Penatalaksanaan Halitosis Dengan Terapi Oil Pulling
-
Upload
vidyavati-krishnan-kumaran -
Category
Documents
-
view
251 -
download
1
description
Transcript of Penatalaksanaan Halitosis Dengan Terapi Oil Pulling
1
Pendahuluan
Halitosis merupakan kondisi yang umum dijumpai dalam masyarakat, dan
perawatan ke dokter atau dokter gigi kerap dilakukan setelah timbul masalah sosial.
Faktor lokal yang berperan dalam timbulnya halitosis adalah adanya penyakit gingiva
dan periodontal. Kejadian halitosis mempunyai proporsi yang sama pada pria dan
wanita, namun wanita lebih cenderung mencari bantuan profesional dibandingkan
dengan pria. Miyazaki menemukan bahwa ada korelasi antara usia dan malodor oral,
yaitu semakin tua seseorang, intensitas malodornya semakin kuat. Di Amerika
Serikat, Loesche dkk menemukan bahwa 43% orang berusia di atas 60 memiliki
masalah bau nafas. Di Turki, insidensi bau mulut berkisar di sekitar 28% .Bornstein
dkk menemukan kejadian yang sama di kota Swiss. Hasil ini menunjukkan
bahwa malodor oral ini disebabkan oleh tongue coating di generasi muda, sedangkan
pada kelompok yang lebih tua, malodor oral disebabkan oleh periodontitis dengan
tongue coating. Metode terapi halitosis biasanya bertujuan untuk menghilangkan
faktor lokal tersebut, dapat berupa mekanis (penyikatan gigi dan lidah), kimiawi
(permen karet, obat kumur) dan kontrol diet. Saat ini sedang dikembangkan metode
alternatif untuk menangani halitosis dengan pengobatan Ayurveda yang telah
diajarkan sejak bertahun-tahun yaitu terapi oil pulling. Terapi oil pulling adalah suatu
prosedur berkumur dengan minyak. Berkumur dengan minyak dipercayai dapat
menarik semua mukus, bakteri dan toksin dari tubuh melalui saliva. Minyak ini
memiliki efek pembersihan dan penyembuhan yang tidak hanya pada mulut dan
sinus, tapi pada seluruh tubuh
1. Halitosis
1.1. Etiologi dan Patogenesis Halitosis
Halitosis didefinisikan sebagai bau tidak enak yang keluar dari rongga mulut,
tanpa melihat sumber bahan odorus dalam nafas baik dari oral maupun non-oral.
Klasifikasi halitosis dibagi menjadi genuine halitosis, pseudo halitosis dan
halitofobia. Berdasarkan penyebabnya, halitosis dapat dikelompokkan menjadi
intraoral atau faktor lokal dan ekstraoral atau faktor sistemik. Dalam rongga mulut,
2
bau mulut biasanya disebabkan karena kebersihan mulut yang buruk, gingivitis,
periodontitis, soket gigi yang terinfeksi, sisa darah post bedah, debri yang melekat
pada bahan alat gigi, ulser mulut, serostomia dan tongue coating. Secara normal,
rongga mulut merupakan tempat hidup yang baik bagi banyak spesies baik bakteri,
jamur, maupun virus, namun pada pasien halitosis intraoral, lebih banyak ditemukan
variasi bakteri dari kokobasilus batang gram negatif dan batang gram positif.
Walaupun tidak ditemukan hubungan yang pasti antara genus bakteri dengan
halitosis, namun dengan adanya peningkatan diversitas spesies dalam subyek halitosis
menunjukkan bahwa interaksi dari beberapa spesies yang justru menimbulkan
halitosis. Kebanyakan komponen odor berasal dari dekomposisi protein diman
terdapat sepuluh komponen organik volatil pada pasien halitosis oral berurutan dari
yang terbesar sampai terkecil adalah methylbenzene, 2,2-dimethyldecane, 2,2,3,3-
tetramethylbutane, 2-propanone, 3-methyl-5-propylnonane, methylcyclohexane, 3-
methylhexane, 2-methyl-1-propene, etanol dan methylcyclopentane. Bahan odor oral
yang dihasilkan oleh mikroorganisme antara lain komponen sulfur volatil (terutama
metal merkaptan [CH3SH], hidrogen sulfida [H2S] dan dimetil sulfida [CH3SCH3]),
poliamin (putresin dan kadaverin) dan asam lemak rantai pendek (asam butirat, asam
valerat dan asam propionik). Komponen sulfur volatile menempati 90% dari total
udara dalam rongga mulut. Dalam penelitian yang menganalisis hubungan bakteri
penghasil odor dan jenis odor, ditemukan bahwa Prevotella intermedia, Prevotella
nigrescens dan Treponema denticola berkorelasi dengan kadar hidrogen sulfida;
Porphyromonas gingivalis, P. intermedia, dan Tannerella forsythensis berkorelasi
dengan kadar metil merkaptan (Tabel 1). Selanjutnya, metil merkaptan merupakan
penyebab utama halitosis dibandingkan hidrogen sulfida dan dimetilsulfida, dimana
metil merkaptan dan hidrogen sulfida berasal dari intraoral, sedangkan dimetilsulfida
diduga berasal dari ekstraoral.
3
Tabel 1. Jenis bakteri yang menghasilkan komponen sulfur volatil intraoral dari
intraoral, seperti hidrogen sulfida dan metil merkaptan.
Bakteri Komponen sulfur volatil
P. intermedia
P. nigrescens
T. denticola
Hidrogen sulfida
P. gingivalis
P. intermedia
T. forsythensis
Metil merkaptan
Penyebab ekstraoral dari halitosis antara lain sinusitis kronik, faringitis,
laringitis, tonsilitis dan tonsiloliths. Selain itu, penggunaan obat-obatan seperti kloral
hidrat, isorbid dinitrat, dimetil sulfoksida, dilsulfiram, bahan sitotoksik, paraldehid,
dan triamteren serta penyakit sistemik seperti diabetes melitus, penyakit pada sistem
respiratorius atau gastrointestinal, gagal organ hepar atau renal, dan gangguan
metabolik trimetilamin juga berperan dalam timbulnya halitosis.
Pada halitosis ekstraoral, 90% substansi penyebab dalam saluran
gastrointestinal adalah asam lemak (asam asetat, asam propionik dan asam butirat),
6,5% amoniak dan sisanya adalah komponen sulfur (hidrogen sulfida, dan metal
merkaptan) dan komponen nitrogen (indol, skatol, piridin, pirol, amonia,
trimetilamin).
1.2. Diagnosis
Secara umum, diagnosis halitosis dapat dilakukan dengan identifikasi kadar
bahan volatil yang dihasilkan dan identifikasi mikroba penyebab halitosis.
Penggunaan halimeter yang berfungsi mengukur kadar sulfida volatil, tes BANA (N-
benzoyl-DL-arginine-2-naphthylamide) yang mengukur kadar sulfide sulkus gingiva,
kromatografi gas, pengukuran dengan organoleptik, electronic nose, pemeriksaan
4
kadar salivary β-galactosidase, metoda ninhydrine (kadar amin saliva), inkubasi
saliva, cysteine challenge testing merupakan beberapa cara identifikasi kadar bahan
volatil penyebab halitosis. Cara identifikasi mikroba penyebab antara lain dilakukan
dengan hibridisasi DNA dan real time PCR yang spesifik untuk bakteri tertentu.
Tehnik kultur mikroba penyebab halitosis, sepertinya tidak dapat digunakan karena
sekitar 50% mikrobiota oral tersebut tidak dapat dikultur.
Tabel 2. Metode diagnosis halitosis dikelompokkan menjadi identifikasi bahan
volatil dan identifikasi mikroba.
Identifikasi
bahan volatil
Halimeter
Tes BANA (N-benzoyl-DL-arginine-2-
naphthylamide)
Kromatografi gas
Pengukuran dengan organoleptik
Electronic nose
Pemeriksaan kadar salivary β-
Galactosidase
Metoda ninhydrine
Inkubasi saliva
Cysteine challenge testing
Identifikasi
mikroba
Hibridisasi DNA
Real time PCR
Kultur
1.3. Terapi
5
Untuk mengatasi halitosis intraoral, dapat dilakukan kontrol terhadap
kebersihan mulut, kesehatan jaringan lunak dan keras mulut faktor-faktor pendukung
timbulnya halitosis, penggunaan bakteri lain untuk menekan bakteri anaerob gram
negatif, dan terapi antimikrobial. Upaya menghilangkan faktor lokal dapat dilakukan
secara 1) mekanis dengan cara penyikatan lidah dan gigi, dan 2) kimiawi melalui
penggunaan obat kumur, pasta gigi, permen karet; dan sistemik kontrol diet dan terapi
biologis dengan menggunakan probiotik. Pembersihan gigi dan mulut secara mekanis
bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroba patogen dari biofilm dan tongue
coating, sehingga pembentukkan karies dihambat, kadar halitosis menjadi rendah dan
risiko penyakit sistemik dapat berkurang. Secara kimiawi, penggunaan obat kumur
klorheksidin diglukonat juga memberikan hasil yang baik terhadap timbulnya
halitosis. Bahan lain yang juga dapat memperbaiki kondisi halitosis antara lain zinc
chloride dan sodium chloride, TCF (triclosan, copolimer dan NaF), oxygen release
device, oxohalogen oxidant (campuran chlorite anion dan chlorine dioxide) serta
minyak esensial. Kombinasi terapi mekanik dan kimiawi ternyata dapat memperbaiki
kondisi halitosis oral, ditandai dengan penurunan kadar komponen sulfur volatil dan
organoleptik. Contohnya, pada pasien dengan gigi tiruan, penyikatan gigi tiruan saja
ternyata tidak dapat mengurangi halitosis, tetapi penyikatan gigi yang disertai
perendaman gigi tiruan dalam larutan antiseptik, ternyata jauh lebih efektif. Dahulu
permen karet sering digunakan untuk menghilangkan bau mulut, tetapi ternyata
permen karet tidak bergula justru akan meningkatkan kadar metil merkaptan. Rasa
mint dalam permen, tidak menurunkan konsentrasi metil merkaptan, tetapi hanya
menutupi malodor oral saja. Modifikasi faktor pendukung timbulnya halitosis, dapat
dilakukan dengan mengurangi diet protein. Adanya keseimbangan diet protein dan
karbohidrat akan mengurangi pembentukan bahan odor. Daging yang masih berdarah,
daging ikan, susu fermentasi, dapat meningkatkan metabolisme protein sehingga
bahan odor yang terbentuk akan meningkat pula. Makanan yang banyak mengandung
mineral sulfat, juga dapat menimbulkan halitosis. Berdasarkan penelitian, jika
makanan yang banyak mengandung bahan odor dianginkan pada udara kering maka
6
akan mengurangi jumlah mikroorganisme anaerob yang ada didalamnya. Dewasa ini,
suatu
2. Terapi Oil Pulling
Terapi oil pulling dalam pengobatan alternatif, adalah prosedur yang
melibatkan berkumur minyak di mulut untuk manfaat kesehatan mulut dan sistemik.
Terapi oil pulling telah digunakan secara ekstensif sebagai obat tradisional di India
selama bertahun-tahun untuk mencegah kerusakan, bau tidak sedap dari mulut, gusi
berdarah, kekeringan tenggorokan, bibir pecah-pecah dan untuk memperkuat gigi,
gusi, dan rahang. Terapi ini bukanlah suatu konsep baru dan telah disebutkan dalam
teks Ayurveda Charaka Samhita mana disebut sebagai Kavala Gandoosha/Kavala
Graha. Konsep terapi oil pulling telah diperkenalkan oleh Dr F. Karach pada 1990-an
di Rusia. Hal ini dikatakan dapat menyembuhkan sekitar 30 penyakit sistemik mulai
dari sakit kepala, migrain diabetes dan asma.
2. 1. Mekanisme Kerja Terapi Oil Pulling
Sebagian besar mikroorganisma yang menghuni mulut terdiri atas sel tunggal.
Sel-sel ini diselaputi dengan membran lipid atau lemak. Apabila minyak (lemak) dan
air dicampur bersama-sama, mereka akan terpisah dan tidak akan bercampur. Tapi
apabila dua minyak dicampur bersama-sama, mereka akan bergabung serta tertarik
satu sama lain. Ini adalah rahasia untuk oil pulling. Bila minyak dimasukkan ke
dalam mulut dan mulai dikumur sekitar gigi dan gusi, lemak membran dari
mikroorganisma akan tertarik padanya dan mikroba seolah-olah sedang ditarik ke
magnet yang kuat. Bakteri tersembunyi di bawah celah dalam gingiva dan dalam
pori-pori dan tubulus dalam gigi tersedot keluar dari tempat persembunyian mereka
dan terkumpul dalam larutan kumur. Semakin lama minyak dikumur, semakin banyak
mikroba yang ditarik bebas. Setelah 20 menit larutan kumur berisi dengan bakteri,
virus, dan organisma lain.
7
3. Laporan Penelitian
Pilot studi yang dilakukan oleh Asokan dan kawan-kawan di Departemen
Periodonsia, Meenakshi Ammal Dental College, Chennai. dengan tujuan sebagai
berikut:
1) Untuk mengevaluasi efek terapi oil pulling dengan minyak wijen terhadap
halitosis dan mikroorganisme penyebab halitosis pada remaja.
2) Untuk membandingkan efektivitas terapi oil pulling dan penggunaan obat
kumur klorheksidin pada halitosis.
Izin komisi etik diperoleh untuk melaksanakan pekerjaan penelitian.
Persetujuan tertulis diperoleh dari semua peserta dan orang tua mereka. 60 remaja
berusia 17-19 tahun diperiksa dan dinilai dengan kuesioner pribadi dan hanya 20
remaja yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dipilih untuk studi ini. Tujuh hari
sebelum periode eksperimental parameter klinis berikut dinilai: Indeks Modifikasi
gingiva (MGI), indeks plak, dan kedalaman probing. Pengukuran ini dilakukan untuk
memastikan bahwa peserta sesuai dengan kriteria seleksi dan tidak memiliki penyakit
periodontal. Skelling dilakukan untuk semua peserta. 20 peserta yang dipilih dibagi
secara random atas 2 kelompok yaitu Kelompok I (melakukan terapi oil pulling) dan
kelompok II (kelompok kontrol-berkumur klorheksidin) dengan 10 orang peserta
pada masing-masing kelompok. Setelah tahap pra-eksperimental, para peserta
dijadwalkan untuk melakukan analisis napas, sesuai dengan kriteria sebagai berikut:
malam sebelum penilaian para peserta diminta untuk tidak mengkonsumsi makanan
pedas, bawang putih atau bawang merah atau minuman beralkohol dan penyikatan
gigi yang terakhir harus dilakukan sebelum jam 12:00pm. Pada pagi hari, peserta
harus berpuasa, tidak melakukan apapun jenis tindakan kebersihan mulut, dan tidak
harus menggunakan kosmetik/parfum yang mengeluarkan bau. Parameter berikut
dinilai pada hari 0 dan hari 14 periode eksperimen pada setiap peserta: MGI, indeks
plak, penilaian napas organoleptik (ORG1), Self-assessment of breath (ORG2) oleh
peserta sendiri, uji BANA dari sampel lapisan lidah. Kelompok I diinstruksikan untuk
melakukan terapi oil pulling dengan minyak wijen selama 10-15 menit setiap hari di
8
pagi hari sebelum menyikat gigi. Kelompok kontrol diberi obat kumur klorheksidin
0,2% selama 1 menit setiap hari selama 14 hari. Peserta dari kedua kelompok
diizinkan untuk menyikat gigi sekali sehari.
Nilai pre dan post indeks plak, indeks gingival, ORG1, ORG2 dan uji BANA
diantara kelompok sama diuji dengan uji Wilcoxon dan chi-square test. Perbandingan
nilai pre dan post diantara kelompok I dan kelompok II dilakukan dengan uji Mann-
Whitney dan chi-square test. Dari hasil yang diperoleh, perbandingan nilai pre dan
post indeks plak dan indeks gingival (MGI) menunjukkan perbedaan yang signifikan
(p=0,005 dan 0,007) pada kelompok I dan kelompok II. Terdapat penurunan yang
jelas pada skor ORG1, ORG2 dan skor uji BANA pada kedua kelompok I dan II.
Dengan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terapi oil pulling adalah seefektif
obat kumur klorheksidin terhadap halitosis dan organisma yang berhubungan dengan
halitosis.
Pembahasan
Halitosis sebagian besar berasal dari senyawa sulfida yang mudah menguap
(volatile sulfide compounds , VSCs), terutama hidrogen sulfida, metil merkaptan, dan
dimetil sulfida yang pertama kali ditemukan oleh Tonzetich. Kehadiran diamina,
indol, skatole, butirat asam propionat di dalam udara mulut juga dapat menyebabkan
bau nafas yang tidak menyenangkan. Kebanyakan penyebab bau nafas merupakan
hasil dari degradasi proteolitik peptida yang terdapat dalam saliva, shed epithelium,
sisa-sisa makanan dan plak yang disebabkan oleh mikroorganisme oral. Bakteri
anaerob gram negatif memiliki aktivitas proteolitik dan hampir semua bakteri yang
berhubungan dengan gingivitis dan periodontitis merupakan bakteri gram negatif dan
berperan untuk menghasilkan VSCs.
Pemeriksaan sendiri, uji organoleptik, monitor sulfida, gas chromatography
electronic nose, diamond probes, dark field microscopy, dan uji inkubasi saliva
merupakan cara-cara untuk mengidentifikasi bau nafas yang tidak menyenangkan.
Pengukuran dengan monitor sulfida (Halimeter) atau gas kromatografi (Oral
Chroma) adalah sangat mahal, sedangkan pengukuran dengan Tanita Breath Alert
9
Monitors lebih murah tetapi metode ini tidak reliable, dengan ini penilaian
organoleptik dilakukan dalam penelitian ini. Pemeriksaan sendiri dilakukan untuk
melibatkan peserta atau subjek penelitian secara aktif dan untuk mendapatkan respon
subjektif dari mereka pada akhir penelitian.
Mukosa pada dorsum lidah menunjukkan topografi yang tidak teratur
sehingga ideal untuk adhesi dan pertumbuhan bakteri yang terlindung dari tindakan
pembersihan oleh saliva. Akumulasi sisa-sisa makanan bercampur dengan exfoliated
cells dan bakteri menyebabkan terbentuknya satu lapisan coating pada dorsum lidah.
Sampel diambil dari dorsum lidah (sumber bau nafas yang tidak menyenangkan) dan
ditempatkan pada BANA test strip dalam penelitian ini.
Uji BANA merupakan uji yang sangat sensitif, murah dan mudah untuk
menilai mikroorganisme yang menyebabkan bau nafas. Uji BANA merupakan
modifikasi dari uji hidrolisis BANA yang dikembangkan oleh Dr. Walter Loesche
dan teman sekerjanya di University of Michigan School of Dentistry. Uji ini
menemukan enzim di tiga bakteri anaerob yaitu Treponema denticola,
Porphyromonas gingivalis, dan Bacteroides forsythus sangat berhubungan dengan
bau nafas. Dari sekitar 60 spesies plak subgingiva, hanya tiga bakteri ini memiliki
enzim yang mampu menghidrolisis peptida sintetik benzoil-dl-arginin-naphthylamide
(BANA) yang terdapat pada uji BANA. Tiga bakteri tersebut menghidrolisis enzim
BANA dan memproduksi B-naphthylamide yang kemudiannya bereaksi dengan
pewarna imbedded diazo untuk menghasilkan warna biru permanen yang
menunjukkan hasil positif. Hasil negatif menunjukkan organisme terdapat pada
sampel tetapi di bawah ambang batas deteksi (kira-kira di bawah 1000-5000 CFU).
Studi individu dengan halitosis menunjukkan sampel dari lapisan coating pada lidah
memberikan hasil positif pada uji BANA. Individu dengan lapisan coating pada lidah
mempunyai nilai uji organoleptik yang tinggi juga mempunyai hasil BANA yang
lebih positif.
Klorheksidin merupakan agen antiplak dan antigingivitis yang paling efektif.
Apabila berkumur dengan klorheksidin, tingkat VSC dan skor ORG dapat
dikurangkan karena efek antibakteri yang kuat. Rosenberg dkk menunjukkan bahwa
10
terapi dengan 0,2% klorheksidin dapat mengurangkan nilai VSC sebesar 43% dan
skor ORG lebih dari 50%. De Boever dan Loesche melaporkan bahwa berkumur
dengan klorheksidin 0,12%, dengan kombinasi menyikat gigi dan lidah selama 1
minggu dapat mengurangi tingkat VSC, bau mulut dan bau lidah secara signifikan,
yaitu 73%, 69%, dan 78% masing-masing. Halitosis pada pagi hari dapat berkurang
sehingga 90%. Oleh karena itu, klorheksidin digunakan sebagai kontrol positif dalam
uji klinis.
Dalam peneltian ini, terapi oil pulling menunjukkan efek seperti klorheksidin
terhadap halitosis dan organisme yang berhubungan dengan halitosis. Minyak wijen
memiliki beberapa keuntungan dibandingkan klorheksidin: tidak ada pewarnaan,
tidak berlama-lama setelah rasa, dan tidak bersifat alergi serta sudah tersedia dalam
rumah tangga. Terapi oil pulling tidak memiliki kelemahan kecuali waktu
prosedurnya panjang dibandingkan dengan klorheksidin.
Walaupun terapi oil pulling tidak dapat digunakan sebagai pengobatan
tambahan sekarang, namun terapi ini dapat dijadikan sebagai terapi pencegahan di
rumah tangga terutama di negara-negara berkembang seperti India. Penelitian lebih
lanjut dengan sampel yang lebih besar, periode waktu yang berbeda-beda, dan follow-
up untuk jangka waktu yang lama harus dilakukan untuk mengkaji keberhasilan
terapi oil pulling dalam pencegahan halitosis. Mekanisme terapi oil pulling masih
belum jelas dan penelitian di bidang ini sedang dilakukan. Studi lebih lanjut dengan
minyak wijen dapat membuka pintu baru untuk penelitian berhubungan perawatan
kesehatan mulut.
11
Daftar Pustaka
1. Asokan S, Saravana Kumar R, Emmadi P, Raghuraman R, Sivakumar N.Effect of
oil pulling on halitosis and microorganisms causing halitosis: A randomized
controlled pilot trial. J Indian Soc Pedod Prevent Dent 2011.2(29)
2. Bollen MLC, Beikler T. Halitosis: the multidisciplinary approach. Int Jour of Oral
Science (2012), 55-63
3. Yaegaki K, Coil MJ. Examination, Classification and treatment of halitosis;
Clinical perspectives. Jour of the Canadian Den Assoc 200. 5(66)
4. Fife B. Dental health with oil swishing:evidence that oil pulling eradicates
harmful bacteria. Well Being J 2008; Nov/Dec
5. Fife L.Life Without Sweets.Oil Pulling 101. http://lifewithoutsweets.blogspot.
com/p/oil-pulling-101.html