PENDAHULUAN pneumoni
-
Upload
amelia-michiko-posumah -
Category
Documents
-
view
15 -
download
2
Transcript of PENDAHULUAN pneumoni
PENDAHULUAN
Pneumonia adalah infeksi saluran akut bagian bawah yang mengenai
parenkim paru. Menurut anatomis pneumonia pada anak dibedakan menjadi
pneumonia lobaris, pneumonia interstisialis, dan bronkopneumonia.1
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di Negara berkembang. Insiden penyakit ini pada negara berkembang
yaitu 30 % pada anak usia di bawah 5 tahun, sekaligus sebagai penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah 5 tahun (balita). 2 Diperkirakan
hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita,
meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan
Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% angka
kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit
sistem respiratori, terutama pneumonia. 2,3,4
DEFINISI
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis, yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli,
sehingga menyebabkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat. 2
ETIOLOGI
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus
merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Patogen
penyebab pneumonia
pada anak bervariasi tergantung : 5,6,7
a. Usia
b. Status imunologis
c. Status lingkungan
d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
e. Status imunisasi
f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi).
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi
pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp,
atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S.
aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut,
sering juga ditemukan infeksi
Mycoplasma pneumoniae.5,6,7
Secara garis besar etiologi pneumonia dapat dibagi: 2
1. Faktor Infeksi
a. Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus
(RSV).
b. Pada bayi :
- Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus.
- Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
- Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza,
Mycobacterium tuberculosa, Bordetella pertusis.
c. Pada anak-anak :
- Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV
- Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
- Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis
d. Pada anak besar – dewasa muda :
- Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
- Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis
2. Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi
a. Pneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung
(zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
b. Pneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara
intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu
mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan
posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan
pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada
jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung
asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan
minyak ikan.
KLASIFIKASI
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan,
dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli
telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti
secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan. 2,4
a). Berdasarkan lokasi lesi di paru
- Pneumonia lobaris
- Pneumonia lobularis (bronkopneumoni)
- Pneumonia interstitialis
b). Berdasarkan asal infeksi
- Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia
=CAP)
- Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
c). Berdasarkan mikroorganisme penyebab
- Pneumonia bakteri
- Pneumonia virus
- Pneumonia mikoplasma
- Pneumonia jamur
d). Berdasarkan karakteristik penyakit
- Pneumonia tipikal
- Pneumonia atipikal
e). Berdasarkan lama penyakit
- Pneumonia akut
- Pneumonia persisten
Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lingkungan dan Pejamu : 5,8
Tabel 1. Klasifikasi Berdasarkan Lingkungan dan Penjamu 5
Tipe Klinis Epidemiologi
Pneumonia Komunitas Sporadis atau endemic; muda atau orang
tua
Pneumonia Nosokomial Didahului perawatan di RS
Pneumonia Rekurens Terdapat dasar penyakit paru kronik
Pneumonia Aspirasi Alkoholik, usia tua
Pneumonia pada gangguan imun Pada pasien transplantasi, onkologi, AIDS
PATOGENESIS
Pneumonia mencangkup setiap keadaan radang paru dimana beberapa atau
seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis pneumonia yang
umum adalah pneumonia bakterialis yang paling sering disebabkan oleh
pneumokokus.9
Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai
parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme
pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik.
Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan
mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan
respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel. 1,5
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau
bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas
bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas
bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan
kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar
25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.1,5
Mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran
respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah
proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang
terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit,
cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium
hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin
dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini
disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di
alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris
menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner
jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal. 1,5
Pneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di sepanjang
jalan napas atas yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius, menyebabkan
obstruksi jalan napas akibat bengkak, sekresi abnormal, dan debris seluler.
Diameter jalan napas yang kecil pada bayi menyebabkan bayi rentan terhadap
infeksi berat. Atelektasis, edema interstisial, dan ventilation-perfusion mismatch
menyebabkan hipoksemia yang sering disertai obstruksi jalan napas. Infeksi viral
pada traktus respiratorius juga dapat meningkatkan risiko terhadap infeksi bakteri
sekunder dengan mengganggu mekanisme pertahanan normal pejamu, mengubah
sekresi normal, dan memodifikasi flora bakterial.5
Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik
bervariasi tergantung organisme yang menginvasi. M. pneumoniae menempel
pada epitel respiratorius, menghambat kerja silier, dan menyebabkan destruksi
seluler dan memicu respons inflamasi di submukosa. Ketika infeksi berlanjut,
debris seluler yang terlepas, sel-sel inflamasi, dan mukus menyebabkan obstruksi
jalan napas, dengan penyebaran infeksi terjadi di sepanjang cabang-cabang
bronkial, seperti pada pneumonia viral. S. pneumoniae menyebabkan edema lokal
yang membantu proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya ke bagian paru
lain, biasanya menghasilkan karakteristik sebagaibercak-bercak konsolidasi
merata di seluruh lapangan paru.6,7
Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan
infeksi yang lebih difus dengan pneumonia interstisial. Pneumonia lobar tidak
lazim. Lesi terdiri atas nekrosis mukosa trakeobronkial dengan pembentukan
ulkus yang compang camping dan sejumlah besar eksudat, edema, dan perdarahan
terlokalisasi. Proses ini dapat meluas ke sekat interalveolar dan melibatkan fasa
limfatika. Pneumonia yang disebabkan S.aureus adalah berat dan infeksi dengan
cepat menjelek yang disertai dengan morbiditas yang lama dan mortalitas yang
tinggi, kecuali bila diobati lebih awal. Stafilokokus menyebabkan penggabungan
bronkopneumoni yang sering unilateral atau lebih mencolok pada satu sisi
ditandai adanya daerah nekrosis perdarahan yang luas dan kaverna tidak teratur.1
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu): 2
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
GEJALA KLINIK
Pneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40 derajat C
dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah,
dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan
sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal
penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya
berupa batuk kering kemudian menjadi berlendir. Penyakit ini sering ditemukan
bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan laringitis. Anak
besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut
tertekuk dengan nyeri dada. 1,5,10
PEMERIKSAAN FISIK
Dalam pemeriksaan fisik ditemukan hal-hal sebagai berikut : 5
Suhu tubuh ≥ 38,5 0 C
Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal,
dan pernapasan cuping hidung.
Takipneu berdasarkan WHO:
Usia < 2 bulan ≥ 60 x/menit
Usia 2-12 bulan ≥ 50 x/menit
Usia 1-5 tahun ≥ 40 x/menit
Usia 6-12 tahun ≥ 28 x/menit
Pada palpasi ditemukan fremitus vokal menurun.
Pada perkusi lapangan paru redup pada daerah paru yang terkena.
Pada auskultasi dapat terdengar suara pernafasan menurun. Fine crackles
(ronki basah halus) yang khas pada anak besar bisa tidak ditemukan pada
bayi, kadang terdengar juga suara bronkial.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam batas
normal. Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara
15.000-40.000/mm3 dengan predominan PMN. Kadang-kadang terdapat
anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara umum,
hasil pemeriksaan darah periferlengkap dan LED tidak dapat membedakan
antara infeksi virus dan bakteri secarapasti.5,11
2. C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi
bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada
infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda.
CRP kadang digunakan untuk evaluasi respons terhadap terapi antibiotik.1,4
Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang pemeriksaan
radiologi untuk mengetahui spesifikasi pneumonia karena pneumokokus
dengan nilai CRP ≥ 120 mg/l dan prokalsitonin ≥ 5 ng/ml. 7
3. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan hasil yang
positif. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap
tenggorok, sekret nasofaring tidak memiliki nilai yang berarti. Diagnosis
dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau
aspirasi paru.5
4. Pemeriksaan serologis
Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
tipik mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis
infeksi Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer
antibodi seperti antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Uji serologik
IgM dan IgG antara fase akut dan konvalesen pada anak dengan infeksi
pneumonia oleh Chlamydia pneumonia dan Mycoplasma pneumonia memiliki
hasil yang memuaskan tetapi tidak bermakna pada keadaan pneumonia berat
yang memerlukan penanganan yang cepat.5,7
5. Pemeriksaan Roentgenografi
Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar diagnosis
utama pneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat dan timbul gejala klinis
berupa takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara pernafasan. Kelainan foto
rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran
klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis
pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa
tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas penegakkan diagnosis.5,7,11
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
1. Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronchial cuffing dan overaeriation. Bila berat
terjadi pachy consolidation karena atelektasis.
2. Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia
lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar,
berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi
tumor paru disebut sebagai round pneumonia.
3. Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.5
DIAGNOSIS
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau
serologis merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri
penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorium penunjang yang
memadai. Tidak ada gejala distress pernafasan, takipneu, batuk, ronki, dan
peningkatan suara pernafasan dapat menyingkirkan dugaan pneumonia.
Terdapatnya retraksi epigastrik, interkostal, dan suprasternal merupakan indikasi
tingkat keparahan. Pada bronkopneumoni, bercakbercak infiltrat didapati pada
satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya
komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau
perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai. Pada
bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal. Kadar
hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun.5,7
Tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita, upaya
penanggulangannya WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana
yang sederhana. Tujuannya ialah menyederhanakan kriteria diagnosis berdasarkan
gejala klinis yang dapat dideteksi, menetapkan klasifikasi penyakit, dan
menentukan penatalaksanaan. Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan-5 tahun
adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, demam,
atau menggigil. 5
Klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut. 7
1. Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun :
a. Pneumonia berat
- Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan ≥ 50 x/menit, Usia 1-5 tahun ≥
40 x/menit
- Adanya retraksi
- Sianosis
- Anak tidak mau minum
- Tingkat kesadaran yang menurun dan merintih (pada bayi)
- Anak harus dirawat dan di terapi dengan antibiotik
b. Pneumonia
- Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan ≥ 50 x/menit, Usia 1-5 tahun ≥
40 x/menit
- Adanya retraksi
- Anak perlu di rawat dan berikan terapi antibiotik
Pada bayi berusia dibawah 2 bulan, perjalanan penyakit lebih bervariasi.
Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut : 7
1. Pneumonia
- Bila ada nafas cepat ≥ 60 x/menit atau sesak nafas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik
2. Bukan pneumonia
- Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas
- Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatik
PENATALAKSANAAN
A. Penatalaksanaan antibiotika : 6,11
1). Pemberian antibiotika berdasarkan derajat penyakit
a. Pneumonia ringan
- Amoksisilin 25 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis sehari selama 3 hari. Di
wilayah resistensi penisilin yang tinggi dosis dapat dinaikan sampai 80-90
mg/kgBB.
- Kotrimoksazol (trimetoprim 4 mg/kgBB – sulfametoksazol 20mg/kgBB)
dibagi dalam 2 dosis sehari selama 5 hari.
b. Pneumonia berat
- Kloramfenikol 25 mg/kgBB setiap 8 jam- Seftriakson 50 mg/kgBB i.v setiap
12 jam.
- Ampisilin 50 mg/kgBB i.m sehari empat kali, dan gentamisin 7,5 mg/kgBB
sehari sekali
- Benzilpenisilin 50.000 U/kgBB setiap 6 jam, dan gentamisin 7,5 mg/kgBB
sehari sekali.
- Pemberian antibiotik diberikan selama 10 hari pada pneumonia tanpa
komplikasi, sampai saat ini tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi
antibiotik yang optimal.
2). Pemberian antibiotik berdasarkan umur : 6,11
a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
- ampicillin + aminoglikosid
- amoksisillin-asam klavulanat
- amoksisillin + aminoglikosid
- sefalosporin generasi ke-3
b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
- beta laktam amoksisillin
- amoksisillin-amoksisillin klavulanat
- golongan sefalosporin
- kotrimoksazol
- makrolid (eritromisin)
c. Anak usia sekolah (> 5 thn)
- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)
B. Penatalaksaan suportif
- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau PaO2
pada analisis
gas darah ≥ 60 torr
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena dengan dosis awal 0,5
x 0,3 x defisit basa x BB (kg). Selanjutnya periksa ulang analisis gas darah
setiap 4-6 jam. Bila analisis gas darah tidak bisa dilakukan maka dosis awal
bikarbonat 0,5 x 2-3 mEq x BB (kg).
- Obat penurun panas dan pereda batuk sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam
pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibiotik awal. Obat
penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi,
atau penderita kelainan jantung.6,11
PROGNOSIS
Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat
diturunkan sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan malnutrisi energi
protein dan yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi. 11