PEMODELAN PENCEMARAN SO 2 DAN CO AKIBAT INDUSTRI...
Transcript of PEMODELAN PENCEMARAN SO 2 DAN CO AKIBAT INDUSTRI...
PEMODELAN PENCEMARAN SO2 DAN CO AKIBAT
INDUSTRI PLTD TELLO DI MAKASSAR
MODELLING OF SO2 AND CO POLLUTION FROM
PLTD TELLO IN MAKASSAR
DARWIN SAFIU
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
PEMODELAN PENCEMARAN SO2 DAN CO AKIBAT
INDUSTRI PLTD TELLO DI MAKASSAR
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Kesehatan Masyarakat
Disusun dan diajukan Oleh
Darwin Safiu
Kepada
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertandatangan di bawah ini
Nama : DARWIN SAFIU
Nomor mahasiswa : P1801215005
Program studi : KESEHATAN MASYARAKAT
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau
pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa
sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima
sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, Februari 2018 Yang menyatakan
Darwin Safiu
i
PRAKATA
Puji syukur penulis haturkan kepada Sang Penguasa Jagad Raya
Allah SWR atas segala rahmat, hidayah, petunjuk, kesehatan dan segala
nikmat_Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis sehingga
penyusunan tesis yang berjudul “Pemodelan Pencemaran SO2 dan CO
Akibat Aktivitas Industri PLTD Tello di Makassar” dapat terselesaikan.
Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada kekasih Allah SWT
yaitu Sayyidina wa Maulana Muhammad SAW beserta ahlulbaitnya,
sahabat dan orang-orang yang senantiasa istiqoamah berada di jalan
siroatoalmustaqim_Nya Allah SWT hingga akhir zaman.
Keberhasilan penyusunan tesis ini menjadi tanda berakhirnya suatu
perjuangan penuh nilai dan makna dalam menimba ilmu di jurusan
Kesehatan Lingkungn Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan
Masyarakat (FKM) Universitas Hasanuddin Makassar, yang selanjutnya
menjadi titik awal bagi penulis untuk dapat senantiasa berkontribusi dan
memberi manfaat bagi Keluarga, Daerah, Bangsa, Negara dan Agama
serta pengabdian penulis setulus-tulus sepenuhi hati untuk Allah SWT.
Ada banyak hambatan dan tantangan yang penulis hadapi dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini namun berkat kekuatan dari Sang Maha
Kuat penulis diberi kesabaran, keikhlasan, petunjuk dan dukungan baik
materi dan non materi terutama doa dari kedua orang tua penulis, dan
pada akhirnya tesis ini dapat terselesaikan. Oleh sebab itu, dengan segala
kerendaha hati, penghargaan dan rasa hormat penulis dalam kesempatan
ii
ini menyampaikan syukur dan terima kasih atas segala pertolongan,
bantuan, bimbingan dan motivasi kepada :
1. Syukur kepada Pembimbing Utama saya yaitu Allah SWT dan
Shalawat serta salam kepada Sayyidina Muhammad SAW
2. Bapak Anwar Mallongi, SKM.,M.Sc.,PhD selaku pembibing I dan
Ibu Dr. Hasnawati Amqam, SKM.,M.Sc selaku pembibing II yang
telah meluangkan banyak waktunya untuk memberi arahan dan
masukan kepada penulis sejak penyusunan proposal hingga
penyelesaian tesis ini
3. Bapak dr. Ahmad Faisal, ST., M.si, Bapak Ansariadi, SKM,
MPH,PhD dan Bapak dr. Hasanuddin Ishak, M.Sc.,PhD selaku tim
penilai yang telah banyak memberikan kritik dan saran guna
perbaikan serta penyempurnaan penulisan tesis ini.
4. Bapak Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli, M.Kes selaku Dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Wakil Dekan,
Dosen dan seluruh staf yang telah memberikan dukungan dan
bantuan kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
5. Bapak Dr. Ridwan M. Thaha.,M.Sc selaku ketua Program Studi
Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin.
6. Bapak Prof. Dr. Anwar Daud, SKM.,M.Kes selaku ketua konsentrasi
Kesehatan Lingkungan Pascasarjana FKM UNHAS beserta staf (K’
iii
Tika tersayang dan Pak Rahman terkasih) yang telah memberikan
bantuan dan dukungan dalam bidang akademik.
7. Bapak Fahaudin Yogi Amibowo selaku Manajer PT. PLN (Persero)
Wilayah SULSEL, SULTRA DAN SULBAR Sektor Pembangkit Tello
dan Pak Sanu selaku Kepala Lingkungan dan K3 PLN Sektor Tello
8. Bapak Kepala Bada Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Sulawesi
Selatan dan Kota Makassar, Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota
Makassar yang telah memberikan izin dan data-data yang
diperlukan penulis dalam melakukan penelitian.
9. Ayahanda Dr. Muhammad Hatta dan Istri serta keluarga beliau
yang semoga selalu dalam lindungan dan ridho Allah SWT yang
telah menerima dan membimbing penulis selama proses penulisan
tesis ini.
10. Saudara-saudara ku (Iwan, Ardian, Mahmuddin, Calu dan Fitri) atas
semua dukungan dan doanya.
11. Saudara-saudari seperjuangan di konsentrasi Kesehatan
Lingkungan Pascasarjana yang senantiasa telah memberikan
banyak pelajan hidup dan cerita serta kenangan terindah dalam
rangkaian perjalan menuju Magister Kesehatan.
12. Serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan namanya,
yang telah banyak memberikan bantuan dan doanya selama
penulis menempuh pendidikan.
iv
Jazakaullah wa jazakillah (semoga Allah SWT membalas kebaikan
kalian semua). Akhirnya, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati
penulis mempersembahkan tesis ini kepada Ayahanda tersayang Raja
Safiu dan Ibunda tercinta Ratu Wiyah yang dengan penuh kasih sayang
membesarkan dan medidik penulis dengan pengorbanan yang sungguh
tak ternilai harganya, orang tua selaku perwakilan Allah dan Rasulullah di
bumi ini yang telah menjadi guru terbaik dalam penulis menjalani
kehidupan. Terima kasih atas segala doa, perhatian, kasih sayang,
dorongan moral dan materi serta segala nasehatanya yang senantiasa
mengiringi perjalanan penulis dalam menimba ilmu Allah SWT.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan yang diharapkan baik dari segi penyajian materi maupun
dari segi penulisan. Oleh karena itu, penulis denga segala kerendahan
hati menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi lebih
mendekati kesempurnaan penulisan berikutnya.
Alhamdulillahiroabbil Aalamin Asalatu wa salamu ala Rosulullah Sayydia
Muhammad SAW Wa Sallamu Alaikum wa Roahmatullahi wa Barakatuh.
v
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA .......................................................................................
ABSTRAK .......................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................... i
DAFTAR TABEL ............................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 10
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 11
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 12
E. Ruang Lingkup ...................................................................... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Sulfur Dioksida (SO2) ............................................................ 14
B. Karbon Monoksida (CO) ...................................................... 21
C. Distribusi SO2 dan CO di Lingkungan ................................... 27
D. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ............................ 36
E. Model Sistem Dinamis........................................................... 43
F. Model Dispersi Gaussian ...................................................... 50
G. Pola Spasial Pencemaran Udara .......................................... 55
H. Penelitian Terdahulu ............................................................. 56
I. Daftar Penelitian .................................................................... 58
vi
J. Kerangka Teori ...................................................................... 62
K. Kerangka Konsep .................................................................. 64
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Peneltian ................................................... 66
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 66
C. Populasi dan Sampel ............................................................ 67
D. Metode Pengumpulan Data ................................................... 67
E. Instrument Penelitian ............................................................. 75
F. Black Box .............................................................................. 76
G. Diagram Alir Model ............................................................... 78
H. Alur Penelitian ....................................................................... 80
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ...................................................................... 81
B. Pembahasan ......................................................................... 116
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ........................................................................... 135
B. Saran..................................................................................... 137
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 139
LAMPIRAN ...................................................................................... 148
vii
DAFTAR TABEL
Nomor halaman
1. Pengaruh Gas SO2 Terhadap Manusia ................................ 21
2. Klasifikasi Stabilitas Atmosfer .............................................. 55
3. Daftar Penelitian Tentang Pemodelan Kualitas Udara ......... 58
4. Variabel dan Definisi Operasional ........................................ 65
5. Koefisien Dispersi Gauss ..................................................... 68
6. Rata-rata Kecepatan Angin Bulanan .................................... 84
7. Arah Angin Dominan ............................................................ 85
8. Lokasi Koordinat Cerobong .................................................. 97
9. Hasil Pengukuran Emisi Cerobong ...................................... 98
10. Parameter Meteorologi ......................................................... 99
11. Estimasi Kecepatan Angin ................................................... 109
12. Estimasi Konsentrasi Emisi SO2 dan CO ............................. 114
viii
DAFTAR GAMBAR
Nomor halaman
1. Lapse rate ............................................................................ 32
2. Logistic S-curve .................................................................... 47
3. Model Guassian ................................................................... 52
4. Kerangka Teori ...................................................................... 62
5. Kerangka Konsep ................................................................. 64
6. Black Box ............................................................................. 76
7. Cuasal Loop Diagram........................................................... 78
8. Diagram Alir Model ............................................................... 79
9. Alur Penelitian ...................................................................... 80
10. Rata-rata Curah Hujan ......................................................... 82
11. Kelembaban Udara di Kota Makassar .................................. 83
12. Bunga Angin (wind rose) ...................................................... 85
13. Wilayah Dominan Penerima Emisi ....................................... 86
14. Suhu Udara Rata-rata .......................................................... 87
15. Suhu Rata-rata Udara Ambien di Sekitar Cerobong ............ 100
16. Model Sebaran Total Konsentrasi Emisi SO2 ....................... 102
17. Model Sebaran Total Konsentrasi Emisi CO ........................ 103
18. Estimasi Konsentrasi Emisi SO2 .......................................... 105
19. Estimasi Konsentrasi Emisi CO ............................................ 106
20. Peningkatan Konsentrasi Emisi SO2 dan CO ....................... 108
21. Wilayah Dampak Pencemaran Udara .................................. 112
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor halaman
1. Laporan emisi cerobong PLTD Tello .................................... 149
2. Data BMKG Kota Makassar ................................................. 186
3. Surat Izin Penelitian ............................................................. 187
4. Formula Model Stella 5.0 ..................................................... 188
5. Tabel total konsentrasi emisi SO2 dan CO PLTD Tello
tahun 2012-2016 .................................................................. 192
6. Tabel konsentrasi emisi SO2 PLTD Tello di semua titik lokasi
Aspol Tello satu tahun akan datang (2018) ......................... 193
7. Tabel konsentrasi emisi SO2 PLTD Tello di semua titik lokasi
Panaikang satu tahun akan datang (2018) .......................... 194
8. Tabel konsentrasi emisi SO2 PLTD Tello di semua titik lokasi
Pampang satu tahun akan datang (2018) ........................... 195
9. Tabel konsentrasi emisi SO2 PLTD Tello di semua titik lokasi
Rappokalling satu tahun akan datang (2018) ...................... 196
10. Tabel konsentrasi emisi CO PLTD Tello di semua titik lokasi
Aspol Tello satu tahun akan datang (2018) ......................... 197
11. Tabel konsentrasi emisi CO PLTD Tello di semua titik lokasi
Panaikang satu tahun akan datang (2018) .......................... 198
12. Tabel konsentrasi emisi CO PLTD Tello di semua titik lokasi
Pampang satu tahun akan datang (2018) .......................... 199
13. Tabel konsentrasi emisi CO PLTD Tello di semua titik lokasi
Rappokalling satu tahun akan datang (2018) ...................... 200
14. Dokumentasi Penelitian........................................................ 201
x
DAFTAR ARTI SINGKATAN
Singkatan Arti dan Keterangan
SO2 Sulfur Dioksida
CO Karbon Monoksida
Stella Stuctrual Thinking Experimental
Learning Laboratory with Animation
WHO World Health Organisation
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sastrawijaya (2009) menyatakan bahwa SO2 merupakan gas jernih
tak berwarna dan kadarnya sampai 18%. Gas ini baunya menyengat dan
sangat membahayakan bagi manusia. Konsentrasi polusi udara di daerah
perkotaan memiliki hubungan yang erat dengan faktor
meteorologi.Konsentrasi SO2 dapat dipengaruhi oleh faktor meteorologi
seperti suhu, kelembaban relatif, kecepatan angin, radiasi matahari, dan
tekanan (Hosseiniebalam, Fahimeh & Ghaffarpasand Omid. 2014).
Dari hasil pengamatan pada pembangkit listrik di dekat Isfahan Irak,
ditemukan efek signifikan dari konsentrasi SO2. Pola angin Isfahan yang
berada di barat selama musim panas dan musim gugur, merupakan faktor
penting yang memepengaruhi variasi konsentrasi SO2 (Hosseiniebalam,
Fahimeh & Ghaffarpasand Omid. 2014).di Timisoara Rumania,
pemantauan di tiga stasiun terhadap konsentrasi SO2 selama delapan
bulan (November 2015-Juni 2016) menunjukkan bahwa konstentrasi SO2
malampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Distribusi polutan
sangat dipengaruhi oleh kestabilan relatif atmosfer di negara tersebut
(Barbulescu Alina and Barbes Lucica, 2017).
Di distrik Peace River di Northeastern British Columbia Kanada,
ditemukan konsentrasi ambient sulfur dioksida (SO2) yang cukup tinggi.
Emisi kegiatan industri yang berinteraksi dengan meteorologi dan
2
topografi, menghasilkan variasi dispersi atmosfir yang dapat meningkatkan
konsentrasi polusi udara (Nazrul Islam, S.M., Peter L. Jackson.,
AherneJulian, 2016). Hasil pemantauan di Korea untuk periode 1997-
2010, tingkat konsentrasi SO2 relatif menunjukkan peningkatan selama
musim dingin karena efek gabungan dari pemanasan domestik dan
kondisi meteorologi. Emisi SO2 dipengaruhi oleh pembakaran bahan bakar
fosil yang tidak sempurnah (Ray, Sharmila and Kim, Ki-Hyiun, 2014).
Begitupula hasil penelitian yang dilakukan di Jerman, bahwa salah satu
penyumbang sulfur dioksida (SO2) terbesar berasal dari pembangkit listik
(Alrafea,2016).
Dari hasil perhitungan emisi udara di Jawa Tengah pada 2005
memperlihatkan emisi SO2 dari sektor industri sebersar 32% menunjukkan
nilai tertinggi dibandingkan dengan emisi di sektor lainnya. Kemudian dari
hasil kegiatan pemantauan kualitas udara ambient oleh BPLH Kota
bandung kurun waktu 2001-2003 menunjukkan bahwa nilai SO2 dari
sumber industri mempunyai nilai yang tertinggi sebesar 90,32 µg/m3,
transportasi sebesar 43,74 µg/m3 dan dari pemukiman sebesar 37,51
µg/m3. Konsentrasi SO2 di Jakarta dan Kototabang pada kurun waktu
1996-2003 memperlihatkan perbedaan yang nyata antara keduanya,
dimana pengukuran di Kototabang yang merupakan kawasan
pegunungan yang bersih dari pencemaran udara menunjukkan nilai
konsentrasi yang rendah bila dibandingkan dengan kota Jakarta yang
3
merupakan kota yang penuh dengan pencemaran udara baik dari industri
maupun transportasi.
Hasil riset yang dilakukan Kementrian Negara Lingkungan Hidup
(KNLH) pada tahun 2006 hingga 2008 di 30 kota besar di Indonesia
termasuk Kota Makassar menunjukkan peningkatan nilai konsentrasi emisi
sulfur dioksida (SO2) sebesar 23,10 hingga 45,29 µg/m3 (mandra et al.,
2013). Penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2011) mengenai model
sebaran konsentrasi polutan SO2 yang berasal dari cerobong PT. Semen
Tonasa dengan menggunakan persamaan kepulan asap Gauss
menunjukkan bahwa konsenstrasi terbesar gas SO2 pada pabrik unit II/III
adalah 0,009 ppm, konsetrasi terbesar gas SO2 pada pabrik unit IV adalah
0,12 ppm pada jarak 350-500 meter dari sumber.
Satria (2006) menerangkan bahwa karbon monoksida (CO) adalah
pencemar primer berbentuk gas yang tidak berwarna, tidak memiliki rasa,
tidak berbau, dan memiliki berat jenis yang lebih kecil dari udara serta
sangat stabil dan mempunyai waktu tinggal 2 - 4 bulan.
Di Asia Selatan, konsentrasi karbon monoksida (CO) menunjukkan
peningkatan sebesar 16,5% selama tahun 2000-2010. Peningkatan kadar
CO ditemukan di Indo-Gangetic Basin (IGB), wilayah pertambangan timur
India, Bangladesh dan daerah perkotaan lainnya. Beberapa kontributor
utama emisi ini bersumber dari limbah pertanian, transportasi darat,
produksi industri, dan pembangkit listrik (Ul-Haqn Zia dkk, 2016). Di Cina,
4
pembangkit listrik menghasilkan hampir 40% emisi karbon (Yan et al,
2017).
Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukan bahwa
pencemaran udara di Indonesia, khususnya di kota-kota besar Indonesia
telah mengalami peningkatan yang menghawatirkan dibandingkan dengan
standar WHO. Berdasarkan data yang ada, total estimasi polutan CO yang
diestimasikan dari seluruh aktivitas adalah sekitar 686,867 ton pertahun
48,6% dari jumlah emisi lima polutan. Penyebab dari pencemaran udara
itu sekitar 80 persen berasal dari sektor transportasi, dan 20 persen
industri serta limbah domestik (Arifin, 2012).
Hasil penelitan yang dilakukan oleh Muhaimin (2014) mengenai
model dispersi polusi udara dari aktivitas PLTU Cirebon pada musim
kemarau dan hujan dengan menggunakan model gaussian plume
menunjukkan bahwa kualitas udara ambient untuk beberapa polutan yang
dihasilkan berada di bawah baku mutu udara ambient berdasarkan pada
PP No. 41 tahun 1999. Konsentrasi maksimum gas CO pada musim hujan
yaitu 0,79 µg/m3. Sedangkan pada musim kemarau, konsentrasi
maksimum gas CO yaitu 0,96 µg/m3. CO pada level pencemaran udara
global ternyata menyumbang persentase terbesar yaitu 55,7% yang
kemudian diikuti oleh hidrokarbon sebesar 13,1%. Dari berbagai kegiatan
yang menghasilkan CO maupun CO2 terbesar, ternyata aktivitas
trasportasi merupakan penyumbang emisi CO paling tinggi yang
selanjutnya diikuti oleh aktivitas industri (Utomo, 2012).
5
Perkembangan jumlah penduduk, ekonomi, industri dan
transportasi merupakan ciri khas daerah yang sedang berkembang seperti
Kota Makassar. Perkembangan ini menyebabkan kebutuhan akan
transportasi dan industri semakin meningkat. Seiring dengan
berkembangnya sumber pencemar tersebut, maka mendorong
meningkatnya pencemaran udara (BLHD, 2013). Polutan udara primer
pada pengukuran kualitas udara ambient pemukiman Kota Makassar ada
lima sumber polusi yang paling banyak di udara yaitu sulfur dioksida,
nitrogen dioksida, karbon monoksida, ozon dan partikel. Namun, sumber
polusi selain berasal dari sektor transportasi, sumber polusi juga berasal
dari kegiatan industri, dimana hampir 60% dari polutan yang dihasilkan
terdiri dari karbon monoksida (Ay, 2014).
Efek samping dari polusi udara dan faktor meteorologi terhadap
kesehatan manusia telah ditetapkan dalam serangkaian studi epidemiologi
dan observasi utama di seluruh dunia (Chen et al., 2013; Lee et al., 2014;
Ma et al., 2014; Zanobetti dan Schwartz, 2009).
SO2 yang menyebabkan hujan asam belum terlihat ada tren yang
tinggi meskipun batubara dan solar secara statistik meningkat. Ini terjadi
karena adanya konversi oleh pemantauan gas termasuk oleh passive
sampler yang mempunyai prinsip difusi gas.Hal ini dapat dideteksi dari
adanya sulfat dalam air hujan maupun partikel aerosol. Akan tetapi
sebuah kota dengan aktivitas industri yang tinggi akan menunjukkan
6
konsentrasi SO2 yang relativ tinggi dibandingkan dengan kota-kota lainnya
(KLH, 2014).
Hasi penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2011) mengenai
hubungan tingkat konsentrasi SO2, TSP dan lingkungan fisik dengan
kejadian ISPA pada penduduk di Kotamadya Jakarta Timur menunjukkan
bahwa ada hubungan signifikan antara meningkatnya konsentrasi SO2
dengan kejadian ISPA. Kemudian, hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sakti (2012) yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara kualitas
udara ambient (SO2 dan TSP) dengan kejadian ISPA di kota Bekasi tahun
2004-2011.
Dalam bentuk gas, SO2 dapat menyebabkan iritasi pada paru-paru
yang menyebabkan timbulnya kesulitan bernafas, terutama pada
kelompok orang yang sensitive seperti orang berpenyakit asma, anak-
anak dan lansia. SO2 juga mampu bereaksi dengan senyawa kimia lain
membentuk partikel sulfat yang jika terhirup dapat terakumulasi di paru-
paru dan menyebabkan kesulitan bernapas, penyakit pernapasan, dan
bahkan kematian (EPA, 2007). Paparan SO2 dengan konsentrasi yang
tinggi dapat menyebabkan kesulitan bernapas dan gangguan pernapasan.
Selain itu, hujan asam yang terbentuk karena deposisi asam oleh SO2
mengakibatkan pengasaman danau dan sungai serta kerusakan
pertanian. Deposisi asam juga mempercepat pelapukan tugu dan
bangunan (Andersonet al., 2005).
7
Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan efek kesehatan yang
merugikan dengan mengurangi pengiriman oksigen ke organ-organ tubuh
(termasuk jantung dan otak) dan jaringan. CO dapat mematikan dalam
lingkungan indoor atau ruang tertutup lainnya. Di Inggris pada tahun 1985
sebanyak 1365 orang meninggal dunia karena keracunan gas CO. Di
Perancis pada tahun 1991 telah tercacat sebanyak 17,5 per 100.000
penduduk telah keracunan gas CO dan 5% di antaranya meninggal dunia.
Di Amerika Serikat pada tahun 1988 tercacat bahwa 600 orang meninggal
dunia karena terjadi kecelakaan keracunan gas CO (Mukono, 2011).
Kebutuhan energi listrik dari waktu ke waktu terus meningkat
seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia. Hal ini mendorong untuk
didirikannya pembangkit listrik guna mengatasi kebutuhan energi tersebut.
Adanya pembangkit listrik tidak lepas dari penggunaan bahan bakar yang
berfungsi sebagai penggerak turbin. Proses pembakaran ini akan
menghasilkan gas-gas polutan yang dapat mencemari lingkungan,
sehingga kualitas udara menjadi menurun. Untuk mengendalikan
konsentrasi polutan dapat dilakukan dengan cara pemantauan atau
pemodelan polusi udara (Muhaimin, 2014).
Adanya gas pencemar di udara yang berasal dari aktivitas PLTD
yang menghasilkan gas-gas polutan seperti SOx, NOx, CO dan partikel-
partikel halus dimungkinkan kualitas udara menjadi menurun, oleh karena
itu perlu adanya pengendalian terhadap gas pencemar tersebut. Salah
satu upaya untuk mengetahui pencemaran udara di udara ambient adalah
8
dengan memperkirakan pola persebaran gas-gas pencemar atau dengan
pemodelan udara.
Dispersi polutan di udara dapat dikontrol melalui suatu metode
yang disebut air pollution modelling ( pemodelan pencemaran udara) yang
dikenal juga dengan air pollution dispersion modeling (pemodelan dispersi
pencemaran udara), yaitu simulasi matematis yang menggambarkan
bagaimana polutan terdispersi di udara ambient. Simulasi atau pemodelan
matematis ini meramu persamaan matematika dalam satu kesatuan
konsep yang menggambarkan fenomena atau perilaku alam (Aggarwal
dkk, 2014). Pemodelan matematis membolehkan pengujian berbagai
variabel parameter pembakaran dengan menggunakan waktu relatif
singkat dan biaya rendah (Gungor, 2009).
Setelah memodelkan penyebaran polutan gas SO2 dan CO,
selanjutnya dilakukan estimasi kualitas udara ambien (SO2 dan CO) yang
berasal dari aktivitas PLTD Tello Makassar. Estimasi ini dilakukan dengan
program Stella 5.0, yakni pemodelan berbasis flow chart dan simulasi
komputer yang dapat mempermudah seorang peneliti untuk melakukan
sistem identifikasi masalah, merumuskan masalah, menentukan prosedur
penelitian yang terdiri dari kumpulan elemen yang saling berinteraksi
sehingga menghasilkan hubungan sebab akibat.
Program Stella 5.0 ini digunakan karena dapat menggunakan
beberapa variabel secara bersamaan dan dapat menampilkan model
simulasi pendekatan berupa mind mapping sehingga kita bisa melihat
9
variabel yang mempengaruhi secara langsung. Oleh karena itu, hasil dari
pemodelan dalam penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan strategi
pengendalian yang sesuai dalam menekan atau mengurangi laju
peningkatan pencemaran udara khususnya parameter SO2 dan CO di
wilayah sekitar PLTD Tello Makassar.
10
B. Rumusan Masalah
Informasi yang diperoleh dari latar belakang di atas mengenai
pencemaran SO2 dan CO terhadap lingkungan dan manusia,
menunjukkan bahwa konsentrasi emisi SO2 dan CO yang berasal dari
aktivitas pembangkit listrik sangat dipengaruhi oleh kondisi meteorologi
daerah setempat. Stabilitas atmosfer di udara mempengaruhi peningkatan
konsentrasi SO2 dan CO yang berasal dari cerobong PLTD. Semakin
stabil atmosfer di sekitar PLTD maka konsentrasi SO2 dan CO akan
semakin meningkat, hal ini disebabkan kurangnya pergerakan angin yang
membawa kedua polutan tersebut. Sehingga dengan semakin
meningkatnya konsentrasi kedua polutan di sekitar sumber polutan
tersebut maka akan menimbulkan pencemaran pada lingkungan dan
penduduk sekitar sumber secara terus menerus. Apalagi letak PLTD Tello
berada dekat dengan pemukiman warga, yang mana dapat
mempengaruhikondisi kesehatan masyarakat di wilayah tersebut. Untuk
itu perlu dirumuskan :
1. Berapa total konsenstrasi emisi SO2 dan CO yang dihasilkan oleh
PLTD Tello selama tahun 2012-2016 ?.
2. Bagaimana penyebaran Polutan SO2 dan CO di wilayah sekitar PLTD
Tello ?.
3. Berapa estimasi konsentrasi emisi SO2 dan CO dari PLTD Tello tahun
2018 ?.
11
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola penyebaran,
model penyebaran dan estimasi konsentrasi emisi gas SO2 dan CO
yang berasal dari cerobong PLTD Tello dengan pendekatan model
dinamik.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui total konsentrasi emisi gas Sulfur Dioksida (SO2) yang
berasal dari cerobong PLTD Tello selama tahun 2012-2016.
b. Mengetahui total konsentrasi emisi gas Karbon Monoksida (CO)
yang berasal dari cerobong PLTD Tello selama tahun 2012-2016.
c. Mengetahui pola spasial pencemaran udara dari sumber pencemar
PLTD Tello.
d. Memodelkan penyebaran gas SO2 dan CO yang berasal dari
aktivitas PLTD yang dipengaruhi oleh kecepatan angin dan arah
angin.
e. Mengetahui kualitas udara di sekitar PLTD berdasarkan pada baku
mutu udara ambient (Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan
Nomor 69 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan pengendalian
pencemaran air dan udara, penetapan baku mutu limbah cair).
f. Mengestimasi konsentrasi emisi SO2 disekitar PLTD Tello selama
12 bulan (2018) dengan pendekatan model dinamik tanpa
skenario.
12
g. Mengestimasi konsentrasi CO disekitar PLTD Tello selama 12
bulan (2018) dengan pendekatan model dinamik tanpa skenario.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam menentukan kebijakan khususnya terkait
masalah kualitas udara ambien di Kota Makassar.
2. Bagi Institusi
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan menambah
khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang simulasi
menggunakan permodelan dinamik dengan software stella 5.0.
3. Bagi Mahasiswa
Penelitian ini merupakan wahana untuk mengembangkan ilmu dan
pengetahuan serta mengabdikan pengalaman dan keterampilan di
lokasi penelitian.
4. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan baru
bagi masyarakat serta penyadaran untuk meningkatkan partipasi
terutama dalam pencemaran udara.
13
E. Ruang Lingkup/Batasan Penelitian
1. Parameter kualitas udara yang dianalisis gas SO2 dan CO berdasarkan
pertimbangan beberapa penelitian sebelumnya merupakan parameter
yang paling tinggi dibanding parameter lainnya.
2. Data survey untuk perhitungan konsentrasi SO2 dan CO yang akan
dianalisis dari aktivitas PLTD Tello.
Penelitian ini meliputi beberapa variabel yaitu konsentrasi zat buang
cerobong (SO2 dan CO), arah angin, kecepatan angin, stabilitas atmosfer
dan konsentrasi zat pencemar.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SULFUR DIOKSIDA (SO2)
1. Karakteristikdan Sumber SO2
Sastrawijaya (2009) menyatakan bahwa SO2 merupakan gas jernih
tak berwarna dan kadarnya sampai 18%. Gas ini baunya menyengat dan
sangat membahayakan bagi manusia. Pencemar yang paling buruk
adalah bahan bakar yang berkualitas rendah dan murah, karena
mengandung belerang yang tinggi.
Telah dibuktikan dengan jelas bahwa gas dan aerosol dari aktvitas
vulkanik dan panas erupsi bumi dan non-erupsi dapat mempengaruhi
kesehatan manunisa dan lingkungan. Emisi vulkanik yang umum terjadi di
gunung berapi dan daerah panas bumi dapat dilepas di daerah kawah
utama, dari medan fumarolik, atau difusus melalui tanah. Polutan udara
vulkanogenik diketahui menyebabkan dampak paling serius pada
kesehatan manusia adalah karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2),
hydrogen chloride (HCL) dan hydrogen fluoride (HF) (Joseph, at al., 2015).
Menurut KLH (2009), SO2 merupakan gas pencemar yang bersifat
korosif dan beracun. Apabila konsentrasinya di atmosfer tinggi, akan
menyebabkan terjadinya hujan asam. Sebagian kecil bahan bakar sulfur
yang dapat dioksidasikan menjadi SO3 juga memberikan konsekuensi
terhadap lingkungan, seperti timbulnya kabut biru butiran asam sulfur
15
yang diemisikan dari pemanasan (boiler), merupakan korosi pada logam,
dan akumulasi partikel asap.
SO2 adalah pencemar dari sumber industri yang berperan sebagai
precursor asam sulfat (H2SO4), komponen partikel aerosol yang
mempengaruhi deposisi asam, iklim global, dan lapisan ozon global.
Sumber utama dari SO2 adalah pembangkit listrik tenaga batu bara,
pembakaran bahan bakar fosil, dan gunung berapi (Jacobson, 2002). Dari
hasil pemantauan kualitas udara ambien oleh BPLH Kota Bandung kurun
waktu 2001-2003 menunjukkan bahwa nilai SO2 dari sumber industri
mempunyai nilai yang tertinggi yaitu sebesar 90,32 µg/m3, disusul
transportasi sebesar 43,74 µg/m3 dan dari pemukiman sebesar 37,51
µg/m3 (Dirgawati, 2008).
2. Distribusi SO2 di Tubuh Manusia
Udara yang telah tercemar SOx menyebabkan manusia akan
mengalami gangguan pada sistem pernafasan. Hal ini karena SOx yang
mudah menjadi asam tersebut menyerang selaput lendir pada hidung,
tenggorokan, dan saluran nafas yang lain sampai ke paru-paru. Iritasi
pada saluran pernafasan dapat menyebabkan pergerakan silia menjadi
lambat, bahkan dapat terhenti, sehingga tidak dapat membersihkan
saluran pernafasan, hal ini dapat meningkatkan produksi lendir dan
penyempitan saluran pernafasan. Akibatnya terjadi kesulitan bernafas,
sehingga benda asing termasuk bakteri/mikroorganisme lain tidak dapat
16
dikeluarkan dari saluran pernafasan dan hal ini memudahkan terjadinya
infeksi saluran pernafasan (Mukono, 2000).
Sulfur dioksida (SO2) merupakan gas tak berwarna yang
menimbulkan rasa jika konsentrasinya 0,3 ppm dan menghasilkan bau
yang kuat pada tingkat konsentrasi yang lebih besar dari 0,5 ppm. SO2
adalah gas yang dapat diserap oleh selaput lendir hidung dan saluran
pernafasan. Gas SO2 dan H2SO4 (aq) dengan konsentrasi tinggi dapat
merusak paru-paru. Paparan jangka panjang dari SO2 (g) dari
pembakaran batubara dapat mengganggu fungsi paru-paru atau
menimbulkan penyakit pernafasan lainnya (Jacobson, 2002).
3. Dampak Pencemaran SO2
a. Dampak Sulfur Dioksida (SO2) Terhadap Lingkungan
1) Pengaruh sulfur dioksida terhadap tanaman
Tanaman dapat rusak karena pencemaran SO2. Kerusakan
tanaman terjadi pada daunnya. Lapisan jaringan daun ditutupi
oleh lapisan epidermis atas dan bawah. Stomata (mulut daun)
terdapat pada umumnya di bagian bawah lembar daun. Diantara
lapisan epidermis terdapat juga jaringan spons dan jaringan tiang
(palisade) yang mengandung klorofil (photosintetic cells). Stomata
merupakan mulut daun tempat masuknya CO2 yang berguna
untuk proses fotosintesis. SO2 ikut masuk bersama CO2 dan
menyebabkan kerusakan pada jaringan daun. Kerusakan ini bisa
nekrosis (kematian jaringan), klorosis (hilang atau berkurangnnya
17
klorofil), absisi (rontoknya daun) dan epinasti (melengkungnya
daun ke bawah).
Dalam konsentrasi yang lebih besar dari 0.5 ppm gas ini
menyebabkan kerusakan daun dalam waktu yang pendek. Karena
gas ini dapat bereaksi dengan air, maka air hujan yang
mengandung asam sulfat atau sulfit menyebabkan peristiwa yang
disebut hujan asam. Hal ini akan menyebabkan rusaknya
beberapa jenis tanaman (Sarudji, 2010).
Beberapa jenis tanaman berdaun lebar memberikan respon
terhadap SO2 yang memiliki konsentrasi 0,9 ppm dengan
menunjukkan gejala luar, warna dedaunan berubah menjadi
kuning dan berbintik. Contoh tanaman berdaun lebar yang sangat
sensitiff terhadap SO2 adalah pinus silvestri (pinus) dan fagus
(cemara). Kandungan sulfur pada batang pohon cemara dapat
memberi petunjuk terjadi pencemaran SO2 yang meliputi wilayah
yang cukup luas (Nugroho, 2005).
2) Pengaruh sulfur Dioksida terhadap bahan lain
Harta benda dapat juga terpengaruh oleh SO2. Gedung-
gedung yang mempunyai arti sejarah, patung-patung bernilai seni
dapat rusak karena SO2 mudah menjadi H2SO4 yang sangat
korosif. Dulu, sewaktu cat tembok masih mengandung PbO, maka
SO2 dapat bereaksi dengannya dan membentuk PbS yang
berwarna hitam.
18
Benda-benda yang terbuat dari karet seperti ban mobil bila
terpapar H2SO4 akan cepat rusak, menjadi retak atau terbelah-
terbelah (Slamet, 2009). Terbentuknya asam sulfat juga
menyebabkan korosi pada logam (Sarudji, 2010). Laju korosi
beberapa jenis logam, terutama besi, baja dan seng dirangsang
pada kondisi lingkungan yang terkontaminasi SO2, disamping
beberapa jenis partikel, kelembaban udara yang tinggi dan suhu
juga berperan penting dalam proses korosi tersebut (Kristanto,
2002).
b. Dampak SO2 Terhadap Kesehatan Manusia
Pengaruh pencemaran SO2 terhadap manusia adalah iritasi
sistem pernafasan beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi
tenggorokan terjadi jika kadar SO2 5 ppm atau lebih, bahkan pada
beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2
dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama
terhadap orang tua dan penderita penyakit kronis pada sistem
pernafasan kardiovaskular (Depkes, 2007). SO2 adalah polutan udara
yang telah terbukti menyebabkan peningkatan kejadian asma dan
gejala pernafasan. Paparan SO2 telah berkaitan dengan peningkatan
angka kematian dan gangguan pernafasan (Chen et al., 2012),
peningkatan risiko diagnosis asma (Clark et al.,2010), memperparah
penyakit pernafasan yang sudah ada sebelumnya (Chen et al., 2017)
19
dan peningkatan prevalensi gejala pernafasan seperti mengi dan
sesak napas (Zhao et al., 2008).
Penyelidikan epidemiologi menunjukkan bahwa polusi SO2
tidak hanya meningkatkan risiko penyakit pernafasan namun juga
dikaitkan dengan sistem peredaran darah seperti penyakit jantung,
malformasi bawaan dan penyakit hati. Bukti yang meningkat
menunjukkan bahwa menghirup SO2 juga terkait dengan
neurotoksisitas dan memperparah risiko rawat inap dan kematian
pada banyak gangguan otak termasuk stroke iskemik, pendarahan
otak, epilepsy, gangguan perkembangan saraf dan defisit kognitif (Liet
al., 2016).
SO2 menyebabkan iritiasi pernapasan dan bronkokonstriktor,
dan telah dikaitkan dengan kelaianan karidovaskular termasuk
penurunan variabilitas denyut jantung (Tunnicliffe et al., 2001). Daya
tahan iritasi SO2 pada setiap orang tidak sama. Ada orang yang
mengalami iritasi terkena SO2 bekonsentrasi 1-2 ppm, namun ada pula
orang yang baru mengalami iritasi tenggorokan apabila terkena SO2
berkonsentrasi 6 ppm. Polutan SO2 jika melebihi batas yang
ditentukan maka akan membahayakan bagi manusia, hewan,
tumbuhan, dan material di sekitarnya. Dampak buruk polutan SO2 bagi
kesehatan manusia jika konsentrasinya melebihi ambang batas antara
lain dapat menyebabkan gangguan pernapasan seperti bronchitis,
emphysema dan penurunan kesehatan pada umumnya sedangkan
20
pada konsentrasi tinggi, senyawa ini dapat menyebabkan iritasi pada
mata, hidung dan tenggorokan (Soedomo, 2001).
Pengaruh sulfur dioksida terhadap manusia adalah sebagai
berikut:
a) 3-5 ppm : dapat dideteksi dari baunya
b) 8-12 ppm : dapat mengakibatkan iritasi tenggorokan
c) 20 ppm : dapat mengakibatkan iritasi mata dan batuk
d) 50-100 ppm : hanya diperbolehkan kontak dalam waktu singkat (30
menit)
e) 400-500 : berbahaya meskipun kontas secara singkat (Fardiaz,
1992).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa iritasi pada
tenggorokan terjadi pada konsentrasi SO2 sebesar 5 ppm atau lebih,
bahkan pada beberapa individu yang sensitive, iritasi terjadi pada
konsentrasi 1-2 ppm. SO2 dianggap polutan yang berbahaya bagi
kesehatan terutama terhadap manusia usia lanjut dan penderita yang
mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan dan
kardiovaskular. Individu dengan gejala tersebut sangat sensitif jika
kontak dengan SO2 walaupun dengan konsentrasi yang relatif rendah,
misalnya 0.2 ppm atau lebih (Kristanto, 2002).
21
Tabel 1. Pengaruh Gas SO2Terhadap Manusia
Kadar (ppm) Dampaknya terhadap manusia
3 ~ 5 - Jumlah minimu yang dapat dideteksi baunya
8 ~ 12 - Jumlah minimum yang segera mengakibatkan iritasi tenggorokan
20 - Jumlah minimum yang mengakibatkan iritasi pada mata
- Dapat menyebabkan batuk - Jumlah maksimum yang dibolehkan
untuk paparan yang lama
50 ~ 100 - Jumlah maksimum yang dibolehkan untuk paparan yang singkat (±30 menit)
400 ~ 500 - Sudah berbahaya walaupun dalam paparan yang singkat
Sumber : Philip Kristanto, Ekologi Industri, Edisi Pertama cetakan pertama, 2002.
B. KARBON MONOKSIDA (CO)
1. Karakteristik dan Sumber CO
Satria (2006) menerangkan bahwa karbon monoksida (CO) adalah
pencemar primer berbentuk gas yang tidak berwarna, tidak memiliki rasa,
tidak berbau, dan memiliki berat jenis yang lebih kecil dari udara serta
sangat stabil dan mempunyai waktu tinggal 2 - 4 bulan. CO berbentuk gas
yang tidak berwarna dalam suhu udara normal. CO mempunyai potensi
bersifat racun yang berbahaya karena mampu membentuk ikatan yang
kuat dengan pigmen darah yaitu hemoglobin.
CO adalah gas tak berwarna dan tidak berbau yang bisa beracun
bagi manusia. Hal ini dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar karbon
yang tidak sempurnah seperti minyak, bensin, batubara, kayu dan
22
tembakau. CO tidak menimbulkan iritasi dan tidak terlihat di udara yang
kita hirup (Greingor et al.,2001).
CO tidak menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan, tetapi
dapat membuat lebih parah pada penderita ISPA. Dampak dari CO
bervariasi bergantung pada status kesehatan seseorang pada saat
terpajan. Pada beberapa orang yang berbadan gemuk dapat mentoleransi
pajanan CO sampai kadar HbCo dalam darahnya mencapai 40% dalam
waktu singkat. Seseorang menderita sakit jantung atau paru-paru akan
menjadi lebih parah apabila kadar HbCO dalam darahnya sebesar 5-10%
(Ditjen P2M PLP, 2002).
Pengaruh CO kadar tinggi pada sistem syaraf pusat dan sistem
kardiovaskular telah banyak diketahui. Namun respon masyarakat
berbadan sehat terhadap pemajan CO kadar rendah dan dalam jangka
waktu panjang masih sedikit diketahui. Misalnya kinerja para petugas jaga,
yang harus mempunyai kemampuan untuk mendeteksi adanya perubahan
kecil dalam lingkungannya yang terjadi pada saat yang tidak dapat
diperkirakan sebelumnya dan membutuhkan kewaspadaan tinggi dan
terus menerus, dapat terganggu/terhambat pada kadar HbCO yang
berada di bawah 10% dan bahkan sampai 5% (hal ini secara kasar
ekivalen dengan kadar CO di udara masing-masing 80 dan 35 mg/m3)
pengaruh ini sangat terlihat pada perokok, karena kemungkinan sudah
terbiasa terpajan dengan kadar yang sama dari asap rokok (Kristanto,
2002).
23
Emisi vulkanik yang umum terjadi di gunung berapi dan daerah
panas bumi dapat dilepas dari daerah kawah utama, dari medan
fumarolik, atau difusus melalui tanah. Polutan udara yang dihasilkan
adalah karbon monoksida (CO), hydrogen sulfide (H2S), radon (Rn),
merkuri (Hg) dan unsur-unsur lainnya (Joseph, at al., 2015).
Sumber pencemar udara di Indonesia sebagian besar (sekitar 75%)
berasal dari gas buang hasil pembakaran bahan bakar fosil, termasuk
yang digunakan untuk sektor transportasi (Wardhana, 1995). Kendaraan
bermotor mengeluarkan gas karbonmonoksida (CO), nitrogen oksida
(NO), sulfur dioksida (SO2) dan hidrokarbon (HC) sehingga menyumbang
1/3 dari total gas pencemar udara (Kuncoro Sejati, 2011). Sumber
pencemar tidak dibatasi yang berasal dari aktivitas manusia, tetapi juga
oleh sumber-sumber pencemar akibat peristiwa alamiah seperti gunung
meletus, bencana alam, dan lain-lain (Kristanto, 2002).
2. Distribusi CO di Manusia
Gas CO dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan gangguan
kesehatan, bahkan juga dapat menyebabkan kematian. Gas CO apabila
terhisap kedalam paru-paru akan mengikuti peredaran darah dan akan
menghalangi masuknya oksigen (O2) yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini
dapat terjadi karena gas CO bersifat racun metabolis, ikut bereaksi secara
dengan darah menjadi karboksihemoglobin (COHb). Ikatan
karboksihemoglobin jauh lebih stabil daripada ikatan oksigen dengan
darah (oksihemoglobin). Keadaan ini menyebabkan darah menjadi lebih
24
mudah menangkap CO dan menyebabkan fungsi vital darah sebagai
pengangkut oksigen terganggu (Yulianti et al., 2014).
Ketika terinspirasi, CO lingkungan berdifusi dengan cepat melintasi
membran kapiler alveolar dan berikatan dengan hemoglobin, membentuk
neurotoxikologi dan teratology karboxihemoglobin (COHb). Afinitas
hemoglobin untuk CO 240 kali lebih besar dari pada oksigen. Kadar COHb
yang tinggi mengganggu pengikatan oksigen dari hemoglobin sehingga
mengakibatkan pengiriman oksigen jaringan terganggu. CO mengikat
secara baik ke hemoprotein seluler seperti mioglobin dan sitokrom
oksidasi dan dapat mengganggu fosforilasi oksidatif. Dengan demikian,
toksisitas CO terjadi akibat hipoksia jaringan dan gejala muncul saat
COHb lebih besar dari 10 %. Bayi dan janin lebih rentan terhadap
toksisitas CO dibandingkan orang dewasa karena tingkat metabolisme
yang lebih tinggi dan adanya hemoglobin janin, yang memiliki afinitas lebih
besar untuk CO daripada hemoglobin dewasa (Levy, 2015).
CO adalah kontaminan umum dari lingkungan indoor dan outdoor.
Karena dapat melewati plasenta untuk mendapatkan akses ke sirkulasi
janin dan otak yang sedang berkembang, CO menjadi perhatian sebab
sebagai neurotoksin dan ancaman kesehatan masyarakat (Greingor et al.,
2001).
Karbon monoksida (CO) memodulasi tegangan dinding vascular,
menghambat agregasi trombosit dan mendukung migrasi lipid melalui
endothelium yang rusak. Semua ini menyebabkan peningkatan resiko
25
infrak miokard dan stroke. Dampak CO pada sistem saraf dikaitkan
dengan partisipasinya dalam transmisi neurotransmitter, yang dapat
menghasilkan banyak gejala neurospikiatrik. Selanjutnya paparan ibu
terhadap CO juga terkait dengan hipertensif gangguan kehamilan
(Mobasher er al., 2013), pertumbuhan janin melambat (Ritz et al., 2013),
menurunkan berat lahir (Yucra et al., 2013; Rich et al., 2015; Wylie et al.,
2016) dan kelahiran prematur (Li et al., 2016)
Patofisiologis CO rumit karena entitas ini dicirikan oleh bioaktivitas
banyak arah. Karena afinitas yang lebih besar untuk Hb, CO
memindahkan oksigen (O2) dari kompleksnya dengan hemoglobin dan
membentuk karboksihemoglobin (COHb). Meskipun reaksinya reversible,
waktu reaksi sebaliknya hampir 10 kali lebih lama dari asosiasi O2-
Hemoglobin, yang mengakibatkan penurunan O2 dan peningkatan
hipoksia. Selain itu, COHb meningkatkan stabilitas koneksi hemoglobin
oksigen, yang juga menghambat pelepasan O2 di jaringan perifer.
Mekanisme toksik lainnya dari aktivitas CO dikaitkan dengan
peningkatannya terhadap sitokrom C oksidasi dan penghentian respirasi
seluler (Kajimura et al., 2010; Wu dan Wang, 2005).
CO secara luas dikenal sebagai gas beracun karena ia sangat
terkait dengan hemoglobin dengan afinitas yang lebih tinggi daripada
oksigen dan membentuk karboksihemoglobin, yang mengakibatkan
gangguan pada kapasitas pembawa oksigen darah dan mengakibatkan
hipoksia jaringan. Namun, efek terapeutik CO telah ditunjukkan pada
26
model eksperimental beberapa gangguan, termasuk hipoksia, cedera
iskemik reperfusi, dismotilitas usu, penyakit autoimun. Lipopolisakarida
dan peradangan kronis (Naito et al., 2015).
3. Dampak Pencemaran CO
Karbon monoksida (CO) adalah gas bebas difusibel yang bertindak
sebagai mediator fisiologis dari banyak proses biologis dan seluler,
termasuk efek anti-flamasi selama peradangan akut (Sun et al., 2008).
Salah satu gas beracun paling umum yang mencemari atmosfer adalah
karbon monoksida (CO). Gas tanpa bau, hambar dan tidak berwarna ini
adalah alasan paling umum ketiga untuk keracunan setelah obat-obatan
dan etanol (Bleeker, 2015; Blumenthal, 2001).
Toksisitas akut CO pada kardiovaskuler meliputi hipotensi, aritmia,
iskemia, infark, dan henti jantung. Sementara pengaruh pada neurologis
dapat menimbulkan sakit kepala, pusing, gangguan penilaian, perubahan
status mental, kebingungan, sinkop, kejang, stroke dan koma.Gejala
toksisitas CO seringkali tidak spesifik pada anak-anak dan pasien yang
terpapar biasanya mual, muntah, dan lesuh. Jadi pada populasi anak-
anak, paparan CO sering salah didiagnosis sebagai penyakit akibat virus
(Levy, 2015).
Karbon moksida (CO) adalah produk beracun yang dihasilkan
selama pembakaran senyawa organik yang tidak sempurnah. Kadar CO
rendah sekalipun dapat menyebabkan hipoksia jaringan karena CO
membentuk karboksihemoglobin (COHb) yang memiliki afinitas untuk
27
hemoglobin 250 kali lebih besar dari pada oksigen (Huang et al., 2017).
Konsentrasi karbon monoksida (CO) yang rendah telah ditunjukkan untuk
menggunakan sifat sitopropektif dan anti-apoptosis di berbagai jaringan
termasuk otak. Paparan 3 jam terhadap CO konsentrasi rendah
menghambat apoptosis alami pada otak murin yang sedang berkembang
menyebabkan peningkatan jumlah neuron dan jumlah neuron yang
terukur, peningkatan ukuran otak relative terdeteksi dan cacat yang dapat
diukur dalam memori, pembelajaran, dan perilaku sosial (Cheng et al.,
2012).
Studi yang dilakukan sejauh ini telah menunjukkan bahwa paparan
jangka panjang terhadap konsentrasi CO rendah mempengaruhi sistem
kardiovaskular, saraf, pernafasan, pencernaan dan kekebalan tubuh yang
dominan (Evans et al., 2014; Europen Environment Agency, 2011; Jasnos
et al., 2014; Pope et al., 2015; Cuinica et al., 2015).
C. DISTRIBUSI SO2 DAN CO DI LINGKUNGAN
1. Pengaruh Meteorologi
Secara alami, atmosfer selalu bergerak dan sulit untuk dimengerti
dan diikuti. Studi pola pergerakan atmosfer pada umumnya dihubungkan
dengan perubahan cuaca dan iklim, dimana karakteristik atmosfer
ditentukan oleh temperatur, temperatur potensial, tekanan, densitas, serta
arah dan kecepatan angin yang dianggap berpengaruh pada setiap
tempat dalam atmosfer yang diasumsikan sebagai fluida kontinyu dengan
mengabaikan gerakan diskrit molekul. Sebaran yang berasal dari
28
pembakaran dan proses kimia ke atmosfer pada dasarnya mengalami 3
hal utama (pasquill, 1971), yaitu :
a) Penyebaran utama oleh arus udara yang terjadi dengan arah
penyebaran horizontal dan vertikal.
b) Transformasi secara kimia dan fisika di udara
c) Pembuangan (removal) dari atmosfer oleh berbagai proses alamiah
Factor-faktor meteorologi yang mempengaruhi pola penyebaran
polutan antara lain sebagai berikut :
a) Angin lokal adalah angin yang bertiup di suatu daerah terbatas,
kurang dari 100 km, dan disebabkan oleh kondisi lokal (Tjasyono,
2004). Angin lokal dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu angin
darat dan laut serta angin gunung dan angin lembah
1) Angin darat dan angin laut.
Angin darat dan angin laut disebabkan oleh adanya perbedaan
sifat termal antara permukaan daratan dan permukiman lautan
atau danau. Pada siang hari daratan akan menjadi cepat panas
dibandingkan dengan lautan sehingga di daratan akan timbul
daerah bertekanan rendah. Hal ini mengakibatkan timbulnya
gradien tekanan sehingga angin berhembus dari lautan menuju
daratan, angin ini dinamakan dengan angin laut.
Pada hari, permukaan daratan akan lebih cepat dingin
dibandingkan dengan permukaan lautan sehingga di lautan akan
timbul daerah bertekanan rendah. Hal ini mengakibatkan angin
29
yang berhembus berlawanan dengan siang hari, angin berhembus
dari daratan menuju lautan, angin ini disebut juga sebagai angin
darat.
2) Angin gunung dan angin lembah
Pada siang hari (sebelum tengah hari), lereng gunung akan
lebih banyak menerima radiasi matahari sehingga temperatur di
lereng tersebut akan lebih tinggi dibandingkan dengan
temperatur udara pada ketinggian yang sama, begitu pula halnya
dengan tekanan pada lereng akan lebih kecil dibandingkan
dengan tekanan di atmosfer dengan ketinggian yang sama.
Sehingga terdapat komponen gaya gradien yang menyebabkan
udara bergerak menyusuri lereng. Angin yang menaiki lereng ini
dinamakan dengan angin anabatik atau angin lembah.
Kebalikannya dengan malam hari, temperatur lereng akan
lebih rendah dibandingkan dengan temperature atmosfer pada
ketinggian yang sama. Hal ini menimbulkan gaya gradien yang
menyebabkan adanya resultan gaya dengan gravitasi sehingga
udara bergerak menuruni lereng. Angin ini dinamakan dengan
angin katabatik atau disebut juga dengan angin gunung.
Dari hasil uji korelasi pada penelitian yang dilakukan oleh
Istantinova (2013), di dapat hasil bahwa kecepatan angin dan
kelembababan berbanding terbalik terhadap konsentrasi SO2, yaitu
semakin tinggi kecepatan angin dan kelembaban maka semakin rendah
30
konsentrasi SO2 di udara. Menurut repository IPB, dispersi polutan juga
dipengaruhi oleh variabilitas arah angin. Jika arah angin relatif tetap dan
secara terus menerus menuju pada area yang sama, konsentrasi polutan
di daerah tersebut akan tinggi. Jika arah angin berubah secara konstan,
polutan akan didispersikan ke daerah yang lebih besar, dan konsentrasi di
sekitar daerah tujuan akan menjadi lebih rendah. Perubahan besar dalam
arah angin dapat terjadi dalam periode waktu yang singkat.
Kecepatan angin pada dasarnya ditentukan oleh perbedaan
tekanan udara antara tempat asal dan arah angin sebagai faktor
pendorong. Secara umum polutan-polutan di atmosfer terdispersi dalam 2
cara yaitu melalui kecepatan angin dan turbulensi atmosfer. Turbulensi
menyebabkan terjadinya aliran udara melalui 2 cara yaitu pusaran termal
dan pusaran mekanis (Zendrako, 2010).
Kecepatan angin berpengaruh terhadap konsentrasi gas buang.
Semakin besar kecepatan angin pada suatu daerah sumber gas buang
maka konsentrasi gas buang pada daerah itu sendiri berkurang. Jika
kecepatan angin lebih kecil dimungkinkan konsentrasinya akan tetap
berada di daerah sumber (Greiger, 1995). Pengaruh lain dari kecepatan
angin, yaitu turbulensi. Angin yang lebih kuat menyebabkan sering
terjadinya turbulensi, sehingga dengan adanya turbulensi udara tercemar
lebih cepat tercampur dengan udara di sekelilingnya dan dapat
mengencerkan zat pencemar. Pada angin lemah, turbulensi lebih kecil
dan dengan begitu memperkecil juga terjadinya percampuran zat
31
pencemar dengan zat lainnya di lingkungan sekitar sehingga pengenceran
susah terjadi dan membuat konsentrasi zat pencemar tetap tinggi (Oke,
1987).
Secara fisis suhu didefinisikan sebagai tingkat gerakan molekul
benda, makin cepat gerakan molekul benda, maka suhunya akan semakin
tinggi. Perbedaan suhu di udara sekitar kita (udara ambien) akan
menimbulkan perbedaan tekanan udara, dan perbedaan tekanan udara
akan mempengaruhi arah dan kecepatan angin di suatu wilayah. Pada
prinsipnya, angin bertiup dari wilayah bertekanan tinggi ke wilayah
bertekanan rendah. Semakin tinggi udara berada maka suhunya akan
semakin rendah (Roosita, 2007). Suhu udara yang tinggi akan
menyebabkan bahan pencemar dalam udara menjadi kering sehingga
polutan akan cenderung lebih tinggi (Prabu, 2009).
Stabilitas atmosfer menunjukkan tingkat turbulensi udara di arah
vertikal. Atmosfer yang stabil memiliki tingkat turbulensi vertikal yang
rendah. Stabilitas atmosfer sangat dipengaruhi oleh kecepatan angin dan
tingkat radiasi sinar matahari (incoming solar radiation atau insolation),
yang umumnya berfluktuasi dan menyebabkan stabilitas atmosfer di suatu
wilayah juga berfluktuasi. Kedua faktor itu menimbulkan variasi tekanan
udara antara lapisan udara di dekat permukaan tanah dengan lapisan
udara yang lebih tinggi. Saat perbedaan tekanan udara di antara kedua
lapisan itu besar, sebagaimana sering terjadi di siang hari maka atmosfer
menjadi tidak stabil. Oleh karena tidak ada radiasi matahari, variasi
32
tekanan udara di malam hari umumnya tidak terlalu besar. Hal ini
menyebabkan atmosfer memiliki kondisi yang lebih stabil di malam hari
(Roosita, 2007).
2. Lapse Rate
Kestabilan udara merupakan kecenderung atmosfer menahan
gerakan vertikal atau untuk menahan turbulensi yang terjadi.
Kecenderungan ini juga berpengaruh terhadap kemampuan atmosfer
menahan gerakan vertikal atau untuk menahan turbulensi yang terjadi.
Kecenderungan ini juga berpengaruh terhadap kemampuan atmosfer
dalam mendispersikan polutan. Bila terdapat suatu bagian kecil parsel
udara yang digantikan oleh parsel udara di bawahnya yang mempunyai
tekanan lebih rendah maka akan terjadi ekspansi ke temperatur yang lebih
rendah (Holton, 1992). Ekspansi udara tersebut cukup cepat sehingga
dapat dianggap tidak terjadi perpindahan panas antar parsel tersebut
dengan lingkungannya.
Gambar 1. Lapse rate
33
Perbedaan kondisi stabilitas atmosfer dari waktu ke waktu
menyebabkan terjadinya perbedaan dalam tipe kepulan yang dikeluarkan
suatu cerobong asap. Ada 3 tipe kepulan asap berdasarkan kondisi
atmosfer, yaitu tipe kepulan looping pada kondisi atmosfer tidak stabil, tipe
kepulan fanning pada kondisi stabil, dan tipe kepulan coning pada kondisi
netral. Selain itu, terdapat pola peralihan, yakni tipe kepulan fumigation
yang dikaitkan dengan invers radiatif yang pada umumnya menghilang
menjelang siang, tipe kepula lofting tidak terjadi pencampuran menghilang
menjelang siang, tipe kepulan lofting tidak terjadi pencampuran ke arah
bawah, namun penyebaran ke arah atas dan tipe kepulan trapping yang
terjadi jika invers paras atau secara fisis menjerat gas buang dalam
lapisan udara permukaan (Wahono, 2003).
3. Dinamika Atmosfer
Nasir (1995) menyatakan bahwa gas atau atmosfer merupakan
seluruh gas yang menyelubungi bumi baik di bagian padat maupun cair.
Atmosfer setinggi 5,5 sampai dengan 5,6 km telah mencakup 50% dari
massa total dan pada ketinggian 40 km mencakup 99,99%. Batas bawah
atmosfer relatif mudah ditentukan berdasarkan ketinggian permukaan laut.
Puncaknya sulit ditentukan karena di samping besarnya keragaman
ukuran dan massa partikel terdapat pula keragaman suhu permukaan laut.
Puncaknya sulit ditentukan karena di samping besarnya keragaman
ukuran dan massa partikel terdapat pula keragaman suhu permukaan
bumi dan kekuatan angin yang mempengaruhi pengangkatan bahan.
34
KLH (2009) menerangkan bahwa dinamika atmosfer merupakan
faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam masalah pencemaran
udara. Dalam kaitannya dengan pencemaran udara dibagi dalam skala
waktu dan ruang atmosfer dalam:
a) Skala mikro, dengan jangkauan dalam orde sampai dengan satuan
kilometer dan skala waktu dalam satuan detik sampai beberapa menit,
skala ini sering disebut skala lokal.
b) Skala meso, dengan jangkauan kilometer sampai dengan ratusan
kilometer dan dengan skala waktu dari menit sampai beberapa jam.
Skala ini disebut juga skala regional. Pergerakan angin yang
mempengaruhi atmosferik mulai dari tingkat ini adalah angin geostrofik.
c) Skala makro, dengan jangkauan di atas ribuan kilometer dan dengan
skala waktu lebih besar dari satu hari. Skala ini disebutkan juga skala
kontinental.
4. Pola Sebaran Polutan Udara
Sasongko, dkk (2000) menyatakan dalam kaitannya dengan proses
pencemaran udara, atmosfer berfungsi sebagai media penyebaran
polutan udara. Dua besaran utama yaitu suhu dan kelengasan atau
lembaban pada atmosfer, merupakan suatu ukuran sebenarnya dari
energi termal dan status air atmosfer. Keduanya terikat pada dasar-dasar
daur air dan daru energi yang mecakup proses hantaran, konversi,
penyimpanan energi, dan massa dengan energi tata surya sebagai
sumber energi utamanya.
35
Mikkelsen (2003) menyatakan bahwa penyebaran pencemaran
udara berhubungan dengan keadaan atmosfer, sedangkan keadaan
atmosfer tergantung pada perubahan system cuaca, sirkulasi angin
regional dan turbulensi, dan efek mikrometeorologi. Parameter-parameter
penting yang diperlukan dalam menetapkan potensi penyebaran
pencemaran udara adalah ketinggian, tinggi pembalikan, kecepatan angin
tahunan, potensi tinggi cemaran udara yang dapat mempengaruhi suatu
wilayah, dan kegiatan harian. Adapun efek mikrometeorologi tergantung
pada insolasi solar, topografi, kekerasan permukaan, lahan yang
digunakan, dan radiasi panjang gelombang.
Penelitian yang dilakukan Fitri (2015) menunjukkan bahwa
konsesntrasi emisi gas CO2 sangat dipengaruhi oleh faktor meterologi.
Kemudian penelititan yang dilakukan oleh Puspitasari (2011) mengenai
pola spasial pencemaran udara yang bersumber dair PLTGU dan PLTU
menunjukkan perbedaan jangkauan dan nilai konsentrasi polutan
menyebar lebih jauh (lebih 10 km) dan nilai polutan cenderung lebih kecil,
sedangkan pada keadaan stabilitas atmosfer tidak stabil polutan
menyebar lebih dekat (kurang dari 6 km) dan nilai polutan lebih besar.
Penelitian yang dilakukan Muhaimin (2014) menunjukkan bahwa
konsentrasi maksimum polutan (SOx, NOx dan CO) pada musim hujan
lebih rendah dibandingkan pada musim kemarau.
36
D. PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA DIESEL (PLTD)
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) adalah pembangkit listrik
yang menggunakan mesin diesel sebagai penggerak mula (prime mover).
Prime mover merupakan peralatan yang mempunyai fungsi menghasilkan
energi mekanis yang diperlukan untuk memutar rotor generator. Mesin
diesel sebagai penggerak mula PLTD berfungsi menghasilkan tenaga
mekanis yang dipergunakan untuk memutar rotor generator (Budiman dkk,
2010).
PLTD merupakan suatu instalasi pembangkit listrik yang terdiri dari
suatu unit pembangkit (SPD) dan saran pembangkit. Mesin diesel adalah
penggerak utama untuk mendapatkan energi listrik dan dikeluarkan oleh
generator. Pada mesin diesel energi bahan bakar diubah menjadi energi
mekanik dengan proses pembakaran di dalam mesin itu sendiri (Budiman
dkk, 2010).
Listrik diproduksi di pembangkit dengan cara mengubah energi
mekanis menjadi energi listrik dengan menggunakan generator yang
bekerja berdasarkan prinsip medan magnet dan penghantar listrik. Mesin
diaktifkan dengan menggunakan berbagai sumber energi sebagai
penggerak mulannya (prime mover) untuk memutar turbin sehingga dapat
menggerakkan generator dan menghasilkan energi listrik. Masing-masing
jenis pembangkit tenaga listrik mempunyai prinsip kerja yang berbeda-
beda, sesuai dengan prime mover. Jenis pembangkit listrik dapat
dibedakan berdasarkan kemampuan prime mover untuk diperbaharui
37
kembali(renewable source) atau tidak dapat diperbaharui kembali (non
renewable source) sebagai berikut (Budiman dkk, 2010) :
1. Pembangkit listrik Renewable, antara lain Pembangkit Listrik Tenaga
Panas Bumi (PLTP), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA),
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin (PLTB), Pembangkit Listrik
Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Ombak (PLTO),
dan Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut (PLTAL),
2. Pembangkit Listrik Non renewable, antara lain Pembangkit Listrik
Tenaga Diesel (PLTD), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU),
Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), Pembangkit Listrik Tenaga
Gas dan uap (PLTGU) serta Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Unit PLTD adalah kesatuan peralatan-peralatan utama dan alat-alat
bantu serta perlengkapannya yang tersusun dalam hubungan kerja,
membentuk sistem untuk mengubah energi yang terkandung di dalam
bahan bakar minyak menjadi tenaga mekanis dengan menggunakan
diesel sebagai penggerak utamnya dan seterusnya tenaga mekanis
tersebut diubah oleh generator menjadi tenaga listrik (Suyitno, 2011).
PLTD mempunyai ukuran mulai dari 40 KW sampai puluhan MW.
Jika perkembangan pemakaian tenaga listrik telah melebihi 100 MW,
penyediaan listrik yang menggunakan PLTD tidak lagi ekonomis sehingga
harus di bangun pusat listrik lain. Untuk melayani beban PLTD dengan
kapasitas di atas 100 MW akan tidak ekonomis karena unitnya menjadi
38
banyak, mengingat unit PLTD yang terbesar di pasaran sekitar 12,5 MW
(Suyitno, 2011).
Unit-unit pembangkit diesel di pasaran umumnya mempunyai
putaran (untuk frekuensi 50 Hertz) dari 300 putaran per menit sampai
dengan 1.500 putaran per menit (ppm). Dengan memperhatikan buku
petunjuk pabrik, mesin-mesin yang mempunyai nilai ppm rendah, sampai
dengan 500 ppm, dapat menggunakan bahan bakar minyak (BBM)
kualitas N0. 2 yaitu intermediate Diesel Oil (IDO) dan kualitas NO. 3 yaitu
Marine Fuel Oil (MFO).Jika memakai MFO harus dipanaskan terlebih
dahulu agar tercapai viskositas yang cukup rendah. Apabila menggunakan
IDO, maka tidak perlu pemanasan terlebih dahulu (Suyitno, 2011).
1. Macam-macam Bahan Bakar PLTD
a. Solar
Bahan bakar solar adalah bahan bakar minyak hasil sulingan
dari minyak bumi mentah bahan bakar ini berwarna kuning coklat yang
jernih. Rentang rantai karbon : C21 sampai C30 trayek didih : 105
sampai 135oC dan diperuntukan : Bahan bakar motor, bahan bakar
industri.
b. HSD
Merupakan BBM jenis solar yang memiliki angka performa
cetane number 45, jenis BBM ini diperuntukkan untuk jenis kendaraan
bermotor transportasi dan mesin industri.
39
c. Marine Fuel Oil (MFO)
Minyak bakar bukan merupakan produk hasil destilasi tetapi
hasil dari jenis residu yang berwarna hitam. Minyak jenis ini memiliki
tingkat kekentalan yang tinggi. Pemakaian BBM jenis ini umumnya
untuk pembakaran langsung pada industri besar dan beberapa
penggunaan yang dari segi ekonomis lebih murah dengan
penggunaan minyak bakar.
d. Industrial Diesel Oil (IDO)
Minyak Diesel adalah hasil penyulingan minyak yang berwarna
hitam yang berbentuk cair pada temperatur rendah. Biasanya memiliki
kandungan sulfur yang rendah dan dapat diterima oleh Medium Speed
Diesel Engine di sektor industri. Oleh karena itulah, diesel oil disebut
juga Industrial Diesel Oil (IDO) atau Marine Diesel Fuel (MDF).
2. Komponen-komponen Penting Mesin PLTD
a. Mesin / motor
Merupakan komponen dasar dari mesin yang memperkuat
daya. Mesin tersebut dirangkai dikopel langsung dengan generator.
b. Sistem Bahan Bakar (Fuel System)
Termasuk tangki bahan bakar, pompa pemindahan bahan
bakar, saringan alat pemanas dan sambungan pipa kerja. Pompa
pemindah bahan bakar membutuhkan pemindahan bahan bakar dari
ujung perantara ke tangki penyimpanan dan dari tangki penyimpanan
ke mesin. Saringan membutuhkan jaminan kebersihan bahan bakar.
40
Alat pemanas untuk minyak diperlukan untuk lokasi yang mempunyai
temperatur yang dingin yang mengganggu aliran fluida.
c. Sistem Udara Masuk
Termasuk saringan udara, saluran pompa kompresor (bagian
integral dari mesin). Kegunaan saringan udara adalah untuk
membersihkan debu dari udara yang disuplai ke mesin, juga semua ini
dapat menimbulkan kenaikan daya keluaran.
d. Sistem Pembuangan Gas
Termasuk peredam dan penyambung saluran. Temperatur
pembuangan gas panasnya cukup tinggi, gas ini merupakan pemanas
minyak atau persediaan udara pada mesin. Peredam mengurai
kegaduhan suara.
e. Sistem Pendinginan (Cooler System)
Termasuk pompa-pompa pendingin, menara pendingin,
perawatan air atau mesin penyaring dan sambungan pipa kerja.
Kegunaan sistem pendinginan adalah untuk meningkatkan panas dari
mesin silinder yang menyimpan silinder dalam tempat yang aman.
Pompa mengedarkan air melewati silinder dan kepala selubung
mengangkut panas. Sistem pendingin membutuhkan sumber air,
sebuah pompa dan tempat untuk pembuangan air panas, penyebaran
air oleh mesin pendingin ini seperti dalam alat radiator, pendingin uap,
menara pendingin, penyemprot dan sebagainya.
41
f. Sistem Pelumas (lube oil system)
Termasuk pompa minyak pelumas, tangki minyak, penyaring,
pendingin, alat pembersih dan sambungan pipa kerja. Fungsi sistem
pelumasan yaitu untuk mengurangi pergeseran dari bagian yang
bergerak dari mengurangi pemakaian dan sobekan bagian-bagian
mesin.
g. Sistem Penggerak Mula
Termasuk aki, tangki hampa udara, starter sendiri dan
sebagainya. Fungsi sistem penggerak mula adalah menjalankan
mesin. Sistem ini memungkinkan mesin pada awalnya berputar dan
berjalan sampai terjadi pembakaran dan unit meninggalkannya sampai
memperoleh daya (Marsudi, 2005).
Tidak kalah penting perlu adanya fasilitas untuk mengurangi
pencemaran agar partikel-partikel tidak dibuang ke udara melalui
cerobong, dipergunakan presipirator elektrostatik (electrostatic
presipirator). Dan untuk mengurangi emisi belerang dipergunakan
peralatan desulfurisasi gas buang (flues desulfurization, FGD). Untuk
menanggulangi masalah ini dikembangkan apa yang dinamakan teknologi
batu bara bersih (clean coal technology) (Kadir, 1996).
Emisi yang dihasilkan dari pembangkit listrik sangat dipengaruhi
oleh karakteristik bahan bakar yang digunakan. Kadar sulfur yang terdapat
pada bahan bakar minyak sangat mempengaruhi emisi SO2 yang
dihasilkan. Reaksi yang terjadi pada proses pembakaran bahan bakar
42
akan menghasilkan SO2. Karbon, hidrogen, dan sulfur merupakan unsur
yang terdapat pada bahan bakar dan menghasilkan kalor yang diperlukan.
Semakin sempurna pembakaran maka kalor yang dihasilkan akan optimal
yang ada pada akhirnya akan menghasilkan uap bertekanan untuk
memutar turbin (Farida, 2004).
Karena hasil sisa pembakaran bahan bakar dari fosil yang berupa
MFO (Marine Fuel Oil), gas alam, batu bara dan lain-lain menurut Perkins
(9174) emisi gas buang sangat besar terutama partikel debu (partikel < 10
um/PM10) yang bersifat racun. Walaupun pembangkit listrik telah
mempunyai alat pembersih endapan (presipirator) untuk membersihkan
partikel-partikel kecil dari asap pembakaran batubara, namun senyawa-
senyawa seperti SOx, NOx dan partikel debu/PM10 yang berbentuk gas
dengan bebasnya naik melewati cerobong dan terlepas ke udara bebas.
Gas SOx dan NOx dapat bereaksi dengan uap air yang ada di udara
membentuk asam sulfat (H2SO4) dan asam nitrat (HNO3). Kedua asam
tersebut dapat jatuh bersama-sama air hujan sehingga mengakibatkan
hujan asam yang dapat merusak lingkungan dan mengganggu kesehatan
(Witono, 2003).
Berdasarkan penelitian yang dilakuikan The World Environment
Departemen Tahun 2000, tinggi cerobong dapat menggambarkan
kelompok industri. Tinggi cerobong dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu
kelompok dengan tinggi cerobong > 75 m (high stack), kelompok medium
dengan tinggi cerobong antara 25-75 m. (medium stack) dan kelompok
43
tinggi cerobong < 25 m. (low stack). Industri dengan high stack merupakan
industri dengan peralatan modern (modem power plants), industri dengan
medium stack merupakan industri besar, distrik heating plant dan sub
optimal power utilities, sedangkan industri dengan low stack merupakan
industri kecil dan industri komersial (commercial users), transport dan
sector domestic (Warlina, 2008).
Cerobong yang terletak di PLTU termasuk ke dalam kelompok
dengan tinggi cerobong > 75 m (high stack), karena tinggi cerobong PLTU
sekitar 107 meter. Diameter cerobong mencapai 4.250 mm atau sekitar
4,24 meter. Suhu gas out cerobong mencapai 125oC atau sekitar 398
Kelvin.
E. MODEL SISTEM DINAMIS
Model adalah alat bantu atau media instrumen yang dipergunakan
untuk mencerminkan dan menyederhanakan suatu realita secara terukur.
Dikenal dua jenis model a) Model statis yaitu model yang mengabaikan
pengaruh waktu. Model ini berbentuk persamaan matematika. b) Model
dinamis yang menempatkan waktu sebagai variabel bebas. Model ini
menggunakan dinamika suatu sistem sebagai fungsi dari waktu.
Model adalah perumusan matematika dari proses-proses
fisika/kimia/biologi suatu fenomena alam, sehingga jika dimasukkan data-
data penunjang, kemudian dihitung dengan metode perhitungan tertentu,
akan dapat dihasilkan gambaran proses secara keseluruhan. Pemodelan
44
diartikan sebagai ilustrasi penggambaran, peyederhanaan, miniatur,
visualizing atau kreasi prediksi inovatif (Mallongi, 2012).
Model merupakan representasi dari sistem nyata, suatu model
dikatakan baik bila perilaku model tersebut dapat menyerupai sistem
sebenarnya dengan syarat tidak melanggar prinsip-prinsip berfikir sistem.
Dalam membangun suatu model sangat dipengaruhi subjektivitas
seseorang atau organisasi, maka perlu adanya penyempurnaan yang
dilakukan secara terus-menerus dengan menggali informasi dan potensi
yang relevan (Winardi, 1998 dalam (Axella and Suryani, 20012).
Sistem adalah suatu kumpulan unsur atau komponen yang
mengorganisasi dan saling berinteraksi, saling bergantung satu samu lain
untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem memiliki beberapa karakteristik
berupa a) komponen, b) batas (boundary), c) lingkungan luar system
(environment), d) penghubung (interface) yang menghubungkan
subsistem-subsistem, e) input, f) output, g) pengolah system (process)
dan h) tujuan (objective).
Sedangkan yang dimaksud dengan Sistem Dinamis (System
Dynamics) adalau suatu metode untuk mengenal lebih jelas masalah yang
kompleks. System ini dikenal sekitar 50 tahun lalu sebagai Industrial
dynamics (diperkenalkan pertama kali oleh Jay Forrester dari the
Massachusetts Institue of Technology pada tahun 1960 – 1961) yang
memfokuskan diri pada setting korporasi, namun saat ini telah dipakai
secara luas (Richardson & Pugh, 1983).
45
Masalah yang dapat dikenal baik dengan sistem dinamis harus
memiliki dua syarat utama. Syarat pertama masalah tadi harus bersifat
dinamis atau selalu berubah kuantitasnya setiap saat dan syarat kedua
masalah tadi mengandung pengertian umpan balik (feedback) dan
diagram alir (stocks and flows diagram). Sistem dinamis memiliki dua
aspek yaitu aspek kualitatif dan aspek kuantitatif. Aspek kualitatif
digambarkan dalam causal loop diagram (CLD) yang mengandung
feedback positif dan negatif. Pada CLD tidak dapat diterangkan besaran
masalah yang ada, oleh karena itu perlu dikuantifikasikan melalui aspek
kuantitatif, atau dengan kata lain CLD harus dikonversikan menjadi stock
and flows diagram (Brailsford, 2008). Melalui sistem dinamisdapat dibuat
suatu program komputer yang mensimulasikan dan mevisualisasikan
suatu tindakan dan feedback yang diperoleh.
Ada tiga jenis model system dinamis yaitu a) model ekonometrik, b)
model optimasi dan c) model simulasi. Model ekonometrik merupakan
model simulasi, khusus dipakai di bidang ekonomi. Model optimasi
merupakan model yang memberikan masukan tentang apa yang harus
dilakukan agar diperoleh suatu situasi yang lebih baik dan sama sekali
tidak menggambarkan apa yang akan terjadi dalam suatu situasi. Model
simulasi, bertujuan untuk memberikan gambaran yang menyerupai
keadaan nyata untuk dapat dipelajari perilakunya dari waktu ke waktu
(Sterman, 1991).
46
Pada pembuatan Sistem Model Dinamis ada beberapa hal yang
berkaitan satu sama lain yaitu:
1. Reservoir, sebagai wadah dimulainya suatu komponen dalam system
2. Processes, sebagai aktivitas yang terjadi pada sistem yang
menentukan perubahan pada reservoir sesuai waktu
3. Converter, merupakan variable yang mempunyai berbagai peran
dalam sistem. Peran utamanya adalah menentukan rate pada
processes yang menyebabkan nilai reservoir berubah.
4. Interrelationship, merupakan penghubung berbagai komponen dalam
sistem. Hubungan tersebut dinyatakan sebagai perhitungan matematik
sesuai perjalan waktu. Oleh karena itu dalam model dinamis
digunakan rumus kalkulus yang menyatakan hubungan reservoir
dengan waktu seperti:
��(�)�� = ⋯
Pada Interrelationship selalu terjadi hubungan sebab akibat yang
digambarkan sebagai Causal Loop Diagram. Hubungan sebab
akibat ini menimbulkan 2 macam feed back
a. Positive feedback (reinforcing feedback) yang terjadi bila
perubahan pada salah satu titik pada sistem menyebabkan
amplifikasi, destabilisasi dan disekuilibrasi pada titik yang lain
b. Negative feedback (counteracting feedback) yang terjadi jika
perubahan di suatu titik pada sistem menyebabkan
47
pengurangan deviasi pada titik yang lain dalam sistem untuk
menuju kesetimbangan.
5. Pada kebanyakan sistem terjadi yang dinamakan steady-state
behavior (hal ini terjadi juga pada pencemaran udara). Sistem yang
mencapai keaadaan steady-state, reservoir berubah sedikit sekali atau
bahkan tetap konstan. Pada keadaan ini nilai reservoir mendekati nol.
Bilamana dibuat grafik reservoir versus waktu, diperoleh garis
mendatar dan persamaan matematikanya menjadi �()� = 0. Biasanya
pada keadaan ini grafik yang terjadi merupakan logistic growth yang
berbentuk sigmoid (huruf S) dengan akhir grafik mendekati garis lurus
(Deaton & Winebrake, 2000; Richardson & Pugh, 1983). Hal ini terjadi
karena adanya positive dan negative feedback.
Menurut, Deaton 2000, validitas dari model dinamis ditentukan oleh
dua aspek yaitu a) Strukctural validity dan b) Predictive validity.(Deaton &
Winebrake, 2000) Suatu model dikatakan memenuhi structural validity
bilamana struktur model tadi (diagram maupun ukuran-ukurannya) benar-
benar secara akurat mewakili keadaan cause-effect yang
sebenarnya.Oleh karena itu hanya mereka yang mengerti betul keadaan
yang sebenarnya yang mampu membuat model dengan baik.
R(t)
Waktu
Steady-state
Gambar 2.Logistic S-curve
48
Suatu model dikatakan memenuhi predictive validity bilamana
model tadi mampu memprediksi secara adekuat apa yang akan terjadi
pada keadaan sebenarnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
menjalankan model tadi secara berulang-ulang dan membandingkan
dengan baseline behavior patterns dan steady state behavior patterns.
Kalau setelah dibandingkan ternyata model tadi menyerupai kedua
patterns tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa model tersebut
memenuhi predictive validity.
Dalam bidang kesehatan sendiri, model simulasi sering digunakan
untuk membantu perencanaan pemecahan masalah kesehatan
bagaimanapun kompleksnya dan tumpangtindihnya permasalahan yang
ada (biasanya masalah kesehatan merupakan masalah yang tidak
memiliki batas tegas dengan masalah lain). Banyak masalah kesehatan
yang dapat dipecahkan dan divisualisasikan dengan model ini, mulai dari
masalah kesehatan masyarakat, perencanaan kesehatan, keuangan,
fisiologi, biodinamik ekspresi gen, metabolik sampai dengan penyakit
menular dan deregeneratif (Erickson, Presley, Allen, Long, & Cox, 2010;
Hargrove, 1998; Homer & Hirsch, 2006; Srijaria, Riewpaiboon, &
Chaikledkaew, 2008). Model ini biasanya dapat bekerja secara cepat dan
dapat dilaksanakan secara interaktif, sehingga mempermudah
pengambilan keputusan (Brailsford, 2008).
Program komputer untuk simulasi yang ada saat ini banyak
jenisnya misalnya Dynamo, vensim, I-thing, Powersim dan Stella. Program
49
computer simulasi untuk sistem dinamis pertama kali dibuat Jay Forrester
dengan mempergunakan bahasa pemorgraman adalah Dynamo. Untuk
mempergunakan program ini dibutuhkan pengetahuan pemorgraman
khususnya compile language sehingga tidak semua orang dapat
mempergunakannya. Akhir-akhir ini mulai banyak dibuat program yang
sama namun berbasis grafis (visual language) antara lain adalah Stella
(Structure Thinking Eksperimental Learning Laboratory with Animation).
Program Stella dibuat oleh Barry Richmond pendiri High Performance
System, Inc. Stella merupakan program komputer simulasi yang
mempergunakan integrated graphical interface dengan icon-icon untuk
membentuk stock and flow diagram dengan persamaan-persamaan
matetamisnya sehingga mempermudah setiap orang untuk
mempergunakannya dalam pembuatan model dinamis (Fisher, 2011).
Oleh karenya Stella dapat dipergunakan dengan baik untuk melakukan
modeling pada pencemaran udara.
Faktor-faktor atau prediktor yang mempengaruhi terjadinya
pencemaran udara merupakan unsur utama pembuatan model ini. Setiap
perubahan pada faktor yang mempengaruhi kejadian pencemaran udara
diikuti perubahan feedbacknya.
Untuk membuat model dinamis diperlukan beberapa langkah yaitu:
1. Mendefinisikan masalah yang ada. Masalah yang sulit didefinisikan,
diurai menjadi beberapa unsur pembentuk masalah.
50
2. Strukturisasi model dengan jalan menguraikan hubungan antara
komponen penyusun masalah dan tujuan studi.
3. Formulasi model yang merumuskan perilaku model dan hubungan
antar variabel. Interaksi antar variabel yang kompleks sering
disederhanakan dengan asumsi-asumsi yang tepat.
4. Kalibrasi model yaitu menyesuaikan parameter-parameter model
dengan kondisi nyata di lapangan.
5. Validasi model, dilakukan dengan jalan melakukan pengujian
keakuratan model dan membandingkan perilaku model dengan situasi
nyata.
6. Sensitivitas model diuji dengan jalan mengubah-ubah nilai variabel
model.
F. MODEL DISPERSI GAUSSIAN
Model disperse Gaussian merupakan salah satu model perhitungan
yang banyak digunakan untuk mensimulasikan pengaruh emisi terhadap
kualitas udara. Model Gaussian merupakan bentuk persamaan
matematika yang dapat dimasukkan ke dalam perhitungan variabel yang
bersifat fisik dan diberikan informasi yang lebih detail mengenai sumber
polutan pada suatu daerah yang diteliti (Puspitasari, 2011).
Pemodelan pencemaran udara adalah satu-satunya metode yang
dapat menggambarkan kualitas udara di masa yang akan datang.
Informasi mengenai kualitas udara dimasa yang akan datang
memungkinkan pengatur kebijakan untuk menyusun strategi manajemen
51
pengendalian pencemaran udara. Model Gaussian Plume adalah salah
satu pemodelan matematis yang paling umum digunakan dalam
menggambarkan disperse polutan udara. Model Gaussian Plume telah
lazim digunakan karena berbagai keunggulannya, diantaranya yaitu
mudah dimengerti, mudah dalam aplikasinya, dan telah disepakati secara
internasional (Puspitasari, 2011).
Menurut Farida (2004) bahwa penyebaran emisi yang dihasilkan
oleh pembangkit listrik yang berkapasitas besar (cerobong gas buang 70-
200 meter) dikategorikan sebagai emisi sumber titik, sedangkan yang
mempunyai ketinggian cerobong gas buang di bawah 42 meter
dikategorikan sebagai emisi sumber luasan.Pendekatan yang dipakai
untuk sumber titik dengan menggunakan modifikasi fungsi Gaussian
dengan menggunakan 3 parameter yaitu sumber emisi, meteorologi, dan
topografi. Asumsi yang digunakan :
1. Sumber emisi menghasilkan material secara kontinyu
2. Karakteristik arah angin adalah homogeni secara vertikal atau
horizontal dan kecepatan rata-ratanya tidak berubah
3. Transformasi kimia dan fisika di atmosfer tidak diperhitungkan
4. Kobaran gas buang direfleksikan pada permukaan tetapi tanpa
absorpsi dan deplesi
5. Semua variabel konstan (kondisi steady state)
6. Permukaan datar
7. Sumbu x sejajar dengan arah angin perhitungan penyebarannya.
52
Penggunaan Model Gaussian dalam memperhitungkan konsentrasi
dan deposisi polutan akibat emisi sumber polutan titik didasarkan pada
pertimbangan salah satunya adalah model asap Gaussian hanya
membutuhkan data meteorologi angin yaitu arah dan kecepatan angin di
cerobong saja. Bila memakai model lain akan menemui kesulitan dalam
mencari data profil vertikal arah angin dan fluktuasinya yang lengkap
(Faridha, 2004).
(sumber : www.wikimedia.org)
Sampai saat ini, Model Gaussian tetap dianggap paling tepat untuk
melukiskan secara matematis pola 3 dimensi dari perjalan semburan
(plume) emisi. Dari sumbernya, emisi polutan akan bergerak sebagai
plume mengikuti arah angin, dan menyebar ke arah samping dan vertikal.
Konsentrasi polutan akan lebih tinggi di garis tengah plume dan rendah di
daerah-daerah tepi plume. Semakin ke tepi, konsentrasi semakin rendah.
Jika diamati, distribusi konsentrasi plume memiliki bentuk yang sama
dengan kurva distribusi normal atau kurva Gaussian. Formula perhitungan
Gambar 3. Model Guassian
53
AC yang mengikuti model Gaussian ini dikembangkan pertama kali oleh
Sir Graham Sutton di tahun 1947.
Estimasi konsentrasi polutan terdispersi dilakukan sepanjang
sumbu X yang merupakan arah hembusan angin, sepanjang sumbu Y
pada bidang mendatar (X,Y), dan sepanjang sumbu Z pada bidang
vertikal (X,Z).
Distribusi konsentrasi yang meruang (X,Y,Z) dari suatu cerobong
dengan ukuran diameter partikel kurang dari 20 mikron setinggi H,
diberikan persamaan
�( ,�,�) = �������� ����
�������
�������
�� !��� "! #��
�" !��� ……..(�)
Dimana :
C = konsentrasi polutan udara dalam massa per volume (mg/m3)
Q = Laju emisi polutan dalam massa per waktu (mg/detik)
Us = Kecepatan angin di titik sumber (m/detik)
σy = Kecepatan angin di titik sumber (m)
σz= Koefisien dispersi secara vertikal terhadap sumbu x (m)
π = Konstanta matematika untuk phi (3,1415926… = 3,14)
He = Tinggi efektif stack (cerobong) di pusat kepulan (m)
Y = Jarak pengamatan sejajar dengan sumbu-y dari sumber emisi
(m)
54
Dengan X(x,y,z;H) menyatakan konsentrasi pada kedudukan angin
turun (x,y,z) untuk tinggi cerobong efektif H [ML-3], Q menyatakan
kekuatan sumber [MT-1], U menyatakan kecepatan angin rata-rata yang
mempengaruhi transport kepulan [LT-1], σy, σzmenyatakan ukuran
penyebaran kepulan asap lateral (crosswind) dan vertikal. Besaran ini
fungsi dari jenis stabilitas atmosfer dan jarak angin turun [L], H adalah
tinggi cerobong efektif atau tinggi garis pusat kepulan asap [L]. Polutan
tidak dapat terserap ke dalam tanah, sehingga mencerminkan suatu
pemantulan yang sempurnah. Pengertian umum dari persamaan adalah
sebagai berikut:
1. Konsentrasi polutan pada sumbu X arah hembusan angin secara
langsung proporsional dengan laju emisi Q
2. Konsentrasi pada permukaan tanah sepanjang arah hembusan
angin (Z=0) berbangding terbalik dengan arah angin
3. Nilai σy dan σz meningkat dengan peningkatan ketidakstabilan
atmosfir (turbulensi)
4. Nilai konsentrasi X maksimum pada permukaan tanah akan
menurunkan dengan pertambahan tinggi efektif cerobong
5. Konsentrasi permukaan tanah (Z=0) (Air Pollution Control, 1986).
55
Tabel 2. Klasifikasi Stabilitas Atmosfer
No.
Kecepatan Angin Siang Malam
permukaan Intensitas Sinat
Matahari Tutupan Awan
( m/detik ) Kuat Sedang Lemah >4/8 berawan <3/8 cerah
1 <2 A A-B B F F
2 2 sampai 3 A-B B C E F
3 3 sampai 5 B B-C C D E
4 5 sampi 6 C C-D D D D
5 >6 C D D D D
Sumber : KLH 2007
A = sangat tidak stabil
B = sedang
C = sedikit tidak stabil
D = netral
E = agak sedikit stabil
F = stabil
G. POLA SPASIAL PENCEMARAN UDARA
Pola Spasial
Geografi adalah bidang ilmu yang mempelajari berbagai gejala di
permukaan bumi dalam perspektif keruangan. Eksistensi ruang dalam
geografi dapat dipandang dari struktur (spatial structure), pola (spatial
pattern), dan proses (spatial processes). Dalam konteks fenomena
keruangan terdapat perbedaan kenampakan, struktur, pola dan
proses.Pola merupakan pola persebaran suatu fenomena di ruang muka
bumi.
56
Analisis keruangan mencoba menelaah tentang lokasi dan
persebaran gejala-gejala di ruang muka bumi. Untuk memperoleh lokasi
dan perseberan gejala-gejala di ruang muka bumi. Untuk memperoleh
gambaran sesuatu di muka bumi, atau untuk memberikan gambaran
tentang sesuatu di muka bumi, alat yang terbaik adalah peta (Sandy,
1973).
Dalam analisis keruangan perlu dilakukan pengwilayahan. Wilayah
pada hakekatnya menyangkut sebagian dari muka bumi yang batasnya
ditetapkan atas dasar kriteria tertentu.
H. PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian tentang kualitas udara sudah sering dilakukan. Penelitian
kualitas udara salah satunya dilakukan oleh Rahmawati (1999) mengenai
kualitas udara di DKI Jakarta pada tahun 1997. Penelitian selanjutnya
tentang kualitas udara dilaukan oleh Wahono (2003) mengenai kajian
dinamika spesial zat pencemaran udara di lokasi industri PT. Nation
Gobel. Adapun penelitian lain yaitu tentang persebaran kualitas udara
pada wilayah industri MIGAS di PT. PERTAMINA UP VI Balongan oleh
Bakar (2006).
Rahmawati (1999) menganalisis pola sebaran polutan udara untuk
tiap-tiap musim dan melihat peran faktor kontrol angin dan sebaran
bangunan tinggi di DKI Jakarta tahun 1997. Hasil penelitian tersebut
menginformasikan pada periode musim yang berbeda akan menghasilkan
pola sebaran polutan yang berbeda pula. Hasil penelitian tersebut juga
57
menginformasikan bahwa faktor angin dan bangunan tinggi sangat
berpengaruh pada persebaran polutan di kota besar seperti DKI Jakarta.
Penelitian yang dilakukan Wahono (2003) menganalisa arah
pergerakan zat pencemar yang dihasilkan oleh cerobong dan menjelaskan
tingkat pencemaran udara di lokasi industri PT. National Gobel. Hasil
penelitian tersebut menginformasikan pola persebaran zat pada periode
pengamatan memiliki arah yang berbeda-beda. Hasil penelitian ini juga
menginformasikan bahwa kecepatan angin dapat membantu proses
pengenceran zat.
Adapun penelitian Bakar (2006) yang menganalisa persebaran
kualitas udara berdasarkan arah dan jarak dari titik sumber dengan
menggunakan kriteria Indeks Standar Polutan. Dalam penelitian tersebut
juga dideskripsikan persebaran kualitas udara dengan melihat variasi arah
kecepatan angin yang terajadi di PT. PERTAMINA UP VI balongan serta
dibandingkan persebaran kualitas udara hasil aplikasi model Gaussian
dengan pengukuran udara ambien.
58
Berikut adalah beberapa penelitian tentang pemodelan kualitas udara yang menjadi rujukan dan disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :
I. TABEL3. DAFTAR PENELITIAN TENTANG PEMODELAN KUALITAS UDARA
No. Peneliti / tahun Judul Karakteristik
Metode Aplikasi/model Hasil
1. Yulia Fitri & Sri Fitria Retnawaty /2015
Prediksi Konsentrasi CO2 Pada Cerobong Asap Dari Rencana Pembangunan Pembangkit Listrik tenaga mesin dan Gas (PLMTG) Duri
Model Dispersi Gaussian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi gas emisi CO2 sangat dipengaruhi oleh faktor meteorologi. Nilai konsentrasi CO2 maksimum dari bahan bakar LNG dari cerobong asap yaitu 285,77 μg/m3 dan 284,62 μg/m3. Konsentrasi CO2 dari bahan bakar HSD, yaitu 2127,31 μg/m3 dan 2118,78 μg/m3.
2. Devita / 2017 Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan Pajanan Gas Karbon Monoksida (CO) pada Petugas Pengumpul Tol di Semarang
Analisa deskriktif Kuantitatif
desain cross sectional
Hasil penenitian yaitu rata-rata konsentrasi gas Karbon Monoksida (CO) dalam udara ambient di gerbang tol Semarang 10,61 menunjukkan nilai di bawah baku mutu yang ditetapkan pada keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 8 Tahun 2001
3. Anita Dwi Puspitasari /2011
Pola Spasial Pencemaran Udara dari Sumber Pencemar PLTU dan LTTGU Muara Karang
Deskriptif WRPLOT/Arc.View/ Model Spasial
Pola spasial pencemaran udara yang bersumber dari PLTGU dan PLTU menunjukkan perbedaan jangkauan dan nilai konsentrasipolutan menyebar lebih jauh (lebih dari 10 km) dan nilai polutan cenderung lebih kecil, sedangkan pada keadaan stabilitas atmosfer tidak stabil polutan menyebar lebih dekat (kurang dari 6 km) dan nilai polutan lebih besar.
4. Niken /2012 Potensi Gangguan Kesehatan Polisi Lalu Lintas Akibat Karbon Monoksida (CO)
Analisa deskriktif Kuantitatif
desain cross sectional
Hasil penelitian bahwa analisis korelasi yang dilakukan menunjukkan nilai sebesar 0,264 yang menunjukkan yang lemah, sehingga dampak CO yang dirasakan oleh responden pada saat bertugas
59
No. Peneliti / tahun Judul Karakteristik
Metode Aplikasi/model Hasil
5. Erwin Ningsih / 2012
Pengaruh Paparan Gas Karbon Monoksida (CO) Terhadap Tekanan Darah Pekerja Jasa Becak di Terminal Tirtonadi Surakarta
Analisa deskriktif Kuantitatif
desain cross sectional
Hasil penelitian diperoleh nilai p=0,000, yang berarti terdapat pengaruh yang sangat signifikan antara paparan gas CO terhadap tekanan darah pekerja jasa becak di Terminal Tirnodadi, Surakarta
6.. Sandra Yossi /2011
Hubungan Tingkat Konsentrasi SO2 dan TSP dan Lingkungan Fisik dengan Kejadian ISPA pada Penduduk di Kotamadya Jakarta Timur Tahun 2008-2010
Analisa deskriktif Kuantitatif
desain cross sectional
hasil penelitian dengan a=10% dan 5% menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat konsentrasi So2 (p=0,005), TSP (p=0,013), kelembaban minimum (p=0,059), dan curah hujan (p=0,005) dengan kejadian ISPA
7. Minerva Nadia / 2011
Hubungan Konsentrasi SO2 dan Suspended Particullate Matter (SPM) dengan Jumlah Kejadian ISPA Penduduk Kecamatan Pademangan Tahun 200-6-2010
Analisa deskriktif Kuantitatif
desain cross sectional
Hasil penelitian menunjukkan semakin meningkat konsentrasi gas SO2maka semakin meingkat pula jumlah kejadi kejadian ISPA pada penduduk kecematan Pademangan
8. Fitriani Sudirman / 2015
Model estimasi konsentrasi karbon monoksida (CO) dan nitrogen
Observasional analitik
Model dinamis Hasil penelitian menunjukkan bahwa 10 tahun yang akan datang (2025) destimasikan CO mengalami peningkatan sebesar 1,56 kali lipat tiap bulan dari konsentrasi 1.298 µg/Nm3 di tahun 2015 menjadi
60
No. Peneliti / tahun Judul Karakteristik
Metode Aplikasi/model Hasil
dioksida (NO2) di beberapa jalan utama kota Makassar
242.678 µg/Nm3 di tahun 2025 dan konsentrasi No2 mengalami peningkatan sebesar 0,53 kali lipat tiap bulan dari konsentrasi 49,401 µg/Nm3 di tahun 2015 menjadi 3.122,73 µg/Nm3 di tahun 2025 jika tidak ada tindakan pengendalian.
61
J. KERANGKA TEORI
Topik kajian dalam penelitian ini adalah aktivitas industri, yang mana
salah satu penyumbang emisi (gas buang) terbesar berupa polutan antara
lain adalah sulfur dioksida (SO2) dan karbon monoksida (CO) yang
bersumber dari bahan bakar mesin melalui cerobong industri dimana sangat
berbahaya karena dapat mencemari lingkungan dan menimbulkan berbagai
macam gangguan kesehatan pada manusia. Persebaran polutan (SO2 dan
CO) dari cerobong menuju lingkungan sangat dipengaruhi oleh karakteristik
cerobong itu sendiri, kemudian dipengaruhi pula oleh kondisi meteorologi
yaitu stabilitas atmosfer dan angin. Namun ada sumber lain yang turut
menyumbang polutan SO2 dan CO yaitu sumber line source seperti emisi
kendaraan bermotor.
Untuk itu mesti dilakukan upaya perencanaan dan pengendalian
secara efektif agar dampak dari aktivitas industri (cerobong) dapat
diminimalisir sekecil mungkin. Pengendalian tersebut dapat dilakukan dengan
berbagai cara antara lain dengan pemantauan dan penanaman pohon
penyerap polutan disekitar lokasi industri.
62
Gambar 4. Kerangka Teori
Sumber : (Dauhi, 2014) dan (Popescu & Lonel, 2010) yang dimodifikasi
PLTD TELLO
Emisi Cerobong
SO2 CO
Udara
Konsentrasi SO2 dan CO di lingkungan
Faktor Meteorologi: 1. Stabilitas Atmosfer 2. Arah Angin 3. Kecepatan Angin
Bahan bakar mesin (MFO, LFO, Solar dan HSD)
Dampak Lingkungan Dampak Manusia
Kendaraan bermotor
63
K. KERANGKA KONSEP
1. Faktor-faktor Penyebar Bahan Pencemaran SO2 dan CO
Proses pencemaran meliputi proses penyebaran zat pencemar ke
lingkungan. Penyebab pencemar udara meliputi proses pengangkutan
(transport) dan pegenceran (difusi) yang dinyatakan dalam bentuk
persamaan-persamaan matematika transport dan difusi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme penyebaran
pencemaran SO2 dan CO, secara garis besar ditentukan oleh karakteristik
sumber emisi dan karakteristik atmosfer lokal. Karakteristik sumber emisi
yang dimasukkan merupakan karakteristik dari tempat atau lubang
pengeluaran zat pencemar yang didispersikan ke udara. Selain sumber
emisi, laju pencemaran atau banyaknya zat yang didispersikan ke udara juga
mempengaruhi proses penyebaran polutan di udara. Semakin stabil kondisi
atmosfer, semakin lama polutan berada di atmosfer dan jatuh ke permukaan
tanah pada jarak yang lebih jauh. Sebaliknya, semakin tidak stabil kondisi
atmosfer, polutan semakin cepat jatuh ke tanah sehingga jarak ketika
konsentrasi maksimum di permukaan tanah lebih dekat.
Selain karakteristik sumber emisi, kondisi atmosfer lokal juga
merupakan factor yang mempengaruhi mekanisme/proses dispersi polutan ke
udara. Perilaku alami seperti arah dan kecepatan angin berpengaruh
kemampuan memindahkan massa udara dalam arah horizontal, baik arah
64
maupun jangkauan dari polusi tersebut. Berdasarkan kerangka teori di atas
maka kerangka kosep dapat disederhanakan dan disajikan pada gambar 9 :
2. Variabel dan Defenisi Operasional
Varibel dibuat berdasarkan kerangka konsep yang ada pada gambar
5. Variabel dan defenisi opersional dalam penelitian ini disajikan dalam
bentuk tabel 4 di bawah ini.
Ket :
Tidak diukur :
Gambar 5. Kerangka Konsep
Konsentrasi
Emisi
Cerobong :
SO2
CO
Penyebaran
SO2&CO :
Stabilitas Atmosfer
Arah Angin
Kecepatan Angin
Suhu
Dampak :
Lingkungan
Manusia
65
Tabel4.Variabel dan Definisi Operasional
No Variabel Defenisi Operasional Sumber Data Jenis Data
1 Konsentrasi zat buang cerobong (SO2 dan CO)
Sulfur dioksida (SO2) dan Karbon monoksida (CO).
RKL & RPL Tahun 2012-2017
Sekunder
2 Arah Angin Arah angin yang mendominasi Data hasil pengukuran BMKG
Sekunder
3 Kecepatan Angin
Kecepatan angin per jam, dengan tujuan untuk melihat variasi kecepatan angin dan dapat dirata-ratakan
Data hasil pengukuran BMKG
Sekunder
4 Stabilitas Atmosfer
Stabilitas atmosfer ditentukan berdasarkan kecepatan angin. Stabilitas atmosfer hanya dilihat yang paling mendominasi saja
Data hasil pengukuran BMKG
Sekunder
5 Konsentrasi zat pencemar
konsentrasi zat pencemar diperoleh dengan menggunakan perhitungan Gaussian.
Pengolahan data
Primer
66
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS DAN DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian prognostik (Prognostic research),
yaitu penelitian yang berusaha memprediksi suatu kejadian pencemaran
udara yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang ada. Metode penelitian ini
termasuk pendekatan deskriptif kuantitatif dengan mendesain suatu bentuk
pemodelan sebaran polutan SO2 dan CO menggunakan persamaan kepulan
asap Gauss dan pendekatan model sistem dinamik yakni pengumpulan data
untuk mendesain model yang bertujuan mendeskripsikan dan meprediksi ke
depan kejadian pencemaran udara di sekitar PLTD Tello di Kota Makassar.
B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
1. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan dalam waktu tiga bulan yaitu bulan April - bulan
Juni 2017 yang diawali dengan survey awal dan penelusuran daftar pustaka.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian akandilakukan di PLTD Tello yang menjadi sumber emisi
gas buang dari cerobong yang dihasilkan oleh proses produksi PLTD Tello.
67
C. POPULASI DAN SAMPEL
1. Populasi
Populasi yang akan diteliti adalah data parameter emisi zat buang
yang dihasilkan oleh cerobong PLTD Tello yang dipengaruhi oleh stabilitas
atmosfer, arah dan kecepatan angin sehingga diperoleh konsentrasi zat
pencemar dengan menggunakan perhitungan Gaussian.
2. Sampel
Data konsentrasi zat buang SO2 dan CO PLTD Tello yang terdapat
dalam laporan pemantauan pelaksanaan RKL & RPL Tahun 2012-2017.
D. METODE PENGUMPULAN DATA
1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Data sekunder terdiri atas konsentrasi zat buang yang diperoleh
dari PLTD Tello yang terdapat dalam laporan pemantauan pelaksanaan RKL
& RPL Tahun 2012-2017, data kecepatan angin, arah angin dan sinar
matahari diperoleh dari BMKG Kota Makassar.
68
2. Analisis Data/Model
a. Perhitungan Dispersi Gauss
Dalam menghitung konsentrasi emisi SO2 dan CO PLTD Tello dengan
menggunakan rumus Gaussian melibatkan pula koefisien dispersi untuk
mengetahui nilai penyebaran vertikal maupun penyebaran lateral pada jarak
tertentu. Adapun koefisien dispersi gauss yang disajikan dalam tabel 5
berikut ini.
Tabel 5. Koefisien Dispersi Gauss
Stabilitas
Atmosfer
X < 1 km X > 1 km
a c D f c d f
A 213 440,8 1,941 9,27 459,7 2,094 - 9,6
B 156 106,6 1, 149 3,3 108,2 1,098 2
C 104 61 0,911 0 61 0,911 0
D 68 33,2 0,725 -1,7 44,5 0,516 -13
E 50,5 22,8 0,678 -1,3 55,4 0,305 -34
F 34 14,4 0,740 -0,35 62,6 0,180 -48,6
Catatan : harga b = 0,89 untuk semua kelas
σy = aXb dan σz = cXd + f
X = jarak konsentrasi sebaran (km)
Kecepatan angin di titik sumber menggunakan rumus :&' = &10 ( )�*+,
Ket : Us = kecepatan angin pada ketinggian cerobong (m/dt)
69
U10 = kecepatan angin pada ketinggian 10 m (m/dt)
Hs = tinggi cerobong (m)
n = konstanta = 0,25 untuk angin tidak stabil, n = 0,50 untuk angin stabil.
Nilai He (tinggi efektif) dapat diketahui menggunakan persamaan berikut
ini :
He = Hs + ΔH
Dimana : Hs = tinggi cerobong (m)
ΔH = tinggi kepulan (m)
b. Screen View 3.5.0
Screen View 3.5.0 digunakan untuk menghitung total
konsentrasi emisi SO2 dan CO PLTD Tello selama lima tahun terakhir
(2012-2016).
c. WRPLOT View
Mengelompokkan frekuensi kejadian angin berdasarkan arah dan
kecepatan angin untuk diketahui distribusi delapan arah mata angin,
sehingga akan didaptkan distribusi arah angin utama (download). Data
yang dipilih yaitu data angin selama tahun 2012-2016. Frekuensi
kumulatif kejadian angin digunakan untuk membuat diagram windrose
selama periode pengukuran. Diagram windrose dibuat dengan perangkat
lunak WRPLOT View dan kecepatan angin diklasifikasikan menjadi tiga.
70
Diagram windrose yang telah dibuat ditampilkan bersama peta daerah
penelitian dengan menampilkan titik stasiun meteorologi BMKG.
Koordinat sumber dan reseptor pencemaran SO2 dan CO
digunakan dalam lokasi sumber pencemar adalah koordinat kartesius tiga
arah yaitu arah x, y, z. Untuk menentukan elevasi daerah yang dimaksud
digunakan peta topografi. Penentuan jarak sebarak menggunakan skala
mikro atau biasa disebut skala lokal dengan orde jangkauan sampai
dengan satuan kilometer yaitu 10 km (Soedomo, 2001). Dari skala lokal
tersebut maka dapat dibagi beberapa lokasi reseptor dengan
menggunakan sistem koordinat polar pada jarak 500 m sampai ke 4.000
m di sekeliling daerah penelitian.
d. Simulasi Model
Forrester (1961), mendefinisikan simulasi sebagai penyelesaian
atau perhitungan tahap demi tahap dari persamaan matematika yang
menggambarkan keadaan sistem untuk mengetauhi perubahan yang
terjadi pada sistem tersebut sehingga diketahui perilakunya.
Oleh Muhammadi (2001), simulasi didefenisikan sebagai peniruan
perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami
gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan peramalan perilaku
gejala atau proses tersebut di masa depan.
Simulasi merupakan salah satu alat analisis yang terpercaya bagi
perancangan dan pengoperasian proses atau sistem yang rumit. Dengan
71
semakin meningkatnya persaingan dunia, simulasi menjadi alat yang
sangat cocok untuk perencanaan, perancangan dan pengawasan bagi
sebuah sistem.Simulasi merupakan sebuah tiruan dari sebuah operasi di
dunia nyata.
Model simulasi adalah suatu teknik dimana hubungan sebab
akibat dari suatu sistem ditangkap (capture) di dalam sebuah model
komputer untuk menghasilkan beberapa perilku sesuai dengan sistem
nyata.
Pelaksanaan simulasi melalui 4 tahap, yaitu :
1) Tahap pertama simulasi adalah penyususnan konsep, gejala atau
proses yang akan ditirukan perlu dipahami, antara lain dengan
menetukan unsur-unsur yang berperan dalam gejala atau proses
tersebut.
2) Tahap kedua adalah pembuatan dan perumusan model. Konsep
pada tahap awal dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian
gambar atau rumus.
3) Tahap ketiga, simulasi dapat dilakukan dengan menggunakan
model yang telah dibuat. Dalam model kuantitatif, simulasi
dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, dimana
perhitungan dilakungan untuk mengetahui perilaku gejala atau
proses. Dalam model kualitatif, simulasi dilakukan dengan
menelusuri dan mengadakan analisis hubungan sebab akibat antar
72
unsur dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan
untuk mengetahui perilaku gejala atau proses.
4) Tahap keempat, dilakukan validasi untuk mengetahui kesesuain
antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan.
Model dapat dinyatakan baik apabila kesalahan atau simpangan
hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditirukan kecil.
Hasil simulasi tersebut selanjutnya digunakan untuk memahami
perilaku gejala atau proses serta mengetahui kecenderungan di
masa mendatang.
Waktu dan jumlah simulasi yang dilakukan adalah selama 12
bulan (2018) dilakukan untuk mengestimasi konsentasi SO2 dan CO
yang berasal dari Cerobong PLTD Tello selama 12 bulan (2018)
dengan pendekatan dinamik (aplikasi software Stella 5.0) tanpa
skenario.
Pemodelan dinamik diawali dengan membangun sebuah
Diagram Alir Model konsentrasi SO2 dan CO. Validasi model yaitu
membandingkan hasil simulasi model I dengan data riil presentasi,
dengan syarat yang harus dipenuhi bahwa perbedaan rata-rata
peningkatan kelipatan konsentrasi SO2 dan CO hasil simulasi tidak
boleh lebih dari 50% dibandingkan dengan data rill SO2 dan CO.
analisis simulasi menggunakan program stella 5.0.
73
e. Perangkat Lunak Simulasi
Untuk melakukan simulasi dari sebuah model, diperlukan
perangkat lunak (software) yang secara cepat dapat melihat perilaku dari
model yang telah dibuat. Ada berbagai macam perangkat lunak yang
dapat digunakan untuk keperluan ini, seperti Vensim, Dynamo, Ithing,
Stella dan Power Simulation. Tetapi dalam penelitian ini, software yang
digunakan adalah Stella 5.0. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa
tahapan kegiatan, baik dalam bentuk penelitian pustaka, pengambilan
dan pengolahan data maupun kegiatan analisis model dengan
menggunakan aplikasi Stella 5.0.
3. Validasi Model
Penilaian keabsahan model merupakan proses formal untuk meninjau
seberapa besar tingkat kepercayaan dapat diberikan kepada model tersebut.
Sebuah pernyataan dalam sistem dinamik yaitu bahwa keabsahan model
dikaitan dengan konsisten dan kesesuaian dengan tujuan model.
Teknik validasi yang utama dalam metode berpikir sistem adalah
validasi struktur model, yaitu sejauh mana keserupaan struktur model
mendekati struktur nyata. Sebagai model struktural yang berorientasi proses,
keserupaan struktur model dengan struktur nyata ditunjukkan dengan sejauh
mana interaksi variabel model dapat menirukan interaksi kejadian nyata.
74
a. Proses validasi model
Dalam menilai validasi, tujuan membuat model memegang peranan
penting. Suatu model dikatakan baik jika berhasil mencapai tujuan yang
ingin dicapainya, maka pernyataan mengenai tujuan model selain untuk
memusatkan arah penelitian juga berguna sekali dalam menilai validasi
model.
b. Uji Validasi Kinerja / Output Model
Validasi kinerja adalah aspek pelengkap metode berpikir sistem.
Tujuannya untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model
sesuai dengan kinerja sistem nyata, sehingga memenuhi syarat sebagai
metode ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah memvalidasi kinerja
model dengan data empiris, untuk melihat sejauh mana perilaku output
model sesuai dengan perilaku data empirik (Muhammadi, 2001).
Terdapat dua cara validasi kinerja model, yaitu : a) cara kualitatif,
yaitu membandingkan visual antara simulasi dengan kondisi aktual, dan
b) cara kualitatif. Pada penelitian ini dilakukan validasi dengan cara
kualitatif dan kuantitatif.
4. Implementasi Model
Model yang sudah divalidasi secara representatif sudah dapat dipakai
untuk meprediksi kemungkinan pencemaran SO2 dan CO di sekitar kawasan
PLTD Tello. Implementasi model yang dilakukan adalah dengan melakukan
75
analisis sensifitas yang bertujuan untuk melihat seberapa besar pengaruh
variabel-vaariabel terhadap pencemaran SO2 dan CO. Variabel yang sangat
sensitif terhadap perubahanlah atau biasa disebut leverage yang akan
dipakai membentuk skenario kebijakan yang merupakan implementasi dari
model pencemaran SO2 dan CO.
Implementasi model ini juga akan dirujukkan kepada teori yang
membentuk model tersebut untuk melihat sejauh mana teori itu mendukung
model tersebut atau teori tersebut perlu direvisi karena ternyata ada temuan
di luar teori tersebut yang mendukung penelitian ini.
E. INSTRUMEN PENELITIAN
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : perangkat
komputer, alat tulis dan perangkat lunak (software Stella 5.0, Screen View
3.5.0, Ms Exel dan WRPLOT).
76
F. BLACK BOX
Metode ini digunakan untuk melakukan identifikasi model sistem dari
data yang menggabarkan perilaku masa lalu dari sistem (past behavior of the
exsting system). Melalui berbagai teknik statistik dan matematik, maka model
yang paling cocok (fit) dengan data operasional dapat diturunkan.
.
PENCEMARAN
SO2& CO
Input terkendali : - Diameter Cerobong - Tinggi Cerobong - Bahan Bakar
Out put dihendaki : - Emisi di bawah
baku mutu
Input tak terkendali : - Arah angin - Kec. angin - Stabilitas atmosfer
Output tak dikehendaki : - Udara tercemar
Parameter
Umpan Balik
Input
Lingkungan
Gambar 6. Black Box
77
G. DIAGRAM ALIR MODEL
Diagram Sebab-Akibat (Causal Loop) merupakan suatu mata rantai
yang menggambarkan identifikasi masalah dalam pendekatan sistem yang
menghubungkan berbagai kepentingan dengan permasalahan yang dihadapi.
Gambar menunjukkan peningkatan emis gas buang SO2 dan CO dari
cerobong yang dipengaruhi oleh penggunaan MFO dan LFO sebagai bahan
bakar mesin PLTD Tello dan emisi transportasi secara terus menerus. Laju
emisi dan persebaran polutan dari cerobong dipengaruhi oleh diameter
cerobong, tinggi cerobong, suhu udara di dalam cerobong dan suhu udara di
luar cerobong. Kemudian perseberan konsentrasi SO2 dan CO dipengaruhi
oleh stabilitas atmosfer dan angin (kecepatan dan arah).
Keadaan atmosfer yang tidak stabil memungkinkan terjadi
pembentukan awan khususnya mempunyai ukuran vertikal yang mencolok.
Hal ini dapat sangat membahayakan jika terjadi hujan, dimana awan yang
mengandung polutan dapat menimbulkan terjadinya hujan asam (Puspitasari,
2011). Keadaan atmosfer yang lebih stabil menyebabkan asap terakumulasi
dekat permukaan bumi dan tidak dapat bergerak lebih tinggi karena tidak
terjadi gerakan udara vertikal. Hal ini dapat membahayakan daerah yang
terkena asap tersebut.
78
Menurut Sastrawijaya (1991), kecepatan angin mempengaruhi
distribusi pencemar. Konsentrasi pencemar akan berkurang jika angin
kecepatan tinggi dan membagikan kecepatan tersebut secara mendatar atau
vertikal. Beberapa pohon memiliki kemampuan menyerap polutan termasuk
gas SO2 dan CO. Alur ini digambarkan pada skema gambar 11.
Causal Loop Diagram (CLD) Pencemaran
Topografi
Kons. SO2 dan CO
Sebaran kons. SO2&CO
Angin
Stabilitas atmosfer
Kualitas udara
Gedung
Diameter cerobong
Kecepatan angin
Arah angin
-
+
Pohon penyerap
+
-
Gambar 7. Cuasal Loop Diagram
(CLD)
Transportasi
-
Kec.emisi cerobong
Tinggi cerobong
79
SO2 & CO
Emis i dari Sum ber
Koef Keluar Sis tem
Abs orb Plant
Keluaran Sistem
Kec Angin Cer
Jarak X per lokasi
Koef DGf
Koef Stabilitas Atm
Koef DGa
Kecepatan Em isi
Koef Abs orpsi
Ketinggian efektif cer
Fungsi BriggsKoef Xf
Arah Angin
Koef Arah Angin
Kec Angin 10 m
Peny latera l
Peny vertika lKoef DGd
Koef DGcKoef b
Tinggi Cerobong
DeltaH
Jarak y per lokasi
Gambar 8.Diagram Alir Model
80
H. ALUR PENELITIAN
Gambar 9. Alur Penelitian
Mulai
Seleksi fakta, ide dan informasi tentang SO2 dan CO yang dihasilkan oleh cerobong PLTU Tello
sesuai
sesuai
sesuai
selesai
cukup
Akuisisi data
ya
ya
ya
tidak
tidak
tidak
ya
tidak
Observasi variabel penelitian melalui pengambilan data sekunder SO2 dan CO dari PLTU Tello yang terdapat dalam laporan pemantauan
pelaksanaan RKL & RPL Tahun 2017
Membangun Black Box
Membangun diagram alir
Validasi model dengan cara membandingkan output model
dengan data rill
81
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
a. Kota Makassar
1) Geografis dan Topografis
Kota Makassar terletak antara 119024’17’38’’ Bujur Timur dan
508’6’19’’ Lintang Selatan yang berbatasan sebelah utara dengan
Kabupaten Maros, sebelah Timur Kabupaten Maros, sebelah selatan
Kabupaten Gowa dan sebalah barat Selat Makassar. Luas wilayah kota
Makassar tercatat 175,77 km persegi yang meliputi 14 kecamatan.
2) Iklim
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Badan Meteorologi
dan Geofisika Kota Makassar, rata-rata kelembaban udara sekitar 82,7
persen, temperatur udara 26,50-280C, dan rata-rata kecepatan angin 4,0
knot.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Badan Meteorologi
dan Geofisika Kota Makassar, kondisi rata-rata curah hujan di kota
Makassar pada tahun 2012-2016 disajikan pada gambar 10:
82
Gambar 10. Rata-rata Curah Hujan di Kota Makassar Tahun 2012-2016
Berdasarkan gambar 10 menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan di
kota Makassar cukup tinggi terutama pada awal tahun yaitu 385-982 mm dan
akhir tahun yaitu 448-675 mm. Sedangkan untuk hari hujan, hampir setiap
bulan terdapat hari hujan, kecuali pada bulan agustus dan september
sebagai puncak musim kemarau.
0
200
400
600
800
1000
1200
JAN
FE
B
MA
R
AP
R
ME
I
JUN
I
JULI
AG
ST
SE
P
OK
T
NO
P
DE
S
Bulan
Cu
rah
Hu
jan
(m
m)
2012
2013
2014
2015
2016
Tahun
Bulan
83
Gambar 11. Rata-rata Kelembaban Udara di Kota Makassar Tahun 2012-
2016
Berdasarkan gambar 11 menunjukkan bahwa rata-rata kelembaban
udara di kota Makassar cukup tinggi terutama pada awal tahun yaitu 83-89 %
dan akhir tahun yaitu 83-87 %, kecuali pada bulan Agustus dan September
memasuki musim kemarau.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Badan Meteorologi dan
Geofisika Kota Makassar, kondisi rata-rata kecepatan angin bulanan di kota
Makassar pada tahun 2012-2016 disajikan pada tabel 7:
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Kele
mb
ab
an
Ud
ara
(m
m)
2012
2013
2014
2015
2016
Bulan
Tahun
84
Tabel 6. Rata-rata Kecepatan Angin Bulanan (Knot) di Kota Makassar
pada Tahun 2012-2016
No. Tahun
Bulan
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sep Okt Nop Des
1 2012 5 4 5 4 4 4 4 4 4 5 4 5
2 2013 7 5 5 4 4 4 4 4 5 5 5 5
3 2014 5 5 4 4 4 4 4 4 4 5 5 5
4 2015 5 4 4 3 3 3 4 4 4 4 4 5
5 2016 5 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 7
Sumber: Kantor Badan Metorologi dan Geofisika Kota Makassar 2017.
Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata kecepatan angin di
kota Makassar 4 knot. Hal ini menunjukkan angin bergerak lambat atau
dalam kondisi atmosfir yang tidak stabil. Pada kondisi ini dapat menyebabkan
pergerakan zat pencemar yang berasal dari cerobong PLTD Tello akan
menjadi lambat pula dan mempengaruhi tingginya konsentrasi bahan
pencemar akibat akumulasi emisi PLTD Tello.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Badan Meteorologi dan
Geofisika Kota Makassar, kondisi arah angin dominan di kota Makassar pada
tahun 2012-2016 disajikan pada tabel 7 :
85
Tabel 7.Arah Angin Dominan di Kota Makassar pada Tahun 2012-2016
No. Tahun
Bulan
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sep Okt Nop Des
1 2012 E E E E E E E E E W SE E
2 2013 NW E SE SE SE SE SE SE SE SE SE SE
3 2014 SE E SE SE SE SE SE W W W SE E
4 2015 NW NW SE SE SE SE SE SE W SW SE SE
5 2016 SE E SE SE SE SE SE SE SE SE SE NW
Sumber: Kantor Badan Metorologi dan Geofisika Kota Makassar 2017.
Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa arah angin di kota Makassar
dominan bertiup dari arah Tenggara (SE) atau dengan kata lain angin
dominan bertiup ke arah Barat Laut (NW). Hal ini berarti bahwa daerah yang
terkena dampak bahan pencemar paling sering adalah kawasan pemukiman
warga arah Barat Laut (NW) dari PLTD Tello.
Wind Rose Speed (Knot)
Arah dan Kecepatan Angin Tahun 2012-2016
1-4
4 - 7
7 - 11
Gambar 12. Bunga Angin (wind rose) di Kota Makassar Tahun 2012-2016
West East
North
South
86
Dari gambar 12 menunjukkan bahwa rata-rata kecepatan angin
sebesar 4 knot dengan arah angin dominan mengarah ke Barat Laut (NW)
selama tahun 2012-2016 di kota Makassar. Dari windrose tersebut kita dapat
mengetahui wilayah mana saja yang sering terkena dampak pencemaran
polutan SO2 dan CO yang berasal dari cerobong PLTD Tello selama tahun
2012-2016.
Gambar 13.Wilayah Dominan Penerima Emisi SO2 dan CO PLTD Tello di
Kota Makassar Tahun 2012-2016
Dari gambar 13 menunjukkan bahwa wilayah dominan penerima emisi
SO2 dan CO adalah wilayah Barat Laut (NW) PLTD Tello yaitu Aspol Tello
pada jarak 500 m, Panaikang pada jarak 1.500 m, Pampang pada jarak 2.500
m dan Rappokalling pada jarak 4.000 m dari sumber semburan PLTD Tello
selama tahun 2012-2016 di kota Makassar. Tinggi rendahnya konsentrasi
emisi SO2 dan CO tergantung pada jarak wilayah penerima dari sumber
semburan. Semakin dekat wilayah penerima emisi dari sumber pencemar,
maka semakin tinggi pula konsentrasi emisinya.
87
Gambar 14.Suhu Udara Rata-rata di Kota Makassar Tahun 2012 - 2016
Berdasarkan gambar 14 menunjukkan bahwa suhu udara rata-rata
terendah terjadi pada bulan Januari yaitu 26.6 0C. Sedangkan suhu tertinggi
terjadi pada bulan November yaitu 29.4 0C.
3) Demografi
Penduduk kota Makassar tahun 2016 tercatat sebanyak 1.429.242
jiwa yang terdiri dari 706.814 laki-laki dan 722.428 perempuan.
Sementara itu jumlah penduduk Kota Makassar tahun 2015 tercatat
sebanyak 1.408.072.
Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dapat ditunjukkan
dengan rasio jenis kelamin penduduk kota Makassar pada tahun
25
25,5
26
26,5
27
27,5
28
28,5
29
29,5
30
JAN
FE
B
MA
R
AP
R
ME
I
JUN
I
JULI
AG
ST
SE
P
OK
T
NO
P
DE
S
Bulan
Su
hu
Ud
ara
(0C
)2012
2013
2014
2015
2016
Tahun
Bulan
88
2016yaitu sekitar 97,84 persen, yang berarti setiap 100 penduduk wanita
terdapat 98 penduduk laki-laki.
Penyebaran penduduk Kota Makassar dirinci menurut kecamatan,
Biringkanaya, yaitu sebanyak 190.829 atau sekitar 13,35 persen dari total
penduduk, disusul kecamatan Tamalate sebanyak 186.921 jiwa (13,08
persen). Kecamatan Rappocini sebanyak 160.499 jiwa (11,23 persen) dan
yang terendah adalah kecamatan Ujung pandang sebanyak 28.053 jiwa
(1,96 persen).
b. PLTD TELLO
1) Deskripsi Kegiatan
Dalam meningkatkan kebutuhan listrik di Makassar dan sekitarnya,
maka pemerintah dalam hal ini PLN membangun Pusat Listrik Tenaga
Uap sebanyak 2 unit (2x 12,500 MW) yang berlokasi di Tello. Pada tahun
1971 beroperasi dan diresmikan oleh presiden Republik Indonesia
Soeharto. Untuk menunjang kelancaran pasokan listrik, maka pada tahun
1973 dibangun 2 unit mesin diesel dengan daya terpasang (2 x 2,8 MW)
berlokasi di area PLTU Tello. Pada bulan Juni 1976 dibentuk Unit Sektor
Tello dengan nama PLN Wilayah VIII Sektor Tello dengan Unit Asuhan
PLTD Bontoala dan GI / Transmisi. Tahun 1976 PLN Wilayah VIII
mendapat tambahan 1 unit Pusat Listrik Tenaga Gas (PLTG) Weastcan
dengan daya terpasang 14,466 MW.
89
Dengan berkembangnya pembangunan di kota Makassar dan
sekitarnya serta sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat,
untuk mengantisipasi hal tersebut, PT. PLN (PERSERO) Wilayah VIII
Sektor Tello mendapat beberapa pembangkit yaitu :
a) Tahun 1982 dibangun 2 unit PLTG Alsthom (Alsthom 1 = 21,300,
Alsthom 2 = 20,100 MW)
b) Tahun 1948 dibangun 2 unit PLTD Mistsubishi (2 x 12,600 MW)
c) Tahun 1989 dibangun 2 unit PLTD SWD (2 x 12,396 MW)
d) Tahun 1997 dibangun 2 unit PLTG GE (2 x 33,400 MW)
Untuk menyalurkan energi listrik dari pusat-pusat pembangkit yang
berada di daerah kerja PT. PLN Wilayah VIII Sektor Tello kepada
pelanggan, serta untuk menunjang / menangtisipasi pertumbuhan beban
pada daerah-daerah baru, maka secara bertahap sejak tahun 1969
dibangun trasmisi sistem tegangan 30 kV dan Gardu Induk (Tello 30 kV,
Bontoala, Kalukuang Sungguminasa, Borongloe, Mandai dan Tonasa I)
serta perluasan Gardu Induk Exiting.
Selanjutnya dibangun saluran transmisi sistem tegangan 70 kV dan
sistem tegangan 150 kV dan Gardu Induk (Pangkep, Tonasa III, Daya,
Tello 70 kV, Tello 150 kV, Tallo lama dan Takalar) serta perluasan Gardu
Induk existing.Pada bulan Agustus 1997 unit PLTD Bontoala dikeluarkan
dari pengusahaan.
90
Pada bulan Februari 1999 PT. PLN Sektor Tello mendapat
tambahan unit asuhan PLTD Bulukumba. Pada bulan Juni 2003 PT. PLN
Sektor Tello berubah nama menjadi PT. PLN (PERSERO) UNIT BISNIS
SULSELRA UNIT PEMBANGKIT I dimana Unit PLTD Bulukumba
diserahkan pengelolaannya ke PLN UP2B, tetapi mendapat tambahan
unit asuhan yaitu PLTD Kendari dan PLTD Bau-bau, dan pada tahun
2004 PT. PLN UNIT PEMBANGKITAN I berubah menjadi PT. PLN
(PERSERO) WIL. SULSEL DAN SULTRA SEKTOR TELLO.
Pada bulan Maret tahun 2007, Unit PLTD kendari dan Unit PLTD
Bau-bau memisahkan diri dari PLN Sektor Tello dan menjadi sektor
tersendiri yaitu Sektor Kendari. Perubahan dilakukan kembali pada bulan
November 2010, Unit PLTD Selayar yang semula merupakan Unit dari
PLN Sektor Bakaru bergabung menjadi Unit dari PLN Sektor Tello. Pada
bulan Mei 2012 Unit PLTU Barru yang semula merupakan Unit PLN
Sektor Bakaru bergabung menjadi Unit PLN Sektor Tello. Tahun 2013,
berdasarkan SK Direksi No. 570 .K/DIR/2012 tanggal 30 November 2012,
Sektor Tello berubah menjadi Sektor Pembangkit Tello.
91
2) Pelaksanaan Tahap Operasi
a) Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG)
Turbin gas mempunyai proses sederhana karena fluida
kerjanya adalah udara biasa tanpa harus diolah atau dipersiapkan
terlebih dahulu, melainkan hanya cukup dimanfaatkan kemudian
dipakai untuk proses pembakaran bahan bakar. Gas hasil pembakaran
dengna enthalphi yang tinggi inilah yang menjadi fluida kerjanya yang
digunakan untuk menggerakkan turbin dan selebihnya bisa dibuang ke
udara luar sebagai gas buang.
Pada dasarnya turbin gas kerja mengubah energi panas
menjadi energi mekanik. Primer Mover untuk menggerakkan turbin
dihubungkan sehingga dihasilkan Gaya Gerak Listrik (GGL).
b) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Pembangkit PLTU merupakan pembangkit termal yang banyak
digunakan saat ini, karena menghasilkan energi listrik yang relati
murah disbanding pembangkit termal lainnya.Sistem Pusat Listrik
Tenaga Uap (PLTU) mengubah energi thermos (di dalam bahan bakar,
uap) menjadi energi mekanis (putaran poros dalam turbin) yang
seharusnya diubah menjadi energi listrik (dalam generator). Pada
PLTU menggunakan bahan bakar minyak (HSD/solar, MFO/residu)
dan batu bara. Pada umumnya untuk start awal/pembakaran awalnya
92
menggunakan bahan bakar solar/HSD. Setelah mencapai tekanan
sekitar 10 kg/cm2 kemudian diganti dengan bahan bakar MFO/residu
yang sudah mengalami pemanasan sebelum masuk ke ruang bakar.
Unit sistem PLTU pada saat start hingga pembebanan pada
generator biasanya sekitar 5 jam untuk start dingin sedangkan untuk
start keadaan panas sekitar 2 jam. Komponen utama dari PLTU terdari
dari :
- Boiler
- Turbin – Generator
- Kondensor
Prinsip kerjad dari PLTU yaitu : dada proses pembangkit listrik
PLTU, menggunakan media fluida kerja uap-air. Siklus air-uap
merupakan siklus tertutup, dimana air-uap digunakan secara berulang-
ulang.Air dari luar dimasukkan ke dalam siklus melalui tangki hotwell
kondensor. Air dari hotwell dipompa ke boiler untuk dipanaskan
sehingga berubah menjadi uap yang mengandung energi tinggi. Uap
dengan tekanan dan temperatur tinggi dari boiler dialirkan untuk
memutar turbin sehingga dihasilkan putaran. Karena poros turbin dan
generator terkopel maka poros generator juga berputar yang
menghasilkan listrik pada terminal generator. Uap bekas keluaran
93
turbin dialirkan ke dalam kondensor untuk diubah menjadi air dan air
kondensor sebagai air pengisi boiler.
c) Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD)
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) adalah merupakan
pembangkit tenaga listrik yang menggunakan bahan bakar solar (HSD)
yang proses penyalaannya dengan sistem tekanan udara tinggi.
Energi mekanis yang dihasilkan oleh mesin diesel atau motor diesel ini
selanjutnya memutar generator yang dikopel langsung dengan mesin
diesel sehingga generator tersebut mengubah energi mekanis menjadi
energi listrik. Energi listrik inilah yang disalurkan ke beban / konsumen.
Sistem kerja PLTD Tello dibagi menjadi tiga sistem sampai
generator dapat membangkitkan tenaga listrik. Sistem tersebut adalah
sebagai berikut :
d) Sistem Bahan Bakar dan Pembakaran
Untuk menggerakkan piston dan memutar poros engkol
menjadikan energi mekanik yang mendorong torak diperlukan panas
yang diperoleh dari gas pembakaran bahan bakar (solar) yang
diinjeksi ke dalam silinder.
94
Untuk menghasilkan pembakaran, ada dua unsur yang
diperlukan yaitu :
- Unsur udara. Udara yang diperlukan untuk proses pembakaran
dihisuap oleh turbocharger yang mana sebelumnya udara luar
tersebut terlebih dahulu disaring dari kotoran (debu) dan diinginkan
melalui inter cooleralain. Dengan menggunakan turbo charger,
udara ditekan masuk ke dalam silinder. Torak bergerak menekan
udara di dalam silinder sehingga tekanan dan temperature udara
naik melebihi batas titik nyala bahan bakar, sehingga terjadi langkah
usaha.
- Unsur bahan bakar. Bahan bakar solar yang dipergunakan dalam
proses pembakaran terlebih dahulu dimurnikan di dalam fuel
separator yang berfungsi untuk mengurangi / memisahkan kadar air
atau kotoran dari bahan bakar. Proses selanjutnya bahan bakar
dipompakan ke setiap silinder melalui fuel booster pump yang
mendistribusikan bahan bakar dari tangki bahan bakar ke uel
injector pump di setiap silinder. Bahan bakar yang diinjeksi masuk
dan dengan adanya temperature udara yang melebihi. Batas titik
nyala bahan bakar silinder menyebabkan terjadinya pembakaran di
dalam ruang tersebut.
95
e) Sistem Air Pendingin
Air murni disuplai dari PAM yang telah disaring melaui Sec
Cooling water pump mengalir melalui lube oil kemudian jacket water
pump mengalir melalui kran masuk ke dalam jacket water cooler,
dalam jacket water cooler diproses untuk membersihkan atau
memanaskan air kemudian mengalir melalui TCV masuk melalui kran
masuk ke dalam mesin. Dalam sistem pendingin hanya mengalami
sirkulasi.
Selain itu air yang telah dinetralkan tersebut juga dipergunakan
sebagai pendingin oli dengan proses aliran tertutup. Di dalam water
expantion tank, air dipompakan ke radiator dan mendinginkan mesin
serta menurunkan suhu oli (dengan sistem aliran yang berlawanan
arah).
f) Sistem Pelumas
Fungsi pelumas yaitu melumasi bagian-bagian yang
bergesekan atau bergerak dan memindahkan panas yang ada dimesin
ke lube oil cooler.
96
3) Gambaran Umum Area PT. PLN Wilayah Sektor Pembangkit Tello
Sungai Tello merupakan salah satu sungai yang memiliki
keanekaragaman flora, fauna dan biota perairan di Kota Makassar.
Masyarakat memanfaatkan sungai selain untuk mencari ikan dan biota
bentuk ekonomis yaitu untuk pengairan tambak budidaya yang terletak di
bantaran sungai.Sungai ini memiliki warna perairan cokelat yang
menandakan bahwa substrat perairan yang berlumpur. Kondisi perairan
yang berdekatan dengan laut (estuaria) yang ditandai dengan banyaknya
pohon bakau jenis Nypha sp. Disepanjang aliran sungai membuat Sungai
Tello mengalami fenomena pasang surut.
PT. PLN sektor pembangkit Tello yang beroperasi sejak tahun
1970 menjadi salah satu penggerak ekonomi masyarakat sekitarnya,
terlihat dari tumbuhnya usaha kecil masyarakat yang secara
langsung/tidak langsung dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari
karyawan PLTU PLN Tello. Hal tersebut membantu meningkatkan
ekonomi masyarakat dan terajdi peningkatan pendidikan masyarakat
hingga tingkat sekolah menengah atas, hingga jenjang perguruan
tinggi.Kondisi ini menjadi peluang bagi PLTU PLN Tello untuk melakukan
penerimaan karyawan lokal sebagai salah satu kontribusi berkelanjutan
pada ekonomi masyarakat.
97
Cerobong yang menjadi fokus penelitian ada lima buah yaitu
cerobong Mesin SWD 1, Mesin PLTD MITSUBISHI 1, Mesin SWD 2,
PLTG I dan PLTG II. Koordinat cerobong-cerobong dapat dilihat pada
Tabel 9:
Tabel 8.Lokasi Koordinat Cerobong Sumber Pencemar Udara
No. Cerobong Titik Koordinat
1 I S:05008’52.3’’ E:119028’17.7’’
2 II S:05008’51.2’’ E:119028’17.3’’
3 II S: 05008’53.5” E: 119028’21.8’’
4 IV S: 05008’51.2’’ E:119028’16.3’’
5 V S: 05008’52.0’’ E:119028’16.9’’
Sumber: Laporan RKL – RPL Kegiatan PT PLN (Persero) Wilayah Sulselrabar Sektor Pemangkit Tello Semester 1Tahun 2017.
2. Parameter Emisi SO2 dan CO
Berdasarkan pengukuran emisi yang dilkukan oleh Balai Besar
Pengembangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (B2PK3) terdapat zat
pencemar yang dilepaskan oleh cerobong yang bersal dari PLN Sektor Tello.
Zat pencemar terukur yaitu SO2 (Sulfur Dioksida) dan CO (Karbon
Monoksida). Kedua zat pencemar tersebut dapat membahayakan kehidupan
manusia dan mahluk hidup lainnya jika kadarnya melibihi baku mutu. Hasil
pengukuran emisi selengkapnya disajikan Tabel 9.
98
Tabel 9.Hasil Pengukuran Emisi Cerobong di PLN Sektro Tello
No. Parameter
Nilai Parameter Emisi pada Cerobong Nilai Baku Mutu
Emisi (mg/m3) I II III IV V
1
Konsentrasi CO
terukur,
(mg/m3)
87,94 575 157 43,19 33,62 600
2
Konsentrasi
SO2 terukur,
(mg/m3)
351 214 351 87,74 38,298 750
3
Diameter
Cerobong (ds),
meter
4 4 4 4 4 -
4 Suhu Udara
(Ta), K 286,6 285,8 285 220 220,0 -
5
Kecepatan
Lepasan Emisi
(Vs), m/dt
11,43 11,05 11,43 11,43 10,75 -
6 Tinggi (Hs),
meter 30 30 30 30 30 -
7 Suhu Gas Out
(Ts), K 559,75 558,95 559,75 493,15 493,15 -
Sumber: Laporan RKL – RPL Kegiatan PT PLN (Persero) Wilayah
Sulselrabar Sektor Pembangkit Tello Semester 1 Tahun 2017.
Berdasarkan Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 69 Tahun
2010 tentang pengelolaan dan pengendalian pencemaran air dan udara,
penetapan baku mutu limbah cair, baku mutu udara ambien dan emisi yaitu
parameter SO2 dan CO. Nilai baku mutu emisi untuk SO2 adalah 750 mg/m3,
sedangkan nilai baku mutu emisi untuk CO adalah 600 mg/m3. Emisi yang
dihasilkan oleh PLTD Tello masih di bawah baku mutu. Hasil pengukuran
emisi yang telah diperoleh akan dihitung menjadi data parameter emisi yang
99
dapat dimasukkan ke dalam Model Dispersi Gaussian untuk mengetahui
konsentrasi emisi SO2 dan CO di sekitar wilayah PLTD Tello.
3. Parameter Meteorologi
Data meteorologi yang diambil yaitu data dari tahun 2012 sampai
dengan 2016, untuk mengetahui tren yang terjadi selama lima tahun terakhir.
Data meteorologi yang diambil antara lain data angin meliputi arah dan
kecepatannya, data suhu udara, data temperatur udara dan data curah hujan.
Untuk melakukan perhitungan dispersi Gaussian, diambil arah dan kecepatan
angin dominan yang terjadi selama lima tahun terakhir.
Tabel 10. Parameter Meteorologi Tahun 2012-2016
No. Parameter 2012 2013 2014 2015 2016
1
Rata-rata
kecepatan angin
dominan (U10),
m/dt
2.78 2.78 2.78 2.78 2.78
2 Arah angin
dominan E SE SE SE SE
3 Sudut angin
Dominan 900 1350 1350 1350 1350
4 Kestabilan
atmosfer dominan A - C A - C A - C A - C A - C
Sumber: Kantor Badan Metorologi dan Geofisika Kota Makassar 2017.
Data meteorologi yang tersaji pada tabel 10 kemudian dihitung agar
dapat mengetahui tinggi kepulan asap yang terjadi pada cerobong. Stabilitas
atmosfer yang diperoleh dari data meteorologi digunakan untuk menghitung
100
kecepatan angin pada ketinggian cerobong. Tren lima tahunan stabilitas
atmosfer adalah berkisar antara tidak stabil dan sedikit stabil (A– C).
Gambar 15. Suhu Rata-rata Udara Ambien di Sekitar Cerobong Tahun
2012-2016
Dari gambar 15 menunjukkan bahwa Suhu rata-rata udara ambient di
sekitar cerobong PLTD Tello selama tahun 2012-2016 berkisar antara 30-
39.10C. Suhu rata-rata paling tinggi pada tahun 2012 di sekitar cerobong III
yaitu 40 0C dan suhu rata-rata paling rendah pada tahun 2013 di sekitar
cerobong IV dan tahun 2015 di sekitar cerobong IV dan V yaitu 30 0C.
Perubahan setiap suhu udara di sekitar cerobong akan mempengaruhi tinggi
kepulan asap yang dihasilkan oleh cerobong pada setiap tahunnya.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
2012 2013 2014 2015 2016
Su
hu
Ud
ara
di S
ek
ita
r C
ero
bo
ng
(0
C)
I
II
III
IV
V
Cerobong
Tahun
101
4. Hasil Perhitungan Model Dispersi Gaussian
a. Total Konsentrasi Emisi SO2 dan CO Pada Tiap-tiap Wilayah di Kota
Makassar Selama Tahun 2012-2016
Dari data parameter emisi (SO2 dan CO) dan parameter meteorologi
yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan perhitungan dengan
menggunakan Model Dispersi Gaussian dimana persamaan-persaman untuk
menghitung dispersi emisi diterjemahkan ke dalam program pemodelan
dinamis dengan menggunakan software Stella 5.0 untuk mengetahui estimasi
konsentrasi emisi SO2 dan CO pada satu tahun akan datang. Karena letak
cerobong yang berdekatan, maka pola spasial dari Model Dispersi Gaussian
digabung menjadi satu titik.Dalam artian letak cerobong dianggap sama
karena posisinya yang berdekatan.
Total konsentrasi emisi SO2 dan CO yang dihasilkan oleh PLTD Tello
selama tahun 2012-2016 masih jauh di bawah nilai ambang batas baku mutu
udara dengan arah angin dominan mengarah ke Barat Laut (NW) yang
terdapat di empat titik lokasi pada ketinggian 1 m di atas permukaan tanah
yaitu Aspol Tello dengan jarak 500 m, Panaikang dengan jarak 1.500 m yaitu,
Pampang dengan jarak 2.500 m dan Rappokalling dengan jarak 4.000 m dari
sumber emisi PLTD Tellodihitung dengan menggunakan software Sreen view
3.5.0.
102
Gambar 16. Model Sebaran Total Konsentrasi Emisi SO2PLTD Tello
berdasarkan Jarak Tahun 2012-2016
Dari gambar 16 menunjukkan bahwa total konsentrasi emisi SO2 yang
dihasilkan oleh PLTD Tello selama tahun 2012-2016 di masing-masing titik
lokasi pada ketinggian 1 m di atas permukaan tanah dengan jarak 500 m
yaitu Aspol Tello sebesar 1.395 µg/m3, jarak 1.500 m yaitu Panaikang
sebesar 1.247µg/m3, jarak 2.500 m yaitu Pampang sebesar 0.878 µg/m3 dan
jarak 4.000 m yaitu Rappokalling sebesar 0.6363 µg/m3 dari sumber
pencemar PLTD Tello. Konsentrasi emisi SO2 tertinggi terjadi pada jarak 500
m terletak pada daerah Aspol Tello dari titik semburan cerobong PLTD Tello
yaitu sebesar 1.395 µg/m3.
Lokasi dan Jarak (m)
Aspol Tello Panaikang Pampang Rappokalling
Ko
ns
en
tra
si
Em
isi
SO
2 (
µg
/m3)
103
Gambar 17. Model Sebaran Total Konsentrasi Emisi CO PLTD Tello
berdasarkan Jarak Tahun 2012-2016
Dari gambar 17 menunjukkan bahwa total konsentrasi emisi CO yang
dihasilkan oleh PLTD Tello selama tahun 2012-2016 di masing-masing titik
lokasi pada ketinggian 1 m di atas permukaan tanah dengan jarak 500 m
yaitu Aspol Tello sebesar 1.162 µg/m3, jarak 1.500 m yaitu Panaikang
sebesar 1.039µg/m3, jarak 2.500 m yaitu Pampang sebesar0.7317µg/m3,
danjarak 4.000 m yaitu Rappokalling sebesar 0.5303 µg/m3dari sumber
pencemar PLTD Tello. Konsentrasi emisi CO tertinggi terjadi pada jarak 500
m terletak pada daerah Aspol Tello dari titik semburan cerobong PLTD Tello
yaitu sebesar 1.162 µg/m3.
Lokasi dan Jarak (m)
Aspol Tello Panaikang Pampang Rappokalling
Ko
ns
en
tra
si
Em
isi
CO
(µ
g/m
3)
104
b. Estimasi Konsentrasi Emisi SO2 dan CO Pada Tiap-tiap Wilayah di
Kota Makassar Tahun 2018
Setelah mengetahui nilai total emisi yang terdapat pada masing-
masing lokasi dengan ketinggian 1 m di atas permukaan tanah yaitu Aspol,
Panaikang, Pampang dan Rappokalling maka peneliti melakukan prediksi
nilai konsentrasi emisi yang akan terbentuk di masing-masing lokasi. Proses
estimasi dengan menggunakan model simulasi yang mana data-data
meteorologi, kecepatan emisi cerobong, konsenstrasi awal emisi SO2 dan
CO, suhu dalam cerobong dan suhu udara sekitar cerobong kemudian diolah
menggunakan persamaan Gaussian.
Perhitungan nilai estimasi konsentrasi emisi SO2 dan CO PLTD Tello
dilakukan untuk mengetahui berapa peningkatan konsentrasi SO2 dan CO di
masing-masing lokasi pada ketinggian 1 m di atas permukaan tanah. Dimana
ke empat lokasi tersebut berada di sebelah Barat Laut (NW) PLTD Tello.
Maka dari itu mesti disajikan per parameter di setiap lokasi.
Adapun estimasi peningkatan konsenstrasi emisi SO2 dihasilkan PLTD
Tello pada 12 bulan akan datang (Tahun 2018) dapat dilihat pada gambar 18:
105
Gambar 18. Estimasi Konsentrasi Emisi SO212 Bulan Akan Datang
(2018) di Masing-masing Lokasi
Dari gambar 18 menunjukkan bahwa estimasi konsentrasi emisi SO2
tertinggi terjadi pada bulan Juli tahun 2018 di masing-masing lokasi. Estimasi
konsentrasi SO2 di Aspol Tello selama tahun 2018 lebih tinggi dibandingkan
dengan konsentrasi SO2 di titik lokasi yang lainnya yaitu sebesar 0.26065
µg/m3. Hal ini terjadi karena jarak lokasi Aspol Tello berdekatan yaitu 500 m
dari sumber emisi PLTD Tello. Sedangkan lokasi titik lainnya lebih jauh
dibangding lokasi titik Aspol Tello.
Estimasi Konsenstrasi emisi SO2 di tiap titik lokasi mengalami
kenaikan setiap bulannya sampai pada bulan Juli tahun 2018. Hal ini terjadi
karena pada bulan Juli kondisi atmosfer cenderung stabil dengan kecepatan
0.00 2.40 4.80 7.20 9.60 12.00
0.00
4.50e-004
9.00e-004
0.00
1.50e-003
3.00e-003
0.00
2.50e-003
5.00e-003
0.00
0.03
0.05
1
1
11
1
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
Bulan
Rappokalling Pampang Panaikang Aspol Tello
9.00e-004 3.00e-003 5.00e-003
0.05
4.50e-004 1.50e-003 2.50e-003
0.03
0.00 0.00 0.00 0.00
Ko
nsen
trasi E
mis
i S
O2 (
µg
/m3)
0 2 4 7 9 12
106
angin yang relatif lambat yaitu 2.06 m/s dimana arah angin pada bulan
agustus tidak mengarah ke arah Barat Daya (NW).
Estimasi konsentrasi SO2 emisi satu tahun akan datang di masing-
masing lokasi yaitu jarak 500 m Aspol Tello 0.26065 µg/m3, jarak 1.500 m
Panaikang 0.04447 µg/m3, jarak 2.500 m Pampang 0.01760 µg/m3 dan jarak
4.000 mdi Rappokalling 0.00740 µg/m3 pada ketinggian 1 meter di atas
permukaan tanah. Kenaikan konsentrasi emisi SO2 pada tiap bulannya
berbanding lurus dengan arah angin. Apabila arah angin tidak mengarah ke
tenggara maka konsentrasi emisi SO2 mengalami penurunan pula.
Adapun estimasi peningkatan konsenstrasi emisi CO dihasilkan PLTD
Tello pada 12 bulan akan datang (Tahun 2018) dapat dilihat pada gambar 19
:
0.00 2.40 4.80 7.20 9.60 12.00
0.00
4.50e-004
9.00e-004
0.00
1.50e-003
3.00e-003
0.00
2.50e-003
5.00e-003
0.00
0.03
0.05
1
1
11
1
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
Bulan
Rappokalling Pampang Panaikang Aspol Tello
7.00e-004 2.00e-003 5.00e-003
0.04
3.50e-004 1.00e-003 2.50e-003
0.02
0.00 0.00 0.00 0.00
Ko
ns
en
tra
si
Em
isi
CO
(µ
g/m
3)
0 2 4 7 9 12
Gambar 19. Estimasi Konsentrasi Emisi CO 12 Bulan Akan Datang (2018) di
Masing-masing Lokasi
107
Dari gambar 19 menunjukkan bahwa estimasi konsentrasi emisi CO
tertinggi terjadi pada bulan Juli tahun 2018 di masing-masing lokasi. Estimasi
konsentrasi emisi CO di Aspol Tello selama tahun 2018 lebih tinggi
dibandingkan dengan konsentrasi CO di titik lokasi yang lainnya yaitu
sebesar 0.21530 µg/m3. Hal ini terkadi karena jarak lokasi Aspol Tello
berdekatan yaitu 500 m sumber emisi PLTD Tello. Sedangkan lokasi lainnya
lebih jauh dibangding lokasi titik Aspol Tello.
Estimasi Konsenstrasi emisi CO di tiap titik lokasi mengalami kenaikan
setiap bulannya sampai pada bulan Juli tahun 2018. Hal ini terjadi karena
pada bulan Juli kondisi atmosfer cenderung stabil dengan kecepatan angin
yang relatif lambat yaitu 2.06 m/s dimana arah angin pada bulan agustus
tidak mengarah ke arah Barat Laut (NW).
Estimasi konsentrasi emisi CO satu tahun akan datang di masing-
masing lokasi yaitu jarak dari sumber 500 m Aspol Tello 0.21530 µg/m3, jarak
1.500 m Panaikang 0.03134 µg/m3, jarak 2.500 m Pampang 0.00938 µg/m3
dan jarak 4.000 m Rappokalling 0.00611 µg/m3 pada ketinggian 1 meter di
atas permukaan tanah. Kenaikan konsentrasi emisi CO pada tiap bulannya
berbanding lurus dengan arah angin. Apabila arah angin tidak mengarah ke
tenggera maka konsentrasi emisi CO mengalami penurunan pula.
108
Gambar 20. Peningkatan Konsentrasi Emisi SO2 dan COTahun (2012-
2016)-2018 di Masing-masing Lokasi
Dari gambar 20 menunjukkan bahwa konsenstrasi emisi SO2 selama
tahun 2012-2016 mengalami kenaikan di tahun 2018 pada masing-masing
lokasi berdasarkan jarak dari sumber cerobong PLTD Tello. Pada jarak 500
m yaitu Aspol Tello dengan konsentrasi 1.395 µg/m3 mengalami kenaikan
sebesar 0.26065 µg/m3, jarak 1.500 m Panaikang dengan konsentrasi 1.247
µg/m3 mengalami kenaikan sebesar 0.04447 µg/m3, jarak 2.500 m Pampang
dengan konsentrasi 0.878 µg/m3 mengalami kenaikan sebesar 0.01760 µg/m3
dan pada jarak 4.000 m di Rappokalling dengan konsentrasi 0.6363 µg/m3
mengalami kenaikan sebesar 0.00740 µg/m3 pada ketinggian 1 meter di atas
permukaan tanah.
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
1,8
Ba
tua
Pa
nn
ara
An
tan
g
TP
A
Ba
tua
Pa
nn
ara
An
tan
g
TP
A
SO2 CO
Ko
nsen
trasi E
mis
i (µ
g\m
3)
2012-2016
2018
Tahun
109
Konsenstrasi emisi CO selama tahun 2012-2016 juga mengalami
kenaikan di tahun 2018 pada masing-masing lokasi berdasarkan jarak dari
sumber cerobong PLTD Tello. Pada jarak 500 m yaitu Aspol Tello dengan
konsentrasi 1.162 µg/m3 mengalami kenaikan sebesar 0.21530µg/m3, jarak
1.500 m Panaikang dengan konsentrasi 1.039 µg/m3 mengalami kenaikan
sebesar 0.03134 µg/m3,jarak 2.500 m Pampang dengan konsentrasi 0.7317
µg/m3 mengalami kenaikan sebesar 0.00938 µg/m3 dan pada jarak 4.000 m
Rappokalling dengan konsentrasi 0.5303 µg/m3 mengalami kenaikan sebesar
0.00611 µg/m3pada ketinggian 1 meter di atas permukaan tanah.
Tabel 11.Estimasi Kecepatan Angin, Kecepatan Angin Cerobong dan
Ketinggian Kepulan Asap pada 12 Bulan yang Akan Datang (2018)
Bulan Kec. Angin 10 m Tinggi Kepulan Kec. Angin Cerobong
(m/s) (m) (m/s)
Januari 2.78 30.47 14.45
Februari 2.36 30.56 12.26
Maret 2.26 30.58 11.74
April 1.95 32.66 2.57
Mei 1.95 32.66 2.57
Juni 1.95 32.66 2.57
Juli 2.06 30.64 10.70
Agustus 2.06 30.64 10.70
September 2.16 30.61 11.22
Oktober 2.36 30.56 12.26
November 2.26 30.58 11.74
Desember 2.78 30.47 14.45
Sumber : Hasil Pengolahan Data 2017.
Dari tabel 11 menunjukkan bahwa tinggi kepulan asap yang dihasilkan
oleh cerobong PLTD Tello berbeda-beda tiap bulannya. Hal ini terjadi karena
110
tinggi kepulanberkorelasidengan kondisi meteorologist dimana kecepatan
angin mempengaruhi kecepatan angin di ujung cerobong pula. Kepulan asap
tertinggi terjadi pada Bulan April – Juni Tahun 2018 yaitu 32.66 m dengan
kecepatan angin 1.95 m/s dan kecepatan angin pada cerobong 2.57 m/s.
Jadi, yang menentukan perbedaan tinggi kepulan asap cerobong pada waktu
yang berbeda-beda adalah kecepatan angin di ujung cerobong. Makin tinggi
kepulan asap yang terjadi maka makin lama dan jauh bagi zat pencemar
dapat jatuh ke tanah.
5. Wilayah Dampak Pencemaran Udara PLTD Tello
Parameter SO2 dan CO dapat membahayakan mahkluk hidup
termasuk manusia apabila jumlahnya melebihi batas atau baku mutu.
Masing-masing parameter memiliki klasifikasi udara yang berbeda-beda.
Umumnya kualitas udara dibedakan menjadi beberapa kelas, yaitu cukup
sehat, kurang sehat, tidak sehat, sangat tidak sehat dan berbahaya. Kualitas
udara diberlakukan pada daerah reseptor atau daerah penerima pencemaran
udara akibat emisi PLTD Tello.Dalam penelitian ini daerah reseptor semburan
emisi adalah daerah sekitar yang terkena semburan dengan arah angin
dominan mengarah ke arah Barat Laut (NW) pada ketinggia 1 m di atas
permukaan tanah dengan jarak masing-masing daerah dari sumber
semburan yaitu 500 m Aspol Tello, 1.500 Panaikang, 2.500 Pampang dan
4.000 m Rappokalling.
111
Berdasarkan perhitungan model Gaussian dapat diketahui bahwa
jangkauan terjauh pencemaran udara tergantung kondisi meteorologinya.
Pada kecepatan angin yang tinggi dan stabilitas atmosfer yang stabil,
pencemaran udara akan mencapai jangkauan yang jau (lebih dari 10 km).
pada saat kondisi meteorologi seperti itu, tidak dapat diketahui radius lebih
pasti dimana konsentrasi pencemar akan mencapai nol. Sedangkan pada
kecepatan angin yang rendah dan stabilitas atmosfer yang sangat tidak
stabil, pencemaran udara akan mencapai jangkauan lebih kecil.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kedua parameter yaitu SO2
dan CO yang dihasilkan oleh PLTD Tello baik pada total konsenstrasi emisi
selama lima tahun terakhir 2012-2016 maupun estimasi konsentrasi emisi
dengan menggunakan model dinamis menunjukkan kedua parameter (SO2-
dan CO) masih termasuk dalam kualitas udara cukup sehat.
112
Gambar 21. Wilayah Dampak Pencemaran Udara PLTD Tello Tahun 2018
Dari gambar 21 menunjukkan bahwa wilayah dampak dengan
konsentrasi emisi SO2 dan CO tertinggi pada ketinggian 1 m di atas
perumukaan tanah berada pada jarak 500 m dari sumber semburan dengan
arah semburan PLTD Tello mengarah ke arah Barat Laut (NW) adalah Aspol
Tello dengan konsentrasi emisi sekitar 0-0.04 µg/m3, pada jarak 1.500 m
adalah Panaikang dengan konsentrasi emisi sekitar 0-00.5 µg/m3, pada jarak
2.500 m adalah Pampang dengan konsentrasi emisi sekitar 0-00.2 µg/m3,
dan pada jarak 4.000 m dari sumber semburan adalah Rappokalling dengan
konsentrasi emisi sekitar 0-0.0008 µg/m3. Keempat wilayah dampak
pencemaran adalah wilayah pemukiman warga.
0-0.04 µg/m3
0-0.005 µg/m3
0-0.002 µg/m3
0-0.0008 µg/m3
113
Estimasi konsentrasi emisi gas Sulfur Dioksida (SO2) berdasarkan
simulasi model dinamik selama 12 bulan (2018) terjadi peningkatan tiap
waktu sampai pada bulan Juli 2018 di masing-masing empat titik lokasi pada
ketinggian 1 m di atas permukaan tanah dengan jarak 500 m yaitu Aspol
Tello 0.26065 µg/m3, jarak 1.500 m yaitu Panaikang 0.04447 µg/m3, jarak
2.500 m yaitu Pampang 0.01760 µg/m3 dan jarak 4.000 m yaitu Rappokalling
0.00740 µg/m3 dari sumber semburan cerobong PLTD Tello.
Estimasi konsentrasi emisi gas Karbon Monoksida (CO) berdasarkan
simulasi model dinamik selama 12 bulan (2018) terjadi peningkatan tiap
waktu sampai pada bulan Juli 2018 di masing-masing empat titik lokasi pada
ketinggian 1 m di atas permukaan tanah dengan jarak 500 m yaitu Aspol
Tello 0.21530 µg/m3, jarak 1.500 m yaitu Panaikang 0.03134 µg/m3, jaka
2.500 m yaitu Pampang 0.00938 µg/m3 dan jarak 4.000 m yaitu Rappokalling
0.00611 µg/m3 dari sumber semburan cerobong PLTD Tello.
114
Tabel 12.Estimasi Konsentrasi Emisi SO2 danCO(µg/m3)di Empat Titik Lokasi Pada 12 Bulan yang Akan
Datang (2018)
Sumber Tahun 2018
Lokasi (Koordinat, Y = 0 dan Z = 1 m) Nilai Baku Mutu Emisi (mg/m3)
Aspol(X = 500 m) Panaikang(X = 1500 m) Panaikang
(X = 2500 m) Rappokalling (X = 4000 m)
SO2 CO SO2 CO SO2 CO SO2 CO SO2 CO
PLTD TELLO
Januari 0.0100 0.0084 0.00202 0.0017 0.00083 0.000695 0.00036 0.000302
750 600
Februari 0.0129 0.0107 0.00260 0.0020 0.00107 0.000602 0.00047 0.000386
Maret 0.0147 0.0121 0.00297 0.0021 0.00122 0.000644 0.00053 0.000438
April 0.0160 0.0132 0.00324 0.0023 0.00134 0.000716 0.00058 0.000479
Mei 0.0341 0.0283 0.00488 0.0036 0.00183 0.001085 0.00074 0.000609
Juni 0.0397 0.0329 0.00544 0.0039 0.00201 0.001084 0.00080 0.000660
Juli 0.0419 0.0347 0.00569 0.0041 0.00210 0.001131 0.00083 0.000685
Agustus 0.0232 0.0190 0.00405 0.0025 0.00161 0.000632 0.00068 0.000560
September 0.0189 0.0155 0.00367 0.0024 0.00150 0.000767 0.00065 0.000532
Oktober 0.0168 0.0138 0.00336 0.0022 0.00138 0.000638 0.00060 0.000493
November 0.0162 0.0133 0.00326 0.0022 0.00134 0.000693 0.00058 0.000481
Desember 0.0163 0.0135 0.00329 0.0023 0.00136 0.000695 0.00059 0.000486
Sumber : Hasil Pengolahan Data 2017.
115
Dari tabel 12 menunjukkan bahwa estimasi penambahan konsentrasi
emisi SO2 dan CO 12 bulan akan datang pada masing-masing titik lokasi
dengan ketinggian 1 m di atas permukaan tanah pada jarak 500 m dari
sumber yaitu untuk SO2 Aspol Tello sebesar 0.26065 µg/m3 dan CO sebesar
0.21530 µg/m3, pada jarak 1.500 m dari sumber yaitu untuk SO2 Panaikang
sebesar 0.04447 µg/m3 dan CO sebesar 0.03134 µg/m3, pada jarak 2.500 m
dari sumber yaitu SO2 Pampang sebesar 0.01760 µg/m3 dan CO sebesar
0.00938 µg/m3, kemudian pada jarak 4.000 m dari sumber yaitu SO2
Rappokalling sebesar 0.00740 µg/m3 dan CO sebesar 0.00611 µg/m3.
116
B. PEMBAHASAN
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui total konsentrasi emisi SO2
dan CO selama tahun 2012-2016 dan mengestimasi konsenstrasi emisi SO2
dan CO yang dihasilkan oleh PLTD Tello pada 12 bulan akan datang (Tahun
2018) di empat titik lokasi dimana empat titik lokasi tersebut adalah wilayah
pemukiman warga di Kota Makassar.
Dalam menghitung total konsentrasi emisi SO2 dan CO PLTD
Telloselama tahun 2012-2016 dan mengestimasi konsentrasi emsi SO2 dan
CO yang bersumber dari PLTD Tello pada 12 bulan akan datang (Tahun
2018) dilakukan dengan memperhatikan beberapa variabel yang
mempengaruhi sebaran dan kenaikan konsentrasi emisi setiap bulannya.
Variabel tersebut adalah kecepatan angin pada ketinggian 10 m, arah angin
dominan setiap tahunnya, kestabilan atmosfer dan jarak tiap-tiap titik lokasi
dari sumber emisi cerobong PLTD Tello.
Adapun faktor lainnya seperti pengurangan konsentrasi SO2 dan CO
seperti daya serap pohon, daya rosot (sink to soil), presipitasi (polutan yang
terbawa melalui air hujan) dan lainnya tidak dimasukkan dalam pemodelan
yang dibangun karena keterbatasan informasi.
Data-data yang digunakan dalam modelpun menggunakan data
sekunder. Jangka waktu simulasi selama 12 bulan (Tahun 2018) dilakukan
117
karena tidak terjadi variasi kecepatan angin yang jauh berbeda selama lima
tahun terakhir. Data rata-rata kecepatan angin selama lima tahun terakhir
yang diperoleh dari Kantor Badan Meteorologi dan Geofisika Kota Makassar
yaitu sebesar 4 knot. Simulasi dilakukanpada jangka waktu selama 12 bulan
(2018) dengan berdasarkan parameter meteorologi dan jarak lokasi dari
sumber emisi cerobong PLTD Tello.
1. Validasi
Validasi model penting dilakukan untuk membandingkan output dari
model yang dibangun dan data riil yang ada berdasarkan laporan penelitian
atau studi literatur. Ada dua jenis validasi yang dilakukan pada penelitian ini.
a. Validasi Nilai Total Konsenstrasi SO2 dan CO Tahun 2012-2016
Validasi dilakukan dengan melihat nilai konsentrasi emisi SO2 dan
CO hasil perhitungan menggunakan software Sreen View 3.0 yaitu pada
jarak 150 m arah Barat Laut (NW) dari sumber emisi PLTD Tello di
ketinggian 1 m di atas permukaan tanah. Total konsentrasi SO2 sebesar
0.0505 µg/m3 dan CO 0.04215 µg/m3, kemudian dibandingkan dengan
data hasil pengukuran yang dilakukan oleh pihak PLTD Tello ketika
melakukan pemantauan udara ambient di lokasi arah Barat Laut dari
cerobong PLTD Tello. Hasil pemantauan udara ambient adalah gabungan
antara konsentrasi emisi SO2 dan CO PLTD Tello dengan konsentrasi
118
emisi SO2 dan yang dihasilkan oleh aktivitas transportasi. Pemantauan
dilakukan di depan pos security PLTD Tello Jalan Urip Sumiharjo Km. 7
Makassar dengan jarak 150 m dari cerobong PLTD Tello pada bulan Juni
2017 dengan konsentrasi emisi SO2 sebesar 5,95 µg/m3 dan CO sebesar
189 µg/m3.Dari data tersebut dapat diketahui bahwa sumbangan emisi
SO2 dan CO lebih banyak berasal dari aktivitas transportasi.
b. Validasi Model
Validasi model dilakukan untuk mengetahui nilai konsentrasi emisi
SO2 dan CO PLTD Tello yang sebenarnya pada satu tahun akan datang
(Tahun 2018). Maka validasi model dilakukan dengan membadingkan
nilai estimasi konsenstrasi emisi SO2 dan CO PLTD Tello hasil simulasi
menggunakan software Stella 5.0, dengan nilai konsentrasi emsi SO2 dan
CO PLTD Tello hasil pengukuran langsung di masing-masing titik lokasi
arah Barat Laut (NW) sumber emisi pada tahun 2018. Jadi, validasi model
belum dapat dilakukan pada saat ini. Validasi model dilakukan baru nanti
pada tahun 2018 dengan melakukan pengukuran langsung untuk
mengetahui konsentrasi emisi SO2 dan CO PLTD Tello yang sebenarnya
di masing-masing titik lokasi
.
119
2. Konsentrasi Emisi SO2 dan CO di Empat Titik Lokasi
Penelitian ini bertujuan untuk menghitung total konsentrasi emisi SO2
dan CO selama tahun 2012-2016 dan mengestimasi konsentrasi emisi SO2
dan CO yang bersumber dari PLTD Tello di empat titik lokasi yaitu Aspol,
Panaikang, Pampang Antang dan TPA Rappokalling di Kota Makassar.
Sehingga dilakukan pengambilan data sekunder berupa parameter
SO2 dan CO dari laporan Pelaksanaan RKL – RPL Kegiatan PT PLN
(Persero) Wilayah Sulselrabar Sektor Pembangkit Tello dari tahun 2012-
2016. Laporan hasil pemantauan parameter SO2 dan CO kemudian dihitung
untuk mendapatkan nilai rata-rata beban emisi yang dihasilakan oleh
cerobong PLTD Tello selama lima tahun terakhir dengan perbandingan nilai
beban emisi SO2 dan CO adalah 1:1,2 µg/m3.
Berdasarkan Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 69 Tahun
2010 tentang pengelolaan dan pengendalian pencemaran air dan udara,
penetapan baku mutu limbah cair, baku mutu udara ambient dan emisi yaitu
parameter SO2 dan CO. Nilai baku mutu emisi untuk SO2 adalah 750 mg/m3,
sedangkan nilai baku mutu emisi untuk CO adalah 600 mg/m3 untuk
parameter SO2 dan CO pada masing-masing empat titik lokasi tidak melebihi
ambang batas.
120
Hasil perhitungan dengan menggunakan software Sreen View 3.5.0
diperoleh total konsentrasi emisi SO2 yang dihasilkan oleh PLTD Tello
selama tahun 2012-2016 pada ketinggian 1 m di atas permukaan tanah di
masing-masing titik lokasi yaitu Aspol Tello 1.395 µg/m3, Panaikang1.247
µg/m3, Pampang0.878 µg/m3 dan Rappokalling 0.6363 µg/m3.
Hasil perhitungan dengan menggunakan software Sreen View 3.5.0
diperoleh total konsentrasi emisi CO yang dihasilkan oleh PLTD Tello selama
tahun 2012-2016 pada ketinggia 1 m di atas permukaan tanah di masing-
masing titik lokasi yaitu Aspol Tello 1.162 µg/m3, Panaikang 1.039 µg/m3,
Pampang 0.7317 µg/m3, dan Rappokalling 0.5303 µg/m3.
Dari hasil pengolahan data maka dapat diketahui bahwa konsentrasi
emisi SO2 dan CO yang dihasilkan oleh PLTD Tello selama tahun 2012-2016
masih jauh dibawah baku mutu udara ambient (Keputusan Gubernur
Sulawesi Selatan Nomor 69 Tahun 2010) di masing-masing lokasi pada
ketinggian 1 m di atas permukaan tanah yaitu Aspol Tello 0-1.39 µg/m3,
Panaikang 0-1.247µg/m3, Pampang 0-0.878µg/m3 dan Rappokalling 0-
0.6363µg/m3. Maka dapat disimpulkan bahwa ke empat wilayah tersebut
masih termasuk dalam kualitas udara yang cukup sehat.
Estimasi konsentrasi emisi gas Sulfur Dioksida (SO2) berdasarkan
simulasi model dinamik selama 12 bulan (tahun 2018) mengalami
121
peningkatan tiap bulannya sampai pada bulan Juli 2018 di masing-masing
empat titik lokasi pada ketinggian 1 m di atas permukaan tanah dengan jarak
500 m yaitu Aspol Tello 0.26065µg/m3, jarak 1.500 m yaitu Panaikang
0.04447 µg/m3, jaka 2.500 m yaitu Pampang 0.01760 µg/m3 dan jarak 4.000
m yaitu Rappokalling 0.00740 µg/m3 dari sumber semburan cerobong PLTD
Tello dengan laju peningkatan konsentrasi emisi yaitu Aspol Tello 0.0053 kali,
Panaikang 0.00061 kali, Pampang 0.00021 kali dan Rappokalling 0.000078
kali tiap bulan.
Estimasi konsentrasi emisi gas Karbon Monoksida (CO) berdasarkan
simulasi model dinamik selama 12 bulan (Tahun 2018) terjadi peningkatan
tiap waktu sampai pada bulan Juli 2018 di masing-masing empat titik lokasi
pada ketinggian 1 m di atas permukaan tanah dengan jarak 500 m yaitu
Aspol Tello 0.21530 µg/m3, jarak 1.500 m yaitu Panaikang 0.03134 µg/m3,
jaka 2.500 m yaitu Pampang 0.00938 µg/m3 dan jarak 4.000 m yaitu
Rappokalling 0.00611 µg/m3 dari sumber semburan cerobong PLTD Tello
dengan laju peningkatan konsentrasi emisi yaitu Aspol 0.0044 kali,
Panaikang 0.0004 kali, Pampang Antang 0.000073 kali dan TPA
Rappokalling 0.0000064 kali tiap bulan.
Konsentrasi emisi SO2 dan CO yang diperoleh dari hasil perhitungan
dipengaruhi oleh rata-rata beban emisi, kecepatan angin dan arah angin
dominan serta stabilitas atmosfer dalam kurun waktu selama lima tahun
122
terakhir. Rata-rata kecepatan angin selama lima tahun terakhir yaitu sebesar
4 knot dengan arah angin dominan ke Barat Laut (NW) kemudian stabilitas
atmosfer berkisar antara kondisi tidak stabil dan sedikit stabil (A-C).
Kecepatan angin yang bertiup pada ketinggian 10 m di atas
permukaan tanah akan mempengaruhi kondisi kestabilan atmosfer di udara.
Ketika kecepatan angin di atas 2 m/s maka kondisi kestabilan atmosfer di
udara akan mengalami ketidakstabilan. Sebaliknya, ketika kecepatan angin di
bawah 2 m/s maka kondisi kestabilan atmosfer di udara akan mengalami
kestabilan.
Oleh sebab itu semakin tinggi kecepatan angin akan membuat kondisi
kestabilan atmosfer di udara menjadi stabil yang menyebabkan emisi SO2
dan CO akan terbawa lebih jauh dari sumber pencemar yaitu PLTD Tello dan
konsentrasi emisi SO2 dan CO akan tersebar ke udara, sehingga
menyebabkan konsentrasi emisi SO2 dan CO yang ada di udara akan
semakin rendah.
Sebaliknya, ketika kecepatan angin semakin rendah akan membuat
kondisi kestabilan atmosfer di udara menjadi tidak stabil yang menyebabkan
emisi SO2 dan CO akan menumpuk pada wilayah sekitar sumber pencemar
yaitu PLTD Tello, sehingga menyebabkan konsentrasi emisi SO2 dan CO
123
akan semakin tinggi wilayah sekitar PLTD Tello dengan jarak 500 m-4.000 m
pada ketinggian 1 m di atas permukaan tanah.
Stabilitas atmosfer menunjukkan tingkat turbulensi udara di arah
vertikal. Atmosfer yang stabil memiliki tingkat turbulensi vertikal yang rendah.
Stabilitas atmosfer sangat dipengaruhi oleh kecepatan angin yang
berfluktuasi dan menyebabkan stabilitas atmosfer di wilayah sekitar PLTD
Tello juga berfluktuasi. Kedua faktor itu menimbulkan variasi tekanan udara
antara lapisan udara di dekat permukaan tanah dengan lapisan udara yang
lebih tinggi.saat perbedaan tekanan udara di antara kedua lapisan itu besar,
sebagaimana sering terjadi di siang hari maka atmosfer menjadi tidak stabil.
Oleh karena tidak ada radiasi matahari, variasi tekanan udara di malam hari
tidak terlalu besar. Hal ini menyebabkan kondisi atmosfer yang lebih stabil di
malam hari.
Kecepatan angin berpengaruh terhadap konsentrasi emisi SO2 dan
CO yang dihasilkan oleh PLTD Tello. semakin besar kecepatan angin pada
wilayah sumber pencemar maka konsentrasi emisi SO2 dan CO pada daerah
PLTD Tello akan sedikit berkurang, jika kecepatan angin lebih kecil maka
konsentrasi SO2 dan CO akan tetap berada di wilayah tersebut. Pengaruh
lain dari kecepatan angin, yaitu turbulensi. Angin yang lebih kuat
menyebabkan sering terjadinya turbulensi, sehingga dengan adanya
124
turbulensi, udara tercemar lebih cepat tercampur dengan udara di sekitar
PLTD Tello dan dapat mengecerkan zat pencemar yaitu SO2 dan CO.
Pada angin lemah, turbulensi lebih kecil dan dengan begitu
memperkecil juga terjadinya percampuran zat pencemar dengan zat lainnya
di lingkungan sekitar PLTD Tello sehingga pengenceran susah terjadi dan
membuat konsentrasi emisi SO2 dan CO semakin tinggi.
Semakin stabil kondisi atmosfer maka semakin jauh polutan SO2 dan
CO mencapai titik maksimal. Hal ini dikarenakan bahwa atmosfer yang stabil
memiliki tingkat turbulensi vertikal yang rendah. Artinya, polutan SO2 dan CO
akan banyak terdispersi ke arah vertikal sehingga polutan SO2 dan CO akan
jatuh lebih jauh dari sumber pencemar cerobong PLTD Tello.
Kondisi atmosfer yang tidak stabil akan mendispersikan lebih banyak
polutan ke arah vertikal sehingga polutan SO2 dan CO pada konsenstrasi
maksimum akan jatuh lebih dekat dari sumber semburan cerobong PLTD
Tello. Sehingga semakin stabil atmosfer akan menyebabkan menurunnya
konsenstrasi emisi SO2 dan CO yang dihasilkan oleh cerobong PLTD Tello
karena semakin jauh polutan SO2 dan CO jatuh pada jarak tertentu dengan
konsentrasi emisi maksimum akan terdispersi (tersebar) akibat dorongan
angin. Perbedaan suhu di sekitar cerobong dengan suhu di dalam cerobong
PLTD Tello akan menimbulkan perbedaan tekanan udara, dan perbedaan
125
tekanan udara akan mempengaruhi kecepatan emisi SO2 dan CO yang
dikeluarkan oleh cerobong PLTD Tello.
Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan Candra (2006) bahwa
apabila kecepatan angin lemah, polutan akan menumpuk di tempat dan
dapat mencemari udara tempat pemukiman yang terdapat disekitar lokasi
pencemaran tersebut, sebaliknya jika kecepatan angin tinggi maka polutan di
wilayah tersebut mengalami penurunan karena angin membawa polutan ke
wilayah lain. Informasi tentang angin (arah dan kecepatan) dapat
memberikan gambaran tentang akumulasi polutan. Arah dan kecepatan
angin akan menentukan daerah yang akan terkena dampak dari penyebaran
polutan (Rouse, 1975).
Menurut Rouse (1975), kecepatan angin di atas 20 mph (0,02 km/jam)
dengan kondisi atmosfer stabil, asap yang keluar dari cerobong akan
menyebabkan coning. Coning adalah proses persebaran polutan dari
cerobong, polutan sebagian kecil akan bergerak ke atas dan sebagian besar
akan bergerak ke bawah bagian cerobong. Kondisi ini sangat berbahaya
karena selain akan mepengaruhi kondisi udara, juga akan berdampak secara
langsung pada mahluk hidup di sekitarnya karena partikel dan senyawa
polutan yang terkandung dalam asap akan mengalami pengendapan pada
suatu wilayah. Jauh dekat wilayah yang terkena pengendapan tergantung
dari faktor yang mempengaruhi penyebaran termasuk kondisi angin,
126
topografi, tinggi cerobong serta penutupan lahannya. Tinggi cerobong pula
akan mempengaruhi penyebaran polutan yaitu semakin tinggi suatu tempat
semakin tinggi pula kecepatan angin. Semakin tinggi cerobongnya
diharapakan dapat mempercepat pengenceran polutan.
Arah angin sangat dipengaruhi oleh keadaan topografi kawasan.
Menurut Sastrawijaya (1991), permukaan daratan mempengaruhi kecepatan
angin. Lorong sempit bagi angin dapat meningkatkan hembusan angin.
Wilayah Aspol, Panaikang, Pampang Antang dan TPA Rappokalling adalah
wilayah dengan kondisi permukaan tanah yang datar dan merupakan wilayah
pemukiman warga. Dengan kondisi tanah yang datar makan arah dan
kecepatan angin tidak mengalami perubahan yang cukup besar sehingga
polutan SO2 dan CO terdispersi secara merata di tiap lokasi penerima. Ketika
kecepatan angin tinggi dan suhu stabil, maka penyebaran polutan lebih cepat
terjadi dan konsentrasi polutan tidak menumpuk di sekitar sumber emisi suatu
tempat (Noviani, 2013).
Untuk melihat keterkaitan antara variabel-variabel yang mempengaruhi
peningkatan dan penurunan estimasi konsentrasi emisi SO2 dan CO PLTD
Tello di masing-masing empat titik lokasi yaitu Aspol Tello, Panaikang,
Pampang dan Rappokalling maka diaplikasikan dalam sebuah model
dinamis.
127
3. Dampak Emisi SO2 dan CO PLTD Tello Terhadap Kesehatan
Aktivitas PLTD Tello yang terus berlangsung dari waktu ke waktu
berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi emsi SO2 dan CO. Dalam
artian bahwa konsenstrasi emisi gas SO2 dan CO mengalami kenaikan terus
menerus. Hal ini dapat mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat yang
berada di wilayah sekitar PLTD Tello dimana dapat menimbulkan penyakit-
penyakit akibat sebaran gas SO2 dan CO yang terhirup oleh manusia secara
terus menerus terutama di wilayah dominan yang terkena dampak semburan
yaitu Aspol Tello, Panaikang, Pampang dan Rappokaling.
Gas SO2 merupakan bahan pencemar yang berbahaya bagi anak-
anak, orang tua dan orang yang menderita penyakit pernafasan kronis dan
penyakit kardiovaskuler. Otot saluran pernafasan dapat mengalami kejang
(spasme) bila teriritasi oleh SO2 dan spasme akan lebih berat bila konsentrasi
SO2 lebih tinggi sementara suhu udara rendah. Apabila waktu paparan
dengan gas SO2 cukup lama maka akan terjadi peradangan yang hebat pada
selaput lendir yang diikuti oleh paralysiscilia (silia menjadi kaku/lumpuh),
sehingga terjadinya peradangan saluran pernafasan, sesak nafas dan
penyempitan jalan nafas, kerusakan lapisan ephitelium, dengan ini akan
mempermudah pencemar udara keluar masuk saluran pernafasan baik
biologi maupun kimia. Hasil anabolic SO3 dengan uap air menjadi H2SO4, jika
jatuh bersamaan dengan hujan, maka hujan tersebut akan bersifat asam
128
dengan pH<5,6. Adanya hujan asam ini dapat merusak permukaan logam,
mematikan organism dalam air, gangguan pada sistem pernafasan, iritasi
kulit, merusak bebatuan dan lain-lain (Kristanto, 2002). Kondisi tersebut bisa
saja terjadi sehingga dapat berdampak pada menurunnya kondisi kesehatan
masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah PLTD Tello terutama pada
wilayah yang dominan terkena dampak semburan yaitu Aspol Tello,
Panaikang, Pampang dan Rappokalling. Apalagi lokasi di sebelah Barat Daya
(NW) PLTD Tello yaitu di Jalan Urip Sumiharjo Km. 7 Makassa merupakan
kawasan padat lalulintas, dimana dapat menambah konsentrasi emisi SO2
yang dihirup oleh masyarakat yang berada di sekitar wilayah tersebut.
Ada satu hal yang perlu diperhatikan terhadap SO2 ini, yaitu terjadinya
reaksi kimia di udara sehingga dapat membentuk sulfat aerosol dan
kemungkinan akan membentuk partikel ammonium sulfat sebagai hasil dari
reaksinya dengan ammoniak. Karena ukuran partikel tersebut dapat
terbawa/jatuh jauh ke dalam saluran paru-paru, keadaan ini akan membuat
penderita menjadi lebih parah. Sifat ini disebut dengan synergistic effect,
yaitu bahwa pengaruh total dari dua komponen (SO2 dan partikel) menjadi
lebih besar bila dibandingkan dengan pengaruh masing-masing komponen
yang berdiri sendiri. Semakin tinggi kadar bahan partikel debu biasanya
diikuti semakin tinggi gas SO2, sehingga sulit membedakan efek dari kedua
bahan tersebut. Dapat dikatakan bahwa kedua bahan tersebut bekerja
129
secara sinergi untuk menghambat pergerakan silia, sehingga mendorong
bahan partikel lebih banyak masuk ke paru.
Hal ini sejalan penelitian yang dilakukan oleh Minerva (2012)
mengenai hubungan konsentrasi SO2 terhadap kejadian ISPA di Kecamatan
Pademangan, Jakarta Utara dikatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi SO2
pada musim kemarau maka jumlah kejadian ISPA akan semakin tinggi.
Begitupula dengan penelitian yang dilakukan oleh Sandra (2011) mengenai
hubungan tingkat konsentrasi SO2, Total Suspended Particle (TSP) dan
lingkungan fisik dengan jumlah kejadian infeksi saluran pernafasa (ISPA)
pada penduduk di Kotamadya Jakarta Timur disimpulkan bahwa semakin
tinggi konsentrasi SO2 yang dipengaruhi oleh lingkungan fisik maka semakin
bertambah pula jumlah kejadian ISPA pada masyarkat di Kotamadya Jakar
Timur.
Menurut Akamal (2009), karbon monoksida (CO) jika terhirup ke dalam
paru-paru akan mengikuti peredaran darah dan akan menghalangi masuknya
oksigen yang dibutuhkan tubuh. Hal ini dapat terjadi karena gas CO bersifat
racun metabolisme ikut beraksi secara metabolisme dengan darah. Karbon
monoksida (CO) dihasilkan pada pembakaran tidak sempurnah. Contoh, 4
sampai 7 persen dari gas buangan kendaraan bermotor dan gas dari
cerobong asap merupakan CO.
130
Senyawa ini sangatlah beracun karena dapat berikatan kuat dengan
hemoglobin dan menghambat proses pengankutan oksigen ke jaringan-
jaringan tubuh. Karbon monoksida (CO) berikatan 200 kali lebih kuat dengan
hemoglobin daripada oksigen dan oleh karenanya sangat sulit untuk
melepaskannya ketika telah berkaitan denga darah (Soetrisno, 2003).
Berkaitan dengan karakteristik CO yang afinitasnya terhadap
hemoglobin 250 – 300 kali lebih kuat daripada afinitas oksigen, CO akan
membentuk ikatan karboksihemoglobin, sehingga menghambat distribusi
oksigen ke jaringan tubuh, maka organ yang sangat sensitif terhadap
keracunan karbon monoksida adalah organ-organ dengan kebutuhan oksigen
paling banyak (Anggraeni, 2009). Umumnya rute keterpajanan gas CO
adalah melalui jalan perpanapasan atau rute terhirup atau inhalasi (inhalation
route). Gas ini dikelompokkan sebagai bahan kimia asfiksia (asphyxiate), CO
mengakibatkan racun dengan cara meracuni hemoglobin (Hb) darah. Hb
berfungsi mengikat darah dalam bentuk HbO.
Setelah CO mengikat darah terbentuk ikatan HbCO, maka otomatis
oksigen akan terusir. Dengan mekanisme ini, tubuh mengalami kekurangan
oksigen dan gejala asfiksia atau kekurangan oksigen akan terjadi. Hal ini
disebabkan afinitas atau sifat pengikatan atau daya lengket karbon
monoksida ke hemoglobin darah dibandingkan dengan oksigen jauh lebih
besar. Dalam jumlah sedikit pun gas karbon monoksida jika terhirup dalam
131
waktu tertentu dapat menyebabkan gejala racun terhadap tubuh (Majid,
2011).
Gejala-gejala lain dari keracunan CO antara lain, pusing, rasa tidak
enak pada mata, telinga berdengun, mual, muntah, detak jantung meningkat,
rasa tertekan di dada, kesukaran bernafas, kelemahan otot-otot, tidak sadar,
dan bisa meninggal dunia (Mukono, 2008). Menurut Woro (1999), tekanan
darah cenderung normal yaitu antara 110 – 140 / 70 – 90 mmHg pada usia
30 – 50 tahun. Faktor umum sudah dapat terpenuhi sesuai karakteristik
responden.
Menurut Harianto (2009) terjadinya kompetisi dengan O2 untuk
berkaitan dengan Hb sehingga mengakibatkan konsentrasi COHb di darah
meningkat, sehingga meningkatkan kekentalan darah yang berdampak pada
gangguan aliran darah. Menurut Fardiaz (2008) Penguraian COHb yang
relative lambat menyebabkan terhambatnya kerja molekul sel pigmen
tersebut dalam fungsinya membawa oksigen keseluruh tubuh. Kondisi seperti
ini bisa berakibat fatal, karena dapat menyebabkan keracunan. Keracunan
gas karbon monoksida (CO) dapat ditandai dengan keadaan ringan, seperti
pusing, sakit kepala dan mual.
Persen HbCO dalam darah manusia yang mengalami kontak dengan
CO pada konsentrasi kurang dari 100 ppm dapat dihitung dengan
132
mengguakan rumus.Kondisi tersebut bisa saja terjadi sehingga dapat
berdampak pada menurunnya kondisi kesehatan masyarakat yang bermukim
di sekitar wilayah PLTD Tello terutama pada wilayah yang dominan terkena
dampak semburan yaitu Aspol Tello, Panaikang, Pampang dan Rappokalling.
Apalagi lokasi di sebelah Barat Daya (NW) PLTD Tello yaitu di Jalan Urip
Sumiharjo Km. 7 Makassar merupakan kawasan padat lalulintas, dimana
dapat menambah konsentrasi emisi CO yang dihirup oleh masyarakat yang
berada di sekitar wilayah tersebut.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Erwin (2012) mengenai pengeruh
gas CO terhadap tekanan darah pekerja jasa becak di Terminal Tirnodadi
Surakarta menemukan bahwa gas CO memiliki pengaruh yang sangat
signifikan antara paparan gas CO terhadap tekanan darah pekerja jasa becak
di Terminal Tirnodadi Surakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Sunarto
(2002) mengenai Pengaruh Karbon Monoksida (CO) Udara terhadap Status
Kesehatan Polisi yang Bertugas di Jalan Raya Yogyakarta menemukan
bahwa polisi yang bertugas di jalan raya mempunyai resiko lebih besar
mendapat gangguan kesehatan dibandingkan dengan polisi yang bertugas di
kantor, dimana status kesehatan polisi dapat diketahui dengan meningkatnya
konsentrasi CO dalam darah.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Niken (2012) mengenai Potensi
Gangguan Kesehatan Polisi Lalu Lintas Akibat Karbon Monoksida (CO)
133
menemukan bahwa gas CO yang berasal dari kendaraan berpotensi dapat
dirasakan oleh polisi lalu lintas Kota Pontianak di persimpangan jalan
Tanjungpura-Jalan Veteran. Kemudian hasil penelitian yang dilakukan oleh
Devita mengenai analisis risiko kesehatan lingkungan pajanan gas karbon
monoksida (CO) pada petugas pengumpul tol di Semarang tahun 2017,
menemukan bahwa risiko dari pajanan gas Karbon Monoksida (CO) pada
saat ini (realtime) dan selama 30 tahun (lifetime) pada petugas pengumpul tol
Semarang belum menunjukkan risiko non karsinegenik akibat pajanan gas
karbon monoksida (CO).
Untuk mengurangi konsentrasi emisi SO2 dan CO yang dihasilkan oleh
cerobong PLTD Tello dapat dilakukan dengan memasang alat penyaring
pada cerobong yaitu scrubber. Alat ini berfungsi melarutkan atau menyerap
polutan gas ke dalam liquid. Adapun butiran liquid yang masih terapat dalam
arus gas pasca pencucian selanjutnya harus dipisahkan dari gas bersih
dengan alat lain yang disebut mist eliminator atau entrainment separator. Alat
ini dapat memperoleh efesiensi pembuangan yang tinggi untuk polutan
partikel atau gas, bahkan pada contoh tertentu, dapat memperoleh efesiensi
pembuangan yang tinggi untuk kedua polutan (SO2 dan CO) pada sistem
yang sama (Khairumizan, 2008).
134
C. Keterbatasan Penelitian
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peniliti, bahwa
penelitian ini memliki beberapa keterbatasan, yaitu sebagai berikut :
1. Data konsentrasi emisi SO2 dan CO di masing-masing empat titik lokasi
yaitu Aspol Tello, Panaikang, Pampang dan Rappokalling sangat terbatas
bahkan tidak ada, sehingga peneliti melakukan validasi model terhadap
output konsentrasi SO2 dan COPLTD Tello berdasarkan model yang
dikembangkan oleh peneliti dan data riil yang ada dari hasil pemantauan
kualitas udara yang dilakukan oleh pihak manajemen PLTD Tello di jalan
raya arah Barat Laut (NW) dari sumber semburan cerobong PLTD Tello.
2. Masih terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi konsentrasi emisi
SO2 dan CO yang belum dilibatkan dalam model dinamik yang dibangun
terutama data mengenai konsentrasi emisi SO2 dan CO yang berasal dari
transportasi dan pengurangan konsentrasi emisi SO2 dan CO yaitu
serapan pohon, presentase yang terserap ke dalam tanah dan curah
hujan.
135
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Total konsentrasi emisi SO2 yang berasal dari PLTD Tello selama tahun
2012-2016 di masing-masing lokasi pada ketinggian 1 m di atas
permukaan tanah dengan jarak 500 m yaitu Aspol Tello 1.395 µg/m3, jarak
1.500 m yaitu Panaikang 1.247 µg/m3, jarak 2.500 m yaitu Pampang
0.878 µg/m3 dan jarak 4.000 m yaitu Rappokalling 0.6363 µg/m3 dari
sumber pencemar cerobong PLTD Tello.
2. Total konsentrasi emisi CO yang berasal dari PLTD Tello selama tahun
2012-2016 di masing-masing lokasi pada ketinggian 1 m di atas
permukaan tanah dengan jarak 500 m yaitu Aspol Tello 1.162 µg/m3, jarak
1.500 m yaitu Panaikang 1.039 µg/m3, jarak 2.500 m yaitu Pampang
0.7317 µg/m3 dan jarak 4.000 m yaitu Rappokalling 0.5303 µg/m3 dari
sumber pencemar cerobong PLTD Tello.
3. Daerah yang dominan terkenan dampak pencemaran dari akvitas PLTD
Tello berdasarkan arah angin dominan selama tahun 2012-2016 adalah
daerah bagian Barat Laut (NW) PLTD Tello pada ketinggian 1 m di atas
permukaan tanah dengan jarak masing-masing 500 m, 1.500 m, 2.500 m
dan 4.000 m dari cerobong PLTD Tello yaitu Aspol Tello, Panaikang,
Pampang dan Rappokalling.
136
4. Model sebaran polutan SO2 dan CO yang berasal dari aktivitas PLTD
Tello dominan ke arah Barat Laut (NW) dari cerobong PLTD Tello dengan
rata-rata kecepatan angin selama tahun 2012-2016 sebesar 4 knot.
5. Dari hasil pengolahan data maka dapat diketahui bahwa konsentrasi emisi
SO2 dan CO yang dihasilkan oleh cerobong PLTD Tello selama tahun
2012-2016 masih jauh dibawah baku mutu udara ambien (Keputusan
Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 69 Tahun 2010) di masing-masing
lokasi pada ketinggian 1 m di atas permukaan tanah yaitu Aspol Tello 0-
1.39 µg/m3, Panaikang 0-1.247 µg/m3, Pampang 0-0.878 µg/m3 dan
Rappokalling 0-0.6363 µg/m3. Maka dapat dikatakan bahwa ke empat
wilayah tersebut masih termasuk dalam kualitas udara cukup sehat.
6. Estimasi konsentrasi emisi gas Sulfur Dioksida (SO2) berdasarkan
simulasi model dinamik selama 12 bulan (Tahun 2018) terjadi
peningkatan tiap waktu sampai pada bulan Juli tahun 2018 di masing-
masing empat titik lokasi pada ketinggian 1 m di atas permukaan tanah
dengan jarak 500 m yaitu Aspol Tello 0.26065 µg/m3, jarak 1.500 m yaitu
Panaikang 0.04447 µg/m3, jarak 2.500 m yaitu Pampang 0.01760 µg/m3
dan jarak 4.000 m yaitu Rappokalling 0.00740 µg/m3 dari sumber
semburan cerobong PLTD Tello dengan laju peningkatan konsentrasi
emisi yaitu Aspol sebesar 0.0053 kali, Panaikang 0.00061 kali, Pampang
0.00021 kali dan Rappokalling 0.000078 kali tiap bulan.
137
7. Estimasi konsentrasi emisi gas Karbon Monoksida (CO) berdasarkan
simulasi model dinamik selama 12 bulan (Tahun 2018) terjadi
peningkatan tiap bulan sampai pada bulan Juli tahun 2018 di masing-
masing empat titik lokasi pada ketinggian 1 m di atas permukaan tanah
dengan jarak 500 m yaitu Aspol Tello 0.21530 µg/m3, jarak 1.500 m yaitu
Panaikang 0.03134 µg/m3, jaka 2.500 m yaitu Pampang 0.00938 µg/m3
dan jarak 4.000 m yaitu Rappokalling 0.00611 µg/m3 dari sumber
semburan cerobong PLTD Tello dengan laju peningkatan konsentrasi
emisi yaitu Aspol Tello 0.0044 kali, Panaikang 0.0004 kali, Pampang
Antang 0.000073 kali dan TPA Rappokalling 0.0000064 kali tiap bulan.
B. SARAN
1. Dilakukan penelitian lanjutan tentang dampak emisi SO2 dan CO yang
berasal dari cerobong PLTD Tello terhadap kejadian ISPA di wilayah yang
dominan terkena dampak emisi SO2 dan CO yaitu Aspol Tello, Panaikang,
Pampang dan Rappokalling.
2. Bagi pemerintah daerah dan PLTD Tello melakukan pengukuran kualitas
udara ambien dengan parameter SO2 dan CO di wilayah-wilayah yang
dominan terkena dampak emisi.
3. Bagi pemerintah daerah dan pihak manajemen PLTD Tello perlu untuk
meninjau kembali mengenai kondisi kelayakan letak PLTD Tello yang
berada di tengah-tengah pemukiman penduduk. Hal ini mesti dilakukan
sebab semburan emisi yang tiap waktu dikeluarkan oleh cerobong PTLD
138
Tello dapat menurunkan derajat kesehatan masyarakat yang bermukim di
sekitar PLTD Tello dari waktu ke waktu.
139
DAFTAR PUSTAKA
Alrafea, Kamal., ELkamel , Ali., A, Sahab., Wahab, Abdullah. 2016. Cost-analysis of health impacts associated with emissions from combined cycle power plant. http://www.sciencedirect.com.
Aggarwal. 2014. Pemodelan Pencemaran Udara. ETD UGM Jogjakarta
Anderson JL, et al. (2005) The isoprenoid substrate specificity of isoprenylcysteine carboxylmethyltransferase: development of novel inhibitors. J Biol Chem 280(33):29454-61
Arif, Muhammad Latar. 2012. Pengolahan Limbah Gas. FKM Universitas Esa Unggul
Arifin, S. 2012. Pengaruh Pemakaian Catalytic Converter Material Substrat Paduan CuZn(Kuningan) Untuk Mereduksi Emisi Gas Buang CO, HC, Dan NOx Pada Mobil Bensin. Universitas Muhammadiyah Semarang.
Axella, O. & Suryani, E. 2012. Aplikasi Model Sistem Dinamik Untuk Menganalisis Permintaan Dan Ketersediaan Listrik Sektor Industri (Studi Kasus : Jawa Timur). Jurnal Teknik ITS, Vol 1 No. 1.
Ay, F. I. 2014. Analisis Tingkat Pencemaran Udara Pada Kawasan
Pemukiman Kota Makassar (Studi Kasus Perumahan Bukit Baruga Dan Perumahan Dosen Unhas ). Universitas Hasanuddin.
Barbulescu, Alina and Barbes, Lucica. 2017. Mathematical modeling of sulfur
dioxide concentration in the western part of Romania. http://www.sciencedirect.com.
Bleeker, M.L., 2015. Carbon Monoxide Intoxication.Handb.Clin. Neurol.
131:191-203.
BLHD 2013. Laporan Pengkajian Kualitas Udara Ambien. Makassar: Badan Lingkungan Hidup Daerah.
Blumenthal, I., 2001. Carbon monoxide poisoning. J. R. Soc. Med. 94 (6),
270–272.
140
Brailsford, S. C. (2008). System Dynamic: What’s in It for Healhcare Simulation Modelers. Paper presented at the Proceendings of the 2008 Winter Simulation Conference, University of Southampton.
Budiman, A. Ramdoner, J. Adha, M.L. dan Parulian, S. (2010). Generation of
Electricity.Depok : Departemen teknik Elektro FT UI. Chen, Fei., Dkk. 2017. The effects of Sulphur dioxide on acute mortality and
years of life lost are modified by temperature in Chengdu, China. http://www.sciencedirect.com.
Chen, R., Huang,W.,Wong, C.M.,Wang, Z., Thach, T.Q., Chen, B., Kan, H., 2012. Shortterm exposure to sulfur dioxide and daily mortality in 17 Chinese cities: the China air pollution and health effects study (CAPES). Environ. Res. 118, 65-71
Cheng, Y., Thomas, A., Mardini, F., Bianchi, S.L., Tang, J.X., Peng, J., Wei, H., Eckenhoff, M.F., Eckenhoff, R.G., Levy, R.J., 2012. Neurodevelopmental consequences of sub-clinical carbon monoxide exposure in newborn mice. PLoS One 7, e32029.
Clark, N.A., Demers, P.A., Karr, C.J., Koehoorn, M., Lencar, C., Tamburic, L.,
Brauer, M., 2010.Effect of early life exposure to air-pollution on development of childhood asthma. Environ. Health Perspect. 118, 284-290.
Cuinica, L.G., Cruz, A., Abreu, I., da Silva, J.C., 2015. Effects of atmospheric
pollutants (CO, O3, SO2) on the allergenicity of Betula pendula, Ostrya carpinifolia, and Carpinus betulus pollen. Int. J. Environ. Health Res. 25 (3), 312–321.
Dauhi, Y. 2014. Analisis Kadar Nitrogen Dioksida (NO2) Dan Karbon
Monoksida (CO) Di Udara Ambien Kota Gorontalo. Depkes, 2007.Parameter Pencemar Udara dan Dampaknya Terhadap
Kesehatan, Melalui: http://www.depkes.go.id/downloads/Udara. PDF>(1/3/17).
Dirgawati, M. dan Soemirat, J., 2008.Hubungan dan Analisi Resiko Kualitas
Udara Ambien Terhadap Moralitas dan Morbiditas Di Kawasan Pemukiman, Industri dan Padat Lalu Lintas Kota Bandung.Prosiding Seminar Nasional Polusi Udara dan Ozon, Lapan Bandung.
141
EPA. 2007. Air Quality Guide For Nitrogen Dioxide. In: EPA (Ed.) Air Quality Index Ed. US.
European Environment Agency, 2011. Air quality in Europe – 2011 report. No 12/2011. Luxemburg: Publication Office of European Union.
Evans, K.A., Halterman, J.S., Hopke, P.K., Fagnano, M., Rich, D.Q., 2014.
Increased ultrafine particles and carbon monoxide concentrations are associated with asthma exacerbation among urban children. Environ. Res 129, 11–19.
Fardiaz, Srikandi (1992), Polusi Air dan Udara. Kanisius, Yogyakarta. Farida.(2004). Kajian Pengendalian Pencemaran Udara Khususnya Partikulat
dan SO2 dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (Studi Kasus Unit Pembangkitan Muara Karang, Kec. Penjaringan, Kota Jakarta Utara, DKI Jakarta).Tesis.Jakarta : Program Studi Ilmu Lingkungan UI.
Fisher, D. M. (2011). Modeling Dynamic System: Lesson for A First Course
(Third Esition ed.): Isee System. Fotheringham, A. Seward, B. Chir, dan Charlton M. (2000). Quatitative
Geography, Perspective on Spatial Data Analysis. London: Sage Publication.
Gungor, Markus. 2009. The effect of low emission zones on air pollution and
infant health. http://www.sciencedirect.com.
Greiger, et. al. 1995. “The Climate Near The Ground”. Braunschweig.Friedr Vieweg & Sohn Verlagsgesllschaft mbH.
Greingor JL, Tosi JM, Ruhlmann S, Aussedat M. Acute carbon monoxide
intoxication during pregnancy. One case report and review of the
literature. Emerg Med J 2001; 18:399–401.
http://www.sciencedirect.com.
Holton, J. B1992. System Dynamics Modeling for Public Health: Background and Opportunities. American Journal of Public Health, 96, 452-458.
Hosseiniebalam, Fahimeh & Ghaffarpasand Omid. 2014. The effects of
emission sources and meteorological factors on sulphur dioxide concentration of Great Isfahan, Iran. http://www.sciencedirect.com.
142
Huang, Chien-Cheng., Ho , Chung-Han., Chen, Yi-Chen., Lin, Hung-Jung., Hsu Chien-Chin., Wang, Jhi-Joung., Su, Shih-Bin. 2017 Hyperbaric oxygen therapy is associated with lower short- and long-term mortality in patients with carbon monoxide poisoning.http://www.sciencedirect.com.
Instantinova, Dea Budi. 2013. Pengaruh Kecepatan Angin, Kelembaban dan Suhu Udara Terhadap Konsentrasi Gas Pencemar Sulfur Dioksida (SO2) Dalam Udara Ambien di Sekitar PT. Inti General Yaja Steel Semarang.Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Tenik Universitas Diponegoro
Jacobson, M.Z., 2002. Atmospheric Pollution, Cambridge University Press, UK. Jasnos, K., Magierowski, M., Kwiecień, S., Brzozowski, T., 2014.Carbon
monoxide in human physiology – its role in gatrointestinal tract.Post.Hig. Med. Dosw. 68, 101–109.
Joseph Erouscilla P., Beckles Denise M., Cox Leonette, Jackson Viveka B.,
Alexander Dominic. 2015. An evaluation of ambient sulphur dioxide concentrations from passive degassing of the Sulphur Springs, Saint Lucia geothermal system: Implications for human health. http://www.sciencedirect.com.
Kadir, Abdul. 1995. “Energi: Sumberdaya, Inovasi, Tenaga Listrik, Potensi Ekonomi” Edisi Kedua/Revisi. UI-Press. Jakarta.
Kajimura, M., Fukuda, R., Bateman, R.M., Yamamoto, T., Suematsu, M.,
2010. Interactions of multiple gas-transducing systems: hallmarks and uncertainties of CO, NO, and H2S gas biology. Antioxid.Redox Signal. 13, 157–192.
Kementrian Lingkungan Hidup. (2014). Modul Diklat Pengendalian
Pencemaran Udara, Pengendalian Pencemaran Udara dari Sumber Tidak Bergerak.Jakarta : Penerbit Pusat Pendidikan dan Pelatihan.
Kementrian Lingkungan Hidup. (2009). Status Lingkungan Hidup Indonesia
Udara Evaluasi Data Hasil Pemantauan Kualitas Udara.Jakarta : KLH.
Khairumizan, Panji. 2008. Studi Eksperimental Implementasi Venturi
Scrubber pada Sistem Gasifikasi Batubara.
143
Kristanto P, 2002, “Ekologi Industri”, Edisi Pertama, Cetakan Pertama . Levy, Richard J. 2015. Carbon monoxide pollution and neurodevelopment: A
public health concern. http://www.sciencedirect.com
Li, Y., Guo, G., Williams, 2016. Acute Impact of Hourly Ambient Air Pollution on Preterm Birth. Environ. Health Perspect. (Online 29 April 2016).
Li Ben, Chen Minjun, Guo Lin, Yun Yang, Li Guangke, Sang Nan. 2016.
Endocannabinoid 2-arachidonoylglycerol protects 2 inflammatory insults from sulfur dioxide inhalation via 3 cannabinoid receptors in the brain. http://www.sciencedirect.com
Ma,W., Chen, R., Kan, H., 2014a. Temperature-related mortality in 17 large Chinese cities: how heat and cold affect mortality in China. Environ. Res. 134, 127–133.
Mallongi, A. 2012.Modul Pemodelan Kesehatan : Pemodelan Dinamik
Kesehatan Masyarakat Dengan Menggunakan Software Stella. Mandra, M. A. S., Herodian, S., Effendy, S. & Seminar, K. B. 2013.Model
Dinamik Pengendalian Emisi CO Dan NO2 Kendaraan Bermotor Di Kota Makassar.Prosiding Seminar Nasional HPTI I.
Marsudi, Sianturi. 2005. Studi Pembangkit Listrik Tenaga Uap dan Tenaga
Diesel.Fakultas Teknik Universitas Sumatra Utara. Mobasher, Z., Salam, M.T., Goodwin, T.M., Lurmann, F., Ingles, S.A., Wilson,
M.L., 2013.Associations between ambient air pollution and Hypertensive Disorders of Pregnancy. Environ. Res. 123, 9–16.
Muhaimin. 2003. Pemodelan Dispersi Polusi Udara Dari Aktivitas PLTU
Cirebon Pada Musim Kemarau dan Hujan Serta Penggunaan 2 Cerobong Asap. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UGM Jogjakarta.
Mikellsen, A. 2006.Jakarta Kota Polusi (menggugat hak atas udara bersih). Jakarta : LP3S.
Mukono.2000. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan
Saluran Pernafasan.Surabaya: Airlangga University Press
144
Mukono.2011. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran Pernafasan.Surabaya: Airlangga University Press.
Naito, Yuji., Takagi, Tomohisa., Uchiyama, Kazuhiko., Katada, Kazuhiro.,
Yoshikawa, Toshikazu. 2015. Multiple targets of carbon monoxide gas in the intestinal inflammation. http://www.sciencedirect.com
Nasir, Zakaria. 1995.The Indonesian Journal of Occupational Safety and
Health, Vol. 2, No. 1 Jan-Jun 2013: 75–81. Analisis Pencemaran Udara (SO2) Keluhan Iritasi Tenggorokan dan Keluhan Kesehatan Iritasi Mata pada Pedagang Makanan di Sekitar Terminal Joyoboyo Surabaya.
Nazrul Islam, S.M., Peter L. Jackson., AherneJulian.2016.Ambient nitrogen
dioxide and sulfur dioxide concentrations over a region of natural gas production, Northeastern British Columbia, Canada. http://www.sciencedirect.com
Nugroho, S.B. (2001). Pengaruh Kegiatan Penambangan Batubara Terhadap Kualitas Udara Ambien (Studi Kasus di PT. Arutmin Indonesia, Lokasi Tambang Satul, Kecamatan Kintap dan Kecamatan Satui, Kalimantan Selatan). Tesis, Jakarta : Program Studi Ilmu Lingkungan UI.
Oke T.R. 1987. “Boundary Layer Climates”.Ed ke-2. London. Routledge. Pasquil, F., 1971.“The Estimation of The Dispersion of Wind Borne Material”,
Meteorological Magazine, 90, 33-49. Pope, D., Diaz, E., Smith-Sivertsen, T., Lie, R.T., Bakke, P., Balmes, J.R., et
al., 2015. Exposure to household air pollution from wood combustion and association with respiratory symptoms and lung function in nonsmoking women: results from the RESPIRE Trial. Guatem. Environ. Health Perspect. 123 (4), 285–292.
Prabu, P. 2009. Aspek Klimatologis Pencemaran Udara. Diaskes 10 April
2013. putraprabu.wordpress.com/../aspek-k-klomatologis-pencemaran-udara.
Pramono, G. (2008). Akurasi Metode IDW dan Kring Untuk Interpolasi
Sebaran Sedimen Tersuspensi.Jurnal Forum Geografi Hal 97-110.Bogor Bakosurtanal.
145
Puspitasari, Dwi Anita. 2011. “Pola Spasial Pencemaran Udara Dari Sumber Pencemar PLTU dan PLTG Muara Karang”. Skripsi Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.Depok.
Ray, Sharmila and Kim, Ki-Hyiun, 2014.The pollution status of sulfur dioxide
in major urban areas of Korea between 1989 and 2010. http://www.sciencedirect.com.
Richardson, G. P., & Pugh, A. L. (1983).Introduction to System Dynamics Modelling with Dynamo (Second Edition ed.). Cambridge: The MIT Press.
Ritz, B., Qiu, J., Lee, P.C., Lurmann, F., Penfold, B., Erin-Weiss, R.,
McConnell, R., Arora, C., Hobel, C., Wilhelm, M., 2013.Prenatal air pollution exposure and ultrasound measures of fetal growth in Los Angeles, California. Environ. Res. 130, 7–13.
Roosita, Hermien. 2007. “Memperkirakan Dampak Lingkungan Kualitas
Udara”. Jakarta. Deputi Bidang Tata Lingkungan-Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Sakti, Eka Satriani. 2012. Tinjuan Tentang Kualitas Udara Ambien (NO2, SO2,
Total Suspended Particulate) Terhadap Kejadian ISPA di Kota Bekasi Tahun 2004-2011. FKM UI Jakarta
Sandy, I.M. (1993). Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta : LP3S. Sasongko Dwi P., Aktrista Ayu Ika Permatasari, Imam Buchori. Analisis
Dispersi Polutan Udara Menggunakan Model Dispersi Gauss dan Pemetaan Surfer 10.Jurnal EKOSAINS Vol. 6 No. 3 Nopember 2014.
Sastrawijaya, T. 1991. Pencemaran Lingkungan. PT Rineka Cipta. Jakarta. Satria, Aji Bahtiar. 2006. “Pemetaan Penyebaran polutan Sebagai Bahan
Pertimbangan Pembangunan Ruang Terbuka Hijau di Kota Cilegon”. SkripsiFakultas Kehutanan. Institus Pertanian Bogor.
Sarudji, Kuncoro. 2010. Global Warming, Food, and Water Problems,
Solutions, and The Changes of World Geopolitical Constellation. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
146
Siregar, Sandra Yossi. 2011. Hubungan Tingkat Konsentrasi Sulfur Dioksida (SO2) Total Suspended Particle (TSP) dan Lingkungan Fisik Dengan Jumlah Kejadian Inffeksi Saluran Pernapasan (ISPA) Pada Penduduk di Kontamadya Jakarta Timun Tahun 2008-2010. FKM UI Jakarta.
Soedomo, Moestikahadi, (2001), Pencemaran Udara. ITB, Bandung. Sterman, J. D. (1991). A Skeptic’s Guide to Computer Models Retrieved 3
October 2011, from http://web.mit.edu/jsterman/www/Sceptic’s Guide.html.
Suryani, Sry. 2011. Model Sebaran Polutan SO2 Pada Cerobong Asap PT. Semen Tonasa. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH)-Universitas Hasanuddin-Tamalanrea, Makassar.
Suyitno.2011. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel. Universitas Negri Jakarta Tjasyono, Bayong. 2004, “Klimatologi”, ITB, Bandung. Tunnicliffe, W.S., et al., 2001. The effect of sulphur dioxide exposure on
indices of heart rate variability in normal and asthmatic adults. Eur.
Respir. J. 17, 604–608.
Ul-Haq, Zia., Tariq, Salman., Ali, Muhammad. 2016. Anthropogenic emissions and space-borne observations of carbon monoxide over South Asia. http://www.sciencedirect.com.
Utomo, Joko Wiji. 2012. Emisi CO dari Aktivitas Trasportasi dan Industri. Cirebon
Wahono, G. (2003). Kajian Dinamika Spatial Zat Pencemar udara (Studi
Kasus di Lokasi PT. Nasional Gobel).Skripsi.Depok : Departemen Geografi FMIPA UI.
Wang, Kun., dkk. 2016. A comprehensive emission inventory of multiple air
pollutants from iron and steel industry in China: Temporal trends and spatial variation characteristics. http://www.sciencedirect.com.
147
Warlina, L. (2008). Estimasi Emisi Dioksin/Furan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsentrasi Emisi ke Udara yang Berasal dari Industri Logam.Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi Vol 9 No. 1 Hal 11-20.
Witono, Djoko. 2003. Karakteristik Pencemaran Udara di PLTGU UJB 1
Tambak Lorok Semarang. Imu Lingkungan Universitas Diponegoro. Wu, L., Wang, R., 2005. Carbon monoxide: endogenous production,
physiological functions, and pharmacological applications. Pharmacol. Rev. 57, 585–630.
Wylie, B.J., Kishashu, Y., Matechi, E., Zhou, Z., Coull, B., Abioye, Al, et al.,
2016.Maternal exposure to carbon monoxide and fine particulate matter during pregnancy in an urban Tanzanian cohort.Indoor Air. http://dx.doi.org/10.1111/ina.12289.
Yan Dan, Lei Yalin, Li Li , Song Wen. 2017. Carbon emission efficiency and
spatial clustering analyses in China’s thermal power industry:
Evidence from the provincial level. http://www.sciencedirect.com.
Yucra, S., Tapia, V., Steenland, K., Naeher, L.P., Gonzales, G.F., 2013.Maternal exposure to biomass smoke and carbon monoxide in relation to adverse pregnancy outcome in two high altitude cities of Peru. Environ. Res. 130, 29–33.
Yulianti, S., Fitrianingsih, Y. & Jati, D. R. 2014.Analisis Konsentrasi Gas Karbon Monoksida (CO) Pada Ruas Jalan Gajah Mada Pontianak.PJI-Untan, Vol (1) No. 1.
Zanobetti, A., Schwartz, J., 2009. The effect of fine and coarse particulate air
pollution on mortality: a national analysis. Environ. Health Perspect. 117, 898–903.
Zendrako, E. 2010.Pengukuran Kadar Gas Pencemar Nitrogrn Dioksida Di
Udara Sekitar Kawasan Industri.Medan: Universitas Sumatera Selatan.
Zhao, Z., Zhang, Z., Wang, Z., Ferm, M., Liang, Y., Norbäck, D.,
2008.Asthmatic symptoms among pupils in relation to winter indoor and outdoor air pollution in schools in Taiyuan, China. Environ. Health Perspect. 116, 90-97.
148
LAMPIRAN
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180
181
182
183
184
185
186
187
188
BEBERAPA FORMULA YANG DIGUNAKAN DALAM MODEL
SO2_&_CO[Aspol_1,SO2](t) = SO2_&_CO[Aspol_1,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Aspol_1,SO2] - Absorb_Plant[Aspol_1,SO2] - Keluaran_Sistem[Aspol_1,SO2] - Arah_Angin[Aspol_1,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Aspol_1,SO2] = 0
SO2_&_CO[Aspol_1,CO](t) = SO2_&_CO[Aspol_1,CO](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Aspol_1,CO] - Absorb_Plant[Aspol_1,CO] - Keluaran_Sistem[Aspol_1,CO] - Arah_Angin[Aspol_1,CO]) * dt INIT SO2_&_CO[Aspol_1,CO] = 0
SO2_&_CO[Aspol_2,SO2](t) = SO2_&_CO[Aspol_2,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Aspol_2,SO2] - Absorb_Plant[Aspol_2,SO2] - Keluaran_Sistem[Aspol_2,SO2] - Arah_Angin[Aspol_2,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Aspol_2,SO2] = 0
SO2_&_CO[Aspol_2,CO](t) = SO2_&_CO[Aspol_2,CO](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Aspol_2,CO] - Absorb_Plant[Aspol_2,CO] - Keluaran_Sistem[Aspol_2,CO] - Arah_Angin[Aspol_2,CO]) * dt INIT SO2_&_CO[Aspol_2,CO] = 0
SO2_&_CO[Aspol_3,SO2](t) = SO2_&_CO[Aspol_3,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Aspol_3,SO2] - Absorb_Plant[Aspol_3,SO2] - Keluaran_Sistem[Aspol_3,SO2] - Arah_Angin[Aspol_3,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Aspol_3,SO2] = 0
SO2_&_CO[Aspol_3,CO](t) = SO2_&_CO[Aspol_3,CO](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Aspol_3,CO] - Absorb_Plant[Aspol_3,CO] - Keluaran_Sistem[Aspol_3,CO] - Arah_Angin[Aspol_3,CO]) * dt INIT SO2_&_CO[Aspol_3,CO] = 0
SO2_&_CO[Aspol_4,SO2](t) = SO2_&_CO[Aspol_4,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Aspol_4,SO2] - Absorb_Plant[Aspol_4,SO2] - Keluaran_Sistem[Aspol_4,SO2] - Arah_Angin[Aspol_4,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Aspol_4,SO2] = 0
SO2_&_CO[Aspol_4,CO](t) = SO2_&_CO[Aspol_4,CO](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Aspol_4,CO] - Absorb_Plant[Aspol_4,CO] - Keluaran_Sistem[Aspol_4,CO] - Arah_Angin[Aspol_4,CO]) * dt INIT SO2_&_CO[Aspol_4,CO] = 0
189
SO2_&_CO[Aspol_5,SO2](t) = SO2_&_CO[Aspol_5,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Aspol_5,SO2] - Absorb_Plant[Aspol_5,SO2] - Keluaran_Sistem[Aspol_5,SO2] - Arah_Angin[Aspol_5,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Aspol_5,SO2] = 0
SO2_&_CO[Aspol_5,CO](t) = SO2_&_CO[Aspol_5,CO](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Aspol_5,CO] - Absorb_Plant[Aspol_5,CO] - Keluaran_Sistem[Aspol_5,CO] - Arah_Angin[Aspol_5,CO]) * dt INIT SO2_&_CO[Aspol_5,CO] = 0
SO2_&_CO[Aspol_6,SO2](t) = SO2_&_CO[Aspol_6,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Aspol_6,SO2] - Absorb_Plant[Aspol_6,SO2] - Keluaran_Sistem[Aspol_6,SO2] - Arah_Angin[Aspol_6,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Aspol_6,SO2] = 0
SO2_&_CO[Aspol_6,CO](t) = SO2_&_CO[Aspol_6,CO](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Aspol_6,CO] - Absorb_Plant[Aspol_6,CO] - Keluaran_Sistem[Aspol_6,CO] - Arah_Angin[Aspol_6,CO]) * dt INIT SO2_&_CO[Aspol_6,CO] = 0
SO2_&_CO[Aspol_7,SO2](t) = SO2_&_CO[Aspol_7,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Aspol_7,SO2] - Absorb_Plant[Aspol_7,SO2] - Keluaran_Sistem[Aspol_7,SO2] - Arah_Angin[Aspol_7,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Aspol_7,SO2] = 0
SO2_&_CO[Aspol_7,CO](t) = SO2_&_CO[Aspol_7,CO](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Aspol_7,CO] - Absorb_Plant[Aspol_7,CO] - Keluaran_Sistem[Aspol_7,CO] - Arah_Angin[Aspol_7,CO]) * dt INIT SO2_&_CO[Aspol_7,CO] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_1,SO2](t) = SO2_&_CO[Panaikang_1,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_1,SO2] - Absorb_Plant[Panaikang_1,SO2] - Keluaran_Sistem[Panaikang_1,SO2] - Arah_Angin[Panaikang_1,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_1,SO2] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_1,CO](t) = SO2_&_CO[Panaikang_1,CO](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_1,CO] - Absorb_Plant[Panaikang_1,CO] - Keluaran_Sistem[Panaikang_1,CO] - Arah_Angin[Panaikang_1,CO]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_1,CO] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_2,SO2](t) = SO2_&_CO[Panaikang_2,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_2,SO2] - Absorb_Plant[Panaikang_2,SO2] - Keluaran_Sistem[Panaikang_2,SO2] - Arah_Angin[Panaikang_2,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_2,SO2] = 0
190
SO2_&_CO[Panaikang_2,CO](t) = SO2_&_CO[Panaikang_2,CO](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_2,CO] - Absorb_Plant[Panaikang_2,CO] - Keluaran_Sistem[Panaikang_2,CO] - Arah_Angin[Panaikang_2,CO]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_2,CO] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_3,SO2](t) = SO2_&_CO[Panaikang_3,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_3,SO2] - Absorb_Plant[Panaikang_3,SO2] - Keluaran_Sistem[Panaikang_3,SO2] - Arah_Angin[Panaikang_3,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_3,SO2] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_3,CO](t) = SO2_&_CO[Panaikang_3,CO](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_3,CO] - Absorb_Plant[Panaikang_3,CO] - Keluaran_Sistem[Panaikang_3,CO] - Arah_Angin[Panaikang_3,CO]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_3,CO] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_4,SO2](t) = SO2_&_CO[Panaikang_4,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_4,SO2] - Absorb_Plant[Panaikang_4,SO2] - Keluaran_Sistem[Panaikang_4,SO2] - Arah_Angin[Panaikang_4,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_4,SO2] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_4,CO](t) = SO2_&_CO[Panaikang_4,CO](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_4,CO] - Absorb_Plant[Panaikang_4,CO] - Keluaran_Sistem[Panaikang_4,CO] - Arah_Angin[Panaikang_4,CO]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_4,CO] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_5,SO2](t) = SO2_&_CO[Panaikang_5,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_5,SO2] - Absorb_Plant[Panaikang_5,SO2] - Keluaran_Sistem[Panaikang_5,SO2] - Arah_Angin[Panaikang_5,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_5,SO2] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_5,CO](t) = SO2_&_CO[Panaikang_5,CO](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_5,CO] - Absorb_Plant[Panaikang_5,CO] - Keluaran_Sistem[Panaikang_5,CO] - Arah_Angin[Panaikang_5,CO]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_5,CO] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_6,SO2](t) = SO2_&_CO[Panaikang_6,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_6,SO2] - Absorb_Plant[Panaikang_6,SO2] - Keluaran_Sistem[Panaikang_6,SO2] - Arah_Angin[Panaikang_6,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_6,SO2] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_6,CO](t) = SO2_&_CO[Panaikang_6,CO](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_6,CO] - Absorb_Plant[Panaikang_6,CO] - Keluaran_Sistem[Panaikang_6,CO] - Arah_Angin[Panaikang_6,CO]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_6,CO] = 0
191
SO2_&_CO[Panaikang_7,SO2](t) = SO2_&_CO[Panaikang_7,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_7,SO2] - Absorb_Plant[Panaikang_7,SO2] - Keluaran_Sistem[Panaikang_7,SO2] - Arah_Angin[Panaikang_7,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_7,SO2] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_3,CO](t) = SO2_&_CO[Panaikang_3,CO](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_3,CO] - Absorb_Plant[Panaikang_3,CO] - Keluaran_Sistem[Panaikang_3,CO] - Arah_Angin[Panaikang_3,CO]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_3,CO] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_4,SO2](t) = SO2_&_CO[Panaikang_4,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_4,SO2] - Absorb_Plant[Panaikang_4,SO2] - Keluaran_Sistem[Panaikang_4,SO2] - Arah_Angin[Panaikang_4,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_4,SO2] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_4,CO](t) = SO2_&_CO[Panaikang_4,CO](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_4,CO] - Absorb_Plant[Panaikang_4,CO] - Keluaran_Sistem[Panaikang_4,CO] - Arah_Angin[Panaikang_4,CO]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_4,CO] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_5,SO2](t) = SO2_&_CO[Panaikang_5,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_5,SO2] - Absorb_Plant[Panaikang_5,SO2] - Keluaran_Sistem[Panaikang_5,SO2] - Arah_Angin[Panaikang_5,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_5,SO2] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_5,CO](t) = SO2_&_CO[Panaikang_5,CO](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_5,CO] - Absorb_Plant[Panaikang_5,CO] - Keluaran_Sistem[Panaikang_5,CO] - Arah_Angin[Panaikang_5,CO]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_5,CO] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_6,SO2](t) = SO2_&_CO[Panaikang_6,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_6,SO2] - Absorb_Plant[Panaikang_6,SO2] - Keluaran_Sistem[Panaikang_6,SO2] - Arah_Angin[Panaikang_6,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_6,SO2] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_6,CO](t) = SO2_&_CO[Panaikang_6,CO](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_6,CO] - Absorb_Plant[Panaikang_6,CO] - Keluaran_Sistem[Panaikang_6,CO] - Arah_Angin[Panaikang_6,CO]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_6,CO] = 0
SO2_&_CO[Panaikang_7,SO2](t) = SO2_&_CO[Panaikang_7,SO2](t - dt) + (Emisi_dari_Sumber[Panaikang_7,SO2] - Absorb_Plant[Panaikang_7,SO2] - Keluaran_Sistem[Panaikang_7,SO2] - Arah_Angin[Panaikang_7,SO2]) * dt INIT SO2_&_CO[Panaikang_7,SO2] = 0
192
Tabel Total Konsentrasi Emisi SO2 dan CO PLTD Tello Tahun 2012-2016
No. Jarak (X) Ketinggian (Z) Lateral (Y) SO2 CO
(m) (m) (m) (µg/m3) (µg/m3)
1 100 1 0 1.64E-09 1.37E-09
2 200 1 0 5.06E-02 4.22E-02
3 300 1 0 0.7149 0.5957
4 400 1 0 1.299 1.082
5 500 1 0 1.395 1.162
6 600 1 0 1.263 1.052
7 700 1 0 1.127 0.9391
8 800 1 0 1.013 0.8438
9 900 1 0 1.145 0.9545
10 1000 1 0 1.273 1.061
11 1100 1 0 1.334 1.112
12 1200 1 0 1.348 1.124
13 1300 1 0 1.33 1.109
14 1400 1 0 1.293 1.078
15 1500 1 0 1.247 1.039
16 1600 1 0 1.198 0.9984
17 1700 1 0 1.151 0.9589
18 1800 1 0 1.106 0.9218
19 1900 1 0 1.065 0.8875
20 2000 1 0 1.027 0.856
21 2100 1 0 0.9925 0.8271
22 2200 1 0 0.9605 0.8004
23 2300 1 0 0.9309 0.7757
24 2400 1 0 0.9035 0.7529
25 2500 1 0 0.878 0.7317
26 2600 1 0 0.8543 0.7119
27 2700 1 0 0.8321 0.6934
28 2800 1 0 0.8114 0.6761
29 2900 1 0 0.7919 0.6599
30 3000 1 0 0.7736 0.6447
31 3500 1 0 0.6962 0.5801
32 4000 1 0 0.6363 0.5303
193
Tabel Estimasi Konsentrasi Emisi SO2 PLTD Tello di Semua Titik Lokasi Aspol Tello12 Bulan Akan
Datang (2018)
Bulan SO2(µg/m3) Aspol Tello (X = 500 m dan Z = 1 m )
1 (y = 300 m) 2 (y = 200 m) 3 (y = 100 m) 4 (y = 0 m) 5 (y = -100 m) 6 (y = -200 m) 7 (y = -300 m)
Januari 5.77E-09 1.69E-05 2.03E-03 0.01 2.03E-03 1.69E-05 5.77E-09
Februari 7.43E-09 2.18E-05 2.62E-03 0.0129 2.62E-03 2.18E-05 7.43E-09
Maret 8.45E-09 2.47E-05 2.98E-03 0.0147 2.98E-03 2.47E-05 8.45E-09
April 9.23E-09 2.70E-05 3.25E-03 0.016 3.25E-03 2.70E-05 9.23E-09
Mei 5.09E-05 1.77E-03 0.01565 0.0341 0.01565 1.77E-03 5.09E-05
Juni 6.50E-05 2.26E-03 0.0192 0.0397 0.0192 2.26E-03 6.50E-05
Juli 7.01E-05 2.43E-03 0.02052 0.0419 0.02052 2.43E-03 7.01E-05
Agustus 1.63E-05 5.88E-04 7.49E-03 0.0232 7.49E-03 5.88E-04 1.63E-05
September 3.78E-06 1.59E-04 4.47E-03 0.0189 4.47E-03 1.59E-04 3.78E-06
Oktober 7.89E-07 5.45E-05 3.53E-03 0.0168 3.53E-03 5.45E-05 7.89E-07
November 2.13E-07 3.41E-05 3.31E-03 0.0162 3.31E-03 3.41E-05 2.13E-07
Desember 6.00E-08 2.92E-05 3.31E-03 0.0163 3.31E-03 2.92E-05 6.00E-08
194
Tabel Estimasi Konsentrasi Emisi SO2 PLTD Tello di Semua Titik Lokasi Panaikang12 Bulan Akan
Datang (2018)
Bulan SO2(µg/m3)Panaikang(X = 1.500 m dan Z = 1 m )
1 (y = 300 m) 2 (y = 200 m) 3 (y = 100 m) 4 (y = 0 m) 5 (y = -100 m) 6 (y = -200 m) 7 (y = -300 m)
Januari 2.70E-04 8.26E-04 1.62E-03 2.02E-03 1.62E-03 8.26E-04 2.70E-04
Februari 3.47E-04 1.06E-03 2.08E-03 2.60E-03 2.08E-03 1.06E-03 3.47E-04
Maret 3.95E-04 1.21E-03 2.37E-03 2.97E-03 2.37E-03 1.21E-03 3.95E-04
April 4.32E-04 1.32E-03 2.59E-03 3.24E-03 2.59E-03 1.32E-03 4.32E-04
Mei 1.77E-03 3.07E-03 4.34E-03 4.88E-03 4.34E-03 3.07E-03 1.77E-03
Juni 2.16E-03 3.60E-03 4.90E-03 5.44E-03 4.90E-03 3.60E-03 2.16E-03
Juli 2.31E-03 3.81E-03 5.15E-03 5.69E-03 5.15E-03 3.81E-03 2.31E-03
Agustus 8.99E-04 2.00E-03 3.37E-03 4.05E-03 3.37E-03 2.00E-03 8.99E-04
September 5.72E-04 1.58E-03 2.96E-03 3.67E-03 2.96E-03 1.58E-03 5.72E-04
Oktober 4.65E-04 1.39E-03 2.69E-03 3.36E-03 2.69E-03 1.39E-03 4.65E-04
November 4.39E-04 1.34E-03 2.61E-03 3.26E-03 2.61E-03 1.34E-03 4.39E-04
Desember 4.40E-04 1.35E-03 2.63E-03 3.29E-03 2.63E-03 1.35E-03 4.40E-04
195
Tabel Estimasi Konsentrasi Emisi SO2 PLTD Tello di Semua Titik Lokasi Pampang12 Bulan Akan Datang
(2018)
Bulan SO2(µg/m3)Pampang(X = 2.500 m dan Z = 1 m )
1 (y = 300 m) 2 (y = 200 m) 3 (y = 100 m) 4 (y = 0 m) 5 (y = -100 m) 6 (y = -200 m) 7 (y = -300 m)
Januari 3.72E-04 5.82E-04 7.62E-04 8.34E-04 7.62E-04 5.82E-04 3.72E-04
Februari 4.78E-04 7.49E-04 9.81E-04 1.07E-03 9.81E-04 7.49E-04 4.78E-04
Maret 5.45E-04 8.54E-04 1.12E-03 1.22E-03 1.12E-03 8.54E-04 5.45E-04
April 5.95E-04 9.33E-04 1.22E-03 1.34E-03 1.22E-03 9.33E-04 5.95E-04
Mei 1.20E-03 1.51E-03 1.74E-03 1.83E-03 1.74E-03 1.51E-03 1.20E-03
Juni 1.38E-03 1.70E-03 1.93E-03 2.01E-03 1.93E-03 1.70E-03 1.38E-03
Juli 1.46E-03 1.78E-03 2.01E-03 2.10E-03 2.01E-03 1.78E-03 1.46E-03
Agustus 8.39E-04 1.20E-03 1.50E-03 1.61E-03 1.50E-03 1.20E-03 8.39E-04
September 6.96E-04 1.06E-03 1.38E-03 1.50E-03 1.38E-03 1.06E-03 6.96E-04
Oktober 6.22E-04 9.69E-04 1.26E-03 1.38E-03 1.26E-03 9.69E-04 6.22E-04
November 6.00E-04 9.39E-04 1.23E-03 1.34E-03 1.23E-03 9.39E-04 6.00E-04
Desember 6.06E-04 9.49E-04 1.24E-03 1.36E-03 1.24E-03 9.49E-04 6.06E-04
196
Tabel Estimasi Konsentrasi Emisi SO2 PLTD Tello di Semua Titik Lokasi Rappokalling12 Bulan Akan
Datang (2018)
Bulan SO2(µg/m3)Rappokalling(X = 4.000 m dan Z = 1 m )
1 (y = 300 m) 2 (y = 200 m) 3 (y = 100 m) 4 (y = 0 m) 5 (y = -100 m) 6 (y = -200 m) 7 (y = -300 m)
Januari 2.55E-04 3.10E-04 3.48E-04 3.62E-04 3.48E-04 3.10E-04 2.55E-04
Februari 3.28E-04 3.99E-04 4.48E-04 4.66E-04 4.48E-04 3.99E-04 3.28E-04
Maret 3.74E-04 4.54E-04 5.11E-04 5.31E-04 5.11E-04 4.54E-04 3.74E-04
April 4.09E-04 4.97E-04 5.58E-04 5.80E-04 5.58E-04 4.97E-04 4.09E-04
Mei 6.09E-04 6.76E-04 7.20E-04 7.36E-04 7.20E-04 6.76E-04 6.09E-04
Juni 6.77E-04 7.41E-04 7.83E-04 7.98E-04 7.83E-04 7.41E-04 6.77E-04
Juli 7.08E-04 7.72E-04 8.14E-04 8.28E-04 8.14E-04 7.72E-04 7.08E-04
Agustus 5.09E-04 5.97E-04 6.59E-04 6.81E-04 6.59E-04 5.97E-04 5.09E-04
September 4.62E-04 5.57E-04 6.23E-04 6.46E-04 6.23E-04 5.57E-04 4.62E-04
Oktober 4.24E-04 5.14E-04 5.76E-04 5.99E-04 5.76E-04 5.14E-04 4.24E-04
November 4.12E-04 4.99E-04 5.61E-04 5.83E-04 5.61E-04 4.99E-04 4.12E-04
Desember 4.16E-04 5.05E-04 5.67E-04 5.90E-04 5.67E-04 5.05E-04 4.16E-04
197
Tabel Estimasi Konsentrasi Emisi CO PLTD Tello di Semua Titik Lokasi Aspol Tello12 Bulan Akan
Datang (2018)
Bulan CO (µg/m3) Aspol Tello (X = 500 m dan Z = 1 m )
1 (y = 300 m) 2 (y = 200 m) 3 (y = 100 m) 4 (y = 0 m) 5 (y = -100 m) 6 (y = -200 m) 7 (y = -300 m)
Januari 4.81E-09 1.41E-05 1.69E-03 8.36E-03 1.69E-03 1.41E-05 4.81E-09
Februari 6.16E-09 1.80E-05 2.17E-03 0.010708 2.17E-03 1.80E-05 6.16E-09
Maret 6.98E-09 2.04E-05 2.46E-03 0.012131 2.46E-03 2.04E-05 6.98E-09
April 7.62E-09 2.23E-05 2.68E-03 0.013243 2.68E-03 2.23E-05 7.62E-09
Mei 4.24E-05 1.48E-03 0.013014 0.02832 0.013014 1.48E-03 4.24E-05
Juni 5.39E-05 1.87E-03 0.015913 0.032857 0.015913 1.87E-03 5.39E-05
Juli 5.80E-05 2.02E-03 0.016988 0.034684 0.016988 2.02E-03 5.80E-05
Agustus 1.30E-05 4.70E-04 6.08E-03 0.018985 6.08E-03 4.70E-04 1.30E-05
September 2.91E-06 1.24E-04 3.63E-03 0.015472 3.63E-03 1.24E-04 2.91E-06
Oktober 5.79E-07 4.25E-05 2.89E-03 0.013761 2.89E-03 4.25E-05 5.79E-07
November 1.53E-07 2.74E-05 2.73E-03 0.013327 2.73E-03 2.74E-05 1.53E-07
Desember 4.28E-08 2.39E-05 2.73E-03 0.013453 2.73E-03 2.39E-05 4.28E-08
198
Tabel Estimasi Konsentrasi Emisi CO PLTD Tello di Semua Titik Lokasi Panaikang12 Bulan Akan
Datang (2018)
Bulan CO (µg/m3) Panaikang(X = 1.500 m dan Z = 1 m )
1 (y = 300 m) 2 (y = 200 m) 3 (y = 100 m) 4 (y = 0 m) 5 (y = -100 m) 6 (y = -200 m) 7 (y = -300 m)
Januari 2.25E-04 6.88E-04 1.35E-03 1.69E-03 1.35E-03 6.88E-04 2.25E-04
Februari 2.62E-04 8.02E-04 1.57E-03 1.96E-03 1.57E-03 8.02E-04 2.62E-04
Maret 2.77E-04 8.48E-04 1.66E-03 2.08E-03 1.66E-03 8.48E-04 2.77E-04
April 3.05E-04 9.33E-04 1.83E-03 2.29E-03 1.83E-03 9.33E-04 3.05E-04
Mei 1.42E-03 2.37E-03 3.24E-03 3.61E-03 3.24E-03 2.37E-03 1.42E-03
Juni 1.60E-03 2.64E-03 3.56E-03 3.94E-03 3.56E-03 2.64E-03 1.60E-03
Juli 1.68E-03 2.76E-03 3.73E-03 4.12E-03 3.73E-03 2.76E-03 1.68E-03
Agustus 4.05E-04 1.10E-03 2.04E-03 2.52E-03 2.04E-03 1.10E-03 4.05E-04
September 3.28E-04 9.95E-04 1.94E-03 2.43E-03 1.94E-03 9.95E-04 3.28E-04
Oktober 2.93E-04 8.97E-04 1.76E-03 2.20E-03 1.76E-03 8.97E-04 2.93E-04
November 2.99E-04 9.15E-04 1.79E-03 2.24E-03 1.79E-03 9.15E-04 2.99E-04
Desember 3.03E-04 9.30E-04 1.82E-03 2.28E-03 1.82E-03 9.30E-04 3.03E-04
199
Tabel Estimasi Konsentrasi Emisi CO PLTD Tello di Semua Titik Lokasi Pampang12 Bulan Akan Datang
(2018)
Bulan CO (µg/m3)Pampang(X = 2.500 m dan Z = 1 m )
1 (y = 300 m) 2 (y = 200 m) 3 (y = 100 m) 4 (y = 0 m) 5 (y = -100 m) 6 (y = -200 m) 7 (y = -300 m)
Januari 3.10E-04 4.85E-04 6.35E-04 6.95E-04 6.35E-04 4.85E-04 3.10E-04
Februari 2.68E-04 4.21E-04 5.51E-04 6.02E-04 5.51E-04 4.21E-04 2.68E-04
Maret 2.87E-04 4.50E-04 5.89E-04 6.44E-04 5.89E-04 4.50E-04 2.87E-04
April 3.19E-04 5.00E-04 6.55E-04 7.16E-04 6.55E-04 5.00E-04 3.19E-04
Mei 8.00E-04 9.50E-04 1.05E-03 1.08E-03 1.05E-03 9.50E-04 8.00E-04
Juni 7.50E-04 9.20E-04 1.04E-03 1.08E-03 1.04E-03 9.20E-04 7.50E-04
Juli 7.90E-04 9.64E-04 1.09E-03 1.13E-03 1.09E-03 9.64E-04 7.90E-04
Agustus 2.05E-04 3.94E-04 5.64E-04 6.32E-04 5.64E-04 3.94E-04 2.05E-04
September 3.62E-04 5.48E-04 7.05E-04 7.67E-04 7.05E-04 5.48E-04 3.62E-04
Oktober 2.77E-04 4.41E-04 5.82E-04 6.38E-04 5.82E-04 4.41E-04 2.77E-04
November 3.10E-04 4.85E-04 6.34E-04 6.93E-04 6.34E-04 4.85E-04 3.10E-04
Desember 3.09E-04 4.85E-04 6.35E-04 6.95E-04 6.35E-04 4.85E-04 3.09E-04
200
Tabel Estimasi Konsentrasi Emisi CO PLTD Tello di Semua Titik Lokasi Rappokalling12 Bulan Akan
Datang (2018)
Bulan CO (µg/m3)Rappokalling(X = 4.000 m dan Z = 1 m )
1 (y = 300 m) 2 (y = 200 m) 3 (y = 100 m) 4 (y = 0 m) 5 (y = -100 m) 6 (y = -200 m) 7 (y = -300 m)
Januari 2.13E-04 2.58E-04 2.90E-04 3.02E-04 2.90E-04 2.58E-04 2.13E-04
Februari 2.73E-04 3.31E-04 3.72E-04 3.86E-04 3.72E-04 3.31E-04 2.73E-04
Maret 3.09E-04 3.75E-04 4.22E-04 4.38E-04 4.22E-04 3.75E-04 3.09E-04
April 3.38E-04 4.10E-04 4.61E-04 4.79E-04 4.61E-04 4.10E-04 3.38E-04
Mei 5.04E-04 5.59E-04 5.96E-04 6.09E-04 5.96E-04 5.59E-04 5.04E-04
Juni 5.60E-04 6.13E-04 6.48E-04 6.60E-04 6.48E-04 6.13E-04 5.60E-04
Juli 5.86E-04 6.39E-04 6.74E-04 6.85E-04 6.74E-04 6.39E-04 5.86E-04
Agustus 4.18E-04 4.91E-04 5.42E-04 5.60E-04 5.42E-04 4.91E-04 4.18E-04
September 3.81E-04 4.58E-04 5.13E-04 5.32E-04 5.13E-04 4.58E-04 3.81E-04
Oktober 3.49E-04 4.23E-04 4.74E-04 4.93E-04 4.74E-04 4.23E-04 3.49E-04
November 3.39E-04 4.12E-04 4.62E-04 4.81E-04 4.62E-04 4.12E-04 3.39E-04
Desember 3.43E-04 4.17E-04 4.68E-04 4.86E-04 4.68E-04 4.17E-04 3.43E-04
201
DOKUMENTASI PENELITIAN
Pengambilan Data SO2 dan CO PLTDTello
Pengambilan Data Meteorologi Kota Makassar
Pengamatan Aktivitas PLTD Tello ( 7/12/2017 )
202
BIODATA PENULIS
A. DATA DIRI
1. Nama : DARWIN SAFIU
2. Tempat/Tanggal Lahir : Mawasangka / 10 Juli 1990
3. Agama : Islam
4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. E-mail : [email protected]
6. Nama Orang Tua : 1. Ayah : Safiu
2. Ibu : Wiyah
7. Alamat : Jl. Bonto Mene No 14 A Landak Baru,
B. PENDIDIKAN
1. TK Mawasangka Kabupaten Buton Tahun 1995 – 1996
2. SD Negeri 1 Mawasangka Kabupaten Buton Tahun 1996 – 2002
3. SMP Negeri 1 Mawasangka Kabupaten Buton Tahun 2002 – 2005
4. SMA Negeri 1 Bau-bau Kota Bau-bau Tahun 2005 – 2008
5. Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Alauddin Makassar Tahun
2008 – 2012.
Makassar