PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG...

140
PENAFSIRAN WAHBAH AL-ZUHAILÎ TENTANG INFAQ DALAM TAFSIR AL-MUNIR Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Fawa Idul Makiyah NIM: 11140340000190 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2018 M

Transcript of PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG...

Page 1: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

PENAFSIRAN WAHBAH AL-ZUHAILÎ TENTANG INFAQ

DALAM TAFSIR AL-MUNIR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Fawa Idul Makiyah

NIM: 11140340000190

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2018 M

Page 2: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Page 3: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Page 4: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Page 5: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

iv

ABSTRAK

Fawa Idul Makiyah. Penafsiran Wahbah Al-Zuhailî tentang Infaq Dalam

Tafsir Al-Munir

Latar belakang penulisan skripsi ini adalah ketrekaitan penulis terhadap

pokok bahasan mengenai Penafsiran Wahbah al-Zuhailî tentang Infaq dalam

Tafsiral-Munir, mengingat bahwa Infaq merupakan bagian dari sifat manusia yang

harus ditegakkan kepada siapa pun. Karena sadaqah ini memilki dampak yang

sangat positif bagi orang yang ingin menegakkannya.

Menurut Al-Raghib Al-Asfahâni (w. 502 H/1108 M), ahli leksikografi,

kata infaq berasal dari kata nafaqa نفق yang berati sesuatu yang telah berlalu

atau habis, baik dengan sebab dijual, dirusak atau karena meninggal. Selain itu,

kata infaq terkadang berkaitan dengan harta atau yang lainnya, dan terkadang

berkaitan dengan sesuatu yang dilakukan secara wajib atau sunnah.

Fokus penelitian ini adalah tentang infaq yang tidak hanya digunakan

untuk menyangkut yang wajib. Tetapi menyangkut segala macam pengeluaran.

Bahkan kata itu digunakan untuk pengeluaran yang tidak ikhlas sekali pun.

Contohnya: dalam surat Al-Baqarah/2: 262, dan 265, surat Al-‘Anfâl/8: 36, dan

surat At-Tawbah/9: 54. Maka jikalau demikian adanya, maka zakat dan sadaqah

termasuk dalam kategori infaq. Dalam penggunaan sehari-hari zakat digunakan

khusus untuk pengeluaran harta yang sifatnya wajib. Sadaqah digunakan untuk

pengeluaran harta yang sifatnya sunnah. Sementara itu, infaq mencakup segala

pengeluaran atau bukan harta, yang wajib atau bukan, ikhlas atau dengan pamrih.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research)

dengan menggunakan metode mawdû’i atau tematik. Dengan mengggunakan

metode tersebut, terdapat beberapa hal yang ditemukan dalam al-Qur’an yang

menyebutkan makna infaq dan segala aspeknya seperti : Objek penerima infaq

QS. Al-Baqarah [2]: 215, Perumpamaan orang yang berinfaq ikhlas karena Allah

QS. Al-Baqarah [2]: 254, Balasan orang yang berinfaq karena Allah QS. Al-

Baqarah [2]: 261-262, Larangan menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan si

penerima infaq, Sifat dan Bentuk harta yang diinfakkan haruslah harta yang bagus

Al-Baaqarah [2]: 267.

Kata Kunci : Infaq, Al-Munir, Wahbah al-Zuhailî

Page 6: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

v

KATA PENGANTAR

Segala puja, puji, dan rasa syukur, penulis panjatkan kepada Allah SWT,

atas segala nikmat dan pertolongan yang telah, sedang, dan yang akan selalu Ia

berikan kepada penulis. Dialah Tuhan tempat mengadu ketika penulis sudah

merasa lelah dan putus asa dalam menyelesaikan skripsi ini. Kepada-Nya penulis

meminta kekuatan agar selalu dikuatkan dalam menyelesaikan skripsi ini. Atas

petunjuk dan rahmat dari-Nya penulis dapat mengolah data menjadi kata,

mengolah kata menjadi kalimat, mengolah kalimat menjadi paragraf-paragraf

yang berisi ide, kemudian dari kumpulan paragraf menjadi bab-bab dan akhirnya

jadilah skripsi ini.

Shalawat dan salam seiring kecintaan, akan senantiasa tercurah limpahkan

pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

Sesungguhnya Ia dan merekalah yang sangat berjasa dalam menyampaikan pesan-

pesan kepada Allah SWT, sampai akhirnya pesan itu sampai kepada kita semua

saat ini.

Dalam perjalanan penelitian ini, penulis menyadari betul bahwa skripsi yang

berjudul “Penafsiran Wahbah Al-Zuhailî tentang Infaq dalam Tafsir Al-

Munir” ini tidak akan selesai dengan daya dan upaya penulis sendiri, melainkan

ada banyak sosok kerabat, dan orang-orang spesial dari berbagai pihak yang

secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis, sehingga

akhirnya tulisan ini selesai. Maka, pada kesempatan ini, penulis ingin

mengungkapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya, yaitu kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kultsum, MA, selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan

Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan

Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, serta Civas Akademik Fakultas Ushuluddin.

Page 7: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

vi

4. Dosen Penasihat Akademik, Bapak Dr. Masykur Hakim, yang banyak

memberi masukan kepada penulis selama studi di kampus UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Muslih, M.Ag, sebagai Dosen Pembimbing dalam skripsi ini, penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kerelaannya

meluangkan waktu untuk bimbingan dan saran-sarannya mengarahkan

penulis dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin khususnya Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan

Tafsir yang dengan sabar dan ikhlas telah mengajarkan dan membagikan

berbagai macam wawasan, ilmu pengetahuan, serta pengalaman kepada

penulis selama penulis masih kuliah di kampus yang sangat membanggakan

dan tercinta ini.

7. Segenap Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum,

Perpustakaan Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) Ciputat, Perpustakaan Nasional

dan Perpustakaan Imman Jama yang telah memberikan fasilitas serta rujukan-

rujukan sebagai sumber referensi yang sangat membantu sekali penulis.

8. Abiku Muhajirin dan Umiku Siti Mariam yang telah mendidik dan

membesarkanku menjadi manusia yang berguna untuk masyarakat.

9. Calon teman hidup Ahmad Septian Thahir, yang tidak pernah bosan menjadi

alarm pengingat untuk segera menyelesaikan skripsiku, serta membantu,

memberikan dorongan semangat terus menerus tanpa hentinya dan selalu

mendo’akan yang terbaik untuk kelancaran skripsiku. Semoga Allah sselalu

memberikan kemudahan dalam setiap urusannya dan kesemangatan dalam

setiap langkahnya. Amin

10. Teman-teman satu Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir yang senantiasa

menemani penulis dalam menimba ilmu pengetahuan di kampus UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, di antara mereka adalah Silma Latansa, Mega Nur

Fadhilah, Aidah Fathaturrahmah, Filzah Syazwana, Fradita Shalikhah,

Khulaimah Musyfiqah, Iva Rustiana dan seluruh teman-teman kelas yang

tidak disebutkan satu persatu, terimakasih banyak semoga kalian menjadi

Page 8: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

vii

orang-orang sukses Amin. Perjumpaan dengan kalian semua adalah sesuatu

yang akan selalu terkenang.

11. Teman-teman dari KKN Yassir yaitu, Karvin, Sahrul, Wiwi, Dwi, Ilham,

Fadlil, Tina, Ulfah, Prayogo, Asri, Amel, Tara, Romadhon, Aziz, dan Luly

yang telah mendukung dan mensuport dalam melewati masa-masa sulit

bersama dalam mengerjakan tugas akhir Skripsi ini. Terima kasih banyak

semoga Allah SWT membalas semua perjuangan kita Amin.

12. Semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil,

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Mengakhiri rangkaian pengantar ini, penulis hanya bisa memohon kepada

Yang Maha Kuasa untuk membalas segala kebaikan mereka. Mudah-mudahan

Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas segala amal kebaikannya.

Hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan bertawakkal serta memohon

ampunan-Nya atas segala kesalahan dan kekhilafan dalam penulisan skripsi ini.

Dan penulis berharap karya tulis kecil ini dapat bermanfaat sebagai

sumbangsih sederhana dalam khazanah keilmuuan tafsir di Fakultas Ushuluddin.

Dan semoga tulisan ini menjadi tulisan pertama penulis dan dicatat sebagai amal

baik bagi penulis.

Jakarta, 23 Januari 2019

Penulis

Page 9: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Berdasarkan Surat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

No. 507 Tahun 2017

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara lain:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ts Te dan es ث

J Je ج

H H dengan garis bawah ح

Kh Ka dan Ha خ

D De د

Dz De dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy Es dan Ye ش

(S Es dengan garis di bawah ص

(D De dengan garis di bawah ض

(T Te dengan garis di bawah ط

Z Zet dengan garis di bawah ظ

Page 10: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

ix

‘ عKoma terbalik di atas hadap

kanan

Gh Ge dan ha غ

F Ef ف

Q Ki ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

H Ha ه

Apostrof ` ء

Y Ye ي

2. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal

tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a Fathah ـ

i Kasrah ـ

u Dammah ـ

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai

berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ـ ai a dan i

Page 11: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

x

و ـ au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), ynag dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dan garis di atas ـا

î i dan garis di atas ـي

û u dan garis di atas ـو

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah

maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad-

dîwân.

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda tasydīd (ـ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan

huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan

tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu

terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.

Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah,

demikian seterusnya.

6. Ta Marbûṯah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada

kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf

/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah

tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta

Page 12: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

xi

marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

Ṯarîqah طريقة 1

al-Jâmi‘ah al-Islâmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2

Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam

alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti

ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain

untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,

nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka

yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan

huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû

Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat dierapkan

dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring

(italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis

dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian

seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang

berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan

meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis

Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-

Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf

(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas

Page 13: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

xii

kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-

ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

Dzahaba al-ustâdzu ذهب األستاد

Tsabata al-ajru ثبت األجر

Al-harakah al-‘asriyyah احلركة العصرية

اهللأشهد أن ال إله إال Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh

Maulânâ Malik al-Sâlih موالنا ملك الصاحل

yu`atstsirukum Allâh يؤثركم اهلل

Al-maẕâhir al-‘aqliyyah املظاهر العقلية

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.

Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu

dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd;

Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-

Rahmân.

Page 14: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

xiii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................................ ii

PERSETUJUAN TIM PENGUJI ...................................................................... iii

PEDOMAN TRANSLITERASI .........................................................................iv

KATA PENGANTAR …………..…………………………………………….. ix

DAFTAR ISI .........................................................................................................x

BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... ..1

B. Identifikasi Masalah ...............................................................................8

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................... 9

D. Tujuan Penelitian ....................................................................................9

E. Manfaat Penelitian ................................................................................10

F. Tinjauan Kepustakaan ..........................................................................11

G. Metode Penelitian ................................................................................ 12

H. Sistematika Penulisan .......................................................................... 16

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG BIOGRAFI WAHBAH AL-

ZUHAILÎ DALAM TAFSIR AL-MUNIR ....................................... 18

A. Biografi Wahbah al-Zuhailî .................................................................. 18

1. Lahir dan Pendidikannya ................................................................. 18

2. Karir Intelektualnya ......................................................................... 19

3. Karya-karyanya ............................................................................... 20

B. Biografi Tafsir al-Munir ......................................................................21

1. Motivasi dan Tujuan Menafsirkan ................................................21

2. Aliran Pemikiran dan Mazhab Fiqihnya .......................................22

Page 15: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

xiv

3. Sumber Tafsir al-Munir .................................................................23

4. Referensi Kitab Tafsir al-Munir ....................................................24

5. Metode dan Corak Penulisan Tafsir al-Munir ...............................26

BAB III : DESKRIPSI UMUM TENTANG INFAQ ....................................... 28

A. Pengertian Infaq .................................................................................... 28

B. Perbedaan Infaq dengan Sadaqah......................................................... 32

C. Penafsiran Wahbah al-Zuhailî dalam Tafsir al-Munir tentang Infaq ... 37

D. Objek Penerima Infaq .......................................................................... 82

BAB IV : ANALISIS MAKNA AYAT-AYAT INFAQ DALAM TAFSIR AL-

MUNIR KARYA WAHBAH AL-ZUHAILÎ ....................................88

A. Objek penerima infaq ...........................................................................96

B. Perumpamaan orang yang berinfaq ikhlas karena Allah ....................100

C. Balasan orang yang berinfaq karena Allah SWT ...............................103

D. Larangan menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan .........................110

E. Sifat dan bentuk harta yang diinfakkan haruslah harta yang bagus ....114

F. Hilangnya pahala berderma karena Allah SWT .................................117

BAB V : PENUTUP ..........................................................................................121

A. Kesimpulan ........................................................................................121

B. Saran ...................................................................................................122

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................123

Page 16: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesenjangan penghasilan rezeki dan mata pencaharian merupakan

kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Problem-problem hidup seperti kemiskinan

dan ketelantaran, adalah suatu kenyataan yang nyata adanya dan perlu diusahakan

untuk menghindarinya. kemiskinan adalah keadaan dimana seseorang tidak

sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf hidup kelompoknya dan

juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya dalam

kelompok tersebut.

Kemiskinan itu terjadi karena timbul keangkuhan pola hidup duniawi.

Akibat terjadinya “penguasaan” harta pada kelompok tertenu dan tidak

terdistribusi secara proporsional kepada orang banyak dan harta itu berputar

bagaikan roda disegelintir orang tertentu sehingga akhirnya ada pihak yang tidak

mendapat kesempatan untuk memilikinya. Ini tentu “melanggar” hukum

keseimbangan. Dalam agama Islam, konsep keseimbangan itu sdah pasti ada.

Berpasang-pasangan itu merupakan sunatullah. Laki-laki dan perempuan, surga

dan neraka, iman dan kafir, dan bahkan kaya dan miskin.

Batasan seseorang dikatakan miskin bukanlah pada berapa banyak harta

yang ia dapatkan. Melainkan, pada tingkat kebutuhan seseorang itu sendiri. Orang

yang berpenghasilan sepuluh juta dalam sebulan, belum tentu dia dikatakan lebih

kaya dari orang yang berpenghasilan lima juta. Karena seandainya orang yang

berpenghasilan sepuluh juta itu masih kurang dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya, dia dianggap lebih miskin dibanding orang yang berpenghasilan lima

juta yang merasa cukup bahkan lebih dari kebutuhan dia.

Dalam kasus kaya dan miskin, Islam hadir sebagai agama yang berusaha

serius dalam “memerangi kemiskinan”.1 Penyelesaian masalah ini memerlukan

campur tangan dari Allah SWT, seperti firman-Nya dalam al-Qur‟an Surah an-

Nahl/16: 71

1 Wahbah al-Zuhailî, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, (Bandung: Remaja Rosma Karya,

1995), h. 88

Page 17: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

2

“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam

hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau

memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar

mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari

nikmat Allah?”. [QS. An-Nahl/16: 71]

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT melebihkan rezeki sebagian

manusia dari sebagian yang lainnya. Ada manusia yang kaya, ada pula yang

miskin. Semuanya bertujuan agar satu sama lain saling menolong karena saling

membutuhkan. di akhir ayat, Allah mengingatkan bahwa semua itu adalah nikmat-

Nya. Oleh karena itu, mereka seharusnya mensyukuri nikmat itu dengan tidak

memonopoli sumber-sumber penghasilan itu untuk kepentingan kelompok atau

golongan tertentu.2

Usaha-usaha untuk itu antara lain adalah adanya kemestian bagi orang yang

memiliki kelebihan harta untuk membantu yang berkekurangan dan untuk

membiayai kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Agama Islam mendorong

kepada orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan hartanya dalam berbagai

macam kebaikan dan mendorong mereka untuk menafkahkan hartanya di jalan

Allah SWT dengan penuh kedermawanan dan senang hati.

Infaq adalah hal mendermakan harta benda di jalan Allah dengan maksud

mencari pahala. Termasuk infaq ialah: nafakah istri, sedekah, zakat (wajib),

membangun sarana-sarana ibadah, membangun sarana-sarana pendidikan dan lain

sebagainya. Di dalam al-Qur‟an banyak sekali disebutkan dengan berbagai macam

bentuk, seperti انفق (Dia membelanjakan), “انفقت” (Engkau membelanjakan),

”تنفق“ ,(Mereka membelanjakan) ”انفقو“ ,(Kalian membelanjakan) ”انفقتم“

2 Tim Depag RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), Cet.

Pertama, Jilid 5, h. 351

Page 18: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

3

(Kalian belanjakan), “ينفق” (Ia belanjakan), “ينفقو” (Mereka belanjakan),

,(Mereka membelanjakannya) ”ينفقوهنا“ ,(mereka belanjakan) ”ينفقون“

”نفقتهم“ ,(Suatu pembelanjaan) ”نفقة“ ,(kalian belanjakanlah) ”انفق“

(Belanjaan belanjaan mereka), “الالنفق” (Pembelanjaan), dan “منفقن”

(Orang-orang yang membelanjakan).3 Atas dasar ini, al-Qur‟an secara tegas

menyebut kata “harta” setelah kata “infaq” misalnya di dalam Surah Al-

Baqarah/2: 262. Selain itu ada juga ayat yang tidak menggandekan kata “infaq”

dengan kata “harta”, sehingga ia mencakup segala rezeki Allah SWT yang

diperoleh manusia dan yang dapat digunakan. Seperti misalnya dalam Surah Ar-

Ra‟d/13: 22 dan Surah Al-Furqân/25: 67.4

Menurut Drs. Ahsin Alhafidz, yang dimaksud dengan Infaq adalah sesuatu

yang diberikan oleh seseorang guna menutupi kebutuhan orang lain, baik berupa

makanan, minuman, dan sebagainya. Mendermakan atau memberikan rezeki

(karunia) atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas dan

karena Allah semata.5

Menurut Al-Raghib Al-Asfahâni (w. 502 H/1108 M), ahli leksikografi, kata

infaq berasal dari kata nafaqa نفق yang berati sesuatu yang telah berlalu atau

habis, baik dengan sebab dijual, dirusak atau karena meninggal. Selain itu, kata

infaq terkadang berkaitan dengan harta atau yang lainnya, dan terkadang berkaitan

dengan sesuatu yang dilakukan secara wajib atau sunnah.6

Kata infaq tidak hanya digunakan untuk menyangkut yang wajib. Tetapi

menyangkut segala macam pengeluaran. Bahkan kata itu digunakan untuk

pengeluaran yang tidak ikhlas sekali pun. Contohnya: dalam Surah Al-Baqarah/2:

262, dan 265, Surah Al-„Anfâl/8: 36, dan Surah At-Tawbah/9: 54. Maka jikalau

demikian adanya, maka zakat dan sadaqah termasuk dalam kategori infaq. Dalam

3 M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafi‟ah A.M, KAMUS ISTILAH FIQIH

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 121-122 4 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 717 5 Ahsin W. Alhafidz, Kamus Fiqih, (Jakarta: AMZAH, 2013), Cet. 1, h. 93

6 Al-Raghib al-Asfahâni, al-Mufrodât Fî Ghorîb al-Qur‟ân, (T. Tp: Maktabah Nazar

Mustafa al-Baz, t.t.), h. 120

Page 19: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

4

penggunaan sehari-hari zakat digunakan khusus untuk pengeluaran harta yang

sifatnya wajib. Sadaqah digunakan untuk pengeluaran harta yang sifatnya sunnah.

Sementara itu, infaq mencakup segala pengeluaran atau bukan harta, yang wajib

atau bukan, ikhlas atau dengan pamrih.7

Di Jakarta yang menjadi ibukota pun masih banyak orang-orang yang

hidup dibawah garis kemiskinan. Salah satu contohnya adalah kasus yang dialami

oleh Nurjana seorang janda dengan dua orang anaknya yang tinggal di sebuah

rumah atap dengan atap yang hampir nyaris runtuh dan tembok rumahnya pun

lapuk lantaran terkena terpaan hujan yang lebat. Perempuan ini bekerja seadanya

membungkus keripik sekaligus menjaga anak tetangga dengan penghasilan Rp 15

ribu perhari. Nurjana warga petamburan Jakarta itu, hanya satu dari belasan kisah

warga yang hidup di lingkungan kumuh.8

Di dalam al-Qur‟an, kata infaq hanya disebut satu kali, yaitu dalam Surah

al-Isrâ (17) ayat 100. Sedangkan kata lain yang seakar dengan kata tersebut,

seperti anfaqa, yunfiqu, dan nafaqatan disebut sebanyak 73 kali.9

Dalam pandangan syariat Islam, orang yang berinfaq akan memperoleh

keberuntungan yang berlipat ganda baik di dunia maupun di akhirat. Orang yang

berinfaq dijamin tidak akan jatuh miskin, malah rezekinya akan bertambah dan

jalan usahanya semakin berkembang. Dalam (Surah Al-Baqarah2/: 261), Allah

SWT berfirman: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang

yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih

yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap bulir (tumbuh) seratus. Allah

melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.” Selain itu, orang

yang berinfaq juga akan mendapatkan pahala yang besar di akhirat nanti. (QS. Al-

Baqarah/2: 262), dan apa yang diinfaqkan itu balasannya hanya untuk yang

berinfaq (QS. Al-Baqarah/2: 272).10

7 M. Quraish Shihab, Menjawab ? 1001 soal keislaman yang patut diketahui, (Jakarta:

Lentera Hati, 2008), h. 190 8 Tim Liputan 6 SCTV, artikel diakses pada tanggal 10 Mei 2011 dari

http://berita.liputan6.com/ibukota/201001/26131/Nurjana. Potret. Kemiskinan. Di Jakarta. 9 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 717 10

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 717

Page 20: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

5

Persoalan infaq dibahas lebih mendalam di dalam kitab-kitab fiqih. Sayyid

Sabiq, ahli fiqih kontemporer Mesir, misalnya: membagi infaq pada perbuatan

yang wajib dan yang sunnah. Infaq yang wajib dimasukkan sebagai bidang zakat,

sedangkan infaq yang sunnah selanjutnya disebut infaq saja, atau sedekah sunnah.

1945), mufassir dari Mesir, misalnya -i (1881hgMarâ-afa altMuhammad Mus

mengartikan kata yunfiqûn sebagai sedekah pada bagian ayat 215 dari Surah Al-

Baqarah ayat 2 yang berbunyi: ( )?

. Oleh al-Marâghi , sedekah diartikan sama dengan infaq.

Dalam kajian fikih Islam, infaq dibedakan dari zakat dan sedekah. Zakat

merupakan derma yang telah ditetapkan jenis, jumlah dan waktu pelaksanaannya.

Sedangkan infaq lebih luas dan umum. Dalam infaq, tidak terdapat ketentuan

mengenai jenis dan jumlah harta yang akan dikeluarkan serta tidak pula

ditentukan kepada siapa saja infaq itu harus diberikan. Allah SWT memberikan

kebebasan kepada pemiliknya untuk menentukan jenis, jumlah dan waktu

pelaksanaan dari harta yang akan diinfaqkan itu. Yang terpenting infaq itu

dilakukan dengan ikhlas. Sementara itu, terdapat persamaan antara infaq dan

sedekah dari segi pengertiannya, yaitu sama-sama memberikan kepada orang lain.

Namun dari segi waktunya, terdapat perbedaan antara keduanya. Waktu untuk

mengeluarkan infaq adalah pada saat mendapat rezeki dari Allah SWT tanpa

ditentukan kadar jumlah yang harus dikeluarkannya. Sedangkan pada sedekah,

tidak ada ketentuan waktunya, demikian pula tidak ada ketentuan mengenai

jumlahnya maupun peruntukannya.11

Berinfaq amat dianjurkan dalam syariat Islam. Dalam al-Qur‟an terdapat

lima kali perintah berinfaq, diantaranya dalam Surah al-Munâfiqûn 63 ayat 10

yang artinya: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan

kepadamu sebelum datang kematian.” Dan (Surah at-Tagâbun/64: 16) yang

artinya “.. dengarlah serta taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk

dirimu.”

Sebelum itu, dalam (Surah Al-Baqarah/2: 2-3) dinyatakan bahwa orang

yang berinfaq itu termasuk orang yang bertakwa kepada Allah SWT. Sementara

itu, dalam (Surah at-Talâq/65:7), Allah SWT berfirman: “Hendaklah orang yang

11

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 717

Page 21: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

6

mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan

rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”

Dalam hadits Rasulullah SAW antara lain bersabda “bahwa infaq yang paling

baik adalah mengenyangkan perut orang yang lapar (HR. Al-Baihaqi dari Anas

bin Malik), dan di antara amalan yang utama adalah menyambung tali

silaturrahmi, memberi sesuatu kepada orang yang tak pernah memberikan (bakhil)

dan memaafkan orang yang pernah menyakiti. (HR. At-Tabrani dari Mu„adz bin

Jabal). Dari ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut, ulama sepakat mengatakan bahwa

infaq termasuk amal yang sangat dianjurkan dan sunnah hukumnya.12

Dalam al-Qur‟an, terdapat beberapa ketentuan yang harus dilakukan dalam

berinfaq, di antaranya berinfaq itu harus didahulukan kepada orang-orang yang

memilki hubungan yang terdekat dengan orang-orang yang berinfaq. Misalnya,

berinfaq kepada kedua orang tua, kerabat dekat, dan seterusnya. Setelah itu

kepada anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang

dalam perjalanan. (QS. Al-Baqarah/2: 215). Ayat tersebut ditafsirkan oleh al-

Marâghi dengan penjelasan, “katakanlah kepada orang-orang yang berinfaq,

hendaknya infaq itu didahulukan kepada kedua orang tua, karena kedua orang tua

itu telah merawatnya di waktu kecil serta amat lelah dalam membesarkannya.

Setelah itu dilanjutkan kepada anak-anaknya dan saudara-saudaranya, karena

mereka itu orang yang lebih utama harus disantuni dan dijaga. Jika mereka

dibiarkan, maka mereka akan meminta-minta kepada orang lain, dan hal ini akan

memalukannya. Setelah itu dilanjutkan kepada anak-anak yatim, karena anak

yatim ini tidak ada yang menanggung biaya hidupnya, karena masih amat kecil

dan muda usianya, dan setelah itu yang diberikan infaq adalah orang-orang miskin

serta Ibnu Sabil (orang yang terlantar dalam perjalanan).13

Dalam hadis Rasulullah SAW menjelaskan mengenai ketentuan orang

yang menerima infaq. Dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim

dijelaskan bahwa satu dinar (uang emas) yang diinfaqkan kepada keluarganya

yang terdekat adalah lebih besar pahalanya daripada satu dinar yang diinfaqkan

12

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 718 13

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 718

Page 22: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

7

untuk di jalan Allah SWT dan kerabatnya. Dalam hadis lain, Rasulullah SAW

menyatakan menyatakan bahwa sebaik-baiknya uang yang diinfaqkan kepada

keluarganya, kepada kendaraan yang akan digunakan untuk berjuang di jalan

Allah, dan kepada sahabat yang berjuang di jalan Allah SWT. (HR. Muslim)14

Fukaha berbeda pendapat mengenai ketentuan siapa yang berhak

menerima infaq. Mazhab Maliki berpendapat bahwa infaq hanya diberikan kepada

ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan, sedangkan kakek, cucu, dan yang

lainnya tidak termasuk yang wajib hukumnya menerima infaq. Menurut Mazhab

Syafi‟i, infaq hanya diberikan kepada orang-orang yang hidupnya susah, baik

muslim maupun nonmuslim. Selain itu ada yang tergolong harus mendapat

prioritas utama, yaitu ibu dan bapak, serta ada yang tergolong non prioritas, yakni

anak-anak yang bersangkutan, keponakan dan seterusnya. Mazhab Hanbali

sependapat dengan Mazhab Syafi‟i bahwa infaq itu hanya diberikan kepada

kerabat yang susah saja, atau kepada orang yang apabila ditinggal mati oleh

walinya akan mengalami kesusahan. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi, infaq

diberikan kepada kerabat, anak yatim, dan orang miskin seperti terdapat dalam

(Surah Al-Baqarah/2: 215) dan (Surah At-Talâq/65: 6-7), atau orang yang pada

umumnya mengalami kesulitan ekonomi.15

Selain ketentuan di atas, ketentuan lainnya adalah mengenai orang yang

memberi infaq. Orang yang berinfaq hendaknya tidak merasa dirinya lebih tinggi

dari orang yang diberi infaq. Ia tidak boleh menyakiti perasaan orang yang diberi

infaq, misalnya dengan menyebut-nyebut pemberiannya itu di depan orang lain

seperti dalam (Surah Al-Baqarah/2: 262). Orang yang berinfaq juga hendaknya

tidak berlebih-lebihan dalam infaqnya dan tidak pula terlalu kikir, jika ia memang

mampu memberi infaq yang lebih banyak lagi seperti dalam (Surah Al-

Furqâan/25: 67). Selain itu, seseorang yang berinfaq hendaknya hanya

mengharapkan keridhaan Allah swt seperti dalam Surah Al-Baqarah/2: 272, dan

untuk mendekatkan diri kepadanya dalam (Surah At-Tawbah/9: 99).16

14

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 718 15

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 718 16

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 71

Page 23: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

8

Harta benda yang diinfaqkan hendaknya harta milik sendiri, bukan harta

titipan atau milik orang lain seperti dalam (Surah At-Talâq/65: 7), Di dalam itu

harta yang diinfaqkan hendaknya harta yang tayibah (yang baik) dari segi mutu,

bentuk, dan cara memberikannya (Surah Al-Baqarah/2: 267), serta juga sesuatu

yang masih disukai atau disenangi oleh orang yang memberikan infaq itu (Surah

„Âli „Imrân/3: 92).17

Di samping itu, syariat Islam juga menetapkan etika atau akhlak bagi

orang yang diberi infaq. Etika tersebut antara lain bahwa orang yang diberi infaq

itu harus menggunakan pemberian tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagi

kehidupannya, agamanya dan masyarakatnya, bukan dipergunakan untuk maksiat

atau perbuatan mubadzir, boros, dan sebagainya (Surah Al-„Isrâ‟/17: 27). Orang

yang menerima infaq ini juga harus menunjukkan rasa terimakasih di hadapan

orang yang memberikan sesuatu kepadanya dan pernyataan perlu akan pemberian

itu. Dengan cara demikian, maka orang yang memberikan sesuatu kepadanya akan

merasa puas dan senang, karena apa yang diberikannya itu berguna bagi yang

bersangkutan.18

Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis merasa perlu untuk melakukan

penelitian dengan metode tafsir tematik dalam kajian ini, guna menghadirkan

gambaran yang sistematis dan pemahaman yang utuh mengenai tema yang

diangkat sesuai dengan harapan penulis. Penelitian ini penulis beri judul

“Penafsiran Wahbah al-Zuhailî tentang Infaq dalam Tafsir Al-Munir”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat ditemukan

beberapa identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Makna Infaq.

2. Ayat-ayat Infaq dalam al-Qur‟an.

3. Objek Infaq.

4. Biografi Kitab Tafsir al-Munir karya Wahbah al-Zuhailî.

17

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 719 18

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 718-719

Page 24: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

9

5. Penafsiran ayat-ayat Infaq dalam Kitab Tafsir Al-Munir.

6. Arti kata dan kandungan makna setiap ayat.

7. Sebab turun masing-masing ayat dan konteks sosial-kultural masing-

masing ayat.

8. Petunjuk al-Qur‟an tentang infaq.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Di dalam al-Qur‟an terdapat 31 ayat mengenai kata Infaq dan derivasinya.

Penulis membatasinya hanya 15 ayat yang dirasa mampu merefleksikan makna

Infaq dan segala aspeknya. Ayat-ayat tersebut penulis himpun dari term (نفقق)

infaq dan term lainnya di dalam al-Qur‟an yang merefleksikan makna infaq, yaitu

-Dari ketiga term tersebut, penulis memilih ayat .(زكقا ) sadaqah dan (صققه )

ayat yang berkenaan dengan infaq sebagai berikut: QS. Al-Baqarah [2]: 215, 219,

254, 261, 262, 264, 265, 267, 270, 271, 272, 274, QS. At-Taubah [9]: 53, 54, QS.

Al-Anfal [8]: 36.

Dalam rumusan masalah, penelitian ini menggunakan model pertanyaan

yang berguna untuk menjawab pokok permasalahan dan menunjukkan arah

pemahaman yang benar. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

Bagaimana Penafsiran ayat-ayat Infaq dalam Tafsir al-Munir karya Wahbah

al-Zuhailî?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui makna Infaq.

2. Mengetahui ayat-ayat Infaq tentang Infaq, kandungan kata dan makna,

asbab nuzul, munasabah ayat, konteks ayat serta petunjuk al-Qur‟an

terhadapnya.

3. Mengetahui penafsiran ayat-ayat Infaq menurut Wahbah al-Zuhailî dalam

Kitab Tafsir al-Munir.

Page 25: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

10

E. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini memberikan kontribusi bagi kajian dan

pemahaman dalam perkembangan al-Qur‟ân, khususnya ayat-ayat yang

menyinggung tentang Infaq dalam al-Qur‟ân, serta menambah khazanah

kepustakaan dan intelektual Islam terutama dalam studi penafsiran al-Qur‟ân. Di

samping itu, penelitian ini juga dapat berguna sebagai bahan rujukan bagi siapa

saja yang ingin meneliti atau mengembangkan penelitian yang sempurna.

Manfaat skripsi ini untuk Prodi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, penelitian akan

melengkapi makna Infaq yang telah ditemukan oleh beberapa orang pada

penelitian sebelumnya, dan untuk meringkas cara pandang mufassir.

Adapun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah kesadaran

diri akan bahayanya sikap kecintaan berlebih terhadap diri sendiri, terutama dalam

masalah dunia, sehingga menyebabkan disharmonisasinya kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Tambahan pula, penelitian ini diharapkan dapat

mendorong kita selalu untuk menjadikan nilai-nilai moral al-Qur‟ân sebagai way

of life.19

Adapun kegunaan dari penelitian ini secara akademik adalah:

1. Penelitian ini secara praktis menjadi bahan, rujukan untuk para

pendakwah, sebagai bahan ajar pada metode kajian tafsir, dan kajian

tematis.

2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih pemikiran

dalam bidang Tafsir, khususnya tentang Infaq yang saat ini jarang dikaji

dalam perspektif Tafsir secara utuh.

3. Sebagai syarat memperoleh gelar Strata Satu bidang Agama pada

program studi Ilmu al-Qur‟ân dan Tafsir di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Adapun kegunaan dari penelitian ini secara non akademik adalah:

1. Agar saya dan para pembaca skripsi ini mendapat gambaran dan

pemahaman tentang ayat-ayat sadaqah.

2. Untuk menambah khazanah keilmuan penulis dalam memahami suatu

hadits dan dapat mengaplikasikannya pada salah satu ilmu yang penulis

19

Way of life “Jalan hidup”

Page 26: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

11

pelajari selama di bangku kuliah mulai dari semester 1 sampai semester 8

atau semester terakhir.

F. Tinjauan Kepustakaan

Untuk menghindari terjadinya kesamaan dengan karya tulis yang lainnya,

penulis menulusuri kajian yang pernah dilakukan sebelumnya. Selanjutnya hasil

penelitian ini akan menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat metodologi

yang sama, sehingga diharapkan kajian ini benar-benar bukan hasil plagiat dari

kajian sebelumnya.

Salah satu di antara mereka yang meneliti tentang infaq adalah Beni,

melalui skripsi yang berjudul “Sedekah dalam Perspektif Hadits”, pada Prodi

Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014.

Skripsi ini membahas tentang hadits-hadits Nabi saw yang berkenaan dengan

enam tema sadaqah, yang mempunyai kualitas shahih baik dari segi sanad

maupun matan. Hadits-hadits nabi saw mendorong untuk senantiasa bersadaqah

setiap hari baik sadaqah materi maupun non materi. Karena sadaqah merupakan

amalan sunnah yang memiliki keutamaan dan hikmah yang luar biasa bagi yang

mengerjakannya.20

Kemudian skripsi oleh Mardiah Ratnasari yang berjudul “Konsep

Sedekah dalam Perspektif Pendidikan Islam”, pada prodi PAI Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2013. Skripsi ini

membahas tentang penerapan materi sedekah bagi peserta didik yang harus

ditingkatkan dan diupayakan keberhasilannya.21

Penelitian yang dilakukan dalam bentuk jurnal dengan judul “Zakat,

Infaq, Sadaqah, dan Wakaf Sebagai Konfigurasi Filantropi Islam”. Oleh

Qurratul Uyun. Penelitian ini mengkaji zakat, infaq, sadaqah dan wakaf adalah

bentuk ajaran islam yang mengajak umat manusia untuk peduli terhadap sesama,

keempat filantropi ini memiliki persamaan yaitu sama-sama bernilai ibadah dan

20

Beni, “Sadaqah dalam Perspektif Hadits”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN

Sunan Kalijaga, 2014), h. 14-39 21

Mardiah Ratnasari, “Konsep Sadaqah dalam Perspektif Pendidikan Islam”, (Skripsi S1

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013), h. 16

Page 27: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

12

meningkatkan solidaritas antar umat. Keempatnya memilki peran penting dalam

perekonomian masyarakat.22

Penelitian lainnya adalah skripsi karya Hidayatullah yang berjudul “Infaq

dan Zakat Dalam al-Qur‟an (Kajian Tafsir Tematik)”. Skripsi ini membahas

tentang makna Infaq dan zakat dalam al-Qur‟an.23

Penelitian dalam bentuk skripsi oleh Dudih Permadanih yang berjudul

“Zakat dan Peranannya bagi Kaum Dhu‟afa. Skripsi ini membahas tentang

terbatasnya zakat yang sifatnya wajib serta peranannya bagi pemberdayaan kaum

dhu‟afa.24

Sejauh pengetahuan penulis, dari beberapa penelusuran baik skripsi,

jurnal, ataupun karya tulis lainnya, belum ditemukan penelitian mengenai kajian

tematis tentang infaq dalam al-Qur‟an. Oleh karena itu, penelitian ini memilki

obyek pembahasan dan tujuan yang berbeda dari penelitian yang telah ada

mengenai tema yang diangkat.

Melalui tinjauan hasil penelitian sebelumnya mengenai medan makna infaq

dalam al-Qur‟an, penelitian ini bertujuan untuk memperluas kajian tentang infaq

tersebut di dalam al-Qur‟an. Begitu pula, dengan meninjau hasil penelitian

sebelumnya mengenai infaq dalam al-Qur‟an, maka penelitian ini bertujuan untuk

mengembangkan penelitian tentang tema serupa dengan mengkaji ayat-ayat al-

Qur‟an kata infaq dalam penafsiran Wahbah al-Zuhailî. Dengan demikian,

penulis menganggap bahwa skripsi, jurnal ataupun karya tulis di atas sangatlah

berbeda dengan apa yang penulis teliti.

G. Metode Penelitian

Guna memberikan kontribusi keilmuan yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka diperlukan metode yang sesuai

dengan obyek kajian. Metode penelitian ini merupakan langkah kerja untuk

22

Jurnal Qurratul Uyun, “Zakat, Infaq, Sadaqah, dan Wakaf Sebagai Konfigurasi

Filantropi Islam”. 23

Hidayatullah, “Infaq dan Zakat Dalam al-Qur‟an (Kajian Tafsir Tematik)”, (Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Banddung, 2000), h. 96 24

Dudih Permadanih yang berjudul “Zakat dan Peranannya bagi kaum Dhu‟afa”, pada

prodi PAI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2013.

Page 28: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

13

memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji, sehingga

penelitian dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Adapun metode penelitian

yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis mengkaji lebih jauh mengenai infaq

dalam al-Qur‟an menggali ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut.

Ayat-ayat tersebut kemudian didukung dengan penjelasan dari hadis maupun

ijtihad para ulama sehingga akan mendapatkan hasil yang sistematis sesuai

harapan penulis.

Di dalam pengolahan data, penulis menggunakan metode deskriptif-

analisis. Metode deskripstif analitis adalah mendeskripsikan data yang telah

disimpulkan untuk menapatkan hasil penelitian yang maksimal.

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang bermkasud untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistik, dan

dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata bahasa, pada suatu konteks

khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.25

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpula data adalah cara yang digunakan dalam

penelitian melalui prosedur yang sistematik dan standar.26

Dalam penelitian

ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data berupa library research

(penelitian kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil

penelitian dari penelitian terdahulu. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif,

karena karakteristik data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi

terhadap data yang ditemukan, yang dipaparkan dalam bentuk kata-kata, tidak

dalam bentuk angka.

25

Lexy J Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2007), h.6 26

Lexy J Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2007), h.6

Page 29: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

14

Adapun referensi atau sumber data27

tersebut terbagi menjadi dua,

yaitu:

a. Sumber Data Primer28

Sesuai dengan judul “Penafsiran Wahbah al-Zuhailî tentang Infaq

dalam Tafsir al-Munir karya Wahbah al-Zuhailî”, maka sumber utama dari

penelitian ini adalah al-Qur‟an dan terjemahannya, yakni sebagai kitab suci

firman Allah yang menjadi pedoman hidup bagi semua umat Islam di

belahan dunia maupun sampai akhir zaman. Di samping itu, penelitian ini

juga menggunakan sumber utama berupa kitab Tafsir al-Munir oleh

Wahbah al-Zuhailî.

b. Sumber Data Sekunder29

Adapun sumber-sumber data lainnya adalah: Tafsir al-Misbah oleh M.

Quraish Shihab, Tafsir al-Maraghy oleh Ahmad Musthafa Al-Maraghy, dan

kitab-kitab tafsir lainnya. Selain itu buku-buku hukum, majalah, artikel,

jurnal dan lain-lain yang berkaitan dengan tema penelitian.

3. Metode Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil kepustakaan, penelitian terdahulu,

dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya

daapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan

mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan

sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang

akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada

orang lain.

27

Sumber data adalah semua informasi baik yang berupa benda nyata, sesuatu yang

abstrak, peristiwa atau gejala baik secara kualitatif ataupun kuantitatif. Lihat Sukandarumidi,

Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2012), h. 44 28

Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada

pengumpul data. Lihat Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,

2012), h. 225 29

Sumber data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data

kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen. Lihat Sugiyono, Metode

Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 225

Page 30: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

15

Penelitian ini dapat dikategorikan tafsir tematik atau tafsir

Mawḏû‟i.30

Adapun metode tematik dipilih dengan alasan selain ingin

menghindari adanya penarikan kesimpulan secara parsial, pengunaan ini

dianggap sebagai salah satu metode yang efektif untuk dapat memperoleh

kesimpulan yang komperhensif dari seluruh ayat yang memuat tema infaq

dalam al-Qur‟an.

Langkah pengumpulan data ini dimulai dari mengumpulkan

beberapa referensi ayat yang terkait dengan tema untuk kemudian

diklasifikasi dan dideskripsikan. Oleh karena penelitian ini menggunakan

kajian tafsir tematik, maka penulis menggunakan teori tafsir mawdȗ„i

(tematik) al-Farmawy. Adapun langkah-langkah atau cara kerja metode

tematik ini dapat dirinci sebagai berikut:31

1. Menentukan “Makna Infaq dalam al-Qur‟an” sebagai fokus

utama penelitian.

2. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan ayat-ayat yang

membahas tentang infaq.

3. Mencari asbab al-nuzul dari ayat-ayat tersebut bila ada.

4. Memahami kolerasi ayat-ayat tersebut dalam Surahnya masing-

masing.

5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna

(outline).

6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relavan

dengan pokok pembahasan.

30

Tafsir Mawḏû‟i menurut pengertian istilah para ulama adalah: “Menghimpun seluruh

ayat al-Qur‟an yang memiliki tujuan dan tema yang sama, setelah itu kalau mungkin disusun

berdasarkan kronologis turunnya dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya. Langkah

selanjutnya adalah menguraikannya dengan menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali. Hasilnya

diukur dengan timbangan teori-teori yang akurat, sehingga sang mufassir dapat menyajikan tema

secara utuh dan sempurna. Bersamaan dengan itu, dikemukakan pula tujuannya yang menyeluruh

dengan ungkapan yang mudah dipahami sehingga bagian-bagian yang terdalam sekalipun dapat

diselami.” Lihat Abd al-Hayy al-Farmawî, Metode Tafsir Mawḏû‟i, penerjemah: Rosihin Anwar,

(Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 43 31

Lihat Abd al-Hayy al-Farmawî, Metode Tafsir Mawḏû‟i, penerjemah: Rosihin Anwar,

(Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 43

Page 31: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

16

7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan

jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang

sama, atau mengkompromikan antara yang „âm dan yang khâs,

mutlâq dan muqayyad, atau yang pada akhirnya bertentangan,

sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa

perbedaan atau pemaksaan.

Sesuai dengan objek penelitian yang bersifat literer, maka peneliti

menggunakan metode content analysis (analisis isi), untuk menganalisis

data-data yang ada. Analisis data adalah proses mencari dan menysusun

secara sistematis data yang diperoleh dari hasil kepustakaan, penelitian

terdahulu, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan

temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data

dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam

unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana

yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang

dapat diceritakan kepada orang lain.32

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun menggunakan sistematika bab per bab. Kemudian

pembahasan dijelaskan dalm sub-sub bab. Bab I adalah pendahuluan,di dalamnya

dijelaskan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan

rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Pada bagian ini disinggung

makna infaq yang dijelaskan dalam al-Qur‟an menurut penafsiran Wahbah al-

Zuhailî, sebelum membahas secara lengkap mengenai makna infaq. Di bab ini

juga dikemukakan tinjauan kepustakaan agar tidak ada kesamaan pembahasan

dengan penelitian terdahulu serta metode penelitian yang digunakan dalam skripsi

ini.

Pada bab kedua, penulis akan mendeskripsikan sosok Wahbah al-Zuhailî

dan Kitab Tafsirnya yaitu al-Munir. Pada bagian pertama akan dipaparkan tentang

biografi Wahbah al-Zuhailî, kemudian melanjutkan pembahasan mengenai

gambaran umum tentang kitab Tafsir al-Munir yang meliputi Motivasi dan Tujuan

32

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan R&D, (Bandug: Alfabeta, 2012), h. 244

Page 32: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

17

Menafsirkan, Aliran Pemikiran dan Madzhab Fiqih Wahbah al-Zuhailî, Sumber

Tafsir, Referensi, Metode dan Corak Tafsir al-Munir.

Pada bab ketiga, merupakan Deskripsi Umum tentang Infaq yang meliputi

Pengertian Infaq, Perbedaan Infaq dengan Zakat dan Sadaqah, Penafsiran ayat

tentang Infaq menurut Wahbah al-Zuhailî.

Pada bab Keempat, akan diuraikan pembahasan yang menjadi titik sentral

dalam penelitian ini, yaitu Analisis ayat-ayat infaq dalam al-Qur‟an dan Tafsir al-

Munir karya Wahbah al-Zuhailî. Pemilihan ayat pada bab ini dilakukan setelah

penelusuran berbagai tentang infaq pada ayat-ayat yang mengandung term makna

infaq dalam al-Qur‟an. Berdasarkan hasil analisa terhadap ayat-ayat yang telah

dipilih, makna infaq antara lain: Objek Penerima infaq (orangtua, kerabat dekat,

kerabat lain, anak yatim, orang miskin, dan musafir), perumpamaan orang yang

berinfaq ikhlas karena Allah, balasan orang yang berinfaq karena Allah SWT,

Larangan menyebut-nyebut dan menyakiti Perasaan si penerima infaq, dan sifat

bentuk harta yang diinfakkan haruslah harta yang bagus.

Kesimpulan pada penelitian ini dibahas pada bab V. Bab ini akan

memberikan kesimpulan dari seluruh pembahasan yang dijelaskan oleh penulis

dari bab-bab sebelumnya. Pada bab ini pula terdapat jawaban terhadap masalah

yang menjadi fokus dalam penelitian yaitu makna infaq dalam al-Qur‟an menurut

Penafsiran Wahbah al-Zuhailî. Tidak lupa pula saran yang bersifat konstruktif

seputar tema yang diangkat dalam penelitian ini.

Page 33: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

18

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG BIOGRAFI WAHBAH AL-ZUHAILÎ

DALAM TAFSIR AL-MUNIR

A. Biografi Wahbah al-Zuhailî

1. Lahir dan Pendidikannya

Wahbah az-Zuhailî dilahirkan di Dir Athiyah, tepatnya di daerah Qalmun,

Damascus, Syiria pada tanggal 6 Maret 1932 M/1351 H. Berasal dari kalangan

keluarga yang religius. Ayahnya bernama Musthafa az-Zuhailî terkenal dengan

keshalihan dan ketakwaannya selain hafal al-Qur‟an, beliau juga bekerja sebagai

petani dan senantiasa mendorong putra-putranya untuk menuntut ilmu.1

Wahbab Zuhailî mendapat pendidikan dasar di desanya. Pada tahun 1946,

beliau melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah di Damascus. Setamatnya

dari sekolah menengah ini, beliau melanjutkan pendidikannya di Universitas al-

Azhar Kairo, pada jurusan Syari‟ah hingga mendapat ijazah strata satu (LC).

Dasar yang bersamaan Wahbah juga mengikuti kuliah di Universitas Ain Syams

Kairo, jurusan bahasa Arab, ilmu yang kelak sangat membantunya sebagai pakar

tafsir dan fiqih.2

Tidak berhenti di jenjang ini, Wahbah kemudian melanjutkan

pendidikannya ketingkat pascasarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama

dua tahun dan memperoleh gelar MA dengan tesis berjudul “al-Zira‟i fi as-

Siyasiyah asy-Syar‟iyyah wa al-Fiqh al-Islami.” Merasa belum puas dengan

pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang diselesaikannya

pada tahun 1963 M dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami” di

bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.3

Adapun guru-gurunya adalah Muhammad Hashim al-Khatib al-Syafie, (w.

1958 M) seorang khatib di Masjid Umawi. Beliau belajar darinya fiqh al‟Syafie,

1 Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 163 2 Sayyid Muhammad Ali Ayazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manahajuhum, (Teheran:

Wizarah al-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islam, th. 1993), cet. 1, h. 684-685 3 Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 163-164

Page 34: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

19

mempelajari ilmu fiqih dari Abdul Razak al-Hamasi (w. 1969 M), ilmu Hadits

dari Mahmud Yasin (w. 1948 M), ilmu Faraidl dan wakaf Judat al-Mardini (w.

1957 M), Hasan al-Shati (w. 1962 M), ilmu Tafsir dari Hassab Habnakah al-

Midani (w. 1978 M), ilmu bahasa Arab dari Muhammad Shaleh Farfur (w. 1986

M), ilmu Ushul Fiqih dan Musthalah Hadits dari Muhammad Lutfi al-Fayumi (w.

1990 M), ilmu Akidah dan Kalam dari Mahmud al-Rankusi.4

Sementara selama di Mesir, beliau berguru pada Muhammad Abu Zuhrah

(w. 1395 M), Mahmud Shaltut (w. 1963 M), Abdul Rahman Taj, Isa Manun (1376

H), Ali Muhammad Khafif (w. 1978 M), Jad al-Rabb Ramadhan (w. 1994 M),

Abdul Ghani Abdul Khaliq (w. 1983 M), dan Muhammad Hafidz Ghanim. Di

samping itu beliau amat terkesan dengan buku-buku tulisan Abdul Rahman Azam

seperti al-Risalah al-Khalidah dan buku karangan Abu Hassan al-Nadwi berjudul

Ma dza Khasira al-„alam bi inkhitat al-Muslimin.5

2. Karir Intelektualnya

Karir akademisnya dimulai ketika ia di angkat sebagai tenaga pengajar

pada tahun 1963 M, di Fakultas Syari‟ah Universitas Damaskus dan secara

berturut-turut ia menjabat sebagai ketua jurusan Fiqh al-Islami wa Madzzhabihi,

wakil dekan, kemudian Dekan di Fakultas yang sama. Setelah mengabdi selama

lebih dari dua belas tahun dikenal sebagai pakar dalam bidang Fiqh, Tafsir dan

Dirasah Islamiyyah, Wahbah memperoleh gelar Profesornya pada tahun 1975.6

Aktivitas ilmiahnya tidak hanya diisi dengan kegiatan mengajar, tapi juga

dengan menulis puluhan karya ilmiahm menghadiri berbagai pertemuan ilmiah di

dalam dan di luar negeri, di samping mengajar di beberapa Negara, seperti di

Fakultas Hukum Universitas Ben Ghazi Libia (1972-1974) di Fakultas Syari‟ah

wa al-Qonun Universitas Uni Emirat Arab (1974-1979 dan Universitas Khurtum

di Sudan.7

4 Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 164 5 Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 164 6 Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 164-165 7 Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 165

Page 35: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

20

3. Karya-karya Wahbah al-Zuhailî

Wahbah al-Zuhailî menulis buku, kertas kerja dan artikel dalam berbagai

ilmu Islam. Buku-bukunya melebihi 133 buah buku dan jika dicampur dengan

risalah-risalah kecil melebihi lebih 500 makalah. Satu usaha yang jarang dapat

dilakukan oleh ulama pada zaman ini. Di antara buku-buku hasil karyanya di

antaranya adalah sebagai berikut:8

1. Atsâr al-Harb fî al-Fiqh al-Islâmî- Dirâsat Muqâranah, Dâr al-

Fikr, Damasyiq, 1963.

2. Al-Wasît fî Usûl al-Fiqh, University Damsyiq, 1966.

3. Al-Fiqh al-Islâmî fi Uslûb al-Jadid, Maktabah al-Hadithah,

Damsyiq, 1967.

4. Al-Usûl al-Ammâh li Wahdah al-Dîn al-Haq, Maktabah al-

Abassiyah, Damsyiq, 1972.

5. Al-Alaqât al-Dawliah fî al-Islâmî, Muasssasah al-Risalah, Beirut

1981.

6. Al-Fiqh al-Islâmî wa adilatuhu, (8 jilid), Dâr al-Fikr, Damsyiq,

1984.

7. Usul al-Fiqh al-Islâmî, (2 jilid), Dâr al-Fikr, Damsyiq, 1986.

8. Fiqh al-Mawâris fi al-Syarî‟ah al-Islâmiah, Dâr al-Fikr, Damsyiq,

1987.

9. Al-Tafsîr al-Munîr fî al„Aqîdah wa al-Syarî‟ah wa al-Manhaj, (16

jilid), Dâr al-Fikr, Damsyiq, 1991.

10. Al- ur‟an al-Karîm al-buny tuh al-Tasyr ‟iyyah aw Khas „isuh

al-Hadâriah, Dâr al-Fikr, 1993.

11. Al-Rukhsah al-Syarî‟ah-Ahkâmuha wa Dawâbituha, Dâr al-Khair,

Damsyiq, 1994.

12. Khas „is al-Kubra li Huqûq al-Insân fî al-Islâm, Dâr al-Maktabî,

Damsyiq, 1995.

13. Al-Ulūm al-Syarî‟ah Bay n al-Wahdah wa al-Istiqlâl, Dâr al-

Maktabî, Damsyiq, 1996.

8 Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 165

Page 36: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

21

14. Al-Asâs wa al-Masâdir al-Ijtihâd al-Musytarikât bayân al-Sunnah

wa al Syi‟ah, Dâr al-Maktabî, 1996.9

B. Profil Tafsir Al-Munir

1. Motivasi dan Tujuan Menafsirkan

Dalam kata pengantar karya tafsirnya Wahbah Zuhailî mengatakan bahwa

tujuan dari penulisan tafsirnya adalah menghubungkan umat Islam dengan kitab

sucinya al-Qur‟an dengan ikatan yang bersifat ilmiah, karena al-Qur‟an adalah

petunjuk kehidupan (dustur al-hayat) bagi seluruh manusia dan bagi kaum

Muslimin khususnya.10

Oleh sebab itu dalam membahas hukum-hukumnya ia

tidak terpaku hanya pada masalah-masalah hujam yang biasa dibahas para pakar

fiqih saja, tetapi ia membahasnya secara umum dan mengupasnya secara meluas,

sehingga pembacanya betul-betul memahami kandungannya seperti „Aqidah,

akhlak, metode dan cara bertingkah laku dan faedah yang bisa dipetik dari ayat-

ayat al-Qur‟an, baik dalam bentuk indikasi atau isyarat, baik itu menyangkut

bangunan sosial setiap masyarakat yang maju atau menyangkut kehidupan pribadi

setiap muslim. Yang penting tafsir ini bisa membantu setiap muslim yang ingin

menelaah al-Qur‟an dan mentadabburinya.11

Sebagaimana yang diperintahkan

Allah dalam al-Qur‟an QS. Shod/38: 29 sebagai berikut:

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan

berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya

mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”.

Dalam hal ini, Ali-Ayazi berdasarkan penelitiannya menambahkan bahwa

tujuan penulisan tafsir al-Munir ini adalah memadukan keorisinilan tafsir klasik

dan keindahan tafsir kontemporer. Karena menurut Wahbah Zuhailî banyak orang

yang menyudutkan tafsir klasik yang dianggap tidak mampu memberikan solusi

terhadap problematika masyarakat di era kontemporer, sedangkan para mufassir

9 Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 166 10

Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 166 11

Wahbah az-Zuhailî, Tafsir al-Munir fi al‟Aqidah wa asy-Syari‟ah wa al-Manhaj, h. 6

Page 37: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

22

kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat al-

Qur‟an dengan alih pembaharuan.12

Seperti penafsiran al-Qur‟an yang dilakukan

oleh beberapa mufassir yang basic keilmuannya sains,oleh karena itu, menurutnya

tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang

konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan

interpretasi.13

2. Aliran Pemikiran dan Madzhab Fiqih Wahbah al-Zuhailî

Dalam masalah teologis, Wahbah cenderung mengikuti faham Ahl al-Sunnah

dan mazhab Salafi, tetapi tidak terjebak dalam fanatisme mazhab yang

menuntunnya untuk menghujat mazhab lain. Ini terlihat dalam pembahasannya

tentang masalah yang diperdebatkan seputar kemumgkinan “ Melihat Tuhan “ di

dunia dan di akhirat yang terdapat pada Surah al- An‟am 6/130:

“Dia tidak bisa dijangkau dengan penglihatan mata, sedang Dia dapat

melihat segala penglihatan itu dan Dialah yang Maha halus dan Maha

teliti.”[QS. Al- An‟am/6: 130]14

Ketika menafsirkan ayat ini Wahbah menukil hadist yang diriwayatkan oleh

Ibn Abbas bahwa Allah memang tidak bisa dilihat di akhirat. Hal ini dilandasi

oleh QS. Al-Qiyamah /22-23:” Wajah-wajah (orang-orang yang beriman) pada

hari itu berseri-seri memandang Tuhannya.” Wahbah juga menukil hadits yang

diriwayatkan oleh al-bukhahari dan Muslim bahwa Rasulullah telah bersabda:

“Kelak kamu akan melihat Tuhanmu seperti kamu melihat bulan pada malam

purnama, sebagaimana engkau melihat matahari ketika (langit) tidak berawan.”

12

Seperti penafsiran yang dilakukan oleh mufassir yang basic keilmuannya kedokteran

semisal Musthafa Mahmud ketika menafsirkan mengatakan bahwa rumah laba-laba itu terbuat dari

bahan yang lebih kuat dari baja.informasi ini tentu bertentangan dengan pernyataan al-Qur‟an yang

menyebutkan bahwa paling lemahnya rumah adalah rumah laba-laba. 13

Sayyid Muhammad Ali Ayazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manahjihum, h. 685 14

Perdebatan seputar;melihat tuhan”didunia maupun di akhirat terjadi diantara penganut

Aliran kalam Mu‟tazilah dengan penganut ahlus sunnah, Aliran muktazilah

menganggap Allah tidak bisa dilihat karena bersifat imateri, alasannya pertama karena

Tuhan tidak mengambil tempat, oleh sebab itu tidak bisa dilihat. Kedua bila Tuhan bisa

dilihat dengan mata, itu berarti Tuhan bisa dilihat didunia, sedang kenyataannya tidak

seorang pun dapat melihat Allah dialam ini. Lihat al_qodhi Abdul jabbar, Syarah

Ushulul Khamsah, Maktabah Wahbah,Kairo, 1965,hal 245.

Page 38: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

23

Berdasarkan hadits-hadits ini Wahbah meyakini bahwa orang mukmin akan

melihat Allah SWT di surga dengan matanya.15

Mengenai mazhab fiqihnya, Wahbah menganut mazhab fiqih Imam Hanafi,

karena ia dibesarkan di kalangan ulama-ulama mazhab Hanafi, yang membentuk

pemikirannya dalam mazhab fiqih. Walaupun bermazhab Hanafi, ia tidak fanatik

dan dapat menghargai pendapat-pendapat mazhab lain, hal ini dapat dilihat pada

bentuk penafsirannya ketika mengupas ayat-ayat yang berhubungan dengan

hukum fiqih. Dalam membangun argumennya selain menggunakan analisis yang

lazim dipakai dalam fiqih ia juga memberikan informasi yang seimbang dari

masing-masing mazhab, kenetralannya juga terlihat dalam penggunaan beragam

referensi, tidak terfokus pada buku-buku fiqih ulama Hanafi saja. Misalnya ia

mengutip dari Ahkam al-Qur‟an karya Al-Jashash untuk pendapat Mazhab

Hanafi, dan ahkam al-Qur‟an karya al-Qurtubi unuk pendapat Mazhab Maliki.16

3. Sumber Tafsir al-Munir

Muhammad Ali Iyazi dalam bukunya, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa

Manahijuhum, mengatakan bahwa sumber pembahasan kitab tafsir ini

menggunakan gabungan antara tafsir al-Ma‟tsur dengan tafsir bil al-ra‟yi,17

Hal

ini juga diakui oleh Wahbah sendiri bawa dalam menafsirkan al-Qur‟an ia tidak

hanya berpegang pada tafsir bi al-mantsur saja, akan tetapi juga tetap berpegang

pada tafsir al-ra‟yi. Atau pad riwayat. Landasan menggabungkan dua sumber

penafsiran ini adalah QS. an-Nahl/16: 4418

:

“Dan kami turunkan kepada mu Al Quran, agar kamu menerangkan Al

Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah

diturunkan kepada mereka [829] dan supaya mereka memikirkan.”

15

Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 168 16

Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 169 17

Sayyid Muhammad Ali Ayazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manahijuhum, h. 685 18

Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 169

Page 39: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

24

Berdasarkan ayat ini Wahbah menilai bahwa lafal ayat “لتبني لناس”

(untuk kamu jelaskan pada manusia), adalah tentang kedudukan Nabi yang

mempunyai otoritas penuh untuk memerikan penjelaan dan penafsiran makn ayat-

ayat al-Quran maupun aplikasinya dalam kehidupan manusia dan demi

kemaslahatan mereka. Sedangkan lafal ayat “لعلهم يتفكرون” (agar mereka

memikirkanya), adalah perintah Allah kepada manusia untuk berusaha memahami

ayat-ayat al-Qur‟an dengan memikirkan yang bersumberkan akal yang jernih,

melalui tadabbur dan tela‟ah yang mendalam dengan segenap kemampuan akal,

untuk menemukan pesan-pesan al-Qur‟an sebagaimana yang dikehendaki Allah.19

4. Referensi

Sedangkan referensi-referensi yang digunakan Wahbah az-Zuhailî dalam tafsir

Al-munir diantaranya adalah sebagai berikut20

:

A. Bidang Tafsir21

1. Ahkam al-Qur‟an karya Al-Jashsas

2. Al-Kasyaf karya Imam Zamakhsyari

3. Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho

4. Al-Jami‟fi Ahkam al-Qur‟an karya Al-Qurtubi

5. Tafsir Ath-thabary karya Muhammad bin Jarir Abu Ja‟far ath-Thabari

6. At-Tafsir al-Kabir karya Imam Fakhruddin ar-Razi

7. Ta‟wil Musykil al- ur‟an karya Ibn Qutaibah

8. Tafsir al-Alusi karya syihab ad-Din Mahmud bin Abdillah

9. Tafsir al-Bahr al-Muhith karya Imam Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf

10. Tafsir Ibn Katsir Ismail bin Umar bin Katsir

19

Wahbah al-Zuhailî, Muqaddimah tafsir al-Munir, Juz 1, h. 7 20

Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 170 21

Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 170

Page 40: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

25

B. Bidang Ulum al-Qur‟an22

1. Al-Itqan karya Imam suyuti

2. Mabahist fi „Ulum al-qur‟an karya Shubhi Shalih

3. Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul karya Imam Suyuthi

4. Asbab an-Nuzul karya al-Wahidi

5. I‟jaz al- ur‟an karya Imam Baqilani

C. Bidang Hadits23

1. Shahih al-Bukhari karya Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim al-Bukhari

2. Shahih Muslim karya Muslim bin Hajjaj Abu al-Husain

3. Al-Mustadrak karya Imam Hakim

4. Ad-dalail an-Nubuwwah karya Imam Baihaqi

5. Sunan Tirmidzi larya Muhammad bin „Isa Abu I‟sa at-Tirmidzi

6. Musnad Ahmad bin Hambal

7. Sunan Ibn Majah karya Abu Abdillah bin Muhammad bin Yazid al- Qazwaini

8. Sunan Abi Dawud karya Sulaiman bin Asy‟ast bin Syadad

9. Sunan an-Nasai karya Ahmad bin syu‟aib Abu Abd ar-Rahman an-Nasai

D. Bidang Ushul Fiqh24

1. Bidayat al-Mujtahid karya Ibn Rusyd al-afidz

2. Al-Fiqih al-Islami wa Adilatuh karya Wahbah az-Zuhailî

3. Usul Al-Fiqh al-Islami karya Wahbah az-Zuhailî

4. Ar-Risalah karya Imam Syafi‟i

5. Al-Mushtafa karya Imam al-Gazali

E. Bidang Teologi

Al-Kafi karya Muhammad bin Ya‟qub

1. Asy-Syafi Syarh Ushul al-Kafi karya „Abdullah Mudhhaffar

22

Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 170-171 23

Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 171 24

Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 171

Page 41: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

26

2. Ihya „Ulum ad-Din karya Imam al-Ghazali

F. Bidang Luhgat25

1. Mufradat ar-Raghib karya al-Ashfihani

2. Al-Furuq karya al-Qirafi

3. Lisan al-„Arab karya Ibn al-Mandhur

5.Metode dan Corak Tafsir al-Munir

Salah satu ciri dari ciri-ciri metode penulisan tahlili atau analisis adalah

penafsiran yg dimulai dari surah al-Fâtiĥah dan diakhiri pada surah an-Nâs atau

dengan kata lain tafsir dengan metode penulisan tahili adalah penulisan materi

tafsir yang mengikuti susunan surah-surah dan ayat-ayat sebagaimana yang

termaktub dalam Mushaf al-Qur‟an.

Mengamati metode penulisan tafsir al-Munir dari sisi runtun penafsiran,

yang dimulai dari surah al-Fâtiĥah dan berakhir pada surah an-Nâs, bisa dikatakan

metode penulisannya adalah tahili.26

Berdasarkan metode ini Wahbah menuliskan

tafsirnya dari berbagai sisi dan rinci, dimulai dari membahas keutamaan surah,

membahas makna kosa kata, mengulas kandungan sastranya, menafsirkan

kandungan ayatnya kemudian menyimpulkan kandungan ayat tersebut di bawah

tema fiqih al-hayah tanpa mengabaikan sisi munasabah antara ayat dan sebab

nuzulnya.27

Di sisi lain kita juga melihssat pengelompokan ayat, berdasarkan

keterkaitan isi yang dikandung ayat-ayat tersebut, dan pemberian tema sesuai

dengan kandungannya. Dalam penafsiran ayat-ayat tersebut sering kali kita

dapatkan Wahbah juga merujuk pada ayat-ayat dari surah surah yang lain, yang

terkait dengan ayat yang sedang ditafsirkannya, menjelaskan tujuan utama surah

dan ayat dan petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik darinya, untuk lebih

25

Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h.172 26

Secara etimologi kata tahlili berasal dari bahasa Arab dari akar kata halla-yuhallilu-

tahlilan, artinya mengurai dan menganalisa. Menurut al-Farmawi metode penafsiran tahlili adalah

metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dari seluruh aspeknya.

Lihat Abdul Hay al-Farmawi, Muqaddimah fi Tafsir al-Maudhu‟i, Kairo: al-Hadhoroh al-

Arabiyah, 1977, h. 23 27

Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 172

Page 42: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

27

memperjelas ulasannya, sehingga penafsirannya menjadi lebih utuh dan

menyeluruh.28

Metode penulisan dengan langkah-langkah seperti yang disebutkan

di atas menurut para pakar tafsir bisa digolongkan dalam metode tafsir semi

tematik (maudhu‟i) yaitu metode yang diterapkan pertama kali oleh syaikh Al-

Azhar Mahmud Syaltut dalam karya afsirnya “Tafsir al- ur‟an al-Karim.”29

Dengan langkah-langkah penafsiran tersebut di atas, maka bisa

disimpulkan bahwa metode penafsiran yang dipakai Wahbah dalam tafsir al-

Munir adalah kolaborasi antara metode tahlili dan semi tematik, karena di

samping beliau menafsirkan al-Qur‟an sesuai dengan urutan surah-surah

sebagaimana termaktub dalam mushaf, ia juga memberi tema pada setiap kajian

ayat yang sesuai dengan kandungannya dan mengaitkannya dengan kandungan

surah secara keseluruhan. Contoh jelasnya Surah al-Baqarah ayat 1-5, beliau

memberi tema “sifat-sifat orang mu‟min dan balasan bagi orang-orang yang

bertaqwa”.30

28

Menurut penulis langkah penafsiran yang diambil wahbah ini mungkin didasari oleh

kesadaran adanya kritikan terhadap metode tahlili yang dianggap memilki kekurangan yaitu

memberi pemahaman yang bersifat parsial, itu sebabnya mengapa Baqir al-Shodr menamakannya

sebagai metode tajz‟i, karena menjadikan pembahasan mengenai petunjuk al-qur‟an secara

terpisah-pisah, karena tidak kurang satu petunjuk yang saling berhubungan tercantum dalam

sekian banyak surah yang terpisah-pisah. Lihat Baqir Shodr, Pedoman Tafsir Modern, terj.

Hidayaturrahman, Jakarta: Risakah Masa, 1992, h.9, dan Lihat juga M. Quraish Shihab,

Membumikan al- ur‟an, Mizan: 1999, h. 13 29

Langkah penafsiran Wahbah bisa dikatakan semi tematik karena tidak mengikuti

seluruh langkah yang seharusnya dijalankan oleh mufassir tematik, sebagaimana yang digagas

oleh al-Farmawi, Lihat al-Farmawi, Muqaddimah fi Tafsir al-Maudhu‟i, Kairo: al-Hadhoroh al-

Arabiyah, 1977, h. 61-62 30

Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern”,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. Pertama, h. 173-174

Page 43: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

28

BAB III

DESKRIPSI UMUM TENTANG INFAQ

Setelah membahas biografi Wahbah al-Zuhaili, untuk mengetahui

pandangannya tentang infaq maka di bab ini saya akan meneskripsikan,

memahami, memprediksi makna tentang infaq. Sekalipun dalam Tafsir al-Munir

menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan infaq. Oleh karena itu, untuk

mengetahui deskripsi umum tentang infaq, maka perlu dirinci apa itu pengertian

infaq, perbedaan infaq, penafsiran wahbah tentang infaq, serta objek penerima

infaq.

A. Pengertian Infaq

Al-Qur‟an menyebutkan Infaq dan Sadaqah secara terpisah, sekalipun

kadang berbarengan dengan satu ayat. Di dalam al-Qur‟an sendiri terdapat 31 ayat

yang menjelaskan tentang infaq di antaranya adalah Surah Al-Baqarah [2]: ayat

215, ayat 219, ayat 254, ayat 261, ayat 262, ayat 264, ayat 265, ayat 267, ayat

270, ayat 271, ayat 272, ayat 274, Surah At-Tawbah [9]: ayat 53, ayat 54, dan Al-

„Anfâl [8]: ayat 36.1

Kata infaq berasal dari tiga huruf yaitu nun, fa, dan qaf yang artinya

mengeluarkan, tempat berjalan, terowongan atau sesuatu yang tembus. Infaq juga

diartikan sebagai kemiskinan, seperti yang tertuliskan dalam al-Qur‟an:

“Katakanlah (Muhammad), sekiranya kamu menguasai pembendaharaan

rahmat TuhanKu, niscaya (pembendaharaan) itu kamu tahan, karena takut

membelanjakannya”. [QS. Al-„Isrâ‟/17: 100]2

1 Hamid Hasan Qolay, Indeks Terjemah al-Qur‟an, (Jakarta: Yayasan Halimatus

Sa‟diyah, 1997), Jilid 3, h. 787 2 Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV Naladan, 2004), h. 399

Page 44: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

29

Kata (خشية االنفاق) bermakna (خشية االقتار) yang artinya takut

miskin.3 Kata infaq terkadang dipakai sebagai pemberian dalam bentuk harta, dan

terkadang digunakan juga untuk pemberian dalam bentuk selain harta. berikut

adalah contoh penggunaan kata infaq yang menunjukkan infaq selain harta:

sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-„Anfâl ayat 60,

“..... dan apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan

dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya

(dirugikan)”. [QS. Al-„Anfâl/8: 60]

Lafadz (شيء ) pada ayat di atas bermakna segala sesuatu atau segala

perbuatan baik yang diperintahkan Allah SWT dalam al-Qur‟an serta dijelaskan

oleh Rasulullah saw dalam haditsnya, sedikit ataupun banyak.4

Kata infaq digunakan untuk pemberian yang sifatnya wajib seperti zakat,

dan terkadang kata infaq juga digunakan untuk pemberian yang sifatnya sunnah.

Ketika kata infaq berkenaan dengan kata salat, maka sebagian ulama tafsir

memaknainya dengan infaq wajib atau zakat. Akan tetapi sebagian ulama tafsir

lainnya mengatakan infaq tersebut tetap merupakan infaq yang sunnah, meskipun

berbarengan dengan kata salat. Karena hanya kata zakat yang memilki makna

infaq wajib.5

Salah satu contoh kata infaq dalam al-Qur‟an yang menunjukkan wajib

adalah:

3 Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufrodât Fî Ghorîb al-Qur‟ân (T. Tp: Maktabah Nazar

Musṯafa al-Baz, t.t.), h. 504 4 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir al-Munîr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1991), juz 11, h. 193

5 Muhammad Husain Haikal, Mu‟jam al-Faz Al-Qur‟an Al-Karîm, jilid 2, h. 749

Page 45: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

30

“Dan orang yang sabar karena keridhaan Tuhannya, melaksanakan

shalat dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada

mereka secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan .....” [QS. Ar-

Ra„d/13: 22]

Dari tiga akar kata yang disebutkan di atas yaitu nun, fa dan qaf juga

muncul kata lain seperti النفاق yang merupakan salah satu ciri dari sifat orang

yang fasiq.6 Seperti yang terdapat dalam al-Qur‟an:

“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu adalah orang-orang yang fasiq”.

[QS. At-Taubah/9: 67]

Secara definitif, infaq adalah segala macam pengeluaran yang dikeluarkan

seseorang, baik pengeluaran wajib maupun pengeluaran sunnah, untuk dirinya,

keluarga, ataupun orang lain, secara ikhlas atau dengan pamrih. Dengan demikian,

zakat dan sadaqah termasuk dalam kategori infaq.7

Di dalam Majalah Islam menyebutkan kata infaq berasal dari kata ينفق- artinya membelanjakan atau membiayai, arti infaq menjadi khusus ketika انفق

dikaitkan dengan upaya realisasi perintah-perintah Allah. Dengan demikian infaq

hanya berkaitan dengan bentuk materi saja, adapun hukumnya yang ada wajib

termasuk zakat, infaq, mubah bahkan haram. Menurut kamus bahasa Indonesia

infaq adalah mengeluarkan harta yang mencakup zakat dan non zakat.8

6 Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufrodât Fî Ghorîb al-Qur‟ân (T. Tp: Maktabah Nazar

Musṯafa al-Baz, t.t.), h. 189 7 M. Quraish Shihab, Menjawab ? 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui,

(Jakarta: Lentera Hati, 2008), h. 189 8 Majalah Infaq, Zakat, Sedekah, Mubah dan Haram, h. 90

Page 46: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

31

Secara istilah fiqih infaq adalah mengeluarkan atau membelanjakan harta

yang baik untuk perkara ibadah (mendapat pahala) atau perkara yang dibolehkan.

Dari pengertian di atas, maka menafkahi anak istri termasuk ke dalam infaq.

Menurut KH. Abdul Matin, infaq mempunyai dua makna pokok yaitu

pertama: terputusnya sesuatu atau hilangnya sesuatu, kedua tersembunyi nya

sesuatu atau samarnya sesuatu. Dengan dua pengertian infaq tersebut, makna

yang relavan dengan pengertian infaq di sini adalah makna yang pertama.9

Secara bahasa kata infaq berati hilang, kosong baik yang disebabkan oleh

kematian, pemberian, penjualan dan lain-lain. Penggunaan kata ini diibaratkan

dengan sebuah bangunan bata. Apabila salah satu bata tersebut diambil maka

terlihat kosong atau ada yang hilang. Dengan demikian, pemaknaan infaq masih

terkesan umum tanpa batasan objek ataupun tujuannya. Oleh karena itu, secara

istilah kata infaq adalah mengeluarkan atau memberikan segala nikmat rizki

kepada orang lain baik berupa harta atau yang lain dengan niat ikhlas ataupun

tidak. Sehingga yang asalnya ada menjadi hilang, kepada siapa pun baik

dilakukan secara ikhlas ataupun untuk tujuan-tujuan yang lain.10

Oleh karena itu infaq berbeda dengan zakat, infaq tidak mengenal nisab atau

jumlah harta yang ditemukan secara hukum. Infaq tidak harus diberikan kepada

mustahiq tertentu, melainkan kepada siapapun misalnya orang tua, kerabat, anak

yatim, orang miskin, atau orang-orang yang sedang dalam perjalanan

(fisabilillah). Dengan demikian pengertian infaq adalah pengeluaran suka rela

yang dilakukan seseorang. Allah SWT memberi kebebasan kepada pemiliknya

untuk menetukan jenis harta, berapa jumlah yang sebaiknya diserahkan. Setiap

kali ia memperoleh rizki, sebanyak yang ia kehendakinya.

9 Abdul Matin, Infaq dan Maknanya (Yogyakarta: Pustaka Setia Gama, 2013), h. 123

10 Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufrodât Fî Ghorîb al-Qur‟ân (T. Tp: Maktabah Nazar

Musṯafa al-Baz, t.t.), h. 505

Page 47: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

32

Berdasarkan firman Allah bahwa infaq tidak mengenal nisab seperti zakat.

Infaq dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan

tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun sempit. Jika zakat harus

diberika pada mustahiq tertentu maka infaq boleh diberikan kepada siapapun juga,

misalkan kedua orangtua, anak yatim, anak asuh dan sebagainya. Dalam al-Qur‟an

dijelaskan sebagai berikut:

“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa

saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak,

kaum kerabat, anak yatim, orang miskin, dan orang-orang yang sedang

dalam perjalanan”. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”. [QS. Al-Baqarah/2: 215]

B. Perbedaan Infaq dengan Sadaqah

Di dalam al-Qur‟an, kata infaq hanya disebut satu kali, yaitu dalam Surah

al-Isrâ (17) ayat 100. Sedangkan kata lain yang seakar dengan kata tersebut,

seperti ينفق ,انفق, dan نفقة disebut sebanyak 73 kali. Dalam pandangan syariat

Islam, orang yang berinfaq akan memperoleh keberuntungan yang berlipat ganda

baik di dunia maupun di akhirat. Orang yang berinfaq dijamin tidak akan jatuh

miskin, malah rezekinya akan bertambah dan jalan usahanya semakin

berkembang. Dalam (Surah Al-Baqarah2/: 261), Allah SWT berfirman:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan

hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan

tujuh bulir, pada tiap bulir (tumbuh) seratus. Allah melipatgandakan (ganjaran)

bagi siapa yang Dia kehendaki.” Selain itu, orang yang berinfaq juga akan

Page 48: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

33

mendapatkan pahala yang besar di akhirat nanti. (QS. Al-Baqarah/2: 262), dan apa

yang diinfaqkan itu balasannya hanya untuk yang berinfaq (QS. Al-Baqarah/2:

272).11

Persoalan infaq dibahas lebih mendalam di dalam kitab-kitab fiqih. Sayyid

Sabiq, ahli fiqih kontemporer Mesir, misalnya: membagi infaq pada perbuatan

yang wajib dan yang sunnah. Infaq yang wajib dimasukkan sebagai bidang zakat,

sedangkan infaq yang sunnah selanjutnya disebut infaq saja, atau sedekah sunnah.

Muhammad Mustafa al-Marâghi (1881-1945), mufassir dari Mesir, misalnya

mengartikan kata yunfiqûn sebagai sedekah, Oleh al-Marâghi , sedekah diartikan

sama dengan infaq.12

Dalam kajian fikih Islam, infaq dibedakan dari zakat dan sedekah. Zakat

merupakan derma yang telah ditetapkan jenis, jumlah dan waktu pelaksanaannya.

Sedangkan infaq lebih luas dan umum. Dalam infaq, tidak terdapat ketentuan

mengenai jenis dan jumlah harta yang akan dikeluarkan serta tidak pula

ditentukan kepada siapa saja infaq itu harus diberikan. Allah SWT memberikan

kebebasan kepada pemiliknya untuk menentukan jenis, jumlah dan waktu

pelaksanaan dari harta yang akan diinfaqkan itu. Yang terpenting infaq itu

dilakukan dengan ikhlas. Sementara itu, terdapat persamaan antara infaq dan

sedekah dari segi pengertiannya, yaitu sama-sama memberikan kepada orang lain.

Namun dari segi waktunya, terdapat perbedaan antara keduanya. Waktu untuk

mengeluarkan infaq adalah pada saat mendapat rezeki dari Allah SWT tanpa

ditentukan kadar jumlah yang harus dikeluarkannya. Sedangkan pada sedekah,

tidak ada ketentuan waktunya, demikian pula tidak ada ketentuan mengenai

jumlahnya maupun peruntukannya.13

11

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 717 12

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 717 13

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 717

Page 49: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

34

Berinfaq amat dianjurkan dalam syariat Islam. Dalam al-Qur‟an terdapat

lima kali perintah berinfaq, diantaranya dalam Surah al-Munâfiqûn 63 ayat 10

yang artinya: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan

kepadamu sebelum datang kematian.” Dan (Surah at-Tagâbun/64: 16) yang

artinya “.. dengarlah serta taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk

dirimu.”14

Sebelum itu, dalam Surah Al-Baqarah [2]: 2-3 dinyatakan bahwa orang

yang berinfaq itu termasuk orang yang bertakwa kepada Allah SWT. Sementara

itu, dalam Surah at-Talâq [65]:7, Allah SWT berfirman: “Hendaklah orang yang

mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan

rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”

Dalam hadits Rasulullah SAW antara lain bersabda “bahwa infaq yang paling

baik adalah mengenyangkan perut orang yang lapar (HR. Al-Baihaqi dari Anas

bin Malik), dan di antara amalan yang utama adalah menyambung tali

silaturrahmi, memberi sesuatu kepada orang yang tak pernah memberikan (bakhil)

dan memaafkan orang yang pernah menyakiti. (HR. At-Tabrani dari Mu„adz bin

Jabal). Dari ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut, ulama sepakat mengatakan bahwa

infaq termasuk amal yang sangat dianjurkan dan sunnah hukumnya.15

Dalam al-Qur‟an, terdapat beberapa ketentuan yang harus dilakukan dalam

berinfaq, di antaranya berinfaq itu harus didahulukan kepada orang-orang yang

memilki hubungan yang terdekat dengan orang-orang yang berinfaq. Misalnya,

berinfaq kepada kedua orang tua, kerabat dekat, dan seterusnya. Setelah itu

kepada anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang

dalam perjalanan. QS. Al-Baqarah [2]: 215. Ayat tersebut ditafsirkan oleh al-

Marâghi dengan penjelasan, “katakanlah kepada orang-orang yang berinfaq,

14

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 717 15

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 717

Page 50: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

35

hendaknya infaq itu didahulukan kepada kedua orang tua, karena kedua orang tua

itu telah merawatnya di waktu kecil serta amat lelah dalam membesarkannya.

Setelah itu dilanjutkan kepada anak-anaknya dan saudara-saudaranya, karena

mereka itu orang yang lebih utama harus disantuni dan dijaga. Jika mereka

dibiarkan, maka mereka akan meminta-minta kepada orang lain, dan hal ini akan

memalukannya. Setelah itu dilanjutkan kepada anak-anak yatim, karena anak

yatim ini tidak ada yang menanggung biaya hidupnya, karena masih amat kecil

dan muda usianya, dan setelah itu yang diberikan infaq adalah orang-orang miskin

serta Ibnu Sabil (orang yang terlantar dalam perjalanan).16

Dalam hadis Rasulullah SAW menjelaskan mengenai ketentuan orang yang

menerima infaq. Dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dijelaskan

bahwa satu dinar (uang emas) yang diinfaqkan kepada keluarganya yang terdekat

adalah lebih besar pahalanya daripada satu dinar yang diinfaqkan untuk di jalan

Allah SWT dan kerabatnya. Dalam hadis lain, Rasulullah SAW menyatakan

menyatakan bahwa sebaik-baiknya uang yang diinfaqkan kepada keluarganya,

kepada kendaraan yang akan digunakan untuk berjuang di jalan Allah, dan kepada

sahabat yang berjuang di jalan Allah SWT. (HR. Muslim)17

Fukaha berbeda pendapat mengenai ketentuan siapa yang berhak menerima

infaq. Mazhab Maliki berpendapat bahwa infaq hanya diberikan kepada ayah, ibu,

anak laki-laki, dan anak perempuan, sedangkan kakek, cucu, dan yang lainnya

tidak termasuk yang wajib hukumnya menerima infaq. Menurut Mazhab Syafi‟i,

infaq hanya diberikan kepada orang-orang yang hidupnya susah, baik muslim

maupun nonmuslim. Selain itu ada yang tergolong harus mendapat prioritas

utama, yaitu ibu dan bapak, serta ada yang tergolong non prioritas, yakni anak-

anak yang bersangkutan, keponakan dan seterusnya. Mazhab Hanbali sependapat

16

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 717 17

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 717

Page 51: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

36

dengan Mazhab Syafi‟i bahwa infaq itu hanya diberikan kepada kerabat yang

susah saja, atau kepada orang yang apabila ditinggal mati oleh walinya akan

mengalami kesusahan. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi, infaq diberikan

kepada kerabat, anak yatim, dan orang miskin seperti terdapat dalam Surah Al-

Baqarah [2]: 215 dan Surah At-Talâq [65]: 6-7, atau orang yang pada umumnya

mengalami kesulitan ekonomi.18

Selain ketentuan di atas, ketentuan lainnya adalah mengenai orang yang

memberi infaq. Orang yang berinfaq hendaknya tidak merasa dirinya lebih tinggi

dari orang yang diberi infaq. Ia tidak boleh menyakiti perasaan orang yang diberi

infaq, misalnya dengan menyebut-nyebut pemberiannya itu di depan orang lain

seperti dalam (Surah Al-Baqarah/2: 262). Orang yang berinfaq juga hendaknya

tidak berlebih-lebihan dalam infaqnya dan tidak pula terlalu kikir, jika ia memang

mampu memberi infaq yang lebih banyak lagi seperti dalam (Surah Al-

Furqâan/25: 67). Selain itu, seseorang yang berinfaq hendaknya hanya

mengharapkan keridhaan Allah swt seperti dalam Surah Al-Baqarah/2: 272, dan

untuk mendekatkan diri kepadanya dalam (Surah At-Tawbah/9: 99).19

Harta benda yang diinfaqkan hendaknya harta milik sendiri, bukan harta

titipan atau milik orang lain seperti dalam (Surah At-Talâq/65: 7), Di dalam itu

harta yang diinfaqkan hendaknya harta yang tayibah (yang baik) dari segi mutu,

bentuk, dan cara memberikannya (Surah Al-Baqarah/2: 267), serta juga sesuatu

yang masih disukai atau disenangi oleh orang yang memberikan infaq itu (Surah

„Âli „Imrân/3: 92).

Di samping itu, syariat Islam juga menetapkan etika atau akhlak bagi orang

yang diberi infaq. Etika tersebut antara lain bahwa orang yang diberi infaq itu

harus menggunakan pemberian tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagi

18

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 717 19

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 718

Page 52: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

37

kehidupannya, agamanya dan masyarakatnya, bukan dipergunakan untuk maksiat

atau perbuatan mubadzir, boros, dan sebagainya (Surah Al-„Isrâ‟/17: 27). Orang

yang menerima infaq ini juga harus menunjukkan rasa terimakasih di hadapan

orang yang memberikan sesuatu kepadanya dan pernyataan perlu akan pemberian

itu. Dengan cara demikian, maka orang yang memberikan sesuatu kepadanya akan

merasa puas dan senang, karena apa yang diberikannya itu berguna bagi yang

bersangkutan.20

C. Penafsiran Wahbah al-Zuhailî dalam Tafsir al-Munir tentang Infaq

Setelah diuraikan deskripsi umum tentang infaq pada sub bab di atas,

maka pada bagian ini merupakan penjelasan terhadap ayat-ayat infaq menurut

Wahbah al-Zuhailî yang telah penulis pilih.

Tafsir al-Munir ini mengkaji ayat-ayat Al-Qur‟an secara komprehensif,

lengkap, dan mencakup, berbagai aspek yang dibutuhkan oleh penulis. Penjelasan

dan penetapan hukum-hukumnya disimpulkan dari ayat-ayat Al-Qur‟an dengan

makna yang lebih luas, dengan disertai sebab-sebab turunnya ayat, balaghah

(retorika), I‟rab (sintaksis), serta aspek kebahasaan.

1. Tafsiran Surah Al-Baqarah [2] ayat 215

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus

mereka infaqkan. Katakanlah, “Harta apa saja yang kamu infaqkan,

hendaknya diperuntukkan bagi kedua orangtua, kerabat, anak yatim,

orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan”. Dan kebaikan apa saja

20

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996), Cet. 1, h. 717

Page 53: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

38

yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengethaui. [Qs.

Al-Baqarah/2: 215]

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) dalam ayat ini berarti harta

yang banyak yang halal. Harta seperti ini dinamakan khair, karena ia harus

dinafkahkan dalam hal-hal kebaikan, dan istilah khair ini mencakup harta yang

banyak. ( ) kaum kerabat adalah anak dan cucu, kemudian saudara.

Yatim artinya anak kecil yang ditinggal mati bapaknya. Sedangkan miskin adalah

orang yang tidak mempunyai pendapatan yang mencukupi kebutuhannya, dan ia

sudah puas dengan pemberian yang sedikit. Ibnus Sabil artinya musafir.

( ) apa pun infaq atau amal lainnya yang kamu kerjakan.

( ) Allah mengetahuinya dan akan membalasnya.21

Wahbah al-Zuhailî menulis dalam kitab tafsirnya bahwa Ibnu Jarir ath-

Thabari menukil dari Ibnu Juraij, ia berkata: Suatu ketika para sahabat menanyai

Rasulllah saw, kemana mereka seharusnya menginfakkan harta mereka. Maka

turunlah ayat: “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan.

Jawablah: „Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu

bapak”.22

Selain itu Wahbah al-Zuhailî juga mengemukakan riwayat dari Ibnul

Mundzir yang diriwayatkan dari Abu Hayyan bahwasanya Amr ibnul Jamuh

pernah bertanya kepada Nabi saw “Apa yang mesti kami infaqkan dari harta

kami? Dan kepada siapa kami memberikannya?” Maka turunlah ayat ini.23

Wahbah al-Zuhailî juga menukil riwayat Ibnu Abbas yang berkata dalam

riwayat Abu Shalih bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Amr Ibnul Jamuh al-

Anshari, seorang hartawan yang sudah lanjut usia. Ia pernah berkata, “Wahai

21

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 481-483 22

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 481-483 23

Wahbah az-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 481-483

Page 54: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

39

Rasulullah”, harta seperti apa yang mesti saya sedekahkan? Dan kepada siapa

saya harus berinfaq?” Maka turunlah ayat ini.24

Wahbah al-Zuhailî menyebutkan bahwa dalam ayat-ayat terdahulu yaitu

dalam Surah Al-Baqarah ayat 214 menyebutkan bahwa cinta dunia adalah sebab

timbulnya perpecahan dan perselisihan, dan bahwa orang-orang yang benar-benar

beriman adalah mereka yang tegar dalam menghadapi berbagai penderitaan

mengenai harta dan diri mereka demi mengharap keridhaan Allah. Maka disini

disebutkan apa yang diinginkan manusia dalam berinfaq di jalan Allah sebab

pendapatan rezeki dan infaq sama-sama membutuhkan kesabaran dan kelapangan

jiwa, dan pendermaan harta sama seperti pengorbanan jiwa, dua-duanya

merupakan sebagian dari tanda-tanda keimanan. Demikianlah, namun perlu

diketahui bahwa tidak ada perlunya keseuaian hubungan antara setiap ayat dengan

ayat-ayat yang bergandengan dengannya, apalagi kalau hukum-hukum yang

dipaparkan di dalam ayat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan yang telah

diutarakan manusia atau pertanyaan yang kemungkinan besar akan dikemukakan

manusia, yang mana hal itu disebabkan karena kebutuhan untuk mengetahui

hukum-hukumnya, seperti ayat ini, yang pertanyaan tentangnya memang telah

dikemukakan sebagian sahabat,25

Wahbah al-Zuhailî menafsirkan bahwa ayat ini berkenaan dengan ukuran

nafkah sukarela, bukan zakat wajib, serta alokasi penyaluran nafkah itu. Berapa

pun nafkah yang diberikan, entah sedikit entah banyak, pahalanya khusus untuk

pemberinya saja, dan alokasi pemberian nafkah adalah memberi ibu bapak dan

anak-anak sebab mereka adalah kerabat dekat, selanjutnya kerabat yang lain, yang

lebih dekat didahulukan, kemudian anak yatim peliharaannya sudah mati, lalu

orang miskin yang tidak sanggup mencari nafkah, serta mufasir yang kehabisan

24

Wahbah az-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 481-483 25

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 482

Page 55: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

40

bekal pulang ke kampung halamannya. Pendeknya, segala sesuatu yang

diinfaqkan dalam kebaikan akan diberi ganjaran oleh Allah sebab Dia Maha

Mengetahui segala sesuatu, tak ada satu pun yang tersembunyi bagi-Nya, maka

dari itu Dia tidak lupa memberi balasan dan pahala, malah dia akan

melipatgandakannya.26

Menurut pendapat yang paling benar, ayat ini masih berlaku, tidak dinasakh.

Ia menjelaskan sedekah sukarela sebab ia tidak menentukan ukuran harta yang

diinfaqkan, sedangkan zakat yang wajib itu tertentu ukurannya, dan ini disepakati

semua ulama.27

Urutan alokasi infaq terlihat dari riwayat Ahmad dan Nasa‟i dari Abu

Hurairah bahwa Nabi saw pernah bersabda kepada para sahabat “Bersedakahlah!”

seseorang menyahut “Saya punya satu dinar”. Beliau bersabda, “Sedekahkan

uang itu untuk dirimu sendiri.” Orang itu berkata, “Saya masih punya satu dinar

lagi”. Beliau bersabda, “Sedekahkan untuk istrimu.” Orang itu berkata lagi,

“Saya punya yang lain”. Beliau bersabda, “Sedekahkan untuk anakmu”, Orang itu

berkata lagi, “Saya masih punya yang lain.” Beliau bersabda, “Sedekahkan untuk

budakmu.” Orang itu berkata lagi, “Saya masih punya lagi,” Beliau bersabda,

“Engkau lebih tahu kemana uang itu harus kau sedekahkan”.28

Ayat ini menjelaskan bahwa sedekah sunnah kepada ibu bapak dan kerabat

adalah lebih afdhal. Dalilnya adalah riwayat dari Nabi saw bersabda:

يامعشر النساء تصدقن ولو حبليكن “Wahai kaum wanita, bersedekahlah meskipun dengan perhiasan kalian!”

29

26

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 482 27

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 482 28

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 482 29

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483

Page 56: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

41

Mendengar seruan ini, istri Abdullah bin Mas‟ud, Zainab, berkata kepada

suaminya, “Kulihat kau ini miskin. Kalau boleh aku bersedekah kepadamu, tentu

akan kuberikan sedekah kepadamu.” Lantas ia menghadap nabi saw dan menanya

beliau, “Apakah sah jika saya membayarkan sedekah kepada suami saya dan

anak-anak yatim yang saya asuh?” Nabi saw bersabda kepada Zainab istrinya

Abdullah bin Mas‟ud: لك اجران : اجر الصدقة واجر القربة

“Jika kau berbuat begitu), kau akan mendapat dua pahala sedekah dan

pahala berbuat baik kepada kerabat.”30

Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda,

زوجك وولدك أحق من تصدقت عليو

“Suamimu dan anakmu adalah orag yang paling berhak untuk

mendapatkan sedekah darimu”.31

Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi saw bersabda,

ابدأ بنفسك فتصدق عليها “Mulailah dari dirimu, bayarlah sedekah kepada dirimu sendiri”.

32

Sementara itu Nasa‟i dan lain-lain meriwaytkan bahwa Nabi saw bersabda,

يد املعطي العليا أباك وأمك وأختك وأخاك وأدناك أدناك “Tangan yang memberi adalah yang di atas dan berikan infakmu kepada

bapakmu, ibumu, saudarimu, saudaramu, dan kerabat yang terdekat

hubungannya denganmu”.33

30

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 31

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 32

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 33

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483

Page 57: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

42

Tidak diragukan lagi bahwa belas kasihan kepada kerabat sangat tinggi

nilainya, dan infaq kepada kerabat yang hidup susah membutuhkan keikhlasan

yang luar biasa.34

Menurut Wahbah al-Zuhailî meskipun yang mereka tanyakan adalah

sesuatu yang diinfakkan, jawabannya berisi tentang penjelasan orang yang

menjadi penerima infaq, dan demikian ini merupakan metode Allah bahwasanya

mereka bertanya tentang sesuatu perkara yang lebih penting daripada yang

ditanyakan itu, yakni penjelasan tentang alokasi penyaluran infaq, karena infaq

tidak akan berhasil merealisasikan kebaikan kecuali jika ia tepat sasaran.35

2. Tafsiran Surah Al-Baqarah [2] ayat 219

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:

“Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi

manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan

mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:

“Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-

ayatnya kepadamu supaya kamu berfikir.” [QS. Al-Baqarah/2: 219]

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( )

dalam ayat ini berarti mereka menanyaimu tentang hukum minum khamar dan

main judi. Para penanya adalah kaum mukminin. Kata al-khamr berasal dari

khamaray- syai‟a yang artinya “menutupi sesuatu.” Khamar dinamai demikian

karena minuman ini menutupi akal. Al-Maisir artinya judi. Ia disebut demikian

karena judi adalah pendapatan yang diperoleh tanpa mengeluarkan tenaga dan

34

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 481-483 35

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 481-483

Page 58: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

43

tidak sulit. Permainan judi dikalangan bangsa Arab di zaman Jahiliyyah adalah

dengan sepuluh batang anak panah, tujuh di antaranya masing-masing ditulisi

bagian yang tertentu, sedangkan tiga sisanya kosong, tidak ditulisi bagiannya.

Barang siapa mendapat panah yang ada tulisan bagiannya, maka ia berhak

mengambil bagiannya sebesar yang tertulis itu. Dan barang siapa yang mendapat

panah kosong, maka ia tidak mendapat bagian sama sekali, dan dialah yang harus

membayarkan harga hewan sembelihan itu seluruhnya. Mereka biasanya

memberikan bagian-bagian itu kepada kaum fakir miskin, dan mereka sendiri

tidak memakannya sedikit pun. Mereka menjadikan perbuatan demikian sebagai

kebanggaan, dan mereka mencemooh orang yang tidak ikut dengan mereka.36

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) dalam ayat ini bearti dalam

minum arak dan main judi, lafaz ( ) ada dosa yang besar. Tiada dosa

kecuali dalam sesuatu (baik perkataan maupun perbuatan) yang mendatangkan

mudarat, dan mudarat itu adakalanya bagi badan, jiwa, akal dan harta.37

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) yang lebih dari kebutuhan

seseorang beserta keluarganya. Jadi, hendaknya ia tidak menafkahkan apa yang

ia butuhkan sehingga dirinya terlantar.38

Wahbah al-Zuhailî menukil riwayat Al-Qaffal ia berkata: Hikmah dari

pengharaman arak dengan urutan demikian adalah karena masyarakat sudah

terbiasa minum arak dan mereka sering memakainya untuk berbagai keperluan,

dan Allah tau bahwa sekiranya Dia melarang mereka secara sekaligus, pasti hal itu

akan merasa sukar bagi mereka.39

36

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 494 37

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 494 38

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 495 39

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 495

Page 59: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

44

Adapun sebab turunnya firman Allah: “Dan mereka bertanya kepadamu

apa yang mereka nafkahkan”. adalah riwayat yang dituturkan oleh Ibnu Abi

Hatim dari Ibnu Abbas, bahwa beberapa para sahabat, ketika diperintahkan

berinfaq di jalan Allah, menemui Nabi saw, lalu ia berkata, “sesungguhnya kami

tidak mengerti apa nafkah yang kami diperintahkan untuk mengeluarkannya dari

harta kami ini. Sebetulnya harta seperti apa yang mesti kami nafkahkan?” maka

Allah menurunkan firmannya, “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang

mereka nafkahkan, katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Si penanya adalah

kaum mukminin, dan inilah yang terlihat jelas dari pemakaian wau jamah. Namun

ada yang berpendapat bahwa adalah Amr Ibnul Jamuh, adapun mengenai makna

nafkah disini, ada yang berpendapat bahwa maksudnya adalah nafkah dalam

jihad. Menurut pendapat jumhur, maksudnya adalah sedekah sukarela. Ada pula

yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah nafkah wajib, yakni zakat yang

fardhu.40

Wahbah menyebutkan bahwa ayat-ayat terdahulu dalam Surah Al-Baqarah

ayat 218 menyebutkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan para sahabat. Ibnu

Abbas berkata: “Aku tak pernah melihat orang-orang yang lebih baik daripada

para sahabat Muhammad. Mereka tidak pernah menanyai beliau kecuali hanya

sebanyak tiga belas permasalahan, dan semuanya tercantum dalam al-Qur‟an:

seperti Al-Baqarah ayat 220 yang mereka tanyakan hanyalah perkara yang

bermanfaat bagi mereka.41

40

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 491 41

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jili 1, Juz 1&2, h. 493-497

Page 60: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

45

“Tentang dunia dan akhirat, Dan mereka bertanya kepadamu tentang

anak yatim, katakanlah: “Mengurus urusanmu mereka secara patut

adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah

saudaramu, dan Allah Mengetahui. Siapa yang membuat kerusakan dari

yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya

Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha

Perkasa lagi Maha Bijaksana”. [QS. Al-Baqarah/2: 220]

3. Tafsiran Surah Al-Baqarah ayat 254

“Wahai orang-orang yang beriman! Infaqkanlah sebagian dari rezeki

yang Kami berikan kepadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi

jual beli, persahabatan dan syafaat. Orang-orang kafir itulah orang-orang

yang zalim”. [QS. Al-Baqarah/2: 254]

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz () dalam ayat ini bearti hari

perhitungan amal, lafaz ( ) al‟Bai‟ artinya mencari keuntungan melalui

segala bentuk pertukaran., namun yang dimaksud adalah tebusan di dalamnya,

sehingga orang yang bersikap teledor mendengar penjelasan ini, maka ia akan

langsung memperbaiki sikapnya. Lafaz ( ) artinya tidak ada hubungan

persahabatan dan kasih sayang yang berguna. ( ) dan pada hari

perhitungan amal tidak ada syafa‟at tanpa seizin Allah SWT. ( ) dan

orang-orang yang kafir kepada Allah SWT atau kepada apa yang diwajibkan atas

mereka. Menurut pendapat Hasan Bashri adalah orang-orang yang meninggalkan

kewajiban membayar zakat. Karena yang dimaksud perintah berinfaq di sini

adalahh Infaq yang bersifat wajib karena sesuai dengan ancaman yang ada, yaitu

bahwa orang-orang yang meninggalkan kewajiban membayar zakat adalah orang-

orang zalim, seperti dijelaskan oleh Zamakhsyari. Orang-orang yang zalim adalah

Page 61: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

46

orang-orang yang membangkang terhadap perintah Allah SWT atau orang-orang

yang menginfakkan harta yang tidak pada tempatnya yang benar.42

Ayat-ayat sebelumnya mengandung perintah untuk berjihad, adapun ayat

ini juga mengandung perintah untuk berjihad dengan harta dan menginfakkannya

di jalan kebaikan, maka manusia bearti telah menabung pahala amal tersebut di

sisi Allah SWT dan agar mereka bersegara untuk mengamalkannya di dunia ini.43

Wahbah al-Zuhailî menafsirkan ayat ini berkenaan dengan bahwasanya

Allah SWT memerintahkan orang-orang mukmin yang memiliki keimanan yang

benar dan sungguh-sungguh untuk berinfaq di jalan Allah SWT. Hal ini menurut

pendapat Ibnu Juraij dan Sa‟id bin Jubair mencakup zakat wajib dan sedekah

sunnah. Ibnu A‟thiyyah berkata, “Pendapat ini benar, tetapi ayat-ayat sebelumnya

yang membicarakan tentang masalah perang dan sesungguhnya Allah SWT

menolong orang-orang Mukmin di dalam menghadapi orang-orang kafir,

menguatkan bahwa anjuran berinfaq di sini adalah ajuran berinfaq di jalan Allah

SWT. Hal ini dikuatkan dengan akhir-akhir ayat yang artinya, “dan orang-orang

kafir itulah orang-orang yang zalim.” Maksudnya, maka hadapilah mereka

dengan berperang dan menginfakkan harta.44

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz dalam ayat ( ) menguatkan

penegasan anjuran untuk berinfaq , karena firman ini menunjukkan bahwa yang

diminta tidak lain adalah sebagian dari apa yang dikaruniakan oleh Allah SWT

kepada para hambanya.45

Anjuran ini kembali dipertegas dengan penjelasan bahwa akan datang

suatu hari di mana manusia akan merasa sangat menyesal. Namun, penyesalannya

42

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38 43

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38 44

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38 45

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38

Page 62: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

47

itu tidak berguna sama sekali, yaitu hari pembalasan, hari perhitungan amal, hari

penerimaan pahala dan siksa, hari di mana tidak ada tebusan atau ganti yang

berguna. Suatu hari di mana ukuran-ukuran akhirat berbeda dengan ukuran-

ukuran dunia. Hal yang sama juga dijelaskan di dalam ayat lain, yaitu:46

“Dan takutlah kamu pada hari, (ketika) tidak ada seorang pun dapat

membela orang lain sedikit pun. Sedangkan syafaat dan tebusan apapun

darinya tidak diterima dan mereka tidak akan ditolong”. [QS. Al-

Baqarah/2: 48]

Dalam ayat ini Allah SWT menggambarkan orang-orang kafir yaitu setiap

orang-orang yang kufur terhadap Allah SWT atau orang-orang yangg

meninggalkan kewajiban zakat, mereka itulah orang-orang yang berbuat zalim

terhadap diri mereka sendiri. Maksudnya, karena mereka berperang dengan jiwa

dan harta dan orang-orang yang membelanjakan harta, mereka meletakkan harta

mereka tidak pada tempatnya. Allah SWT menyebut orang-orang seperti mereka

dengan sebutan kafir sebagai sebuah ancaman dan menegaskan bahwa sikap

seperti ini sangat jelek,47

seperti yang terdapat dalam Surah „Ali-„Imrân ayat 97,

“Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa

Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”. [QS.

„Ali-„Imrân/3: 97]

46

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38 47

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38

Page 63: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

48

Di samping itu juga sebagai penjelasan bahwa meninggalkan kewajiban

zakat termasuk salah satu sifat orang-orang kafir, seperti yang terdapat di dalam

firman-Nya,

“Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan

(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat”. [QS.

Fussilat/41: 6-7]

4. Tafsiran Surah Al-Baqarah ayat 261, 262 & 264

“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti

sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada

seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan

Allah Maha Luas Maha Mengetahui”. “Orang yang menginfakkan

hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang dia infaqkan

itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima),

mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut

pada mereka dan mereka tidak bersedih hati”. “Wahai orang-orang yang

Page 64: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

49

beriman! Jangalah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-

nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang

menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia

tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Perumpamaannya (orang itu)

seperti batu yang licin yang diatasnya ada debu, kemudian batu itu

ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak

memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah

tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir”. [QS. Al-Baqarah/2:

261, 262, dan 264]

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) dalam ayat ini berarti bentuk

atau sifat sedekah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang meninfaqkan harta

mereka di jalan Allah SWT. Lafaz ( ) maksudnya untuk hal-hal yang

bisa membawa kepada ridha Allah SWT, ( ) maksudnya satu butir biji yang

ditanam, lafaz ( ) maksudnya Maha Luas karunia-Nya, lafaz ()

maksudnya lagi Maha Tahu siapa saja orang yang berhak untuk dilipatkan

pahalanya.48

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) al-Mannu dalam ayat ini

maksudnya seseorang menyebut-nyebut kebaikannya kepada orang lain yang ia

beri sedekah dan menampakkan bahwa ia lebih mulia darinya. Seperti dengan

berkata, “Saya telah berbuat baik dan memberikan bantuan kepadanya”. Lafaz

( ) maksudnya dengan bersikap sombong dan congkak karena ia telah

memberi sedekah serta menyiar-nyiarkannya kepada orang yang sebenarnya

benci jika mengetahuinya.49

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) dalam ayat ini maksudnya

bagi mereka pahala infaq yang telah mereka keluarkan, lafaz (

) maksudnya dan tidak pula mereka bersedih hati pada hari kiamat.

( ) maksudnya janganlah kalian menghilangkan sedekah

48

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 68 49

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 68

Page 65: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

50

pahala kalian seperti orang yang menghapuskan pahala sedekahnya bersikap

karena riya‟.50

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) dalam ayat ini maksudnya

memamerkan dan menyiar-nyiarkannya kepada orang-orang. Penjelasan lafaz

( ) ia melakukan kebaikan hanya karena ingin membanggakan diri atau

hanya karena agar orang-orang melihatnya lalu memuji dan menyanjung dirinya.51

Wahbah al-Zuhailî menukil riwayat Al-Kalibi yang berkata, “Ayat ini

turun berkaitan dengan diri Utsman bin „Affan r.a dan Abdurrahman bin „Auf r.a,

Adapun Abdurrahman bin „Auf r.a, maka suatu ketika ia datang kepada

Rasulullah saw. Sambil membawa uang sebanyak empat ribu dirham untuk ia

sedekahkan. Ia berkata, “Saya memilki uang sebanyak delapan ribu dirham, empat

ribu dirham saya pergunakan untuk memenuhi kebutuhan saya dan keluarga,

sedangkan yang empat ribu dirham lagi saya sedekahkan karena Allah SWT”.

Lalu Rasulullah saw berkata, “Semoga Allah SWT memberkahi untukmu uang

yang kamu pergunakan sendiri dan uang yang kamu sedekahkan”.52

Adapun kisah Utsman bin „Affan r.a adalah bahwa pada perang Tabuk ia

berkata, “Saya yang menanggung segala keperluan dan bekal bagi orang-orang

yang tidak memiliki bekal pada Perang Tabuk”. Lalu ia mempersiapkan seribu

unta lengkap dengan tempat menaruh barang dan alas pelana. Ia juga

menyedekahkan sumur Rumah yang menjadi milkinya untuk keperluan seluruh

kaum Muslimin. Lalu turunlah ayat ini berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh

Abdurrahman bin „Auf r.a dan Utsman bin Affan r.a tersebut.53

50

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 68 51

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 69 52

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 69 53

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 70

Page 66: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

51

Selain itu Wahbah juga menukil riwayat dari Abu Sa‟id al-Khudri, ia

berkata, “Suatu ketika, saya melihat Rasulullah saw mengangkat kedua tangan

memanjatkan doa untuk Utsman bin Affan r.a di dalam tersebut, beliau berkata

“Ya Tuhanku, sesungguhnya hamba telah ridha kepada Utsman, maka ridhailah

ia”. Beliau terus mengangkat kedua tangan dan berdoa hingga terbit fajar. Lalu

Allah SWT menurunkan ayat ini.54

Wahbah al-Zuhailî menyebutkan bahwa ayat-ayat sebelumnya di dalam

Surah Al-Baqarah [2]: 260 telah menjelaskan tentang masalah al-Ba‟tsu

(kebangkitan dari kematian), bahwa seluruh manusia akan dibangkitkan kelak di

akhirat untuk menerima balasan mereka secara sempurna dan tanpa batas. Di

dalam ayat ini dijelaskan tentang keutamaan berinfaq di jalan Allah SWT banyak

sekali, seperti untuk menyebarkan ilmu, usaha memberantas kemiskinan,

kebodohan dan penyakit. Adapun jalan Allah SWT yang paling agung adalah

jihad agar kalimaatullah (Agama Islam) adalah yang paling tinggi. Barang siapa

yang berjihad setelah adanya penjelasan dan bukti akan kebenaran hari

kebangkitan yang tidak dibawa kecuali oleh seorang Nabi, maka baginya pahala

yang agung.55

Dalam banyak ayat, Al-Qur‟an telah menyerukan untuk berinfaq, karena

berinfaq adalah cara atau medium untuk menciptakan kemakmuran bagi semua

lapisan masyarakat dan salah satu langkah pasti dalam usaha menjaga martabat

dan kemuliaan umat serta untuk menangkal segala bentuk permusuhan yang

dilancarkan oleh pihak musuh. Sebuah umat tidak bersikap kikir kecuali ia akan

tertimpa kehinaan, kesengsaraan, mudah diperbudak dan dijadikan mangsa empuk

54

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 69 55

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 3& 4, h. 69

Page 67: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

52

oleh umat lain. Al-Basti di dalam shahih musnadnya meriwayatkan dari Ibnu

Umar r.a, ia berkata, “Ketika turun ayat 245 dari Surah Al-Baqarah yang artinya,56

“Barang siapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan

melipatgandakan ganti kepadanya dengan yang banyak. Allah menahan dan

melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” [QS. Al-

Baqarah/2: 245]

Wahbah al-Zuhailî menafsirkan di dalam ayat ini adanya terdapat

perumpamaan yang diberikan oleh Allah SWT untuk melipat gandakan pahala

bagi siapa saja yang berinfaq di jalan Allah SWT hanya untuk mengapai ridhanya.

Susungguhnya satu kebaikan pahalanya dilipatkan sepuluh kali lipat sampai 700

kali lipat. Lalu Allah SWT menjelaskan tentang bentuk atau sifat sedekah yang

dikeluarkan oleh orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan ketaatan

kepada Allah SWT untuk menggapai ridhanya, seperti menyebarkan ilmu, adalah

seperti sebuah biji yang ditanam di sebuah tanah yang subur, lalu biji tersebut

menumbuhkan tujuh bulir, di dalam setiap bulir terdapat 100 butir biji. Para pakar

petani menegaskan bahwa sebuah biji gandum, jika ditanam, maka tidak hanya

menumbuhkan satu bulir saja, akan tetapi jauh lebih banyak, hingga mencapai 70

bulir, sedangkan tiap-tiap bulir bisa mengandung lebih dari 100 biji, ini adalah

gambaran tentang dilipat gandakannya pahala orang yang bersedekah.57

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) maksudnya يضاعف ملن

ayat ini bearti dan Allah SWT melipat gandakan pahala bagi siapa saja yang

dikehendakinya tergatung keikhlasannya di dalam amal yang dilakukan. Bahkan

Allah SWT melipat gandakan hingga lebih banyak dari itu. Pemberian dan

karunianya tidak terbatas, sangat luas dan banyak. Allah tau siapa saja yang

56

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 70 57

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 70

Page 68: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

53

berhak mendapatkan pelipat gandaan pahala ini dan siapa saja yang tidak

berhak.58

Di dalam ayat ini juga mengandung sebuah isyarat bahwa Allah SWT

menumbuhkan amal-amal saleh yang dilakukan oleh seseorang seperti halnya

Allah SWT menumbuhkan biji tanaman yang ditanam oleh seseorang yang baik

dan subur. Terdapat juga riwayat hadits yang menjelaskan tentang dilipat

gandakannya pahala suatu amal kebaikan hingga 700 kali lipat.59

Wahbah al-Zuhailî juga menukil riwayat dari Ibnu Majah dan Ibnu Abi

Hatim meriwayatkan hadits pertama dari Ali dan Abu Darda‟ dan hadits kedua

dari „Imran bin Hushain dari Rasulullah saw, beliau bersabda :

“Barang siapa yang mengirimkan infaq di jalan Allah dan ia tinggal di

rumah (maksudnya tidak ikut berperang), maka baginya setiap satu

dirham pahalanya dilipat menjadi tujuh ratus dirham. Dan barang siapa

yang ikut berperang sekaligus berinfaq untuk keperuan peperangan itu,

maka baginya setiap satu dirham dilipatkan menjadi tujuh ratus ribu

dirham.”60

Di antara etika dan syarat agar orang yang berinfaq berhak mendapatkan

pahala seperti ini di akhirat adalah tidak mengiringi apa yang dinafkahkan dengan

sikap menyebut-nyebutnya apa yang dinafkahkan atau diberikan tersebut serta

tidak bersikap merasa lebih tinggi derajatnya dari pada orang yang ia beri

sedekah. Di samping itu, juga tidak melakukan hal-hal yang bisa menyakiti

perasaan dan menggangu si penerima sedekah serta tidak meminta imbal jasa atas

pemberiannya tersebut. Orang-orang yang bersedekah dan tidak mengikutinya

dengan sikap mengungkit-ngungkit kembali pemberiannya tersebut serta tidak

menyakiti perasaan si penerima, maka bagi mereka pahala yang sempurna yang

tidak bisa dikira-kirakan jumlahnya. Adapun orang-orang yang kikir dan tidak

58

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 70 59

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 70 60

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 71

Page 69: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

54

mau menginfakkan sebagian hartanya di jalan Allah maka mereka pasti akan

merasa menyesal.61

Karena orang yang mengikuti apa yang disedekahkannya dengan sikap

menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima sedekah menyerupai

orang-orang yangbersedekah karena riya‟ dan sum‟ah dengan tujuan agar orang-

orang memuji dan menyanjungnya, serta agar dirinya dianggap orang yang

dermawan atau karena tujuan-tujuan dunia lainnya. Orang yang bersedekah

karena riya‟ dan sum‟ah pada hakikatnya adalah orang yang tidak beriman kepada

Allah dengan keimanan yang benar sehingga ia memilki harapan dengan

mendapatkan pahala atau takut akan siksa. Serupa dengan orang yang bersedekah

karena riya‟ adalah orang yang bersedekah dengan mengikuti sedekahnya tersebut

dengan sikap mengungkit-ngungkit pemberiannya dan menyakiti perasaan si

penerima sedekah.62

5. Tafsiran Surah Al-Baqarah ayat 265

“Dan perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya untuk mencari

ridha Allah dan untuk memperteguh jiwa mereka, seperti sebuah kebun

yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun

itu menghasilkan buah-buahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak

menyiraminya. Maka embun (pun memadai). Allah Maha Melihat apa yang

kamu kerjakan”. [QS. Al-Baqarah/2: 265]

61

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 72 62

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 73

Page 70: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

55

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) maksudnya ayat ini bearti

perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang berinfaq. Lafaz

( ) maksudnya ayat ini berati mencari ridha Allah SWT. Lafaz

( ) maksudnya ayat ini bearti karena pembenaran dan

keyakinan yang muncul dalam jiwa mereka akan pahala berinfaq. Huruf min di

sini adalah min ibtida‟iyyah artinya, yang muncul dari dalam jiwa mereka di

dalam tingkatan iman dan ihsan. Hal ini berbeda dengan orang-orang munafik

yang ragu-ragu dalam keimanan mereka dan tidak memiliki harapan mendapat

pahala, karena sebenarnya mereka tidak yakin akan hal itu. Ibnu Katsir berkata,

“Mereka berada dalam keadaan benar-benar yakin bahwa Allah SWT akan

memberi makna pahala atas apa yang mereka sedekahkan dengan pahala yang

sangat banyak”. Hal ini mirip dengan hadits yang disepakati keshahihannya:

نا و احتسابا غفرلو ما تقدم من ذنبومن صام رمضان اميا “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman (maksudnya iman

bahwa Allah SWT memang mensyari‟atkannya) dan karena istihsab

(mengharap pahala yang terdapat di sisi Allah SWT ) maka dosa-dosanya

yang telah lalu diampuni”63

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) maksudnya bearti sebuah

kebun, lafaz () maksudnya bearti dataran bumi yang tinggi, lafaz ( )

maksudnya bearti hujan yang lebat, lafaz ( ) maksudnya bearti memberikan,

lafaz ( ) maksudnya bearti buah-buahnya, lafaz ( ) maksudnya

bearti dua kali lipat lebih banyak dibanding buah-buahan yang dihasilkan pohon-

pohon lainnya, lafaz ( ) maksudnya bearti hujan gerimis yang menyiraminya

adalah hujan yang lebat, begitu juga dengan halnya nafkah mereka, di sisi Allah

SWT akan tumbuh dan berekembang, baik nafkah tersebut banyak maupun

63

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 80

Page 71: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

56

sedikit, lafaz ( ) Allah SWT Maha Melihat apa yang kalian

perbuat dan Dia akan memberi kalian balasan atas apa yang kalian perbuat itu.64

Wahbah al-Zuhailî menafsirkan bahwasaya ayat ini menjelaskan gambaran

nafkah orang-orang yang mengeluarkannya, baik banyak maupun sedikit yang

didasari keikhlasannya hanya karena mencari ridha Allah SWT dan ampunannya

dilandasi dengan keimanan dan keyakinan bahwa Allah SWT akan memberi

pahala atas nafkah yang mereka keluarkan dengan pahala yang melimpah atau

karena demi mengkokohkan jiwa mereka di atas keimanan dan keyakinan.

Dengan mendorong jiwa-jiwa mereka untuk bersedia menginfakkan harta yang

merupakan separuh nyawa bagi seseorang, serta memaksa jiwa-jiwa mereka untuk

melakukan hal-hal yang berat bagi jiwa berupa ibadah-ibadah yang lain dan

keimanan, gambaran nafkah mereka ini baik yang banyak maupun sedikit adalah

bagaikan kebun yang memiliki tanah yang baik dan subur, pohon-pohonnya

tumbuh dengan lebat, tumbuh-tumbuhannya berkembang dengan baik, kebun ini

terletak di dataran tinggi yang bisa mendapatkan sinar matahari dan oksigen yang

cukup dan disirami oleh hujan yang lebat sehingga tumbuh-tumbuhannya

menghasilkan buah dua kali lebih banyak dibanding yang lainnya. Jika kebun itu

hanya disirami oleh hujan gerimis, maka hal itu pun sudah mencukupi dan bisa

membuat pohon-pohonnya tumbuh dengan baik dan tetap menghasilkan buah

yang melimpah. Hal ini dikarenakan tanahnya yang subur dan letaknya strategis.65

Sedangkan kenapa kebun yang dijadikan perumpamaan di sini adalah kebun

yang berada di Rabwah (dataran tinggi) lebih baik dan buah yang dihasilkannya

juga lebih baik. Begitu juga ayat ini menggunakan ungkapan ( )

maksudnya yang muncul atau yang berasal dari jiwa mereka, dengan

menggunakan huruf jarr ibtidaa„iyyah, bukan menggunakan huruf yang lainnya,

64

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 81 65

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3& 4, h. 81

Page 72: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

57

hal ini menunjukkan bahwa kesadaran mereka untuk berinfak benar-benar muncul

dari dalam jiwa dan keyakinan mereka sendiri, tumbuh dari keyakinan mereka

akan manfaat berinfak dan muncul dari usaha melawan sifat kekikiran66

, seperti

firman Allah SWT dalam Surah Al-„Anfâl [8]: 72,

“sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad

dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah ...” (Surah Al-„Anfâl [8]: 72)

Maksud yang terkandung di dalam perumpamaan ini adalah bahwa orang

yang berinfaq di jalan Allah SWT dengan ikhlas hanya karena-Nya, didorong

keinginan mengkokohkan jiwanya unttuk ikhlas menyerahkan harta dan

melakukan kebaikan atau akan mendapatkan pahala, maka ia akan membantu

fakir miskin sesuai dengan kemampuannya. Jika ia sedang dalam keadaan luas

dan memilki harta banyak, harta yang diinfaqkan pun juga banyak, namun, jika ia

hanya memilki harta sedikit, ia tetap berinfaq sesuai dengan kemampuannya.

Sehingga ia melakukan kebaikan-kebaikan meskipun apa yang ia miliki sedikit,

apalagi jika yang ia miliki banyak. Ia tetap terus memberi dan berinfaq baik ketika

sedang memilki harta banyak maupun ketika harta yang dimilkinya terbatas. Ia

bagaikan tanah yang subur yang di atasnya tumbuh pohon-pohon yang selalu

memberikan buah berkualitas dan melimpah, baik ketika hujan yang turun

menyiramnya adalah hujan yang lebat maupun hanya hujan yang gerimis.67

66

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3& 4, h. 81-82 67

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 82

Page 73: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

58

Tidak ada sesuatu apa pun dari amal perbuatan hamba yang tersembunyi

atau tidak diketahui Allah SWT. Dia akan memberi balasan pahala kepada orang

yang berinfaq dengan ikhlas dan balasan siksa kepada orang yang berinfaq karena

riya.68

Ini adalah perumpamaan pertama untuk orang yang menginfakkan hartanya

hanya karena Allah SWT semata dan karena mencari ridha-Nya. Adapun

perumpaan yang kedua untuk orang yang bertolak belakang dengan orang

pertama, yaitu orang yang menginfakkan hartanya di jalan setan dan hawa nafsu

atau tidak ikhlas hanya karena Allah SWT. 69

Dalam perumpamaan yang kedua ialah Allah SWT memulainya dengan

penyebutan ungkapan ingkar, karena seorang Mukmin tidak layak melakukannya.

Perumpamaan yang kedua ini adalah perumpamaan bagi orang yang melakukan

kebaikan, tetapi ia melakukannya tidak dilandasi dengan keikhlasan hanya karena

Allah SWT. Pada hari kiamat, orang seperti ini akan mendapati amal kebaikannya

tersebut hilang dan musnah tanpa terbekas sama sekali. Ketika itu, maka ia akan

merasa sedih sekali dan meratapinya, seperti kesedihan dan ratapan orang yang

memiliki sebidang kebun yang sangat indah dan di dalamnya tumbuh berbagai

macam pepohonan yang subur dan memiliki buah yang baik. Namun, tatkala ia

sampai pada usia lanjut dan ia memiliki anak-anak yang masih kecil-kecil, tiba-

tiba ada angin topan yang menghancurkan dan meluluh lantakkan kebunnya

tersebut. Padahal kebun tersebut adalah satu-satunya sumber kehidupan bagi

anak-anaknya kelak yang masih kecil tersebut.70

68

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3& 4, h. 82 69

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 83 70

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3& 4, h. 83

Page 74: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

59

6. Tafsiran Surah Al-Baqarah ayat 267

“Wahai orang-orang yang beriman! Infaqkanlah sebagian dari hasil

usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari

bumi untukmu.” [QS. Al-Baqarah/2: 267]

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) kata ini majaaz mursal,

adalah memandang remeh, karena seseorang melihat sesuatu yang tidak

disukainya, maka ia akan memejamkan kedua matanya agar ia tidak meilhatnya.

Atau bisa juga bentuk kata ini dimasukkan ke dalam kategori tasybiih dalam

bentuk isti„aarah.71

Wahbah al-Zuhailî menulis dalam kitab tafsir al-Munir bahwa Al-Hakim,

Tirmidzi, Ibnu Majah dan yang lainnya meriwayatkan dari al-Barra‟ bin „Azib, ia

berkata, “Ayat ini turun berkaitan dengan kami, kaum Anshar. Kami adalah kaum

yang memilki pohon kurma. Salah satu dari kami menginfakkan buah kurmanya

sesuai dengan sedikit banyaknya buah kurma yang dihasilkannya. Ada sebagian

orang yang tidak memilki kesadaran untuk memberi kebaikan, sehingga ada

sebagian orang yang membawa sendatan buah kurma yang jelek untuk

digantungkan di masjid Rasulullah saw, lalu disediakan untuk orang miskin dari

kaum Muhajirin. Banyak di antara buahnya yang bijinya tidak keras dan ada yang

kering sebelum masak, sehingga dagingnya tipis. Ada juga yang membawa

setandan buah kurma yang telah rusak. Lalu turunlah ayat ini ( ) Abu Dawud, Nasa‟i dan al-Hakim meriwayatkan

71

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 86

Page 75: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

60

dari Sahl bin Hunaif, ia berkata, “Ada orang-orang yang memilih buah miliknya

yang jelek untuk dikeluarkan sebagai sedekah, lalu turunlah ayat ini (

).72

Selain itu Wahbah al-Zuhailî juga mengemukakan riwayat Ibnu Abi Hatim

yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a berkata, “Ada sebagian para sahabat

membeli makanan yang murah lalu mereka sedekahkan, lalu turunlah ayat ini”.73

Wahbah al-Zuhailî menyebutkan bahwa dalam ayat-ayat sebelumnya

Surah Al-Baqarah ayat 266 menyebutkan bahwasanya Allah SWT telah

menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh seseorang ketika berinfaq,

yaitu ikhlas hanya karena Allah SWT semata, bertujuan membersihkan jiwa dan

meninggalkan sikap riya‟. Allah SWT juga menjelaskan syarat-syarat yang harus

dipenuhinya setelah berinfaq, yaitu menjahui sikap al-Mannu dan al-Adzaa. Di

dalam ayat ini, Allah SWT ingin menjelaskan tentang sifat atau bentuk harta yang

diinfaqkan, yaitu harta yang diinfaqkan haruslah harta yang bagus.74

Wahbah al-Zuhailî menafsirkan bahwa ayat ini menjelaskan tentang

orang-orang yang beriman, Aku perintahkan kalian untuk menginfakkan harta

yang bagus, baik berupa uang, binatang, ternak, biji-bijian, hasil tanaman, barang

dagangan maupun yang lainnya, seperti emas, perak dan harta terpendam. Hal ini

seperti yang difirmankan oleh Allah SWT.75

72

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 86 73

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 86 74

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 86 75

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 87

Page 76: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

61

“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan

sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang kamu infaqkan,

tentang hal itu sungguh Allah Maha Mengetahui.”(QS. „Âli „Imran:2/92)

Dan kami melarang kalian memilih harta yang jelek untuk kalian infaqkan,

karena sesungguhnya Allah Zat Yang Maha Baik dan dia tidak berkenan

menerima kecuali sesuatu yang baik. Allah SWT tidak berkenan menerima

sesuatu yang dibenci oleh jiwa kalian. Kata al-Khabiits mendandung dua makna,

pertama sesuatu yang tidak mengandung manfaat sama sekali, seperti yang

terdapat di dalam hadits riwayat Bukhari Muslim,

كما ينفي الكري خبث احلديد “Seperti halnya hububan yang menghilangkan karat besi”.

76

Sedangkan makna yang kedua adalah sesuatu yang dibenci oleh jiwa dan

ini yang dimaksud di dalam ayat ini ( ).77 Bagaimana kalian bisa memberi sedekah dengan sesuatu yang jelek, padahal

kalian juga tidak menyukainya dan tidak berkenan menerimanya untuk diri kalian

kecuali jika kalian bermurah hati di dalam sesuatu yang jelek tersebut seperti

orang yang memejamkan kedua matanya dari sesuatu hal hingga ia tidak melihat

cacat atau kekurangan yang terdapat di dalam tersebut.78

Seandainya salah satu di antara kalian memiliki hak atau utang yang ada

pada orang lain, lalu orang lain tersebut datang ingin membayar haknya tersebut

namun dengan sesuatu yang lebih rendah nilainya dari apa yang seharusnya ia

dapatkan. Maka pastilah ia tidak mau menerimanya. Lalu bagaimana kalian

memberikan untuk-Ku sesuatu yang sebenarnya kalian sendiri tidak menyukai

76

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 86 77

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 86 78

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 87

Page 77: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

62

sesuatu tersebut? Hak-Ku atas kalian adalah harta kalian yang paling bagus dan

paling berharga.79

Ketahuilah bahwa Allah SWT meski memerintahkan kalian untuk

bersedekah dengan harta yang bagus. Namun, dia adalah Zat Yang Maha Kaya,

Dia tidak butuh kepada sedekah kalian dan tidak butuh kepada seluruh mahluk-

Nya. Akan tetapi, Allah SWT memerintahkan hal itu kepada kalian tidak lain

demi kebaikan dan kemanfaatan kalian sendiri, demi menciptakan persamaan

antara orang kaya dan miskin, demi menguji kalian di dalam apa yang kalian

infaqkan.80

Oleh karena itu, janganlah kalian mendekatkan diri kepada Allah SWT

dengan sesuatu yang jelek. Allah SWT yang berhak mendapat puji syukur atas

semua pekerjaan, aturan, dan ketentuan nikmat-Nya. Di antara bentuk puji syukur

yang layak untuk dipersembahkan kepada-Nya adalah berinfaq dengan harta yang

bagus dari nikmat yang telah Dia berikan.81

7. Tafsiran Surah Al-Baqarah ayat 270-271

“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka

sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim

tidak ada seorang penolongpun baginya.” “Jika kamu menampakkan

sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu

menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka

79

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 87 80

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 85-87 81

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 86

Page 78: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

63

menyembunyikannya itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan

menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahan mu, dan Allah

mengetaui apa yang kamu kerjakan.” [QS. Al-Baqarah/2: 270-271]

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) maksudnya

bearti apa yang kalian bayarkan berupa zakat atau sedekah, lafaz

( ) maksudnya bearti ketetapan atau niat yang kuat untuk

menetapi sesuatu hal tertentu. Sedangkan menurut syara‟: menetapi suatu

ketaatan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Lafaz

( ) maksudnya bearti jika kalian menampakkan sedekah-

sedekah sunnah, lafaz ( ) maksudnya bearti maka itu baik sekali, lafaz

( ) maksudnya bearti maka sesuatu yang baik untuk ditampakkan

adalah sedekah itu. Lafaz ( ) maksudnya bearti Namun jika kalian

melakukannya secara sembunyi-sembunyi dan memberikannya kepada orang-

orang fakir maka itu lebih baik bagi kalian daripada menampakkannya. Dhamiir

yang terdapat pada kata ini kembali kepada kata ash-Shadaqaat. Adapun dalam

hal sedekah wajib (zakat) maka lebih baik jika mengeluarkannya dengan terang-

terangan agar bisa mejadi contoh bagi yang lain dan agar terjauhkan dari tuduhan

tidak mau mengeluarkan zakat. Sedangkan memberikan sedekah kepada orang-

orang fakir adalah ketentuan yang pasti.82

Tentang sebab turunnya ayat ini ( ), Wahbah

al-Zuhailî menukil riwayat dari Ibnu Abi Hatim berkata, “Ayat ini turun berkaitan

dengan diri Abu Bakar r.a dan Umar Ibnul Khaththab r.a. Adapun Umar, ia

membawa dan menyerahkan separuh hartanya kepada Rasulullah saw. Lalu beliau

berkata, “Apakah kamu tidak menyisakan harta untuk keluargamu wahai Umar?”

Lalu Umar berkata, “Saya telah menyisihkan separuh dari harta saya untuk

mereka wahai Rasulullah”. Sedangkan Abu Bakar r.a datang membawa seluruh

harta miliknya secara sembunyi-sembunyi lalu menyerahkannya kepada

82

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 95

Page 79: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

64

Rasulullah saw, Lalu beliau berkata kepadanya, “Apakah kamu tidak menyisakan

harta untuk keluargamu wahai Abu Bakar?” Lalu ia berkata, “Janji Allah SWT

dan janji Rasul-Nya”. Mendengar jawaban itu, Umar menangis lalu berkata,

“Wahai Abu Bakar, sungguh kita tidak berlomba-lomba mencapai pintu kebaikan

kecuali kamu selalu berhasil mendahului kami.83

Setelah Allah SWT memerintahkan untuk berinfaq di jalan-Nya maka

selanjutnya di dalam ayat ini, Allah SWT menjelaskan bahwa Dia mengetahui di

mana saja infaq itu diberikan, baik infaq itu dikeluarkan di dalam ketaatan atau

kemaksiatan. Allah SWT juga memberikan pilihan kepada kita antara

menyembunyikan sedekah sunnah atau menampakkannya, tetapi

menyembunyikannya lebih utama. Hal ini dikuatkan dengan hadits yang

menjelaskan tentang tujuh orang yang akan diberi naungan oleh Allah SWT kelak

di hari kiamat di mana kala itu tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, di antara

tujuh orang tersebut adalah orang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi

hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan

kananya. Jadi, tema ayat ini adalah anjuran untuk bersedekah secara sembunyi-

sembunyi guna menghindari munculnya riya‟.84

Wahbah al-Zuhailî menafsirkan bahwa apa yang kalian infaqkan, baik

didasari keikhlasan hanya karena Allah SWT semata atau karena riya‟ atau

dibarengi dengan sikap al-Mannu al-Adzaa atau infaq yang tidak dibarengi

dengan sikap ini atau apa yang kalian nadzarkan di dalam ketaatan atau apa yang

kalian nadzarkan di dalam kemaksiatan, maka sesungguhnya Allah SWT

mengetahui semua itu dan akan memberi balasan yang sesuai, jika baik maka

balasannya juga baik, tetapi jika jelek maka balasannya juga jelek. Hal ini berati

mengandung unsu at-Targhiib (memberi semangat) untuk melakukan kebaikan

83

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 95 84

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 95-96

Page 80: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

65

dan at-Tarhiib (membuat takut) melakukan kejelekan. Tidak ada satu pun

penolong kelak di hari kiamat bagi orang yang berbuat zalim terhadap diri sendiri

dengan bersikap kikir dan tidak mau bersedekah.85

Hal ini seperti yang

difirmankan Allah SWT dalam Surah Al-Mu‟min ayat 18:

“Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang zalim dan tidak ada

baginya seorang penolong yang diterima (pertolongannya).” [Qs. Al-

Mu‟min/40: 18)

Jika kalian menampakkan sedekah sunnah kalian dengan tujuan agar orang

lain tertarik dan menirunya maka itu baik bagi kalian. Namun, jika kalian

menyembunyikan sedekah yang kalian keluarkan, tidak memberitahukannya

kepada siapa pun dan memberikannya kepada orang-orang fakir maka itu lebih

baik bagi kalian guna menghindari mucnculnya sikap riya‟ dan sum‟ah. Dengan

sedekah yang kalian keluarkan, maka Allah SWT akan mengampuni sebagian

dosa-dosa kalian. Karena sedekah tidak bisa menghapus seluruh dosa dan

kesalahan.86

Allah SWT Maha Tau setiap amal yang kalian kerjakan dan Maha Tau

tentang segala perkara yang ada sekecil apa pun itu. Allah SWT tahu tentang

segala rahasia dan segala apa yang disembunyikan. Allah SWT akan memberi

kalian balasan atas segala apa yang kalian lakukan. Jauhilah sikap riya‟ dan

berinfaq yang tidak ikhlas karena Allah SWT, karena tidak samar bagi-Nya niat

kalian di dalam sedekah yang kalian sembunyikan atau yang kalian tampakkan.87

85

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 96 86

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 96 87

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 96

Page 81: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

66

8. Tafsiran Surah Al-Baqarah ayat 272 dan 274

“Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat

petunjuk, tetapi Allah lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang

dikehendaki. Apapun harta yang kamu infaqkan, maka (kebaikannya)

untuk dirimu sendiri. Dan janganlah kamu berinfaq melainkan karena

mencari ridha Allah. Dan apa pun harta yang kamu infaqkan, niscaya

kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizalimi

(dirugikan)”. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di

siang hari (secara) sembunyi-sembunyi mapun terang-terangan, maka

mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan

mereka tidak bersedih hati”. [QS. Al-Baqarah/2: 272 & 274]

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) maksudnya berati menjadikan

orang-orang masuk Islam, akan tetapi kewajiabnmu hanyalah menyampaikan

dakwah dan menerangkan jalan kebenaran. Hanya Allah SWT yang memberi

petunjuk (taufik) untuk masuk ke dalam agama Islam. Al-Hudda (petunjuk) ada

dua macam, hudat taufiq, yaitu petunjuk berupa taufiq kepada jalan kebaikan dan

kebahagiaan. Hudat taufiq ini hanya dimilki Allah SWT. Yang kedua adalah

Hudad dilaalah wal irsyaad, yaitu petunjuk berupa memberi pengarahan dan

penjelasan tentang jalan kebenaran dan kebaikan, al-Hudaa yang kedua inilah

yang menjadi tugas Rasulullah saw.88

Menurut Wahbah al-Zuhailî Lafaz ( ) maksudnya berati harta

benda, lafaz () maksudnya berati maka pahalanya hanya untuk

kalian, tidak ada orang lain yang bisa mendapatkan manfaatnya. Lafaz

88

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 101

Page 82: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

67

( ) maksudnya berati mencari ridha Allah SWT dan pahalanya, lafaz

( ) maksudnya berati pahalanya sampai kepada kalian secara utuh

tanpa sedikit pun dikurangi, lafaz ( ) maksudnya berati kalian

tidak dirugikan. Susunan ini dan susunan, lafaz () maksudnya berati

menjadi penguat terhadap susunan kata yang pertama, yaitu lafaz ()

maksudnya berati karena ketiga-tiganya memilki maksud yang sama.89

Dalam hal ini, banyak riwayat yang menjelaskan tentang sebab turunnya

ayat ini, namun semua riwayat tersebut memiliki kandungan yang sama. Diantara

riwayat tersebut adalah apa yang diriwayatkan olen Nasa‟i, al-Hakim, al Bazzar,

ath-Tabhrani dan yang lainnya dari Ibnu Abbas r.a, ia berkata, “orang-orang islam

tidak ingin memberi sedekah kpada kerabat mereka yang musyrik,lalu kerabat

mereka yang musyrik tersebut meminta sedekah kepada mereka,lalu mereka pun

diberi izin untuk memberi sedekah kerabat mereka tersebut,” lalu turunlah ayat

ini.90

Wahbah al-Zuhailî menulis dalam tafsir al-Munir bahwa ada sekelompok

orang islam memiliki kerabat ipar dan kerabat persusuan dari kaum yahudi.

Sebelum islam, mereka biasa memberi sedekah kepada kerabat mereka tersebut.

Namun, setelah masuk islam, mereka dibenci untuk memberikan sedekah kepada

kerabat mereka tersebut.91

Dalam satu riwayat dikatakan bahwa, suatu ketika „Asma binti Abu Bakar

pergi menunaikan haji, lalu ibunya datang kepadanya untuk meminta sesuatu,

pada waktu itu ibunya masih dalam keadaan musyrik, lalu‟asma pun tidak mau

memberinya, maka turunlah ayat ini.92

89

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 101 90

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 102 91

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 102 92

Wahbah a-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 102

Page 83: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

68

Selain itu Wahbah al-Zuhailî juga mengemukakan riwayat dari Ibnu Abi

Hatim yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah saw. pernah

memerintahkan kepada kaum muslimin untuk tidak memberi sedekah kecuali

kepada orang islam, lalu turunlah ayat ini. Setelah itu, beliau memerintahkan

untuk memberi sedekah kepada siapa saja yang meminta meskipun ia bukan orang

islam.93

Wahbah al-Zuhailî juga menukil riwayat Sa‟id bin Jabir dari sanad mursal

dari Rasulullah saw. tentang sebab turunnya ayat ini bahwa kaum Muslimin

memberi sedekah kepada orang-orang fakir dari kelompok kafir Dzimmi. Lalu

ketika jumlah orang-orang fakir dari kaum muslimin banyak, maka beliau

besabda,” janganlah kalian bersedekah kecuali kepada orang islam.” Lalu turunlah

ayat ini yang mengandung izin bersedah kepada Non Muslim.94

Ath-Thabari menjelaskan bahwa maksud dan tujuan Rasulullah Saw.

Melarang bersedekah kecuali kepada orang islam adalah agar mereka mau masuk

islam. Lalu Allah SWT menurunkan ayat ini.95

Intinya adalah bahwa semua riwayat ini memilki kandungan yang sama,

yaitu orang yang telah masuk Islam tidak ingin memberi sedekah kepada

kerabatnya yang musyrik atau Rasulullah saw melarang mereka bersedekah

kepada orang musyrik, lalu turunlah ayat ini.96

Wahbah al-Zuhaili juga mengemukakan riwayat dari Ath-Thabrani dan

Ibnu Abi Hatim yang diriwayatkan dari Yazid bin Abdullah bin Gharib dari

ayahnya dari kakeknya dari Rasulullah Saw. Bahwa ayat ini turun berkaitan

dengan orang-orang yang memiliki kuda yang mereka persiapkan untuk berjuang

93

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 102 94

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 102-103 95

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 102 96

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 103

Page 84: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

69

dijalan Allah Swt. Mereka selalu memberi makan kuda-kuda tersebut siang dan

malam, baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan. Ayat ini

turun berkaitan dengan mereka, yaitu orang-orang yang memelihara kuda tidak

karena untuk menyombongkan diri dan bermegah-megahan.97

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a bahwa ayat ini turun berkaitan dengan hal

memelihara dan memberi makan kuda.98

Keshahihan riwayat ini ditunjukkan oleh

hadits Asma‟binti Zaid, ia berkata,”Rasulullah saw bersabda,

من اربط فرسا يف سبيل اهلل فانفق عليو احتسبا كنا شبعو و يف ميزانو يوم القيامة وجوعو وريو وظمؤه وبولو وروث

“Barangsiapa yang mengikat kuda (memelihara dan merawat kuda untuk

digunakan berjihad) di jalan Allah SWT dan memberinya makan, semua

ini dilakukan dengan ikhlas hanya karena Allah SWT dan hanya

mengharap pahala dari-Nya, maka kenyang, lapar, kenyang karena air

minum, dahaga, air kencing dan kotoran kuda tersebut, semuanya berada

di dalam timbangan amal baiknya kelak di hari kiamat.”99

Wahbah al-Zuhailî menyebutkan bahwa ayat sebelumnya dalam Surah

Al-Baqarah ayat 271 mengandung isyarat mengajak kaum mukminin untuk

bersedekah kepada orang-orang fakir secara umum, baikmuslim maupun non-

muslim. Adapun ayat ini secara jelas mengandung izin bolehnya memberikan

sedekah sunnah kepada kaum non-muslim, baik mereka adalah kaum peganis

(musyrik) maupun ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Karena Allah SWT memberi

karunia rezeki kepada seluruh manusia,baik muslim maupun kafir. Selayaknya

seorang mukmin berahlak seperti ahlak Allah SWT dan kebaikannya bersifat

umum untuk semua manusia. Hal ini bertujuan untuk menghidupkan semangat

untuk berbuat kebaikan dan memberika kemanfaatan untuk seluruh umat manusia,

mengaskan bahwa didalam hati seorang muslim terdapat cinta dan kasih sayang

97

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 102 98

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 103 99

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 103

Page 85: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

70

untuk setiap orang, serta memadamkan api fanatisme agama yang bisa

menimbulkan fitnah, perpecahan,permusuhan,kebencian,dan membuat pihak non-

muslim akan semakin lari menjauh dari islam yang ajaran-ajarannya sebenarnya

berdasarkan atas sikap toleransi dan menyerahkan urusan hidayah kepada Allah

SWT, karena memang hidayah datangnya tidak lain dari hanya Allah SWT.

Disamping itu, semangat belah kasih sendiri menghendaki untuk memberi

bantuan kepada siapa saja yang membutuhkan, apapun agama dan

keyakinannya.100

Wahbah al-Zuhailî menafsirkan bahwa ayat ini menjelaskan tentang

pahala sedekah dengan menginfakkan harta di jalan Allah swt semuanya untuk

diri kalian, baik di dunia maupun di akhirat. Tidak ada orang lain yang bisa

mengambil manfaat pahala kalian itu. Adapun pahala di dunia ini adalah

terjaganya dan terpeliharanya harta kekayaan kalian dan terlindungnya kalian dari

gangguan orang-orang fakir berupa perampasan, pencurian dan yang lainnya.

Sedangkan di akhirat, pahalanya adalah masuk surga dan terhapusnya sebagian

dosa kalian.101

Diriwayatkan di dalam sebuah hadits shahih bahwa Rasulullah saw,

berkata kepada Sa‟d bin Abi Waqqash r.a,

اال اجرت هبا حىت ما جتعل انك لن تنفق نفقة تبتغي هبا وجو اهلل امراتك يف يف

“Dan sesungguhnya kamu sekali-kali tidak berinfaq dengan ikhlas hanya

mengharap ridha Allah kecuali kamu diberi balasan atas infaq kamu itu,

bahkan apa yang kamu letakkan di dalam mulut istrimu.”102

100

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 103 101

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 103 102

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 104

Page 86: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

71

Kemudian Allah swt menguatkan ayat, ( )Dan apa

saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu

untuk kamu sendiri, dengan dua penguat,103

1. Dengan ayat, ( )Dan harta yang kalian nafkahkan maka

pahalanya akan sampai kepada kalian secara sempurna tanpa sedikit

pun dikurangi di akhirat kelak.

2. Dengan ayat, ( )Dan kalian tidak akan dizalimi,

maksudnya tidak ada sedikit pun dari pahala infaq kalian itu yang

hilang atau dikurangi. Karena pengurangan itu adalah sebuah

kezaliman.104

Semua ini menunjukkan bahwa sedekah atau infaq adalah bagi orang-orang

fakir secara umum, baik Muslim maupun non-Muslim. Kemudian Allah swt

menjelaskan tentang orang yang paling berhak menerima sedekah yaitu orang-

orang fakir dengan memberikan lima kriteria sebagai berikut,105

1. Terikat di jalan Allah swt:

Yaitu orang-orang yang menyerahkan diri mereka untuk berjihad atau beramal

di jalan keridhaan Allah swt, seperti menuntut ilmu.106

Karena jika seandainya

mereka juga sibuk bekerja seperti yang lain, maka akan banyak kemaslahatan atau

kepentingan umum yang terbengkalai. Mereka adalah orang-orang yang

mengorbankan diri demi umat, para pejuang dan para pemimpin umat yang selalu

bekerja dan berjuang demi umat, baik ketika dalam keadaan perang maupun

103

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 104 104

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 104 105

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 105 106

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 105

Page 87: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

72

dalam keadaan damai, baik dalam keadaan krisis dan sulit maupun ketika dalam

keadaan makmur dan sentosa.107

2. Tidak mampu bekerja:

“Mereka tidak dapat berusaha di bumi”. Maksudnya mereka tidak mampu

untuk berpergian dan menangis rezeki. Yang dimaksud mereka yang sedang

melakuakan perjalanan untuk mencari rezeki dikarenakan sebagai faktor lanjut

usia, sakit dan keadaan yang termasuk kategori adh-Dharuuraat lainnya.108

Yang

dimaksud dengan adh-Dharbu fil ardhi di dalam ayat ini adalah bepergian.

Mereka tidak mampu untuk bepergian dan melakukan perjalanan untuk mencari

rezeki dikarenakan berbagai faktor, di antaranya adalah sudah lanjut usia, sakit,

takut akan ancaman musuh dan keadaan-keadaan yang termasuk kategori adh-

Dharuuraat lainnya.

3. Memilki sifat „iffah:

Yaitu menampakkan sifat „iffah dan menjaga diri dari sifat tamak terhadap apa

yang ada di tangan orang lain. Sehingga orang yang tidak tahu hakikat diri mereka

mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya, karena sifat iffah (menjaga diri

dari meminta-minta) yang mereka miliki kesabaran, qana‟ah dan sikap menjaga

diri dari hal-hal yang tercela, baik dalam hal-hal pakaian, keadaan keseharian dan

ucapan mereka.109

Maksud yang sama juga pernah dijelaskan oleh Rasulullah saw

di dalam sebuah hadits yang disepakati keshahihannya yang diriwayatkan dari

Abu Hurairah r.a ia berkata,

107

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 105 108

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 106 109

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 106

Page 88: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

73

ليس املسكني هبذا اطواف الذي ترده التمرة والتمرتان واللقمة واللقمتان الذي الجيد غىن يغنيو واليقطرواالكلة واالكلتان ولكن املسكنب

فيتصدق عليو واليسال الناس شيا “Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling menemui orang-orang

yang meminta, dan ia akan berlalu pergi jika diberi satu atau dua biji

buah kurma. Satu atau dua suapan makanan, dan satu atau dua makanan,

orang miskin yaitu orang yang tidak memiliki kecukupan, namun

keadaanya itu tidak tampak dan tidak diketahui oleh orang lain dan ia

tidak meminta-minta sesuatu kepada orang lain”.110

4. Memliki beberapa ciri khusus yang membedakan antara mereka dan orang

lain:

Kriteria ini ditunjukkan oleh potongan ayat yang artinya “Dan kamu

mengenal mereka dengan memperhatikan ciri atau tanda-tanda khusus

yang mereka miliki”. Untuk bisa mengenali mereka dibutuhkan firasat

seorang mukmin, pengalaman, kecerdasan orang-orang yang memilki akal

dan pikiran serta dibutuhkan penyelidikan tentang mereka dengan cara

bertanya kepada orang-orang yang mengenal mereka, seperti para tetangga

dan kerabat mereka. Mereka mungkin juga bisa dikenali dengan melihat

kondisi luar mereka seperti kurus, lemah, lusuh dan pakaian yang

dikenakan tampak jelek dan usang. Namun, indikasi-indikasi luar seperti

ini terkadang tidak selalu tetap dan tidak bisa dijadikan bukti yang

meyakinkan. Karena terkadang ada sebagian orang yang memang berpura-

pura seperti orang miskin padahal bukan. Ada pula orang yang sebagian

berusaha tetap berpenampilan wajar seperti kebanyakan orang karena

ingin menjaga harga dirinya dan tidak ingin orang lain mengetahui

keadaan dirinya yang sebenarnya. Karena ia tidak menginginkan belas

110

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 106

Page 89: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

74

kasihan dan bantuan orang lain, padahal sebenarnya ia adalah orang

miskin.111

5. Sama sekali tidak mau meminta-minta dan jika meminta tidak bersikap

memaksa:

Kriteria ini ditunjukkan oleh potongan ayat ( اليسألون الناس اإحلافا)

yang artinya menurut mayoritas ulama tafsir adalah, mereka benar-benar

menjaga diri mereka dari meminta-minta. Maksudnya mereka sama sekali

tidak may meminta-minta kepada orang lain.112

Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa maksud potongan

ayat di atas adalah menafikan sikap memaksa atau mendesak di dalam

meminta-minta. Jadi, maksudnya adalah bahwa mereka memang meminta-

minta kepada orang lain, tetapi tidak dengan cara memaksa, dan ini adalah

pemahaman yang memang terlintas di dalam pikiran mereka ketika

membaca potongan ayat di atas, berbeda dengan pendapat mayoritas

ulama tafsir di atas. Jadi mereka meminta kepada orang lain, tetapi tidak

dengan cara mendesak. Mereka juga tidak meminta kepada orang lain

padahal mereka tidak sedang butuh. Karena barangsiapa yang meminta

kepada orang lain padahal ia dalam pikiran ketika membaca ayat di atas,

berbeda dengan pendapat mayoritas ulama tafsir di atas.113

Kemudian ayat ini diakhiri dengan penjelasan bahwa tidak ada sedekah

baik sedikit maupun banyak kecuali diketahui oleh Allah SWT dan tidak samar

bagi-Nya niat dan faktor pendorong seseorang di dalam bersedekah. Dengan niat

yang benar dan ikhlas di dalam bersedekah serta tidak dibarengi dengan sikap al-

Adzaa maka balasan yang didapat juga baik. Sebaliknya, jika niatnya di dalam

111

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 107 112

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 107 113

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 107

Page 90: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

75

bersedekah tidak baik maka, balasannya juga tidak baik pula. Di dalam penjelasan

ini mengandung at-Targhiib (penyemangat atau dorongan) untuk bersedekah yang

baik dan mengandung at-Tarhiib (ancaman atau menakut-nakuti) terhadap

sedekah yang jelek.114

Kemudian Allah SWT menjelaskan tentang pahala orang-orang yang

berinfaq dan pahala berinfaq di dalam setiap keadaan dan setiap waktu.

Barangsiapa yang bersedekah, baik pada waktu malam atau siang hari, baik

dengan cara sembunyi-sembunyi atau pun dengan cara terang-terangan, baik

ketika dirinya sendiri juga sedang dalam keadaan butuh atau bukan. Dan di

antaranya adalah memberi nafkah kepada keluarga seperti yang dijelaskan oleh

hadits riwayat Sa‟d di atas maka baginya pahala yang sempurna di sisi Tuhan,

tidak ada ketakutan baginya di akhirat dan tidak pula ia merasa bersedih dan

khawatir. Maksudnya tidak ada ketakutan baginya ketika menghadapi ketakutan

di hari kiamat dan tidak pula ia bersedih dan khawatir terhadap keadaan anak-

anaknya setelah ia tinggal mati, serta menyesali dan meratapi atas atas apa yang

tidak bisa ia raih dari kehidupan dunia dan keindahannya. Karena ia telah

menemukan apa yang jauh lebih baik dari itu semua.115

9. Tafsiran Surah At-Tawbah ayat 53 dan 54

“Katakanlah (Muhammad), “Infaqkanlah hartamu baik dengan sukarela

maupun dengan terpaksa, namun (infaqmu) tidak akan diterima.

Sesungguhya kamu adalah orang-orang yang fasik.” Dan yang

menghalang-halangi infaq mereka untuk diterima kafir (ingkar) kepada

114

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 108 115

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 108

Page 91: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

76

Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak melaksanakan salat, melainkan

dengan malas dan tidak pula menginfakkan (harta) mereka, melainkan

dengan rasa enggan (terpaksa).” [QS. At-Tawbah/9: 53-54]

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) maksudnya berati

Nafkahkanlah dalam ketaatan kepada Allah, seperti jihad, lafaz ( )

maksudnya berati tidak akan diterima darimu apa yang kamu nafkahkan, lafaz

() maksudnya berati alasan penolakan infaq mereka, lafaz ( )

maksudnya berati dari kata (الفسق) pembangkangan dan sombong, lafaz

( ) maksudnya berati merasa berat melakukan, lafaz ( )

maksudnya berati mereka enggan berinfaq karena mereka menganggapnya

sebagai hutang.116

Wahbah al-Zuhailî juga mengemukakan riwayat dari Ibnu Jarir ath-

Thabari yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata bahwa, al-Jadd bin Qais

mengatakan bahwa, “Sesungguhnya aku jika melihat perempuan tidak bersabar

sampai aku tergoda, namun aku akan membantumu dengan hartaku”. Ibnu Abbas

mengatakan bahwa, “Ayat ini turun berdasarkan peristiwa tadi, lafaz ( ) maksudnya karena ucapan al-Jadd, “Aku akan

membantumu dengan hartaku”. Jadi, ayat ini turun mengenai al-Jadd bin Qais

ketika dia tidak turut serta Perang Tabuk dan mengatakan kepada Rasulullah saw,

“Ini hartaku aku akan membantumu dengannya maka biarkanlah aku”.117

Setelah Allah menjelaskan balasan untuk orang-orang munafik, yakni

adzab di dunia dan akhirat, Dia melanjutkan hal itu dengan penjelasan bahwa

mereka meskipun melakukan sesuatu perbuatan baik seperti infaq untuk jihad,

mereka tidak bisa mengambil manfaat dengannya pada hari akhir sebab mreka

melakukannya karena Riya‟ dan menutupi kemunafikan mereka dari kejelekan.

Maksudnya adalah penjelasan bahwa sebab-sebab azab di dunia dan akhirat

116

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 494-495 117

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 495

Page 92: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

77

terkumpul pada mereka. Sebab-sebab kenyamanan dan kebaikan hilang dari

mereka di dunia dan akhirat. Harta mereka yang banyak hanyalah azab bagi

mereka di dunia dan akhirat. Ayat-ayat 42 dan seterusnya sampai ayat 59,

semuanya menjelaskan orang-orang munafik. Kemudian datang ayat-ayat

pembagian zakat.118

Wahbah al-Zuhailî menafsirkan bahwa ayat ini berkenaan dengan

perkataan Nabi kepada orang-orang yang munafik. Berapa pun kalian

menafkahkan di jalan Allah dan demi kebaikan baik karena taat atau terpaksa,

infaq itu tidak akan diterima. Sesungguhnya kalian kufur kepada Allah dan Rasul-

Nya. Kalian masih saja dalam keraguan terhadap agama dan balasan amal akhirat

yang di bawa oleh Rasul juga karena kalian adalah kaum yang fasik, yakni

sombong, membangkang, serta keluar dari iman. Sesungguhnya amal perbuatan

hanya sah dengan keimanan.119

Allah swt berfirman,

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang

bertakwa.” (QS. Al-Mâ „idah/5: 27)

Wahbah al-Zuhailî menafsirkan dalam firman Allah swt, lafaz

( ) maksudnya adalah alasan tertolaknya infaq mereka dan tidak

diterimanya mereka di dunia dan akhirat, yakni tidak diterimanya infaq mereka

dikarenakan mereka adalah orang-orang fasik, yakni orang-orang kafir.120

Wahbah al-Zuhailî menafsirkan dalam firman Allah swt, lafaz ( ) maknanya bearti mereka taat bukan karena perintah Allah dan Rasul-Nya

118

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 495 119

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 495 120

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 496

Page 93: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

78

atau taat tanpa ada paksaan dari pemimpin mereka, sebab pemimpin orang

munafik adalah orang-orang yang menganjurkan infaq karena mereka melihat ada

kepentingan di dalamnya atau keterpaksaan. Tidak diterimanya infaq mereka

bukan karena keumuman kefasikan mereka, tapi karena sifat khusus yakni

kefasikan itu adalah kufur. Oleh karena itu Allah menjelaskan dalam ayat

berikutnya ( ) maksudnya tidak ada yang menghalangi diterimanya

nafkah mereka kecuali kumpulan tiga perkara ini. Kufur kepada Allah dan Rasul-

Nya, tidak menjalankan salat kecuali dalam keadaan malas, dan infaq karena

terpaksa. Mereka adalah orang-orang yang mengkufuri Allah dan Rasul-Nya dan

apa yang dibawanya. Amal perbuatannya hanya sah dengan keimanan,

sebagaimana telah disebutkan. “Mereka tidak salat karena rasa malas sebab

mereka tidak mengharapkan pahala dari salat mereka. Mereka juga tidak takut

siksa karena meninggalkannya.121

Salat adalah berat bagi mereka, sebagaimana

firman Allah SWT,

“Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khsyuk”.

QS. Al-Baqarah [2]: 45

Mereka juga tidak berinfak untuk jihad dan lainnya kecuali mereka

terpaksa. Diri mereka tidak merasa enak karena mereka tidak berinfak untuk

tujuan ketaatan, tetapi menjaga kepetingan yang tampak serta menutupi

kemunafikan. Mereka menganggap infaq sebagai utang dan kerugian di antara

mereka. Nabi Muhammad saw telah menganggap bahwasanya Allah SWT tidak

bosan sampai kalian bosan. Allah adalah Maha Baik, tidak menerima infaq atau

amal dari orang-orang munafik, sebab Dia hanya menerima dari orang-orang yang

121

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 496

Page 94: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

79

taqwa. Ketaatan mereka tidak lain hanyalah dari keengganan dan keterpaksaan,

bukan dari keinginan dan pilihan.122

10. Tafsiran Surah Al-‘Anfâl/8: 36

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menginfakkan harta mereka

untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan (terus)

menginfakkan harta itu, kemudian mereka akan menyesal sendiri, dan

akhirnya mereka akan dikalahkan. Ke dalam neraka Jahannamlah orang-

orang kafir itu akan dikumpulkan. [QS. Al-„Anfâl/8: 36]

Menurut Wahbah al-Zuhailî lafaz ( ) maksudnya berati

untuk memerangi Nabi saw. Lafaz ()maksudnya berati akhir dari

perbuatan mereka. Lafaz ( ) maksudnya berati penyesalan dan rasa

pedih untuk mereka karena hilang dan lenyapnya apa yang mereka maksudkan.

Lafaz ( ) maksudnya berati di dunia, lafaz ( ) maksudnya

berati digiring.123

Muhammad bin Ishaq berkata dalam sebuah riwayat yang diterimanya dari

az-Zuhri dan beberapa para ulama yang lain, “SetelahQuraisy kalah dalam Perang

Badar dan pulang ke Mekkah, Abdullah bin Abi Rabi‟ah, Ikrimah bin Abu Jahal,

Shafwan bin Umayyah dan beberapa orang pemuka Quraisy yang bapak dan

anak-anak mereka terbunuh dalam Perang Badar datang menghadap Abu Sufyan

dan orang-orang yang memiliki barang dagangan bersama kafilah Quraisy, lalu

mereka berkata, “Wahai para pemuka Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah

122

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 496 123

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 292

Page 95: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

80

menimbulkan banyak kerugian pada kalian dan membunuh orang-orang terbaik

kalian, bantulah kami dengan harta ini (harta kafilah dagang yang selamat) untuk

memeranginya. Semoga saja kita bisa membalaskan dendam kita padanya.”

Mereka pun menyepakati hal tersebut. Tentang merekalah (sebagaimana dinukil

dari Ibnu Abbas) Allah SWT menurunkan ayat (

... ) Artinya, ayat ini turun berkenaan dengan

harta mereka yang dibelanjakan untuk Perang Uhud.124

Wahbah al-Zuhailî juga mengemukakan riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid

dan yang lain bahwa ayat tersebut turut berkenaan dengan Abu Sufyan tentang

harta yang dibelanjakannya untuk kaum musyrikin dalam Perang Badar, bantuan

yang diberikannya dalam Perang Uhud untuk memerangi Rasulullah saw.125

Wahbah juga menukil riwayat dari Ibnu Abi Hatim yang diriwayatkan dari

al-Haqam bin Utaibah, ia berkata, “Ayat tersebut turut berkenaan dengan Abu

Sufyan ketika ia membelanjakan harta sebanyak empat puluh uqiyah emas”. Satu

uqiyah emas sama dengan empat puluh mitsqal emas”. Satu uqiyah sama dengan

empat mitsqal emas, sementara satu mitsqal adalah 4. 25 gram.126

Wahbah al-Zuhailî juga menyebutkan riwayat Ibnu Jarir yang

diriwayatkan dari Ibnu Abazy dan Sa‟i bin Jubair, keduanya berkata, “Ayat

tersebut turut berkenaan dengan Abu Sufyan ketika ia menyewa dua ribu orang

budak Habsyi ketika perang uhud untuk memerangi Rasulullah saw, selain

kalangan Arab Badui yang telah memenuhi seseruannya”.127

Setelah Allah SWT menjelaskan kondisi kaum musyrikin tentang ketaatan

yang bersifat fisik yaitu shalat dalam firman-Nya, “Dan tidaklah shalat mereka di

124

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 292 125

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 292 126

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 292 127

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 292

Page 96: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

81

sekitar Baitullah itu”. Allah SWT kemudian menjelaskan kondisi mereka dalam

ketaatan yang bersifat harta yaitu pembelanjaan harta mereka baik dalam Perang

Badar maupun Perang Uhud.128

Wahbah al-Zuhailî menjelaskan bahwasanya Allah dan Rasul-Nya, harta

mereka digunakan dengan tujuan untuk menghalangi manusia dari mengikuti

Muhammad SAW yang merupakan jalan Allah SWT, Ketika mereka

membelanjakan harta mereka, akibat dari pembelanjaan harta yang mereka

gunakan untuk memerangi Nabi SAW. Dan menghalangi manusia dari jalannya

itu pada akhirnya adalah penyesalan dan kerugian. Seolah-olah zat harta itu

berubah menjadi penyesalan. Artinya harta itu tidak mewujudkan apa yang

mereka inginkan. Bahkan, harta itu berdampak sebaliknya, yaitu penyesalan dan

kerugian.129

“Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu dia membolak-balikan kedua

telapak tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang telah dia

belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur roboh bersama penyangganya

(para-para) lalu dia berkata, “Betapa sekiranya dahulu aku tidak

mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun”. [QS. Al-Kahf/18: 42]

Ayat di atas menjelaskan makna hal yang sia-sia dan lenyap di jalan setan,

tidak membawa kepada kemenangan, bahkan sebaliknya berdampak pada

kekalahan. Mereka kalah dan merugi,130

sebagaimana firman Allah SWT,

“Allah SWT menetapkan, “Sungguh Aku kalahkan (mereka), Aku dan

rasul-rasul Ku”. [QS. Al-Mujâdila/58: 21]

128

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 293 129

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 293 130

Wahbah al-Zuhaiî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 293

Page 97: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

82

Ayat ini menerangkan tentang Inilah azab untuk mereka di dunia,

kehilangan harta dan kekalahan. Sementara itu, azab mereka di akhirat yaitu akan

digiring ke neraka Jahannam kalau mereka terus berada dalam kekafiran, dan mati

dalam kekafiran, karena di antara mereka ada juga yang masuk Islam dan baik

Islamnya.131

Adapun kaum Muslimin, kalau mereka membelanjakan harta mereka di

jalan Allah yang akan dicapai boleh jadi kemenangan di dunia atau pahala di

akhirat dan boleh jadi kedua-duanya sekaligus, yaitu kebahagiaan di dua kampun

tersebut. Allah SWT telah menetapkan kemenangan untuk orang-orang beriman

dan kekalahan untuk orang-orang kafir, kehilangan harta, rasa penyesalan, dan

kepedihan dalam hati mereka untuk Allah bedakan antara kelompok yang buruk

dengan kelompok yang baik, artinya antara orang kafir dan orang beriman.132

Jadi, Allah SWT bedakan antara orang-orang bahagia dengan orang-orang

celaka lalu Dia jadikan sebagiannya menumpuk-numpuk di atas yang lain di

neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi dunia dan akhirat.133

D. Objek Penerima Infaq

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa penerima infaq tidak dibatasi, yaitu

siapa pun yang dinilai membutuhkannya.134

Namun demikian, ada prioritas yang

diajarkan oleh al-Qur‟an, antara lain:

131

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 293 132

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, Juz 9&10, h. 293 133

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 496 134

Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:

UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 49-50

Page 98: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

83

“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa

saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak,

kaum kerabat, anak-anak yaitu, orang-orang miskin dan orang yang

sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”. [QS. Al-Baqarah/2: 215]

Wahbah al-Zuhailî menjelaskan dalam Tafsir al-Munirnya bahwa sedekah

sunnah kepada ibu bapak dan kerabat adalah lebih afdhal. Dalilnya dinukil

dari riwayat Nabi Muhammad saw, bahwasanya beliau bersabda:

ميعشرالنساء تصدقن ميعشرالنساء تصدقن لوببحليكن

“Wahai kaum wanita bersedekahlah kalian”.135

Ayat di atas berbicara tentang pos-pos pendistribusian infaq, yaitu sebagai

berikut:

1. Orang Tua

Penghormatan kepada kedua orang tua mendapat perhatian khusus dari al-

Qur‟an. Hal ini terlihat dari penempatan perintah berbuat baik kepada kedua orang

tua diletakkan setelah perintah tauhid [QS. Al-Baqarah/2: 83, QS. Al-Isra‟/17:

23]. Demikian juga, perintah bersyukur kepada kedua orang tua juga

digandengkan dengan perintah bersyukur kepada Allah [QS. Luqman/31: 14]:

“Tidaklah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di

laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari

tanda-tanda (kekuasaan-Nya). Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar

135

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 483

Page 99: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

84

terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak

bersyukur”. [QS. Luqman/31: 14]

Penempatan yang subtansial ini meniscayakan dalam berinfaq.136

2. Kerabat

Golongan kedua adalah kerabat atau orang yang masih mempunyai

hubungan darah. Di dalam Islam yang disebut dengan keluarga adalah

keluarga besar bukan sekedar keluarga inti yang terdiri dari bapak, ibu dan

anak, namun meluas ke atas dan ke bawah. Misalnya apabila salah satu orang

tua meninggal, maka tanggung jawab secara otomatis berlimpah pada saudara

orang tua tersebut, paman atau bibinya. Demikian juga dalam hal

penghormatan, seorang anak yang diharuskan hormat pada semua saudara

kedua orangtuanya. Jika dalam sebuah keluarga besar terdapat orang yang

berkekurangan maka salah satu di antara keluarga tersebut harus mampu

membantunya. Terkait dengan hal ini Rasulullah saw berpesan: bahwasanya

“nasehat Rasulullah tersebut dalam rangka mengutuhkan keluarga besar,

saling membantu dan menutupi kebutuhan keluarga. Menurut penulis riwayat

ini tidak untuk melegimitasi sikap nepotisme.137

Artinya perhatian infaq

diperioritaskan kerabat bila dipastikan yang bersangkutan sangat

membutuhkannya. Al-Qur‟an tidak menyeru umat Islam untuk sibuk

membesarkan dinasti keluarga besarnya tetapi menekankan adanya

pemerataan bantuan.138

Wahbah al-Zuhailî juga menukil riwayat dari Muslim yang diriwayatkan

dari Jabir bahwa Nabi saw bersabda,

إبدأ بنفسك فتصدق عليها “Mulailah dari dirimu: bayarlah sedekah kepada dirimu sendiri”.

139

136

Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:

UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 50 137

Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:

UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 50-51 138

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 496 139

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 496

Page 100: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

85

Selanjutnya Wahbah juga mengemukakan riwayat dari Nabi saw bersabda,

لك أجران أجر الصدقة “(Jika kau berbuat begitu), kau akan mendapat dua pahala: pahala

sedekah dan pahala berbuat baik kepada kerabat”.140

3. Anak Yatim

Kata yatim (يتيم) terambil dari kata yutm ( يتم), yang bearti “tersendiri”,

permata yang unik yang tidak ada tandingannya dinamai الدرة التيمة. Anak

Yatim adalah anak yang ditinggal mati bapaknya sedangkan usianya masih belum

baligh. Bila berdasarkan pada penjelasan tentang kerabat maka kewajiban utama

pengurusan yatim adalah tanggungjawab keluarga besar, namun besarnya

kebutuhan dan hak yang harus diterima yatim sebagai anak, maka Islam baik

melalui al-Qur‟an ataupun hadits menegaskan bahwa pengurusan yatim juga

tanggungjawab semua Muslim. Salah satu kecaman al-Qur‟an terhadap Muslim

yang tiddaak menghiraukan anak yatim adalah sebagai pendusta aagama.141

Di dalam ajaran Islam, mereka semua mendapat perhatian khusus melebihi

anak-anak yang wajar masih memilki kedua orangtua. Islam memerintahkan kaum

Muslimin untuk senantiasa memperhatikan nasib mereka, berbuat baik kepada

mereka, mengurus dan mengasuh mereka sampai dewasa. Islam juga memberi

nilai yang sangat istimewa bagi orang-orang yang benar menjalankan perintah

ini.142

Keagungan al-Qur‟an yang menempatkan anak yatim pada posisi yang

tinggi terbukti dalam beberapa ayat yang menjelalaskan tentang anak yatim di

antaranya adalah Surah al-Ma‟un ayat 1-3,

140

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 496 141

Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:

UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 50-51 142

Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:

UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 50-51

Page 101: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

86

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama, itulah orang yang

menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang

miskin”.

Dan dalam Surah ad-Duha ayat 9-10 menjelaskan, dan lain-lain.143

“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-

wenang.”“Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu

menghardiknya”.

Rasulullah saw menyebutkan dirinya sebagai kafil al-yatim atau kedekatan

beliau dengan anak yatim diibaratkan dengan dua jari yaitu jari telunjuk dan jari

tengah. Hadits ini dapat dalam Shahih al-Bukhari kitab Aab bab Keutamaan

Mengasuh Anak Yatim, Shahih Muslim kitab Zuhud dan Kelembutan Hati bab

Berbuat baik kepada jandda, orang miskin dan anak yatim.144

4. Orang Miskin

Label pendusta agama bukan saja diperuntukkan penghardik anak yatim,

tetapi juga orang-orang yang tidak ikut membantu pemenuhan hak-hak orang-

orang miskin meski sekedar mengajar atau menganjurkan orang lain agar

membantu kebutuhan orang-orang miskin. Dalam hal ini mufassir kontemporer

Syria, Wahbah al-Zuhailî menjelaskan bahwa yang disebut miskin adalah orang-

orang yang tidak mampu mencukupi kebutuhan pokoknya dan memelihara diri

dari meminta-minta atau perbuatan-perbuatan yang lain dapat menghilangkan

harga dirinya.145

Kemiskinan dan orang-orang miskin sudah dikenal manusia dan jauh

sejarah sejenak zaman-zaman lampau. Oleh karena itu, sangatlah beralasan jika

143

Pengertian anak yatim dan kedudukannya dalam Islam,

http://alikikhlaskebonduren.wordpress.com, diakses pada tanggal 6 Agustus 2011. 144

Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:

UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 51 145

Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:

UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 52

Page 102: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

87

kita mengatakan bahwa kebudayaan umat manusia dalam satu kurunnya tidak

pernah sepi dari orang-orang yang tersentuh perasaanya melihat penderitaan orang

lain dan berusaha melepaskan mereka dari kemiskinan atau paling tidak

meringankan nasib yang mereka derita.146

Pada dasarnya semua agama, bahkan agama-agama ciptaan manusia yang

tidak mengenal hubungan dengan kitab suci yang berasal dari langit (samawi),

tidak kurang perhatiannya pada segi sosial yang tanpa segi ini persaudaraan dan

kehidupanyang senantosa tidak mungkin terwujud.147

5. Ibn Sabil (Orang Yang Dalam Perjalanan)

Orang yang tidak mampu melanjutkan perjalanannya karena kehabisan

dana, maka zakat yang diterimanya bertuujuan agar ia sampai pada tujuan

perjalanannya dengan syarat perjalanannya tersebut tidak untuk maksiat.148

Keseluruhan yang disebut di atas tiak dijelaskan secara eksplisit dalam

ayat-ayat al-Qur‟an bahwa penerima infaq hanya orang-orang Muslim. Atas dasar

ini infaq boleh saja diberikan kepada non-Muslim bila mereka memang

memerlukan bantuan. Dengan demikian, prioritasnya bukan aqidah yang

diberikan lebih bermakna.149

Yang dimaksud di sini adalah orang asing yang tidak dapat kembali ke

negerinya. Ia diberi sadaqah dan infaq agar ia dapat melanjutkan perjalanan ke

negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi sadaqah dan infaq kecuali bila

memenuhi syarat: Pertama, muslim dan bukan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi

saw). Kedua tidak memiliki harta pada saat itu sebagai biaya untuk kembali ke

negerinya walaupun di negerinya dia adalah orang yang berkecukupan. Ketiga,

perjalanan yang dilakukan bukanlah perjalanan maksiat.150

146

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 2, Juz 3&4, h. 496 147

Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, (Bandung: Mizan, 2000), h. 44 148

Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:

UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 52 149

Lilik Ummu Kaltsum & Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:

UIN Press, 2015), Cet. Pertama, h. 53 150

Mengupas 8 golongan penerima zakat, http://www.pengusaha muslim.com, diakses

pada tanggal 11 agustus 2011.

Page 103: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

88

BAB IV

ANALISIS MAKNA AYAT-AYAT TENTANG INFAQ DALAM TAFSIR

AL-MUNIR KARYA WAHBAH AL-ZUHAILÎ

Setelah diuraikan deskripsi umum tentang Infaq pada bab III, maka bab ini

merupakan analisis terhadap ayat-ayat yang telah penulis pilih. Agar mendapatkan

data yang maksimal, penulis menghimpun ayat-ayat tersebut dalam tabel sebagai

berikut:

Tabel 4.1

Pemaknaan Ayat-ayat Infaq

No Infaq Ayat Obyek Makna Ayat Makkiyah/

Madaniyah

1

[2]: 215 Semua

Manusia

Orangtua,

kerabat dekat,

kerabat lain,

anak yatim,

orang miskin,

serta musaffir

sebagai objek

infaq.

Madaniyah

2

[2]: 219

Perintah

berinfak di

jalan Allah

SWT.

Madaniyah

Page 104: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

89

3

[2]: 254 Orang

Beriman

Perumpamaan

orang yang

berinfaq

karena Allah

SWT.

Madaniyah

4

[2]: 261

Orang

Beriman

Balasan orang

yang berinfaq

karena Allah

SWT

Madaniyah

Page 105: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

90

5

[2]: 262 Orang

Beriman

Balasan orang

yang berinfaq

karena Allah

SWT

Madaniyah

6

[2]: 264 Orang

Beriman

Larangan

menyebut-

nyebut dan

menyakiti

perasaan si

penerima infaq

Madaniyah

Page 106: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

91

7

[2]: 265 Orang

Beriman

Balasan orang

yang berinfaq

karena Allah

SWT

Madaniyah

8

[2]: 267 Orang

Beriman

Sifat atau

bentuk harta

yang

diinfaqkan

Madaniyah

Page 107: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

92

haruslah harta

yang bagus.

9

[2]: 270 Semua

Manusia

Anjuran untuk

menyembun-

yikan sedekah

sunnah.

Madaniyah

10

[2]: 271 Semua

Manusia

Anjuran untuk

bersedekah

secara

sembunyi-

sembunyi.

Madaniyah

Page 108: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

93

11

[2]: 272 Orang

Mukmin

Kebolehan

memberikan

sedekah

sunnah kepada

non-Muslim.

Madaniyah

12

[2]: 274 Orang

Mukmin

Kebolehan

memberikan

sedekah

sunnah kepada

non-Muslim

Madaniyah

Page 109: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

94

13

[9]: 53 Orang

Munafik

Balasan bagi

orang munafik

yang berinfaq

karena riya.

Madaniyah

14

[9]: 54 Orang

Munafik

Balasan bagi

orang munafik

yang berinfaq

karena riya.

Madaniyah

15

[8]: 36 Kaum

Musyriki

n

Hilangnya

pahala

berderma

menghalangi

orang dari

jalan Allah.

Makiyyah

Page 110: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

95

Melalui tabel di atas, penulis memilih beberapa ayat tentang infaq yang

belum dibahas pada penelitian terdahulu mengenai makna infaq. Adapun ayat-

ayat yang akan dianalisa pada bab ini adalah: QS. Al-Baqarah [2]: 215, 254, 261,

262, 264, 267, QS. Al-„Anfâl [8]: 36.

Agar lebih sistematis, penulis mengklasifikasikan beberapa objek pada

ayat-ayat tersebut. Alasan kenapa penulis memilih tema infaq yang dikaji dalam

skripsi di bab IV ini adalah tentang Infaq yang didasarkan pada ayat-ayat al-

Qur‟an yang langsung berkaitan dengan sadaqah sunnah, yang penulis teliti

melalui indeks al-Qur‟an. Terdapat kurang lebih 31 ayat yang menjelaskan

tentang infaq.1 Ayat-ayat di dalam tabel di atas kemudian penulis batasi pada

penggunaan makna infaq yang berisi pembahasan tentang objek penerima infaq

tentang balasan yang diperoleh pemberi infaq, tentang etika berinfaq, yaitu: QS.

Al-Baqarah [2]: 215, 254, 261, 262, 264, 267, dan Al-„Anfâl [8]: 36 sebagaimana

berikut:

1 Hamid Hasan Qolay, Indeks Terjemahan al-Qur‟anul Karim, (Jakarta: PT. Inline Raya,

1997), Jilid 3, h. 787

Page 111: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

96

A. Objek Penerima Infaq (Orangtua, Kerabat Dekat, Kerabat Lain, Anak

Yatim, Orang Miskin, dan Musaffir)

“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa

saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak,

kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang

yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat,

Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya”. [QS. Al-Baqarah/2:

215]

Yakni Berkenaan dengan ukuran nafkah sukarela, bukan zakat wajib, serta

alokasi penyaluran nafkah itu. Berapa pun nafkah yang diberikan, entah sedikit

entah banyak, pahalanya khusus untuk pemberinya saja, dan alokasi pemberian

nafkah adalah memberi ibu bapak dan anak-anak sebab mereka adalah kerabat

dekat, selanjutnya kerabat yang lain, yang lebih dekat didahulukan, kemudian

anak yatim peliharaannya sudah mati, lalu orang miskin yang tidak sanggup

mencari nafkah, serta mufasir yang kehabisan bekal pulang ke kampung

halamannya. Pendeknya, segala sesuatu yang diinfaqkan dalam kebaikan akan

diberi ganjaran oleh Allah sebab Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, tak ada

satu pun yang tersembunyi bagi-Nya, maka dari itu Dia tidak lupa memberi

balasan dan pahala, malah dia akan melipatgandakannya.2

Wahbah al-Zuhaili menukil pendapat ulama yang paling benar, bahwa ayat

ini masih berlaku, tidak dinasakh. Ia menjelaskan sedekah sukarela sebab ia tidak

menentukan ukuran harta yang diinfaqkan, sedangkan zakat yang wajib itu

tertentu ukurannya, dan ini disepakati semua ulama.3

Urutan alokasi infaq terlihat dari riwayat Ahmad dan Nasa‟i dari Abu

Hurairah bahwa Nabi saw pernah bersabda kepada para sahabat “Bersedakahlah!”

2 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, 482 3 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 482

Page 112: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

97

seseorang menyahut “Saya punya satu dinar”. Beliau bersabda, “Sedekahkan uang

itu untuk dirimu sendiri.” Orang itu berkata, “Saya masih punya satu dinar lagi”.

Beliau bersabda, “Sedekahkan untuk istrimu.” Orang itu berkata lagi, “Saya

punya yang lain”. Beliau bersabda, “Sedekahkan untuk anakmu”, Orang itu

berkata lagi, “Saya masih punya yang lain.” Beliau bersabda, “Sedekahkan untuk

budakmu.” Orang itu berkata lagi, “Saya masih punya lagi,” Beliau bersabda,

“Engkau lebih tahu kemana uang itu harus kau sedekahkan”.4

Wabhah juga mengutip dari riwayat Atha‟ yang berkata: ayat ini turut

berkenaan dengan seorang pria yang menemui Nabi saw, lalu berkata “Saya

punya satu dinar”. Beliau bersabda, “Infakkan uang itu untuk dirimu sendiri”.

Orang itu berkata, “Saya punya dua dinar”. Beliau bersabda, “Infakkan untuk

istrimu”. Orang itu berkata, “Saya punya tiga dinar”. Beliau bersabda, “Infakkan

untuk pembantumu”. Orang itu berkata, “Saya punya empat dinar”. Beliau

bersabda, “Infakkan untuk bapak ibumu”. Orang itu berkata, “Saya punya lima

dinar”. Beliau bersabda, “Innfakkan untuk kerabatmu”. Orang itu berkata, “Saya

punya enam dinar”. Beliau bersabda, “Infakkan di jalan Allah dan itu adalah yang

paling rendah nilainya”.5

Bahwasanya ayat ini menjelaskan bahwa sedekah sunnah kepada ibu

bapak dan kerabat adalah lebih afdhal. Dalilnya adalah riwayat dari Nabi saw

bersabda:

يامعشر النساء تصدقن ولو حبليكن “Wahai kaum wanita, bersedekahlah meskipun dengan perhiasan

kalian!”6

Hadits diatas berisi seruan istri Abdullah bin Mas‟ud, Zainab, berkata

kepada suaminya, “Kulihat kau ini miskin. Kalau boleh aku bersedekah

kepadamu, tentu akan kuberikan sedekah kepadamu.” Lantas ia menghadap nabi

saw dan menanya beliau, “Apakah sah jika saya membayarkan sedekah kepada

4 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 482 5 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 6 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483

Page 113: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

98

suami saya dan anak-anak yatim yang saya asuh?” Nabi saw bersabda

kepadanya:7

لك اجران : اجر الصدقة واجر القربة “Jika kau berbuat begitu), kau akan mendapat dua pahala sedekah dan

pahala berbuat baik kepada kerabat.”

Dalam riwayat lain bersabda,

زوجك وولدك أحق من تصدقت عليه

“Suamimu dan anakmu adalah orag yang paling berhak untuk

mendapatkan sedekah darimu”.8

Wahbah al-Zuhaili mengutip riwayat dari Muslim yang diriwayatkan dari

Jabir bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, فتصدق عليهاابدأ بنفسك

“Mulailah dari dirimu, bayarlah sedekah kepada dirimu sendiri”.9

Wahbah juga mengutip pendapat Nasa‟i dan lain-lain meriwayatkan

bahwa Nabi Muhammad saw bersabda,10

يد املعطي العليا أباك وأمك وأختك وأخاك وأدناك أدناك “Tangan yang memberi adalah yang di atas dan berikan infakmu kepada

bapakmu, ibumu, saudarimu, saudaramu, dan kerabat yang terdekat

hubungannya denganmu”.

Hadits di atas menegaskan bahwa tidak diragukan lagi belas kasihan

kepada kerabat sangat tinggi nilainya, dan infaq kepada kerabat yang hidup susah

membutuhkan keikhlasan yang luar biasa.11

Meskipun yang mereka tanyakan adalah sesuatu yang diinfakkan,

jawabannya berisi tentang penjelasan orang yang menjadi penerima infaq, dan

7 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 8 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 9 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 10

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 11

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483

Page 114: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

99

demikian ini merupakan metode Allah bahwasanya mereka bertanya tentang

sesuatu perkara yang lebih penting daripada yang ditanyakan itu, yakni penjelasan

tentang alokasi penyaluran infaq, karena infaq tidak akan berhasil merealisasikan

kebaikan kecuali jika ia tepat sasaran.12

Ayat ini menjelaskan alokasi penyaluran sedekah sukarela, diantaranya

bahwa orang yang kaya harus memberi nafkah yang layak kepada kedua orang

tuanya yang miskin sesuai dengan kondisi mereka, baik berupa makanan, pakaian

atau yang lainnya.13

Ayat ini menunjukkan beberapa konsep berikut:

1. Nafkah, sedikit maupun banyak, pasti akan mendapat pahala dari Allah

apabila diniatkan secara ikhlas karena Allah. Hal ini berlaku untuk semua

sedekah, yang sunnah maupun yang wajib.14

2. Kerabat yang lebih dekat hubungannya lebih berhak untuk mendapatkan

nafkah, dengan dalil firman-Nya, ( ) serta penjelasan

Nabi saw, tentang maksud Allah, yaitu dalam sabda beliau di atas:

“Mulailah dari orang yang kau tanggung nafkahnya: Ibumu, bapakmu,

saudarimu, saudaramu, dan kerabat lain yang dekat hubungannya

denganmu.”15

3. Anak wajib memberi nafkah kepada ibu bapaknya serta kerabatnya,

sebagaimana kami terangkan di atas.

Kewajiban memberi nafkah ini tidak mencakup nafkah orang-

orang miskin dan mufassir serta semua yang disebutkan ayat ini karena

mereka ini masuk dalam zakat dan sedekah sukarela.16

Di samping karena

ada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,

12

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 484 13

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 14

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 15

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 483 16

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1&2, h. 485

Page 115: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

100

ودينار أعطيته مسكينا ودينر أعطيته يف رقبة ودينر هلل أعطيته يف سبيل ا دينر

أعظمها أجرا أنفقته على أهلك فإن الدينار الذي أنفقته على أهلك “Satu dinar yang kau berikan di jalan Allah, satu dinar yang kau berikan

kepada seorang miskin, satu dinar yang kau berikan untuk memerdekakan

seorang budak, dan satu dinar yang kau nafkahkan untuk keluargamu, yang

paling besar pahalanya adalah yang kau nafkahkan untuk keluargamu”.

B. Perumpamaan orang yang berinfaq ikhlas karena Allah SWT

“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian

dari rezki yang Telah kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang

pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at. dan

orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim”. [QS. Al-Baqarah/2 :

254]

Melalui ayat 254 pada surah ini, maksud perumpamaan disini berkenaan

dengan bahwasanya Allah SWT memerintahkan orang-orang mukmin yang

memiliki keimanan yang benar dan sungguh-sungguh untuk berinfaq di jalan

Allah SWT. Hal ini menurut pendapat Ibnu Juraij dan Sa‟id bin Jubair mencakup

zakat wajib dan sedekah sunnah. Ibnu A‟thiyyah berkata, “Pendapat ini benar,

tetapi ayat-ayat sebelumnya yang membicarakan tentang masalah perang dan

sesungguhnya Allah SWT menolong orang-orang Mukmin di dalam menghadapi

orang-orang kafir, menguatkan bahwa anjuran berinfaq di sini adalah ajuran

berinfaq di jalan Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan akhir-akhir ayat yang

artinya, “dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” Maksudnya,

maka hadapilah mereka dengan berperang dan menginfakkan harta.17

17

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38

Page 116: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

101

Dalam Tafsir al-Munir karya Wahbah al-Zuhailî yang dimaksud dengan

kata ( ) menguatkan penegasan anjuran untuk berinfaq , karena

firman ini menunjukkan bahwa yang diminta tidak lain adalah sebagian dari apa

yang dikaruniakan oleh Allah SWT kepada para hambanya.18

Anjuran ini kembali dipertegas dengan penjelasan bahwa akan datang

suatu hari di mana manusia akan merasa sangat menyesal. Namun, penyesalannya

itu tidak berguna sama sekali, yaitu hari pembalasan, hari perhitungan amal, hari

penerimaan pahala dan siksa, hari di mana tidak ada tebusan atau ganti yang

berguna. Suatu hari di mana ukuran-ukuran akhirat berbeda dengan ukuran-

ukuran dunia. Hal yang sama juga dijelaskan di dalam ayat lain, yaitu:19

“Dan takutlah kamu pada hari, (ketika) tidak ada seorang pun dapat

membela orang lain sedikit pun. Sedangkan syafaat dan tebusan apapun

darinya tidak diterima dan mereka tidak akan ditolong”. [QS. Al-

Baqarah/2: 48]

Pada ayat 48 dari surah ini, Allah menyebutkan orang-orang kafir yaitu

setiap orang-orang yang kufur terhadap Allah SWT atau orang-orang yangg

meninggalkan kewajiban zakat, mereka itulah orang-orang yang berbuat zalim

terhadap diri mereka sendiri. Maksudnya, karena mereka berperang dengan jiwa

dan harta dan orang-orang yang membelanjakan harta, mereka meletakkan harta

mereka tidak pada tempatnya. Allah SWT menyebut orang-orang seperti mereka

dengan sebutan kafir sebagai sebuah ancaman dan menegaskan bahwa sikap

seperti ini sangat jelek,20

seperti firman-Nya,

18

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38 19

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38 20

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 1, Juz 1 & 2, h. 38

Page 117: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

102

“Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa

Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”. [QS.

„Ali-„Imrân/3: 97]

Di samping itu juga sebagai penjelasan bahwa meninggalkan kewajiban

zakat termasuk salah satu sifat orang-orang kafir. seperti yang terdapat di dalam

firman-Nya dalam Surah Fussilat/41: 6-7:

“Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan

(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat”. [QS.

Fussilat/41: 6-7]

Pada ayat di atas menunjukkan maksudnya perintah menginfakkan harta di

jalan kebaikan, baik dengan menggunakan jalur zakat wajib atau jalur sedekah

sunnah dan semuanya mendatangkan pahala yang agung kelak di akhirat. Dengan

adanya kesadaran menginfakkan harta, terciptalah solidaritas di antara umat Islam.

Bahkan menginfakkan harta adalah jalan yang harus ditempuh guna menjaga

martabat, kedudukan dan kehormatan umat Islam, guna mengambil kembali hak-

hak umat Islam yang terampas serta menjaga kawasan dan tempat-tempat suci

umat Islam. Barangsiapa yang melalaikan kewajiban ini, padahal ia termasuk

orang kaya yang mampu untuk berinfaq, maka hal ini akan menjadi sebab

kehancuran dan kehinaan umat Islam. Karena tidak akan ada kelangsungan hidup

yang layak dan tidak akan ada yang namanya kebahagiaan bahkan bagi orang-

Page 118: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

103

orang kaya itu sendiri jika tiga mata rantai yang menakutkan telah menyerang

sebagian individu umat, yaitu penyakit, kemiskinan, dan kebodohan.21

Wahbah al-Zuhailî mengutip riwayat dari Ibnu „Athiyyah yang berkata,

“Zhahir maksud penjelasan ini menyatakan bahwa yang dimaksud adalah semua

bentuk kebaikan, akan tetapi ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang

peperangan dan menjelaskan bahwa Allah SWT menolong orang-orang Mukmin

di dalam melawan orang-orang kafir lebih menguatkan bahwa yang dimaksud

adalah perintah berinfaq fi sabilillah. Hal ini dikuatkan lagi oleh akhir penjelasan

ayat yagng artinya, “dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim”.

Maksudnya, lawanlah orang-orang kafir dengan jiwa harta”.22

C. Balasan bagi orang beriman yang berinfaq karena Allah SWT

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang

menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir

benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.

Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan

Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. “Orang-orang

yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Kemudian mereka tidak

mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut

pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima),

mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran

terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. [QS. Al-

Baqarah/2: 261-262]

Wahbah al-Zuhailî berpendapat bahwa di dalam ayat ini adanya terdapat

perumpamaan yang diberikan oleh Allah SWT untuk melipat gandakan pahala

21

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3& 4, h. 39 22

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 40

Page 119: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

104

bagi siapa saja yang berinfaq di jalan Allah SWT hanya untuk mengapai ridhanya.

Susungguhnya satu kebaikan pahalanya dilipatkan sepuluh kali lipat sampai 700

kali lipat. Lalu Allah SWT menjelaskan tentang bentuk atau sifat sedekah yang

dikeluarkan oleh orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan ketaatan

kepada Allah SWT untuk menggapai ridhanya, seperti menyebarkan ilmu, adalah

seperti sebuah biji yang ditanam di sebuah tanah yang subur, lalu biji tersebut

menumbuhkan tujuh bulir, di dalam setiap bulir terdapat 100 butir biji. Para pakar

petani menegaskan bahwa sebuah biji gandum, jika ditanam, maka tidak hanya

menumbuhkan satu bulir saja, akan tetapi jauh lebih banyak, hingga mencapai 70

bulir, sedangkan tiap-tiap bulir bisa mengandung lebih dari 100 biji, ini adalah

gambaran tentang dilipat gandakannya pahala orang yang bersedekah.23

Menurut Wahbah al-Zuhailî yang dimaksud dengan kata ( ) dan Allah SWT melipat gandakan pahala bagi siapa saja ضاعف ملني

yang dikehendakinya tergatung keikhlasannya di dalam amal yang dilakukan.

Bahkan Allah SWT melipat gandakan hingga lebih banyak dari itu. Pemberian

dan karunianya tidak terbatas, sangat luas dan banyak. Allah tau siapa saja yang

berhak mendapatkan pelipat gandaan pahala ini dan siapa saja yang tidak

berhak.24

Wahbah al-Zuhailî menjelaskan dalam tafsiran ayat di atas berisi tentang

sebuah isyarat bahwa Allah SWT menumbuhkan amal-amal saleh yang dilakukan

oleh seseorang seperti halnya Allah SWT menumbuhkan biji tanaman yang

ditanam oleh seseorang yang baik dan subur. Terdapat juga riwayat hadits yang

menjelaskan tentang dilipat gandakannya pahala suatu amal kebaikan hingga 700

kali lipat.25

23

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 72 24

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 72 25

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 73

Page 120: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

105

Wahbah al-Zuhailî juga mengutip Hadits riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Abi

Hatim meriwayatkan hadits pertama dari Ali dan Abu Darda‟ dan hadits kedua

dari „Imran bin Hushain dari Rasulullah saw, beliau bersabda :

“Barang siapa yang mengirimkan infaq di jalan Allah dan ia tinggal di

rumah (maksudnya tidak ikut berperang), maka baginya setiap satu

dirham pahalanya dilipat menjadi tujuh ratus dirham. Dan barang siapa

yang ikut berperang sekaligus berinfaq untuk keperuan peperangan itu,

maka baginya setiap satu dirham dilipatkan menjadi tujuh ratus ribu

dirham.”26

Pada ayat ini dijelaskan tentang beberapa di antara etika dan syarat agar

orang yang berinfaq berhak mendapatkan pahala seperti ini di akhirat adalah tidak

mengiringi apa yang dinafkahkan dengan sikap menyebut-nyebutnya apa yang

dinafkahkan atau diberikan tersebut serta tidak bersikap merasa lebih tinggi

derajatnya dari pada orang yang ia beri sedekah. Di samping itu, juga tidak

melakukan hal-hal yang bisa menyakiti perasaan dan menggangu si penerima

sedekah serta tidak meminta imbal jasa atas pemberiannya tersebut. Orang-orang

yang bersedekah dan tidak mengikutinya dengan sikap mengungkit-ngungkit

kembali pemberiannya tersebut serta tidak menyakiti perasaan si penerima, maka

bagi mereka pahala yang sempurna yang tidak bisa dikira-kirakan jumlahnya.

Adapun orang-orang yang kikir dan tidak mau menginfakkan sebagian hartanya

di jalan Allah maka mereka pasti akan merasa menyesal.27

Karena orang yang mengikuti apa yang disedekahkannya dengan sikap

menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima sedekah menyerupai

orang-orang yangbersedekah karena riya‟ dan sum‟ah dengan tujuan agar orang-

orang memuji dan menyanjungnya, serta agar dirinya dianggap orang yang

dermawan atau karena tujuan-tujuan dunia lainnya. Orang yang bersedekah

karena riya‟ dan sum‟ah pada hakikatnya adalah orang yang tidak beriman kepada

Allah dengan keimanan yang benar sehingga ia memilki harapan dengan

26

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 73 27

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 73

Page 121: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

106

mendapatkan pahala atau takut akan siksa. Serupa dengan orang yang bersedekah

karena riya‟ adalah orang yang bersedekah dengan mengikuti sedekahnya tersebut

dengan sikap mengungkit-ngungkit pemberiannya dan menyakiti perasaan si

penerima sedekah.28

Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk

kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan

ilmiah dan lain-lain. Ayat ini memuat penjelasan tentang perumpamaan

kemuliaan infak dijalan Allah SWT sekaligus mengandung perintah untuk

berinfak di jalan Allah SWT. Hal ini ada kalanya dengan cara membuang

mudhaaf yang dikira-kirakan keberadaannya yaitu ( ) yang artinya adalah, perumpamaan orang-orang

yang menginfakkan hartanya dijalan Allah SWT seperti biji benih. Atau dengan

cara yang lain, yaitu yang artinya,

perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah SWT

seperti seseorang yang menanam biji benih di tanah, lalu biji tersebut

menumbuhkan tujuh bulir. Di sini orang yang berseekah diserupakan dengan

orang yang menanam dan harta yang disedekahkan diserupakan dengan biji benh,

lalu Allah SWT melipatgandakan setiap sedekah sampai 700 kali lipat.29

Pada ayat ini mencakup bahwa sedekah sunnah juga sedekah wajib, karena

jalan Allah SWT banyak bentuknya. Perkataan yang menyatakan bahwa ayat ini

turun sebelum ayat yang membahas masalah zakat, sehingga ketika ayat yang

menjelaskan tentang zakat turun, maka ayat ini terhapus olehnya adalah perkataan

yang tidak bisa diterima. Karena berinfak dijalan Allah SWT tetap dianjurkan

kapan pun.30

28

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 73 29

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 74 30

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 74

Page 122: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

107

Di dalam beberapa ayat lain yang ada di dalam al-Qur‟an , Al-Qur‟an

menjelaskan bahwa satu kebaikan pahalanya dilipatkan sepuluh kali lipat,

sedangkan ayat ini menjelaskan bahwa berinfak untuk jihadsatu kebaikannya

dilipat gandakan hingga menjadi 700 kali lipat. Kemudian firman Allah SWT

yang artinya, “dan Allah SWT melipatgandakan pahaala bagi siapa saja yang

dikehendaki-Nya,” menunjukan bahwa Allah SWT melipatgandakan pahala bagi

siapa saja yang dikehendaki-Nya lebih banyak lagi dari 700 kali lipat. Hal ini

berdasarkan hadits riwayat Ibnu Umar yang telah disinggung diatas.31

Di dalam ayat ini juga mengandung pemahaman bahwa bercocok tanam

adalah pekerjaan yang paling mulia. Oleh karena itu, Allah SWT menjadikannya

sebagai bahan perumpamaan. Di dalam shahih Muslim diriwayatkan bahwa

sebagaimana Rasulullah saw bersabda,

مامن مسلم يغرس غرسا أويزرع زرعا فيأكل منه طري أوإنسان أوهبيمة إالكان له به صدقة

“Tidak ada seorang muslim yang menanam pohon atau menanam benih,

lalu sebagian tanaman tersebut dimakan burung atau manusia atau hewan

kecuali itu menjadi sedekah baaginya.”32

Wahbah al-Zuhailî juga menyebutkan riwayat dari Imam Tirmidzi yang

diriwayatkan dari sayyidah Aisyah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda, خبايا األرض التمسواالرزق يف

“Carilah rezeki didalam biji-biji yang terpendam di dalam bumi

(maksudnya adalah bercocok tanam).”33

Bercocok tanam hukumnya adalah fardhu kifayah. Oleh karena itu, seorang

imam atau pemimpin harus memaksa masyarakat untuk melakukan cocok tanam

dan menanam pohon-pohonan.34

31

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 74 32

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 74 33

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 74 34

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 74

Page 123: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

108

Berinfak di jalan Allah SWT tanpa dibarengi dengan sikap menyebut-

nyebutnya dan tanpa menyakiti perasaan orang yang menerima infak adalah sebab

ridha Allah SWT turun. Hal ini seperti yang terdapat di dalam kiah Utsman bin

Affan r.a yang menginfakkan hartanya untuk menyiapkan jaisyul „usrah. Waktu

itu, ia datang sambil membawa seribu dinar lalu ia serahkan kepada Rasulullah

saw., lalu beliau bersabda, “Tidak ada lagi dosa yang akan ditanggung Utsman

bin Affan setelah (apa yang dilakukannya) hari ini, ya Allah janganlah Engkau

melupakan hari ini untuk Utsman.”35

Ridha Tuhan dan pahala yang agung ini hanya diperuntukkan bagi orang-

orang yang berinfak dan tidak membarenginya dengan sikap mengungkit-

ungkitnya dan menyakiti perasaan orang yang menerimannya. Karena dua bentuk

sikap ini bisa menghapus pahala sedekah.36

Hal ini seperti yang difirmankan Allah

SWT dalam Surah Al-Baqarah [2]: 264 :

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu

dengan menebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima).”[QS. Al-

Baqarah/2:264]

Telah dijelaskan dalam ayat di atas hendaknya setiap orang yang bersedekah

ikhlas hanya karena Allah SWT dan mengharap pahalaa dari sedekah yang

diberikan dan tidak mengharap apa pun dari orang yang menerima sedekah. Allah

SWT berfirman dalam Surah Al-Insaan [76]: 9 :

35

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 75 36

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 75

Page 124: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

109

“(Sambil berkata), „Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu

hanyalah mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharap balasan

dan terima kasih dari kamu.”[QS. Al-Insaan/76:9]

Sebagaimana dikutip dari Wahbah al-Zuhailî dalam Tafsir Al-Munir bahwa

barang siapa yang menginginkan imbalan jasa, ucapan terima kasih dan pujan dari

sedekah yang diberikan, maka berarti ia telah berbuat riya‟ dan sum‟ah. Tentang

ayat enam dari surah al-Muddatstir yang artinya, “Dan janganlah kamu memberi

(dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak,” Ibnu Abbas r.a

berkata “Maksudnya janganlah kamu memberi suatu pemberian dengan maksud

ingin mendapat sesuatu yang lebih baik dari apa yang ia berikan.”37

Adapun kata Al-Mannu (mengungki-ungkit pemberian) termasuk salah

satu dosa besar. Yang dimaksud al-Mannu adalah menyebut-nyebut dan

mengungkit-ungkit nikmat dengan tujuan menegur orang yang pernah diberi,

seperti dengan ucapan, “Saya telah berbuat baik kepada mu dan menjadikanmu

cukup,” atau ucapan-ucapan serupa lainnya. Sebagian ulama mengatakan bahwa

yang dimaksud dengan al-Mannu membicarakan sesuatu yang pernah diberikan

hingga hal itu sampai ke telinga orang yang menerima pemberian tersebut

sehingga menyebabkan perasaan tersinggung. Dalil yang menunjukan bahwa al-

Mannu termasuk dosa besar adalah hadits yang terdapat di dalam shahih Muslim

dan yang lainnya, juga hadits yang menjelaskan bahwa orang yang bersikap

seperti ini adalah satu dari tiga orang yang Allah SWT tidak sudi memandangnya,

tidak sudi membersihkannya dan baginya siksa yang pedih.38

Imam Nasa‟i

meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah saw. Bersabda,

ثالثةالينظراهلل عزوجل إليهم يوم القيامة العاق لولديه واملرأة املرتجلة تشبه لى اخلمر بالرجال ولديوث وثالثة اليدخلون اجلنة العاق لولديه وملدمن ع

واملنان مبا أعط“Ada tiga orang, kelak di hari kiamat Allah SWT tidak sudi memandang

kepada mereka, yaitu orang yang durhaka kepada kedua orang tua,

37

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 75 38

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 75

Page 125: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

110

wanita yang bertingkah seperti laki-laki dan yang ketiga adalah orang

yang tidak memilki rasa cemburu terhadap pasangannya. Dan ada tiga

orang yang tidak masuk surga, yaitu orang yang durhaka kepada kedua

orang tua, orang yang minum khamar, dan yang ketiga orang yang selalu

menyebut-nyebut bantuan dan sedekah yang ia berikan.”39

Hadits di atas menegaskan bahwa perkataan yang baik jauh lebih baik dari

pada sedekah yang dibarengi dengan sikap mengungkit-ngungkitnya dan

menyakiti perasaan orang yang menerimanya. Ucapan yang baik adalah seperti

mendoakan, perkataan yang halus dan ramah serta mengharapkan apa yang ada di

sisi Allah SWT. Di dalam perkataan yang baik seperti ini terdapat pahala yang

akan diraih, sedangkan sedekah yang diikuti dengan sikap mengungkit-

ngungkitnya dan menyakiti perasaan orang yang menerimanya tidak akan

mendatangkan pahala sama sekali.40

Seperti Rasulullah saw bersabda,

قى أخاك بوجه طلق الكلمة الطيبة صدقة وإن من املعروف أن تل

“Perkataan yang baik adalah sedekah, dan di antara kebaikan adalah

kamu bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang ceria”. (HR.

Muslim)41

D. Tidak Menyebut-nyebut Pemberian (manna) dan Tidak Menyakiti

Perasaan si penerima (adza)

Al-Qur‟an menyebutkan pada Surah Al-Baqarah [2] ayat 264 mengenai

larangan manna dan adza, sebagaimana firman Allah SWT:

39

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 78 40

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 78 41

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 78

Page 126: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

111

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan

(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan

si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya Karena riya

kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.

Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada

tanah, Kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih

(Tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang

mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang

yang kafir.” [QS. Al-Baqarah/2: 264]

Penjelasan ayat diatas bahwasanya Allah SWT memberikan peringatan

kepada pembei sedekah bahwa janganlah kamu membatalkan sedekah kamu

dengan meyebut-nyebut dan mengganggu perasaan si penerima, yakni ganjaran

sedekah kamu. Kata ganjara tidak disebutkan dalam ayat ini untuk

mengisyaratkan, bahwa sebenarnya bukan hanya ganjaran atau hasil dari sedekah

itu yang hilang, tetapi juga sedekah yang merupakan modal pun hilang tak

berbekas. Padahal tadinya modal itu ada, dan ganjarannya seharusnya ada, namun

kini keduanya hilang lenyap.42

Secara istilah, manna adalah menceritakannya seseorang yang berbuat

kebaikan atas kebaikannya kepada orang yang diberi infaq olehnya, serta

menampakkan kelebihan dirinya atas orang yang diberi sedekah.43

Ulama lain

mengatakan manna adalah menceritakan sesuatu yang sudah diberikan sehingga

sampai orang yang diberi merasa tersakiti.44

Penjelasan maksud tema di atas janganlah kalian menghapus sedekah

kalian, Imam Malik menghukumi makruh jika seseorang memberikan sedekah

wajibnya kepada kerabat terdekatnya. Hal ini untuk menghindari agar ia tidak

meminta balas jasa dari mereka berupa pujian dan ucapan terimakasih, agar ia

tidak menampakkan kepada mereka bahwa dirinya telah berbuat baik terhadap

42

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 73 43

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 41 44

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 41

Page 127: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

112

mereka dengan pemberian dan agar sedekah yang wajib ia bayarkan tidak salah ia

gunakan dan ia manfaatkan untuk memberi pemenuhan kebutuhan mereka,

sehingga sedekah wajib yang ia keluarkan tersebut menjadi tidak ikhlas hanya

karena Allah SWT. Oleh karena itu, Imam Malik memusnahkan agar sedekah

wajib tersebut diberikan kepada orang lain yang tidak termasuk keluarga atau

kerabat dekatnya. Di samping itu, Imam Malik juga menganjurkan agar ia

menyerahkan masalah pembagian sedekah wajibnya tersebut kepada orang lain

saja, jika memang Imam atau pemimpin yang ada tidak memilki sikap adil. Semua

ini bertujuan agar sedekah wajib tersebut tidak terkotori dan terhapus pahalanya

akibat sikap al-Mannu dan al-Adzaa, keinginan dipuji dan minta imbal jasa dari

orang yang menerima sedekah.45

Hal ini berbeda dengan sedekah sunnah yang diberikan secara sembunyi,

sembunyi, karena jika pahala sedekah sunnah terhapuskan, maka orang yang

mengeluarkannya masih selamat dari ancaman, ia hanya dihukumi seperti

mengeluarkannya. Sedangkan sedekah wajib jika pahalanya terhapuskan, maka

orang yang mengeluarkannya terkena ancaman, karena berati ia dihukumi seperti

orang yang tidak meneluarkan sedekah wajibnya.46

Orang yang bersedekah dan mengiringinya dengan sikap riya adalah

seperti orang yang bersedekah karena sifat riya‟ dan munafik. Amal baik

keduanya batal, tidak memilki arti sama sekali, tidak memberi faedah apa-apa,

tidak ada keutamaan di dalamnya dan tidak memilki pengaruh yang bisa tahan

lama. Akan tetapi amal baik yang dilakukan kedua tipe ini, dampak atau

pengaruhnya akan cepat hilang dan terhapus seperti terhapusnya debu yang berada

di atas batu yang halus dan licin oleh angin dan hujan. Amal baik orang yang riya‟

baik amal baik tersebut berupaamal wajib maupun sunnah seperti shalat, puasa,

sedekah dan yang lainnya semuanya dianggap batal dan tidak memilki arti sama

sekali, karena ia melakukan semua itu tidak didasari keikhlasan karena Allah

SWT yang berhak untuk disembah, akan tetapi karena orang lain.47

45

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 73 46

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 73 47

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, h. 73

Page 128: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

113

Kedua tipe orang ini tidak akan bisa mendapatkan pahala manfaat pahal

sedekah yang mereka keluarkan, karena sedekah yang mereka keluarkan tidak

ikhlas hanya karena Allah SWT, Maka mereka telah menjadikan amal sedekah

sebagai lahan mendapatkan keuntungan duniawi, oleh karena itu di dalam ayat ini

Allah SWT mengungkapkan sedekah yang mereka keluarkan dengan kata al-

Kasbu (usaha mencari keuntungan duniawi) bukan dengan kata an-Nafaqah.48

Wahbah al-Zuhailî menafsirkan dalam kitab Tafsir al-Munirnya dalam

firman Allah SWT berisi penjelasan tentang bahwasanya “mereka tidak

menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan, ini mengandung isyarat

bahwa sikap riya‟ adalah sifat-sifat orang kafir bukan sifat-sifat orang-orang

Mukmin. Oleh karena itu, hendaknya orang-orang Mukmin menjauhi sifat-sifat

seperti ini, mereka menjaga diri dari sifat-sifat tercela ini. Karena ikhlas dan tulus

hanya karena Allah SWT semata termasuk ciri-ciri keimanan.49

Allah SWT

berfirman di dalam Surah Al-Bayyinah/98: 5

“Padahal mereka hanya diperintahkan menyembah Allah dengan ikhlas

menaati-Nya”. [QS. Al-Bayyinah/98: 5]

Secara psikologis , Islam menghendaki agar infaq yang diberikan menjadi

pelipur lara hati si fakir. Agar dapat mempererat hubungan antara si kaya sebagai

saudaranya sesama Muslim dan sesama manusia. Agar menutup celah yang ada di

tubuh masyarakat secara keseluruhan, sehingga berfungsi sebagai jaminan sosial

dan media untuk saling membantu, untuk meningkatkan masyarakat akan

kesatuan, kesatuan arah dan kesatuan beban tanggung jawab.50

48

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, h. 73 49

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, h. 73 50

Faishal Ali al-Ba‟dani, Agar sedekah Anda Tak Sia-sia, (Solo: Zazam, 2010), h. 123

Page 129: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

114

E. Sifat dan bentuk harta yang diinfaqkan haruslah harta yang bagus

Terkait dengan infaq harus dari sesuatu yang baik dan halal, sebagaimana

Allah SWT berfiman dalam Surah Al-Baqarah [2]: 2267,

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian

dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami

keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang

buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri

tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata

terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha

Terpuji.” [QS. Al-Baqarah/2: 267]

Tema ayat ini adalah kewajiban memilih harta yang baik ketika hendak

berinfak di jalan Allah SWT, baik infak tersebut berupa zakat wajib maupun

sedekah sunnah. Karena tujuannya adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT

dan menabung pahala dengan beramal baik. Tujuan ini tidak bisa diraih kecuali

jika harta yang diinfakan adalah harta yang baik pula.51

Ayat ini ditujukan kepada seluruh umat Muhammad saw.. Para ulama

berbeda pendapat tentang yang dimaksud infak didalam ayat ini. Ali bin Abi

Thalib r.a. Ubaidah as-Salmani dan Ibnu Sirin berpendapat bahwa yang

dimaksud infak di sini adalah zakat wajib. Jadi, ayat ini melarang seseorang

mengeluarkan zakat wajib dengan harta yang jelek.52

Wahbah al-Zuhailî juga menukil riwayat dari Al-Barra‟ bin „Azib, Hasan

al-Bashri dan Qatadah ia berpendapat bahwa infak yang dimaksud dalam ayat ini

adalah sedekah sunnah. Jadi, ayat ini menganjurkan seseorang agar jika

51

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 87 52

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 88

Page 130: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

115

bersedekah, maka hendaknya sesuatu yang akan disedekahkan itu adalah sesuatu

yang bagus.53

Namun, secara zhahir ayat ini bersifat umum mencakup zakat wajib dan

sedekah sunnah. Hanya saja kalau di dalam zakat, perintah yang ada bersifat

wajib dan jumlah yang dikeluarkan pun sesuai dengan ukuran yang telah

ditentukan. Sedangkan jika sedekah sunnah, maka perintahnya bersifat sunnah

dan jumlah yang dikeluarkan tidak terikat dengan ukuran atau batasan

tertentu,boleh banyak boleh sedikit tetapi yang penting sesuatu yang

disedekahkan adalah sesuatu yang baik. Dalam hal ini, yang dimaksud bukanlah

harta yang terbaik atau istimewa, akan tetapi batas minimal yang dituntut adalah

yang sedang. Namun, jika ingin mengeluarkan yang istimewa, tentu lebih utama.

Hal ini seperti yang ditetapkan oleh para ulama fiqih dalam bab zakat.54

Ayat ini juga mengandung isyarat bahwa boleh bagi orang tua ikut

menikmati hasil kerja anaknya. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Rasulullah

saw.berikut,

ئا أوالدكم من طيب أكسابكم فكلوا من أموال أوالدكم هني

“Anak-anak kalian adalah hasil yang baik dari usaha dan kerja kalian,

maka makanlah kalian dari harta anak-anak kalian dengan enak.”55

Wahbah al-Zuhailî juga mengemukakan riwayat dari Imam Abu Hanifah

yang menjadikan ayat, sebagai dasar atau dalil wajibnya zakat sepersepuluh

dari hasil pertanian yang disirami dengan air hujan, sedangkan jika disirami

dengan air sumur atau yang lainnya yang membutuhkan biaya, maka zakat

yang wajib dikeluarkan adalah separuh dari sepersepuluh, baik hasil pertanian

tersebut banyak maupun sedikit tanpa harus terikat dengan syarat mencapai

nishab dan tidak hanya terbatas pada bentuk atau jenis pertanian bahan

makanan pokok tertentu saja. Oleh karena itu, menurut Imam Abu Hanifah,

53

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 88 54

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 88 55

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzaz dengan teks seperti berikut اوالدكم من هبة هللا لكم

فككلى من كسبهم

Page 131: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

116

semua bentuk hasil pertanian wajib dizakati. Pendapat ini dikuatkan dengan

sabda Rasulullah saw. berikut,56

فيما سقت السماء ففيه العشر وفيما سقي بنضح أودالية نصف العشر “Hasil pertanian yang disirami dengan air hujan adalah sepersepuluh,

ssedangkan hasil pertanian yang disirami dengan air an-Nadhhu (unta

yang digunakan untuk menyiram) atau daaliyah57

maka zakatnya adalah

separuh dari sepersepuluh.”

Para jumhur ulama sepakat memberikan jawaban terhadap pendapat Abu

Hanifah ini bahwa apa yang diutarakan Abu Hanifah ini tidak ada kaitannya

dengan ayat ini. Karena ayat ini menjlaskan tentang objek zakat ukan

menjelaskan tentang nishab atau kadar zakat. Di dalam sebuah hadits

Rasulullah saw. Telah menjelaskan tentang nishab zakat. Hadits ini seperti di

riwayatkan oleh Ibnu Majjah,

وليس فيمادون مخس أواق من الورقة دون مخس ذود صدقةفيماليس ر صدقة صدقة وليس فيما دون مخسة أوساق من التم

“Tidak ada sedekah (zakat) di dalam hewan unta yang kurang dari lima

eor, tidak ada zakat di dalam harta yang kurang dari uqiyyah (40 dirham)

dan tidak ada zakat di dalam hasil pertanian dari kurma yang kurang dari

lima wasaq.”58

Dari penjelasan hadits di atas Masih ada beberapa dalil lainnya yang

dimiliki oleh kedua belah pihak. Jika diperhatikan, maka bis dilihat bahwa

biasanya atau kebanyakan ayat-ayat yang menjelaskan tentang infak dan

sedekah diakhiri dengan kata, واهلل واسع عليم atau ( واهلل غين محيد ). Hal ini

menjelaskan kepada kita bahwa berinfak atau bersedekah adalah dengan

sebagian dari rezeki yang dikaruniakan Allah SWT kepada para hamba,

bahwa Allah SWT akan memberi balasan kepada mereka atas sedekah

56

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 89 57

Ad Daaliyah adalah timba yang diputar oleh sapi atau unta yang hewan yang lainnya

dan kincir yang diputar dengan tenaga air. Hadits ini diriwayatkan oleh para ulama hadits dari Ibnu

Umar kecuali Imam Muslim 58

Adz Dzaud adalah unta antara tiga sampai sepuluh ekor

Page 132: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

117

tersebut dan melipatgandakannya hingga berlipat-lipat serta akan memberi

ganti kepada orang yang berinfaq. Karena Allah SWT Dzat Yang Maha luas

karunia, rahmat dan pemberian-Nya. hl ini juga menjelaskan kepada kita

bahwa tujuan dari perintah berinfak adalah untuk menguji manusia. Allah

SWT tidak memerintahkan kepada mereka untuk bersedekah ketika sedang

dalam keadaan miskin, akan tetapi mereka diperintah untuk bersedekah ketika

sedang dalam keadaan luas dan kecukupan. Setiap orang dibebani sesuai

dengan kadar kemampuannya berinfak. Allah SWT Dzat Yang Maha Terpuji

dalam segala hal dan atas segala nikmaat yang telah dikaruniakan-Nya. puji

syukur kepada Allah SWT menuntut seseorang harus ingat kepada orang

yang sedang membutuhkan bantuan, menghibur dan membantu orang-orang

miskin. Dan diantara dalil yang mendorong seseorang untuk gemar

bersedekah adalah bahwa tangan yang diatas (orang yang bersedekah) lebih

utama dari pada tangan yang di bawah (orang yang menerima sedekah).59

Allah SWT juga memerintahkan lewat ayat ini agar pemberian sadaqah

memilih yang baik-baik dari apa yang akan dinafkahkannya, walaupun tidak

harus semuanya baik tetapi jangan sampai dengan sengaja memilih yang

buruk-buruk untuk dinafkahkan. Yang dilarang oleh ayat di atas adalah yang

dengan sengaja mengumpulkan yang buruk-buruk kemudian

mensadaqahkannya.60

Pada akhir ayat ini mengingatkan bahwa Allah Maha Kaya. Allah tidak

butuh kepada sadaqah, peritahnya kepada manusia agar memberi nafkah

kepada yang butuh bukan bearti Allah SWT tidak mampu memberinya secara

langsung melainkan untuk kemaslahatan si pemberi.61

59

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 89 60

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 1, h. 577 61

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016), Jilid 2, Juz 3&4, h. 90

Page 133: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

118

F. Hilangnya Pahala Berderma dari menghalangi jalan Allah

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menginfakkan harta mereka

untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan (terus)

menginfakkan harta itu, kemudian mereka akan menyesal sendiri, dan

akhirnya mereka akan dikalahkan. Ke dalam neraka Jahannamlah orang-

orang kafir itu akan dikumpulkan. [QS. Al-„Anfâl/8: 36]

Pada ayat ini Bahwasanya Allah dan Rasul-Nya menegaskan tentang harta

mereka yang digunakan dengan tujuan untuk menghalangi manusia dari

mengikuti Muhammad SAW yang merupakan jalan Allah SWT, Ketika mereka

membelanjakan harta mereka, akibat dari pembelanjaan harta yang mereka

gunakan untuk memerangi Nabi SAW. Dan menghalangi manusia dari jalannya

itu pada akhirnya adalah penyesalan dan kerugian. Seolah-olah zat harta itu

berubah menjadi penyesalan. Artinya harta itu tidak mewujudkan apa yang

mereka inginkan. Bahkan, harta itu berdampak sebaliknya, yaitu penyesalan dan

kerugian.62

“Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu dia membolak-balikan kedua

telapak tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang telah dia

belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur roboh bersama penyangganya

(para-para) lalu dia berkata, “Betapa sekiranya dahulu aku tidak

mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun”. [QS. Al-Kahf/18: 42]

Pada ayat ini bahwasanya Allah menegaskan kepada manusia hal-hal yang

bisa menyebabkan menjadi sia-sia dan lenyap di jalan setan, tidak membawa

kepada kemenangan, bahkan sebaliknya berdampak pada kekalahan. Mereka

62

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 293

Page 134: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

119

kalah dan merugi. sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Mujâdila [58]:

21,

“Allah SWT menetapkan, “Sungguh Aku kalahkan (mereka), Aku dan

rasul-rasul Ku”. [QS. Al-Mujâdila/58: 21]

Demikianlah Inilah azab untuk mereka di dunia, kehilangan harta dan

kekalahan. Sementara itu, azab mereka di akhirat yaitu akan digiring ke neraka

Jahannam kalau mereka terus berada dalam kekafiran, dan mati dalam kekafiran,

karena di antara mereka ada juga yang masuk Islam dan baik Islamnya.63

Adapun kaum Muslimin, kalau mereka membelanjakan harta mereka di

jalan Allah yang akan dicapai boleh jadi kemenangan di dunia atau pahala di

akhirat dan boleh jadi kedua-duanya sekaligus, yaitu kebahagiaan di dua kampun

tersebut. Allah SWT telah menetapkan kemenangan untuk orang-orang beriman

dan kekalahan untuk orang-orang kafir, kehilangan harta, rasa penyesalan, dan

kepedihan dalam hati mereka untuk Allah bedakan antara kelompok yang buruk

dengan kelompok yang baik, artinya antara orang kafir dan orang beriman.64

Dalam konteks ayat diatas Allah SWT bedakan antara orang-orang

bahagia dengan orang-orang celaka lalu Dia jadikan sebagiannya menumpuk-

numpuk di atas yang lain di neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang

merugi dunia dan akhirat.65

Ayat-ayat tersebut menjelaskan beberapa hal penjelasan di antaranya:

Pertama, orang-orang kafir tidak akan mendapat apa-apa dari harta yang

mereka belanjakn untuk menghalangi orang dari jalan Allah. Artinya,

menghalangi umat manusia dari dakwah islam, kecuali penyesalan dan kerugian

63

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 293 64

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 293 65

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 293

Page 135: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

120

di dunia dan adzab yang keras di akhirat. Ini artinya larangan yang keras untuk

melakukan belanja seperti itu.66

Kedua, sesungguhnya kemenangan hanya untuk orang-orang yang

beriman, sementara kekalahan dan kehinaan itu adalah untuk orang-orang kafir.

Orang-orang kafir di hari kiamat nanti akan di giring dalam konisi hina dan

rendah ke neraka jahannam dan itulah tempat kembali yang paling buruk.67

Ketiga, sesungguhnya pemberian kemenangan untuk orang-orang kafir

dan mendatangkan kekalahan kepada orang-orang kafir tujuannya adalah

membedakan kelompok yang jahat dari kalangan kafir dengan kelompok yang

baik dari kalangan orang-orang beriman lalu di jadikan kelompok yang jahat itu

sebagian diatas yang lain di neraka jahannam kemudian ditumpuknya semua. Jadi,

firman Allah, ( ) sehingga maknanya adalah mereka dikumpulkan

untuk Allah SWT bedakan antara kelompok yang jahat dengan kelompok yang

baik.68

66

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 293 67

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 293 68

Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

(Jakarta: Gema Insani, 2016). Jilid 5, h. 294

Page 136: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

121

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Infaq merupakan salah satu dari ibadah. Infaq merupakan konsep yang

diberikan Allah SWT lewat al-Qur’an kepada setiap hamba-Nya. Adanya

keharusan bagi umat Islam untuk memberikan infaq yang bertujuan untuk

mengurangi tingakat kemiskinan di masyarakat, terciptanya keseimbangan dan

keharmonisan antara orang yang kaya dengan orang yang miskin. Karena pada

hakikatnya harta yang dimiliki oleh seseorang itu bukanlah milik hakiki seutuhnya

seseorang itu, melainkan hanya titipan yang pada saatnya nanti akan

dipertanyakan dan dipertanggungjawabkan dari mana harta itu diperoleh sampai

kepada digunakan untuk apa saja harta yang dimiliki tersebut.

Menurut Al-Raghib Al-Asfahâni (w. 502 H/1108 M), ahli leksikografi,

kata infaq berasal dari kata nafaqa نفق yang berati sesuatu yang telah berlalu

atau habis, baik dengan sebab dijual, dirusak atau karena meninggal. Selain itu,

kata infaq terkadang berkaitan dengan harta atau yang lainnya, dan terkadang

berkaitan dengan sesuatu yang dilakukan secara wajib atau sunnah.

Fokus penelitian ini adalah tentang infaq yang tidak hanya digunakan

untuk menyangkut yang wajib. Tetapi menyangkut segala macam pengeluaran.

Bahkan kata itu digunakan untuk pengeluaran yang tidak ikhlas sekali pun.

Contohnya: dalam Surah Al-Baqarah/2: 262, dan 265, Surah Al-‘Anfâl/8: 36, dan

Surah At-Tawbah/9: 54. Maka jikalau demikian adanya, maka zakat dan sadaqah

termasuk dalam kategori infaq. Dalam penggunaan sehari-hari zakat digunakan

khusus untuk pengeluaran harta yang sifatnya wajib. Sadaqah digunakan untuk

pengeluaran harta yang sifatnya sunnah. Sementara itu, infaq mencakup segala

pengeluaran atau bukan harta, yang wajib atau bukan, ikhlas atau dengan pamrih.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research)

dengan menggunakan metode mawdû’i atau tematik. Dengan mengggunakan

metode tersebut, terdapat beberapa hal yang ditemukan dalam al-Qur’an yang

menyebutkan makna infaq dan segala aspeknya seperti : Objek penerima infaq

Page 137: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

122

QS. Al-Baqarah [2]: 215, Perumpamaan orang yang berinfaq ikhlas karena Allah

QS. Al-Baqarah [2]: 254, Balasan orang yang berinfaq karena Allah QS. Al-

Baqarah [2]: 261-262, Larangan menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan si

penerima infaq, Sifat dan Bentuk harta yang diinfakkan haruslah harta yang bagus

Al-Baaqarah [2]: 267.

B. Saran

Al-Qur’an sebagai kitab pedoman bagi umat Islam telah memberikan

pelajaran tentang infaq. Maka semestinya pemberi infaq harus memperhatikan

hal-hal penting yang harus dilakukan dan yang harus ditinggalkan dalam

pelaksanaannya. Sehingga tujuan yang hendak dicapai dari infaq betul-betul bisa

dicapai yang pada akhirnya akan tercipta keharmonisan antara orang kaya dan

miskin.

Kajian ini dianggap terlalu global secara meluas dalam pembahasannya.

Oleh karenanya bagi peneliti yang ingin meneliti tentang permasalahan infaq agar

penelitiannya lebih sempurna, maka perlu ada penelitian lebih lanjut tentang

infaq. Dengan melihat fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat serta

pemahaman masyarakat tentang manfaat dari infaq yang memotifasi mereka

dalam pengalamannya. Kemudian dikaitkan juga dengan hadits-hadits yang

menguatkan pembahasan tentang infaq. Penulis percaya bahwa dialektika

intelektual tidak akan pernah berhenti selama manusia masih ada di muka bumi

ini. Satu pemikiran akan dinegasikan oleh pemikiran yang kedua, pemikiran yang

kedua akan dinegasikan oleh pemikiran yang ketiga dan begitu seterusnya hingga

akan muncul sintesa dari seluruh pemikiran yang saling menegasi. Penulis

percaya itulah pergulatan peradaban manusia sebenarnya.

Page 138: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

123

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Jabbar, Al-Qodhi. “Syarah Ushulul Khamsah”. Maktabah Wahbah: Kairo,

1965.

Alhafidz, Akhsin W. Kamus Fiqih. Jakarta: AMZAH, 2013.

Al-Asfahâni, Al-Raghib. Al-Mufrodât Fî Ghorîb al-Qur‟ân, T. Tp: Maktabah

Nazar Mustafa al-Baz, t.t.

Beni. “Sedekah dalam Perspektif Hadits”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN

Sunan Kalijaga, 2014.

Dahlan, Aziz Abdul. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

1996.

Al-Farmawî, Abd al-Hayy. Metode Tafsir Mawdû„î. Penerjemah: Rosihin Anwar.

Bandung: CV Pustaka Setia, 2002.

Hadhiri, Choiruddin. Klasifikasi Kandungan Al-Qur‟an, Jilid 1. Depok: Gema

Insani, 2005.

Hasan, Abd Kholiq, Tafsir Ibadah. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008.

Hidayatullah. “Infaq dan Zakat Dalam al-Qur‟an (Kajian Tafsir Tematik)”.

Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2000.

Indonesia, Universitas Islam. Al-Qur‟an dan Tafsirnya. Yogyakarta: Dana

Bhakti Wakaf, 1990.

Kaltsum, Ummu Lilik & Abd. Moqsith Ghazali. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam. Ciputat:

UIN Press, 2015.

Kilmah, Tim Baitul Ensiklopedia Pengetahuan Al-Qur‟an dan Hadits. Jakarta:

Kamil Pustaka, 2013.

Matin, Abdul. Wawancara, Lamongan, 2018.

Meidy, Anisa. Potret Kemiskinan. Tim Liputan 6 SCTV, Artikel diakses pada 10

Mei 2011 dari http://berita.liputan6.com/ibukota/201001/26131/Nurjana.

Mujieb, M. Abdul Mabruri Tholhah dan Syafi‟ah A. M, KAMUS ISTILAH FIQIH

Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Page 139: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

124

Al-Munziri, Zaki al-Dîn „Abd al-„Azim. Ringkasan Shahih Muslim. Penerjemah:

Syinqity Djamaluddin dan H. M. Mochtar Zoerni. Bandung: Mizan

Pustaka, 2013.

Permadanih, Dudih. “Zakat dan Peranannya bagi kaum Dhu‟afa”. Skripsi S1

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

2013.

Purwoko, B. Saktiyono. Psikologi Islami: Teori dan Penelitian. Bandung:

Saktiyono Wordpress, 2012.

Qolay, Hamin Hasan, Indeks Terjemahan al-Qur‟anul Karim, Jakarta: PT Inline

Raya, 1997.

Ratnasari, Mardiah. “Konsep Sedekah dalam Perspektif Pendidikan Islam”.

Skripsi S1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2013.

Sayyid Muhammad Ali Ayazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manahajuhum.

Teheran: Wizarah al-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islam, 1993.

Shihab, M. Quraish (ed). Ensiklopedia al-Qur‟an. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur‟an. Mizan: 1999.

Shihab, M. Quraish. Menjawab ? 1001 soal keislaman yang patut diketahui,

Jakarta: Lentera Hati, 2008.

Shodr, Baqir. Pedoman Tafsir Modern. Penerjemah: Hidayaturrahman. Jakarta:

Risakah Masa, 1992.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2012.

Sukandarumidi. Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.

Syibromalisi, Ali Faizah & Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik

Modern”. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2011.

Tim Depag RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI, 2006.

Al-Zuhailî, Wahbah. Tafsir al-Munir fi al‟Aqidah wa asy-Syari‟ah wa al-Manhaj.

Al-Zuhailî, Wahbah. Tafsir Al-Munir. Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,

Jakarta: Gema Insani, 2016.

Page 140: PENAFSIRAN WAHBAH AL ZUHAILÎ TENTANG INFAQrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44055/2/FAWA IDUL... · pada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

125

Al-Zuhailî, Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Madzhab. Bandung: Remaja Rosma

Karya, 1995.

Jurnal

Uyun, Qurratul. “Zakat, Infaq, Sadaqah, dan Wakaf Sebagai Konfigurasi

Filantropi Islam” 17, no. 01 (Januari 2015): h. 17-32.

Website

Kemdikbud. Arti Kata Infaq Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBI) Online.

Artikel diakses pada 27 September 2018 dari

https://kbbi.web.id/nikmat.html.

Meidy, Anisa. Potret Kemiskinan. Tim Liputan 6 SCTV, Artikel diakses pada 10

Mei 2011 dari http://berita.liputan6.com/ibukota/201001/26131/Nurjana.

“Pengertian Anak Yatim dan Kedudukannya Dalam Islam”. Diakses pada tanggal

6 Agustus 2011 dari http://alikhlaskebonduren.wordpress.com.

“Mengupas 8 Golongan Penerima Zakat”. Diakses pada tanggal 11 Agustus 2011

dari http://www.Pengusahamuslim.com.