Penanganan Konflik

20
Tugas Kelompok ANALISIS KASUS; KONFLIK TNI VS POLRI DI OGAN KOMERING ULU, SUMATERA SELATAN (DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL FUNGSIONAL & MODEL KONFLIK) Mata Kuliah: Manajemen Penanganan Konflik Prof. Dr. Dwia Aries Tina NK., MA Kelompok I ANWAR JAYA HUSAIN ADE MULAWARMAN SYAMSU RIJAL PASCASARJANA PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH MANAJEMEN KEPEMIMPINAN PEMUDA UNIVERSITAS HASANUDDIN

description

Penanganan Konflik

Transcript of Penanganan Konflik

Tugas Kelompok

ANALISIS KASUS; KONFLIK TNI VS POLRI

DI OGAN KOMERING ULU, SUMATERA SELATAN(DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL FUNGSIONAL & MODEL KONFLIK)Mata Kuliah: Manajemen Penanganan KonflikProf. Dr. Dwia Aries Tina NK., MA

Kelompok IANWAR JAYA HUSAINADE MULAWARMAN

SYAMSU RIJAL

PASCASARJANA

PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH

MANAJEMEN KEPEMIMPINAN PEMUDAUNIVERSITAS HASANUDDIN2015Analisis Kasus; Konflik Tni Vs Polri

Di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan

(Dalam Perspektif Struktural Fungsional & Model Konflik)A. Pendahuluan

Berdasarkan hasil diskusi dari kelompok kami, konflik yang yang menarik untuk dianalisa dari berbagai kejadian yang pernah terjadi di bangsa Indonesia ialah kejadian tentang konflik TNI vs POLRI. Sesusai dengan kilas balik perjalanan sejarah bangsa ini pasca kemerdekaan sering terjadi, bahkan hasil dari penelusuran kami dalam berbagai referensi dan juga berita-berita yang pernah dimuat di media dalam beberapa decade belakangan ini sering sekali terjadi bentrok antara TNI-Polri yang memakan korban baik itu dari pihak TNI, Polri maupun warga sipil. Memiliki kesamaan tugas menjaga keamanan serta menciptakan situasi kondusif dalam masyarakat. Namun sangat ironis bilamana kedua institusi tersebut saling bentrok dan justru membuat kekacauan. Hal demikian tentunya memberi rasa tidak aman kepada masyarakat, padahal esensi dari keberadaan keduanya di negeri ini adalah sebagai patron penjaga keamanan di bangsa ini baik dari serangan-serangan dari luar maupun dari dalam bangsa itu sendiri.Konflik antara dua institusi Negara seperti penyerangan Markas Polres oleh TNI ataupun sebaliknya bukanlah peristiwa yang baru. Kasus-kasus serupa kerap terjadi sebelumnya sepanjang 10 tahun terakhir. Tanggal 12 Agustus 2002, 30 anggota Brimob menyerang asrama TNI di cibinong, Bogor; 29 September 2002, Prajurit TNI Linud 100/Prajurit Setia, Binjai, Sumatera Utara, menyerang Polres Langkat dan Kantor Brimob Binjai; 4 Maret 2003, Puluhan TNI-AU menyerbu Polsek Makasar, Jakarta Timur; 9 Desember 2006, Anggota Yonif 744/Satya Yudha Bhakti Atambua, Belu, NTT, bentrok dengan aparat Polres Belu; 2 Febuari 2008, Ratusan prajurit Yonif 731/Kabaresi menyerang kompleks Kantor Polres Maluku Tengah; 22 April 2012, Brimob Polda Gorontalo menangkap 2 orang dan menembak 4 anggota TNI dalam suatu operasi; bentrok antara TNI dan Polri yang terbaru terjadi pada tanggal 7 Maret 2013, Kantor Polres Ogan Komering Ulu (OKU) dibakar dan dirusak oleh 95 prajurit TNI Yonarmed 15/76 Martapura. Sebanyak tujuh orang terluka dalam kejadian ini (Media Indonesia, 9/3/2013).

Konflik TNI dan Polri diawali sejak era reformasi ketika kedua institusi tersebut dipisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang menyebabkan perhatian negara lebih besar terhadap Polri daripada TNI. Kemudian adanya mispersepsi terkait pembagian ruang tugas, TNI bertugas menjaga keamanan dalam negeri bila ada ancaman dari luar atau gerakan separatis, dan Polri bertugas melayani masyarakat dan menegakkan hukum (Koran Sindo, 9/3/2013).

Sebelumnya di era Orde Baru, TNI dan Polri berada dalam satu institusi yang sama, yaitu ABRI. Benturan yang ada pada keduanya dapat langsung diselesaikan, karena masih adanya perasaan satu korps (Espirit de Corps). Namun, hari ini perasaan tersebut sudah hilang tak bersisa. Benturan sekecil apapun dapat menjadi pemicu timbulnya konflik yang lebih besar, dampaknya perusakan fasilitas publik dan perorangan, melayangnya nyawa, hingga membuat ketakutan dan kecemasan di tengah masyarakat (Media Indonesia, 9/3/2013).

Peristiwa penyerangan Mapolres OKU oleh TNI pun banyak mendapat liputan media, pasalnya TNI dan Polri seharusnya menjaga kemananan negeri ini, namun keduanya saling baku tembak hingga menimbulkan rasa cemas dan rasa tidak aman bagi masyarakat. Selain itu peristiwa ini juga memiliki nilai berita konflik, akibat/dampak, aktual, informasi, dan orang penting (lembaga penting). Gambar 1. Sumber: Wartainfo.com

Berdasarkan kronologis dari penyerangan markas Polres Ogan Komering Ulu kami rangkum dari berbagai artikel berita yang dimuat berbagai media baik media lokal maupun Nasional. Sejumlah prajurit dari Batalyon Artileri Medan 15/76 Tarik Martapura menyerang Markas Polres Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan pada tanggal 7 Maret 2013. Kejadian ini bermula ketika puluhan anggota Yon Armed 15/76 Tarik Martapura mendatangi Mapolres OKU dengan menggunakan truk dan sepeda motor. Hal ini dipicu oleh kejadian sebelumnya dimana ada oknum TNI yang ditembak oleh oknum polisi diakibatkan karena ketersinggungan dari kedua oknum tersebut.Kedatangan puluhan prajurit berbaju loreng guna mempertanyakan kemajuan penanganan kasus penembakan Pratu Heru Oktavianus yang tewas akibat ditembak Brigadir Bintara Wijaya. Namun, kejadian ini berujung pengrusakan terhadap Mapolres OKU. Kebrutalan anggota Yon Armed ini semakin menjadi dengan membakar beberapa kendaraan roda dua dan roda empat yang terparkir di sisi sebelah kiri Mapolres OKU. Mereka juga membakar bagian ruang SPK dan menyerang beberapa anggota Polres OKU dan anggota TNI yang sedang melakukan PAM bersama di Mapolres OKU.Sebagian lagi anggota Yon Armed 76/15 ini menjaga di pintu Mapolres OKU, sehingga petugas pemadam kebakaran yang akan berupaya memadamkan api tidak diperbolehkan masuk. Suasana semakin mencekam dan api mulai membubung tinggi, baru setelah itu ratusan anggota Yon Armed 76/15 bergerak pergi meninggalkan Mapolres OKU. Sedikitnya 4 anggota Polri dan 1 sipil terluka.Sudah menjadi rahasia umum jika sentimen antara TNI dan Polri masih terpupuk. Ego sektoral masih melekat kuat. Hal-hal kecil bisa memicu konflik antarkesatuan. Tapi apa yang menjadi penyebabnya, negeri ini belum juga mampu menghilangkan. Sehingga muncullah tafsiran, analisa para ahli baik dari pakar hokum, ekonomi maupun politik terkait dengan konflik yang sudah menjadi tradisi dikalangan TNI.Polri.Pada era reformasi sejak 1998 telah mengubah masing-masing kesatuan. TNI kembali ke barak dengan tugas-tugas pertahanan menjaga keutuhan NKRI, dan Polri mengambil alih tugas-tugas keamanan sipil. TNI yang pada zaman Orde Baru ikut berperan dalam mengatur kebijakan negara, kewenangan itu kini mulai dihapus.

Selain itu, masing-masing kesatuan juga diajarkan untuk menjaga keutuhan NKRI dan menegakkan hukum. Namun, dalam implementasinya sesuai dengan tupoksinya Polri yang lebih banyak berurusan dengan penegakan hukum karena banyaknya kasus-kasus kriminal, sementara TNI sering mengurusi persoalan menjaga persatuan dan keutuhan negara.

Bisa saja kemudian semangat bela negara melemah di institusi Polri akibat jarang berurusan dengan tugas mempertahankan kedaulatan, sebaliknya semangat penegakan hukum justru di TNI melemah karena jarang berurusan dengan persoalan-persoalan hukum di masyarakat. Persoalan muncul ketika terjadi perselisihan kecil antaroknum di lapangan dari beberapa kasus, masing-masing kesatuan merasa superior.

Untuk kasus kecil saja, kita sering melihat ada oknum TNI yang petentang-petenteng tanpa menggunakan helm saat berkendara di jalan. Di satu sisi, polisi juga dituntut untuk menegakkan hukum. Sebaliknya, prajurit yang didoktrin untuk selalu mencintai tanah airnya, jengah melihat oknum-oknum polisi yang justru melanggar hukum. Persoalan-persoalan ideologi sektoral akibat terpisahnya jarak kewenangan inil bisa menjadi salah satu penyebab konlfik antarkesatuan terjadi.

Seorang prajurit TNI pernah berkeluh-kesah kepada saya. Bukan persoalan penghasilan atau tunjangan. Tapi lebih kepada peran TNI yang mulai tak dihargai lagi. Dia frustasi, ketika TNI selalu dibaiat untuk selalu membela negara, namun di lapangan kecintaan terhadap negara mulai luntur di kalangan masyarakat terlebih perilaku oknum-oknum polisi yang sama sekali mengabaikan rasa cinta tanah air.

Dari berbagai desas desus yang dipaparkan di atas, tentunya menjadi PR besar bagi kita semua untuk menganalisa lebih dalam sampai ke akar-akarnya dan kemudian mencarikan solusi kongkrit untuk kemajuan bersama. Oleh karena itu kami dari kelompok 1 akan berusaha mengupas peristiwa tersebut dengan menggunakan analisis dua analissi pespektif yaitu: pespektif order (structural fungsional) dan model konflik.B. STRUKTURAL FUNGSIONAL

Teori ini menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik serta perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah: fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest, dan keseimbangan.Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya kepada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadapa sistem yang lain dan karena itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau suatu sistem dapat menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu sistem sosial. Secara ekstrim penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Maka jika terjadi konflik, penganut teori fungsionalisme struktural memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.

Singkatnya adalah masyarakat menurut kaca mata teori (fungsional) senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur fungsional bagi sistem sosial itu. Demikian pula semua institusi yang ada, diperlukan oleh sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat dilihat dalam kondisi: dinamika dalam keseimbangan.

Jika kita merunut ke belakang, perseteruan antar dua lembaga TNI-Polri bukan pertama kali terjadi. Pasca reformasi, seteru TNI-Polri memang telah sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, terutama di daerah-daerah. Jadi, peristiwa OKU ini adalah untuk yang kesekian kalinya.

Berulangnya peristiwa bentrok TNI-Polri jelas amat mengkhawatirkan. Sesama Lembaga Tinggi yang seharusnya akur, mereka malah saling berseteru satu dengan lainnya. Hal tersebut juga menimbulkan ragam pertanyaan mengenai akar seteru dari TNI-Polri yang sebenarnya. Sebab, peristiwa yang terjadi dan terjadi lagi jelas pertanda bahwa upaya mendamaikan kedua belah pihak selama ini sama sekali tidak menyentuh hingga ke akar masalah.

Banyak pengamat yang menunjuk faktor kesejahteraan yang timpang antara prajurit TNI dan Polri sebagai akar masalah seteru dua korps negara tersebut. Di masyarakat awam beredar guyon bahwa TNI penuh dengan tantangan, sementara Polri penuh dengan tentengan.

Hal ini masih diperburuk lagi dengan adanya aturan larang berbisnis bagi institusi TNI, yang semakin menambahkan kecemburuan ekonomi. Karena secara tak langsung aturan itu telah menutup peluang akses ekonomi bagi petinggi-petinggi TNI dan oknum TNI lainnya.Jadi jika ditelaah dari perspektif order atau structural fungsional berdasarkan peristiwa TNI vs Polri tersebut adalah merupakan imbas dari disfungsi structural, dimana ada aturan-aturan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya atau dalam hal ini oknum terkait tidak menaati aturan yang berlaku. Dengan terjadinya konflik tersebut tidak dapat ditolerir. Untuk lebih jelasnya lagi, beberapa pendapat dari para ahli, yaitu:

1. Emile DurkheimMasyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat patologis. Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagaiequilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.2. Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-BrownMalinowski dan Brown dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi yang melihat masyarakat sebagai organisme hidup, dan keduanya menyumbangkan buah pikiran mereka tentang hakikat, analisa fungsional yang dibangun di atas model organis. Di dalam batasannya tentang beberapa konsep dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial, pemahaman Radcliffe-Brown (1976:503-511) mengenai fungsionalisme struktural merupakan dasar bagi analisa fungsional kontemporer :Fungsi dari setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti penghukuman kejahatan, atau upacara penguburan, adalah merupakan bagian yang dimainkannya dalam kehidupan sosial sebagai keseluruhan dan, karena itu merupakan sumbangan yang diberikannya bagi pemeliharaan kelangsungan struktural (Radcliffe-Brown (1976:505).

3. Coser dan Rosenberg(1976: 490)Melihat bahwa kaum fungsionalisme struktural berbeda satu sama lain di dalam mendefinisikan konsep-konsep sosiologi mereka. Sekalipun demikian adalah mungkin untuk memperoleh suatu batasan dari dua konsep kunci berdasarkan atas kebiasaan sosiologis standar. Struktur menunjuk pada seperangkat unit-unit sosial yang relatif stabil dan berpola, atau suatu sistem dengan pola-pola yang relatif abadi.Lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, agama, atau pemerintahan, termasuk struktur kelembagaan partai politik adalah contoh dari struktur atau sistem sosial yang masing-masing merupakan bagian yang saling bergantungan satu sama lain (norma-norma mengatur status dan peranan) menurut beberapa pola tertentu.Coser dan Rosenberg(1976: 490) membatasi fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi dari setiap kegiatan sosial yang tertuju pada adaptasi penyesuaian suatu struktur tertentu dari bagian-bagian komponennya. Dengan demikian fungsi menunjuk kepada proses dinamis yang terjadi di dalam struktur itu. Hal ini melahirkan masalah tentang bagaimana berbagai norma sosial yang mengatur status-status, ini memungkinkan status-status tersebut saling berhubungan satu sama lain dan berhubungan dengan sistem yang lebih luas.4. Robert K. MertonSebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas teori-teori fungsionalisme, adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis, ia juga mengakui bahwa fungsionalisme struktural mungkin tidak akan mampu mengatasi seluruh masalah sosial (Merton, 1975: 25). Pada saat yang samaMertontetap sebagai pelindung setia dari analisa fungsional, yang dinyatakannya mampu melahirkan suatu masalah yang saya anggap menarik dan cara berfikir yang saya anggap lebih efektif dibanding dengan cara berfikir lain yang pernah saya temukan (Merton, 1975: 30). Di dalam kata-kata Coser dan Rosenberg (1976: 492) model fungsionalisme struktural Merton ini adalah merupakan pernyataan yang paling canggih dari pendekatan fungsionalisme yang tersedia dewasa ini. Model analisa fungsional Mertonmerupakan hasil perkembangan pengetahuan yang menyeluruh dari teori-teori klasik yang menggunakan penulis besar sepertiMax Weber.Pengaruh Weber dapat dilihat dalam batasan Merton tentang birokrasi. Mengikuti Weber, Merton (1957: 195-196) mengamati beberapa hal berikut di dalam organisasi birokrasi modern :(1) birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal;(2) ia meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas;(3) kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuan-tujuan organisasi;(4) jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan ke dalam keseluruhan struktur birokratis; (5) Status-status dalam birokrasi tersusun ke dalam susunan yang bersifat hirarkis;(6) berbagai kewajiban serta hak-hak di dalam birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang terbatas serta terperinci;(7) otoritas pada jabatan, bukan pada orang;(8) hubungan-hubungan antara orang-orang dibatasi secara formal. Organisasi-organisasi yang berskala besar, termasuk universitas atau akademi, memberikan ilustrasi yang baik tentang model birokrasi yang diuraikan oleh Weber dan Merton.5. Menurut Sendjaja(1994: 32)Mengemukakan bahwa model struktural fungsional mempunyai ciri sebagai berikut:(1) sistem dipandang sebagai satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan;(2) adanya spesifikasi lingkungan yakni spesifikasi faktor-faktor eksternal yang bisa mempengaruhi sistem;(3) adanya ciri-ciri, sifat-sifat yang dipandang esensial untuk kelangsungan sistem;(4) adanya spesifikasi jalan yang menentukan perbedaan nilai; dan(5) adanya aturan tentang bagaimana bagian-bagian secara kolektif beroperasi sesuai ciri-cirinya untuk menjaga eksistensi sistem.6. Kingsley Davis dan Wilbert MooreMenurut mereka, dalam masyarakat pasti ada stratifikasi atau kelas, stratifikasi sosial merupakan fenomena yang penting dan bersifat universal. Stratifikasi adalah keharusan fungsional, semua masyarakat memerlukan sistem seperti dan keperluan ini sehingga memerlukan stratifikasi. Mereka memandang sistem stratifikasi sebagai sebuah struktur, dan tidak mengacu pada stratifikasi individu pada system stratifikasi, melainkan pada sistem posisi (kedudukan).

Pusat perhatiannya ialah bagaimana agar posisi tertentu memiliki tingkat prestise berbeda dan bagaimana agar individu mau mengisi posisi tersebut. Masalah fungsionalnya ialah bagaimana cara masyarakat memotivasi dan menempatkan setiap individu pada posisi yang tepat. Secara stratifikasi masalahnya ialah bagaimana meyakinkan individu yang tepat pada posisi tertentu dan membuat individu tersebut memiliki kualifikasi untuk memegang posisi tersebut.

Penempatan sosial dalammasyarakat menjadi masalah karena tiga alasan mendasar,

Posisi tertentu lebih menyenangkan daripada posisi yang lain

Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat daripada posisi yang lain.

Setiap posisi memiliki kualifikasi dan bakat yang berbeda.

Posisi yang tinggi tingkatannya dalam stratifikasi cenderung untuk tidak diminati tetapi penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat, juga memerlukan bakat dan kemampan terbaik. Pada keadaan ini masyarakat dianjurkan agar memberi reward kepada individu yang menempati posisi tersebut agar dia menjalankan fungsinya secara optimal. Jika ini tidak dilakukan maka masyarakat akan kekurangan individu untuk mengisi posisi tesebut yang berakibat pada tercerai-berainya masyarakat.C. Model KonflikTeori ini dibangun dalam rangka untuk menentang teori Fungsionalisme Struktural. Karena itu tidak mengherankan apabila proposisi yang dikemukakan oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat adalah Teori Fungsionalisme Struktural.

Jika menurut Teori Fungsionalisme Struktural masyarakat berada dalam kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan, maka menurut Teori Konflik malah sebaliknya. Kalau menurtu Teori Fungsionalisme Struktural setiap elemen satau setiap institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas, maka Teori Konflik melihat bahwa setiap elemen atau institusi memberikan sumbangan terhadap disintegerasi sosial. Kontras lainnya adalah bahwa penganut Teori Fungsionalisme Struktural melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum, maka Teori Konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya teknan atau pemaksaan kekuasaan atas golongan yang berkuasa.

Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik itu atas dua tipe. Kelompok semu(quasi group)dan kelompok kepentingan(interest group). Kelompok semu merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok-kelompok kepentingan. Sedangkan kelompo dua, yakni kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat.

Adapun mengenai fungsi dari adanya konflik, Berghe mengemukakan ada empat hal:

1) Sebagai alat untuk solidaritas.

2) Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain.

3) Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi.

4) Fungsi komunikasi. Sebelum sebuah konflik kelompok tertentu mungkin tidak mengetahui posisi lawan. Tapi dengan adanya konflik, posisi dan batas antara kelompok menjadi lebih jelas. Individu dan kelompok tahu secara pasti di mana mereka berdiri, dan karena itu dapat mengambil keputusan lebih baik untuk bertindak dengan lebih tepat.

Singkatnya, Teori Konflik ini ternyata terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat dalam masyarakat di samping konflik itu sendiri. Masyarakat selalu dipandangnya dalam kondisi konflik. Mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan dalam masyarakat. Masyarakat seperti tidak pernah aman dari pertikaian dan pertentangan.Dari berbagai konflik yang terjadi khususnya tragedi penyerangan oknum TNI ke Mapolres OKU Sumatera Selatan pada 7 Maret 2013 jika dikaitkan dengan perspektif konflik model maka ada 3 asumsi yang dapat mendasarinya

1)Masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir. Proses perubahan masyarakat adat sederhana menjadi modern.

2)Masyarakat mengandung konflik di dalam dirinya (konflik antar individu, antar kelompok, individu dengan kelompok).

3)Setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan terjadinya disintegrasi / perubahan sosial (sosek : perbedaan tingkat kemakmuran, status sosial, budaya : pruralisme etnis, agama, politik : simbolisme ketidak adilan).

Ada beberapa pendapat menurut para ahli tentang konflik model:1. Teori Konflik Karl MarxTeori konflik Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.

Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga.

Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.

2. Teori Konflik Georg SimmelSimmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisa.Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.

3. Teori Konflik Menurut Ralf DahrendorfTeori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama. Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut ia tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri semenjak abad kesembilan belas. Diantaranya:

Dekomposisi modal

Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal.

Dekomposisi Tenaga kerja

Di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan baik.

Timbulnya kelas menengah baru

Pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah.Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Kemudian dimodifikasi oleh berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir- akhir ini. Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas.

Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. Dalam analisanya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah di analisa bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya.

4. Teori konflik aliran MarxBeranggapan asas kepada pembentukan sesebuah masyarakat adalah disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi seperti tanah, modal, industri dan perdagangan. Asas kepada perubahan sesebuah struktur masyarakat adalah disebabkan faktor-faktor berkaitan dengan pengeluaran ekonomi. Faktor lain seperti agama, institusi politik, kekeluargaan dan pendidikan pula menjadi superstruktur masyarakat. Sebarang perubahan yang berlaku pada superstruktur masyarakat hanya akan berlaku jika terdapat perubahan pada asasnya.5. Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser.

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.

Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktek- praktek ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.

Contoh: Badan Perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan Dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut.

Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Hal ini senada dengan apa yang menjadi pemicu konflik yang terjadi di Mabes Polri di OKU Sumatera Selatan, ada ketidak puasan yang dialami pihak TNI ketika meminta kejelasan terkait kasus tertembaknya anggota TNI oleh pihak Polri pada saat itu.2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.

Daftar Pustaka

Blanchard, Ken, dan Paul Hersey, Manajemen Perilaku Organisasi; Pendayagunaan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Erlangga, 1986.

Filley, Allan C., Robert J. House, dan Steven Kerr, Managerial Process and Organizational Behavior, Illinois: Scot, Foresman and Company, 1976.

Hardjana, Agus M., Konflik di Tempat Kerja, Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Kossen, Stan, Aspek Manusiawi dalam Organisasi, Jakarta: Erlangga, 1993

Kreitner, Robert, dan Angelo Kinicki, Organizational Behavior, New York: The McGraw-Hill Companies Inc., 2004.

Robbins, Stephen P., Teori Organisasi; Struktur, Desain dan Aplikasi, Jakarta: Arcan, 1994.

Siagian, Sondang P., Teori Pengembangan Organisasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2002, cet. IV.

Stoner, James A.F., Manajemen, Jakarta: Erlangga, 1986.

Winardi J., Manajemen Perubahan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, cet. II., Manajemen Perilaku Organisasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004, Cet. II.Sumber Internethttp://www.tempo.co/read/news/2013/03/07/063465666/Ini-Kronologi-Penyerangan-TNI-AD-ke-Mapolres-OKU (diakses pada tanggal 10 Maret 2015)http://www.wartainfo.com/2014/11/6-kasus-bentrok-tni-vs-polri-terparah.html (diakses pada tanggal 10 Maret 2015)http://uniqpost.com/67873/bentrokan-tni-dan-polisi-di-oku-baturaja-siapa-yang-salah (diakses pada tanggal 10 Maret 2015)http://palembang.tribunnews.com/2013/01/27/ribut-oknum-polisi-vs-tni-di-oku-satu-tewas (diakses pada tanggal 10 Maret 2015)