PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977 (Studi Tentang …... · (Studi Tentang Fusi Partai ......

of 121 /121
i PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977 (Studi Tentang Fusi Partai Politik) SKRIPSI Oleh: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 ARI WAHYUTI X 4406016

Embed Size (px)

Transcript of PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977 (Studi Tentang …... · (Studi Tentang Fusi Partai ......

  • i

    PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977

    (Studi Tentang Fusi Partai Politik)

    SKRIPSI

    Oleh:

    FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

    UNIVERSITAS SEBELAS MARET

    SURAKARTA

    2010

    ARI WAHYUTI

    X 4406016

  • ii

    PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977

    (Studi Tentang Fusi Partai Politik)

    Oleh:

    Skripsi

    Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana

    Pendidikan Progam Pendidikan Sejarah

    Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

    FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

    UNIVERSITAS SEBELAS MARET

    SURAKARTA

    2010

    ARI WAHYUTI

    X4406016

  • iii

  • iv

  • v

    ABSTRAK

    Ari Wahyuti. PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977 (Studi

    Tentang Fusi Partai Politik). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu

    Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010.

    Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Latar belakang fusi partai

    politik (2) Perkembangan partai politik tahun 1973-1977 (3) Pengaruh fusi partai

    politik terhadap perolehan suara pemilu 1977 bagi partai yang berfusi.

    Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

    historis. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi

    heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan dalam

    penelitian ini berupa sumber primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data dengan

    studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis

    dengan melakukan kritik ekstern dan intern.

    Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Fusi

    partai dilatar belakangi karena adanya kesadaran di kalangan pemerintah dan

    masyarakat umum bahwa pembaharuan struktur politik harus dilakukan dengan cara

    menyederhanakan sistem kepartaian. Tuntutan terhadap pembaharuan struktur politik

    semakin meningkat seiring dengan kritik yang keras terhadap peran partai-partai

    politik bahwa sistem banyak partai tidak menjamin stabilitas nasional. (2)

    Perkembangan partai politik tahun 1973-1977 ditandai dengan adanya berbagai

    masalah internal partai. Hal ini disebabkan rendahnya integrasi antara unsur-unsur

    partai yang ada. Pasca fusi PDI dan PPP belum dapat menyatukan unsur-unsur di

    dalamnya sehingga konflik mewarnai perjalanan partai. Sedangkan Pembinaan

    Golkar berjalan dengan pesat dan cukup lancar dibandingkan dengan partai-partai

    politik (3) Pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977, suara

    PPP naik diberbagai daerah, khususnya di DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Aceh

    PPP mengalahkan Golkar. Sedangkan perolehan kursi Golkar pada pemilu 1977

    mengalami penurunan. Golkar memperoleh suara 62, 11 persen, perolehan kursi

    menjadi 232 atau kehilangan 4 kursi dibanding pemilu 1971 Dan Kekalahan PDI pada

    pemilu 1977 tampak pada merosotnya perolehan kursinya dibanding gabungan kursi

    partai-partai yang berfusi sebelumnya.

  • vi

    ABSTRACT

    Ari Wahyuti. X4406016. Indonesia General Election In 1977 (Study about fusion

    of political parties). Skripsi, Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education,

    Sebelas Maret University, July 2010.

    The purpose of this study is: (1) Background fusion political parties. (2) The

    development of political parties in 1973 - 1977. (3) Effect fusion of political parties to

    voice for the party election in 1977 to political parties that fusion.

    This research was conducted by using the historical method through

    heuristic, critical, interpretation and historiography steps. The source of data used in

    this research was the primary data and the secondary data. The technique of collecting

    data was done by library stud, while, the technique of analyzing data used in this

    research was the historical analysis technique by doing internal and external critics.

    Based on the research results can be concluded: (1)Background fusion of

    parties because existence awareness in circle governments and the public that the

    renewal of political structure must be done by simplifying parties system because

    many of the parties system does not quaranted of national stabilities, (2) The

    development of political parties in 1973 1977 was marking by the existence of

    various problems internal parties. Pasca fusion, PDI and PPP not can unite the

    elements in that. Until the Conflict always in the their parties. And then structure of

    Golkar is good working and go on fast, (3) Effect fusion of political parties to voice

    for the party election in 1977 PPP voice acquirement is be gone up in many kinds of

    state country, exspecially in Jakarta and PPP defeat Golkar in Daerah Istimewa Aceh.

    And then Golkar seats acquirement is obtain redusing in election 1977. Golkar

    obtained 62,11 percent, become 232 or loss 4 seats in comparing election 1971. And

    defeat PDI in election 1977 appear in decline acquisition seats compared join seats

    parties that fusion before now.

  • vii

    MOTTO

    Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan,

    padahal kelak dihari kiamat ia akan menjadi penyesalan.

    (HR. Al-Bukhari)

  • viii

    PERSEMBAHAN

    Karya ini dipersembahkan kepada:

    1. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberikan

    kasih sayang dan tak henti-hentinya berdoa untuk

    kesuksesan dan cita-cataku.

    2. Kang Wans dan adikku Ria yang telah

    memberikan dukungan dan semangat kepadaku.

    3. Sahabat-sahabatku

    4. Almamater

  • ix

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-

    Nya sehingga penulisan skripsi akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi

    sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan.

    Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan

    skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya

    kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan

    terima kasih kepada :

    1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

    Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

    2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui atas

    permohonan skripsi ini.

    3. Ketua Progam Pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan ijin

    atas penyusunan skripsi ini.

    4. Drs.Tri Yuniyanto, M.Hum selaku dosen Pembimbing I yang telah memberikan

    pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

    5. Drs. Djono, M.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan

    pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

    6. Bapak dan Ibu Dosen Progam Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan

    Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon maaf

    atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati.

    7. Teman-teman Sejarah Angkatan 2006, terima kasih atas doa dan dukungannya.

    8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

  • x

    Semoga Allah SWT membalas amal baik kepada semua pihak yang telah

    membantu di dalam penyelesaian skripsi ini dengan mendapatkan pahala yang

    setimpal. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, masih

    terdapat kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat

    membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat

    bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

    Surakarta, Juli 2010

    Penulis

  • xi

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i

    HALAMAN PENGAJUAN ...................................................................................... ii

    HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................. iii

    ABSTRAK ................................................................................................................. iv

    HALAMAN MOTTO ............................................................................................... vi

    HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................... vii

    KATA PENGANTAR ............................................................................................... viii

    DAFTAR ISI .............................................................................................................. x

    DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xii

    DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xiii

    BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

    A. Latar Belakang Masalah................................................................................... 1

    B. Perumusan Masalah ........................................................................................ 9

    C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 9

    D. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 10

    BAB II KAJIAN TEORI .......................................................................................... 11

    A. Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 11

    1. Partai Politik ......................................................................................... 11

    2. Pemilu .................................................................................................. 19

    3. Demokrasi ............................................................................................ 22

    B. Kerangka Berfikir ............................................................................................ 27

    BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 30

    A. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................................... 30

    B. Metodologi Penelitian ..................................................................................... 31

    C. Sumber Data .................................................................................................... 31

    D. Teknik Pengumpulan Data .............................................................................. 33

    E. Teknik Analisis Data ....................................................................................... 33

    F. Prosedur Penelitian ......................................................................................... 35

    BAB IV HASIL PENELITIAN ................................................................................ 39

    A. Latar Belakang Fusi Partai Politik .................................................................. 39

    1. Gagasan Penyederhanaan Partai Politik .............................................. 39

  • xii

    2. Pemilihan Umum 1971 ....................................................................... 42

    3. Perombakan Sistem Kepartaian Melalui Fusi Partai Politik ............... 52

    B. Perkembangan Partai Politik Tahun 1973-1977 ............................................. 63

    C. Pengaruh Fusi Partai Politik Terhadap Perolehan Suara Pemilu 1977

    Bagi Partai Yang Berfusi ................................................................................. 68

    1. Kampanye Pemilu 1977 ...................................................................... 68

    2. Hasil Pemilu 1977 ............................................................................... 74

    BAB V PENUTUP ..................................................................................................... 87

    A. Kesimpulan ..................................................................................................... 87

    B. Implikasi ......................................................................................................... 88

    C. Saran ................................................................................................................ 89

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 90

    LAMPIRAN ............................................................................................................... 94

  • xiii

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1: Hasil pemilihan umum 1971 ..................................................................... 46

    Tabel 2: Perbandingan jumlah suara pada pemilu1971 .......................................... 49

    Tabel 3 : Hasil pemilu 1977 .................................................................................... 80

    Tabel 4 : Pergeseran jumlah suara pada pemilu 1971-1977 ................................... 83

  • xiv

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 : Hasil Fusi PPP ............................................................................... 97

    Lampiran 2 : Pembentukan Pimpinan PDI Tingkat Pusat ................................... 98

    Lampiran 3 : Munas PNI ..................................................................................... 99

    Lampiran 4 : Kampanye Golkar ........................................................................... 100

    Lampiran 5 : Kampanye PDI ............................................................................... 101

    Lampiran 6 : Kampanye PPP ............................................................................... 102

    Lampiran 7 : Pidato Kampanye PPP .................................................................... 103

    Lampiran 8 : Pidato Kampanye PDI .................................................................... 104

    Lampiran 9 : Pelaksanaan Pemilu 1977 ............................................................... 105

    Lampiran 10 : Penghitungan Angka Sementara Pada Pemilu 1977 ....................... 106

    Lampiran 11 : Hasil Pemilu 1977 ........................................................................... 107

    Lampiran 12 : Jurnal ...............................................................................................

    108

    Lampiran 13 : Surat permohonan ijin menyusun skripsi ........................................ 109

    Lampiran 14 : Surat keputusan Dekan FKIP tentang ijin penyusunan Skripsi ...... 110

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Pemikiran tentang demokrasi telah menjadi salah satu topik penting

    sejarah pemikiran politik di Indonesia. Para pendiri republik seperti Soekarno,

    Moh.Hatta, Soepomo dan Natsir telah merumuskan berbagai model demokrasi

    yang diperuntukkan bagi praktik politik di Indonesia (Eep Saefulloh Fatah, 1994:

    32). Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah merdeka. Untuk

    mengisi kemerdekaan itu diperlukan suatu pemerintah negara yang akan mengatur

    seluruh tata kehidupan rakyat berdasarkan suatu peraturan dasar negara. Oleh

    karena itu pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-Undang Dasar 1945

    (UUD 1945). Dalam pembukaan UUD 1945 ditegaskan, bahwa negara republik

    Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat atau negara demokrasi

    (demokrasi berarti kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat) (C. S. T. Kansil,

    1974: 25).

    Menurut Gwendolen M. Carter, John H. Herz dan Henry B. Mayo,

    demokrasi sebagai pemerintahan mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut :

    Pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi

    individu dan kelompok dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara

    berkala, tertib, damai, dan melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif, serta

    adanya pemilihan umum yang bebas dengan disertai adanya model perwakilan

    yang efektif, dan diberinya kebebasan berpartisipasi bagi partai politik, organisasi

    kemasyarakatan, masyarakat, perseorangan, serta prasarana pendapat umum

    semacam pers dan media massa (Eep Saefulloh Fattah, 2000: 8).

    Perkembangan kehidupan politik, Indonesia pernah mengalami berbagai

    praktek demokrasi sebagai akibat berubahnya sistem pemerintahan dalam

    pemakaian Undang-Undang Dasar. Untuk itu dikenal berbagai macam praktek

    demokrasi sesuai dengan sistem pemerintahan yang sedang berlaku, misalnya

    demokrasi parlementer, demokrasi liberal, dan demokrasi terpimpin (Miriam

    Budiardjo, 1982: 69). Dalam suatu negara demokrasi yang pemerintahannya

  • 2

    berbentuk republik kehendak rakyatlah yang menjadi dasar penyelenggaraan

    pemerintahan negara dan tata kehidupan rakyat, kepentingan rakyat yang menjadi

    titik perhatian pemerintah. Kepentingan rakyat hanya dapat diperhatikan dengan

    sebaik-baiknya apabila rakyat mempunyai wakil-wakil yang duduk dalam

    pemerintahan dan badan perwakilan. Badan perwakilan dan pemerintah negara

    yang mencerminkan kehendak dan memperhatikan suara hati nurani rakyat

    diwujudkan dalam suatu pemilihan umum (C. S. T. Kansil, 1974: 29). Pemilihan

    umum merupakan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan

    kedaulatannya sesuai dengan azas yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

    Pemilihan umum itu sendiri pada dasarnya adalah suatu demokrasi yang memilih

    anggota-anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR, dan DPRD yang pada

    gilirannya bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah menetapkan politik

    dan jalannya pemerintahan negara (Ali Moertopo, 1974: 61).

    Sesuai dengan isi Tap. MPRS No. XI/MPRS/1966 dan No.

    XIII/MPRS/1968 tentang pemilihan umum anggota-anggota Badan

    Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang diatur dalam Undang-Undang

    pemilihan umum ini, adalah didasarkan pada azas pemilihan yang bersifat umum,

    langsung, bebas dan rahasia. Berdasarkan Undang-Undang No. 15 tahun 1969

    tujuan utama pemilihan umum adalah Memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk

    dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan dan memilih wakil-wakil rakyat

    yang akan mempertahankan dasar falsafah negara republik Indonesia yaitu

    pancasila serta memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar membawakan isi

    hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan dan

    mengembangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (C.

    S. T. Kansil, 1974: 86).

    Melalui pemilihan umum seleksi kepemimpinan dan perwakilan dapat

    dilakukan secara fair karena keterlibatan warga negara. Praktek demokrasi

    modern, yaitu melalui perwakilan dapat dilakukan sepenuhnya dalam pemilihan

    umum. Dengan pemilihan umum pula maka akan terjadi pergantian elit kekuasaan

    secara lebih adil karena warga negaralah yang langsung menentukan siapa yang

    masih dianggap memenuhi syarat sebagai elite dan siapa yang tidak. Dengan

    1

  • 3

    terlibat dalam proses pelaksaaan pemilu, diharapkan bahwa warga negara akan

    mendapatkan pengalaman langsung bagaimana selayaknya seorang warga negara

    berkiprah dalam sistem demokrasi. Warga negara akan mengerti dan memahami

    posisinya sebagai pemegang kedaulatan yang sangat menentukan gerak serta

    perjalanan bangsa dan negaranya (Muhammad A. S. Hikam, 1999: 16).

    Disamping itu, dalam suatu negara demokrasi rakyat berhak untuk mengeluarkan

    pendapatnya, berhak menyatakan keinginannya dan cita-citanya tentang

    kenegaraan selaras dengan dasar dasar negara yang bersangkutan. Akan tetapi

    pada umumnya rakyat mempunyai pendirian yang berbeda-beda. Pendapat dan

    pendirian yang berbeda-beda tersebut menimbulkan berbagai aliran politik dalam

    masyarakat. Keinginan dan pendapat dari rakyat dalam suatu negara itu disalurkan

    dalam partai-partai politik. Melalui partai-partai poitik pendapat dan keinginan

    rakyat dapat dikemukakan, bahkan dapat menjadi suatu kenyataan dalam

    pemerintahan negara, apabila suatu partai mendapat kepercayaan rakyat untuk

    memegang pemerintahan (C.S.T. Kansil, 1979: 26) Dengan dikeluarkannya

    Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang disusul dengan

    Maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945, kehidupan politik di Indonesia

    menganut sistim multi partai ( Ali Moertopo, 1974: 71).

    Pemilihan umum yang dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955

    bertujuan memilih anggota DPR dan Konstituante. Pemilihan umum pertama ini

    dilaksanakan diseluruh tanah air (kecuali Irian Barat) memperebutkan 257 kursi

    DPR. Dalam pemilihan umum ini muncul berbagai tuntutan dan harapan dari

    rakyat agar pemilu dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi bangsa

    Indonesia, baik berupa kemelut politik yang berkepanjangan, kemerosotan

    ekonomi, maupun ancaman terhadap keamanan. Rakyat berharap pemilu itu dapat

    menciptakan suatu pemerintahan yang sah dan stabil sehingga dapat

    melaksanakan pembangunan nasional dalam segala bidang. Pemilu 1955

    menghasilkan empat partai politik yang meraih kemenangan besar yaitu Partai

    Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdatul Ulama (NU), dan Partai Komunis

    Indonesia (PKI) (Syamsuddin Haris dkk, 1998: 32). Hasil pemilu menunjukkan

    bahwa PNI memperoleh suara sebesar (8.434.653), Masyumi (7.903.886), NU

  • 4

    (6.955.141), PKI (6.176.914). Sementara jumlah kursi yang diperoleh PNI

    sebanyak 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, dan PKI 39 kursi (Herbert

    Feith, 1957: 58).

    Pemilihan umum yang dilaksanakan juga tidak dapat membawa

    stabilitas politik yang sudah lama didambakan. Salah satu penyebabnya adalah

    sulitnya partai-partai politik untuk bekerja sama dan tidak adanya partai mayoritas

    yang keluar sebagai pemenang dalam pemilu 1955. Untuk keperluan itu setiap

    partai baru membentuk koalisi dengan partai-partai kecil. Akan tetapi tidak ada

    loyalitas pada koalisi. Beberapa kali suatu partai yang menyatakan tidak setuju

    dengan kebijakan kabinet menarik kembali dukungannya, sehingga kabinet jatuh

    karena kehilangan mayoritas dalam parlemen dan terjadi krisis kabinet. Hal ini

    menjadikan stabilitas politik sangat bergantung pada koalisi partai yang sering

    berubah (Miriam Budiardjo, 2008: 436).

    Kondisi politik Indonesia yang tidak menentu pada tahun 1950-an

    karena konflik politik yang hebat merupakan bukti yang baik bagi pendapat

    Soekarno bahwa sistem Parlementer dan Multipartai tidak layak digunakan di

    Indonesia. Dalam peringatan sumpah pemuda 1957 presiden Soekarno

    menyatakan bahwa segala kesulitan yang dihadapi negara pada masa itu

    disebabkan terdapatnya banyak partai-partai politik, sehingga merusak persatuan

    negara. Karena itu ada baiknya partai-partai dibubarkan. Dengan alasan

    menyelamatkan negara, presiden Soekarno mengajukan suatu konsepsi yaitu

    demokrasi terpimpin (Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto,

    1993: 224).

    Cara yang ditempuh Soekarno dalam menangani konflik politik adalah

    mengadakan tindakan-tindakan reprsif terhadap pihak-pihak yang berbeda

    pendapat dengan pemerintah. Berbagai langkah politik juga dilakukan oleh

    presiden Soekarno yang memperkuat kedudukannya sebagai seorang presiden

    yang berkuasa mutlak. Partai-partai politik yang dianggap melawan kebijakannya,

    seperti Masyumi dan PSI pada tahun 1960 telah dibubarkan. Pada masa

    Demokrasi terpimpin ini partai-partai politik manjadi sangat tergantung kepada

  • 5

    presiden Soekarno yang membuat mereka mengikuti dan mendukung apa yang

    dikatakan oleh Soekarno (Maswadi Rauf, 2001: 124).

    Pengaruh Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin semakin besar

    dalam politik Indonesia. Hal ini disebabkan ketidakmampuan partai politik

    membendung percekcokkan antar sesama partai yang akhirnya menimbulkan

    ketidakstabilan politik. Penyebab lainnya adalah keinginan Soekarno untuk

    memainkan peranan yang lebih besar dan berarti dalam politik, bukan sekedar

    lambang seperti dikehendaki UUDS 1950. selain itu, karena keinginan tokoh

    militer untuk berperan di dalam politik yang disebabkan oleh semakin

    menurunnya kepercayaan militer terhadap partai politik atau politisi sipil dalam

    menjalankan roda pemerintahan (Alfian, 1980: 42)

    Pada masa Demokrasi Terpimpin ditandai pula oleh adanya keinginan

    yang kuat kaum militer untuk tampil dalam gelanggang politik dan sejak itu pula

    muncul kesadaran untuk mengurangi jumlah partai politik, guna mengatasi

    berbagai gejolak politik. Dengan dikucilkannya PNI dan Masyumi oleh presiden

    Soekarno, memberikan angin segar bagi PKI untuk berkiprah lebih leluasa dalam

    arena politik. Dalam kurun waktu 1959-1965, tampak antara Soekarno, PKI dan

    TNI-AD saling bersaing, sedang partai lain kurang menunjukkan aset yang berarti

    dalam percaturan politik (Arifin Rahman, 1998: 98).

    Berkaca pada Demokrasi Terpimpin, para pemimpin Orde Baru

    mencanangkan usaha-usaha perbaikan dalam sistem politik Indonesia dan tetap

    berpandangan bahwa jumlah partai yang terlalu banyak tidak menjamin adanya

    stabilitas politik. Oleh karena itu, didengungkanlah slogan-slogan seperti

    melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai

    kritik terhadap Orde Lama, sekaligus untuk menunjukkan kebulatan tekad Orde

    Baru untuk menegakkan demokrasi seperti yang dianut oleh UUD 1945. Yang

    tidak kalah pentingnya adalah usaha-usaha pemerintah untuk menyelenggarakan

    pemilu (Maswadi Rauf, 2001: 126-127)

    Pemerintahan Orde Baru bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan

    UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Strategi politik yang ditempuh melalui

    penyelenggaraan pemilu dan penyederhanaan partai. Pemilu dimaksudkan untuk

  • 6

    mengadakan pembaharuan semangat dan kemampuan perwakilan-perwakilan

    rakyat, terutama untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan pembangunan di

    Indonesia. (Ali Moertopo, 1974: 65). Banyak kemungkinan yang dapat

    berpengaruh dalam kehidupan surutnya kepartaian di Indonesia. Faktor dari sifat-

    sifat hubungan dalam masyarakat, kemampuan berorganisasi di kalangan elit dan

    Ideologi partai. Akan tetapi, pengaruh yang lebih tampak yang melatar belakangi

    kelemahan partai diantaranya jumlah partai yang terlalu banyak sehinggga

    diperlukan pengurangan jumlah partai politik (Arbi Sanit, 1995: 43).

    Pada tahun 1969, sebuah Undang-undang (UU) tentang pemilu telah

    berhasil diundangkan yang memberikan basis hukum yang jelas bagi

    penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Pada tahun 1970, presiden Soeharto telah

    mengemukakan sarannya agar dilakukan pengelompokan partai-partai sehingga

    organisasi politik yang ada dapat ciutkan hanya menjadi tiga kelompok, yaitu

    kelompok nasionalis, kelompok spiritual, dan Golongan karya. Partai Ikatan

    Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI),

    dan Nahdatul Ulama (NU) segera memberikan dukungan atas usul presiden

    tersebut, sedangkan partai Katolik dan Parkindo menolak bergabung dalam

    golongan spiritual. Atas saran ini, maka pada tanggal 14 Maret 1970 sembilan

    partai politik menggabungkan diri ke dalam dua golongan antara lain, golongan

    spiritual yang terdiri dari empat partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama (NU), Partai

    Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Perti. Selain itu,

    golongan nasionalis yang terdiri dari : Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai

    Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, dan Partai Ikatan Pendukung

    Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Golongan Karya (Golkar) (Moh. Mahfud,

    2000: 90)

    Menjelang pemilu 1971, mulai terlihat bahwa pemerintah Orde Baru

    menganut sikap yang sama dengan Soekarno dalam menghadapi konflik politik,

    yakni kekhawatiran yang berlebihan terhadap konflik. Elit politik Orde Baru

    selalu khawatir terhadap konflik politik karena akan mengganggu kestabilan

    politik, integrasi nasional, dan pembangunan nasional. Ketiga hal tersebut

    digunakan sebagai alasan untuk membatasi kebebasan disegala bidang. Dampak

  • 7

    dari sikap tersebut adalah kebebasan terhadap partai politik. Suasana politik lebih

    banyak dicurahkan kepada kegiatan kampanye untuk menghadapi pemilihan

    umum yang dilangsungkan pada tanggal 3 juli 1971 (Maswadi Rauf, 2001: 127-

    128).

    Peserta dalam pemiihan umum 1971 meliputi sembilan partai politik

    antara lain: Partai Katholik Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Murba,

    Partai Ikatan pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Nasional Indonesia,

    Partai Nadhlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Muslimin

    Indonesia, Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti) dan Golongan Karya.

    (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 517).

    Pemilihan umum 1971 dimaksudkan untuk menciptakan kemantapan dan

    stabilitas politik, perombakan struktur politik dengan pengakuan bagi Golongan

    Karya dan membangkitkan kesadaran demokrasi rakyat (Ali Moertopo, 1974: 67).

    Pada pemilu 1971 ada dua macam kekhawatiran yang diperlihatkan

    penguasa yang membayanginya. Pertama adalah kekhawatiran yang diperlihatkan

    penguasa jika pemilu itu menghidupkan kembali pola tingkah laku politik dijaman

    Demokrasi Liberal, kedua adalah kekhawatiran kemungkinan munculnya

    kecenderungan untuk mematikan konflik atau perbedaan pendapat. Dengan

    demikian DPR hasil pemilu dikhawatirkan akan kurang mampu menyuarakan

    aspirasi dan kehendak yang sesungguhnya dari masyarakat (Mohtar Masoed dan

    Mac Andrews, Colin, 2006: 263).

    Hasil pemilu 1971 menunjukkan kemenangan Golkar, kemudian diikuti

    oleh Parmusi, Nadhlatul Ulama (NU), dan Partai Nasional Indonesia (PNI)

    menunjukkan kekuatan formal partai dilihat dari suara yang didapat dari

    pemilihan. Hal ini tidak lepas dari jasa ABRI dalam mensukseskan pemilu

    pertama dalam masa Orde Baru, yakni memberi peluang cukup leluasa bagi

    Golkar untuk berusaha sekuat tenaga dalam memenangkan pemilu dengan dibantu

    oleh pemerintah. Dengan kemenangan Golkar maka sangat mungkin melapangkan

    jalan untuk menyederhanakan kehidupan partai secara melembaga (Arifin

    Rahman, 1998: 99).

  • 8

    Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dibentuk berdasarkan

    hasil pemilu 1971 berhasil diyakinkan untuk menggariskan perintah

    penyederhanaan partai politik dengan menegaskan bahwa dalam pemilihan umum

    1977 hanya diikuti tiga kontestan. Penyederhanaan partai politik dalam bentuk

    dua partai politik dan satu Golongan Karya itu sendiri merupakan suatu perubahan

    struktur kepartaian yang baru pertama kali terjadi sejak diperkenalkannya sistem

    kepartaian dinegara Indonesia. Dengan jumlah relatif sedikit, diharapkan dapat

    menjadi landasan bagi terwujudnya suatu kehidupan kepartaian yang lebih sehat,

    efisien, serta mampu membawakan fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur

    aspirasi politik rakyat (Amir Machmud, 1987: 214). Selanjutnya, berdasarkan isi

    ketetapan MPR tersebut pada tahun 1973 semua partai politik resmi melakukan

    fusi, dimana golongan spiritual menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

    sedangkan golongan Nasionalis menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan

    Golkar tetap menjadi golongan tersendiri. Dengan demikian dalam pemilihan

    umum1977 diikutsertakan dua partai dan Golongan Karya (Golkar) (Miriam

    Budiardjo, 2008: 446 ).

    Dalam pemilihan umum 1977 telah terjadi perbedaan yang tajam dalam

    isyu kampanye. Pada pemilihan umum 1971 isyu bekisar pada perbedaan yang

    tajam antara orientasi ideologi (terutama didominasi oleh kelompok partai politik)

    dan berhadapan dengan orientasi pembangunan (terutama didominasi oleh

    kelompok Golongan Karya). Dalam pemilihan umum 1977, terlihat bahwa isyu

    yang berkisar kepada seberapa jauh kemampuan dan keberhasilan pemerintah

    menjalankan pembangunan (Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho

    Notosusanto, 1993: 520). Ciri penting dari pemilihan umum 1977 adalah

    menurunnya jumlah Organisasi Peserta Pemilu (OPP) dari sepuluh OPP ditahun

    1971 menjadi 3 OPP di tahun 1977 sebagai kelanjutan dari terjadinya fusi partai

    politik pada tahun 1973 (Riswandha Imawan, 1997: 9).

    Tema ini menarik untuk diteliti sebab pemilihan umum 1977 penting dalam

    sejarah pertumbuhan politik Indonesia karena untuk pertama kalinya

    diselenggarakan dengan struktur partai politik yang disederhanakan (Sinar

    Harapan , 1977 )

  • 9

    Berdasarkan latar belakang tersebut, Penulis tertarik untuk mengkaji

    lebih dalam mengenai permasalahan di atas dalam sebuah karya ilmiah yang

    berjudul Pemilihan Umum Di Indonesia Tahun 1977 (Studi Tentang Fusi

    Partai Politik).

    B. Perumusan Masalah

    Suatu penelitian ilmiah bertujuan untuk memecahkan masalah melalui

    metode ilmiah. Dalam metode ilmiah, rumusan masalah merupakan langkah yang

    tidak dapat ditinggalkan, untuk memberikan arahan dalam penelitian, maka perlu

    dikemukakan beberapa pokok permasalahan, antara lain:

    1. Mengapa diberlakukan fusi partai politik?

    2. Bagaimana perkembangan partai politik tahun 1973-1977?

    3. Bagaimana pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977

    bagi partai yang berfusi ?

    C. Tujuan Penelitian

    Adapun tujuan dari penelitian ini, untuk memperoleh jawaban atas

    masalah yang telah dirumuskan. Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan yang

    akan dicapai. Demikian pula dengan penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian

    ini adalah sebagai berikut:

    1. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang diberlakukannya fusi partai politik.

    2. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang perkembangan partai politik tahun

    1973-1977.

    3. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang pengaruh fusi partai politik terhadap

    perolehan suara pemilu 1977 bagi partai yang berfusi.

  • 10

    D. Manfaat Penelitian

    Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang dapat

    memberi jawaban permasalahan penelitian baik secara teoritis maupun secara

    praktis.

    1. Manfaat Teoritis

    Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

    a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang pemilihan umum di

    Indonesia tahun 1977 (fusi partai politik dalam pemilu 1977).

    b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada setiap

    pembaca supaya dapat digunakan sebagai tambahan bacaan dan sumber data

    dalam penulisan sejarah.

    2. Manfaat Praktis

    Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

    a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan

    Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan

    Universitas Sebelas Maret Surakarta.

    b. Menambah wawasan bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.

  • 11

    BAB II

    KAJIAN TEORI

    A. Tinjauan Pustaka

    1. Partai Politik

    a. Pengertian Partai Politik

    Miriam Budiardjo (1998: 16), berpendapat Partai politik adalah suatu

    kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,

    nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk

    memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, melaksanakan

    kebijakan-kebijakan partai. Sedangkan menurut Arifin Rahman (1998: 91),

    partai politik sering diasosiasikan sebagai organisasi perjuangan tempat

    seseorang atau kelompok mencari dan memperjuangkan kedudukan politik

    dalam negara. Bentuk perjuangan yang dilakukan oleh setiap partai politik

    tidak harus menggunakan kekerasan atau kekuatan fisik, tetapi melalui

    berbagai konflik dan persaingan baik intern partai yang terjadi secara

    melembaga dalam partai politik pada umumnya.

    Inu Kencana. S (2003: 104), Partai politik adalah sekelompok orang-

    orang yang mempunyai ideologi sama, berniat merebut dan mempertahankan

    kekuasaan dengan tujuan untuk (yang menurut pendapat mereka paling pribadi

    paling idealis) memperjuangkan kebenaran, dalam suatu level (tingkat)

    negara. Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat

    dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan. Partai politik sering

    dianggap sebagai salah satu atribut negara demokrasi modern, karena partai

    politik sangat diperlukan kehadirannya bagi negara-negara yang berdaulat.

    Bagi negara-negara yang merdeka dan berdaulat eksistensi partai politik

    merupakan prasyarat baik sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat,

    juga terlibat langsung dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil-

    wakilnya yang duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat.

    Sukarna (1990: 45), berpendapat Partai politik adalah sekumpulan

    orang-orang yang terorganisasikan dalam kelompok formal yang berusaha

    11

  • 12

    untuk mengendalikan pemerintahan dengan cara menempatkan orang-

    orangnya baik dalam badan perwakilan politik maupun badan eksekutif, dan

    badan yudikatif secara legal menurut aturan-aturan hukum yang berlaku

    ataupun dengan cara illegal yaitu melalui cara coup detat. Menurut Haryanto

    (1982: 88) Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit

    banyak telah terorganisir, dimana anggota-anggotanya (anggota-anggota dari

    kelompok yang telah terorganisir) memiliki cita-cita, tujuan-tujuan dan

    orientasi yang sama. Kelompok ini berusaha untuk merebut dukungan rakyat,

    sedangkan yang menjadi tujuannya adalah memperoleh dan mengendalikan

    kekuasaan politik atau pemerintahan, dan kemudian berusaha untuk

    melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya (kebijaksanaan-kebijaksanaan

    kelompok) dengan jalan menempatkan anggota-anggotanya di dalam jabatan-

    jabatan politik ataupun pemerintahan. Cara-cara yang dipergunakan partai

    politik agar dapat memperoleh kekuasaan dan kemudian menduduki jabatan-

    jabatan politik ataupun pemerintahan adalah dengan melalui cara yang

    konstitusional, seperti ikut serta di dalam pemilihan umum, maupun melalui

    cara yang inskonstitusional, seperti mengadakan pemberontakan.

    Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian atau batasan partai

    politik, dapat ditarik kesimpulan bahwa partai politik adalah suatu kelompok

    dari warga negara yang terorganisir, dimana anggota-anggotanya mempunyai

    orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama serta bertujuan untuk menguasai

    dan mempertahankan kekuasaan politik atau pemerintahan, baik melalui cara-

    cara yang konstitusional misalnya dengan turut serta dalam pemilihan umum,

    maupun melalui cara-cara inkonstitusional, misalnya denga cara perebutan

    kekuasaan.

    b. Fungsi Partai Politik

    Menurut Haryanto (1982: 89-95) partai politik mempunyai fungsi

    adalah sebagai berikut:

    1) Partai sebagai Sarana Komunikasi Politik

    Dalam hal ini partai politik bertindak sebagai penghubung,

    maksudnya menghubungkan antara pihak yang memerintah dengan pihak

  • 13

    yang diperintah. Partai politik bertindak sebagai penghubung yang

    menampung arus informasi, baik informasi yang berasal dari pihak

    penguasa kepada masyarakat maupun yang berasal dari masyarakat kepada

    pihak penguasa. Oleh karena partai politik menyalurkan informasi dari

    masyarakat kepada pihak penguasa, maka berarti partai politik mempunyai

    tugas untuk menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat,

    serta mengaturnya sedemikian rupa sehingga semua pendapat dan asprasi

    masyarakat itu dapat tersalurkan. Sebaliknya partai politik juga

    menyalurkan informasi yang datang dari pihak penguasa kepada

    masyarakat. Rencana-rencana atau kebijaksanaan-kebijaksanaan

    pemerintah disebarluaskan oleh partai politik kepada masyarakat. Dengan

    demikian terjadilah arus informasi bolak-balik dari pihak penguasa kepada

    masyarakat dan dari masyarakat kepada pihak penguasa.

    2) Partai sebagai Sarana Sosialisasi Politik

    Sosialisasi politik secara umum dapat dinyatakan sebagai cara

    untuk mewariskan atau mengajarkan patokan-patokan, keyakinan-

    keyakinan politik dari suatu generasi yang lebih tua kepada generasi

    berikutnya. Sehubungan dengan hal itu, partai politik juga memainkan

    peran sebagai sarana sosialisasi politik, disamping sarana-sarana yang

    lainnya seperti keluarga, sekolah dan sebagainya.

    Partai politik disamping menanamkan ideologi partai kepada para

    pendukungnya, harus pula mengajarkan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan

    politik yang berlaku di masyarakatnya atau di negaranya. Partai politik

    juga harus mendidik masyarakatnya agar supaya mempunyai kesadaran

    dan tanggung jawab yang tinggi sebagai warga negara dan lebih

    mementingkan nasional daripada kepentingan sendiri atau golongannya.

    Dalam rangka proses sosialisasi politik, maka cara yang biasanya

    dipergunakan oleh partai politik adalah dengan cara memberikan kursus-

    kursus, ceramah-ceramah, maupun penataran-penataran tentang politik.

  • 14

    3) Partai sebagai Sarana Rekrutmen Politik

    Partai politik dalam fungsinya sebagai sarana rekrutmen politik

    adalah dengan cara memberikan kesempatan kepada warga negara untuk

    menjadi anggota partai. Partai politik berusaha untuk menarik minat

    warga negara agar bersedia menjadi anggota partai. Sehubungan dengan

    hal itu berarti partai politik turut serta memperluas partisipasi warga

    negara dalam bidang politik.

    Rekrutmen politik merupakan salah satu cara untuk menyeleksi

    anggota-anggota partai yang berbakat untuk dipersiapkan menjadi calon-

    calon pemimpin. Pada umumnya cara yang ditempuh oleh partai politik

    adalah dengan menarik golongan muda untuk dididik dijadikan kader, dan

    dari para kader ini akan nampak anggota-anggota yang mempunyai bakat

    yang pada gilirannya dapat diorbitkan menjai calon-calon pemimpin.

    Rekrutmen politik juga dimaksudkan untuk menjamin

    kelangsungan hidup partai politik yang bersangkutan. Dengan adanya

    anggota-anggota partai yang dipersiapkan menjadi pemimpin, maka berarti

    pula proses regenerasi di dalam tubuh partai yang bersangkutan akan dapat

    berjalan lancar, dan hal ini berarti bahwa kelangsungan hidup partai dari

    segi kepemimpinan partai sudah dapat terjamin.

    4) Partai Politik sebagai Sarana Pembuatan Kebijaksanaan

    Dapat dinyatakan bahwa partai politik sebagai sarana pembuatan

    kebijaksanaan apabila partai tersebut merupakan partai yang memegang

    tampuk pemerintahan dan menduduki badan perwakilan secara mayoritas

    mutlak. Apabila partai tersebut hanya berkedudukan sebagai partai oposisi,

    maka partai tersebut tidak merupakan sarana pembuatan kebijaksanaan

    akan tetapi sebagai pengkritik kebijaksanaan-kebijaksanaan pemeritah.

    5) Partai Politik sebagai Sarana Pengatur Konflik

    Perbedaan pendapat dan persaingan sudah merupakan suatu hal

    yang wajar terjadi di negara yang menganut faham demokratis. Di negara

    yang menganut faham-faham demokratis perbedaan pendapat dan

    persaingan diantara para warga negara atau golongan-golongan yang ada

  • 15

    memang sering muncul. Perbedaan pendapat dan persaingan tersebut

    sering sekali mengakibatkan terjadinya konflik-konflik atau pertentangan-

    pertentangan diantara mereka. Apabila tejadi konflik-konflik atau

    pertentangan-pertentangan antara para warga negara atau golongan-

    golongan dapat diselesaikan melalui partai politik.

    c. Klasifikasi Partai

    Klasifikasi partai dalam Miriam Budiarjo (1999: 166) dapat dilakukan

    dengan berbagai cara. Dilihat dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya,

    secara umum dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai massa dan partai kader.

    Partai massa mengutamakan kekuataan berdasarkan keunggulan jumlah

    anggota. Oleh karena itu, biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari

    berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat untuk bernaung

    dibawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan

    agak kabur. Partai kader mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja

    dari anggota-anggotanya. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian

    doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon

    anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai yang

    telah ditetapkan. Sedangkan menurut Maurice duverger, partai dapat

    diklasifikasikan sebagai berikut:

    1) Sistem Partai-Tunggal

    Ada yang berpendapat bahwa istilah sistem partai tunggal

    merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri (Conditio in terminis)

    sebab menurut pandangan ini suatu sistem selalu mengandung lebih dari

    satu unsur. Namun demikian istilah ini telah tersebar luas dikalangan

    masyarakat dan para sarjana. Istilah ini dipakai untuk partai yang benar-

    benar merupakan satu-satunya partai dalam negara, ataupun untuk partai

    yang mempunyai kedudukan dominan diantara beberapa partai lainnya.

    Pola partai tunggal terdapat dibeberapa negara : Afrika, China, dan kuba.

    Suasana kepartaian dinamakan non-kompetitif karena semua partai harus

    menerima pimpinan dari partai yang dominan, dan tidak dibenarkan

    bersaing dengannya.

  • 16

    Kecenderungan untuk mengambil pola sistem partai tunggal

    disebabkan di negara-negara baru pimpinan sering dihadapkan dengan

    masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah serta

    suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya.

    Dikhawatirkan bahwa bila keanekaragaman sosial dan budaya ini

    dibiarkan, besar kemungkinan akan terjadi gejolak-gejolak sosial politik

    yang menghambat usaha-usaha pembangunan. Fungsi partai adalah

    meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menerima persepsi pimpinan

    partai mengenai kebutuhan utama dari masyarakat seluruhnya. Di

    Indonesia pada tahun 1945 ada usaha mendirikan partai-tunggal sesuai

    dengan pemikiran pada saat itu banyak dianut di negara-negara yang baru

    melepaskan diri dari rezim kolonial. Diharapkan partai itu akan menjadi

    motor perjuangan akan tetapi sesudah beberapa bulan usaha itu dihentikan

    sebelum terbentuk secara konkret. Penolakan ini antara lain disebabkan

    karena dianggap berbau fasis.

    2) Sistem Dwi-Partai

    Dalam kepustakaan ilmu politik pengertian sistem dwi partai

    biasanya diartikan adanya dua partai atau adanya beberapa partai tetapi

    dengan peranan dominan dari dua partai. Beberapa negara yang

    mempunyai ciri-ciri system dwi-partai, yaitu Inggris, Amerika Serikat,

    Filipina, Kanada, dan Selandia Baru. Dalam sistem ini, partai-partai

    dengan jelas dibagi dalam partai yang berkuasa (karena menang dalam

    pemilihan umum) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan

    umum) dengan demikian jelaslah dimana letaknya tanggung jawab

    mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi. Dalam sistem ini partai yang kalah

    berperan sebagai pengecam utama yang setia (loyal opposition) terhadap

    kebijaksanaan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian

    bahwa peranan ini sewaktu-waktu dapat bertukar tangan. Dalam

    persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk

    merebut dukungan orang-orang yang ada ditengah dua partai dan sering

    dinamakan pemilih terapung (floating vote).

  • 17

    Sistem dwi-partai pernah disebut a convenient system for

    contented people dan memang kenyataannya bahwa sistem dwi-partai

    dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga syarat, yaitu komposisi

    masyarakat adalah homogen (social homogenity), konsesus dalam

    masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial yang pokok (political

    consesus) adalah kuat, dan adanya kontinuitas sejarah (historical

    continuity). Sistem dwi-partai umumnya diperkuat dengan digunakannya

    sistem pemilihan single-member constitueney (sistem distrik) dimana

    dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja. Sistem

    pemilihan ini cenderung menghambat pertumbuhan partai kecil, sehingga

    dengan demikian memperkokoh sistem dwi-partai. Di Indonesia pada

    tahun 1968 ada usaha untuk mengganti multi-partai yang telah berjalan

    lama dengan sistem dwi-parti, agar sistem ini dapat membatasi pengaruh

    partai-partai yang telah lama mendominasi kehidupan politik. Beberapa

    akses dirasakan menghalangi badan eksekutif untuk menyelenggarakan

    pemerintahan yang baik. Akan tetapi eksperimen dwi-partai ini, sesudah

    diperkenalkan dibeberapa wilayah, ternyata mendapat tantangan dari

    partai-partai yang merasa terancam eksistensinya. Akhirnya gerakan ini

    dihentikan pada tahun 1969.

    3) Sistem Multi-Partai

    Keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong

    pilihan ke arah sistem multi-partai. Sistem multi partai ditemukan antara

    lain di Indonesia, Malaysia, Nederland, Australia, Prancis, Swedia, dan

    federasi Rusia. Perancis mempunyai jumlah partai yang berkisar antara 17

    sampai 28, sedangkan di Federasi Rusia sesudah jatuhnya partai komunis

    jumlah partai mencapai 43. sistem multi-partai jika dihubungkan dengan

    sistem pemerintahan parlementer, mempunyai kecenderungan untuk

    menitikberatkan kekuasaan pada badan legislative, sehingga peran badan

    eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering disebabkan karena

    tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu

    pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai-

  • 18

    partai lain. Dalam keadaan semacam ini partai yang berkoalisi harus selalu

    mengadakan musyawarah dan kompromi dengan mitranya dan

    menghadapi kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai

    yang duduk dalam koalisi akan ditarik kembali, sehingga mayoritasnya

    dalam partai hilang.

    Partai-partai oposisi pun kurang memainkan peranan yang jelas

    karena sewaktu-waktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk

    dalam pemerintahan koalisi baru. Hal semacam ini menyebabkan sering

    terjadinya siasat yang berubah-ubah menurut kegentingan situasi yang

    dihadapi partai masing-masing. Disamping itu, partai-partai oposisi kurang

    mampu menyusun suatu program alternatif bagi pemerintah. Dalam situasi

    di mana terdapat satu partai yang dominan, stabilitas politik lebih dapat

    dijamin. India di masa lampau sering dikemukakan sebagai negara yang

    didominasi satu partai (one-party dominance) akan tetapi suasana

    kompetitif, pola didominasi setiap waktu dapat berubah. Hal ini dapat

    dilihat pada pasang surutnya kedudukan partai Kongres. Akan tetapi hal

    ini tidak berarti bahwa pemerintahan koalisi selalu lemah. Belanda,

    Norwegia, dan Swedia merupakan contoh dari pemerintah yang dapat

    mempertahankan stabilitas dan kontinuitas dalam kebijakan publiknya.

    Pola multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan

    Perwakilan Berimbang (Proportional Representation) yang memberi

    kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai dan golongan-golongan

    baru. melalui sistem pemilihan Perwakilan Berimbang partai-partai kecil

    dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang

    diperolehnya disuatu daerah pemilihan dapat ditarik ke daerah pemilihan

    lain untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna

    memenangkan satu kursi. Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil

    Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang disusul dengan Maklumat

    pemerintah tanggal 3 November 1945, kehidupan politik di Indonesia

    menganut sistim multi partai. Antara tahun 1945 hingga tahun 1950 telah

    berdiri sebanyak 25 partai, sedangkan menjelang pemilihan umum tahun

  • 19

    1955 yang berdasarkan demokrasi liberal tidak kurang dari 70 partai

    maupun perorangan telah mengambil bagian dalam pemilihan umum

    tersebut.

    Kondisi politik Indonesia yang tidak menentu pada tahun 1950-an

    karena konflik politik yang hebat merupakan bukti yang baik bagi

    pendapat Soekarno bahwa sitem Parlementer dan Multipartai tidak layak

    digunakan di Indonesia, maka mulai saat itu dilaksanakan penyederhanaan

    sistem kepartaian di Indonesia. Pada tahun 1970, presiden Soeharto telah

    mengemukakan sarannya agar dilakukan pengelompokan partai sehingga

    organisasi politik yang ada dapat disederhanakan menjadi tiga kelompok,

    yaitu kelompok Nasionalis, kelompok Spiritual, dan Golongan Karya.

    Pada pemilu 1971 pemerintah berhasil menentukan persyaratan kontestan

    peserta pemilu yang hanya dapat menjaring sembilan parpol ditambah satu

    golongan karya, sehingga dalam pemilu 1971 hanya ada sepuluh

    kontestan. Selanjutnya pada tahun 1973 semua partai politik resmi

    melakukan fusi, dimana golongan spiritual menjadi Partai persatuan

    Pembangunan (PPP) sedangkan golongan Nasionalis menjadi Partai

    Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian, pada pemilihan umum

    1977 hanya diikuti dua partai politik yaitu PPP, PDI, dan Golongan Karya

    (Golkar).

    2. Pemilu

    a. Pengertian Pemilu

    Ali Moertopo (1974: 61), berpendapat Pemilihan umum adalah

    sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai

    dengan azas yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Pemilihan umum

    itu sendiri pada dasarnya adalah suatu demokrasi yang memilih anggota-

    anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR, dan DPRD yang pada

    gilirannya bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah menetapkan

    politik dan jalannya pemerintahan negara.

  • 20

    Arifin Rahman (1998: 194), Pemilihan umum merupakan cara dan

    sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan

    duduk dalam Badan-badan Perwakilan Rakyat guna menjalankan kedaulatan

    rakyat. Sedangkan Menurut Muhammad A.S. Hikam (1999: 17), Pemilihan

    umum adalah sebuah alat untuk melakukan pendidikan politik bagi warga

    negara agar mereka memahami hak dan kewajibannya.

    Syamsuddin Haris (1998: 7), secara universal pemilihan umum

    adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya

    sebuah pemerintahan perwakilan (representative government) yang menurut

    Dahl, merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan

    demokrasi dizaman modern. Menurut C. S. T. Kansil (1974: 17), Pemilihan

    umum adalah tindakan melakukan pemilihan anggota-anggota Badan

    Perwakilan Rakyat dalam waktu tertentu dan menurut cara tertentu.

    Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pemilu

    merupakan perwujudan dari suatu pemerintahan yang demokratis yang

    diletakkan pada kekuasaan rakyat.

    b. Fungsi Pemilu

    Menurut Syamsuddin Haris (1998: 7-8) Pemilu mempuyai beberapa

    fungsi, antara lain:

    1) Sebagai sarana legitimasi politik

    Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dan

    sistem politik yang mewadahi format pemilu yang berlaku. Melalui

    pemilu, keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu

    pula program dan kebijakan yang dihasilkannya. Dengan begitu,

    pemerintah berdasarkan hukum yang disepakati bersama tidak hanya

    memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi

    berupa hukuman dan ganjaran bagi siapa pun yang melanggarnya.

    2) Sebagai perwakilan politik

    Fungsi ini terutama menjadi kebutuhan rakyat, baik dalam rangka

    mengevaluasi maupun mengontrol perilaku pemerintah dan program serta

    kebijakan yang dihasilkannya. Pemilu dalam kaitan ini merupakan

  • 21

    mekanisme demokratis bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakil yang

    dapat dipercaya yang akan duduk dalam pemerintahan maupun lembaga

    legislatif.

    3) Sebagai mekanisme bagi pergantian atau sirkulasi elit penguasa

    Keterkaitan pemilu dengan sirkulasi elit didasarkan pada asumsi di

    pihak lain. Pemerintah ingin memperoleh kesepakatan dan dukungan bagi

    kelangsungan otoritasnya dan kepatuhan terhadapnya, sedang pihak-pihak

    kepentingan partai dan warga negara meninginkan semakin kuatnya

    kontrol mereka serta pertanggungjawaban pihak pemerintah akan kiprah

    yang dilakukannya.

    Pemilihan umum tahun 1977 merupakan pemilihan umum kedua

    sejak Orde Baru. Pemilihan umum tahun 1977 diselenggarakan

    berdasarkan UU No. 4 tahun 1975 Jo. UU No. 15 tahun 1969 tentang

    pemilihan umum anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan

    Rakyat. Pemilihan umum tahun 1977 maupun sesudahnya didasarkan pada

    asas pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia,

    yang sering disebut asas LUBER. Yang dimaksud pemilihan umum yang

    bersifat:

    1. Langsung ialah rakyat pemilih mempunyai hak secara langsung

    memberikan suaranya menurut hati nuraninya tanpa perantara dan

    tanpa tingkatan.

    2. Umum ialah pada dasarnya semua warga negara Indonesia yang

    mempunyai persyaratan minimal usia, yaitu telah berusia 17 tahun atau

    telah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum, dan yang

    telah berusia 21 berhak dipilih.

    3. Bebas ialah bahwa tiap-tiap warga negara berhak memilih dan

    menggunakan haknya dijamin keamanannya untuk melakukan

    pemilihan menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan

    ataupun paksaan dari siapapun atau dengan apapun juga.

    4. Rahasia ialah para pemilih dijamin oleh peraturan, bahwa tidak akan

    diketahui oleh siapapun dan dengan jalan apapun, siapapun yang

  • 22

    dipilihnya. Pemilih memberikan suaranya kepada kotak suara dengan

    tidak dapat diketahui orang lain kepada siapa suaranya diberikan

    (C.S.T. Kansil, 1974: 86).

    3. Demokrasi

    a. Pengertian Demokrasi

    Menurut alfian (1985: 59) Demokrasi adalah suatu sistem politik

    dimana dukungan masyarakat disatu pihak dengan kehendak-kehendak atau

    kepentingan-kepentingannya dipihak lain saling bertemu. Suasana demokratis

    akan tercapai tau terpenuhi bilamana ada dukungan masyarakat, sedangkan

    dukungan tersebut akan datang bilamana anggota-anggota masyarakat merasa

    kehendak-kehendak dan kepentingan-kepentingan mereka mendapat saluran

    yang wajar. Sedangkan Amir Machmud (1986: 82) berpendapat bahwa

    demokrasi adalah sistem pengorganisasian masyarakat negara yang dilakukan

    oleh masyarakat sendiri atau dengan persetujuan masyarakat, dimana

    keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha

    Esa diakui, ditata dan dijamin atas dasar gagasan kenegaraan tertentu.

    Alfian dalam Eep Saefulloh Fattah, (2000: 10) menyatakan bahwa

    demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang memelihara keseimbangan

    antara konflik dan konsesus. Demokrasi dengan demikian, memberikan

    peluang bagi perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan diantara

    individu, kelompok, atau diantara keduanya, diantara individu dengan

    pemerintah, dan diantara lembaga-lembaga pemerintah sendiri.

    Setiap negara demokrasi pasti terdapat partai politik lebih dari satu,

    hal ini merupakan persyaratan yang paling menonjol. Mengingat rakyat

    mempunyai beberapa alternatif maka rakyat akan sukar untuk menyalurkan

    aspirasi-aspirasinya yang paling cocok pada dirinya. Dengan demikian adanya

    wadah penyaluran pemikiran yang berbeda-beda merupakan suatu conditio

    since qua non (kondisi yang mau tidak mau harus ada). Tanpa adanya partai

    politik yang lebih dari satu, maka demokrasi tidak dapat ditegakkan. Maka

  • 23

    untuk melihat negara itu demokrasi atau tidak, salah satu aspeknya adalah

    dilihat dari kehidupan partai politiknya (Sukarna, 1990: 23)

    Dari beberapa pendapat diatas diperoleh kesimpulan bahwa demokrasi

    adalah suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan

    memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan ditangan rakyat baik

    dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintahan.

    b. Demokrasi di Indonesia

    Menurut Miriam Budiardjo (2008: 127) dipandang dari sudut

    perkembangan demokrasi, sejarah Indonesia dapat dibagi dalam tiga masa,

    yaitu:

    1. Masa Demokrasi Parlementer (1945-1959)

    Periode kedua pemerintahan negara Indonesia adalah tahun 1950

    sampai 1959, dengan menggunakan Undang-Undang Sementara (UUDS)

    sebagai landasan konstitusionalnya. Periode pemerintahan dalam masa ini

    disebut sebagai pemerintahan Parlementer. Pada masa Demokrasi

    Parlementer lembaga Perwakilan Rakyat atau Parlemen memainkan

    peranan yang sangat tinggi dalam proses politik yang berjalan. Disamping

    itu, kehidupan kepartaian memperoleh peluang yang sebesar-besarnya

    untuk berkembang secara maksimal. Dalam periode ini, Indonesia

    menganut sistem banyak partai (multy party system). (A.Gaffar karim,

    1999: 12). Sistem yang menyediakan saluran aspirasi politik melalui

    partai-partai politik ini ternyata menimbulkan labilitas nasional, sehingga

    dalam masa berlakunya UUDS 1950 telah terjadi jatuh bangunnya kabinet

    sebanyak 7 kali. Karena sering terjadi jatuh bangunnya kabinet telah

    menimbulkan rasa tidak puas dikalangan politisi Indonesia. Selain itu,

    sistem pemerintahan yang tersentralisasi di Jawa juga menyebabkan

    timbulnya ketidakpuasan beberapa daerah sehingga menyebabkan

    timbulnya pemberontakan-pemberontan didaerah yang mengancam

    keutuhan republik Indonesia (Moh. Mahfud, 2000: 43).

  • 24

    2. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

    Sejak berahirnya pemilihan umum 1955, Soekarno sudah

    menunjukkan gejala ketidaksenangannya kepada partai-patai politik. Hal

    itu terjadi karena partai politik hanya beorientasi pada kepentingan

    ideologinya sendiri dan kurang memperhatikan kepentingan politik

    nasional secara menyeluruh. Disamping itu, Soekarno juga melontarkan

    gagasan, bahwa Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan gagasan

    bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong royong dan

    kekeluargaan. Kemudian Soekarno mengusulkan, agar terbentuk

    pemerintahan yang bersifat gotong royong, yang melibatkan semua

    kekuatan politik yang ada, termasuk PKI. Untuk mewujudkan gagasan

    tersebut, Soekarno kemudian juga mengajukan usulan yang dikenal

    sebagai Konsepsi Presiden melalui konsepsi tersebut maka Dewan

    Nasional.

    Konsepsi Presiden dan terbentuknya Dewan Nasional mendapat

    tantangan yang kuat dari sejumlah partai politik, terutama Masyumi dan

    PSI. Pada saat yang sama, sejumlah faktor lain muncul secara hampir

    bersamaan. Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dengan

    pemerintah daerah semakin memburuk. Kedua, Dewan Konstituante

    mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan guna merumuskan

    ideologi nasional, karena tidak tercapainya titik temu antara dua kubu

    politik, yaitu kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara

    dan kelompok lain yang menginginkan pancasila sebagai dasar negara.

    Ketika dilakukan voting, ternyata suara mayoritas yang diperlukan tidak

    tercapai. Berhubung situasi keamanan nasional sudah sangat

    membahayakan persatuan dan kesatuan nasional, Soekarno kemudian pada

    tanggal 5 juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden, yang membubarkan

    konstituante dan menyatakan kembali pada UUD 1945. Dengan Dekrit

    Presiden tersebut, menandai berahirnya masa Demokrasi Parlementer dan

    memasuki era baru demokrasi yang kemudian oleh Soekarno disebut

    sebagai Demokrasi Terpimpin (A.Gaffar karim, 1999: 24-25). Pada pidato

  • 25

    kenegaraan tanggal 17 agustus 1959 yang berjudul Penemuan kembali

    revolusi kita Soekarno menjelaskan butir-butir pengertian Demokrasi

    Terpimpin sebagai berikut:

    1) Setiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum,

    masyarakat, dan negara.

    2) Setiap orang mendapatkan penghidupan yang layak dala masyarakat,

    bangsa dan negara.

    Presiden Soekarno juga memberikan definisi demokrasi terpimpin

    adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

    permusyawaratan/perwakilan (Moh. Mahfud, 2000: 22). Karakteristik

    yang utama dari perpolitikan pada era Demokrasi Terpimpin adalah

    mengaburnya sistem kepartaian, dengan terbentuknya DPR-GR , peranan

    lembaga legislatif dalam sistem politik nasional menjadi lemah,

    sentralisasi kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan antara

    Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pada masa ini juga terjadi

    pertentangan dan konflik-konflik politik terutama antara TNI dengan PKI

    yang sama-sama mempunyai kekuatan riil dan kepribadian sendiri. Puncak

    dari konflik tersebut adalah terjadinya peristiwa G.30 S/PKI dan peristiwa

    tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh TNI dibawah pimpnan Soeharto.

    Sejak perisiwa tersebut, krisis politik semakin meningkat, akhirnya

    dikeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar. Dengan

    adanya Supersemar maka menjadi titik awal lahirnya Orde Baru dan

    berakhirnya Demokrasi Terpimpin (A.Gaffar karim, 1999: 29-30).

    3. Masa Demokrasi Pancasila (1965-1998)

    Pada tahun 1966 pemerintahan Soeharto yang lebih dikenal dengan

    pemerintahan Orde baru bangkit sebagai reaksi atas pemerintahan

    Soekarno. Pada awal pemerintahan Orde Baru hampir seluruh kekuatan

    demokrasi mendukungnya karena Orde Baru diharapkan dapat

    melenyapkan rezim Orde Lama. Soeharto kemudian mencoba menerapkan

    Demokrasi Pancasila. Inti Demokrasi Pancasila adalah seperti yang

    dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945, yang berarti menegakkan

  • 26

    kembali azas-azas negara hukum dimana kepastian hukum dirasakan oleh

    segenap warga negara dimana hak-hak asasi manusia baik dalam aspek

    kolektif, maupun dalam aspek perseorangan dijamin dan dimana

    penyalagunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional (Moh.

    Mahfud, 2000: 36). Sedangkan Amir Machmud (1986: 87) berpendapat

    bahwa Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang

    dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya. Ini berarti

    menggunakan hak-hak demokrasi selalu disertai dengan rasa tanggung

    jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan masing-masing,

    menjunjung tinggi nilai-nilai manusia, menjamin persatuan bangsa dan

    harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial.

  • 27

    B. Kerangka Berfikir

    Keterangan:

    Setelah Indonesia merdeka, gagasan demokrasi tercantum dengan jelas

    dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan pasal-pasal dalam batang

    tubuhnya. Sila keempat pancasila dalam pembukaan UUD 1945 dan pasal 1 ayat

    (2) dalam batang tubuh itu menunjukkan bahwa negara republik Indonesia

    Pemilu 1971

    Kebijakan Politik

    Orde Baru

    Fusi Partai Politik

    (Nasionalis, Spiritual, dan Golongan Karya)

    PDI PPP Golkar

    Pemilihan Umum

    1977

    Demokrasi

    Pemilu

    Sistem Multi Partai

    Partai Politik

    Pemilu 1955

  • 28

    menganut asas kedaulatan rakyat. Dalam asas ini terkandung unsur pokok bahwa

    rakyat mempunyai hak untuk ikut aktif dalam kegiatan yang bersifat politik atau

    dengan kata lain negara Indonesia adalah negara demokratis. Dalam pelaksanaan

    demokrasi ini, menurut pasal 1 ayat (2) UUD 1945 negara Indonesia menganut

    sistem demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung. Hal ini terbukti

    adanya lembaga-lembaga negara yaitu MPR dan DPR serta adanya pemilihan

    umum dan partai-partai politik. Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden

    No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang disusul dengan Maklumat pemerintah

    tanggal 3 November 1945, kehidupan politik di Indonesia menganut sistim multi

    partai. Antara tahun 1945 hingga tahun 1950 telah berdiri sebanyak 25 partai,

    sedangkan menjelang pemilihan umum tahun 1955 yang berdasarkan demokrasi

    liberal tidak kurang dari 70 partai maupun perorangan telah mengambil bagian

    dalam pemilihan umum tersebut.

    Bentrokan antar partai politik dan pasukan milisi masing-masing yang

    mempunyai ideologi Islam dan nasionalis membuat konflik politik semakin

    memanas. Pola konflik antar partai politik yang terjadi selama tahun 1950-1957

    adalah kelanjutan dari pola konflik antar partai politik pada masa sebelumnya.

    Ideologi yang bertentangan yang dianut oleh partai-partai politik merupakan

    faktor penyebab terjadinya konflik yang hebat antara partai-partai politik. Sulitnya

    partai-partai politik untuk bekerja sama dan tidak adanya partai mayoritas yang

    keluar sebagai pemenang dalam pemilu 1955 menjadikan stabilitas politik sangat

    bergantung pada koalisi partai yang sering berubah. Kehidupan politik dengan

    sistem multi partai ini berlangsung hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden pada

    tanggal 5 Juli 1959.

    Kondisi politik Indonesia yang tidak menentu pada tahun 1950-an

    karena konflik politik yang hebat merupakan bukti yang baik bagi pendapat

    Soekarno bahwa sitem Parlementer dan Multipartai tidak layak digunakan di

    Indonesia, maka mulai saat itu dilaksanakan penyederhanaan sistem kepartaian di

    Indonesia, khususnya dengan dikeluarkannya penetapan presiden (Penpres) No.

    7/1960 dan Peraturan Presiden (Perpres) No. 13/1960 yang mengatur pengakuan,

    pengawasan, dan pembubaran partai. Pada tanggal 17 agustus 1960 PSI dan

  • 29

    Masyumi dibubarkan. Dalam hal penyederhanaan partai, pada tanggal 14 April

    1961 diumumkan bahwa hanya sepuluh partai yang mendapatkan pengakuan,

    masing-masing adalah PNI, NU, PKI, PSII, Parkindo, partai katolik, Perti, Murba

    dan Partindo. Pada tanggal 21 September 1965 Partai Murba dibekukan oleh

    Presiden Soekarno. Namun memasuki Orde Baru, pada tanggal 7 Februari 1970

    Presiden Soeharto menyerukan kepada partai-partai agar dalam menghadapi

    pemilihan umum, partai-partai tetap menjaga stabilitas nasional dan kelancaran

    pembangunan, menghindari kesimpangsiuran dan perpecahan, dan memikirkan

    pengelompokan diri partai-partai, disamping adanya Golongan karya. Sebelum

    diselenggarakan pemilu tahun 1971, yakni pada tahun 1970, presiden Soeharto

    telah mengemukakan sarannya agar dilakukan pengelompokan partai sehingga

    organisasi politik yang ada dapat disederhanakan menjadi tiga kelompok, yaitu

    kelompok Nasionalis, kelompok Spiritual, dan Golongan karya.

    Penerimaan atas saran presiden ini merupakan keberhasilan baru dari

    gambaran keinginan jangka panjang Orde Baru tentang akan dilakukannya

    penyederhanaan sistem kepartaian dengan cara memperkecil jumlah partai, dan

    MPR yang dibentuk berdasarkan hasil pemilu 1971 berhasil diyakinkan untuk

    menggariskan perintah penyederhanaan partai politik dengan menegaskan bahwa

    pemilu tahun 1977 hanya akan diikuti oleh tiga kontestan . Berdasarkan isi

    ketetapan MPR tersebut pada tahun 1973 semua partai politik resmi melakukan

    fusi, dimana golongan spiritual menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

    sedangkan golongan Nasionalis menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

    Dengan demikian, pada pemilihan umum 1997 hanya diikuti dua partai politik

    yaitu PPP, PDI, dan Golongan Karya (Golkar). Dengan adanya fusi partai politik

    ini, maka akan dilihat pengaruhnya terhadap hasil pemilihan umum 1977.

  • 30

    BAB III

    METODOLOGI PENELITIAN

    a. Tempat dan Waktu Penelitian

    1. Tempat Penelitian

    Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis mengumpulkan data dengan

    metode studi pustaka. Studi pustaka merupakan suatu teknik pengumpulan data

    baik berupa dokumen, buku, karangan, tulisan, catatan, maupun sumber tertulis

    lain yang diperoleh dari museum-museum, perpustakaan, instansi pemerintahan,

    koleksi swasta maupun perorangan dan ditempat yang menyimpan dokumen-

    dokumen yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan (Dudung

    Abdurrahman, 1999: 55). Adapun perpustakaan yang digunakan untuk

    melaksanaan penelitian ini, antara lain:

    1. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta

    2. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas

    Maret Surakarta

    3. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu

    Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

    Sebelas Maret Surakarta

    4. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta

    5. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret

    Surakarta

    6. Perpustakaan Daerah Surakarta

    7. Kolese St. Ignatius Yogyakarta

    2. Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan mulai dari disetujuinya proposal skripsi

    hingga penulisan ini selesai, yaitu pada bulan Januari 2010 sampai bulan Juli

    2010.

    30

  • 31

    b. Metodologi Penelitian

    Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methode, yang berarti cara

    atau jalan, dan theodos yang berarti masalah. Jadi metode dapat diartikan menjadi

    cara atau jalan untuk menyelesaikan masalah. Sehubungan dengan karya ilmiah,

    maka metode menyangkut masalah-masalah, cara kerja untuk memahami obyek

    yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1983: 8).

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, yaitu

    kegiatan untuk mengumpulkan, menguji dan menganalisa data yang diperoleh dari

    peninggalan masa lampau. Dengan kata lain metode sejarah merupakan metode

    pemecahan masalah dengan menggunakan data dan peninggalan masa lalu untuk

    memahami keadaan masa sekarang dengan hubungannya dengan peristiwa-

    peristiwa masa lampau (Louis Gottschalk. 1975: 32)

    Menurut Hadari Nawawi (1998: 81), Metode sejarah adalah prosedur

    pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lampau atau peninggalan-

    peninggalan baik untuk memahami kejadian atau keadaan masa sekarang maupun

    untuk memahami dalam hubungannya dengan kejadian atau keadaan masa lalu.

    Sedangkan menurut Sartono Kartodirjo (1992: 37), Metode penelitian sejarah

    adalah prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa

    lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut.

    Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian

    ini dilakukan kegiatan mengumpulkan, menguji, menganalisa secara kritis

    mengenai data dan peninggalan-peninggalan masa lampau serta melakukan

    sintesa dan menyajikan dalam bentuk tulisan sejarah mengenai pemilu di

    Indonesia tahun 1977 (tentang fusi partai politik ).

    c. Sumber Data

    Sumber sejarah seringkali disebut sebagai data sejarah. data berasal

    dari bahasa latin yaitu datum yang berarti pemberitaan (Kuntowijoyo 1995:

    96) . Jadi sumber data sejarah adalah segala sesuatu yang langsung atau tidak

    langsung memberitahukan kepada sejarawan tentang sesuatu kenyataan atau

    kegiatan manusia pada masa lalu (Helius Sjamsuddin, 1996: 73). Sedangkan

  • 32

    menurut (Dudung Abdurrahman, 1999: 30), Data sejarah berarti bahan sejarah

    yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian sejumlah

    sumber yang tersedia pada dasarnya adalah data verbal, sehingga membuka

    kemungkinan bagi peneliti sejarah untuk memperoleh pengetahuan tentang

    berbagai hal. Adapun klasifikasi sumber sejarah dapat dibedakan menurut

    bahannya, asal-usul atau urutan penyampaiannya, dan tujuan sumber itu dibuat.

    Sumber sejarah menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua yaitu tertulis dan

    tidak tertulis. Sedangkan sumber-sumber menurut penyampaiannya dapat

    dibedakan menjadi sumber primer dan sekunder. Dan menurut tujuannya sumber-

    sumber dapat pula dibagi atas sumber-sumber formal dan informal.

    Sumber yang dipakai dalam penelitian ini adalah sumber tertulis.

    Sumber tertulis dibagi menjadi sumber tertulis primer dan sekunder. Sumber

    tertulis primer yaitu sumber yang autentik atau sumber yang ditulis dari tangan

    pertama tentang permasalahan yang akan diungkapkan. Sumber tertulis sekunder

    yaitu sumber yang ditulis oleh orang yang tidak terlibat langsung dari peristiwa

    yang dikisahkan. Sumber tertulis berupa buku, majalah, dan surat kabar (Nugroho

    Notosusanto, 1979: 26). Sedangkan Menurut Louis Gottschalk (1975: 35),

    Sumber primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri

    atau saksi dengan panca indera yang lain, atau dengan alat mekanis seperti

    diktafon, yakni orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritaannya.

    Sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari siapapun yang bukan

    merupakan saksi pandangan mata yakni seorang yang tidak hadir pada peristiwa

    itu.

    Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa arsip dan

    dokumen antara lain : Kedaulatan Rakyat, edisi 4 Januari 1973. Kedaulatan

    Rakyat, edisi 6 Februari 1973. Kompas, edisi 22 Februari 1973. Kompas, edisi 6

    Januari 1973. Sinar Harapan, edisi 2 Mei 1977. Suara Merdeka, edisi 8 Januari

    1973. Sedangkan sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara

    lain : buku yang berjudul Dasar-dasar Ilmu Politik , karangan Miriam Budiardjo.

    Strategi Politik Nasional karangan Ali Moertopo. Pembangunan Politik Dalam

    Negara Indonesia karangan Amir Machmud. Sistem Politik Indonesia, karangan

  • 33

    Arifin Rahman. Masalah dan Prospek Demokrasi Di Indonesia, karangan Eep

    Saefulloh Fattah. Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru, karangan Eep

    Saefulloh Fattah. The Indonesian Election Of 1955, karangan Herbert Feith. Inti

    Pengetahuan Pemilihan Umum, karangan C. S. T. Kansil. Partai Politik dan

    Golkar, karangan C. S. T. Kansil. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi),

    karangan Miriam Budiardjo. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, karangan

    Moh. Mahfud. Perbandingan Sistem Politik, karangan Mohtar Masoed dan Colin

    Mac Andrews. Politik Kewarganegaraan, Landasan Demokratisasi di Indonesia,

    karangan Muhammad A.S Hikam. Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Sebuah

    Potret Pasang Surut, karangan Rusli Karim. Menggugat Pemilihan Umum Orde

    Baru. karangan Syamsuddin Haris dkk . Konsesus Politik, karangan Maswadi

    Rauf. Sejarah Nasional VI, karangan Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho

    Notosusanto.

    d. Teknik Pengumpulan Data

    Dalam metode sejarah, teknik pengumpulan data disebut heuristik.

    Pengumpulan data (heuristik) merupakan bagian penting dalam suatu penelitian.

    Berdasarkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, maka dalam

    melakukan pengumpulan data digunakan teknik studi pustaka. Teknik studi

    pustaka adalah metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk

    memperoleh data dan fakta sejarah, dengan cara membaca buku-buku literatur,

    majalah, dokumen atau arsip, surat kabar, atau brosur yang tersimpan dalam

    perpustakaan (Koentjoroningrat, 1983: 3). Dalam penelitian ini, langkah-langkah

    yang dilakukan penulis dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut : (1)

    Mengumpulkan buku-buku, majalah, surat kabar, yang relevan dengan masalah

    yang diteliti. (2) Membaca dan mencatat sumber-sumber data yang dibutuhkan

    baik itu sumber primer maupun sumber sekunder. (3) Memfotokopi dan mencatat

    literatur perpustakaan yang dianggap penting dan relevan dengan masalah yang

    diteliti.

    e. Teknik Analisis Data

    Proses analisis data sangat penting dalam menentukan kualitas data

    penelitian sejarah. Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara

  • 34

    sistematis baik yang berupa sumber primer maupun sumber sekunder. Dalam

    penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data sejarah yaitu analisis

    yang mengutamakan ketajaman dan kekuatan di dalam menginterpretasikan data

    sejarah. Interpretasi dilakukan karena fakta sejarah tidak dapat berbicara sendiri.

    Kategori dari fakta-fakta sejarah mempunyai sifat-sifat yang kompleks, sehingga

    suatu fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri. Oleh

    karena itu fakta-fakta yang diperoleh harus dirangkaikan dengan fakta-fakta yang

    lain sehingga menjadi satu kesatuan yang urut dan memiliki makna (Louis

    Gottschalk, 1975: 95).

    Fakta merupakan bahan utama sejarawan dalam menyusun historiografi.

    Fakta itu hasil pemikiran para sejarawan sehingga fakta yang terkumpul

    mengandung subyektivitas. Setiap fakta yang terekonstruksikan oleh sejarawan

    akan menghasilkan konstruksi. Setiap konstruksi mengandung unsur-unsur dari

    penyusunan konstruksi tersebut, sehigga dalam menganalisis diperlukan konsep

    seperti penyeleksian, pengidentifikasian (Sartono kartodirdjo, 1992: 92). Dengan

    demikian tujuan analisis data dalam penelitian sejarah adalah untuk melakukan

    sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan

    bersama-sama dengan teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang

    menyeluruh (Dudung Abdurrahman, 1999: 64)

    Kegiatan menganalisis data sejarah di dalam penelitian ini adalah

    sebagai berikut : (1) Kritik ekstern yaitu menganalisis fisik sumber data sejarah

    tertulis untuk mendapatkan data sejarah yang otentik atau asli. Analisis sumber

    data sejarah tertulis dilakukan dengan menyeleksi bentuk sumber data sejarah

    tertulis berupa buku-buku literatur dan surat kabar yang berkaitan dengan tema

    penelitian. Berbagai bentuk sumber data tertulis tersebut dikelompokkan apakah

    termasuk jenis primer atau sekunder. Kedua jenis data tersebut diidentifiksikan

    mengenai penulis atau pengarang sumber data tertulis tersebut, tahun dan tempat

    penulisan atau penerbitan, dan orisinalitas apakah asli ditulis oleh penulis sumber

    data tersebut atau bukan. (2) Kritik intern yaitu menganalisis isi sumber data

    sejarah tertulis untuk mendapatkan data sejarah yang kredibel dan reliable.

    Analisis sumber data tertulis dilakukan dengan cara mengidentifikasi gaya, tata

  • 35

    bahasa, dan ide yang digunakan penulis, kecenderungan politik dan pendidikan

    penulis, siasat disaat penulisan, dan tujuan penulis dalam mengemukakan

    peristiwa yang berkaitan dengan tema pemilihan umum di Indonesia tahun 1977

    tentang fusi partai politik. Kemudian isi dan pernyataan penulis sumber data yang

    satu dibandingkan dengan isi dan pernyataan penulis sumber data yang lain.

    Berdasarkan seleksi data tersebut dihasilkan fakta. (3) Interpretasi fakta dilakukan

    dengan menghubungkan antara fakta yang satu dengan yang lain. Fakta-fakta

    tersebut ditafsirkan, diberi makna, dan ditemukan arti yang sebenarnya, sehingga

    makna tersebut dapat dipahami sesuai dengan pemikiran yang relevan, logis, dan

    berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. Fakta sejarah yang sudah ditemukan

    dihubungkan dengan konsep atau teori sebagai alat analisis.

    f. Prosedur Penelitian

    Prosedur penelitian adalah langkah-langkah yang dilakukan peneliti

    sebelum menghasilkan sebuah penelitian yang diharapkan. Prosedur penelitian

    tampak pada skema sebagai berikut:

    Keterangan:

    1. Heuristik

    Heuristik berasal dari kata Yunani heurishein yang berarti memperoleh.

    Heuristik merupakan kegiatan menghimpun jejak-jejak sejarah masa lampau

    dengan cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak dan sumber tidak

    tertulis serta sumber yang relevan dengan penelitian ini (Nugroho Notosusanto,

    1978: 36). Sedangkan menurut Helius Sjamsuddin (1996: 99), Heuristik adalah

    Heuristik Kritik

    Sumber

    Fakta Sejarah

    Interpretasi Historiografi

  • 36

    pengumpulan sumber-sumber sejarah. Pada tahap ini peneliti berusaha untuk

    menemukan sumber-sumber bagi penelitian yang hendak diteliti. Dalam tahap ini

    hal pertama yang dilakukan adalah pengumpulan data dengan mengadakan studi

    tentang buku-buku literatur yang tersimpan di perpustakaan.

    2. Kritik Sumber

    Setelah sumber sejarah terkumpul, tahap berikutnya adalah melakukan

    kritik sumber yaitu untuk memperoleh keabsahan tentang keaslian sumber (kritik

    ekstern) dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kritik intern) (Dudung

    Abdurrahman, 1999: 58). Dengan langkah-langkah:

    a. Kritik sumber ekstern

    Kritik ekstern yaitu kritik terhadap keaslian sumber (otentitas) yang

    berkenaan dengan segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan, seperti : bahan

    (kertas atau tinta) yang digunakan, jenis tulisan, gaya bahasa, hurufnya, dan segi

    penampilan yang lain. Uji otentik minimal dilakukan dengan pertanyaan kapan, di

    mana, bahan apa serta bentuknya bagaimana sumber itu dibuat (Dudung

    Abdurrahman, 1999: 59). Fungsi kritik ekstern adalah memeriksa sejumlah

    sumber atas dua butir pertama dan menegakkan sedapat mungkin otensitas dan

    integritas sumber itu (Helius Syamsuddin, 1996: 105). Adapun yang dimaksud

    dengan kritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal-usul sumber, suatu

    pemeriksaan terhadap catatan dan peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan

    semua informasi yang mungkin, dan tidak untuk mengetahui sejak asal mulanya

    sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak. Kritik ekstern dalam

    penelitian ini dilakukan dengan menyeleksi sumber data sejarah tertulis berupa

    buku-buku literatur, surat kaba