PEMETAAN STRUKTUR BATUAN DASAR MENGGUNAKAN …
Transcript of PEMETAAN STRUKTUR BATUAN DASAR MENGGUNAKAN …
PEMETAAN STRUKTUR BATUAN DASAR
MENGGUNAKAN METODE ENERGY SPECTRAL
ANALYSIS – MULTI WINDOW TEST (ESA – MWT) DATA
GRAVITASI PADA SUB CEKUNGAN SAKALA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
NANDA RIDKI PERMANA
NIM: 1116097000031
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020 M / 1441 H
i
PEMETAAN STRUKTUR BATUAN DASAR
MENGGUNAKAN METODE ENERGY SPECTRAL
ANALYSIS – MULTI WINDOW TEST (ESA – MWT) DATA
GRAVITASI PADA SUB CEKUNGAN SAKALA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh:
NANDA RIDKI PERMANA
NIM 1116097000031
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020 M / 1441 H
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PEMETAAN STRUKTUR BATUAN DASAR
MENGGUNAKAN METODE ENERGY SPECTRAL
ANALYSIS – MULTI WINDOW TEST (ESA – MWT) DATA
GRAVITASI PADA SUB CEKUNGAN SAKALA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Menyetujui.
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Dr. Sitti Ahmiatri Saptari, M.Si. Ario Budi Wicaksono, S.T., M.Sc.
NIP. 197704162005012008 NIP. 198003142006041002
Mengetahui,
Kepala Program Studi Fisika
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tati Zera, M.Si.
NIP. 196906082005012002
v
Untuk semua orang yang ku sayangi….
Terimakasih atas bantuan, doa dan motivasi
yang telah diberikan
vi
“Selalu Tebarkan Kebaikan Atau Hal
Positif Kepada Orang Lain
Sampai Kita Lupa Apa itu
Kejahatan (?)”
(Penulis)
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas
nikmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat
kepada Nabi Muhammad SAW, semoga kita memperoleh syafa’at Beliau di hari
akhir kelak, aamiin.
Skripsi yang berjudul “Pemetaan Struktur Batuan Dasar Menggunakan
Metode Energy Spectral Analysis – Multi Window Test (ESA-MWT) Data
Gravitasi Pada Sub Cekungan Sakala” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Sains pada Program Studi Fisika Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Topik
kajian skripsi ini berada di dalam ranah metode gravitasi. Penulis berharap dapat
memberikan suatu kontribusi bagi dunia geofisika melalui karya ini.
Selama masa perkuliahan maupun masa penulisan skripsi yang penulis
lalui, sangat banyak pihak yang telah berjasa. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Keluarga besar penulis yang telah memberikan bantuan dan semangat
sejak awal masa kuliah hingga sekarang, terutama Ibu dan Ayah.
2. Ibu Dr. Sitti Ahmiatri Saptari, M.Si selaku dosen pembimbing 1 yang
telah membimbing, memberikan ilmu, waktu, saran, tata cara penulisan
skripsi ini dan banyak lagi memberikan wawasan lainnya untuk penulis
selama masa perkuliahan.
3. Bapak Humbang Purba, M.Si (dari LEMIGAS) selaku dosen
pembimbing teknis yang telah membimbing dan mengarahkan penelitian
penulis dengan penuh kesabaran dan perhatian.
viii
4. Bapak Ario Budi Wicaksono, S.T., M.Sc. (dari LEMIGAS) selaku dosen
pembimbing kedua yang telah membimbing dan mengarahkan penelitian
penulis dengan penuh kesabaran dan perhatian.
5. Ibu Tati Zera, M.Si selaku kepala prodi (kaprodi) jurusan Fisika UIN
Syrafi Hidayatullah Jakarta dan peguji kedua sidang, yang selalu
membimbing dan mengarahkan penulis untuk lebih giat lagi dalam
menggarap skripsi.
6. Bapak Dr. Sutrisno, Dipl. Seis. Selaku penguji pertama sidang yang
memberikan masukan/saran untuk penulis.
7. Seluruh dosen Jurusan Fisika FST UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah banyak memberikan ilmu selama penulis melakukan studi di
Jurusan Fisika.
8. Farah Syuraih Muchtar, terimakasih telah menjadi partner selama PKL
dan TA, yang selalu memberikan support dan semangat kepada penulis.
9. Teman Kontrakan; Ahmad Mustadi (Mus/Kang Mus), Ali Nurdin
Raharjo (Yonglek), Mohammad Eka Saputra (Mekas), Reza
Rahmansyah, Ade Kurniawan, Muhammad Fauzan Zarkashie (Jo), Fajri,
Ihya, Rizki (Mentol), Septian (Ancol), yang telah melalui berbagai suka
duka bersama penulis selama 4 tahun, dan memberikan support yang
sangat luar biasa di masa-masa sulit.
10. Kak Lawrence Pattersons, terimakasih atas nasehat dan saran-saran yang
sangat membantu penulis agar terus semangat dalam penelitian dan
penggarapan skripsi.
11. Teman-teman Universitas Pertamina, terutama Fairuz, Isti, Wildi, Darma
dan yang lainnya yang tidak saya bisa sebutkan satu-persatu terimakasih
ix
atas bantuan-nya kepada penulis dalam membantu, memberikan saran
serta ilmu yang bermanfaat selama penelitian di LEMIGAS.
12. Teman-Teman LI (Lingga Indah), terutama kepada Jabar, Reza, Ayo,
Dimas, Firman dan lain-lain, penulis sangat berterimakasih atas segala
hiburan yang ada disaat penulis sedang jenuh saat pembuatan skripsi.
13. Keluarga Besar Fisika 2016 UIN Jakarta (Zestien), terimakasih atas
kebersamaan selama ini, tanpa hadirnya kalian diriku tak berarti apa-apa.
14. Seluruh keluarga besar Fisika UIN Jakarta, terimakasih atas kerja sama
dan ilmu yang diberikan selama penulis studi di jurusan fisika.
15. KSGF (Kelompok Studi Geofisika) UIN Jakarta, terimakasih atas ilmu
dan informasi yang berkaitan dengan ilmu geofisika kepada penulis.
16. Keluarga peminatan Geofisika 2016, terimakasih atas kebersamaann
selama di peminatan geofisika.
17. Keluarga Besar HMGI (Himpunan Mahasiswa Geofisika) Wilayah II
maupun Pusat, yang telah memberikan ilmu dan pengalaman di bidang
geofisika yang sangat luas.
18. Theoretical Physicist UIN Jakarta; Bang Deden, Bang Nizar, Bang Ryan,
Bang Alvin, Bang Agung Sedayu, Bang Agung Beny Saputra, Bang
Bayu, Bang Redho, Bang Tedi, Bang Fajri, Bang Oyen, Bang Habib,
Bang Syaiful, Pak Azhar, Fajri, Kharismawan, Lamin, Naufal dan Fajrin.
Terimakasih atas diskusi-diskusi yang memperluas wawasan fisika
teoritik bagi penulis.
19. Semua pihak yang telah berjasa sangat besar, dan tidak bisa penulis
sebutkan satu-persatu.
x
Penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala jasa dari segala
pihak yang telah membantu. Penulis meminta permohonan maaf jika terdapat
kekurangan pada tugas akhir ini. Penulis mengharapkan masukan berupa kritik
atau pun saran yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang
(email: [email protected]). Akhir kata penulis berharap agar hasil Tugas
Akhir ini dapat berguna bagi pihak yang memerlukan dan perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang geofisika.
Jakarta, 15 Juli 2020
Penulis
Nanda Ridki Permana
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................. ii
PENGESAHAN UJIAN.................................................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................................. iv
LEMBAR PERSEMBAHAN………………………………………………….………..v
LEMBAR MOTTO………………………………………………………….………......vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….…………....xv
ABSTRAK ......................................................................................................................... xvi
ABSTRACT ....................................................................................................................... xvii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4
1.4. Batasan Penelitian ..................................................................................... 4
1.5. Manfaat Penelitian .................................................................................... 4
1.6. Sistematika Penulisan ............................................................................... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 6
2.1. Metode Gravitasi ....................................................................................... 6
2.2. Hukum Gravitasi Newton ......................................................................... 8
2.3. Potensial Gravitasi .................................................................................... 9
2.4. Anomali Gravitasi ..................................................................................... 10
2.5. Koreksi-Koreksi Metode Gravitasi ........................................................... 10
2.5.1. Koreksi Baca Alat/Skala ............................................................... 10
2.5.2. Koreksi Pasang Surut Bumi (Tidal) .............................................. 11
2.5.3. Koreksi Apungan (Drift) ............................................................... 11
2.5.4. Koreksi Lintang (Latitude Correction) ......................................... 13
2.5.5. Koreksi Udara Bebas (Free Air Correction) ................................. 13
2.5.6. Koreksi Bouguer (Bouguer Correction) ....................................... 14
2.5.7. Koreksi Medan (Terrain Correction)............................................ 15
2.6. Anomali Bouguer Lengkap / Complete Bouguer Anomaly ...................... 17
2.7. Penentuan Densitas Wilayah Pengukuran ................................................ 18
2.8. Analisa Energi Spektrum .......................................................................... 19
2.9. Energy Spectral Analysis – Multi Window Test (ESA – MWT) ............... 21
2.10. Bandpass Filter ......................................................................................... 21
2.11. Analisa Derivative .................................................................................... 22
2.11.1. First Horizontal Derivative (FHD) ............................................. 22
2.11.2. Second Vertical Derivative (SVD) ............................................. 23
2.12. Patahan…………………………………………………………………...24
2.12.1 Jenis-Jenis Patahan……..……….…………………..………......24
2.13 Geologi Regional dan Stratigrafi ............................................................... 25
2.13.1 Geologi Regional ......................................................................... 25
2.13.2 Stratigrafi ..................................................................................... 30
xii
2.14 Basic Petroleum System ............................................................................ 31
2.14.1 Elemen-elemen dalam Petroleum System .................................. 32
2.14.2 Proses-proses dalam Petroleum System ...................................... 33
BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................................ 35
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 35
3.2. Perangkat yang Digunakan ....................................................................... 35
3.2.1. Perangkat Keras ............................................................................ 35
3.2.2. Perangkat Lunak ........................................................................... 35
3.3. Diagram Alir Penelitian ............................................................................ 36
3.4. Reduksi Data Gravitasi ............................................................................. 37
3.5. Analisa Energi Spektrum Data Gravitasi .................................................. 37
3.6. Pemetaan Horizon Menggunakan Metode ESA-MWT ............................ 39
3.7. Analisa Patahan Menggunakan FHD vs. SVD ......................................... 41
3.7.1. Metode First Horizontal Derivative (FHD) .................................. 42
3.7.2. Metode Second Vertical Derivative (SVD)................................... 43
3.7.3. Korelasi Grafik FHD dan SVD ..................................................... 43
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 46
4.1. Complete Bouguer Anomaly (CBA) ........................................................ 46
4.2. Pemisahan Anomali Regional dan Anomali Residual .............................. 46
4.3. Analisis Energi Spektrum ......................................................................... 50
4.4. Hasil Analisa ESA-MWT ......................................................................... 52
4.5. Hasil Pemetaan Horizon ........................................................................... 60
4.6. Hasil Analisa Patahan ............................................................................... 65
4.7. Implikasi Petroleum System……..…………………………...…………..71
BAB V. PENUTUP ......................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 75
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Peta daerah Cekungan Jawa Timur Utara 3
Gambar 2.1. Pengaruh struktur geologi, adanya penambahan dan pengurangan
massa di bawah permukaan terhadap medan gravitasi di permukaan.
7
Gambar 2.2. Alat gravitymeter La Coste & Romberg 8
Gambar 2.3. Pengukuran dengan nilai berbeda pada base station pada waktu yang
berbeda
12
Gambar 2.4. Metode Looping 12
Gambar 2.5. Relasi antara geoid dan elevation of observation 14
Gambar 2.6. Massa yang terletak diantara titik pengukuran dengan datum yang
diperhitungkan
15
Gambar 2.7. Efek dari sebuah bukit (A) dan sebuah lembah (B) pada pengukuran
gravitasi sehingga membutuhkan koreksi terrain untuk mereduksi
deviasi gravitasi vertical sebesar δg yang ditimbulkan
16
Gambar 2.8. Hammer Chart 17
Gambar 2.9. Grafik ln A vs k 21
Gambar 2.10. Bandpass filter 22
Gambar 2.11.
Gambar 2.12.
Gambar 2.13.
Gambar 2.14.
Gambar 2.15.
Nilai Gradien Horizontal Pada Model Tabular
Sesar Sumatra
Patahan Normal
Patahan Naik
Patahan Geser
23
24
25
25
26
Gambar 2.16. Peta Isopach dan sebaran sumur di Cekungan Jawa Timur Utara 27
Gambar 2.17. Peta anomali gaya berat di daerah Cekungan Jawa Timur Utara 27
Gambar 2.18. Model Geologi Regional Utara-Selatan Cekungan Jawa Timur Utara 29
Gambar 2.19. Model Geologi Regional Utara-Selatan Cekungan Jawa Timur Utara 29
Gambar 2.20.
Gambar 2.21.
Gambar 2.22.
Gambar 2.23.
Gambar 2.24.
Stratigrafi Cekungan Jawa Timur Utara
Petroleum System
Jenis-jenis Jebakan
Pemetaan Kedalaman Lapisan Sumber
Proses Migrasi Hidrokarbon
30
31
33
33
34
Gambar 3.1. Peta Daerah Penelitian 35
Gambar 3.2. Diagram Alir Proses Penelitian 36
Gambar 3.3. Hasil reduksi data gravitasi menjadi CBA 37
Gambar 3.4. Kurva RAPS 37
Gambar 3.5. Kurva RAPS untuk komponen utama dari peta CBA 38
Gambar 3.6. Peta Regional 39
Gambar 3.7. Peta Residual 40
Gambar 3.8. Pe-window-an pada CBA untuk sebuah titik pusat pengamatan (test
point)
40
Gambar 3.9. Grafik multi window test (MWT) untuk sebuah test point 41
Gambar 3.10. FHD 42
Gambar 3.11. SVD 43
Gambar 3.12. Arah Lintasan Digitasi Pada Peta CBA 44
Gambar 3.13. Korelasi Grafik FHD dan SVD (lintasan 1 (Y) Vertikal) (test point) 45
Gambar 4.1. Matriks Moving Average (MVA) 5x5 47
Gambar 4.2.
Gambar 4.3.
Gambar 4.4.
Digitasi Peta CBA
Data Digitasi Peta CBA
Proses Perhitungan FFT (Test Point) (Line 1)
47
48
48
xiv
Gambar 4.5.
Gambar 4.6.
Gambar 4.7.
Kurva RAPS (Test Point) (Line 1)
Proses Penentuan Lebar Jendela (N)
Proses Grid Math
49
49
50
Gambar 4.8.
Gambar 4.9.
Slicing Peta CBA
Kurva RAPS (Test Point) (Line 1 Window 35000 titik 4 dan 5)
51
51
Gambar 4.10.
Gambar 4.11.
Data Kedalaman Setiap Window (Test Point) (Line 1 titik 4 dan 5)
Penarikan Batasa Kontras Densitas
52
53
Gambar 4.12. Model Struktur Basement (Line 1) 53
Gambar 4.13. Model Struktur Basement (Excel) (Line 1) 54
Gambar 4.14. Model Struktur Basement (Line 2) 54
Gambar 4.15. Model Struktur Basement (Excel) (Line 2) 55
Gambar 4.16. Model Struktur Basement (Line 3) 55
Gambar 4.17. Model Struktur Basement (Excel) (Line 3) 56
Gambar 4.18. Model Struktur Basement (Line 4) 56
Gambar 4.19. Model Struktur Basement (Excel) (Line 4) 57
Gambar 4.20. Model Struktur Basement (Line 5) 57
Gambar 4.21. Model Struktur Basement (Excel) (Line 5) 58
Gambar 4.22. Model Struktur Basement (Line 6) 58
Gambar 4.23. Model Struktur Basement (Excel) (Line 6) 59
Gambar 4.24. Horizon 1 2D 60
Gambar 4.25. Horizon 1 3D 60
Gambar 4.26. Horizon 2 2D 61
Gambar 4.27. Horizon 2 3D 61
Gambar 4.28. Horizon 3 2D 62
Gambar 4.29. Horizon 3 3D 62
Gambar 4.30. Horizon 4 2D 63
Gambar 4.31. Horizon 4 3D 63
Gambar 4.32. Struktur Basement (Overlay Horizon 1 – 4) 3D 64
Gambar 4.33. Lintasan Digitasi pada Grid CBA 65
Gambar 4.34. LINE 1 (Y) FHD VS SVD 66
Gambar 4.35. Patahan pada struktur basement (Line 1) 66
Gambar 4.36. LINE 2 (Y) FHD VS SVD 67
Gambar 4.37. Patahan pada struktur basement (Line 2) 67
Gambar 4.38. LINE 3 (Y) FHD VS SVD 68
Gambar 4.39. Patahan pada struktur basement (Line 3) 68
Gambar 4.40. LINE 4 (X) FHD VS SVD 69
Gambar 4.41. Patahan pada struktur basement (Line 4) 69
Gambar 4.42. Plot patahan grafik FHD VS SVD 70
Gambar 4.43. Peta Sesar Grid FHD 71
Gambar 4.44. Peta Lintasan 5 (Dugaan Hidrokarbon) 72
Gambar 4.45. Petroleum System pada lintasan 5 72
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data CBA (Complete Bouguer Anomaly) daerah penelitian.
Lampiran 2. Proses Windowing data dengan lebar window 35x35 km2 – 49x49 km
2
xvi
ABSTRAK
Konfigurasi batuan dasar sangat diperlukan untuk menentukan posisi batuan
sumbernya. Struktur batuan yang kompleks dan diperlukan estimasi kedalaman
yang akurat pula. Data gravitasi yang diperoleh pada salah satu bagian dari
wilayah Cekungan Sakala, Jawa Timur, telah digunakan untuk mengestimasi
kedalaman multipel horizon dari batas muka densitas. Dengan mengaplikasikan
metode Energy Spectral Analysis – Multi Window Test (ESA – MWT), horizon
tersebut diperoleh. Estimasi kedalaman dihitung dari analisa energi spektrum
sebagai transformasi dari data gravitasi yang telah di-grid menjadi transformasi
Fourier 2D (Fast Fourier Transform). Analisa energi spektrum dilakukan pada
sebuah titik uji dengan melakukan proses windowing peta Complete Bouguer
Anomaly (CBA) pada titik uji tersebut dengan ukuran window persegi yang
bertambah secara konstan dengan pertambahan lebar 2 km dari ukuran window
sebelumnya. Jarak antar titik uji adalah sekitar 4 km pada masing-masing lintasan
pengukuran gravitasi. Kemudian diperoleh kedalaman plateau yang
merepresentasikan batas-muka densitas dari hasil plot antara kedalaman benda
anomali terhadap ukuran window. Pemetaan struktur patahan dan jenis patahan
dilakukan dengan menggunakan metode First Horizontal Derivative (FHD) dan
Second Vertical Derivative (SVD). Lokasi patahan yang direpresentasikan oleh
nilai SVD nol dan FHD puncak, untuk menentukan jenis patahan dilakukan
perbandingan nilai maksimum SVD dan minimum SVD. Hasil pemetaan horizon
batas-muka densitas berkorelasi dengan struktur basement geologi regional,
Didapatkan 4 Horizon dengan kedalaman berkisar 5000 m hingga 11000 m, untuk
horizon 4 merupakan horizon basement dengan kedalaman berkisar 8400 – 11.000
m. Hasil korelasi grafik FHD dan SVD didapatkan didapat 7 sebaran titik patahan
yang menghasilkan 2 jalur sesar dengan arah timur ke barat dengan jenis patahan
normal.
Kata kunci: metode Energy Spectral Analysis – Multi Window Test (ESA – MWT),
Complete Bouguer Anomaly (CBA), metode FHD SVD.
xvii
ABSTRACT
The bedrock configuration is very necessary to determine the position of the source
rock. Rock structures are complex and accurate depth estimate are also required.
Gravity data obtained in one part of the Sakala Basin region, East Java, have been
used to estimate the depth of multiple horizons from the density face limit. by
applying the Energy Spectral Analysis - Multi Window Test (ESA - MWT) method,
the horizon is obtained. Depth estimation is calculated using spectrum energy
analysis to transform the CBA profile to frequency or wavelength domain.
Spectrum energy analysis is performed at a test point by completing the Complete
Bouguer Anomaly (CBA) windowing process at that test point with a square
window size that is constantly increasing with an increase of 2 km in width from the
previous window size. The distance between the test points is about 4 km on each
gravity measurement trajectory. Then the depth of plateau is obtained which
represents the density limit of the plot between the depth of the anomalous object
and the window size. Mapping of fault structures and types of faults is carried out
using the First Horizontal Derivative (FHD) and Second Vertical Derivative (SVD)
methods. The fault location is represented by a zero SVD value and peak FHD, to
determine the fault type the SVD maximum and SVD minimum values are
compared. The results of density boundary horizon mapping correlate with regional
geological basement structures, obtained 4 Horizons with depths ranging from 5000
m to 11000 m, for horizon 4 is a basement horizon with depths ranging from 8400-
11,000 m. The results of FHD and SVD graph correlation obtained obtained 7
distribution of fault points that produce 2 fault lines with east to west direction with
normal fault type.
Keywords: Energy Spectral Analysis - Multi Window Test (ESA - MWT) method,
Complete Bouguer Anomaly (CBA), FHD SVD method.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang sangat luas yang memiliki ribuan pulau juga kaya
akan sumber daya alamnya. Sumber daya alam yang terkandung di Indonesia sangatlah
beragam dan bervariasi juga banyak sekali manfaatnya di segala bidang. Banyak sumber daya
dan kekayaan alam indonesia tersimpan jauh di bawah permukaan bumi. Untuk mencarinya,
dibutuhkan suatu ilmu khusus dan menggunakan teknologi atau instrumentasi yang canggih
yang dapat menghemat biaya kegiatan eksplorasi dan produksi yang tinggi.
Ilmu geofisika memegang peranan penting dalam kegiatan eksplorasi sumber daya
alam. Secara umum, geofisika adalah ilmu yang mempelajari karakteristik struktur bawah
permukaan bumi dengan menggunakan prinsip-prinsip fisika. Salah satu metode geofisika
yang sering digunakan adalah metode gravitasi. Metode gravitasi merupakan metode yang
paling diminati dan efektif untuk mencari sumber energi dibawah permukaan bumi, karena
alat nya tidak berat juga sangat ekonomis dalam survey. [1]
Metode gravitasi merupakan salah satu metode geofisika yang memiliki kemampuan
yang cukup baik dalam menggambarkan struktur bawah permukaan bumi berdasarkan
perbedaan medan gravitasi bumi yang dapat dilihat dari distribusi atau sebaran densitas
(massa jenis) batuan atau mineral yang dikandungnya. Dalam eksplorasi sumber daya alam
bumi dengan metode gravitasi dibagi menjadi tiga kegiatan, yaitu akuisisi data gravitasi
(pengambilan data gravitasi), pengolahan data gravitasi, dan interpretasi data gravitasi.
Pengolahan data gravitasi merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dalam metode
gravitasi karena pada tahapan ini data mentah hasil akuisisi dilapangan pertama kali diolah.
Apabila pengolahan data yang dilakukan baik maka akan meningkatkan kualitas data
sehingga lebih mudah untuk di interpretasikan. [2]
Pengolahan data gravitasi ini pada dasarnya dilakukan untuk menghasikan penampang
bawah permukaan gravitasi dengan distribusi densitas (massa Jenis) batuan atau mineral yang
dikandungnya. Pengolahan data gravitasi ini tentunya juga harus berdasarkan konsep dasar
geofisika agar memenuhi tujuan dari pengolahan data gravitasi. Oleh karena itu, untuk bisa
memahami konsep – konsep dasar geofisika dan penerapannya di dalam pengolahan data
2
gravitasi, maka pada Tugas Akhir (TA) Skripsi ini penulis melakukan pemodelan struktur
basement (batuan dasar) yang diduga memiliki potensi hidrokarbon di dalamnya dengan
menggunakan metode Energy Spectral Analysis – Multi Widow Test (ESA-MWT) dan juga
penulis memetakan jalur patahan pada daerah penelitian ini dengan menggunakan metode
FHD dan SVD, yang nantinya akan dikorelasikan antara struktur basement dengan jalur
patahannya. Pada penelitian sebelumnya pernah dilakukan pemodelan struktur basement
dengan metode yang sama dimana pada penelitian sebelumnya memiliki konfigurasi
basement yang kurang cocok dengan model basement geologi regionalnya dikarenakan hanya
dilakukan 1 slicing saja dan juga belum dilakukannya pemetaan jalur patahan menggunakan
metode FHD SVD, maka dari itu disini penulis melakukan sebuah penelitian yang sama
dengan penelitian sebelumnya untuk melakukan pemodelan struktur basement yang lebih
akurat dari pada penelitian sebelumnya dan juga menambahkan pemetaan jalur patahan di
daerah penelitian dengan menggunakan metode FHD SVD.
Teknik interpretasi dengan analisa energi spektrum pada data anomali gravitasi ini
dapat mengestimasi nilai kedalaman suatu body anomali di bawah permukaan bahkan hingga
mancapai kedalaman basement. Informasi berupa estimasi nilai kedalaman ini sangat
membantu dalam analisa data gravitasi untuk menhitung kedalaman basement, dikarenakan
tidak ada teknik interpretasi lain yang dapat menganalisa nilai kedalaman dari generator
anomali gravitasi di bawah permukaan bumi.
Analisa energi spektrum yang dikombinasikan dengan teknik multi-window pada data
gravitasi dapat mendeteksi kedalaman basement yang kita inginkan dengan melakukan
windowing pada CBA dan mengambil trend regional pada kurva RAPS. Metode ini disebut
sebagai metode Energy Spectral Analysis – Multi Window Test (ESA – MWT), juga pada
penelitian ini dilakukan pemetaan persebaran patahan di daerah sakala dengan menggunakan
metode FHD SVD, dapat dilihat sebaran patahan dari korelasi antara grafik FHD dan SVD.
Pada kasus ini, daerah yang menjadi fokus penelitian adalah daerah Sub Cekungan
Sakala yang berada di Jawa Timur bagian utara..Cekungan ini ke arah Utara dibatasi oleh
Lengkung Karimunjawa (Karimun Java Arch), ke Utara oleh tinggian Meratus (Meratus
high), ke arah Timur oleh Tinggian Masalembo-Doang, ke arah Selatan oleh jalur
Pegunungan Selatan (Gambar 1.1).
3
Gambar 1.1 Peta daerah Cekungan Jawa Timur Utara (ESDM op.cit, Sirait 2007)
Daerah Cekungan Jawa Timur Utara kemungkinan besar terdiri dari berbagai batuan
induk dan secara lokal masing-masing daerah menunjukkan karakteristik batuan induk yang
berbeda-beda. Endapan klastik Formasi Pra-Ngimbang terdiri dari perselingan pasir tipis dan
serpih, dengan sedikit batubara, ketebalannya berkisar antara 36 sampai 136 m. Hasil studi
geologi dan geokimia daerah Paparan Utara dan Tinggian Tengah menunjukkan hidrokarbon
daerah ini berasal dari batuan induk Pra-Eosen sampai Eosen seperti yang teramati di Sumur
JS-53 dan di lapangan gas dan kondensat Pagerungan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka adapun rumusan masalah pada
penelitian ini, sebagai berikut :
1. Bagaimana model struktur batuan dasar (basement) di Daerah Sub Cekungan Sakala
dengan menggunakan metode ESA-MWT ?
2. Berapakah kedalaman struktur batuan dasar (basement) di Daerah Sub Cekungan
Sakala dengan menggunakan metode ESA-MWT ?
3. Bagaimakah persebaran dan jenis patahan di Daerah Sub Cekungan Sakala dengan
menggunakan metode FHD SVD ?
4. Bagaimakah implikasinya terhadap petroleum system di Daerah Sub Cekungan
Sakala ?
4
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Membuat pemodelan dan Mengetahui estimasi kedalaman struktur batuan dasar
(basement).
2. Mengetahui persebaran dan jenis tektonik patahan yang terjadi pada batuan dasar
(basement) menggunakan metode FHD SVD.
3. Mengetahui implikasi terhadap petroleum system di Daerah Sub Cekungan Sakala.
1.4 Batasan Penelitian
Adapun batasan yang dilakukan dalam penelitian ini, meliputi :
1. Daerah penelitian terbatas hanya di Sub Cekungan Sakala.
2. Pemetaan struktur batuan dasar menggunakan metode Energy Spectral Analysis –
Multi Window Test (ESA – MWT).
3. Data gravitasi hasil observasi (observed gravity data) yang telah di lakukan koreksi
hingga didapatkan anomali bouguer dari LEMIGAS.
4. Pemetaan persebaran dan jenis patahan menggunakan metode FHD SVD.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapaun manfaat penelitian ini adalah :
1. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pemetaan
struktur batuan dasar (Basement) di daerah Sub Cekungan Sakala dengan
menggunakan metode ESA-MWT.
2. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai estimasi
kedalaman struktur batuan dasar (Basement) di daerah Sub Cekungan Sakala dengan
menggunakan metode ESA-MWT.
3. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai persebaran
dan jenis patahan di daerah Sub Cekungan Sakala dengan menggunakan metode FHD
SVD.
4. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai implikasi
terhadap petroleum system di Daerah Sub Cekungan Sakala.
5. Selain itu diharapkan dapat memberikan referensi bagi peneliti lain yang memiliki
tema yang sama.
5
1.6 Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi terbagi dalam 6 bagian, dengan perincian sebagai berikut:
1. BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi tentang latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan
penelitian. manfaat penelitian, batasan masalah dan sistematika penulisan.
2. BAB II TINAJUAN PUSTAKA
Pada bab ini berisi tentang konsep dasar gravitasi, koreksi-koreksi dan anomali metode
gravitasi, teori Analisa spektrum energi metode ESA-MWT dan Analisa patahan, serta
kondisi geologi regional daerah penelitian.
3. BAB III METODE PENELITIAN
Pada bab ini berisi metodologi penelitian dan pembahasan tahapan-tahapan yang
dilakukan dalam proses pengolahan data dan tujuan dilakukan tahapan tersebut.
4. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini berisi hasil dari proses pengolahan data serta analisa dan pembahasan
mengenai hasil tersebut.
5. BAB V PENUTUP
Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran mengenai hasil penelitian yang dilakukan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Metode Gravitasi
Metode gravitasi adalah salah satu metode geofisika yang didasarkan pada
pengukuran medan gravitasi. Pengukuran ini dapat dilakukan di permukaan bumi, di kapal
maupun di udara. Dalam metode ini yang dipelajari adalah variasi medan gravitasi akibat
variasi rapat massa batuan di bawah permukaan sehingga dalam pelaksanaannya yang
diselidiki adalah perbedaan medan gravitasi dari suatu titik observasi terhadap titik observasi
lainnya. Metode gravitasi umumnya digunakan dalam eksplorasi jebakan minyak (oil trap).
Disamping itu metode ini juga banyak dipakai dalam eksplorasi mineral dan lainnya.[1]
Pada kenyataannya, medan gravitasi bumi di permukaan tidaklah homogen. Gravitasi
sangat dipengaruhi oleh densitas (massa jenis) benda, seperti batuan penyusun permukaan
bumi/ kerak bumi dan batuan penyusun di bawah kerak bumi. Batuan-batuan dengan densitas
(massa jenis) nya yang bervariasi tersebut akan mempengaruhi medan gravitasi bumi di
bumi. Jadi sebenarnya di bumi ini memiliki gravitasi yang berbeda-beda di tiap daerah,
karena penyusun lapisan-lapisan di bawah permukaan bumi sangatlah beragam jenis
batuannya.[2]
Variasi medan gravitasi di permukaan pun dapat dipengaruhi oleh adanya struktur
geologi di bawah permukaan, termasuk tidak meratanya kondisi topografi/relief permukaan
bumi. Sehingga, posisi pengamatan juga memiliki pengaruh terhadap pengukuran. Pada
dasarnya, segala kondisi geologis di bawah maupun di permukaan dapat mempengaruhi
medan gravitasi bumi yang terukur.
7
Gambar 2.1 Pengaruh struktur geologi, adanya penambahan dan pengurangan massa di bawah
permukaan terhadap medan gravitasi di permukaan. (Reynolds, 1997)
Variasi medan gravitasi di permukaan bumi, apabila dibandingkan dengan nilai
gravitasi absolut sangatlah kecil. Namun, dengan teknologi alat ukur yang sangat sensitif dan
presisi, perbedaan tersebut dapat diketahui. Teknologi ukur pengukuran gravitasi
menggunakan alat Gravitymeter, yang memiliki komponen utama berupa pegas dengan
kontruksi tertentu. Pengukurannya di lapangan, biasanya dilakukan pada titik-titik
pengukuran di sepanjang lintasan pengukuran dalam suatu luasan area pengukuran. Biasanya
juga diperlukan satu titik acuan bebas gangguan/noise (base station) yang akan digunakan
sebagai unsur koreksi dalam analisa data (koreksi drift). Selain pengukuran di darat,
pengukuran juga dapat dilakukan di laut dengan kapal, maupun di udara dengan pesawat.
8
Gambar 2.2. Alat Gravitymeter La Coste & Romberg (Mouscatt, 2009)
Satuan pengukuran dalam metode gravitasi biasanya dinyatakan dalam gal (Galileo),
jadi nilai yang terbaca pada alat adalah dalam satuan gal (Galileo), dalam satuan SI (Satuan
Internasional), g dinyatakan dalam m/s2, dimana 1 gal = 1 cm/s
2 = 0,01 m/s
2. Gravitasi rata-
rata di permukaan bumi sekitar 980 gal.
Data pengukuran medan gravitasi yang diperoleh akan mengandung anomali yang
terdiri dari efek lokal dan efek regional. Efek lokal merupakan sasaran dari pengukuran
mikro-gravitasi, dimana pengukuran ini dilakukan pada ketelitian pengukuran hingga satuan
mikrogal (10-6
gal). Efek lokal ini membawa anomali medan gravitasi yang sangat dekat
dengan permukaan.[3]
2.2 Hukum Gravitasi Newton
Pada awalnya Hukum Gravitasi ini ditemukan oleh Sir Isaac Newton yang secara
tidak sengaja melihat apel jatuh dari pohon. Pada dasarnya gravitasi adalah gaya tarik-
menarik antara dua buah benda yang memiliki rapat massa (densitas) yang berbeda, gaya
tarik-menarik ini dipengaruhi juga oleh jarak kuadrat kedua buiah dan massa kedua benda
uji. Pada keadaan secara riil seharusnya percepatan gravitasi di tiap tempat selalu berbeda-
beda karena bentuk bumi yang berbentuk ellipsoid , yang dimana jari-jari pada kutub bumi
lebih pendek dibandingkan jari-jari di equator, maka dapat disimpulkan bahwa percepatan
gravitasi di daerah kutub lebih besar dibandingkan di daerah ekuator. Dalam hal ini dapat
diekspresikan oleh rumus hukum Newton sederhana sebagai berikut :
F = G
(2.1)
9
Dimana :
F = Gaya gravitasi antara dua titik massa yang ada (N)
G = Konstanta gravitasi Newton ( 6,673 x 10-11
Nm2/Kg
2)
m1 = Massa benda 1 (Kg)
m2 = Massa benda 2 (Kg)
r = Jarak antara benda 1 dan benda 2 (m)
dan Hukum Gerak Newton, yang menyatakan gaya yang bekerja F dipengaruhi oleh
massa m dan percepatan gravitas g :
F = m . g (2.2)
Dimana :
F = Gaya gravitasi (N)
m = Massa benda (Kg)
g = Percepatan gravitasi ( m/s2)
Dari kedua persamaan tersebut, kemudian dapat diperoleh persamaan Percepatan
Gravitasi di permukaan bumi g (dengan M merupakan massa bumi)
g =
(2.3)
2.3 Potensial Gravitasi
Medan gravitasi merupakan medan konservatif, yang merupakan gradien dari suatu
fungsi potensial skalar U. Mengingat g sebagai medan vektor :
g =
r1 (2.4)
10
dan potensial gravitasi merupakan besaran skalar, sebagai U :
U =
(2.5)
Dimana U adalah potensial gravitasi, yang merupakan usaha yang dilakukan gravitasi
dalam perpindahan suatu massa m ke posisi r.
2.4 Anomali Gravitasi
Sebagaimana tujuan metode ini adalah untuk mendeteksi adanya suatu anomali medan
gravitasi yang dapat mengindikasikan sesuatu. Secara matematis, dapat didefinisikan bahwa
anomali medan gravitasi di topografi atau di posisi (x,y,z), (Δg (x,y,z)) merupakan selisih
dari medan gravitasi terukur (gobs(x,y,z)) terhadap medan gravitasi teoritis (gTeoritis(x, y, z)).
Medan gravitasi teoritis adalah medan yang diakibatkan oleh faktor-faktor non-geologi dan
nilainya dihitung berdasarkan persamaan yang dijabarkan secara teoritis. Nilai medan ini
dipengaruhi oleh letak lintang, ketinggian, dan massa topografi di sekitar titik tersebut.[4]
Δg(x,y,z) = gobs (x,y,z) – gteoritis (x,y,z) (2.6)
2.5 Koreksi- koreksi metode gravitasi
Data gravitasi yang terukur pada alat ukur tidak dapat langsung dilakukan pengolahan
tanpa melakukan koreksi terlebih dahulu. Bahkan keberadaan sesungguhnya akan terlihat
setelah dilakukan koreksi data gravitasi. Koreksi dalam metode gaya berat adalah sebagai
berikut :
2.5.1 Koreksi baca alat/skala
Koreksi baca alat adalah koreksi yang dilakukan jika terjadi kesalahan dalam
pembacaaan alat metode gravitasi yang digunakan untuk survey gravitasi. Rumus umum
dalam pembacaan alat dapat ditulis sebagai berikut : [5]
Read (mGal) = ((Read (scale)-Interval) x Counter Reading) + Value in mGal
11
2.5.2 Koreksi pasang surut bumi (tidal)
Koreksi ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh gravitasi benda-benda di luar
bumi seperti bulan dan matahari, pengaruh keduanya dapat mencapai 0,3 mgal, yang berubah
terhadap lintang dan waktu, Hal ini disebabkan oleh tarikan gravitasi Matahari dan Bulan
yang memiliki amplitudo yang cukup untuk dideteksi oleh gravimeter. Pada metoode
gravitasi, koreksi tidal dilakukan bersamaan dengan koreksi drift. Untuk mendapatkan nilai
pasang surut ini maka, dilihatlah perbedaan nilai gravitasi stasiun dari waktu ke waktu
terhadap base. [6]
Efek pasang surut menyebabkan perubahan hasil pengamatan percepatan gravitasi
yang disebabkan oleh interaksi gravitasi bulan dan matahari terhadap bumi maupun terhadap
gravimeter. Efek ini menyebabkan variasi percepatan gravitasi yang bergantung waktu
sehingga termasuk ke dalam koreksi Temporal Based Variation. Gravitasi terkoreksi tidal
dapat ditulis sebagai berikut [7] :
gst = gs + t (2.7)
dimana :
gst = Gravitasi terkoreksi pasang surut bumi (tidal) (mgal)
gs = Gravitasi pada pembacaan alat (mgal)
t = Nilai koreksi pasang surut bumi (tidal) (mgal)
2.5.3 Koreksi Apungan (drift)
Pada dasarnya, semua alat ukur jika dipakai terus-menerus akan mengalami
“kelelahan”. Kelelahan alat akan menyebabkan pembacaan nilai besaran yang diukur akan
mengalami perbedaan. Pada alat gravimeter, pemakaian alat yang dilakukan terus-menerus
akan menyebabkan elastisitas pegas pada gravimeter mengalami kemuluran (Gambar 2.3).[8]
12
Gambar 2.3. Pengukuran dengan nilai berbeda pada base station
pada waktu yang berbeda (Reynolds, 1997).
Untuk melakukan koreksi apungan, akuisisi data gravitasi dilakukan dengan metode
looping. Metode looping merupakan pengukuran yang menetapkan satu titik sebagai titik
base untuk diukur sebelum dan sesudah melakukan pengukuran di stasiun pengukuran
seperti yang dijelaskan pada (Gambar 2.4). Tujuan dari metode looping adalah untuk
mengetahui besarnya drift yang dialami alat setelah melakukan pengukuran.[8]
Gambar 2.4. Metode Looping (Reynolds, 1997)
Secara matematis koreksi drift dapat dihitung dengan formulasi sebagai berikut :
Driftsn =
(Gb’ – Gb) (2.8)
Dimana :
Driftsn = Koreksi drift stasiun-n (mgal)
tsn = Waktu pembacaan stasiun-n (s)
tb = Waktu pembacaan stasiun base pada awal loop (s)
tb’ = Waktu pembacaan stasiun base pada akhir loop (s)
Gb = Nilai pembacaan stasiun base pada awal loop (mgal)
Gb’ = Nilai pembacaan stasiun base pada akhir loop (mgal)
Koreksi drift selalu dikurangkan terhadap pembacaan gravimeter.
13
Gtd = Gt – Drift (2.9)
Dimana :
Gtd = Gaya berat koreksi pasang surut dan drift (mgal)
Gt = Gaya berat terkoreksi pasang surut (mgal)
2.5.4 Koreksi Lintang (Latitude Correction)
Bumi yang berotasi menyebabkan adanya percepatan sentrifugal yang mengarah
keluar dari sumbu rotasi. Adanya percepatan sentrifugal akibat rotasi bumi akan
menyebabkan terjadinya gaya sentifugal. Gaya sentrifugal ini akan menarik massa keluar
menjauhi sumbu rotasi bergantung pada besar sudut dari sumbu rotasi. Gaya sentrifugal
terbesar berada di khatulistiwa.[8]
Koreksi ini dilakukan karena bentuk bumi yang tidak sepenuhnya bulat sempurna,
tetapi pepat pada daerah ekuator dan juga karena rotasi bumi. Hal tersebut membuat adanya
perbedaan nilai gravitasi karena pengaruh lintang yang ada di bumi. [9]
Gayaberat normal adalah harga gayaberat teoritis yang mengacu pada permukaan
laut rata-rata sebagai titik awal ketinggian dan merupakan fungsi dari lintang geografi.
Medan gayaberat teoritis diperoleh berdasarkan rumusan-rumusan secara teoritis, maka untuk
koreksi ini menggunakan rumusan medan gayaberat teoris pada speroid referensi (z = 0) yang
ditetapkan oleh The International of Geodesy (IAG) yang diberi nama Geodetic Reference
System 1967 (GRS 67) sebagai fungsi lintang.
Secara teoritis spheroid referensi (G lintang) diberikan oleh persamaan GRS
(geodetic reference system) 1980, gravitasi normal ini adalah :
Gn = 978032.7 ( 1 + 0,0053024 sin2 θ – 0,0000058 sin
2 θ) (2.10)
Dimana :
Gn = Koreksi Lintang (mgal)
Θ = Sudut Lintang (derajat)
2.5.5 Koreksi Udara Bebas (Free Air Correction)
Secara definisi, koreksi udara bebas adalah perbedaan gravitasi yang diukur pada
mean sea level (geoid) dengan gravitasi yang diukur pada ketinggian h meter dengan tidak
14
ada batuan di antaranya (Gambar 2.5). Dengan mengasumsikan bahwa bumi bulat, tidak
berotasi, spheroid, dan pusat massa berada di inti bumi.[10]
Gambar 2.5. Relasi antara geoid dan elevation of observation (Long & Kaufmann, 2013)
Untuk mengatasi masalah tersebut maka dilakukan koreksi Udara-Bebas (CF), yang
dinyatakan dengan persamaan (h sebagai ketinggian posisi pengukuran) :
CF = 3,086 h (2.11)
Dimana :
CF = Koreksi Udara-Bebas (Free Air Correction) (mgal)
h = Ketinggian posisi pengukuran (m)
Hasil koreksi tersebut kemudian dapat diterapkan untuk memperoleh nilai anomali Udara-
Bebas (GF) :
GF = gobs + CF - gθ (2.12)
Dimana :
GF = Anomali Udara-Bebas (mgal)
CF = Koreksi Udara-Bebas (Free Air Correction) (mgal)
gθ = Gravitasi Normal (mgal)
2.5.6 Koreksi Bouguer (Bouguer Correction)
Pada penghitungan anomali Udara-Bebas, adanya massa yang terletak di antara titik
pengukuran dengan datum tidak diperhitungkan, padahal keberadaan massa ini sangat
mempengaruhi nilai anomali medan gravitasi (Gambar 2.6). [11]
15
Gambar 2.6. Massa yang terletak diantara titik pengukuran dengan datum yang diperhitungkan.
(Reynolds, 1997)
Koreksi Bouguer digunakan untuk mereduksi nilai gravitasi akibat kehadiran massa batuan
antara titik pengukuran pada ketinggian h meter terhadap MSL. Sehingga nilai gravitasi yang
terukur lebih besar dibandingkan nilai gravitasi yang seharusnya pada permukaan
equipotensial.[12]
CB = 0.000419Δhp (2.13)
Dimana :
CB = Koreksi Bouguer (mgal)
Δh = Perbedaan ketinggian titik pengukuran dengan datum (m)
p = Massa jenis (kg/m3)
2.5.7 Koreksi Medan (Terrain Correction)
Pada koreksi Bouger dianggap bahwa topografi adalah rata. Kenyataanya di
lapangan tidak demikian melainkan berlembah dan bergunung-gunung, sehingga
mempengaruhi harga gayaberat pengamatan. Akibat adanya gaya tarik massa gunung atau
kekurangan massa pada lembah menyebabkan efek gayaberat pengamatan menjadi
berkurang, sehingga akan mengurangi harga koreksi bouguer (Gambar 2.7). [13]
16
Gambar 2.7. Efek dari sebuah bukit (A) dan sebuah lembah (B) pada pengukuran gravitasi
sehingga membutuhkan koreksi terrain untuk mereduksi deviasi gravitasi vertical
sebesar δg yang ditimbulkan (Reynolds, 2011).
Dari kenyataan di atas, pengaruh material yang berada di sekitar baik material yang
berada di atas maupun di bawah titik pengukuran turut memberi sumbangan terhadap hasil
pengukuran di titik pengukuran tersebut sehingga harus dilakukan koreksi topografi terlebih
jika di medan pengukuran memiliki topografi yang tidak beraturan seperti rangkaian
pengunungan, ataupun bukit.[14]
Untuk mempermudah koreksi di lapangan telah dibuat hammer chart yaitu dengan
membagi daerah penelitian menjadi daerah-daerah dibatasi oleh lengkungan (kompartemen)
(Gambar 2.8). Kompartemen ini kemudian disebut terrain chart. Tinggi stasiun yang
dimaksud dalam tabel adalah perbedaan tinggi pada setiap kompartemen. Teknik ini disebut
juga Hammer Chart yang terbagi menjadi zona dalam dan zona luar bergantung pada wilayah
cakupannya sebagai berikut:
1. Zona dalam
• Zona B: radius 6.56 – 54.6 ft, 4 kompartemen
• Zona C: radius 54.6 – 175 ft, 6 kompartemen
2. Zona luar
• Zona D: radius 175 – 558 ft, 6 kompartemen
• Zona E: radius 558 – 1280 ft, 8 kompartemen
• Zona F: radius 1280 – 2936 ft, 8 kompartemen
• Zona G: radius 2936 – 5018 ft, 12 kompartemen
17
• Zona H: radius 5018 – 8578 ft, 12 kompartemen
• Zona I: radius 8578 – 14662 ft, 12 kompartemen
• Zona J: radius 14662 – 21826 ft, 16 kompartemen
• Zona K – M: masing-masing dibagi menjadi 16 kompartemen
Gambar 2.8 Hammer Chart (Reynolds, 1997)
Efek gaya berat pada suatu sektor dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
TC = Gpθ [ ( r2 – r1 ) + √ 𝑧 - √
𝑧 ] (2.14)
Dimana :
TC = Terrain Correction (mgal)
G = Konstanta Universal
p = Rapat massa batuan (kg/m3)
θ = Sudut yang dibentuk oleh kompartemen (derajat)
r = Jari-jari lingkaran dalam (m) 1
r = Jari-jari lingkaran luar (m) 2
z = Ketinggian bukit / kedalaman lembah (m)
= zstasiun pengamatan
– zrata-rata
2.6 Anomali Bouguer Lengkap/Complete Bouguer Anomaly (CBA)
Dengan mereduksi nilai gravitasi hasil observasi (Observed Gravity/ Gobs) dengan
koreksi-koreksi gravitasi di atas, maka didapatkan nilai anomali gravitasi yang biasa disebut
Complete Bouguer Anomaly (CBA). [12]
18
Anomali Bouguer Lengkap adalah nilai anomali gravitasi yang didapatkan setelah
melakukan pengkoreksian pada nilai gravitasi observasi. Koreksi-koreksi tersebut adalah
koreksi lintang, koreksi udara bebas, koreksi Bouguer, dan koreksi terrain. Nilai CBA
merupakan gabungan dari anomali regional dan anomali residual (lokal). Nilai dari CBA
didapatkan dari persamaan berikut:
CBA = Gobs - Gn + GF - CB + TC (2.15)
Keterangan:
CBA = Anomali Bouguer Lengkap (mgal)
Gobs = nilai gravitasi observasi (mgal)
Gn = nilai koreksi lintang (mgal)
GF = nilai koreksi udara bebas (free-air) (mgal)
CB = nilai koreksi Bouguer (mgal)
TC = nilai koreksi terrain (mgal)
2.7 Penentuan Densitas Wilayah Pengukuran
Metode Parasnis dapat digunakan untuk menentukan estimasi densitas rata-rata
batuan daerah penelitian, d engan memanfaatkan persamaan CBA (2.15) yang diubah
menjadi persamaan linear sebagai berikut:
(𝐺𝑜𝑏𝑠 – 𝐺n + GF) = 𝜌 (0.04192 + 𝑇)
𝑦 = 𝑚 𝑥 𝑇 𝑐𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛𝑡 (2.16)
dimana:
ρ = Densitas rata-rata wilayah (gr/cc)
h = Elevasi pengukuran terhadap MSL (m)
T = Faktor geometri dari koreksi terrain (mgal cm3gr-1)
Persamaan linear (2.16) memberikan variabel bebas x sebagai (0.04192h+T), variabel
terikat y sebagai (Gobs – Gn + GF), dan gradient persamaan garis lurus m sebagai ρ.
19
2.8 Analisa Energi Spektrum
Analisis energi spektrum merupakan salah satu tools dari metode gravitasi yang
memanfaatkan persamaan transformasi fourier. Transformasi fourier digunakan untuk
mengubah data secara matematis dari fungsi amplitudo anomali gravitasi secara spasial
menjadi fungsi amplitudo anomali gravitasi dalam domain frekuensi atau dalam artian
menentukan kedalaman anomali dibawah permukaan berbasis transformasi fourier. Analisis
energi spektrum dikerjakan secara orisinil oleh Bhattacharyya (1966) dengan tujuan
mengestimasi kedalaman batas muka magnetik atau densitas. [12]
Secara matematis, persamaan Transformasi Fourier dua dimensi suatu fungsi g(x,y)
didefinisikan sebagai berikut :
𝐺 𝑢 𝑣 = ∫ ∫ 𝑔 𝑥 𝑦 𝑒
𝑑𝑥 𝑑𝑦 (2.17)
hubungan resiprokalnya adalah
𝑔 𝑢 𝑣 =
∫ ∫ 𝐺 𝑢 𝑣 𝑒
𝑑𝑢 𝑑𝑣 (2.18)
dimana u dan v adalah frekuensi angular r (wavenumber) pada arah x dan y. Frekuensi
tersebut dihitung dalam radian per meter, dimana hubungannya dengan frekuensi spasial (f)
yaitu, fx dan fy dalam siklus per meter adalah
𝑓 =
dan 𝑓 =
(2.19)
G(u,v) berisi informasi pada amplitudo dan hubungan fase dari semua frekuensi yang
membentuk fungsi dua dimensi g(x,y). G(u,v) terdiri atas komponen real dan imaginer
sebagai berikut.
𝐺 𝑢 𝑣 𝑢 𝑣 𝑢 𝑣 (2.20)
densitas amplitudo spektrum (the amplitude density spectrum) atau amplitudo spektrum dari
G(u,v) adalah
𝑢 𝑣 |𝐺 𝑢 𝑣 | √ (2.21)
dan densitas fase spektrum (the phase density spectrum) atau fase spektrum adalah
` 𝑢 𝑣
(2.22)
20
serta, densitas energi spektrum (the energy density spectrum) atau energi spektrum adalah
𝑢 𝑣 |𝐺 𝑢 𝑣 | (2.23)
Pada penelitian ini proses transformasi Fourier dilakukan dengan menggunakan software
Geosoft Inc. Oasis Montaj. Sebuah grid dalam domain spasial ditransformasi menjadi domain
frekuensi menggunakan fast fourier transform (FFT). Grid tersebut disampling sebagai fungsi
domain spasial pada kenaikan jarak tetap yaitu 1/(grid size) (siklus/meter) di antara 0 dan
frekuensi nyquist (1/[2*cell size]). Kemudian data ditampilkan dalam nilai logaritmik dari
energi spektrum Ln E(f) yang sudah dinormalisasi (proses pengurangan terhadap nilai energi
spektrum rata-rata) pada setiap nilai f (frekuensi radial), selanjutnya disebut sebagai kurva
RAPS (the radially averaged power spectrum). Dimana hubungan f dan r adalah
√𝑢 𝑣 𝑓 (2.24)
Sebuah batas muka magnetik atau densitas dimodelkan pada sebuah lapisan dari multiprisma
dengan supceptibilitas atau densitas yang seragam. Logaritma energi spektrum bisa
diinterpretasikan untuk menentukan elevasi ensembel statistikal dari bodi kausatif menurut
hubungan
𝑓 𝑓 (2.25)
sehingga,
𝑠 (2.26)
maka kedalaman ensembel statistikal dari benda anomali gravitasi dapat ditentukan oleh
persamaan (2.23) dengan s sebagai kemiringan (slope) dari log energi (power) spektrum.
𝑒𝑝𝑡
(2.27)
Pada proses penghitungan kurva RAPS grid anomali harus bersifat periodik. Sehingga
sebelum proses FFT, dilakukan proses ekspansi (secara default minimum 10%) dan pengisian
nilai dummi untuk menjamin periodisitas dari grid yang akan ditransformasi.
21
2.9 Energy Spectral Analysis – Multi Window Test (ESA – MWT)
Tenik Energy Spectral Analysis Multi Window Test (ESA-MWT) digunakan untuk
proses pengolahan pemetaan horizon. Multi window test (MWT) dilakukan untuk
mendapatkan kedalaman suatu horizon yang merepresentasikan batas suseptibilitas atau
densitas. MWT dilakukan dengan cara menghitung spectrum energi pada deretan window
pada titik pusat pengamatan yang sama (point of interest), dengan memvariasikan besar
window bertambah secara konstan. Sehingga ketika kedalaman ensembel dari suatu sumber
tidak berubah secara siginifikan antara dua atau lebih ukuran window maka diperoleh
kdalaman plateau (depth plateau) yang digunakan untuk mengaproksimasi antar-muka
densitas. Poin penting dalam MWT adalah mengatur ukuran window. Hal ini dikarenakan
jika window terlalu kecil maka anomali yang termuat tidak cukup untuk menentukan horizon
densitas, dan sebaliknya jika window terlalu besar maka yang data yang didapat akan
didominasi oleh sumber yang dalam. Penentuan horizon dapat dilihat di gambar 2.9. [10]
.
Gambar 2.9 Grafik ln A vs k (Blakely,1995)
2.10 Bandpass Filter
Bandpass filter merupakan filter yang melewatkan frekuensi di antara frekuansi cut-off
bawah dan frekuensi cut-off atas. Fungsi dari bandpass filter menghilangkan komponen
frekuensi yang menggangu (noise) pada data seismik dan meloloskan data yang diinginkan
dengan analisis spektrum (Gambar 2.10). Bandpass filter ini digunakan untuk pemisahan
anomali residual dan anomali regional melalaui frekuensi.[15]
22
Gambar 2.10. Bandpass filter (A. Abdullah, 2008)
2.11 Analisa Derivative
Analisa Derivative digunakan untuk menentukan batas dan mengetahui jenis sesar
atau patahan. Untuk mendapatkan hal tersebut maka dilakukan korelasi antara grafik First
Horizontal Derivative (FHD) dan Second Vertical Derivative (SVD) dari lintasan yang dibuat
dalam peta anomali bouger atau peta anomali regional atau peta anomali residual yang
selanjutnya dibuat penampangnya.
2.11.1 First Horizontal Derivative (FHD)
First Horizontal Derivative (FHD) atau Horizontal gradient dari anomali gravitasi
yang disebabkan oleh suatu penampang yang cenderung untuk menunjukkan tepian dari
penampang-nya tersebut (Gambar 2.11). Jadi metode FHD dapat digunakan untuk
menentukan lokasi batas kontak kontras densitas horisontal dari data gravitasi. Untuk
menghitung nilai FHD dapat dilakukan dengan persamaan :
(2.28)
dengan :
g = nilai anomali (mgal)
Δx = Selisih antara jarak pada lintasan (m)
FHD = First Horizontal Derivative
23
Gambar 2.11. Nilai Gradien Horizontal Pada Model Tabular (Blakely,1996)
2.11.2 Second Vertical Derivative (SVD)
SVD atau Second Vertical Derivative dapat menggambarkan anomali residual yang
berasosiasi dengan struktur dangkal yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis
patahan turun atau patahan naik. Dalam penentuan nilai SVD maka digunakan turunan kedua
atau dilakukan dengan persamaan :
(2.29)
dengan :
g = nilai anomali (mgal)
Δx = Selisih antara jarak pada lintasan (m)
SVD = Second Vertical Derivative
Dalam penentuan patahan normal ataupun patahan naik, maka dapat dilihat pada harga
mutlak nilai SVDmin dan harga mutlak SVDmax. Dalam penentuannya dapat dilihat pada
ketentuan berikut:
|SVD|min < |SVD|max = Patahan Normal
|SVD|min > |SVD|max = Patahan Naik
|SVD|min = |SVD|max = Patahan Mendatar
24
2.12 Patahan
Patahan merupakan kondisi dimana terjadi pergerakan atau pergeseran batuan akibat
adanya gaya geologi dari bawah permukaan. Dalam patahan, bidang yang mengalami patahan
disebut dengan sesar. Di Indonesia sendiri patahan yang paling terkenal adalah patahan
semangko yang berada di pulau sumatera yaitu dari sumatera utara hingga lampung atau
hampir seluruh pulau sumatera. Patahan semangko ini terbentuk karena lempeng Eurasia
terdesak oleh lempeng indo Australia dan hal ini menyebabkan terjadinya patahan serta
membuat pulau sumatera terbelah. [16]
Gambar 2.12. Sesar Sumatra (Sumber: http://en.wikibooks.org/wiki/File:Sumatra_map.jpg)
2.12.1 Jenis-Jenis Patahan
Jenis Sesar dapat dikategorikan menjadi beberapa macam berdasarkan gerakannya
yaitu :
a. Patahan Normal
Patahan Normal merupakan patahan yang memungkinkan satu blok (footwall) lapisan
batuan bergerak dengan arah relatif naik terhadap blok lainnya (hanging wall) (Gambar
2.13). Ciri dari patahan ini adalah sudut kemiringan besar hingga mendekati 90
derajat.[17]
25
Gambar 2.13. Patahan Normal (Sumber: https://geograph88.blogspot.com)
b. Patahan Naik
Patahan Naik merupakan patahan dengan arah footwall yang relatif turun dibanding
hanging wall (Gambar 2.14). Ciri dari patahan ini adalah sudut kemiringan yang relatif
kecil yaitu kurang dari 45 derajat.[18]
Gambar 2.14. Patahan Naik (Sumber: https://geograph88.blogspot.com)
26
c. Patahan Geser
Patahan Geser merupakan patahan yang arahnya relatif mendatar ke kiri atau ke kanan.
Arah patahan mendatar ini tidak sepenuhnya seluruh lapisan batuan bergerak dengan arah
mendatar namun sebagian ada yang bergerak dengan arah vertical (Gambar 2.15). Bila
gerakan patahan ke kanan di sebut sesar geser sinistrial dan bila ke kiri dinamakan sesar
geser dekstral. [19]
Gambar 2.15. Patahan Geser (Sumber: https://geograph88.blogspot.com)
2.13 Geologi Regional dan Stratigrafi
2.13.1 Geologi Regional
Cekungan Jawa Timur Utara adalah salah satu dari cekungan-cekungan lepas pantai
di Indonesia yang menghasilkan hidrokarbon. Cekungan ini terdapat di ujung tenggara
Paparan Sunda yang stabil, pada koordinat 110° – 118° BT dan 4° – 8° LS dan meliputi
daerah sekitar 190.300 km2
(Gambar 2.16).[20]
27
Gambar 2.16. Peta Isopach dan sebaran sumur di Cekungan Jawa Timur Utara. (Pusat Survei Geologi
2000).
Gambar 2.17. Peta anomali gaya berat di daerah Cekungan Jawa Timur Utara (Pusat Survei
Geologi, 2000).
28
Kegiatan eksplorasi besar-besaran di daerah daratan dan lepas pantai Jawa Timur
berlangsung selama 20 tahun terakhir. Penemuan hidrokarbon terakhir adalah Lapangan
Banyu Urip di daerah Cepu dan Wunut di wilayah Sub-Cekungan Selat Madura. Dari sudut
pandang eksplorasi, Cekungan Pati dianggap sebagai suatu cekungan matang. Hidrokarbon
dijumpai dan diproduksi dari level stratigrafi yang berbeda-beda, dan tersebar secara luas dari
barat ke timur.
Beberapa potensi batuan induk baik di daerah Jawa Timur umumnya berasal dari
serpih dan batubara kaya material organik dari Formasi Ngimbang dan Kujung, dan Anggota
Cepu Formasi Tawun. Di daerah Paparan Utara batuan induk dapat dijumpai di bagian barat
yang meliputi Palung Muria, Palung Bawean Timur, Depresi Tuban-Camar bagian tengah,
Cekungan Masalembo. Di bagian timur meliputi daerah Pagerungan. Di daerah Tinggian
Tengah, batuan induk terdapat di sebagian besar daerah yang sebelumnya merupakan suatu
deposenter. Di daerah Cekungan Selatan batuan induk meliputi hampir seluruh daerah
cekungannya (peta isopach Cekungan Jawa Timur Utara) ada pada Gambar 2.16. Kontras
densitas yang sangat baik juga ditunjukan oleh peta anomali gaya berat di cekungan ini pada
Gambar 2.17. [21]
Pada bagian sebelah barat, Cekungan Jawa Timur Utara terdiri dari sejumlah struktur
tinggian dan rendahan dengan arah timurlaut-baratdaya atau Arah Meratus sebagai terlihat
pada konfigurasi batuan dasarnya seperti Busur Karimun Jawa, Palung Muria, Busur Bawean,
Palung Tuban – Camar, Bukit JS-1, Depresi Masalembo Doang dan Paparan Madura
Utara.[22]
Bagian tengah Cekungan Jawa Timur Utara didominasi oleh pola struktur berarah
timur-barat seperti yang berkembang di Paparan Madura Utara, Tinggian Madura, dan Sub-
Cekungan Selat Madura. Ke timur, pola timur-barat lebih berkembang yang diperlihatkan
oleh Sub-Cekungan Sakala, Kangean Sub-Cekungan Lombok (Gambar 2.18).
Mandala Cekungan Selatan terbentuk oleh pensesaran ekstensional mulai Eosen
sampai Oligosen Akhir dan kemudian dilanjutkan oleh periode struktur inversi yang
berhubungan dengan periode kompresi Miosen Awal sampai Resen. Cekungan Selatan
termasuk Zona Rembang yang menerus sampai lepas pantai sebagai sesar mendatar (wrench
fault) berasosiasi dengan pengangkatan Kujung, Madura, Kangean dan Sepanjang ke arah
utara, dan ke selatan cekungan dibatasi oleh jalur volkanik Jawa. Pembalikan struktur
mengakibatkan pengangkatan bagian utara sedangkan bagian selatan tetap pada lingkungan
batial dalam (Gambar 2.19).[23]
29
Mandala Tinggian Tengah merupakan daerah terangkat (graben) dan terbentuk oleh
pensesaran ekstensional mulai Eosen sampai Oligosen Akhir, kemudian diikuti oleh
pembalikan struktur sepanjang Miosen sampai Resen.[24]
Umumnya, mandala Paparan Utara merupakan sisa struktur sutura yang berkembang
pada zaman Kapur (Sutura Meratus). Selama Eosen, Oligosen sampai Miosen daerah ini
berubah menjadi tempat berkembangnya terumbu dan pada zaman Tersier Akhir berkembang
menjadi lingkungan fasies karbonat paparan. [25]
Gambar 2.18. Model Geologi Regional Utara-Selatan Cekungan Jawa Timur Utara. (Pusat Survei Geologi,
2000).
Gambar 2.19. Model Geologi Regional Utara-Selatan Cekungan Jawa Timur Utara. (Pusat Survei Geologi,
2000).
30
2.13.2 Stratigrafi Regional
Adanya perbedaan penamaan formasi batuan yang menyusun stratigrafi regional Jawa
Timur menimbulkan kesulitan dalam penafsiran sejarah geologi Cekungan Jawa Timur secara
keseluruhan (Gambar 2.20). Berdasarkan studi literatur yang dilakukan oleh ITB-Migas,
dilakukan penyederhanaan penamaan formasi batuan tersebut. [7]
Gambar 2.20. Stratigrafi Cekungan Jawa Timur Utara . (Pusat Survei Geologi, 2000)
Batuan dasar yang mengalasi semua batuan sedimen di cekungan ini terdiri dari
gabro, ofiolit, metasedimen dan batuan metamorf berumur Pra-Tersier. Batuan sedimen tertua
yang terbentuk pada cekungan ini adalah batupasir polimik sisipan serpih, konglomerat dan
batubara yang termasuk ke dalam Formasi Pra-Ngimbang. Formasi ini merupakan sedimen
“syn-rift” yang terbentuk pada bagian yang lebih dalam dari suatu graben. Untuk Cekungan
Jawa Timur Utara, batuan ini hanya dijumpai pada bagian timur saja, yaitu pada daerah lepas
pantai Bali Utara dan Kangean Timur. Sedangkan di bagian barat, Formasi Pra-Ngimbang ini
tidak pernah dijumpai. Berdasarkan literatur formasi ini berumur Paleosen (P1 – P5).
31
Pembedaan formasi ini dengan Formasi Ngimbang yang ada diatasnya dilakukan hanya
berdasarkan perbedaan litologinya saja. Pada Formasi Pra-Ngimbang, litologi berwarna
merah kecoklatan sedangkan pada Formasi Ngimbang, berwarna lebih gelap (abu-abu).
Berdasarkan studi biostratigrafi kedua formasi memiliki umur yang menerus, namun
demikian, pada awal pengendapan Formasi Ngimbang selalu terdapat “undetermined zone”
yaitu zona yang umurnya tidak dapat ditentukan. [26]
Zona ini dianggap sebagai hiatus yang memisahkan Formasi Pra-Ngimbang dan
Formasi Ngimbang. Hadirnya Formasi Pra-Ngimbang pada bagian timur menunjukkan
bahwa pada kala Paleosen – Eosen Awal di bagian timur (Daerah Lepas Pantai Bali Utara
dan Daerah Lepas Pantai Kangean Timur) terbentuk daerah dalaman adanya blok graben
tektonik yang terjadi pada waktu tersebut. Pada bagian barat dan tengah Cekungan Jawa
Timur, pada kala Paleosen dan Eosen Awal masih berupa tinggian sehingga Formasi Pra-
Ngimbang tidak terendapkan. [27]
2.14 Basic Petroleum System
Dalam kegiatan eksplorasi minyak dan gas di dalam suatu cekungan, biasanya
dibutuhkan beberapa elemen-elemen dan proses-proses pada suatu sistem yang diduga
mengandung suatu hidrokarbon, sistem ini biasanya disebut Petroleum System. Dimana
dalam petroleum system meliputi beberapa elemen penting yaitu, Source Rock (Batuan
Induk), Reservoir Rock, Trap dan Cap Rock (Batuan Pelindung) (Gambar 2.21).
Gambar 2.21. Petroleum System (SKK MIGAS, 2016)
32
2.14.1 Elemen-Elemen Dalam Petroleum System
A. Source Rock (Batuan Induk)
Source Rock merupakan endapan batuan sedimen yang mengandung bahan-bahan
organik yang cukup untuk dapat menghasilkan minyak dan gas bumi ketika endapan tersebut
tertimbun dan terpanaskan, biasanya batuan yang termasuk ke dalam batuan induk adalah
batuan shale atau batuan karbonat.
B. Reservoir Rock
Reservoir Rock adalah batuan yang memiliki sifat porositas dan permeabilitas yang
tinggi yang dapat menyimpan dan megalirkan hidrokarbon ke tempat terakumulasinya suatu
hidrokarbon , umumnya batuan yang termasuk reservoir rock adalah batuan pasir
(Sandstone).
C. Trap (Jebakan)
Trap adalah suatu kondisi geometri lapisan yang menjebak suatu hidrokarbon di
dalam reservoir rock agar hidrokarbon tersebut tidak keluar/bermigrasi dari reservoir rock
dan terakumulasi di dalam reservoir rock (Gambar 2.22). Terdapat beberapa jenis jebakan
hidrokarbon yaitu,
1) Jebakan Struktural
Jebakan Struktural adalah jebakan yang terjadi karena adanya deformasi pada suatu
lapisan hingga terbentuk suatu lipatan yang disebabkan karena adanya peristiwa tektonik,
jebakan ini adalah jebakan yang paling sering ditemukan.
2) Jebakan Stratigrafi
Jebakan Stratigrafi adalah jebakan yang dipengaruhi oleh lapisan secara vertical dan
lateral dan juga dikarenakan ketidakselarasan dalam litologi suatu lapisan reservoir.
3) Jebakan Kombinasi
Jebakan Kombinasi adalah jebakan campuran antara jebakan struktural dan jebakan
stratigrafi.
33
Gambar 2.22. Jenis-Jenis Jebakan (SKK MIGAS, 2016)
D. Cap Rock (Batuan Pelindung)
Cap Rock adalah suatu jenis batuan yang memiliki sifat porositas dan permeabilitas
yang kecil atau berbanding terbalik dengan sifat reservoir rock, batuan pelindung ini
memiliki fungsi agar hidrokarbon yang berada di dalam reservoir rock tidak bermigrasi lagi
ke bagian permukaan tanah, peritiwa migrasinya hidrokarbon ke permukaan tanah biasa
disebut dengan oil seep.
2.14.2 Proses-Proses Dalam Petroleum System
A. Maturation
Maturation adalah proses pematangan atau perubahan dari kerogen menjadi minyak
dan gas (oil generation). Kerogen yang masih immature berubah menjadi minyak pada
temperatur diatas 50 – 70o C dan sekitar temperatur 120 – 150
o C minyak menghasilkan wet
gas lalu dry gas (Gambar 2.23).
Gambar 2.23. Penampang Kedalaman Lapisan Sumber (Courtesy Fettes College, 2010)
34
B. Migration (Perpindahan)
Migrasi adalah proses transportasi atau perpindahan hidrokarbon dari batuan induk ke
batuan reservoir (Gambar 2.24), dalam transportasi hidrokarbon terdapat beberapa proses
yaitu,
1). Migrasi Primer
Migrasi Primer adalah proses transportasi/perpindahan hidrokarbon dari batuan induk ke
batuan reservoir.
2). Migrasi Sekunder
Migrasi Sekunder adalag proses transportasi/perpindahan hidrokarbon dari carried bed ke
trap.
Gambar 2.24. Proses Migrasi Hidrokarbon (Learning Space, 2010)
35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2019 sampai dengan Maret 2020.
Adapun proses pelaksanakan penelitian berlokasi di LEMIGAS Cipulir, Jakarta Selatan dan
Data Penelitian berupa data sekunder anomali gravitasi pada Daerah Sub Cekungan Sakala,
Jawa Timur (Gambar 3.1.) yang diperoleh dari LEMIGAS Cipulir, Jakarta Selatan.
Gambar 3.1. Peta Daerah Penelitian
3.2 Perangkat yang Digunakan
3.2.1 Perangkat Keras
a. Satu buah laptop Acer RAM 4 GB
3.2.2 Perangkat Lunak
a. Microsoft Excel
b. Geosoft Oasis Montaj
c. Sufer v13
36
3.3 Diagram Alir Penelitian
Proses penelitian yang dilakukan dapat dijelaskan melalui diagram alir berikut,
Gambar 3.2. Diagram Alir Proses Penelitian
Koreksi Gravitasi
Anomali Bouguer
Lengkap (ABL)
Window Grid (Multiple
Window per Test Point)
Forward Fast Fourier
Transform (FFT)
Menghitung Radially
Average Power Spectrum
Menghitung Kedalaman
Batasan Kerapatan
Anomali Residual
FHD VS SVD
Estimasi Posisi dan
Klasifikasi Patahan
Anomali Regional
Data Gravitasi
Analisa Mapping Horizon
Mapping Horizon
37
3.4 Reduksi Data Gravitasi
Data gravitasi hasil dari lapangan akan direduksi dengan persamaan (2.15), kemudian
akan menghasilkan peta CBA pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3. Hasil reduksi data gravitasi menjadi CBA
3.5 Analisa Energi Spektrum Data Gravitasi
Berdasarkan peta CBA pada Gambar 3.3,, selanjutnya proses penghitungan kurva
RAPS (the radially averaged power spectrum) pada Gambar 3.4.
Gambar 3.4. Kurva RAPS.
Reg-Res Cut-off
Noise Cut-off
Noise Component
Main Component
38
Kurva RAPS pada Gambar 3.4 terdiri dari beberapa komponen utama yaitu komponen
anomali regional, anomali residual, dan komponen noise (gangguan). Komponen-komponen
tersebut dapat dianalisa kedalaman suatu ensembel sumber nya (causative body) dapat
diperkirakan melalui kemiringan masing-masing garis pada kurva RAPS, didapatkan
kedalaman regional, residual dan noise dengan menggunakan rumus nya yaitu depth dibagi
dengan 4π. Sehingga diperoleh beberapa kedalaman ensembel sumber seperti Tabel 3.1.[28]
Gambar 3.5. Kurva RAPS untuk komponen utama dari peta CBA
Tabel 3.1. Kedalaman berupa ensambel sumber dari kurva RAPS.
Pada Tabel 3.1 dapat ditentukan kedalaman anomali regional dengan kedalaman
11.52 km, residual dengan kedalaman 2.68 km, dan noise dengan kedalaman 0.98. Proses
pemisahan anomali regional dan residual dilakukan dengan filter band pass saat di aplikasi
Oasis Montaj yang akan membatasi komponen-komponen frekuensi berdasarkan slope energi
spektrum terhadap frekuensi radialnya.[29]
Component Slope Depth (km)
Regional 144.73 11.52
Residual 33.669 2.68
Noise 12.411 0.98
39
3.6 Pemetaan Horizon Menggunakan Metode ESA-MWT
Penghitungan kurva RPAS dilakukan pada setiap window dari data CBA untuk suatu
titik pusat pengamatan, ukuran window divariasikan bertambah secara konstan dengan
bentuk window persegi (Gambar 3.8). Pada penelitian ini ukuran pe-window-an dilakukan
mulai dengan ukuran 35x35 km2, selanjutnya setiap pertambahan lebar sisi window sebesar 2
km hingga ukuran window 49x49 km2. Kemudian dihitung kedalaman dari ensembel sumber
nya. Selanjutnya ditentukan kedalaman dari plateau sebagai batas-muka densitas (horizon)
seperti Gambar 3.9. .Jarak antar titik pengamatan sekitar 4 km berdasarkan stasiun pada tiap-
tiap line pengukuran. [30]
Gambar 3.6. Peta Regional
40
Gambar 3.7. Peta Residual
Gambar 3.8. Pe-window-an pada CBA untuk sebuah titik pusat pengamatan (test point)
Dapat dilihat pada CBA diatas terdapat 6 lintasan yang terdiri dari 3 lintasan arah utara-
selatan dan 3 lintasan arah barat-timur yang akan dilakukan proses windowing untuk melihat
struktur basement di bawah permukaan.
Window 35 x 35 km2
Window 45 x 45 km2
Window 49 x 49 km2
41
Gambar 3.9. Grafik multi window test (MWT) untuk sebuah test point
window berkorelasi dengan sebuah kedalaman, dimana dengan bertambahnya ukuran
window kedalaman akan semakin bertambah atau semakin dalam seiring bertambahnya
ukuran window. Penentuan kedalaman benda anomali pada masing-masing window mengacu
pada kemiringan (slope) pada kurva RAPS masing-masing window, dimana slope yang
dipilih adalah yang memiliki trend kelurusan pada kurva RAPS. Pengambilan slope pada
kurva RAPS dipilih slope yang memiliki nilai paling besar (trend regional) karena tujuan
dari penelitian ini untuk melihat dan menganalisis struktur basement di bawah permukaan.
Slope yang besar akan sebanding dengan kedalaman sumber. Meskipun slope yang dipilih
merupakan komponen regional dari kurva RAPS tiap window. Akan tetapi, anomali yang
dimuat didalam window merupakan anomali yang sudah terlokalisasi sesuai ukuran
windownya. [12]
Sebuah plateau diidentifikasi melalui trend regional kedalaman tiap window. Jika
pada window yang memiliki ukuran lebih besar dari window sebelumnya memiliki
kedalaman yang tidak berubah signifikan (bahkan flat), maka diperoleh kedalaman plateau
yang bekorelasi dengan sebuah batas-muka densitas (interface). Secara geologi batas-muka
densitas ini merupakan horizon pembatas antara dua litologi batuan yang berbeda (memiliki
densitas yang berbeda). [12]
3.7 Analisa Patahan Menggunakan Metode FHD SVD
Analisa patahan mengunakan metode FHD SVD adalah analisa Korelasi grafik FHD
dan SVD bertujuan untuk menentukan letak suatu patahan dengan melihat nilai tinggi atau
42
maksimum pada grafik FHD dan nilai nol pada grafik SVD. Analisa ini terbilang cukup
mudah dikarenakan langkah yang dilakukan cukup simple.[31]
3.7.1 Metode First Horizontal Derivative (FHD)
Metode FHD dilakukan untuk menentukan keberadaan dari suatu patahan. Pada
metode ini, nilai FHD yang tinggi pada suatu daerah menandakan adanya struktur yang
menjadi batas antara dua anomali. Pada penelitian ini, struktur tersebut diestimasikan sebagai
struktur patahan. Peta FHD yang diturunkan dari peta CBA , dapat diturunkan secara vertical
(FHD Y) dan juga secara horizontal (FHD X) , yang digunakan dalam proses penentuan sesar
adalah FHD Z (Resultan antara FHD X dan FHD Y) pada gambar 3.10, FHD Z dapat
ditentukan melalui tools grid math pada aplikasi osis montaj, dimana telihat bahwa nilai FHD
Z bervariasi antara 0.000117800 hingga 0.003561799 mGal. Pada peta ini, keberadaan suatu
struktur dapat ditunjukan dengan nilai FHD Z yang tinggi, dimana salah satu nilai FHD Z
tinggi terdapat pada bagian 9230000 UTM (Y) dan melintang dengan arah Timur-Barat.[32]
Gambar 3.10. FHD
43
3.7.2 Metode Second Vertical Derivative (SVD)
Metode SVD dilakukan juga untuk menentukan keberadaan suatu patahan. Metode ini
dilakukan pada peta CBA dengan menurunkan nilai CBA terhadap sumbu z pada orde 2.
Pada metode ini, nilai SVD menunjukan batas antara dua bodi anomali. Batas antara dua bodi
anomali tersebut dapat diindikasikan sebagai struktur patahan. Pada peta SVD ini (Gambar
3.11), batas antara dua anomali ditunjukan dengan adanya kontras antara anomali tinggi dan
anomali rendah pada jarak yang pendek.[33]
Gambar 3.11. SVD
3.7.3 Korelasi Grafik FHD dan SVD
Proses awal dari korelasi grafik FHD dan FHD adalah melakukan digitasi pada grid
FHD dan SVD secara vertical (Y) dan horizontal (X), setelah itu dikorelasikan grafik FHD
dan SVD nya sesuai dengan arah digitasi nya, jika didapat grafik puncak FHD dan titik 0
pada grafik SVD pada satu titik yang sama, maka dapat diduga adanya suatu patahan atau
sesar di titik terebut. [34]
Kedua grafik ini akan saling mengkonfirmasi letak dari patahan. Grafik-grafik ini
dibuat berdasarkan lintasan yang telah dibuat pada Gambar 3.12 . pada grafik ini, sumbu x
44
merupakan letak koordinat pada UTM (y) atau UTM (x) sesuai arah digitasi sedangkan
sumbu y merupakan nilai SVD dan FHD yang telah dinormalisasi. Nilai pada setiap grafik
dinormalisasi agar memudahkan dalam pembacaannya. Normalisasi dilakukan dengan cara
membagi semua nilai dengan nilai maksimal keseluruhan dari masing-masing nilai mutlak
pada grafik. Gambar 3.13, merupakan hasil korelasi grafik FHD dan SVD pada lintasan (Y) 1
Vertikal.
Gambar 3.12. Arah Lintasan Digitasi Pada Peta CBA
LINE 2 (Y) LINE 3 (Y)
LINE 4 (X)
LINE 5 (X)
LINE 6 (X)
LINE 1 (Y)
45
Gambar 3.13. Korelasi Grafik FHD dan SVD (lintasan 1 (Y) Vertikal) (Test Point)
Pada lintasan 1 Y (Test Point) terdapat dua patahan yang ditemukan berdasarkan korelasi
antara kedua grafik pada lintasan 1 Y, keberadaan dari patahan 1 di lintasan 1 Y dapat
ditunjukkan pada sekitar 9242637.18 UTM (Y) dan untuk patahan 2 sekitar 9187252.1 UTM
(Y).
Patahan 2 Patahan 1
46
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Complete Bouguer Anomaly (CBA)
Peta anomali bouguer lengkap menunjukan bahwa anomali yang dihasilkan pada data
berkorelasi dengan baik terhadap topografi wilayah penelitian. Berdasarkan persamaan
percepatan gravitasi Newton pada persamaan (2.1), dimana massa benda sebanding dengan
densitasnya. Maka, nilai gravitasi sebanding dengan densitas batuan di bawah permukaan.
Oleh karenanya, anomali gravitasi tinggi sebanding dengan densitas wilayahnya. Begitu pun
sebaliknya, anomali gravitasi rendah menunjukkan densitas wilayah yang lebih rendah. Dapat
dilihat dari peta CBA window terlihat rentang anomali nya berkisar 11.2 – 73.8 mgal.
Anomali tinggi (Warna Ungu) diduga adanya patahan (Barat-Timur) [7]
4.2 Pemisahan Anomali Regional dan Anomali Residual
Pada proses pemisahan anomali regional dan anomali residual, dilakukan dengan
menggunakan matriks moving average 5x5 (Gambar 4.1.) dan dibantu dengan metode
moving average yang berfungsi untuk menghasilkan output anomali regional, untuk
mendapatkan anomali regional, pertama dilakuakan digitasi pada peta CBA sebanyak 3
digitasi yang melalui semua cakupan anomali (Gambar 4.2.), setelah dilakukan digitasi akan
di dapatkan koordinat UTM X, UTM Y dan nilai CBA (Gambar 4.3.), selanjutnya akan
dilakukan proses FFT (Fast Fourier Tranform) untuk didapatkan nilai k (bilangan
gelombang) dan ln A (Gambar 4.4.) untuk diplot menjadi kurva RAPS (Radially Average
Power Spectrum) dan menrntukan zona regional (dalam) dan zona residual (dangkal), juga
menentukan kedalaman tiap zona dengan gradient grafik (Gambar 4.5.). Setelah dilakukan itu
semua pada tahapan terakhir dilakukan perhingan untuk mencari batas frekuensi cut-off,
panjang gelombang dan lebar jendelanya (Gambar 4.6.). setelah didapat anomali regional,
dilakukan proses grid math pada tools oasis montaj untuk mendapatkan anomali residual
dengan cara mengurangi CBA dengan anomali regional (Gambar 4.7.).
Peta anomali regional merupakan peta yang menunjukan sebaran nilai gravitasi yang
hanya dipengaruhi oleh anomali zona dalam (regional). Pada umumnya, anomali regional
bersifat homogen sehingga pada peta anomali regional akan terlihat anomali yang homogen
dengan tidak adanya kontur-kontur tertutup. Sedangkan peta anomali residual merupakan
peta yang menunjukan sebaran nilai gravitasi yang hanya dipengaruhi oleh anomali zona
47
dangkal (residual). Pada umumnya, anomali residual bersifat heterogen dengan ditandai
banyak kontur-kontur tertutup. [35]
Gambar 4.1. Matriks Moving Average (MVA) 5x5
Gambar 4.2. Digitasi Peta CBA
48
Gambar 4.3. Data Digitasi Peta CBA
Gambar 4.4. Proses Perhitungan FFT (Test Point) (Line 1)
49
Gambar 4.5. Kurva RAPS (Test Point) (Line 1)
Gambar 4.6. Proses Penentuan Lebar Jendala (N)
y = -14175x + 8.7728 R² = 0.6966
y = -265.94x + 4.1191 R² = 0.7899
0
2
4
6
8
10
12
0 0.002 0.004 0.006 0.008 0.01
ln A
K
RAPS LINE 1
Regional
Residual
Linear (Regional)
Linear (Residual)
Kedalaman Regional Kedalaman Residual C1 C2 X (Cut off) Lamdha N
-14175 -265.94 8.7728 4.1191 0.00033458 18779.2942 93.89647
-12918 -265.91 8.8771 4.4464 0.000350195 17941.95635 89.70978
-11616 -266.75 8.4689 4.3663 0.000361486 17381.52412 86.90762
90.17129
90
50
Gambar 4.7. Proses Grid Math
4.3 Analisis energi spektrum
Analisis energi spektrum yang dilakukan akan menghasilkan nilai kedalaman yang
didapat dari proses window-ing pada setiap titik pengamatan (Gambar 4.8.). Nilai kedalaman
yang dihasilkan akan berbanding lurus dengan bertambahnya gradient kemiringan dari
spektrum energi, jadi semakin besar window semakin besar juga nilai kedalaman yang
didapat. Bertambahnya nilai kedalaman dapat dilihat dengan bertambahnya nilai gradient
yang dihasilkan dari kurva RAPS (radially averaged power spectrum) (Gambar 4.9.). Data
kedalaman setiap titik kemudian diplot terhadap lebar window dan dilakukan penarikan batas
kontras densitas yang menggambarkan batas horizon. Batas kontras densitas yang dipilih
merupakan data kedalaman window yang memiliki perbedaan yang tidak terlalu jauh. Nilai
kedalaman horizon pada daerah Sub Cekungan Sakala yang didapat berdasarkan hasil analisis
energi spektrum berkisar antara 5000 – 11000 meter. [36]
51
Gambar 4.8. Slicing CBA
Gambar 4.9. Kurva RAPS (Test Point) (Line 1 Window 35000 titik 4 dan 5)
LINE 1 LINE 2
LINE 3
LINE 4
LINE 5
LINE 6
52
Dapat dilihat dari kurva RAPS diatas didapat dua kuva yaitu kurva CBA dan kurva trend
regional, dapat dilihat juga kedalaman pada kurva CBA di titik 4 dan 5 berturut-turut adalah
1.75 km dan 1.8 km, dan kedalaman pada kurva trend regional di titik 4 dan 5 berturut – turut
adalah 6.9 km dan 6.88 km.
4.4 Hasil Analisa ESA-MWT
Pemetaan horizon dilakukan dengan menggunakan metode ESA – MWT sesuai
prosedur yang ditunjukkan oleh Gambar 3.8 dan Gambar 3.9. Hasil pemetaan berupa 4
horizon (Gambar 4.10.). Hasil kedalaman horizon diperoleh berundulasi dan diperkirakan
berkorelasi dengan peta anomali regional. Hingga pemetaan pada ukuran window 49x49 km2
diperoleh kedalaman maksimum mencapai 11 km pada horizon paling bawah yaitu Horizon
4, dengan kedalaman paling dangkal pada Horizon 1 sekitar 5 km.
Gambar 4.10.. Data Kedalaman Setiap Window (Test Point) (Line 1 titik 4 dan 5)
Pada proses ini dapat dilihat pada setiap titik yang sama dikelompokkan menjadi satu pada
setiap window nya mulai dari window 35000 hingga 49000, jika dilihat setiap pertambahan
window mulai dari 35000 hingga 49000 dapat disimpulkan bahwa semakin besar window
maka akan semakin dalam, namun ada juga yang semakin besar window mengalami
kenaikan, maka jika terdapat kenaikan kedalam dapat dikatakan bahwa kedalaman
sebelumnya dan kedalaman yang mengalami kenaikan itu mengalami kontras densitas (satu
lapisan), dapat dilihat juga jika terjadi kenaikan kedalaman maka kedalaman sebelumnya dan
kedalaman yang mengalami kenaikan akan di rata rata kan. [37]
53
Gambar 4.11. Penarikan Batas Kontras Densitas
Pada gambar 4.11. diatas dapat dilihat jika kedalaman yang memiliki kontras densitas adalah
kedalaman yang mengalami kenaikan dari kedalaman sebelumnya, maka dianggap satu
lapisan (plateau), jika dilihat pada titik 4 dan 5 memiliki titik kontras densitas yang sama
maka dapat dilakukan penarikan batas kontras densitas, pada titik selanjutnya akan dilakukan
seperti itu jika memiliki titik-titik kontras densitas yang sama agar nantinya dapat
menggambarkan struktur basement bawah permukaan dari 6 line tersebut.[38]
Gambar 4.12. Model Struktur Basement (Line 1)
Line 1
Utara Selatan
54
Gambar 4.13. Model Struktur Basement (Excel) (Line 1)
Dapat dilihat pada gambar 4.12. struktur basement bagian bawah permukaan pada line 1
terlihat terdapat pada Horizon ke 4 dan memiliki RMS eror sekitar 7.92 , jika dilihat pada
gambar 4.13. untuk Horizon 1 line 1 memiliki kedalaman sekitar 6200 m hingga 7500 m,
untuk Horizon 2 line 1 memiliki kedalaman sekitar 6400 m hingga 7700 m, untuk Horizon 3
line 1 memiliki kedalaman sekitar 6700 m hingga 8500 m dan untuk Horizon 4 line 1
memiliki kedalaman sekitar 9300 m hingga 10700 m, maka dapat disimpulkan pada line 1 ini
memiliki kedalaman horizon bawah permukaan sekitar 6200 m hingga 10700 m. Bentuk dari
struktur basement ini sesuai dengan model geologi regional nya.
Gambar 4.14. Model Struktur Basement (Line 2)
Line 2
Utara Selatan
Utara Selatan
55
Gambar 4.15. Model Struktur Basement (Excel) (Line 2)
Dapat dilihat pada gambar 4.14. struktur basement bagian bawah permukaan pada line 2
terlihat terdapat pada horizon ke 4 dan memiliki RMS eror sekitar 8.99 , jika dilihat pada
gambar 4.15. untuk Horizon 1 line 2 memiliki kedalaman sekitar 5700 m hingga 6700 m,
untuk Horizon 2 line 2 memiliki kedalaman sekitar 6000 m hingga 7300 m, untuk Horizon 3
line 2 memiliki kedalaman sekitar 6400 m hingga 7400 m dan untuk Horizon 4 line 2
memiliki kedalaman sekitar 7700 m hingga 9400 m, maka dapat disimpulkan pada line 2 ini
memiliki kedalaman horizon bawah permukaan sekitar 5700 m hingga 9400 m. Bentuk dari
struktur basement ini sesuai dengan model geologi regional nya.
Gambar 4.16. Model Struktur Basement (Line 3)
Line 3
Selatan Utara
Selatan Utara
56
Gambar 4.17. Model Struktur Basement (Excel) (Line 3)
Dapat dilihat pada gambar 4.16. struktur basement bagian bawah permukaan pada line 3
terlihat terdapat pada horizon ke 4 dan memiliki RMS eror sekitar 4.3 , jika dilihat pada
gambar 4.17. untuk Horizon 1 line 3 memiliki kedalaman sekitar 6300 m hingga 8300 m,
untuk Horizon 2 line 3 memiliki kedalaman sekitar 6500 m hingga 8500 m, untuk Horizon 3
line 3 memiliki kedalaman sekitar 7000 m hingga 9000 m dan untuk Horizon 4 line 3
memiliki kedalaman sekitar 9000 m hingga 10700 m, maka dapat disimpulkan pada line 3 ini
memiliki kedalaman horizon bawah permukaan sekitar 6300 m hingga 10700 m. Bentuk dari
struktur basement ini sesuai dengan model geologi regional nya.
Gambar 4.18. Model Struktur Basement (Line 4)
Line 4
Utara Selatan
Timur Barat
57
Gambar 4.19. Model Struktur Basement (Excel) (Line 4)
Dapat dilihat pada gambar 4.18. struktur basement bagian bawah permukaan pada line 4
terlihat terdapat pada horizon ke 4 dan memiliki RMS eror sekitar 2.8 , jika dilihat pada
gambar 4.19. untuk Horizon 1 line 4 memiliki kedalaman sekitar 5600 m hingga 6700 m,
untuk Horizon 2 line 4 memiliki kedalaman sekitar 5700 m hingga 7000 m, untuk Horizon 3
line 4 memiliki kedalaman sekitar 6500 m hingga 7700 m dan untuk Horizon 4 line 4
memiliki kedalaman sekitar 9000 m hingga 10000 m, maka dapat disimpulkan pada line 4 ini
memiliki kedalaman horizon bawah permukaan sekitar 5600 m hingga 10000 m. Bentuk dari
struktur basement ini sesuai dengan model geologi regional nya.
Gambar 4.20. Model Struktur Basement (Line 5)
Line 5
Timur Barat
Timur Barat
58
Gambar 4.21. Model Struktur Basement (Excel) (Line 5)
Dapat dilihat pada gambar 4.20. struktur basement bagian bawah permukaan pada line 5
terlihat terdapat pada horizon ke 4 dan memiliki RMS eror sekitar 2.4 , jika dilihat pada
gambar 4.21. untuk Horizon 1 line 5 memiliki kedalaman sekitar 5600 m hingga 8500 m,
untuk Horizon 2 line 5 memiliki kedalaman sekitar 5700 m hingga 8700 m, untuk Horizon 3
line 5 memiliki kedalaman sekitar 6400 m hingga 9500 m dan untuk Horizon 4 line 5
memiliki kedalaman sekitar 8500 m hingga 11000 m, maka dapat disimpulkan pada line 5 ini
memiliki kedalaman horizon bawah permukaan sekitar 5600 m hingga 11000 m. Bentuk dari
struktur basement ini sesuai dengan model geologi regional nya.
Gambar 4.22. Model Struktur Basement (Line 6)
Line 6
Timur Barat
Timur Barat
59
Gambar 4.23. Model Struktur Basement (Excel) (Line 6)
Dapat dilihat pada gambar 4.22. struktur basement bagian bawah permukaan pada line 6
terlihat terdapat pada horizon ke 4 dan memiliki RMS eror sekitar 8.8 , jika dilihat pada
gambar 4.23. untuk Horizon 1 line 6 memiliki kedalaman sekitar 6000 m hingga 8000 m,
untuk Horizon 2 line 6 memiliki kedalaman sekitar 6200 m hingga 8400 m, untuk Horizon 3
line 6 memiliki kedalaman sekitar 6700 m hingga 8700 m dan untuk Horizon 4 line 6
memiliki kedalaman sekitar 8700 m hingga 11000 m, maka dapat disimpulkan pada line 6 ini
memiliki kedalaman horizon bawah permukaan sekitar 6000 m hingga 11000 m. Bentuk dari
struktur basement ini sesuai dengan model geologi regional nya.
Timur Barat
60
4.5 Hasil Pemetaan Horizon
Pemetaan horizon dilakukan untuk melihat pemetaan masing-masing horizon pada
seluruh line, yang nantinya akan di lakukan penggabungan dari horizon 1 sampai horizon 4
dsalam bentuk 3D yang bertujuan untuk melihat struktur basement di bawah permukaan
secara detail, proses bentuk 3D pada struktur basement di bawah permukaan ini dilakukan
menggunakan aplikasi surfer v.13.
Gambar 4.24. Horizon 1 2D
Gambar 4.25. Horizon 1 3D
61
Dapat dilihat pada gambar 4.24. Horizon 1 2D dari ke 6 line digabungkan dan di dibuat peta
kedalamannya dapat dilihat pada legenda bar bahwa kedalaman horizon 1 kira-kira memiliki
kedaman sekitar 5800 m hingga 8000 m dan pada gambar 4.25. adalah gambar Horizon 1 3D
dimana terlihat lebih jelas dimana bagian yang terdalam dan terdangkal pada struktur horizon
1.
Gambar 4.26. Horizon 2 2D
Gambar 4.27. Horizon 2 3D
62
Dapat dilihat pada gambar 4.26. Horizon 2 2D dari ke 6 line digabungkan dan di dibuat peta
kedalamannya dapat dilihat pada legenda bar bahwa kedalaman horizon 2 kira-kira memiliki
kedaman sekitar 6000 m hingga 8500 m dan pada gambar 4.27. adalah gambar Horizon 2 3D
dimana terlihat lebih jelas dimana bagian yang terdalam dan terdangkal pada struktur horizon
2.
Gambar 4.28. Horizon 3 2D
Gambar 4.29. Horizon 3 3D
63
Dapat dilihat pada gambar 4.28. Horizon 3 2D dari ke 6 line digabungkan dan di dibuat peta
kedalamannya dapat dilihat pada legenda bar bahwa kedalaman horizon 3 kira-kira memiliki
kedaman sekitar 6400 m hingga 9000 m dan pada gambar 4.29 adalah gambar Horizon 3 3D
dimana terlihat lebih jelas dimana bagian yang terdalam dan terdangkal pada struktur horizon
3.
Gambar 4.30. Horizon 4 2D
Gambar 4.31. Horizon 4 3D
64
Dapat dilihat pada gambar 4.30. Horizon 4 2D dari ke 6 line digabungkan dan di dibuat peta
kedalamannya dapat dilihat pada legenda bar bahwa kedalaman horizon 4 kira-kira memiliki
kedaman sekitar 8400 m hingga 11000 m dan pada gambar 4.31. adalah gambar Horizon 4
3D dimana terlihat lebih jelas dimana bagian yang terdalam dan terdangkal pada struktur
horizon 4.
Gambar 4.32. Struktur Basement (Overlay Horizon 1 – 4) 3D
Dapat dilihat pada gambar 4.32. adalah gambaran struktur basement menurut horizon-
horizon, dan di overlay atau di gabung dari horizon 1-4 dan di dapatkan gambar struktur
basement 3D yang diolah pada aplikasi surfer v.13. Pada struktur basement bawah
permukaan diatas dapat dilihat bahwa kedalaman dari basement kira-kira sekitar 8400 m
hingga 11000 m.
65
4.6 Hasil Analisa Patahan
Korelasi grafik FHD dan SVD bertujuan untuk menentukan letak suatu patahan
dengan melihat nilai tinggi atau maksimum pada grafik FHD dan nilai nol pada grafik SVD.
Kedua grafik ini akan saling mengkonfirmasi letak dari patahan. Grafik-grafik ini dibuat
berdasarkan lintasan yang telah di digitasi pada grid FHD, SVD dan CBA pada Gambar
4.37.[39]
Gambar 4.33. Lintasan Digitasi pada Grid CBA
Dapat dilihat dari gambar 4.33. diatas bahwa dilakukan 6 lintasan digitasi pada grid CBA,
FHD , dan SVD terdiri dari 3 lintasan digitasi arah utara-selatan dan 3 lintasan digitasi arah
barat-timur, saat dilakukan digitasi di dapatkan koordinat UTM X. UTM Y dan nilai anomali
gravitasi tiap-tiap grid CBA, FHD dan SVD.
66
Gambar 4.34. LINE 1 (Y) FHD VS SVD
Gambar 4.35. Patahan pada struktur basement (Line 2)
Pada gambar 4.34. dapat dilihat bahwa korelasi antara grafik FHD dan SVD terdapat satu
patahan yang ditemukann pada lintasan 1 (Y), keberadaan dari patahan di lintasan 1 (Y)
dapat ditunjukkan pada sekitar 9242637.18 UTM (Y) untuk patahan pertama yang berada di
titik ke 4 pada lintasan 2, jika dianalisis lebih lanjut dapat dilihat bahwa pada patahan
pertama ini adalah jenis patahan mendatar karena jika dilihat pada grafik SVD menunjukkan
bahwa SVD minimum = SVD maksimum dan sekitar 9187252.1 UTM (Y) untuk patahan
kedua yang berada di titik ke 16 pada lintasan 2, jika dianalisis lebih lanjut dapat dilihat
bahwa pada patahan kedua ini adalah jenis patahan naik karena jika dilihat pada grafik SVD
menunjukkan bahwa SVD minimum > SVD maksimum.
Patahan 2
Patahan 1
Patahan 2
Patahan 1
Utara Selatan
Utara Selatan
67
Gambar 4.36. LINE 2 (Y) FHD VS SVD
Gambar 4.37. Patahan pada struktur basement (Line 1)
Pada gambar 4.36. dapat dilihat bahwa korelasi antara grafik FHD dan SVD terdapat dua
patahan yang ditemukann pada lintasan 2 (Y), keberadaan dari patahan di lintasan 2 (Y)
dapat ditunjukkan pada sekitar 9200564.8 UTM (Y) untuk patahan pertama yang berada di
titik ke 7 pada lintasan 1, jika dianalisis lebih lanjut dapat dilihat bahwa pada patahan
pertama ini adalah jenis patahan normal karena jika dilihat pada grafik SVD menunjukkan
bahwa SVD minimum < SVD maksimum dan sekitar 9236365 UTM (Y) untuk patahan
kedua yang berada di titik ke 18 pada lintasan 1, jika dianalisis lebih lanjut dapat dilihat
bahwa pada patahan kedua ini adalah jenis patahan normal karena jika dilihat pada grafik
SVD menunjukkan bahwa SVD minimum < SVD maksimum.
Patahan 2
Patahan 2
Utara Selatan
Utara
Patahan 1
Patahan 1
Selatan
68
Gambar 4.38. LINE 3 (Y) FHD VS SVD
Gambar 4.39. Patahan pada struktur basement (Line 3)
Pada gambar 4.38. dapat dilihat bahwa korelasi antara grafik FHD dan SVD terdapat dua
patahan yang ditemukann pada lintasan 3 (Y), keberadaan dari patahan di lintasan 3 (Y)
dapat ditunjukkan pada sekitar 9239365.7 UTM (Y) untuk patahan pertama yang berada di
titik ke 8 pada lintasan 3, jika dianalisis lebih lanjut dapat dilihat bahwa pada patahan
pertama ini adalah jenis patahan normal karena jika dilihat pada grafik SVD menunjukkan
bahwa SVD minimum < SVD maksimum dan sekitar 9203657 UTM (Y) untuk patahan
kedua yang berada di titik ke 17 pada lintasan 3, jika dianalisis lebih lanjut dapat dilihat
bahwa pada patahan kedua ini adalah jenis patahan normal karena jika dilihat pada grafik
SVD menunjukkan bahwa SVD minimum < SVD maksimum.
Patahan 1
Patahan 1
Selatan
Patahan 2
Utara
Utara
Patahan 2
Selatan
69
Gambar 4.40. LINE 4 (X) FHD VS SVD
Gambar 4.41. Patahan pada struktur basement (Line 4)
Pada gambar 4.40. dapat dilihat bahwa korelasi antara grafik FHD dan SVD terdapat satu
patahan yang ditemukann pada lintasan 4 (X), keberadaan dari patahan di lintasan 4 (X)
dapat ditunjukkan pada sekitar 460499 UTM (X) yang berada di titik ke 6 pada lintasan 4,
jika dianalisis lebih lanjut dapat dilihat bahwa pada patahan ini adalah jenis patahan naik
karena jika dilihat pada grafik SVD menunjukkan bahwa SVD minimum > SVD maksimum.
Patahan 1
Patahan 1
Timur
Barat Timur
Barat
70
pada seluruh grafik diatas, sumbu x merupakan letak koordinat pada UTM (y) sedangkan
sumbu y merupakan nilai SVD atau FHD yang telah dinormalisasi. Nilai pada setiap grafik
dinormalisasi agar memudahkan dalam pembacaannya. Normalisasi dilakukan dengan cara
membagi semua nilai dengan nilai maksimal keseluruhan dari masing-masing nilai mutlak
pada grafik. [40]
Gambar 4.42. Plot patahan grafik FHD VS SVD
Dapat dilihat pada Gambar 4.42 diatas adalah gambaran hasil plot sesar pada grafik FHD VS
SVD pada grid CBA, pada gambar tersebut terlihat bahwa didapat 7 sebarah patahan yang
diberi simbol bulat hitam dan disambungkan dengan garis warna coklat tebal yang
menandakan jalur patahan, dapat dilihat bahwa terdapat dua sesar yang berarah timur ke
barat. Menurut analisis patahan menggunakan metode FHD SVD ini dapat dilihat memiliki
jalur sesar yang sesuai dengan peta sesar pada grid FHD (Gambar 4.45).
Sesar 1
Sesar 2
71
Gambar 4.43. Peta Sesar Grid FHD
4.7 Implikasi Petroleum System
Dengan dipetakannya model konfigurasi basement ternyata dapat diimplikasikan
dengan petroleum system di daerah sub cekungan sakala. Dari 6 model konfigurasi
basement (3 arah utara-selatan dan 3 arah barat-timur) jika dianalisa lebih lanjut dari ke
6 model tersebut yang cocok untuk diduga memiliki kandungan hidrokarbon yaitu pada
line 5 (arah barat-timur) (Gambar 4.44) dikarenakan memiliki cekungan yang sangat
dalam yang biasanya diduga memiliki kandungan hidrokarbon yang bagus, jika
dikorelasikan dengan peta regionalnya dapat dilihat bahwa line 5 terdapat di bagian
Tinggian Tengah (Central High) yang merupakan sebagian besar daerahnya adalah
pusat-pusat endapan batuan sedimen. Jika dipetakan bagian petroleum systemnya pada
model konfigurasi basement line 5 dapat dilihat pada gambar 4.45.
Sesar 2
Sesar 1
72
Gambar 4.44. Peta Lintasan 5 (Dugaan Hidrokarbon)
Gambar 4.45. Petroleum System Pada Lintasan 5
Jika dilihat pada model konfigurasi basement pada lintasan 5 diatas (Gambar 4.45) dapat
dilihat pada petroleum system nya terdiri dari beberapa elemen penting yaitu,
A. Batuan Induk (Source Rock)
Jika dilihat pada model diatas, batuan induk diduga terdapat pada lapisan keempat
(abu-abu), jika mengacu pada geologi regional lintasan 5 ini berada pada formasi kujung,
batuan induk disini biasanya adalah batuan perselingan antara batuan sedimen klastik dan
karbonat. Batuan induk pada formasi ini terbatas pada interval klastik perselingan batu
lempung, serpih dan batu pasir dengan sisipan tipis batu gamping dan batu bara,
73
B. Batuan Reservoir
Jika dilihat pada model diatas, batuan reservoir diduga terdapat pada lapisan ketiga
(kuning), Jika mengacu pada formasi kujung, maka litologi pada batuan reservoir tidak lain
dan tidak bukann adalah batuan gamping poleng, yang memiliki nilai permeabilitas dan
porositas yang rendah untuk mengalirkan hidrokarbon pada trap (jebakan).
C. Migrasi
Pada daerah tinggian tengah (central high) mempunyai sistem migrasi-akumulasi
yang mirip dengan bagian utara cekungan selatan yang sangat dipengaruhi proses inversi.
D. Trap (Jebakan)
Pada daerah ini memiliki jenis jebakan struktur, dimana jebakan struktur disini
berasosiasi pada patahan naik, pada zona tinggian tengah ini jebakan dikontrol oleh sesar
mendatar berarah barat timur (Zona Sesar Sakala). Antiklin dan tutupan four way dip
berasosiasi dengan patahan naik yang teramati hampir di seluruh bagian daerah ini.
E. Batuan Pelindung (Cap Rock)
Jika dilihat pada model diatas, batuan pelindung diduga pada lapisan kedua (Hijau
Tua) Batuan penyekat/batuan pelindung pada daerah ini berumur Eosen diwakili oleh batu
lempung laut dalam/batial (interval serpih ngimbang) merupakan batuan pelindung yang
baik untuk menahan laju nya hidrokabron ke atas permukaan.
74
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian pada daerah Cekungan Sakala, Jawa Timur menggunakan
metode ESA – MWT yang didukung oleh analisa energi spektrum, analisis patahan dengan
metode FHD VS SVD, serta data geologi, dapat disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan model struktur basement yang terdiri dari 4 Horizon dengan kedalaman
horizon diperkirakan berada pada kedalaman sekitar 5 km hingga 11 km dan sesuai
dengan model basement geologi regional.
2. Metode ESA – MWT dapat memetakan horizon batas-muka densitas (density interface).
Batas-muka densitas yang diperoleh diantaranya Horizon 1-4. Horizon 1 diperkirakan
memiliki kedalaman 5800 m – 8000 m , Horizon 2 diperkirakan memiliki kedalaman 6000
m – 8500 m, Horizon 3 diperkirakan memiliki kedalaman 6400 m – 9000 m, serta
Horizon 4 diperkiran memiliki kedalaman 8400 m - 11000 m sebagai lapisan basement.
3. Berdasarkan hasil plot sesar pada grafik FHD VS SVD pada grid CBA, didapatkan 7
sebarah patahan yang tersebar pada 4 lintasan, dan hubungan antara semua titik patahan
menghasilkan 2 jalur patahan menurut data pendukung sesar, sesar pertama berada di utara
dengan arah sesar dari barat ke timur dan sesar kedua berada di selatan dengan arah sesar
dari barat ke timur, kedua sesar ini memiliki jenis sesar normal karena adanya sesar naik
dan turun pada beberapa titik yang dilalui sesar maka sesar pertama dan kedua mengalami
reaktivasi.
4. Berdasarkan hasil konfigurasi model basement pada lintasan 5 didapatkan implikasi
dengan petroleum system daerah tersebut, lintasan ini berkorelasi dengan tinggian tengah
(central high) dan formasi kujung, dengan beberapa elemen pentingnya yaitu, batuan
induk pada daerah ini adalah batuan sedimen klastik, batuan reservoir pada daeah ini
adalah batuan gamping pelong, juga memiliki proses migrasi yang mirip dengan bagian
utara cekungan selatan yang disebabkan oleh proses inversi, jenis trap pada daerah ini
adalah jebakan struktural yang dikontrol oleh sesar mendatar berarah barat-timur (zona
sesar sakala) dan batuan penutup pada daerah ini adalah batu lempung laut/batial.
75
DAFTAR PUSTAKA
[1]. Istiqomah (2019). Pemodelan Bawah Permukaan Menggunakan Metode Energy Spectral
Analysis-Multi Window Test (ESA-MWT) Data Gayaberat Area West Timor Bagian
Barat , Nusa Tenggara Timur. Universitas Pertamina.
[2]. Abdul Basid, N. H. (2012). Analisis Anomali Gravitasi Sebagai Acuan Dalam Penentuan
Struktur Geologi Bawah Permukaan Dan Potensi Geothermal (Studi Kasus Di Daerah
Songgoriti Kota Batu). Jurnal Neutrino, (10), 35–47.
[3]. Alim, M. I., & Minarto, E. (2018). Pengolahan Data Geofisika Metode Gravity,
(September), 0–4.
[4]. Ramadhani, W., Si, S. S. M., Wasis, D., & Ab, M. (2010). Identifikasi Struktur Bawah
Permukaan Dengan Menggunakan Metode Gravity Di Desa Sumbermanjingwetan dan
Desa Druju – Malang Selatan. Universitas Brawijaya.
[5]. Taufiquddin. (2014). Identifikasi Struktur Bawah Permukaan Daerah Panas Bumi
Dengan Metode Gravitasi (Studi Kasus di Daerah Sumber Air Panas Desa Lombang
Kecamatan Batang-Batang Kabupaten Sumenep.
[6]. Malang, I. (2015). Analisis Data Anomali Gravitasi Untuk Permukaan Ranu Segaran
(Desa Segaran , Kecamatan Tiris , Kabupaten Probolinggo).
[7]. Fairuz (2019). Pemodelan Bawah Permukaan Menggunakan Metode Energy Spectral
Analysis-Multi Window Test (ESA-MWT) Data Gayaberat Area Cekungan Sakala.
Universitas Pertamina.
[8]. Jaidi, Fadhil (2019). Identifikasi Patahan Baribis Di Kota Bekasi Menggunakan Metode
Multi Scale - Second Vertical Derivative (MS-SVD) Data Gravitasi. Universitas
Indonesia.
[9]. Francisco, A. R. L. (2013). Identifikasi Struktur Bawah Permukaan Daerah Panas Bumi
TG-II dengan Menggunakan Metode Gaya Berat. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699.
72
[10]. Fakhruddin, Syamil (2018). Identifikasi Struktur Bawah Permukaan Daerah Yogyakrta
Menggunakan Metode Energy Spectral Analysis Multi Window Test (ESA-MWT) Dan
Multiscale Second Vertical Derivative (Ms-Svd) Data Gravitasi. Universitas Indonesia.
[11]. Fisika, P. S., Oleh, D., & Sargiyanto, A. (2017). Identifikasi sesar menggunakan
metode gravitasi di desa margoyoso, kecamatan salaman, kabupaten magelang.
[12]. Andrian, Jefri (2018). Pemetaan Struktur Basemen Menggunakan Metode Energy
Spectral Analysis – Multi Window Test (ESA-MWT) Data Gravitasi Pada Cekungan
Sumatera Utara. Universitas Indonesia.
[13]. Naulia, A. R., & Jaenal, E. (n.d.). Pendugaan Anomali Bawah Permukaan Daerah
Gunung Tangkuban Parahu dan Sekitarnya Berdasarkan Data Gaya Berat, 45–51.
[14]. Suhadiyatno. (2008). Pemodelan Metode Gravitasi Tiga Dimensi Dengan
Menggunakan Matlab.
[15]. Sari, I. P. (2012). Studi Komparasi Metode Filtering Untuk Pemisahan Anomali
Regional dan Residual Dari Data Anomali Bouguer.
[16]. J. F. Genrich, Y. Bock, R. McCaffrey, L. Prawirodirdjo, C. W. Stevens, S. S. .
Puntodewo, C. Subarya, and S. Wdowinsky, “Distribution of Slip at the Northern
Sumatran Fault System,” J. Geophys. Res., vol. 105, no. B12, pp. 28327–28341, 2000.
[17]. Howell, Jr., B. F., Introduction to Geophysics, New York, USA, McGraw-Hill, 1950.
[18]. Telford, W.M., Goldrat, L.P., and Sheriff, R.P., Applied Geophysics, 2nd ed,
Cambridge, Cambridge University Pres, 1990.
[19]. Hadi Suntoko, Ari Nugroho, “Analisis Gradien Horizontal (Graviti) Untuk Konformasi
Awal Sesar Permukaan di Banten”. Jurnal Pengembangan energi Nuklir Vol.13, No.2,
Desember 2011, Hal. 72-80.
[20]. Wiiayanti, D., Tony, R., & Nurwidyanto, M. I. (2009). Cekungan Jawa Timur Utara.
[21]. Pandoyo, S.H., 2W4, In HouseTraining Gravity, Pusat Pendidikandan Pelatihan Minyak
tlari Gas Bumi,Cepu.
[22]. Mudjiono, R and Pireno, G.K. 2002. Exploration of the North Madura
platform.offshore, East Java, Indonesia. Proc. 28th Ann. Conv Indon. Petroleum Assoc.
77
[23]. Panjaitan, S. 2010. Prospek Migas Pada Cekungan Jawa Timur dengan Pengamatan
Metode Gayaberat. Buletin Sumber Daya Geologi Vol. 5, No.3.
[24]. Satyana, A.H. 2002. Oligo-Miocene Reefs : East Java’s Giant Field. IAGI Giant Field
and New Exploration Concepts Seminar. Jakarta.
[25]. Satyana, A.H., Margareth. E.M., Perwaningsih. 2003. Geochemistry of The East Java
Basin: New Observation On Oil Grouping, Genetic Gas Types and Trends of
Hydrocarbon Habitats. Proc. 29th Ann. Conv Indon. Petroleum Assoc.
[26]. Tim Atlas Cekungan Survei Geologi. 2009. Peta Cekungan Sedimen Indonesia
Berdasarkan Data Gayaberat dan Geologi. Bandung: Badan Geologi Departemen
ESDM.
[27]. Bhattacharyya, B. K. (1966). Continous spectrum of the total-magnetic-field anomaly
due to a rectangular prismatic body. Geophysics, 31(1), 97-121
[28]. Bracewell, R. N. (2000). The Fourier Transform and Its Applications (3rd ed.), Mc
Graw- Hill, Boston.
[29]. Kivior, I., Chandola, S. K, Markham, S. L., Chong, L. B., Keong, E.B., Nordin, A. B.
M.,and Hagos, F. T. (2012). Regional Mapping of Basement and Sedimentary
Interfaces in the Andaman Sea Basin Using Marine Magnetic and Gravity Data. In 74th
EAGE Conference and Exhibition incorporating EUROPEC 2012.
[30]. Rosid, M.S., J Andrian. (2018). Mapping of Basement Layer in Field Petroleum System
"X" using ESA-MWT technique Gravity Data. In Padjajaran Earth Dialogues:
International Symposium on Geophysical Issues
[31]. Soengkono, S., and Tosha, T. (2017). Identifying Faults and Fractures at Different
Depths from Airborne Gravity Gradient Surveys over Kujyu and Kirishima Geothermal
Areas , Japan. In Proceedings 39th New Zealand Geothermal Workshop.
[32]. Dahrin D., and Grandis H., 2016. The use (and mis-use) of the Second Vertical
Derivative (SVD) of Gravity Data, with the Emphasis of Indonesian Cases, PIT HAGI
2016, Bandung.
78
[33]. Rahmania, M., Niyartama, T.F., Sungkowo, A. 2010. Penentuan Jenis Sesar Pada
Gempabumi Sukabumi 2 September 2009 Berdasarkan Gerak Awal Gelombang P.
Yogyakarta: STTN-BATAN dan Fak. Saintek UIN SUKA.
[34]. Reynolds, J. M., 1997. An Introduction to Applied and Environmental Geophysics.
Geophysics (Vol. I).
[35]. Whitehead, N., and Musselman, C. (2011). montaj MAGMAP Filtering. Toronto:
Geosoft Incorporated.
[36]. Markham, S., Damte, S., Kivior, I., Randle, S., Shimada, M., Jong, J., Kusaka, H, and
Tan, T. Q. (2011). Mapping Regional Sedimentary Horizons in the Onshore Baram
Delta, Sarawak, from Magnetic and Gravity Data Using Energy Spectral Analysis. In
12th International Congress of the Brazilian Geophysical Society & EXPOGEF, Rio de
Janeiro, Brazil, 15–18 August 2011 (pp. 715–718). Rio de Janeiro: Society of
Exploration Geophysicists and Brazilian Geophysical Society.
[37]. Kivior, I., Markham, S., Hagos, F., Baigent, M., Rudge, T., and Devereux, M. (2018).
Improved Imaging of the Subsurface Geology in the Mowla Terrace, Canning Basin
using Gravity Gradiometry Data. In ASEG 2018: Sydney. Clayton: CSIRO.
[38]. Sota, I., 2011. Pendugaan Struktur Patahan dengan Metode Gayaberat. Banjarmasin:
POSITRON, Vol. I, No. 1 (2011), UNLAM.
[39]. Rosid, S., and Rosa, E. (2012). Fault Determination Using Gravity Anomaly Data
Singkarak Area, West Sumatra. In 2nd Basic Science International Conference,
FMIPA-UB. Malang.
[40]. Rosid, S. 2005. Gravity Method in Exploration Geophysics. Depok: Universitas
Indonesia.
79
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data CBA (Complete Bouguer Anomaly) daerah penelitian.
80
Lampiran 2. Proses Windowing data dengan lebar window 35x35 km2 – 49x49 km
2