PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69730/po...daya). Faktor...

33
1  BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa Jawa merupakan bahasa yang memiliki jumlah penutur paling banyak di antara bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Bahasa Jawa digunakan oleh masyarakat etnis Jawa yang sebagian besar tinggal di Pulau Jawa, khususnya di Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten. Di samping itu, bahasa Jawa juga dipakai di beberapa tempat lain di luar Pulau Jawa, seperti di Lampung, sekitar Medan, daerah-daerah transmigrasi di Indonesia, di antaranya: sebagian Provinsi Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, dan beberapa tempat di luar negeri, yaitu Suriname, Belanda, New Caledonia, dan Pantai Barat Johor (Malaysia) (Marsono, 2011: 12). Luasnya daerah persebaran bahasa Jawa di Pulau Jawa menyebabkan munculnya banyak variasi dialek bahasa Jawa, seperti yang ditemukan di beberapa daerah, termasuk di Kabupaten Purworejo. Luasnya wilayah pemakaian bahasa Jawa tersebut merupakan salah satu penyebab munculnya berbagai varian atau dialek bahasa Jawa, di antaranya dialek Pekalongan, Banyumas, Kebumen, Purworejo, Yogyakarta, dan Solo (Fernandez, 1993: 6). Luasnya wilayah pakai bahasa Jawa itu secara tidak disadari dipengaruhi oleh lingkungannya masing-masing, antara lain 1) politik dan budaya (keraton), 2) lingkungan alam, seperti alam pegunungan di wilayah Gunung Bromo yang Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek) HANIFAN LUDI P Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Transcript of PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69730/po...daya). Faktor...

1  

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bahasa Jawa merupakan bahasa yang memiliki jumlah penutur paling

banyak di antara bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Bahasa Jawa digunakan oleh

masyarakat etnis Jawa yang sebagian besar tinggal di Pulau Jawa, khususnya di

Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten. Di

samping itu, bahasa Jawa juga dipakai di beberapa tempat lain di luar Pulau Jawa,

seperti di Lampung, sekitar Medan, daerah-daerah transmigrasi di Indonesia, di

antaranya: sebagian Provinsi Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, dan beberapa

tempat di luar negeri, yaitu Suriname, Belanda, New Caledonia, dan Pantai Barat

Johor (Malaysia) (Marsono, 2011: 12). Luasnya daerah persebaran bahasa Jawa di

Pulau Jawa menyebabkan munculnya banyak variasi dialek bahasa Jawa, seperti

yang ditemukan di beberapa daerah, termasuk di Kabupaten Purworejo. Luasnya

wilayah pemakaian bahasa Jawa tersebut merupakan salah satu penyebab

munculnya berbagai varian atau dialek bahasa Jawa, di antaranya dialek

Pekalongan, Banyumas, Kebumen, Purworejo, Yogyakarta, dan Solo (Fernandez,

1993: 6).

Luasnya wilayah pakai bahasa Jawa itu secara tidak disadari dipengaruhi

oleh lingkungannya masing-masing, antara lain 1) politik dan budaya (keraton), 2)

lingkungan alam, seperti alam pegunungan di wilayah Gunung Bromo yang

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2  

memengaruhi terbentuknya bahasa Jawa dialek Tengger, dan 3) bahasa-bahasa

daerah lain, seperti bahasa Sunda yang berdekatan dengan bahasa Jawa di wilayah

Jawa Tengah bagian barat memengaruhi bahasa Jawa dialek Banyumas.

Pengaruh-pengaruh seperti itu menyebabkan bahasa Jawa memiliki variasi

fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Namun, bahasa Jawa tersebut masih

dapat dipahami oleh pemakainya dalam berkomunikasi dan mereka tetap merasa

memiliki bahasa yang satu, yakni bahasa Jawa (Zulaeha, 2010: 74). Demikian

halnya yang terjadi di Kabupaten Purworejo, keadaan kebahasaannya juga

dipengaruhi oleh faktor politik dan budaya, keadaan alam, dan dialek-dialek

daerah lain.

Uhlenbeck (1982: 75 dalam Zulaeha, 2010: 74) menyatakan bahwa bahasa

Jawa mempunyai 4 dialek dan 13 subdialek. Keempat dialek bahasa Jawa itu

adalah dialek 1) Banyumas, 2) Pesisir, 3) Surakarta, dan 4) Jawa Timur. Adapun

ketiga belas subdialek bahasa Jawa itu adalah subdialek 1) Purwokerto, 2)

Kebumen, 3) Pemalang, 4) Banten Utara, 5) Tegal, 6) Semarang, 7) Rembang, 8)

Surakarta (Solo), 9) Yogyakarta, 10) Madiun, 11) Surabaya, 12) Banyuwangi, dan

13) Cirebon. Dialek Yogyakarta dan Solo merupakan dialek bahasa Jawa yang

dianggap baku. Dialek-dialek tersebut sering memperlihatkan perbedaan-

perbedaan yang mencolok. Untuk memahami perbedaan-perbedaan tersebut perlu

diadakan penelitian yang lebih mendalam terhadap dialek-dialek yang ada.

Batas daerah pakai bahasa Jawa dialek Jawa Tengah bagian barat (bahasa

Jawa dialek Banyumas, kemudian disingkat BJDB) dan bahasa Jawa dialek Jawa

Tengah bagian timur (bahasa Jawa dialek Yogyakarta, kemudian disingkat BJDY)

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3  

berada di Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Purworejo. Kabupaten Purworejo

merupakan salah satu kabupaten yang terletak di daerah perbatasan antara kedua

wilayah pakai dialek tersebut. Kabupaten Purworejo berbatasan dengan

Kabupaten Wonosobo (Provinsi Jawa Tengah) di sebelah utara, Samudera Hindia

di sebelah selatan, Kabupaten Kebumen (Provinsi Jawa Tengah) di sebelah barat,

Kabupaten Kulonprogo (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) di sebelah timur,

dan Kabupaten Magelang (Provinsi Jawa Tengah) di sebelah timur laut.

Berdasarkan letak geografisnya tersebut, dapat diketahui bahwa letak Kabupaten

Purworejo berada di perbatasan dua kebudayaan, yaitu kebudayaan Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat dan kebudayaan Banyumasan (Jawa Tengah barat

daya). Faktor geografis terkait dengan jarak (jauh atau dekat) suatu daerah dengan

pusat budaya dan pengaruh daerah perbatasan turut memengaruhi variasi

kebahasaan tiap-tiap daerah di Kabupaten Purworejo.

Dilihat dari sudut pandang bahasa, bahasa Jawa Purworejo (selanjutnya

disingkat BJP) merupakan dialek bahasa transisi atau campuran antara bahasa

Jawa dialek Yogyakarta dan bahasa Jawa dialek Kebumen (selanjutnya disingkat

BJDK) yang banyak diwarnai oleh dialek Banyumas.

Daerah yang dipengaruhi oleh BJDY meliputi daerah-daerah di bagian

timur yang berbatasan dengan Kabupaten Kulonprogo, yaitu Kecamatan

Purwodadi, Bagelen, Kaligesing, dan Loano. Tuturan yang digunakan oleh

masyarakat di daerah ini menunjukkan ciri-ciri linguistik yang mirip dengan

bahasa Jawa dialek Yogyakarta. Daerah yang mendapat pengaruh dari BJDK

mencakupi daerah-daerah di bagian barat yang berbatasan dengan Kabupaten

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4  

Kebumen, yaitu Kecamatan Grabag, Butuh, dan Pituruh. Masyarakat tuturnya

memiliki karakteristik pemakaian bahasa Jawa yang mirip dengan pemakaian

bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen. Daerah di bagian tengah yang terdiri dari

Kecamatan Purworejo, Banyuurip, Bayan, Kutoarjo, Kemiri, Gebang, dan

Ngombol dimungkinkan tuturan yang digunakan oleh masyarakatnya merupakan

tuturan asli BJP yang dapat dijadikan sebagai standar bagi tuturan daerah-daerah

lain di kabupaten tersebut. Selain itu, terdapat dua kecamatan yang berbatasan

dengan wilayah kabupaten lain, yaitu Kecamatan Bruno dan Bener. Kecamatan

Bruno berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo (Provinsi Jawa Tengah),

sedangkan Kecamatan Bener berbatasan dengan Kabupaten Magelang (Provinsi

Jawa Tengah). Kedua kecamatan ini terletak di bagian utara dan timur laut

wilayah Kabupaten Purworejo.

Berkaitan dengan wilayah Kabupaten Purworejo menurut topografinya,

sebagian besar wilayah Kabupaten Purworejo berupa dataran rendah, yaitu di

bagian selatan, tengah, dan barat, meliputi seluruh Kecamatan Grabag, Ngombol,

Purwodadi dan sebagian besar Kecamatan Purworejo, Banyuurip, Bayan,

Kutoarjo, Butuh, dan Pituruh. Sedangkan bagian utara dan timur Kabupaten

Purworejo yang meliputi seluruh Kecamatan Kaligesing, Bruno dan sebagian

besar Kecamatan Bagelen, Kemiri, Gebang, Loano, dan Bener memiliki

kenampakan/ bentang alam berupa dataran tinggi, yang merupakan bagian dari

Pegunungan Serayu dan Pegunungan Menoreh (Data BPS Kabupaten Purworejo

Tahun 2009).

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

5  

Dengan keadaan geografis seperti telah diuraikan di atas, dapat

ditunjukkan bahwa masyarakat Purworejo merupakan masyarakat tutur yang

memiliki ciri-ciri linguistik yang unik. Keunikan karakteristik linguistiknya

terlihat karena adanya pengaruh dari dua ciri dialek yang berbeda, yaitu dialek

Yogyakarta dan dialek Kebumen yang banyak diwarnai oleh dialek Banyumas. Di

Kabupaten Purworejo terdapat penutur yang tuturannya mencerminkan ciri-ciri

kedua dialek tersebut.

Pemilihan Kabupaten Purworejo sebagai lokasi penelitian pemakaian

bahasa Jawa dengan tinjauan geografi dialek didasarkan pada beberapa alasan

yang diperlihatkan dalam pengamatan sementara (prasurvei) di lapangan sebagai

berikut.

Pertama, Kabupaten Purworejo secara geografis terletak di antara dua

wilayah pakai bahasa Jawa yang berbeda, yaitu wilayah pakai bahasa Jawa dialek

Yogyakarta dan wilayah pakai bahasa Jawa dialek Kebumen. Kabupaten

Purworejo berbatasan dengan Kabupaten Kulonprogo (Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta) di sebelah timur dan Kabupaten Kebumen (Provinsi Jawa Tengah) di

sisi barat. Berdasarkan letak geografisnya tersebut, dapat diketahui bahwa

Kabupaten Purworejo berada di perbatasan dua kebudayaan, yaitu kebudayaan

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan kebudayaan Banyumasan (Jawa Tengah

barat daya).

Kedua, dari hasil pengamatan sementara (prasurvei) di lapangan,

Kabupaten Purworejo memiliki karakteristik pemakaian bahasa Jawa yang

berbeda dengan pemakaian bahasa Jawa baku di Yogyakarta dan pemakaian

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

6  

bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen karena BJP merupakan dialek transisi atau

campuran antara bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan bahasa Jawa dialek

Kebumen.

Ketiga, beberapa titik pengamatan penelitian berada di sisi selatan

Pegunungan Serayu dan di sisi barat Pegunungan Menoreh. Faktor ketinggian

tempat sehingga sebuah daerah mudah atau sulit dijangkau oleh alat transportasi

turut memengaruhi variasi BJP di tiap daerah. Penutur yang tinggal di daerah

yang secara geografis letaknya terpencil dan jalur perhubungannya relatif sukar

sehingga menimbulkan hambatan komunikasi antarpenutur, berkemungkinan

memiliki bahasa atau dialek tersendiri. Sebaliknya, penutur yang secara geografis

tinggal berdekatan dan jalur perhubungannya relatif mudah serta didukung oleh

sarana dan prasarana transportasi yang memadai, berkemungkinan memiliki

bahasa atau dialek yang sama. Namun demikian, dalam kenyataannya, hal itu juga

tidak berlaku sepenuhnya.

Keempat, adanya perubahan politik. Berdasarkan catatan sejarah,

Kabupaten Purworejo dahulu merupakan daerah yang berada di bawah kuasa

administrasi dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (daerah pusat budaya).

Keadaan kebahasaan pada waktu itu banyak dipengaruhi oleh pemakaian bahasa

Jawa daerah pusat budaya (bahasa Jawa dialek Yogyakarta). Karena adanya

perubahan politik, Kabupaten Purworejo kemudian―sampai

sekarang―dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Tengah.

Adanya perubahan status ini menyebabkan hubungan komunikasi masyarakat

Purworejo dengan daerah-daerah yang masuk wilayah administrasi Provinsi

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

7  

Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi jarang. Akibatnya, masyarakat Purworejo

lebih sering berkomunikasi dengan masyarakat yang tinggal di daerah-daerah

sewilayah administrasi Provinsi Jawa Tengah, seperti Kabupaten Kebumen,

Wonosobo, dan Magelang. Hal ini memungkinkan terjadinya perubahan variasi

tuturan pada BJP.

Sejumlah gambaran di atas mendorong dilakukannya kajian geografi

dialek bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo.

1.2 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian “Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo” ini termasuk dalam

kajian geografi dialek. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan kajiannya

pada geografi dialek yang bersifat sinkronis. Secara sinkronis, kajian geografi

dialek dilakukan dengan cara membandingkan variasi tuturan antara satu titik

pengamatan dengan titik pengamatan lain dalam masa yang sama. Geografi dialek

merupakan salah satu cabang dari kajian dialektologi. Dialektologi merupakan

cabang linguistik yang mempelajari variasi bahasa. Yang dimaksud dengan variasi

bahasa adalah perbedaan-perbedaan bentuk yang terdapat dalam suatu bahasa.

Perbedaan tersebut menyangkut semua unsur kebahasaan, yaitu fonologi,

morfologi, leksikon, sintaksis, dan semantik.

Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.

Pemilihan Kabupaten Purworejo sebagai lokasi penelitian pemakaian bahasa Jawa

dengan tinjauan geografi dialek dikarenakan tuturan bahasa Jawa yang dipakai

oleh masyarakat di daerah ini memiliki kekhasan tersendiri yang tampak sebagai

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

8  

perpaduan antara dua dialek bahasa Jawa yang berbeda, yaitu dialek Yogyakarta

dan dialek Kebumen.

Bahasa Jawa yang dikaji dalam penelitian ini adalah bahasa Jawa yang

digunakan oleh masyarakat Purworejo dalam komunikasi keseharian, yaitu bahasa

Jawa dalam bentuk ngoko. Bahasa Jawa Purworejo (BJP) secara umum memiliki

tiga variasi tuturan, yaitu variasi tuturan BJP yang dipengaruhi oleh bahasa Jawa

dialek Yogyakarta (BJDY), tuturan BJP yang mendapat pengaruh dari bahasa

Jawa dialek Kebumen (BJDK), dan variasi tuturan BJP yang mendapat pengaruh

dari dialek Yogyakarta dan dialek Kebumen sehingga tuturannya mencerminkan

ciri-ciri kedua dialek tersebut.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan hasil pengamatan sementara (prasurvei) di lapangan, ada

permasalahan kebahasaan yang perlu diteliti di wilayah Kabupaten Purworejo

dengan pendekatan geografi dialek. Adapun permasalahan kebahasaan tersebut

dirumuskan dengan pertanyaan berikut ini.

1. Sistem fonologi, morfologi, dan leksikon apa yang digunakan bahasa Jawa di

Kabupaten Purworejo?

2. Bagaimanakah persebaran variasi ujaran bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo

berdasarkan sembilan titik pengamatan yang telah ditetapkan?

3. Bagaimanakah hubungan kekerabatan yang terjalin di antara semua titik

pengamatan?

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

9  

1.4 Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan latar belakang dan perumusan masalah di atas, penelitian

ini bertujuan untuk

1. mendeskripsikan secara sinkronis varian berbagai tataran kebahasaan yang

meliputi variasi pada tataran fonologi, morfologi, dan leksikon bahasa Jawa

yang digunakan di Kabupaten Purworejo;

2. memetakan persebaran variasi ujaran bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo

sesuai dengan sembilan titik pengamatan yang telah ditetapkan; dan

3. mendeskripsikan hubungan kekerabatan yang terjalin di antara semua titik

pengamatan dengan menggunakan metode dialektometri.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara

teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan kontribusi bagi perkembangan studi linguistik, utamanya dalam

bidang dialektologi. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan

rujukan bagi penelitian selanjutnya mengingat pemakaian bahasa Jawa di

Kabupaten Purworejo bersifat dinamis atau selalu berkembang. Hasil penelitian

ini secara praktis diharapkan dapat membantu masyarakat dalam memahami dan

berkomunikasi praktis menggunakan BJP. Hal ini dikarenakan tiap-tiap daerah di

Kabupaten Purworejo memiliki tuturan yang berbeda. Dengan memahami tipe-

tipe tuturan masing-masing daerah yang ada di Kabupaten Purworejo, diharapkan

masyarakat tidak akan lagi menemui kendala dalam berkomunikasi.

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

10  

1.6 Tinjauan Pustaka

Kajian dialektologi telah banyak dilakukan, baik oleh para linguis maupun

peneliti lainnya. Kajian-kajian tersebut meliputi kajian dialektologi secara umum

maupun kajian dialektologi secara khusus, seperti kajian geografi dialek dan

sosiodialektologi. Beberapa dari kajian tersebut dipaparkan berikut ini.

Ayatrohaedi (1983) dalam Dialektologi: Sebuah Pengantar memaparkan

kajian dialektologi secara umum. Dalam buku ini, Ayatrohaedi menjelaskan

gambaran umum ihwal kajian geografi dialek dan memaparkan seluk-beluk

penelitian geografi dialek, mulai dari teori, metode, sampai pada langkah-langkah

penelitian.

Mahsun (1995) dalam Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar

memfokuskan kajiannya pada dialektologi yang bersifat diakronis. Dalam buku

ini, proses kemunculan kajian dialektologi dipaparkan secara dalam dan

terperinci. Hal ini sejalan dengan pemikiran Mahsun yang menganggap bahwa

kajian dialektologi sebagai kajian yang mengungkapkan secara tuntas suatu dialek

atau subdialek yang hanya mungkin terjadi jika kajian tersebut tidak hanya berupa

pemerian (bersifat sinkronis), tetapi juga bersifat historis (diakronis). Dalam buku

ini, kajian geografi dialek tidak banyak dibicarakan.

Mubarok (2007) dalam Penggunaan Bahasa Jawa di Kabupaten

Banyumas, Jawa Tengah: Kajian Geografi Dialek mendeskripsikan perbedaan

leksikal yang ada di dalam bahasa Jawa dialek Banyumas (BJDB) serta

memetakan perbedaan leksikal tersebut. Hasil yang diperoleh adalah deskripsi

perbedaan leksikal yang ada di dalam bahasa Jawa dialek Banyumas yang

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

11  

dianalisis dengan menggunakan perhitungan dialektometri dan pemetaan

perbedaan leksikal yang ditunjukkan dengan peta isoglos dan heteroglos. Selain

itu, ditemukan pula karakteristik bahasa Jawa dialek Banyumas pada tataran

fonologi, morfologi, dan semantik.

Pujiyatno (2007) dalam Variasi Bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen

(Kajian Sosiodialektologi) meneliti pemakaian bahasa Jawa di Kabupaten

Kebumen dengan menggunakan kajian sosiodialektologi, yaitu perpaduan kajian

di bidang sosiolinguistik dan bidang dialektologi. Tujuan penelitian ini adalah (1)

memerikan perbedaan variasi dialek bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen pada

tataran fonologi, morfologi, leksikon, dan tingkat tutur, (2) memetakan variasi

dialek bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen, (3) memerikan faktor-faktor yang

menyebabkan perbedaan tersebut secara geografis dan sosiokultural.

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah (1)

Kabupaten Kebumen merupakan daerah pertemuan dua dialek bahasa Jawa, yaitu

bahasa Jawa dialek Banyumas, disebut bahasa Jawa Ngapak dan bahasa Jawa

dialek Yogyakarta, disebut bahasa Jawa Bandek; (2) Daerah-daerah yang dilalui

jalan raya atau memiliki akses yang lebih mudah untuk berhubungan dengan

daerah lain, lebih mudah menerima pengaruh bahasa Jawa Bandek; (3) Daerah

yang sulit dijangkau atau tidak memiliki akses hubungan dengan daerah lain,

seperti di daerah pegunungan lebih mempertahankan bahasanya; (4) Daerah yang

setengah-setengah karena pada zaman dahulu pernah ada jalan, tetapi kemudian

tidak digunakan lagi dalam waktu yang lama, setelah mendapatkan pengaruh

kemudian tertutup dari pengaruh selanjutnya sehingga mengalami variasi yang

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

12  

lain; (5) Masuknya pengaruh bahasa Jawa Bandek, yaitu melalui leksikon, bukan

melalui bunyi. Hal ini dikarenakan bunyi lebih sulit; (6) Perkembangan antara

krama-ngoko dengan leksikon memiliki cara yang berbeda. Perkembangan krama-

ngoko melalui bidang pendidikan dan jabatan-jabatan, seperti guru dan pamong

desa; (7) Sebagian daerah BJKK, khususnya bagian barat Kabupaten Kebumen

sudah memiliki bahasa krama Ngapak; (8) BJKK memiliki tingkat tutur krama

model a dan o; dan (9) Adanya perbedaan bahasa Jawa dialek Bandek dan Ngapak

di bidang fonologi.

Ismiharta (2005) dalam Geografi Dialek Bahasa Jawa Kulonprogo

memaparkan gejala bahasa di bidang fonetik dan morfologi bahasa Jawa

Kulonprogo (BJKP), serta menemukan gejala uniknya. Dalam skripsi ini,

Ismiharta melengkapi analisisnya dengan peta isoglos dan heteroglos, serta

melakukan penghitungan secara statistik dengan metode dialektometri. Dari hasil

penelitian, dapat diketahui bahwa kondisi geografis memberikan pengaruh yang

besar terhadap variasi yang terjadi pada BJKP. Wilayah pegunungan memiliki

kekhasan tuturan lebih banyak daripada wilayah dataran rendah dan daerah

pesisir.

Rohmatunnazilah (2007) dalam tesisnya yang berjudul Pemakaian Bahasa

Jawa di Provinsi DIY (Tinjauan Sosiodialektologi) meneliti dialektologi dalam

hubungannya dengan keadaan sosial masyarakat yang memengaruhi variasi

pemakaian bahasa Jawa di Provinsi DIY (BJDIY). Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan variasi pemakaian BJDIY dengan menggunakan variabel sosial,

yaitu dari latar belakang pekerjaan, pendidikan, dan usia penutur BJDIY. Dengan

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

13  

mendasarkan diri pada perbedaan desa-kota, data penelitian diambil dari tiga titik

pengamatan (TP) yang mewakili TP kota dan TP desa.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah: (1) BJDIY memiliki 8 fonem

vokal dan 21 fonem konsonan; (2) Pada tataran morfologis, disimpulkan terjadi

proses afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan; (3) Pada tataran sintaksis,

disimpulkan bahwa berdasarkan fungsi yang berhubungan dengan situasi,

pemakaian kalimat dalam BJDIY meliputi kalimat deklaratif, interogatif, dan

imperatif; (4) Variasi leksikal yang terjadi dalam BJDIY menunjukkan gejala

onomasiologis, epentesis, metatesis, dan disimilasi. Di samping itu, dalam BJDIY

terdapat leksikon relik dan inovasi, baik yang terjadi secara internal maupun

eksternal; dan (5) Variasi tingkat tutur dalam BJDIY terjadi pada tingkat tutur

ngoko, madya, dan krama dengan ditandai oleh variasi kata tugas, kata krama,

penanda fonologis, morfologis, dan leksikal.

Nuryuniastuti (2007) dalam Variasi Pemakaian Bahasa Jawa di

Gunungkidul (Kajian Geografi Dialek) mendeskripsikan pemakaian bahasa Jawa

di Gunungkidul secara geografis dengan pembuatan isoglos dan heteroglos,

menemukan variasinya, serta mendeskripsikan hubungan variasi bahasa antartitik

pengamatan dengan perhitungan dialektometri. Dari hasil penelitian, dapat

diketahui bahwa di Kabupaten Gunungkidul terdapat dua titik pengamatan yang

hubungan kekerabatan antara titik pengamatan yang satu dengan titik pengamatan

yang lain merupakan perbedaan dialek. Hal ini disebabkan oleh mobilitas

penduduknya yang dipengaruhi oleh topografi dan ketinggian tempat.

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

14  

Sejauh ini, belum ditemukan literatur yang membahas bahasa Jawa

Purworejo (BJP) secara spesifik. Eka Yuli Astuti (2009) dalam Pemakaian

Bahasa Jawa di Wilayah Eks Karesidenan Kedu Jawa Tengah (Kajian

Sosiodialektologi) merupakan salah satu peneliti yang menyinggung bahasa Jawa

Purworejo (BJP). Namun, dalam tesis tersebut BJP tidak dibahas secara khusus.

Penelitian tersebut bersifat global dengan mencakup seluruh wilayah eks

Karesidenan Kedu dan hanya mengambil sebagian dari wilayah Kabupaten

Purworejo sebagai titik pengamatannya.

1.7 Landasan Teori

Dialektologi pada dasarnya merupakan ilmu tentang dialek; atau cabang

dari linguistik yang mengkaji perbedaan-perbedaan isolek1 dengan

memperlakukan perbedaan tersebut secara utuh (Mahsun, 1995: 11). Kridalaksana

(2009: 49) mendefinisikan dialektologi sebagai cabang linguistik yang

mempelajari variasi-variasi bahasa dengan memperlakukannya sebagai struktur

yang utuh.

Keraf (1996: 143) menyebut dialektologi dengan istilah geografi dialek.

Geografi dialek adalah cabang ilmu bahasa yang khusus mempelajari variasi-

variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal dari semua aspeknya. Aspek bahasa

yang dimaksud meliputi fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik.

Menurut Dubois, dkk., (1973: 230 dalam Ayatrohaedi, 1983: 29), geografi

dialek adalah cabang dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di

                                                            1 Istilah isolek digunakan sebagai istilah netral untuk perbedaan dialek atau bahasa, seperti yang disarankan oleh Hudson (1970).

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

15  

dalam ragam-ragam bahasa, dengan bertumpu kepada satuan ruang atau tempat

terwujudnya ragam-ragam tersebut. Sosiodialektologi adalah cabang dialektologi

yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa, dengan

bertumpu kepada satuan sosial ragam-ragam bahasa tersebut. Geografi dialek atau

dialek geografi merupakan awal mula kajian dialektologi yang mendasarkan pada

variasi bahasa secara struktural geografis. Adapun dialek sosial mendasarkan pada

variasi bahasa pada kelompok-kelompok sosial masyarakat penuturnya (Zulaeha,

2010: 27).

Geografi dialek mempunyai kedudukan yang penting di dalam ilmu

bahasa umumnya dan dialektologi pada khususnya. Kedudukannya yang penting

itu terutama disebabkan oleh alasan praktis. Dengan penelitian geografi dialek,

maka sebenarnya pada saat dan kesempatan yang sama telah dapat diperoleh

gambaran umum mengenai sejumlah dialek sehingga hal tersebut sangat

menghemat waktu, tenaga, dan dana (Meillet, 1967: 78 dalam Ayatrohaedi, 1983:

31).

Gambaran umum mengenai sejumlah dialek seperti dikatakan di atas baru

akan tampak jelas jika semua gejala kebahasaan yang ditampilkan dari bahan yang

terkumpul selama penelitian itu dipetakan. Oleh karena itu, kedudukan dan

peranan peta bahasa di dalam kajian geografi dialek merupakan sesuatu yang

secara mutlak diperlukan. Dengan peta-peta bahasa itu, baik persamaan maupun

perbedaan yang terdapat di antara dialek-dialek yang diteliti itu dapat

divisualisasikan (Ayatrohaedi, 1983: 31).

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

16  

Penelitian dialektologi akan memunculkan deskripsi data (berian)

penelitian. Pemetaan dalam bidang dialektologi berarti memindahkan data

(berian) yang dikumpulkan dari daerah penelitian ke dalam peta dialektologi. Peta

dialektologi merupakan representasi sifat-sifat yang ada di daerah penelitian.

Ada tiga jenis peta dalam laporan hasil penelitian dialektologi. Ketiga peta

tersebut adalah peta dasar, peta titik pengamatan, dan peta data. Peta dasar

berisikan sifat-sifat (geografis) yang berhubungan dengan daerah penelitian,

seperti sungai, gunung, dan danau. Peta titik pengamatan berisikan titik

pengamatan penelitian. Adapun peta data berisikan data penelitian. Pemetaan

berian dalam penelitian ini menggunakan sistem lambang. Penggunaan sistem

lambang akan memudahkan peneliti dan terutama pembaca dalam membaca dan

menafsirkan peta berian.

Untuk membagi daerah penelitian ke dalam daerah dialek dapat digunakan

metode dialektometri. Istilah dialektometri diperkenalkan oleh Seguy pada tahun

1973. Yang dimaksud dengan dialektometri adalah ukuran statistik yang

digunakan untuk melihat seberapa jauh perbedaan yang terdapat pada tempat-

tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah unsur yang terkumpul dari

tempat tersebut. Selanjutnya, metode ini telah digunakan oleh para peneliti

dialektologi untuk membagi daerah bahasa ke dalam daerah dialek, subdialek,

atau untuk melihat perbedaan pada tingkat wicara (Nadra dan Reniwati, 2009:

80).

Semua teori yang telah disampaikan di atas dijadikan sebagai dasar

dilaksanakannya penelitian bahasa Jawa Purworejo ini.

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

17  

1.8 Prosedur, Data, dan Metode Penelitian

1.8.1 Prosedur Penelitian

Prosedur menyangkut tahapan atau urutan penggunaan teknik (Sudaryanto,

1992: 26). Dalam penelitian bahasa, prosedur memberikan gambaran urutan

pekerjaan yang ditempuh dalam penelitian (Djajasudarma, 1993: 2). Penelitian ini

dilakukan sesuai dengan prosedur dalam penelitian dialek sebagaimana

dikemukakan oleh Fernandez (1993: 38–39). Menurut Jati Kesuma (2007: 28),

penelitian yang sistematis adalah penelitian yang dilaksanakan dengan melewati

tiga tahap, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil penelitian.

Paparan ketiga tahap penelitian itu diuraikan berikut ini.

1.8.1.1 Tahap Persiapan Penelitian/ Prapenelitian

Sebelum melaksanakan penelitian di lapangan, peneliti atau pengumpul

data perlu mempersiapkan diri dengan hal-hal yang menyangkut penetapan daerah

penelitian, perancangan instrumen atau daftar pertanyaan penelitian, dan

pemilihan informan. Ketiga unsur ini sangat menentukan ketepatan dan kesahihan

data.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan daerah

pemakaian bahasa yang ingin diteliti dan menentukan titik pengamatan sekaligus

satuan titik pengamatan. Dalam menentukan titik pengamatan, penelitian ini

menggunakan kriteria Nothofer (1987: 5 dalam Mahsun, 1995: 103), yaitu secara

kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, kriteria yang digunakan adalah 1)

daerah pengamatan itu tidak dekat atau bertetangga dengan kota besar, 2)

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

18  

mobilitas penduduknya tergolong rendah (untuk sampel desa) dan tidak terlalu

tinggi (untuk sampel kota), 3) berpenduduk maksimal 6.000 jiwa, dan 4) usia titik

pengamatan/ desa paling rendah 30 tahun. Secara kuantitatif, penentuan titik

pengamatan dilakukan dengan memperhitungkan jarak antardaerah pengamatan.

Jarak yang dapat digunakan untuk penentuan daerah pengamatan didasarkan pada

jarak rata-rata antarsatuan daerah pengamatan yang ditentukan sebagai daerah

pengamatan. Penentuan daerah pengamatan secara kuantitatif hanya dilakukan

jika isolek yang digunakan di daerah-daerah pengamatan itu bersifat homogen

atau diduga terdapat pemakaian bahasa Jawa yang menarik. Jika isolek yang

digunakan bersifat heterogen, ukuran jarak tidak dipermasalahkan. Hal ini

dikarenakan penelitian dialektologi lebih mementingkan pemakaian isolek yang

beragam.

Titik pengamatan dipilih dengan mempertimbangkan beberapa faktor,

seperti letak secara geografis (jarak dari pusat kabupaten, jarak dengan titik

pengamatan lain, adanya pemisah dengan titik pengamatan lain), sarana

transportasi, dan kemungkinan adanya pengaruh dari dialek daerah lain.

Penentuan satuan titik pengamatan terutama harus didasarkan pada kondisi

linguistis daerah pakai bahasa yang dialek/ subdialeknya diteliti. Dialektologi

pada hakikatnya mencari perbedaan penggunaan isolek, maka dalam proses

penentuan satuan titik pengamatan, terlebih dahulu mencari informasi tentang

sampai tingkat apa (menurut kriteria administratif) rata-rata perbedaan pemakaian

isolek itu muncul (Mahsun, 1995: 102).

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

19  

Berdasarkan kondisi linguistis daerah penelitian di Kabupaten Purworejo,

maka satuan yang dijadikan sebagai titik pengamatan dalam penelitian ini adalah

wilayah desa, mengingat rata-rata perbedaan pemakaian isolek itu muncul

umumnya pada tingkat desa. Selain itu, penentuan wilayah desa sebagai acuan

titik pengamatan juga dikarenakan satuan tersebut membatasi lokasi penelitian

sehingga lokasi penelitian tidak terlalu luas jika dibandingkan dengan penggunaan

kecamatan ataupun kabupaten sebagai satuan titik pengamatan.

Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.

Kabupaten Purworejo terdiri dari 16 kecamatan, yaitu Kecamatan Bagelen,

Banyuurip, Bayan, Bener, Bruno, Butuh, Gebang, Grabag, Kaligesing, Kemiri,

Kutoarjo, Loano, Ngombol, Pituruh, Purwodadi, dan Purworejo. Penelitian ini

dilaksanakan pada medio April–Juli 2011 (selama ± 4 bulan). Titik pengamatan

(TP) dalam penelitian ini berjumlah 9 desa/ TP yang tersebar di 9 kecamatan

untuk mewakili keseluruhan kecamatan yang ada di Kabupaten Purworejo.

Berdasarkan temuan data di lapangan, kesembilan TP tersebut menunjukkan

perbedaan bentuk variasi ujaran secara signifikan untuk mewakili daerah di

Kabupaten Purworejo yang dipengaruhi oleh bahasa Jawa dialek Yogyakarta

(BJDY), daerah yang mendapat pengaruh dari bahasa Jawa dialek Kebumen

(BJDK), dan daerah yang mendapat pengaruh dari BJDY dan BJDK. Kesembilan

TP tersebut adalah TP 1 (Desa Brunorejo, Kecamatan Bruno), TP 2 (Desa

Kaligintung, Kecamatan Pituruh), TP 3 (Desa Wonosuko, Kecamatan Kemiri), TP

4 (Desa Gebang, Kecamatan Gebang), TP 5 (Desa Bleber, Kecamatan Bener), TP

6 (Desa Tambakrejo, Kecamatan Purworejo), TP 7 (Desa Sokoagung, Kecamatan

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

20  

 

Bagelen), TP 8 (Desa Sokoharjo, Kecamatan Kutoarjo), dan TP 9 (Desa

Klandaran, Kecamatan Ngombol). Setiap kecamatan dipilih satu desa yang

letaknya tidak terlalu berdekatan dengan kecamatan lain karena dikhawatirkan

akan mendapat pengaruh bahasa dari kecamatan lain tersebut.

Sistem penomoran titik pengamatan tergantung pada bentuk peta daerah

penelitian. Penomoran titik pengamatan dalam penelitian ini dilakukan dari atas

ke bawah. Pemilihan model penomoran tersebut didasarkan pada pola persebaran

kecamatan yang ada di Kabupaten Purworejo yang cenderung dari atas ke bawah.

Pemilihan model penomoran yang tepat dapat memudahkan peneliti dalam

membuat polygones de thiessen dan peta dialektometri. Titik pengamatan ditandai

dengan bentuk elips untuk menghindari kerancuan dengan simbol lainnya pada

saat pemberian simbol pada peta bahasa. Penomoran titik pengamatan dalam

penelitian ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

1

2 5 3 4 8 6

7 9

Gambar 1. Penomoran Titik Pengamatan Penelitian

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

21  

Tabel 1. Titik Pengamatan Penelitian TP Daerah Pengamatan

TP 1 Desa Brunorejo, Kecamatan Bruno TP 2 Desa Kaligintung, Kecamatan Pituruh TP 3 Desa Wonosuko, Kecamatan Kemiri TP 4 Desa Gebang, Kecamatan Gebang TP 5 Desa Bleber, Kecamatan Bener TP 6 Desa Tambakrejo, Kecamatan Purworejo TP 7 Desa Sokoagung, Kecamatan Bagelen TP 8 Desa Sokoharjo, Kecamatan Kutoarjo TP 9 Desa Klandaran, Kecamatan Ngombol

Setelah selesai menetapkan lokasi penelitian dan menentukan titik

pengamatan, langkah berikutnya adalah menyiapkan instrumen penelitian yang

berupa daftar pertanyaan. Daftar pertanyaan merupakan instrumen yang sangat

penting dalam penelitian dialektologi. Daftar pertanyaan ini dirancang sebelum

peneliti terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data. Daftar pertanyaan dalam

penelitian ini disusun berdasarkan daftar 200 kosakata dasar Swadesh. Daftar

tanyaan itu kemudian dikembangkan menjadi 400 pertanyaan (200 kosakata dasar

Swadesh+200 kosakata tambahan) dalam bentuk gloss/ kosakata dialektal yang

terbagi dalam medan makna 1) bagian-bagian tubuh manusia, 2) kata ganti orang

dan istilah kekerabatan, 3) binatang dan bagian-bagian tubuhnya, 4) tumbuhan,

bagian-bagian, buah, dan hasil olahannya, 5) alam, 6) rumah dan bagian-

bagiannya, 7) alat, 8) penyakit dan obat, 9) nama hari, 10) kata tanya dan kata

penghubung, 11) bilangan dan ukuran, 12) waktu, musim, dan arah, 13) sifat,

keadaan, dan warna, dan 14) aktivitas. Penyusunan daftar pertanyaan menurut

medan makna tersebut dimaksudkan agar dapat memfokuskan pikiran informan

pada satu topik pembicaraan ketika pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dan dapat

membantu analisis dalam melihat medan makna yang cukup representatif bagi

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

22  

pemilahan isolek menjadi dialek/ subdialek (Kurath, 1972: 3–5 dan Healey, 1975:

4 dalam Fernandez, 1993: 21).

Penelitian dialek yang hanya memakai 200 kosakata dasar Swadesh

dianggap belum cukup memadai. Oleh karena itu, data tambahan diperlukan

sebagai perluasan daftar tanyaan yang berguna untuk melengkapi berbagai

informasi kebahasaan mengenai dialek bahasa yang diteliti. Selain berisi daftar

200 kosakata dasar Swadesh, daftar pertanyaan isinya juga menyangkut beberapa

hal, seperti perbedaan linguistik yang pernah diamati oleh peneliti sendiri, kata-

kata tertentu yang maknanya mungkin lebih dari satu unsur yang dipinjam,

bentuk-bentuk kalimat sederhana, dan data tambahan sebagai perluasan daftar

tanyaan.

Dari daftar pertanyaan itu, diperoleh data leksikal. Data ini berguna untuk

mencari tahu tingkat hubungan kekerabatan antar-isolek yang diteliti. Hubungan

kekerabatan itu bisa bersifat bahasa atau dialek yang berbeda atau sama. Data itu

juga dapat dimanfaatkan untuk kajian selanjutnya, misalnya untuk mengetahui

hubungan kekerabatan dengan bahasa lain. Selain itu, dari daftar pertanyaan

leksikal sekaligus pula diperoleh data fonologis (Francis, 1983: 55, Chambers dan

Trudgill, 1980: 28–33 dalam Nadra dan Reniwati, 2009: 53).

Selain data kebahasaan, unsur lain yang memiliki peran penting dalam

penelitian dialektologi adalah informan. Informan penelitian adalah orang yang

memberikan informasi data dialek bahasa yang diteliti. Informan disebut juga

pembahan oleh Ayatrohaedi (1979). Informan ini merupakan syarat mutlak dalam

penelitian kebahasaan yang bersumber pada bahasa lisan. Informan penelitian

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

23  

dialektologi dipilih dengan menggunakan kriteria tertentu. Dalam memilih

informan, peneliti menggunakan kriteria yang dikemukakan oleh Ayatrohaedi

(1979: 48–50), Nothofer (1991: 5), dan Fernandez (1992: 2).

Dalam penelitian geografi dialek, diperlukan banyak informan sehingga

dapat diperoleh gambaran yang lebih objektif mengenai situasi kebahasaan

setempat (Samarin, 1988: 28 dalam Mahsun, 1995: 106). Untuk itu, dalam

penelitian ini, setiap titik pengamatan (TP) dipilih tiga orang informan (satu

informan primer, satu informan sekunder, dan satu informan tersier). Penunjukan

informan tersier ini dikarenakan sebagian berian yang diberikan oleh informan

primer dan sekunder di beberapa TP saling berbeda. Informan tersier berperan

dalam memastikan berian yang dianggap mewakili variasi ujaran bahasa Jawa

Purworejo di TP-TP tersebut. Agar kesahihan data terjamin, pemilihan seseorang

untuk dijadikan informan harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai

berikut.

a. Usia ideal seorang informan adalah berusia pertengahan (40–50 tahun) karena

pada usia tersebut informan diasumsikan telah menguasai bahasa atau

dialeknya, tetapi belum sampai pada taraf pikun. Informan yang terlalu muda

atau terlalu tua dianggap kurang sesuai.

b. Memiliki artikulator yang lengkap. Informan yang memiliki artikulator lengkap

(tidak ompong, tidak cadel, dan sebagainya) dimungkinkan data yang

diberikannya benar dan valid.

c. Berpendidikan cukup (SD–SMP). Maksudnya, latar pendidikan informan bukan

berlatar pendidikan yang terlalu tinggi dan juga bukan berlatar pendidikan yang

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

24  

terlalu rendah. Informan yang berlatar pendidikan terlalu tinggi dikhawatirkan

bahasanya akan mendapat pengaruh kebahasaan dari luar, sedangkan informan

yang memiliki latar pendidikan terlalu rendah dikhawatirkan akan kesulitan

memahami pertanyaan yang diajukan dan tidak bisa memberikan data seperti

yang diharapkan.

d. Tidak buta huruf, karena pada proses wawancara, peneliti perlu meminta

informan untuk menuliskan beberapa berian yang mereka ucapkan. Hal

tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa informan mengetahui dan

menguasai berian yang mereka berikan kepada peneliti.

e. Merupakan penduduk asli pribumi, sekurang-kurangnya sampai dua generasi di

atasnya. Informan yang orang tuanya bukan merupakan penduduk pribumi

dikhawatirkan bahasa/ dialek yang digunakannya mendapat pengaruh dari

bahasa/ dialek orang tuanya.

f. Menguasai bahasanya secara “murni”. Maksudnya, informan hanya sedikit

mendapat pengaruh dari bahasa/ dialek yang digunakan di daerah lain.

Meskipun demikian, hal tersebut tidak terlalu memengaruhi bahasa/ dialek asli

informan.

g. Mobilitas ke luar daerah kecil. Maksudnya, informan jarang/ tidak pernah

melakukan perjalanan ke daerah lain karena hal ini menyangkut kemurnian

bahasa, seperti yang diungkapkan di atas.

h. Tidak pernah pergi ke luar daerahnya dalam jangka waktu yang lama. Informan

yang pernah pergi ke luar daerahnya dalam jangka waktu yang lama

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

25  

dikhawatirkan bahasanya akan mendapat pengaruh dari bahasa tempat mereka

pernah tinggal tersebut.

i. Bukan termasuk kelompok “wong cilik”. Informan yang dipilih bukan termasuk

kelompok masyarakat dari kalangan bawah yang cenderung menutup diri

terhadap orang asing. Jika orang tersebut dipilih sebagai informan,

dikhawatirkan orang tersebut tidak akan memberikan data berian yang

diharapkan oleh peneliti.

Tahap selanjutnya adalah menyiapkan pendanaan dan mengurus perizinan,

menyiapkan peta lokasi penelitian yang akan dikunjungi, menyiapkan alat

perekam, kamera, peralatan tulis, dan borang/ bahan penelitian yang lain, dan

melakukan survei awal ke lokasi penelitian sebelum kunjungan resmi dilakukan.

Selain itu, beberapa hal yang tidak boleh dilalukan sebelum melaksanakan

penelitian lapangan adalah mempelajari batas-batas administratif dan geografis

dari daerah yang diteliti, mempelajari aspek-aspek sosio-kultural dari daerah yang

akan diteliti, dan mempelajari tinjauan-tinjauan yang pernah dilakukan orang

ihwal penelitian bahasa di daerah yang akan diteliti.

1.8.1.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah semua tahap persiapan selesai dilakukan, penelitian lapangan bisa

dilaksanakan. Penelitian dimulai dengan menyiapkan peta dasar yang memuat

titik pengamatan dan lokasi desa yang akan didatangi (peta dasar linguistik dan

peta daerah pengamatan dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran).

Langkah berikutnya adalah mengumpulkan data dari informan.

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

26  

Dalam pelaksanaan/ proses wawancara dengan informan, peneliti terlebih

dahulu memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud dan tujuan dari

penelitian yang dilakukan. Barulah kemudian peneliti mengajukan pertanyaan

kepada informan. Pertanyaan yang diajukan berupa daftar kosakata dialektal yang

sudah disusun secara berurutan menurut bidang semantik/ medan maknanya.

Peneliti kemudian mencatat semua data berian dengan cermat disertai pemakaian

alat perekam yang digunakan untuk mengecek kembali pengucapan semua data

berian.

1.8.1.3 Tahap Pelaporan Hasil Penelitian/ Pascapenelitian

Setelah penelitian lapangan selesai dilakukan, data berian informan yang

berasal dari catatan dan rekaman kemudian melewati proses transkripsi fonetis

dan tabulasi data. Semua data ditranskripsi secara baik dan ditata/ disajikan dalam

bentuk tabel atau daftar untuk memudahkan pengamatan dan evaluasi. Transkripsi

fonetis dalam penelitian ini menggunakan sistem lambang IPA (International

Phonetic Association). Namun, sistem tersebut juga masih memiliki kekurangan

dikarenakan banyaknya jenis bunyi yang ditemukan dalam bahasa-bahasa di dunia

(Verhaar, 2006: 41).

Tahap selanjutnya adalah memerikan varian berbagai tataran kebahasaan

yang meliputi varian fonologi, morfologi, dan leksikon dari semua titik

pengamatan. Dalam pemerian fonologi dialek, yang perlu dilakukan adalah

menginventarisasikan sistem fonem yang umum berlaku di semua titik

pengamatan. Aspek-aspek fonologis yang dideskripsikan adalah realisasi dan

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

27  

distribusi fonem-fonem atau pemerian masalah alofon dari fonem-fonem yang

berlaku secara umum dalam sistem fonem BJP.

Data antara TP yang satu dengan TP yang lain lalu diperbandingkan untuk

mengamati apa yang berlaku umum dan mencari perbedaan-perbedaan atau

variasi menarik yang ada pada bahasa/ dialek yang diteliti. Perbedaan-perbedaan

yang ditemukan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam peta dasar sesuai

dengan tataran kebahasaan masing-masing (peta variasi fonologi, morfologi, dan

leksikon). Pengisian berian ke dalam peta dasar dilakukan dengan menggunakan

sistem lambang, yaitu dengan cara mengganti berian itu dengan lambang-lambang

tertentu. Berian yang sama atau dianggap bersumber kepada satu bentuk dasar

yang sama dinyatakan dengan lambang yang sama, dengan beberapa perbedaan

kecil pada setiap ragam. Sementara untuk berian yang berbeda, digunakan

lambang yang jelas perbedaannya. Pemakaian sistem lambang memudahkan

penulisan di dalam peta bahasa karena penelitian ini memiliki titik pengamatan

yang luas dan berian yang terkumpul terlalu banyak ragamnya di satu tempat

(Ayatrohaedi, 1983: 53). Tahap selanjutnya adalah melakukan perhitungan

statistik dengan metode dialektometri, membuat peta heteroglos, polygones de

thiessen, dan peta dialektometri.

1.8.2 Data Penelitian

1.8.2.1 Bahan, Data, dan Objek Penelitian

Dalam penelitian bahasa, ada tiga hal yang sebaiknya dipahami dengan

baik oleh peneliti bahasa. Ketiga hal tersebut adalah bahan, data, dan objek

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

28  

penelitian. Bahan penelitian di bidang bahasa terdiri atas dua jenis, yaitu bahan

mentah dan bahan jadi penelitian. Bahan mentah penelitian merujuk pada “calon

data”, sedangkan bahan jadi merujuk pada “data” penelitian. Bahan mentah

penelitian berupa “sampel lingual”, sedangkan bahan jadinya berupa “data

lingual”. Bahan mentah atau “calon data” adalah segenap atau keseluruhan tuturan

yang karena dipandang representatif, cukup mewakili, dan mengandung

kelimpahan data, dipilih oleh peneliti (Jati Kesuma, 2007: 25).

Populasi merupakan “calon bahan mentah” penelitian (Jati Kesuma, 2007:

25). Dalam penelitian bahasa, populasi itu adalah jumlah keseluruhan pemakaian

bahasa tertentu yang tidak diketahui batas-batasnya akibat dari banyaknya orang

yang memakai (dari ribuan sampai jutaan), lamanya pemakaian (di sepanjang

hidup penutur-penuturnya), dan luasnya daerah serta lingkungan pemakaian

(Sudaryanto, 1995: 36). Dalam penelitian ini, populasi lingualnya meliputi semua

tuturan bahasa Jawa dengan berbagai aspek tataran kebahasaan (fonologi,

morfologi, dan leksikon) yang ada di wilayah Kabupaten Purworejo.

Sampel dipilih dari populasi, tetapi tidak berarti merupakan bentuk mini

atau bonsaiannya populasi. Sampel merupakan “bahan mentah” atau “calon data”

penelitian (Jati Kesuma, 2007: 25). Sampel lingual dalam penelitian ini adalah

tuturan bahasa Jawa berkaitan dengan pemakaian bahasa Jawa di Kabupaten

Purworejo yang telah ditetapkan dan disusun dalam instrumen penelitian yang

berupa daftar pertanyaan.

Adapun yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah tuturan bahasa

Jawa yang dipakai oleh penutur/ penduduk asli Kabupaten Purworejo. Data

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

29  

merupakan bahan jadi penelitian (Sudaryanto, 1995: 9). Data dijaring dari sampel

penelitian. Pada hakikatnya, data adalah objek penelitian beserta dengan

konteksnya (Sudaryanto, 1988: 10). Data dalam penelitian ini adalah daftar berian

200 kosakata dasar Swadesh dan daftar berian 200 kosakata tambahan yang telah

diurutkan klasifikasinya ke dalam medan makna 1) bagian-bagian tubuh manusia,

2) kata ganti orang dan istilah kekerabatan, 3) binatang dan bagian-bagian

tubuhnya, 4) tumbuhan, bagian-bagian, buah, dan hasil olahannya, 5) alam, 6)

rumah dan bagian-bagiannya, 7) alat, 8) penyakit dan obat, 9) nama hari, 10) kata

tanya dan kata penghubung, 11) bilangan dan ukuran, 12) waktu, musim, dan

arah, 13) sifat, keadaan, dan warna, dan 14) aktivitas.

1.8.3 Metode Penelitian

1.8.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan secara langsung ke

lapangan, ke tempat sumber data berada. Melalui cara ini, peneliti secara langsung

merasakan keadaan geografis, budaya, dan situasi kebahasaan masyarakat yang

bersangkutan (Nadra dan Reniwati, 2009: 64). Metode pengumpulan data

lapangan yang digunakan adalah metode cakap/ wawancara. Metode ini cocok

dengan penelitian dialektologi yang bersumber pada data lisan. Metode cakap

memiliki teknik dasar berupa teknik pancing dan teknik lanjutan berupa teknik

cakap semuka, catat, dan rekam (Sudaryanto, 1994: 137). Pada praktiknya,

percakapan atau metode cakap itu diwujudkan dengan pemancingan. Salah satu

alat yang digunakan untuk memancing data dari informan adalah daftar

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

30  

pertanyaan. Pemanfaatan teknik pancing ini diperlukan apabila informan kaku

dalam menjawab pertanyaan dan mengalami kesulitan dalam mengeluarkan data.

Teknik lanjutan metode cakap berupa teknik cakap semuka, catat, dan

rekam (Sudaryanto, 1994: 137). Teknik cakap semuka mengharuskan peneliti dan

informan bertatap muka. Teknik ini dapat disejajarkan dengan metode pupuan

lapangan (Ayatrohaedi, 1983: 34). Dengan teknik ini, peneliti dapat mendengar

dan memerhatikan langsung cara pelafalan jawaban informan dengan baik.

Dengan demikian, kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penulisan data kecil

sekali.

Teknik catat mengharuskan peneliti secara langsung mencatat jawaban

yang diberikan informan pada bagian yang sudah disediakan di sebelah

pertanyaan. Jawaban informan ditulis oleh peneliti dengan menggunakan lambang

fonetis (transkripsi fonetis). Teknik ini merupakan teknik yang sangat penting

karena hasil pencatatan jawaban merupakan data mentah yang akan dibawa ke

tahap penelitian berikutnya, yaitu tahap analisis data.

Selain teknik cakap semuka dan catat, teknik lanjutan lain yang digunakan

adalah teknik rekam. Perekaman dilakukan pada waktu peneliti mewawancarai

informan. Teknik ini dilaksanakan bersamaan dengan teknik catat. Dengan

penggunaan media rekam, peneliti dapat memerhatikan cara pelafalan jawaban

informan dengan baik. Rekaman itu dapat diputar kembali apabila muncul

keraguan ketika mendeskripsikan data. Dengan adanya rekaman, pengecekan data

tidak perlu dilakukan ke lapangan.

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

31  

1.8.3.2 Metode dan Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan sesudah data yang terjaring diklasifikasikan atau

setelah tahap transkripsi fonetis dan tabulasi data selesai dilakukan. Pada tahap

analisis data, metode yang digunakan adalah metode padan dengan teknik dasar

berupa teknik pilah unsur penentu dan teknik lanjutan berupa teknik hubung

banding (Sudaryanto, 1993: 22). Metode analisis data yang dipilih disesuaikan

dengan karakter data yang diperoleh dan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini,

metode padan digunakan untuk menganalisis adanya perbedaan-perbedaan unsur

kebahasaan bahasa Jawa Purworejo (BJP) dengan bahasa Jawa baku/ standar

(BJB). Unsur kebahasaan tersebut meliputi perbedaan fonetik-fonologi (variasi

vokal dan konsonan), perbedaan morfologi (morfofonemik), dan perbedaan

leksikon.

Analisis perbandingan BJP dengan BJB dimaksudkan untuk mendapatkan

gambaran yang jelas tentang variasi dialektal dan tingkat pengaruh BJB terhadap

BJP. Tingkat pengaruh itu dapat dianalisis berdasarkan tiga hal, yaitu persentase

perbedaan, kemiripan, dan kesamaan dalam unsur fonetis-fonologis, morfologis

(afiks-afiks yang digunakan dalam proses pembentukan kata, tipe reduplikasi

yang juga digunakan dalam proses pembentukan kata, dan morfofonemik), dan

leksikal (Fernandez, 1995).

1.8.3.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan metode formal

dan informal. Penyajian dengan metode formal adalah perumusan dengan

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

32  

menggunakan tanda dan lambang-lambang, sedangkan penyajian dengan metode

informal adalah perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk

penggunaan terminologi yang bersifat teknis (Sudaryanto, 1993: 145).

Penyajian dengan metode formal digunakan dalam pengolahan data.

Perumusan dengan menggunakan tanda dan lambang-lambang yang diwujudkan

dalam bentuk rumus, tabel, gambar, dan bagan bertujuan untuk memudahkan

penafsiran. Adapun penyajian dengan metode informal digunakan bersama

dengan metode formal untuk memaparkan hasil analisis data. Perumusan dengan

menggunakan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat

teknis bertujuan untuk memudahkan pemahaman.

1.9 Sistematika Penyajian

Skripsi ini terdiri dari enam bab, yaitu “Bab I: Pendahuluan”, berisi latar

belakang masalah, ruang lingkup penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, prosedur, data, dan metode

penelitian, dan sistematika penyajian. “Bab II: Deskripsi Wilayah Kabupaten

Purworejo”, memaparkan faktor-faktor yang turut memengaruhi variasi

kebahasaan tiap-tiap daerah/ titik pengamatan di Kabupaten Purworejo. “Bab III:

Deskripsi Bahasa Jawa Purworejo (BJP)”. Bab ini membahas identifikasi bunyi-

bunyi bahasa dalam bahasa Jawa Purworejo (BJP) secara fonetis dan deskripsi

aspek-aspek fonologis BJP, seperti jumlah, jenis, dan distribusi fonem, deskripsi

aspek-aspek morfologis BJP, yang meliputi proses afiksasi, perulangan, dan

pemajemukan, dan deskripsi aspek-aspek leksikal BJP. “Bab IV: Variasi dan Peta

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

33  

Bahasa Jawa Purworejo (BJP)”. Variasi pemakaian bahasa Jawa Purworejo (BJP)

dalam bab ini ditinjau dari faktor lingual yang meliputi tataran fonologi,

morfologi, dan leksikon. “Bab V: Dialektometri”, mendeskripsikan hubungan

kekerabatan yang terjalin di antara semua titik pengamatan dengan menggunakan

metode dialektometri. “Bab VI: Penutup” yang berisi kesimpulan dan saran.

Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo (Kajian Geografi Dialek)HANIFAN LUDI PUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/