Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

19
1 Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis Tugas mata kuliah Sejarah Filsafat Yunani sebagai pengganti UTS Semester Ganjil 2008/2009 Dosen: Vincensius Y. Jolasa, Ph.D Oleh: Satrio Arismunandar NPM: 0806401916 Program S3 Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Desember 2008

description

Meskipun pemikiran politik kontemporer sekarang sudah sangat berkembang, dan sejumlah pemikiran Plato terkesan sudah ketinggalan zaman, beberapa isu yang diangkat Plato masih dirasakan relevan dengan konteks zaman sekarang, termasuk bagi kita yang tinggal di Indonesia.

Transcript of Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

Page 1: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

1

Pemikiran Politik Plato

Ditinjau dari Filsafat Politik

Demokratis

Tugas mata kuliah Sejarah Filsafat Yunani sebagai pengganti UTS

Semester Ganjil 2008/2009

Dosen: Vincensius Y. Jolasa, Ph.D

Oleh: Satrio Arismunandar

NPM: 0806401916

Program S3 Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Indonesia

Desember 2008

Page 2: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

2

I. Pengantar

Plato (428 – 7 SM) adalah salah satu filsuf Yunani yang terkemuka. Murid

dari Socrates dan guru dari Aristoteles ini diakui karena karya pemikirannya, yang

sangat berpengaruh pada tradisi pemikiran filsafat Barat. Bahkan, sampai hampir

2.500 tahun sejak zaman Plato hidup, pemikiran Plato yang sangat luas dan mencakup

berbagai bidang, masih menjadi bahan kajian.

Meskipun pemikiran kontemporer sekarang sudah sangat berkembang, dan

sejumlah pemikiran Plato terkesan sudah ketinggalan zaman, beberapa isu yang

diangkat Plato masih dirasakan relevan dengan konteks zaman sekarang, termasuk

bagi kita yang tinggal di Indonesia.

Pemikiran Plato, bersama Socrates, Aristoteles, dan beberapa filsuf Yunani

kuno lain telah menjadi humus atau benih-benih awal, yang di atasnya tumbuh

berbagai pemikiran baru, yang mewarnai berbagai pemikiran umat manusia

sesudahnya.

Salah satu karya monumental Plato adalah The Republic, yang dalam bahasa

Yunani artinya ―sistem politik.‖ Karya ini ditulis kira-kira pada 380 SM, dan

dipandang sebagai salah satu karya filsafat dan teori politik yang paling berpengaruh.

Ini juga merupakan karya Plato yang paling terkenal.

Plato menghasilkan sejumlah karya, yang berkaitan dengan filsafat politik,

seperti Republic, Statesman, dan Laws. Namun, Republic adalah pusat dari filsafat

politik Plato. Karena, karya-karya Plato yang lain --seperti Apology, Charmides,

Crito, Euthydemus, Gorgias, Protagoras, dan Menexenus—bisa dipahami dengan

melihat hubungannya pada teks utama di Republic.

Makalah ini mencoba mengangkat sejumlah pemikiran Plato di bidang politik.

Untuk menyederhanakan dan memudahkan pembahasan, pemikiran Plato yang diulas

di sini dibatasi pada topik-topik tertentu. Pemikiran Plato itu akan dianalisis dengan

membandingkannya pada pemikiran tokoh-tokoh lain, serta coba ditempatkan dalam

konteks masa kini.

Dalam membahas pemikiran Plato, penulis menggunakan pendekatan filsafat

politik. Filsafat politk pada hakikatnya menuntut agar segala klaim (legitimate

authority) atas hak untuk menata masyaraksat (yang dimiliki oleh Pemerintah Negara)

dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal dan hati kemanusiaan.

Page 3: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

3

Pertanggungjawaban publik (accountability) mrerupakan perwujudan dari tanggung

jawab rasional atas kekuasaan.

Legitimasi politik di sini tidak selalu sama dengan legitimasi moral (etis-

filosofis). Legitimasi politik dapat dipahami sebagai legitimasi sosial (sosiologis)

yang telah mengalami proses artikulatif dalam institusi-institusi politik yang

representatif. Sedangkan legitimasi moral (etis) mempersoalkan keabsahan wewenang

kekuasaan politik dari segi norma-normal moral, bukan dari segi kekuatan politik riil

yang ada, dan bukan pula atas dasar ketentuan hukum (legalitas) tertentu.

II. Riwayat Singkat Plato

Plato lahir di Athena pada 428 SM. Sampai Plato mencapai usia pertengahan

20-an, Athena terlibat dalam perang dan konflik militer yang panjang melawan

Sparta, yang dikenal dengan Perang Peloponnesia.

Plato berasal dari kalangan keluarga terpandang. Ayahnya adalah keturunan

Codrus, salah satu dari raja-raja pertama Athena. Sedangkan ibunya adalah keturunan

Solon, tokoh terkemuka yang mereformasi konstitusi Athena. Jadi, Plato secara

alamiah diposisikan untuk berperan aktif dalam kehidupan politik. Namun, sayangnya

hal ini tak pernah terjadi.

Walaupun berharap bisa memainkan peran signifikan dalam komunitas

politiknya, Plato terus-menerus merasa tersisihkan. Sebagaimana diungkapkan dalam

otobiografinya Seventh Letter, Plato tidak dapat mengidentifikasikan dirinya dengan

partai politik mana pun yang ada saat itu atau dengan rezim-rezim korup yang terus

berganti. Setiap rezim itu membuat kedudukan Athena semakin merosot.

Plato adalah murid Socrates, yang dipandang Plato sebagai orang paling adil

dan bermoral di masanya. Socrates adalah juga orang yang paling banyak memberi

pengaruh pada Plato dalam pemikiran filsafat.

III. Karya Plato, Republic

Karya Plato, Republic, secara umum terbagi jadi tiga bagian. Bagian pertama

(Buku I sampai hampir ke akhir Buku V) berisi tentang pembentukan sebuah

komunitas persemakmuran yang ideal. Ini adalah bagian yang paling awal dari

Utopia. Salah satu kesimpulannya adalah penguasa ideal haruslah seorang filsuf.

Page 4: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

4

Karena filsuf dipandang sebagai figur yang paling ideal untuk jadi penguasa,

Buku VI dan VII berkaitan dengan definisi kata ―filsuf‖ itu sendiri. Diskusi ini

merupakan bagian yang kedua. Sedangkan bagian ketiga terutama berisi diskusi

tentang berbagai macam bentuk pemerintahan praktis, dengan berbagai kelebihan dan

kekurangannya.

Tujuan nominal Republic adalah untuk merumuskan ―keadilan.‖ Namun, pada

tahapan awal, diputuskan bahwa –karena lebih mudah melihat hal yang besar

ketimbang hal kecil-- adalah lebih baik untuk menyelidiki apa yang membuat sebuah

Negara bisa adil, ketimbang apa yang membuat seorang individu bisa adil.

Karena keadilan harus menjadi salah satu atribut bagi Negara terbaik yang

bisa dibayangkan, atribut-atribut Negara semacam itu pertama-tama harus dipaparkan.

Kemudian harus diputuskan, yang mana dari sekian ciri kesempurnaannya itu yang

disebut ―keadilan.‖

3.1.Tiga Kelas Warganegara

Plato memulai dengan menetapkan bahwa warganegara dibagi dalam tiga

kelas: rakyat biasa, prajurit, dan wali (guardian). Hanya wali yang memiliki

kekuasaan politik. Jumlah wali ini amat sedikit, jika dibandingkan dua kelas lainnya.

Untuk yang pertama, tampaknya mereka dipimpin oleh para pembuat undang-undang

(legislator).

Sesudah itu, biasanya mereka akan digantikan berdasarkan keturunan darah

(heredity). Namun, dalam kasus-kasus perkecualian, seorang anak yang menjanjikan

mungkin saja dipromosikan dari salah satu kelas bawah. Sebaliknya, di antara anak-

anak wali, mungkin saja ada satu dua anak yang tidak memuaskan, sehingga

diturunkan.

Problem utama sistem ini adalah bagaimana memastikan bahwa para wali

akan benar-benar melaksanakan maksud-maksud para legislator. Untuk tujuan ini, ia

memiliki berbagai proposal, pendidikan, ekonomi, biologis, dan religius. Tidak begitu

jelas seberapa jauh proposal-proposal ini diberlakukan ke kelas-kelas lain selain wali.

Jelas bahwa sebagian dari proposal itu berlaku bagi para prajurit. Namun,

secara umum Plato hanya memperhatikan kaum wali, yang harus menjadi kelas

terpisah, seperti kaum Jesuit di Paraguay kuno, kaum eklesiastik di Negara Gereja

sampai 1870, dan Partai Komunis di Uni Soviet.

Page 5: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

5

Plato mengasumsikan kaum wali ini adalah para filsuf, orang-orang yang arif

bijaksana, yang tidak mementingkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, mereka bukan

saja layak diistimewakan, tetapi memang sudah seharusnya demikian demi kebaikan

seluruh masyarakat.

3.2. Format Pendidikan

Dalam kaitan pembentukan dan keberlangsungan kaum wali tersebut, hal

pertama yang dipertimbangkan Plato adalah pendidikan. Pendidikan ini dibagi dalam

dua bagian: gimnastik dan musik. Gimnastik dan musik di sini memiliki arti yang

lebih luas dari pengertian zaman sekarang.

―Musik‖ berarti segala sesuatu yang berada di bawah asuhan muses1, dan

―gimnastik‖ berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan pelatihan dan kebugaran

fisik. ―Musik‖ hampir sama luasnya dengan yang sekarang kita sebut ―budaya,‖

sedangkan ―gimnastik‖ lebih luas dari yang sekarang kita sebut sebagai ―atletik.‖

Budaya harus didedikasikan untuk membentuk orang menjadi gentlemen,

dalam arti yang mirip dengan di England (Inggris).2 Orang Athena pada zamannya,

dalam arti tertentu, mirip dengan England pada abad ke-19. Di masing-masing tempat

itu terdapat aristokrasi (kaum bangsawan) yang menikmati kemakmuran dan gengsi

sosial, namun tidak memiliki monopoli terhadap kekuasaan politik.

Masing-masing aristokrasi itu harus meraih kekuasaan sebanyak mungkin

dengan cara menunjukkan perilaku yang mengesankan. Dalam Utopia Plato, kaum

aristokrat ini berkuasa tanpa kontrol pengimbang.

Martabat, kepatutan, dan keberanian tampaknya adalah kualitas-kualitas yang

coba ditumbuhkan lewat pendidikan. Pelatihan tubuh untuk siswa harus sangat keras.

Tak seorang pun boleh makan ikan atau daging, yang dimasak selain dengan

dipanggang. Juga, tidak ada saus atau makanan kecil tambahan. Dengan demikian,

orang yang dibesarkan di resimennya tak akan memerlukan dokter, kata Plato.

Sampai usia tertentu, kaum muda tidak boleh melihat hal-hal yang buruk.

Namun, pada saat yang tepat, mereka harus diekspos terhadap ―pikatan,‖ baik dalam

bentuk teror yang tidak boleh membuat mereka gentar, dan kenikmatan buruk yang

1 Dewi-dewi Yunani kuno yang masing-masing membawahi seni atau ilmu pengetahuan tertentu.

2 Gentleman adalah orang yang berperilaku baik terhadap orang lain, bisa dipercaya omongannya, dan

bersikap dengan penuh martabat.

Page 6: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

6

tidak boleh menggoda kemauan mereka. Jika mereka sanggup menahan ujian ini,

barulah mereka dinilai pantas menjadi wali-wali. Pemuda, sebelum mereka tumbuh

dewasa, harus pernah melihat perang, walau tidak harus ikut berperang.

3.3. Pembatasan Seni dan Drama

Ada sensor ketat sejak tahun-tahun pertumbuhan paling dini, tentang bacaan

yang boleh diakses, dan tentang musik yang boleh didengar oleh kaum muda. Para

ibu dan perawat hanya boleh menceritakan kisah-kisah tertentu pada anak-anak

mereka.

Kisah Homer dan Hesiod tidak diizinkan, karena alasan tertentu. Pertama,

cerita itu menampilkan kisah dewa-dewa yang terkadang berperilaku buruk, yang

tidak mendidik. Orang muda diajar bahwa kejahatan tidak pernah datang dari dewa-

dewa, karena dewa hanya menciptakan hal-hal yang baik.

Kedua, ada hal-hal di dalam Homer dan Hesiod yang diduga akan membuat

para pembaca takut pada kematian, padahal segala sesuatu diberikan lewat pendidikan

untuk kaum muda, agar bersedia mati di medan perang. Ketiga, kepantasan menuntut

orang tidak boleh tertawa keras. Padahal Homer termasuk yang suka banyak tertawa

di antara para dewa lainnya.

Keempat, ada kalimat-kalimat di Homer yang memuji pesta makan yang

berlebihan, dan yang lain menggambarkan hasrat berahi dewa-dewa. Kalimat itu

mengecilkan sikap menahan diri. Juga tidak boleh ada cerita di mana pihak yang jahat

berbahagia, sedangkan yang baik malah tidak bahagia. Dampak moralnya terhadap

pikiran-pikiran kaum muda yang lembut, dianggap mungkin tidak menguntungkan.

Plato membuat pernyataan yang menarik tentang pertunjukan drama. Orang

baik, katanya, harus menolak meniru orang buruk. Saat itu sebagian besar drama

berisi peran-peran jahat. Karena itu, dramawan dan aktor yang memainkan peran-

peran jahat harus meniru orang yang bersalah karena melakukan berbagai kejahatan.

Bukan hanya peran kriminal. Laki-laki yang unggul juga tidak boleh meniru

perempuan, budak, dan kalangan bawah umumnya. Karena itu, jika drama diizinkan

sepenuhnya, ia tidak boleh memainkan karakter apapun kecuali tokoh pahlawan laki-

laki yang tak pernah salah, dan lahir dari keturunan yang baik. Ketidakmungkinan hal

ini begitu terbukti, sehingga Plato memutuskan melarang semua pemain drama dari

kota idealnya.

Page 7: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

7

Soal sensor terhadap musik (dalam pengertian modern) juga diberlakukan.

Harmoni atau musik Lydia dan Ionia dilarang, karena mengekspresikan kesedihan,

dan karena menimbulkan kesantaian. Hanya musik Doria (mengekspresikan

keberanian) dan Phrygia (menyerukan sikap menahan diri) yang diizinkan. Jenis

musik yang diizinkan harus sederhana, atau yang mengekspresikan keberanian dan

kehidupan yang harmonis.

3.4. Ekonomi dan “Komunisme”

Sedangkan untuk bidang ekonomi, Plato mengusulkan penerapan

―komunisme‖ yang menyeluruh bagi para wali. Mereka hanya boleh memiliki rumah-

rumah kecil dan makanan sederhana. Mereka harus hidup di dalam kemah atau tempat

tinggal sementara, makan bersama-sama, dan tak boleh memiliki harta milik pribadi

melebihi kebutuhan yang betul-betul tak bisa ditinggalkan.

Emas dan perak dinyatakan terlarang. Walaupun tidak kaya, tak ada alasan

mengapa mereka tak bisa berbahagia. Namun tujuan kota ideal Plato ini adalah

kebaikan bagi semua orang, bukan kebahagiaan satu kelas saja. Baik kemakmuran

ataupun kemiskinan sama-sama merusak, dan di dalam kota Plato tak ada satu pun

dari dua hal itu yang boleh ada.

―Komunisme‖ ini kemudian diterapkan ke keluarga. Teman-teman harus

memiliki segala sesuatu bersama-sama, termasuk perempuan dan anak-anak. Hal ini

diakui Plato memang akan menimbulkan kesulitan, namun bukannya tak bisa diatasi.

Pertama, para gadis harus mendapat pendidikan yang persis sama seperti

pemuda, termasuk belajar musik, gimnastik, dan seni peang bersama pemuda. Kaum

perempuan harus memiliki kesamaan sepenuhnya dengan laki-laki dalam segala hal.

―Pendidikan yang sama, yang membuat pria jadi wali yang baik, juga akan

membuat perempuan jadi wali yang baik; karena hakikat asal mereka adalah sama,‖

kata Plato. Tentu saja ada perbedaan antara pria dan wanita, namun perbedaan itu tak

ada kaitannya dengan politik. Beberapa perempuan bersifat filosofis, dan cocok

menjadi wali. Beberapa lainnya suka perang, dan bisa jadi prajurit yang baik.

Legislator, sesudah memilih wali-wali yang terdiri dari beberapa pria dan

wanita, akan mentahbiskan bahwa mereka akan berbagi rumah dan makanan bersama.

Lembaga perkawinan, sebagaimana yang kita kenal sekarang, diubah secara radikal

Page 8: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

8

oleh Plato. Para perempuan ini, tanpa perkecualian, akan menjadi istri bersama para

pria, dan tak seorang pun yang boleh memiliki istri untuk dirinya sendiri.

Pada festival-festival tertentu, mempelai pria dan mempelai wanita, dalam

jumlah tertentu yang ditetapkan untuk menjaga populasi tetap konstan, akan dipasang-

pasangkan lewat ―undian.‖ Namun, sebenarnya para penguasa kota akan

memanipulasi undian itu atas prinsip ilmu untuk ―memperbaiki keturunan.‖ Mereka

akan mengatur agar ayah terbaik akan memiliki banyak anak.

Semua anak itu akan dipisahkan dari orangtuanya sejak lahir, dan akan

diperhatikan dengan sungguh-sungguh agar orangtua tidak tahu yang mana anak

mereka sebenarnya, dan juga tak ada anak yang tahu siapa orang tuanya sebenarnya.

Anak yang cacat, dan anak-anak dari orangtua yang inferior, ―akan dibawa pergi ke

tempat sepi yang misterius, sebagaimana sepatutnya.‖

Anak-anak yang tidak dibesarkan dari kumpulan yang dilakukan Negara

dianggap tidak sah. Para ibu akan berumur antara 20 sampai 40 tahun, sedangkan para

ayah antara 25 dan 55 tahun. Di luar umur ini, hubungan seks dibebaskan, namun tak

boleh melahirkan anak (aborsi atau pembunuhan bayi adalah kewajiban). Dalam

―perkawinan‘ yang diatur Negara, orang tidak punya suara. Mereka harus digerakkan

oleh pikiran tentang kewajiban kepada Negara, tidak oleh emosi umum yang biasa

dirayakan oleh para penyair.

Karena tak seorangpun tahu siapa orangtuanya, dia harus memanggil setiap

orang yang umurnya kira-kira setara umur ayahnya dengan sebutan ―ayah‖. Hal

semacam itu juga diterapkan untuk ―ibu,‖ ―saudara laki-laki‖, dan ―saudara

perempuan.‖ Tak boleh ada perkawinan antara ―ayah‖ dan ―anak perempuan‖ atau

antara ―ibu‖ dan ―anak laki-laki.‖ Secara umum, namun tidak mutlak, perkawinan

antara ―saudara laki-laki‖ dan ‗saudara perempuan‖ juga dicegah.

Sentimen yang terkait dengan sebutan ―ayah,‖ ―ibu,‖ ―anak laki-laki‖, dan

―anak perempuan‖ dianggap akan tetap melekat pada nmereka di bawah pengaturan

baru Plato. Seorang pemuda, misalnya, tidak akan memukul orang tua, karena dia

mungkin akan memukul ayahnya sendiri.

Keuntungan yang dicari dari pengaturan ini adalah meminimalisir emosi

posesif perseorangan, dan dengan begitu menghilangkan hambatan ke arah dominasi

semangat publik (kepentingan umum). Juga, untuk memudahkan memperoleh

kesepakatan, karena tidak-adanya kepemilikan pribadi.

Page 9: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

9

3.5. Kebohongan, Mitos, dan Hak Prerogatif Pemerintah

Ada beberapa mitos yang diajarkan Plato. Berbohong, misalnya, dianggap

Plato sebagai hak prerogatif pemerintah, sebagaimana hak memberi obat bagi para

dokter. Pemeritah boleh mengecoh orang, dengan pura-pura mengatur pernikahan

lewat undian. Namun, ini bukan soal religius.

Ada jenis ―kebohongan terhormat‖ yang --Plato berharap-- mungkin bisa

mengecoh penguasa, namun pastinya kebohongan ini akan mengecoh warga kota lain.

Bagian terpenting dari ini adalah dogma bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam

tiga jenis: manusia yang terbaik dibuat dari emas, yang kedua terbaik dari perak, dan

yang biasa terbuat dari kuningan dan besi.

Mereka yang terbuat dari emas pantas jadi wali; yang terbuat dari perak harus

jadi prajurit; dan yang lain harus melakukan pekerjaan kasar. Biasanya, anak-anak

akan dimasukkan ke golongan yang sama seperti orangtuanya. Jika ternyata tidak

demikian, mereka harus dipromosikan atau diturunkan sesuai kadar kapasitas dirinya.

Plato beranggapan, meski awalnya sulit membuat generasi awal untuk percaya

pada mitos-mitos itu, namun generasi-generasi berikutnya akan begitu ―terdidik‖

sehingga tidak akan meragukannya. Yang tampaknya tak disadari Plato waktu itu

adalah mengajarkan mitos-mitos semacam itu tidak cocok dengan filsafat, dan

melibatkan pendidikan yang menghambat kecerdasan.

3.6. “Keadilan” Menurut Plato

Definisi ―keadilan‖, yang merupakan tujuan nominal dari seluruh diskusi,

tercapai di buku IV. Keadilan itu terwujud ketika setiap orang melakukan

pekerjaannya dan tidak mencampuri urusan orang lain. Kota ini adil ketika pedagang,

pembantu/pendukung, dan wali, masing-masing menjalankan tugasnya sendiri tanpa

mencampuri urusan warga dari kelas lain.

Pengertian kata ―keadilan‖ dalam bahasa Yunani di buku Plato punya arti

yang berbeda, dan tak ada padanannya untuk terjemahan yang pas. Untuk

memahaminya, kita perlu melihat ke teori atau pandangan orang Yunani kuno tentang

alam semesta, yang mungkin bisa kita sebut bersifat religius atau etis.

Menurut teori ini, setiap orang dan segala sesuatu memiliki tempat dan peran

tersendiri yang ditetapkan untuknya. Kondisi ini tidak tergantung pada persetujuan

Page 10: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

10

Zeus (dewa tertinggi), karena Zeus sendiri juga terikat pada aturan hukum alam yang

sama. Teori ini berkaitan dengan ide tentang takdir atau ketundukan pada kenyataan.

Hukum ini juga berlaku untuk benda-benda ruang angkasa.

Namun, di mana ada tenaga, di sana ada kecenderungan untuk melanggar

batasan itu; maka muncullah percekcokan. Semacam hukum super-Olympia

impersonal yang menghukum kepongahan, dan memulihkan tatanan abadi yang coba

dilanggar oleh pihak agresor. Cara pandang keseluruhan ini mungkin tanpa sadar

menyusup ke filsafat. Cara pandang ini adalah sumber kepercayaan dalam hukum

alam dan hukum manusia, dan ini jelas menggarisbawahi konsep Plato tentang

keadilan.

Kata ―keadilan,‖ sebagaimana yang tetap digunakan di dalam hukum, lebih

pas dengan konsep Plato ketimbang yang digunakan dalam spekulasi politik. Di

bawah pengaruh teori demokratis, kita telah mengasosiasikan keadilan dengan

persamaan (equality), sedangkan bagi Plato keadilan tidak memiliki implikasi

semacam itu.

―Keadilan‖ dalam pengertian di mana ia hampir sinonim dengan ―hukum‖ –

ketika kita bicara tentang ―mahkamah pengadilan‖—memperhatikan terutama hak-

hak kepemilikan, yang tak ada hubungannya dengan persamaan. Hal pertama yang

dikaitkan dengan ―keadilan‖ pada permulaan Republic terdiri dari soal membayar

utang. Definisi ini segera ditinggalkan karena tidak memadai, namun masih tersisa

sebagian.

IV. Pembahasan tentang Pemikiran Politik Plato

4.1. Pemerintahan Para Filsuf

Dari sebagian besar karya Plato, terlihat bahwa pemikiran politik Plato sangat

jauh dari asumsi-asumsi yang dianggap sentral bagi tradisi pemikiran liberal dan

demokratis. Padahal tradisi liberal dan demokratis ini sendiri justru yang sekarang

mendominasi filsafat politik.

Plato jelas mengeritik kesetaraan demokratis dan kebebasan dalam Republic

Buku VIII. Kritik serupa terlihat di Buku VI, dalam analogi antara kewarganegaraan

dan keterampilan kelautan, sebuah tema yang dielaborasi lewat investigasi

keterampilan politik di Statesman.

Page 11: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

11

Orang harus berusaha dengan susah payah, untuk menemukan sikap ramah

Plato terhadap hal-hal seperti kesetaraan umat manusia, kebebasan kesadaran, hak

partisipasi dalam politik, pemerintahan terbatas, saluran konstitusional, dan

sebagainya. Ide-ide utama Plato adalah: pemerintahan oleh filsuf, penghapusan

institusi keluarga dan harta milik, dan kebohongan terhormat (noble lies).

Dengan memberi perlakuan istimewa pada satu kelompok tertentu untuk

berkuasa –yakni, kaum wali dan para filsuf—jelas pilihan Plato ini bertentangan

dengan semangat kebebasan dan demokratis, yang menuntut kesetaraan bagi seluruh

warganegara.

Bolehnya pemerintah atau penguasa berbohong kepada rakyat, dengan

menciptakan mitos-mitos palsu, dan menjejalkannya kepada generasi muda lewat

indoktrinasi di lembaga-lembaga pendidikan, juga tidak bisa diterima dalam tradisi

pemikiran demokratis.

Di Amerika dan sejumlah negara Eropa, ada hak warganegara untuk

memperoleh informasi yang benar. Pemberian informasi yang keliru secara sengaja

kepada warganegara akan dipandang sebagai pelanggaran etika plitik, dan secara

moral tak bisa diterima. Kasus Presiden George W. Bush, yang membohongi rakyat

Amerika tentang adanya senjata pemusnah massal di Irak, sebagai dalih untuk invasi

militer ke Irak, sampai saat ini terus nenuai kecaman pedas.

Selain itu, institusi pendidikan yang sengaja difungsikan untuk mengajarkan

kebohongan, bukan saja bertentangan dengan hak-hak demokratis warga, tetapi juga

bertentangan dengan semangat ilmu filsafat untuk mencari kebenaran.

Meski demikian, pemerintahan oleh para filsuf bukanlah sesuatu ide yang

mustahil diwujudkan. Republik Plato, tidak seperti Utopia-Utopia modern, tampaknya

dimaksudkan untuk betul-betul terwujud. Pada masa itu, mungkin impian Plato ini

tidak sefantastis yang kita bayangkan, jika melihat contoh yang sudah dilakukan

Sparta. Kekuasaan oleh para filsuf telah diusahakan oleh Pythagoras. Di zaman Plato,

Archytas yang menuruti ajaran Pythagoras juga secara politik berpengaruh di wilayah

Taras, ketika Plato mengunjungi Sicily dan Italia selatan.

Adalah praktik umum bagi kota-kota waktu itu untuk mempekerjakan seorang

bijak (filsuf) untuk merancang undang-undang mereka. Solon telah melakukan hal ini

untuk orang Athena, dan Protagoras untuk Thurii. Koloni-koloni pada masa itu

sepenuhnya bebas dari kendali kota-kota induknya, dan kondisi itu akan cukup

Page 12: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

12

memungkinkan bagi sekelompok penganut ajaran Plato untuk mendirikan Republik

(dengan pemerintahan para filsuf) di pesisir Spanyol atau Gaul.

Sayangnya, Plato kebetulan justru pergi ke Syracuse, sebuah kota perdagangan

yang terlibat dalam perang berkepanjangan dengan Carthage. Dalam atmosfir

semacam itu, tak seorang filsuf pun yang bisa mencapai banyak hal. Pada generasi

berikutnya, bangkitnya Macedonia membuat semua negara kecil jadi usang, dan

menyebabkan kerapuhan pada setiap eksperimen politik dalam versi miniatur.

Patut dicatat, pemikiran politik Plato sendiri sebenarnya juga mengalami

pergeseran. Dalam karyanya Laws, misalnya, Plato kemudian bersikap lebih ramah

pada demokrasi, karena ia mengadopsi metafisika tentang nilai, yang mengakui

sumber-sumber epistemologis dari kalangan non-filsuf.

4.2. Masyarakat “Komunisme” yang Sama-Rata dan Sama-Rasa

Gagasan Plato tentang masyarakat persemakmuran, yang hidup bersama,

dengan pembatasan hak milik dan penghapusan institusi keluarga, dalam batas-batas

tertentu sudah dicoba diterapkan di negara-negara komunis, seperti Uni Soviet dan

negara-negara di Eropa Timur. Eksperimen itu sudah gagal, dengan runtuhnya

komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur.

Murid Plato, Aristoteles, juga pernah mengeritik pemikiran Plato ini.

Aristoteles mengatakan, tujuan Plato –di mana seluruh warganegara bisa merasakan

semua rasa senang dan sedih bersama— itu tak akan bisa diwujudkan.

Namun, gagasan Plato tentang komunitas masyarakat yang ―sama rata dan

sama rasa‖ itu juga bisa kita pahami sebagai usahanya menciptakan harmoni. Cara

Plato untuk menciptakan harmoni adalah dengan menyingkirkan elemen-elemen

demokrasi atau kebebasan perseorangan yang berpotensi merusak.

Plato mencoba menunjukkan kelemahan ide demokrasi, dengan cara

menempatkan demokrasi itu ke wujud ekstrem. Kebebasan demokratis, jika

diperlakukan seperti itu, akan mendorong etos serba permisif, yang pada dasarnya

bersifat anarkis. Jadi Plato mau mengatakan bahwa demokrasi secara inheren

menjurus ke pluralitas jalan hidup yang korosif. Dampak semacam inilah yang mau

dihindari Plato, dengan membentuk masyarakat yang ―sama rata dan sama rasa‖

tersebut.

Page 13: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

13

Gagasan Plato ini tidak lantas mati atau kehilangan relevansi begitu saja.

Krisis ekonomi dahsyat yang melanda ekonomi Amerika dan bagian dunia lain,

termasuk Indonesia, di penghujung 2008 ini dipandang berawal dari sifat rakus dan

tamak, yang inheren dalam nilai-nilai kapitalisme dan kebebasan yang tak terkontrol.

Oleh karena itu, gagasan Karl Marx, sosialisme, dan pembatasan kebebasan

mulai muncul lagi, dan kembali dibicarakan dalam perspektif baru akhir-akhir ini.

Dalam iklim semacam ini, pemikiran Plato tentang masyarakat ―sama rata dan sama

rasa‖ itu mendapat angin sebagai sebuah alternatif, meski tidak harus diwujudkan

dalam bentuknya yang ekstrem seperti di zaman Plato.

4.5. Problem tentang “Keadilan” versi Plato

Ada beberapa butir yang patut dicatat tentang definisi Plato mengenai

―keadilan.‖ Pertama, ada kemungkinan terjadi ketidaksetaraan antara kekuasaan dan

pengistimewaan (perlakuan khusus) tanpa keadilan. Kaum wali memiliki semua

kekuasaan, karena mereka adalah anggota komunitas yang dianggap paling bijaksana.

Ketidakadilan hanya akan terjadi –menurut definisi Plato—jika ada orang dari

kelas masyarakat lain yang lebih bijaksana dari beberapa kaum wali. Inilah sebabnya

Plato menyediakan kemungkinan promosi dan degradasi warganegara, walaupun ia

berpikir bahwa keunggulan ganda --karena faktor kelahiran dan pendidikan-- pada

sebagian besar kasus akan membuat anak-anak dari keluarga wali lebih unggul dari

anak-anak lain.

Jika ada ilmu pemerintahan yang solid, dan lebih ada kepastian bahwa orang

akan mematuhi resep ini, banyak yang harus dikomentari dari sistem Plato. Tak

seorang pun berpikir bahwa itu sebuah ketidakadilan, jika kita menempatkan orang

terbaik dalam sebuah tim sepakbola, walaupun orang itu memperoleh superioritas

yang besar di sana. Sebaliknya, jika sepakbola dikelola secara demokratis seperti gaya

pemerintahan Athena, siswa yang akan bermain mewakili universitasnya akan dipilih

lewat undian.

Namun, dalam masalah pemerintahan, sulit mengetahui siapa yang memiliki

keterampilan terbaik. Selain itu, sangat sulit dipastikan bahwa seorang politisi akan

menggunakan keterampilannya semata-mata untuk kepentingan umum ketimbang

untuk kepentingannya sendiri, atau kepentingan kelas, partai, dan keyakinan

keagamaan tertentu.

Page 14: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

14

Hal berikutnya, apakah definisi Plato tentang ―keadilan‖ itu mensyaratkan

suatu pengorganisasian oleh negara, baik secara tradisional ataupun --untuk

mewujudkan dalam totalitasnya suatu kondisi ideal-- secara etis.

Menurut Plato, keadilan akan terwujud ketika setiap orang melakukan

pekerjaan masing-masing. Tetapi, apa pekerjaan masing-masing itu? Di negara seperti

Mesir kuno atau kerajaan Inca, pekerjaan seseorang adalah pekerjaan ayahnya, dan

begitulah seterusmya diturunkan dari generasi ke generasi, dan tak ada yang

mempertanyakan hal itu.

Masalahnya, di negara Plato, tak seorang pun memiliki ayah yang sah. Oleh

karena itu, pekerjaannya harus ditentukan oleh seleranya sendiri atau diatur oleh

Negara berdasarkan bakat dan kecerdasannya. Yang terakhir ini memang yang

didambakan Plato. Namun, beberapa jenis pekerjaan, walau sangat membutuhkan

keterampilan, mungkin dipandang jahat atau merusak. Seni puisi, misalnya, tidak

dipandang mulia di mata Plato.

Tujuan Pemerintah oleh karenanya penting dalam menentukan pekerjaan

seseorang. Walau semua penguasa adalah filsuf, selamanya seorang filsuf tampaknya

haruslah seseorang yang memahami dan sepakat dengan Plato.

4.6. Yang “Ideal” dan Utopia dalam Republik Plato

Pemikiran politik Plato yang dituangkan dalam Republic memancing banyak

pemikir di berbagai generasi sesudahnya untuk menanggapi. Banyak yang memuji

pemikiran Plato di sini, tapi tak sedikit pula yang mengeritiknya.

Dua pemikir zaman Victoria, John Stuart Mill dan Benjamin Jowett, memberi

apresiasi khusus pada Plato. Yang dikagumi Mill dari Plato bukan hanya tentang

oposisi Plato terhadap hal-hal yang umum dan konvensional, namun juga ide tentang

tata kelola pemerintahan yang ilmiah, yang terwujud dalam inti kaum profesional,

dari kalangan warganegara yang terdidik secara liberal.

Jowett sebaliknya memandang, keterampilan yang dituntut Plato dari kalangan

elite berkuasa sudah bersifat metafisika dunia lain. Plato beranggapan bahwa

penguasa-penguasa terbaik adalah mereka yang kehidupan politiknya bertentangan

dengan personalitas dan kepentingan mereka yang sebenarnya. Terdapat ketegangan

yang tak tertuntaskan dalam pemikiran Plato, antara daya tarik filsafat dan tuntutan

keadilan.

Page 15: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

15

Malcolm Schofield membela utopianisme, sebagaimana yang dijabarkan

Plato, sebagai elemen yang didambakan dan tak terhindarkan dari refleksi politis yang

sistematis. Schofield merumuskan utopia sebagai ―pemikiran tentang sebuah cetak

biru bagi dunia yang didambakan, yang --meskipun ditempatkan dalam keprihatinan

masa sekarang, dengan berbagai pertanyaannya tentang kepraktisan dan legitimasi—

(pemikiran utopia itu) tidak harus disisihkan, namun bisa dipandang sebagai

(alternatif yang) sekunder.‖

Namun, apa yang akan dicapai oleh Republik Plato? Menurut Bertrand

Russell, jawaban pertanyaan ini agak menjemukan. Republik ini akan mencapai

sukses dalam perang melawan populasi yang kira-kira sama jumlahnya, dan negara ini

akan mengamankan nafkah untuk sejumlah kecil orang. Namun, negara Plato ini juga

jelas tidak akan menghasilkan karya seni atau sains, karena kekakuannya.

Dalam hal ini, negara Plato akan mirip Sparta. Meskipun banyak omongan

tentang hal-hal lain yang muluk, yang akan dicapai akhirnya hanyalah keterampilan

dalam perang dan punya cukup makanan untuk dimakan. Plato pernah mengalami

masa kelaparan dan kekalahan di Athena, sehingga mungkin tanpa sadar ia berpikir,

menghindari bencana semacam itu adalah prestasi terbaik yang bisa dicapai para

negarawan.

Sebuah Utopia, jika secara serius diniatkan, jelas akan mewujudkan gagasan

ideal si penciptanya. Dalam hal ini, Russell mencoba menjelaskan makna ―ideal.‖

Pada awalnya, ―ideal‖ adalah sesuatu yang diinginkan oleh mereka yang

mempercayainya. Namun, ―ideal‖ itu tidak didambakan dengan cara yang sama

seperti orang menginginkan kenyamanan personal, seperti makanan dan rumah tempat

bernaung.

Yang membedakan sebuah ―ideal‖ dengan sebuah obyek dambaan biasa

adalah yang pertama bersifat impersonal. ―Ideal‖ adalah sesuatu yang --kita anggap

saja-- tidak memiliki rujukan khusus ke ego dari orang yang merasakan dambaan

tersebut, dan karena itu secara teoritis dapat didambakan oleh setiap orang.

Jadi, kita mungkin merumuskan sebuah ―ideal‖ sebagai sesuatu yang

didambakan dan tidak bersifat egosentris, sehingga orang yang mendambakannya

patut berharap, orang lain juga akan mendambakan hal serupa. Dengan cara ini, orang

bersangkutan bisa membangun sesuatu yang seolah-olah seperti etika yang

impersonal. Walaupun, faktanya ―ideal‖ itu didirikan di atas landasan personal,

berupa hasrat dan dambaan dari pribadi si orang bersangkutan.

Page 16: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

16

Selain itu, mungkin saja terjadi konflik antara ideal-ideal yang murni bersifat

impersonal. Pahlawannya Nietzsche berbeda dengan figur seorang suci Kristiani,

walaupun secara impersonal keduanya sama-sama dikagumi, yang pertama oleh para

pendukung pemikiran Nietzsche, dan yang kedua oleh para penganut Kristiani.

Bagaimana kita bisa memilih satu di antara dua figur pahlawan ini, kecuali

berdasarkan dambaan kita sendiri?

Jika tak ada landasan pertimbangan lain, maka suatu ketidaksepakatan etis

hanya dapat diputuskan lewat imbauan emosional atau kekuasaan. Tentang masalah

fakta, kita bisa saja mengharapkan bantuan sains dan metode ilmiah observasi.

Namun, tentang pertanyaan puncak etika, tampaknya tidak ada yang bisa

dianalogikan. Maka, jika ini benar terjadi, peselisihan etis akan diselesaikan lewat

pertarungan kekuasaan, termasuk lewat kekuatan propaganda.

Cara pandang ini, dalam bentuknya yang kasar, diajukan dalam bagian

pertama buku Republic oleh tokoh Thrasymachus, yang ---seperti tokoh-tokoh lain

dalam dialog-dialog Plato—adalah tokoh yang benar-benar ada. Ia adalah seorang

Sophis dari Chalcedon, dan guru retorika terkenal. Thrasymachus menyatakan,

―Keadilan adalah tak lain dari kepentingan pihak yang lebih kuat.‖

Ucapan Thrasymachus ini mengangkat pertanyaan mendasar dalam etika dan

politik: Apakah ada standar tentang ―baik‖ dan ―buruk,‖ kecuali berdasarkan apa yang

didambakan oleh orang yang menggunakan kata-kata tersebut? Jika tidak ada standar

semacam itu, banyak konsekuensi dari ucapan Thrasymachus tersebut tidak bisa kita

hindari.

Pada titik ini, agama pada pada pandangan sekilas pertama memberi jawaban

sederhana. Tuhan menentukan apa yang baik dan apa yang buruk. Orang yang

kehendaknya selaras dengan kehendak Tuhan adalah orang yang baik. Namun

jawaban ini tidak sangat ortodoks.

Para teolog mengatakan, Tuhan itu baik, dan ini berarti ada standar kebaikan

yang independen dari kehendak Tuhan. Maka kita dipaksa untuk menghadapi

pertanyaan: Apakah ada kebenaran atau kekeliruan obyektif di dalam pernyataan

seperti ―kenikmatan itu baik,‖ dalam arti yang sama seperti pernyataan ―salju itu

putih?‖ Untuk menjawabnya, diperlukan diskusi panjang.

Beberapa orang mungkin berpikir bahwa demi pertimbangan praktis, kita

dapat menghindari pertanyaan fundamental itu, dengan mengatakan, kita tak tahu apa

yang dimaksud dengan ―kebenaran obyektif.‖ Namun, kita akan menganggap sesuatu

Page 17: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

17

itu benar, jika semua –atau tampaknya semua—yang menyelidikinya sepakat tentang

hal tersebut.

Namun, selanjutnya kita kemudian menghadapi pertanyaan tentang fakta:

Apakah ada pernyataan-pernyataan semacam itu yang disepakati dalam hal etika? Jika

ada, maka pernyataan-pernyataan itu bisa dijadikan landasan bagi aturan perilaku

perorangan, atau untuk teori politik.

Sebaliknya, jika tidak ada, maka kita dipaksa untuk masuk ke ranah praktik.

Tanpa mempersoalkan lagi kebenaran filosofis, kita akan beradu dengan kekuatan

atau propaganda atau kedua-duanya, manakala terdapat perbedaan etis yang tak bisa

dipertemukan antara kelompok-kelompok yang berkuasa.

Bagi Plato, pertanyaan ini tidak benar-benar ada. Walau rasa dramatiknya

menggiringnya dengan kuat ke posisi Thrasymachus, ia tak begitu sadar akan

kekuatan posisi Thrasymachus dan membiarkan diri secara kurang adil menentang

posisi itu. Plato yakin bahwa ada yang namanya ―Yang Baik‖, dan bahwa hakikat

―Yang Baik‖ itu dapat dipastikan. Jika ada orang yang tidak sepakat dengannya, salah

satu dari mereka sedikitnya telah membuat kesalahan intelektual. Sama halnya dengan

jika ketidaksepakatan itu bersifat ilmiah, tentang beberapa hal yang terkait soal fakta.

Perbedaan antara Plato dan Thrasymachus sangat penting. Namun, bagi

sejarawan filsafat, ini hanya sekadar catatan. Plato berpikir, ia dapat membuktikan

bahwa Republic idealnya itu baik. Sebaliknya, seorang demokrat yang menerima

obyektivitas etika mungkin berpikir bahwa ia dapat membuktikan Republik itu buruk.

Tetapi, bagi siapa saja yang setuju dengan Thrasymachus akan mengatakan:

―Masalahnya bukan soal membuktikan atau tidak membuktikan. Satu-satunya

pertanyaan adalah, apakah anda menyukai Negara yang didambakan Plato. Jika

jawabannya ya, itu artinya baik untuk Anda. Jika Anda tak menyukainya, berarti itu

buruk untuk Anda. Jika banyak yang setuju dan banyak juga yang tidak setuju,

keputusan tak bisa diambil berdasarkan nalar, tetapi hanya dengan kekuatan, baik

secara terang-terangan atau terselubung.‖

V. Komentar Penutup

Harus diakui, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk merentangkan dan

mengungkapkan pemikiran filsafat Plato yang sangat luas, terutama pemikiran

Page 18: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

18

politiknya, dalam makalah yang pendek seperti ini. Maka, tulisan ini hanya mencoba

menampilkan sejumlah kecil pemikiran intinya, yang semoga dapat dipahami.

Dari sejumlah komentar dan kritik dari para pemikir lain di generasi-generasi

sesudahnya, terlihat bahwa sebenarnya masih banyak pemikiran Plato yang relevan,

jika dikaitkan dengan konteks dan perkembangan dunia masa kini.

Tentu saja, pemikiran Plato itu tidak bisa diterapkan mentah-mentah begitu

saja dalam konteks situasi dunia sekarang, yang sudah sangat berbeda. Harus dicatat,

pemikiran Plato ini diciptakan sekitar 2.500 tahun yang lalu, dalam lingkungan dunia

yang ekstrem berbeda. Sehingga dalam membuat penilaian, kita juga harus bersikap

adil pada Plato.

Berbagai perkembangan kontemporer sekarang –seperti krisis ekonomi

dahsyat yang melanda dunia, dipertanyakannya kembali asumsi-asumsi dasar

liberalisme dan kapitalisme, dampak kerusakan akibat kebebasan yang tanpa kontrol,

peran pemerintah yang coba dihidupkan kembali sesudah dimatikan oleh ekonomi

neoliberal— telah membuka peluang-peluang baru, bagi aplikasi pemikiran Plato.

Plato dalam karyanya Republic telah mengakui, utopia mungkin tak akan

pernah tercapai. Sedangkan karyanya Laws menyediakan cetak biru bagi sebuah

pendekatan (aproksimasi) terhadap kondisi ideal tersebut, yang masih dalam

jangkauan orang biasa. Yakni, orang biasa yang ingin ikut berperan dalam kehidupan

politik, memiliki tanah sendiri, dan hidup di rumah tangga biasa yang konvensional.

Artinya, Plato sendiri sejak awal telah menyadari keterbatasan-keterbatasan

yang mungkin mucul dalam upaya mewujudkan dambaannya tentang tatanan

masyarakat yang ideal. Maka, dari situ, pemikiran Plato tentang Utopia dan

masyarakat yang ideal itu dapat kita tempatkan dalam perspektif baru, untuk memberi

pandangan dunia yang berbeda, bagi kemungkinan munculnya alternatif tindakan-

tindakan yang berbeda pula.

Sumbangan semacam inilah barangkali yang bisa diberikan oleh pemikiran

Plato. Bukan suatu sumbangann yang harus diterima begitu saja, tetapi sekadar

sebagai benih dan humus yang harus kita pupuk dan kita tumbuh-kembangkan lebih

lanjut, untuk mewujudkan tatanan masyarakat dan dunia yang lebih baik, yang kita

cita-citakan. ***

Depok, 18 Desember 2008

Page 19: Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis

19

Referensi:

1. Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah

Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

2. Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

3. Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New

York: Oxford University Press.

4. Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari

Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme, Hingga Cultural Studies.

Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.

5. Magnis-Suseno, Franz. 2005. Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat

Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

6. Nurtjahjo, Hendra. 2006. Filsafat Demokrasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

7. Russell, Bertrand. 1948. History of Western Philosophy and Its Connection

with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present

Day. London: George Allen and Unwin Ltd.

8. Brooks, Thom. ―Knowledge and Power in Plato's Political Thought,‖ dalam

International Journal of Philosophical Studies, Volume 14, No. 1, No.

1/Maret 2006, hlm. 51-77.

9. Schofield, Malcolm. 2006. Plato: Political Philosophy, Oxford: Oxford

University Press.

10. Bertens, K. Etika. 2004. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

11. http://www.iep.utm.edu/p/platopol.htm

12. http://plato.stanford.edu/entries/plato-ethics-politics/#4.1

13. http://www.ingentaconnect.com/content/routledg/riph/2006/00000014/000000

01/art00003