PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977 (Studi Tentang …... · (Studi Tentang Fusi Partai ......
Embed Size (px)
Transcript of PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977 (Studi Tentang …... · (Studi Tentang Fusi Partai ......
-
i
PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977
(Studi Tentang Fusi Partai Politik)
SKRIPSI
Oleh:
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ARI WAHYUTI
X 4406016
-
ii
PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977
(Studi Tentang Fusi Partai Politik)
Oleh:
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Progam Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ARI WAHYUTI
X4406016
-
iii
-
iv
-
v
ABSTRAK
Ari Wahyuti. PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977 (Studi
Tentang Fusi Partai Politik). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Latar belakang fusi partai
politik (2) Perkembangan partai politik tahun 1973-1977 (3) Pengaruh fusi partai
politik terhadap perolehan suara pemilu 1977 bagi partai yang berfusi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
historis. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi
heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini berupa sumber primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data dengan
studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis
dengan melakukan kritik ekstern dan intern.
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Fusi
partai dilatar belakangi karena adanya kesadaran di kalangan pemerintah dan
masyarakat umum bahwa pembaharuan struktur politik harus dilakukan dengan cara
menyederhanakan sistem kepartaian. Tuntutan terhadap pembaharuan struktur politik
semakin meningkat seiring dengan kritik yang keras terhadap peran partai-partai
politik bahwa sistem banyak partai tidak menjamin stabilitas nasional. (2)
Perkembangan partai politik tahun 1973-1977 ditandai dengan adanya berbagai
masalah internal partai. Hal ini disebabkan rendahnya integrasi antara unsur-unsur
partai yang ada. Pasca fusi PDI dan PPP belum dapat menyatukan unsur-unsur di
dalamnya sehingga konflik mewarnai perjalanan partai. Sedangkan Pembinaan
Golkar berjalan dengan pesat dan cukup lancar dibandingkan dengan partai-partai
politik (3) Pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977, suara
PPP naik diberbagai daerah, khususnya di DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Aceh
PPP mengalahkan Golkar. Sedangkan perolehan kursi Golkar pada pemilu 1977
mengalami penurunan. Golkar memperoleh suara 62, 11 persen, perolehan kursi
menjadi 232 atau kehilangan 4 kursi dibanding pemilu 1971 Dan Kekalahan PDI pada
pemilu 1977 tampak pada merosotnya perolehan kursinya dibanding gabungan kursi
partai-partai yang berfusi sebelumnya.
-
vi
ABSTRACT
Ari Wahyuti. X4406016. Indonesia General Election In 1977 (Study about fusion
of political parties). Skripsi, Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education,
Sebelas Maret University, July 2010.
The purpose of this study is: (1) Background fusion political parties. (2) The
development of political parties in 1973 - 1977. (3) Effect fusion of political parties to
voice for the party election in 1977 to political parties that fusion.
This research was conducted by using the historical method through
heuristic, critical, interpretation and historiography steps. The source of data used in
this research was the primary data and the secondary data. The technique of collecting
data was done by library stud, while, the technique of analyzing data used in this
research was the historical analysis technique by doing internal and external critics.
Based on the research results can be concluded: (1)Background fusion of
parties because existence awareness in circle governments and the public that the
renewal of political structure must be done by simplifying parties system because
many of the parties system does not quaranted of national stabilities, (2) The
development of political parties in 1973 1977 was marking by the existence of
various problems internal parties. Pasca fusion, PDI and PPP not can unite the
elements in that. Until the Conflict always in the their parties. And then structure of
Golkar is good working and go on fast, (3) Effect fusion of political parties to voice
for the party election in 1977 PPP voice acquirement is be gone up in many kinds of
state country, exspecially in Jakarta and PPP defeat Golkar in Daerah Istimewa Aceh.
And then Golkar seats acquirement is obtain redusing in election 1977. Golkar
obtained 62,11 percent, become 232 or loss 4 seats in comparing election 1971. And
defeat PDI in election 1977 appear in decline acquisition seats compared join seats
parties that fusion before now.
-
vii
MOTTO
Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan,
padahal kelak dihari kiamat ia akan menjadi penyesalan.
(HR. Al-Bukhari)
-
viii
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada:
1. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberikan
kasih sayang dan tak henti-hentinya berdoa untuk
kesuksesan dan cita-cataku.
2. Kang Wans dan adikku Ria yang telah
memberikan dukungan dan semangat kepadaku.
3. Sahabat-sahabatku
4. Almamater
-
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulisan skripsi akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi
sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan.
Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan
skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya
kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui atas
permohonan skripsi ini.
3. Ketua Progam Pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan ijin
atas penyusunan skripsi ini.
4. Drs.Tri Yuniyanto, M.Hum selaku dosen Pembimbing I yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Drs. Djono, M.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen Progam Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan
Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon maaf
atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati.
7. Teman-teman Sejarah Angkatan 2006, terima kasih atas doa dan dukungannya.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
-
x
Semoga Allah SWT membalas amal baik kepada semua pihak yang telah
membantu di dalam penyelesaian skripsi ini dengan mendapatkan pahala yang
setimpal. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, masih
terdapat kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat
bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.
Surakarta, Juli 2010
Penulis
-
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
HALAMAN PENGAJUAN ...................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ................................................................................................................. iv
HALAMAN MOTTO ............................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................... vii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... viii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................................ 9
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 10
BAB II KAJIAN TEORI .......................................................................................... 11
A. Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 11
1. Partai Politik ......................................................................................... 11
2. Pemilu .................................................................................................. 19
3. Demokrasi ............................................................................................ 22
B. Kerangka Berfikir ............................................................................................ 27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 30
A. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................................... 30
B. Metodologi Penelitian ..................................................................................... 31
C. Sumber Data .................................................................................................... 31
D. Teknik Pengumpulan Data .............................................................................. 33
E. Teknik Analisis Data ....................................................................................... 33
F. Prosedur Penelitian ......................................................................................... 35
BAB IV HASIL PENELITIAN ................................................................................ 39
A. Latar Belakang Fusi Partai Politik .................................................................. 39
1. Gagasan Penyederhanaan Partai Politik .............................................. 39
-
xii
2. Pemilihan Umum 1971 ....................................................................... 42
3. Perombakan Sistem Kepartaian Melalui Fusi Partai Politik ............... 52
B. Perkembangan Partai Politik Tahun 1973-1977 ............................................. 63
C. Pengaruh Fusi Partai Politik Terhadap Perolehan Suara Pemilu 1977
Bagi Partai Yang Berfusi ................................................................................. 68
1. Kampanye Pemilu 1977 ...................................................................... 68
2. Hasil Pemilu 1977 ............................................................................... 74
BAB V PENUTUP ..................................................................................................... 87
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 87
B. Implikasi ......................................................................................................... 88
C. Saran ................................................................................................................ 89
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 90
LAMPIRAN ............................................................................................................... 94
-
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Hasil pemilihan umum 1971 ..................................................................... 46
Tabel 2: Perbandingan jumlah suara pada pemilu1971 .......................................... 49
Tabel 3 : Hasil pemilu 1977 .................................................................................... 80
Tabel 4 : Pergeseran jumlah suara pada pemilu 1971-1977 ................................... 83
-
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Hasil Fusi PPP ............................................................................... 97
Lampiran 2 : Pembentukan Pimpinan PDI Tingkat Pusat ................................... 98
Lampiran 3 : Munas PNI ..................................................................................... 99
Lampiran 4 : Kampanye Golkar ........................................................................... 100
Lampiran 5 : Kampanye PDI ............................................................................... 101
Lampiran 6 : Kampanye PPP ............................................................................... 102
Lampiran 7 : Pidato Kampanye PPP .................................................................... 103
Lampiran 8 : Pidato Kampanye PDI .................................................................... 104
Lampiran 9 : Pelaksanaan Pemilu 1977 ............................................................... 105
Lampiran 10 : Penghitungan Angka Sementara Pada Pemilu 1977 ....................... 106
Lampiran 11 : Hasil Pemilu 1977 ........................................................................... 107
Lampiran 12 : Jurnal ...............................................................................................
108
Lampiran 13 : Surat permohonan ijin menyusun skripsi ........................................ 109
Lampiran 14 : Surat keputusan Dekan FKIP tentang ijin penyusunan Skripsi ...... 110
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemikiran tentang demokrasi telah menjadi salah satu topik penting
sejarah pemikiran politik di Indonesia. Para pendiri republik seperti Soekarno,
Moh.Hatta, Soepomo dan Natsir telah merumuskan berbagai model demokrasi
yang diperuntukkan bagi praktik politik di Indonesia (Eep Saefulloh Fatah, 1994:
32). Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah merdeka. Untuk
mengisi kemerdekaan itu diperlukan suatu pemerintah negara yang akan mengatur
seluruh tata kehidupan rakyat berdasarkan suatu peraturan dasar negara. Oleh
karena itu pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-Undang Dasar 1945
(UUD 1945). Dalam pembukaan UUD 1945 ditegaskan, bahwa negara republik
Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat atau negara demokrasi
(demokrasi berarti kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat) (C. S. T. Kansil,
1974: 25).
Menurut Gwendolen M. Carter, John H. Herz dan Henry B. Mayo,
demokrasi sebagai pemerintahan mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut :
Pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi
individu dan kelompok dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara
berkala, tertib, damai, dan melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif, serta
adanya pemilihan umum yang bebas dengan disertai adanya model perwakilan
yang efektif, dan diberinya kebebasan berpartisipasi bagi partai politik, organisasi
kemasyarakatan, masyarakat, perseorangan, serta prasarana pendapat umum
semacam pers dan media massa (Eep Saefulloh Fattah, 2000: 8).
Perkembangan kehidupan politik, Indonesia pernah mengalami berbagai
praktek demokrasi sebagai akibat berubahnya sistem pemerintahan dalam
pemakaian Undang-Undang Dasar. Untuk itu dikenal berbagai macam praktek
demokrasi sesuai dengan sistem pemerintahan yang sedang berlaku, misalnya
demokrasi parlementer, demokrasi liberal, dan demokrasi terpimpin (Miriam
Budiardjo, 1982: 69). Dalam suatu negara demokrasi yang pemerintahannya
-
2
berbentuk republik kehendak rakyatlah yang menjadi dasar penyelenggaraan
pemerintahan negara dan tata kehidupan rakyat, kepentingan rakyat yang menjadi
titik perhatian pemerintah. Kepentingan rakyat hanya dapat diperhatikan dengan
sebaik-baiknya apabila rakyat mempunyai wakil-wakil yang duduk dalam
pemerintahan dan badan perwakilan. Badan perwakilan dan pemerintah negara
yang mencerminkan kehendak dan memperhatikan suara hati nurani rakyat
diwujudkan dalam suatu pemilihan umum (C. S. T. Kansil, 1974: 29). Pemilihan
umum merupakan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan
kedaulatannya sesuai dengan azas yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Pemilihan umum itu sendiri pada dasarnya adalah suatu demokrasi yang memilih
anggota-anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR, dan DPRD yang pada
gilirannya bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah menetapkan politik
dan jalannya pemerintahan negara (Ali Moertopo, 1974: 61).
Sesuai dengan isi Tap. MPRS No. XI/MPRS/1966 dan No.
XIII/MPRS/1968 tentang pemilihan umum anggota-anggota Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang diatur dalam Undang-Undang
pemilihan umum ini, adalah didasarkan pada azas pemilihan yang bersifat umum,
langsung, bebas dan rahasia. Berdasarkan Undang-Undang No. 15 tahun 1969
tujuan utama pemilihan umum adalah Memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk
dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan dan memilih wakil-wakil rakyat
yang akan mempertahankan dasar falsafah negara republik Indonesia yaitu
pancasila serta memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar membawakan isi
hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan dan
mengembangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (C.
S. T. Kansil, 1974: 86).
Melalui pemilihan umum seleksi kepemimpinan dan perwakilan dapat
dilakukan secara fair karena keterlibatan warga negara. Praktek demokrasi
modern, yaitu melalui perwakilan dapat dilakukan sepenuhnya dalam pemilihan
umum. Dengan pemilihan umum pula maka akan terjadi pergantian elit kekuasaan
secara lebih adil karena warga negaralah yang langsung menentukan siapa yang
masih dianggap memenuhi syarat sebagai elite dan siapa yang tidak. Dengan
1
-
3
terlibat dalam proses pelaksaaan pemilu, diharapkan bahwa warga negara akan
mendapatkan pengalaman langsung bagaimana selayaknya seorang warga negara
berkiprah dalam sistem demokrasi. Warga negara akan mengerti dan memahami
posisinya sebagai pemegang kedaulatan yang sangat menentukan gerak serta
perjalanan bangsa dan negaranya (Muhammad A. S. Hikam, 1999: 16).
Disamping itu, dalam suatu negara demokrasi rakyat berhak untuk mengeluarkan
pendapatnya, berhak menyatakan keinginannya dan cita-citanya tentang
kenegaraan selaras dengan dasar dasar negara yang bersangkutan. Akan tetapi
pada umumnya rakyat mempunyai pendirian yang berbeda-beda. Pendapat dan
pendirian yang berbeda-beda tersebut menimbulkan berbagai aliran politik dalam
masyarakat. Keinginan dan pendapat dari rakyat dalam suatu negara itu disalurkan
dalam partai-partai politik. Melalui partai-partai poitik pendapat dan keinginan
rakyat dapat dikemukakan, bahkan dapat menjadi suatu kenyataan dalam
pemerintahan negara, apabila suatu partai mendapat kepercayaan rakyat untuk
memegang pemerintahan (C.S.T. Kansil, 1979: 26) Dengan dikeluarkannya
Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang disusul dengan
Maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945, kehidupan politik di Indonesia
menganut sistim multi partai ( Ali Moertopo, 1974: 71).
Pemilihan umum yang dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955
bertujuan memilih anggota DPR dan Konstituante. Pemilihan umum pertama ini
dilaksanakan diseluruh tanah air (kecuali Irian Barat) memperebutkan 257 kursi
DPR. Dalam pemilihan umum ini muncul berbagai tuntutan dan harapan dari
rakyat agar pemilu dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi bangsa
Indonesia, baik berupa kemelut politik yang berkepanjangan, kemerosotan
ekonomi, maupun ancaman terhadap keamanan. Rakyat berharap pemilu itu dapat
menciptakan suatu pemerintahan yang sah dan stabil sehingga dapat
melaksanakan pembangunan nasional dalam segala bidang. Pemilu 1955
menghasilkan empat partai politik yang meraih kemenangan besar yaitu Partai
Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdatul Ulama (NU), dan Partai Komunis
Indonesia (PKI) (Syamsuddin Haris dkk, 1998: 32). Hasil pemilu menunjukkan
bahwa PNI memperoleh suara sebesar (8.434.653), Masyumi (7.903.886), NU
-
4
(6.955.141), PKI (6.176.914). Sementara jumlah kursi yang diperoleh PNI
sebanyak 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, dan PKI 39 kursi (Herbert
Feith, 1957: 58).
Pemilihan umum yang dilaksanakan juga tidak dapat membawa
stabilitas politik yang sudah lama didambakan. Salah satu penyebabnya adalah
sulitnya partai-partai politik untuk bekerja sama dan tidak adanya partai mayoritas
yang keluar sebagai pemenang dalam pemilu 1955. Untuk keperluan itu setiap
partai baru membentuk koalisi dengan partai-partai kecil. Akan tetapi tidak ada
loyalitas pada koalisi. Beberapa kali suatu partai yang menyatakan tidak setuju
dengan kebijakan kabinet menarik kembali dukungannya, sehingga kabinet jatuh
karena kehilangan mayoritas dalam parlemen dan terjadi krisis kabinet. Hal ini
menjadikan stabilitas politik sangat bergantung pada koalisi partai yang sering
berubah (Miriam Budiardjo, 2008: 436).
Kondisi politik Indonesia yang tidak menentu pada tahun 1950-an
karena konflik politik yang hebat merupakan bukti yang baik bagi pendapat
Soekarno bahwa sistem Parlementer dan Multipartai tidak layak digunakan di
Indonesia. Dalam peringatan sumpah pemuda 1957 presiden Soekarno
menyatakan bahwa segala kesulitan yang dihadapi negara pada masa itu
disebabkan terdapatnya banyak partai-partai politik, sehingga merusak persatuan
negara. Karena itu ada baiknya partai-partai dibubarkan. Dengan alasan
menyelamatkan negara, presiden Soekarno mengajukan suatu konsepsi yaitu
demokrasi terpimpin (Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto,
1993: 224).
Cara yang ditempuh Soekarno dalam menangani konflik politik adalah
mengadakan tindakan-tindakan reprsif terhadap pihak-pihak yang berbeda
pendapat dengan pemerintah. Berbagai langkah politik juga dilakukan oleh
presiden Soekarno yang memperkuat kedudukannya sebagai seorang presiden
yang berkuasa mutlak. Partai-partai politik yang dianggap melawan kebijakannya,
seperti Masyumi dan PSI pada tahun 1960 telah dibubarkan. Pada masa
Demokrasi terpimpin ini partai-partai politik manjadi sangat tergantung kepada
-
5
presiden Soekarno yang membuat mereka mengikuti dan mendukung apa yang
dikatakan oleh Soekarno (Maswadi Rauf, 2001: 124).
Pengaruh Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin semakin besar
dalam politik Indonesia. Hal ini disebabkan ketidakmampuan partai politik
membendung percekcokkan antar sesama partai yang akhirnya menimbulkan
ketidakstabilan politik. Penyebab lainnya adalah keinginan Soekarno untuk
memainkan peranan yang lebih besar dan berarti dalam politik, bukan sekedar
lambang seperti dikehendaki UUDS 1950. selain itu, karena keinginan tokoh
militer untuk berperan di dalam politik yang disebabkan oleh semakin
menurunnya kepercayaan militer terhadap partai politik atau politisi sipil dalam
menjalankan roda pemerintahan (Alfian, 1980: 42)
Pada masa Demokrasi Terpimpin ditandai pula oleh adanya keinginan
yang kuat kaum militer untuk tampil dalam gelanggang politik dan sejak itu pula
muncul kesadaran untuk mengurangi jumlah partai politik, guna mengatasi
berbagai gejolak politik. Dengan dikucilkannya PNI dan Masyumi oleh presiden
Soekarno, memberikan angin segar bagi PKI untuk berkiprah lebih leluasa dalam
arena politik. Dalam kurun waktu 1959-1965, tampak antara Soekarno, PKI dan
TNI-AD saling bersaing, sedang partai lain kurang menunjukkan aset yang berarti
dalam percaturan politik (Arifin Rahman, 1998: 98).
Berkaca pada Demokrasi Terpimpin, para pemimpin Orde Baru
mencanangkan usaha-usaha perbaikan dalam sistem politik Indonesia dan tetap
berpandangan bahwa jumlah partai yang terlalu banyak tidak menjamin adanya
stabilitas politik. Oleh karena itu, didengungkanlah slogan-slogan seperti
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai
kritik terhadap Orde Lama, sekaligus untuk menunjukkan kebulatan tekad Orde
Baru untuk menegakkan demokrasi seperti yang dianut oleh UUD 1945. Yang
tidak kalah pentingnya adalah usaha-usaha pemerintah untuk menyelenggarakan
pemilu (Maswadi Rauf, 2001: 126-127)
Pemerintahan Orde Baru bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Strategi politik yang ditempuh melalui
penyelenggaraan pemilu dan penyederhanaan partai. Pemilu dimaksudkan untuk
-
6
mengadakan pembaharuan semangat dan kemampuan perwakilan-perwakilan
rakyat, terutama untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan pembangunan di
Indonesia. (Ali Moertopo, 1974: 65). Banyak kemungkinan yang dapat
berpengaruh dalam kehidupan surutnya kepartaian di Indonesia. Faktor dari sifat-
sifat hubungan dalam masyarakat, kemampuan berorganisasi di kalangan elit dan
Ideologi partai. Akan tetapi, pengaruh yang lebih tampak yang melatar belakangi
kelemahan partai diantaranya jumlah partai yang terlalu banyak sehinggga
diperlukan pengurangan jumlah partai politik (Arbi Sanit, 1995: 43).
Pada tahun 1969, sebuah Undang-undang (UU) tentang pemilu telah
berhasil diundangkan yang memberikan basis hukum yang jelas bagi
penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Pada tahun 1970, presiden Soeharto telah
mengemukakan sarannya agar dilakukan pengelompokan partai-partai sehingga
organisasi politik yang ada dapat ciutkan hanya menjadi tiga kelompok, yaitu
kelompok nasionalis, kelompok spiritual, dan Golongan karya. Partai Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI),
dan Nahdatul Ulama (NU) segera memberikan dukungan atas usul presiden
tersebut, sedangkan partai Katolik dan Parkindo menolak bergabung dalam
golongan spiritual. Atas saran ini, maka pada tanggal 14 Maret 1970 sembilan
partai politik menggabungkan diri ke dalam dua golongan antara lain, golongan
spiritual yang terdiri dari empat partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama (NU), Partai
Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Perti. Selain itu,
golongan nasionalis yang terdiri dari : Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai
Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, dan Partai Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Golongan Karya (Golkar) (Moh. Mahfud,
2000: 90)
Menjelang pemilu 1971, mulai terlihat bahwa pemerintah Orde Baru
menganut sikap yang sama dengan Soekarno dalam menghadapi konflik politik,
yakni kekhawatiran yang berlebihan terhadap konflik. Elit politik Orde Baru
selalu khawatir terhadap konflik politik karena akan mengganggu kestabilan
politik, integrasi nasional, dan pembangunan nasional. Ketiga hal tersebut
digunakan sebagai alasan untuk membatasi kebebasan disegala bidang. Dampak
-
7
dari sikap tersebut adalah kebebasan terhadap partai politik. Suasana politik lebih
banyak dicurahkan kepada kegiatan kampanye untuk menghadapi pemilihan
umum yang dilangsungkan pada tanggal 3 juli 1971 (Maswadi Rauf, 2001: 127-
128).
Peserta dalam pemiihan umum 1971 meliputi sembilan partai politik
antara lain: Partai Katholik Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Murba,
Partai Ikatan pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Nasional Indonesia,
Partai Nadhlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Muslimin
Indonesia, Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti) dan Golongan Karya.
(Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 517).
Pemilihan umum 1971 dimaksudkan untuk menciptakan kemantapan dan
stabilitas politik, perombakan struktur politik dengan pengakuan bagi Golongan
Karya dan membangkitkan kesadaran demokrasi rakyat (Ali Moertopo, 1974: 67).
Pada pemilu 1971 ada dua macam kekhawatiran yang diperlihatkan
penguasa yang membayanginya. Pertama adalah kekhawatiran yang diperlihatkan
penguasa jika pemilu itu menghidupkan kembali pola tingkah laku politik dijaman
Demokrasi Liberal, kedua adalah kekhawatiran kemungkinan munculnya
kecenderungan untuk mematikan konflik atau perbedaan pendapat. Dengan
demikian DPR hasil pemilu dikhawatirkan akan kurang mampu menyuarakan
aspirasi dan kehendak yang sesungguhnya dari masyarakat (Mohtar Masoed dan
Mac Andrews, Colin, 2006: 263).
Hasil pemilu 1971 menunjukkan kemenangan Golkar, kemudian diikuti
oleh Parmusi, Nadhlatul Ulama (NU), dan Partai Nasional Indonesia (PNI)
menunjukkan kekuatan formal partai dilihat dari suara yang didapat dari
pemilihan. Hal ini tidak lepas dari jasa ABRI dalam mensukseskan pemilu
pertama dalam masa Orde Baru, yakni memberi peluang cukup leluasa bagi
Golkar untuk berusaha sekuat tenaga dalam memenangkan pemilu dengan dibantu
oleh pemerintah. Dengan kemenangan Golkar maka sangat mungkin melapangkan
jalan untuk menyederhanakan kehidupan partai secara melembaga (Arifin
Rahman, 1998: 99).
-
8
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dibentuk berdasarkan
hasil pemilu 1971 berhasil diyakinkan untuk menggariskan perintah
penyederhanaan partai politik dengan menegaskan bahwa dalam pemilihan umum
1977 hanya diikuti tiga kontestan. Penyederhanaan partai politik dalam bentuk
dua partai politik dan satu Golongan Karya itu sendiri merupakan suatu perubahan
struktur kepartaian yang baru pertama kali terjadi sejak diperkenalkannya sistem
kepartaian dinegara Indonesia. Dengan jumlah relatif sedikit, diharapkan dapat
menjadi landasan bagi terwujudnya suatu kehidupan kepartaian yang lebih sehat,
efisien, serta mampu membawakan fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur
aspirasi politik rakyat (Amir Machmud, 1987: 214). Selanjutnya, berdasarkan isi
ketetapan MPR tersebut pada tahun 1973 semua partai politik resmi melakukan
fusi, dimana golongan spiritual menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
sedangkan golongan Nasionalis menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan
Golkar tetap menjadi golongan tersendiri. Dengan demikian dalam pemilihan
umum1977 diikutsertakan dua partai dan Golongan Karya (Golkar) (Miriam
Budiardjo, 2008: 446 ).
Dalam pemilihan umum 1977 telah terjadi perbedaan yang tajam dalam
isyu kampanye. Pada pemilihan umum 1971 isyu bekisar pada perbedaan yang
tajam antara orientasi ideologi (terutama didominasi oleh kelompok partai politik)
dan berhadapan dengan orientasi pembangunan (terutama didominasi oleh
kelompok Golongan Karya). Dalam pemilihan umum 1977, terlihat bahwa isyu
yang berkisar kepada seberapa jauh kemampuan dan keberhasilan pemerintah
menjalankan pembangunan (Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho
Notosusanto, 1993: 520). Ciri penting dari pemilihan umum 1977 adalah
menurunnya jumlah Organisasi Peserta Pemilu (OPP) dari sepuluh OPP ditahun
1971 menjadi 3 OPP di tahun 1977 sebagai kelanjutan dari terjadinya fusi partai
politik pada tahun 1973 (Riswandha Imawan, 1997: 9).
Tema ini menarik untuk diteliti sebab pemilihan umum 1977 penting dalam
sejarah pertumbuhan politik Indonesia karena untuk pertama kalinya
diselenggarakan dengan struktur partai politik yang disederhanakan (Sinar
Harapan , 1977 )
-
9
Berdasarkan latar belakang tersebut, Penulis tertarik untuk mengkaji
lebih dalam mengenai permasalahan di atas dalam sebuah karya ilmiah yang
berjudul Pemilihan Umum Di Indonesia Tahun 1977 (Studi Tentang Fusi
Partai Politik).
B. Perumusan Masalah
Suatu penelitian ilmiah bertujuan untuk memecahkan masalah melalui
metode ilmiah. Dalam metode ilmiah, rumusan masalah merupakan langkah yang
tidak dapat ditinggalkan, untuk memberikan arahan dalam penelitian, maka perlu
dikemukakan beberapa pokok permasalahan, antara lain:
1. Mengapa diberlakukan fusi partai politik?
2. Bagaimana perkembangan partai politik tahun 1973-1977?
3. Bagaimana pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977
bagi partai yang berfusi ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini, untuk memperoleh jawaban atas
masalah yang telah dirumuskan. Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan yang
akan dicapai. Demikian pula dengan penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang diberlakukannya fusi partai politik.
2. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang perkembangan partai politik tahun
1973-1977.
3. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang pengaruh fusi partai politik terhadap
perolehan suara pemilu 1977 bagi partai yang berfusi.
-
10
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang dapat
memberi jawaban permasalahan penelitian baik secara teoritis maupun secara
praktis.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang pemilihan umum di
Indonesia tahun 1977 (fusi partai politik dalam pemilu 1977).
b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada setiap
pembaca supaya dapat digunakan sebagai tambahan bacaan dan sumber data
dalam penulisan sejarah.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan
Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Menambah wawasan bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.
-
11
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Partai Politik
a. Pengertian Partai Politik
Miriam Budiardjo (1998: 16), berpendapat Partai politik adalah suatu
kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk
memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, melaksanakan
kebijakan-kebijakan partai. Sedangkan menurut Arifin Rahman (1998: 91),
partai politik sering diasosiasikan sebagai organisasi perjuangan tempat
seseorang atau kelompok mencari dan memperjuangkan kedudukan politik
dalam negara. Bentuk perjuangan yang dilakukan oleh setiap partai politik
tidak harus menggunakan kekerasan atau kekuatan fisik, tetapi melalui
berbagai konflik dan persaingan baik intern partai yang terjadi secara
melembaga dalam partai politik pada umumnya.
Inu Kencana. S (2003: 104), Partai politik adalah sekelompok orang-
orang yang mempunyai ideologi sama, berniat merebut dan mempertahankan
kekuasaan dengan tujuan untuk (yang menurut pendapat mereka paling pribadi
paling idealis) memperjuangkan kebenaran, dalam suatu level (tingkat)
negara. Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan. Partai politik sering
dianggap sebagai salah satu atribut negara demokrasi modern, karena partai
politik sangat diperlukan kehadirannya bagi negara-negara yang berdaulat.
Bagi negara-negara yang merdeka dan berdaulat eksistensi partai politik
merupakan prasyarat baik sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat,
juga terlibat langsung dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil-
wakilnya yang duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat.
Sukarna (1990: 45), berpendapat Partai politik adalah sekumpulan
orang-orang yang terorganisasikan dalam kelompok formal yang berusaha
11
-
12
untuk mengendalikan pemerintahan dengan cara menempatkan orang-
orangnya baik dalam badan perwakilan politik maupun badan eksekutif, dan
badan yudikatif secara legal menurut aturan-aturan hukum yang berlaku
ataupun dengan cara illegal yaitu melalui cara coup detat. Menurut Haryanto
(1982: 88) Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit
banyak telah terorganisir, dimana anggota-anggotanya (anggota-anggota dari
kelompok yang telah terorganisir) memiliki cita-cita, tujuan-tujuan dan
orientasi yang sama. Kelompok ini berusaha untuk merebut dukungan rakyat,
sedangkan yang menjadi tujuannya adalah memperoleh dan mengendalikan
kekuasaan politik atau pemerintahan, dan kemudian berusaha untuk
melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya (kebijaksanaan-kebijaksanaan
kelompok) dengan jalan menempatkan anggota-anggotanya di dalam jabatan-
jabatan politik ataupun pemerintahan. Cara-cara yang dipergunakan partai
politik agar dapat memperoleh kekuasaan dan kemudian menduduki jabatan-
jabatan politik ataupun pemerintahan adalah dengan melalui cara yang
konstitusional, seperti ikut serta di dalam pemilihan umum, maupun melalui
cara yang inskonstitusional, seperti mengadakan pemberontakan.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian atau batasan partai
politik, dapat ditarik kesimpulan bahwa partai politik adalah suatu kelompok
dari warga negara yang terorganisir, dimana anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama serta bertujuan untuk menguasai
dan mempertahankan kekuasaan politik atau pemerintahan, baik melalui cara-
cara yang konstitusional misalnya dengan turut serta dalam pemilihan umum,
maupun melalui cara-cara inkonstitusional, misalnya denga cara perebutan
kekuasaan.
b. Fungsi Partai Politik
Menurut Haryanto (1982: 89-95) partai politik mempunyai fungsi
adalah sebagai berikut:
1) Partai sebagai Sarana Komunikasi Politik
Dalam hal ini partai politik bertindak sebagai penghubung,
maksudnya menghubungkan antara pihak yang memerintah dengan pihak
-
13
yang diperintah. Partai politik bertindak sebagai penghubung yang
menampung arus informasi, baik informasi yang berasal dari pihak
penguasa kepada masyarakat maupun yang berasal dari masyarakat kepada
pihak penguasa. Oleh karena partai politik menyalurkan informasi dari
masyarakat kepada pihak penguasa, maka berarti partai politik mempunyai
tugas untuk menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat,
serta mengaturnya sedemikian rupa sehingga semua pendapat dan asprasi
masyarakat itu dapat tersalurkan. Sebaliknya partai politik juga
menyalurkan informasi yang datang dari pihak penguasa kepada
masyarakat. Rencana-rencana atau kebijaksanaan-kebijaksanaan
pemerintah disebarluaskan oleh partai politik kepada masyarakat. Dengan
demikian terjadilah arus informasi bolak-balik dari pihak penguasa kepada
masyarakat dan dari masyarakat kepada pihak penguasa.
2) Partai sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik secara umum dapat dinyatakan sebagai cara
untuk mewariskan atau mengajarkan patokan-patokan, keyakinan-
keyakinan politik dari suatu generasi yang lebih tua kepada generasi
berikutnya. Sehubungan dengan hal itu, partai politik juga memainkan
peran sebagai sarana sosialisasi politik, disamping sarana-sarana yang
lainnya seperti keluarga, sekolah dan sebagainya.
Partai politik disamping menanamkan ideologi partai kepada para
pendukungnya, harus pula mengajarkan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan
politik yang berlaku di masyarakatnya atau di negaranya. Partai politik
juga harus mendidik masyarakatnya agar supaya mempunyai kesadaran
dan tanggung jawab yang tinggi sebagai warga negara dan lebih
mementingkan nasional daripada kepentingan sendiri atau golongannya.
Dalam rangka proses sosialisasi politik, maka cara yang biasanya
dipergunakan oleh partai politik adalah dengan cara memberikan kursus-
kursus, ceramah-ceramah, maupun penataran-penataran tentang politik.
-
14
3) Partai sebagai Sarana Rekrutmen Politik
Partai politik dalam fungsinya sebagai sarana rekrutmen politik
adalah dengan cara memberikan kesempatan kepada warga negara untuk
menjadi anggota partai. Partai politik berusaha untuk menarik minat
warga negara agar bersedia menjadi anggota partai. Sehubungan dengan
hal itu berarti partai politik turut serta memperluas partisipasi warga
negara dalam bidang politik.
Rekrutmen politik merupakan salah satu cara untuk menyeleksi
anggota-anggota partai yang berbakat untuk dipersiapkan menjadi calon-
calon pemimpin. Pada umumnya cara yang ditempuh oleh partai politik
adalah dengan menarik golongan muda untuk dididik dijadikan kader, dan
dari para kader ini akan nampak anggota-anggota yang mempunyai bakat
yang pada gilirannya dapat diorbitkan menjai calon-calon pemimpin.
Rekrutmen politik juga dimaksudkan untuk menjamin
kelangsungan hidup partai politik yang bersangkutan. Dengan adanya
anggota-anggota partai yang dipersiapkan menjadi pemimpin, maka berarti
pula proses regenerasi di dalam tubuh partai yang bersangkutan akan dapat
berjalan lancar, dan hal ini berarti bahwa kelangsungan hidup partai dari
segi kepemimpinan partai sudah dapat terjamin.
4) Partai Politik sebagai Sarana Pembuatan Kebijaksanaan
Dapat dinyatakan bahwa partai politik sebagai sarana pembuatan
kebijaksanaan apabila partai tersebut merupakan partai yang memegang
tampuk pemerintahan dan menduduki badan perwakilan secara mayoritas
mutlak. Apabila partai tersebut hanya berkedudukan sebagai partai oposisi,
maka partai tersebut tidak merupakan sarana pembuatan kebijaksanaan
akan tetapi sebagai pengkritik kebijaksanaan-kebijaksanaan pemeritah.
5) Partai Politik sebagai Sarana Pengatur Konflik
Perbedaan pendapat dan persaingan sudah merupakan suatu hal
yang wajar terjadi di negara yang menganut faham demokratis. Di negara
yang menganut faham-faham demokratis perbedaan pendapat dan
persaingan diantara para warga negara atau golongan-golongan yang ada
-
15
memang sering muncul. Perbedaan pendapat dan persaingan tersebut
sering sekali mengakibatkan terjadinya konflik-konflik atau pertentangan-
pertentangan diantara mereka. Apabila tejadi konflik-konflik atau
pertentangan-pertentangan antara para warga negara atau golongan-
golongan dapat diselesaikan melalui partai politik.
c. Klasifikasi Partai
Klasifikasi partai dalam Miriam Budiarjo (1999: 166) dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Dilihat dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya,
secara umum dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai massa dan partai kader.
Partai massa mengutamakan kekuataan berdasarkan keunggulan jumlah
anggota. Oleh karena itu, biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari
berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat untuk bernaung
dibawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan
agak kabur. Partai kader mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja
dari anggota-anggotanya. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian
doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon
anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai yang
telah ditetapkan. Sedangkan menurut Maurice duverger, partai dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Sistem Partai-Tunggal
Ada yang berpendapat bahwa istilah sistem partai tunggal
merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri (Conditio in terminis)
sebab menurut pandangan ini suatu sistem selalu mengandung lebih dari
satu unsur. Namun demikian istilah ini telah tersebar luas dikalangan
masyarakat dan para sarjana. Istilah ini dipakai untuk partai yang benar-
benar merupakan satu-satunya partai dalam negara, ataupun untuk partai
yang mempunyai kedudukan dominan diantara beberapa partai lainnya.
Pola partai tunggal terdapat dibeberapa negara : Afrika, China, dan kuba.
Suasana kepartaian dinamakan non-kompetitif karena semua partai harus
menerima pimpinan dari partai yang dominan, dan tidak dibenarkan
bersaing dengannya.
-
16
Kecenderungan untuk mengambil pola sistem partai tunggal
disebabkan di negara-negara baru pimpinan sering dihadapkan dengan
masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah serta
suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya.
Dikhawatirkan bahwa bila keanekaragaman sosial dan budaya ini
dibiarkan, besar kemungkinan akan terjadi gejolak-gejolak sosial politik
yang menghambat usaha-usaha pembangunan. Fungsi partai adalah
meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menerima persepsi pimpinan
partai mengenai kebutuhan utama dari masyarakat seluruhnya. Di
Indonesia pada tahun 1945 ada usaha mendirikan partai-tunggal sesuai
dengan pemikiran pada saat itu banyak dianut di negara-negara yang baru
melepaskan diri dari rezim kolonial. Diharapkan partai itu akan menjadi
motor perjuangan akan tetapi sesudah beberapa bulan usaha itu dihentikan
sebelum terbentuk secara konkret. Penolakan ini antara lain disebabkan
karena dianggap berbau fasis.
2) Sistem Dwi-Partai
Dalam kepustakaan ilmu politik pengertian sistem dwi partai
biasanya diartikan adanya dua partai atau adanya beberapa partai tetapi
dengan peranan dominan dari dua partai. Beberapa negara yang
mempunyai ciri-ciri system dwi-partai, yaitu Inggris, Amerika Serikat,
Filipina, Kanada, dan Selandia Baru. Dalam sistem ini, partai-partai
dengan jelas dibagi dalam partai yang berkuasa (karena menang dalam
pemilihan umum) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan
umum) dengan demikian jelaslah dimana letaknya tanggung jawab
mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi. Dalam sistem ini partai yang kalah
berperan sebagai pengecam utama yang setia (loyal opposition) terhadap
kebijaksanaan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian
bahwa peranan ini sewaktu-waktu dapat bertukar tangan. Dalam
persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk
merebut dukungan orang-orang yang ada ditengah dua partai dan sering
dinamakan pemilih terapung (floating vote).
-
17
Sistem dwi-partai pernah disebut a convenient system for
contented people dan memang kenyataannya bahwa sistem dwi-partai
dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga syarat, yaitu komposisi
masyarakat adalah homogen (social homogenity), konsesus dalam
masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial yang pokok (political
consesus) adalah kuat, dan adanya kontinuitas sejarah (historical
continuity). Sistem dwi-partai umumnya diperkuat dengan digunakannya
sistem pemilihan single-member constitueney (sistem distrik) dimana
dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja. Sistem
pemilihan ini cenderung menghambat pertumbuhan partai kecil, sehingga
dengan demikian memperkokoh sistem dwi-partai. Di Indonesia pada
tahun 1968 ada usaha untuk mengganti multi-partai yang telah berjalan
lama dengan sistem dwi-parti, agar sistem ini dapat membatasi pengaruh
partai-partai yang telah lama mendominasi kehidupan politik. Beberapa
akses dirasakan menghalangi badan eksekutif untuk menyelenggarakan
pemerintahan yang baik. Akan tetapi eksperimen dwi-partai ini, sesudah
diperkenalkan dibeberapa wilayah, ternyata mendapat tantangan dari
partai-partai yang merasa terancam eksistensinya. Akhirnya gerakan ini
dihentikan pada tahun 1969.
3) Sistem Multi-Partai
Keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong
pilihan ke arah sistem multi-partai. Sistem multi partai ditemukan antara
lain di Indonesia, Malaysia, Nederland, Australia, Prancis, Swedia, dan
federasi Rusia. Perancis mempunyai jumlah partai yang berkisar antara 17
sampai 28, sedangkan di Federasi Rusia sesudah jatuhnya partai komunis
jumlah partai mencapai 43. sistem multi-partai jika dihubungkan dengan
sistem pemerintahan parlementer, mempunyai kecenderungan untuk
menitikberatkan kekuasaan pada badan legislative, sehingga peran badan
eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering disebabkan karena
tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu
pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai-
-
18
partai lain. Dalam keadaan semacam ini partai yang berkoalisi harus selalu
mengadakan musyawarah dan kompromi dengan mitranya dan
menghadapi kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai
yang duduk dalam koalisi akan ditarik kembali, sehingga mayoritasnya
dalam partai hilang.
Partai-partai oposisi pun kurang memainkan peranan yang jelas
karena sewaktu-waktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk
dalam pemerintahan koalisi baru. Hal semacam ini menyebabkan sering
terjadinya siasat yang berubah-ubah menurut kegentingan situasi yang
dihadapi partai masing-masing. Disamping itu, partai-partai oposisi kurang
mampu menyusun suatu program alternatif bagi pemerintah. Dalam situasi
di mana terdapat satu partai yang dominan, stabilitas politik lebih dapat
dijamin. India di masa lampau sering dikemukakan sebagai negara yang
didominasi satu partai (one-party dominance) akan tetapi suasana
kompetitif, pola didominasi setiap waktu dapat berubah. Hal ini dapat
dilihat pada pasang surutnya kedudukan partai Kongres. Akan tetapi hal
ini tidak berarti bahwa pemerintahan koalisi selalu lemah. Belanda,
Norwegia, dan Swedia merupakan contoh dari pemerintah yang dapat
mempertahankan stabilitas dan kontinuitas dalam kebijakan publiknya.
Pola multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan
Perwakilan Berimbang (Proportional Representation) yang memberi
kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai dan golongan-golongan
baru. melalui sistem pemilihan Perwakilan Berimbang partai-partai kecil
dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang
diperolehnya disuatu daerah pemilihan dapat ditarik ke daerah pemilihan
lain untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna
memenangkan satu kursi. Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang disusul dengan Maklumat
pemerintah tanggal 3 November 1945, kehidupan politik di Indonesia
menganut sistim multi partai. Antara tahun 1945 hingga tahun 1950 telah
berdiri sebanyak 25 partai, sedangkan menjelang pemilihan umum tahun
-
19
1955 yang berdasarkan demokrasi liberal tidak kurang dari 70 partai
maupun perorangan telah mengambil bagian dalam pemilihan umum
tersebut.
Kondisi politik Indonesia yang tidak menentu pada tahun 1950-an
karena konflik politik yang hebat merupakan bukti yang baik bagi
pendapat Soekarno bahwa sitem Parlementer dan Multipartai tidak layak
digunakan di Indonesia, maka mulai saat itu dilaksanakan penyederhanaan
sistem kepartaian di Indonesia. Pada tahun 1970, presiden Soeharto telah
mengemukakan sarannya agar dilakukan pengelompokan partai sehingga
organisasi politik yang ada dapat disederhanakan menjadi tiga kelompok,
yaitu kelompok Nasionalis, kelompok Spiritual, dan Golongan Karya.
Pada pemilu 1971 pemerintah berhasil menentukan persyaratan kontestan
peserta pemilu yang hanya dapat menjaring sembilan parpol ditambah satu
golongan karya, sehingga dalam pemilu 1971 hanya ada sepuluh
kontestan. Selanjutnya pada tahun 1973 semua partai politik resmi
melakukan fusi, dimana golongan spiritual menjadi Partai persatuan
Pembangunan (PPP) sedangkan golongan Nasionalis menjadi Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian, pada pemilihan umum
1977 hanya diikuti dua partai politik yaitu PPP, PDI, dan Golongan Karya
(Golkar).
2. Pemilu
a. Pengertian Pemilu
Ali Moertopo (1974: 61), berpendapat Pemilihan umum adalah
sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai
dengan azas yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Pemilihan umum
itu sendiri pada dasarnya adalah suatu demokrasi yang memilih anggota-
anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR, dan DPRD yang pada
gilirannya bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah menetapkan
politik dan jalannya pemerintahan negara.
-
20
Arifin Rahman (1998: 194), Pemilihan umum merupakan cara dan
sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan
duduk dalam Badan-badan Perwakilan Rakyat guna menjalankan kedaulatan
rakyat. Sedangkan Menurut Muhammad A.S. Hikam (1999: 17), Pemilihan
umum adalah sebuah alat untuk melakukan pendidikan politik bagi warga
negara agar mereka memahami hak dan kewajibannya.
Syamsuddin Haris (1998: 7), secara universal pemilihan umum
adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya
sebuah pemerintahan perwakilan (representative government) yang menurut
Dahl, merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan
demokrasi dizaman modern. Menurut C. S. T. Kansil (1974: 17), Pemilihan
umum adalah tindakan melakukan pemilihan anggota-anggota Badan
Perwakilan Rakyat dalam waktu tertentu dan menurut cara tertentu.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pemilu
merupakan perwujudan dari suatu pemerintahan yang demokratis yang
diletakkan pada kekuasaan rakyat.
b. Fungsi Pemilu
Menurut Syamsuddin Haris (1998: 7-8) Pemilu mempuyai beberapa
fungsi, antara lain:
1) Sebagai sarana legitimasi politik
Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dan
sistem politik yang mewadahi format pemilu yang berlaku. Melalui
pemilu, keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu
pula program dan kebijakan yang dihasilkannya. Dengan begitu,
pemerintah berdasarkan hukum yang disepakati bersama tidak hanya
memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi
berupa hukuman dan ganjaran bagi siapa pun yang melanggarnya.
2) Sebagai perwakilan politik
Fungsi ini terutama menjadi kebutuhan rakyat, baik dalam rangka
mengevaluasi maupun mengontrol perilaku pemerintah dan program serta
kebijakan yang dihasilkannya. Pemilu dalam kaitan ini merupakan
-
21
mekanisme demokratis bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakil yang
dapat dipercaya yang akan duduk dalam pemerintahan maupun lembaga
legislatif.
3) Sebagai mekanisme bagi pergantian atau sirkulasi elit penguasa
Keterkaitan pemilu dengan sirkulasi elit didasarkan pada asumsi di
pihak lain. Pemerintah ingin memperoleh kesepakatan dan dukungan bagi
kelangsungan otoritasnya dan kepatuhan terhadapnya, sedang pihak-pihak
kepentingan partai dan warga negara meninginkan semakin kuatnya
kontrol mereka serta pertanggungjawaban pihak pemerintah akan kiprah
yang dilakukannya.
Pemilihan umum tahun 1977 merupakan pemilihan umum kedua
sejak Orde Baru. Pemilihan umum tahun 1977 diselenggarakan
berdasarkan UU No. 4 tahun 1975 Jo. UU No. 15 tahun 1969 tentang
pemilihan umum anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan
Rakyat. Pemilihan umum tahun 1977 maupun sesudahnya didasarkan pada
asas pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia,
yang sering disebut asas LUBER. Yang dimaksud pemilihan umum yang
bersifat:
1. Langsung ialah rakyat pemilih mempunyai hak secara langsung
memberikan suaranya menurut hati nuraninya tanpa perantara dan
tanpa tingkatan.
2. Umum ialah pada dasarnya semua warga negara Indonesia yang
mempunyai persyaratan minimal usia, yaitu telah berusia 17 tahun atau
telah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum, dan yang
telah berusia 21 berhak dipilih.
3. Bebas ialah bahwa tiap-tiap warga negara berhak memilih dan
menggunakan haknya dijamin keamanannya untuk melakukan
pemilihan menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan
ataupun paksaan dari siapapun atau dengan apapun juga.
4. Rahasia ialah para pemilih dijamin oleh peraturan, bahwa tidak akan
diketahui oleh siapapun dan dengan jalan apapun, siapapun yang
-
22
dipilihnya. Pemilih memberikan suaranya kepada kotak suara dengan
tidak dapat diketahui orang lain kepada siapa suaranya diberikan
(C.S.T. Kansil, 1974: 86).
3. Demokrasi
a. Pengertian Demokrasi
Menurut alfian (1985: 59) Demokrasi adalah suatu sistem politik
dimana dukungan masyarakat disatu pihak dengan kehendak-kehendak atau
kepentingan-kepentingannya dipihak lain saling bertemu. Suasana demokratis
akan tercapai tau terpenuhi bilamana ada dukungan masyarakat, sedangkan
dukungan tersebut akan datang bilamana anggota-anggota masyarakat merasa
kehendak-kehendak dan kepentingan-kepentingan mereka mendapat saluran
yang wajar. Sedangkan Amir Machmud (1986: 82) berpendapat bahwa
demokrasi adalah sistem pengorganisasian masyarakat negara yang dilakukan
oleh masyarakat sendiri atau dengan persetujuan masyarakat, dimana
keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha
Esa diakui, ditata dan dijamin atas dasar gagasan kenegaraan tertentu.
Alfian dalam Eep Saefulloh Fattah, (2000: 10) menyatakan bahwa
demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang memelihara keseimbangan
antara konflik dan konsesus. Demokrasi dengan demikian, memberikan
peluang bagi perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan diantara
individu, kelompok, atau diantara keduanya, diantara individu dengan
pemerintah, dan diantara lembaga-lembaga pemerintah sendiri.
Setiap negara demokrasi pasti terdapat partai politik lebih dari satu,
hal ini merupakan persyaratan yang paling menonjol. Mengingat rakyat
mempunyai beberapa alternatif maka rakyat akan sukar untuk menyalurkan
aspirasi-aspirasinya yang paling cocok pada dirinya. Dengan demikian adanya
wadah penyaluran pemikiran yang berbeda-beda merupakan suatu conditio
since qua non (kondisi yang mau tidak mau harus ada). Tanpa adanya partai
politik yang lebih dari satu, maka demokrasi tidak dapat ditegakkan. Maka
-
23
untuk melihat negara itu demokrasi atau tidak, salah satu aspeknya adalah
dilihat dari kehidupan partai politiknya (Sukarna, 1990: 23)
Dari beberapa pendapat diatas diperoleh kesimpulan bahwa demokrasi
adalah suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan
memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan ditangan rakyat baik
dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintahan.
b. Demokrasi di Indonesia
Menurut Miriam Budiardjo (2008: 127) dipandang dari sudut
perkembangan demokrasi, sejarah Indonesia dapat dibagi dalam tiga masa,
yaitu:
1. Masa Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Periode kedua pemerintahan negara Indonesia adalah tahun 1950
sampai 1959, dengan menggunakan Undang-Undang Sementara (UUDS)
sebagai landasan konstitusionalnya. Periode pemerintahan dalam masa ini
disebut sebagai pemerintahan Parlementer. Pada masa Demokrasi
Parlementer lembaga Perwakilan Rakyat atau Parlemen memainkan
peranan yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan. Disamping
itu, kehidupan kepartaian memperoleh peluang yang sebesar-besarnya
untuk berkembang secara maksimal. Dalam periode ini, Indonesia
menganut sistem banyak partai (multy party system). (A.Gaffar karim,
1999: 12). Sistem yang menyediakan saluran aspirasi politik melalui
partai-partai politik ini ternyata menimbulkan labilitas nasional, sehingga
dalam masa berlakunya UUDS 1950 telah terjadi jatuh bangunnya kabinet
sebanyak 7 kali. Karena sering terjadi jatuh bangunnya kabinet telah
menimbulkan rasa tidak puas dikalangan politisi Indonesia. Selain itu,
sistem pemerintahan yang tersentralisasi di Jawa juga menyebabkan
timbulnya ketidakpuasan beberapa daerah sehingga menyebabkan
timbulnya pemberontakan-pemberontan didaerah yang mengancam
keutuhan republik Indonesia (Moh. Mahfud, 2000: 43).
-
24
2. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Sejak berahirnya pemilihan umum 1955, Soekarno sudah
menunjukkan gejala ketidaksenangannya kepada partai-patai politik. Hal
itu terjadi karena partai politik hanya beorientasi pada kepentingan
ideologinya sendiri dan kurang memperhatikan kepentingan politik
nasional secara menyeluruh. Disamping itu, Soekarno juga melontarkan
gagasan, bahwa Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan gagasan
bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong royong dan
kekeluargaan. Kemudian Soekarno mengusulkan, agar terbentuk
pemerintahan yang bersifat gotong royong, yang melibatkan semua
kekuatan politik yang ada, termasuk PKI. Untuk mewujudkan gagasan
tersebut, Soekarno kemudian juga mengajukan usulan yang dikenal
sebagai Konsepsi Presiden melalui konsepsi tersebut maka Dewan
Nasional.
Konsepsi Presiden dan terbentuknya Dewan Nasional mendapat
tantangan yang kuat dari sejumlah partai politik, terutama Masyumi dan
PSI. Pada saat yang sama, sejumlah faktor lain muncul secara hampir
bersamaan. Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah semakin memburuk. Kedua, Dewan Konstituante
mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan guna merumuskan
ideologi nasional, karena tidak tercapainya titik temu antara dua kubu
politik, yaitu kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara
dan kelompok lain yang menginginkan pancasila sebagai dasar negara.
Ketika dilakukan voting, ternyata suara mayoritas yang diperlukan tidak
tercapai. Berhubung situasi keamanan nasional sudah sangat
membahayakan persatuan dan kesatuan nasional, Soekarno kemudian pada
tanggal 5 juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden, yang membubarkan
konstituante dan menyatakan kembali pada UUD 1945. Dengan Dekrit
Presiden tersebut, menandai berahirnya masa Demokrasi Parlementer dan
memasuki era baru demokrasi yang kemudian oleh Soekarno disebut
sebagai Demokrasi Terpimpin (A.Gaffar karim, 1999: 24-25). Pada pidato
-
25
kenegaraan tanggal 17 agustus 1959 yang berjudul Penemuan kembali
revolusi kita Soekarno menjelaskan butir-butir pengertian Demokrasi
Terpimpin sebagai berikut:
1) Setiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum,
masyarakat, dan negara.
2) Setiap orang mendapatkan penghidupan yang layak dala masyarakat,
bangsa dan negara.
Presiden Soekarno juga memberikan definisi demokrasi terpimpin
adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan (Moh. Mahfud, 2000: 22). Karakteristik
yang utama dari perpolitikan pada era Demokrasi Terpimpin adalah
mengaburnya sistem kepartaian, dengan terbentuknya DPR-GR , peranan
lembaga legislatif dalam sistem politik nasional menjadi lemah,
sentralisasi kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pada masa ini juga terjadi
pertentangan dan konflik-konflik politik terutama antara TNI dengan PKI
yang sama-sama mempunyai kekuatan riil dan kepribadian sendiri. Puncak
dari konflik tersebut adalah terjadinya peristiwa G.30 S/PKI dan peristiwa
tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh TNI dibawah pimpnan Soeharto.
Sejak perisiwa tersebut, krisis politik semakin meningkat, akhirnya
dikeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar. Dengan
adanya Supersemar maka menjadi titik awal lahirnya Orde Baru dan
berakhirnya Demokrasi Terpimpin (A.Gaffar karim, 1999: 29-30).
3. Masa Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Pada tahun 1966 pemerintahan Soeharto yang lebih dikenal dengan
pemerintahan Orde baru bangkit sebagai reaksi atas pemerintahan
Soekarno. Pada awal pemerintahan Orde Baru hampir seluruh kekuatan
demokrasi mendukungnya karena Orde Baru diharapkan dapat
melenyapkan rezim Orde Lama. Soeharto kemudian mencoba menerapkan
Demokrasi Pancasila. Inti Demokrasi Pancasila adalah seperti yang
dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945, yang berarti menegakkan
-
26
kembali azas-azas negara hukum dimana kepastian hukum dirasakan oleh
segenap warga negara dimana hak-hak asasi manusia baik dalam aspek
kolektif, maupun dalam aspek perseorangan dijamin dan dimana
penyalagunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional (Moh.
Mahfud, 2000: 36). Sedangkan Amir Machmud (1986: 87) berpendapat
bahwa Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang
dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya. Ini berarti
menggunakan hak-hak demokrasi selalu disertai dengan rasa tanggung
jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan masing-masing,
menjunjung tinggi nilai-nilai manusia, menjamin persatuan bangsa dan
harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial.
-
27
B. Kerangka Berfikir
Keterangan:
Setelah Indonesia merdeka, gagasan demokrasi tercantum dengan jelas
dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan pasal-pasal dalam batang
tubuhnya. Sila keempat pancasila dalam pembukaan UUD 1945 dan pasal 1 ayat
(2) dalam batang tubuh itu menunjukkan bahwa negara republik Indonesia
Pemilu 1971
Kebijakan Politik
Orde Baru
Fusi Partai Politik
(Nasionalis, Spiritual, dan Golongan Karya)
PDI PPP Golkar
Pemilihan Umum
1977
Demokrasi
Pemilu
Sistem Multi Partai
Partai Politik
Pemilu 1955
-
28
menganut asas kedaulatan rakyat. Dalam asas ini terkandung unsur pokok bahwa
rakyat mempunyai hak untuk ikut aktif dalam kegiatan yang bersifat politik atau
dengan kata lain negara Indonesia adalah negara demokratis. Dalam pelaksanaan
demokrasi ini, menurut pasal 1 ayat (2) UUD 1945 negara Indonesia menganut
sistem demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung. Hal ini terbukti
adanya lembaga-lembaga negara yaitu MPR dan DPR serta adanya pemilihan
umum dan partai-partai politik. Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden
No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang disusul dengan Maklumat pemerintah
tanggal 3 November 1945, kehidupan politik di Indonesia menganut sistim multi
partai. Antara tahun 1945 hingga tahun 1950 telah berdiri sebanyak 25 partai,
sedangkan menjelang pemilihan umum tahun 1955 yang berdasarkan demokrasi
liberal tidak kurang dari 70 partai maupun perorangan telah mengambil bagian
dalam pemilihan umum tersebut.
Bentrokan antar partai politik dan pasukan milisi masing-masing yang
mempunyai ideologi Islam dan nasionalis membuat konflik politik semakin
memanas. Pola konflik antar partai politik yang terjadi selama tahun 1950-1957
adalah kelanjutan dari pola konflik antar partai politik pada masa sebelumnya.
Ideologi yang bertentangan yang dianut oleh partai-partai politik merupakan
faktor penyebab terjadinya konflik yang hebat antara partai-partai politik. Sulitnya
partai-partai politik untuk bekerja sama dan tidak adanya partai mayoritas yang
keluar sebagai pemenang dalam pemilu 1955 menjadikan stabilitas politik sangat
bergantung pada koalisi partai yang sering berubah. Kehidupan politik dengan
sistem multi partai ini berlangsung hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden pada
tanggal 5 Juli 1959.
Kondisi politik Indonesia yang tidak menentu pada tahun 1950-an
karena konflik politik yang hebat merupakan bukti yang baik bagi pendapat
Soekarno bahwa sitem Parlementer dan Multipartai tidak layak digunakan di
Indonesia, maka mulai saat itu dilaksanakan penyederhanaan sistem kepartaian di
Indonesia, khususnya dengan dikeluarkannya penetapan presiden (Penpres) No.
7/1960 dan Peraturan Presiden (Perpres) No. 13/1960 yang mengatur pengakuan,
pengawasan, dan pembubaran partai. Pada tanggal 17 agustus 1960 PSI dan
-
29
Masyumi dibubarkan. Dalam hal penyederhanaan partai, pada tanggal 14 April
1961 diumumkan bahwa hanya sepuluh partai yang mendapatkan pengakuan,
masing-masing adalah PNI, NU, PKI, PSII, Parkindo, partai katolik, Perti, Murba
dan Partindo. Pada tanggal 21 September 1965 Partai Murba dibekukan oleh
Presiden Soekarno. Namun memasuki Orde Baru, pada tanggal 7 Februari 1970
Presiden Soeharto menyerukan kepada partai-partai agar dalam menghadapi
pemilihan umum, partai-partai tetap menjaga stabilitas nasional dan kelancaran
pembangunan, menghindari kesimpangsiuran dan perpecahan, dan memikirkan
pengelompokan diri partai-partai, disamping adanya Golongan karya. Sebelum
diselenggarakan pemilu tahun 1971, yakni pada tahun 1970, presiden Soeharto
telah mengemukakan sarannya agar dilakukan pengelompokan partai sehingga
organisasi politik yang ada dapat disederhanakan menjadi tiga kelompok, yaitu
kelompok Nasionalis, kelompok Spiritual, dan Golongan karya.
Penerimaan atas saran presiden ini merupakan keberhasilan baru dari
gambaran keinginan jangka panjang Orde Baru tentang akan dilakukannya
penyederhanaan sistem kepartaian dengan cara memperkecil jumlah partai, dan
MPR yang dibentuk berdasarkan hasil pemilu 1971 berhasil diyakinkan untuk
menggariskan perintah penyederhanaan partai politik dengan menegaskan bahwa
pemilu tahun 1977 hanya akan diikuti oleh tiga kontestan . Berdasarkan isi
ketetapan MPR tersebut pada tahun 1973 semua partai politik resmi melakukan
fusi, dimana golongan spiritual menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
sedangkan golongan Nasionalis menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Dengan demikian, pada pemilihan umum 1997 hanya diikuti dua partai politik
yaitu PPP, PDI, dan Golongan Karya (Golkar). Dengan adanya fusi partai politik
ini, maka akan dilihat pengaruhnya terhadap hasil pemilihan umum 1977.
-
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
a. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan
metode studi pustaka. Studi pustaka merupakan suatu teknik pengumpulan data
baik berupa dokumen, buku, karangan, tulisan, catatan, maupun sumber tertulis
lain yang diperoleh dari museum-museum, perpustakaan, instansi pemerintahan,
koleksi swasta maupun perorangan dan ditempat yang menyimpan dokumen-
dokumen yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan (Dudung
Abdurrahman, 1999: 55). Adapun perpustakaan yang digunakan untuk
melaksanaan penelitian ini, antara lain:
1. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta
2. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta
3. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta
4. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta
5. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta
6. Perpustakaan Daerah Surakarta
7. Kolese St. Ignatius Yogyakarta
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari disetujuinya proposal skripsi
hingga penulisan ini selesai, yaitu pada bulan Januari 2010 sampai bulan Juli
2010.
30
-
31
b. Metodologi Penelitian
Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methode, yang berarti cara
atau jalan, dan theodos yang berarti masalah. Jadi metode dapat diartikan menjadi
cara atau jalan untuk menyelesaikan masalah. Sehubungan dengan karya ilmiah,
maka metode menyangkut masalah-masalah, cara kerja untuk memahami obyek
yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1983: 8).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, yaitu
kegiatan untuk mengumpulkan, menguji dan menganalisa data yang diperoleh dari
peninggalan masa lampau. Dengan kata lain metode sejarah merupakan metode
pemecahan masalah dengan menggunakan data dan peninggalan masa lalu untuk
memahami keadaan masa sekarang dengan hubungannya dengan peristiwa-
peristiwa masa lampau (Louis Gottschalk. 1975: 32)
Menurut Hadari Nawawi (1998: 81), Metode sejarah adalah prosedur
pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lampau atau peninggalan-
peninggalan baik untuk memahami kejadian atau keadaan masa sekarang maupun
untuk memahami dalam hubungannya dengan kejadian atau keadaan masa lalu.
Sedangkan menurut Sartono Kartodirjo (1992: 37), Metode penelitian sejarah
adalah prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa
lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian
ini dilakukan kegiatan mengumpulkan, menguji, menganalisa secara kritis
mengenai data dan peninggalan-peninggalan masa lampau serta melakukan
sintesa dan menyajikan dalam bentuk tulisan sejarah mengenai pemilu di
Indonesia tahun 1977 (tentang fusi partai politik ).
c. Sumber Data
Sumber sejarah seringkali disebut sebagai data sejarah. data berasal
dari bahasa latin yaitu datum yang berarti pemberitaan (Kuntowijoyo 1995:
96) . Jadi sumber data sejarah adalah segala sesuatu yang langsung atau tidak
langsung memberitahukan kepada sejarawan tentang sesuatu kenyataan atau
kegiatan manusia pada masa lalu (Helius Sjamsuddin, 1996: 73). Sedangkan
-
32
menurut (Dudung Abdurrahman, 1999: 30), Data sejarah berarti bahan sejarah
yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian sejumlah
sumber yang tersedia pada dasarnya adalah data verbal, sehingga membuka
kemungkinan bagi peneliti sejarah untuk memperoleh pengetahuan tentang
berbagai hal. Adapun klasifikasi sumber sejarah dapat dibedakan menurut
bahannya, asal-usul atau urutan penyampaiannya, dan tujuan sumber itu dibuat.
Sumber sejarah menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua yaitu tertulis dan
tidak tertulis. Sedangkan sumber-sumber menurut penyampaiannya dapat
dibedakan menjadi sumber primer dan sekunder. Dan menurut tujuannya sumber-
sumber dapat pula dibagi atas sumber-sumber formal dan informal.
Sumber yang dipakai dalam penelitian ini adalah sumber tertulis.
Sumber tertulis dibagi menjadi sumber tertulis primer dan sekunder. Sumber
tertulis primer yaitu sumber yang autentik atau sumber yang ditulis dari tangan
pertama tentang permasalahan yang akan diungkapkan. Sumber tertulis sekunder
yaitu sumber yang ditulis oleh orang yang tidak terlibat langsung dari peristiwa
yang dikisahkan. Sumber tertulis berupa buku, majalah, dan surat kabar (Nugroho
Notosusanto, 1979: 26). Sedangkan Menurut Louis Gottschalk (1975: 35),
Sumber primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri
atau saksi dengan panca indera yang lain, atau dengan alat mekanis seperti
diktafon, yakni orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritaannya.
Sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari siapapun yang bukan
merupakan saksi pandangan mata yakni seorang yang tidak hadir pada peristiwa
itu.
Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa arsip dan
dokumen antara lain : Kedaulatan Rakyat, edisi 4 Januari 1973. Kedaulatan
Rakyat, edisi 6 Februari 1973. Kompas, edisi 22 Februari 1973. Kompas, edisi 6
Januari 1973. Sinar Harapan, edisi 2 Mei 1977. Suara Merdeka, edisi 8 Januari
1973. Sedangkan sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara
lain : buku yang berjudul Dasar-dasar Ilmu Politik , karangan Miriam Budiardjo.
Strategi Politik Nasional karangan Ali Moertopo. Pembangunan Politik Dalam
Negara Indonesia karangan Amir Machmud. Sistem Politik Indonesia, karangan
-
33
Arifin Rahman. Masalah dan Prospek Demokrasi Di Indonesia, karangan Eep
Saefulloh Fattah. Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, karangan Eep
Saefulloh Fattah. The Indonesian Election Of 1955, karangan Herbert Feith. Inti
Pengetahuan Pemilihan Umum, karangan C. S. T. Kansil. Partai Politik dan
Golkar, karangan C. S. T. Kansil. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi),
karangan Miriam Budiardjo. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, karangan
Moh. Mahfud. Perbandingan Sistem Politik, karangan Mohtar Masoed dan Colin
Mac Andrews. Politik Kewarganegaraan, Landasan Demokratisasi di Indonesia,
karangan Muhammad A.S Hikam. Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Sebuah
Potret Pasang Surut, karangan Rusli Karim. Menggugat Pemilihan Umum Orde
Baru. karangan Syamsuddin Haris dkk . Konsesus Politik, karangan Maswadi
Rauf. Sejarah Nasional VI, karangan Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho
Notosusanto.
d. Teknik Pengumpulan Data
Dalam metode sejarah, teknik pengumpulan data disebut heuristik.
Pengumpulan data (heuristik) merupakan bagian penting dalam suatu penelitian.
Berdasarkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, maka dalam
melakukan pengumpulan data digunakan teknik studi pustaka. Teknik studi
pustaka adalah metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh data dan fakta sejarah, dengan cara membaca buku-buku literatur,
majalah, dokumen atau arsip, surat kabar, atau brosur yang tersimpan dalam
perpustakaan (Koentjoroningrat, 1983: 3). Dalam penelitian ini, langkah-langkah
yang dilakukan penulis dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut : (1)
Mengumpulkan buku-buku, majalah, surat kabar, yang relevan dengan masalah
yang diteliti. (2) Membaca dan mencatat sumber-sumber data yang dibutuhkan
baik itu sumber primer maupun sumber sekunder. (3) Memfotokopi dan mencatat
literatur perpustakaan yang dianggap penting dan relevan dengan masalah yang
diteliti.
e. Teknik Analisis Data
Proses analisis data sangat penting dalam menentukan kualitas data
penelitian sejarah. Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara
-
34
sistematis baik yang berupa sumber primer maupun sumber sekunder. Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data sejarah yaitu analisis
yang mengutamakan ketajaman dan kekuatan di dalam menginterpretasikan data
sejarah. Interpretasi dilakukan karena fakta sejarah tidak dapat berbicara sendiri.
Kategori dari fakta-fakta sejarah mempunyai sifat-sifat yang kompleks, sehingga
suatu fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri. Oleh
karena itu fakta-fakta yang diperoleh harus dirangkaikan dengan fakta-fakta yang
lain sehingga menjadi satu kesatuan yang urut dan memiliki makna (Louis
Gottschalk, 1975: 95).
Fakta merupakan bahan utama sejarawan dalam menyusun historiografi.
Fakta itu hasil pemikiran para sejarawan sehingga fakta yang terkumpul
mengandung subyektivitas. Setiap fakta yang terekonstruksikan oleh sejarawan
akan menghasilkan konstruksi. Setiap konstruksi mengandung unsur-unsur dari
penyusunan konstruksi tersebut, sehigga dalam menganalisis diperlukan konsep
seperti penyeleksian, pengidentifikasian (Sartono kartodirdjo, 1992: 92). Dengan
demikian tujuan analisis data dalam penelitian sejarah adalah untuk melakukan
sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan
bersama-sama dengan teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang
menyeluruh (Dudung Abdurrahman, 1999: 64)
Kegiatan menganalisis data sejarah di dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut : (1) Kritik ekstern yaitu menganalisis fisik sumber data sejarah
tertulis untuk mendapatkan data sejarah yang otentik atau asli. Analisis sumber
data sejarah tertulis dilakukan dengan menyeleksi bentuk sumber data sejarah
tertulis berupa buku-buku literatur dan surat kabar yang berkaitan dengan tema
penelitian. Berbagai bentuk sumber data tertulis tersebut dikelompokkan apakah
termasuk jenis primer atau sekunder. Kedua jenis data tersebut diidentifiksikan
mengenai penulis atau pengarang sumber data tertulis tersebut, tahun dan tempat
penulisan atau penerbitan, dan orisinalitas apakah asli ditulis oleh penulis sumber
data tersebut atau bukan. (2) Kritik intern yaitu menganalisis isi sumber data
sejarah tertulis untuk mendapatkan data sejarah yang kredibel dan reliable.
Analisis sumber data tertulis dilakukan dengan cara mengidentifikasi gaya, tata
-
35
bahasa, dan ide yang digunakan penulis, kecenderungan politik dan pendidikan
penulis, siasat disaat penulisan, dan tujuan penulis dalam mengemukakan
peristiwa yang berkaitan dengan tema pemilihan umum di Indonesia tahun 1977
tentang fusi partai politik. Kemudian isi dan pernyataan penulis sumber data yang
satu dibandingkan dengan isi dan pernyataan penulis sumber data yang lain.
Berdasarkan seleksi data tersebut dihasilkan fakta. (3) Interpretasi fakta dilakukan
dengan menghubungkan antara fakta yang satu dengan yang lain. Fakta-fakta
tersebut ditafsirkan, diberi makna, dan ditemukan arti yang sebenarnya, sehingga
makna tersebut dapat dipahami sesuai dengan pemikiran yang relevan, logis, dan
berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. Fakta sejarah yang sudah ditemukan
dihubungkan dengan konsep atau teori sebagai alat analisis.
f. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah langkah-langkah yang dilakukan peneliti
sebelum menghasilkan sebuah penelitian yang diharapkan. Prosedur penelitian
tampak pada skema sebagai berikut:
Keterangan:
1. Heuristik
Heuristik berasal dari kata Yunani heurishein yang berarti memperoleh.
Heuristik merupakan kegiatan menghimpun jejak-jejak sejarah masa lampau
dengan cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak dan sumber tidak
tertulis serta sumber yang relevan dengan penelitian ini (Nugroho Notosusanto,
1978: 36). Sedangkan menurut Helius Sjamsuddin (1996: 99), Heuristik adalah
Heuristik Kritik
Sumber
Fakta Sejarah
Interpretasi Historiografi
-
36
pengumpulan sumber-sumber sejarah. Pada tahap ini peneliti berusaha untuk
menemukan sumber-sumber bagi penelitian yang hendak diteliti. Dalam tahap ini
hal pertama yang dilakukan adalah pengumpulan data dengan mengadakan studi
tentang buku-buku literatur yang tersimpan di perpustakaan.
2. Kritik Sumber
Setelah sumber sejarah terkumpul, tahap berikutnya adalah melakukan
kritik sumber yaitu untuk memperoleh keabsahan tentang keaslian sumber (kritik
ekstern) dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kritik intern) (Dudung
Abdurrahman, 1999: 58). Dengan langkah-langkah:
a. Kritik sumber ekstern
Kritik ekstern yaitu kritik terhadap keaslian sumber (otentitas) yang
berkenaan dengan segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan, seperti : bahan
(kertas atau tinta) yang digunakan, jenis tulisan, gaya bahasa, hurufnya, dan segi
penampilan yang lain. Uji otentik minimal dilakukan dengan pertanyaan kapan, di
mana, bahan apa serta bentuknya bagaimana sumber itu dibuat (Dudung
Abdurrahman, 1999: 59). Fungsi kritik ekstern adalah memeriksa sejumlah
sumber atas dua butir pertama dan menegakkan sedapat mungkin otensitas dan
integritas sumber itu (Helius Syamsuddin, 1996: 105). Adapun yang dimaksud
dengan kritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal-usul sumber, suatu
pemeriksaan terhadap catatan dan peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan
semua informasi yang mungkin, dan tidak untuk mengetahui sejak asal mulanya
sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak. Kritik ekstern dalam
penelitian ini dilakukan dengan menyeleksi sumber data sejarah tertulis berupa
buku-buku literatur, surat kaba