Penerapan Mediasi Penal Dalam Penanganan Kasus Tindak ...
Transcript of Penerapan Mediasi Penal Dalam Penanganan Kasus Tindak ...
1 UNIVERSITAS INDONESIA
Penerapan Mediasi Penal Dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak
Oleh:
Imam Hermanda 0606044991
Abstrak
Saat melakukan tindak pidana, anak dipandang tidak mandiri secara kejiwaan, dan bukan pula miniatur orang dewasa. Anak yang menjadi pelaku pidana juga dapat dipandang sebagai korban, yakni korban dari keadaan disekitarnya. Dalam sistem peradilan pidana, mediasi penal dilatar belakangi pemikiran yang dikaitkan dengan ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal reform), dan dikaitkan dengan masalah pragmatisme. Latar belakang pragmatisme antara lain untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara, serta untuk penyederhanaan proses peradilan, salah satu caranya adalah dengan mekanisme ‘mediasi penal’. Keadilan restoratif menawarkan pemulihan bagi semua pihak yang terlibat. Aparat penegak hukum, pelaku, dan korban bisa bersepakat untuk mengalihkan kasus tersebut agar tidak dibawa hingga ke proses pemeriksaan dipengadilan jika pelakunya adalah anak-anak. Berdasarkan semua hal diatas, maka skripsi ini akan membahas mengenai studi perbandingan kasus mengenai penerapan mediasi penal dalam penanganan Kasus Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak Berhadapan Dengan Hukum.
Kata Kunci: Anak Berhadapan Dengan Hukum, Diskresi, Diversi, Keadilan Restoratif, Mediasi Penal. Sistem Peradilan Pidana
Bab 1. Pendahuluan 1. 1 Latar Belakang Masalah
Sekitar bulan Februari 2012 lalu, telah terjadi sebuah kasus melibatkan
seorang Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), yakni seorang anak berinisial
"MAN" alias “AMN”.1 Dalam kasus ini, ABH seperti halnya MAN/AMN, sudah
sepatutnya mendapatkan pendampingan hukum secara maksimal guna
memberikan kesempatan kepada ABH tersebut untuk tetap dijamin hak dan
kewajibannya dimata hukum. Secara filosofis, anak merupakan masa depan
bangsa, dan sebagai generasi penerus perjuangan. Seorang anak yang bermasalah
berarti menjadi masalah bangsa, oleh karena itu kepentingan terbaik bagi anak
menjadi pilihan yang harus diutamakan dalam menangani anak yang bermasalah
1 Lingkar Berita, Media online, “Kisah getir anak penusuk Depok” http://www.anak-lingkarberita.com/2012/05/kisah-getir-anak-penusuk-depok.html, diunduh 15 Nopember 2012.
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
2
UNIVERSITAS INDONESIA
dengan hukum.2 Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.3
Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan yang dimungkinkan untuk dilakukan (biasa dikenal
dengan istilah ADR atau ”Alternative Dispute Resolution”, ada pula yang
menyebutnya “Apropriate Dispute Resolution”)4. Latar belakang ide-ide ”penal
reform” itu antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative
justice, ide mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem yang berlaku, ide
menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan
yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana penjara
(alternative to imprisonment/alternative to custody) dan sebagainya.5
Mediasi penal untuk pertama kali dikenal dalam peristilahan hukum positif
di Indonesia sejak keluarnya Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS
tanggal 14 Desember 2009, tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute
Resolution (ADR) meskipun sifatnya parsial, menekankan bahwa penyelesaian
kasus pidana dengan mengupayakan perdamaian sebagai bentuk penerapan ADR,
harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat
kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara
profesional dan proporsional. Inilah paling tidak pengertian mediasi penal yang
dikenal saat ini di Indonesia.6
Pada pemeriksaan ditingkat penuntutan dan sidang pengadilan, Andi
Hamzah (Pakar Hukum Pidana) menjelaskan bahwa mediasi dapat saja dilakukan
dengan pertimbangan kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan
hukum.7 Dalam praktek peradilan pidana di Indonesia pernah terjadi, kasus Ny.
Ellya Dado, atau disingkat “Kasus Ny. Elda”, tercapainya “perdamaian” 2Artikel, Alternatif Pemidanaan Bagi Anak Berkonflik dengan Hukum. http://www.kpai.go.id/publikasimainmenu-33/artikel/190-alternatif-pemidanaan-restorativejustice-bagi-anak-berkonflik-dengan-hukum.html, diunduh 25 Januari 2012. 3 Indonesia (a), Undang-undang Tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 4 Tahun 1979. LN. No. 32 Tahun 1979, TLN. No. 3143 Tahun 1979, Ps. 2. 4 New York State Dispute Resolution Association, Inc., “Alternative Dispute Resolution in New York State”, An Overview, http: //www.ec.europa.eu/civiljustice/adr/adr_pol_en.html, diunduh 28 Januari 2012. 5 Recommendation, No. R (99) 19 by the Committee of Ministers of the Council of Europe, MEDIATION IN PENAL MATTERS. http://sfm.jura.uni-sb.de/archives/images/mediation-en%5B1%5D.doc, diunduh 28 Januari 2012. 6 Nico Setiawan, Polisi Masa Depan. http://polisimasadepan.blogspot.com, diunduh 15 Oktober 2012. 7 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 14.
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
3
UNIVERSITAS INDONESIA
digunakan sebagai pertimbangan bagi hakim untuk menyatakan bahwa tindak
pidana yang terbukti tidak lagi merupakan suatu kejahatan ataupun pelanggaran,
dan oleh karenanya melepaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum.8
Beberapa contoh kasus lainnya yang dapat dikemukakan misalnya:
− Tim peneliti Balitbang HAM Departemen Hukum dan HAM RI pada tahun 2006 menemukan bahwa dalam kebanyakan kasus kekerasan dalam rumah tangga justru polisi bertindak sebagai mediator, demi alasan mempertahankan rumah tangga.
− Pada tanggal 19 Maret 2007, terjadi kecelakaan lalu lintas di daerah Jakarta Pusat oleh seorang sopir angkutan umum yang menewaskan 2 (dua) orang korban. Atas pertimbangan bahwa penyelesaian melalui proses peradilan pidana akan lebih menyengsarakan kedua belah pihak dan dengan pertimbangan bahwa keluarga korban pun telah memaafkan pelaku, maka upaya damai tersebut ditempuh.
− Dalam hal pelanggaran lalu lintas misalnya, kurang lebih 2 ribu lembar perbulan dikeluarkan surat tilang atas pelanggaran lalu lintas di jalan raya oleh Polda Metro Jaya. Alasannya bahwa masyarakat memperhitungkan pengeluaran atau biaya yang akan dikeluarkan dalam penyelesaian suatu perkara yang dihadapi. Dibandingkan menghadapi birokrasi yang panjang dan hasilnya akan sama saja, maka penyelesaian langsung melalui polisi menjadi pilihan utama.9
Sebagai salah satu bentuk dari pelaksanaan restorative justice, konsep
mediasi penal memandang kejahatan secara lebih luas. Persoalan esensialnya
mengarah pada pilihan pola penyelesaian sengketa pidana, terkait dengan domain
superioritas negara dengan superioritas masyarakat kearifan lokal. Restorative
justice menuntut proses peradilan pidana untuk memberikan pemenuhan
kepentingan-kepentingan korban sebagai pihak yang dirugikan akibat perbuatan
pelaku. Sehingga diperlukan pergeseran paradigma dalam pemidanaan untuk
menempatkan mediasi penal sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.10
Dengan adanya semua kejadian tersebut diatas, menarik perhatian penulis
untuk meneliti tentang “Penerapan Mediasi Penal Dalam Penanganan Kasus
8 Mahkamah Agung RI, Direktori Putusan, Pengadilan Negeri Jakarta Utara, “Putusan Nomor 46/PID/78/UT/ WANITA, 17 Juni 1978. Hakim ketua sidang : Bismar Siregar, SH”. http://putusan.mahkamahagung.go.id/, diunduh10 Juli 2012. 9 Eva Achjani, “Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana”, (makalah disampaikan pada Diskusi Terbatas Tentang: “PenyelesaianPerkara Diluar Pengadilan Melalui Dimensi Mediasi Penal (Penal Mediation) Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia” : Pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik”, Jambi, 18 Mei 2011), hlm. 3. 10 Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings, “Hukum Pidana dalam Perspektif”. Pdf, (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012), hlm. 311.
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
4
UNIVERSITAS INDONESIA
Tindak Pidana Yang Dilakukan oleh Anak Berhadapan Dengan Hukum. Analisa
perbandingan putusan yang akan penulis bahas merupakan perbandingan putusan.
1. 2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang masalah,
maka pokok permasalahan yang akan penulis bahas dalam karya tulis ini adalah:
1. Apakah konsep Restorative Justice dikenal dalam sistem pidana di
Indonesia, khususnya dalam penanganan kasus tindak pidana yang
dilakukan oleh anak berhadapan dengan hukum?
2. Bagaimana pelaksanaan kewenangan diskresi penyidik kepolisian melalui
mekanisme mediasi penal dalam penanganan kasus tindak pidana yang
dilakukan oleh anak? (studi kasus perbandingan putusan Nomor:
952/Pid.B/2010/PN-Stb dan putusan Nomor. 208/Pid. B/2011/PN. PDG)
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai mediasi penal dalam kasus pidana. Sedangkan secara
khusus penelitian ini bertujuan untuk :
1. Memberikan pengetahuan mengenai kedudukan restoratif justice dalam
system hukum pidana di Indonesia, khususnya dalam hal penanganan
kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak beradapan dengan hukum.
2. Memberikan pengetahuan mengenai pelaksanaan kewenangan diskresi
Penyidik kepolisian melalui meknisme mediasi penal dalam penanganan
kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak berhadapan dengan hukum.
Bab 2. Tinjauan Umum Mediasi Penal 2.1. Paradigma Konsep Restorative Justice Dalam Integrated Criminal
Justice System (ICJS)
Integrated Criminal Justice System (ICJS) atau dikenal dengan nama
Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) merupakan suatu sistem peradilan
pidana yang merupakan pemukhtahiran atas Sistem Peradilan Pidana (SPP). Prof.
Soerjono Soekamto menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi law
enforcement, yaitu terdiri dari:
1. Hukum itu sendiri;
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
5
UNIVERSITAS INDONESIA
2. Sarana dan Prasarana; 3. Institusi Penegak Hukum; 4. Masyarakat; dan 5. Budaya.11
Pada pendapat Beliau, kita sudah jelas melihat adanya susupan dari teori
restorative justice, dimana perlu dibangun kerjasama antara institusi penegak
hukum dengan masyarakat disertai dengan alasan sosiologis (unsur budaya) yang
mempengaruhi proses law enforcement.12 Restorative justice menuntut proses
peradilan pidana dengan memberikan pemenuhan kepentingan-kepentingan
korban sebagai pihak yang dirugikan akibat perbuatan pelaku. Sehingga
diperlukan pergeseran paradigma dalam pemidanaan untuk menempatkan mediasi
penal sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.13 Sedangkan, dalam ketentuan
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, dijelaskan bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian
perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban,
dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan”.14
Ciri utama dalam konsep restorative justice adalah dalam melihat suatu
kejahatan menempatkan gejala kejahatan dan berbagai konflik sosial sebagai
tindakan sosial daripada sebagai pelanggaran hukum pidana15. Konsep restorative
justice dalam menegakkan keadilan ketika terjadi kejahatan, konflik sosial dan
pelanggaran hak asasi manusia adalah memandang keadilan sebagai suatu sistem
sosial yang menempatkan berbagai bentuk konflik sebagai tindakan yang
merugikan orang dan merusak hubungan-hubungan dalam masyarakat16. Salah
satu wujud dari Restorative Justice adalah dimunculkannya mekanisme penal
mediation, yaitu penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui instrumen
11 Rocky Marbun, “Membangun Restorative Justice dan Penal Mediation dalam Sistem Peradilan Pidana”, http: www.wordpres.com, diunduh pada 2 Oktober 2012. 12 Ibid. 13 Pohan, loc. cit. 14 Indonesia (c), Op. Cit., Ps. 1 angka 6. 15 Muhammad Mustofa, ”Hak Asasi Manusia: Diskresi Kepolisian dan Restorative Justice di Indonesia dalam Rangka Penegakan Hukum dan Ketertiban Sosial”, (Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. II, ed. 35, Tahun 2005), hlm.208. 16 Braitwaite, loc. cit., page 14.
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
6
UNIVERSITAS INDONESIA
mediasi, arbitrase17 atau konsiliasi18. Merujuk pada kebijakan-kebijakan
sebagaimana tersebut diatas, beberapa perubahan substansi yang dilakukan dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atas
UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan anak antara lain,:
− Batas usia seseorang dikategorikan sebagai ‘anak’ adalah 12 tahun-18 tahun19
− Usia anak yang bisa dikenakan penahanan yakni 14 tahun-18 tahun.20 − Dalam undang-undang itu pula dijelaskan bahwa perkara yang bisa
dilakukan diversi atau perdamaian antara korban dan ABH, perkara dengan ancaman penjara di bawah 7 tahun21, dan
− Bukan pengulangan tindak pidana, proses diversi itu bisa dilakukan mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan.22
− Isu krusial lain yakni kewajiban tidak mempublikasikan perkara anak serta pemberian sanksi pidana dan administrasi terhadap petugas yang tidak menjalankan tugasnya seperti diatur dalam Undang-Undang itu.23 Keadilan Restoratif merupakan salah satu proses diversi, yaitu semua
pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi
masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya
menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam
mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang
tidak berdasarkan pembalasan.24 Restorative justice atau keadilan restorasi dinilai
sebagai paradigma baru dalam menyikapi tindak kejahatan yang dapat direstorasi
kembali, pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya
kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat (Dalam hal ini khususnya
berkenaan dengan masalah penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh
Anak Berhadapan dengan Hukum).25
2.1.2 Peristilahan, Pengertian, Prinsip Kerja, dan Bentuk Mediasi Penal 17 Indonesia (f), Undang-Undang Tentang Alternatif dan Penyelesaian Sengketa, UU No. 30 Tahun 1999, LN. No 138 Tahun 1999, TLN. 3872 Tahun 1999, Pasal 1 angka 1. 18Indonesia (g), Undang-undang Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 2 Tahun 2004, LN No. 6 Tahun 2004, TLN No. 4356, Pasal 1 angka 13 menyebutkan bahwa, “yang dimaksud dengan konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.” 19 Indonesia (c), Op. Cit., Ps. 1 angka 3. 20 Ibid., Ps 32 ayat (2). 21 Ibid., Ps 7 ayat (2). 22 Ibid., Ps 7 ayat (1). 23 Ibid., Ps 3 huruf (i). 24 Indonesia (c), Op. Cit., Bab Penjelasan, Bagian Umum. 25 Adrianus Meliala, loc. cit., hlm. 4.
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
7
UNIVERSITAS INDONESIA
Mediasi penal dimaksudkan untuk mempertemukan antara pelaku tindak
pidana dengan korban, oleh karenanya mediasi penal ini sering juga dikenal
dengan istilah ”Victim Offender Mediation” (VOM), Täter Opfer Ausgleich
(TOA), atau Offender victim Arrangement (OVA).26 Mediasi penal merupakan
salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (biasa
dikenal dengan istilah ADR atau ”Alternative Dispute Resolution”; ada pula yang
menyebutnya “Apropriate Dispute Resolution”).27 Dalam berbagai asas dan model
pendekatan keadilan restoratif, proses dialog antara pelaku dan korban merupakan
moral dasar dan bagian terpenting dari penerapan keadilan ini. Dalam konsep
mediasi proses dialog dikenal sebagai media komunikasi yang menjadi modal
utama penyelenggaraan lembaga mediasi. Keseluruhan proses itulah yang dapat
ditemui baik dalam bentuk penyelenggaraan keadilan restoratif seperti:
a) Victim Offender Mediation (VOM : Mediasi antara pelaku dan korban) yaitu suatu forum yang mendorong adanya pertemuan antara pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai coordinator dan fasilitator dalam pertemuan tersebut.
b) Conferencing yaitu suatu forum yang sama dengan VOM, namun dalam bentuk ini terdapat perbedaan yaitu pelibatan penyelesaian bukan hanya melibatkan pelaku dan korban langsung (primary victim), tetapi juga korban tidak langsung (secondary victim), seperti keluarga atau kawan dekat korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku.
c) Circles, suatu model penerapan keadilan restoratif yang pelibatannya paling luas dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya, yaitu forum yang bukan hanya korban, pelaku, keluarga atau mediator saja tapi juga anggota masyarakat yang merasa berkepentingan dengan perkara tersebut.28
2.2 Model-model Mediasi Pidana
Dalam “Explanatory Memorandum” dari Rekomendasi Dewan Eropa No.
R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”, dikemukakan beberapa model
mediasi penal sebagai berikut :
a. Model "informal mediation” Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice personnel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal dengan tujuan, tidak melanjutkan penuntutan
26 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, loc. cit, hlm. 16. 27 New York State Dispute Resolution Association, loc. cit. 28 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, loc. cit, hlm. 18.
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
8
UNIVERSITAS INDONESIA
apabila tercapai kesepakatan; Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.
b. Model "Traditional village or tribal moots" Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik kejahatan di antara warganya.
c. Model "victim offender mediation" Mediasi antara korban dan pelaku merupakan model yang paling sering ada dalam pikiran orang. Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksanaan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana; ada yang khusus untuk anak; ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk recidivist.
d. Model ”Reparation negotiation programmes" Model ini semata-mata untuk menaksir/ menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiel. Dalam model ini, pelaku tindak pidana dapat dikenakan program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/kompensasi.
e. Model "Community panels or courts" Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.
f. Model "Family and community group conferences" Model ini tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga sipelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya. 29
Di Indonesia, dengan telah disahkannya Undang-undang No. 11 Tahun
2012 memberikan jaminan kepastian hukum bagi penyelesaian kasus Anak
Berhadapan Dengan Hukum, mengedepankan konsep restorative justice dalam
mengupayakan perdamaian melalui kewenangan diversi atau diskresi yang
dimiliki penyidik dan aparat penegak hukum lainnya.
29 Recommendation, loc. Cit
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
9
UNIVERSITAS INDONESIA
2.1.3 Presentasi Anak Didik dan Pemasyarakatan dan Klien
Pemasyarakatan Yang Terintegerasi secara Tepat Waktu dan
Akuntabel
Pemidanaan anak merupakan upaya paling akhir yang hendaknya
ditempuh oleh hakim dalam memutus perkara anak. Pada tahun 2012 telah
dilakukan registrasi dan klasifikasi terhadap Anak Didik Pemasyarakatan dan
Klien Pemasyarakatan diseluruh Indonesia. Berdasarkan data terlihat bahwa
jumlah anak yang berhadapan dengan hukum cukup banyak, yaitu 3.765 orang
anak yang mendekam di dalam LAPAS/RUTAN/Cabang Rutan di seluruh
Indonesia, seluruhnya telah teregistrasi. Untuk klasifikasi tahanan anak
berdasarkan tingkat pemeriksaan tindak pidananya mulai dari A.I (Tahanan
Kepolisian), A.II (tahanan Kejaksaan), A.III (Tahanan Pengadilan Negeri), A.IV
(Tahanan Pengadilan Tinggi), A.V (Tahanan Mahkamah Agung) berjumlah
keseluruhannya adalah 2.057 orang (100 % dari jumlah keseluruhan), Anak Didik
Pemasyarakatan berjumlah 3. 765 orang.30
Eva Achjani (Dosen Hukum Pidana) mengatakan bahwa, Victim Offender
Mediation merupakan bentuk pendekatan restoratif dimana dibuat suatu forum
yang mendorong adanya pertemuan antara pelaku fasilitator dalam pertemuan
tersebut. Bentuk ini dirancang untuk mencari kebutuhan yang menjadi prioritas
korban khususnya kebuthan untuk didengar keinginan-keinginan mengenai:
a. Bentuk tanggung jawab pelaku b. Kebutuhan akan pengobatan atau pendampingan bagi korban; tidak pidana
bagi kedua pihak dan berdiskusi tentang penanganan, usaha perbaikan dari dampak yang diderita oleh keduanya.31
Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Pada Surat Kapolri No Pol:
B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 J.o Pasal 8 Surat
Keputusan Bersama 6 (enam) Instansi/Lembaga Negara Tentang Penanganan
Anak Berhadapan Dengan Hukum, ditentukan beberapa langkah-langkah
penanganan kasus melalui ADR yaitu:
30LAKIP DITJEN PAS 2012, Indikator 1; Presentase Anak didik Pemasyarakatan dan Klien Pemasyarakatan Yang teregistrasi secara Tepat Waktu dan Akuntabel, (Kementerian Hukum dan HAM RI, Direktorat Bina Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak), hlm. 101. 31 Eva Achjani Zulfa, op. cit., hlm. 35.
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
10
UNIVERSITAS INDONESIA
− Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR.
− Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional.
− Penyelesaian kasus pidana yang menggunakan ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan menyertakan RT/RW setempat.
− Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati norma sosial/adat serta memenuhi azas keadilan.
− Memberdayakan anggota Polmas dan memerankan FKPM yang ada diwilayah masing-masing untuk mampu mengindentifikasi kasus-kasus pidana yang mempunyai kerugian materiil kecil dan memungkinkan untuk diselesaikan melalui konsep ADR.
− Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan Polmas
− Kemudian dalam Pasal 14 huruf f Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri ditentukan bahwa penerapan Konsep Alternative Dispute Resolution (pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih efektif berupa upaya menetralisir masalah selain melalui proses hukum atau litigasi), misalnya melalui upaya perdamaian
− Dalam rangka penanganan perkara anak berhadapan dengan hukum, kepolisian bertugas dan memiliki kewenangan untuk membuat standar operasional baku/pedoman tentang penanganan perkara anak berhadapan dengan hukum dengan pendekatan keadilan restorative justice.32
Sedangkan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012, Pasal 7 J.o Pasal 8 J.o
Pasal 11, dijelaskan bahwa dalam rangka penanganan anak berhadapan dengan
hukum, baik oleh Penyidik, penuntut umum dan hakim, wajib dilakukan terlebih
dahulu; mengupayakan diversi dengan pendekatan restorative justice, diversi
dilakukan bersama pelaku/keluarganya, pembimbing kemasyarakatan dan tokoh
masyarakat, serta upaya diversi dilakukan dengan berorientasi pada perdamaian
sebagai tujuan akhirnya. Pemidanaan terhadap anak berhadapan dengan hukum
dijadikan sebagai ultimum remedium.33
4.2 Hakikat Mediasi Penal
32 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, loc. cit. Ps. 4.
33 Indonesia (c), Op. Cit., Ps. 7, 8, dan 11.
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
11
UNIVERSITAS INDONESIA
Hukum Pidana yang berlaku saat ini sebagian besar masih menggunakan
Kodifikasi Hukum Pidana Prancis atau yang lebih dikenal sebagai code penal.
Hukum Pidana dalam perkembangannya mulai banyak menuai kritik karena
dinilai sangat kaku dalam penerapannya dan terkadang kurang menyentuh sisi-sisi
keadilan yang ada di tengah masyarakat. Dalam proses mengadili ABH, hakim
harus dapat mempertimbangkan segala aspek dan setiap hal yang berkaitan
dengan hak dan kewajiban ABH. Ketika menjatuhkan putusan, tidak semata-mata
keadilan procedural yang sudah terpenuhi, tidak hanya melulu mengedepankan
formalitas hukum atau kepastian hukum berdasarkan teks undang-undang, tetap
juga harus memaknakan keadilan bagi seluruh masyarakat.34
Penentuan tindak pidana yang dapat dimediasikan, yaitu berdasarkan
kriteria-kriteria sebagai berikut :
1. Ancaman pidana yang rendah 2. Tingkat kerugian yang ditimbulkan 3. Tindak pidana yang dilakukan karena kelalaian 4. Tindak pidana yang merupakan delik aduan baik absolut maupun relatif. 5. Tindak Pidana Yang Melibatkan Anggota Keluarga Sebagai Pelaku/
Korban. 6. Tindak Pidana Dimana Pelakunya Anak di Bawah Umur. 7. Tindak Pidana yang Unsur-Unsur tindak pidananya tidak jelas.35
Langkah-langkah untuk Merancang Kesepakatan Dalam Proses Mediasi Penal, :
− Menghimpun sudut pandang dari para pihak − Memusatkan perhatian pada kebutuhan − Menciptakan pilihan terbaik − Mengevaluasi pilihan − Menciptakan kesepakatan36
4.2.1 Mekanisme Penyelesaian Perkara Melalui Mediasi Penal Mediasi penal dapat dilakukan dengan dua cara atau bentuk, yaitu:
A. Mediasi penal di luar proses peradilan pidana (out of criminal justice
process)
34 Rena Yulia, Jurnal Yudisial : Penerapan Keadilan Restorative Justice Dalam Putusan Hakim: Upaya Penyelesaian Konflik Melalui Sistem Peradilan Pidana, (Komisi Yudisial RI : Jakarta, Agustus 2012)., vol. 5. hlm. 233. 35 Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum, (Perpustakaan Nasional RI : Jakarta, 2012), cet. 1, hlm. 50. 36 Ibid., hlm. 52.
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
12
UNIVERSITAS INDONESIA
Di sini diperlukan landasan hukum berupa kebijakan atau aturan hukum
yang menetapkan tentang :
a. Tindak pidana yang dapat dimediasikan di luar proses peradilan pidana. b. Mediasi penal yang dilakukan oleh pihak pelaku dan korban di luar
pengadilan untuk tindak-tindak pidana tertentu diakui keabsahannya jika dilakukan secara suka rela.
c. Mediasi penal difasilitasi oleh mediator yang telah bersertifikasi . d. Kekuatan hukum hasil kesepakatan yang dicapai oleh pihak pelaku dan
korban, sebagai keputusan yang sah dan final sehingga tidak dapat diganggu gugat dan tidak perlu dikuatkan melalui penetapan pengadilan cukup apabila disahkan dengan materai dan tanda tangan semua pihak. Hal ini mengingat bahwa pelaksanaan mediasi penal adalah bersifat suka rela.
e. Hasil kesepakatan yang dicapai dalam mediasi penal sebagai alasan hapusnya penuntutan tindak pidana yang telah dimediasikan.37
B. Mediasi Penal sebagai Bagian Proses Peradilan Pidana a. Mediasi Penal pada Tahap Penyidikan Tindak Pidana
Tahap penyidikan adalah tahap awal dari proses peradilan pidana. Pada
tahap ini dimungkinkan bagi penyidik untuk meneruskan atau tidak meneruskan
tindak pidana ke dalam proses peradilan pidana. Mediasi pada tahap penyidikan
ini merupakan kombinasi model mediasi informal mediation, victim-offender
mediation dan reparation negotiation programmes.
Pada tahap ini dapat ditetapkan cara kerja mediasi penal sebagai berikut : 1. Setelah melihat dan mempelajari kasus atau tindak pidana yang dilakukan
oleh pelaku dengan kriteria-kriteria tertentu (diuraikan dalam bahasan tindak pidana yang dapat dimediasikan), maka pihak penyidik memanggil pelaku dan korban untuk menawarkan alternatif penyelesaian perkara pidananya di luar proses peradilan.
2. Mediasi penal harus dilakukan secara suka rela dari semua pihak yang terlibat, oleh karena itu jika ada pernyataan baik dari pelaku maupun korban untuk melakukan mediasi penal, selanjutnya pihak penyidik menyerahkan perkara tersebut kepada korban dengan menginformasikan jasa mediator penal yang akan membantu menyelesaikan perkaranya.
3. Mediasi dilakukan secara rahasia sesuai dengan prinsip confidentiality. Segala yang terjadi dan pernyataan-pernyataan yang muncul selama proses mediasi harus dirahasiakan oleh semua pihak termasuk mediator. Mediator tidak dapat menjadi saksi dalam proses peradilan pidana atas segala sesuatu yang terjadi selama proses mediasi dan sebab-sebab mediasi tidak mencapai kesepakatan, jika mediasi tidak menghasilkan kesepakatan.
4. Pada kesempatan mediasi inilah pelaku dan korban dipertemukan untuk mencari solusi yang saling menguntungkan. Pihak korban dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada pelaku sebesar kerugian yang
37 Ibid., hlm. 54.
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
13
UNIVERSITAS INDONESIA
dideritanya dan menuntut pemulihan martabatnya, dengan difasilitasi oleh mediator.
5. Mediator harus mempunyai sertifikasi dan terlatih serta diakui oleh Menteri Kehakiman sebagai mediator, oleh karena itu mediator tidak bersifat perorangan melainkan suatu badan atau lembaga yang secara khusus menjalankan tugas mediasi.
6. Apabila dalam mediasi dicapai kesepakatan, maka mediator memberitahukan kepada penyidik bahwa telah dicapai kesepakatan melalui mediasi dengan pembayaran ganti kerugian dari pelaku kepada korban.
7. Hasil kesepakatan mediasi penal merupakan putusan final, sehingga merupakan alasan penghapus penuntutan.
8. Dengan adanya hasil kesepakatan maka penyidik menyatakan bahwa kasus tidak dilanjutkan kepada pelimpahan BAP kepada penuntut.38
b. Mediasi penal pada tahap penuntutan Adapun pelaksanaan mediasi penal pada tahap penuntutan dapat
digambarkan sebagai berikut:
1. Jaksa penuntut umum dengan mempelajari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, dapat menawarkan mediasi kepada korban dan pelaku tindak pidana.
2. Mediasi dilakukan berdasarkan persetujuan secara suka rela dari pelaku dan korban tindak pidana. Jika kedua pihak menyetujui untuk dilakukan mediasi, maka persetujuan untuk mediasi diberikan kepada jaksa penuntut umum.
3. Jaksa penuntut umum dapat berposisi sebagai mediator maupun dapat melakukan penunjukan mediator dari luar yang bersertifikasi.
4. Mediator mempertemukan pihak pelaku dan korban tindak pidana. 5. Pelaksanaan proses mediasi dilakukan secara rahasia, dalam arti semua
peristiwa yang terjadi dan pernyataan-pernyataan yang muncul selama mediasi tidak dapat dipublikasikan oleh semua pihak yang terlibat.
6. Dalam mediasi penal ini diadakan rekonsiliasi dan pembayaran ganti kerugian kepada korban.
7. Jika mediasi penal tidak mencapai kesepakatan, maka perkara pidana akan dilanjutkan dengan proses pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dilakukan penuntutan terhadap tindak pidanannya. Dalam hal ini mediator tidak dapat bersaksi atas tidak tercapainya kesepakatan mediasi maupun atas segala sesuatu yang terjadi selama proses mediasi.
8. Jika mediasi mencapai kesepakatan damai yang diterima oleh semua pihak, maka akta kesepakatan berlaku sebagai putusan yang final dan tidak dapat diadakan penuntutan, sehingga dapat berfungsi sebagai alasan penghapus penuntutan.39
c. Mediasi penal pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan
38 Umi Rozah, op. cit., hlm. 315. 39 Ibid., Ps. 315.
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
14
UNIVERSITAS INDONESIA
Mediasi penal yang dilakukan pada tahap ini adalah setelah perkara
dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum. Dalam mediasi pada tahap ini
sebagaimana dalam perkara perdata, hakim menawarkan alternatif penyelesaian
perkara pidana dengan cara perdamaian kepada para pihak, yaitu pihak pelaku
tindak pidana dan pihak korban sebelum dilakukan proses pemeriksaan di depan
sidang pengadilan dengan melihat kriteria tindak pidana yang dilakukan oleh
terdakwa. Mediasi ini jika mencapai kesepakatan maka hasilnya dapat digunakan
sebagai alas an untuk menghapuskan menjalankan pidana bagi pelaku tindak
pidana. Mediator pada tahap ini bisa dilakukan oleh hakim ataupun mediator dari
luar pengadilan yang telah mendapatkan sertifikasi dan pelatihan. Mediasi ini
adalah gabungan dari model Victim Offender Mediation dan Reparation
Negotiation Programmes.
Adapun pelaksanaan mediasi ini adalah sebagai berikut:
1. Hakim setelah mempelajari kasus dan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, dapat menawarkan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara dengan perdamaian para pihak.
2. Jika para pihak menyetujui, maka diadakan persetujuan secara suka rela untuk mengikuti penyelesaian perkara dengan cara mediasi baik oleh pelaku maupun oleh korban.
3. Hakim dapat bertindak sebagai mediator ataupun dengan mediator di luar pengadilan yang telah memenuhi syarat dan bersertifikasi.
4. Mediasi mempertemukan pihak pelaku dan korban, pada kesempatan ini diadakan rekonsiliasi antara korban dan pelaku, serta dilakukan pembayaran ganti kerugian yang diderita korban.
5. Mediasi penal dilakukan berdasarkan prinsip rahasia, sehingga segala peristiwa yang terjadi dan segala pernyataan yang muncul dalam proses mediasi harus dirahasiakan oleh para pihak termasuk mediator.
6. Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan maka proses pemeriksaan di muka pengadilan akan dilanjutkan sebagaimana mestinya.
7. Jika tercapai kesepakatan di mana para pihak saling menerima hasil kesepakatan (rekonsiliasi) dan disepakati pembayaran ganti kerugian oleh pelaku kepada korban, maka hasil kesepakatan yang dituangkan dalam akta kesepakatan menjadi berkekuatan tetap sebagaimana putusan pengadilan dan bersifat final, sehingga pelaku tidak dapat dituntut dan diadili kembali dalam proses peradilan pidana.40
d. Mediasi penal pada tahap pelaku menjalankan sanksi pidana penjara
Pada tahapan ini mediasi penal dilakukan baik berupa reparation
negotiation programme yang menitikberatkan pada pembayaran kompensasi dari
pelaku kepada korban, maupun berupa bentuk victim offender mediation, yang
40 Ibid., hlm. 329.
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
15
UNIVERSITAS INDONESIA
menitikberatkan baik pada konsep rekonsiliasi maupun pada kesepakatan
pembayaran ganti kerugian kepada korban. Mediasi yang dilakukan pada tahap
pelaku sedang menjalani pidananya khususnya pidana penjara, berfungsi sebagai
alasan untuk menghapuskan kewenangan menjalankan sebagian pidana jika
pelaku telah menjalankan sebagian pidananya.
Adapun pelaksanaan pada tahapan eksekusi adalah sebagai berikut:
1. Untuk tindak-tindak pidana tertentu, pelaku dapat menawarkan kepada korban untuk mengadakan mediasi penal guna meringankan pidananya.
2. Jika korban menyetujui permintaan mediasi dari pelaku tindak pidana, maka diajukan persetujuan mediasi kepada Jaksa penuntut umum sebagai eksekutor.
3. Jaksa sebagai eksekutor akan mempelajari kemungkinan disetujuinya mediasi penal.
4. Jika telah disepakati persetujuan mediasi maka mediasi dapat dilakukan dengan bantuan mediator yang ditunjuk maupun mediator luar yang telah diakui dan disertifikasi.
5. Mediasi dilakukan dengan prinsip kerahasiaan, sehingga segala peristiwa dan pernyataan yang muncul dalam mediasi bersifat rahasia.
6. Jika mediasi mencapai kesepakatan untuk berdamai dan kesepakatan pembayaran ganti kerugian, maka hasil kesepakatan tersebut berfungsi sebagai alasan untuk menghapuskan kewenangan menjalankan pidana, sehingga terpidana dapat dibebaskan.
7. Hasil kesepakatan perdamaian dan pembayaran ganti kerugian kepada korban dituangkan ke dalam akta kesepakatan yang bersifat final dan digunakan sebagai alasan untuk membebaskan terpidana dari pidana yang belum dijalaninya.41
Dalam penanganan perkara ABH, penyidik selain memiliki kewajiban
melekat untuk melaksanakan asas legalitas, hendaknya berpegang pula pada asas
‘demi kepentingan umum’ dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,
kepentingan umum disini adalah dihubungkan dengan kepentingan terbaik bagi
anak, sebagai bentuk perwujudan pemenuhan kepentingan umum bagi
masyarakat. Hal ini senada dengan Prinsip-prinsip umum yang terkandung dalam
Konvensi Hak Anak, sebagaimana telah penulis singgung dalam bab sebelumnya.
Artinya bahwa dalam semua tindakan yang meyangkut anak yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga kesejahteraan sosial Negara dan swasta, pengadilan hukum,
penguasa administratif atau badan legislatif, kepentingan terbaik bagi anak harus
dijadikan pertimbangan yang utama. Pandangan ini diperkuat pula oleh pendapat
dari Tommy, A. Tobing (Pengacara Publik pada Lembaga Bantuan Hukum
Jakarta), dikatakannya bahwa,:
41 Ibid., hlm. 331.
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
16
UNIVERSITAS INDONESIA
“kapan saja keputusan resmi yang berdampak pada anak diambil, kepentingan terbaik bagi anak harus dipandang sebagai hal yang penting, jangan sampai kepentingan orang tua dan Negara yang menjadi dasar pertimbangan membuat atau menjatuhkan putusan.”42
Penggunaan kewenangan diskresi oleh kepolisian sebenarnya sudah dapat
diterapkan dalam kasus ini, agar tidak menimbulkan ‘pelabelan’ bagi ABH yang
dapat mengganggu perkembangan psikologisnya sebagai generasi penerus bangsa,
diteruskannya kasus sampai tahap persidangan seharusnya hanya untuk meminta
penetapan hakim bahwa kasus tersebut telah selesai dengan terwujudnya
kesepakatan dari kedua pihak agar kasus tersebut tidak diteruskan. Penghentian
proses pemeriksaaan setelah terwujud kesepakatan mediasi penal antara pelaku
dan korban berguna pula untuk membantu mengurangi penumpukan perkara di
Mahkamah Agung.
Diteruskannya penanganan perkara ABH ini menurut penulis didasarkan
atas kekurangan pemahaman atau belum ada nya keberanian dari pihak penyidik
menggunakan kewenangan diskresi secara optimal sebagaimana undang-undang
kepolisian mengaturnya. Dilanjutkannya proses ini hingga pada tahap
pemeriksaan pengadilan menunjukkan bahwa sebagaian aparat penegak hukum
kita, khususnya dari pihak penyidik kepolisian belum mampu mengadaptasikan
pemahamannya dengan perkembangan sistem pemidanaan sebagaimana dunia
internasional sudah banyak menerapkannya, yakni menggeser paradigma sistem
pemidanaan retributif (penghukuman kepada pelaku) menjadi keadilan restoratif
(pengembalian keadaan seperti semula antara pelaku dan korban). Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum kita belum mampu bekerja secara
profesinal dalam menjalakan profesinya sebagai penyidik polisi.
Bab 3 Analisis Kasus
4.1 Posisi Kasus
4.1.1 Putusan Nomor : 952/Pid.B/2010/PN-Stb (Kasus 1).43
Anak Berhadapan dengan Hukum: ditahan dalam rumah tahanan Negara,
berdasarkan surat perintah/penetapan penetapan:
42 Hasil wawancara dengan Tommy, A. Tobing, S. H, pengacara publik pada Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, pada 12 Juli 2012. 43 Mahkamah Agung RI (a), Op. Cit.
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
17
UNIVERSITAS INDONESIA
1. Penyidik sejak tanggal 04 Nopember 2010 No. Pol. Han/121/XI/2010/ Reskrim sejak tanggal 04 Nopember 2010 s/d tanggal 23 Nopember 2010
2. Perpanjangan oleh Penuntut Umum tanggal 18 Nopember 2010 Nomor. 1106/N.2.25.6/Ep/T.4/11/2010 sejak tanggal 24 Nopember 2010 s/d tanggal 03 Desember2010;
3. Penuntut Umum tanggal 02 Desember 2010 Nomor: Print-225/T7/12/2010 sejak tanggal 02 Desember 2010 s/d tanggal 11 Desember 2010;
4. Hakim Pengadilan Negeri Stabat tanggal 06 Desember 2010 Nomor : 952/Pid.B/2010/PN-Stb.- sejak tanggal 06 Desember 2010 s/d tanggal 20 Desember 2010;
5. Perpanjangan Penahanan oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri Stabat sejak tanggal 21 Desember 2010 s/d tanggal 19 Januari 2010;
Selanjutnya, ABH dalam persidangan telah didakwa oleh Penuntut Umum
dengan dakwaan yang disusun secara Alternatif, yakni sebagai berikut :
• Dakwaan KESATU : melanggar pasal 363 ayat (1) angka 3 KUHP jo pasal 26 ayat (1) UU No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Atau,
• Dakwaan KEDUA : melanggar pasal 362 KUHP jo pasal 26 ayat (1) UU No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
Bahwa sebagai implementasi dari konvensi hak hak anak yang telah
diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia tersebut telah lahir UU No. 23 tahun
2002 tetang perlindungan anak dan telah diamanatkan pula dalam Pasal 16 (3) UU
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa penangkapan,
penahanan atau Pidana Penjara Anak hanya dapat dilakukan apabila sesuai
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai Upaya Terakhir
(The Last Resort). Dalam putusan hakim dinyatakan bahwa ABH telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian“.
Kemudian menjatuhkan tindakan terhadap ABH dengan mengembalikan ABH
kepada orang tuanya dibawah pengawasan BAPAS Kelas I Medan sampai
terdakwa dewasa. Memerintahkan terdakwa dibebaskan dari tahanan “Rumah
Tahanan Negara” Pangkalan Berandan. Menyatakan barang bukti berupa :
• 1 (satu) ekor ayam potong warna putih yang beratnya sekira 2 (dua) kilogram. Dikembalikan kepada saksi Nur Ainun Alias Sinur
• Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000, - (seribu rupiah)
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan demi kepentingan terbaik bagi
anak sebagai pelaku maupun anak sebagai korban, hakim telah melakukan
Implementasi Keadilan Restoratif dengan melakukan forum mediasi penal di
ruang mediasi Pengadilan Negeri Stabat yang dihadiri oleh pelaku, orang tua,
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
18
UNIVERSITAS INDONESIA
korban/orang tua, Hakim Anak, Jaksa Anak dan PK BAPAS Klas I Medan.
Dalam forum mediasi tersebut telah ditandatangani kesepakatan perdamaian
tertanggal 23 Desember 2010 oleh pihak-pihak terkait dengan tujuan pemulihan
dan pemenuhan keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat (Restorative
Justice) yang pada pokoknya klausul-klausul kesepakatan tersebut sebagai
berikut:
1. Bahwa Terdakwa dan orang tua telah meminta maaf kepada korban, dan sebaliknya korban telah memaafkan perbuatan Terdakwa;
2. Bahwa Korban berharap Terdakwa tidak mengulangi perbuatannya mencuri di Pasar Pagi Pangkalan Berandan;
3. Bahwa Korban meminta orang tua Terdakwa agar sanggup mendidik dan membina Terdakwa serta tidak melakukan pelanggaran hukum lagi;
4. Bahwa Orang tua terdakwa berjanji mampu untuk menjaga dan membina terdakwa untuk menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa, serta terdakwa berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya dan terdakwa berniat untuk melanjutkan Sekolah di Pesantren gratis
Atas dasar keterangan tersebut, hakim menerapkan pendekatan keadilan
restoratif dengan mekanisme mediasi penal dalam penyelesaian perkara anak
berhadapan dengan hukum sebagaimana dijelaskan dalam putusan pengadilan
tersebut. Mekanisme mediasi penal diterapkan pada tahapan pemeriksaaan sidang
pengadilan. Menurut penulis, seharusnya tanpa melalui mekanisme pemeriksaan
pengadilan, baik pada tahap penyidikan atau penuntutan sudah dapat diterapkan
pendekatan keadilan restoratif melalui mekanisme mediasi penal, mengingat hal
ini akan memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pemenuhan hak-hak
anak dan kepentingan terbaik bagi si ABH. Penggunaan kewenangan diskresi oleh
kepolisian sebenarnya sudah dapat diterapkan dalam kasus ini, agar tidak
menimbulkan ‘pelabelan’ bagi ABH yang dapat mengganggu perkembangan
psikologisnya sebagai generasi penerus bangsa, diteruskannya kasus sampai tahap
persidangan seharusnya hanya untuk meminta penetapan hakim bahwa kasus
tersebut telah selesai dengan terwujudnya kesepakatan dari kedua pihak agar
kasus tersebut tidak diteruskan. Dilanjutkannya proses ini hingga pada tahap
pemeriksaan pengadilan menunjukkan bahwa sebagaian aparat penegak hukum
kita, khususnya dari pihak penyidik kepolisian belum mampu mengadaptasikan
pemahamannya dengan perkembangan sistem pemidanaan sebagaimana dunia
internasional sudah banyak menerapkannya, yakni menggeser paradigma sistem
pemidanaan retributif (penghukuman kepada pelaku) menjadi keadilan restoratif
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
19
UNIVERSITAS INDONESIA
(pengembalian keadaan seperti semula antara pelaku dan korban). Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum kita belum mampu bekerja secara
profesinal dalam menjalakan profesinya sebagai penyidik polisi.
Putusan Nomor : 208/Pid .B/2011/PN. PDG (Kasus 2).44
Anak Berhadapan dengan Hukum: telah ditahan berdasarkan Surat
Perintah/Penetapan Penahanan :
1. Penyidik tangga l 08 Maret 2011 No.Pol. Sp.Han/36/III/2011/Reskrim sejak tanggal 08 Maret 2011 s/d 27 Maret 2011 ;
2. Perpanjangan Penuntut Umum tanggal 25 Maret 2011 No.Prin : B- 677/N.3.10 /Epp.2/03/2011 sejak tanggal 28 Maret 2010 s/d tanggal 06 April 2011 ;
3. Penahanan Penuntut Umum tanggal 05 April 2011 No.Pr in-882/ N.3.10/Ep.I/0 4/2011 sejak tanggal 5 April 2011 s/d tanggal 14 April 2011;
4. Hakim Pengadilan Negeri Padang tanggal 20 April 2011 No. 277 /Pen .Pid/ 2 0 1 1.PN.PDG sejak tanggal 19 April 2011 s/d 04 Mei 2011;
5. Perpanjangan ketua Pengadilan Negeri Padang tanggal 20 April 2011 No.157 /Pen .Pid/2011.PN.PDG sejak tanggal 04 Mei 201 1 s/d 03 Jun i 2011;
6. Penangguhan penahanan terdakwa tangga l3 Mei 2011 No. 208 /Pid .B/ 2011/ PN.PDG, oleh Hakim Tunggal tersebut.
Dalam persidangan, hakim memberikan pertimbangan :
− Bahwa SK baru berumur tiga belas tahun sesuai dengan Kutipan Akta Kelahiran No. 4025/PL/06/T tanggal 22 Juni 2006 yang ditandatangani oleh Kepala Badan Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Padang Drs . SYAFRIZON HAKIM.
− Menimbang, bahwa atas dakwaan tersebut terdakwa maupun Penasehat Hukumnya menyatakan telah mengerti isi maksudnya serta tidak ada menyampaikan keberatan / Eksepsi;
− Menimbang, bahwa selanjutnya akan dibuktikan unsur-unsur dari dakwaan Kedua sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 82 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
− Menimbang, bahwa sesuai ketentuan pasal-pasal 59 ayat (1) dan (2) yang menyatakan agar sebelum mengucapkan putusannya, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh untuk mengemukan segala hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak, serta putusan tersebut wajib mempertimbangkan Laporan Penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan ;
− Menimbang, bahwa selanjutnya didalam pasal 16 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pokoknya disebutkan bahwa Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir ;
44 Mahkamah Agung RI (b), Op. Cit.
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
20
UNIVERSITAS INDONESIA
− Menimbang, bahwa dengan memperhatikan ketentuan normatif di atas jelas-jelas dalam menjatukan tindakan terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana harus dengan memperhatikan berbagai aspek dan tidak menggangu masa depan anak dan pidana yang akan diterapkan adalah sebagai upaya terakhir (Ultimum Remedium) ;
− Menimbang, bahwa selanjutnya Balai Pemasyarakatan Klas I Padang juga menyarankan agar perkara ini diselesaikan diluar Pengadilan Negeri (Diversi) dan kalau tetap melalui proses peradilan maka diharapkan agar dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya dengan memperhatikan pendidikan anak:
− Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta dipersidangan yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa serta dikaitkan dengan barang bukti dan adanya persesuaian antara yang satu dengan yang lainnya dan memperhatikan Laporan Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan Klas I Padang, maka kira pidana yang akan dijatuhkan haruslah pidana yang sesuai dengan kesalahan terdakwa tanpa mengganggu masa depan terdakwa (si anak) dengan berlandaskan prinsip kepentingan terbaik bagi anak ( The best interest of a child);
− Menimbang, bahwa pada pokoknya pidana yang dijatuhkan bukanlah semata-mata pembalasan terhadap kesalahan terdakwa akan tetapi lebih kepada maksud menginsyafkan/menyadarkan terdakwa agar tidak lagi berbuat dimasa yang akan datang dan menyesali pebuatannya oleh karenanya Hakim akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan.
Putusan Hakim: 1. Menyatakan ABH bersalah melakukan “Tindak Pidana Dengan Sengaja
Membujuk Anak Untuk Melakukan atau Membiarkan Dilakukan Perbuatan Cabul” ;
2. Menghukum ABH oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) Tahun dan denda sebanyak Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) Bulan;
3. Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalankan kecuali dikemudian hari terdakwa dengan suatu putusan Hakim melakukan suatu perbuatan pidana selama dalam masa waktu percobaan selama 3 (Tiga) Tahun habis;
4. Menetapkan pula agar ABH mengikuti kegiatan yang diprogramkan oleh Balai Pemasyarakatan Klas I Padang selama 3 (Tiga) Bulan;
5. Menetapkan lamanya ABH ditahan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
6. Memerintahkan agar barang bukti berupa; − 1 (satu) helai baju kaos oblong warna merah muda merk Gen- X;
Dikembalikan kepada ABH. − 1 (satu) helai celana dalam wanita warna hijau muda; Dikembalikan
kepada saksi korban SK 7. Membebani terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu
rupiah). Putusan Nomor : 208/Pid .B/2011/PN. PDG (Kasus 2) Hakim pada putusan Nomor : 208/Pid .B/2011/PN. PDG (Kasus 2)
menyatakan ABH bersalah melakukan “Tindak Pidana Dengan Sengaja
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
21
UNIVERSITAS INDONESIA
Membujuk Anak Untuk Melakukan atau Membiarkan Dilakukan Perbuatan
Cabul”. Sebagaimana telah penulis bahas pada bab sebelumnya, pemenuhan
kepentingan terbaik bagi anak yang sedang berhadapan dengan hukum diatur
dalam UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak maupun UU No. 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sekalipun upaya pemenuhan
kepentingan terbaik bagi anak dalam undang-undang pengadilan anak hanya
diatur secara eksplisit, namun hal ini seharusnya tidak menutup semangat upaya
pemenuhannya oleh aparat penegak hukum kita. Pengaturan mengenai penerapan
keadilan restoratif yang berorientasi pada pemenuhan kepentingan terbaik bagi
ABH pada masa sebelum diterbitkan UU No. 11 Tahun 2012 adalah
menggunakan peraturan-peraturan internal instansi penegak hukum sebagai
penunjang bagi pelaksanaan tugas dan jabatan mereka, diantaranya:
− MOU 20/PRS-2/KEP/2005 DitBinRehSos Depsos RI dan DitPas DepKumHAM RI tentang pembinaan luar lembaga bagi anak yang berhadapan dengan hukum
− Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MA/Kumdil/31/I/K/2005 tentang kewajiban setiap PN mengadakan ruang sidang khusus & ruang tunggu khusus untuk anak yang akan disidangkan
− Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007
− Peraturan KAPOLRI 10 Tahun 2007 Tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA)
− Peraturan KAPOLRI No. 3 Tahun 2008 tentang pembentukan RPK dan tata cara pemeriksaan saksi & korban Tindak Pidana
− Peraturan KAPOLRI No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian Rapublik Indonesia, BN No. 150 Tahun 2009
− TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan TR/395/VI/2008 9 Juni 2008, tentang pelaksanaan diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau saksi
− Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial RI Nomor : 12/PRS-2/KPTS/2009, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, Departemen Pendidikan Nasional RI Nomor 11/XII/KB/2009, Departemen Agama RI Nomor : 06/XII/2009, dan Kepolisian Negara RI Nomor : B/43/ XII/2009 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, tanggal 15 Desember 2009
− Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, Menteri Hukum Dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak RI, NO.166/KMA/SKB/XII/2009, NO.148 A/A/JA/12/2009, NO. B/45/XII/ 2009, NO.M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, NO. 10/PRS-2/KPTS/2009,
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
22
UNIVERSITAS INDONESIA
NO. 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.”45 Peraturan Kebijakan Internal sebagaimana dimaksud diatas berpijak pada
ketentuan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Jo. UU
No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagai payung utama dalam
mengatur mengenai upaya pemenuhan kepentingan terbaik bagi anak berhadapan
dengan hukum. Penggunaan kebijakan berupa kewenangan diskresi yang dimiliki
aparat penegak hukum hendaknya berorientasi bagi kepentingan terbaik bagi anak
dalam menangani kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak berhadapan
dengan hukum. Apabila kasus tersebut ditinjau berdasarkan UU No.11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, upaya pemenuhan kepentingan
terbaik bagi anak dapat dilihat dari perspektif anak sebagai pelaku dan anak
sebagai saksi korban, optimalisasi penerapan keadilan restoratif diamanatkan
dalam undang-undang ini. Beberapa perubahan substansi yang dilakukan dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atas
UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan anak antara lain,:
− Salah satu wujud dari Restorative Justice adalah dimunculkannya mekanisme penal mediation, yaitu penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui instrumen mediasi, arbitrase46 atau konsiliasi47.
− Batas usia seseorang dikategorikan sebagai ‘anak’ adalah 12 tahun-18 tahun48
− Usia anak yang bisa dikenakan penahanan yakni 14 tahun-18 tahun.49 − Dalam undang-undang itu pula dijelaskan bahwa perkara yang bisa
dilakukan diversi atau perdamaian antara korban dan ABH, perkara dengan ancaman penjara di bawah 7 tahun50, dan
− Bukan pengulangan tindak pidana, proses diversi itu bisa dilakukan mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan.51
− Isu krusial lain yakni kewajiban tidak mempublikasikan perkara anak serta pemberian sanksi pidana dan administrasi terhadap petugas yang tidak menjalankan tugasnya seperti diatur dalam Undang-Undang itu.52 Apabila penanganan kedua kasus tersebut didasarkan pada ketentuan UU
No. 11 Tahun 2012, maka sesungguhnya penyidik dapat mengindahkan keinginan
45 Dewi, Op. Cit., hlm. 3. 46 Indonesia (f), Op.Cit., Ps. 1 angka 1. 47Indonesia (g), Op.Cit., Ps. 1 angka 13. 48 Indonesia (c), Op. Cit., Ps. 1 angka 3. 49 Ibid., Ps 32 ayat (2). 50 Ibid., Ps 7 ayat (2) huruf (a). 51 Ibid., Ps 7 ayat (1). 52 Ibid., Ps 3 huruf (i).
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
23
UNIVERSITAS INDONESIA
korban dan pelaku untuk berdamai. Upaya pemenuhan keadilan restoratif dapat
tertuang dalam kesepakatan damai sebagai wujud telah terlaksananya upaya
diversi dalam penanganan kasus tersebut. Hal ini bertujuan agar tujuan dari
mediasi penal itu sendiri dapat terpenuhi, yakni menyelesaikan konflik pidana
dengan mengadakan rekonsiliasi, restitusi, pmbayaran ganti rugi antara pelaku
tindak pidana dan korban. Perdamaian tersebut bertujuan untuk merekatkan
kembali hubungan yang terganggu antara pelaku dan korban karena adanya tindak
pidana, memperlancar proses rehabilitasi bagi pelaku dan pemulihan martabat
terhadap korban.
Bab 4. Penutup A. Kesimpulan
1. Konsep Keadilan Restoratif dikenal dalam sistem pidana di Indonesia
khususnya dalam hal penanganan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh
anak berhadapan dengan hukum. Hal ini terlihat dari beberapa praktek
kehidupan sehari-hari dalam masayarakat kita, penyelesaian perkara dengan
melibatkan semua pihak dinilai dapat membela dan meminta ganti rugi atas
kepentingan hukum mereka yang terlanggar. Berbagai kebijakan internal
instansi penegak hukum dikeluarkan guna mendukung upaya pemenuhan
kepentingan terbaik bagi anak dalam menangani kasus tindak pidana yang
dilakukan oleh anak berhadapan dengan hukum, sekaligus pelaksana atas
UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Jo. UU No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.. Indikasi lainnya terlihat dengan dilakukannya
penyempurnaan konsep keadilan restoratif tersebut dalam Undang-Undang
No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
2. Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan yang dimungkinkan untuk dilakukan (biasa
dikenal dengan istilah ADR atau ”Alternative Dispute Resolution”.
Berdasarkan analisa putusan tersebut diatas, jelas kepolisian kita belum
menggunakan kewenangan diskresi yang dimilikinya secara optimal dalam
menindak lanjut kasus yang diselesaikan melalui meknisme mediasi penal.
Dalam pembahasan kasus tersebut diatas, jelas terlihat bahwa aparat
penyidik kepolisian kita (yang menangani perkara ABH) seakan tidak mau
pusing dengan kondisi psikologis dan kebutuhan hak anak–anak tersebut.
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
24
UNIVERSITAS INDONESIA
Pelimpahan perkara kepada penuntut kejaksaan dan pemeriksaan pengadilan
oleh hakim seakan dijadikan sebagai satu-satunya jalan bagi mereka dalam
menyelesaikan perkara ABH yang sedang ditangani. Pemenuhan
kepentingan terbaik bagi masa depan anak seakan bukan menjadi prioritas
utama dalam penanganan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak
berhadapan dengan hokum mengingat masa depan anak adalah aset besar
bangsa ini.
B. Saran
1. Restoratif justice yang merupakan paradigma baru dalam sistem pemidanaan
perlu dilakukan pengembangan secara menyeluruh dan lebih baik lagi dalam
sosialisasi atas teori tersebut.
2. Mengingat bahwa penerapan sebuah sistem pemidanaan bukan saja
didasarkan pemikiran atas penghukuman kepada merekea yang melangar
suatu atauran, tetapi juga harus diperhatikan tentang aspek keadilan dan
kepastian hukum diantara mereka yang berperkara.
3. Dengan telah ditetapkannya UU No. 11 tahun 2012, perlu dilakukan sebuah
pengaturan khusus berupa peraturan pelaksanaan atas undang-undang
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adji, Indriyanto Seno, Arah Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Kantor
Pengacara dan Konsultan Hukum, Prof. Oemar Seno Adji ,SH, & Rekan, 2000.
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.
Muladi, Hak Asasi Manusia Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997.
Nurjaya, Nyoman, Reorientasi Pembangunan Hukum Negara Dalam Masyarakat
Multi Kultural Perspektif Antropologi Hukum, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2007.
Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, 1983.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013
25
UNIVERSITAS INDONESIA
Zulfa, Eva Achjani, Keadilan Restoratif, Depok: Badan Penerbit FHUI, 2009.
PIDATO DAN MAKALAH
Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana
(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan,
Diucapkan Pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang 25 Juni 1994.
Zulfa, Eva Achjani, “Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana”,
(makalah disampaikan pada Diskusi Terbatas Tentang: “PenyelesaianPerkara
Diluar Pengadilan Melalui Dimensi Mediasi Penal (Penal Mediation) Dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia”: Pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik”,
Jambi, Mei 2011.
INTERNET.
Akrial, Zul. Perdamaian dalam Hukum Pidana, Di antara Dua Metode
Pendekatan, http://id.mail.yahoo.com
PERATURAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 1945.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1988 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, LN No. 136 Tahun 1988, TLN No. 4152.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, LN No. 76
Tahun 1981, TLN No. 3209.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia,
LN No. 2 Tahun 2002, TLN No. 4168.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
LN No.191 Tahun 2000 TLN No.3911 Indonesia,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Ratifikasi Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Lembaran Negara Republik
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem peradilan Pidana Anak.
LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332
Penerapan Mediasu ..., Imam Hermanda, FH UI, 2013