Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

18

Click here to load reader

Transcript of Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

Page 1: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

1

BAHAN AJAR

PPEENNAANNGGAANNAANN PPEERRTTAAMMAA TTIINNDDAAKK PPIIDDAANNAA KKEEHHUUTTAANNAANN

DDIIKKLLAATT PPEEMMBBEENNTTUUKKAANN PPOOLLHHUUTT

AANNGGKKAATTAANN XXXXXXII TTAAHHUUNN 22001122

OOlleehh ::

SSuuddiirrmmaann SSuullttaann,, SSPP..,, MMPP..

KKEEMMEENNTTEERRIIAANN KKEEHHUUTTAANNAANN BBAADDAANN PPEENNYYUULLUUHHAANN DDAANN PPEENNGGEEMMBBAANNGGAANN

SSDDMM PPUUSSAATT PPEENNDDIIDDIIKKAANN DDAANN PPEELLAATTIIHHAANN

KKEEHHUUTTAANNAANN BBAALLAAII DDIIKKLLAATT KKEEHHUUTTAANNAANN

MMAAKKAASSSSAARR

22001122

Page 2: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah gangguan hutan dari tahun ke tahun cenderung semakin

meningkat, baik terhadap kawasan maupun terhadap hasil hutan, terjadi

karena berbagai macam faktor penyebab.

Banyak kasus-kasus gangguan keamanan hutan yang telah

ditemukan oleh Polisi Kehutanan, namun kasus itu tidak bisa

dilllanjutkan ke proses penyidikan karena tidak cukupnya bukti. Bukti

permulaan yang cukup sangat ditentukan oleh baik tidaknya hasil

pengolahan barang bukti di tempat kejadian perkara.

Untuk dapat mengatasi hal-hal tersebut di atas, maka perlu polisi

kehutanan perlu dibekali materi penanganan pertama tindak pidana

kehutanan. Sehingga diharapkan setiap kasus gangguan keamanan

hutan yang ditemukan memenuhi syarat bukti permulaan yang cukup

untuk dilanjutkan ke proses penyidikan.

B. Kompetensi Dasar

Setelah mengikuti pelatihan ini peserta diharapkan mampu

melaksanakan penanganan pertama tindak pidana kehutanan.

C. Indikator Keberhasilan

Setelah mengikuti pelatihan ini peserta dapat :

1. Menjelaskan pengertian dan modus operandi tindak pidana

kehutanan.

2. Menjelaskan cara penanganan tindak pidana dalam hal tertangkap

tangan.

3. Menjelaskan cara penanganan tindak pidana diluar hal tertangkap

tangan.

Page 3: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

3

BAB II

KONSEP DASAR TINDAK PIDANA KEHUTANAN

A. Pengertian Tindak Pidana Kehutanan

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dengan

hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat

dalam Wvs Belanda, dengan demikian juga Wvs Hindia Belanda

(KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud

dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha

memberikan arti dan isi dari istilah itu, sayangnya sampai kini belum ada

keseragaman pendapat.

Para pakar hukum pidana memberikan defenisi sraftbaar feit

sebagai berikut :

1. Vas : menyatakan bahwa delik adalah feit yang dinyatakan dapat

dihukum berdasarkan undang-undang.

2. Van Hamel : menyatakan bahwa delik adalah suatu serangan atau

ancaman terhadap hak-hak orang lain.

3. Simons : menyatakan bahwa delik adalah suatu tindakan melawan

hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang

tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkian dan oleh

undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang

dapat dihukum. Hal ini karena :

a. Untuk adanya delik syaratnya harus terdapat suatu tindakan yang

dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, dimana

pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban tersebut telah

dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

b. Agar suatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut

harus memenuhi semua unsur dalam delik sebagaimana yang

dirumuskan dalam undang-undang.

c. Setiap delik sebagai pelanggaran terhadap larangan atau

kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakekatnya

merupakan suatu tindakan melawan hukum.

Page 4: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

4

d. Didalam Ilmu pidana ada yang disebut dengan delik formil dan

delik materil, adapun yang dimaksud delik formil adalah delik yang

perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang

dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, sedangkan

delik materil adalah delik yang perumusannya menitik beratkan

pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh

undang-undang.

Sampai saat ini masih ditemukan adanya perbedaan pendapat

mengenai ajaran sifat melawan hukum dalam kajian hukum pidana

antara sifat melawan hukum formil (formiele wederrechtelijkheid) dan

melawan hukum materil ("materiele wederrechtelijkheid).

1. Sifat melawan hukum formiil. Suatu perbuatan dikatakan melawan

hukum secara formil adalah apabila perbuatan itu bertentangan

dengan ketentuan undang-undang (hukum tertulis). Artinya suatu

perbuatan bersifat melawan hukum adalah apabila telah dipenuhi

semua unsur yang disebut di dalam rumusan delik. Dengan demikian,

jika semua unsur tersebut telah terpenuhi, maka tidak perlu lagi

diselidiki apakah perbuatan itu menurut masyarakat dirasakan

sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.

D. Schaffmeister mengemukakan bahwa sifat melawan hukum dalam

arti formil bermakna bahwa suatu perbuatan telah memenuhi semua

rumusan delik dari undang-undang. Dengan kata lain terdapatnya

melawan hukum secara formil apabila semua bagian yang tertulis

dari rumusan suatu tindak pidana itu telah terpenuhi.

2. Sifat melawan hukum materil. Melawan hukum secara materil, yaitu

perbuatan melawan hukum tidaklah hanya sekedar bertentangan

dengan ketentuan hukum tertulis saja. Di samping memenuhi syarat-

syarat formil, yaitu memenuhi semua unsur yang disebut dalam

rumusan delik, perbuatan haruslah benar-benar dirasakan

masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut

dilakukan. Dengan demikian suatu perbuatan dikatakan sebagai

melawan hukum adalah apabila perbuatan tersebut dipandang

tercela dalam suatu masyarakat.

Page 5: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

5

Ukuran untuk mengatakan suatu perbuatan melawan hukum secara

materil sebagaimana dikatakan Loebby Logman, bukan didasarkan

pada ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu undang-undang, akan

tetapi ditinjau dari nilai yang ada dalam masyarakat. Pandangan yang

menitik beratkan melawan hukum secara formil cenderung

melihatnya dari sisi objek atau perbuatan pelaku. Artinya, apabila

perbuatannya telah cocok dengan rumusan tindak pidana yang

didakwakan, maka tidaklah perlu diuji apakah perbuatan itu melawan

hukum secara materil atau tidak.

Fungsi positif dari ajaran melawan hukum formil ini tidak mungkin

dilakukan mengingat Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang memuat asas

legalitas. Banyak pakar sepakat bahwa dalam sistem hukum pidana

Indonesia, penerapan ajaran melawan hukum materil ini dalam fungsi

yang negatif, yaitu dalam hal pertanggung jawaban pidana.

Seseorang bisa saja dilepaskan dari tuntutan pidana apabila

perbuatannya tidak melawan hukum secara materil. Dengan kata

lain, fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materill ini digunakan

sebagai alasan pembenar.

Sedangkan tindak pidana kehutanan/illegal logging menurut

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dirumuskan

dalam Pasal 50 dan ketentuan pidana diatur dalam Pasal 78. Yang

menjadi dasar adanya perbuatan illegal logging adalah karena adanya

kerusakan hutan.

B. Modus Operandi Tindak Pidana Kehutanan

Modus operandi tindak pidana kehutanan bila secara umum

dikaitkan dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP,

dapat dikelompokan ke dalam beberapa bentuk yaitu :

1. Pengrusakan (Pasal 406 sampai dengan pasal 412).

Unsur pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan illegal

logging berangkat dari pemikiran tentang konsep perizinan dalam

sistem pengeloalaan hutan yang mengandung fungsi

pengendalian dan pengawasan terhadap hutan untuk tetap

menjamin kelestarian fungsi hutan. Illegal logging pada

Page 6: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

6

hakekatnya merupakan kegiatan yang menyalahi ketentuan

perizinan yang ada baik tidak memiliki izin secara resmi maupun

yang memiliki izin namun melanggar dari ketentuan yang ada dalam

perizinan itu seperti over atau penebangan diluar areal konsesi

yang dimiliki.

2. Pencurian (pasal 362 KUHP).

Kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan

dari kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil

hutan berupa kayu tersebut (untuk dimiliki). Akan tetapi ada

ketentuan hukum yang mangatur tentang hak dan kewajiban

dalam pemanfaatan hasil hutan berupa kayu, sehingga kegiatan

yang bertentangan dengan ketentuan itu berarti kegiatan yang

melawan hukum. Artinya menebang kayu di dalam areal hutan yang

bukan menjadi haknya menurut hukum.

3. Penyelundupan. Hingga saat ini, belum ada peraturan

perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang

penyelundupan kayu, bahkan dalam KUHP yang merupakan

ketentuan umum terhadap tindak pidana pun belum mengatur

tentang penyelundupan. Selama ini kegiatan penyelundupan

sering hanya dipersamakan dengan delik pencurian oleh karena

memiliki persamaan unsur yaitu tanpa hak mengambil barang

milik orang lain. Berdasarkan pemahaman tersebut, kegiatan

penyelundupan kayu (peredaran kayu secara illegal) menjadi bagian

dari kejahatan illegal logging dan merupakan perbuatan yang dapat

dipidana. Namun demikian, Pasal 50 (3) huruf f dan h UU No.

41 Tahun 1999, yang mengatur tentang membeli, menjual dan

atau mengangkut hasil hutan yang dipungut secara tidak sah dapat

diinterpretasikan sebagai suatu perbuatan penyelundupan kayu.

Akan tetapi ketentuan tersebut tidak jelas mengatur siapa pelaku

kejahatan tersebut. Apakah pengangkut/sopir/nahkoda kapal atau

pemilik kayu. Untuk tidak menimbulkan kontra interpretasi maka

unsur-unsur tentang penyelundupan ini perlu diatur tersendiri

dalam perundang-undangan tentang ketentuan pidana kehutanan.

Page 7: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

7

4. Pemalsuan (pasal 261-276 KUHP). Pemalsuan surat atau pembuatan

surat palsu menurut penjelasan Pasal 263 KUHP adalah membuat

surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat

sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya. Surat

dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan : suatu hal, suatu

perjanjian, pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai

sebagai suatu keterangan perbuatan atau peristiwa. Ancaman

pidana terhadap pemalsuan surat menurut pasal 263 KUHP ini

adalah penjara paling lama 6 tahun, dan Pasal 264 paling lama 8

tahun. Dalam praktik-praktik kejahatan illegal logging, salah satu

modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku dalan melakukan

kegiatannya adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil

Hutan (SKSHH), pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel

palsu, dan keterangan Palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini

belum diatur secara tegas dalam Undang-undang kehutanan.

5. Penggelapan (pasal 372 - 377KUHP).Kejahatan illegal logging

antara lain : seperti over cutting yaitu penebangan di luar areal

konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kuota yang

ada (over capsity), dan melakukan penebangan sistem terbang

habis sedangkan ijin yang dimiliki adalah sistem terbang pilih,

mencantuman data jumlah kayu dalam SKSH yang lebih kecil dari

jumlah yang sebenarnya.

6. Penadahan (pasal 480 KUHP). Dalam KUHP penadahan yang kata

dasarnya tadah adalah sebutan lain dari perbuatan persengkokolan

atau sengkongkol atau pertolongan jahat. Penadahan dalam

bahasa asingnya “heling” (Penjelasan Pasal 480 KUHP). Lebih

lanjut dijelaskan oleh R. Soesilo10, bahwa perbuatan itu dibagi

menjadi, perbuatan membeli atau menyewa barang yang

dietahui atau patut diduga hasil dari kejahatan, dan perbuatan

menjual, menukar atau menggadaikan barang yang diketahui

atau patut diduga dari hasil kejahatan. Ancaman pidana dalam

Pasal 480 itu adalah paling lama 4 tahun atau denda sebanyak-

banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah). Modus ini banyak

Page 8: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

8

dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu illegal baik di

dalam maupun diluar negeri, bahkan terdapat kayu-kayu hasil

illegal logging yang nyata-nyata diketahui oleh pelaku baik

penjual maupun pembeli. Modus inipun telah diatur dalam Pasal 50

ayat (3) huruf f UU No. 41 Tahun 1999.

C. Jenis-Jenis Tindak Pidana Kehutanan

Jenis-jenis tindak pidana kehutanan menurut UU No. 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan adalah :

Pasal 50 ayat (1)

Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan

hutan. Pasal 50 ayat (2)

Setiap orang yang diberikan izin pemanfaatan kawasan izin usaha

pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu

dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan

kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan

Pasal 78 ayat (1)

Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 50 ayat (1) atau pasal 50 ayat (2) diancam

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling

banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima Milyar Rupiah)

Perumusan “ Setiap orang “ mengandung maksud setiap orang

adalah subjek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan

usaha. Yang dimaksud dengan badan hukum atau badan usaha dalam

pasal tersebut antara lain Perseroan Terbatas (PT), perseroan

comanditer (Comanditer vennotschaap-CV), firma, koperasi, dan

sejenisnya (penjelasan Pasal 78 ayat (14)).

Pasal 50 ayat (3)

Setiap orang dilarang :

a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan

hutan secara tidak sah ; b. merambah kawasan hutan ;

Page 9: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

9

c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius

atau jarak sampai dengan : 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai

didaerah rawa.

3. 100 (seratus meter) dari tepi kiri kanan sungai 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan dari tepi jurang 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang

terendah dari tepi pantai. Pasal 78 ayat (2) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling

banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima Milyar Rupiah). Pasal 50 ayat (3) huruf d : Membakar hutan Pasal 78 ayat (3)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan ini diancam dengan

pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling

banyak Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) Pasal 78 ayat (4)

Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan ini diancam

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima tahun dan denda paling

banyak Rp. 1.500.000.000 (satu milyar lima ratus ribu rupiah).

Penjelasan pasal 78 ayat (3) terhadap tindak pidana yang dilakukan

dengan sengaja maka selain pidana penjara dan denda dapat juga

dikenakan pidana tambahan.

Berdasarkan ketentuan tersebut terhadap “kesengajaan “ dan “kelalaian”

terdapat perbedaan ancaman pidana dimana unsur adanya kesengajaan

ancaman pidananya lebih berat dari pada unsur kelalaian. Pasal 50 ayat 3 huruf e

Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam

hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.

Page 10: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

10

Pasal 50 ayat (3) huruf f

Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,

menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga

berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.

Pasal 78 ayat (5)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 50 ayat 93) huruf e atau huruf f dengan pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh ) tahun dan denda paling banyak Rp.

5.000.000.000 (lima milyar rupiah). Pasal 50 ayat (3) huruf g

Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau ekspolitasi bahan tambang

didalam kawasan hutan tanpa izin dari Menteri . Pasal 78 ayat (6)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 38 ayat (4) atau pasal 50 ayat (3) hurf g ini

diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima millar rupiah).

Pasal 50 ayat (3) huruf h

Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi

bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan Pasal 78 ayat (7)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) huruf h diancam dengan pidana

penjara paling lama 5 (lima ) tahun dan denda paling banyak Rp.

10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah).

Yang dimaksud dengan “dilengkapi bersama-sama”adalah bahwa setiap

pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan

tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah

sebagai bukti. Apabila ada perbedaan antara isi keterangan dokumen

sahnya hasil hutan tersebut dengan keadaan fisik baik jenis, jumlah,

maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak

mempunyai surat-surat sah sebagai bukti.

Page 11: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

11

Pasal 50 ayat (3 ) huruf i

Mengembalakan ternak dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara

khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang Pasal 78 ayat (8)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i diancam dengan pidana

penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp.

10.000.000 (sepuluh juta rupiah) Pasal 50 ayat (3) huruf j

Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut

diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan

hutan tanpa izin pejabat yang berwenang Pasal 78 ayat (9)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j diancam dengan pidana

penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.

5.000.000.000 (lima milyar rupiah).

Yang dimaksud dengan alat-alat berat untuk mengangkut, antara lain

berupa, traktor, bulldozer, truck, trailer, crane, tongkang, perahu klotok,

helicopter, jeep, tugboat, dan kapal. Pasal 50 ayat (3) huruf k

Membawa alat-alat yang lazim digunakan menebang memotong atau

membelah pohon di dalam awasan hutan tanpa izin pejabat berwenang. Pasal 78 ayat (10)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k diancam dengan pidana

penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.

1.000.000.000 (satu milyar rupiah). Tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah masyarakat yang membawa

alat-alat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya,

sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat.

Page 12: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

12

Pasal 50 ayat (3) huruf l

Membuang benda-benda yang dapat nemenyebabkan kebakaran dan

kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungís

hutan kedalam kawan hutan . Pasal 78 ayat (11)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l diancam dengan pidana

penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.

1.000.000.000 (satu milyar rupiah) Pasal 50 ayat (3) huruf m

Mengeluarkan, membawa dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan

satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang berasal dari kawasan

hutan tanpa izan dari pejabat yang berwenang Pasal 78 ayat (12)

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m diancam dengan pidana

penjara paling lama 1 (satu)tahun dan denda paling banyak Rp.

50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Pasal 78 ayat (13) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),

ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10) dan ayat (11)

adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat

(8) dan ayat (12) adalah pelanggaran ; Pasal 78 ayat (14)

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (1) , ayat (2)

dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum

atau badan usa, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap

pengurusnya bak sendiri-sendiri maupun bersama-sama dikenakan

pidana sesuai dengan encaman pidana masing-masing ditambah 1/3

(sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. Pasal 78 ayat (15)

Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-

alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan

Page 13: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

13

kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini

dirampas untuk negara.

D. Unsur-Unsur Tindak Pidana Kehutanan

Dapat tidaknya suatu perbuatan pidana dihukum sangat

tergantung pada terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana itu sendiri.

Unsur-unsur tindak pidana ini terbagi atas dua macam yaitu unsur

subjektif dan unsur objektif.

Adapun yang termasuk kedalam unsur-unsur subjektif adalah :

1. Kesengajaan (dolus). Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada tiga

bentuk kesengajaan yaitu :

a. kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk)

b. kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn)

c. kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij

mogelijkheidsbewustzijn) disebut juga dengan dolus eventualis

2. Kelalaian (culpa). Kalau dilihat dalam undang-undang tidak

disebutkan arti dari kealpaan, dalam Ilmu pengetahuan hukum pidana

kealpaan mempunyai ciri-ciri yaitu :

a. Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena

menggunakan ingatan/otaknya secara salah, seharusnya ia

menggunakan ingatan dengan benar, tetapi tidak digunakan,

dengan kata lain ia telah melakukan tindakan dengan kurang

kewaspadaan yang diperlukan atau tidak berhati-hati.

b. Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, tetapi

merasa dapat mencegahnya, sekiranya akibatnya dapat terjadi,

tetapi ia lebih suka untuk tidak melakukan tindakan yang akan

menimbulkan akibat itu, tetapi tidak ia lakukan sehingga

merugikan orang lain.

c. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan seperti yang

dimaksud dalam Pasal 53 KUHP.

d. Macam-macam maksud atau Oogmeek yang terdapat dalam

kejahatan pencurian, penipuan, perampasan, dan lain-lain.

e. Merencanakan lebih dahulu seperti pada pembunuhan berencana

Page 14: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

14

f. Perasaan takut seperti yang terdapat dalam pasal 308 KUHP.

Sedangkan yang dimaksud dengan unsur objektif adalah unsur

yang terdapat diluar diri sipelaku. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak

pidana itu adalah :

1. Perbuatan yang melanggar hukum

2. Akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut dapat

membahayakan kepentingan orang lain

3. Keadaan-keadaan tertentu

4. Kausalitas atau hubungan sebab-akibat

Untuk itu unsur yang harus terpenuhi untuk dikatakan telah terjadi

tindak pidana Kehutanan menurut UU No. 41 Tahun 1999 adalah

sebagaimana termaksud dalam pasal 50 dan pasal 78, yaitu :

1. Setiap orang pribadi maupun badan hukum dan atau badan usaha ;

2. Melakukan perbuatan yang dilarang baik karena sengaja maupun

karena kealpaannya ;

3. Menimbulkan kerusakan hutan, dengan cara-cara yakni : Merusak

prasarana dan sarana perlindungan hutan, Kegiatan yang keluar dari

ketentuan perizinan sehingga merusak hutan.

4. Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang, dan pantai yang

ditentukan Undang-undang.

5. Menebang pohon tanpa izin.

6. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,

menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut

diduga sebagai hasil hutan illegal. Mengangkut, menguasai atau

memiliki hasil hutan tanpa SKSHH.

7. Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan

tanpa izin. Disamping ketentuan pidana sebagaimana disebutkan

dalam rumusan pasal 78, kepada pelaku dikenakan pula pidana

tambahan berupa ganti rugi dan sanksi administratif berdasarkan

pasal 80.

Page 15: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

15

BAB III

PENANGANAN PERTAMA TINDAK PIDANA KEHUTANAN

Apabila seorang Polhut mengetahui adanya tindak pidana

kehutanan (kejahatan atau pelanggaran), maka hendaklah segera

bertindak atau melakukan penanganan pertama dalam bentuk

pemeriksaan pendahuluan di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Hal ini

sangat penting untuk menemukan/mencari kebenaran materiil, yakni

untuk menetapkan perbuatan apa yang telah terjadi dan siapa

pelakunya.

TKP tidak boleh diubah, serta sekitarnya harus dijaga dan diberi

palang perintang untuk pengamanan, agar bekas-bekas yang ada

jangan sampai rusak, hilang atau berubah yang akan menyulitkan dalam

pengusutan perkara tersebut. Apabila bekas hilang atau berubah atau

bertambah, maka akan menyulitkan dalam proses penyidikan

selanjutnya.

A. Tertangkap Tangan

Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu

sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah

beberapa saat tindak pidana itu dilaksanakan atau sesaat kemudian

diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau

apabila sesaat kemudian padanya ditemukan barang bukti hasil

kejahatan, benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk

melakukan tindak pidana itu, yang menunjukkan bahwa ia adalah

pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak

pidana itu.

Penanganan pertama yang dilakukan oleh Polhut apabila

menemukan suatu tindak pidana dalam keadaan tertangkap tangan

adalah :

1. Mengamankan TKP dan melarang orang-orang yang dianggap perlu

untuk tidak meninggalkan tempat sebelum pemeriksaan di TKP

selesai.

Page 16: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

16

2. Jika di TKP ditemukan tersangka, maka tersangkanya diamankan

terlebih dahulu. Jika tersangka tidak ada di TKP dan diduga masih

ada di dekat TKP, maka anggota laiinya harus segera mencari dan

menangkapnya, sedangkan TKP harus dijaga oleh personil lainnya.

3. Melakukan pemeriksaan TKP :

- Mencatat waktu kedatangan dan cuaca di TKP.

- Melakukan pengamatan umum situasi TKP.

- Mengamankan TKP dengan melakukan penutupan TKP.

- Pertahankan situasi TKP sebagaimana aslinya.

- Pemotretan TKP

- Mencatat batas-batas TKP (ambil titik koordinat)

- Mencatat situasi TKP

- Mencatat identitas pelaku

- Mencatat jenis dan jumlah barang bukti

4. Membuat Sketsa Lokasi TKP.

5. Membuat Berita Acara Pemeriksaan TKP

6. Membuat Laporan Kejadian.

7. Melaporkan/menyerahkan tersangka beserta atau tanpa barang

bukti kepada penyidik Polri atau Penyidik PNS Kehutanan disertai

Berita Acara tentang tindakan yang telah diambil.

8. Penyidik memberikan surat tanda penerimaan laporan.

B. Tidak Tertangkap Tangan

Penanganan pertama tindak pidana kehutanan yang dilakukan

oleh Polhut apabila tidak tertangkap tangan adalah :

1. Menerima laporan tentang terjadinya tindak pidana kehutanan

2. Mencatat laporan dalam form laporan kejadian Model B.

3. Membuatkan surat tanda penerimaan laporan.

4. Mendatangi TKP dan melakukan pemeriksaan TKP.

- Mencatat waktu kedatangan dan cuaca di TKP.

- Melakukan pengamatan umum situasi TKP.

- Mengamankan TKP dengan melakukan penutupan TKP.

- Pertahankan situasi TKP sebagaimana aslinya.

Page 17: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

17

- Pemotretan TKP

- Mencatat batas-batas TKP (ambil titik koordinat)

- Mencatat situasi TKP

- Mencatat jenis dan jumlah barang bukti

5. Membuat Sketsa Lokasi TKP.

6. Membuat Berita Acara Pemeriksaan TKP

7. Membuat Laporan Kejadian.

8. Melakukan penyelidikan siapa pelakunya.

9. Apabila hasil penyelidikan telah jelas siapa pelakunya, maka

penyidik selanjutnya melakukan penangkapan yang dilengkapi

dengan surat perintah penangkapan.

10. Membuat berita acara penangkapan.

11. Melaporkan/menyerahkan tersangka beserta atau tanpa barang

bukti kepada penyidik Polri atau Penyidik PNS Kehutanan disertai

Berita Acara tentang tindakan yang telah diambil.

12. Penyidik memberikan surat tanda penerimaan laporan.

Page 18: Penanganan Pertama Tindak Pidana Kehutanan

18

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1998. Himpunan Materi Pelajaran Diklat Jagawana. Staf Bimbingan Masyarakat, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jakarta.

Anonim, 2008. Standar Operating Prosedur/SOP/Prosedur Tetap. Balai

Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sukabumi-Jawa Barat. Team Widyaiswara, 2009. Buku Saku Polisi Kehutanan. Balai Diklat

Kehutanan Makassar, Makassar. Tuti Budi Utami, 2007. Tesis Kebijakan Hukum Pidana dalam

Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging. Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang.