PENDAHULUAN · 2017-06-27 · dari kajian ini adalah mengidentifikasi wilayah pesisir Kabupaten...
Transcript of PENDAHULUAN · 2017-06-27 · dari kajian ini adalah mengidentifikasi wilayah pesisir Kabupaten...
Kajian Kesesuaian Wilayah Pesisir (Ida Ayu Astarini)
43
KAJIAN KESESUAIAN WILAYAH PESISIR JEMBRANA – BALI
UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT
STUDY OF THE SUITABILITY OF JEMBRANA - BALI COASTAL
REGION FOR SEAWEED CULTURE
Ida Ayu Astarini1)
dan Apri I. Supii2)
1)
Fakultas MIPA Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran 2)
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Singaraja
Email: 1)
dikirim 29 Agustus 2010, diterima setelah perbaikan 12 Desember 2010
Abstrak: Ketersediaan data tentang potensi kelautan dan perikanan di wilayah pesisir Kabupaten Jembrana
dapat digunakan sebagai dasar dalam merumuskan strategi dan kebijaksanaan pembangunan. Tujuan umum
dari kajian ini adalah mengidentifikasi wilayah pesisir Kabupaten Jembrana yang berpotensi untuk
pengembangan rumput laut. Pengkajian dilakukan dengan metode eksplorasi, analisa laboratorium dan
wawancara. Berdasarkan hasil kajian kualitas air, daerah pesisir Jembrana dari Teluk Rening ke arah barat
hingga Teluk Rabu layak untuk pembudidayaan rumput laut. Namun dari segi keterlindungan, karena ombak
dan arus relatif kuat, pantai rawan abrasi serta tidak ada pantai yang landai, lokasi ini kurang sesuai untuk
pembudidayaan rumput laut. Disarankan untuk melakukan percobaan penanaman rumput laut dengan metode
yang berbeda seperti metode rawai dan metode apung, untuk spesies bernilai ekonomi tinggi seperti Euchema
cottonii dan Euchema spinosum. Pantai Pengambengan khususnya, tidak disarankan untuk pengembangan
budidaya rumput laut karena merupakan kawasan industri pengalengan ikan. Lokasi pesisir Jembrana dari
Perancak ke arah timur kurang baik untuk pembudidayaan rumput laut karena merupakan samudera lepas
dengan arus dan ombak yang kuat. Pemilihan lokasi harus menghindari muara sungai untuk menghindari
pencemaran serta fluktuasi sifat – sifat fisika air laut yang ekstrim akibat pengaruh aliran sungai.
Kata kunci: potensi kelautan, rumput laut, dan Kabupaten Jembrana.
Abstract: The data availability of the potential of marine and fisheries in coastal areas of Jembrana District can
be used as the basis in formulating strategy and policy development. The objective of this study was to identify
coastal areas in Jembrana District that have potency for seaweed culture. Study was conducted using
exploration, laboratory analysis and interviews methods. Results show that based on water quality analyses,
coastal areas of Jembrana from Rening Bay westward to Rabu Bay are suitable for seaweed culture. However,
according to oceanic factors, the locations were not quite suitable due to strong water current, abrasion and
steep coastal. It is recommended to conduct seaweed culture experiment using different methods such as long
line or floating method, for commercial species such as Euchema cottonii and Euchema spinosum.
Pengambengan coast, in particular, is not recommended for seaweed culture as it is specified for canned fish
industry. Jembrana coastal area from Perancak to the east is not appropriate for seaweed culture because it is
an open ocean with strong currents and waves. Sites selection should avoid mouth of river to avoid
contamination and fluctuation of extreme physical factors of seawater due to the influence of river flows.
Keywords: Marine potential, seaweed, and Jembrana District.
PENDAHULUAN
Pengembangan budidaya laut di daerah Bali dilatarbelakangi oleh adanya potensi
budidaya laut yang jumlahnya relatif luas yaitu ± 2.700 ha, yang perlu ditingkatkan
pemanfaatannya dalam rangka meningkatkan ekspor komoditi non migas. Selama ini hasil
perikanan yang dikonsumsi maupun diekspor dari daerah Bali sebagian besar berasal dari
usaha penangkapan/pengumpulan yang sangat tergantung dari stok alam. Apabila hal ini
dilaksanakan secara terus menerus dengan tidak memperhatikan keterbatasan jumlah stok
Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia 2010: 43-53
44
alam yang tersedia atau penangkapan/pengumpulan dilaksanakan secara berlebihan maka
akan dapat mengganggu kelestarian sumber daya alam itu sendiri.
Kabupaten Jembrana merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Selat Bali
di sebelah barat, Samudera Indonesia di sebelah selatan, serta memiliki garis pantai lebih dari
80 km, Jembrana memiliki perairan laut seluas ± 604,24 km2. Dengan letak geografis yang
dimiliki tersebut, usaha kelautan dan perikanan yang meliputi penangkapan ikan, pengolahan
hasil laut, pembenihan dan budidaya air laut serta air payau masih sangat potensial untuk
dikembangkan. Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, telah
memberikan peluang kepada Kabupaten Jembrana untuk mengelola sumberdaya kelautan
sepanjang 4 mil. Pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Jembrana secara optimal
diharapkan akan memberikan kontribusi nyata bagi pendapatan asli daerah (PAD). Program
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dalam pelaksanaannya akan melalui suatu
tahapan proses yang panjang dalam usaha mencapai sasaran pembangunan nasional. Salah
satu tahapan proses yang harus dilalui adalah kegiatan perencanaan tata ruang wilayahnya,
tidak terkecuali di wilayah pesisir. Dalam pemanfaatan dan perencanaan tata ruang wilayah
pesisir tersebut, sangat dibutuhkan informasi mengenai potensi wilayah pesisir dan lautan
sehingga dapat ditentukan prioritas pemanfaatannya.
Sebagai langkah awal untuk melaksanakan proses perencanaan tersebut, perlu adanya
dukungan data/informasi mengenai kondisi fisik, ekonomi, maupun sosial budaya wilayah
yang “aktual” dan “akurat” untuk digunakan sebagai salah satu masukan dalam merumuskan
strategi dan arahan kebijakan pembangunan, serta saran bagi pelaksanaan pemantauan dan
pengenalian pelaksanaannya. Dalam era globalisasi saat ini, peranan informasi sangat penting
untuk mempercepat tercapainya sasaran pembangunan yang telah digariskan oleh pemerintah
daerah.
Dengan demikian, tersedianya data dan peta tentang potensi kelautan dan perikanan di
wilayah peisisir Kabupaten Jembrana yang selalu dalam kondisi “aktual” serta dapat
disediakan secara “cepat” dan “tepat” sangat diperlukan untuk mendukung pelaksanaan
pengelolaan pembangunan di wilayah pesisir, dan diharapkan pada setiap waktu dapat
digunakan sebagai dasar dalam merumuskan strategis dan kebijaksanaan pembangunan, pada
tingkat nasional, regional maupun lokal.
Budidaya laut yang saat ini banyak dikembangkan meliputi budidaya ikan, mutiara dan
rumput laut. Dengan semakin meningkatnya permintaan rumput laut di berbagai negara, maka
perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui potensi rumput laut di wilayah Indonesia Bagian
Timur.
Rumput laut mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi, baik untuk konsumsi dalam
negeri maupun sebagai komoditas ekspor. Rumput laut dapat digunakan untuk berbagai
macam keperluan seperti bahan makanan, obat-obatan, bahan kosmetika, dan lain-lain. Usaha
budidaya rumput laut di perairan pantai Bali telah dikembangkan sejak tahun 1979. Daerah –
daerah utama penghasil rumput laut di Bali antara lain Nusa Lembongan, Nusa Ceningan,
Nusa Penida dan Nusa Dua (Noor, 1990).
Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang dikaji meliputi: (1) kondisi
ekologi/fisik wilayah pesisir kelautan di Kabupaten Jembrana, (2) peluang pemanfaatan dan
pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Jembrana untuk budidaya rumput laut dan kerang
mutiara, (3) rekomendasi yang dapat disampaikan mengenai pemanfaatan wilayah pesisir di
Kabupaten Jembrana.
Tujuan dari kajian ini adalah: (1) dapat menggambarkan kondisi ekologis/fisik
wilayah pesisir Kabupaten Jembrana (2) dapat menganalisis kemungkinan pemanfaatan dan
pengembangan berdasarkan potensi kelautan dan perikanan yang dimiliki wilayah pesisir
Kabupaten Jembrana, (3) dapat memberikan rekomendasi tentang pemanfaatan wilayah
pesisir Kabupaten Jembrana.
Kajian Kesesuaian Wilayah Pesisir (Ida Ayu Astarini)
45
Kegiatan kajian ini diharapkan akan memberikan manfaat teridentifikasinya potensi
kelautan di Kabupaten Jembrana khususnya di bidang rumput laut, sehingga tersedianya data
tersebut dapat digunakan oleh Pemda Kabupaten Jembrana dalam perencanaan dan
pengelolaan wilayah pesisir.
METODE
Pengkajian dilakukan dengan metode eksplorasi dan wawancara. Kajian dilaksanakan
di sepanjang kawasan pesisir Kabupaten Jembrana dari bulan Nopember hingga Desember
2009. Pertumbuhan rumput laut sangat tergantung dari faktor-faktor oseanografi seperti
parameter fisika, kimia dan biologi. Karakteristik perairan yang diamati meliputi kondisi
ekologis perairan yang terdiri dari parameter fisika, kimia dan biologi perairan (tabel 1).
Sampel air laut diambil dari 10 titik/lokasi di sepanjang pesisir Kabupaten Jembrana.
Pengambilan sampel air laut berjarak sekitar 500 m dari garis pantai arah vertikal. Analisa
sifat fisik dilakukan in situ (langsung di lapang) dan Laboratorium Analitik, Universitas
Udayana. Analisa sifat kimia dilaksanakan di Laboratorium Analitik, Universitas Udayana.
Analisa sampel mikrobiologis dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA Universitas
Udayana.
Tabel 1. Parameter yang diukur untuk kualitas air laut untuk biota laut.
No. Parameter Satuan Metode Analisis Peralatan Baku Mutu
A Fisika (Physical)
1 Kecerahan m Secchi Disk Secchi Disk 3-6
2 Padatan Tersuspensi Total mg/L Gravimetrik Timbangan Analitik 20-80
3 Suhu ° C Termometrik Termometer 28-32
B Kimia
4 pH - Potensiometrik pH Meter 7-8,5
5 Salinitas o/oo Salinometrik Refraktometer 33-34
6 Oksigen Terlarut (DO) mg/L Potensiometrik DO Meter > 5
7 BOD5 mg/L Titrimetrik Buret 20
8 Nitrat (NO3) mg/L Spektrofotometrik Spektrofotometer 0,008
9 Fosfat (PO4) mg/L Spektrofotometrik Spektrofotometer 0,015
10 Amonia (NH3) mg/L Spektrofotometrik Spektrofotometer 0,3
C Mikrobiologi
11 Bakteri total cfu/ ml Tabel MPN 1000
12 Patogen +/- Tabel MPN
Selain koleksi data primer secara in situ dan analisa laboratorium, juga dilakukan
pengumpulan data sekunder yang meliputi data arus laut dan kedalaman perairan yang
diperoleh dari Balai Riset Oseanografi dan Kelautan, Perancak, Bali. Data yang terkumpul
kemudian diklasifikasikan dan dianalisa secara kuantitatif dan kualitatif. Analisa data secara
deskriptif dengan menggunakan perangkat lunak microsoft Excel, untuk membandingkan
kelayakan suatu perairan terhadap kehidupan rumput laut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keberhasilan usaha budidaya laut seperti rumput laut dan tiram mutiara sangat
dipengaruhi oleh ketepatan dalam memilih lokasi budidaya. Dalam pemilihan lokasi untuk
budidaya rumput laut, ada 3 faktor menjadi pertimbangan yaitu faktor ekologis, faktor resiko
dan kemudahan (aksesibilitas).
Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia 2010: 43-53
46
1. Faktor Ekologis
Hasil kajian faktor ekologis pesisir Jembrana untuk mengetahui kesesuaiannya untuk
budidaya rumput laut ditampilkan pada tabel 2.
Kecerahan air
Kecerahan perairan adalah suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan cahaya
untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Kecerahan air laut pada lokasi
penelitian berkisar antara 1 – 7 m, sedangkan baku mutu untuk kecerahan adalah 3 – 6 m.
Lokasi Kelapa Balian, Pengambengan, Munduk Asem dan Tanjung Pasir memiliki kecerahan
di bawah baku mutu yaitu 1 m - 2,5 m (gambar 1).
Rumput laut menyukai lokasi yang jernih/cerah untuk fotosintesis yang maksimal.
Cahaya matahari merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis. Dalam proses
fotosintesis terjadi pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan
perkembangan yang normal. Perairan yang keruh, karenanya, kurang baik untuk
pertumbuhan rumput laut, karena menghambat aktivitas fotosintesis dan produksi primer.
Disamping itu kotoran dapat menutupi permukaan thallus, dan menyebabkan thallus tersebut
membusuk dan patah. Berdasarkan data kecerahan air laut, dapat disimpulkan bahwa lokasi
Teluk Dedari, Sumber Sari, Teluk Awen dan Teluk Rabu sesuai untuk pembudidayaan
rumput laut.
Padatan tersuspensi total (TSS)
Kandungan padatan tersuspensi total (total suspended solid, TSS) pada lokasi
penelitian menunjukkan nilai yang bervariasi, 1– 20 mg/L (Baku mutu: 20–80 mg/L). Lokasi
Kelapa Balian dan Tanjung Pasir tinggi kandungan padatan terlarutnya, yang mengakibatkan
keruhnya air laut (gambar 2). Delapan lokasi lainnya memiliki perairan yang jernih. Bahan-
bahan yang tersuspensi jika jumlahnya berlebihan dapat menghambat penetrasi cahaya
matahari ke kolom air sehingga mempengaruhi pertumbuhan rumput laut (Sulma dan
Manoppo, 2008).
Tingkat kekeruhan atau kandungan TSS juga digunakan untuk analisis pencemaran di
suatu perairan. TSS melebihi 80 mg/L menunjukkan perairan yang tercemar. Sumber
pencemaran dapat berupa limbah rumah tangga, industri, maupun limbah kapal laut. Semua
bahan cemaran dapat menghambat pertumbuhan rumput laut.
Di wilayah pesisir Jembrana, MPT berkisar 10-30 mg/l kecuali wilayah Perancak
hingga Pengambengan dengan nilai MPT berkisar 50 – 60 mg/l. Secara umum nilai MPT di
perairan Jembrana cukup layak untuk kegiatan budidaya karena berdasarkan standar mutu air
untuk budidaya perikanan, kandungan MPT perairan yang diinginkan untuk budidaya laut
adalah kurang dari 20 mg/l dan yang diperbolehkan adalah kurang dari 80 mg/l (Sulma dan
Manoppo, 2008).
Kajian Kesesuaian Wilayah Pesisir (Ida Ayu Astarini)
47
Tabel 2. Hasil analisa air laut pesisir Jembrana berdasarkan parameter fisik, kimia dan biologi.
Parameter satuan
Baku mutu Kelapa
Balian
Pengam-
bengan
Teluk
Rening
Munduk
Asem
Tanjung
Pasir
Candi
Kesuma
Teluk
Dedari
Sumber
Sari
Teluk
Awen
Teluk
Rabu
(KB) (P) (BR) (MA) (TP) (CK) (TD) (SS) (TA) (TR)
waktu sampling
11.32 11.15 10.45 11.45 12.15 10.11 13.05 13.25 13.55 14.09
A. Fisik
Kecerahan m 3 - 6 1 2 5 2 2.5 4.5 5.5 7 7 7
TSS mg/L 20-80 20.434 6.087 6.521 ttd 23.044 7.391 1.304 ttd 3.478 3.913
Suhu oC 28-32 29.5 29.3 29 29.3 29 28.7 29.3 29.1 29.2 28.8
B. Kimia
pH
7 – 8.5 8 8 8.01 8.02 8.05 8.03 8.18 8.11 8.19 8.18
Salinitas o/oo 33-34 35 35 34 35 35 34 35 34 35 34
DO mg/L >5 5.8 5.9 5.95 5.9 5.92 6.05 5.9 5.95 5.93 6.02
BOD5 mg/L 20 3.554 3.205 3.704 2.307 3.225 3.355 0.076 2.806 0.358 1.528
NO3 mg/L 0.008 0.539 0.288 0.558 0.809 0.306 0.683 0.809 ttd 0.036 0.216
PO4 mg/L 0.015 0.044 0.055 0.022 0.121 0.088 0.132 0.099 0.077 0.066 0.055
NH3 mg/L 0.3 0 0 0.021 ttd ttd 0.034 ttd ttd ttd ttd
C. Mikrobiologi
total mikroba cfu/ml 1000 56000 10 100 100 30 1200 10 10 10 20
vibrio cfu/ml negatif negatif negatif negatif negatif negatif negatif negatif negatif negatif
Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia 2010: 43-53
48
Suhu
Suhu perairan juga merupakan faktor penting dalam penentuan lokasi budidaya
rumput laut. Suhu pada lokasi penelitian berkisar antara 28.5oC hingga 29
oC (tabel 2).
Kisaran suhu ini memenuhi syarat tumbuh untuk biota laut secara umum. Untuk rumput laut,
rata-rata suhu air laut sebaiknya berkisar antara 27 - 30oC. Suhu mempunyai peranan yang
sangat penting bagi kehidupan dan pertumbuhan rumput laut. Suhu air dapat berpengaruh
terhadap beberapa fungsi fisiologis rumput laut seperti fotosintesa, respirasi, metabolisme,
pertumbuhan dan reproduksi (Dawes, 1981). Selain itu, jika terjadi kenaikan suhu yang tinggi
tanaman pengganggu tumbuh dan meliputi thallus rumput laut sehingga tanaman akan
rontok.
pH
Nilai pH atau derajat keasaman sampel berkisar antara 8.0 – 8,18. Nilai ini sesuai
dengan kriteria baku mutu untuk biota laut yaitu 7 - 8,5 (PerGub, 2007). Secara umum, nilai
pH di bawah 5 atau di atas 10 dapat mengganggu proses biologis yang berlangsung di air.
Rumput laut sebaiknya dibudidayakan pada pH antara 7 – 9. Rumput laut jenis Chlorella sp.
tumbuh baik pada kisaran pH 6-8 (Sutomo, 1990). Fatmawati (1998) yang melakukan
penelitian budidaya rumput laut Eucheuma sp. di Kotabaru Kalimantan Selatan mendapatkan
kisaran suhu perairan 28 - 31°C, sedangkan pembudidayaan Eucheuma cottonii di Teluk
Taiming Kotabaru memiliki kisaran suhu perairan 26 - 27°C (Amarulah, 2007), di Teluk
Lhokseudu, Propinsi NAD memiliki kisaran suhu perairan 24-31°C (Syahputra, 2005) dan
suhu perairan di Kecamatan Kupang Barat untuk budidaya Eucheuma cottonii adalah 27-28
°C (Kamlasi, 2008).
Salinitas
Nilai salinitas sampel berdasarkan pengukuran in situ berkisar antara 33o/oo - 35
o/oo
(tabel 2). Nilai ini secara umum berada dalam kisaran salinitas untuk biota laut sesuai baku
mutu untuk biota laut yaitu 33o/oo - 34
o/oo. Salinitas di daerah perairan pesisir cenderung
berfluktuasi dan dipengaruhi oleh topografi, evaporasi, air tawar yang masuk ke perairan dan
pasang surut (Effendi, 2003). Rumput laut jenis Eucheuma spp., menyukai salinitas dengan
kisaran yang lebih sempit yaitu 28 - 33 o
/oo (Anggadireja et al., 2006). Untuk memperoleh
perairan dengan kondisi salinitas tersebut harus dihindari lokasi yang berdekatan dengan
muara sungai.
DO (Oksigen terlarut)
Hasil analisa in situ (di lapang) menunjukkan nilai oksigen terlarut (DO) sampel air
laut di sepuluh titik pengambilan sampel berkisar antara 5.8 mg/L – 6.5 mg/L (tabel 2). Nilai
ini memenuhi syarat kriteria baku mutu oksigen terlarut untuk biota laut yaitu di atas 5 mg/L,
sesuai yang tercantum pada Peraturan Gubernur no 8 tahun 2007. Oksigen terlarut dapat
menjadi faktor pembatas kelangsungan hidup dan perkembangan biota laut, termasuk rumput
laut. Oksigen diperlukan untuk proses respirasi.
BOD5
Hasil analisa laboratorium menunjukkan nilai BOD5 sampel berkisar antara 0.07 – 3.7
mg/L. Nilai ini jauh di bawah batas maksimal untuk biota laut sebesar 20 mg/L (tabel 2). Hal
ini menunjukkan bahwa nilai kebutuhan oksigen biologis memenuhi syarat untuk
pembudidayaan rumput laut.
Nilai BOD5 berkaitan erat dengan DO. Kandungan BOD5 yang tinggi menunjukkan
penurunan nilai DO (oksigen terlarut) sehingga dapat mengganggu kehidupan biota.
Kandungan BOD5 yang tinggi seringkali digunakan untuk menunjukkan tingkat pencemaran
Kajian Kesesuaian Wilayah Pesisir (Ida Ayu Astarini)
49
suatu perairan. Jika nilai BOD5 melebihi 20 mg/L, kemungkinan telah terjadi pencemaran
bahan organik yang cukup tinggi di perairan tersebut, yang mengakibatkan peningkatan
kebutuhan oksigen mikroba meningkat untuk mendegradasi bahan organik tersebut.
NO3
Nitrat berasal dari limbah industri, limbah domestik dan pertanian, serta hancuran
bahan organik. Hasil analisa laboratorium menunjukkan nilai NO3 sampel berkisar antara 0 –
0.8 mg/L (tabel 2). Beberapa lokasi penelitian (Kelapa Balian, Pengambengan, Teluk Rening,
Munduk Asem, Candi Kusuma dan Teluk Dedari) memiliki kandungan NO3 yang melebihi
batas baku mutu untuk biota laut (0.3 mg/L).
Fosfat (PO4)
Fosfat mungkin bersumber dari limpasan limbah industri perikanan, pertanian dan
pemukiman penduduk yang menghasilkan limbah organik. Kandungan fosfat sampel air laut
di pesisir Jembrana berkisar antara 0,022 – 0,132 mg/L, masih di bawah ambang baku mutu
PerGub sebesar 0,015 mg/L (tabel 2).
Amonia (NH3)
Kandungan ammonia pada sampel berkisar antara 0.021 – 0.034 mg/L (PerGub 0.08
mg/L) (tabel 2). Hal ini menunjukkan sebagian besar lokasi kajian tidak tercemar amonia,
kecuali di dua lokasi yaitu Teluk Rening dan Candi Kesuma. Timbulnya amonia dalam
kondisi anaerob menyebabkan bau busuk pada air lingkungan.
Total mikroba dan bakteri patogen
Berdasarkan hasil analisa laboratorium diketahui bahwa total mikroba cukup
bervariasi antar lokasi penelitian (tabel 2). Lokasi Kelapa Balian menunjukkan kandungan
total mikroba sangat tinggi yaitu 56000 cfu/ml, jauh melebihi ambang batas sebesar 1000
cfu/ml. Hal ini mungkin disebabkan karena letak lokasi Kelapa Balian yang bersebelahan
dengan kawasan industri perikanan Pengambengan. Limbah ikan yang dibuang ke laut
mengakibatkan tingginya kandungan mikroba di perairan sekitar Pengambengan. Lokasi
Pengambengan sebaliknya menunjukkan kandungan mikroba yang relatif rendah, 100 cfu/ml.
Hal ini kemungkinan disebabkan limbah industri ikan yang terbawa arus sesuai arah angin,
sehingga mikroba tidak terkonsentrasi di kawasan Pengambengan.
Lokasi Candi Kusuma juga memiliki total mikroba yang cukup tinggi, sebesar 1200
cfu/ml. Hal ini mungkin disebabkan karena lokasi ini merupakan lokasi pemukiman
penduduk yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan. Limbah rumah tangga
dan limbah penangkapan ikan yang dibuang langsung ke laut mengakibatkan tingginya
kandungan total mikroba di perairan Candi Kusuma.
Analisa bakteri patogen khususnya Vibrio sp. menunjukkan hasil yang negatif pada
semua sampel (tabel 2). Hal ini mengindikasikan bahwa perairan pesisir Jembrana tidak
tercemar oleh bakteri tersebut.
Kedalaman Perairan
Kedalaman perairan di kawasan pesisir Bali Barat adalah 100 m dan berkurang ke
arah darat (gambar 3). Menurut Sutaman (1993), kedalaman yang diperlukan untuk budidaya
tiram mutiara jenis Pinctada sp. adalah 20 - 60 m. Menurut Lembaga Penelitian Perikanan
Laut (1980), rumput laut alami melimpah pada zona intertidal dan biasa ditemukan pada
kedalaman 30 – 40 meter.
Kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma spp adalah 0,3
– 0,6 m pada waktu surut terendah (lokasi yang berarus kencang) untuk metode lepas dasar,
Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia 2010: 43-53
50
dan 2 - 15 m untuk metode rakit apung, 5 – 20 m untuk metode rawai (long-line) dan sistem
jalur. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan
perolehan sinar matahari (www.perikanan-budidaya.go.id).
Gambar 3. Peta kedalaman di kawasan Bali Barat.
Sumber: BROK Perancak, 2009
Pola Umum Sirkulasi Arus
Data pola umum sirkulasi arus diperoleh dari Balai Riset Oseanografi dan Kelautan,
Perancak. Dari plot pola arus pada berbagai kondisi pasut (pasang surut) terlihat bahwa ada
kemiripan pola antara kondisi spring (purnama) dan kondisi neap (perbani) yaitu arus di Selat
Bali akan dominan bergerak ke arah utara dan barat laut pada fasa surut menuju pasang dan
fasa pasang tertinggi, sedangkan pada fasa pasang menuju surut dan surut terendah arus di
bagian utara Selat Bali akan bergerak ke arah selatan atau tenggara.
Dari plot arus juga terlihat bahwa rata-rata kecepatan arus di sekitar Gilimanuk lebih
besar dibandingkan dengan kecepatan arus di perairan bagian selatan dan utara Selat Bali, hal
ini dikarenakan daerah ini merupakan daerah penyempitan selat.
Mubarak (1999) menyatakan kondisi perairan yang optimum untuk budidaya
Eucheuma sp adalah kecepatan air sekitar 0,2 – 0,4 m/det. Pergerakan air dianggap sebagai
kunci diantara faktor-faktor oseanografis lainnya dalam budidaya rumput laut. Ombak dan
arus memudahkan transportasi nutrien dan menyebabkan masa air menjadi homogen. Arus
memegang peranan penting dalam pertumbuhan rumput laut, karena dengan adanya arus akan
membawa zat hara yang merupakan makanan bagi thallus. Makin besar gerakan air, makin
banyak difusi yang menyebabkan proses metabolisme semakin cepat mengakibatkan
pertumbuhan tanaman semakin cepat. Selain itu, arus berfungsi menghomogenkan massa air
sehingga fluktuasi salinitas, suhu, pH, dan zat-zat terlarut dapat dihindari.
Kajian Kesesuaian Wilayah Pesisir (Ida Ayu Astarini)
51
Apabila arus yang diperoleh sama pada tiap bagian tali rentang, maka kesempatan
untuk bertumbuh akan sama baik untuk thallus yang berada di bagian tepi maupun thallus
yang berada di bagian tengah. Dengan demikian pertumbuhan thallus rumput laut relatif
seragam dalam satu unit rakit tali rentang (Trono, 1974). Indikator suatu lokasi yang
memiliki arus yang baik adanya tumbuhan karang lunak dan padang lamun yang bersih dari
kotoran dan miring ke satu arah.
Keberadaan Rumput Laut Alami
Pada dua lokasi survey yaitu Tanjung Pasir dan Sumber Sari, ditemukan penduduk
memanen rumput laut alami dengan menggunakan jaring kecil. Kegiatan memanen rumput
laut ini bersifat musiman, hanya pada bulan September – Desember (kompri. dengan
pengumpul rumput laut).
Diperkirakan terjadi pertumbuhan rumput laut alami yang tinggi pada musim tersebut,
akibat meningkatnya kesuburan air laut pada musim kemarau (Mei – Agustus). Hasil
pengamatan langsung di lapang menunjukkan beberapa macam rumput laut alami berhasil
diindentifikasi seperti Gracillaria sp., Glacillaria blodgetii, Sargassum sublittoralis, Ulva
lactuca, Padina sp., dan Achantophora sp. (gambar 4, a-c). Rumput laut yg dimanfaatkan
adalah jenis Gracillaria sp. untuk bahan kue.
Gambar 4. Beberapa jenis rumput laut alami. a. Gracillaria sp.,
b. Glacillaria blodgetii, c. Sargassum sublittoralis.
2. Faktor Resiko
Keterlindungan
Untuk menghindari kerusakan fisik sarana budidaya dan tumbuhan rumput laut, maka
diperlukan lokasi yang terlindung dari pengaruh angin dan gelombang yang besar. Lokasi
yang terlindung biasanya didapatkan di perairan teluk atau perairan terbuka tetapi terlindung
oleh adanya penghalang atau pulau di depannya.
Keterlindungan lokasi mempertimbangkan beberapa kondisi dari badan air yaitu
kecepatan arus, arah arus dan tinggi gelombang serta faktor pelindung suatu perairan.
Kecepatan arus yang besar dan gelombang yang tinggi dapat menghanyutkan serta merusak
rakit yang digunakan dan rumput laut juga akan mudah patah. Berdasarkan syarat budidaya,
kecepatan arus yang ideal untuk budidaya rumput laut adalah 20 - 40 cm/det, sedangkan
tinggi gelombang yang ideal adalah kurang dari 0,5 m (Sulma dan Manoppo, 2008).
Faktor pelindung suatu perairan yang diperlukan dalam usaha budidaya sesuai dengan
karakteristik perairan Provinsi Bali adalah keberadaan teluk, perairan yang berada pada selat
yang sempit, goba atau laguna dan daerah yang terlindung terumbu karang atau pada rataan
karang yang luas yang dapat melindungi suatu lokasi dari hempasan gelombang secara
langsung. Daerah tersebut kemudian dikelaskan menjadi kelas terlindung untuk daerah teluk,
selat dan goba, kelas cukup terlindung untuk daerah rataan karang, selebihnya menjadi kelas
tidak terlindung (Sulma dan Manoppo, 2008).
a b c
Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia 2010: 43-53
52
Ditinjau dari lokasi perairan dan faktor pelindung yang diidentifikasi dari data
Landsat, diketahui bahwa daerah yang memililki rataan karang yang luas diantaranya adalah
di pesisir Sanur hingga ke bagian selatan, pesisir Pulau Lembongan, pesisir Lovina dan
pesisir Sumberkima. Daerah teluk yang juga terlindung diantaranya di sekitar Teluk Benoa
dan beberapa teluk di Kabupaten Buleleng bagian barat, sedangkan selat yang cukup
melindungi perairan diantaranya adalah Selat Ceningan yang berada antara P. Lembongan
dan P. Ceningan, sehingga daerah tersebut merupakan daerah yang terlindung dari ombak dan
gelombang dan sangat baik untuk kegiatan budidaya laut (Sulma dan Manoppo, 2008).
Berdasarkan data serta gambar citra landsat tersebut, maka dari segi keterlindungan, daerah
pesisir Jembrana tidak sesuai untuk pembudiayaan rumput laut.
Keamanan
Masalah pencurian dan perbuatan sabotase mungkin dapat terjadi, sehingga upaya
pengamanan baik secara individual maupun bersama-sama harus dilakukan. Pemilik usaha
harus menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar lokasi budidaya.
Konflik Kepentingan
Beberapa kegiatan perikanan (kegiatan penangkapan ikan, pengumpul ikan hias) dan
kegiatan non perikanan (pariwisata, perhubungan laut, industri, taman nasional laut) dapat
berpengaruh negatif terhadap aktivitas usaha rumput laut dan tiram mutiara. Karenanya,
pemerintah daerah perlu menentukan tata guna lahan kawasan sepanjang pesisir Kabupaten
Jembrana, untuk meminimalisasi konflik kepentingan tersebut.
Pencemaran
Lokasi budidaya rumput laut harus bebas dari pencemaran, misalnya limbah rumah
tangga, pertanian, maupun industri. Limbah rumah tangga dapat berupa deterjen, zat padat,
berbagai zat beracun, dan patogen yang menghasilkan berbagai zat beracun. Pencemaran
yang berasal dari kegiatan pertanian berupa kotoran hewan, insektisida, dan herbisida akan
membahayakan kelangsungan hidup tiram mutiara. Untuk itu pemilihan lokasi budidaya
harus menghindari daerah muara sungai.
3. Faktor Kemudahan (aksesibilitas)
Pemilik usaha budidaya rumput laut sebaiknya memilih lokasi yang berdekatan
dengan tempat tinggal, sehingga kegiatan monitoring dan penjagaan keamanan dapat
dilakukan dengan mudah. Lokasi diharapkan berdekatan dengan sarana jalan, karena dapat
mempermudah dalam pengangkutan bahan, sarana budidaya, bibit, dan hasil panen. Hal
tersebut akan mengurangi biaya pengangkutan.
Dari hasil pengamatan di lapang diketahui bahwa lokasi kajian sepanjang pesisir
Kabupaten Jembrana berada pada lokasi yang strategis, dekat dengan jalan raya utama yang
menghubungkan Jawa dan Bali dan menghubungkan antar beberapa kabupaten di Bali.
Pemukiman penduduk juga terdapat di sepanjang pesisir tersebut.
KESIMPULAN
Berdasarkan data kualitas air di lokasi Pantai Teluk Dedari ke arah barat yang
meliputi Teluk Dedari, Sumber Sari, Teluk Awen dan Teluk Rabu memenuhi syarat untuk
pembudidayaan rumput laut. Parameter fisik menunjukkan keempat lokasi tersebut memiliki
kecerahan yang baik (5,5 m – 7 m), dengan total padatan tersuspensi sangat rendah (tidak
Kajian Kesesuaian Wilayah Pesisir (Ida Ayu Astarini)
53
terdeteksi - 3,9 mg/L). Parameter kimia dan mikrobiologis menunjukkan keempat lokasi
tersebut relatif tidak tercemar sehingga baik untuk budidaya rumput laut. Namun dari segi
keterlindungan, karena ombak dan arus relatif kuat, pantai rawan abrasi serta tidak ada pantai
yang landai, lokasi ini kurang sesuai untuk pembudidayaan rumput laut. Lokasi pesisir
Jembrana dari Perancak ke arah timur kurang baik untuk pembudidayaan baik rumput laut,
karena merupakan samudera lepas (ocean) dengan arus dan ombak yang kuat. Lokasi tersebut
merupakan lokasi yang ideal untuk pengembangan wisata berselancar/surfing. Pemilihan
lokasi harus menghindari muara sungai untuk menghindari pencemaran serta fluktuasi sifat –
sifat fisik air laut yang ekstrim akibat pengaruh aliran sungai.
Saran
Disarankan untuk melakukan percobaan penanaman rumput laut dengan metode yang
berbeda seperti metode rawai dan metode apung, untuk spesies bernilai ekonomi tinggi
seperti Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Percobaan (field trial) sebaiknya
dilakukan pada musim yang berbeda yaitu musim barat (Januari) dan musim timur (Juli)
untuk mengetahui kesesuaian waktu pembudidayaan yang tepat. Selain itu, penentuan lokasi
perlu mempertimbangkan tutupan karang di kawasan tersebut, yang tidak dilakukan dalam
kajian ini.
Ucapan terima kasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada BAPPEDA Jembrana yang telah
membiayai kajian ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Bapak Bambang
Sukresno S.Si., M.Si. atas informasi data Inderaja, serta Ivon, Fajar dan Deden yang
membantu pengambilan sampel di lapang.
Daftar Pustaka
BROK. Hasil Pengolahan Citra Satelit Autometri. Laporan Hasil Penelitian Balai Riset Observasi Kelautan
Tahun Anggaran 2009. 2009.
Dawes, C. J. Marine Botany. New York: John Wiley & Sons Inc., 1981.
Effendi, H. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003.
Fatmawati. “Studi Kesesuaian Budidaya Rumput Laut (Eucheuma) di Wilayah Perairan Laut Kab. Kota Baru
Kalimantan Selatan.” Tesis, Universitas Gajah Mada, (1998)
Indonesia. Peraturan Gubernur no 8 tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Laut di Perairan Bali. 2007. Denpasar,
2007.
Kamlasi, Y. “Kajian Ekologis dan Biologi untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di
Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur.” Tesis, Institut Pertanian
Bogor, (2008)
Mubarak, H. ”Teknik Budidaya Rumput Laut.” Prosiding Pertemuan Teknis Budidaya Laut, 1982.
Sulma, S. dan K. S. Manoppo. “Kesesuaian Fisik Perairan untuk Budidaya Rumput Laut di Perairan Bali
Menggunakan Data Penginderaan Jauh.” Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan
Jauh LAPAN, PIT MAPIN XVII Bandung, (2008)
Trono, G. C. “Eucheuma Farming in Philippines.” U.P. National Science Research Center, Quezon City, (1974)
Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia 2010: 43-53
54