Pemikiran Politik Masa Revolusi
description
Transcript of Pemikiran Politik Masa Revolusi
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Berbagai macam fenomena kenampakan dari politik
secara mendasar pasti melihat dari faktor sejarahnya terdahulu,
sebagai founding fathers Moh Hatta dan Soekarno merupakan
orang yang paling berpengaruh untuk Indonesia ditengah
kegentingan menegakan kedaulatan Indonesia pasca
kemerdekaan. Dengan mengenal dan mempelajari bagaimana
pemikiran-pemikiran beliau diharapkan akan dapat membantu
kami selaku praja kader pemerintahan yang nantinya akan
bersumbangsih dalam pelaksanaan pemerintahan yang tidak
pernah lepas dari politik.
II. Rumusan Masalah
A. Kapankah masa Revolusi Indonesia itu?
B. Bagaimana pemikiran politik mengisi kemerdekaan
Ir.Soekarno di periode revolusi?
C. Bagaimana pemikiran politik mengisi kemerdekaan Moh.
Hatta di periode revolusi?
III. Tujuan
A. Mengetahui waktu terjadinya periode revolusi
B. Mengetahui pemikiran politiik mengisi kemerdekaan Ir.
Soekarno di periode revolusi.
C. Mengetahui pemikiran politik mengisi kemerdekaan Moh
Hatta di periode Revolusi.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Revolusi Indonesia
Revolusi Nasional Indonesia adalah sebuah konflik bersenjata dan
pertentangan diplomasi antara Republik Indonesia yang baru lahir
melawan Kerajaan Belanda yang dibantu oleh pihak Sekutu, diwakili
oleh Inggris. Rangkaian peristiwa ini terjadi mulai dari proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga
pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Kerajaan Belanda pada 29
Desember 1949. Meskipun demikian, gerakan revolusi itu sendiri telah
dimulai pada tahun 1908, yang saat ini diperingati sebagai tahun
dimulainya kebangkitan nasional Indonesia.
Selama sekitar empat tahun, beberapa peristiwa berdarah terjadi
secara sporadis. Selain itu terdapat pula pertikaian politik serta dua
intervensi internasional. Dalam peristiwa ini pasukan Belanda hanya
mampu menguasai kota-kota besar di pulau Jawa dan Sumatera,
namun gagal mengambil alih kendali di desa dan daerah pinggiran.
Karena sengitnya perlawanan bersenjata serta perjuangan diplomatik,
Belanda berhasil dibuat tertekan untuk mengakui kemerdekaan
Indonesia.[3] Revolusi ini berujung pada berakhirnya pemerintahan
kolonial Hindia Belanda dan mengakibatkan perubahan struktur sosial
di Indonesia, di mana kekuasaan raja-raja mulai dikurangi atau
dihilangkan. Peristiwa ini dikenal dengan "revolusi sosial", yang terjadi
di beberapa bagian di pulau Sumatera
II. Pemikiran Politik Ir. Soekarno
II.1 Biografi singkat
Ir. Soekarno, inilah presiden pertama Indonesia, Sang
Proklamator Kemerdekaan Indonesia bersama Bung Hatta pada
17 Agustus 1945. Soekarno merupakan seorang siswa yang
mendapat pendidikan barat sekuler yang kemudian aktif dalam
kegiatan politik ketika usianya memasuki dewasa. Soekarno lahir
ketika pada masa permulaan era kebangkitan dan pergerakan
nasional. Bagi bangsa Indonesia abad ke-19 merupakan zaman
yang gelap. Sebaliknya zaman itu bagi mereka di belahan bumi lain
adalah zaman penuh semangat di dalam pasang naiknya revolusi
kemanusiaan. Ibunya bernama Idayu Nyoman Ray dan ayahnya
bernama R. Soekemi Sosrodihardjo, kemudian kakaknya bernama
Soekarmini. “Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari
kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, merupakan keturunan bangsawan.
Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibuku”, ujar Soekarno.
Soekarno mempunyai kakek yang ahli dalam ilmu gaib dan ahli
kebatinan yang bernama Raden Hardjodikromo, dengan
berhubungan terhadap kakeknya ini secara tidak langsung
Soekarno mendapat ilmu kebatinan dalam menjalani karir politiknya
kelak.
Presiden pertama Indoensia ini diberi nama Kusno oleh
Bapak-Ibunya, Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman
Rai. Nama Kusno akhirnya dirubah menjadi Soekarno oleh orang
tuanya karena sejak kelahirannya pada 6 Juni 1901 di Blitar
Soekarno kecil sering sakit-sakitan, kepercayaan jawa mengubah
nama adalah usaha untuk menghilangkan seringnya Soekarno kecil
mengalami sakit-sakitan.
Selepas Sekolah Dasar Bung Karno sudah hidup mandiri,
beliau melanjutkan sekolah di Surabaya yaitu HIS dan HBS.
Selama di Surabaya beliau tinggal di rumah Haji Oemar Said
Tjokroaminoto, yang pada akhirnya Bung Karno memperistri putri
dari tokoh Syarikat Islam tersebut. Kemudian Bung Karno
melanjutkan sekolah di THS, atau ITB sekarang ini. Sambil kuliah di
THS Bung Karno aktif di kegiatan- kegiatan politik yang
menyuarakan kemerdekaan Indonesia, akibat dari kegiatannya itu
sejak muda Bung Karno telah akrab dengan penjara, tentu
penangkapan- penangkapan itu atas perintah pemerintah kolonial
Belanda.
Soekarno muda tumbuh menjadi pemuda yang
revolusioner. Ketika mengambil kuliah di THS (Technische
Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi
ITB) di Bandung ia telah aktif dalam pergerakan-pergerakan
politik. Tiada pilihan lain baginya selain berjuang untuk secara
politis menentang kolonialisme dan imperialisme, bahkan hal itu
menggelisahkan profesornya. Pada suatu pagi di awal tahun 1923,
sebagai seorang mahasiswa Soekarno dipanggil untuk menghadap
Rektor Technische Hoge School (THS), yakni Profesor Klopper.
Kepada mahasiswanya itu, sang profesor mengatakan, “Kamu
harus berjanji bahwa sejak sekarang kamu tak akan lagi ikut-ikutan
dengan gerakan politik.” “Tuan,” jawab Soekarno, “Saya berjanji
untuk tidak akan mengabaikan kuliah-kuliah yang Tuan berikan di
sekolah.” “Bukan itu yang sama minta,” sanggah si profesor. “Tetapi
hanya itu yang bisa saya janjikan, Profesor,” jawab Soekarno lagi.
Setelah lulus pada 1926 dari bangku kuliah Ir. Soekarno
mendirikan PNI bersama teman-temanya Pandangan Soekarno
muda ini sangat menonjol, cita-citanya yang besar untuk Indonesia
Merdeka adalah obor yang menyala-nyala dalam sanubarinya.
Pada tahun 1926 pandangannya itu diwujudkan dalam tulisannya
yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Dimana-
mana Bung Karno selalu mengatakan bahwa dirinya adalah
Nasionalis, tentu yang menjadi pertanyaan mengapa ia
mengakomodasi Islamisme dan Marxisme? Bagi Bung Karno
membebaskan Bangsa Indonesia dari penjajahan kolonial adalah
harga mati. Kedaulatan Bangsa Indonesia adalah kemerdekaan
dari Sabang hingga Merauke. Pada masa perjuangan fisik inilah
Bung Karno tumbuh dan berkembang dan pada masa itu tidak
hanya Indonesia yang berada pada cengkeraman kolonial tetapi
juga negara-negara di Asia dan Afrika. Bung Karno melihat di
semua negri terjajah, termasuk di indonesia, perjuangan
melawan kolonial ini ada dua warna yang dominan yaitu dengan
bendera Islam ataupun bendera Sosialis (Marxis). Bung Karno
mengakui bahwa Islamisme dan Marxisme adalah ideologi yang
lintas bangsa tetapi benang merah yang diambil oleh Bung Karno
adalah semua perjuangan yang ada di berbagai negeri adalah
sama yaitu untuk memerdekakan negrinya dari kolonialisme dan
imperialisme. Maka dari itu Bung Karno selalu menekankan
bahwa segala macam warna perjuangan yang ada di Indonesia
adalah untuk Tanah Air Indonesia, semua harus bersatu, bahu-
membahu demi Tanah Air tempat dimana Bangsa Indonesia hidup.
II.2 Pemikiran Politik Ir. Soekarno Tentang Kapitalisme Dan
Hubungannya Dengan Demokrasi Dan Nasionalisme
Di dalam pembahasan ini, Soekarno menuangkan gagasan
yang sangat cemerlang tentang konsep kapitalisme yang dapat
saja terbentuk dari pribadi sendiri. Dalam pengertiannya,
kapitalisme adalah stelsel pergaulan hidup yang timbul dengan cara
produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi.
Dengan begitu, kapitalisme terjadi atas dasar perbedaan antara
kaum buruh dengan kaum pemilik modal yang terpisahkan dengan
alat-alat produksi.
Kapitalisme memang timbul dari cara produksi yang
mengakibatkan banyak sekali penindasan terhadap kaum buruh,
sehingga dalam pandangan ini Soekarno sangat menentang
dengan keras faham seperti ini, apalagi jika faham ini berada di
Indonesia. Kapitalisme juga sebenarnya melahirkan imperialisme
modern yang dapat membuat sebuah bangsa menjadi celaka.
Dari berbagai pengaruh negatif tersebut sebenarnya pengaruh
kapitalisme telah ada di dalam bangsa sendiri, seperti timbulnya
tuan-tuan tanah dan banyaknya kaum pekerja yang lemah, dengan
demikian kapitalisme dapat hadir dalam bangsa sendiri dan
memakan bangsa sendiri. Oleh karena itu, seharusnya bangsa
Indonesia melakukan upaya-upaya yang baik dan benar agar
sistem kapitalisme tidak dapat berkembang biak di bangsa ini.
Upaya yang harus dilakukan adalah dengan cara peningkatan
nasionalisme di segala aspek kehidupan, hal ini akan menjadi
cermin bahwa segala tindakan yang dilakukan semata-mata untuk
bangsa dan negara Indonesia, bukan untuk kepentingan individu.
Selanjutnya, nasionalisme tidak akan terbentuk jika tidak ada
sikap gotong-royong yang baik, dengan begitu sikap yang harus
dimunculkan untuk mengembangkan rasa nasionalisme adalah
sikap gotong-royong karena sikap ini akan memicu kerja keras
yang sangat hebat di setiap kalangan sehingga tidak akan
membeda-bedakan status sosial dan ekonomi, serta suku, agama,
ras. Konsep gotong royong ini yang akan memberikan pengaruh
positif dalam menimbulkan nasionalisme tersebut, sebab ketika
konsep ini menjadi sebuah sistem dalam kehidupan bangsa dan
negara Indonesia, maka konsep ini akan menjadi kuat dan
membentuk nasionalisme, dengan demikian kapitalisme tidak akan
lahir dan berkembang. Selanjutnya, kapitlaisme bangsa sendiri pun
akan musnah seiring dengan terbentuknya kekuatan dari bangsa
sendiri ini untuk menghalau dari serangan kapitalisme yang
mengakar.
1.2.1 Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi
Masih di dalam buku Dibawah Bendera Revolusi,
Soekarno menerangkan mengenai demokrasi politik dan
demokrasi ekonomi. Dalam pandangannya, demokrasi adalah
pemerintahan rakyat, yaitu suatu cara pemerintahan ini
memberikan hak kepada semua rakyat untuk ikut memerintah.
Sesuai dengan apa yang Soekarno lakukan bahwa Indonesia
harus “berdikari”, yaitu berdiri di kaki sendiri, maka dengan
cara pemerintahan ini sekarang menjadi cita-cita semua
partai-partai nasionalis di Indonesia. Tetapi dalam mencita-
citakan faham dan cara pemerintahan demokrasi itu, kaum
marhaenis harus berhati-hati, artinya jangan meniru saja
demokrasi-demokrasi yang kini dipraktekkan di dunia luar.
Di dalam tulisan ini, Soekarno mengkritik demokrasi
yang diterapkan di barat yang sarat dengan tipu daya oleh
kaum kapitalis dan borjuis dalam menindas kaum proletar.
Dalam pada itu, demokrasi yang bersumber dari barat itu
bukanlah sebuah demokrasi yang adil karena kaum proletar
belum mendapatkan kesejahteraannya dengan baik.
Demokrasi seperti itu yang jangan ditiru menurut Soekarno,
sebab demokrasi itu bukan demokrasi untuk kaum marhaen
Indonesia, karena demokrasi yang seperti itu hanya
demokrasi parlemen saja, yakni hanya demokrasi politik,
bukan demokrasi ekonomi.
Sebenarnya pernyataan Soekarno telah dituangkan
dalam tulisan sebelumnya mengenai demokrasi ini, yaitu
demokrasi politik belum tentu mampu menyelamatkan rakyat,
sebab di negeri barat dimana demokrasi politik dijalankan,
kapitalisme merajalela dan kaum marhaen/proletar sengsara.
Oleh sebab itu, kaum nasionalis Indonesia tidak boleh
memakai konsep demokrasi yang seperti itu, yang harus
dilakukan adalah mencari demokrasi yang dapat
menyelamatkan semua manusia.
Dengan begitu, seharusnya nasionalisme yang harus
dijalankan adalah nasionalisme dengan konsep dasar peri-
kemanusiaan, yaitu suatu konsep dimana harus dijalankan
sosio-demokrasi, yaitu suatu istilah yang timbul untuk
mengabdi kepada kepentingan masyarakat banyak,
khususnya di Indonesia, dan bukan mengabdi kepada
sekelompok kecil saja.
Dalam pengertian lain, konsep dari sosio-demokrasi
adalah menghidupkan demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi dalam rangka mensejahterakan rakyat banyak. Ini
adalah hal yang sulit, namun dapat dilaksanakan jika jiwa
nasionalisme dari konsep tersebut dapat dikembangkan dan
dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Dasar dari konsep
demokrasi ini pula yang kemudian mengilhami Soekarno
dalam membentuk konsepsi demokrasi terpimpinnya untuk
mempertahankan kekuasaan.
1.2.2 Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi
Di dalam tulisan Soekarno pada fikiran Ra’yat tahun
1932 mengungkapkan permasalahan yang sangat kental
dengan aroma persoalan nasionalisme yang bersifat
kerakyatan. Dalam tulisannya dia mengungkapkan bahwa
sosio-nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat, yaitu
nasionalisme yang mencari keselamatan seluruh masyarakat
dan yang bertindak menurut kemauan masyarakat itu. Dalam
bagian ini, Soekarno menjelaskan lagi bahwa sosio-
nasionalime itu harus diperhitungkan, itulah sebabnya sosio-
nasionalisme harus bertindak menurut kemauan masyarakat
dan tidak melanggar kemauan masyarakat.
Dalam pandangan lain, Soekarno memberikan dasar
bahwa perburuhan itu ada seiring dengan sistem kapitalisme
tersebut. Dengan hal yang demikian, sosio-nasionalisme
harus memandang perburuhan ini sebagai suatu keharusan.
Selanjutnya, harus menerima perburuhan tersebut sebagai
suatu alat dalam perjuangan. Pemikiran ini sepertinya telah
dipengaruhi oleh konsep Karl Marx yang menganggap
perburuhan itu sebagai senjata bagi kapitalisme.
Pemikiran Soekarno ini yang menandai bahwa
pandangannya terhadap pertarungan kelas pasti terdapat di
suatu negara dan hal tersebut harus dimaksimalkan dalam
membangkitkan kekuatan buruh dalam membangun kekuatan
besar di Indonesia untuk mengalahkan kolonialisme dan
imperialisme barat. Dalam pandangan lain, Soekarno juga
mengetahui bahwa perburuhan di Indonesia memiliki kekuatan
yang besar sehingga kekuatan tersebut harus dimanfaatkan
dengan cara penyadaran bahwa perburuhan selama ini
ditindas oleh kelompok kapitalisme.
Salah satu keunggulan dari sikap sosio-nasionalisme
dapat menimbulkan sikap non-kooperasi, yaitu suatu sikap
tidak mau bekerja bersama-sama. Dengan begitu, perjuangan
akan dilaksanakan dengan jalan tidak mau bekerja sama
dengan kaum kapitalisme yang cenderung bekerja sama
dengan kelompok kolonialisme dan imperialisme barat. Sikap
non-kooperasi juga merupakan salah satu azas perjuangan
dalam mencapai Indonesia merdeka. Di dalam mencapai
Indonesia merdeka itu kita harus senantiasa ingat, bahwa
pertentangan kebutuhan antara sana dan sini, antara kaum
penjajah dan kaum dijajah akan selalu ada dan harus
dijadikan kekuatan dalam perjuangan.
Dalam pada itu, sosio-nasioanlisme ini kemudian
melahirkan sikap non-kooperasi, yaitu suatu sikap yang tidak
ingin bekerja sama dengan pihak pemilik modal. Dengan kata
lain, perjuangan yang kemudian dihasilkan adalah perjuangan
dalam bentuk tindakan yang tidak akan bekerja sama dengan
para kaum pemilik modal karena merupakan representasi dari
kolonialisme dan imperialisme barat. Perjuangan ini
menjadikan non-kooperasi sebagai suatu prinsip yang hidup
dalam mencerminkan sikap yang tidak mau bekerja bersama-
sama diatas segala lapangan politik dengan kaum pemilik
modal.
Perjuangan dari non-kooperasi ini bersifat perjuangan
politik yang dapat saja perjuangannya bersifat radikal, namun
dalam arti yang sebenarnya adalah radikal dari pembersihan
hati, radikal pikiran, dan sebagainya. Pemikiran ini
mengandung banyak pemahaman lain, salah satunya adalah
non-kooperasi adalah suatu sikap menolak adanya sikap kerja
sama dalam hal diplomasi di dalam parlemen, dengan begitu
sikap ini memungkinkan adanya gerakan lain, yaitu suatu
gerakan yang berada di luar parlemen.
Sikap sosio-nasionalisme ini yang kemudian
berkembang pada tahapan yang lain yaitu sikap sosio-
demokrasi. Sosio-demokrasi adalah pemerintahan yang
diselenggarakan oleh rakyat dengan tujuan untuk
mensejahterakan rakyat. Pandangan besar ini sungguh
berkaitan satu sama lainnya yang merupakan gagasan besar
Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Dengan gagasan seperti ini, Soekarno berhasil memberikan
sebuah konsep besar dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia, selain itu gagasan tentang sosio-nasionalisme
yang sangat besar tersebut adalah salah satu gagasan yang
sangat berpengaruh dalam perkembangan persatuan di
Indonesia.
1.2.3 Pemikiran Soekarno Tentang Pancasila
Pemikiran Bung Karno yang brilian adalah Pancasila.
Pancasila disampaikan oleh Bung Karno pada saat sidang
BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Sidang tersebut adalah
lanjutan sidang dari sidang-sidang sebelumnya
yang juga sempat mendengarkan usualn-usulan
mengenai dasar negara seperti dari Dr. Soepomo, pada 31
Mei 1945.
Bung Karno menyampaikan bahwa perlu adanya sebuah
dasar dari sebuah negara yang bersumber dari nilai-nilai asli
suatu bangsa tersebut. Maka, untuk Indonesia Bung Karno
menyampaikan lima asas yaitu Kebangsaan Indonesia,
Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau
Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang
berkebudayaan atau Ketuhanan Yang Mahaesa. Kelima asas
tersebut kemudian disebut dengan Pancasila, yang artinya
lima dasar atau lima asas. Dalam sidang BPUPKI tersebut
Bung Karno juga menyampaikan bahwa kelima sila tersebut
digali dari jatidiri bangsa Indonesia.
Tanggal 22 Juni 1945, dirumuskan kembali menjadi
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
para pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mohammad
Yamin kemudian menamakan rumusan baru itu sebagai
Piagam Djakarta.
Dalam sidangnya sehari setelah proklamasi, 18 Agustus
1945 PPKI memutuskan menghapus tujuh kata dalam Piagam
Djakarta, yaitu mengganti rumusan “dengan berdasarkan
pada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi para pemeluknya” menjadi “dengan berdasarkan pada
Ketuhanan Yang Mahaesa”. Pada sidang itu PPKI sekaligus
meresmikan UUD 1945 yang pembukaannya memuat
rumusan resmi Pancasila yang telah diperbarui.
Dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 tersebut
sebenarnya Bung Karno juga menawarkan alternatif dari
Pancasila untuk diperas menjadi tiga sila saja, Trisila, yaitu,
sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Bahkan
kemudian Bung Karno kembali menawarkan, Trisila tersebut
bisa diperas kembali menjadi Ekasila, yaitu gotong royong.
Gotong royong inilah yang dianggap Bung Karno sebagai
nafas rakyat Indonesia dalam perjuangan.
Sampai saat ini terbukti bahwa Pancasila benar-benar
sebuah dasar negara yang digali dari bumi pertiwi Indonesia,
meski dalam perjalanan sejarahnya begitu banyak kerikil yang
mengganggu, tapi Pancasila tetap diakui menjadi sebuah
kalimat bersama bagi rakyat Indonesia, apapun golongannya.
Bung Karno melihat Pancasila sebagai sebuah azimat bagi
Bangsa Indonesia yang patut dibanggakan, bahkan hingga di
depan mimbar PBB sekalipun beliau dengan lantang
menyuarakan Pancasila. Kebanggan Bung Karno dan
tentunya masyarakat Indonesia juga terhadap Pancasila
karena Pancasila mampu menjadi pemersatu bagi sekian
banyak suku bangsa, agama, dan golongan yang ada di
Indonesia.
Dalam pidato Soekarno pada tanggal 1 Juli 1945 yang
kemudian diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila ialah
momentum bagi Soekarno dalam pembahasan mengenai
ideologi yang akan dibawa oleh Indonesia. Dalam pandangan
Soekarno pada saat pidato, Pancasila yang merupakan dasar
dari bangsa dan negara Indonesia menganut sebuah
fundamen, filsafat, dan pikiran yang sedalam-dalamnya,
sebagai suatu jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya untuk
diatasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan
abadi.
Dasar dari Pancasila tersebut menurut Soekarno adalah
semua untuk semua yang mengandung arti bahwa Pancasila
hadir dalam rangka mewadahi berbagai kelompok yang ada di
Indonesia, jadi Pancasila tersebut bukan untuk satu golongan
saja, akan tetapi sebenarnya cerminan dari keragaman
berbagai perbedaaan yang ada di Indonesia.
Sebenarnya dasar pertama yang kemudian dijelaskan
oleh Soekarno adalah mengenai kebangsaan, dalam hal ini
kebangsaan yang dimaksud adalah seluruh manusia-manusia
yang menurut geo-politik telah ditentukan oleh Allah SWT.
Tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari
ujung utara sumatra sampai ke Irian.[17] Disanalah tujuan itu
ingin sampai, mendirikan suatu negara di atas suatu kesatuan
bumi Indonesia.
Prinsip yang kedua dari konsep Soekarno adalah
internasionalisme, yaitu peri-kemanusiaan dalam
berhubungan dengan manusia lainnya, khususnya di
Indonesia dan umumnya yang berada di dunia. Dengan
prinsip ini, maka Indonesia akan menuju pada persatuan
dunia dan persaudaraan dunia. Dalam hal ini, Soekarno
berpandangan bahwa kita bukan saja harus mendirikan
negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju pula
kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Prinsip yang ketiga kemudian menerapkan dasar
mufakat, dasar perwakilan, dan dasar permusyawaratan.
Dengan begitu, dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal,
juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan
atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Sebenarnya pada dasar yang ketiga ini Soekarno ingin
memberikan sebuah pembagian secara proporsional terhadap
berbagai elemen yang ada di Indonesia, sehingga apapun
keputusan nanti akan diperjuangkan oleh berbagai elemen
tersebut sesuai kekuatan perjuangan mereka dalam
memberikan pengaruh.
Pada tahap keempat adalah prinsip mengenai
kesejahteraan sosial, yaitu sebuah prinsip yang
memungkinkan tidak akan adanya kemiskinan di dalam
Indonesia merdeka. Dengan prinsip seperti ini diharapkan
bahwa Indonesia merdeka akan menjadi bangsa yang
sejahtera, jauh dari kelaparan, dan cukup pangan serta kaum
kapitalis tidak melakukan pola hegemoni kekuasaannya.
Prinsip yang kelima adalah prinsip yang menghimpun
semua agama yang ada di dalam bangsa dan negara ini, yaitu
prinsip tentang ketuhanan. Dengan adanya prinsip ini, maka
bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan tetapi masing-masing
orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri.
Konsep itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan
Pancasila, yaitu lima dasar yang mempunyai arti filosofis yang
berasal dari bangsa dan negara Indonesia. Namun harus
diingat, Pancasila yang ada saat ini telah mengalami
penyempurnaan dari segi redaksi tetapi tidak mengurangi
esensi dari apa yang Soekarno jelaskan dalam pidato
pertamanya mengenai dasar negara.
Dalam bagian lain, menurut Soekarno dapat saja
Pancasila itu diperas hingga menjadi satu dan kemudian
dapat dikenal dengan sebutan gotong-royong. Konsep gotong-
royong ini merupakan konsep dinamis, bahkan lebih dinamis
dari perkataan kekeluargaan. Sebab konsep gotong-royong ini
menggambarkan suatu usaha, satu amal, satu pekerjaan
secara bersama-sama. Gotong-royong adalah pembanting
tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan
bantu-biantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua,
keringat semua kebahagiaan semua.
Prinsip gotong royong ada di antara yang kaya dan yang
tidak kaya, antara Islam dan yang Kristen, antara yang bukan
Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa
Indonesia. Prinsip gotong-royong tersebut dapat menjadi
motor perubahan bagi bangsa Indonesia dalam merangkai
perbedaan yang ada. Dengan begitu, persatuan yang akan
dijalin oleh bangsa ini akan membawa perubahan yang besar.
Dengan demikian, telah dikemukakan bahwa
pemahaman Soekarno dalam Pancasila didasari oleh sikap
bangsa Indonesia pula agar terbentuk suatu rasa persatuan
yang akan berimbas pada terbentuknya Indonesia merdeka.
Pancasila juga sebenarnya menerapkan dimensi lain, yaitu
suatu dimensi filosofis dalam tujuannya merangkai perbedaan
yang ada di Indonesia. Dapat dilihat sebenarnya, bahwa
perbedaan yang ada di Indonesia bukan untuk dijadikan dasar
dari perselisihan yang terjadi, akan tetapi harus dijadikan
sebuah hubungan kolektif yang dapat saling melengkapi.
III. Pemikiran Politik Moh. Hatta
III.1Biografi Moh. Hatta
Dr.(HC) Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama
Muhammad Athar, populer sebagai Bung Hatta; lahir di Fort de
Kock (sekarang Bukittinggi, Sumatera Barat), Hindia Belanda, 12
Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur
77 tahun) adalah pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil
Presiden Indonesia yang pertama. Ia bersama Soekarno
memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa
Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus
memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga pernah
menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II,
dan RIS. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956,
karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta juga dikenal
sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Bandar udara internasional Jakarta, Bandar Udara
Soekarno-Hatta, menggunakan namanya sebagai penghormatan
terhadap jasa-jasanya. Selain diabadikan di Indonesia, nama
Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama
jalan di kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem dengan nama
Mohammed Hattastraat. Pada tahun 1980, ia meninggal dan
dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta ditetapkan
sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 23
Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986/
III.2Bung Hatta Dan Demokrasi
Cita-cita tentang keadilan sosial adalah sari pati dari nilai-
nilai timur dan barat yang mengkristal dan membentuk visi Hatta
mengenai masalah-masalah politik kenegaraan. Hatta sangat
percaya bahwa demokrasi adalah hari depan sistem politik
Indonesia. Demokrasi akan tersingkir sementara, tetapi ia akan
kembali dengan tegapnya . memang tidak mudah membangun
suatu demokrasi di Indonesia yang lancar jalannya, tetapi ia akan
muncul kembali dan itu tak dapat di bantah. Kepercayaan yang
mendalam kepada prinsip demokrasi inilah yang pernah
menempatkan Hatta pada posisi yang berseberangan dengan
Bung Karno ketika masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Hatta
menilai sistem ini sebagai system otoriterian yang menindas
demokrasi. Sekalipun pendapatnya berbenturan dengan Bung
Karno, Hatta tetap saja memberikan fair chance kepada presiden
untuk membuktikan dalam realitas.
Sekalipun tertindas, di mata Hatta demokrasi tidak akan
pernah lenyap dari bumi Indonesia. Menurut Hatta ada tiga
sumber pokok demokrasi yang mengakar di Indonesia. Pertama,
sosialisme Barat yang membela prinsip-prinsip humanisme,
sementara prinsip -prinsip ini dinilai juga sekaligus sebagai
sebagai tujuan. Kedua,ajaran Islam memerintahkan kebenaran
dan keadilan Tuhan dalam masyarakat. Ketiga, pola hidup dalam
bentuk kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa wilayah
Indonesia. Ketiga sumber inilah yang akan menjamin kelestarian
demokrasi di Indonesia. Baginya, suatu kombinasi organik antara
tiga sumber kekuatan yang bercorak sosio religius inilah yang
memberi keyakinan kepada Hatta bahwa demokrasi telah lama
berakar di Indonesia tidak terkecuali di desa-desa. Bila di desa
yang menjadi tempat tinggal sekitar 70% rakyat Indonesia masih
mampu bertahan, maka siapakah yang meragukan hari depan
demokrasi di Indonesia.Tetapi memang sia-sia, sistem feodal
sering mengganjal perkembangan demokrasi di Indonesia pada
berbagai periode sejarah Indonesia modern. Sesudah
kemerdekaan dicapai dan dinikmati bangsa ini, Bung Hatta
membuka peluang bagi pembelajaran demokrasi rakyat di
Indonesia. Bung Hatta sebagai wakil presiden memberikan
kesempatan untuk berdirinya partai-partai politik yang akan
mengikuti Pemilu pada 1955. Memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia untuk menyalurkan aspirasi
politiknya tanpa merasa takut. Akhirnya tidak kurang dari 39 partai
mengikuti pemilihan umum yang dipandang sebagai Pemilu yang
paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia modern. Pada
saat yang bersamaan pula, Bung Hatta melihat bahwa partai-
partai hanya berebut pengaruh untuk berkuasa. Partai-partai baku
hantam saling menyerang dan bertengkar secara tidak sehat.
Para wakil yang duduk di pemerintahan pun lebih condong
bersikap sebagai politisi dan oportunis, bukan negarawan.
Dimulai pada Periode demokrasi terpimpin sampai periode
demokrasi Pancasila (Orde Baru) sama-sama ditandai oleh
berlakunya sistem politik otoriterian dengan topangan subkultur
neofeodalisme. Hatta sangat prihatin melihat perkembangan
politik yang tidak sehat, tetapi regim menciptakan kedua sistem
tersebut tidak mau ‘mendengar’ nasehat Hatta. Akhirnya mereka
hancur lewat cara yang destruktif. pada 1 Desember 1956, Bung
Hatta meletakkan jabatan sebagai wakil presiden. Beliau melihat
bahwa sejak penerapan sistem Demokrasi Liberal, jabatan wakil
presiden hanya pemborosan uang negara, karena kedudukannya
yang tidak lebih dari simbol belaka.
Sekalipun diluar pemerintahan, Bung Hatta justru tetap
selalu menjadi kekuatan moral demokrasi dan mengontrol
jalannya roda pemerintahan. Bung Hatta, sebagai sahabat sejati
Bung Karno, walaupun dalam beberapa hal sangat tidak sejalan,
senantiasa mengingatkan Bung Karno, terutama terhadap
perkembangan PKI yang begitu pesat sejak awal tahun lima
puluhan. Bung Hatta cukup khawatir akan kebijakan Bung Karno
yang terlalu memberi angin kepada PKI. Ketika Bung Karno
menerapkan Demokrasi Terpimpin sejak 1959, Bung Hatta-lah
orang yang paling gigih melakukan kritik. Ia menulis “Demokrasi
kita” dalam majalah Panji Masyarakat yang dipimpin Buya Hamka.
Menurutnya, Demokrasi Terpimpin adalah bentuk lain dari
kediktatoran, yang kemudian tulisan (bukunya) tersebut
peredarannya dilarang Bung Karno.
Bung Karno pun selalu diingatkan Bung Hatta untuk segera
melaksanakan pembangunan, karena revolusi sudah selesai
dengan tercapainya kemerdekaan Indonesia 1945. Yang harus
dilakukan sekarang adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Revolusi, jika tidak dibendung, hanya menghancurkan landasan
dan bangunan, melepaskan engsel-engsel dan dinding-
dindingnya. Pada saatnya akan mengakibatkan kekacauan
belaka. Namun Bung Karno, dalam pidato-nya (Jalan Revolusi
Kita), merespon Bung Hatta, menegaskan bahwa revolusi
sebenarnya belum selesai. Kendati demikian, Bung Hatta
senantiasa menempuh cara-cara legal dan konstitusional dalam
rangka penegakan demokrasi. Beliau senantiasa tak berhenti
menyampaikan kritik dan sarannya kepada Bung Karno.
Luar biasa memang, walaupun di antara kedua Proklamator
ini terdapat perbedaan prinsip dalam pendirian mereka, namun
hubungan persahabatan keduanya tetap hangat dan baik. Singkat
cerita sekian tahun setelah Bung Hatta meletakkan jabatan
sebagai wakil presiden, Bung Karno masih sempat mengunjungi
Bung Hatta di rumahnya. Terlihat dan terlibat keakraban kedua
peletak dasar Indonesia modern ini. Dalam suasana akrab
tersebut, ketika akan makan malam, Bung Hatta juga sempat
“menyerang” keras kebijakan politik Bung Karno. Namun Bung
Karno tidak tersinggung oleh kritikan dan saran Bung Hatta. Kritik
dan nasehat Bung Hatta disampaikannya kepada Bung Karno
sebagai seorang sahabat. Bung Hatta tak kunjung berhenti
mengirim surat berupa nasehat kepada Bung Karno untuk kembali
ke cita-cita Proklamasi Indonesia semula. Dalam menyampaikan
nasehat dan kritik tersebut, beliau senantiasa menjaga hubungan
baik di antara mereka dan tidak pernah melecehkan dan
mengecilkan arti pribadi Bung Karno. Begitupun Bung Karno
sekalipun mendapat kritik tajam, Bung Karno tetap menghargai
Bung Hatta sebagai sahabat.
Begitulah kisah perjuangan Bung Hatta dalam meluruskan
dan menegakkan demokrasi. Berbeda persepsi dalam penegakan
demokrasi tidak harus diartikan sebagai permusuhan, apalagi
tidak mau bertemu atau bersalaman. Sebagai seorang demokrat
sejati, Bung Hatta berjiwa besar melihat perbedaan pendapat dan
tidak hendak memaksakan keinginannya sendiri. Ketika melihat
kenyataan politik yang tak sesuai dengan harapannya, Bung Hatta
bukannya mendirikan partai politik tandingan untuk menggembosi
pemerintahan, sebagaimana dilakukan oleh para politisi kita saat
ini. Bung Hatta, melalui tulisan-tulisannya, memberikan
pencerahan kepada rakyat Indonesia untuk meraih kebebasan
yang merupakan salah satu pilar penting bagi tegaknya
demokrasi, untuk tetap kritis terhadap ketidak-berdayaan dan
berjuang membela rakyat dalam menegakkan
demokrasi.Sehingga Kata Echols ( 1981: 173)” the democratic
ways of the Bung Hatta made people like him “ ( perlakuan
demokrasi Bung Hatta menyebabkan Bung Hatta disukai banyak
orang )
Menurut Bung Hatta, demokrasi sudah ada sejak dari
desa.Bung Hatta berpendapat dalam Padma Wahyono (1990),
desa-desa di Indonesia sudah menjalankan demokrasi, misalnya
dengan pemilihan kepala desa dan adanya rembug desa. Itulah
yang disebut “demokrasi asli”. Demokrasi desa memiliki lima
unsur yaitu :
a) rapat
b) mufakat
c) gotong-royong
d) hak mengadakan proses bersama
e) hak menyingkirkan dari kekuasaan raja absolut
Demokrasi Indonesia modern menurut Moh. Hatta harus
meliputi tiga hal, yaitu :
a) demokrasi di bidang politik
b) demokrasi di bidang ekonomi
c) demokrasi di bidang social
Bung Hatta, sebagai salah seorang founding father
Indonesia, melihat demokrasi itu tidak selalu demokrasi politik,
melainkan juga demokrasi ekonomi. Apa yang beliau maksud
dengan demokrasi ekonomi oleh Bung Hatta ?. Menurutnya,
demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan
persaudaraan. “Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku
demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka,
persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu, cita-cita
demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh
lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia,” paparnya
sebagaimana dikutip Yudi Latif.
Hatta menolak untuk mengikuti demokrasi liberal
sebagaimana berkembang di Barat. Menurutnya, demokrasi ala
Barat yang dipancangkan melalui revolusi Perancis pada abad ke-
18 membawa masyarakat Perancis pada demokrasi politik ansich
yang pada level tertentu hanya menguntungkan masyarakat
borjuis dan menepikan masyarakat jelata. Demokrasi seperti itu,
jelas Hatta, tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan bangsa
Indonesia yang menghendaki terwujudnya perikemanusiaan dan
keadilan sosial.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Mohammad Hatta
menghendaki karakter utama demokrasi ekonomi Indonesia
terletak pada tiadanya watak individualistik dan liberalistik dari jiwa
perekonomian Indonesia (Revrisond Baswir, 2009 : 40). Secara
makro hal ini diterjemahkan dengan menjadikan koperasi sebagai
sokoguru perekonomian nasional serta diikut sertakannya semua
pihak yang memiliki kepentingan dalam lapangan koperasi,
termasuk para pekerja dan konsumen koperasi untuk turut
bergabung menjadi anggota koperasi. Dengan demikian,
pelembagaan kedaulatan ekonomi rakyat sebagai wujud
demokrasi ekonomi dan pengutamaan kemakmuran masyarakat
di atas kemakmuran orang seorang atau individu, hanya bisa
diwujudkan dengan menyusun perekonomian Indonesia sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Pemikiran Bung Hatta dan para pendiri bangsa telah
tertuang ke dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 33. Ayat (1)
pasal 33, menyebutkan bahwa “perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ayat (3),
menyebutkan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dalam hubungan
ini, sesuai dengan konstituasi, hadir peran negara dalam rangka
menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi di Indonesia
BAB III
PENUTUP
III.1 Simpulan
1. Soekarno merupakan sosok yang sangat mencintai
bangsanya, di usia muda ia selaluselalu menekankan bahwa
segala macam warna perjuangan yang ada di Indonesia
adalah untuk Tanah Air Indonesia, semua harus bersatu,
bahu-membahu demi Tanah Air tempat dimana Bangsa
Indonesia hidup.
2. Soekarno dengan pemikirannya, melahirkan berbagai macam
ide yang berhubungan dengan politik, salah satunya adalah
pemikirannya tentang konsep Pancasila yang sampai
sekarang masih relevan dengan konteks negara kesatuan
republik Indonesia.
3. Membicarakan Bung Hatta tidak akan pernah habis dalam
pribadinya nilainilai baik yang positif dari timur dan barat telah
menyatu dalam format yang hamper sempurna. Tetapi
pertanyaan yang masih merisaukan adalah: pandaikah atau
lebih provokatif lagi. Bung Hatta merupakan konseptor utama
tentang kedaulatan rakyat. Rakyat adalah yang utama. Baik
semasa pergerakan maupun sesudah kemerdekan, rakyat
menjadi titik sentral perjuangan Bung Hatta.
4. Di samping berbagai julukan yang dimengerti melalui sikap
dan tingkah laku yang diberikan kepada Bung Hatta ddari
seorang pahlawan Proklamator, Bapak Koperasi, negarawan,
demokrat sejati, cendekiawan, atau satu lagi yang tidak bisa
dilupakan, bahwa Bung Hatta adalah sebagai guru
bangsa,sebagai pendidik negeri yang sejati, dalam politik,
ekonomi, dan moral. Guru dalam teori dan
praktik.Kecintaannya pada rakyat yang diperjuangkannya
dibuktikan sampai akhir hayatnya.
III.2 Saran
Seharusnya dalam praktik di berbagai bidang sesuai
pencanangan sikap yang ditularkan para founding fathers
rasanya bekal dari para pendahulu hematnya harus mampu
menjadi pondasi untuk berkembangnya negeri ini dimasa
sekarang dan mendatang. Perlu lah kita bercermin dari sikap
kecintaan dan memfokuskan kepentingan bersama diatas
kepentingan pribadi dengan nilai-nilai luhur pancasila yang
harus dipedomani sebagai langkah kita memajukan bangsa
karena dalam pancasila telah mencakup nilai-nilai masyarakat
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
https://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Hatta
http://halilintarl.blogspot.co.id/2012/08/pertentangan-dwi-tunggal-
soekarno-hatta.html
http://hudacandra.blogspot.co.id/2014/09/makalah-pemikiran-politik-
mohammad-hatta.html
http://politicalphotography.blogspot.co.id/2013/03/pemikiran-politik-
soekarno.html
https://books.google.co.id/books?
id=XQcoX89FKmEC&pg=PA263&lpg=PA263&dq=pemikiran+politik
+zaman+revolusi+moh+hatta&source=bl&ots=OZjleVr2YK&sig=JM
vCm1psA4kBYTBLtb0ZWtliGtk&hl=en&sa=X&ved=0CEUQ6AEwB
WoVChMIqqHk3_OiyAIVwhmUCh1m5wpl#v=onepage&q=pemikira
n%20politik%20zaman%20revolusi%20moh%20hatta&f=false
MAKALAH
PEMIKIRAN POLITIK PERIODE REVOUSIDisusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah
Perkembangan Pemikiran Politik
Disusun oleh :
1. Tiara Giani Putri F.1 24 0741
2. Ni Kadek Yuni Gitasih F.1 24.
3. Annisa Wulandari F.1
4. I Putu Agus Yamuna F.2
5. Putra Daniel Padang
6. Chalid Sopyan F.1
PROGRAM STUDI POLITIK PEMERINTAHANFAKULTAS POLITIK PEMERINTAHAN
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI(IPDN)2015