Penatalaksanaan, Komplikasi, Prognosis

7
Penatalaksaan Terapi Non-farmakologis Kornea mata memiliki risiko mongering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah. 2, 4 Massae dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset. 3, 4 Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Namun, diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednisone dan valasiklovir tanpa terapi fisik. 6 Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro- muskular, masase, meditasi-relaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi. 6, 7 Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih. 6, 7 Sementara itu katergori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuscular di depan kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang

Transcript of Penatalaksanaan, Komplikasi, Prognosis

Page 1: Penatalaksanaan, Komplikasi, Prognosis

Penatalaksaan

Terapi Non-farmakologis

Kornea mata memiliki risiko mongering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah.2, 4

Massae dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset. 3, 4

Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Namun, diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednisone dan valasiklovir tanpa terapi fisik.6 Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasi-relaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.6, 7

Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih. 6, 7

Sementara itu katergori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuscular di depan kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.6, 7

Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi.6, 7

Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaring lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan focus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakan 1-2 kali per hari.6, 7

Page 2: Penatalaksanaan, Komplikasi, Prognosis

Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastik.7

Terapi Farmakologis

Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam pathogenesis Bell’s palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permenan dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. 1, 2, 3, 8 Dosis pemberian prednisone (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tapering off.9, 10, 11

Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi, dan Cushing syndrome. 11

Ditemukan genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus digunakan dalam penanganan Bell’s palsy. Namun, beberapa percobaan kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan kortikostikosteroid. Penelitian retrospektif mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/ valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon. Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset.12

Dosis pemberian asiklovir untuk usia > 2 tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat kali perberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.9, 10

Pengobatan Bell’s palsyObat Dosis Penyesuaian Fungsi

GinjalEfek Samping

Prednison/ prednisolon

Dewasa: 60mg sehari selama 5 hari, kemudian 40 mg sehari selama 5 hariAnak-anak: 2mg per kg sehari selama 7-10

Tidak ada Nyeri kepala, kecemasan, edema, peningkatan tekanan darah, peningkatan gula darah.

Page 3: Penatalaksanaan, Komplikasi, Prognosis

hariAsiklovir Dewasa: 400 mg lima

kali sehari selama tujuh hariAnak-anak dari dua tahun: 80 mg per kg sehari dibagi setiap enam jam selama lima hari, dengan dosis maksimal 3200 mg per hari

Kreatinin: Kurang dari 10 mL per menit: memberikan setengah dosis sekali sehari; 10-50 mL per menit: memberikan dosis yang sama setiap 12 sampai 24 jam

Gangguan gastrointestinal,sakit kepala, pusing,peningkatan enzim hati, anemia aplastik

Valasiklovir Dewasa dan anak-anak yang lebih tua dari 12 tahun: 1 g tiga kali sehari selama tujuh hari

Kreatinin: Kurang dari 10-29 mL per menit: memberikan 1g sehari; 30-49 mL per menit: memberikan 1g dua kali sehari

Gangguan gastrointestinal,sakit kepala, pusing,peningkatan enzim hati, anemia aplastik

Komplikasi

Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy, adalah (1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis, (2) regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan (3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis.2, 4

Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumi makanan dan (3) clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).2, 4

Prognosis

Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10%

Page 4: Penatalaksanaan, Komplikasi, Prognosis

mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.1, 2

Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan, reflex stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy. Bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.2, 3

Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan/ atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama. 2, 3

Kimura et al menggunakan blink reflex sebagai prediktor kesembuhan yang dilakukan dalam 14 hari onset, gelombang R1 yang kembali terlihat pada minggu kedua menandakan prognosis perbaikan klinis yang positif. Selain menggunakan pemeriksaan neurofisiologi untuk menentukan prognosis, House-Brackmann Facial Nerve Grading System dapat digunakan untuk mengukur keparahan dari suatu serangan dan menentukan prognosis pasien Bell’s palsy.5

Indikator prognosis buruk pada Bell’s palsyKomplit palsyTidak dijumpai pemulihan dalam waku 3 mingguUsia> 60 tahunNyeri yang beratSindroma Ramsey HuntAdanya kondisi yang menyebabkan kelumpuhan saraf wajah sekunderPengurangan aksi potensi otot sebanyak > 50%

1. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP, 2005. Disorders of peripheral nerves: Bell palsy. In: Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP, editors. Clinical Neurology. 6th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc; p. 182.

2. Lo B., 2010. Emergency medicine-neurology: Bell’s palsy. Eastern Virginia: Medscape. 3. Ropper AH, Adams RD, Victor M, Brown RH, 2005. Disease of spinal cord, peripheral

nerve, and muscle. In: Ropper AH, Brown RH, editors. Adam and Victor’s Principles of Neurology. 8th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; p. 1180-2.

4. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Ruggiero DA, 2005. Cranial nerves and chemical senses. In: Strominger NL, editor. The human nervous system: structure and function. 6th Ed. New Jersey: Humana Press; p. 253.

5. Grosheva M, Wittekindt C, Guntinas-Lichius O., 2008. Prognostic value of electroneurography and electromyography in facial palsy. Laryngoscope. 118:394-7.

6. Lindsay RW, Robinson M, Hadlock TA, 2010. Comprehensive facial rehabilitation improves function in people with facial paralysis: a 5-year experience at the Massachussets Eye and Ear Infirmary. Phys Ther. 90:391-7.

7. Van Swearingen J., 2008. Facial rehabilitation: a neuromuscular reeducation, patient-centered approach. Facial Plast Surg.;24:250-9.

Page 5: Penatalaksanaan, Komplikasi, Prognosis

8. Hadlock TA, Greenfield LJ, Wernick-Robinson M, Cheney ML, 2006. Multimodality approach to management of the paralyzed face. Laryngoscope. 116:1385-9.

9. Gilden DH, 2004. Clinical practice Bell’s palsy. N Engl J Med.; 351:1323-31.

10. Tiemstra JD, Khatkhate N, 2007. Bell’s palsy: diagnosis and management. Am Fam Physician.76(7):997-1002.

11. Chrousos GP, 2004. Adrenocorticosteroids & adrenocortical antagonists. In: Katzung BG, editor. Basic and Clinical Pharmacology. 9th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies; p. 641-60.

12. Hato N, Yamada H, Kohno H, Matsumoto S, Honda N, Gyo K, et al, 2007. Valacyclovir and prednisolone treatment for Bell’s palsy: a multicenter, randomized, placebo-controlled study. Otol Neurotol. 28:408-13.

13. Tiemstra, J.D., Khatkhate, N., 2007. Bell’s Palsy: Diagnosis and Management.American Academy of Family Physicians. 1001.

14. Finsterer, J., 2008. Management of peripheral facial nerve palsy. Eur Arch Otorhinolaryngol 265: 750