Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis
-
Upload
satrio-arismunandar -
Category
News & Politics
-
view
555 -
download
0
description
Transcript of Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis
1
Pemikiran Politik Plato
Ditinjau dari Filsafat Politik
Demokratis
Tugas mata kuliah Sejarah Filsafat Yunani sebagai pengganti UTS
Semester Ganjil 2008/2009
Dosen: Vincensius Y. Jolasa, Ph.D
Oleh: Satrio Arismunandar
NPM: 0806401916
Program S3 Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia
Desember 2008
2
I. Pengantar
Plato (428 – 7 SM) adalah salah satu filsuf Yunani yang terkemuka. Murid
dari Socrates dan guru dari Aristoteles ini diakui karena karya pemikirannya, yang
sangat berpengaruh pada tradisi pemikiran filsafat Barat. Bahkan, sampai hampir
2.500 tahun sejak zaman Plato hidup, pemikiran Plato yang sangat luas dan mencakup
berbagai bidang, masih menjadi bahan kajian.
Meskipun pemikiran kontemporer sekarang sudah sangat berkembang, dan
sejumlah pemikiran Plato terkesan sudah ketinggalan zaman, beberapa isu yang
diangkat Plato masih dirasakan relevan dengan konteks zaman sekarang, termasuk
bagi kita yang tinggal di Indonesia.
Pemikiran Plato, bersama Socrates, Aristoteles, dan beberapa filsuf Yunani
kuno lain telah menjadi humus atau benih-benih awal, yang di atasnya tumbuh
berbagai pemikiran baru, yang mewarnai berbagai pemikiran umat manusia
sesudahnya.
Salah satu karya monumental Plato adalah The Republic, yang dalam bahasa
Yunani artinya ―sistem politik.‖ Karya ini ditulis kira-kira pada 380 SM, dan
dipandang sebagai salah satu karya filsafat dan teori politik yang paling berpengaruh.
Ini juga merupakan karya Plato yang paling terkenal.
Plato menghasilkan sejumlah karya, yang berkaitan dengan filsafat politik,
seperti Republic, Statesman, dan Laws. Namun, Republic adalah pusat dari filsafat
politik Plato. Karena, karya-karya Plato yang lain --seperti Apology, Charmides,
Crito, Euthydemus, Gorgias, Protagoras, dan Menexenus—bisa dipahami dengan
melihat hubungannya pada teks utama di Republic.
Makalah ini mencoba mengangkat sejumlah pemikiran Plato di bidang politik.
Untuk menyederhanakan dan memudahkan pembahasan, pemikiran Plato yang diulas
di sini dibatasi pada topik-topik tertentu. Pemikiran Plato itu akan dianalisis dengan
membandingkannya pada pemikiran tokoh-tokoh lain, serta coba ditempatkan dalam
konteks masa kini.
Dalam membahas pemikiran Plato, penulis menggunakan pendekatan filsafat
politik. Filsafat politk pada hakikatnya menuntut agar segala klaim (legitimate
authority) atas hak untuk menata masyaraksat (yang dimiliki oleh Pemerintah Negara)
dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal dan hati kemanusiaan.
3
Pertanggungjawaban publik (accountability) mrerupakan perwujudan dari tanggung
jawab rasional atas kekuasaan.
Legitimasi politik di sini tidak selalu sama dengan legitimasi moral (etis-
filosofis). Legitimasi politik dapat dipahami sebagai legitimasi sosial (sosiologis)
yang telah mengalami proses artikulatif dalam institusi-institusi politik yang
representatif. Sedangkan legitimasi moral (etis) mempersoalkan keabsahan wewenang
kekuasaan politik dari segi norma-normal moral, bukan dari segi kekuatan politik riil
yang ada, dan bukan pula atas dasar ketentuan hukum (legalitas) tertentu.
II. Riwayat Singkat Plato
Plato lahir di Athena pada 428 SM. Sampai Plato mencapai usia pertengahan
20-an, Athena terlibat dalam perang dan konflik militer yang panjang melawan
Sparta, yang dikenal dengan Perang Peloponnesia.
Plato berasal dari kalangan keluarga terpandang. Ayahnya adalah keturunan
Codrus, salah satu dari raja-raja pertama Athena. Sedangkan ibunya adalah keturunan
Solon, tokoh terkemuka yang mereformasi konstitusi Athena. Jadi, Plato secara
alamiah diposisikan untuk berperan aktif dalam kehidupan politik. Namun, sayangnya
hal ini tak pernah terjadi.
Walaupun berharap bisa memainkan peran signifikan dalam komunitas
politiknya, Plato terus-menerus merasa tersisihkan. Sebagaimana diungkapkan dalam
otobiografinya Seventh Letter, Plato tidak dapat mengidentifikasikan dirinya dengan
partai politik mana pun yang ada saat itu atau dengan rezim-rezim korup yang terus
berganti. Setiap rezim itu membuat kedudukan Athena semakin merosot.
Plato adalah murid Socrates, yang dipandang Plato sebagai orang paling adil
dan bermoral di masanya. Socrates adalah juga orang yang paling banyak memberi
pengaruh pada Plato dalam pemikiran filsafat.
III. Karya Plato, Republic
Karya Plato, Republic, secara umum terbagi jadi tiga bagian. Bagian pertama
(Buku I sampai hampir ke akhir Buku V) berisi tentang pembentukan sebuah
komunitas persemakmuran yang ideal. Ini adalah bagian yang paling awal dari
Utopia. Salah satu kesimpulannya adalah penguasa ideal haruslah seorang filsuf.
4
Karena filsuf dipandang sebagai figur yang paling ideal untuk jadi penguasa,
Buku VI dan VII berkaitan dengan definisi kata ―filsuf‖ itu sendiri. Diskusi ini
merupakan bagian yang kedua. Sedangkan bagian ketiga terutama berisi diskusi
tentang berbagai macam bentuk pemerintahan praktis, dengan berbagai kelebihan dan
kekurangannya.
Tujuan nominal Republic adalah untuk merumuskan ―keadilan.‖ Namun, pada
tahapan awal, diputuskan bahwa –karena lebih mudah melihat hal yang besar
ketimbang hal kecil-- adalah lebih baik untuk menyelidiki apa yang membuat sebuah
Negara bisa adil, ketimbang apa yang membuat seorang individu bisa adil.
Karena keadilan harus menjadi salah satu atribut bagi Negara terbaik yang
bisa dibayangkan, atribut-atribut Negara semacam itu pertama-tama harus dipaparkan.
Kemudian harus diputuskan, yang mana dari sekian ciri kesempurnaannya itu yang
disebut ―keadilan.‖
3.1.Tiga Kelas Warganegara
Plato memulai dengan menetapkan bahwa warganegara dibagi dalam tiga
kelas: rakyat biasa, prajurit, dan wali (guardian). Hanya wali yang memiliki
kekuasaan politik. Jumlah wali ini amat sedikit, jika dibandingkan dua kelas lainnya.
Untuk yang pertama, tampaknya mereka dipimpin oleh para pembuat undang-undang
(legislator).
Sesudah itu, biasanya mereka akan digantikan berdasarkan keturunan darah
(heredity). Namun, dalam kasus-kasus perkecualian, seorang anak yang menjanjikan
mungkin saja dipromosikan dari salah satu kelas bawah. Sebaliknya, di antara anak-
anak wali, mungkin saja ada satu dua anak yang tidak memuaskan, sehingga
diturunkan.
Problem utama sistem ini adalah bagaimana memastikan bahwa para wali
akan benar-benar melaksanakan maksud-maksud para legislator. Untuk tujuan ini, ia
memiliki berbagai proposal, pendidikan, ekonomi, biologis, dan religius. Tidak begitu
jelas seberapa jauh proposal-proposal ini diberlakukan ke kelas-kelas lain selain wali.
Jelas bahwa sebagian dari proposal itu berlaku bagi para prajurit. Namun,
secara umum Plato hanya memperhatikan kaum wali, yang harus menjadi kelas
terpisah, seperti kaum Jesuit di Paraguay kuno, kaum eklesiastik di Negara Gereja
sampai 1870, dan Partai Komunis di Uni Soviet.
5
Plato mengasumsikan kaum wali ini adalah para filsuf, orang-orang yang arif
bijaksana, yang tidak mementingkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, mereka bukan
saja layak diistimewakan, tetapi memang sudah seharusnya demikian demi kebaikan
seluruh masyarakat.
3.2. Format Pendidikan
Dalam kaitan pembentukan dan keberlangsungan kaum wali tersebut, hal
pertama yang dipertimbangkan Plato adalah pendidikan. Pendidikan ini dibagi dalam
dua bagian: gimnastik dan musik. Gimnastik dan musik di sini memiliki arti yang
lebih luas dari pengertian zaman sekarang.
―Musik‖ berarti segala sesuatu yang berada di bawah asuhan muses1, dan
―gimnastik‖ berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan pelatihan dan kebugaran
fisik. ―Musik‖ hampir sama luasnya dengan yang sekarang kita sebut ―budaya,‖
sedangkan ―gimnastik‖ lebih luas dari yang sekarang kita sebut sebagai ―atletik.‖
Budaya harus didedikasikan untuk membentuk orang menjadi gentlemen,
dalam arti yang mirip dengan di England (Inggris).2 Orang Athena pada zamannya,
dalam arti tertentu, mirip dengan England pada abad ke-19. Di masing-masing tempat
itu terdapat aristokrasi (kaum bangsawan) yang menikmati kemakmuran dan gengsi
sosial, namun tidak memiliki monopoli terhadap kekuasaan politik.
Masing-masing aristokrasi itu harus meraih kekuasaan sebanyak mungkin
dengan cara menunjukkan perilaku yang mengesankan. Dalam Utopia Plato, kaum
aristokrat ini berkuasa tanpa kontrol pengimbang.
Martabat, kepatutan, dan keberanian tampaknya adalah kualitas-kualitas yang
coba ditumbuhkan lewat pendidikan. Pelatihan tubuh untuk siswa harus sangat keras.
Tak seorang pun boleh makan ikan atau daging, yang dimasak selain dengan
dipanggang. Juga, tidak ada saus atau makanan kecil tambahan. Dengan demikian,
orang yang dibesarkan di resimennya tak akan memerlukan dokter, kata Plato.
Sampai usia tertentu, kaum muda tidak boleh melihat hal-hal yang buruk.
Namun, pada saat yang tepat, mereka harus diekspos terhadap ―pikatan,‖ baik dalam
bentuk teror yang tidak boleh membuat mereka gentar, dan kenikmatan buruk yang
1 Dewi-dewi Yunani kuno yang masing-masing membawahi seni atau ilmu pengetahuan tertentu.
2 Gentleman adalah orang yang berperilaku baik terhadap orang lain, bisa dipercaya omongannya, dan
bersikap dengan penuh martabat.
6
tidak boleh menggoda kemauan mereka. Jika mereka sanggup menahan ujian ini,
barulah mereka dinilai pantas menjadi wali-wali. Pemuda, sebelum mereka tumbuh
dewasa, harus pernah melihat perang, walau tidak harus ikut berperang.
3.3. Pembatasan Seni dan Drama
Ada sensor ketat sejak tahun-tahun pertumbuhan paling dini, tentang bacaan
yang boleh diakses, dan tentang musik yang boleh didengar oleh kaum muda. Para
ibu dan perawat hanya boleh menceritakan kisah-kisah tertentu pada anak-anak
mereka.
Kisah Homer dan Hesiod tidak diizinkan, karena alasan tertentu. Pertama,
cerita itu menampilkan kisah dewa-dewa yang terkadang berperilaku buruk, yang
tidak mendidik. Orang muda diajar bahwa kejahatan tidak pernah datang dari dewa-
dewa, karena dewa hanya menciptakan hal-hal yang baik.
Kedua, ada hal-hal di dalam Homer dan Hesiod yang diduga akan membuat
para pembaca takut pada kematian, padahal segala sesuatu diberikan lewat pendidikan
untuk kaum muda, agar bersedia mati di medan perang. Ketiga, kepantasan menuntut
orang tidak boleh tertawa keras. Padahal Homer termasuk yang suka banyak tertawa
di antara para dewa lainnya.
Keempat, ada kalimat-kalimat di Homer yang memuji pesta makan yang
berlebihan, dan yang lain menggambarkan hasrat berahi dewa-dewa. Kalimat itu
mengecilkan sikap menahan diri. Juga tidak boleh ada cerita di mana pihak yang jahat
berbahagia, sedangkan yang baik malah tidak bahagia. Dampak moralnya terhadap
pikiran-pikiran kaum muda yang lembut, dianggap mungkin tidak menguntungkan.
Plato membuat pernyataan yang menarik tentang pertunjukan drama. Orang
baik, katanya, harus menolak meniru orang buruk. Saat itu sebagian besar drama
berisi peran-peran jahat. Karena itu, dramawan dan aktor yang memainkan peran-
peran jahat harus meniru orang yang bersalah karena melakukan berbagai kejahatan.
Bukan hanya peran kriminal. Laki-laki yang unggul juga tidak boleh meniru
perempuan, budak, dan kalangan bawah umumnya. Karena itu, jika drama diizinkan
sepenuhnya, ia tidak boleh memainkan karakter apapun kecuali tokoh pahlawan laki-
laki yang tak pernah salah, dan lahir dari keturunan yang baik. Ketidakmungkinan hal
ini begitu terbukti, sehingga Plato memutuskan melarang semua pemain drama dari
kota idealnya.
7
Soal sensor terhadap musik (dalam pengertian modern) juga diberlakukan.
Harmoni atau musik Lydia dan Ionia dilarang, karena mengekspresikan kesedihan,
dan karena menimbulkan kesantaian. Hanya musik Doria (mengekspresikan
keberanian) dan Phrygia (menyerukan sikap menahan diri) yang diizinkan. Jenis
musik yang diizinkan harus sederhana, atau yang mengekspresikan keberanian dan
kehidupan yang harmonis.
3.4. Ekonomi dan “Komunisme”
Sedangkan untuk bidang ekonomi, Plato mengusulkan penerapan
―komunisme‖ yang menyeluruh bagi para wali. Mereka hanya boleh memiliki rumah-
rumah kecil dan makanan sederhana. Mereka harus hidup di dalam kemah atau tempat
tinggal sementara, makan bersama-sama, dan tak boleh memiliki harta milik pribadi
melebihi kebutuhan yang betul-betul tak bisa ditinggalkan.
Emas dan perak dinyatakan terlarang. Walaupun tidak kaya, tak ada alasan
mengapa mereka tak bisa berbahagia. Namun tujuan kota ideal Plato ini adalah
kebaikan bagi semua orang, bukan kebahagiaan satu kelas saja. Baik kemakmuran
ataupun kemiskinan sama-sama merusak, dan di dalam kota Plato tak ada satu pun
dari dua hal itu yang boleh ada.
―Komunisme‖ ini kemudian diterapkan ke keluarga. Teman-teman harus
memiliki segala sesuatu bersama-sama, termasuk perempuan dan anak-anak. Hal ini
diakui Plato memang akan menimbulkan kesulitan, namun bukannya tak bisa diatasi.
Pertama, para gadis harus mendapat pendidikan yang persis sama seperti
pemuda, termasuk belajar musik, gimnastik, dan seni peang bersama pemuda. Kaum
perempuan harus memiliki kesamaan sepenuhnya dengan laki-laki dalam segala hal.
―Pendidikan yang sama, yang membuat pria jadi wali yang baik, juga akan
membuat perempuan jadi wali yang baik; karena hakikat asal mereka adalah sama,‖
kata Plato. Tentu saja ada perbedaan antara pria dan wanita, namun perbedaan itu tak
ada kaitannya dengan politik. Beberapa perempuan bersifat filosofis, dan cocok
menjadi wali. Beberapa lainnya suka perang, dan bisa jadi prajurit yang baik.
Legislator, sesudah memilih wali-wali yang terdiri dari beberapa pria dan
wanita, akan mentahbiskan bahwa mereka akan berbagi rumah dan makanan bersama.
Lembaga perkawinan, sebagaimana yang kita kenal sekarang, diubah secara radikal
8
oleh Plato. Para perempuan ini, tanpa perkecualian, akan menjadi istri bersama para
pria, dan tak seorang pun yang boleh memiliki istri untuk dirinya sendiri.
Pada festival-festival tertentu, mempelai pria dan mempelai wanita, dalam
jumlah tertentu yang ditetapkan untuk menjaga populasi tetap konstan, akan dipasang-
pasangkan lewat ―undian.‖ Namun, sebenarnya para penguasa kota akan
memanipulasi undian itu atas prinsip ilmu untuk ―memperbaiki keturunan.‖ Mereka
akan mengatur agar ayah terbaik akan memiliki banyak anak.
Semua anak itu akan dipisahkan dari orangtuanya sejak lahir, dan akan
diperhatikan dengan sungguh-sungguh agar orangtua tidak tahu yang mana anak
mereka sebenarnya, dan juga tak ada anak yang tahu siapa orang tuanya sebenarnya.
Anak yang cacat, dan anak-anak dari orangtua yang inferior, ―akan dibawa pergi ke
tempat sepi yang misterius, sebagaimana sepatutnya.‖
Anak-anak yang tidak dibesarkan dari kumpulan yang dilakukan Negara
dianggap tidak sah. Para ibu akan berumur antara 20 sampai 40 tahun, sedangkan para
ayah antara 25 dan 55 tahun. Di luar umur ini, hubungan seks dibebaskan, namun tak
boleh melahirkan anak (aborsi atau pembunuhan bayi adalah kewajiban). Dalam
―perkawinan‘ yang diatur Negara, orang tidak punya suara. Mereka harus digerakkan
oleh pikiran tentang kewajiban kepada Negara, tidak oleh emosi umum yang biasa
dirayakan oleh para penyair.
Karena tak seorangpun tahu siapa orangtuanya, dia harus memanggil setiap
orang yang umurnya kira-kira setara umur ayahnya dengan sebutan ―ayah‖. Hal
semacam itu juga diterapkan untuk ―ibu,‖ ―saudara laki-laki‖, dan ―saudara
perempuan.‖ Tak boleh ada perkawinan antara ―ayah‖ dan ―anak perempuan‖ atau
antara ―ibu‖ dan ―anak laki-laki.‖ Secara umum, namun tidak mutlak, perkawinan
antara ―saudara laki-laki‖ dan ‗saudara perempuan‖ juga dicegah.
Sentimen yang terkait dengan sebutan ―ayah,‖ ―ibu,‖ ―anak laki-laki‖, dan
―anak perempuan‖ dianggap akan tetap melekat pada nmereka di bawah pengaturan
baru Plato. Seorang pemuda, misalnya, tidak akan memukul orang tua, karena dia
mungkin akan memukul ayahnya sendiri.
Keuntungan yang dicari dari pengaturan ini adalah meminimalisir emosi
posesif perseorangan, dan dengan begitu menghilangkan hambatan ke arah dominasi
semangat publik (kepentingan umum). Juga, untuk memudahkan memperoleh
kesepakatan, karena tidak-adanya kepemilikan pribadi.
9
3.5. Kebohongan, Mitos, dan Hak Prerogatif Pemerintah
Ada beberapa mitos yang diajarkan Plato. Berbohong, misalnya, dianggap
Plato sebagai hak prerogatif pemerintah, sebagaimana hak memberi obat bagi para
dokter. Pemeritah boleh mengecoh orang, dengan pura-pura mengatur pernikahan
lewat undian. Namun, ini bukan soal religius.
Ada jenis ―kebohongan terhormat‖ yang --Plato berharap-- mungkin bisa
mengecoh penguasa, namun pastinya kebohongan ini akan mengecoh warga kota lain.
Bagian terpenting dari ini adalah dogma bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam
tiga jenis: manusia yang terbaik dibuat dari emas, yang kedua terbaik dari perak, dan
yang biasa terbuat dari kuningan dan besi.
Mereka yang terbuat dari emas pantas jadi wali; yang terbuat dari perak harus
jadi prajurit; dan yang lain harus melakukan pekerjaan kasar. Biasanya, anak-anak
akan dimasukkan ke golongan yang sama seperti orangtuanya. Jika ternyata tidak
demikian, mereka harus dipromosikan atau diturunkan sesuai kadar kapasitas dirinya.
Plato beranggapan, meski awalnya sulit membuat generasi awal untuk percaya
pada mitos-mitos itu, namun generasi-generasi berikutnya akan begitu ―terdidik‖
sehingga tidak akan meragukannya. Yang tampaknya tak disadari Plato waktu itu
adalah mengajarkan mitos-mitos semacam itu tidak cocok dengan filsafat, dan
melibatkan pendidikan yang menghambat kecerdasan.
3.6. “Keadilan” Menurut Plato
Definisi ―keadilan‖, yang merupakan tujuan nominal dari seluruh diskusi,
tercapai di buku IV. Keadilan itu terwujud ketika setiap orang melakukan
pekerjaannya dan tidak mencampuri urusan orang lain. Kota ini adil ketika pedagang,
pembantu/pendukung, dan wali, masing-masing menjalankan tugasnya sendiri tanpa
mencampuri urusan warga dari kelas lain.
Pengertian kata ―keadilan‖ dalam bahasa Yunani di buku Plato punya arti
yang berbeda, dan tak ada padanannya untuk terjemahan yang pas. Untuk
memahaminya, kita perlu melihat ke teori atau pandangan orang Yunani kuno tentang
alam semesta, yang mungkin bisa kita sebut bersifat religius atau etis.
Menurut teori ini, setiap orang dan segala sesuatu memiliki tempat dan peran
tersendiri yang ditetapkan untuknya. Kondisi ini tidak tergantung pada persetujuan
10
Zeus (dewa tertinggi), karena Zeus sendiri juga terikat pada aturan hukum alam yang
sama. Teori ini berkaitan dengan ide tentang takdir atau ketundukan pada kenyataan.
Hukum ini juga berlaku untuk benda-benda ruang angkasa.
Namun, di mana ada tenaga, di sana ada kecenderungan untuk melanggar
batasan itu; maka muncullah percekcokan. Semacam hukum super-Olympia
impersonal yang menghukum kepongahan, dan memulihkan tatanan abadi yang coba
dilanggar oleh pihak agresor. Cara pandang keseluruhan ini mungkin tanpa sadar
menyusup ke filsafat. Cara pandang ini adalah sumber kepercayaan dalam hukum
alam dan hukum manusia, dan ini jelas menggarisbawahi konsep Plato tentang
keadilan.
Kata ―keadilan,‖ sebagaimana yang tetap digunakan di dalam hukum, lebih
pas dengan konsep Plato ketimbang yang digunakan dalam spekulasi politik. Di
bawah pengaruh teori demokratis, kita telah mengasosiasikan keadilan dengan
persamaan (equality), sedangkan bagi Plato keadilan tidak memiliki implikasi
semacam itu.
―Keadilan‖ dalam pengertian di mana ia hampir sinonim dengan ―hukum‖ –
ketika kita bicara tentang ―mahkamah pengadilan‖—memperhatikan terutama hak-
hak kepemilikan, yang tak ada hubungannya dengan persamaan. Hal pertama yang
dikaitkan dengan ―keadilan‖ pada permulaan Republic terdiri dari soal membayar
utang. Definisi ini segera ditinggalkan karena tidak memadai, namun masih tersisa
sebagian.
IV. Pembahasan tentang Pemikiran Politik Plato
4.1. Pemerintahan Para Filsuf
Dari sebagian besar karya Plato, terlihat bahwa pemikiran politik Plato sangat
jauh dari asumsi-asumsi yang dianggap sentral bagi tradisi pemikiran liberal dan
demokratis. Padahal tradisi liberal dan demokratis ini sendiri justru yang sekarang
mendominasi filsafat politik.
Plato jelas mengeritik kesetaraan demokratis dan kebebasan dalam Republic
Buku VIII. Kritik serupa terlihat di Buku VI, dalam analogi antara kewarganegaraan
dan keterampilan kelautan, sebuah tema yang dielaborasi lewat investigasi
keterampilan politik di Statesman.
11
Orang harus berusaha dengan susah payah, untuk menemukan sikap ramah
Plato terhadap hal-hal seperti kesetaraan umat manusia, kebebasan kesadaran, hak
partisipasi dalam politik, pemerintahan terbatas, saluran konstitusional, dan
sebagainya. Ide-ide utama Plato adalah: pemerintahan oleh filsuf, penghapusan
institusi keluarga dan harta milik, dan kebohongan terhormat (noble lies).
Dengan memberi perlakuan istimewa pada satu kelompok tertentu untuk
berkuasa –yakni, kaum wali dan para filsuf—jelas pilihan Plato ini bertentangan
dengan semangat kebebasan dan demokratis, yang menuntut kesetaraan bagi seluruh
warganegara.
Bolehnya pemerintah atau penguasa berbohong kepada rakyat, dengan
menciptakan mitos-mitos palsu, dan menjejalkannya kepada generasi muda lewat
indoktrinasi di lembaga-lembaga pendidikan, juga tidak bisa diterima dalam tradisi
pemikiran demokratis.
Di Amerika dan sejumlah negara Eropa, ada hak warganegara untuk
memperoleh informasi yang benar. Pemberian informasi yang keliru secara sengaja
kepada warganegara akan dipandang sebagai pelanggaran etika plitik, dan secara
moral tak bisa diterima. Kasus Presiden George W. Bush, yang membohongi rakyat
Amerika tentang adanya senjata pemusnah massal di Irak, sebagai dalih untuk invasi
militer ke Irak, sampai saat ini terus nenuai kecaman pedas.
Selain itu, institusi pendidikan yang sengaja difungsikan untuk mengajarkan
kebohongan, bukan saja bertentangan dengan hak-hak demokratis warga, tetapi juga
bertentangan dengan semangat ilmu filsafat untuk mencari kebenaran.
Meski demikian, pemerintahan oleh para filsuf bukanlah sesuatu ide yang
mustahil diwujudkan. Republik Plato, tidak seperti Utopia-Utopia modern, tampaknya
dimaksudkan untuk betul-betul terwujud. Pada masa itu, mungkin impian Plato ini
tidak sefantastis yang kita bayangkan, jika melihat contoh yang sudah dilakukan
Sparta. Kekuasaan oleh para filsuf telah diusahakan oleh Pythagoras. Di zaman Plato,
Archytas yang menuruti ajaran Pythagoras juga secara politik berpengaruh di wilayah
Taras, ketika Plato mengunjungi Sicily dan Italia selatan.
Adalah praktik umum bagi kota-kota waktu itu untuk mempekerjakan seorang
bijak (filsuf) untuk merancang undang-undang mereka. Solon telah melakukan hal ini
untuk orang Athena, dan Protagoras untuk Thurii. Koloni-koloni pada masa itu
sepenuhnya bebas dari kendali kota-kota induknya, dan kondisi itu akan cukup
12
memungkinkan bagi sekelompok penganut ajaran Plato untuk mendirikan Republik
(dengan pemerintahan para filsuf) di pesisir Spanyol atau Gaul.
Sayangnya, Plato kebetulan justru pergi ke Syracuse, sebuah kota perdagangan
yang terlibat dalam perang berkepanjangan dengan Carthage. Dalam atmosfir
semacam itu, tak seorang filsuf pun yang bisa mencapai banyak hal. Pada generasi
berikutnya, bangkitnya Macedonia membuat semua negara kecil jadi usang, dan
menyebabkan kerapuhan pada setiap eksperimen politik dalam versi miniatur.
Patut dicatat, pemikiran politik Plato sendiri sebenarnya juga mengalami
pergeseran. Dalam karyanya Laws, misalnya, Plato kemudian bersikap lebih ramah
pada demokrasi, karena ia mengadopsi metafisika tentang nilai, yang mengakui
sumber-sumber epistemologis dari kalangan non-filsuf.
4.2. Masyarakat “Komunisme” yang Sama-Rata dan Sama-Rasa
Gagasan Plato tentang masyarakat persemakmuran, yang hidup bersama,
dengan pembatasan hak milik dan penghapusan institusi keluarga, dalam batas-batas
tertentu sudah dicoba diterapkan di negara-negara komunis, seperti Uni Soviet dan
negara-negara di Eropa Timur. Eksperimen itu sudah gagal, dengan runtuhnya
komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur.
Murid Plato, Aristoteles, juga pernah mengeritik pemikiran Plato ini.
Aristoteles mengatakan, tujuan Plato –di mana seluruh warganegara bisa merasakan
semua rasa senang dan sedih bersama— itu tak akan bisa diwujudkan.
Namun, gagasan Plato tentang komunitas masyarakat yang ―sama rata dan
sama rasa‖ itu juga bisa kita pahami sebagai usahanya menciptakan harmoni. Cara
Plato untuk menciptakan harmoni adalah dengan menyingkirkan elemen-elemen
demokrasi atau kebebasan perseorangan yang berpotensi merusak.
Plato mencoba menunjukkan kelemahan ide demokrasi, dengan cara
menempatkan demokrasi itu ke wujud ekstrem. Kebebasan demokratis, jika
diperlakukan seperti itu, akan mendorong etos serba permisif, yang pada dasarnya
bersifat anarkis. Jadi Plato mau mengatakan bahwa demokrasi secara inheren
menjurus ke pluralitas jalan hidup yang korosif. Dampak semacam inilah yang mau
dihindari Plato, dengan membentuk masyarakat yang ―sama rata dan sama rasa‖
tersebut.
13
Gagasan Plato ini tidak lantas mati atau kehilangan relevansi begitu saja.
Krisis ekonomi dahsyat yang melanda ekonomi Amerika dan bagian dunia lain,
termasuk Indonesia, di penghujung 2008 ini dipandang berawal dari sifat rakus dan
tamak, yang inheren dalam nilai-nilai kapitalisme dan kebebasan yang tak terkontrol.
Oleh karena itu, gagasan Karl Marx, sosialisme, dan pembatasan kebebasan
mulai muncul lagi, dan kembali dibicarakan dalam perspektif baru akhir-akhir ini.
Dalam iklim semacam ini, pemikiran Plato tentang masyarakat ―sama rata dan sama
rasa‖ itu mendapat angin sebagai sebuah alternatif, meski tidak harus diwujudkan
dalam bentuknya yang ekstrem seperti di zaman Plato.
4.5. Problem tentang “Keadilan” versi Plato
Ada beberapa butir yang patut dicatat tentang definisi Plato mengenai
―keadilan.‖ Pertama, ada kemungkinan terjadi ketidaksetaraan antara kekuasaan dan
pengistimewaan (perlakuan khusus) tanpa keadilan. Kaum wali memiliki semua
kekuasaan, karena mereka adalah anggota komunitas yang dianggap paling bijaksana.
Ketidakadilan hanya akan terjadi –menurut definisi Plato—jika ada orang dari
kelas masyarakat lain yang lebih bijaksana dari beberapa kaum wali. Inilah sebabnya
Plato menyediakan kemungkinan promosi dan degradasi warganegara, walaupun ia
berpikir bahwa keunggulan ganda --karena faktor kelahiran dan pendidikan-- pada
sebagian besar kasus akan membuat anak-anak dari keluarga wali lebih unggul dari
anak-anak lain.
Jika ada ilmu pemerintahan yang solid, dan lebih ada kepastian bahwa orang
akan mematuhi resep ini, banyak yang harus dikomentari dari sistem Plato. Tak
seorang pun berpikir bahwa itu sebuah ketidakadilan, jika kita menempatkan orang
terbaik dalam sebuah tim sepakbola, walaupun orang itu memperoleh superioritas
yang besar di sana. Sebaliknya, jika sepakbola dikelola secara demokratis seperti gaya
pemerintahan Athena, siswa yang akan bermain mewakili universitasnya akan dipilih
lewat undian.
Namun, dalam masalah pemerintahan, sulit mengetahui siapa yang memiliki
keterampilan terbaik. Selain itu, sangat sulit dipastikan bahwa seorang politisi akan
menggunakan keterampilannya semata-mata untuk kepentingan umum ketimbang
untuk kepentingannya sendiri, atau kepentingan kelas, partai, dan keyakinan
keagamaan tertentu.
14
Hal berikutnya, apakah definisi Plato tentang ―keadilan‖ itu mensyaratkan
suatu pengorganisasian oleh negara, baik secara tradisional ataupun --untuk
mewujudkan dalam totalitasnya suatu kondisi ideal-- secara etis.
Menurut Plato, keadilan akan terwujud ketika setiap orang melakukan
pekerjaan masing-masing. Tetapi, apa pekerjaan masing-masing itu? Di negara seperti
Mesir kuno atau kerajaan Inca, pekerjaan seseorang adalah pekerjaan ayahnya, dan
begitulah seterusmya diturunkan dari generasi ke generasi, dan tak ada yang
mempertanyakan hal itu.
Masalahnya, di negara Plato, tak seorang pun memiliki ayah yang sah. Oleh
karena itu, pekerjaannya harus ditentukan oleh seleranya sendiri atau diatur oleh
Negara berdasarkan bakat dan kecerdasannya. Yang terakhir ini memang yang
didambakan Plato. Namun, beberapa jenis pekerjaan, walau sangat membutuhkan
keterampilan, mungkin dipandang jahat atau merusak. Seni puisi, misalnya, tidak
dipandang mulia di mata Plato.
Tujuan Pemerintah oleh karenanya penting dalam menentukan pekerjaan
seseorang. Walau semua penguasa adalah filsuf, selamanya seorang filsuf tampaknya
haruslah seseorang yang memahami dan sepakat dengan Plato.
4.6. Yang “Ideal” dan Utopia dalam Republik Plato
Pemikiran politik Plato yang dituangkan dalam Republic memancing banyak
pemikir di berbagai generasi sesudahnya untuk menanggapi. Banyak yang memuji
pemikiran Plato di sini, tapi tak sedikit pula yang mengeritiknya.
Dua pemikir zaman Victoria, John Stuart Mill dan Benjamin Jowett, memberi
apresiasi khusus pada Plato. Yang dikagumi Mill dari Plato bukan hanya tentang
oposisi Plato terhadap hal-hal yang umum dan konvensional, namun juga ide tentang
tata kelola pemerintahan yang ilmiah, yang terwujud dalam inti kaum profesional,
dari kalangan warganegara yang terdidik secara liberal.
Jowett sebaliknya memandang, keterampilan yang dituntut Plato dari kalangan
elite berkuasa sudah bersifat metafisika dunia lain. Plato beranggapan bahwa
penguasa-penguasa terbaik adalah mereka yang kehidupan politiknya bertentangan
dengan personalitas dan kepentingan mereka yang sebenarnya. Terdapat ketegangan
yang tak tertuntaskan dalam pemikiran Plato, antara daya tarik filsafat dan tuntutan
keadilan.
15
Malcolm Schofield membela utopianisme, sebagaimana yang dijabarkan
Plato, sebagai elemen yang didambakan dan tak terhindarkan dari refleksi politis yang
sistematis. Schofield merumuskan utopia sebagai ―pemikiran tentang sebuah cetak
biru bagi dunia yang didambakan, yang --meskipun ditempatkan dalam keprihatinan
masa sekarang, dengan berbagai pertanyaannya tentang kepraktisan dan legitimasi—
(pemikiran utopia itu) tidak harus disisihkan, namun bisa dipandang sebagai
(alternatif yang) sekunder.‖
Namun, apa yang akan dicapai oleh Republik Plato? Menurut Bertrand
Russell, jawaban pertanyaan ini agak menjemukan. Republik ini akan mencapai
sukses dalam perang melawan populasi yang kira-kira sama jumlahnya, dan negara ini
akan mengamankan nafkah untuk sejumlah kecil orang. Namun, negara Plato ini juga
jelas tidak akan menghasilkan karya seni atau sains, karena kekakuannya.
Dalam hal ini, negara Plato akan mirip Sparta. Meskipun banyak omongan
tentang hal-hal lain yang muluk, yang akan dicapai akhirnya hanyalah keterampilan
dalam perang dan punya cukup makanan untuk dimakan. Plato pernah mengalami
masa kelaparan dan kekalahan di Athena, sehingga mungkin tanpa sadar ia berpikir,
menghindari bencana semacam itu adalah prestasi terbaik yang bisa dicapai para
negarawan.
Sebuah Utopia, jika secara serius diniatkan, jelas akan mewujudkan gagasan
ideal si penciptanya. Dalam hal ini, Russell mencoba menjelaskan makna ―ideal.‖
Pada awalnya, ―ideal‖ adalah sesuatu yang diinginkan oleh mereka yang
mempercayainya. Namun, ―ideal‖ itu tidak didambakan dengan cara yang sama
seperti orang menginginkan kenyamanan personal, seperti makanan dan rumah tempat
bernaung.
Yang membedakan sebuah ―ideal‖ dengan sebuah obyek dambaan biasa
adalah yang pertama bersifat impersonal. ―Ideal‖ adalah sesuatu yang --kita anggap
saja-- tidak memiliki rujukan khusus ke ego dari orang yang merasakan dambaan
tersebut, dan karena itu secara teoritis dapat didambakan oleh setiap orang.
Jadi, kita mungkin merumuskan sebuah ―ideal‖ sebagai sesuatu yang
didambakan dan tidak bersifat egosentris, sehingga orang yang mendambakannya
patut berharap, orang lain juga akan mendambakan hal serupa. Dengan cara ini, orang
bersangkutan bisa membangun sesuatu yang seolah-olah seperti etika yang
impersonal. Walaupun, faktanya ―ideal‖ itu didirikan di atas landasan personal,
berupa hasrat dan dambaan dari pribadi si orang bersangkutan.
16
Selain itu, mungkin saja terjadi konflik antara ideal-ideal yang murni bersifat
impersonal. Pahlawannya Nietzsche berbeda dengan figur seorang suci Kristiani,
walaupun secara impersonal keduanya sama-sama dikagumi, yang pertama oleh para
pendukung pemikiran Nietzsche, dan yang kedua oleh para penganut Kristiani.
Bagaimana kita bisa memilih satu di antara dua figur pahlawan ini, kecuali
berdasarkan dambaan kita sendiri?
Jika tak ada landasan pertimbangan lain, maka suatu ketidaksepakatan etis
hanya dapat diputuskan lewat imbauan emosional atau kekuasaan. Tentang masalah
fakta, kita bisa saja mengharapkan bantuan sains dan metode ilmiah observasi.
Namun, tentang pertanyaan puncak etika, tampaknya tidak ada yang bisa
dianalogikan. Maka, jika ini benar terjadi, peselisihan etis akan diselesaikan lewat
pertarungan kekuasaan, termasuk lewat kekuatan propaganda.
Cara pandang ini, dalam bentuknya yang kasar, diajukan dalam bagian
pertama buku Republic oleh tokoh Thrasymachus, yang ---seperti tokoh-tokoh lain
dalam dialog-dialog Plato—adalah tokoh yang benar-benar ada. Ia adalah seorang
Sophis dari Chalcedon, dan guru retorika terkenal. Thrasymachus menyatakan,
―Keadilan adalah tak lain dari kepentingan pihak yang lebih kuat.‖
Ucapan Thrasymachus ini mengangkat pertanyaan mendasar dalam etika dan
politik: Apakah ada standar tentang ―baik‖ dan ―buruk,‖ kecuali berdasarkan apa yang
didambakan oleh orang yang menggunakan kata-kata tersebut? Jika tidak ada standar
semacam itu, banyak konsekuensi dari ucapan Thrasymachus tersebut tidak bisa kita
hindari.
Pada titik ini, agama pada pada pandangan sekilas pertama memberi jawaban
sederhana. Tuhan menentukan apa yang baik dan apa yang buruk. Orang yang
kehendaknya selaras dengan kehendak Tuhan adalah orang yang baik. Namun
jawaban ini tidak sangat ortodoks.
Para teolog mengatakan, Tuhan itu baik, dan ini berarti ada standar kebaikan
yang independen dari kehendak Tuhan. Maka kita dipaksa untuk menghadapi
pertanyaan: Apakah ada kebenaran atau kekeliruan obyektif di dalam pernyataan
seperti ―kenikmatan itu baik,‖ dalam arti yang sama seperti pernyataan ―salju itu
putih?‖ Untuk menjawabnya, diperlukan diskusi panjang.
Beberapa orang mungkin berpikir bahwa demi pertimbangan praktis, kita
dapat menghindari pertanyaan fundamental itu, dengan mengatakan, kita tak tahu apa
yang dimaksud dengan ―kebenaran obyektif.‖ Namun, kita akan menganggap sesuatu
17
itu benar, jika semua –atau tampaknya semua—yang menyelidikinya sepakat tentang
hal tersebut.
Namun, selanjutnya kita kemudian menghadapi pertanyaan tentang fakta:
Apakah ada pernyataan-pernyataan semacam itu yang disepakati dalam hal etika? Jika
ada, maka pernyataan-pernyataan itu bisa dijadikan landasan bagi aturan perilaku
perorangan, atau untuk teori politik.
Sebaliknya, jika tidak ada, maka kita dipaksa untuk masuk ke ranah praktik.
Tanpa mempersoalkan lagi kebenaran filosofis, kita akan beradu dengan kekuatan
atau propaganda atau kedua-duanya, manakala terdapat perbedaan etis yang tak bisa
dipertemukan antara kelompok-kelompok yang berkuasa.
Bagi Plato, pertanyaan ini tidak benar-benar ada. Walau rasa dramatiknya
menggiringnya dengan kuat ke posisi Thrasymachus, ia tak begitu sadar akan
kekuatan posisi Thrasymachus dan membiarkan diri secara kurang adil menentang
posisi itu. Plato yakin bahwa ada yang namanya ―Yang Baik‖, dan bahwa hakikat
―Yang Baik‖ itu dapat dipastikan. Jika ada orang yang tidak sepakat dengannya, salah
satu dari mereka sedikitnya telah membuat kesalahan intelektual. Sama halnya dengan
jika ketidaksepakatan itu bersifat ilmiah, tentang beberapa hal yang terkait soal fakta.
Perbedaan antara Plato dan Thrasymachus sangat penting. Namun, bagi
sejarawan filsafat, ini hanya sekadar catatan. Plato berpikir, ia dapat membuktikan
bahwa Republic idealnya itu baik. Sebaliknya, seorang demokrat yang menerima
obyektivitas etika mungkin berpikir bahwa ia dapat membuktikan Republik itu buruk.
Tetapi, bagi siapa saja yang setuju dengan Thrasymachus akan mengatakan:
―Masalahnya bukan soal membuktikan atau tidak membuktikan. Satu-satunya
pertanyaan adalah, apakah anda menyukai Negara yang didambakan Plato. Jika
jawabannya ya, itu artinya baik untuk Anda. Jika Anda tak menyukainya, berarti itu
buruk untuk Anda. Jika banyak yang setuju dan banyak juga yang tidak setuju,
keputusan tak bisa diambil berdasarkan nalar, tetapi hanya dengan kekuatan, baik
secara terang-terangan atau terselubung.‖
V. Komentar Penutup
Harus diakui, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk merentangkan dan
mengungkapkan pemikiran filsafat Plato yang sangat luas, terutama pemikiran
18
politiknya, dalam makalah yang pendek seperti ini. Maka, tulisan ini hanya mencoba
menampilkan sejumlah kecil pemikiran intinya, yang semoga dapat dipahami.
Dari sejumlah komentar dan kritik dari para pemikir lain di generasi-generasi
sesudahnya, terlihat bahwa sebenarnya masih banyak pemikiran Plato yang relevan,
jika dikaitkan dengan konteks dan perkembangan dunia masa kini.
Tentu saja, pemikiran Plato itu tidak bisa diterapkan mentah-mentah begitu
saja dalam konteks situasi dunia sekarang, yang sudah sangat berbeda. Harus dicatat,
pemikiran Plato ini diciptakan sekitar 2.500 tahun yang lalu, dalam lingkungan dunia
yang ekstrem berbeda. Sehingga dalam membuat penilaian, kita juga harus bersikap
adil pada Plato.
Berbagai perkembangan kontemporer sekarang –seperti krisis ekonomi
dahsyat yang melanda dunia, dipertanyakannya kembali asumsi-asumsi dasar
liberalisme dan kapitalisme, dampak kerusakan akibat kebebasan yang tanpa kontrol,
peran pemerintah yang coba dihidupkan kembali sesudah dimatikan oleh ekonomi
neoliberal— telah membuka peluang-peluang baru, bagi aplikasi pemikiran Plato.
Plato dalam karyanya Republic telah mengakui, utopia mungkin tak akan
pernah tercapai. Sedangkan karyanya Laws menyediakan cetak biru bagi sebuah
pendekatan (aproksimasi) terhadap kondisi ideal tersebut, yang masih dalam
jangkauan orang biasa. Yakni, orang biasa yang ingin ikut berperan dalam kehidupan
politik, memiliki tanah sendiri, dan hidup di rumah tangga biasa yang konvensional.
Artinya, Plato sendiri sejak awal telah menyadari keterbatasan-keterbatasan
yang mungkin mucul dalam upaya mewujudkan dambaannya tentang tatanan
masyarakat yang ideal. Maka, dari situ, pemikiran Plato tentang Utopia dan
masyarakat yang ideal itu dapat kita tempatkan dalam perspektif baru, untuk memberi
pandangan dunia yang berbeda, bagi kemungkinan munculnya alternatif tindakan-
tindakan yang berbeda pula.
Sumbangan semacam inilah barangkali yang bisa diberikan oleh pemikiran
Plato. Bukan suatu sumbangann yang harus diterima begitu saja, tetapi sekadar
sebagai benih dan humus yang harus kita pupuk dan kita tumbuh-kembangkan lebih
lanjut, untuk mewujudkan tatanan masyarakat dan dunia yang lebih baik, yang kita
cita-citakan. ***
Depok, 18 Desember 2008
19
Referensi:
1. Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah
Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
2. Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
3. Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New
York: Oxford University Press.
4. Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari
Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme, Hingga Cultural Studies.
Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
5. Magnis-Suseno, Franz. 2005. Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat
Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
6. Nurtjahjo, Hendra. 2006. Filsafat Demokrasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
7. Russell, Bertrand. 1948. History of Western Philosophy and Its Connection
with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present
Day. London: George Allen and Unwin Ltd.
8. Brooks, Thom. ―Knowledge and Power in Plato's Political Thought,‖ dalam
International Journal of Philosophical Studies, Volume 14, No. 1, No.
1/Maret 2006, hlm. 51-77.
9. Schofield, Malcolm. 2006. Plato: Political Philosophy, Oxford: Oxford
University Press.
10. Bertens, K. Etika. 2004. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
11. http://www.iep.utm.edu/p/platopol.htm
12. http://plato.stanford.edu/entries/plato-ethics-politics/#4.1
13. http://www.ingentaconnect.com/content/routledg/riph/2006/00000014/000000
01/art00003