraturan negara dari jenis yang tertinggi di bawah Undang-

undang dasar hingga yang terendah, yang dihasilkan dan ditetapkan secara atributif

dari peraturan yang lebih tinggi atau secara delegasi dari pemegang kekuasaan

pembentuk Undang-undang (Legislative Power, Wet gevende macht, atau

gesetzgebende gewalt). Maka artinya Undang-undang Dasar tidak terklasifikasikan

ke dalam pengertian Peraturan Perundang-undangan.

b. Peraturan Pemerintah

Menurut ketentuan Pasal 5 Ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, Presiden

menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana

mestinya karena Peraturan Pemerintah diadakan untuk melaksakan Undang-undang

tidak mungkin bagi Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebelum ada

Undang-undangnya. Dengan demikian, Undang-undang selalu mendahului Peraturan

Pemerintah (PP), dan Peraturan Pemerintah dapat dibentuk hanya atas dasar perintah

Undang-undang dengan kata lain Peraturan Pemerintah merupakan bentuk

pendelegasi legislasi yaitu kewenangan yang didelegasikan oleh Principal Legislator

(Pembentuk Undang-undang) kepada Presiden sebagai kepala pemerintah yang akan

melaksanakan (Executive) Undang-undang yang bersangkutan. Jika dikuatirkan

terjadi penyimpangan dalam Peraturan Pemerintah maka terdapat mekanisme untuk

mengujinya ke Mahkamah Agung. Pasal 24 A Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945

menentukan, “Mahkamah Agung berwenang… menguji mengatur peraturan

perundang-undangan dibawah Undang-undang terhadap Undang-undang,...”34.

Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari

materi yang diatur dalam Undang-undang yang bersangkutan. Jika, sekiranya tidak

33 Jimly Asshiddiqie. 2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press., hlm. 166. 34 Komparasikan Pasal 13 UU No. 14 Tahun 1984 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 15: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

diperintahkan secara eksplisit pun oleh Undang-undang, Peraturan Pemerintah tetap

dapat dikeluarkan oleh Pemerintah sepanjang materinya tidak bertentangan dengan

Undang-undang, dan hal tersebut memang diperlukan sesuai dengan kebutuhan yang

timbul dalam praktik untuk maksud “… menjalankan Undang-undang sebagaimana

mestinya…”.

Perihal kerancuan Pasal dalam RUU Ciptaker mulai meluap sebab dalam bunyi

Pasalnya terkandung kata yang seakan menyalahi ketentuan dalam hierarki Konstitusi, yakni

Pasal 170 Ayat (2) “Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatur

dengan Peraturan Pemerintah”. Berdasarkan persfektif Hukum, pernyataan dalam Pasal 170

merupakan bentuk penyimpangan yang menyalahi aturan Konstitusi Republik Indonesia,

Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yakni Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 “Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) memegang kekuasaan membentuk Undang-undang”. Pasal 20 Ayat (1)

menunjukkan adanya norma yang menginstruksikan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat-lah

yang memiliki peran kekuasaan legislatif untuk dapat membentuk Undang-undang.

Pernyataan pada Pasal 170 RUU Ciptaker memproyeksikan adanya pengambil alihan

wewenang DPR oleh Presiden (Pemerintah Pusat) dengan jalan mengubah Undang-undang

melalui Peraturan Pemerintah (PP). Pengambil alihan dalam Pasal tersebut menjadi catatan

bahwa Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan tidak boleh menyalahi

ketentuan yang diatur dalam UUD yang menabrak muatan-muatan Konstitusi. Kerancuan

Pasal 170 membuka potensi pemerintah yang otoriter sebab rusaknya konstitusi akan

mendobrak sistem ketatanegaraan yang akan bersifat Sentralistik. Sedangkan, jika kita lihat

perubahan pasca Reformasi, melalui amandemen UUD 1945 kedudukan DPR sebagai

lembaga legislatif dititikberatkan sebagai lembaga yang berwenang dalam pembentukan

Undang-undang. Kemudian, disamping menyimpangi Pasal 20 Ayat (1) di atas, pada Pasal 5

Ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk

menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.

Menurut Muhammad Nur Solikhin, Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan

Kebijakan terdapat dua kedudukan dari Peraturan Pemerintah (PP) ;

a. Secara hierarki, kedudukan Peraturan Pemerintah berada dibawah Undang-undang

sebab Undang-undanglah yang menentukan kebutuhan dalam pembentukannya;

Page 16: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

b. karena dari posisinya sudah tidak sejajar maka materi muatan norma dalam

Peraturan Pemerintah dan Undang-undang pun berbeda, PP memiliki materi muatan

yang jauh bersifat teknis dibanding dengan Undang-undang.

Selain berfokus pada substansi wewenang DPR yang seakan dikebiri, terdapat pihak

lain yang perlu dipertanyakan pertanggungjawabannya, berdasarkan Peraturan Presiden

Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan amanat kepada

Kementerian Hukum dan Ham dengan memberikan tugas berupa mengharmonisasi.

Pembulatan, dan pemantapan Rancangan Undang-undang yang diusulkan oleh

pemerintah.

Merujuk pada Pasal 51 Ayat (4) penyelarasan RUU diselaraskan dengan Pancasila,

UUD 1945 dan Undang-undang lain serta hal teknis lainnya. Dengan adanya kerancuan

pada Pasal 170 yang menyalahi ketentuan UUD 1945, maka terdapat suatu indikasi bahwa

terdapat kelalaian dalam proses penyelarasan yang dilakukan oleh Kementerian Hukum

dan HAM. Kejadian demikian juga sekaligus menyiratkan pertanyaan atas apakah

Rancangan Undang-undang Cipta Kerja dilakukan tanpa melalui proses penyelarasan

terlebih dahulu atau tidak, tanggapan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan,

Mahfud MD mengakatakan bahwa materi yang termuat dalam Undang-undang tidak bisa

diganti atau diubah melalui Peraturan Pemerintah, pun jika akan dilakukan penggantian

Undang-undang salah satu caranya adalah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang (Perppu). Kesalahan yang terdapat dalam RUU Ciptaker menurut Mahfud

MD35 dan Menteri Hukum dan Ham Yasona Laoly36 bisa saja merupakan kekeliruan

karena salah ketik. Akan tetapi sepatutnya pemerintah teliti sebelum mengeluarkan suatu

regulasi, sebab ketidak telitian dalam pembentukan sebuah Rancangan Undang-undang

bisa merugikan kepentingan publik dan menyebabkan timbulnya korban-korban kebijakan

di masa depan. Disamping menbrak sistem hukum, RUU Ciptakerja seakan memberi

kesan untuk dapat menghalalkan segala cara dalam menumbuhkan investasi di Indonesia

35 Chandra Gian Asmara. 2020. Mahfud MD Tegaskan Pasal 170 RUU Cipta Salah Ketik!. Diakses di https://www.cnbcindonesia.com/news/20200218134358-4-138675/mahfud-md-tegaskan-pasal-170-ruu-cipta-kerja-salah-ketik Pada 7 Maret 2020 36 Muhammad Genantan Saputra. 2020 . Menkumham Sebut Ada Salah Ketik di RUU Omnibus Law. Diakses di https://www.liputan6.com/news/read/4181369/menkumham-sebut-ada-salah-ketik-di-ruu-omnibus-law Pada 7 Maret 2020

Page 17: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

dan menjadikan hukum sebagai alat dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Joko Widodo

dalam keterangannya membantah tuduhan dalam polemik Pasal 170. Menurutnya

pemerintah telah bersikap terbuka dan tidak mengeliminasi peran dari DPR sebab hingga

saat ini RUU Omnibus Law masih dalam pembahasan hingga lima bulan ke depan dan

mengharapkan adanya masukan-masukan dari masyarakat.37

Banyaknya Delegated Regulation

Sejak debat calon presiden dan wakil presiden kelima, Presiden Joko Widodo terus

menggarisbawahi bahwa permasalahan terkait lesunya tingkat investasi di Indonesia

dikarenakan terlalu banyak peraturan yang mengekang cara berinvestasi. Banyaknya

peraturan tersebut juga tidak dibarengi dengan upaya untuk menyelaraskan peraturan antara

satu sama lain, sehingga menyebabkan terjadinya tumpang tindih peraturan yang telah dibuat.

Omnibus law ditujukan sebagai kartu as Presiden Joko Widodo dalam menyelesaikan

permasalahan tumpang tindih aturan, sehingga diharapkan pembentukan suatu undang-

undang yang menggunakan teknik omnibus akan mengurangi jumlah peraturan terkait

investasi.

Bukannya malah mengurangi jumlah peraturan perundang-undangan, justru terdapat

fenomena dalam Draft RUU Cipta Kerja sebagai omnibus law pemerintahan Jokowi yang

menimbulkan tanya mengenai semangat untuk mengurangi jumlah peraturan perundang-

undangan di Indonesia, fenomena tersebut adalah fenomena banyaknya pendelegasian

peraturan dari RUU Cipta Kerja ke Peraturan Pemerintah.

Bilamana mencermati Draft RUU Cipta Kerja yang dibuat pemerintah, terdapat 465

amanat dari RUU Cipta Kerja untuk membentuk peraturan pemerintah yang akan

menjabarkan ketentuan lebih lanjut mengenai substansi RUU Cipta Kerja. Dengan adanya

amanat ini, tentu akan menambah jumlah peraturan perundang-undangan di tingkat peraturan

pemerintah.

Dalam artikel yang ditulis oleh Wicipto Setiadi, jumlah peraturan perundang-

undangan di Indonesia adalah 40.903, dengan rincian (1) Undang Undang Dasar sebanyak

10; (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebanyak 5; (3) Undang-Undang

37 Restu Diantina Putri,. 2020. Cara Anak Buah Jokowi Lepas Tangan soal Pasal 170 RUU Cipta Kerja. Diakses di https://tirto.id/cara-anak-buah-jokowi-lepas-tangan-soal-pasal-170-ruu-cipta-kerja-eAqZ pada 8 Maret 2020

Page 18: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

sebanyak 1902; (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebanyak 172; (5)

Peraturan Pemerintah sebanyak 4836; (6) Peraturan Presiden sebanyak 1882; (7) Peraturan

Menteri sebanyak 12.829 ; (8) Peraturan Lembaga Pemerintah Non Kementrian sebanyak

3625; (9) Peraturan Daerah sebanyak 15.205.38 Wicipto juga menyebutkan bahwa jumlah

peraturan ini masih belum pasti, dikarenakan perbedaan jumlah peraturan yang disimpan di

masing-masing database milik pemerintah.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, peraturan atau regulasi diperlukan sebagai

dasar dalam melaksanakan tugas atau fungsi daripada pemerintahan. Hans Nawiasky—murid

Hans Kelsen—mengembangkan teori gurunya tentang jenjang noma dalam kaitannya dengan

suatu negara. Ia berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang,

norma hukum di suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma

hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu

staatsfundamentalnorm, staatsgrundgesetz, formell gesetz, dan verordnung & autonome

satzung.39

Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan menyatakan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia ialah

sebagai berikut

a. UUD Negara Republik Indonesia 1945

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

d. Peraturan Pemerintah

e. Peraturan Presiden

f. Peraturan Daerah Provinsi

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Dalam hal ini, konteks daripada teori yang dicanangkan Hans Nawiasky dapat

tercermin dalam sistem hukum Indonesia. staatsfundamentalnorm yang merupakan landasan

dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut ada

dalam butir-butir Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945,

38 Wicipto Setiadi. 2018. Simplifikasi Peraturan Perundang-Undangan dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha. Jurnal Rechtsvinding Vol. 7, No. 3, Desember 2018., hlm. 322 39 Maria Farida Indrati. Op.cit Hlm. 46

Page 19: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

staatsgrundgesetz yang tercermin dalam UUD 1945, formell gesetz yang tercermin dalam

UU, verordnung & autonome satzung yang merupakan peraturan pelaksana dan peraturan

otonom tercermin dalam hierarki Peraturan Pemerintah kebawah.

Peraturan pemerintah adalah suatu instrumen yang dikeluarkan pemerintah dan ditetapkan

oleh presiden untuk menjalankan undang-undang, dengan kata lain Peraturan Pemerintah

merupakan verordnung atau peraturan pelaksana. Peraturan Pemerintah merupakan bentuk

pendelegasi legislasi yaitu kewenangan yang didelegasikan oleh Principal Legislator

(Pembentuk Undang-undang) kepada Presiden sebagai kepala pemerintah yang akan

melaksanakan (Executive) Undang-undang yang bersangkutan. Dalam hal ini, delegasi

kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (delegatie van

wetgevingsbevoesgheid) ialah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-

undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik

pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak.40

Penyelenggaraan pemerintah dengan melakukan pembentukan peraturan perundang-

undangan memang secara teori dan praktik menjadi suatu hal yang wajib dilakukan oleh

pemerintah yang mendapat kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar, termasuk

halnya pembentukan omnibus law. Namun, pemerintah perlu memerhatikan bahwa

pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan secara efisien. Bilamana kita

melihat tujuan mulia Presiden Jokowi dalam membentuk omnibus law diperuntukan untuk

mengurangi jumlah peraturan perundang-undangan, maka omnibus law yang mendelegasikan

pembentukan 465 peraturan pemerintah malah memperlihatkan pertentangan antara tujuan

untuk mengurangi peraturan perundang-undangan dengan materi muatan yang diaturnya.

Dengan ini, jelas malah memperlihatkan inefisiensi regulasi. Efisiensi regulasi dapat dilihat

dari kualitas regulasi yang baik dan kuantitas regulasi yang proporsional.41 Bilamana kita

melihat kualitas regulasi yang bermasalah dari segi substansi dan segi kuantitas yang tidak

proporsional karena pada praktiknya banyak sekali mendelegasikan pembentukan regulasi

baru, maka omnibus law cipta kerja malah menunjukan adanya inefisiensi regulasi itu sendiri.

Tujuan Presiden Jokowi dalam mengurangi jumlah peraturan perundang-undangan dengan

omnibus law menjadi tujuan mulia yang sesuai dengan teori simplifikasi peraturan

40 Ibid., 41 Petrus Kadeh Suherman. 2017. Delegasi Regulasi dan Simplifikasi Regulasi dalam Pembentukan Peraturan Kepala Daerah. Jurnal Advokasi Vol. 7, No. 1 (2017)., hlm. 2

Page 20: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

perundang-undangan. Simplifikasi merupakan penyederhanaan peraturan perundang-

undangan yang dilakukan dalam rangka mengurangi jumlah peraturan perundang-undangan

sehingga menjadi proporsional jumlahnya. Simplifikasi penting untuk memastikan efektivitas

dan mencegah tumpang tindih peraturan perundang-undangan, selain itu dapat ditujukan

untuk memangkas prosedur yang panjang dan mengurangi biaya yang berlebihan.42

Dalam hal ini, memang penting untuk memangkas peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan investasi. Hal ini juga ditujukan untuk meningkatkan tingkat

perekonomian. Namun, jangan sampai teknik simplifikasi malah bertentangan dengan prinsip

ekonomi kerakyatan, dimana substansi hukum yang dibentuk malah cenderung berpihak pada

kalangan investor. Tetapi harus dilakukan demi kepentingan rakyat, dengan cara tidak ada

substansi yang bermasalah dengan rasa keadilan rakyat hanya demi mempermudah investor

untuk masuk. Selain itu proporsionalitas jumlah undang-undang perlu diperhatikan agar

menghindari peraturan yang tidak harmonis dan multitafsir. Dalam hal ini, jangan sampai

teknik simplifikasi malah membuat over regulasi sehingga membuat penggunaan teknik ini

sia-sia.

Investasi dan Omnibus law

Sebagai presiden terpilih Republik Indonesia untuk periode 2019 – 2024, Joko

Widodo menyampaikan sejumlah agenda utama pemerintahan yang akan dipimpinya untuk 5

tahun kedepan dalam sebuah pidato politik yang berjudul “Visi Indonesia”43. Secara

subtantif, pidato ini memuat 5 visi pemerintahan Joko Widodo – KH Ma’aruf Amin, dimana

pembukaan investasi yang seluas – luasnya dalam rangka memperluas lapangan pekerjaan

masuk dalam agenda utama pemerintahan Joko Widodo – KH Ma’aruf Amin. Menurut

Salim HS dan Budi Sutrisno, Investasi adalah aktivitas penanaman modal yang dilakukan

oleh investor, baik itu investor dalam negeri maupun investor dari luar negeri yang saling

berkaitan dalam berbagai bidang jenis usaha44. Sebagai negara dengan perekonomian yang

terbuka, sudah sangat wajar Indonesia membuka ruang investasi bagi investor domestik

maupun investor luar negeri. Namun, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan lebih

42 Wicipto Setiadi., op.cit hlm. 326 43 Dandy Bayu Bramasta. 2019. 5 Visi Jokowi untuk Indonesia. Diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/20/151257765/5-visi-jokowi-untuk-indonesia?page=all pada 3 Maret 2020 44 Budi Sutrisno dan Salim H. 2008. Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada., hlm 33

Page 21: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

lanjut, diantaranya adalah perihal waktu/momentum dan trade off dari penyusunan kebijakan

yang dapat bertindak sebagai stimulan investasi investasi.

Omnibus Law cipta kerja merupakan sebuah payung hukum dari bundling kebijakan

pemerintah yang digadang – gadang dapat meningkatkan kinerja investasi Indonesia yang

bermuara pada perluasan lapangan pekerjaan. Lantas bagaimana kah kinerja investasi

Indonesia ?

Menilik Kinerja Investasi Indonesia

Dalam “Visi Indonesia”, penekanan perluasan investasi dimaksudkan untuk

meningkatkan kesempatan kerja yang seluas – luasnya. Semangat ini bisa dibilang sebagai

kelanjutan dari semangat perluasan investasi pada periode sebelumnya, mengingat semangat

perluasan investasi juga sudah didorong oleh Joko Widodo pada Periode Pertama

pemerintahanya.

Presiden Joko Widodo mengeluhkan loyonya kinerja investasi dan kinerja ekspor

Indonesia45. yang ditenggarai menjadi penyebab pertumbuhan Investasi di Indonesia yang

ditenggarai menjadi salah satu penyebab kenapa pertumbuhan ekonomi Indonesia mentok di

angka 5%46. Namun, kinerja investasi Indonesia bisa dibilang cukup baik setidaknya jika

dibandingkan dengan negara – negara ASEAN, walaupun terdapat beberapa catatan - catatan

terkait dengan kualitas investasi Indonesia. Dari segi pertumbuhan investasi, Kecuali pada

tahun 2018, pertumbuhan realisasi investasi Indonesia dalam kurun waktu 2015 - 2019 selalu

berada diatas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam 5 tahun terakhir, secara konsisten

realisasi investasi Indonesia selalu mengalami peningkatan, walaupun dengan taraf

pertumbuhan yang fluktuatif.

45 Hendra Kusuma. 2019. Jokowi Kesal Ekspor dan Investasi RI Loyo. Diakses melalui https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4464956/jokowi-kesal-ekspor-dan-investasi-ri-loyo pada 2 Maret 2020 46 Trio Hamdani. 2020. Investasi Loyo dan Daya Beli Lesu Biang Kerok Ekonomi Mentok 5%. Diakses melalui https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4891785/investasi-loyo-dan-daya-beli-lesu-biang-kerok-ekonomi-mentok-5 pada 2 Maret 2020

Page 22: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Grafik 1 : Realisasi PMA dan PMDN (Sumber : Katada.co.id)

Dibanding 2015, realisasi investasi Indonesia pada tahun 2016 mengalami

peningkatan sebesar 14,01%. Untuk tahun 2017,peningkatan realisasi investasi sebesar

11,42%. Jika dibandingkan dengan 2018, Realiasi investasi Indonesia mengalami

peningkatan sebesar 12,24%. Selama 2015 hingga 2019, Investasi Indonesia mengalami

peningkatan sebesar 48,41%47.

Fluktuasi pertumbuhan ini dalam analisis kami lebih diakibatkan oleh kondisi

eksternal, walaupun kondisi internal juga berpengaruh terhadap fluktuasi pertumbuhan

investasi ini.Terlebih pada fakta bahwa pertumbuhan realisasi investasi Indonesia yang

“hanya” berada ditaraf 4,11% pada tahun 2018 jika dibandingkan dengan 2017. Semakin

memanasnya perang dagang menjadi salah satu penyebab pertumbuhan investasi “hanya” di

taraf 4,11%. Meningkatkanya tarif yang dikenakan berdampak pada biaya produksi dan harga

dari China dan Amerika Serikat menurunnya daya beli. Dampak ini berpengaruh terhadap

negara – negara lain, terlebih lagi terhadap negara – negara yang memiliki hubungan

ekonomi yang cukup masif terhadap kedua negara ini.

47 Dwi Hadya Jayani. 2020. Realisasi Investasi Indonesia 2019 Naik 48,4% dalam 5 Tahun. Diakses melalui https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/01/29/realisasi-investasi-indonesia-2019-naik-484-dalam-5-tahun pada 2 Maret 2020

0

200

400

600

800

1000

2015 2016 2017 2018 2019

Dal

am T

riliu

n R

up

iah

Realisasi PMA dan PMDN Indonesiatahun 2015 - 2019

Sum of target Sum of realisasi

Page 23: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Dari segi sumbangsih terhadap PDB, jika dibandingkan dengan negara – negara

anggota ASEAN, porsi investasi terhadap PDB Indonesia merupakan salah satu yang terbaik.

Mengalahkan negara – negara yang memiliki iklim investasi lebih baik seperti negara

Singapura dan Vietnam.

48

Grafik 2 : Total Investment (% to GDP) ASEAN Countries. (Sumber : imf.org)

Dari data diatas nampak bahwa dalam kurun waktu 2015 – 2019, jika dibandingkan

dengan negara – negara ASEAN, sumbangsih Investasi terhadap GDP tidak pernah keluar

dari 3 peringkat teratas dari negara – negara ASEAN. Untuk tahun 2018, persentase

sumbangsih Investasi Indonesia terhadap GDP hanya lebih rendah dari Myanmar dan Brunei

Darussalam untuk tahun dan hanya lebih rendah dari Myanmar untuk tahun untuk proyeksi

tahun 2019.

Jika dilihat dari besaran Foreign direct investment inflow untuk tahun 2017 dan 2018,

Indonesia termasuk kedalam jajaran 20 negara tertinggi peneriman foreign dircet

investment.49 Lebih tinggi dibandingkan dengan negara – negara yang memiliki peringkat

investasi lebih tinggi, seperti Malaysia (12) dan Thailand (21).

48 Data untuk Negara Laos tidak tersedia di IMF – World Economic Outlook 49 United Nations. 2019. World Investment Report 2019. New York: United Nations Publications

0

5

10

15

20

25

30

35

40

2015 2016 2017 2018 2019

Dal

am P

erse

n

Axis Title

Total Investment (% to GDP)ASEAN Countries 2015 - 2019

Filipina. Indonesia. Malaysia. Singapura.

Thailand. Brunei Darussalam. Vietnam. Myanmar.

Kamboja. Laos.

Page 24: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Grafik 3 : Top 20 Penerima Foreign Direct Investment (FDI) 2017 dan 2018. (Sumber : United Nations 2019)

Dari data dan beberapa perbandingan antar waktu dan melakukan perbandingan

dengan beberapa negara – negara anggota ASEAN serta beberapa kelompok negara lainya,

maka bisa dikatakan kinerja Investasi Indonesia saat ini sudah cukup baik. Dari segi

Pertumbuhan Investasi, pertumbuhan realisasi Investasi Indonesia selalu diatas pertumbuhan

ekonomi Indonesia, kecuali untuk pertumbuhan investasi 2018. Dari segi porsi investasi

terhadap GDP, selama 2015 hingga 2019 porsi investasi terhadap GDP Indonesia jika

dibandingkan dengan negara – negara ASEAN, Indonesia secara konsisten selalu berada di 3

peringkat teratas. Dari segi penerimaan Foreign direct investment (FDI) untuk tahun 2017

dan 2018, Indonesia masuk kedalam top 20 penerima Foreign direct investment (FDI).

Meskipun dapat dikatakan cukup baik, terdapat beberapa catatan terkait kualitas kinerja

Investasi Indonesia. Bagaimana investasi tersebut dibelanjakan merupakan salah satu catatan

terkait kinerja investasi. Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri menyoroti terkait kualitas

Investasi Indonesia pada bagaimana investasi tersebut dibelanjakan. Beliau menjelaskan

Page 25: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

bahwasanya investasi lebih banyak dialirkan dalam bentuk bangunan. Sedangkan Investasi

kepada peralatan produksi dan mesin – mesin hanya berada pada kisaran 10%. Tentu hal ini

benar – benar menjadi masalah jika peningkatan investasi juga ditunjukan untuk peningkatan

pertumbuhan ekonomi, maka pertumbuhan produktivitas dari investasi yang dilakukan tidak

akan terlalu signifikan.

Hal yang harus diperhatikan adalah jika investasi lebih ditujukan untuk alat – alat

produksi langsung, maka secara sendirinya investor akan terus melakukan investasi secara

berkesinambungan, tentunya dengan asumsi bahwa faktor – faktor lain yang mempengaruhi

proses bisnis dan investasi dari lingkungan eksternal dan lingkungan internal dianggap

konstan. Ketika terjadi bottleneck50 dalam proses produksi misalnya, otomatis untuk

mengejar produktifitas yang lebih tinggi investor harus mengatasi keadaan bottleneck tersebut

dengan meningkatkan investasi minimal untuk mengatasi kesendatan tersebut. Maka dari itu,

memastikan kualitas belanja investasi juga merupakan hal yang penting untuk terus

diperhatikan, meskipun pada akhirnya belanja investasi ini menjadi ranah sektor privat

dimana negara tidak mampu memberikan intervensi secara langsung dalam pembuatan

keputusan tersebut.

Masalah – Masalah Terkait Investasi di Indonesia

Rancangan Omnibus Law cipta kerja yang diajukan oleh pemerintah secara subtantif

ditujukan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik. Beberapa ahli berpendapat

bahwa Investasi di Indonesia seringkali terhambat oleh birokrasi yang berbelit – belit dan

juga beberapa peraturan serta kebijakan yang tidak harmonis antar pemerintah pusat dan

daerah. Hal inilah yang ditenggarai menjadi sebab jebloknya peringkat kemudahan bisnis

yang dikeluarkan oleh World Bank pada laporanya yang bertajuk Easy of doing business

2020. Peringkat Indonesia jauh dibawah negara – negara Asia Tenggara lainya, seperti

Singapura ( peringkat 2), Malaysia(peringkat 12),Thailand (peringkat 21), Brunei Darussalam

(67) dan Vietnam (70)51.

Selain dua faktor tersebut, terdapat beberapa faktor lain yang dapat menghambat

investasi Indonesia. Executive Opinion Survey yang dilakukan pada World Economic Forum

50 Bottlenack adalah suatu kondisi dimana proses produksi mengalami performa yang kurang maksimal dikarenakan salah satu atau lebih alat atau alurproduksi memiliki kapasitas produksi yang lebih rendah dari pada alat atau alur produksi yang lain. 51 World Bank. 2017. Doing Business 2018 : Reforming to Create Jobs (English). Doing Business 2018. Washington, D.C. : World Bank Group.

Page 26: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

2017 menghasilkan beberapa faktor – faktor yang dianggap menjadi faktor penghambat

kegiatan Investasi Indonesia. Beberapa faktor tersebut diantaranya adalah :

Grafik 4 : Most problematic factors for doing business in Indonesia. (Sumber : World Economic Forum)

Berdasarkan hasil survey tersebut, korupsi dianggap menjadi faktor penghambat

utama dari kegiatan bisnis dan investasi di Indonesia. Korupsi dalam bentuk apapun menjadi

polusi bagi iklim investasi bagi Indonesia, terutama berkaitan dengan “biaya ekstra” yang

harus dikeluarkan oleh investasi. Biaya esktra yang dimaksud disini biasanya dalam bentuk

suap kepada pihak – pihak pemangku jabatan, dalam rangka mempercepat alur birokrasi dan

juga

Dari sisi perhitungan Return on Investment (RoI), korupsi merupakan salah faktor

perusak “ekosistem” sehingga seringkali RoI menjadi sulit untuk diprediksi. Return on

Investment (ROI) secara sederhana dapat dijelaskan sebagai perbandingan antara besaran

keuntungan yang diperoleh dengan besaran biaya investasi yang dikeluarkan. RoI biasa

digunakan sebagai evaluasi investasi dan perbandingan efisiensi dari beberapa alternatif

Investasi. Tentu sebagai evaluasi dan perbandingan, maka RoI yang digunakan dalam

keputusan bersifat prediksi. “Ekosistem” yang sehat dapat meningkatkan tingkat

prediktibilitas dari RoI, dimana kepastian arah kebijakan, stabilitas politik dalam negeri,

13.6

11.1

9.2 8.8 8.6

6.5 6.4 5.8 5.2 4.7 4.3 4 4 3.32.5 1.8

0

2

4

6

8

10

12

14

16

MOST PROBLEMATIC FACTORS FOR DOING BUSINESS IN INDONESIA

E X E C U T I V E O P I N I O N S U R V E Y 2 0 1 7 B Y W O R L D E C O N O M I C F O R U M

Page 27: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

keamanan dan juga kepastian penegakan hukum dalam suatu negara menjadi faktor

pendukung untuk terbentuknya ekosistem yang sehat ini. Namun, korupsi dapat menjadi

polusi bagi ekosistem yang sehat ini. Sehingga seringkali negara dengan tingkat korupsi yang

tinggi, RoI menjadi suatu hal yang sangat sulit untuk diprediksi. Semakin sulit untuk

memprediksi RoI, maka kecil kemungkinan investor mau melakukan investasi disebuah

negara. Maka, sudah barang tentu pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas utama.

Berangkat dari hasil survey diatas ataupun konteks ekosistem yang dapat

mempengaruhi keputusan investor dalam berinvestasi, maka sudah selayaknya

pemberantasan korupsi menjadi salah satu fokus utama pemerintah jika memang ingin

membentuk suatu iklim investasi yang baik dan pada akhirnya akan bermuara pada daya

saing investasi yang akan semakin baik. Namun, jika melihat beberapa waktu kebelakang,

nampaknya pemberantasan korupsi bukanlah hal yang dianggap penting oleh pemerintah.

Pelemahan KPK melalui revisi Undang – undang KPK dan beberapa kebijakan yang diambil

oleh pemerintah yang oleh para ahli justru dianggap sebagai kemunduran dalam

pemberantasan korupsi. Nampaknya peningkatan pemberantasan korupsi bukan “cost” yang

dipilih oleh pemerintah untuk dapat meningkatkan investasi di Indonesia.

Inefisiensi birokrasi menjadi faktor kedua penghambat kegiatan bisnis dan investasi di

Indonesia. Alur yang berbelit, tumpah tindih aturan dan sederat aturan lainya dianggap

sebagai penghambat Investasi di Indonesia. Hal ini tercermin dalam Index inefisiensi

birokarsi dalam

Page 28: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Grafik 5 : Index infisiensi Birokrasi : Negara anggota ASEAN. (Sumber :World Economic Forum)

Kurva diatas menunjukan index inefficient birokrasi dari negara – negara ASEAN.

Rentang yang digunakan adalah 0 sampai dengan 30, dimana semakin besar maka birokrasi

suatu pemerintahan semakin tidak efisien. Adapun efisiensi birokrasi pemerintahan merujuk

pada sejauh mana pemerintah dapat melaksanakan program – program pembangunan secara

efisien. Efisien birokrasi pemerintahah juga mengacu pada bagaimana dan seberapa cepat

investor mendapatkan lisensi dan juga hal – hal lain yang berkaitan dengan persyaratan

birokrasi lainya.

Dalam kurun waktu 2008 hingga 2017, terjadi peningkatan efisiensi pada birokrasi

pemerintah Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut, terjadi perbaikan dari segi efisiensi

Pemerintah52. Memang, jika dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainya,

peningkatan efisiensi ini belum mampu meningkatkan daya saing secara signifikan.

Mantan Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) kabinet

Indonesia Maju, Asnan Abnur menjelaskan setidaknya terdapat 6 penyakit birokrasi di

52 World Bank Group. 2020. World Development Indicators Diakses melalui http://datatopics.worldbank.org/world-development-indicators pada 3 Maret 2020

0

5

10

15

20

25

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Index inefisiensi Birokrasi

Filipina Brunei Darusalam Thailand Indonesia

Malaysia Kamboja Laos Vietnam

Singapura Myanmar

Page 29: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Indonesia53. Permasalahan pertama adalah kebanyakan pemerintah daerah memiliki porsi

belanja operasional kebutuhan internal lebih besar dari pada kebutuhan publik. Hal ini

mengakibatkan pelayanan publik yang diberikan menjadi kurang optimal. Permasalahan

kedua adalah maraknya pejabat daerah yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK,

permasalahan terkait dengan inefisiensi dan infektivitas pembangunan, permasalahan terkait

dengan kualitas ASN yang dianggap belum mampu membantu kinerja pemerintah secara

optimal, lalu masalah terkait dengan ukuran organisasi dari pemerintah pusat dan pemerintah

daerah.

Dari keenam penyakit ini, birokrasi Indonesia menjadi begitu berbelit – berbelit.

Belum lagi masalah tumpang tindih aturan, baik itu aturan pusat dengan aturan daerah

ataupaun aturan setingkat yang mengatur bidang – bidang yang berbeda. Untuk mengatasi

masalah ini, Pemerintah mengajukan Omnibus Law sebagai “obat” untuk menjadikan

birokrasi Indonesia menjadi lebih efisien dan lebih “nendang”.

Namun, alih – alih mengajukan rancangan undang – undang yang dapat menjadi

payung hukum bagi kebijakan yang dapat memotong “penyakit – penyakit” ini guna

mendorong efisiensi birokrasi baik ditingkat pusat maupun daerah, Omnibus law justru

diajukan untuk mengembalikan sentralisasi kebijakan di pemerintahan pusat.

Dalam Pasal 170 RUU Omnibus Law disebutkan bahwa (1) Dalam rangka percepatan

pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana di maksud dalam Pasal 4 ayat (1),

berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam

Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah

dalam Undang-Undang ini. (2) Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dengan Peraturan Pemerintah. (3) Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan

Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia.

Jika aturan ini sampai disahkan, dalam analisis kami justru akan menimbulkan

masalah baru dalam berbagai dimensi dan berbagai sektor. Dalam hal tumpang tindih rencana

pembangunan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dalam konteks

pembangunan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memang mengacu pada

53 Kumparan. 2018. Menteri PAN-RB: Ada 6 Penyakit Birokrasi di Indonesia (2018). Diakses melalui https://kumparan.com/langkanid/menteri-pan-rb-ada-6-penyakit-birokrasi-di-indonesia pada 3 Maret 2020

Page 30: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Rencana Pembangunan Nasional, baik itu Rencana pembangunan Nasional Jangka Panjang

Nasional (RPJPN), maupun Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menenangah Nasional

(RPJMN). Namun yang harus diingat adalah acuan – acuan yang disediakan dalam Rencana

pembangunan ini adalah acuan – acuan yang bersifat umum, dimana tehnis kebijakan –

kebijakan yang disusun harus menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi aktual, baik itu

pada tataran pemerintahan pusat maupun pada tataran Pemerintah Daerah. Maka,

kemungkinan ketidaksinkronan kebijkan dalam tataran tehnis antara pemerintahan pusat

antara pemerintahan daerah sangat mungkin terjadi.

Dari segi perampingan birokrasi dan juga perampingan aturan yang merupakan salah

satu fokus dari RUU Omnibus Law, namun alih – alih dapat melakukan perampingan

tersebut, dalam analisis kami RUU Omnibus Law justru dapat menyebabkan komplesitas

yang lebih rumit dan suatu keadaan yang disebut sebagai hyper – regulated. Hal ini tercermin

RUU Omnibus Law cipta kerja yang mensyaratkan kisaran 465 aturan turunan54.

Alih – alih memilih untuk meningkatkan pemberantasan korupsi dan meningkatkan efisiensi

birokrasi sesuai dengan semangat desentralisasi melalui omnibus law, nampaknya pemerintah

lebih memilih buruh sebagai cost dari peningkatan Investasi ini. Narasi – narasi bahwa buruh

adalah “momok” utama dari investasi digaungkan oleh para elit, yang mana narasi – narasi

ini bermuara pada RUU Omnibus Law Cipta kerja yang benar – benar mereduksi hak – hak

buruh dan “menumbalkan” buruh.

Omnibus Law Cipta Kerja dan Ketenagakerjaan

Perluasan pembukaan lapangan pekerjaan akibat dari peningkatan investasi

merupakan salah satu alasan utama dan logika utama yang coba dibangun oleh pemerintah

untuk meloloskan RUU Omnibus Law ini. Memang, perluasan Investasi – terutama direct

investment – berkorelasi positif dengan pembukaan lapangan pekerjaan, terutama investasi

yang bersifat langsung, baik itu pada sektor manufaktur, jasa, agrikultur dan berbagai sektor

lainya. Hal inilah yang menjadi peluru bagi pemerintah untuk membangun kesadaran kolektif

bahwa RUU Omnibus Law memang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi dan juga

perluasaan pembukaan lapangan pekerjaan. Namun, melihat lebih jauh, semangat

54 Dilihat dari berbagai pasal dalam RUU Omnibus Law yang memandatkan untuk membentuk aturan turunan

Page 31: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

perlindungan dan peningkatan kesehjatraan buruh nampaknya bukan menjadi semangat

utama dari RUU Omnibus Law.

Ketenagakerjaan di Indonesia

Dalam UU No 13 Tahun 2013 Bab 1 Pasal 1 ayat (1), Ketenagakerjaan adalah segala

hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa

kerja dan yang dimaksud dengan tenaga kerja berdasarkan Pasal 1 ayat (4) adalah Tenaga

kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang

dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Berangkat

dari Pasal tersebut, ketika kita membicarakan masalah terkait tenaga kerja, seharusnya kita

tidak hanya berfokus pada pembukaan lapangan pekerjaan. Tapi juga harus memperhatikan

bagaimana hak – hak pekerja tersebut selama bekerja, melihat bagaimana instrumen –

instrumen yang digunakan untuk memperluas lapangan pekerjaan dan juga hingga melihat

bagaimana kondisi pekerja tersebut setelah usai bekerja dari tempat ia bekerja.

Melihat kondisi tenaga kerja tentu harus melihat seberapa besar partisipasi dan akses

mereka terhadap lini – lini pekerjaan, yang secara makro dapat tergambar dari tingkat

persentase pengangguran. Kedua variabel ini memiliki korelasi negatif, yaitu ketika tingkat

pengangguran semakin rendah, maka tingkat partisipasi tenaga kerja terhadap sektor – sektor

pekerjaan semakin tinggi. Maka, perluasan tenaga kerja dapat dilihaat dari salah satunya

adalah bagaimana pemerintah mampu menurunkan tingkat pengangguran.

Page 32: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Grafik 1: Jumlah dan tingkat Pengangguran Indonesia tahun 1998 - 2019, Sumber : katada.co.id

Dari gambar diatas, terlihat bahwa telah terjadi perbaikan akses dan partisipasi tenaga

kerja terhadap lini – lini pekerjaan. Hal ini ditandai persentase pengangguran yang selalu

menurun tiap tahunya. Bahkan, per februari 2019 merupakan tingkat pengangguran terendah

sejak tahun 1998. Memang secara jumlah, jumlah pengangguran per 31 desember 2001 masih

lebih rendah dari pada jumlah pengangguran per februari 2019. Namun hal yang harus

diperhatikan lebih lanjut adalah bahwasanya penurunan persentase penganguran ini dibarengi

dengan kenaikan tingkat angkatan kerja setiap tahunya.

Dilihat dari jenis lapangan pekerjaan, Struktur penduduk bekerja menurut lapangan

pekerjaan pada Februari 2019 masih didominasi oleh tiga lapangan pekerjaan utama, yaitu:

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar 29,46 persen; Perdagangan sebesar 18,92

persen; dan Industri Pengolahan sebesar 14,09 persen. Berdasarkan tren lapangan pekerjaan

Page 33: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

selama Februari 2018–Februari 2019, lapangan usaha yang mengalami peningkatan

persentase penduduk yang bekerja terutama pada Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum

(0,43 persen poin), Perdagangan (0,39 persen poin), dan Konstruksi (0,34 persen poin).

Sementara lapangan pekerjaan yang mengalami penurunan utamanya pada Pertanian (1,00

persen poin); Administrasi Pemerintahan (0,23 persen poin); serta Informasi dan Komunikasi

(0,06 persen poin).55

Omnibus law dan Penciptaan Lapangan Pekerjaan

Secara subtansial, Omnibus law merupakan instrumen hukum yang diajukan oleh

pemerintah dengan tujuaan untuk menggenjot Investasi di Indonesia. Omnibus ini akan

merubah semua undang – undang tematik yang dianggap mampu menghalangi Investasi di

Indonesia. Aturan didalamnya terdiri dari sebelas klaster yang salah satunya adalah fokus

terkait dengan tenaga kerja dan pembukaan lapangan pekerjaan.

Tidak bisa dipungkuri, investasi memang memiliki peran penting bagi per ekonomian

Indonesia. Dan jelas, tujuan kajian ini disusun adalah bukan untuk menegasikan peran

investasi terhadap per ekonomian Indonesia. Investasi memiliki peran yang besar bagi

perekonomian Indonesia, yang salah satunya tercermin dari porsi investasi terhadap produk

domestik bruto (PDB). Investasi juga tentunya akan mampu menyerap tenaga kerja, orang –

perorang dan tentunya akan membuka lapangan pekerjaan baru. Juga terhadap efek multiplier

yang akan dibawa oleh kegiatan investasi tersebut. Namun, poin masalah utama dalam

Omnibus Law ini adalah “trade off” yang dipilih pemerintah untuk meningkatkan kinerja

investasi.

Narasi yang terus dibangun oleh pemerintah adalah bahwa begitu buruknya Kinerja

investasi Indonesia. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwasanya Investasi Indonesia

justru masuk kedalam top 20 penerima Foreign direct investment (FDI)56, juga porsi investasi

terhadap PDB dibandingkan dengan negara – negara ASEAN juga merupakan salah satu

yang paling tinggi. Pemerintah benar – benar berusaha keras untuk membangun kesadaran

kolektif bahwasanya investasi harus terus menerus digenjot, tidak peduli apapun “cost” yang

harus dikeluarkan untuk penggenjotan ini.

55 Midayanti, Nurma. Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2019. Berita Resmi Statistik No. 41/05/Th. XXII, 56 United Nations. 2019. World Investment Report 2019. New York: United Nations Publications

Page 34: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Untuk melanggengkan “nafsu” pemerintah ini, sekali lagi demi membangun

kesadaran kolektif tentang butuhnya investasi, dilempar wacana bahwasanya dengan

disahkanya “Kado” ini, akan terbuka lapangan pekerjaan yang semakin luas, penurunan

pengangguran, hingga pertumbuhan ekonomi yang akan meroket. Namun, pada kenyataanya,

dalam Omnibus Law banyak sekali aturan – aturan yang justru mereduksi hak buruh dan

sama sekali tidak memperhatikan kesehjatraan buruh. Mungkin, memang buruh yang

dijadikan “trade off” oleh pemerintah untuk meningkatkan investasi.

Menumbalkan Buruh

Seperti yang sudah dibahas pada segmen investasi, dua pokok permasalahan utama

yang menghambat investasi Indonesia menurut survey yang dilakukan pada World Economic

Forum 2017 adalah terkait dengan permasalahan Korupsi dan birokrasi57. Sedangkan faktor

terkait dengan tenaga kerja yang menjadi penghambat berdasarkan survey tersebut adalah

etos kerja (faktor penghambat ke 8), kurangnya tenaga kerja terampil (faktor penghambat ke

11) dan terkait dengan terbatasnya peraturan tenaga kerja (faktor penghambat ke 13). Namun,

alih – alih memfokuskan untuk mengatasi faktor – fakto penghambat diatasnya, pemerintah

lewat Omnibus Law justru memilih “menumbalkan” hak – hak tenaga kerja.

Outsourcing dan Kontrak Kerja

“Perluasan dan pelegalan” sistem outsourcing merupakan salah satu permasalahan

utama dalam RUU Cipta Kerja. Outsourcing atau alih daya secara sederhana dapat disebut

sebagai suatu sistem mengenai penyediaan tenaga kerja oleh pihak ketiga diluar perusahaan.

pekerja – pekerja outsourcing secara legal bukan merupakan bagian dari Perusahaan tempat

dia bekerja, tapi merupakan bagian dari pihak penyedia Outsourcing tersebut.

Meningkatnya fleksibilitas hubungan antara buruh sebagai tenaga kerja dan pemberi

kerja, lalu terkait dengan pemotongan gaji karyawan sebagai “insentif” kepada penyedian

layanan outsourcing adalah beberapa dampak yang akan muncul dari sistem outsourcing.

Untuk alasan kedua, sudah sangat jelas kenapa buruh menolak sistem ini. Gaji hasil

keringatnya dipotong sekian persen oleh pihak outsourcing, bahkan terdapat kondisi dimana

57 Browne, C., A. Di Batista, T. Geiger, and S. Verin. 2016. “The Executive Opinion Survey: The Voice of the Business Community.” The Global Competitiveness Report 2016–2017. Geneva: World Economic Forum.

Page 35: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

pihak outsourcing tidak transparan terkait dengan pemotongan tersebut. Selain pemotongan

gaji, peningkatan fleksibelat kerja ini yang mana akan sejalan dengan semakin mudahnya

pemutusan hubungan kerja. Berdasarkan alasan ini dan beberapa dampak lain yang sangat

potensial muncul akibat diterapkanya outsourcing, sudah sangat jelas buruh menolak sistem

ini.

Terkait dengan outsourcing, yang menjadi pokok permasalahan dalam RUU Cipta

Kerja adalah alih – alih menghapuskan sistem outsourcing, namun dalam RUU Cipta Kerja

justru terdapat aturan yang melegalkan perluasan bidang – bidang pekerjaan yang dapat

menggunakan sistem ini. Outsourcing yang semula hanya untuk 5 jenis pekerjaan penunjang,

seperti keamanan, catering, transportasi, kebersihan dan pertambangan, namun Pasal yang

membatasi jenis pekerjaan ini justru dihapuskan dalam RUU Cipta Kerja. Adapun pasasl

yang dimaksud adalah pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2013 yang berbunyi Pekerja/buruh dari

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk

melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses

produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan

langsung dengan proses produksi." Dengan dihilangkannya ketentuan ini, maka outsourcing

bisa dilakukan bebas di semua jenis pekerjaan.

Selain perluasan sistem outsourcing, masalah kontrak kerja juga akan menjadi

masalah lanjutan apabila RUU Cipta Kerja disahkan. Hal ini diindikasikan dari RUU Cipta

Kerja yang menghapuskan Pasal 59 dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. Pasal 59 ayat 1 berbunyi "Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat

dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan

selesai dalam waktu tertentu...." Ayat 4 menegaskan "Perjanjian kerja waktu tertentu yang

didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan

hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun."

Dengan dihapuskanya pasal tersebut, maka perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk

mengangkat seorang pegawai yang telah bekerja sampai dengan batas waktu tertentu yang

mana dalam UU nomer 13 tahun 2003 ditegaksan bahwa Pekerja Kontrak paling lama adalah

2 tahun dengan waktu perpanjangan maksimal 1 tahun. Lantas apa yang menjadi masalah ?

Page 36: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

ketika buruh masih menjadi pegawai kontrak, bergain positioning buruh akan menjadi sangat

lemah dan rentah akan eksploitasi oleh para pemberi kerja. Misal, saat sekumpulan pegawai

kontrak memutuskan untuk menuntut hak nya, maka dengan mudahnya Pemberi kerja untuk

memutuskan kontrak buruh tersebut atau dengan cara tidak memperpanjang kontrak buruh

tersebut. Namun, apabila ketika seorang buruh menjadi pegawai tetap, buruh – buruh ini

memiliki positioning untuk menuntut hak – hak nya.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Pesangon

Terkait dengan pemutusan hubungan kerja (PHK), dalam Pasal 156 UU 13/2003

diatur bahwa pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa

kerja dan uang penggantian hak jika terjadi PHK, Sementara dalam RUU Cipta kerja, uang

penggantian hak dihapus. Bunyi pasal itu berubah jadi, "dalam hal terjadi pemutusan

hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa

kerja."

Uang penggantian hak yang dihapus tersebut meliputi cuti tahunan yang belum

diambil dan belum gugur, biaya atau ongkos pulang pekerja dan keluarganya ke tempat

mereka diterima bekerja, penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan, dan hal-

hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau perjanjian bersama.

Yang Harus Sejahtera Bukan Hanya Investor, tapi Buruh Juga

Peraturan terkait dengan upah tertulis pada pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan,

yang mana prinsip/konsep pengupahan diarahkan untuk melindungi buruh/pekerja demi

kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sementara konsep pengupahan dalam RUU Cipta

Kerja didasarkan pada kesepakatan atau peraturan perundang-undangan baik upah minimum

provinsi/kabupaten/kota yang ditetapkan oleh gubernur ataupun kebijakan pengupahan

nasional yang ditetapkan pemerintah pusat melalui peraturan pemerintah (PP).

Namun, alih – alih memastikan buruh mendapatkan kehidupan yang layak,

Pemerintah melalui Omnibus Law justru mendasarkan sistem penggajian melalui Upah

Minimum Provinsi yang mana kurang relevan dan tidak sesuai dengan kebutuhan kehidupan

layak untuk tiap – tiap regional dalam Wilayah Propinsi tersebut. Sebagaimana diatur dalam

pasal 88C draft RUU yang berbunyi, "Gubernur menetapkan UMP yang wajib dibayar

pengusaha kepada pekerja". Konsekuensi dari pasal ini adalah penghapusan UMK dan

penghapusan upah minimum sektoral. Dengan kata lain, aturan ini memungkinkan skema

Page 37: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

pengupahan dengan meniadakan upah minimum kabupaten/kota (UMK), upah minimum

sektoral kabupaten/kota (UMSK), dan menjadikan UMP sebagai satu-satunya acuan besaran

nilai gaji.

Berangkat dari UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 88 ayat (1)

yang berbunyi “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, lalu pasal 88 ayat (2) yang berbunyi “Untuk

mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang

melindungi pekerja/buruh” serta pasal 89 ayat (2) yang berbunyi “Upah minimum

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup

layak”, dapat ditarik kesimpulan bahwa upah yang merupakan hak pekerja disesuaikan untuk

dengan kebutuhan hidup layak yang kemudian diatur dalam kebijakan pemerintah dalam

bentuk upah minimum yang kemudian diatur dalam Pasal 89 ayat (1) dimana upah minimum

dapat berupa upah minimum provinsi atau juga dapat berupa upah minimum sektoral provinsi

atau kabupaten. Maka, sudah jelas bahwasanya Upah Minimum Regional (UMR) yang

beragam mencerminkan besaran kebutuhan hidup layak (KHL) dari setiap daerahnya.

Perbedaan Upah Minimum Regional seperti yang sudah disebutkan diatas merupakan salah

satu indikator bahwasanya begitu beragamnya tingkat kebutuhan hidup layak tiap daerahnya.

Jika semangat pengaturan upah minimum untuk memastikan bahwa upah yang diperoleh oleh

buruh dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) maka benar – benar tidak relevan

ketika Omnibus Law memusatkan pemutusan besaran upah minimum pada tingkat gubernur,

yang mana akan tercermin dalam Upah minimum Provinsi. Ditambah lagi fakta bahwasanya

Upah minimum Provinsi dibeberapa provinsi bahkan lebih kecil dari pada Upah Minimum

Regional (UMR) kabupaten/kota di provinsi tersebut.

Page 38: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Grafik 2 : Perbandingan UMP dan UMR terendah di Provinsi bersangkutan pada Provinsi di Pulau

Jawa

Grafik diatas menunjukan beseran Upah Minimum Provinsi (UMP) dengan Upah

minimum Kabupaten/Kota (UMK) terendah untuk tiap – tiap provinsi dengan perbandingan

antara UMP dan UMK provinsi di Jawa.

Dari grafik tersebut, terlihat bahwa dari 6 provinsi, kecuali DKI Jakarta, hanya Upah

minimum Provinsi Jawa Timur yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Upah Minimum

Kabupaten terendah diprovinsi tersebut, yaitu Kabaputen Banjarnegara. Jelas jika peraturan

ini sampai disahkan, akan banyak sekali menimbulkan masalah bagi para Buruh. Jika

dibandingkan dengan daerah – daerah yang memiliki tingkat UMR terendah saja masih lebih

tinggi UMR, maka penetapan UMP sebagai acuan upah buruh akan sangat – sangat

menyengsarakan para buruh.

Fakta bahwa UMP kebanyakan lebih rendah dari pada UMR dan Omnibus Law secara

lebih lanjut mengatur bahwa UMP menjadi acuan minimum untuk upah yang dibayarkan oleh

pemberi kerja menjadi indikasi kuat bahwasanya pembuatan aturan ini sama sekali tidak

memperhatikan kesehjatraan buruh, minimal dapat memastikan upah yang didapatkan oleh

buruh dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) dari buruh tersebut.

Selain itu, RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan larangan pengusaha membayar upah lebih

rendah atau di bawah upah minimum dan mekanisme penangguhan pembayaran upah

4276349

1748000

1705000

2710654

1913312

1831884

4276349

1742015

1704607

2460968

1768777

1810350

DKI Jakarta

Kab Banjarnegara

Kab Gunungkidul

Kab Lebak

Kab Situbondo

Kota Banjar

Dal

am R

up

iah

Upah Minimum Kabupaten/Kota Upah Minimum Provinsi

Page 39: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

minimum, termasuk menghapus sanksi denda dengan persentase tertentu dari upah pekerja,

jika pengusaha terlambat membayar upah karena sengaja atau lalai. RUU ini juga disinyalir

memangkas beberapa hak upah karena cuti pekerja/buruh ketika tidak masuk kerja dalam

kondisi tertentu yang dalam Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan upahnya tetap wajib

dibayar perusahaan. Namun, dalam Pasal 93 RUU Cipta Kerja, seperti pekerja yang sedang

haid, melahirkan, menikah, menjalankan perintah agama, dan lainnya seolah tidak lagi

dibayar upahnya.

Lebih dalam lagi, dari sisi sosiologis terdapat dua kepentingan yang sangat berbeda

antara pemberi kerja dengan pekerja dalam hal upah. Bagi pemberi kerja, upah diusahakan

serendah mungkin guna menurunkan ongkos produksi. Namun bagi para pekerja, upah

merupakan sumber pendapatan dan penghidupan, sehingga sudah seharusnya setiap pekerja

untuk mendapatkan upah yang seminimal – minimalnya mampu memenuhi kebutuhan yang

mana pemerintah dapat melakukan intervensi melalui mekanisme upah minimum dan aturan

terkait untuk tidak memberikan upah dibawah upah minimum. Namun, nampaknya terkait

dengan kesehjatraan dan kepastian hidup layak para tidak menjadi pertimbangan dalam RUU

Omnibus Law Cipta Kerja. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari dua hal, pertama terkait

dengan penetapan gaji minimum oleh gubernur yang mana seperti sudah dijelaskan diatas

dapat dikatakan tidak relevan dan terkait dengan penghapusan peraturan yang mengharuskan

pemberi kerja untuk memberikan upah diatas upah minimum.

Penghapusan Prinsip Nirlaba Perguruan Tinggi

Salah satu hal yang menjadi catatan kritis terhadap RUU Cipta Kerja dalam tajuk

omnibus law adalah hilangnya prinsip nirlaba di perguruan tinggi. Hal ini dapat dilihat dari

segmen pendidikan dan kebudayaan yang berada di pasal 67. Pasal ini mengubah ketentuan

dalam pasal 63 UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang semula berbunyi

“otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip:

a. Akuntabilitas

b. Transparansi

c. Nirlaba

d. Penjaminan mutu, dan

e. Efektivitas dan efisiensi”

Page 40: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Sementara dalam Draft RUU Cipta Kerja yang disebar oleh pemerintah, pasal ini berubah

dengan sebagai berikut

“otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip:

a. Akuntabilitas

b. Transparansi

c. Penjaminan mutu, dan

d. Efektivitas dan efisiensi”

Dalam hal ini, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi telah memberikan

definisi otentik terhadap prinsip nirlaba yang merupakan prinsip kegiatan yang tujuannya

tidak untuk mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan

kembali ke Perguran Tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan

pendidikan.

Dalam hal ini, Perguran Tinggi sebagai organisasi nirlaba, tentu berbeda dengan

organisasi laba yang memiliki tujuan yang hendak dicapai berupa keuntungan yang

maksimal. Sementara organisasi nirlaba, wujud tercapainya tujuan bukan diukur dari masala

finansial, tetapi lebih pada manfaat yang diperoleh bagi komunitas yang membutuhkan

organisasi nirlaba tersebut.58

Menurut Bambang Suryono, organisasi nirlaba memiliki karakteristik yaitu (1) tidak

adanya pengukuran laba, dalam hal ini yang membedakan antara organisasi laba dan

organisasi nirlaba merupakan orientasi pencarian keuntungan; (2) tidak selalu bergantung

pada kekuatan pasar, dalam hal ini organisasi laba harus bertindak dalam batas penawaran

dan permintaan yang diciptakan pasar, semakin banyaknya klien yang menyukai produknya

maka semakin besar keuntungannya. Sementara organisasi nirlaba tidak bergantung pada

permintaan pasar, maka dalam hal ini tidak ada hubungan antara banyaknya klien dengan

suksesnya organisasi; (3) ketiadaan komparatif pertanggung jawaban, dalam hal ini

organisasi laba selalu mempertimbangkan setiap usul para pemilik atau krediturnya, hal ini

didasarkan agar setiap tindakan yang dilakukan organisasi sesuai dengan kepentingan para

pemiliknya. Berbeda dengan organisasi nirlaba yang dalam hal ini mementingkan manfaat

58 Bambang Suryono. 1999. Organisasi Nirlaba: Karakteristik dan Pelaporan Keuangan Organisasi. Jurnal Ekuitas Vol. 3, NO. 2, Juni 1999., hlm. 78

Page 41: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

kepada masyarakat, maka pertanggungjawabannya tidak melulu harus sesuai dengan

kepentingan keuntungan yang diperolehnya.59

Dalam konteks penghapusan prinsip nirlaba dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang

Pendidikan Tinggi semakin menunjukan bahwa pendidikan di Indonesia semakin terjerat

sistem kapitalisme. Hal ini semakin membuat pendidikan tinggi menjadi wahana

komersialisasi yang malah mendekati ciri organisasi laba dimana dengan semakin mudahnya

investor masuk lewat sektor pendidikan tinggi, semakin memperlihatkan bahwa terjadi

komparatif pertanggungjawaban antara penyelenggara pendidikan tinggi dengan para calon

investor.

Bukan suatu hal yang aneh bilamana kita menelisik bahwa Indonesia sebagai negara yang

menandatangani perjanjian WTO menjadikan sektor pendidikan sebagai suatu hal yang dapat

diprivatisasi dan diliberalisasi. Hal ini tentu mengingatkan kita pada polemik Perguruan

Tinggi Negeri Badan Hukum yang masih menjadi sorotan terhadap celah privatisasi dan

liberalisasi pendidikan tinggi.

Praktik privatisasi dikatakan sebagai proses gradual untuk mentransformasikan metode

pengelolaan BUMN dan kekayaan publik lainnya agara dapat secara sehat berkompetisi

dengan pihak swasta. Mentranformasikan berarti menyerahkan pengelolaan BUMN yang

semula dipegang oleh negara kepada pihak perseorangan.60 Sementara proses liberalisasi

menunjuk pada penyelenggaraan pendidikan sudah merujuk pada sistem pasar bebas, artinya

pendidikan tidak dikatakan sebagai hak yang wajib dipenuhi oleh Pemerintah Negara namun

menjadi barang komoditas yang diperjual belikan. Hal ini sangat gamblang terlihat ketika

pemerintah mengeluarkan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang kemudian

disusul oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 76 dan 77 tahun 2007 yang

menyatakan bahwa pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi penanaman modal asing

maksimal sampai 49%.61 Masyarakat pun beramai-ramai mengajukan permohonan uji

materiil/Judicial Review UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan kepada

Mahkamah Konstitusi dikarenakan dianggap tidak sesuai dengan amanat UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi pun mengabulkan permohonan

tersebut dan menyatakan bahwa UU tersebut batal demi hukum.

59 Ibid., 60 Darmaningtyas dkk.2014. Melawan Liberalisme Pendidikan. Malang: Madani., hlm. 37 61 Ibid.,

Page 42: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Pasca dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, Pemerintah membentuk UU No. 12 Tahun

2012 tentang Pendidikan Tinggi yang secara substansif tidak jauh berbeda dengan UU BHP.

Juga menyusul PP No. 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan

Tinggi Badan Hukum. Hal ini menyiratkan bahwa PTNBHMN hanya ganti baju menjadi

PTN-BH, hal ini juga yang menyebabkan masih adanya PTN yang berlabel Badan Hukum

artinya dikatakan sebagai subjek hukum mandiri yang dapat melakukan perbuatan hukum

secara bertanggung jawab.

Hal ini memperlihatkan terkait dengan substansi daripada UU Nomor 12 Tahun 2012

tentang Pendidikan Tinggi masih meninggalkan polemik mengenai celah privatisasi dan

liberalisasi pendidikan tinggi. Bukannya membenahi permasalahan, pemerintah malah

semakin menunjukan keberpihakannya kepada investor dengan kembali mengubah substansi

UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menjadi lebih parah, yaitu meniadakan

prinsip nirlaba para perguran tinggi dengan dalih meningkatkan tingkat perekonomian

negara.

Pendidikan memiliki tugas pokok tuntuk mempreservasi, mentransfer, dan

mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya. Tugas tersebut kemudian

dijadikan amanat sederhana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 untuk

‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Upaya untuk menjadikan pendidikan sebagai komoditas

yang diatur dan disesuaikan dengan kepentingan investor tentu semakin memperlihatkan gap

antara tujuan pendidikan dengan tindakan yang diperlihatkan pemerintah dalam mencapai

tujuan pendidikan itu sendiri.

Pentingnya AMDAL

Menurut Michael Allaby, lingkungan hidup sebagai “the phsycal, chemical and biotic

condition surrounding and organism” (lingkungan fisik, kimia, kondisi masyarakat

sekelilingnya dan organisme hidup). Dalam kamus hukum, lingkungan hidup diartikan

sebagai, “the totally of phsycal, economic, cultural, aesthetic and social cirscumstances and

factors wich surround and affect the desirability and value at poperty and which also effect

the quality of peoples lives” (Keseluruhan lingkungan fisik, ekonomi, budaya, kesenian dan

lingkugan sosial serta beberapa faktor di sekeliling yang memengaruhi niliai kepemilikan dan

Page 43: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

kualitas kehidupan masyarakat).62 Salah satu instrument konkrit pengelolaan lingkungan

hidup adalah izin. Sebagai instrument pengelolaan sumber daya lingkungan hidup, izin

lingkungan mempunyai kedudukan penting. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU-PPLH) izin lingkungan merupakan integrasi dari

berbagai izin yang sebelum terpisah.

Dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UU-PPLH) terdapat 2 (dua) jenis izin yakni; pertama, izin lingkungan adalah izin

yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib

amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai

prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 35). Kedua, izin

usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan

usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 36). Izin merupakan alat pemerintah yang bersifat

yuridis preventif, dan digunakan sebagai instrument administrasi untuk mengendalikan

perilaku masyarakat. Karena itu, sifat suatu izin adalah preventif, karena dalam instrument

izin, tidak bisa dilepaskan dengan perintah dan kewajiban yang harus ditaati oleh pemegang

izin.63 Selain itu, fungsi izin adalah represif. Izin dapat berfungsi sebagai instrument untuk

menanggulangi masalah lingkungan disebabkan aktivitas manusia yang melekat dengan dasar

perizinan. Artinya, suatu usaha yang memperoleh izin atas pengelolaan lingkungan, dibebani

kewajiban untuk melakukan penanggulangan pencemaran atau perusakan lingkungan yang

timbul dari aktivitas usahanya.

Salah satu izin yang ada di Indonesia adalah, AMDAL. Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan (AMDAL) pertama kali diperkenalkan pada tahun oleh National Environmental

Policy Act di Amerika Serikat. Menurut UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan Hidup, AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha

dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses

pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

62 Hendri Campbell. 1991. Blach’s Law Dictionary. St. Paul Minn: West Publishing Co., hlm. 369. 63 Siahaan N.H.T. 2009. Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancuran Alam., hlm. 239.

Page 44: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Bentuk hasil kajian AMDAL berupa dokumen AMDAL terdiri dari lima dokumen,

yaitu:64

1. Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KAAMDAL). KA-

AMDAL adalah suatu dokumen yang berisi tentang ruang lingkup serta kedalaman

kajian AMDAL. Ruang lingkup kajian AMDAL meliputi penentuan dampak-dampak

penting yang akan dikaji secara lebih mendalam dalam AMDAL dan batas-batas studi

AMDAL, sedangkan kedalaman studi berkaitan dengan penentuan metodologi yang

akan digunakan untuk mengkaji dampak. Penentuan ruang lingkup dan kedalaman

kajian ini merupakan kesepakatan antara Pemrakarsa Kegiatan dan Komisi Penilai

AMDAL melalui proses yang disebut dengan proses pelingkupan.

2. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). AMDAL adalah dokumen

yang berisi telaahan secara cermat terhadap dampak penting dari suatu rencana

kegiatan. Dampak-dampak penting yang telah diidentifikasi di dalam dokumen

KAAMDAL kemudian ditelaah secara lebih cermat dengan menggunakan metodologi

yang telah disepakati. Telaah ini bertujuan untuk menentukan besaran dampak.

Setelah besaran dampak diketahui, selanjutnya dilakukan penentuan sifat penting

dampak dengan cara membandingkan besaran dampak terhadap kriteria dampak

penting yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Tahap kajian selanjutnya adalah

evaluasi terhadap keterkaitan antara dampak yang satu dengan yang lainnya. Evaluasi

dampak ini bertujuan untuk menentukan dasardasar pengelolaan dampak yang akan

dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif.

3. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL). Mengendalikan dan

menanggulangi dampak penting lingkungan hidup yang bersifat negatif serta

memaksimalkan dampak positif yang terjadi akibat rencana suatu kegiatan. Upaya-

upaya tersebut dirumuskan berdasarkan hasil arahan dasardasar pengelolaan dampak

yang dihasilkan dari kajian AMDAL.

4. Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). RPL adalah dokumen

yang memuat program-program pemantauan untuk melihat perubahan lingkungan

yang disebabkan oleh dampak-dampak yang berasal dari rencana kegiatan. Hasil

64 Siti Sundari Rangkuti. 2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Surabaya: Airlangga University Press., hlm. 119

Page 45: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

pemantauan ini digunakan untuk mengevaluasi efektifitas upaya-upaya pengelolaan

lingkungan yang telah dilakukan, ketaatan pemrakarsa terhadap peraturan lingkungan

hidup dan dapat digunakan untuk mengevaluasi akurasi prediksi dampak yang

digunakan dalam kajian AMDAL.

5. Dokumen Ringkasan Eksekutif Ringkasan Eksekutif adalah dokumen yang meringkas

secara singkat dan jelas hasil kajian AMDAL. Hal-hal yang perlu disampaikan dalam

ringkasan eksekutif biasanya adalah uraian secara singkat tentang besaran dampak

dan sifat penting dampak yang dikaji di dalam AMDAL dan upaya-upaya pengelolaan

dan pemantuan lingkungan hidup yang akan dilakukan untuk mengelola dampak-

dampak tersebut.

Melaui AMDAL, dampak-dampak penting yang diperkirakan akan timbul dapat

diidentifikasi, dievaluasi dan diupayakan langkah-langkah penangananya, sehingga AMDAL

dapat menjadi pedoman bagi pemrakanrsa dan instansi/ lembaga yang terlibat dan terkait

dengan rencana trersebut terutama dalam menentukan kebijaksanaan pengeloalaan

lingkungan hidup baik pada skala tapak proyek maupun skala regional. Jangka waktu

pemrosesan dokumen AMDAL menurut Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1993,

sanggup selambatlambatnya 45 hari. Dinyatakan “diberikan persetujuan” AMDAL artinya

“dianggap” disetujui dan pemrakanrsa dapat memulai kegiatan kegiatan mendirikan

istalasi/bangunan tanpa takut tentang dampak negatifnya terdapat lingkungan.

Amdal sebagai “Tumbal” Pemerintah?

Saat ini eksistensi dari AMDAL tengah dipertanyakan akibat munculnya RUU

Omnibus Law, khususnya Cipta Kerja yang menyatakan pemotongan birokrasi dalam

pembuatan izinnya. Pemotongan perizinan Amdal diklaim pemerintah bertujuan untuk

memangkas alur birokrasi yang dianggap rumit sehingga membuat investor enggan untuk

melakukan investasi di Indonesia. Namun, banyak aspek perizinan Amdal yang dipangkas

justru akan menimbulkan problematika baru.

Ketentuan tentang peran Amdal dan pengambilan keputusan tentang

penyelenggaraam sebuah usaha dan/atau kegiatan yang semula tercantum dalam Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

berencana diubah dalam RUU Omnibus Law Pasal 23. Salah satu pasal yang terdampak

adalah pasal (11) yang semula berbunyi;

Page 46: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

“Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah

kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada

lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang

penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”

Diubah pada RUU Cipta Kerja Pasal 23 ayat (11) yang berbunyi:

“Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disebut Amdal adalah

Kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan

yang direncanakan untuk digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan tentang

penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”

Perubahan ini jelas mereduksi peran Amdal sebagai salah satu variabel pertimbangan

pemerintah dalam memberikan izin berusaha. Semula, Amdal berperan sebagai pengambil

keputusan tentang penyelenggaraan suatu kegiatan, kini Amdal hanya dipandang sebagai

pertimbangan pengambilan keputusan. Ini menunjukkan sikap pemerintah yang cenderung

mengesampingkan masalah lingkungan. Naasnya, sudah tertulis secara jelas bahwa

masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan lingkuhan hidup yang layak sebagaimana

tertuliskan dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945.

Kriteria Amdal juga jadi salah satu poin yang berencana untuk diganti. Kriteria

tersebut semula dirumuskan dalam Pada pasal 23 ayat (1) UU PPLH yang berisi;

“(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi

dengan Amdal terdiri atas:

1. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;

2. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan;

3. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam

dalam pemanfaatannya; d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi

lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;

4. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan

konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;

Page 47: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

5. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;

6. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;

7. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara;

dan/atau

8. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk

mempengaruhi lingkungan hidup. “

Direduksi pada pasal 23 butir 3 RUU Cipker menjadi:

“(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal

merupakan proses dan kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup,

sosial, ekonomi, dan budaya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria usaha dan/atau kegiatan yang

berdampak penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan

Pemerintah.”

Pemerintah menyingkat 11 kriteria Amdal hanya ke dalam 2 butir pasal. Yang menjadi

sorotan adalah bagaimana pemerintah hanya mengkategorikan kriteria usaha/kegiatan wajib

Amdal adalah yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi,

dan budaya Elaborasi mengenai kriteria usaha dan.atau kegiatan yang dianggap penting

kemudian akan dibahas dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini ditakutkan akan menimbulkan

multi tafsir, serta dapat menjadi sarana bagi pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang

terkait untuk mendapat izin dengan mudah karena konteks kemudahan berusaha yang ingin

dibangun pemerintah. karena selain konteks Amdal yang dikebiri penggunaannya sebatas

pertimbangan, pembentukan PP merupakan lanjutan dari UU yang tidak melibatkan

mekanisme kontrol dari publik

Upaya Degradasi Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan Amdal

Dampak lingkungan akan dirasakan oleh semua komponen, baik biotik maupun

abiotik, baik secara langsung atau tidak langsung. Masyarakat sebagai salah satu komponen

akan terdampak dari apa-apa saja yang terjadi dalam lingkungan sudah sepatutnya dilibatkan

Page 48: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

dalam proses penyusunan Amdal. Namun, dalam RUU Cipta kerja, terlihat bahwa ada

pengurangan ruang gerak partisipasi dalam penyusunan Amdal. Hal ini ditandai dengan

adanya perubahan dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU PPLH yang berbunyi:

“(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa

dengan melibatkan masyarakat.”

“(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang

transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.”

Kemudian diubah dalam RUU Cipker Pasal 26 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:

“(1) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa.”

“(2) Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena

dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.”

Pelibatan masyarakat dalam penyusunan Amdal ditiadakan. Asas transparansi yang

semula wajib diterapkan pada setiap dokumen Amdal juga dihilangkan. Ini memperbesar

kemungkinan korporat-korporat licik untuk mencurangi proses penyusunan Amdal.

Sentralisasi Pengurusan Amdal

Pada RUU Cipta kerja, Pasal 24 ayat (1) sampai (4), diatur bahwa:

“(1) Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup.

(2) Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah

Pusat.

(3) Pemerintah Pusat dalam melakukan Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dapat menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat. “

Sebelumnya, pengurusan dokumen Amdal telah diatur pada asal 29 ayat (1) UU PPLH yang

berbunyi:

Page 49: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

“(1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri,

gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.”

Ada beberapa poin yang mengkhawatirkan di sini, yaitu; 1) Pengurusan uji kelayakan

didelegasikan pada pemerintah pusat. Padahal, masalah lingkungan hidup adalah sangat site

specific. Tidak memungkinkan bagi pemerintah pusat untuk dapat mengkaji secara dalam dan

komprehensif mengenai masalah lingkungan suatu daerah dengan kondisi geografis

Indonesia; 2) Lembaga ahli yang dapat ditunjuk oleh pemerintah tidak memiliki kejelasan

kriteria dan spesifikasi. Hal ini berpotensi untuk menghasilkan kajian yang tidak

komprehensif, salah sasaran, dan berbahaya bagi lingkungan untuk kedepannya.

Selain itu, upaya sentralisasi juga terdapat pada tahap pengawasan Amdal. Semula,

pengawasan Amdal diatur pada Pasal 71 UU PPLH, yang berbunyi:

“(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib

melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan

atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya

dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di

bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota

menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.”

RUU Cipker mengubah ketentuan pihak-pihak yang berwenang untuk melakukan

pengawasan Amdal, yang diubah menjadi:

“(1) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab

usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-

undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Page 50: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

(2) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan

pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Pemerintah Pusat menetapkan pejabat pengawas

lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pejabat pengawas lingkungan hidup diatur dengan

Peraturan Pemerintah.”

Ada pendelegasian fungsi pengawasan yang semula dimandatkan pada menteri dan

pemerintahan daerah menjadi kepada Pemerintahan Pusat, terlihat adanya pemusatan segala

kewenangan yang sebelumnya dimiliki pemerintahan daerah kemudian dikuasai oleh

pemerintah pusat

Perizinan Berbasis Risiko

Izin merupakan instrumen hukum administrasi yang dibuat oleh negara untuk

mengemudikan tingkah laku para warga.65 Menurut Philippus M. Hadjon, izin dalam arti luas

merupakan bentuk perkenaan untuk melakukan sesuatu yang semestinya dilarang. Sementara

dalam arti sempit, izin merupakan suatu tindakan terlarang, terkecuali diperkenankan, dengan

tujuan agar ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenaan dapat dengan diteliti

diberikan batas-batas tertentu bagi setiap kasus.66

Dengan memberi izin, negara memperkenankan orang yang memohonnya untuk

melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang, hal ini menyangkut

perkenaan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan

khusus atasnya. Selain itu, izin juga dapat diartikan bahwa pembuat aturan secara umum

tidak melarang suatu perbuatan, asal saja dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang

berlaku.67

65 Philippus M. Hadjon. 1993. Pengantar Hukum Perizinan. Surabaya: Yuridika., hlm. 2 66 Ibid., 67 S.F Marbun dan Mahfud M.D. 2000. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Liberti., hlm. 95

Page 51: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Dalam hal ini, izin dan hak merupakan suatu hal yang berkaitan karena merupakan

kewajiban negara untuk memenuhi hak yang tercantum dalam konstitusi dengan memberikan

izin. Izin yang dimaksud merupakan pengakuan negara terhadap hak-hak yang dilakukan

warga negara seperti hak untuk berserikat, hak berkumpul, hak menyatakan pendapat, dan

lainnya. Hal ini sebagaimana tujuan dari pada diberikannya izin yaitu (a) keinginan

mengarahkan pengendalian aktifitas-aktifitas tertentu; (b) mencegah bahaya bagi lingkungan;

(c) keinginan untuk melindungi objek-objek tertentu; (d) hendak membagi benda-benda yang

sedikit; (e) pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktifitas yang dilakukan.68

Pembuatan dan penerbitan izin adalah tindakan hukum pemerintah. sebagai tindakan

hukum, maka harus ada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau

harus berdasar pada asas legalitas yang akan memperbolehkan atau memperkenankan

menurut hukum bagi seseorang atau badan hukum untuk melakukan suatu kegiatan.69

Pendekatan berbasis regulasi (License Approach) menjadi pendekatan berbasis risiko

(Risk-Based Approach) sebagaimana tercantum pada RUU Cipker tentang Penerapan

Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Pasal 8. Penilaian tingkat risiko dilihat dari potensi

terjadinya bahaya, potensi dibagi menjadi empat, meliputi; 1) tidak pernah terjadi; 2) jarang

terjadi; 3) pernah terjadi; atau 4) sering terjadi. Kemudian, hasil penilaian tersebut dibagi

menjadi tiga kategori tingkat risiko, yakni; kegiatan usaha berisiko rendah; kegiatan usaha

berisiko menengah; atau kegiatan usaha berisiko tinggi.

Usaha dan/atau kegiatan yang nantinya wajib dikaji secara Amdal hanyalah usaha yang

memiliki risiko tinggi. Namun, yang mejadi problematika adalah tidak adanya kejelasan

mengenai tata cara pengategorian. Analisis risiko pun nantinya akan dilakukan oleh

Pemerintah Pusat.

Meski tidak sepenuhnya dihilangkan, ini akan menghapuskan wajib Amdal bagi sebagian

besar kegiatan atau usaha tanpa landasan yang jelas. Pendekatan berbasis risiko memang

mempunyai beberapa keuntungan bila diimplementasikan untuk lembaga yang berfokus pada

profit; seperti kegiatan perbankan. Namun, aspek lingkungan seharusnya tidak menggunakan

68 Philippus M. Hadjon, op.cit hlm. 4 69 Ibid.,

Page 52: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

pendekatan ini, karena dapat berpotensi untuk mengabaikan risiko-risiko yang belum

teridentifikasi, atau yang hanya dapat teridentifikasi di masa mendatang.

Penghapusan Strict Liability dalam RUU Cipta Kerja

Salah satu hal yang menarik perhatian publik dalam RUU Cipta Kerja dalam tajuk

Omnibus Law adalah dihapusnya prinsip strict liability dalam penegakan hukum lingkungan.

Hal ini dapat dilihat dari pasal 23 RUU Cipta Kerja yang berisi perubahan terhadap pasal 88

UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup, pasal 88 berbunyi

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,

menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius

terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa

perlu pembuktian unsur kesalahan”

Sementara dalam Draft RUU Cipta Kerja, pasal 88 diubah ketentuannya sebagai berikut

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,

menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius

terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha

dan/atau kegiatannya”.

Adanya penghapusan terhadap frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”

menjadi tanda tanya besar bagi pembuat draft RUU Cipta Kerja. Hal ini didasari pada

implementasi pasal 88 UU PPLH sebagai pasal sakti untuk menjerat korporasi dalam hal

membayar ganti rugi terhadap kerusakan lingkungan karena aktivitas yang dilakukannya.

Prinsip tanggung jawab mutlak atau dikenal dengan doktrin strict liability dimaksdi

dengan tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan, atau menurut

Mochtar Koesoemaatmadja, prinsip tanggung jawab mutlak adalah suatu tanggung jawab

yang memandang kesalahan sebagai sesuatu yang tidak relevan mutlak dipermasalahkan

apakah pada kenyataannya ada atau tidak.70

Ketentuan tersebut dalam sistem pertanggungjawaban dikenal dengan doktrin strict

liability, bilamana melihat pada sistem hukum Belanda, doktrin strict liability dikenal sebagai

70 Ridho Kurniawan dan Siti Nurul Intan. 2014. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Asas Strict Liability. Jurnal Yuridis Vol. 1, No. 2, Desember 2014., hlm. 160

Page 53: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

tanggung gugat berdasarkan resiko atau resicoaansprakelijkheid yang merupakan bentuk

tanggung jawab yang tidak didasarkan pada unsur kesalahan.71 Tanggung jawab berdasarkan

resiko berlaku secara terbatas, hanya untuk kegiatan sebagai berikut (1) pengelolaan bahan

berbahaya; (2) instalasi pengelolaan limbah; (3) kegiatan pengeboran.

Sementara di Amerika, menurut James Krier, doktrin strict liability adalah the

doctrine of strict liablity for abnormally dangerous activities can be of assistence in many

cases of enviromental damage, strict liability is more than a burden shifting doctrine, since it

not only relieves the plaintiff of the obligation to prove fault but forecloses the defedant

proving the absence of fault.72

Doktrin strict liability dapat diimplementasikan apabila kegiatan tersebut memenuhi

klasifikasi sebagai berikut73

1. Mengandung resiko berbahaya yang tinggi terhadap manusia, tanah, atau benda

bergerak lainnya;

2. Kemungkinan terjadinya bahaya sangat besar;

3. Ketidakmampuan meniadakan resiko;

4. Kegiatan tersebut bukanlah kegiatan yang lazim dilakukan;

5. Ketidaksesuaian antara sifat kegiatan yang bersangkutan dengan lingkungan atau

tempat dimana kegiatan tersebut dilakukan

6. Manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat dikalahkan oleh sifat-sifat bahaya kegiatan

tersebut.

Lebih riil lagi, konteks kegiatan berbahaya yang dimaksudkan dalam doktrin strict

liability adalah74

1. Kegiatan usaha terkait dengan limbah berbahaya beracun;

2. Penyimpanan gas dengan jumlah yang besar di dalam kota;

3. Instalasi nuklir;

4. Pengeboran minyak;

5. Penggunaan mesin pematok tiang besar;

71 Imamulhadi. 2013. Perkembangan Prinsip Strict Liability dna Precautionary Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Pengadilan. Jurnal Mimbar Hukum Vol. 25, No. 3, Oktober 2013., hlm. 420 72 Ibid., 73 Ibid., 74 Ibid.,

Page 54: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

6. Limpahan air.

Bilamana dicermati, dalam doktrin strict liability yang berkaitan dengan penegakan

hukum lingkungan, dapat terlihat kesesuaian dengan penjelasan diatas di mana hal yang

digaris bawahi ketika seseorang atau suatu korporasi menggunakan bahan B3 yang

menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan.

Namun, implementasi doktrin strict liability di Indonesia belum sampai ke tahap

pertanggung jawaban pidana, tetapi hanya sebatas kewajiban untuk membayar ganti rugi

secara perdata. Dalam hal ini, ketentuan strict liability dalam UU PPLH merupakan lex

specialis dari pasal 1365 KUH Perdata.

Kendati demikian, adanya pasal ini masih merupakan senjata ampuh dalam meminta ganti

rugi terhadap korporasi-korporasi yang ‘nakal’ dalam melaksanakan aktivitasnya yang dirasa

merusak lingkungan. Ambil contoh, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sering

menggunakan pasal ini dalam menjerat pelaku pembakar hutan. Pada tahun 2016,

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendaftarkan gugatan terhadap empat

perusahaan kelapa sawit yaitu PT RKK, PT ATG, PT PU, dan PT WAG.75

Adanya penghapusan terhadap frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”

mengingatkan pada pengujian UU PPLH yang diinisiasi oleh Asosiasi Pengusaha Hutan

Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada tahun

2017. Dalam permohonannya, APHI dan GAPKI meminta Mahkamah Konstitusi untuk

memberikan tafsir terhadap pasal 88 UU PPLH seperti berikut

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,

menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius

terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi sepanjang

kerugian tersebut disebabkan oleh orang yang bersangkutan”.

Dalam hal tersebut, Hakim Konstitusi I Gde Dewa Palguna, memberikan nasihat

bahwa dalam wacana hukum lingkungan, kita sering menyebut ada istilah eco terrorism dan

sebagainya. Itu menjadi salah satu pendorong yang memperkuat diterimanya universalitas

prinsip strict liability. dan kita juga tahu bahwa ada alasan yang membebaskan dari strict

75 Syamdysara Saragih. 2017. Gugatan Karhutla, Dua Jurus KLHK Lawan 4 Perusahaan Sawit. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20170104/99/616692/gugatan-karhutla-dua-jurus-klhk-lawan-4-perusahaan-sawit pada 7 Maret 2020

Page 55: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

liability ini yang disebut sebagai act of god, force majeure, dan sebagainya kita sudah semua

tahu.76

Hal ini menjadi suatu kemunduran apabila menghapus prinsip strict liability dalam

penegakan hukum lingkungan. Sudah menjadi suatu kenyataan bahwa perkembangan

korporasi semakin besar di Indonesia, tidak dapat dipungkiri juga bahwa aktivitas korporasi

banyak yang tidak memerhatikan dampak lingkungan sehingga menyebabkan terjadinya

pencemaran lingkungan yang membahayakan sekaligus merugikan masyarakat.

Oleh karenanya, penghapusan prinsip strict liability akan menjadi pelemahan

penegakan hukum terhadap korporasi yang melanggar ketentuan hukum lingkungan. Gery A.

Ferguson menyatakan pandangan bahwa perusahaan didirikan untuk menghasilkan

keuntungan bagi para pemiliknya dan para pejabat perusahaan termotivasi semata-mata untuk

meningkatkan keuntungan. Sebuah perusahaan akan melakukan aktivitas kriminal hanya

ketika para pejabatnya menyimpulkan bahwa aktivitas ini lebih mungkin menghasilkan

keuntungan daripada tidak melakukan pelanggaran. Karenanya, cara paling tepat untuk

menghalangi kejahatan perusahaan adalah memastikan bahwa seluruh social cost yang

mengalir dari perbuatan pelanggaran ditanggung oleh perusahaan yang melakukan

pelanggaran. Jadi, bentuk sanksi yang paling efektif adalah pemidanaan yang bersifat

finansial.77

76 Edward Febriyatri Kusuma. 2017. Hakim MK Nasihati Refli Harun: Strict Liability Diterima Universal. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3514308/hakim-mk-nasihati-refly-harun-strict-liability-diterima-universal pada 8 Maret 2020 77 Ridho Kurniawan dan Siti Nurul Intan., op.cit hlm. 157

Page 56: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Penutup

Pada akhirnya, berbicara masalah pembentukan undang-undang berarti berbicara bagaimana

negara harusnya bergerak melayani masyarakat. Sebagai suatu instrumen hukum yang akan

mengatur orang banyak, pembentukan undang-undang sudah selayaknya dapat diterima oleh

masyarakat luas baik dalam segi formil maupun materil.

Pun halnya omnibus law sebagai suatu rancangan hukum yang akan diberlakukan di

masyarakat harus dapat menaktualisasikan rasa keadilan masyarakat. Dari analisis yang telah

dilakukan, nampaknya politik hukum investasi benar-benar menjadi pijakan pada setiap

bentuk perubahan undang-undang yang ada dalam draft RUU Cipta Kerja.

Hal ini bisa jadi senjata makan tuan bagi masyarakat, mengingat akan sangat banyak

kepentingan calon investor yang akan diakomodir oleh rancangan undang-undang tersebut.

Tidak aneh bila rancangan undang-undang ini banyak mendapat protes keras dari masyarakat.

Omnibus law bukan sekedar masalah golongan yang terdampak bila UU tersebut dipisahkan,

tapi menjadi masalah seluruh golongan apabila tidak ditanggapi dengan serius.

Page 57: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Referensi

Buku

Barbara Sinclair. 2012. Unortodhox Lawmaking: New Legislative Processes in the U.S

Congress. Los Angeles: Sage

Browne, C., A. Di Batista, T. Geiger, and S. Verin. 2016. “The Executive Opinion Survey:

The Voice of the Business Community.” The Global Competitiveness Report 2016–2017.

Geneva: World Economic Forum.

Budi Sutrisno dan Salim H. 2008. Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo

Persada

Darmaningtyas dkk. 2014. Melawan Liberalisme Pendidikan. Malang: Madani.

Hendri Campbell. 1991. Blach’s Law Dictionary. St. Paul Minn: West Publishing Co

Hilaire Barnett.2002. Constitutional and Administrative Law. London: Cavendish Publishing

Ltd

Jimly Asshiddiqie. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika

Jimly Asshiddiqie. 2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press

Merdi Hajiji. 2013. Relasi Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia. Jurnal

Rechtsvinding Vol. 2, No. 3, Desember 2013

Moh. Mahfud M.D. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Yogyakarta: LP3ES

Maria Farida Indrati. 2011. Ilmu Perundang-Undangan I. Yogyakarta : Kanisius

Philippus M. Hadjon. 1993. Pengantar Hukum Perizinan. Surabaya: Yuridika

Siahaan N.H.T. 2009. Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancuran Alam

VCRAC Crabbe. 1994. Legislative Drafting. London: Carendish Publishing Limited

Karya Tulis

Agnes Fitryantica. 2019. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia melalui

Konsep Omnibus Law. Jurnal Gema Keadilan., vol. 6, edisi 3, Oktober-November 2019

Bambang Suryono. 1999. Organisasi Nirlaba: Karakteristik dan Pelaporan Keuangan

Organisasi. Jurnal Ekuitas Vol. 3, NO. 2, Juni 1999.,

Daniel N. Boger. 2017. Constitutional Avoidance: The Single Sunject Rule As An Interpretive

Principle. Virginia Law Review Vol. 103: 1247

Page 58: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Farihan Aulia dan Sholahuddin Al-Fatih. 2017. Perbandingan Sistem Hukum Common Law,

Civil Law dan Islamic Law dalam Perspektif Sejarah dan Karakteristik Berpikir. Jurnal

Legality, vol. 25, No. 1, Maret 2017

Firman Freaddy Busroh. 2017. Konseptualitas Omnibus Law dalam Menyelesaikan

Permasalahan Regulasi Pertanahan. Jurnal Arena Hukum, Vol. 10, No. 2, Agustus 2017

Imamulhadi. 2013. Perkembangan Prinsip Strict Liability dna Precautionary Dalam

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Pengadilan. Jurnal Mimbar Hukum Vol. 25,

No. 3, Oktober

Joko Riskiyono. Partisipasi Masarakat dalam Pembentukan Perundang-Undangan Untuk

Mewujudkan Kesejahteraan. Jurnal Aspirasi Vol. 6, No. 2, Desember 2015

Louis Massicotte. 2013. Omnibus Bills in Theory and Practice. Canadian Parliamentary

Review/ Spring 2013

Rahendro Jati. 2015. Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang

yang Responsif. Jurnal Rechtsvinding, Vol. 1, No. 3, Desember 2015

Ridho Kurniawan dan Siti Nurul Intan. 2014. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Berdasarkan Asas Strict Liability. Jurnal Yuridis Vol. 1, No. 2, Desember 2014

Sarah Safira Aulianisa. 2019. Menakar Kompabilitas Transplantasi Omnibus Law dalam

Konteks Peraturan Perundang-undangan dengan Sistem Hukum Indonesia. Paper

dipresentasikan di Konferensi Ilmiah Hukum dan HAM 2019, Kementrian Hukum dan

Hak Asasi Manusia

S.F Marbun dan Mahfud M.D. 2000. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara.

Yogyakarta: Liberti

Syauqi dan Habibullah. 2016. Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Jurnal Sosio

Informa Vol. 2, No. 01, Januari-April 2016

Wicipto Setiadi. 2018. Simplifikasi Peraturan Perundang-Undangan dalam Rangka

Mendukung Kemudahan Berusaha. Jurnal Rechtsvinding Vol. 7, No. 3, Desember 2018

Laporan

Page 59: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

World Bank. 2019. Doing Business 2019, Training for Reform. Diakses dari

https://www.doingbusiness.org/content/dam/doingBusiness/media/Annual-

Reports/English/DB2019-report_web-version.pdf pada 21 Februari 2020

World Bank. 2017. Doing Business 2018 : Reforming to Create Jobs (English). Doing

Business 2018. Washington, D.C. : World Bank Group.

United Nations. 2019. World Investment Report 2019. New York: United Nations

Publications

Media Daring

BBC Indonesia. 2019. Omnibus Law: Harapan Menarik Investasi dan Pembahasan yang

‘sentralistik’. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50837794 pada 21

Februari 2020

Edward Febriyatri Kusuma. 2017. Hakim MK Nasihati Refli Harun: Strict Liability Diterima

Universal. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3514308/hakim-mk-nasihati-refly-

harun-strict-liability-diterima-universal pada 8 Maret 2020

Efrem Siregar. 2020. Faisal Basri Kritik Omnibus Law Jokowi, Apa Alasannya?. Diakses

dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20191218211906-4-124277/faisal-basri-kritik-

omnibus-law-jokowi-apa-alasannya pada 19 Maret 2020

Dandy Bayu Bramasta. 2019. 5 Visi Jokowi untuk Indonesia. Diakses dari

https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/20/151257765/5-visi-jokowi-untuk-

indonesia?page=all pada 3 Maret 2020

Gosanna Oktavia. 2020. Omnibus Law Minim Partisipasi Publik, Ombudsman Buka

Kesempatan Pengaduan. Diakses dari https://ombudsman.go.id/news/r/omnibus-law-

minim-partisipasi-publik-ombudsman-buka-kesempatan-pengaduan pada 22 Februari

2020

Chandra Gian Asmara. 2020. Mahfud MD Tegaskan Pasal 170 RUU Cipta Salah Ketik!.

Diakses di https://www.cnbcindonesia.com/news/20200218134358-4-138675/mahfud-md-

tegaskan-pasal-170-ruu-cipta-kerja-salah-ketik Pada 7 Maret 2020

Page 60: Pendahuluan - Universitas Padjadjaran

Haris Prabowo. 2020. Ganti Nama, Pemerintah Akhirnya Serahkan RUU Cipta Kerja ke

DPR. Diakses dari https://tirto.id/ganti-nama-pemerintah-akhirnya-serahkan-ruu-cipta-

kerja-ke-dpr-eyvupada pada 21 Februari 2020

Hendra Kusuma. 2019. Jokowi Kesal Ekspor dan Investasi RI Loyo. Diakses melalui

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4464956/jokowi-kesal-ekspor-dan-

investasi-ri-loyo pada 2 Maret 2020

Kumparan. 2018. Menteri PAN-RB: Ada 6 Penyakit Birokrasi di Indonesia (2018). Diakses

melalui https://kumparan.com/langkanid/menteri-pan-rb-ada-6-penyakit-birokrasi-di-

indonesia pada 3 Maret 2020

Muhammad Genantan Saputra. 2020 . Menkumham Sebut Ada Salah Ketik di RUU Omnibus

Law. Diakses di https://www.liputan6.com/news/read/4181369/menkumham-sebut-ada-

salah-ketik-di-ruu-omnibus-law Pada 7 Maret 2020

Petrus Kadeh Suherman. 2017. Delegasi Regulasi dan Simplifikasi Regulasi dalam

Pembentukan Peraturan Kepala Daerah. Jurnal Advokasi Vol. 7, No. 1 (2017)

Restu Diantina Putri,. 2020. Cara Anak Buah Jokowi Lepas Tangan soal Pasal 170 RUU

Cipta Kerja. Diakses di https://tirto.id/cara-anak-buah-jokowi-lepas-tangan-soal-pasal-

170-ruu-cipta-kerja-eAqZ pada 8 Maret 2020

Syamdysara Saragih. 2017. Gugatan Karhutla, Dua Jurus KLHK Lawan 4 Perusahaan

Sawit. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20170104/99/616692/gugatan-

karhutla-dua-jurus-klhk-lawan-4-perusahaan-sawit pada 7 Maret 2020

Trio Hamdani. 2020. Investasi Loyo dan Daya Beli Lesu Biang Kerok Ekonomi Mentok 5%.

Diakses melalui https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4891785/investasi-

loyo-dan-daya-beli-lesu-biang-kerok-ekonomi-mentok-5 pada 2 Maret 2020

World Bank Group. 2020. World Development Indicators Diakses melalui

http://datatopics.worldbank.org/world-development-indicators pada 3 Maret 2020