penatalaksanaan kolesteatoma
-
Upload
maulan-saputra -
Category
Documents
-
view
79 -
download
9
description
Transcript of penatalaksanaan kolesteatoma
Penatalaksanaan
Terapi Medis
Terapi medis bukanlah pengobatan yang sesuai untuk kolesteatoma. Pasien
yang menolak pembedahan atau karena kondisi medis yang tidak memungkinkan
untuk anestesi umum harus membersihkan telinga mereka secara teratur.
Pembersihan secara teratur dapat membantu mengontrol infeksi dan dapat
memperlambat pertumbuhan kolesteatom, tapi tidak dapat menghentikan ekspansi
lebih lanjut dan tidak menghilangkan risiko komplikasi. Terapi antimikroba yang
utama adalah terapi topikal, akan tetapi terapi sistemik juga dapat membantu sebagai
terapi tambahan. (Waizel S. Temporal Bone, Aquired Cholesteatoma. Emedicine. May
1, 2007 (cited August 27, 2009). Available at
http://emedicine.medscape.com/article/384879-overview), (DeSouza CE, Menezes
CO, DeSouza RA, Ogale SB, Morris MM, Desai AP. Profile of congenital
cholesteatomas of the petrous apex. J Postgrad Med [serial online] 1989 [cited 2009
Sep 5];35:93. Available from: http://www.jpgmonline.com/text.asp?
1989/35/2/93/5702).
Antibiotik oral bersama pembersihan telinga atau bersama dengan tetes
telinga lebih baik hasilnya daripada masing-masing diberikan tersendiri. Diperlukan
antibiotik pada setiap fase aktif dan dapat disesuaikan dengan kuman penyebab.
Antibiotik sistemik pertama dapat langsung dipilih yang sesuai dengan keadaan
klinis, penampilan sekret yang keluar serta riwayat pengobatan sebelumnya. Sekret
hijau kebiruan menandakan Pseudomonas , sekret kuning pekat seringkali disebabkan
oleh Staphylococcus, sekret berbau busuk seringkali disebabkan oleh golongan
anaerob.(Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI; 2005)
Kotrimokasazol, Siprofloksasin atau ampisilin-sulbaktam dapat dipakai
apabila curiga Pseudomonas sebagai kuman penyebab. Bila ada kecurigaan terhadap
kuman anaerob, dapat dipakai metronidazol, klindamisin, atau kloramfenikol. Bila
sukar mentukan kuman penyebab, dapat dipakai campuran trimetoprim-
sulfametoksazol atau amoksisillin-klavulanat. Antibitotik topikal yang aman dipakai
adalah golongan quinolon. Karena efek samping terhadap pertumbuhan tulang usia
anak belum dapat disingkirkan, penggunaan ofloksasin harus sangat hati-hati pada
anak kurang dari 12 tahun. (Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005)
Pembersihan liang telinga dapat menggunakan larutan antiseptik seperti Asam
Asetat 1-2%, hidrogen peroksisa 3%, povidon-iodine 5%, atau larutan garam
fisiologis. Larutan harus dihangatkan dulu sesuai dengan suhu tubuh agar tidak
mengiritasi labirin setelah itu dikeringkan dengan lidi kapas. (Helmi. Otitis Media
Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005)
Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan bertujuan untuk mengeluarkan kolesteatoma. Dalam
keadaan tertentu, ahli bedah dapat membuat keputusan untuk menggunakan teknik
canal wall up atau canal wall down.
Jika pasien memiliki beberapa
episode kekambuhan dari
kolesteatoma dan keinginan untuk
menghindari operasi masa depan,
teknik canal wall down adalah yang
paling sesuai. (Makishima T,
Hauptman G. Cholesteatoma.
University of Texas Medical Branch
Department of Otolaryngology.
January 25, 2006 (cited August 25,
2009). Available at www.utmb.edu/otoref/grnds/Cholest.../Cholest-slides-
060125.pdf).
Beberapa pasien tidak dapat menerima tindakan canal-wall down. Pasien
tersebut dapat diobati dengan tertutup (canal wall-up), asalkan mereka memahami
bahwa penyakit lebih mungkin kambuh dan mereka mungkin membutuhkan beberapa
serial prosedur pembedahan. (Makishima T, Hauptman G. Cholesteatoma. University
of Texas Medical Branch Department of Otolaryngology. January 25, 2006 (cited
August 25, 2009). Available at www.utmb.edu/otoref/grnds/Cholest.../Cholest-slides-
060125.pdf).
Meskipun semua kelebihan dan kekurangan kedua teknik operasi itu menjadi
relatif di tangan ahli bedah yang berpengalaman, tiap ahli bedah telinga mempunyai
alasan sendiri mengapa memilih satu teknik dari teknik yang lain. Hal yang jelas
berbeda adalah bahwa timpanoplasti dinding utuh (canal wall-up) berusaha maksimal
mempertahankan bentuk fisiologis liang telinga dan telinga tengah. (Helmi. Otitis
Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005)
Mastoidektomi radikal dengan timpanoplasti dinding runtuh (canal-wall down)
Mastoidektomi radikal klasik adalah tindakan membuang seluruh sel-sel
mastoid di rongga mastoid, meruntuhkan seluruh dinding kanalis akustikus eksternus
posterior, pembersihan total sel-sel mastoid yang memiliki drainase ke kavum
timpani. Inkus dan malleus dibuang, hanya stapes yang dipertahankan. Begitu pula
seluruh mukosa kavum tympani.
Timpanoplasti dinding runtuh merupakan modifikasi dari mastoidektomi
radikal, bedanya adalah mukosa kavum timpani dan sisa tulang-tulang pendengaran
dipertahankan setelah proses patologis dibersihkan. Tuba eustachius tetap
dipertahankan dan dibersihkan agar terbuka. Kemudian kavitas operasi ditutup
dengan fasia m.temporalis baik berupa free fascia graft maupun berupa jabir fasia
m.temporalis, dilakukan juga rekonstruksi tulang-tulang pendengaran. (Helmi. Otitis
Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005)
Komplikasi
Komplikasi operasi pada mastoidektomi dan timpanoplasti dibagi berdasarkan
komplikasi segera dan komplikasi lambat. Komplikasi segera termasuk parese nervus
fasialis, kerusakan korda timpani, tuli saraf, gangguan keseimbangan, fistel labirin,
trauma pada sinus sigmoid, bulbus jugularis, likuor serebrospinal. Infeksi pasca-
operasi juga dapat dimasukkan sebagai komplikasi segera. (Helmi. Otitis Media
Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005)
Komplikasi lambat termasuk kolesteatoma rekuren, reperforasi, lateralisasi
tandur, stenosis liang telinga luar, displasi atau lepasnya prostesis tulang pendengaran
yang dipasang. Pada kebanyakan, kasus trauma nervus fasialis tidak disadari pada
waktu operasi. Trauma nervus fasialis yang paling sering terjadi adalah pada pars
vertikalis waktu melakukan mastoidektomi, bisa juga terjadi pada pars horizontal
waktu manipulasi daerah di dekat stapes atau mengorek daerah bawah inkus baik dari
arah mastoid ataupun dari arah kavum timpani. Trauma dapat lebih mudah terjadi bila
topografi daerah sekitarnya sudah tidak dikenali dengan baik, misalnya pada kelainan
letak kongenital, jaringan parut karena operasi sebelumnya, destruksi kanalis fasialis
karena kolesteatoma. (Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005)
Derajat parese harus ditentukan, paling sederhana adalah menurut klasifikasi
House-Bregmann. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan EMG untuk melihat derajat
kerusakan pada saraf dan menentukan prognosis penyembuhan spontan. (Helmi.
Otitis Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005)
Trauma operasi terhadap labirin sukar diketahui dengan segera, sebab vertigo
pasca-operasi dapat terjadi hanya karena iritasi selam operasi, belum tentu karena
cedera operasi. Trauma terhadap labirin bisa menyebabkan tuli saraf total. Manipulasi
di daerah aditus ad antrum dan sekitarnya pada lapangan operasi yang ditutupi oleh
jaringa kolesteatoma dan matriks koleteatoma dapat menyebabkan fistel labirin.
(Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI; 2005)
Trauma terhadap tulang pendengaran diperkirakan akan memperbuuk sistem
konduksi telinga tengah sedapat mungkin langsung rekonstruksi. Trauma terhadap
dinding sinus dan duramater sehingga terjadi perdarahan dan bocornya cairan otak,
bila tidak luas dapat ditungggu sebentar dan langsung ditutup dengan tandu komposit
sampai kebocoran berhenti. Trauma pada sinus lateralis, sinus sigmoid, bulbus
jugularis, dan vena emissari dapat menyebabkan perdarahan besar. (Helmi. Otitis
Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005)
Prognosis
Mengeliminasi kolesteatoma hampir selalu berhasil, namun mungkin
memerlukan beberapa kali pembedahan. Karena pada umumnya pembedahan
berhasil, komplikasi dari pertumbuhan tidak terkendali dari kolesteatoma sekarang ini
jarang terjadi. (Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Emedicine. June 29, 2009
(cited August 25, 2009). Available at http://emedicine.medscape.com/article/860080-
overview).
Timpanoplasti dinding runtuh menjanjikan tingkat kekambuhan yang sangat
rendah dari kolesteatoma. Pembedahan ulang pada kolesteatoma terjadi pada 5%
kasus, yang cukup menguntungkan bila dibandingkan tingkat kekambuhan
timpanoplasti dinding utuh yang 20-40%. (Waizel S. Temporal Bone, Aquired
Cholesteatoma. Emedicine. May 1, 2007 (cited August 27, 2009). Available at
http://emedicine.medscape.com/article/384879-overview).
Meskipun demikian, karena rantai osikular dan/atau membran tympani tidak
selalu dapat sepenuhnya direstorasi kembali normal, maka kolesteatoma tetaplah
menjadi penyebab umum relatif tuli konduktif permanen. (DeSouza CE, Menezes CO,
DeSouza RA, Ogale SB, Morris MM, Desai AP. Profile of congenital cholesteatomas
of the petrous apex. J Postgrad Med [serial online] 1989 [cited 2009 Sep 5];35:93.
Available from: http://www.jpgmonline.com/text.asp?1989/35/2/93/5702).
Kesimpulan
Penatalaksanaan yang paling sesuai adalah pembedahan dengan tujuan untuk
mengeradikasi penyakit dan untuk mencapai kondisi telinga yang kering dan
aman dari infeksi berulang.
Pendekatan secara bedah harus disesuaikan pada masing-masing pasien sesuai
dengan keadaan umum dan luasnya penyebaran kolesteatoma itu sendiri.
Ahli bedah harus sangat waspada terhadap komplikasi pasca-pembedahan
yang mengancam nyawa ataupun menyebabkan kondisi serius terhadap pasien
seperti cedera nervus fasialis.
Kolesteatoma tetaplah menjadi penyebab umum relatif tuli konduktif
permanen