PENDAHULUAN - humphreydjemat.com filehukum tentu saya memiliki tanggung jawab untuk ... dan Apakah...

26

Transcript of PENDAHULUAN - humphreydjemat.com filehukum tentu saya memiliki tanggung jawab untuk ... dan Apakah...

PENDAHULUAN

Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) DKI Jakarta telah usai. KPUD telah merampungkan hasil perhitungan suara Pilkada DKI Jakarta dan telah menetapkan Pak Anies R Baswedan dan Pak Sandiaga S Uno sebagai pemenang Pilkada DKI Jakarta. Setelah hasil penetapan KPUD DKI Jakarta ini tentu suhu dan tensi politik sudah semakin menurun dan semakin sejuk sehingga kiranya apa yang saya tuliskan dalam buku ini betul-betul dapat diterima sebagai pandangan hukum tidak lagi dikaitkan dengan unsur-unsur politik. Hal ini menjadi penting karena sebagai seorang yang berkecimpung di bidang hukum tentu saya memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan hal-hal terkait dengan permasalahan hukum sebagai pembelajaran masyarakat dan demi tegaknya hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.

Tahapan Pilkada DKI Jakarta memang telah usai namun perkara dan kasus Pak Ahok yang saat ini duduk sebagai terdakwa belumlah selesai, setelah melihat dan menjalani proses persidangan Pak Ahok ada yang menarik dan perlu menjadi perhatian kita yakni terkait dengan Fatwa/Sikap Keagamaan MUI. Fatwa dan Sikap Keagamaan MUI ini dalam kasus Pak Ahok banyak pihak atau masyarakat umum menjadikannya sebagai justifikasi untuk melakukan penghukuman kepada Pak Ahok. Oleh karena itu kiranya perlu diketahui secara seksama dimana posisi Fatwa/Sikap

1

Keagamaan MUI dalam Hukum Positif di Indonesia dan Apakah fatwa dan sikap keagamaan MUI itu bisa dijadikan landasan untuk menghukum Pak Ahok? Pertanyaan pertanyaan ini akan dibahas dalam tulisan ini.

PIDATO AHOK DAN SIKAP KEAGAMAAN MUI

Awal mula permasalahan yang mengakibatkan Pak Ahok saat ini duduk sebagai terdakwa ialah terkait dengan pidatonya yang dilakukan di Kepulauan Seribu. Dalam pidato yang cukup panjang itu yang kurang lebih sekitar 1 jam 48 menit yang pada umumnya membahas terkait program Pemerintah DKI Jakarta mengenai budi daya ikan kerapu yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi dalam pidato tersebut Pak Ahok sempat menyinggung mengenai Surat Al-Maidah ayat 51. Jika kita memperhatikan secara utuh pidato tersebut Pak Ahok hanya menyinggung mengenai Surat Al-Maidah ayat 51 itu hanya sekitar 13 detik, tentu yang banyak menjadi pertanyaan adalah apa dasar Pak Ahok menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 ini?

Dari fakta persidangan menurut beberapa Ahli bahasa bahwa tidak mungkin seseorang itu mengatakan sesuatu namun dalam pikirannya hampa (tidak terlintas pikiran apapun) melainkan pasti ada sesuatu yang dipikirkan sehingga apa yang menjadi pikiran itu lah yang kemudian akan mengejewantah dalam sebuah ucapan. Pada saat persidangan Pak Ahok sempat ditanya mengenai

2

maksud dari menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 ini. Saat itu Pak Ahok menjawab bahwa dia terlintas pengalamannya dulu saat ia mencalonkan diri sebagai Gubernur di Bangka Belitung dimana saat itu ia menceritakan rancangan programnya dan ada seorang Ibu yang tertarik dengan programnya namun ia menyampaikan kepada Pak Ahok bahwa ia tidak bisa memilih Pak Ahok karena Pak Ahok bukan seorang muslim dan jika ia memilih Pak Ahok maka dia akan jadi kafir.

Pengalaman ini lah yang kemudian terlintas pada saat Pak Ahok berpidato di Kepulauan seribu, saat itu Pak Ahok melihat ada sekelompok ibu-ibu yang sama sekali tidak antusias dengan Program Pemerintah DKI Jakarta yang disampaikan Pak Ahok padahal program itu sangat menguntungkan Warga Jakarta khususnya Warga di Kepulauan Seribu. Itu lah sebabnya Pak Ahok menyinggung mengenai surat Al-Maidah ayat 51 dan juga menyinggung bahwa program ini tetap akan berjalan meskipun masyarakat kepulauan seribu tidak memilihnya. Oleh karena itu jika kita melihat konteks keseluruhan dari pidato Pak Ahok tentu kita dapat melihat bahwa secara kontekstual disitu Pak Ahok ingin meyakinkan bahwa Program yang dirancang Pemerintah DKI Jakarta itu betul-betul untuk kesejahteraan masyarakat dan tidak ada unsur-unsur lain selain itu apalagi jika sampai diasumsikan bahwa karena pidato itu Pak Ahok berniat untuk menistakan/menodai agama.

3

Jika kita melihat

rekamannya secara utuh

masyarakat di kepulauan

seribu yang

mendengarkan pidato

Pak Ahok tersebut tidak

ada yang protes atau

menolak.

Pidato Pak Ahok di kepulauan seribu awalnya tidak menimbulkan masalah/kontroversi apapun, karena jika kita melihat rekamannya secara utuh masyarakat di kepulauan seribu yang mendengarkan pidato Pak Ahok tersebut tidak ada yang protes atau menolak bahkan sangat terlihat bahwa masyarakat kepaulaun seribu secara umum cukup antusias mendengarkan pidato Pak Ahok padahal warga di kepulauan seribu tersebut merupakan warga yang mayoritas muslim. Selain itu setelah Pak Ahok selesai berpidato dan selesai berkunjung di Kepuluan seribu tidak ada satu pun masyarakat disana yang melaporkan Pak Ahok ke kepolisian terkait dugaan penistaan/penodaan agama. Pidato Pak Ahok baru mulai disinggung bahwa ada dugaan penodaan agama dalam Pidato Pak Ahok di Kepulauan Seribu ketika Buni Yani mengedit video Pidato Pak Ahok tersebut. Hal ini bisa terlihat dari kronologis berikut ini:

- Tanggal 27 September 2017 Pak Ahok berpidato di kepulauan Seribu yang sempat menyinggung terkait Surat Al-Maidah.

- Tanggal 28 September 2017 Pidato Pak Ahok di Kepulauan Seribu diunggah ke Youtube oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai bagian dari program akuntabilitas dan open

4

Awal mula Pidato Pak

Ahok tersebut bukan

merupakan suatu masalah.

Barulah kemudian menjadi

masalah ketika Buni Yani

mengedit pidato Pak Ahok

tersebut sehingga seolah-

olah Pak Ahok

menyatakan Al-Maidah itu

sebagai suatu ayat

kebohongan.

government di Pemprov DKI Jakarta yang dicanangkan Pak Ahok.

- Tanggal 6 Oktober 2017 Buni Yani mengunggah video Pidato Pak Ahok yang sudah Buni Yani edit dan menghilangkan kata “pakai” sehingga mengubah makna dari pidato Pak Ahok. Beberapa jam setelah Buni Yani mengupload video hasil editan ini mulai ramai di media sosial kemudian ACTA (Advokat Cinta Tanah Air) melaporkan Pak Ahok ke Kepolisian dengan bukti video hasil editan Buni Yani.

- Tanggal 7 Oktober 2017 Mulai ramai masyarakat melaporkan Pak Ahok dengan bukti Video editan Buni Yani.

Dari kronologis ini sebenarnya bisa terlihat bahwa awal mula Pidato Pak Ahok tersebut bukan merupakan suatu masalah karena memang konteksnya berbeda yaitu bukan konteks penodaan agama. Barulah kemudian menjadi masalah ketika Buni Yani mengedit pidato Pak Ahok tersebut sehingga mengubah makna dari Pidato Pak Ahok terlebih lagi dalam transkrip tersebut Buni Yani juga menambahkan yang bersifat profokatif dengan menyatakan “inilah

5

pidato penista agama”. Hal ini yang kemudian membuat suatu persepsi seolah-olah Pak Ahok menyatakan Al-Maidah itu sebagai suatu ayat kebohongan. Oleh karena itu kiranya masyarakat perlu memahamii permasalahan pidato Pak Ahok ini dengan baik dan jernih.

Transkrip Buni Yani yang bersifat provokatif itulah yang banyak beredar di media sosial yang membuat banyaknya pihak-pihak melaporkan permasalahan ini ke kepolisian dengan bukti video Buni Yani. Selanjutnya hasil video editan Buni Yani tersebut kemudian diliput oleh banyak media sehingga permasalahan ini memunculkan suatu respon dari masyarakat yang kemudian berkembang dan memunculkan suatu opini seolah-olah Pak Ahok telah melakukan penodaan agama yang dilandaskan pada video editan Buni Yani dimaksud. Hal yang demikian ini lah yang sering disebut sebagai trial by the press atau penghakiman oleh opini publik yang sebenanrya sangat bertentangan dengan hukum yakni asas presumption of innocence (asas praduga tak bersalah). Semakin meluasnya isu ini di publik kemudian MUI DKI Jakarta mengeluarkan Surat teguran kepada Pak Ahok pada tanggal 9 Oktober 2016 yang intinya memberikan saran kepada Pak Ahok untuk lebih fokus bekerja sebagai Gubernur DKI Jakarta dan tidak perlu menyinggung isu-isu yang dapat memberikan reaksi yang kurang baik di masyarakat. Selanjutnya pada tanggal 11 Oktober 2016 MUI Pusat mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keagamaan yang berisi sebagai berikut:

6

1. Alquran surah Al-Maidah ayat 51 secara eksplisit berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Ayat ini menjadi salah satu dalil larangan menjadikan non muslim sebagai pempimpin.

2. Ulama wajib menyampaikan menyampaikan isi surah Al-Maidah ayat 51 kepada umat Islam bahwa memilih pemimpin muslim adalah wajib.

3. Setiap orang Islam wajib meyakini kebenaran isi surah Al-Maidah ayat 51 sebagai panduan dalam memilih pemimpin

4. Menyatakan bahwa kandungan surah Al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Al-Quran

5. Menyatakan bohong terhadap ulama yang menyampaikan dalil surah Al-Maidah ayat 51 tentang larangan menjadikan non muslim sebagai pemimpin adalah penghinaan terhadap ulama dan umat Islam

Berdasarkan hal diatas, maka pernyataan Basuki Tjahaja Purnama dikategorikan; (1) Menghina Al-Quran dan atau (2) menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum.

Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI yang dikeluarkan pada Tanggal 11 Oktober 2016 ini kemudian ditembuskan ke Kapolri sehari setelahnya yakni Tanggal 12 Oktober 2016. Selain

7

“Berdasarkan

rangkaian peristiwa hukum yang menimpa Pak Ahok, sulit jika tidak mengaitkan peristiwa ini dengan hal-hal politik”

Dr. Triana Dewi Seroja., S.H., M.Hum.

itu Pendapat dan Sikap Keagmaan MUI ini dijadikan dasar untuk membentuk kelompok yang diberi nama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF- MUI) pada Tanggal 12 Oktober 2016 yang kemudian pada Tanggal 14 Oktober 2016 dilakukan demonstrasi pertama kalinya untuk menuntut agar Pak Ahok diseret ke jalur hukum dengan dugaan penodaan Agama.

Selanjutnya pada tanggal 4 November 2016 kembali digelar aksi demonstrasi untuk menuntut agar Pak Ahok segera dijadikan tersangka penodaan agama dimana pada saat-saat terakhir unjuk rasa tersebut terjadi kericuhan dibeberapa tempat yang menurut Pidato Presiden Jokowi unjuk rasa tersebut ditunggangi oleh aktor-aktor politik. Selanjutnya pada saat dilakukannya unjuk rasa tersebut perwakilan pengunjuk rasa bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan menghasilkan suatu kesepakatan bahwa mengenai permasalahan Pak Ahok akan diselesaikan dengan proses hukum yang secepat-cepatnya dan dalam tempo waktu 14 hari Kepolisian akan menentukan status Pak Ahok. Kemudian dalam waktu 12 hari setelah adanya aksi 4 November tersebut yaitu

8

tepatnya pada Tanggal 16 November 2016 Pak Ahok dijadikan tersangka Penodaan Agama.

Berdasarkan rangkaian peristiwa hukum yang menimpa Pak Ahok, sulit jika tidak mengaitkan peristiwa ini dengan hal-hal politik apalagi dalam pidato Pak Jokowi dengan tegas menyatakan bahwa aksi ini telah ditunggangi aktor politik. Selain itu proses penegakan hukum disini juga susah dihindarkan bahwa tidak terjadi intervensi mengingat Kepolisian diberikan tenggang waktu 14 hari untuk bisa dengan segera menentukan status hukum Pak Ahok. Hal ini sebenarnya cukup terlihat bahwa perkara Pak Ahok ini tidak terlepas dari suatu intervensi yang ditujukan untuk kepentingan terrtentu.

Kronologis dikeluarkannya Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI ini juga perlu dilihat secara utuh jika kita memperhatikan kronologisnya tahap demi tahap disitu ada proses yang begitu cepat dalam mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keagamaan ini. Tanggal 9 Oktober 2016 sebagaimana dikutip dari berbagai berita Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin menyatakan bahwa belum ada rapat terkait dengan Pidato Pak Ahok di Kepulauan Seribu akan tetapi Tanggal 11 Oktober 2016 dengan waktu yang cukup cepat MUI mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keagamaan. Terlebih lagi Pendapat dan Sikap Keagamaan yang diambil/diputuskan oleh MUI ini tidak didahului dengan proses tabayyun (klarifikasi) kepada pihak yang bersangkutan (Pak Ahok). Padahal disetiap dugaan kasus penodaan agama semuanya selalu

9

“Tabayyun sebelum mengambil sikap/keputusan merupakan suatu hal yang wajib karena diperintahkan dalam Al-Quran, QS. Al-Hujurat:6. Oleh karena itu seharusnya MUI dalam mengambil keputusan juga harus melakukan tabayyun” Prof. Hamka Haq

melalui mekanisme tabayyun sebagai contoh kasus Lia Eden dan Ahmad Musaddeg MUI sebelum mengambil keputusan dilakukan tabayyun terlebih dahulu dan setiap keputusan yang diambil MUI terkait kasus penodaan agama selalu melalui Fatwa bukan melalui Pendapat dan Sikap Keagamaan. Satu-satunya

kasus dugaan penodaan agama yang tidak melalui proses tabayyun dan tidak diputuskan melalui fatwa hanya pada kasus dugaan penodaan agama yang dilakukan Pak Ahok sehingga hal ini menimbulkan sebuah tanda tanya besar mengapa Pak Ahok seolah diberikan perlakuan yang berbeda. Ini lah tentunya yang mendasari kami berpendapat bahwa ada sesuatu yang kurang fair terhadap kasus dugaan Penodaan Agama yang disangkakan kepada Pak Ahok.

Tabayyun (klarifikasi) merupakan suatu hal yang sangat penting untuk mengetahui dan memahami maksud dan tujuan seseorang melakukan suatu tindakan karena tindakan seseorang dalam melakukan sesuatu sesunguhnya yang paling mengetahui dasar perbuatan itu adalah

10

orang itu sendiri. Itulah sebabnya dalam proses penegakan hukum di Indonesia mulai dari tahap penyidikan sampai ke tahap persidangan orang yang diduga melanggar hukum pasti akan dimintai keterangannya terlebih dahulu hal ini sebagai wujud suatu klarifikasi agar orang yang diduga melakukan pelanggaran tersebut bisa menjelaskan maksud dan tujuannya melakukan tindakannya. Menurut Prof. Hamka Haq dalam keterangannya sebagai ahli di muka persidangan mengatakan bahwa tabayyun sebelum mengambil sikap/keputusan merupakan suatu hal yang wajib karena hal itu perintah Al-Quran sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Hujurat ayat 6. Oleh karena itu seharusnya MUI dalam mengambil sikap/keputusan terhadap Pak Ahok juga seharusnya terlebih dahulu melakukan Tabayyun (klarifikasi) agar dalam mengambil sikap/keputusan bisa dilakukan dengan adil.

Dengan tidak dilakukannya tabayyun kepada Pak Ahok terkait dengan pidatonya di Kepulauan seribu tentu makna dan maksud dari Pidato Pak Ahok itu tidak dapat tertangkap dengan baik oleh MUI, apalagi MUI langsung membuat keputusan bahwa Pak Ahok telah menghina Al-Quran dan Menghina ulama. Padahal dalam pidato Pak Ahok di kepulauan seribu itu tidak pernah menyebut kata ulama dan makna mengenai pidato Pak Ahok yang menyinggung Al-Maidah Ayat 51 yang Pak Ahok maksudkan itu bukan terjemahan langsung dari QS. Al-Maidah Ayat 51 melainkan yang dimaksud Pak Ahok adalah tafsir selebaran yang pernah disebar

11

di Bangka Belitung pada saat Pak Ahok mencalonkan diri sebagai Gubernur.1 Oleh karena tidak adanya proses tabayyun yang dilakukan MUI kepada Pak Ahok sehingga dalam mengambil keputusan/sikap keagamaan ini perlu dipertanyakan terkait akurasi dalam pengambilan sikap keagamaan tersebut.

SEJARAH DAN FILOSOFI BERDIRINYA MUI

Majelis Ulama Indonsia (MUI) didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 Masehi dalam pertemuan alim ulama yang dihadiri oleh Majelis Ulama Daerah, Pimpinan Ormas Islam Tingkat Nasional, pembina kerohanian dari empat angkatan, serta beberapa tokoh Islam yang hadir sebagai pribadi.2 Majelis Ulama Indonesia (MUI) hadir ke pentas sejarah ketika bangsa Indonesia tengah berada di fase kebangkitan kembali, setelah selama tiga puluh tahun sejak kemerdekaan energi bangsa terserap dalam perjuangan politik, baik di dalam negeri maupun di dalam forum internasional, sehingga kurang mempunyai kesempatan untuk membangun menjadi bangsa yang maju dan berakhlak mulia.3

1 Penjelasan terkait hal ini bisa dilihat dalam Buku Saya dengan

Judul “Apakah Ahok Menistakan Agama Islam?”. 2 Profil Majelis Ulama Indonesia (Pusat dan Sumatera Utara), Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara, 2006, hal. 1. 3 Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia Edisi Revisi 2011 Hasil Rakernas MUI Tahun 2011), Diterbitkan oleh Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Pusat, 2011, hal. 4.

12

Pertemuan alim ulama yang melahirkan MUI tersebut ditetapkan sebagai Munas (Musyawarah Nasional) MUI Pertama. Dengan demikian, sebelum adanya MUI Pusat, terlebih dahulu di daerah-daerah telah terbentuk Majelis Ulama.4 Lahirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak terlepas dari faktor intern dan ekstern. Faktor intern ialah kondisi umat Islam dan bangsa Indonesia seperti rendahnya pemahaman dan pengalaman agama. Lebih daripada itu, kemajemukan dan keragaman umat Islam dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial, dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik selain dapat merupakan kekuatan, tetapi sering juga menjelma menjadi kelemahan dan sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Sedangkan faktor ekstern ialah suasana yang mengitari umat Islam dan bangsa Indonesia yang menghadapi tantangan global yang sangat berat.5 Beratnya tantangan ekstern ini dalam menghadapi persaingan global maka diperlukan sebuah situasi yang mendukung pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan agar pelaksanaan pembangunan tersebut bisa terlaksana dengan baik oleh karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam maka diperlukan fatwa-fatwa MUI untuk mendukung proses pembangunan yang sedang digalakkan pemerintah pada saat itu.

4 Profil Majelis Ulama Indonesia (Pusat dan Sumatera Utara), Op. Cit., hal. 2. 5 Ibid.

13

Prof. Hamka Haq yang juga Dewan Penasehat MUI dalam persidangan menjelaskan filosofi berdirinya MUI dalam keterangannya tersebut Prof. Hamka Haq menyatakan bahwa MUI ini didirikan oleh pemerintah pada tahun 1975. Maksudnya adalah untuk menjadi mitra pemerintah dalam rangka memperlancar pembangunan dan pemerintahan. Tujuannya adalah waktu itu pemerintah ingin membangun kerukunan trilogi: kerukunan internal umat beragama (Islam), kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dan pemerintah. Jadi, MUI dibangun dalam tiga komponen, tidak boleh menjadi rival khas agenda pemerintah. Itu filosofinya. Sehingga fatwa-fatwa yang seharusnya dibuat oleh MUI adalah fatwa yang berkaitan dengan kepentingan pemerintahan yakni yang bertujuan untuk kelancaran pembangunan.

Jadi, filosofinya itu adalah berkaitan dengan kepentingan pemerintah. Misalnya, pemerintah mau mengadakan proyek, apakah ini halal atau tidak. MUI memberi fatwa “halal,” silakan. Kalau haram, tidak dilaksanakan. Itu bagian dari perencanaan pembangunan dan pemerintahan karena MUI kan dibangun oleh pemerintah. MUI beda dengan Muhammadiyah, NU, dan ormas-ormas lain; yang terlahir dengan sendirinya. Tapi MUI dibangun oleh pemerintah untuk kepentingan kelancaran pembangungan pemerintahan. Waktu itu, rezim Pak Harto ada namanya trilogi pembangunan: pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas.

14

Seingat saya, pernah ada fatwa pada era Buya Hamka menjadi ketua umum. Ada fatwa yang dianggap waktu itu menjadikan pemerintah dalam posisi yang sulit kemudian fatwa itu dicabut pada era Buya Hamka. Tapi karena Buya Hamka seorang ulama yang punya integritas, merasa ada sedikit kedekatan dengan keluarnya fatwa itu beliau rela mengundurkan diri. Lebih lanjut Prof. Hamka Haq menjelaskan bahwa dalam perkara Pak Ahok ini Pak Ahok sebagai Gubernur yang bagian dari pemerintah. Jadi, Majelis Ulama harus memandangnya sebagai mitra. Tidak boleh dia pandang gubernur itu sebagai rival, sebagai lawan. Karena MUI didirikan untuk kepentingan bagaimana pemerintah menjalankan pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu, kalau ada sesuatu yang berkaitan dengan gubernur, mestinya Majelis Ulama memanggil gubernur untuk dilakukan tabayyun; karena MUI dan Pemerintah adalah mitra sehingga tidak ada salahnya MUI meminta klarifikasi oleh Guberur jika ada yang dipandang kurang tepat dalam sikap atau tindakan Gubernur. Terkecuali kalau memang MUI sudah memandangnya sebagai rival (saingan), maka hal itu jadi beda. Sudah lain dari filosofi pembentukan MUI.

Melihat dari sejarah dan filosofi berdirinya MUI maka terlihat sangat jelas bahwa MUI berdiri untuk membantu pemerintah dalam menjalankan tugas pemerintahan dan sebagai wadah untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Begitu besar dan pentingnya peranan dari MUI

15

dalam mewujudkan suatu pemerintahan yang baik maka seharusnya MUI membantu pemerintah dalam mewujudkan cita-cita pemerintahan yang baik. Oleh karena itu jika ada kesalahan dari aparatur pemerintah dalam menjalankan tugasnya seharusnya MUI telebih dahulu melakukan klarifikasi terhadap aparatur pemerintah tersebut dan memberikan saran agar aparatur dimaksud menjalankan pemerintahan dengan lebih baik sehingga proses kemitraan antara Pemerintah dan MUI bisa berjalan dengan baik.

KEDUDUKAN FATWA/SIKAP KEAGAMAAN MUI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Sebelum membahas mengenai kedudukan fatwa MUI dalam Hukum Positif di Indonesia kiranya kita perlu menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hukum positif itu sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui makna dari hukum positif itu dijelaskan dalam pelajaran pengantar ilmu hukum pada semester 1 pada saat seseorang mengambil jurusan Fakultas Hukum. Hukum positif ialah hukum yang berlaku di suatu negara. Keberlakuan hukum ini tertera dalam peraturan perundang-undangan atau dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan? Peraturan Perundang-undangan adalah Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga

16

negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. (Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Dalam Pasal 7 UU tersebut mengatur hirarki peraturan perundang-undangan yakni:

1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Ketetapan MPR 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang 4. Peraturan Pemerintah 5. Peraturan Daerah

Selain dari hirarki peraturan perundang-undangan ini lembaga atau komisi negara lainnya diberikan hak untuk membuat peratutan yang mana peraturannya tersebut dapat dikategorikan sebagai hukum positif yakni apabila terbentuknya suatu lembaga/komisi tersebut didasarkan pada Undang-Undang. Hal ini sejalan dengan yang diatur dalam Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Oleh karena itu Peraturan Menteri atau Peraturan Bank Indonesia misalnya termasuk kedalam Hukum Positif. Selanjutnya dari penjelasan tersebut diatas bagaimana dengan fatwa MUI? Sebelum membahas ini tentu kita harus melihat dulu kelembagaan MUI itu sendiri. Apakah MUI ini suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang, jika kita mengkaji secara seksama tidak ada undang-undang yang memerintahkan pembentukan lembaga MUI oleh karena itu jika

17

“MUI tidak dibentuk ataupun diperintahkan pembentukannya dengan undang-undang. Karena itu, MUI tidak berwenang mengeluarkan produk yang bisa menjadi hukum positif di Tanah Air.” Prof. Dr. Denny Indrayana

melihat ketentuan dalam Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 maka aturan/fatwa yang dikeluarkan MUI tidak lah dapat digolongkan sebagai hukum positif.

Terkait dengan kedudukan fatwa MUI dalam Hukum Positif di Indonesia, Prof. Denny Indrayana menjelaskan Ada dua hal yang harus dijawab sebelum menentukan apakah Fatwa MUI itu

merupakan hukum positif atau bukan. Pertama, bagaimanakah status kelembagaan MUI sendiri? Lalu, kedua, apakah MUI adalah lembaga yang bisa menghasilkan hukum positif? Untuk menjawab

pertanyaan pertama Prof. Denny menjelaskan sebagai berikut:

MUI dibentuk pada tahun 1975, dalam diri MUI ada berbagai sifat badan hukum, seperti ciri

lembaga negara, organisasi masyarakat, bahkan ada pula yang berpandangan berciri lembaga swadaya masyarakat.6

6http://nasional.kompas.com/read/2016/12/22/17262341/fatwa.m

ui.hukum.positif.dan.hukum.aspiratif diakses tanggal 5 Mei 2017

Pukul 14.26 WIB.

18

Misalnya, Profesor Tim Lindsey, Direktur CILIS (Center for Indonesian Law, Islam and Society) pada Melbourne University Law School berpendapat bahwa MUI adalah LSM yang juga mempunyai bersifat organ publik negara atau Quasi-Autonomous Non-Governmental Organization (QuANGO). Sifat MUI sebagai lembaga negara paling kuat terasa pada kewenangannya menerbitkan sertifikasi halal serta menerima dana sertifikasi halal, peran mana akan beralih kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Namun, ciri organ negara itu gugur salah satunya karena uang publik yang dikumpulkan tersebut tidak diizinkan diperiksa oleh komisi audit negara, utamanya BPK dan BPKP.

Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan Kedua Prof Denny menjelaskan bahwa MUI bukanlah badan, lembaga, komisi negara yang dibentuk dengan undang-undang, atau Pemerintah atas perintah undang-undang sebagaimana diatur dalam UU 12/2011. Memang, MUI disebutkan dalam beberapa Pasal UU No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, namun itu bukan berarti MUI dibentuk ataupun diperintahkan pembentukannya dengan undang-undang. Karena itu, MUI tidak berwenang mengeluarkan produk yang bisa menjadi hukum positif di Tanah Air.

Terkait dengan kedudukan Fatwa MUI dalam Hukum Positif di Indonesia Prof. Mahfud MD

19

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa Fatwa MUI bukan lah hukum positif karena itu fatwa MUI tidak mengikat dan keberlakuannya tidak bisa dipaksakan. Selanjutnya Prof. Hamka Haq juga memberikan pendapatnya bahwa Fatwa MUI itu bukan merupakan suatu hukum positif. Menurutnya ada 3 kategori yang bisa dijelaskan hubungan antara ayat-ayat Quran dan Hadist dengan Negara Hukum Indonesia yaitu: Yang pertama, ada ayat atau hadist yang otomatis berlaku karena dijamin berlakunya oleh UUD ’45, yaitu ibadah. Jadi, seluruh ayat tentang ibadah, seluruh hadist tentang ibadah itu berlaku dengan sendirinya karena dijamin oleh UUD ’45 Pasal 29: “Negara menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agamanya dan melaksanakan ibadahnya.” Jadi, kita harus ibadah sesuai agama kita. Seluruh ayat dan seluruh hadist tentang ibadah berlaku dengan sendirinya. Ini kategori pertama.

Kategori kedua, ada ayat hukum dan hadist hukum yang berlaku karena diberlakukan sebagai bagian dari hukum positif kita, sehingga diberlakukan sebagai bagian hukum positif. Contohnya ialah undang-undang tentang pernikahan. Ayat-ayat tentang nikah, hadist-hadist tentang nikah itu berlaku. Kenapa berlaku? Karena diberlakukan oleh undang-undang kita, undang-undang perkawinan. Dalam undang-undang perkawinan disebutkan perkawinan itu sah kalau dilaksanakan berdasarkan syariat agama masing-masing. Berarti, ayat-hadist tentang perkawinan berlaku setelah

20

diundangkannya undang-undang perkawinan, sebagai bagian dari hukum positif. Itu kategori kedua.

Kategori ketiga adalah ayat-ayat atau hadist-hadist hukum yang tidak diberlakukan karena tidak diterima atau tidak dianggap sebagai bagian dari hukum. Contohnya, surat Al-Maidah 38: wa as-sariqu wa as-sariqotu faqtha’u aydiyhuma. Laki-laki pencuri, perempuan pencuri, potong tangannya! Ini ayat, semua umat Islam yakin kebenarannya. Tapi ini tidak berlaku di Indonesia karena yang berlaku di Indonesia tentang pencuri adalah KUHP. Dan dalam KUHP tidak ada ketentuan yang mengatakan pencuri dihukum menurut agamanya masing-masing.

Melihat dari apa yang para ahli jelaskan maka sangat jelas bahwa Fatwa MUI bukanlah hukum positif karena sesuatu yang menjadi hukum positif harus masuk kategori peraturan perundang-undangan atau suatu lembaga/komisi negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang sedangkan pembentukan lembaga MUI tidak dibentuk berdasarkan UU sehingga apa yang menjadi keputusan atau aturan yang dikeluarkan oleh MUI tidak dapat dinilai sebagai hukum positif. Adapun yang berpendapat bahwa Fatwa MUI ini sebagai bagian dari sumber hukum, perlu diketahui bahwa sumber hukum itu terdiri dari beberapa jenis yakni: Peraturan Perundang-Undangan, Yurispudensi, Perjanjian/Konvensi Internasional, Kebiasaan Ketatanegaraan, dan Doktrin. Jika Fatwa MUI ini

21

disebutkan sebagai doktrin sebenarnya juga kurang tepat karena doktrin tersebut lahir dari pendapat seseorang yang mana pendapat itu bersifat umum(tidak spesifik pada kasus tertentu) dan telah berulang-ulang kali digunakan dalam kasus yang sama. Sedangkan Fatwa MUI ini merupakan pendapat kelembagaan dan juga bersifat individual sehingga kategori sebagai sumber hukum juga dapat dikatakan kurang tepat.

PENUTUP

Berdasarkan uraian tersebut diatas tentunya kita harus melihat dan mencermati kasus Pak Ahok ini dengan baik dan melepaskan segala kepentingan apapun itu termasuk kepentingan politik, golongan suku dan segala kepentingan lainnya. Hal ini menjadi sangat-sangat penting karena hukum harus ditegakkan dengan seadil-adilnya karena dengan penegakan hukum secara adil lah maka pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara dapat tercapai sebagaimana yang diamanahkan dalam pembukaan UUD 1945 yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perjalanan kasus Pak Ahok ini banyak sekali kejanggalan yang belum terungkap dengan baik mengingat persidangan Pak Ahok tidak disiarkan secara langsung oleh karena itu sebagai seorang yang memiliki tanggung jawab hukum maka saya memiliki kewajiban untuk menyampaikan apa yang saya pandang benar terkait dengan kasus hukum Pak Ahok. Kejanggalan itu sangat bisa terlihat dari

22

“Kita harus melihat dan mencermati kasus Pak Ahok ini dengan baik dan melepaskan segala kepentingan apapun itu termasuk kepentingan politik, golongan, suku dan segala kepentingan lainnya agar keadilan bisa ditegakkan dengan seadil-adilnya”. Dr. Humphrey R. Djemat., S.H., L.LM

proses Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI yang tidak melalui proses tabayyun terlebih dahulu sehingga hal ini sangat merugikan Pak Ahok karena jika proses tabayyun itu dilakukan maka besar kemungkinan Pak Ahok tidak terjerat dalam dugaan kasus penodaan agama mengingat maksud Pak Ahok dalam menyampaikan pidatonya sangat berbeda dengan sikap keagamaan yang dikeluarkan MUI berdasarkan persepsi

dari MUI itu sendiri tanpa adanya tabayyun (klarifikasi).

Selain itu masyarakat juga perlu mengetahui bahwa Fatwa MUI bukanlah Hukum Positif/Hukum yang berlaku di Indonesia oleh sebab itu Fatwa MUI tidak dapat dijadikan pijakan untuk menyatakan seseorang telah melakukan kesalahan atau menjustifikasi seseorang telah melakukan penodaan/penistaan agama apalagi sampai dijadikan landasan untuk menghukum seseorang.

23

Jika fatwa MUI saja yang memiliki tata cara untuk menetapkan suatu fatwa (nomenklatur) dalam pengambilan keputusan di dalam Pedoman MUI saja tidak dapat dijadikan sebagai suatu hukum positif terlebih lagi dengan Pendapat dan Sikap Keagamaan yang proses pengambilan keputusannya tidak memiliki tata cara (nomenklatur) di dalam Pedoman MUI. Oleh karena itu terhadap dugaan kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Pak Ahok tidak tepat jika landasan yang digunakan adalah Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI.

24