PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

17
PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH AIR (Studi Kasus dalam Majalah Insaf dan Aliran Baroe pada Masa Kolonial Belanda, 1937-1941) Muhammad Ridho Rachman Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan buah pemikiran Hamid Algadri khususnya mengenai tema Indo-Arab dan tanah air dalam dua majalah; Insaf dan Aliran Baroe pada rentang periode 1937-1941. Dalam pembahasan ini digambarkan juga mengenai latar belakang kehidupan, lingkungan intelektual,dan gambaran sosial politik yang memengaruhi pemikiran Hamid Algadri khususnya mengenai tema-tema yang dibahas. Hamid Algadri adalah pionir dari golongan Arab yang mengenyam pendidikan tinggi dalam bidang ilmu hukum pada masa itu. Berbagai tulisannya mempunyai kontribusi penting bagi kekuatan gerakan partainya (Partai Arab Indonesia). Posisinya sebagai redaktur majalah Insaf membuat ia cukup sering menuangkan pemikirannya dalam majalah tersebut. Majalah Aliran Baroe, sebagai orgaan officieel PAI cabang Surabaya, punturut memuat berbagai tulisannya. Dari kesemuanya, penulis mengangkat dua tema yakni tentang Indo-Arab dan tanah air karena sering ditulisnya. Kedua tema ini pula yang sering dibahas dalam komunitas masyarakat Arab di Indonesia, khususnya para pemuka PAIjuga oleh tokoh-tokoh nasional yang menaruh perhatian terhadap hal tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikirannya dalam dua tema tersebut merupakan reaksi dari kondisi masyarakat peranakan Arab (Indo-Arab) di Indonesia yang menurutnya harus menginsafi diri sebagai putra Indonesia. Ia meminta golongan Indo-Arab keluar dari kehidupan yang cenderung mengisolasi diri dari masyarakat umum Indonesia. Buah pemikirannya memperlihatkan bahwa Algadri merupakan salah satu tokoh keturunan Arab yang progresif dan memiliki konsistensi dalam memperjuangkan apa yang ada dalam idealismenya. Kata kunci : sejarah pemikiran, Hamid Algadri, Indo-Arab, tanah air, Insaf, Aliran Baroe. 1. PENDAHULUAN Pergerakan kebangsaan Indonesia dimulai pada awal abad ke-20 yang ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi rakyat yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan. Di antara organisasi- organisasi yang lahir pada awal tahun 1900-an itu, Budi Utomo dikatakan sebagai organisasi modern pertama yang lahir di Indonesia. Oleh karenanya, tanggal lahir Budi Utomo, yakni 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Faktor utama yang mendorong lahirnya kesadaran nasional tersebut terutama sekali adalah faktor pendidikan yang mulai masif dikenyam oleh rakyat Indonesia sejak akhir abad ke-19sebagai salah satu kebijakan Politik Etis yang diterapkan pada masa itu (Anshoriy, 2008). Pergerakan nasional yang muncul secara langsung telah memengaruhi sebagian dari kalangan etnis-etnis non-pribumi, seperti Cina, Eropa, dan Arab, yang juga merasa bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia. Bagaimanapunmenurut kaum tersebutberbagai pengalaman ekonomi, sosial, politik mereka sama dengan yang dialami oleh golongan pribumi Indonesia. Tercatat bahwa organisasi non-pribumi pertama yang menjadi benih nasionalisme dari golongan Indo-Eropa adalah Indische Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013

Transcript of PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

Page 1: PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH AIR

(Studi Kasus dalam Majalah Insaf dan Aliran Baroe pada Masa Kolonial Belanda, 1937-1941)

Muhammad Ridho Rachman

Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan buah pemikiran Hamid Algadri khususnya

mengenai tema Indo-Arab dan tanah air dalam dua majalah; Insaf dan Aliran Baroe pada

rentang periode 1937-1941. Dalam pembahasan ini digambarkan juga mengenai latar

belakang kehidupan, lingkungan intelektual,dan gambaran sosial politik yang memengaruhi

pemikiran Hamid Algadri khususnya mengenai tema-tema yang dibahas. Hamid Algadri

adalah pionir dari golongan Arab yang mengenyam pendidikan tinggi dalam bidang ilmu

hukum pada masa itu. Berbagai tulisannya mempunyai kontribusi penting bagi kekuatan

gerakan partainya (Partai Arab Indonesia). Posisinya sebagai redaktur majalah Insaf membuat

ia cukup sering menuangkan pemikirannya dalam majalah tersebut. Majalah Aliran Baroe,

sebagai orgaan officieel PAI cabang Surabaya, punturut memuat berbagai tulisannya. Dari

kesemuanya, penulis mengangkat dua tema yakni tentang Indo-Arab dan tanah air karena

sering ditulisnya. Kedua tema ini pula yang sering dibahas dalam komunitas masyarakat Arab

di Indonesia, khususnya para pemuka PAI—juga oleh tokoh-tokoh nasional yang menaruh

perhatian terhadap hal tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikirannya dalam

dua tema tersebut merupakan reaksi dari kondisi masyarakat peranakan Arab (Indo-Arab) di

Indonesia yang menurutnya harus menginsafi diri sebagai putra Indonesia. Ia meminta

golongan Indo-Arab keluar dari kehidupan yang cenderung mengisolasi diri dari masyarakat

umum Indonesia. Buah pemikirannya memperlihatkan bahwa Algadri merupakan salah satu

tokoh keturunan Arab yang progresif dan memiliki konsistensi dalam memperjuangkan apa

yang ada dalam idealismenya.

Kata kunci : sejarah pemikiran, Hamid Algadri, Indo-Arab, tanah air, Insaf, Aliran Baroe.

1. PENDAHULUAN

Pergerakan kebangsaan Indonesia dimulai

pada awal abad ke-20 yang ditandai

dengan berdirinya organisasi-organisasi

rakyat yang bergerak dalam bidang sosial

dan pendidikan. Di antara organisasi-

organisasi yang lahir pada awal tahun

1900-an itu, Budi Utomo dikatakan

sebagai organisasi modern pertama yang

lahir di Indonesia. Oleh karenanya, tanggal

lahir Budi Utomo, yakni 20 Mei,

diperingati sebagai Hari Kebangkitan

Nasional. Faktor utama yang mendorong

lahirnya kesadaran nasional tersebut

terutama sekali adalah faktor pendidikan

yang mulai masif dikenyam oleh rakyat

Indonesia sejak akhir abad ke-19—sebagai

salah satu kebijakan Politik Etis yang

diterapkan pada masa itu (Anshoriy, 2008).

Pergerakan nasional yang muncul secara

langsung telah memengaruhi sebagian dari

kalangan etnis-etnis non-pribumi, seperti

Cina, Eropa, dan Arab, yang juga merasa

bahwa mereka adalah bagian dari bangsa

Indonesia. Bagaimanapun—menurut kaum

tersebut—berbagai pengalaman ekonomi,

sosial, politik mereka sama dengan yang

dialami oleh golongan pribumi Indonesia.

Tercatat bahwa organisasi non-pribumi

pertama yang menjadi benih nasionalisme

dari golongan Indo-Eropa adalah Indische

Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013

Page 2: PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

2

Universitas Indonesia

Bond (1899) yang menjadi cikal bakal

Insulinde yang lahir pada 1907 di Bandung

(Pringgodigdo, 1964). Kemudian Partai

Tionghoa Indonesia (1932) yang lahir

tahun 1932 mewakili golongan etnis Cina.

Organisasi ini lahir dari rahim tokoh-tokoh

pers koran Sin Tit Po, yang beraliran

nasionalis (Suryadinata, 2010). Terakhir,

golongan Indo-Arab mendirikan organisasi

nasionalisnya yang bernama Partai Arab

Indonesia (PAI) pada tahun 1934. PAI

lahir dari deklarasi para tokoh keturunan

Arab yang terkenal dengan sebutan

Sumpah Pemuda Keturunan Arab yang

menyatakan bahwa Indonesia adalah tanah

air mereka (Santoso, 2003).

Upaya perjuangan golongan Indo tersebut

merupakan suatu usaha alternatif setelah

mereka tidak diterima dalam berbagai

organisasi nasionalis (pribumi) pada masa

itu. Kondisi sosial pada masa itu masih

mengganggap bahwa peranakan non-

pribumi adalah orang asing yang hanya

menetap dan tinggal di tanah Indonesia.

Tetapi bagaimanapun juga, mereka

bukanlah orang Indonesia.

Persatuan Arab Indonesia (kemudian

berubah, Partai Arab Indonesia) adalah

organisasi Islam nasionalis yang

dicetuskan oleh AR. Baswedan (Menteri

Muda Penerangan 1946-1947) yang

beranggotakan para pemuda peranakan

Arab yang memulai gerakannya atas dasar

pengakuan terhadap Indonesia sebagai

tanah air bagi para peranakan Arab. Dalam

usaha-usaha menuju kemerdekaan

Indonesia, PAI memiliki kontribusi

penting dengan ikut berjuang dalam Petisi

Soetadjo, GAPI, MIAI, serta aktif dalam

berbagai usaha perjuangan lainnya

bersama tokoh-tokoh pejuang bangsa

pribumi. Kaum keturunan Arab

menyatakan Indonesia sebagai tanah air

mereka meskipun Pemerintah Kolonial

Belanda memasukkan mereka ke dalam

golongan Timur Asing (Vreemde

Oosterlingen) berdasarkan Pasal 163

Indische Staatregeling (Algadri, 1988).

Artinya bahwa dalam hukum pemerintah,

mereka adalah orang asing meskipun

sebenarnya ibu-ibu mereka adalah orang

Indonesia asli, mereka lahir di Indonesia,

serta mengadopsi budaya Indonesia

sepenuhnya.

Hamid Algadri memandang bahwa adanya

suatu “Politik Segregasi” ketika

menempatkan semua golongan Arab ke

dalam strata Vreemde Oosterlingen

(Algadri, 1988). Secara definitif,

pengertian segregasi menurut bahasa

adalah pemisahan (suatu golongan dari

golongan lain) atau pengasingan (KBBI,

2008). Bagi Hamid Algadri, Politik

Segregasi adalah kebijakan pemerintah

yang membagi-bagi penduduk jajahan

menjadi kelas-kelas tertentu berdasarkan

ras atau agama. Ada upaya pemisahan

antara penduduk pribumi dengan

keturunan Arab yang mengharuskan

mereka tinggal dalam satu wilayah yang

telah ditentukan oleh pemerintah untuk

memudahkan mengontrol mereka dan jika

ingin keluar bepergian dari wilayah

tersebut, mereka wajib membayar retribusi

untuk berpergian yang dikenal dengan

Passen Stelsel. (Santoso, 2003).

Mengenai Hamid Algadri (selanjutnya

disebut HA), ia merupakan salah seorang

politisi PAI. Penulis tertarik membahas

pemikiran HA pada masa kolonial,

khususnya saat ia bergabung dalam PAI.

Semenjak menjadi redaktur majalah PAI,

Insaf, ia sering menulis dengan berbagai

macam tema, berbagai pendapatnya atas

permasalahan sosial dan politik yang

terjadi terhadap golongan Arab atau soal

lainnya. Tetapi dari kesemua tulisannya,

penulis mengangkat dua tema yakni

tentang Indo-Arab dan tanah air karena

kedua tema inilah yang paling sering

ditulisnya. Kedua tema ini pula yang kerap

dibahas dalam komunitas masyarakat Arab

di Indonesia, khususnya para pemuka PAI,

juga oleh tokoh-tokoh nasional yang

menaruh perhatian terhadap hal tersebut.

HA merupakan pionir dari golongan Arab

yang pertama menempuh pendidikan

tinggi dalam bidang ilmu hukum. Oleh

Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013

Page 3: PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

3

Universitas Indonesia

karenanya, ada perbedaan-perbedaan

penekanan dalam tulisannya dibandingkan

dengan penulis-penulis lainnya mengenai

tema-tema tersebut. Dalam berbagai

artikelnya, ia menyertakan pendekatan

hukum di dalamnya. Tulisannya

menjelaskan tentang status hukum

kewarganegaraan, hak-kewajiban

seseorang dalam hukum tatanegara dan

sipil, penjelasan-penjelasan yang

menyangkut di dalamnya, dan kritik

kepada pemerintah yang tidak sejalan

dengan teori hukum yang semestinya.

Sebenarnya cukup sulit untuk

memasukkan ke dalam kategori mana HA

ini. Apakah lebih sebagai seorang penulis

atau seorang politisi partai. Kontribusinya

lebih cemerlang dalam berbagai pidato,

diskusi, dan perundingan—sebagaimana

seorang politisi—dibandingkan karirnya

dalam dunia penulisan. Namun, secara

umum menurut penulis, berbagai

tulisannya menyiratkan kontribusi besar

pula bagi kekuatan gerakan PAI,

khususnya dalam kritik terhadap realitas

golongan Indo-Arab yang mengisolasi diri,

kritik terhadap pemerintah soal status

hukum warga negara, dan definisi tanah air

yang bagi golongan Arab masa itu. PAI

pun tak luput mengabaikan keahliannya

dalam setiap perancangan serta penafsiran

AD/ART Partai.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode

penelitian sejarah. Penelitian ini

membahas buah pemikiran dari Hamid

Algadri dalam majalah, berbagai

tulisannya yang menjadi sumber primer

penelitian diperoleh dari Perpustakaan

Nasional RI dan perpustakaan pribadi

tokoh. Selanjutnya juga dilakukan

penelusuran terhadap buku-buku referensi

dan laporan-laporan penelitian terkait.

Tahap kedua adalah kritik atau pemilahan

sumber yang telah didapat. Pemilahan ini

memisahkan sumber-sumber primer,

sekunder, dan sumber-sumber yang layak

atau tidak layak dijadikan referensi, baik

secara ekstern maupun intern. Tahap ini

dimaksudkan agar sumber-sumber yang

digunakan kredibel dan dapat

dipertanggungjawabkan isinya.

Tahap selanjutnya adalah interpretasi atau

pemaknaan data yang didapat dari sumber.

Interpertasi dilakukan seobjektif mungkin

dengan merujuk pada sumber-sumber yang

didapat. Tahapan terakhir adalah

historiografi atau penulisan yang bersifat

akademik dan dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Pada tahap ini dilakukan rekonstruksi

terhadap pemikiran HA dengan

menggunakan kaidah Ilmu Sejarah.

3. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Hamid Algadri terlahir dengan nama Sayid

Hamid Muhammad Algadri di Surabaya,

Jawa Timur, pada 12 Juli 1910. Kata

“sayid” (bentuk jamak saadah), berarti

tuan. Sayid merupakan sebutan yang

khusus bagi seorang yang dianggap

sebagai keturunan Nabi Muhammad dari

garis keturunan Husain, putra Ali bin Abi

Talib menantu Muhammad. HA berasal

dari keluarga Algadri, merupakan keluarga

yang cukup terpandang di masyarakat.

Kakek dan ayahnya adalah seorang

Kapiten der Arabieren (Kapten Arab) di

Pasuruan. Kapten Arab adalah suatu

jabatan pada masa kolonial Hindia

Belanda yang diangkat oleh pemerintah

kolonial dengan tugas mengepalai orang-

orang etnis Arab. Menurut HA, kepala

Arab ini sifatnya kehormatan dengan

pangkat letnan atau kapten, tergantung

oleh banyaknya warga Arab yang tinggal

di daerah tersebut atau lamanya kedudukan

tadi dijabat seseorang (Haikal, 1986).

Namun, jabatan itu tidak menjadikan

Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013

Page 4: PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

4

Universitas Indonesia

mereka sebagai kaki tangan kebijakan-

kebijakan Belanda. Mereka lebih

mengganggap diri sebagai pelindung

golongannya ketimbang sebagai pegawai

Pemerintah Belanda (Algadri, 1999).

Sebagai keluarga Arab, keluarga HA bisa

dikatakan moderat, hal itu terlihat dari

anak-anak mereka yang mengenyam

pendidikan modern Barat. Kondisi ini

berbeda dengan pandangan masyarakat

Arab pada masa itu yang menganggap

bahwa sekolah kolonial akan “merusak”

agama anak-anak mereka. Umumnya,

orang Arab pada masa itu termasuk

golongan yang anti terhadap sesuatu yang

beraroma Barat, termasuk pendidikan

Barat (Haikal, 1986). Meskipun ditentang

oleh golongannya sendiri, keluarga

Algadri tetap memilih pendidikan Barat

agar kelak anak dan cucu mereka

berpikiran modern.

HA menempuh pendidikan formal sekolah

dasar ELS. Kemudian, HA masuk ke

sekolah menengah MULO, dilanjutkan di

AMS. Setelah itu pada tahun 1936, ia

menjadi mahasiswa Rechts Hoge School

(Pendidikan Tinggi Hukum) di Batavia. Ia

merupakan salah satu pemuda Arab

pertama yang menuntut ilmu di perguruan

tinggi. Namun, peristiwa penutupan RHS

oleh pemerintah pendudukan Jepang

membuatnya belum sempat menyelesaikan

studinya.

Pendidikan ilmu hukum baru

diselesaikannya di Universitas Indonesia

tahun 1952 melalui inisatif Prof.

Djokosoetono yang membuka kesempatan

bagi para mahasiswa yang belum sempat

menyelesaikan studinya pada masa

pendudukan Jepang. Gelar sarjana hukum

didapat HA cukup mudah, hanya

menempuh ujian tingkat akhir serta

mendapat keringanan-keringanan karena

alasan telah matang selama masa

perjuangan.

HA memulai keaktifan berorganisasi

dalam Jong Islamieten Bond (JIB),

organisasi kepemudaan yang diprakarsai

antara lain oleh Agus Salim yang dibentuk

pada tanggal 1 Januari 1925. Pergerakan

JIB didasarkan atas Islam dan

nasionalisme Indonesia. HA lalu

bergabung di dalamnya tahun 1930.

Masa sekolah menengah, HA rasakan

bahwa gerakan nasionalis (non-agama)

pada waktu itu sangat meningkat

aktivitasnya, baik dalam bentuk partai

maupun kelompok belajar (studieclub).

Semangat ini juga menjalar kepada siswa-

siswa di sekolah HA. Walau sebagai

anggota JIB, ia menaruh simpati besar

kepada gerakan nasionalis. Memang

sangat logis jika seorang pembela Islam

menjadi anti-Belanda sekaligus seorang

nasionalis. Sehingga, HA berkeinginan

sekali mendekatkan diri dengan siswa

yang beraliran nasionalis (Algadri, 1988).

Sewaktu berkuliah di RHS Batavia, HA

tercatat mengikuti lima organisasi pelajar

yang berpusat di ibukota. 1 Kariernya

dalam organisasi kepemudaan yang cukup

menonjol terlihat saat menjabat sebagai

redaktur majalah USI (USIBlad) dan wakil

ketua Baperpi. Namun, tak lama ia aktif di

Baperpi (organisasi kepemudaan terakhir

yang ia ikuti) karena pada masa

pendudukan Jepang, ia aktif sebagai kader

politik Amir Syarifudin dalam gerakan

kampanye bawah tanah anti Jepang.

Realitas Sosial Golongan Arab

Umumnya orang Arab yang datang ke

Indonesia berasal dari Hadramaut.

Hadramaut adalah wilayah yang terletak di

sepanjang pantai Arab Selatan, berada di

antara Aden hingga Tanjung Ras Al-Hadd.

Dalam penulisan ini istilah Arab secara

spesifik mengacu kepada Hadramaut.

Walaupun dalam beberapa hal merujuk

pula pada kawasan Arab secara umum.

Letak geografis antara Indonesia dengan

Hadramaut relatif lebih dekat

1 Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI),

Indonesia Muda, Studenten Islam Studie Club

(organisasi JIB tingkat perguruan tinggi), Unitas

Studiosorum Indonesisensis (USI), dan Baperpi

(Badan Persatuan Pelajar Indonesia).

Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013

Page 5: PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

5

Universitas Indonesia

dibandingkan jarak dengan wilayah Arabia

lainnya menjadi salah satu sebab

umumnya orang-orang Arab yang datang

ke Indonesia berasal dari Hadramaut.

Terlalu sedikit jumlah orang Arab non-

Hadramaut yang datang ke Indonesia,

sehingga sebagian dari mereka kemudian

melebur dalam masyarakat Arab

pendatang yang berasal dari Hadramaut

(Haikal, 1986).

Keberadaan orang Hadramaut di Indonesia

sudah sejak lama, banyak teori yang

menyatakan hal demikian, bahkan jauh

sebelum abad ke-17, sebelum bangkitnya

Islam di dunia Arab (Berg, 1989).

Bajunaid membagi periode persebaran

mereka: prakolonial, masa kolonial, dan

pascakolonial. Periode pertama

diperkirakan sejak abad ke-9 sampai

permulaan abad ke-19, periode panjang

menggambarkan peran dominan peradaban

Islam ke hampir seluruh dunia.

Selanjutnya, fase yang kedua ditandai kian

derasnya kedatangan mereka yang

didukung oleh kemajuan teknologi di

bidang transportasi dan dibukanya Kanal

Suez 1869. Periode terakhir terjadi ketika

lahirnya ide-ide nasionalisme yang di

Indonesia sendiri orang Hadrami diikat

dalam kesatuan komunitas yang tidak lagi

berdasarkan etnis (Bajunaid, 2005).

Pada penghujung abad ke-19, lahir

kebijakan Politik Etis sebagai wujud balas

budi pemerintah kolonial kepada penduduk

jajahan Hindia Belanda. Kebijakan

terbesar Politik Etis adalah di bidang

pendidikan yang membuka lebih luas

kesempatan kaum pribumi mengenyam

dunia pendidikan. Program tersebut

menjadi pendorong lahirnya berbagai

organisasi rakyat yang bergerak dalam

bidang sosial dan pendidikan.

Golongan Arab mendirikan organisasinya

yang pertama, Jamiyatul Khair, pada tahun

1901 di Batavia. Sebuah organisasi sosial

pendidikan yang didirikan oleh golongan

Arab yang berpendidikan modern.

Kelahiran Jamiyatul Khair juga didorong

oleh faktor makin banyaknya jumlah

orang-orang Arab datang ke Indonesia

yang sejalan dengan perbaikan sarana

transportasi dan dibukanya Terusan Suez.

Sebagian dari mereka merupakan orang-

orang taraf ekonomi mapan dan cukup

terdidik.

Kedatangan “ulama intelek” ini membawa

gerakan tajdid, gerakan pembaharuan atau

gerakan pemurnian agama yang membawa

Islam yang reformis-modernis. Suatu

gerakan yang disebarkan oleh tokoh tiga

serangkai: Al-Afghani, Muhammad Abduh,

dan Rasyid Ridha (Haikal, 1986).

Jamiyatul Khair mendapat dukungan

penuh dari seluruh warga Arab, setidaknya

untuk masa sepuluh tahun karena pada

tahun 1912 dengan kedatangan guru dari

Sudan yang bernama Syekh Ahmad

Surkati muncul pro-kontra dalam golongan

Arab atas berbagai pernyataan yang dibuat

oleh syekh tersebut.

Sebagian golongan Arab yang sependapat

dengan Syekh Surkati kemudian

bergabung dan bersama-sama membentuk

Al-Irsyad di Jati Petamburan pada tahun

1914 (Haikal, 1986). Gerakan Al-Irsyad

sebagai upaya perlawanan terhadap

golongan saadah (kaum sayid) yang

mendominasi dalam masyarakat Arab.

Lalu, golongan Sayid merespon gerakan

Al-Irsyad dengan mendirikan perkumpulan

Arrabitah Al-Alawiyah (ikatan kaum

Baalawi) 2 pada tahun 1928 yang dari

tujuan organisasi dapat diartikan hanya

untuk orang-orang Arab di Indonesia,

khususnya para Sayid (Haikal, 1986).

Dengan kondisi yang kian berlarut-larut,

maka kian ramailah apa yang dikenal

dengan pertikaian “Partai Sayid dengan

Partai Syekh”.

Gagasan PAI: Upaya Menyatukan

Peranakan Arab

Sebenarnya sumber utama pergesekan

dalam masyarakat Arab adalah sistem

sosial tradisi di Hadramaut yang dibawa ke

2Ba’alawi atau Alawi semakna dengan saadah atau

sayid.

Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013

Page 6: PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

6

Universitas Indonesia

Indonesia. Konteks sosial, ekonomi,

politik, dan geografis yang berbeda

melahirkan pemikiran baru. Terlebih

migrasinya beberapa golongan dari

Hadramuat dikarenakan stratifikasi sosial

yang pincang dan kondisi ekonomi politik

yang tidak sesuai dengan harapan mereka.

Atas inisiatif beberapa tokoh pemuda Arab

dari golongan Alawi maupun non-Alawi,

diadakan kongres pada 4 Oktober 1934

yang menelurkan sebuah organisasi yang

disebut dengan Persatuan Arab Indonesia

(PAI). Sesuai dengan namanya, PAI

berusaha menyatukan pihak-pihak yang

selama ini berseteru, khususnya di

kalangan muwalad, 3 golongan yang

sebenarnya hanya terseret dalam pertikaian

yang ada.

Dengan lahirnya PAI, berangsur-angsur

kaum peranakan Arab mulai bersatu.

Mereka dipersatukan oleh keyakinan baru

sebagai putra-putra Indonesia dan ditarik

dari isolasi berpikir maupun dari ruang

gerak di lingkungannya selama ini

(Suratmin, 1989). Mereka ikut dalam

gelanggang perjuangan nasional yang luas.

Mereka bergabung dengan saudara

sebangsa dan bercita-cita kemerdekaan

tanah air dan bangsa (AR. Baswedan,

1974).

Peran Hamid Algadri dalam PAI dan

Majalah Insaf

HA melihat bahwa gerakan PAI

merupakan bentuk usaha penyelesaian

masalah yang lebih cerah, tokoh-tokoh di

dalamnya pun menjadi ketertarikan

tersendiri baginya untuk bergabung dalam

PAI. Apalagi Baswedan adalah sahabat

penanya sejak sekolah di MULO sekaligus

sesama anggota JIB di daerahnya masing-

masing. Ia mengatakan bahwa cita-cita

awal bergabung dalam PAI adalah

mencoba mengubah citra buruk Arab

sebagai golongan rentenir yang diciptakan

oleh Pemerintah yang cenderung

digeneralisasi. Stigma buruk ini telah

3 Sebutan bagi orang Arab yang berdarah campuran

dan lahir di luar kawasan Arab.

merambah pada golongan pemuda-

intelektual yang ia rasakan sendiri hal

tersebut (Algadri, 1988).

HA merupakan pemuda yang cukup

berpengalaman dalam berorganisasi,

terlebih ia bersama ZA bin Yahya

merupakan dua pemuda Arab yang

menempuh pendidikan tinggi, karirnya

dalam PAI melesat cepat. Menjadi penulis

dalam majalah Insaf, kemudian menjadi

komisi redaksi majalah tersebut. Karirnya

dalam PAI menanjak sejak terpilih

menjadi juru periksa PAI, kemudian ketua

PAI cabang Jakarta, sampai menjadi

anggota Pengurus Besar PAI. Semua

jenjang diraihnya sekaligus pada tahun

1937.

Pada tahun-tahun awal berdiri, PAI

mengalami kesulitan dalam membina

cabang-cabangnya sekalipun jumlahnya

masih sedikit. Pada Kongres I di

Pekalongan tahun 1935, PAI baru

memiliki 6 cabang. Kongres II di Surabaya

tahun 1937, PAI telah memiliki 10 cabang.

Kemudian, pada Kongres III di Semarang,

PAI telah memiliki 16 cabang.4

Dengan terbitnya majalah Insaf, orgaan

officieel PAI, kesulitan tersebut berkurang.

Lewat majalah bulanan tersebut Pengurus

Besar PAI dapat langsung memberikan

pembinaan pada cabang-cabang. Majalah

ini terbit tiap tanggal 25, dengan staf

redaksi A. Bajasut dan pembantu tetap A.

Makarim, direktur A. Assegaf dan HMA.

Hoesin Alatas. Nomor perdananya terbit

pada bulan Januari 1937. Insaf adalah

nama majalah yang dipilih agar senantiasa

teringat bahwa memang yang sebenarnya

masyarakat Arab butuhkan dan dituju

adalah keinsafan, dan dengan keinsafan

diperoleh kemajuan (Insaf, Januari 1937:1).

Hadirnya majalah Insaf ini memberikan

kesadaran mengenai peran dan tanggung

4 Hingga dibubarkannya PAI menurut catatan

sampai Agustus 1941 jumlah cabang PAI sejumlah

50 cabang yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa

Tenggara. (Haikal, 1986).

Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013

Page 7: PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

7

Universitas Indonesia

jawab golongan Arab sebagai putra-putri

Indonesia yang harus ikut bersama pejuang

pribumi dalam menuntut hak sebagai

warga negara. Untuk memperoleh majalah

Insaf, para anggota mendapatkan majalah

tersebut dengan cuma-cuma karena

sebagian iuran anggota disisihkan untuk

biaya majalah.

Majalah Insaf jelas memperlihatkan

Indonesia-sentris dalam setiap tulisannya.

Hal ini sesuai dengan cita-cita gerakan PAI

yang bertujuan menjadikan Indonesia

sebagai tanah air peranakan Arab. Namun,

arah penulisan seperti ini berbeda dengan

arus majalah-majalah Arab lain yang lahir

di Indonesia. Natalie (KITLV, 1996:245)

mengatakan bahwa tujuan dari majalah-

majalah Arab yang terbit baik dalam

bahasa Arab atau Melayu adalah untuk

mempromosikan nahdah, renaisans

golongan Hadrami di Hindia Belanda. Tak

mengherankan bahwa tulisan-tulisan PAI

menuai perdebatan dari media Arab yang

berlainan paham, dan bahkan dengan

media non-Arab.

Dalam setiap tulisannya di Insaf, HA

mempunyai ciri khusus. Ia sering menulis

artikel bernada kritikan, baik terhadap

kebijakan-kebijakan pemerintah maupun

kepada masyarakat Arab. Setiap artikelnya

lebih berbobot karena mengandung

penjelasan ilmiah. Kritiknya pun tidak

subjektif. Ketidaksetujuannya terhadap

satu hal dijadikannya satu pintu untuk

melakukan koreksi berdasarkan kadar

keilmuan yang ia miliki. Ia tidak

menggunakan analogi yang berlebihan

yang kadang malahan membuat absurd

substansi.

Dalam kritik terhadap pemerintah, ia lebih

sering mempertanyakan sikap

ketidakkonsistenan pemerintah dalam

menjalankan Undang-Undang yang

berlaku. Misalnya dalam

pengimplementasian Undang-Undang

Dasar perubahan Inlandsch Staatregeling

tahun 1922. Menurutnya, peraturan yang

ada hanya sebatas formalitas belaka.

Hanya demi meredam tuntutan dari

golongan Etisch di parlemen Belanda

sehingga perubahan UU yang lebih

demokratis bagi seluruh penduduk Hindia

Belanda itu dilakukan. Tetapi semua itu

hanya sebatas kata-kata dalam undang-

undang, tetapi tidak ada dalam praktik.

Keruwetan soal kewarganegaraan juga tak

luput jadi bahan kritiknya. Menurutnya,

hak-hak kewarganegaraan masih bersifat

dualisme dalam bidang staatrecht dan

privaatrecht khususnya bagi golongan

asing yang terlahir di Indonesia (golongan

Indo). Masih saja diberlakukan sistem

rasial yang merupakan warisan kebijakan

masa lalu. Sehingga menyebabkan

tumpang tindih dan tidak bersesuaian

dengan logika hukum.

Ia juga mengkritik kekolotan masyarakat

Arab di Indonesia. Menurutnya, sikap

kegolongan tidak lagi sesuai dengan

zamannya. Masyarakat bukan lagi

golongan yang terlepas dari soal hak dan

kewajiban terhadap negara. Ia menyadari

bahwa kebijakan segregasi sosial telah

dalam memengaruhi mentalitas

masyarakat Arab yang menyebabkan

mereka cenderung lari dari kontestasi

politik nasional—belum lagi soal

perselisihan dalam masyarakat Arab yang

masih terkubu dalam dua golongan. Ia

berpendapat bahwa cara pandang seperti

itulah yang membuat golongan Arab

terkucilkan dari pergaulan nasional.

Menurutnya, sikap yang tepat bagi

golongan Arab adalah ikut mengambil

kewajiban sebagai putra-putra Indonesia

demi menuju persatuan rakyat dan tanah

air Indonesia.

Secara umum, menurut penulis, berbagai

tulisannya memiliki kontribusi besar bagi

kekuatan gerakan PAI “seperti yang

diketahui bahwa... saudara ini ada menjadi

pembantu Insaf dengan tulisan-tulisannya

yang berharga”(Insaf, November 1937:162)

khususnya dalam bidang hukum seperti

kritik terhadap pemerintah soal status

hukum warga negara, soal ketanahairan,

dan perancangan kebijakan serta

penafsiran AD/ART PAI sebagaimana

Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013

Page 8: PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

8

Universitas Indonesia

kapabilitasnya dalam bidang ilmu hukum

atau tulisan-tulisan lainnya yang secara

umum menjadi suara politik PAI. Hal yang

menjadi menarik karena upayanya di dunia

tulis menulis juga dibarenginya dengan

aktif bersuara dalam berbagai pidato

politik sebagai seorang aktifis PAI.

TENTANG INDO-ARAB

Golongan Arab-Indonesia

Antara tahun 1934-1942, golongan Indo-

Arab mengalami perselisihan pendapat

yang cukup mendasar. Satu perselisihan

yang tidak lagi dalam hal agama dan adat

istiadat. Melainkan menyoal suatu

pertanyaan lampau yang tidak pernah

terjawab: Hendak kemana Indo-Arab

setelah semua ini, ataukah mereka akan

bergabung dalam satu negara yang

dibentuk dari Hindia Belanda? (Mobini-

Kesheh, 1999). Ternyata yang lahir adalah

satu konflik baru antara golongan yang

berorientasi ke Hadramaut, gabungan dari

Al-Irsyad dan Ar-Rabitah, melawan

mantan pendukung mereka yang

membentuk golongan baru, Partai Arab

Indonesia.

Golongan PAI adalah pilahan dari Indo-

Arab yang memiliki pandangan berbeda

dari mayoritas. Satu generasi yang

mendapat pendidikan modern dan

ditumbuhi faham baru soal tanah air.

Mereka merasakan kecintaan terhadap

tempatnya bertumbuh, tidak lagi

terkungkung oleh ketatnya peraturan

seperti passen en wijken stelsel

sebagaimana yang dirasakan generasi

sebelumnya. Mereka tidak lagi merasa

terpisahkan dengan pergaulan masyarakat

Indonesia seperti dulu. Generasi ini

bekerja menentukan nasib dan tujuannya

sendiri. Tidak menggantungkan diri

kepada orang lain yang memiliki orientasi

dan tujuan yang berbeda. Walaupun itu

orang tuanya sendiri, para wulaiti.5

Sebenarnya perasaan seperti itu tidak

hanya dialami oleh golongan Indo-Arab.

Bahwasanya telah terdapat pilahan dari

golongan-golongan Indo lain yang merasa

5 Arab totok, Arab berdarah murni.

satu bangsa dengan pribumi Indonesia.

Secara umum, majalah Insaf menyebutkan

tiga organisasi Indo yang beraliran

nasionalis, yang mewakili golongannya

masing-masing. Ialah Insulinde dari

golongan Belanda-Eropa, PTI yang

mewakili etnis Tionghoa, dan PAI dari

peranakan Arab. HA mengatakan bahwa

pada tahun 1940-an, kian berkembangnya

pergerakan dari kaum peranakan maka

kian “besarlah perhatian kaum pergerakan

nasional kepadanya” (Insaf, Februari-

Maret 1940:1).

Di sisi lain, kondisi masyarakat Indonesia

sampai tahun 1930-an masih belum bisa

menerima berbagai simpati dan bantuan

dari golongan Indo dalam upaya

perjuangan nasionalisme. Hal itu memang

diakibatkan stratifikasi sosial yang ada

yang menempatkan golongan pribumi

dalam lapisan terbawah stratifikasi sosial.

Inilah yang menimbulkan sentimen-

sentimen negatif karena pada dasarnya

golongan Indo—Belanda, Tionghoa, dan

Arab—adalah setengah pribumi.

Mengenai sentimen sosial, HA

menjelaskan bahwa kondisi ketegangan di

masyarakat yang paling terlihat memang

antara golongan Indo dengan golongan

pribumi. Bagaimanapun, golongan Indo

adalah separuh pribumi, tetapi mengapa

mereka memandang “rendah dan kecil”

(Insaf, Maret-April 1939:50) serta memilih

lari dari separuh identitasnya sebagai

bangsa Indonesia. HA sendiri amat

menyayangkan perasaan yang demikian itu

dan menyebut mereka sebagai kaum

“pelarian”. Dengan satire ia mengatakan

bahwa

“mereka tidak saja memungkiri darah yang

mengalir dalam tubuhnya, tetapi juga memandang

Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013

Page 9: PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

9

Universitas Indonesia

rendah apa saja yang bercorak Indonesia... mereka

lari dan berlindung—si Indo-Eropa pada

Westersche cultuur, Indo-Tionghoa pada Republik

Tiongkok, Indo-Arab... pada kemajuan Hijaz dan

Irak” (Insaf, Maret-April 1939:50).

Tentu jika diminta untuk memilih, maka

mereka lebih tertarik sebagai golongan

Indo yang memiliki kedudukan lebih

tinggi dibanding menjadi golongan ibu,

golongan pribumi.

Hanya lantaran ayah mereka adalah asing

sehingga mereka disebut sebagai Indo-

Eropa, Indo-Tionghoa, dan Indo-Arab. HA

mempertanyakan mengapa pemikirannya

tidak dibalik karena ibu Indonesia maka

menjadi Eropa-Indonesia, Tionghoa-

Indonesia, dan Arab-Indonesia. Agaknya

dualisme yang ada dimenangkan oleh

kedudukan superioritas yang dimiliki

golongan Indo dan lari dari definisi

Indonesia yang rendahan.

Sentimen-sentimen rasial masih begitu

jelas terlihat. Kondisi tersebut juga dialami

oleh golongan Indo-Arab. HA mengalami

sendiri sikap penolakan terhadapnya dalam

organisasi-organisasi nasionalis pribumi

hanya sebab ia adalah seorang keturunan

Arab. (Algadri, 1988).

Mengenai sikap umum organisasi

nasionalis yang masih memiliki sentimen

etnis, dalam satu tulisan HA memberikan

komentar yang cermat untuk menenangkan

golongan Indo, terutama Indo-Arab atas

putusan Kongres ke-II Parindra pada

Desember 1938. Pada Kongres Parindra

yang dilaksanakan di Bandung

memutuskan bahwa Parindra belum bisa

menerima orang-orang Indo sebagai

anggota. Namun, jika tidak bertentangan

dengan asas dan AD-nya, Parindra

bersedia bekerja sama dengan golongan

Indo (Pusponegoro, 1993:343). HA

mengatakan bahwa putusan tersebut

“bersifat diplomatis yang ulung sekali

yang harus dipuji dari segala pro dan

kontra” (Insaf, Januari 1939:7).

Menurutnya, pernyataan tersebut

mengandung arti belum saatnya golongan

Indo diterima dalam barisan Parindra

bukan berarti menutup pintu partai bagi

Indo selamanya. Sebagai organisasi politik,

keputusan ini merupakan langkah kehati-

hatian Parindra dalam menentukan

sikapnya terhadap golongan Indo agar

tidak terlalu menyakiti kalangan-kalangan

yang berkepentingan dalam putusan

tersebut. Terlebih beberapa waktu sebelum

diadakannya kongres tersebut, terdapat

segolongan dari Indo yang mendukung

pelarangan berbahasa Indonesia dalam

gementeeraad.

HA menjelaskan bahwa tujuan dari

Parindra sebenarnya hanya menolak

golongan Indo-Belanda yang sering

menunjukkan sikap kontra terhadap

pergerakan nasional. Namun, istilah Indo

memang tidak hanya dimiliki oleh Indo-

Belanda saja. Ada golongan lain yang

terbawa akibat dari perilaku golongan

tersebut. Oleh karenanya, golongan Indo-

Arab tidak perlu mengambil sikap yang

berlebihan terhadap putusan tersebut sebab

golongan Arab yang diwakili oleh PAI

telah diakui kenasionalannya seperti yang

diungkapkan oleh Dr. Ratulangie,

pemimpin redaksi dari Majalah Nationale

Commentaren.

Dr. Ratulangie mengomentari tindakan

organisasi-organisasi nasionalis yang

ekslusif dengan menulis sebenarnya ada

“organisasi [indo] yang bersifat nasional.

[bahkan] dalam praktiknya lebih nasional

dari yang lain” (Insaf, Januari 1939:7).

Tetapi mengapa mereka mengambil sikap

tegas dengan mengeneralisasi bahwa

semua organisasi Indo tidak nasionalis.

Bagi HA, hal yang terpenting adalah mesti

“memberantas anggapan yang salah itu”

(Insaf, Februari-Maret 1940:1) dengan

upaya konkret untuk membuktikan

kenasionalitasannya.

Menjunjung semangat persamaan bangsa,

yang terutama menghilangkan perasaan

superioritas bangsa Arab terhadap

golongan Indonesier, adalah pekerjaan

utama dari PAI. PAI bertugas mengadakan

“revolusi batin” (Insaf, Desember 1940:12)

di kalangan Indo-Arab untuk menjadikan

Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013

Page 10: PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

10

Universitas Indonesia

mereka Arab-Indonesia. Tugas penting ini

merupakan “tugas paling sulit dan paling

sukar, dan malah pekerjaan yang paling

berat sekali, yang selama ini dihadapi oleh

PAI” (Aliran Baroe, April 1939:5).

HA memiliki definisi sendiri mengenai

perbedaan antara Indo-Arab dan Arab-

Indonesia. Menurutnya, Arab-Indonesia

adalah “mereka yang telah sadar bahwa

mereka mempunyai nasib dan kebutuhan

seperti juga bangsa Indonesia, tidak

mempunyai perasaan lebih tinggi dari

bangsa lain” (Aliran Baroe, April 1939:5).

Sedangkan, Indo-Arab menurutnya adalah

mereka yang arah tujuannya masih kabur.

Sekelompok pendatang yang tidak

memiliki keterikatan atau bahkan tanggung

jawab terhadap Indonesia. Indonesia

dianggapnya hanya sebagai tempat hijrah

untuk mencari nafkah. Ia menarik diri dari

kegiatan nasional, dan bahkan berpikir

bahwa golongannya lebih tinggi derajatnya.

Seorang PAIers adalah seorang Arab-

Indonesia, ia tidak melihat adanya

golongan-golongan dalam masyarakat dan

memandang jauh akan tujuan persatuan

yang hendak dicapainya. “Ia bukanlah

serdadu gajihan [bayaran], akan tetapi

seorang vrijwillingers, tiap-tiap serdadu

terdorong oleh maksud yang suci” (Insaf,

Juli 1939:96). Persatuan PAI adalah rumah

tangga dari keluarga Arab-Indonesia yang

diikat oleh satu tujuan hidup, satu

keyakinan, menuju cita-cita yang sama

dengan putera Indonesia lainnya.

Bagaimanapun, bukanlah pekerjaan yang

mudah bagi PAI untuk mengadakan

perubahan cara pandang golongan Arab.

Upaya menghilangkan “perasaan takabur

dari bangsa Arab” (Insaf, Oktober

1937:146) yakni dengan menanam

perasaan persamaan di antara kelompok

Arab dan Indonesia sebagai landasan

utama bekerja sama dan saling membantu

dalam lapangan politik, ekonomi, dan

sosial menuju keselamatan rakyat dan

tanah air Indonesia. 6 Menurut HA akan

lebih sulit tujuan yang hendak dicapai

karena

“di Indonesia ini lambatnya itu proses [mencapai

tujuan], tidak saja disebabkan oleh perbedaan

kepentingan, tetapi dalam arti yang juga tidak

kurang oleh perbedaan bangsa, di mana yang satu

beranggapan lebih tinggi derajatnya daripada yang

lain” (Insaf, November 1937:175).

Usaha tak kenal lelah PAIers dalam

mengajak seluruh golongan Indo-Arab,

memang cukup panjang. Dari tiga tahun

sejak berdirinya, PAI berkonsentrasi

mengurus hal-hal intern kearaban. Itulah

kewajiban PAI, mereka berjuang terus di

dalam golongan peranakan Arab agar

mereka yang masih berada di luar PAI dan

masih menganut definisi Indo-Arab lekas

insaf dengan masuk ke dalam PAI dan

menjadi Arab-Indonesia.

6Anggaran Dasar PAI “Tujuan dan Usaha” dalam

Hamid Algadri, “Perubahan Anggaran Dasar PAI,”

Insaf (Februari-Maret, 1940), 4.

Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013

Page 11: PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

TENTANG TANAH AIR

Menentukan Sikap Soal Tanah Air : Aksi dan Reaksi

Timbulnya ide mendirikan Persatuan Arab

Indonesia berkaitan erat dengan perubahan

orientasi tanah air pada sebagian golongan

Arab, khususnya dalam kaum peranakan

Arab. Golongan ini merasa bahwa mereka

berbeda dengan kaum totok soal orientasi

tanah air. Mereka dilahirkan dari rahim ibu

Indonesia dan dibesarkan dalam

lingkungan Indonesia. Dalam dirinya

tumbuh perasaan cinta terhadap tempat

tinggalnya, tanah air yang memberikan

kehidupan dan penghidupan baginya.

Indonesia adalah tanah air, sedangkan

Hadramaut adalah tanah air leluhur, itulah

pendapat PAI (Mobini-Kesheh, 1999).

Atas dasar itu PAI melepaskan diri dari

sistem sosial a la Hadramaut dan

mengaitkan diri dengan kenyataan sosial

yang ada di Indonesia (Algadri, 1988).

Dengan mendahulukan kewajiban sebagai

putra-putra Indonesia, PAI berketetapan

untuk masuk dalam gelanggang

perjuangan nasional dan bergabung dengan

saudara sebangsanya untuk memerdekaan

tanah air dan bangsanya (Suratmin, 1989).

Tanah air menurut HA merupakan suatu

konsep lama yang telah dikenal di dunia.

Mungkin konteksnya agak berbeda di

Indonesia yang saat itu masih merupakan

satu wilayah kolonialisme Belanda.

Walaupun begitu, gambaran nasional telah

terbayang jelas dari keinginan rakyat

bersama-sama untuk mendapatkan

kemerdekaan dan keadilan.

HA menjelaskan dua faham soal tanah air

yakni faham ras dan faham natie

(kebangsaan). Faham ras merupakan

konsep lama yang mengatakan bahwa

tanah air berasal dari kesamaan ciri fisik

(ras). Sedangkan, faham natie menurutnya

suatu konsep baru yang lebih dulu muncul

di Eropa dan Amerika, bahwa suatu negeri

terdiri dari satu keturunan atau lebih yang

memiliki cita-cita dan merasakan nasib

yang sama (Insaf, Oktober 1937:146).

Pengakuan PAI yang bertanah air

Indonesia merupakan keberpihakannya

terhadap konsep tanah air faham natie

karena dari ciri fisik golongan PAI tidak

sama dengan ras mayoritas penduduk

Indonesia.

HA menolak faham ras. Malahan ia

mengatakan bahwa pemerintah kolonial

yang melakukan penggolongan masyarakat

ke dalam ras bangsa-bangsa adalah suatu

kebijakan yang keliru yang tujuannya

bukan untuk menunjang pembangunan

persatuan masyarakat di Hindia Belanda.

Ia menuntut faham tersebut harus

dihilangkan dalam hukum yang ada karena

prinsip hukum yang sebenarnya adalah

mengurus “recht, hak, kepentingan, atau

nasib manusia tidak ditentukan oleh

keturunan, tetapi berdasarkan tempat

tinggal” (Insaf, Oktober 1937:146). Ia

mengambil contoh orang Afrika yang

tinggal di Amerika. Menurut paham ras

memang orang Afrika, tetapi menurut

faham natie ia adalah bangsa Amerika

yang sejati. Oleh karena itu hukum negara

yang membedakan penduduknya

berdasarkan ras tidaklah bersesuaian

dengan hukum internasional yang berlaku.

Di Hindia Belanda, golongan Indo masih

saja dipisahkan oleh staatrecht (hukum

tata negara) yang mengeluarkan mereka

dari rakyat Indonesia padahal Indo adalah

bagian integral dari mayarakat Indonesia.

Maka dari itu, PAI melalui aksi-aksi

politiknya berusaha menghapuskan faham

tanah air yang berasaskan keturunan

tersebut.

Penerapan hukum berdasarkan ras telah

memisahkan golongan Arab dari mayoritas

penduduk muslim. Bagaimanapun mereka

juga menganut agama Islam tetapi

mengapa dibedakan dengan golongan

mayoritas? Pasal 163 IS-lah yang

memasukkan Arab ke dalam Vreeede

Oosterlingen (Timur Asing) bersama

golongan Asia lainnya yang sebenarnya

antara golongan Timur Asing itupun

Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013

Page 12: PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

12

Universitas Indonesia

memiliki banyak perbedaan. Lebih parah

lagi, menurut HA, dalam praktiknya

sebagian dari golongan Arab menjadi

Timur Asing, tetapi sebagian lain masuk

pribumi, ada relativitas khusus bagi

golongan Arab, curiganya. “Sekalipun

Belanda tahu benar, bahwa mereka adalah

keturunan Arab.” (Algadri, 1988).

Kenyataan seperti inilah yang membuat

HA merasakan adanya keganjilan

mengenai status hukum bagi keturunan

Arab hingga diketemukan kesimpulan ada

upaya politis tentang itu (Algadri, 1999).

Di Hindia Belanda, subyek hukum

memang dipilah berdasarkan asas

keturunan. HA memandang adanya upaya

yang disebutnya “Politik Segregasi” yakni

suatu kebijakan politik yang membagi-bagi

penduduk jajahan berdasarkan ras atau

agama (Santoso, 2003). Lokalisasi tempat

tinggal bagi golongan pendatang memang

tidak hanya ditujukan kepada Arab saja,

golongan lain seperti Tionghoa dan India

pun mengalami hal serupa. Bagi HA,

kebijakan ini terutama ditujukan bagi

bangsa Arab, yang menurut pemerintah

adalah golongan yang membawa pengaruh

membahayakan bagi jajahannya, Hindia

Belanda.

Semenjak diubahnya status hukum Hindia

Belanda dari negeri jajahan menjadi negeri

yang setara dengan Belanda, sesuai dengan

revisi Undang-Undang Dasar Inlandsch

Staatregeling tahun 1922, Hindia Belanda

diakui sebagai bagian integral dari

Kerajaan Belanda. Menurut HA, saat itu

pemerintah kolonial malah menjadi

paradoks. Boleh jadi perlakuan penduduk

berdasarkan asas keturunan merupakan

satu kebijakan tepat dalam mengelola

negeri jajahan. Namun, semenjak

penetapan UUD perubahan (grondwet

berziening) tahun 1922, pemerintah malah

tidak menjalankan prinsip kesetaraan yang

diamanatkan Undang-Undang baru itu.

Hanya karena meredam tuntutan dari

golongan Etisch di parlemen Belanda

sehingga perubahan UU itu dilakukan.

Tetapi semua itu hanya sebatas kata-kata

dalam Undang-Undang, tetapi tidak ada

dalam praktik. Oleh karenanya, berbagai

dukungan muncul ketika Petisi Sutarjo

yang menuntut kesetaraan

kewarganegaraan diajukan ke dalam

Volksraad.

Telah diketahui bahwa, PAI merupakan

salah satu organisasi penyokong Petisi

Sutarjo. Mengenai petisi ini, HA

menjabarkan pasal 1 UUD IS 1922 yang

mengalami perubahan, yang berbunyi

“Kerajaan Nederlanden terdiri dari

Nederland, Nederlandsch-Indie, Suriname,

dan Curaqau” (Insaf, Januari 1938:7).

Tafsiran dari pasal ini tentu membuat

Indonesia tidak lagi menjadi koloni

Belanda. Bahkan memiliki kedudukan

yang sama dengan Belanda. Namun, teori

pasal ini belum bersesuaian dengan

implementasinya di lapangan. Pemerintah

Kolonial Belanda tidak juga melakukan

perubahan apa-apa terhadap status

Indonesia, tetap sebagai negeri jajahannya.

Atas dasar itulah Petisi Sutarjo

menyuarakan dengan menuntut “pada

Nederland buat memenuhi kesanggupan

janji tadi pada Indonesia... yang terletak

dalam Art 1 yang baru itu” (Insaf, Januari

1938:7). Bahkan lebih jauh, HA

mengkritisi bahwa niatan pemerintah

hanya setengah-setengah dan cenderung

mengelabui. Terbukti dalam pasal 61, 62

Undang-Undang Dasar dan 82, 90, 99, 100

dalam Inlandsche Staatsregeling yang

mengatakan:

“politik luar negeri Indonesia sama sekali

bergantung pada kekuasaan di Nederland. Sedang

politik dalam negeri kekuasaan Indonesia tidak

memuaskan lantaran kekuasaan tadi gampang

dibatasi oleh kekuasaan di Nederland... tentu ini

sangat bertentangan dengan art. 1 Grondwet yang

mengasih Indonesia kedudukan sama dengan

Nederland” (Insaf, Januari 1938:8).

HA menegaskan bahwa gerakan PAI

berupaya “menunjang kebangunan

kerakyatan Indonesia yang satu” (Insaf,

November 1937:175). Usaha itu selaras

dengan keinginan Petisi Sutarjo dalam

rancangan Indisch Burgerschap-nya

(kewarganegaraan Hindia). Petisi ini

Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013

Page 13: PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

13

Universitas Indonesia

meminta diadakan kesetaraan antara

warganegara yang tinggal di Hindia

Belanda. Akhirnya, tuntutan itu telah

masuk dalam salah satu pembahasan

Volksraad.

Keadaan berkebalikan terjadi antara

lapangan politik dengan realitas sosial.

Dukungan PAI terhadap ide politik

penyatuan kewarganegaraan dalam

Volksraad malah menuai banyak sikap

kontra di masyarakat Arab. Sikap

penetangan yang ada memang bersumber

dari pendapat PAI mengenai konsep tanah

air berdasarkan paham natie. Organisasi

IAB (Indo Arabische Beweging),

merupakan salah satu organisasi golongan

Arab yang menentang PAI. Menurut IAB,

tumbuhnya nasionalisme Indonesia dalam

masyarakat keturunan Arab dinilai

membahayakan (Aritonang, 2004).

Melalui pemimpinnya, MBA Alamudi,

IAB mengatakan bahwa nasionalisme

merupakan satu gerakan yang berbahaya

dan gerakan nasional merupakan gerakan

yang tidak sehat (Algadri, 1988). Hal ini

menunjukkan posisi organisasi ini

berseberangan dengan PAI. Padahal asal

mula pembentukan keduanya sama-sama

menuju persatuan golongan Arab yang

saat itu diliputi sentimen antara Syekh dan

Sayid.

Dari sekian golongan kontra, Al-Irsyad

Surabaya merupakan kelompok yang

paling keras menentang gagasan PAI.

Dengan ekstrim Al-Irsyad ini mengatakan

bahwa PAI akan meninggalkan agama

(Haikal, 1986). Mereka terutama

keberatan dengan sikap PAI yang

menentang adat dalam hal kedudukan

perempuan Arab. Bagi PAI, adat Arab

cenderung diskriminatif terhadap para

perempuan.

Lewat media massa, majalah berbahasa

Arab seperti Barhut, Attruyuman,

Hadramaut, serta Assalam menulis

serangan-serangan hebat terhadap gerakan

PAI. Begitu juga dengan majalah dari

organisasi yang dipimpin MBA. Alamudi

(Al-Jaum) merupakan organisasi yang

paling besar serangan dan hasutannya

terhadap PAI (Suratmin, 1989).

Salah satu organisasi dari luar Arab yang

kontra terhadap gerakan PAI adalah Persis.

Organisasi ini secara terang-terangan

mengatakan dengan keras

ketidaksetujuannya atas pernyataan

golongan-golongan Indo yang

menyatakan tanah air mereka adalah

Indonesia. “walaupun itu ditulis,

diucapkan, dan disiarkan, maka kami

putra-putra muslim Indonesia tetap

menganggap mereka... asing... dan bukan

bangsa Indonesia” (Al-Lisan, 5 Agustus

1940:9). Bahkan, Al-Lisan sebagai media

partai mencibir,

“bukan dengan jalan berkaok-kaok di atas

podium... surat kabar... dan.. lidah yang tidak

bertulang. Tetapi dengan rasa yang penuh dengan

amal dan kerja. Dibuktikan dengan rasa yang

penuh persamaan dalam segala macam

kepentingan dan kebutuhan” (Al-Lisan, 5 Agustus

1940:10).

Sentimen-sentimen seperti itu memang

wajar terjadi. Golongan Indo, menurut

pribumi, tidaklah berbeda dengan bangsa

kolonial yang ikut-ikutan menindas

mereka. Hal inilah yang menjadi suatu

bentuk perjuangan PAI untuk mengubah

pandangan luar terhadap golongan Indo,

khususnya Indo-Arab.

PAI adalah sebuah gerakan moral. Suatu

gerakan yang memberikan kesadaran

“seseorang dari kewajiban terhadap

masyarakatnya” (Insaf, Januari 1937:1).

Di mana seseorang tinggal, di situ ia

punya tanggung jawab. Bahwa

kenyataannya “bangsa kita masih terlalu

terbelakang dan belum insaf, dengan tidak

mau mengerti kepentingan masyakarat”

(Insaf, Januari 1937:1). Lebih jauh, HA

menjelaskan bahwa ada perasaan

superioritas dalam diri Indo-Arab yang

tidak mau diidentikkan dengan pribumi

yang “rendah dan kecil” (Insaf, Maret-

April 1939:50). Dengan sinis HA

mengatakan bahwa orang-orang seperti itu

“tidak saja memungkiri darah yang

mengalir dalam tubuhnya, tetapi juga turut

memandang rendah apa saja yang

Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013

Page 14: PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

14

Universitas Indonesia

bercorak Indonesia” (Insaf, Maret-April

1939:50). Perasaan-perasaan seperti ini

timbul karena hukum kolonial yang ada

mengarahkan demikian. Atas dasar itulah

gerakan PAI hadir. PAI berjuang

menghilangkan perasaan dan sentimen

yang demikian. PAI mengusung “ideologi

yang baru, yang dapat melenyapkan

superioriteitswaan... membentuk

persamaan bangsa... terhadap golongan

Indonesia” (Insaf, Maret-April 1939:50).

Menurut HA sekarang adalah “zaman

baru, zaman PAI” (Insaf, April 1938:60).

Suatu masa yang mendesak para pemuda

PAI untuk “membuka mata membangun

bangsa... mulia karena bekerja [berjuang]”

(Insaf, April 1938:60). Pemuda-pemuda

disadarkan untuk tidak hanya mengisolasi

diri seperti orang tuanya. Menurutnya,

tugas utama PAI “mengadakan revolusi

batin di kalangan Indo-Arab” (Insaf,

Maret-April 1939:50) untuk menyadarkan

golongan peranakan Arab terhadap tanah

air Indonesia. Suatu pekerjaaan yang tidak

nampak terlihat secara fisik, “tapi bisa

dirasakan oleh suara hati dan perasaan.”

(Aliran Baroe, April 1939:5). Perjuangan

panjang PAI dalam lapangan sosial politik

untuk menyadarkan golongan

membuktikan kesungguhannya terhadap

keyakinan yang dianutnya tentang tanah

air baru mereka, tanah air Indonesia.

Mengenai pihak-pihak yang masih saja

mempertanyakan pekerjaan PAI, HA

mengatakan bahwa “imannya hanya di

matanya” (Aliran Baroe, April 1939:5).

Orang tersebut hanya melihat sesuatu

dengan skeptis tanpa menyadari kondisi

apa yang terjadi dan apa yang hendak

dicapai PAI.

Pada kongres II PAI pada tahun 1937 di

Surabaya, diputuskan kesiapan untuk

berkecimpung dalam dunia politik.

Perkumpulan ini bertekad untuk berjuang

bersama kelompok-kelompok nasionalis

Indonesia lainnya untuk “cita-cita

persamaan kedudukan dengan Belanda”7

7 Program Politik PAI pada kongres ke-II PAI di

Surabaya, lihat Insaf no. 4 Tahun ke 1 April 1937.

pada awalnya dan kemudian “menuntut

perubahan politik yang mewujudkan natie

Indonesia yang satu”8.

Petisi Sutarjo tercatat sebagai kontribusi

pertama PAI dalam lapangan politiknya.

Berbagai pidato mempropagandakan

petisi ini digelar dalam pertemuan-

pertemuan PAI di berbagai daerah.

Khusus mengenai Petisi Sutarjo, HA

memiliki kontribusi penting dalam

menjelaskan urgensinya bagi tujuan dan

arah gerakan politik PAI. Dalam

artikelnya, “Soembangan Oentoek

Orientasi Petitie-Soetardjo” (Insaf, Januari

1938:7), ia menjelaskan kepada golongan

Arab mengapa mereka mesti ikut

mendukung gerakan ini.

Berbagai aksi politik PAI terus berlanjut

sampai momentum lahirnya organisasi

GAPI dan MIAI. Khususnya dalam GAPI,

penerimaan PAI menjadi anggota penuh

GAPI merupakan wujud pengakuan bahwa

peranakan Arab telah dianggap dan

diterima sebagai putra yang bertanah air

Indonesia. Dengan optimis HA

mengatakan “PAI punya pekerjaan

tidaklah sia-sia... tidak keliru kalau kita

katakan bahwa PAI-lah yang paling

berhasil dalam mendekatkan Indo...

dengan golongan Indonesia...” (Insaf,

Maret-April 1939:51).

Bahkan, dengan mengutip perkataan Dr.

Ratulangie yang mengatakan “mudah

dimengerti rupanya pergerakan nasional

Indonesia tidak akan berkeberatan sama

sekali untuk menerima Indo-Arab” (Insaf,

Maret-April 1939:8). Hal ini tentu

dimudahkan karena hanya PAI satu-

satunya organisasi Indo-Arab yang terjun

di dunia politik. Namun yang terpenting

adalah keteguhan terhadap idealisme yang

berlandaskan keinsafan serta diwujudkan

dalam berbagai usaha sehingga “pada

saatnya nanti kita-peranakan Arab akan

bertemu dengan bangsa Indonesia asli”

(Aliran Baroe, April 1939:5), “Bukan

8 Program Politik PAI dalam Anggaran Dasar PAI

Perubahan tahun 1940.

Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013

Page 15: PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

15

Universitas Indonesia

darah yang menjadi dasar tentang ke-

Indonesiaan, sebab Indo-Arab... memiliki

perasaan sebagai juga perasaan putra

Indonesia” (Aliran Baroe, Desember

1940:12). Tentunya sejumlah usaha-usaha

ke arah sana sedikit demi sedikit mulai

diakui oleh masyarakat luas. “kita [boleh]

berbesar hati, bahwa pekerjaan kita yang

maha berat itu mendapat bantuan

[perhatian] yang cukup dari pergerakan

Indonesia yang kini kelihatan lebih riil”

(Aliran Baroe, April 1939:5).

KESIMPULAN

HA lahir dan besar dalam lingkungan yang

kental dengan pendidikan modern pada

zamannya. Tidak seperti anak keturunan

Arab kebanyakan yang anti terhadap

pendidikan Barat dan menganggap sekolah

kolonial akan “merusak” agama anak-anak

mereka, ia malah mengenyam pendidikan

sekular modern sejak TK sampai

perguruan tinggi. Keluarganya yang

berpikiran moderatlah yang menunjang

perkembangan dunia pendidikannya.

Pendidikan adalah pintu lahirnya

kesadaran nasionalisme. Semenjak masuk

sekolah menengah, ia melihat gerakan-

gerakan nasionalis yang pada waktu itu

sangat meningkat aktivitasnya baik dalam

bentuk partai maupun studieclub.

Semangat ini juga menjalar kepada siswa-

siswa di sekolah HA. Walau sebagai

anggota JIB, ia menaruh simpati besar

kepada gerakan nasionalis. Memang

sangat logis jika seorang pembela Islam

menjadi anti-Belanda sekaligus seorang

nasionalis. Sehingga, HA berkeinginan

sekali mendekatkan diri dengan siswa-

siswa yang beraliran nasionalis.

Ketertarikan dan kedekatan terhadap

gerakan nasionalisme, membawa HA jauh

pada pemikiran yang lebih riil dalam

menghadapi situasi zaman. Masa mudanya,

dalam lingkungan etnis Arab, terus diliputi

perselisihan antara pilahan-pilahan

kelompok yang ada. Ia merasa bahwa

perselisihan antara Kelompok Syekh

dengan Kelompok Sayid hanyalah

membawa pada kesengsaraan golongan

Arab pada umumnya. Baginya ada sesuatu

yang lebih penting ketimbang ikut larut

dalam perselisihan dalam etnis Arab yang

telah berlangsung lama. Ikut mengambil

kewajiban sebagai putra Indonesia demi

menuju keselamatan rakyat dan tanah air

Indonesia adalah upaya yang ia lakukan

bersama kawan-kawan Partai Arab

Indonesia.

Menurut HA tugas utama PAI adalah

“mengadakan pencerahan di kalangan

Indo-Arab” untuk menyadarkan seluruh

peranakan Arab terahadap tanah air

Indonesia. Hal ini bukanlah pekerjaan

yang mudah. Bahkan, untuk memperbaiki

persepsi golongan Arab, PAI ‘memakan’

waktu sekitar tiga tahun. Baru pada

kongres PAI pada tahun 1937 di Surabaya,

diputuskan kesiapan untuk berkecimpung

dalam dunia politik.

Ketika membahas tentang golongannya

(Indo-Arab), ia mempunyai harapan besar

untuk mengajaknya menanggalkan

perasaan superoritas yang tidaklah relevan

dan hanya satu wujud perasaan dibuat-buat

oleh golongan yang berkepentingan dalam

upaya ketidakbersatuan masyarakat.

Baginya buat apa perasaan superioritas

yang sebenarnya tidak membawa kesatu

prestise apapun, malah berkebalikan

menimbulkan sentimen negatif dari

golongan yang mereka anggap inferior.

Menurutnya harus ada “revolusi batin”

untuk menyadarkan golongan Arab, serta

menghapus apatisme sosial dan politik

yang selama ini terlihat.

Arab Indonesia bagi HA adalah satu terma

baru dalam mendefinisikan kaum

peranakan Arab. Mereka adalah pilahan

keturunan Arab yang telah sadar bahwa

mereka mempunyai nasib dan kebutuhan

yang sama seperti warga pribumi lainnya.

Tidak ada lagi perasaan tinggi hati dalam

Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013

Page 16: PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

16

Universitas Indonesia

pikirannya. Mereka adalah peranakan Arab

yang tergabung dalam PAI.

Mengenai cita-citanya tentang tanah air,

HA sangat berkeinginan mengajak semua

peranakan Arab melepaskan sistem sosial

Hadramaut yang berdampak negatif bagi

persatuan dalam tubuh masyarakat Arab

dan mengintegrasikan diri dalam

masyarakat Indonesia yang lebih luas. Ia

juga mengajak masyarakat Arab

menyadari konsep tanah air menurut

faham natie (kebangsaan). Baginya faham

ini lebih sesuai dibanding konsep tanah air

menurut faham ras. Faham natie

mengatakan bahwa tanah air merupakan

tempat berhimpunnya golongan-golongan

yang merasa adanya kesamaan nasib dan

cita-cita menuju persatuan nasional. Tidak

menjadi soal apakah golongan tersebut

terdiri dari berbagai etnis. Kelak jika sudah

terhimpun semua golongan-golongan yang

ada di masyarakat Indonesia, segala cita-

cita yang ingin dituju dapat dengan mudah

dicapai.

Daftar Acuan

Daftar judul Artikel Hamid Algadri dalam Insaf:

Oktober 1937 : “Soal Tanah Air dari Joeroesan Staatrecht”

November 1937 : “Soal Tanah Air dan Masjarakat Indonesia”

Januari 1938 : “Soembangan oentoek Petitie Sutardjo”

Februari 1938 : “Keboetoehan Bangsa Arab kepada Westerch Onderwijs”

April 1938 : “Zaman Baroe : Zaman PAI”

Agustus 1938 : “Pemandangan Oemoem terhadap Bangsa Arab”

Oktober 1938 : “Volksraad dan Golongan Arab”

Desember 1938 : “Hak Kerakjatan (Onderdaanschap)”

Januari 1939 : “Sekeliling Soal Indo”

Maret-April 1939 : “Soal Indo di Indonesia”

Februari-Maret 1940 : “Soal Indo”, “Indonesia dan Hadramaut”, “Stellingen Badan Statistik”

April 1941 : “Halaman Pertanyaan”, “Tafsiran AD PAI”

Mei 1941 : “Tafsiran AD”

Daftar judul Artikel Hamid Algadri dalam Aliran Baroe:

April 1939 : “Aliran Bar oe dan Modernisme”, “Indo Arab dan Arab Indonesia”

Desember 1940 : “Soal Indo di Indonesia”

Majalah :

Al-Lisan, “PAI dan Indonesia”, 5 Agustus 1940.

Buku Hamid Algadri:

Algadri, Hamid. 1999. Mengarungi Indonesia Memoar Seorang Perintis Kemerdekaan.

Jakarta: Lentera.

--------. 1988. Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia. Jakarta: Haji

Masagung.

Jurnal Ilmiah:

Mobini-Kesheh, Natalie. “The Arab Periodicals of the Netherlands East Indies, 1914-1942”.

KITLV (No. 2, 1996). Buku:

45 Tahun Sumpah Pemuda, 1974. Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah Jakarta. Jakarta:

Grafiti Jaya.

Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013

Page 17: PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH …

17

Universitas Indonesia

Abushouk, Ahmed Ibrahis dan Hassan Ahmed Ibrahim. 2005. The Hadhrami Diaspora in

Southeast Asia : Identity Maintenance Or Assimilation?. Kuala Lumpur: University

Malaya.

Anshoriy, Nasruddin. 2008. Rekam Jejak Dokter Pejuang dan Pelopor Kebangkitan Nasional.

Yogyakarta: LKiS.

Aritonang, Jan S. 2004. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK

Gunung Mulya

Berg, LWC van den. 1989. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, III, terj. Rahayu

Hidayat. Jakarta: INIS.

Dhont, Frank. 2005. Nasionalisme Baru Intelektual Indonesia Tahun 1920-an.Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Haikal, Husain. 1986. Indonesia-Arab dalam Pergerakan Nasional Indonesia (1900—1942).

Universitas Indonesia: Disertasi tidak diterbitkan.

Kesheh, Natalie Mobini. 1999. The Hadrami Awakening Community and Identity in the

Netherlands East Indies, 1900-1942. Cornel Southeast Asia Program.

Pringgodigdo, AK. 1964. Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia. Jakarta: Pustaka Rakjat.

Pusponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional

Indonesia VI, cet. 8.Jakarta: Balai Pustaka.

Santoso, Budi. 2003. Peran Keturunan Arab dalam Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta:

Progres.

Suratmin, 1989. Abdul Rahman Baswedan karya dan Pengabdian. Jakarta: Departemen

Pendidikan Nasional.

Suryadinata, Leo. 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga rampai

1965-2008. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Pemikiran Hamid ..., Muhammad Ridho Rachman, FIB UI, 2013