Pemerintah Perlu Mempercepat Pendataan, Pemetaan dan ... · • Ada sekitar 1,9 juta hektare...

4
Ada sekitar 1,9 juta hektare perkebunan sawit rakyat yang di kelola secara swadaya oleh masyarakat dan 623 ribu hektare perkebunan sawit yang dikelola secara plasma; Pengembangan sawit rakyat terhambat oleh persoalan legalitas dan Surat Tanda Daftar Budidaya (STD-B) Sawit Rakyat, hal ini disebabkan oleh minimnya data dan peta kepemilikan kebun sawit serta tidak adanya standarisasi pemetaan dan pendataan; Pemerintah perlu menyusun Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) untuk pemetaan, pendataan dan penerbitan STD-B Sawit Rakyat. Pemerintah Perlu Mempercepat Pendataan, Pemetaan dan Penerbitan STD-B Sawit Rakyat Information Brief Dipublikasikan pada 11 Mei 2020 I ndonesia memiliki hamparan perkebunan sawit yang luas dan sebagian besar merupakan perkebunan sawit rakyat. Berdasarkan data, ada sekitar 1,9 juta hektare lahan yang sudah ditanami sawit dikelola secara swadaya oleh masyarakat (KEHATI, 2019) dan 623 ribu hektare dikelola dengan sistem plasma (Kementerian Pertanian, 2018). Meski demikian, pengembangan sawit rakyat terkendala oleh tidak adanya data dan peta (by name, by address, by spatial) tentang kepemilikannya (KPK, 2016). Sehingga menyebabkan proses penerbitan STD-B Sawit Rakyat menjadi terhambat. Misalnya, di dua kabupaten yang menjadi sentra perkebunan sawit di Kalimantan Tengah, seperti Kabupaten Kotawaringin Barat, baru menerbitkan 130 STD-B dan di Kabupaten Seruyan baru 50 STD-B (INOBU, 2016), itu dari puluhan ribu pekebun sawit swadaya yang ada di kedua kabupaten tersebut. Padahal STD-B penting dalam perbaikan tata kelola perkebunan sawit rakyat yang berkelanjutan (INOBU, 2016; KEHATI, 2018). Gambar 1. Luas Perkebunan Sawit Rakyat di Indonesia, 2019 (Sumber: KEHATI, 2019 dan Kementerian Pertanian, 2019) Keterangan: * kepemilikan lahan kurang dari 25 hektare ** belum termasuk data perkebunan plasma di Provinsi Sumatera Utara 76% Perkebunan swadaya* Perkebunan Plasma** 24% 1.961.644 Ha 623.113 Ha Pertama, pendataan dan pemetaan sawit rakyat diperlukan untuk penerbitan STD-B. Sesuai Peraturan Menteri Pertanian No. 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, setiap kepemilikan kebun sawit yang dikelola oleh masyarakat dengan luas kurang dari 25 hektare, harus memiliki Surat Tanda Daftar Budidaya (STD-B) Tanaman Perkebunan. STD-B dalam sistem tata kelola perkebunan sawit merupakan instrumen yang sangat penting dilakukan. Selain bermanfaat untuk menghimpun data dan peta kepemilikan kebun sawit rakyat, STD-B juga menjadi persyaratan dalam mendapatkan sertifikasi ISPO. STD-B juga bisa diintegrasikan dengan berbagai kebijakan terkait tata kelola perkebunan sawit di Indonesia, seperti program peremajaan sawit, program pengembangan biodiesel dan program peningkatan produktifitas lahan. Kenapa perlu mempercepat pendataan dan pemetaan sawit rakyat?

Transcript of Pemerintah Perlu Mempercepat Pendataan, Pemetaan dan ... · • Ada sekitar 1,9 juta hektare...

Page 1: Pemerintah Perlu Mempercepat Pendataan, Pemetaan dan ... · • Ada sekitar 1,9 juta hektare perkebunan sawit rakyat yang di kelola secara swadaya oleh masyarakat dan 623 ribu hektare

• Ada sekitar 1,9 juta hektare perkebunan sawit rakyat yang di kelola secara swadaya oleh masyarakat dan 623 ribu hektare perkebunan sawit yang dikelola secara plasma;

• Pengembangan sawit rakyat terhambat oleh persoalan legalitas dan Surat Tanda Daftar Budidaya (STD-B) Sawit Rakyat, hal ini disebabkan oleh minimnya data dan peta kepemilikan kebun sawit serta tidak adanya standarisasi pemetaan dan pendataan;

• Pemerintah perlu menyusun Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) untuk pemetaan, pendataan dan penerbitan STD-B Sawit Rakyat.

Pemerintah Perlu Mempercepat Pendataan, Pemetaan dan Penerbitan STD-B Sawit Rakyat

Information Brief

Dipublikasikan pada 11 Mei 2020

Indonesia memiliki hamparan perkebunan sawit yang luas dan sebagian besar merupakan perkebunan sawit rakyat. Berdasarkan data, ada

sekitar 1,9 juta hektare lahan yang sudah ditanami sawit dikelola secara swadaya oleh masyarakat (KEHATI, 2019) dan 623 ribu hektare dikelola dengan sistem plasma (Kementerian Pertanian, 2018).

Meski demikian, pengembangan sawit rakyat terkendala oleh tidak adanya data dan peta (by name, by address, by spatial) tentang kepemilikannya (KPK, 2016). Sehingga menyebabkan proses penerbitan STD-B Sawit Rakyat menjadi terhambat. Misalnya, di dua kabupaten yang menjadi sentra perkebunan sawit di Kalimantan Tengah, seperti Kabupaten Kotawaringin Barat, baru menerbitkan 130 STD-B dan di Kabupaten Seruyan baru 50 STD-B (INOBU, 2016), itu dari puluhan ribu pekebun sawit swadaya yang ada di kedua kabupaten tersebut. Padahal STD-B penting dalam perbaikan tata kelola perkebunan sawit rakyat yang berkelanjutan (INOBU, 2016; KEHATI, 2018).

Gambar 1. Luas Perkebunan Sawit Rakyat di Indonesia, 2019(Sumber: KEHATI, 2019 dan Kementerian Pertanian, 2019)

Keterangan: * kepemilikan lahan kurang dari 25 hektare** belum termasuk data perkebunan plasma

di Provinsi Sumatera Utara

76%Perkebunan swadaya*

Perkebunan Plasma**

24%

1.961.644 Ha

623.113 Ha

Pertama, pendataan dan pemetaan sawit rakyat diperlukan untuk penerbitan STD-B. Sesuai Peraturan Menteri Pertanian No. 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, setiap kepemilikan kebun sawit yang dikelola oleh masyarakat dengan luas kurang dari 25 hektare, harus memiliki Surat Tanda Daftar Budidaya (STD-B) Tanaman Perkebunan. STD-B dalam sistem tata kelola perkebunan sawit merupakan instrumen yang sangat penting dilakukan. Selain bermanfaat untuk menghimpun data dan peta kepemilikan kebun sawit rakyat, STD-B juga menjadi persyaratan dalam mendapatkan sertifikasi ISPO. STD-B juga bisa diintegrasikan dengan berbagai kebijakan terkait tata kelola perkebunan sawit di Indonesia, seperti program peremajaan sawit, program pengembangan biodiesel dan program peningkatan produktifitas lahan.

Kenapa perlu mempercepat pendataan dan pemetaan sawit rakyat?

Page 2: Pemerintah Perlu Mempercepat Pendataan, Pemetaan dan ... · • Ada sekitar 1,9 juta hektare perkebunan sawit rakyat yang di kelola secara swadaya oleh masyarakat dan 623 ribu hektare

Kedua, pendataan dan pemetaan sawit rakyat diperlukan untuk meningkatkan legalitas lahan. Banyak lahan perkebunan sawit yang dikelola oleh masyarakat tanpa memiliki legalitas, seperti Sertifikat Hak Milik (SHM). Ini disebabkan oleh persoalan status lahan, seperti berada di kawasan hutan, yang datanya mencapai 713 ribu hektare (KEHATI, 2019). Pemerintah mempunyai beberapa program terkait legalitas lahan dan penyelesaian kebun sawit di kawasan hutan, seperti program sertifikasi lahan, program reforma agraria (TORA), dan program perhutanan sosial. Meski demikian, untuk mendukung program tersebut dibutuhkan data dan peta kepemilikan kebun sawit rakyat yang valid (by name, by address, by spatial). Sehingga, bisa menjadi entry point untuk membantu optimalisasi program prioritas pemerintah tersebut.

Ketiga, pendataan dan pemetaan sawit rakyat diperlukan untuk merancang program pemerintah seperti peremajaan sawit rakyat, bantuan bibit bersertifikat, bantuan pupuk bersubsidi dan program lainnya terkait pengembangan sawit rakyat. Banyak inisiasi program pengembangan sawit rakyat yang telah dilakukan pemerintah, seperti yang disampaikan di atas. Meski demikian, banyak program tersebut yang terkendala dengan minimnya data dan peta kepemilikan kebun sawit rakyat. Seperti kasus peremajaan sawit rakyat, pemerintah sudah mentargetkan sekitar 185 ribu hektare lahan

Bagaimana proses pendataan, pemetaan dan penerbitan STD-B?

Yayasan Kehati bersama mitranya memiliki pengalaman dalam melakukan pendataan, pemetaan dan pengajuan STD-B dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan pengalaman lapangan tersebut, kami mencoba menjelaskan alur prosesnya, seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.

yang akan diremajakan, tapi realisasinya jauh dari target (BPDPKS, 2020). Hal ini disebabkan karena tidak tersedianya data dan peta yang valid, yang bisa digunakan untuk menetapkan penerima program dan mendesain tata laksana program. Oleh karena itu, percepatan pendataan dan pemetaan sawit rakyat menjadi instrumen penting untuk mendukung optimalisasi porgam-program tersebut.

Keempat, mengidentifikasi keberadaan kebun sawit rakyat di kawasan hutan dan mencarikan alternatif penyelesaiannya. Industri sawit nasional selalu ditekan oleh isu-isu negatif terkait tata kelola, seperti isu deforestasi dan perubahan iklim (Gaveau et al, 2016; Vijay et al, 2016; Patrenko et al, 2016). Salah satunya ditenggarai oleh pembukaan lahan perkebunan sawit oleh masyarakat. Kita selalu sulit mengatasi isu tersebut, karena faktanya, kita tidak bisa menyampaikan data dan informasi yang mengindikasikan terjadinya deforestasi dan perubahan iklim oleh perkebunan sawit rakyat. Padahal, jika data dan peta kepemilikan kebun sawit rakyat tersedia dengan lengkap, maka kita bisa menjawab tuduhan negatif tersebut berdasarkan fakta. Selain itu, data dan peta tersebut juga dapat digunakan untuk mencarikan alternatif penyelesaiannya, bisa lewat program reforma agraria dan perhutanan sosial.

PENDATAAN PEMETAAN PENERBITAN STD-B

Gambar 2. Alur Proses Pendataan, Pemetaan dan Penerbitan STD-B Perkebunan Sawit Rakyat

Pertama, pendataan kepemilikan kebun sawit. Pendataan menggunakan pendekatan sensus, mendata semua perkebunan rakyat tanpa membedakan lokasi dan status kebun (dalam satu wilayah administrasi desa). Secara teknis pendataan bisa dilakukan melalui dua cara: (1) mengumpulkan semua Pekebun dan membagi form pendataan untuk untuk diisi oleh Pekebun dengan dipandu oleh tim pendataan, atau (2) tim pendataan mengunjungi tempat tinggal Pekebun dan melakukan wawancara langsung sesuai dengan format dari form pendataan.

Kedua, pemetaan kepemilikan kebun sawit. Pemetaan bisa dilakukan dengan menggunakan Citra Satelit Resolusi Sangat Tinggi (CSRST) atau menggunakan drone. Peta CSRST dan hasil drone selanjutnya dipersilkan berdasarkan kepemilikan. Pada proses ini tim pemetaan meminta Pekebun untuk menunjukan batas-batas kepemilikan kebunnya. Peta tersebut diintegrasikan dengan hasil pendataan tabular di atas. Sehingga, menghasilkan data

Page 3: Pemerintah Perlu Mempercepat Pendataan, Pemetaan dan ... · • Ada sekitar 1,9 juta hektare perkebunan sawit rakyat yang di kelola secara swadaya oleh masyarakat dan 623 ribu hektare

Apa hambatan dalam melakukan pemetaan, pendataan dan penerbitan STD-B?

dan peta kepemilikan kebun sawit rakyat (by name, by address, by spatial) lengkap dengan atribut data yang sudah distandarisasi dengan kebutuhan penerbitan STD-B Sawit Rakyat.

Ketiga, penerbitan STD-B Sawit Rakyat. Perlu diketahui STD-B bukan bagian dari perizinan, namun sistem registrasi yang dikembangkan oleh pemerintah untuk mendata kepemilikan perkebunan sawit rakyat. STD-B bisa diajukan secara individu oleh Pekebun atau secara kolektif oleh kelompok Pekebun lewat pemerintah desa. Hasil pendataan dan pemetaan yang sudah distandarisasi sesuai petunjuk umum penerbitan STD-B yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian, bisa menjadi bahan untuk mengajukan penerbitan STD-B ke dinas yang mengurusi sektor perkebunan di kabupaten/kota. Data dan peta tersebut diverifikasi oleh tim inventarisasi dan verifikasi di dinas tersebut. Bagi pengajuan yang sudah lolos verifikasi maka Bupati/Walikota atau Kepala Dinas dapat menerbitkan STD-B.

Berapa biaya yang dibutuhkan dalam proses tersebut?

Berdasarkan pengalaman Yayasan Kehati melakukan proses pendataan, pemetaan dan pengurusan serta penerbitan STD-B, total biaya yang dikeluarkan per hektare sebesar Rp 179.583, yang terdiri dari biaya pendataan dan pemetaan sebesar Rp 133.333 per hektare dan perkiraan biaya pengurusan dan penerbitan STD-B sebesar Rp 66.250 per hektare atau Rp 198.750 per STD-B. Dengan asumsi, luas lahan yang dipetakan seluas 1.200 hektare, jumlah kepemilikan kebun sebanyak 400 dan jumlah STD-B yang diajukan juga sebanyak 400.

Tidak adanya Norma, Standar, Prinsip dan Kriteria (NSPK) yang menjadi acuan secara umum untuk pendataan, pemetaan dan penerbitan STD-B.

Beberapa pihak telah menginisiasi pendataan, pemetaan dan penerbitan STD-B, tapi dengan pendekataan dan metode yang berbeda-beda. Hal ini terjadi, karena pemerintah tidak memiliki acuan atau NSPK. Sehingga, beberapa inisiasi pendataan dan pemetaan yang dilakukan tidak memiliki keseragaman secara metode dan prosedurnya. Seringkali, data dan peta yang sudah dihasilkan oleh beberapa lembaga seperti NGO, tidak diterima oleh pemerintah daerah, karena tidak sesuai dengan standar yang mereka inginkan, padahal standarnya sendiri tidak pernah ada dari pemerintah. Hal tersebut menjadi hambatan bagi pihak-pihak yang mempunyai inisiasi melakukan pendataan, pemetaan dan penerbitan STD-B.

Minimnya program dan sumber pembiayaannya oleh pemerintah.

Banyak kabupaten/kota yang belum memiliki pelayanan penerbitan STD-B dan ada juga yang menempatkan sistem penerbitan STD-B dalam sistem pelayanan perizinan sehingga Pekebun mengalami kesulitan untuk mengakses pelayanan STD-B.

Karena tidak adanya NSPK, banyak daerah tidak merancang program dan pembiayaan untuk pendataan, pemetaan dan penerbitan STD-B. Padahal, mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian No. 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan untuk menerbitkan STD-B. Sehingga, harusnya pemerintah kabupaten/kota menjalankan kewenangan tersebut dengan membuat program dan penganggarannya.

Mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian No. 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan dan Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan No. 105/Kpts/PI.400/2/2018 tentang Pedoman Penerbitan Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Budidaya (STD-B), STD-B bukan merupakan izin, tapi tanda registrasi yang dikembangkan untuk mendata dan memetakan kebun sawit rakyat swadaya. Sehingga, pelaksanaan pelayanan tidak berada di unit pelayanan perizinan di daerah, tapi di dinas yang mengurusi urusan perkebunan.

Page 4: Pemerintah Perlu Mempercepat Pendataan, Pemetaan dan ... · • Ada sekitar 1,9 juta hektare perkebunan sawit rakyat yang di kelola secara swadaya oleh masyarakat dan 623 ribu hektare

Tidak adanya sistem yang terintegrasi dari pendataan, pemetaan dan penerbitan STD-B.

Pemerintah perlu mempercepat penyusun NSPK pendataan, pemetaan dan penerbitan STD-B Sawit Rakyat.

Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran untuk pendataan, pemetaan dan penerbitan STD-B Sawit Rakyat.

Pemerintah perlu membangun sistem database sawit rakyat termasuk sistem elektronik penerbitan STD-B yang terintegrasi

Di beberapa lokasi, tiga alur proses ini tidak terintegrasi. Ada yang sudah melakukan pendataan tapi tidak memiliki peta. Namun, ada juga yang sudah melakukan pendataan dan pemetaan tapi untuk pengajuan STD-B tidak bisa langsung, karena sistem tidak terintegrasi atau manual. Ini menjadikan proses yang dilakukan tidak efektif.

Pemerintah dalam hal ini Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Kementerian Pertanian dapat menyusun NSPK tersebut dengan melibatkan pihak-pihak yang memiliki pengalaman dalam melakukan proses pendataan, pemetaan dan penerbitan STD-B. NSPK yang sudah disusun bisa di uji coba di beberapa lokasi untuk melihat efektifitas pelaksanaannya, sebelum disahkan menjadi dokumen resmi pemerintah.

BAPPENAS dapat merancang program dan anggaran untuk pendataan, pemetaan dan penerbitan STD-B yang nanti akan dilaksanakan oleh instansi terkait sesuai dengan NSPK yang sudah disusun.

NSPK yang sudah dibuat harus diturunkan menjadi sistem database sawit rakyat yang terintegrasi dengan e-STDB untuk memudahkan dan mempercepat proses pengambilan kebijakan terkait pendataan, pemetaan dan penerbitan STD-B serta kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengembangan sawit rakyat di Indonesia.

Apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan bagaimana caranya?

Daftar Pustaka BPDPKS. 2020. Peremajaan Sawit Rakyat, 2016-2019. Dapat diakses di: http://www.bpdp.or.id/peremajaan-sawit-rakyat-2016-2019

Gaveau, David L. A. et al. 2016. Rapid Conversions and Avoided Deforestation: Examining Four Decades of Industrial Plantation Expansion in Borneo. Scientific Reports 6 (September). Retrieved (http://dx.doi.org/10.1038/srep32017).

INOBU. 2016. A Profile of Small-scale Oil Palm Farmers and The Challenges of Farming Independently: The Case of Seruyan and Kotawaringin Barat Districts in Central Kalimantan, Indonesia. Bali: INOBU.

KEHATI 2018. Kesiapan Perkebunan Sawit Swadaya terhadap Pemenuhan Sertifikasi ISPO; Studi Kasus di Tiga Desa di Indonesia. Information Brief. Jakarta: Yayasan KEHATI.

KEHATI 2019. Tutupan Sawit Rakyat Swadaya di Indonesia. Jakarta: Yayasan KEHATI.

Kementerian Pertanian. 2018. Hasil Verifikasi Pemenuhan Kewajiban Plasma oleh Perusahaan di Indonesia. Bahan Presentasi.

KPK. 2016. Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit. Jakarta: Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Pencegahan KPK.

Petrenko, Chelsea, Julia Paltseva, and Stephanie Y. Searle. 2016. Ecological Impacts of Palm Oil Expansion in Indonesia.Washington, DC. Retrieved November 3, 2016 (www.theicct.org).

Vijay, Varsha et al. 2016. The Impacts of Oil Palm on Recent Deforestation and Biodiversity Loss edited by M. Anand.PLOS ONE 11(7): e0159668. Retrieved April 20, 2017 (http://dx.plos.org/10.1371/journal.pone.0159668).