PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

230
PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL DALAM MASA TRANSISI POLITIK: SUATU TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL DAN PENGATURANNYA DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan dalam rangka memenuhi tugas akhir Untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Disusun oleh: Muhammad Ajisatria Suleiman Nomor Pokok Mahasiswa: 050400718Y PROGRAM KEKHUSUSAN VI (HUKUM TENTANG HUBUNGAN TRANSNASIONAL) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, 2008 Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Transcript of PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

Page 1: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL

DALAM MASA TRANSISI POLITIK: SUATU TINJAUAN HUKUM

INTERNASIONAL DAN PENGATURANNYA DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan dalam rangka memenuhi tugas akhir

Untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Disusun oleh:

Muhammad Ajisatria Suleiman

Nomor Pokok Mahasiswa: 050400718Y

PROGRAM KEKHUSUSAN VI

(HUKUM TENTANG HUBUNGAN TRANSNASIONAL)

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Depok, 2008

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 2: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

ABSTRAK Muhammad Ajisatria Suleiman, NPM: 050400718Y, Hukum tentang Hubungan Transnasional (Program Kekhususan VI), Judul: Pemberian Amnesti terhadap Pelaku Kejahatan Internasional dalam Masa Transisi Politik: Suatu Tinjauan Hukum Internasional dan Pengaturannya di Indonesia Pemerintahan pada masa transisi politik dari rejim otoritarianisme menuju demokrasi harus menghadapi tantangan besar untuk menyelesaikan segala tindakan yang dilakukan oleh rejim terdahulunya, terutama yang berkaitan dengan tindakan-tindakan yang tergolong sebagai kejahatan internasional. Pemberian amnesti menjadi salah satu mekanisme alternatif yang dapat dilakukan untuk menjamin perdamaian dan kelancaran proses rekonsiliasi. Di Indonesia, ketentuan mengenai amnesti ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta Kerangka Acuan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste. Namun demikian, legalitas amnesti dalam pandangan hukum internasional masih mengundang banyak perdebatan. Atas dasar ini, penelitian ini dilakukan dan menghasilkan tiga kesimpulan pokok. Pertama, meskipun pemberian amnesti merupakan hak yang dimiliki suatu negara berdaulat, namun khusus menyangkut kejahatan internasional, amnesti tidak boleh menciptakan impunitas sehingga harus dilarang. Kedua, dalam masa transisi politik, pemberian amnesti secara menyeluruh dapat melanggar “Right to Know” masyarakat karena menutup dan menghentikan akses masyarakat terhadap kebenaran. Namun demikian, terdapat kemungkinan justifikasi pemberian amnesti sepanjang “Right to Know” terpenuhi. Ketiga, mekanisme pemberian amnesti dalam Undang-undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta Kerangka Acuan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia Timor Leste bertentangan dengan hukum internasional.  

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 3: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

i

 

BIDANG STUDI HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

NAMA : Muhammad Ajisatria Suleiman NPM : 050400718Y Program Kekhususan : VI (Hukum tentang Hubungan Trans- Nasional) Judul Skripsi : Pemberian Amnesti terhadap Pelaku Kejahatan Internasional dalam Masa Transisi Politik: Suatu Tinjauan Hukum Internasional dan Pengaturannya di Indonesia

DAFTAR ISI

TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI i

ABSTRAK ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan 1

B. Rumusan Permasalahan 18

C. Tujuan Penelitan 18

D. Kerangka Konsepsional 19

E. Metode Penelitian 23

F. Kegunaan Praktis dan Teoritis 25

G. Sistematika Penulisan 26

BAB II TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL ATAS PEMBERIAN

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 4: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

ii

 

AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL

A. Tinjauan Umum Mengenai Kejahatan Internasional 28

B. Sejarah Pemberian Amnesti 33

C. Kewajiban Negara Melakukan Penindakan atas Pelaku Kejahatan Internasional 38

1. Geneva Convention 1949 (Konvensi Geneva 1949) 40

2. Genocide Convention (Konvensi Genosida) 42

3. Convention Against Torture and Other Cruel,

Inhuman or Degrading Treatment or Punishment

(Konvensi Anti Penyiksaan) 44

4. International Covenant for Civil and Political

Rights 47

5. Hukum Kebiasaan Internasional 51

6. Dokumen-Dokumen Lain 52

D. Hak Korban Kejahatan Internasional dalam Hukum Internasional dan Kaitannya dengan

Pemberian Amnesti 54

1. Perlindungan Normatif dan Praktek Negara 56

2. Kaitan antara Perlindungan Korban dan

Pemberian Amnesti 59

BAB III PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN

INTERNASIONAL PADA MASA TRANSISI POLITIK

A. Keadilan Transisional Sebagai Mekanisme Pencarian Keadilan di Masa Transisi Politik 65

1. Pengertian Umum Keadilan Transisional 65

2. Peran Konsep Keadilan Transisional pada

Negara Transisi 68

3. “Right to Know” sebagai Perkembangan Hak

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 5: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

iii

 

Untuk Mengetahui Kebenaran dalam Konteks

Keadilan Transisional 73

B. Legalitas Pemberian Amnesti dalam Masa Transisi Politik di Amerika Latin Melalui

Penafsiran Mekanisme Penegakkan HAM Regional

di Amerika Latin 79

1. Praktek Pemberian Amnesti di Cile dan

Argentina 80

2. Penafsiran Mekanisme Penegakkan HAM Regional

Amerika Latin Mengenai Pemberian Amnesti 86

C. Legalitas Amnesti dalam Hukum Internasional

yang Berkaitan Ekstradisi Pinochet dari Inggris 99

D. Hubungan Antara Pemberian Amnesti dengan Komisi

Kebenaran: Praktek di Afrika Selatan dan

Sierra Leone 105

1. Hubungan antara Right to Know dengan

Pembentukan Komisi Kebenaran 105

2. Permasalahan Hukum Internasional dalam Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan 110

3. Amnesti Sebagai Bagian dari Kompromi Politik

Di Sierra Leone yang Didukung oleh Masyarakat

Internasional 119

4. Mekanisme Pemberian Amnesti di Pengadilan

Khusus dan Komisi Kebenaran di Sierra Leone 125

BAB IV TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL ATAS PEMBERIAN AMNESTI

TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL DI INDONESIA

I. Mekanisme Pemberian Amnesti dalam Undang-Undang

tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 6: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

iv

 

A. Latar Belakang Pembentukan Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi 133

B. Berbagai Kelemahan Konsepsi dalam Undang-undang Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi 140

1. Jenis Kejahatan yang Dapat Masuk ke dalam

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Bergantung

Kepada Jenis Kejahatan dalam Pengadilan HAM 140

2. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Bersifat

Substitutif dengan Pengadilan HAM dan Tidak

Bersifat Komplementer 142

3. UU tentang KKR memiliki Kelemahan yang Mendasar

Mengenai Mekanisme Pemberian Amnesti 143

C. Pendapat Ahli Hukum Internasional Mengenai Amnesti beserta Mekanisme Pemberiannya dalam

Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran

dan Rekonsiliasi 145

1. Pendapat Douglass Cassel 146

2. Pendapat Naomi Roht-Arriaza 151

3. Pendapat Paul Van Zyl 154

D. Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi Indonesia Mengenai Konstitusionalitas

Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran

dan Rekonsiliasi 155

E. Permasalahan Hukum Internasional yang Timbul dalam Pengujian Undang-undang tentang Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi 159

1. Kedudukan Hukum Internasional dalam

Konstitusi Indonesia 159

2. Analisis Hukum Internasional terhadap UU

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 7: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

v

   

Tentang KKR Khususnya yang Berkaitan dengan

Pemberian Amnesti 163

II. Mekanisme Pemberian Amnesti dalam Komisi Kebenaran

Dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste

A. Sejarah Pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste 169

1. Konflik dalam Penentuan Jajak Pendapat

Di Timor Timur 170

2. Pembentukan Komisi Penyelidikan (Commission

Of Inquiry) PBB 172

3. Pengadilan HAM di Indonesia dan Pengadilan

Kejahatan Berat di Timor Leste 172

4. Komisi Ahli (Commission of Expert) PBB 176

B. Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia- Timor Leste 177

1. Impunitas sebagai Semangat Pembentukan Komisi

Kebenaran dan Persahabatan 177

2. Kewenangan Komisi Kebenaran dan Persahabatan

Berdasarkan Kerangka Acuan 179

C. Permasalahan Hukum Internasional dalam Komisi Kebenaran dan Persahabatan

Menyangkut Kewenangan Pemberian Amnesti 181

BAB V PENUTUP

A. Simpulan 193

B. Rekomendasi 201

DAFTAR PUSTAKA

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 8: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

1

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Pada sekitar awal tahun 1970an hanya ada sekitar dua

puluh negara demokratis di seluruh dunia.1 Selain di

wilayah Amerika Utara dan Eropa Barat, kekuasaan negara

umumnya didominasi oleh rezim-rezim otoritarianisme,

totalitarianisme, atau komunisme yang anti terhadap

demokrasi liberal. Namun demikian, mulai sekitar tahun

1980an akhir, perubahan terjadi di hampir seluruh dunia.

Rezim-rezim tersebut tumbang dan mulai berjatuhan satu per

satu. Dimulai dari negara-negara di Eropa Tengah seperti

Spanyol dan Portugal, Negara-negara Asia seperti Filipina

                                                                                                                          1 Namun demikian, Amos J Peaslee dalam penelitiannya tahun 1950,

menyatakan bahwa 90 persen negara di dunia dengan tegas mencantumkan dalam konstitusinya bahwa kedaulatan negara berada di tangan rakyat, dan pemerintah bersumber kepada kehendak rakyat. Lihat Constitutions of Nations, vol. I, Concord, (New Haven: The Rumford Press, 1950), sebagaimana dikutip dari Jimly Ashhidiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal. 12.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 9: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

2

 

dan Korea Selatan, Amerika Latin (contohnya Argentina dan

Cile), hingga yang paling siginifikan adalah tumbangnya

rezim sosialis di Eropa Timur yang dimulai sejak 1980an

akhir dan mencapai puncaknya pada tahun 1991 dengan

bubarnya Uni Soviet.2

Keruntuhan dan disintegrasi Uni soviet menandakan

kemenangan mutlak dari demokrasi yang selalu dikampanyekan

oleh kebudayaan Barat.3 Hampir seluruh negara-negara modern

berubah menjadi negara demokrasi, atau setidak-tidaknya

mengklaim telah menerapkan demokrasi. Francis Fukuyama

bahkan mengatakan bahwa proses ini menandai ”akhir dari

sejarah.”4 Huntington menamakan periode ini sebagai

                                                                                                                          2 Lihat buku Samuel Huntington, The Third Wave: Democratization

in The Late Twentieh Century, (Norman and London: University of Oaklahoma Press, 1991).

3 Lihat pengertian “barat” (western civilization) menurut Samuel Huntington, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, (New York: Simon and Schuster, 1996), hal. 46 yang menyatakan, “[w]estern civilization is usually dated as emerging about A.D. 700 or 800. It is generally viewed by scholars as having three major components, in Europe, North America, and Latin America… Latin America, however has a distinct identity which differentiates it from the West. Although an offspring of European civilization, Latin America has evolved along every different path from Europe and North America. … The West, then, includes Europe, North America plus other European settler countries such as Australia and New Zealand.”

4 Tesis ini merupakan buah pemikiran terkenal dari Francis

Fukuyama sebagaimana tercantum dalam bukunya, The End of History and The Last Man, Diterjemahkan oleh MH Amrullah, The End of History and The Last Man, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, (Yogyakarta: Qalam, 1999). Dengan menggunakan model filsafat Hegel,

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 10: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

3

 

“revolusi putih” yang menandai “gelombang ketiga dari

proses demokratisasi” yang menandai dimulainya masa

transisi politik.5

Pemerintahan pada masa transisi politik dari rejim

otoritarianisme menuju demokrasi harus menghadapi tantangan

besar untuk menyelesaikan segala tindakan yang dilakukan

oleh rejim terdahulunya, terutama yang berkaitan dengan

pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat (gross violations

of human rights) sebagai salah satu kejahatan

internasional.6 Selain itu, menurut Kaplan, proses

demokratisasi demikian cenderung memunculkan tantangan

instabilitas, ditandai antara lain dengan perang saudara,

tribalism, bahkan hingga pembantaian etnis.7

Tantangan ini tidak mudah untuk dijawab karena sistem

peradilan domestik di negara transisi tersebut tidak

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       Kant, dan pemikiran kritis atas teori Marx, ia mengemukakan tesis yang terkenalnya, yaitu bahwa runtuhnya Uni Soviet dan ambruknya tembok Berlin secara akurat telah menggambarkan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal di seluruh dunia.

5 Huntington, op. cit.

6 Jeremy Sarkin and Erin Daly, “Too Many Questions, Too Few Answers: Reconciliation in Transnational Societies,” Columbia Human Rights Law Review (Summer 2004): 661.

7 Robert D. Kaplan, The Coming of Anarchy: Shattering Dreams of

the Post Cold War, (New York: Vintage Books, 2000).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 11: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

4

 

selamanya memadai dan efektif untuk menghasilkan keputusan

yang adil. Berbagai alasan dapat diberikan, mulai dari

korupsi sistematik, kurangnya sumber daya manusia yang

memadai, hingga sulitnya melepaskan diri dari kekuasaan

rejim sebelumnya yang masih memiliki pendukung atau

kekuatan politik.8 Permasalahan demikian adalah hal yang

secara umum terjadi pada negara-negara pada masa transisi

politik.9

Terlebih lagi, tantangan utama dari pemerintahan baru

sebenarnya adalah menciptakan perdamaian untuk mewujudkan

kesejahteraan bagi rakyatnya.10 Proses penciptaan perdamaian

                                                                                                                          8 Jane E. Stromseth, “Pursuing Accountability For Atrocities

After Conflict: What Impact On Building Rule of Law?” Georgetown Journal of International Law (Winter 2007): 252.

9 Lebih lanjut lagi, lihat David Tolbert and Andrew Solomon,

“United Nations Reform and Supporting Rule Of Law in Post Conflict Society,” Harvard Human Rights Journal (Spring 2006), yang menyatakan “while post-conflict societies differ from each other in significant respects, they all encounter common problems, including addressing crimes committed during the conflict, reestablishing a functioning government, and healing residual animosities and divisions within the society. In addition to post-conflict issues, these societies must also address problems such as poverty, corruption, and the lack of a legal infrastructure--problems that confront other underdeveloped countries.”

10 Lihat Andi Widjajanto, “Kuadran Perdamaian Demokratik:

Integrasi Instalasi Demokrasi dan Trajektori Perdamaian,” Global Jurnal Politik Internasional 2 (Mei 2005): 10. Dalam kuadran yang disusun oleh penulis, penciptaan “ekonomi dan kesejahteraan” berada pada prioritas ketiga setelah “pengelolaan kekerasan” dan “kekuasaan sebagai determinan.” Setelah ketiga fase ini dilewati, proses transisi politik baru beranjak ke tahap berikutnya, yaitu penciptaan human security, Hak Asasi Manusia, dan kebebasan sipil. Penulis mengutip pernyataan Ted

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 12: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

5

 

tidak selamanya memiliki korelasi yang positif dengan

pencarian keadilan oleh korban-korban pelanggaran masa

lalu.11 Seringkali terjadi proses pencarian keadilan dapat

mengganggu stabilitas politik yang diperlukan dalam

pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan negara menuju

masa mendatang harus diutamakan daripada menyelesaikan

perkara pelanggaran yang terjadi di masa lalu.12

Dalam konteks demikian, tergagas suatu teori yang

dinamakan ”keadilan transisional.” Keadilan transisional

mengandung arti bahwa diperlukan suatu rumusan keadilan

yang terjadi pada masa transisi politik yang bersifat luar

biasa dan konstruktif.13 Permasalahan utama yang hendak

dijawab dalam kerangka berpikir demikian adalah bagaimana

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       Robert Gurr bahwa “pengingkaran terhadap HAM ipso facto dengan pengingkaran terhadap harmoni sosial dan perdamaian.”

11 Milena Sterio, “Rethinking Amnesty,” Denver Journal of International Law and Policy (Spring 2006): 373.

12 Aeyal M. Gross, “The Constitution, Reconciliation, and

Transitional Justice: Lessons From South Africa and Israel,” Stanford Journal of International Law (Winter 2004): 47. Dikatakan, “[t]he main question in transitional justice literature is how a new government can address the atrocities and human rights violations of the previous period. The dilemma centers around the reconciliation of two needs: the need to look backward so as not to allow human rights violations to go unnoticed; and the need to look forward, enabling all sides to participate in the new peace process or the new democracy.”

13 Ruri G. Teitel, Transitional Justice, (Oxford: Oxford

University Press, 2000), hal. 3.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 13: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

6

 

masyarakat memperlakukan kejahatan-kejahatan yang terjadi

di masa lalu, yang mencakup hal-hal berikut:14

a. Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap komitmen rejim

baru terhadap aturan-aturan hukum yang dilahirkan oleh

rejim lama?

b. Tindakan-tindakan hukum apakah yang memiliki

signifikansi transformatif?

c. Apakah (jika ada) terdapat kaitan antara

pertanggungjawaban suatu negara terhadap masa lalunya

yang represif dan prospeknya untuk membentuk suatu

tata pemerintahan yang ideal?

d. Hukum apakah yang potensial sebagai pengantar ke arah

liberalisasi?

Apabila dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat sebagai

bentuk kejahatan internasional, HAM telah menjadi pusat

dari revolusi demokratis yang telah menyentuh setiap bagian

dari dunia sejak lama.15 Sejak awal prinsip demokrasi mulai

                                                                                                                          14 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di

Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2005), hal. 36.

15 Asal-usul konsepsi HAM dapat ditelusuri hingga ke masa Yunani

dan Romawi Kuno, termasuk kaum stoisme seperti Plato dan Aristoteles.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 14: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

7

 

berkembang dari filsafat barat hingga kemudian menjadi

bagian integral dari konsep negara hukum (rule of law atau

dikenal pula dengan rechtstaat), perlindungan terhadap HAM

adalah elemen utama yang tidak dapat dilepaskan.16 Prinsip

HAM terus dijunjung tinggi hingga memasuki era globalisasi

yang meningkatkan kesadaran global atas pentingnya

penegakan supremasi hukum di setiap negara di dunia dan

menjadikan diseminasi nilai HAM sebagai agenda

internasional.17

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       Namun demikian, perkembangan HAM dalam wacana demokrasi dan kenegeraan dimulai pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Berbagai filsuf kenegaraan hingga saat ini terus dikutip setiap membicarakan pemikiran klasik mengenai negara, hukum, demokrasi, dan HAM. Mereka antara lain Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, dan Jean-Jacques Rousseau. Thomas Jefferson dalam Declaration of Independence Amerika Serikat tertanggal 4 Juli 1776 merangkai satu kalimat indah yang berbunyi, “we hold these thruths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights that among these are Life, Liberty, and the Pursuit of Happiness.” Lihat Arinanto, ibid., hal. 76.

16 Lihat Marjanne Termorshuizen-Artz, “The Concept of Rule of

Law,” Jurnal Hukum Jentera 3 (November 2004): 98-100. Baik dalam konsep rule of law yang digagas oleg A.V. Dicey dalam tradisi anglo-saxon, maupun etat de droit dan rechtstaat yang bersumber dari tradisi Eropa Kontinental mengakui keberadaan HAM sebagai elemen utamanya.

17 Lihat Jareed Levinson, “Indonesia’s Odyssey: A Nation’s Long,

Perilous Journey to the Rule of Law and Democracy,” Arizona Journal of International and Comparative Law (Spring, 2001).

Lihat pula Randall Peerenboom, “Human Rights and Rule of Law: What’s The Relationship,” Goergetown Journal of International Law, (Spring 2005).

Sebagai bahan pengayaan, lihat Joel M. Ngungi, “Policing Neo-Liberal Reforms: the Rule of Law as an Enabling and Restrictive Discourse,” University of Pennsylvania Journal of International Economic Law (Fall 2005): 523.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 15: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

8

 

Walaupun demokratisasi berjalan dengan cepat, belum

terdapat jaminan hukum yang memadai bagi proses

penyelesaian perkara kejahatan internasional.18 Pemerintahan

baru yang demokratis seringkali merupakan pewaris dari

rejim diktator yang mempraktekan berbagai kejahatan

internasional seperti kejahatan terhadap kemanusiaan,

pemerkosaan, penyiksaan, penghilangan paksa, dan berbagai

tindakan lain yang merendahkan derajat manusia yang bahkan

tidak pernah terbayangkan bahwa perbuatan kejam tersebut

sanggup dilakukan oleh manusia untuk kepentingan politik.19

Menyikapi fakta demikian, hukum internasional memiliki

peran yang sangat penting dalam proses demokratisasi

                                                                                                                         18 Tinjau pernyataan Pereenbom, Ibid. Dikatakan bahwa “Rule of

law is central to efforts to hold former leaders accountable and to establish a rights-respecting regime. However, transitional justice and nation-building create special challenges from a rule of law perspective. As we have seen in Somalia, Bosnia, East Timor, Liberia, Afghanistan, Iraq, the former Soviet Republics and now Haiti (again), regime change is the relatively easy part. The difficult task is the post-regime construction of a new state capable of good governance, implementing rule of law and democracy and respecting human rights.”

19 Sarkin and Daly, op. cit., hal. 662, mengatakan “[U]nderstanding reconciliation in times of political transition raises fundamental and ultimately unanswerable questions about the human condition. Talk of reconciliation invariably comes after there has been some gross violation of norms, including widespread disappearances, killings, torture, and rape. Reconciliation necessarily conjures its antecedents and forces us to ask how men (and sometimes women) can visit such horrors upon one another. When we look at the face of evil, are we, as many people contend, seeing ourselves, or, on the contrary, are some people capable of evil in a way that others would never approach?”

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 16: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

9

 

ataupun pembangunan perdamaian (peace-building)20 yang

berbasiskan prinsip-prinsip HAM. Sejak berakhirnya Perang

Dunia ke II, perkembangan nilai-nilai Hak Asasi Manusia

(HAM) telah menjadi fokus yang luar biasa dari masyarakat

internasional.21 Tonggak monumental gerakan HAM

internasional (international human rights movement) adalah

Piagam PBB (UN Charter) dan Deklarasi Umum HAM PBB (DUHAM/

Universal Declaration of Human Rights). Sejak saat itu,

gerakan HAM internasional terus berevolusi menghasilkan

beragam perangkat hukum HAM internasional (international

human rights law).22

                                                                                                                          20 Menurut Galtung, fokus utama dari proses peacebuilding adalah

“the practical implementation of peaceful social change through socio-economic reconstruction and development.” Lihat Johan Galtung, ed, Peace, War, and Defense -Essay in Peace Research, (Copenhagen: Christian Ejlers, 1975) sebagaimana dikutip oleh Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, Contemporary Conflict Resolution, (London: Polity Press, 1999), hal. 1987 dalam Aleksius Jemadu, “Proses Peacebuliding di Aceh: Dari MoU Helsinki menuju Undang-undang Tentang Pemerintahan Aceh,” Jurnal Hukum Internasional 4 (Juli 2006): 527-552.

21 Martin Dixon, Textbook on International Law, (London:

Blackstone Press, 1990), hal. 310. Rebecca M.M. Wallace, International Law, 2nd Edition, (London: Street & Maxwell, 1992), hal 195.

22 Perangkat hukum HAM internasional ini antara lain Convention Relating to the Status of Refugees, International Covenant on Civil and Political Rights, International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, dsb. Kemudian dapat ditambahkan dengan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Rwanda dan Yugoslavia, dan International Criminal Court Statute 1998. Martin Dixon, Ibid, hal. 312-139, Rebecca M.M. Wallace, Ibid, hal. 197-206., Henry J. Steiner

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 17: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

10

 

Evolusi dalam hukum HAM internasional tersebut

menyebabkan hukum internasional tidak hanya mengatur

hubungan antar-negara, namun juga mengenal

pertanggungjawaban individu yang melaksanakan kejahatan

yang dianggap sebagai kejahatan internasional.23 Semenjak

Peradilan Internasional dilaksanakan di Nurenberg dan Tokyo

untuk mengadili penjahat Perang Dunia-II, hukum pidana

internasional mengalami perkembangan yang pesat. Peran

masyarakat internasional dalam mengadili kejahatan

internasional semakin gencar antara lain dengan pembentukan

International Criminal Tribunal for Yugoslavia (ICTY) dan

International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang

diprakarsai oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-

Bangsa.24 Selain itu, terdapat pula peradilan hibrid yang

dibentuk di Sierra Leone,25 upaya masyarakat internasional

dalam menciptakan perdamaian dan keadilan di Irak pasca

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       and Phillip Alston, International Human Rights in Context Law, Politics, Morals, 2nd ed, (Oxford: Oxford University Press, 2000).

23 Mark D. Kielsgard, “War On the International Criminal Court,”

New York City Law Review (Summer 2005): 10.

24 Ibid., hal. 10. 25 Ambassador Richard S. Williamson, “Transitional Justice: The

UN and The Sierra Leone Special Court,” Cardozo Public Law, Policy and Ethics Journal (December 2003): 3.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 18: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

11

 

serangan Amerika Serikat,26 dan yang terpenting adalah

pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International

Criminal Court) sebagai forum untuk mengadili pelaku

pelanggaran HAM berat.

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana menegakan

prinsip-prinsip HAM yang diakui oleh masyarakat

internasional dalam negara yang sedang mengalami masa

transisi politik? Apakah hukum internasional memiliki suatu

ketentuan khusus yang mengatur mengenai penyelesaian

perkara pelanggaran HAM berat dalam masa transisi politik?

Berbagai metode dapat diungkapkan berdasarkan praktek-

praktek empiris negara-negara di dunia. Metode yang

konvensional adalah pencarian keadilan melalui mekanisme

yudisial. Dalam hal ini, mekanisme peradilan merupakan

instrumen utama yang perlu dikaji penerapannya agar dapat

berlaku efektif. Namun demikian, Peerenboom mengatakan

bahwa penggunaan mekanisme yudisial/peradilan yang terlalu

besar dalam situasi transisi politik sebagai konsep

keadilan transisional dapat menghambat pengembangan proses

politik yang dibutuhkan untuk konsolidasi dan ketahanan

                                                                                                                          26 Anna Triponel, “Can The Iraqi Special Tribunal Further

Reconciliation in Iraq,” Cardozo Journal of International and Comparative Law (Fall 2007): 277.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 19: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

12

 

sistem demokrasi.27 Terlebih, demokratisasi membutuhkan

stabilitas agar mampu bertahan. Di sisi lain, pengadilan

merupakan proses “win-lose,” artinya akan ada pihak yang

menang dan pihak yang kalah, apakah itu penuntut umum atau

terdakwa. Padahal, proses rekonsiliasi menuju perdamaian

membutuhkan solusi “win-win” berupa kompromi politik,

ekonomi, dan budaya agar kepentingan setiap pihak dapat

terpenuhi.28

Dalam kondisi demikian, ketika tujuan transisi politik

bertentangan dengan penyediaan mekanisme pertanggungjawaban

atas kejahatan masa lalu, amnesti dapat dianggap sebagai

suatu jawaban. Pada satu sisi, banyak mantan penguasa rejim

atau diktator yang tidak mau meninggalkan kekuasaannya

apabila tidak ada jaminan bahwa ia dan rejimnya akan

dihadapkan dengan tuntutan pidana. Di sisi lain, kelompok

masyarakat, termasuk komunitas internasional, menginginkan

pertanggungjawaban atas tindakan masa lalu, sekaligus

                                                                                                                          27 Peerenboom, op. cit., mengatakan “the expanding role of the

courts in transitional states raises questions about the preferred form of constitutional review and whether relying too heavily on the judiciary may hinder the development of political processes needed to consolidate and sustain democracy. Courts are increasingly being called on to decide controversial issues that plunge the judiciary into the middle of political disputes.”

28 Stromseth, op. cit., hal. 251.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 20: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

13

 

pengunduran diri dari rejim yang berkuasa.29 Legislasi

mengenai amnesti bertujuan untuk mengatasi dilema30 ini di

berbagai negara, mulai dari Cile, Bosnia, Afrika Selatan,

hingga Bosnia dengan memberikan amnesti bagi diktator dan

segenap rejim di masa lalu, baik dari pertanggungjawaban

pidana maupun perdata.31 Dengan pemberian amnesti, suatu

negara dianggap menghapus segala masa lalunya yang kelam

dan memulai proses bernegara dengan lembaran baru yang

jernih.32

Amnesti dianggap sebagai instrumen yang tepat dalam

mempercepat dan memperlancar proses transisi politik karena

mampu memfasilitasi penyerahan diri secara damai (non-

violent surrender) dari kekuasaan para mantan diktator.

                                                                                                                          29 William W. Burke-White, “Reframing Impunity: Appling Liberal

International Law Theory to an Analysis of Amnesty Legislation,” Harvard International Law Journal (Summer 2001): 467.

30 Adapun dilema yang dimaksud dilukiskan dengan tepat oleh

Sterio, op.cit., hal. 372, yang mengatakan, “[T]he more difficult question however entails defining when - despite a country's treaty and customary obligations - amnesties and truth commissions are legal. For example, if instituting criminal prosecutions would cause a serious threat to a country's political and social stability, can a government then substitute its duty to punish human rights abuses by implementing amnesty laws and establishing truth commissions? “

31 Burke-White, op. cit., hal. 467. 32 Anita Fröhlich, “Reconciling Peace With Justice: a Cooperative

Division of Labor,” Suffolk Transnational Law Review (Summer 2007): 271.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 21: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

14

 

Amnesti juga dianggap mampu mengurangi kerusuhan sosial di

tingkat domestik maupun tuntutan masyarakat internasional

yang dapat berujung pada intervensi, misalnya dengan

pembentukan peradilan ad-hoc internasional.33

Namun demikian, terdapat beberapa permasalahan dalam

pemberian amnesti. Pertama, dalam beberapa negara,

legislasi tentang pemberian amnesti diberlakukan oleh

mantan diktator itu sendiri sebelum ia turun dari

kekuasaan. Pemberlakuan legislasi amnesti dilakukan untuk

memastikan bahwa dirinya tidak akan dituntut setelah ia

mundur dari kekuasaan. Kedua, amnesti juga dapat

menimbulkan konflik dengan konstitusi atau hukum nasional

dari negara tersebut. Ketiga, amnesti dianggap melanggar

kewajiban negara dalam hukum internasional untuk menuntut

pelaku beberapa kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan

internasional, selain juga kewajiban negara untuk memenuhi

hak-hak korban dari kejahatan.34

Permasalahan hukum internasional mengenai pemberian

amnesti bagi pelaku kejahatan internasional juga dialami

                                                                                                                          33 Burke-White, op. cit., hal. 467. 34 Burke-White, op. cit., hal. 467. Lihat pula Stromseth, op.

cit., hal. 251.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 22: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

15

 

oleh Indonesia. Indonesia sebagai negara yang mengalami

masa transisi politik dari rejim otoritarianisme Orde Baru

menuju demokratisasi Era Reformasi membentuk Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai salah satu

instrumen dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di

masa lalunya.35

Kewenangan KKR yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang

Nomor 27 tahun 2004 secara garis besar antara lain adalah

menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban, atau

keluarga korban yang merupakan ahli warisnya; melakukan

penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran hak asasi

manusia yang berat; memberikan rekomendasi kepada presiden

dalam hal permohonan amnesti; dan menyampaikan rekomendasi

kepada pemerintah dalam hal pemberian kompensasi dan/ atau

rehabilitasi.36 Perdebatan timbul ketika Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia membatalkan UU mengenai KKR dengan

                                                                                                                          35 Kajian pembentukan KKR di Indonesia, lihat Satya Arinanto,

”Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Permasalahan dan Prospek Pembentukannya di Indonesia,” (Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003). Lihat juga Usman Hamid, ”Menjajaki Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” Teropong 4 (Januari 2004).

36 Republik Indonesia, Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU No. 27 tahun 2004, LN No. 114 tahun 2004, TLN No. 4425, Pasal 6.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 23: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

16

 

pertimbangan bahwa mekanisme pemberian amnesti dalam KKR

dianggap melanggar hukum internasional. 37

Lembaga lain yang memiliki kewenangan dalam

memberikan rekomendasi amnesti adalah Komisi Kebenaran dan

Persahabatan (KKP), suatu lembaga yang dibentuk atas

inisiatif bersama Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah

Timor Leste. Komisi ini bertujuan untuk menentukan

kebenaran yang konklusif terhadap segala kejadian yang

berkaitan dengan jajak pendapat di Timor Timur pada 1999,

mendukung rekonsiliasi dan persahabatan di antara kedua

negara, dan mencegah perbuatan yang sama terjadi kembali.38

Rekomendasi pemberian amnesti menjadi salah satu kewenangan

yang dimiliki oleh KKP dalam mencapai tujuan tersebut.39

Sebagai suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan kesepakatan

dua negara, kewenangan pemberian rekomendasi amnesti yang

dimiliki oleh KKP juga menarik untuk dikaji dalam segi

hukum internasional.

                                                                                                                          37 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. VI/PUU-IV/2006 tentang

pengujian UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. 38 Lihat “Terms of Reference for The Commission of Truth and

Friendship Established by The Republic of Indonesia and The Democratic Republic of Timor-Leste,” http://www.ctf-ri-tl.org/ctf1/index.php? option=com_content&task=view&id=61&Itemid=44 (10 Maret 2008).

39 Ibid.  

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 24: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

17

 

Kedua permasalahan tersebut sangat terkait dengan

komitmen Indonesia dalam menyelesaikan perkara kejahatan

internasional di masa lampau. Pemberian amnesti terhadap

pelaku kejahatan internasional di satu sisi dapat mendukung

proses rekonsiliasi, sementara di sisi lain dapat

menciptakan impunitas dengan dampak lebih jauh

ketidakpercayaan publik terjadap supremasi hukum. Proses

bernegara dan membangun bangsa (nation-building) memang

merupakan keniscayaan, namun akan sangat sulit tercapai

apabila negara tersebut tidak mampu menyelesaikan, atau

setidak-tidaknya menentukan sikap, atas pelanggaran HAM

berat yang terjadi pada masa lalunya. Atas dasar ini,

perumusan mengenai legalitas pemberian amnesti dalam hukum

internasional maupun penerapannya di Indonesia menjadi

salah satu pijakan utama yang perlu diperkuat guna

memperlancar proses pembangunan Indonesia di masa mendatang

tanpa menjadikan negara dan masyarakatnya seolah mengalami

“amnesia kolektif” atas segala pelanggaran HAM berat yang

terjadi di masa lalu.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 25: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

18

 

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan

pokok permasalahan sebagai berikut.

1. Apa ketentuan hukum internasional yang mengatur

mengenai pemberian amnesti terhadap pelaku kejahatan

internasional?

2. Apakah dalam hukum internasional dimungkinkan

pemberian amnesti terhadap pelaku kejahatan

internasional yang terjadi dalam masa transisi

politik?

3. Bagaimana penerapan hukum internasional mengenai

pemberian amnesti terhadap pelaku kejahatan

internasional di Indonesia pada era reformasi?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran

komprehensif dan memperluas kajian mengenai masalah

pemberian amnesti bagi pelaku kejahatan internasional dalam

hukum internasional dan pengaturannya di Indonesia.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 26: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

19

 

2. Tujuan Khusus

Berdasarkan tujuan umum tersebut, dapat dirumuskan

menjadi tujuan khusus yaitu:

1. Memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai

ketentuan hukum internasional yang mengatur

mengenai pemberian amnesti terhadap pelaku

kejahatan internasional;

2. Mengkaji ketentuan hukum internasional yang

mengatur mengenai pemberian amnesti terhadap pelaku

kejahatan internasional dalam masa transisi

politik;

3. Mengkaji implikasi hukum internasional pemberian

amnesti terhadap pelaku kejahatan internasional di

Indonesia

D. Kerangka Konsepsional

Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang

menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang

ingin atau akan diteliti.40 Di dalam penelitian ini,

                                                                                                                          40 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI

Press, 2005), hal.132.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 27: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

20

 

dirumuskan serangkaian definisi operasional sebagai

berikut.

1. Amnesti

Pemberian maaf yang diberikan oleh pemerintah kepada

suatu kelompok atau seseorang, lazimnya karena

kejahatan politik; tindakan dari kekuasaan yang

berdaulat untuk memaafkan sekelompok orang yang

seharusnya diadili namun belum pernah diputus oleh

pengadilan.41

2. Hak Asasi Manusia

Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa

dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,

dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,

                                                                                                                          41 Black’s Law Dictionary (8th ed 2004) mengatakan, “[A] pardon

extended by the government to a group or class of persons, usu. for a political offense; the act of a sovereign power officially forgiving certain classes of persons who are subject to trial but have not yet been convicted.”

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 28: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

21

 

pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia.42

3. Kejahatan Internasional

Kejahatan internasional merupakan kejahatan yang

paling serius dalam perhatian masyarakat internasional

secara keseluruhan berupa pelanggaran berat dari

prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia sehingga dapat

dihukum berdasarkan perjanjian internasional atau

hukum kebiasaan internasional. Dalam Statuta Mahkamah

Pidana Internasional (MPI), kejahatan internasional

diidentifikasikan sebagai kejahatan genosida,

kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan

kejahatan agresi.43

                                                                                                                          42 Republik Indonesia, Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia,

UU Nol 39 tahun 1999, LN No. 165 tahun 1999, TLN No. 3886, Pasal 1 ayat (1).

43  Dalam Preamble Statuta MPI, dikatakan “Affirming that the most

serious crimes of concern to the international community as a whole must not go unpunished and that their effective prosecution must be ensured by taking measures at the national level and by enhancing international cooperation,” (huruf tebal dari penulis).

Sementara Pasal 5 menyatakan “The jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this Statute with respect to the following crimes:

(a) The crime of genocide; (b) Crimes against humanity; (c) War crimes;

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 29: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

22

 

4. Keadilan Transisional

Konsepsi keadilan yang diasosiasikan dengan periode

perubahan politik dan memiliki karakter terkait dengan

respons hukum dalam menghadapi segala kejahatan dan

pelanggaran yang dilakukan oleh rejim represif

terdahulu.44

5. Impunitas

Impunitas adalah ketidakmungkinan, secara de jure

maupun de facto, untuk membawa pelaku pelanggaran HAM

baik secara pidana, perdata, administratif, atau

sanksi disipliner karena pelaku tersebut tidak menjadi

bagian dari pemeriksaan yang dapat membuat mereka

dituduh, ditahan, diadili, atau dipidana.45

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       (d) The crime of aggression.”

44 Ruri G. Teitel dalam Dana Michael Hollywood, “The Search for

Post-Conflict Justice in Iraq: A Comparative Study of Transitional Justice Mechanisms and Their Applicability to Post-Saddam Iraq,” Brooklyn Journal of International Law (2007). Dinyatakan bahwa "the conception of justice associated with periods of political change, characterized by legal responses to confront the wrongdoings of repressive predecessor regimes."

45 Christopher C. Joyner, “Redressing Impunity for Human Rights

Violations: The Universal Declaration and the Search for Accountability,” 26 Denver Journal of International Law and Policy (1998): 595, dalam Sterio, op. cit., hal. 397. Dikatakan, “the impossibility, de jure or de facto, of bringing the perpetrators of

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 30: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

23

 

6. Transisi Politik

Peralihan atau perubahan pemerintahan yang terjadi di

berbagai negara.46

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode kepustakaan. Tipologi penelitian yang

digunakan menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif,

menurut bentuknya adalah penelitian preskriptif, menurut

tujuannya ialah penelitian problem identification, menurut

penerapannya ialah penelitian berfokus masalah, dan menurut

ilmu yang dipergunakan ialah penelitian monodisipliner.

Penelitian ini dirancang menggunakan menggunakan

pendekatan yang bertujuan mempertahankan keutuhan dari

gejala yang diteliti,47 yaitu permasalahan hukum

internasional dalam pemberian amnesti. Jenis pengambilan

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       human rights violations to account - whether in criminal, civil, administrative or disciplinary proceedings - since they are not subject to any inquiry that might lead to them being accused, arrested, tried and if found guilty, convicted.”

46 Arinanto, op. cit., hal. 54. 47 Soerjono Soekanto, op. cit., hal.132.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 31: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

24

 

data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder.

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini

mencakup:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat. Dalam penelitian ini digunakan

peraturan perundang-undangan nasional dan perangkat

lain yang menjadi sumber hukum internasional.48

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat

kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum

primer, yang antara lain adalah teori atau pendapat

para sarjana, hasil karya dari kalangan hukum, atau

penelusuran internet.

Mengenai alat pengumpulan data, peneliti memakai studi

pustaka (studi dokumen). Metode pendekatan analisis data

                                                                                                                         48 Berdasarkan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional,

sumber hukum internasional adalah: 1. Konvensi internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus,

dengan menunjuk ketentuan-ketentuan yang jelas diakui oleh negara yang sedang berselisih;

2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari praktek umum yang diterima sebagai hukum;

3. Prinsip-prinsip hukum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;

4. Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 59, keputusan hakim dan ajaran ahli hukum yang terpandang di berbagai negara, sebagai bahan pelengkap untuk penentuan peraturan hukum.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 32: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

25

 

yang dipergunakan adalah metode kualitatif yang

menghasilkan data deskriptif analitis. Data yang disajikan

dalam bentuk kalimat, tidak dalam bentuk data statistik.

Uraian yang dilakukan peneliti terhadap data yang terkumpul

dengan tidak menggunakan angka-angka, tetapi berdasarkan

pada peraturan perundang-undangan, putusan peradilan

internasional dan nasional, pandangan para pakar termasuk

yurisprudensi yang ada. Adapun bentuk penelitian ini adalah

berbentuk penelitian deskriptif-analitis.

F. Kegunaan Teoritis dan Praktis

1. Kegunaan Teoritis

Dalam tinjauan teoretis, penelitian ini berguna untuk

memperkaya literatur ilmu hukum hak asasi manusia

internasional yang semakin berkembang, terutama yang

berkaitan dengan masalah pemberian amnesti bagi pelaku

kejahatan internasional.

2. Kegunaan Praktis

Dalam tataran praktis, penelitian ini berguna sebagai

pedoman bagi advokat, hakim, aparatur pemerintah, diplomat,

serta pembuat peraturan perundang-undangan dalam menghadapi

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 33: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

26

 

permasalahan yang berkaitan dengan pemberian amnesti bagi

pelaku kejahatan internasional.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari lima bab yang mana masing-

masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Bab pertama

merupakan pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang

permasalahan, rumusan permasalahan, tujuan penelitian,

kerangka konsepsional, metode penelitian, kegunaan teoritis

dan praktis, serta sistematika penulisan.

Bab kedua membahas mengenai tinjauan hukum

internasional terhadap pemberian amnesti terhadap pelaku

kejahatan internasional yang mana akan dijelaskan mengenai

konsep dasar kejahatan internasional, amnesti, kewajiban

untuk melakuka penindakan atas kejahatan internasional

dalam hukum internasional, hak korban kejahatan

internasional, serta hubungan antara pemberian amnesti

dengan proses penyelesaian perkara kejahatan internasional

pada Mahkamah Pidana Internasional.

Bab ketiga memberikan penjelasan mengenai pemberian

amnesti terhadap pelaku kejahatan internasional yang

terjadi pada masa transisi politik. Dalam bab ini akan

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 34: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

27

 

dibahas mengenai konsep keadilan transisional, praktek

pemberian amnesti di berbagai negara, serta permasalahan

hukum internasional yang terkait dengan pemberian amnesti

bagi pelaku kejahatan internasional.

Bab keempat akan menganalisis kerangka hukum pemberian

amnesti bagi pelaku kejahatan internasional di Indonesia

ditinjau dalam perspektif hukum internasional. Bab kelima,

yang merupakan bab penutup, akan memberikan simpulan dan

rekomendasi atas penelitian yang dilakukan.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 35: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

28

 

BAB II

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL ATAS PEMBERIAN AMNESTI

TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL

A. Tinjauan Umum Mengenai Kejahatan Internasional

Suatu kejahatan dikualifikasi sebagai kejahatan

internasional apabila dianggap oleh masyarakat

internasional sebagai perbuatan jahat.49 Black memberikan

tiga persyaratan suatu kejahatan dianggap sebagai kejahatan

internasional.50 Pertama, kejahatan tersebut diatur dalam

perjanjian internasional atau termaktub dalam hukum

kebiasaan internasional, yang mana ketentuan hukum tersebut

harus dapat menimbulkan hak dan kewajiban langsung kepada

                                                                                                                          49 Lihat kembali catatan kaki nomor 43 yang membahas rumusan

dalam Statuta Mahkamah Pidana Internasional (MPI) yang menggunakan terminologi “the most serious crime to the concern of the international community.” Untuk tinjauan historis mengenai kejahatan internasional yang tunduk pada rejim hukum pidana internasional, lihat Geoffrey Robertson, “Ending Impunity: How International Criminal Law Can Put Tyrants on Trial,” Cornell International Law Journal (Fall 2005): 655.

50 Black’s Law Dictionary (8th ed, 2004), op. cit. Kata kunci:

“international crime.”

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 36: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

29

 

individu tanpa melalui hukum domestik.51 Kedua, ketentuan

hukum tersebut harus dapat diterapkan berdasarkan prinsip

yurisdiksi universal. Ketiga, perjanjian internasional yang

membentuk suatu tindak kejahatan internasional tersebut

harus mengikat mayoritas negara-negara di dunia.

Pada awalnya, prinsip yurisdiksi universal terhadap

kejahatan internasional diterapkan terhadap kejahatan bajak

laut (piracy) di laut bebas karena dilakukan di wilayah

yang tidak berada di dalam kedaulatan negara mana pun. Oleh

karena itu, awal perkembangan yuridiksi universal diarahkan

untuk menghukum pelaku kejahatan yang tidak mampu dijangkau

oleh hukum domestik, bukan karena kejahatan tersebut

dianggap oleh masyarakat internasional sebagai kejahatan

yang sangat serius.52 Namun dalam perkembangannya, beberapa

                                                                                                                          51 Pertanggungjawaban individu dalam hukum internasional

berkembang pesat pasca Pengadilan Militer Internasional Nuremberg. Bahkan dalam Pasal 6 Piagam Pengadilan Militer Internasional, para pemimpin, organisator, instigator, dan pembantu yang berpartisipasi untuk merencanakan atau berkonspirasi untuk melakukan kejahatan tersebut di atas, bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh masing-masing orang yang melaksanakan. Lihat Mark D. Kielsgard, “War on the International Criminal Court,” New York City Law Review (Summer 2005): 1-5.

52 Geoffrey Robertson, Crimes Against Humanity: The Struggle for

Global Justice, (London: Penguin Group, 2006), hal. 274. Bandingkan dengan Pembukaan Statuta MPI yang jelas menggambarkan

penerapan yurisdiksi universal atas dasar perhatian bersama masyarakat internasional mengenai kejahatan yang paling serius. Dikatakan,

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 37: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

30

 

ahli mengungkapkan bahwa logika yang serupa dapat digunakan

untuk menerapkan yuridiksi universal ke dalam kejahatan

internasional lainnya.53 Dengan logika ini, penindakan atas

kejahatan internasional berada pada yurisdiksi universal

karena negara yang sebenarnya memiliki yurisdiksi atas

kejahatan tersebut tidak mampu atau tidak mau untuk

menuntaskan kejahatan tersebut.54

Berlandaskan atas prinsip yurisdiksi universal ini,

setiap negara sebagai satu bagian dari masyarakat

internasional memiliki kewajiban bersama, atau kewajiban

erga omnes, untuk menindak pelaku kejahatan internasional.55

Prinsip ini sudah dianut sejak lama berdasarkan kebiasaan

internasional atas dasar adanya praktik negara-negara di

dunia dan didukung oleh opinio juris.56 Kewajiban orga omnes

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       “the most serious crimes of concern to the international community as a whole must not go unpunished and that their effective prosecution must be ensured by taking measures at the national level and by enhancing international cooperation.” 53 Robertson, Ibid., hal. 274. 54 Lihat Pasal 17 Statuta MPI. Prinsip demikian erat kaitannya

dengan tanggung jawab komplementaris Mahkamah Pidana Internasional dan bertujuan untuk mencegah impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Penjelasan lebih lengkap, lihat James Paul Benoit, “The Evolution of Universal Jurisdiction Over War Crimes,” Naval Law Review (2006): 292.

55 Lihat Gabriel Bottini, “Universal Jurisdiction After the

Creation of The International Criminal Court,” New York University Journal of International Law and Politics (Winter-Spring 2004): 518.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 38: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

31

 

atas kejahatan internasional dapat dilihat dalam putusan

Mahkamah Internasional dalam Barcelona Traction Case yang

mengatakan,

”such erga omnes obligations derive, for example, in contemporary international law, from the outlawing of acts of aggression, and of genocide, as also from the principles and rules concerning basic rights of the human persons, including protection from slavery and racial discrimination.”57

Beberapa ahli berpendapat bahwa kewajiban erga omnes

demikian timbul karena kejahatan internasional mengandung

karakter jus cogens,58 didefinisikan dalam Pasal 53 Konvensi

Wina mengenai Perjanjian Internasional sebagai ”accepted

and recognized by the international community of States as

a whole from which no derogation is permitted.”59 Namun

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       56 Opinio juris merupakan suatu konsep hukum yang penting dalam

menentukan keberadaan hukum kebiasaan internasional. Opinio juris berarti adanya kebutuhan (necessity) dari negara-negara untuk menjadikan praktek negara-negara tersebut menjadi suatu hukum yang mana setiap negara wajib untuk mematuhinya. Lihat Nicaragua Case, (Military and Paramilitary Activities In and Against Nicaragua) (Nicaragua v. the United States) Case (Merits) ICJ Rep. 1986, hal. 1 dalam Wallace, op. cit., hal. 16.

57 Barcelona Traction Case (1970), ICJ Reports 3, hal. 32. 58 Robertson, op. cit., hal. 95 dan hal. 266. Dalam literatur

ini, dijelaskan beberapa putusan pengadilan yang menyatakan pelanggaran HAM berat sebagai pelanggaran terhadap norma jus cogens, termasuk di dalam perkara Augusto Pinochet yang disidangkan di Inggris.

59 United Nations, Vienna Convention on the Law of Treaties,

Pasal 5.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 39: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

32

 

demikian, pendapat ini masih menimbulkan banyak perdebatan

karena tidak semua kejahatan internasional dapat

dikategorikan mengandung karakter jus cogens.60 Menurut

Bassiouni, suatu kejahatan internasional yang mengandung

karakter jus cogens memberikan implikasi bahwa terdapat

kewajiban untuk menuntut atau mengekstradisi kejahatan

tersebut, tidak dimungkinkan diadakan pembatasan, dan

berlakunya prinsip yurisdiksi universal terlepas dari

lokasi kejahatan, pelaku kejahatan, korban kejahatan, dan

konteks terjadinya kejahatan (pada masa damai ataupun

perang).61

Perkembangan mengenai bentuk kejahatan internasional

saat ini sendiri sangat pesat. Pada awalnya, Prinsip

Nuremberg memberikan pedoman mengenai kejahatan

internasional, yaitu terdiri dari kejahatan terhadap

perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap

kemanusiaan.62 Sementara saat ini, yang dianggap sebagai

kejahatan internasional adalah kejahatan bajak laut dan

                                                                                                                          60 Bottini, op. cit., hal. 158. 61 M. Cherif Bassiouni (a), Introduction to International

Criminal Law, (2003), hal. 167. 62 Mengenai sejarah macam kejahatan ini, lihat juga Benoit, op.

cit., hal. 271.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 40: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

33

 

empat jenis kejahatan yang tercantum dalam Statuta

pendirian Mahkamah Pidana Internasional (MPI), yaitu

genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes

against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan

kejahatan melancarkan perang agresi (the crime of

aggression).63

B. Sejarah Pemberian Amnesti

Berdasarkan prinsip kedaulatan, setiap negara memiliki

kekuasaan untuk memberikan pengampunan (pardon) terhadap

                                                                                                                          63 Dalam literatur hukum internasional dikenal juga istilah

pelanggaran Hak Asasi Manusia berat (gross violation of human rights). Dalam Maastricht Seminar on the Right to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms tahun 1992, disimpulkan bahwa,

"The notion of gross violations of human rights and fundamental freedoms includes at least the following practices: genocide, slavery and slavery-like practices, summary or arbitrary executions, torture, disappearances, arbitrary and prolonged detention, and systematic discrimination" Lihat Stanislav Chernichenko, Definition of Gross and Large Scale

Violations of Human Rights as an International Crime, United Nations Economic and Social Council Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities E/CN.4/Sub.2/1993/10, 8 Juni 1999

http://www.unhchr.ch/Huridocda/Huridoca.nsf/TestFrame/fbfa353eea4c65d802567620054f3d0?Opendocument)(2 Maret 2008).

Selanjutnya, Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 827 tahun 1993 yang membentuk International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY), dikatakan bahwa bentuk pelanggaran HAM berat adalah genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan demikian, secara yuridis dua kejahatan ini lah yang dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM berat.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 41: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

34

 

siapapun yang melanggar hukum domestiknya.64 Pengampunan

yang diberikan terhadap keseluruhan anggota dari satu kelas

tertentu disebut juga dengan amnesti. Amnesti telah

digunakan sejak lama, baik atas dasar kasih (memaafkan

mereka yang telah menjalani hukuman atas kejahatan yang

dilakukan), politik (untuk mengakhiri suatu perang atau

pemberontakan), yuridis (untuk merehabilitasi terpidana

yang ternyata tidak bersalah), dan bahkan seremonial

(misalnya dalam rangka peringatan hari kenegaraan).65

Sejarah amnesti pertama dikenal dalam tradisi common

law, yakni ketika Inggris membentuk suatu mekanisme

pengampunan bagi pelaku kejahatan yang berperan sebagai

”informan” untuk kepentingan pemerintah. Pengampunan dapat

dibatalkan kemudian apabila terbukti terdapat pemalsuan

informasi, tidak dibukanya semua informasi yang diperlukan,

atau kegagalan untuk memenuhi persyaratan yang diberikan

oleh pemerintah.66 Dalam praktek awal ini, amnesti

dimaksudkan untuk membersihkan seseorang dari catatan                                                                                                                          

64 Prinsip kedaulatan dari negara-bangsa (nation-state) merupakan

landasan utama dalam perkembangan hukum internasional. Wallace, op. cit., hal. 4.

65 Robertson, op. cit., hal. 297. 66 Robertson, op. cit., hal. 298.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 42: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

35

 

kejahatan. Amnesti membuat seseorang seolah-oleh menjadi

”orang baru,” meskipun tidak menghapuskan status bahwa

orang tersebut pernah melakukan kejahatan.67

Legislasi amnesti sejak awal sejarahnya selalu identik

dengan situasi masa konflik. Salah satu legislasi amnesti

terpenting adalah pada tahun 1660 dalam masa perang sipil

di Inggris, ketika parlemen Inggris dan Raja Charles II

mengeluarkan legislasi untuk mengampuni pendukungnya,

sementara pihak oposisi yang kalah dalam perang saudara

tersebut diadili dan dihukum.68 Dalam tradisi common law

pula, Presiden Abraham Lincoln pada masa perang saudara di

Amerika Serikat (AS) mengeluarkan legislasi amnesti, yang

kemudian didukung oleh Mahkamah Agung AS, untuk menarik

kaum konfederasi membelot ke sisinya.69

Sejarah pemberian amnesti juga kerap diasosiasikan

dengan intervensi politik terhadap proses hukum untuk

                                                                                                                         67 Amnesti dikatakan “to clear the person from all infamy… it

makes him, as it were, a new man although it did not create the legal fiction that the beneficiary never committed the crime in the first place.” Robertson, op. cit., hal. 297.

68 “Charles II, 1660: An Act of Free and Generall Pardon

Indempnity and Oblivion,” Statutes of the Realm: volume 5: 1628-80 (1819), hal. 226-234. http://www.british-history.ac.uk/report.aspx? compid=47259 (16 Maret 2008).

69 Lihat “Confederate Amnesty,” http://www.sonofthesouth.net/

leefoundation/civil-war/1865/May/confederate-amnesty.htm (16 Maret 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 43: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

36

 

kepentingan golongan tertentu saja. Atas nama kepentingan

publik, amnesti dapat disalahgunakan misalnya untuk

digunakan sendiri oleh pelaku kejahatan itu sendiri dalam

membebaskan dirinya.

Menurut Robertson, putusan Privy Council70 dalam kasus

Attorney-General of Trinidad and Tobago v. Lennox Phillips

memberikan dasar pemahaman mengenai amnesti di masa modern

terutama dalam kaitannya dengan penyalahgunaannya.

Berdasarkan putusan ini, amnesti dapat diberikan terhadap

kejahatan masa lalu, namun tidak dapat digunakan untuk

terbebas dari hukuman atas kejahatan yang belum dilakukan

di masa mendatang.71 Hal ini untuk menghindari pemberian

atas amnesti untuk menyingkirkan aturan hukum yang berlaku

                                                                                                                          70 Privy council merupakan lembaga peradilan tingkat akhir yang

berkedudukan di Inggris Raya bagi negara-negara persemakmuran. Oleh karena itu, meskipun merupakan peradilan domestik, privy council mengadili kasus-kasus di negara lain. Pasal 38 Statuta MI tidak melarang putusan peradilan domestik sebagai sumber hukum internasional sepanjang kekuatan dan kualitasnya diakui masyarakat internasional. Wallace, op. cit., hal. 27.

71 Dalam perkara ini, teroris menuntut diberikan amnesti dengan

melakukan penyanderaan. Ketika amnesti disepakati, sandera tidak segera disepakati. Akibatnya, para penyandera tetap diadili dan dihukum dengan alasan periode setelah amnesti disepakati, para penyadera tetap melakukan kejahatan dengan tidak melepas para sandera. Pelaku diadili atas perbuatan yang dilakukan pada periode tersebut. A-G of Trinidad v. Lennox Lewis (No. 2) (1995), I AC 396, dalam Robertson, op. cit., hal. 299.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 44: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

37

 

sehingga menciptakan impunitas.72 Dalam putusan ini,

dikatakan pula bahwa amnesti harus dibatalkan apabila

diberikan dalam keadaan tertekan (duress). Namun demikian,

keadaan tertekan ini tidak tercipta apabila pemberi amnesti

(kepala negara) masih memiliki pilihan dalam

mempertimbangkan baik-buruknya amnesti yang akan ia

berikan.73

Selain itu, pemberian amnesti terhadap pelaku

kejahatan baru berlaku apabila pelaku segera menyerah

segera setelah amnesti diberikan (”either promptly or as

soon as practicable”).74 Pertimbangan-pertimbangan yang

diberikan dalam putusan ini dikatakan sebagai dasar konsep

amnesti modern dalam tradisi common law: bahwa amnesti                                                                                                                          

72 Dikatakan, “The state cannot be allowed to use a power to pardon to enable the law to be set aside by permitting it to be contravened with impunity” dalam Robertson, op. cit., 299.

73 Dalam kasus Attorney General of Trinidad and Tobago v. Lennox

Lewis, situasi dimulai ketika sekelompok terroris menyandera Perdana Menteri Trinidad and Tobago dan mengancam akan membunuhnya apabila mereka tidak diberikan amnesti atas teror yang mereka lakukan. Amnesti pun diberikan, namun mereka tetap menyandera sang Perdana Menteri untuk beberapa hari ke depan. Privy Council memutus bahwa amnesti tidak diberikan di bawah tekanan, meskipun terdapat sandera, karena Kepala Negara masih memiliki pilihan untuk tidak memberikan amnesti tersebut. Namun, pemberian amnesti itu dibatalkan atas landasan bahwa ketika amnesti diberikan, para teroris tidak segera melepaskan sandera. Akibatnya, amnesti tidak diberlakukan atas kejahatan yang dilakukan setelah pemberian amnesti tersebut. A-G of Trinidad v. Lennox Lewis (No. 2) (1995), I AC 396, dalam Robertson, op. cit., hal. 299..

74 A-G of Trinidad v. Lennox Lewis (No. 2) (1995), I AC 396, dalam Robertson, op. cit., hal. 299.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 45: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

38

 

mengandung unsur kompromistis untuk mengatasi keterbatasan

dalam proses hukum yang normal, misalnya tanggung jawab

moral untuk menyelamatkan nyawa yang banyak apabila amnesti

diberikan.

Konsep pemberian amnesti dalam kasus di atas memang

disusun berdasarkan atas latar belakang terjadinya

penyanderaan terhadap petinggi negara dan amnesti yang

diberikan merupakan suatu wujud tekanan dari penyandera.

Namun logika hukum yang digunakan dalam pertimbangannya

dapat pula digunakan untuk menganalisis mekanisme pemberian

amnesti yang terjadi pada masa transisi politik.

C. Kewajiban Negara Melakukan Penindakan atas Pelaku

Kejahatan Internasional

Legalitas pemberian amnesti terhadap pelaku kejahatan

internasional kerap dipertentangkan dengan kewajiban negara

dalam melakukan penyidikan (investigation) dan penuntutan

(prosecution) terhadap kejahatan internasional. Hukum

internasional memang tidak secara eksplisit membebankan

kewajiban tersebut, namun tercantum dalam beberapa

ketentuan. Kewajiban ini dapat pula dikaitkan dengan

penerapan yurisdiksi universal terhadap kejahatan

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 46: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

39

 

internasional. Dengan demikian, setiap negara wajib

melakukan menindak pelaku kejahatan internasional.75

Beberapa ketentuan dalam perjanjian internasional

dapat menjadi landasan untuk melarang pemberian amnesti

terhadap pelaku kejahatan internasional. Amnesti sebagai

salah satu bentuk tindakan domestik tidak dapat dijadikan

alasan untuk melanggar kewajiban negara dalam perjanjian

internasional. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 Vienna

Convention on the Law of Treaties, dikatakan bahwa, “a

party may not invoke the provisions of its internal law as

justification for failure to perform a treaty."76 Pemberian

amnesti terhadap pelaku kejahatan internasional, dengan

demikian, merupakan bentuk pelanggaran atas kewajiban

negara.77

Menurut Fröhlich, perjanjian internasional memberikan

kewajiban negara untuk melakukan penindakah terhadap pelaku

pelanggaran HAM berat melalui tiga mekanisme. Pertama,

kewajiban tersebut tercantum dalam traktat. Kedua,                                                                                                                          

75 Robertson, op. cit., hal. 288. 76 United Nations, Vienna Convention on the Law of Treaties,

Pasal 53. 77 "Thus, an amnesty law or an exercise of prosecutorial

discretion that is valid under domestic law may nonetheless breach a state's international obligations." Sterio, op. cit., hal. 387.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 47: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

40

 

penafsiran terhadap traktat hak asasi manusia umum

menyatakan implisit bahwa tidak dilakukaannya penyidikan

atau penuntutan pelaku pelanggaran HAM berarti kegagalan

dalam memastikan (ensure) dan menghormati (respect) hak

atas integritas fisik seseorang. Ketiga, kewajiban demikian

tercantum secara implisit dalam hak untuk mendapatkan

pemulihan (right to remedy).78 Berdasarkan pendapat ini,

berikut diberikan beberapa ketentuan dalam traktat

internasional yang memuat kewajiban negara untuk melakukan

penindakan terhadap pelaku kejahatan internasional.

1. Geneva Convention 1949 (Konvensi Jenewa 1949)

Empat Konvensi Jenewa 1949 dimaksudkan untuk

mengkodifikasi ketentuan mengenai perlakuan terhadap

tawanan perang (prisoners of war) dan penduduk sipil dalam

wilayah okupasi.79 Setiap Konvensi memberikan penjelasan

                                                                                                                          78 Fröhlich, op. cit., hal. 280. 79 Keempat Konvensi tersebut adalah: (I) Geneva Convention For the Amelioration of the Condition of

the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field; Aug. 12, 1949.

(II) Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, Aug. 12, 1949;

(III) Geneva Convention Relative to the Treatment of Prisoners of War, Aug. 12, 1949;

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 48: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

41

 

mengenai “pelanggaran berat” (grave breach) yang

dikategorikan sebagai kejahatan internasional.

Termasuk dalam pelanggaran berat tersebut adalah

pembunuhan dengan sengaja (willful killing), penyiksaan,

perlakuan tidak manusiawi, dan penahanan warga sipil yang

bertentangan dengan hukum.80 Negara peserta memiliki

kewajiban absolut untuk menuntut dan menghukum pihak yang

bertanggung jawab terhadap pelanggaran Konvensi, kecuali

mereka memilih untuk mengekstradisi pelaku kejahatan

tersebut ke negara lain.81 Sebagaimana digarisbawahi oleh

Sterio, "state parties can under no circumstances grant

perpetrators immunity or amnesty..."82 Permasalahannya,

terdapat ketentuan dalam Pasal 6 ayat (5) Protocol II

Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949 yang

mengatur mengenai pemberian amnesti bagi konflik bersenjata

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       (IV) Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian

Persons in Time of War, Aug. 12, 1949; 80 Lihat Pasal 50 Konvensi Jenewa (I), Pasal 51 Konvensi Jenewa

(II), Pasal 130 Konvensi Jenewa (III), dan Pasal 147 Konvensi Jenewa (IV).

81 Keempat Konvensi tersebut mengatur secara tegas mengenai

pelarangan pemberian amnesti, yang mana dalam satu pasal setelah pasal yang mengatur mengenai pelanggaran beratk dikatakan bahwa “No High Contracting Party shall be allowed to absolve itself or any other High Contracting Party of any liability incurred by itself or by another High Contracting Party in respect of breaches referred to in the preceding Article.”

82 Sterio, op. cit., hal. 387.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 49: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

42

 

non-internasional.83 Namun demikian, pasal ini dianggap

tidak dapat diterapkan terhadap pelanggaran berat karena

sudah dikategorikan sebagai kejahatan internasional.

2. Genocide Convention (Konvensi Genosida)

Konvensi Genosida diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada

9 Desember 1948 dan berlaku (entered into force) pada tahun

1951.84 Konvensi ini memberikan landasan hukum untuk

menyatakan bahwa genosida merupakan kejahatan

internasional,85 dan selanjutnya membebankan kewajiban

                                                                                                                          83 Dikatakan, “At the end of hostilities, the authorities in

power shall endeavour to grant the broadest possible amnesty to persons who have participated in the armed conflict, or those deprived of their liberty for reasons related to the armed conflict, whether they are interned or detained.“ Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), 1977, entered into force Dec.7, 1978.

84 Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of

Genocide, Dec. 9, 1948, 102 Stat. 3045, 78 U.N.T.S. 277 [Selanjutnya disebut Konvensi Genosida].

85 Dalam Pasal I Konvensi Genosida dikatakan bahwa, “genocide,

whether committed in time of peace or time of war, is a crime under international law.”

Konsep ini diperkuat oleh Mahkamah Internasional dalam Reservations to the Convention on Genocide Case (Reservations to the Convention of the Prevention and Punsihment of the crime of Genocide, Advisory Opinion, ICJ Reports 1951.), bahwa,

“The origins of the Convention show that it was the intention of the UN to condemn and punish genocide as “a crime under international law”… involving a denial of righ of existence of entire human groups, a denial which shocks the conscience of

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 50: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

43

 

absolut dari negara peserta untuk menuntut pelaku

genosida.86 Karena Konvensi ini tidak membentuk suatu

peradilan untuk penuntutan tersebut, dalam ketentuan juga

dinyatakan bahwa proses peradilan dilakukan oleh ‘competent

tribunal of the State in the territory of which the act was

committed.’87 Konvensi Genosida juga memberikan yurisdiksi

universal untuk melakukan menuntutan terhadap pelakunya dan

tidak dimungkinkan adanya derogasi dari ketentuan-ketentuan

substantif.88

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       mandking and results in great losses to humanity, and which is contrary to moral law and to the spirit and aims of the UN.” 86 “Contracting states agree that 'persons committing genocide

... shall be punished, whether they are constitutionally responsible rulers, public officials or private individuals.” Pasal 4 Konvensi Genosida.

87 Pasal 6 Konvensi Genosida. Pemberlakuan yurisdiksi universal

terhadap genosida sudah diterapkan dalam Eichmann Case yang diadili di pengadilan Israel dan Demjanjuk Case di pengadilan Amerika Serikat.

88 Sterio, op. cit., hal. 388. Dalam Konvensi Genosida, negara

peserta diwajibkan untuk: memberlakukan legislasi yang melarang genosida, baik untuk menghukum pelakunya, mengekstradisi ke negara lain, atau diadili dalam peradilan pidana internasional yang memiliki yurisdiksi.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 51: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

44

 

3. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or

Degrading Treatment or Punishment (“Konvensi Anti

Penyiksaan”)

Konvensi Anti Penyiksaan berlaku (entered into force)

pada 1987.89 Konvensi ini mewajibkan negara untuk menetapkan

penyiksaan sebagai kejahatan dalam hukum domestik,

menyediakan yurisdiksi untuk menindak pelaku penyiksaan,

menyediakan mekanisme ekstradisi bagi pelaku kejahatan, dan

melaksanakan proses peradilan di lembaga yang berwenang.90

Dalam Pasal 4 Konvensi Anti Penyiksaan, dikatakan bahwa,

"1. Each State Party shall ensure that all acts of torture are offences under its criminal law . . . . Each State Party shall make these offences punishable by appropriate penalties which take into account their grave nature."

Dalam Konvensi Penyiksaan, dikenal suatu formula “aut

dedere aut judicare” yang berarti suatu negara dapat

mengekstradisi tersangka penyiksaan atau menuntutnya sesuai

                                                                                                                         

89 Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, Dec. 10, 1984, S. Treaty Doc. No. 100-20 (1988), 1465 U.N.T.S. 85 (entered into force June 26, 1987) [selanjutnya disebut “Konvensi Anti Penyiksaan”].

90 Lihat Pasal 2, 4, 5, dan 7 Konvensi Anti Penyiksaan.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 52: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

45

 

dengan hukum domestik.91 Ketentuan tersebut memberikan

kewajiban dan pertanggungjawaban yang tegas bagi pelaku

penyiksaan.92 Konvensi ini juga tidak memberikan pasal

derogasi sehingga dengan demikian pemberian amnesti yang

memberikan kekebalan penuntutan bagi pelaku penuntutan

adalah dilarang.93 Dalam forum ICTY, penyiksaan juga sudah

dianggap sebagai kejahatan dengan karakteristik jus cogens

sehingga tidak dapat diberikan amnesti. Dikatakan bahwa,  

“It would be senseless to argue, on the one hand, that on account of the jus cogens value of the prohibition against torture, treaty or customary rules providing torture would be null and void ab initio, and then be undmindful of a state say, taking national measures authorizing or condoning torture or resolving its perpetrators through an amnesty law. If such situation were to arise, the national measures, violating the general principle and any relevant treaty provision, would produce the legal effects discussed above and would not be accorded international legal recoginition… What is even more important is that perpetrators of torture acting upon of benefiting from

                                                                                                                          91 Pasal 7 Konvensi Anti Penyiksaan. 92 Bottini, op. cit., hal. 516. Lihat juga Burke-White, op. cit.,

hal. 478. 93 Menurut pembuat Konvensi, '[i]n applying article 4

[requirement to make torture punishable by severe penalties 'which take into account their grave nature'] it seems reasonable to require, however, that the punishment for torture should be close to the penalties applied to the most serious offenses under the domestic legal system.' J. Herman Burgers & Hans Danelius, The United Nations Convention Against Torture: A Handbook on the Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment 129 (1988) dalam Sterio, op. cit., hal. 389.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 53: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

46

 

these national measures may nevertheless be held criminally responsible for torture, whether in a foreign state, or in their own state under a subsequent regime.”94  

Ketentuan dalam Konvensi Anti Penyiksaan dipertegas

oleh The Committee Against Torture, lembaga yang dibentuk

dalam Konvensi ini untuk mengawasi penaatan tiap negara

terhadap Konvensi.95 Dalam kasus yang dibawa oleh keluarga

tiga warga Argentina yang dibunuh oleh militer, dinyatakan

bahwa pemberian amnesti terhadap aparat negara pelaku

penyiksaan tersebut bertentangan dengan tujuan dan semangat

Konvensi. Dengan melakukan pemberian amnesti tersebut,

Argentina telah melanggar kewajibannya dalam perjanjian

internasional.96 Komite mendasari laporannya bahwa terdapat

kewajiban dalam hukum internasional untuk menuntut pelaku

penyiksaan.97

                                                                                                                          94 Prosecutor v. Anto Furundzija, Case No. IT-95-17/1-T,

Judgement, 10 Dec. 1998. 95 Committe Against Torture, Report of the Committee Against

Torture, Annex V U.N. Doc. A/45/44 (23 November 1989) dalam Annex V: Decisions of the Committee Against Torture under article 22 of the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment concerning Communications Nos. 1/1988, 2/1988 and 3/1988, at 111, U.N. Doc. A/45/44 (1990) Sterio, op. cit., hal. 389.

96 Fröhlich, op. cit., hal. 280.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 54: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

47

 

4. International Covenant for Civil and Political Rights

Berbagai perjanjian internasional sebagaimana

dijelaskan di atas membebankan kewajiban kepada negara

untuk menyidik dan menuntut pelaku pelaku kejahatan

internasional. Negara hanya dapat bebas dari kewajibannya

tersebut apabila memenuhi pengecualian yang diakui oleh

konvensi-konvensi HAM seperti International Covenant for

Civil and Political Rights (ICCPR). ICCPR memuat pasal-

pasal yang memperbolehkan pengenyampingan beberapa hak

asasi manusia dalam situasi tertentu. Salah satunya adalah

keadaan darurat umum (“public emergency”) sebagaimana

tercantum dalam Pasal 4:

“In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officialy proclaimed, the State Parties to the present Covenant may take measures derogating from their obligations under the present Covenant to the extent strictly required by the exigiences of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their obligations under international law.”98

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       97 Committe Against Torture, dalam Sterio op. cit, hal. 389.

Dalam diktum, dinyatakan bahwa "there existed a general rule of international law which should oblige all states to take effective measures to prevent torture and to punish acts of torture.”

98 United Nations, International Covenant on Civil and Political

Rights, Dec. 16, 1966, entered into force March, 23. 1976.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 55: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

48

 

Permasalahan hukum timbul bahwa ketentuan tersebut

berlaku bagi semua pelanggaran HAM. Sementara itu,

kejahatan internasional adalah suatu bentuk pelanggaran HAM

berat yang berbeda dengan pelanggaran HAM biasa.99 Apakah

ketentuan tersebut dapat berlaku untuk menyampingkan

kewajiban bagi pelaku kejahatan internasional?

Hal ini ditambah dengan substansi pasal tersebut yang

menyatakan bahwa pengecualian dapat dilakukan sepanjang

konsisten dengan kewajiban lain dalam hukum

internasional.100 Instrumen internasional seperti Konvensi

Penyiksaan secara khusus melarang penyimpangan pasal-pasal

Konvensi di bawah situasi apa pun.101 Dengan menggunakan

konstruksi demikian, ketentuan keadaan darurat umum

                                                                                                                         

99 Lihat perbedaannya dalam Chernichenko, loc. cit. 100 United Nations, International Covenant on Civil and Political

Rights, Pasal 4. 101 Robertson, op. cit., hal. 289 mencoba mengaitkan hal ini

dengan Pasal 2 ayat (3) a ICCPR. Dalam Pasal tersebut, dinyatakan bahwa, “Each State Party to the present Covenant undertakes … To ensure that any person whose rights or freedoms as herein recognized are violated shall have an effective remedy, notwithstanding that the violation has been committed by persons acting in an official capacity;” Pasal ini sangat terkait dengan kejahatan seperti penyiksaan dan genosida yang dilakukan oleh aparat negara. Ketentuan tersebut juga diperkuat oleh Human Rights Commission (HRC)bahwa Pasal 2 ayat (3) tidak memberikan hak bagi individu untuk memaksa negara melakukan penuntutan, namun memberikan negara kewajiban untuk menyidik tersangka yang diduga kuat melakukan pelanggaran HAM.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 56: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

49

 

seharusnya tidak menyampingkan kewajiban negara untuk

menyidik dan menuntut pelaku kejahatan internasional.

Kemudian, dapat dikatakan bahwa ketentuan dalam ICCPR

secara implisit melarang pemberian amnesti. Pasal 2 ayat

(3) ICCPR memberikan tiga kewajiban bagi negara peserta:

menjamin (ensure) bahwa orang yang haknya dilanggar

mendapat pemulihan efektif, menjamin bahwa pemulihan

tersebut ditentukan oleh lembaga yudisial, administratif,

dan legislatif yang berkompeten, dan menjamin bahwa lembaga

demikian dapat menegakan pemulihan yang sudah diputuskan.102

Ketentuan ini mengatur hal yang sangat luas karena tidak

hanya mengatur kejahatan internasional dan mekanisme

pemulihan dalam konteks hukum pidana saja.103

Namun demikian, dalam Laporan Human Rights Committee,

suatu lembaga yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan

ICCPR, kewajiban negara untuk menjamin (ensure) HAM tidak

termasuk pemberian amnesti.104 Dalam laporan Komite terhadap

                                                                                                                         

102 United Nations, International Covenant on Civil and Political Rights, Pasal 2 ayat (3).

103 Sterio, op. cit., hal. 389. 104 Sterio, op, cit., hal. 390.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 57: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

50

 

negara Zaire,105 Suriname,106 dan Uruguay,107 diharapkan agar

negara tersebut melakukan penindakan terhadap pelaku

kejahatan internasional. Pada akhirnya, dalam Komentar Umum

(General Comment) Komite, dinyatakan bahwa pemberian

amnesti terhadap penyiksaan secara umum bertentangan dengan

kewajiban negara untuk menyidik tindakan tersebut; untuk

menjamin bahwa yurisdiksi negara bebas dari penyiksaan; dan

untuk menjamin bahwa tindakan serupa tidak boleh terjadi

lagi di masa depan.108

                                                                                                                          105 Human Rights Committee menyatakan bahwa Zaire “under a duty to

... punish those found guilty of torture and to take steps to ensure that similar violations do not occur in the future.” Report of the Human Rights Committee, U.N. GAOR, 39th Session, Supp. No. 40, Annex XIII, 13, U.N. Doc.A/39/40 (1984), dalam Sterio, op. cit., hal. 389.

106 Pemerintah Suriname didorong “to bring to justice any persons

found to be responsible.” Report of the Human Rights Committee, U.N. GAOR, 40th Sess., Supp. No. 40, Annex X, 16, U.N. Doc. A/40/40 (1985), dalam Sterio, op. cit., hal. 389.

107 “The government of Uruguay should take immediate and effective

steps ... to bring to justice any persons found to be responsible.” Lihat Report of the Human Rights Committee, U.N. GAOR, 38th Sess., Supp. No. 40, Annex XXII, 16, U.N. Doc. A/38/40 (1983), dalam Sterio, op. cit., hal. 389.

108 Amnetsi terhadap pelaku penyiksaan dikatakan "are generally

incompatible with the duty of State to investigate such acts; to guarantee freedom from such acts within their jurisdiction; and to ensure that they do not occur in the future." Human Rights Committee, General Comment No. 20 (44) (article 7), para. 15, U.N. Doc. CCPR/C/21/Rev.1/Add.3 (1992).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 58: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

51

 

5. Hukum Kebiasaan Internasional

Selain perjanjian internasional di atas, kewajiban

negara untuk menindak pelaku kejahatan internasional dapat

bersumber dari hukum kebiasaan internasional.109 Instrumen

internasional yang telah diterima secara luas dapat

membantu penciptaan hukum kebiasaan internasional karena

mencerminkan praktek negara-negara di dunia.110 Mahkamah

Internasional (MI) telah mengakui bahwa perjanjian

internasional dapat menciptakan kewajiban yang mengikat

bagi negara non-anggota apabila telah mencerminkan hukum

kebiasaan internasional.111

Salah satu contohnya adalah kebiasaan internasional

yang memberikan yurisdiksi universal terhadap genosida. MI

dalam Advisory Opinion telah menyatakan bahwa prinsip-

prinsip yang mendasari Konvensi Genosida “telah diakui oleh

negara-negara beradab sebagai mengikat semua negara, bahkan

                                                                                                                          109 Lihat catatan kaki nomor 56 mengenai hukum kebiasaan

internasional.

110 North Sea Continental Shelf Cases (1969), ICJ Reports. 111 Ibid.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 59: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

52

 

tanpa kewajiban Konvensi.”112 Dengan demikian, ketentuan

dalam Konvensi Genosida merupakan hukum kebiasaan

internasional yang mengikat semua negara sehingga semua

negara diharuskan untuk menghukum orang-orang yang

melakukan genosida dalam yurisdiksi territorial mereka.113

6. Dokumen-Dokumen Lain

Selain perjanjian internasional dan hukum perjanjian

internasional, terdapat beberapa dokumen yang mewajiban

penindakan terhadap pelaku kejahatan internasional.

Meskipun tidak mengikat sebagai sumber hukum internasional,

dokumen demikian merefleksikan kepedulian masyarakat

internasional atas pelanggaran HAM yang terjadi berikut

dengan mekanisme pertanggungjawaban pelakunya. Dokumen

demikian pun pada dasarnya memberikan kesimpulan yang

seragam: bahwa penyidikan dan penuntutan perlu dilakukan,

pemberian amnesti secara penuh harus dilarang, dan

kompensasi bagi korban perlu diberikan.114

                                                                                                                          112 Reservations to the Convention of the Prevention and

Punsihment of the crime of Genocide, Advisory Opinion, ICJ Reports 1951.

113 Ibid.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 60: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

53

 

Pada tahun 1967, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan

resolusi untuk mendorong negara tidak memberikan suaka dan

amnesti bagi tersangka kejahatan terhadap kemanusiaan, dan

bagi mereka yang pergi ke pengasingan harus diekstradisi ke

negaranya kembali.115 Majelis Umum PBB pada tahun 1973

mengadopsi Principles of International Co-operation in the

Detection, Arrest, Extradition, and Punishment of Persons

Gulity of War Crimes and Crimes Against Humanity, yang mana

dalam Prinsip I menyatakan bahwa pelaku kejahatan terhadap

kemanusiaan wajib disidik, dituntut, dan diadili.116 Pada

tahun 1989, laporan UN Human Rights Commission menyimpulkan

bahwa reparasi terhadap pelanggaran HAM berat yang

tergolong kejahatan internasional meliputi pula kewajiban

untuk menuntut dan menghukum pelakunya.117 PBB pada tahun

1992 kemudian mengeluarkan Declaration on the Protection of

All Persons From Enforced Disappearances and the Principles

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       114 Sterio, op. cit., hal. 389. 115 UN Doc. A/6716 (1967) dalam Sterio, op, cit., hal. 390. 116 Lihat dalam Robertson, op. cit., hal. 291. 117 Lihat “Study Concerning The Right to Restitution, Compensation

And Rehabilitation For Victims Of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms,” U.N. Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities, U.N. ESCOR, 45th sess., Agenda Item 4, at para. 137(5), U.N. Doc. E/CN.4/Sub.2/1993/8. <http://www.unhchr.ch/Huridocda/Huridoca.nsf/TestFrame/d54b00c78f25b5dfc1256b3e0049da83?Opendocument> (12 Maret 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 61: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

54

 

on the Effective Prevention and Investigation of Extra-

Legal, Arbitrary, and Summary Executions.118 Dewan Keamanan

PBB juga telah beberapa kali mengeluarkan resolusi untuk

segera mengadili pelaku kejahatan internasional dalam

beberapa kasus.119

D. Hak Korban Kejahatan Internasional dalam Hukum

Internasional dan Kaitannya dengan Pemberian Amnesti

Pemulihan bagi korban pelanggaran merupakan prinsip

hukum yang fundamental, baik dalam hukum nasional maupun

hukum kebiasaan internasional dan diterapkan di semua

sistem hukum.120 Pada awal perkembangannya, hukum

internasional hanya mewajibkan negara untuk memberlakukan                                                                                                                          

118 UN General Assembly, A/RES/47/133, Dec. 18 1992. <http://

www.un.org/documents/ga/res/47/a47r133.htm> (12 Maret 2008). 119 Sebagai contoh, Resolution 748 (1992) mengharuskan Libya untuk

menyerahkan dia warganya yang diduga melakukan pemboman atas Pan Am Flight di Inggris Raya. Sementara itu, terdapat pula Resolution 837 (1993) yang memerintahkan penahanan Mohamed Farrah Aidid, warga Somalia yang diduga membunuh 24 Pasukan Perdamaian PBB.

120 Timothy K. Kuhner, “The Status of Victims in the Enforcement

of International Criminal Law,” Oregon Review of International Law (Spring 2004): 95.

Lihat pula M. Cherif Bassiouni (b), “International Recognition of Victim’s Rights,” Human Rights Law Review (2006): 207. Dikatakan, “redress of wrongs is a fundamental legal principle that constitutes both a general principle of law and a customary rule of law recognised and applied in all legal systems… Providing remedies to victims of crimes finds its roots in the earliest societies and in many early religious traditions. Legal systems throughout history have provided different fora for the adjudication of claims…”

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 62: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

55

 

perlindungan bagi korban pelanggaran HAM dalam hukum

domestik.121 Seiiring dengan berkembanganya pertanggung-

jawaban individu pelaku kejahatan dalam hukum

internasional, begitupula hak pemulihan bagi korban atas

kejahatan yang diatur dalam hukum internasional.122

Terlebih, sebagaimana disimpulkan oleh Fröhlich,

perlindungan bagi korban kejahatan internasional merupakan

bagian dari kewajiban negara dalam menjamin, melindungi,

menghargai, dan menegakkan HAM, yang mana termasuk di

dalamnya pula kewajiban negara untuk mencegah, menuntut,

dan menghukum pelaku kejahatan internasional.123

Perlindungan tersebut mencakup penyediaan mekanisme akses

terhadap keadilan (access to justice) bagi korban dan

fasilitasi bagi korban antara lain berupa akses,

keterbukaan, kompensasi, reparasi, dan juga “pengakuan

simbolik” dalam bentuk peradilan pidana.124 Berikut akan

dijelaskan ketentuan yang terkait dengan perlindungan

korban kejahatan internasional.

                                                                                                                          121 Lihat Pasal 2 ayat (3) ICCPR. 122 Bassiouni (b), op. cit., hal. 208. 123 Fröhlich, op. cit., hal. 280 124 Bassiouni (b), op. cit., hal. 209.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 63: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

56

 

1. Perlindungan Normatif dan Praktek Negara

Konvensi Den Haag tahun 1899125 dan 1907126 merupakan

perjanjian internasional yang mengkodifikasi hukum

kebiasaan internasional dalam konflik bersenjata.

Berdasarkan konvensi ini, negara yang terlibat konflik

bersenjata internasional yang menyebabkan kerugian fisik

bagi penduduk sipil atau properti sipil mewajibkan negara

tersebut memberikan kompensasi bagi negara yang

warganegaranya dirugikan.127 Begitupula konvensi yang

membebankan kewajiban negara pelanggar memberikan

kompensasi antara lain Geneva Convention Relative to the

Treatment of Prisoners of War; Geneva Convention Relative

to the Protection of Civilian Persons in Time of War, dan

Protocol I Additional to the Geneva Convention.128

                                                                                                                          125 United Nations, Convention (II) with Respect to the Laws and

Customs of War on Land berikut dengan lampirannya: Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land 1899.

126 United Nations, Convention (IV) Respecting the Laws and

Customs of War on Land 1907, (1908). 127 Lihat Pasal 3 Konvensi Den Haag 1907 yang memberikan kewajiban

bagi negara untuk membayar ganti rugi dalam hal terhadap pelanggaran HAM akibat kebijakan yang dkeluarkannya.

128 Hal ini terkait dengan pelanggaran berat (grave breach)

terhadap Konvensi Geneva. Lihat catatan kaki nomor 30 tentang empat Konvensi Geneva. Selain itu Pasal I Protokol Tambahan I membebankan

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 64: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

57

 

Dalam perspektif HAM, Deklarasi Umum HAM telah

memberikan acuan yang tegas mengenai perlindungan korban.129

Pasal 2 ayat (3) ICCPR juga memberikan ketentuan yang rinci

mengenai korban pelanggaran HAM130 yang mana dijabarkan

lebih rinci dalam laporan Human Rights Commission.131

Ketentuan yang eksplisit juga termaktub dalam International

Convention on the Elimination of All Forms of Racial

Discrimination 1965 (ICERD).132 Wujud perlindungan korban

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       negara untuk bertanggung jawab membayar kompensasi atas pelanggaran dari Konvensi.

129 Dikatakan bahwa, “everyone has the right to an effective

remedy by the competent national tribunals for acts violating the fundamental rights granted him by the constitution or by law.”

130 Pasal 2 ayat (3) ayat ICCPR memberikan kewajiban kepada negara

peserta untuk: (a) “ensure that any person whose rights or freedoms as herein

recognised are violated shall have an effective remedy, notwithstanding that the violation has been committed by persons acting in an official capacity;

(b) ensure that any person claiming such a remedy shall have his right thereto determined by competent judicial, administrative or legislative authorities, or by any other competent authority provided for by the legal system of the State, and to develop the possibilities of judicial remedy;

(c) ensure that the competent authorities shall enforce such remedies when granted.”

131 Lihat Rodriquez v. Uruguay (322/88), CCPR/C/51/D/322/1988

(1994); 2 IHRR 12 (1995). Dikatakan bahwa “the State Party's failure to conduct an investigation into human rights violations constituted a considerable impediment to the pursuit of civil remedies, for example compensation, and declaring that the adoption of amnesty laws in cases of gross human rights violations to be incompatible with the obligations of states arising under Article 2(3)” dalam Bassiouni (b), op. cit., hal. 210.

132 Lihat Pasal 6 ICERD.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 65: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

58

 

semakin komprehensif ketika menjadi satu bagian dalam

Statuta MPI.133

Dalam prakteknya, terdapat beberapa contoh negara yang

aktif memberikan kompensasi bagi korban, misalnya Jerman

terhadap korban kejahatan Nazi dan Holocaust. Amerika

Serikat juga memberikan kompensasi bagi warga negara AS

keturunan Jepang yang dievakuasi dan direlokasi pada masa

Perang Dunia II. Sebaliknya, Jepang, meskipun memberikan

bantuan pembangunan dan moneter bagi negara yang

diserangnya, hingga kini tidak menerima tanggung jawab

moral atas kejahatan yang dilakukan di masa lalunya,

termasuk tidak pernah mengabuli gugatan dari mantan budak

perang di pengadilan domestiknya.134

Perkembangan terjadi pada tahun 2005 ketika Majelis

Umum PBB mengadopsi The Basic Principles and Guidelines on

the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross

Violations of International Human Rights Law and Serious

Violations of International Humanitarian Law (Selanjutnya                                                                                                                          

133 Lihat Statuta MPI Pasal 57, 68 ayat (3) dan 75 (partisipasi

korban dalam proses peradilan); Pasal 43 dan 68 (perlindungan saksi dan korban); Pasal 75 dan 85 (hak mendapatkan ganti kerugian dan kompensasi. Pembahasan mendalam lihat J. Alex Little, “Balancing Accountability and Victim Autonomy at the International Criminal Court,” Georgetown Journal of International Law (Winter 2007): 363

134 Bassiouni (b), op. cit., hal. 222.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 66: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

59

 

“Basic Principle”).135 Basic Principle tidak dimaksudkan

untuk menciptakan norma yang memberikan kewajiban baru

dalam hukum internasional, melainkan memberikan “mekanisme,

modalitas, prosedur, dan metode dalam implementasi

kewajiban hukum yang sudah ada dalam hukum HAM

internasional dan hukum humaniter internasional.”136

2. Kaitan Antara Perlindungan Korban dengan Pemberian

Amnesti

Basic Principle memberikan penjabaran mengenai tiga

hak dasar korban kejahatan internasional: hak untuk

mendapatkan akses yang setara dan efektif terhadap

keadilan; hak untuk mendapatkan pemulihan yang cukup,

efektif, dan cepat (adequate, prompt, effective); serta hak

untuk mengetahui kebenaran.137 Ketiga hak untuk sangat

berkaitan erat dengan legalitas pemberian amnesti.

                                                                                                                          135 Bassiouni (b), op. cit., hal. 246. 136 Dalam Second Consultative Meeting Report (Explanatory

Comments), hal. 26, dalam Bassiouni, op. cit., hal. 251. 137 Lihat Prinsip 11 Basic Principle.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 67: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

60

 

Pertama, hak untuk mendapatkan akses yang setara dan

efektif terhadap keadilan tercantum dalam prinsip 12.138

Dalam hak korban untuk mendapatkan akses terhadap keadilan,

tercakup pula kewajiban negara untuk melakukan penuntutan

terhadap pelaku kejahatan internasional sebagaimana

tercantum dalam Prinsip 4 Basic Principle.139 Hal ini karena

hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan meliputi hak

korban untuk memberikan keterangan di pengadilan dan hak

                                                                                                                         

138 Prinsip 12 Basic Principle menyatakan bahwa, “A victim of a gross violation of international human rights law or a serious violation of international humanitarian law shall have equal access to an effective judicial remedy as provided for under international law… Obligations arising under international law to secure the right to access justice and fair and impartial proceedings shall be reflected in domestic laws. To that end, States should:

(a) Disseminate, through public and private mechanisms, information about all available remedies for gross violations of international human rights law and serious violations of international humanitarian law;

(b) Take measures to minimize the inconvenience to victims and their representatives, protect against unlawful interference with their privacy as appropriate and ensure their safety from intimidation and retaliation, as well as that of their families and witnesses, before, during, and after judicial, administrative, or other proceedings that affect the interests of victims;

(c) Provide proper assistance to victims seeking access to justice;

(d) Make available all appropriate legal, diplomatic and consular means to ensure that victims can exercise their rights to a remedy for gross violations of international human rights or serious violations of international humanitarian law.”

139 Bassiouni (b), op. cit., hal. 264.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 68: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

61

 

untuk mendapatkan pemulihan yang efektif. Kegagalan negara

untuk melakukan penuntutan terhadap korban kejahatan

internasional melanggar tidak hanya kewajiban negara untuk

menegakkan HAM, melainkan juga hak korban untuk mendapatkan

pemulihan.140 Dengan demikian, pemberian amnesti terhadap

pelaku kejahatan internasional menyebabkan dilanggarnya hak

korban dalam hukum internasional.

Kedua, hak korban kejahatan internasional untuk

mendapatkan pemulihan bertujuan untuk “promote justice by

redressing gross violations of international human rights

or serious violations of humanitarian law.”141 Pemulihan ini

diberikan baik kepada korban ataupun keluarganya,142

terutama melalui putusan pengadilan.143 Pemulihan dapat

berupa restitusi (pengembalian ke keadaan yang sama sebelum

kejahatan terjadi),144 kompensasi ekonomi,145 rehabilitasi

                                                                                                                          140 Bassiouni (b), op. cit., hal. 265. 141 Lihat Prinsip 15. Basic Principle.

142 Ketentuan hukum internasional yang membahas mengenai ini

antara lain adalah Pasal 9 ayat (5) ICCPR; Pasal 14 ayat (1) and 14 ayat (2) Konvensi Anti Penyiksaan; Pasal 75 ayat (1) dan 85; Statuta MPI; Rule 106, ICTY Rules of Procedure and Evidence dan Rule 106, ICTR Rules of Procedure and Evidence; Pasal 68, Konvensi Jenewa III (Tawanan Perang); Pasal 91. Protokol Tambahan I untuk Konvensi Jenewa (Tawanan Perang).

143 Prinsip 18. Basic Principle.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 69: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

62

 

(misalnya melalui pelayanan medis, psikologis, dan bantuan

hukum),146 dan jaminan bahwa kejadian yang sama tidak akan

terulang (non-repetisi).147 Pemulihan non-repetisi antara

lain dapat meliputi gencatan senjata, keterbukaan fakta

dari kejahatan, pencarian (jenazah) korban, atau permintaan

maaf kepada publik.148 Pemberian amnesti yang tidak diikuti

dengan hal-hal tersebut dapat dianggap bertentangan dengan

hukum internasional.

Ketiga, hak korban untuk mengetahui kebenaran, yang

sebenarnya masih merupakan bagian dari jaminan non-

repetisi. Pengungkapan kebenaran kepada publik sangat

penting bagi korban karena: (1) dapat meringankan beban

korban, (2) mempertegas status korban dalam sejarah

nasional, (3) mendorong negara untuk menyelesaikan masa

lalunya, sehingga (4) proses pembangunan di masa depan

dapat berjalan dengan lancar.149 Pengungkapan kebenaran

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       144 Prinsip 19 Basic Principle. 145 Prinsip 20 Basic Principle. 146 Prinsip 21 Basic Principle. 147 Prinsip 25 Basic Principle. 148 Bassiouni (b), op. cit., hal. 271.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 70: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

63

 

adalah keharusan yang tidak dapat disubstitusikan karena

melaluinya, dapat dilakukan pencatatan sejarah, pendidikan

publik, mendorong pemberian maaf, dan mencegah kejahatan

terulang kembali.150 Selain dapat terungkap di pengadilan

(melalui keterangan saksi dan terdakwa), kebenaran juga

dapat diungkap melalui mekanisme komisi kebenaran yang ada

berbagai negara pada masa transisi politik. Dengan

demikian, pemberian amnesti tanpa diikuti pengungkapan

kebenaran dapat dianggap bertentangan dengan hukum

internasional.

Setelah membahas mengenai hak korban kejahatan

internasional di atas, Bassiouni menyimpulkan bahwa hak

korban (termasuk ahli warisnya) adalah inherent (melekat)

dan inalienable (tidak dapat disimpangi) sehingga harus

diikuti oleh suatu mekanisme penghukuman. Hal demikian

berarti prinsip-prinsip yang tercantum dalam hak korban

tidak dapat diabaikan oleh siapapun, termasuk pemegang

kekuasaan dalam suatu negara.151 Implikasinya, impunitas,

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       149 Lihat Thomas M. Antkowiak, “Truth as Right and Remedy in

International Human Rights Experience,” Michigan Journal of International Law (Summer 2002): 977.

150 Ibid., hal. 996. 151 Bassiouni (a), op. cit., hal. 729.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 71: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

64

 

baik secara de jure maupun de facto, termasuk hak negara

untuk memberikan amnesti secara menyeluruh, tidak dapat

diberikan kepada pelaku kejahatan internasional yang

mengandung karakteristik jus cogens.152

                                                                                                                          152 Secara tegas dikatakan, “states do not have the right to

provide blanket amnesty to transgressors of jus cogens international crimes, particularly leaders and senior executives.” Bassiouni (a), op. cit., hal. 729.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 72: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

65

 

BAB III

PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL

PADA MASA TRANSISI POLITIK

A. Keadilan Transisional Sebagai Mekanisme Pencarian

Keadilan Pada Masa Transisi Politik

1. Pengertian Umum Keadilan Transisional

Para ahli sepakat bahwa fokus keadilan transisional

adalah sikap pemerintahan pada masa transisi politik dalam

kerangka hukum (rule of law) untuk menghadapi ketidakadilan

dari pemerintahan sebelumnya, dengan tetap menjunjung

tinggi supremasi hukum dan imparsialitas.153 Salah satu

permasalahan terbesar pada masa transisi politik adalah

konflik antara perdamaian (berfokus pada pembangunan di

masa depan) dengan keadilan (dengan tujuan akhir pembalasan

                                                                                                                          153 Lihat Teitel, op. cit., Huntington, op. cit., dan Hollywood,

op. cit., hal. 63.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 73: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

66

 

dan efek jera dari kejahatan masa lampau).154 Sementara itu,

beberapa ahli menganggap bahwa keduanya tidak bertentangan,

karena hanya dengan membuka dan mengakui segala kesalahan

yang terjadi di masa lampau, suatu negara baru mampu untuk

membangun masa depan.155

Dalam konteks ini, keadilan transisional keluar dari

konstruksi dasar hukum pidana yang memiliki prinsip

keadilan retributif.156 Gagasan dari keadilan retributif

tidak secara serta merta sesuai dengan kondisi masyarakat

dalam transisi politik yang ingin menyelesaikan pelanggaran

HAM yang terjadi di masa lalunya karena setidaknya dua hal.

                                                                                                                          154 Hollywood, op. cit., hal. 64. Lihat pula Simon Chesterman,

“Rough Justice: Establishing the Rule of Law in Post-Conflict Territories,” Ohio State Journal on Dispute Resolution (2005): 71.

155 Lihat laporan South Africa Truh and Reconciliation Commission (SATRC) dalam Hollywood, op. cit., yang menyatakan “[W]e could not make the journey from a past marked by conflict, injustice, oppression, and exploitation to a new and democratic dispensation characterised by a culture of respect for human rights without coming face to face with our recent history."

156 Adil Ahmad Haque, “Group Violence and Group Vengeance: Toward

a Retributivist Theory of International Criminal Law,” Buffalo Criminal Law Review (2005): 277-78.

Dalam teori keadilan retributif, pelaku kejahatan tidak melakukan kejahatan terhadap satu individu saja, melainkan terhadap negara. Oleh karena itu, negara menghukum para pelaku tersebut apa yang seharusnya mereka terima (“just desserts”) untuk mengembalikan keseimbangan norma yang dirusak oleh tindakan pidana dari pelaku kejahatan. Dalam kaitannya, dengan korban, keadilan retributif memberikan rasa keadilan kepada korban dengan melampiaskan rasa marah dan dendam korban. Lihat Ellen A. Waldman, Healing Hearts or Righting Wrongs?: A Mediation on the Goals of “Restorative Justice,” Hamline Journal of Public Law and Policy (Spring 2004): 357-359.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 74: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

67

 

Pertama, sifat dari ketidakadilan yang terjadi di masa lalu

belum tentu sesuai untuk ditindak melalui mekanisme

penghukuman atau retribusi (pembalasan). Kedua, kebutuhan

akan keadilan dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan,

bukan hanya sekelompok orang tertentu yang menjadi

korban.157

Oleh karena itu, keadilan transisional lebih cenderung

untuk menganut prinsip keadilan restoratif (restorative

justice), yang mengandung arti bahwa keadilan harus

memperbaiki keadaan sosial masyarakat, melampaui sekedar

penuntutan pidana.158 Keadilan restoratif lebih terfokus

pada upaya pemenuhan hak korban, yakni hak atas informasi

dari kejahatan terhadapnya, hak untuk menceritakan kisah

dalam perspektifnya, hak untuk terlibat dalam proses

penuntutan, dan hak atas pemulihan (baik simbolik maupun

aktual).159

                                                                                                                          157 Erin Daly, “Transformative Justice: Charting a Path to

Reconciliation,” International Legal Perspectives (Fall 2001-Spring 2002): 79.

158 Waldman, op. cit., hal. 359. Dalam keadilan restoratif, pelaku

kejahatan melakukan tindakan yang merugikan, bukan terhadap negara, melainkan terhadap masyarakat dan interaksi di antaranya

159 Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice (2002)

hal. 14-15 dalam Waldman, op. cit., hal. 359.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 75: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

68

 

2. Peran Konsep Keadilan Transisional pada Negara

Transisi

Dalam upaya melakukan restorasi sosial dalam situasi

transisi politik, setidaknya terdapat dua peran penting

perumusan konsep keadilan transisional.

Pertama, keadilan transisional sebagai instrumen

pengungkapan kebenaran. Menurut Teitel, apa yang

dipertimbangkan sebagai sesuatu yang “adil” bersifat tidak

pasti dan dapat dikaitkan dengan masa yang akan datang

karena hal ini didasarkan atas informasi dari ketidakadilan

yang terjadi sebelumnya.160 Informasi yang dimaksud adalah

kebenaran akan fakta-fakta yang terjadi di masa lalu,

terlepas dari sudut pandang yang digunakan kemudian dalam

menginterpretasikan fakta. Oleh karena itu, tujuan utama

keadilan transisional adalah untuk mengetahui kebenaran

yang sebenar-benarnya. Dalam laporan Chilean National

Commission on Truth and Reconciliation, dikatakan bahwa:

“The truth was considered as an absolute, un-renounceable value for many reasons: In order to provide for measures of reparation and prevention, it must be clearly known what it is that ought to be repaired and prevented. Further, society cannot simply

                                                                                                                          160 Teitel, op. cit., hal. 6 dalam Arinanto, op. cit., hal. 56.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 76: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

69

 

black out a chapter of its history, however differently the facts may be interpreted. The void would be filled with lies or with conflicting versions. The unity of a nation depends on a shared identity, which, in turn, depends largely on a shared memory. The truth also brings a measure of social catharsis and helps to prevent the past from re-occurring .... But although the truth cannot really in itself dispense justice, it does put an end to many a continued injustice--it does not bring the dead back to life, but it brings them out from silence; for the families of the "disappeared," the truth about their fate would mean, at last, the end to an anguishing, endless search ....”161 (huruf tebal dari penulis).

Dalam kerangka keadilan transisional, mencatat

kebenaran merupakan syarat mutlak dalam upaya pemulihan hak

individu dan masyarakat dalam rangka menciptakan kehidupan

sosial yang kondusif.162 Masa lalu harus ditinggalkan untuk

menggapai masa depan bangsa yang lebih baik, namun tidak

dapat begitu saja dilupakan. Dalam upaya mencari kebenaran,

setiap korban, pelaku, dan segala dokumentasi sejarah yang

                                                                                                                          161 José Zalaquett, Introduction to NAT'L COMM'N ON TRUTH AND

RECONCILIATION, 1 REPORT OF THE CHILEAN NATIONAL COMMISSION ON TRUTH AND RECONCILIATION (1993) dalam Anne Orford, “Commissioning the Truth,” Columbia Journal of Gender and Law (2006): 855.

162 Orford, Ibid., hal. 855. Dikatakan, "[f]acing the truth of its past is a necessary condition to enable a wounded community--a community of perpetrators and victims--to recreate the conditions of viable social life."

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 77: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

70

 

tersedia harus diungkapkan agar tidak ada lagi kenyataan

yang disembunyikan.163

Upaya pengungkapan kebenaran dapat dilakukan dengan

berbagai cara. Penegakan hukum pidana internasional,

melalui berbagai instrumen termasuk pengadilan

internasional ataupun pembentukan komisi kebenaran,

dianggap sebagai sarana yang tepat untuk mengungkapkan

kebenaran. Sebagaimana pendapat Martti Koskenniemi,

“international criminal law is often represented as an

instrument of truth and memory."164 Peradilan internasional

berperan untuk mengungkapkan kebenaran dan menciptakan

rekonsiliasi (misalnya dengan pencatatan fakta-fakta yang

terungkap di persidangan), selain untuk menghukum pelaku

kejahatan.165 Sementara itu, pembentukan komisi kebenaran

                                                                                                                          163 Lihat Thomas M. Antkowiak, “Truth As Right and Remedy in

International Human Rights Experience,” Michigan Journal of International Law (Summer 2002): 979.

164 Martti Koskenniemi, Between Impunity and Show Trials, 6 MAX PLANCK YEARBOOK OF UNITED NATIONS LAW 1, 4 (2002) dalam Orford, Ibid., hal. 858.

165 “The ad hoc international criminal tribunals were the first

tribunals to aim at enhancing reconciliation in addition to the traditional criminal law goals of punishment and deterrence. Indeed, the Security Council Resolution creating the ICTR stated that prosecutions will contribute to "the process of national reconciliation . . . and [to] the restoration and maintenance of peace." Similarly, one of the goals of the ICTY was to "assist in reconciliation." Lihat International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia, Office of

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 78: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

71

 

(truth commission) memang sejak awal dimaksudkan untuk

memfasilitasi proses penemuan kebenaran.

Kedua, keadilan transisional memfasilitasi

rekonsiliasi dan kesatuan nasional. Dalam suatu negara yang

mengalami transisi politik, apalagi apabila transisi

tersebut terjadi dengan kekerasan massal, tidak jarang

masyarakatnya terpecah-belah dan mengalami konflik sosial.

Rekonsiliasi diperlukan untuk memulihkan kondisi masyarakat

untuk mencapai kesepakatan mengenai syarat penyelesaian

konflik yang terjadi.166 Dalam beberapa kondisi, perpecahan

yang terjadi dalam masyarakat terjadi akibat adanya

distorsi sejarah yang sejak awal sudah dikonstruksikan

untuk menimbulkan perpecahan. Dalam hal ini, rekonsiliasi

dan persatuan nasional juga terkait dengan proses pencarian

kebenaran.167

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       the President, Outreach Program Proposal (1999) (unpublished report on file with the Berkeley Journal of International Law) sebagaimana dikutip oleh Triponel, op. cit., hal. 283.

166 Arinanto, op. cit., hal. 156. 167 Lihat pernyataan seorang guru sejarah di Rwanda yang

mengatakan, “History in Rwanda comes in two versions: Hutu and Tutsi. Ever since the colonial period, the cycle of violence has been fed by a victim psychology on both sides. Every round of perpetrators has justified the use of violence as the only effective guarantee against being victimized yet again. For the unreconciled victim of yesterday's violence, the struggle continues. The continuing

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 79: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

72

 

Oleh karena itu, keadilan yang dicoba dicapai pada

masa transisi politik harus memiliki dimensi

transformasional, yakni untuk mengubah perilaku sosial dan

budaya hukum masyarakat yang lebih menghormati keadilan itu

sendiri dan agar masyarakat tidak melakukan perbuatan yang

sama di masa mendatang. Penghapusan budaya ketidakadilan

dan kekerasan akibat situasi politik di masa lalu melalui

metamorfosis dari setiap tingkatan masyarakat merupakan

tantangan terbesar dalam pencarian keadilan transisional.168

Dengan demikian, transformasi dilihat sebagai suatu

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       tragedy of Rwanda is that each round of violence gives us yet another set of victims-turned-perpetrators… the identification of both perpetrator and survivor is contingent on one's historical perspective. This is why it is not possible to think of reconciliation between Hutu and Tutsi in Rwanda without a prior reconciliation with history… In order to "break the stranglehold of Hutu Power and Tutsi Power," it is first necessary to "break their stranglehold on Rwanda's history writing, and thus history making. This exercise requires putting the truth of the genocide, the truth of mass killings, in a historical context.” (huruf tebal dari penulis, ed). Dikutip dari Ariel Meyerstein, “Transitional Justice and Post-

Conflict Israel/Palestine: Assessing the Applicability of the Truth Commission Paradigm,” Case Western Reserve Journal of International Law (2006-2007): 287.

168 Daly, op. cit., hal. 82-83. Dikatakan bahwa, “[T]ransformative

justice requires metamorphosis at all levels of society. Victims become survivors; perpetrators become good neighbors; powerful people learn to wield their authority responsibly or become less powerful.”

Sebagai contoh, pada masyarakat yang sudah bertransformasi, adanya mekanisme demokrasi seperti pemilihan presiden langsung atau adanya konstitusi yang menjamin HAM bukan hanya sekedar persyaratan formil, namun segenap rakyat secara sungguh-sungguh mempercayai nilai-nilai demokrasi, HAM, dan prinsip konstitusionalisme.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 80: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

73

 

aktivitas terintegrasi dan holistik dalam mengubah

perilaku, kesadaran, mental, budaya, dan kondisi riil dari

suatu masyarakat melalui suatu mekanisme yang mencerminkan

nilai-nilai yang diperjuangkan oleh masyarakat tersebut

ketika proses transisi politik pada awalnya terjadi.169

3. “Right” to Know sebagai Perkembangan atas Hak untuk

Mengetahui Kebenaran dalam Konteks Keadilan

Transisional

Perkembangan dalam konsep keadilan transisional

melahirkan suatu gagasan baru yang dinamakan sebagai Right

to Know (dalam huruf kapital). Disesuaikan dengan konteks

suatu negara yang mengalami masa transisi politik, Right to

Know berbeda dengan hak untuk mengetahui kebenaran (right

to know the truth –dalam huruf kecil-).170 Menurut Joinet

dalam Report on Question of the Impunity of 1997,171 Right

                                                                                                                          169 Daly, op. cit., hal 82-83. 170 Penulis tidak menemukan terminologi yang sesuai untuk

menerjemahkan Right to Know. Penulis cenderung menggunakan terminologi “hak untuk mengetahui kebenaran kolektif,” namun karena tidak pernah digunakan oleh ahli hukum internasional di Indonesia, maka tetap digunakan frase dalam bahasa aslinya.

171 “The Administration of Justice and the Human Rights of Detainees: the Question of the Impunity of Perpetrators of Human Rights Violations (Civil and Political).” Revised Final Report Prepared by Mr.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 81: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

74

 

to Know bukan merupakan hak korban secara individu untuk

mengetahui kebenaran, melainkan hak kolektif suatu

masyarakat mengenai kebenaran sejarah. Dikatakan secara

lengkap bahwa,

“This is not simply the right of any individual victim or closely related persons to know what happened, a right to the truth. The right to know is also a collective right, drawing upon history to prevent violations from recurring in the future. Its corollary is a “duty to remember,” which the State must assume, in order to guard against the perversions of history that go under the names of revisionism or negationism; the knowledge of the oppression it has lived through is part of a people’s national heritage and as such must be preserved. These, then, are the main objectives of the right to know as a collective right.”172

Dalam konteks ini, Right to Know terkait dengan segala

tindakan untuk mencegah impunitas yang bersumber dari

konsep “hak korban untuk mengetahui kebenaran.”173 Pada

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       Joinet pursuant to Sub-Comission Decision 1996/119, UN Doc. E/CN.4/Sub.2/1997/20/Rev. 1,2 Oktober 2007 at Annex II (for the Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity), <http://www.unhcr.ch/huridocda/huridocda. nsf/(Symbol)/E.CN.4.sub.2.1997.20.Rev.1.En>

Lhat juga Brian F. Havel, “In Search of a Theory of Public Memory: The State, The Individual, and Marcel Proust,” Indiana Law Journal (Summer 2005):687.

172 Ibid., paragraph 17. 173 Lihat Taufik Basari, “In Searching for Transitional Justice:

Can the Truth and Reconciliation Commission in Indonesia Reveal “The Real Truth” for Reconciliation?” (Graduate Thesis Northwestern University School of Law) (2005).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 82: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

75

 

awalnya, hak korban untuk mengetahui kebenaran merupakan

hak dari korban atau keluarga korban untuk mengetahui

segala kejadian yang menimpa mereka/sanak saudara mereka,

terutama menyangkut kasus penghilangan paksa dan kemudian

berkembang ke berbagai pelanggaran HAM lainnya, termasuk

hak atas kehidupan, hak atas perlakuan manusiawi (humane

treatment), dan hak untuk mendapatkan peradilan yang

adil.174 Apabila ditinjau dari perspektif keadilan

transisional, pendekatan kolektif-komunitas yang digunakan

merupakan wujud keadilan restoratif yang mencoba untuk

memulihkan “luka sosial” masyarakat.175

Right to Know dijabarkan secara komprehensif dalam

Update Set of Principles for the Protection and Promotion

of Human Rights through Action to Combat Impunity of 2005

(untuk selanjutnya disebut sebagai Update Set of Principles

to Combat Impunity 2005).176 Ketentuan demikian dimaksudkan

                                                                                                                          174 Ibid. 175 Lihat Waldman, op. cit., hal. 359. Lihat juga Daly, op. cit.,

hal. 79. 176 Diane Orentlicher (a), “Promotion and Protection of Human

Rights,” Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity, Addendum Update Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity,” UN Economic and Social Council Commission on Human Rights, UN. Doc. E/CN.4/2005/102.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 83: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

76

 

untuk memperbarui Set of Principles for the Protection and

Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity

of 1997 (selanjutnya disebut Set of Principles to Combat

Impunity of 1997).177 Menurut Diane Orentlicher, Set of

Principles tidak dimaksudkan untuk menciptakan norma hukum

internasional yang baru, melainkan merefleksikan

perkembangan dalam hukum internasional.178 Artinya, dokumen

Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005 memang

tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat (non-legally

binding effect), namun prinsip-prinsip yang terkandung di

dalamnya dipraktekan di berbagai negara di dunia sehingga

dapat dikatakan sebagai hukum kebiasaan internasional.179

Dalam perjalanannya, prinsip ini juga memiliki peran yang

penting dalam menentukan arah perkembangan hukum

internasional yang berkaitan dengan impunitas.180 Dengan

                                                                                                                          177 Lihat Ibid.

178 Diane Orentlicher (b), “Promotion and Protection of Human

Rights,” Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity,” UN Economic and Social Council Commission on Human Rights, UN. Doc. E/CN.4/2005/102. Dikatakan, “to reflect recent developments in international law and practice, including international jurisprudence and State practice, and taking into account the independent study,” paragraph 1, 2, dan 4.

179 Lihat Commission of Human Right (CHR) Resolution 2004/72,

Impunity, E/CN.4/RES/2004/72. 21 April 2004, (ap.ohchr.org/documents/ E/CHR/resolutions/E-CN_4-RES-2004-7.doc) (13 Maret 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 84: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

77

 

kata lain, Set of Principles tidak hanya berfungsi sebagai

kodifikasi, melainkan juga melakukan modifikasi dalam hukum

internasional.

Dalam 38 Prinsip yang termuat dalam Update Set of

Principles to Combat Impunity 2005, Right to Know tercantum

dalam Prinsip 1-17, selain juga terkandung dalam dokumen

tersebut adalah “Right to Justice” dan “Right to

Reparation.”181 Right to Know dalam Prinsip ini dibagi

menjadi beberapa ketentuan sebagai berikut:

(a) General provision: terdiri dari inalienable right

to the truth, the duty to preserve memory, the

victim’s right to know, guarantees to give effect

to the right to know;182

(b) Commission of inquiry: terdiri dari the

establishment and the role of truth commissions,

guarantees of independence, impartiality and

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        180 Orentlicher (b), op. cit. Update Set of Principles to Combat

Impunity merupakan hasil kajian dari berbagai ketentuan hukum dan praktek negara dalam upaya pencarian keadilan dan kebenaran pada masa transisi politik.

181 Untuk pembahasan mengenai ketiga hak ini, dapat dilihat pula

Note by Secretary General, “Promotion and Protection of Human Rights, Impunity,” UN Economic and Social Council Commission on Human Rights, UN Doc. E/CN.4/2004/88.

182 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005, Prinsip 2-5.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 85: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

78

 

competence, definition of a commission’s terms of

reference, guarantees for persons implicated,

guarantees for victims and witnesses testifying

on their behalf, adequate resources for

commissions, advisory functions of the

commissions, publicizing the commission’s

reports;183

(c) Preservation of and access to archives bearing

witness to violations: terdiri dari measures for

the preservation of archives, measures for

facilitating access to archives, cooperation

between archive departmens and the courts and

non-judicial commissions of inquiry, specific

measures relating to archives containing names,

specific measures related to the restoration of

or transition to democracy and/or peace.184

Berdasarkan penjabaran Prinsip “Right to Know” di

atas, terlihat bahwa dalam masa transisi politik, kulminasi

                                                                                                                          183 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005, Prinsip

6-13. 184 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005, Prinsip

14-18.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 86: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

79

 

dari hak korban untuk mengetahui kebenaran membentuk satu

hak baru yang dimiliki oleh masyarakat keseluruhan dan di-

ejawantah-kan secara “best practice” melalui pembentukan

komisi kebenaran.185 Prinsip ini memiliki keterkaitan erat

dengan legalitas pemberian amnesti, karena memberikan

panduan sekaligus batasan tentang sejauh mana amnesti dapat

diberikan tanpa melanggar Right to Know suatu masyarakat

dalam negara transisi.186 Konsep Right to Know juga

merupakan dasar pemikiran dalam berbagai pertimbangan hukum

dari putusan peradilan internasional yang mengadili

pemberian amnesti sebagaimana dijelaskan dalam sub-bab

berikut ini.

B. Legalitas Pemberian Amnesti dalam Masa Transisi

Politik di Amerika Latin Melalui Penafsiran Mekanisme

Penegakkan HAM Regional di Amerika Latin

Berdasarkan prinsip keadilan retributif, amnesti hanya

dapat diberikan apabila dimaksudkan untuk memperbaiki

                                                                                                                          185 Lihat Note by Secretary General, op. cit. 186 Ronald C. Slye, “The Legitimacy of Amnesties Under

International Law and General Principles of Anglo-American Law: Is A Legitimate Amnesty Possible?” Virginia Journal of International Law (Fall 2002): 193.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 87: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

80

 

ketidakadilan.187 Kondisi demikian tidak akan tercapai

apabila amnesti diberikan oleh rejim politik yang melakukan

kejahatan itu sendiri. Impunitas seperti itu yang menjadi

ciri pemberian amnesti di kawasan Amerika Latin. Masa

transisi politik di Amerika Latin pada masa Perang Dingin,

yang ditandai dengan revolusi dan perubahan rejim

melahirkan berbagai pelanggaran HAM yang tergolong sebagai

kejahatan internasional.188 Pada masa ini, Cassel mencatat

setidaknya terdapat 11 negara yang memberlakukan legislasi

amnesti untuk membebaskan rejimnya sendiri dari

penghukuman.189 Berikut diberikan ilustrasi dari dua negara,

yakni Cile dan Argentina.

1. Praktek Pemberian Amnesti di Cile dan Argentina

Cile merupakan negara pertama di kawasan Amerika Latin

yang memberlakukan legislasi amnesti dan diikuti oleh

negara tetangganya. Pada April 1978, pemerintahan Jenderal

                                                                                                                          187 Bassiouni (a), op. cit., hal. 731. 188 Brian D. Tittemore, “Ending Impunity in the Americas: The Role

of the Inter-American Human Rights System in Advancing Accountability for Serious Crimes Under International Law,” Southwestern Journal of Law and Trade in the Americas (2006): 429.

189 Douglas Cassel, “Lessons from the Americas: Guidelines for

International Response to Amnesties for Atrocities,” 59 Law and Contemporary Problems 205 (Autum 1996).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 88: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

81

 

Pinochet mengeluarkan Decree Law No. 2191.190 Undang-undang

ini memberikan amnesti menyeluruh (blanket amnesty) atas

tindakan "murder, mayhem, batteries, unlawful detention,

kidnappings, disappearances, and torture" yang dilakukan

oleh agen negara Cile dalam kurun waktu 1975-1978 saat

negara dalam “keadaan darurat” pada masa perang.191

Legislasi ini dianggap sebagai “tameng” impunitas dalam

menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM berat, termasuk

pembunuhan dan penghilangan paksa lebih dari 3000 orang,

yang dilakukan oleh rejim Pinochet.192

Pada tahun 1988, Jenderal Pinochet tidak lagi menjadi

pemimpin Cile, digantikan oleh Patricio Aylwyn sebagai

Presiden Cile. Pinochet, meskipun demikian, menjabat

sebagai Panglima dari tentara nasional Cile sehingga tetap

memiliki pengaruh yang besar.193 Oleh karena itu,

pemerintahan yang baru tidak mampu mengubah pemberlakuan

                                                                                                                          190 Fröhlich, op. cit., hal. 272. 191 Fröhlich, op. cit., hal. 273. 192 Phillipe Sands, Lawless World The Whistle-blowing Account of

How Bush and Blair are Taking the Law into Their Own Hands,(London: Penguin Books, 2005), hal. 23.

193 Terence Coonan, “Rescuing History: Legal and Theological

Reflections on the Task of Making Former Torturers Accountable,” Fordham International Law Journal (1996).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 89: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

82

 

amnesti yang dilakukan oleh rejim Pinochet terhadap anggota

kelompoknya sendiri.194

Namun demikian, Menghadapi tuntutan masyarakat Cile,

Presiden Aylwin akhirnya membentuk Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi Nasional untuk menyelidiki berbagai

pelanggaran HAM berat.195 Komisi ini berhasil membeberkan

kepada publik fakta seputar kejahatan yang dilakukan oleh

rejim Pinochet dan membawanya ke pengadilan. Presiden saat

itu membentuk suatu konsep hukum yang dikenal dengan

“Aylwin doctrine,” mengandung pengertian bahwa legislasi

amnesti memang melarang pemberian hukuman, namun tidak

melarang investigasi dan pemeriksaan di sidang

pengadilan.196

                                                                                                                          194 Kristin Bohl, Breaking the Rules of Transitional Justice,”

Wisconsin International Law Journal (Spring 2006): 63 195 Lihat Decree Establishing the National Commission on Truth and

Reconciliation, Supreme Decree No. 355. Cile, 25 April 1990, dalam Fröhlich, op. cit., hal. 308.

196 Bohl, op. cit., hal. 563. Sebagai contoh, sekelompok militer

Cile yang dibawa ke pengadilan karena melakukan penghilangan paksa dinyatakan bersalah, namun tidak dapat dihukum karena legislasi amnesti yang berlaku.

Kasus di Cile merupakan contoh klasik dari keadilan transisional. Pemerintahan yang baru harus menghadapi tuntutan dari masyarakat, sementara di sisi lain rejim yang berkuasa terdahulu tetap memiliki pengaruh politik yang sangat kuat. Oleh karena itu, pemerintahan baru terpaksa melakukan kompromi untuk menjamin bahwa penegakan hukum dilakukan, tetapi tidak menyentuh kejahatan yang dilakukan oleh rejim Pinochet.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 90: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

83

 

Perkembangan mulai terjadi signifikan ketika Mahkamah

Agung Cile menyatakan bahwa legislasi amnesti tidak berlaku

terhadap pelaku penyiksaan. Pada tahun 2005 Pinochet

akhirnya dinyatakan bertanggungjawab atas penghilangan

paksa yang terjadi pada masa pemerintahannya, dan diberikan

hukuman tahanan rumah.197 Pada tahun 2006, keputusan

penahanan ini diperkuat oleh Mahkamah Agung yang menyatakan

Pinochet bersalah telah melakukan pelanggaran HAM berat.198

Kasus yang serupa terjadi di Argentina. Dalam kudeta

militer yang dilakukan pada tahun 1976, rejim militer

berkuasa memberlakukan “Proceso de Reorganizacion Nacional”

yang memberikan kewenangan bagi militer melakukan berbagai

pelanggaran HAM berat. Sebelum jatuh oleh pemerintahan

Alfonsin yang dipilih secara demokratis, militer Argentina

memberlakukan legislasi amnesti.199 Presiden Alfonsin segera

melakukan penyelidikan dan penuntutan atas pelanggaran HAM

                                                                                                                          197 Heather Walsh, “Chile's Pinochet Charged in Six Disappearances

(Update 2)” (Nov. 24, 2005), http://www.bloomberg.com (11 Januari 2008).

198 Lihat High Court Upholds Stripping Pinochet of Legal Immunity,

Chicago Tribune, 23 April 2006, dalam Fröhlich, op. cit., hal. 311. 199 Lihat “Argentina Legal Memorandum: The Full Stop and Due

Obedience Laws,” AMR 13/018/2003 (Amnesty International December 2003), http://web.amnesty.org/library/pdf/AMR130182003ENGLISH/$File/AMR1301803.pdf. (10 Februari 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 91: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

84

 

berat di masa junta militer, namun sesuai dengan prinsip

hukum pidana, hakim harus memberlakukan hukum yang

menguntungkan bagi terdakwa. Dalam hal ini, legislasi

amnesti harus dinyatakan berlaku bagi militer yang dibawa

ke pengadilan.200

Di bawah kepemimpinan Alfonsin, legislasi amnesti

dibatalkan dengan menggunakan prinsip hukum alam, bahwa

legislasi tersebut tidak sesuai dengan cita hukum

Argentina.201 Selain itu, dibentuk Comisión Nacional sobre

Desaparición de Personas (CONADEP), dianggap sebagai komisi

kebenaran pertama di dunia, yang mampu memberikan laporan

bernama “Nunca Mas” yang disambut baik oleh publik. Laporan

ini kemudian dijadikan bahan bagi jaksa untuk melakukan

penuntutan. Argentina menjadi negara Amerika Latin pertama

yang mengadili aparat militer atas tuduhan pelanggaran HAM

dengan hasil beberapa jenderal junta militer dipidana.

Namun demikian, untuk menciptakan ketentraman sosial

di masa transisi, diberlakukan “full stop law” (ley de

punto final).202 Ketentuan ini memberikan tenggat waktu enam

                                                                                                                          200 Ibid. 201 Fröhlich, op. cit., hal. 275.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 92: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

85

 

puluh hari untuk melakukan penuntutan terhadap aparat

militer yang terjadi pada masa Proceso de Reorganizacion

Nacional. Selain itu, diberlakukan pula “due obedience law”

(obidienca debida) yang mengeluarkan aparat junior dari

tanggung jawab hukum dengan alasan bahwa mereka hanya

mengikuti perintah.203

Sayangnya, pada tahun 1989 dan 1990, Presiden Menem

yang menggantikan Alfonsin mengabulkan permohonan maaf

(pardon) bagi aparat militer yang dinyatakan bersalah oleh

pengadilan. Perkembangan terakhir baru terjadi pada tahun

2005 ketika Mahkamah Agung Argentina akhirnya menyatakan

bahwa full stop law dan due disobedience law adalah

inkonstitusional karena menciptakan amnesti yang berujung

pada impunitas.204 Ketentuan tersebut dianggap tidak sesuai

dengan American Convention on Human Rights dan

International Covenant on Civil and Political Rights.205

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       202 Lihat Law No. 23492, Argentina 24 Desember 1986, dalam

Fröhlich, op. cit., hal. 311. 203 Lihat Law No. 23521, Argentina, 4 Juni 1987, dalam Fröhlich,

op. cit., hal. 312. 204 Corte Suprema de Justicia,14/6/2005, "Simón, Julio Héctor y

otros s/ privación ilegítima de la libertad, etc./recurso de hecho," http://www.csjn.gov.ar/ (25 Februari 2008).

205 Ibid.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 93: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

86

 

2. Penafsiran Mekanisme Penegakkan HAM Regional

Amerika Latin Mengenai Pemberian Amnesti

Berdasarkan dua contoh kasus, di atas, dapat dilihat

bahwa negara-negara di Amerika Latin banyak mengalami masa

transisi politik dalam sejarah kenegaraannya yang mana

dalam masa tersebut pemberian amnesti kerap diberikan. Oleh

karena itu, perkembangan hukum HAM regional di wilayah ini

memunculkan banyak prinsip-prinsip hukum internasional

mengenai legalitas amnesti.206 Namun demikian, mengingat

kondisi transisi politik di Amerika Latin cenderung tidak

stabil dan kerap menimbulkan gerakan-gerakan kontra-

revolusi lanjutan,207 pemberian amnesti di negara-negara

tersebut cenderung gagal dalam mengatasi konflik dan

menciptakan perdamaian.208 Implikasinya, prinsip-prinsip

hukum internasional yang dikemukakan dalam mekanisme

                                                                                                                          206 Cassel, op. cit., hal. 198-199.

207 Lihat juga Claudia Martin, “Catching Up with the Past: Recent

Decisions of the Inter-American Court of Human Rights Addressing Gross Human Rights Violations Perpetrated During the 1970-1980s,” Human Rights Law Review (2007): 774.

208 Robertson, op. cit., hal. 109, menyatakan bahwa “the real

purpose of an amnesty statute in times of transition is not to promote ‘national reconciliation’ or to diminish in a new democratic society deliberating desire for revenge, it is to enable government officials, military and police officers, to escape responsibility for the crimes against humanity which they ordered committed.”

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 94: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

87

 

penegakkan HAM di Amerika Latin memperkuat pelarangan

pemberian amnesti.

Banyak kasus pelanggaran HAM yang tergolong sebagai

kejahatan internasional diadili dalam mekanisme penegakkan

HAM di Amerika Latin. Mekanisme ini didasarkan atas The

American Convention on Human Rights,209 dan ditegakan

melalui Inter-American Court of Human Rights (“Inter-

American Court”) dan Inter-American Commission on Human

Rights (“Inter American Commission”). Dalam sistem ini,

individu dapat mengajukan aplikasi baik kepada Inter-

American Commission ataupun Inter-American Court210 untuk

memutus apakah negara peserta dianggap melanggar konvensi

dan hukum internasional.211 Setidaknya terdapat perkembangan

dan penguatan atas tiga prinsip hukum internasional dalam

mekanisme ini.

                                                                                                                          209 Dibuka untuk ditandatangani bagi seluruh anggota Organisation

of American States –OAS- (yang mana Amerika Serikat bukan negara peserta) dan berlaku (entered into force) pada tahun 1978.

210 Inter-American Court memiliki kewenangan dalam hal negara

yang digugat mengakui yurisdiksi peradilan regional tersebut. Hanya Inter-American Commission dan negara yang bersangkutan yang memiliki kompetensi untuk menerima (invoke) yurisdiksi dari Inter-American Court.

211 Wallace, op. cit., hal. 216.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 95: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

88

 

Pertama, menyangkut kewajiban negara dalam hukum

internasional untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku

kejahatan internasional. Causae célèbre dalam Inter-

American Court yang selalu dikutip dalam literatur hukum

internasional adalah Velásquez-Rodríguez v. Honduras

(1988).212 Perkara ini menyangkut pemberian amnesti yang

diberikan kepada aparat militer Honduras akibat tindakannya

yang melakukan penghilangan paksa aktivis mahasiswa yang

secara meluas dan sistematik.213 Dikatakan dalam putusan

perkara ini bahwa,

“The State is obligated to investigate every situation involving a violation of the rights protected by the Convention. If the State apparatus acts in such a way that the violation goes unpunished and the victim's full enjoyment of such rights [to life and physical integrity of the person in the instant case] is not restored as soon as possible, the State has failed to comply with its duty to ensure the free and full exercise of those rights to the persons within its jurisdiction.”214

                                                                                                                          212 Fernando Felipe Basch, “The Doctrine of the Inter-American

Court of Human Rights Regarding State’s Duty to Punish Human Rights Violations and Its Dangers,” Academy on Human Rights and Humanitarian Law (2007): 196.

213 Lihat Cassel, op. cit., hal. 210. Robertson, op. cit., hal.

292. 214 Velásquez-Rodríguez v. Honduras, 1988 Inter-Am. Ct. H.R. (ser.

C) No. 4, p. 134 (July 29, 1988).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 96: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

89

 

Kasus ini menafsirkan perkara kewajiban negara

melakukan penuntutan berdasarkan Pasal 1 ayat (1) American

Convention on Human Rights (ACHR). Berdasarkan

yurisprudensi perkara ini, dinyatakan bahwa terdapat dua

kewajiban yang timbul dari Pasal tersebut. Pertama, negara

peserta wajib menghormati (respect) segala hak dan

kebebasan yang terkandung di dalam Konvensi.215 Kedua,

negara peserta wajib memastikan (ensure) pelaksanaan hak

tersebut secara bebas dan penuh kepada setiap orang sesuai

dengan yurisdiksinya,216 yang mana dijabarkan sebagai

berikut,

“This obligation implies the duty of the States Parties to organize the governmental apparatus and, in general, all the structures through which public power is exercised, so that they are capable of juridically ensuring the free and full enjoyment of human rights. As a consequence of this obligation, the States must prevent, investigate and punish any violation of the rights recognized by the Convention…”

Menurut Cassel,217 putusan ini melengkapi Guidelines

yang dikeluarkan oleh Inter-American Commission sebelumnya

                                                                                                                          215 Velásquez-Rodríguez v. Honduras, op. cit., p. 165. 216 Velásquez-Rodríguez v. Honduras, op. cit., p. 165. 217 Cassel, op. cit . , hal. 209.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 97: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

90

 

menyangkut pemberian amnesti dalam masa transisi politik.

Guidelines tersebut menyatakan bahwa amnesti tidak sah

apabila diberikan oleh rejim pelaku pelanggaran HAM

sendiri, dan meskipun amnesti diberikan oleh otoritas yang

terpilih secara demokratis, fakta demikian tidak menghapus

kewajiban negara untuk menuntut pelaku kejahatan

internasional.218 Namun demikian, walaupun Inter-American

Court menekankan kepada kewajiban negara, pengadilan

ternyata tidak memerintahkan Honduras untuk melaksanakan

proses peradilan yang diperlukan,219 melainkan hanya

mengharuskan Honduras membayar kompensasi yang wajar bagi

keluarga dekat korban.220 Sejak perkara ini, semangat Inter-

American Court untuk menghilangkan impunitas semakin

menguat.221

                                                                                                                          218 Annual Reports Inter-American Commission on Human Rights

(1986), hal. 191-193. Lihat bagian “Areas in which Steps Need to be Taken Towards Full Observance of the Human Rights Set Forth in the American Declaration on the Rights and Duties of Man and the American Convention on Human Rights.” Dapat diakses dalam http:// www.cidh.oas.org/annualrep/86.87eng/toc.htm (1 Juni 2008).

219 Ibid., hal. 174 dan 194. 220 Ibid., hal. 194.

221 Cermati “the State has the obligation to use all the legal

means at its disposal to combat that situation, since impunity fosters chronic recidivism of human rights violations, and total defenselessness of victims and their relatives.” Paniagua-Morales v.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 98: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

91

 

Dalam salah satu kasus paling baru pada Inter-American

Court, perkara Barios Altos v. Peru (menyangkut praktek

pembunuhan yang dilakukan oleh skuadron penembak dari

aparat militer Peru dalam menghadapi pemberontakan Sendero

Luminoso), secara tegas pemberian amnesti dilarang karena

bertentangan dengan hukum internasional.222 Dikatakan bahwa,

“[A]ll amnesty provisions, provisions on prescription and the establishment of measures designed to eliminate responsibility are inadmissible, because they are intended to prevent the investigation and punishment of those responsible for serious human rights violations such as torture, extrajudicial, summary or arbitrary execution and forced disappearance, all of them prohibited because they violate non-derogable rights recognized by international human rights law.“223

Kedua, menyangkut perlindungan hak bagi korban

kejahatan internasional. Menurut Inter-American Court,

salah satu perlindungan bagi korban kejahatan internasional

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       Guatemala, 1998 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No. 37, hal. 4-12 (Mar. 8, 1998).

Kasus berikutnya setelah Velásquez-Rodríguez v. Honduras yang membahas pemberian amnesti adalah Aloeboetoe v. Suriname mengenai penyiksaan terhadap sekelompok nelayan India oleh tentara. Dalam perkara ini, Inter-American Court memerintahkan Suriname untuk membayar kompensasi baik untuk mengganti kerugian actual (actual damage) dan kerugian moral (moral damage). Lihat Robertson, op. cit., hal. 293.

222 Basch, op. cit. 223 Barrios Altos v. Peru, 2001 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No.

83, p. 14 (Sept. 3, 2001).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 99: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

92

 

adalah fair trial dalam masa penuntutan bagi si pelaku.224

Keberadaan proses peradilan dengan demikian tidak hanya

penting untuk mengadili pelaku, melainkan pula memenuhi hak

korban.225 Dalam proses peradilan, korban akan mendapatkan

reparasi (pemulihan) atas kejadian yang menimpanya.

Reparasi ini yang tidak didapatkan apabila amnesti terhadap

pelaku diberikan. Perlindungan bagi hak korban ini

ditafsirkan dari Pasal 8 ayat (1)226 dan Pasal 25227 American

                                                                                                                          224 “…the American Convention obliges the State to guarantee to

every individual access to the administration of justice and, in particular, to simple and prompt recourse, so that, inter alia, those responsible for human rights violations may be prosecuted and reparations obtained for the damages suffered.” Loayza-Tamayo v. Peru, 1998 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No. 42, p. 168 (Nov. 27, 1998).

Lihat juga Lincoleo v. Chile, Case 11.711, Inter-Am. C.H.R. 61, OEA/ser. L./V./II.111, doc. 20 (2001), __ 58-65.

225 Bulacio v. Argentina, 2003 Inter-Am. Ct. H.R. (sec. C) No.

100, p. 162 (Sept. 18, 2003). 226 “Article 8(1) of the Convention must be given a broad

interpretation. . . . Thus interpreted, the aforementioned Article 8(1) of the Convention also includes the rights of the victim's relatives to judicial guarantees . . . [and] recognizes the right . . . to have [the crimes] effectively investigated, . . . those responsible prosecuted for committing said unlawful acts; [and] to have the relevant punishment, where appropriate, meted out.” Blake v. Guatemala, 1998 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No. 36, p. 96- 97 (Jan. 24, 1998). Las Palmeras v. Colombia, 2001 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No. 90, p. 59-67 (Dec. 6, 2001).

227 Ignacio Ellacuria, S.J.y Otros v. El Salvador, Case 10.488,

Report No. 136/99, OEA/Ser.L/V/II.106 Doc. 3 rev. at 608 (1999). Dikatakan “the right to an effective recourse for protection of fundamental rights enshrined in Article 25 obligates a state to prosecute those responsible for a crime, to "apply to them the corresponding legal penalties," and to pursue the prosecution to its "ultimate conclusion.”

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 100: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

93

 

Convention on Human Rights. Dalam perkara Espinoza v. Cile,

dikatakan bahwa,

"Amnesties...cannot deprive victims...[of]...the right to obtain, at a minimum, adequate reparations for human rights violations enshrined [sic] in the American Convention… the manner in which the amnesty was applied by the courts affected the right to obtain reparations within the civil courts, given the impossibility of individualizing or identifying those responsible for the disappearance, torture, and extrajudicial execution of Carmelo Soria.” 228

Perlindungan atas hak korban merupakan satu kesatuan

yang tidak dapat dipisahkan dari kewajiban negara untuk

melakukan penuntutan atas kejahatan internasional.229 Dalam

laporan Inter-American Commision atas perkara pembantaian

Las Hojas misalnya,230 dikatakan bahwa amnesti dalam masa

transisi politik setidaknya melanggar tiga prinsip dasar

HAM: kewajiban negara untuk menjamin penegakan HAM,

                                                                                                                          228 Lihat Carmelo Espinoza v. Chile, Case 11.725, Report No.

19/03, Inter-Am. C.H.R., OEA/Ser.L/V/II.118 Doc. 70 rev. 2 p. 588.

229 Lihat kembali Ibid. Dikatakan bahwa, “amnesty violates victim's right to justice by preventing the identification of perpetrators, establishing their responsibility, imposing the corresponding punishment, and providing judicial reparations.”

Lihat juga Garay Hermosilla et al. v. Chile, Case 10.843, Report No. 36/96, Inter-Am.C.H.R.,OEA/Ser.L/V/II.95 Doc. 7 rev. p. 111 (1997).

230 Las Hojas Massacre Case, case no. 10.287, 1992-1993 Annual Reports Inter-American Commission on Human Rights, 88 p. 1 (1993) (Spanish). Dapat diakses dalam http://www.cidh.oas.org/annualrep/ 92eng/TOC.htm (1 Juni 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 101: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

94

 

kewajiban negara dalam menjamin hak korban untuk

berpartisipasi dalam proses peradilan pidana (hak korban

untuk mendapatkan fair trial), dan hak korban untuk

mendapatkan kompensasi yang wajar sesuai dengan prinsip hak

untuk mendapatkan perlindungan peradilan (judicial

protection).231

Ketiga, menegaskan keberlakuan asas “Right to Know”

dalam negara pada masa transisi politik sebagai landasan

pelarangan pemberian amnesti. Sistem HAM regional Amerika

Latin telah secara konsisten mengembangkan gagasan hak

masyarakat secara keseluruhan (society as a whole) untuk

mengetahui kebenaran, yang berasal dari hak korban (saja)

untuk mendapatkan kebenaran.232 Dalam Guidelines yang

dibentuk oleh Inter-American Commission, sudah diberikan

pernyataan mengenai hak masyarakat secara kolektif atas

kebenaran. Dikatakan bahwa,

“every society has the inalienable right to know the truth about past events, as well as the motives and

                                                                                                                          231 Cassel, op. cit., hal. 212 dalam membahas Las Hojas Massacre

Case. 232 Judith Schönsteiner, “Dissuasive Measures and the “Society as

a WholeP: A Working Theory of Reparations in the Inter-American Court of Human Rights,” American University International Law Review (2007): 127.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 102: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

95

 

circumstances in which aberrant crimes came to be committed, in order to prevent repetition of such acts in the future. Moreover, the family members of the victims are entitled to information as to on what happened to their relatives.”233

Dalam sistem peradilan HAM regional Amerika Latin

pula, gagasan baru ini dikonkretisasi melalui laporan

Komisi maupun Pengadilan setelah sebelumnya hanya mengemuka

sebagai wacana dan tidak memberikan reparasi menyeluruh

kepada satu negara-bangsa.234 Dalam perkara Aloeboetoe v.

Suriname misalnya, reparasi diberikan kepada suku nelayan

Saramaka yang dirugikan atas pelanggaran HAM yang terjadi

karena suku ditafsirkan sebagai “keluarga” dari korban,

namun belum diberikan kepada seluruh masyarakat di

Suriname. Baru kemudian dalam perkara Caballero-Delgado v.

Colombia, Inter-American Commission mengakui salah satu

bagian dari tanggung jawab negara adalah memberikan

permohonan maaf secara terbuka (public apology) kepada

                                                                                                                          233 Lihat catatan kaki nomor 218. 234 Berbagai wacana mengenai konsep hak kolektif masyarakat ini

ditemui dalam berbagai pertimbangan hukum, antara lain dalam kasus Plan de Sánchez Massacre v. Guatemala, Moiwana Community v. Suriname, Yakye Axá Indigenous Community v. Paraguay, and Sawhoyamaxa Indigenous Community v. Paraguay. Dalam kasus tersebut, reparasi diberikan tidak kepada individu, tetapi kepada kesatuan masyarakat asli (indigenous people) yang dilanggar HAM-nya. Lihat Schönsteiner, op. cit., hal. 135.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 103: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

96

 

keluarga korban dan kepada seluruh masyarakat.235 Langkah

besar berikutnya adalah pertimbangan Inter-American Court

dalam Trujillo-Oroza v. Bolivia, dimana dikatakan,

"Finally, according to the general obligation established in Article 1(1) of the [ACHR], the State has the obligation to take all necessary steps to ensure that these grave violations are not repeated, an obligation whose fulfillment benefits society as a whole…. the right of the victim's next of kin to know what has happened to the him [sic] and, when appropriate, where the mortal remains are, constitute a measure of reparation and, therefore, an expectation that the State should satisfy for the next of kin and society as a whole."236 (huruf tebal dari penulis).

Setelah ditegaskan dalam Vargas-Areco v. Paraguay

bahwa tanggung jawab kepada seluruh masyarakat termasuk

juga hak untuk mengetahui kebenaran,237 Konsep ini semakin

menemukan bentuknya dalam konteks impunitas dan pemberian

amnesti misalnya dalam perkara Mack Chang v. Guatemala.238

                                                                                                                          235 Caballero-Delgado v. Colombia, 1997 Inter-Am. Ct. H.R. (ser.

C) No. 31, p. 21 (Jan. 21, 1997).

236 Trujillo-Oroza v. Bolivia, 2002 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No. 92, hal. 110 dan p. 231-232. (Feb. 27, 2002).

237 Vargas-Areco v. Paraguay, 2006 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No.

155, p. 81 (Sept. 26, 2006) ("[T]he imperious need to avoid repetition can only be satisfied by fighting impunity and by respecting the right of victims and society as a whole to know the truth ....");

238 Mack Chang v. Guatemala, 2003 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No.

101, p. 275 (Nov. 25, 2003) ("The outcome of the proceeding must be made known to the public, for Guatemalan society to know the truth.")

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 104: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

97

 

Pemberian amnesti dalam hal ini melanggar tanggung jawab

negara untuk memberikan akses kepada seluruh masyarakat

untuk mengetahui kebenaran dalam suatu pelanggaran HAM.239

Selanjutnya, Inter-American Court secara konsisten

memperkuat doktrin bahwa impunitas, termasuk pemberian

amnesti, merupakan pelanggaran terhadap hak kolektif

masyarakat untuk mengetahui kebenaran (“Right to Know”).240

Dalam perkembangan terbaru Inter-American Court of

Human Rights, terdapat terobosan yang penting dalam Barrios

Altos Case.241 Dalam perkara ini, Right to Know tidak hanya

saja diakui dan dijadikan landasan untuk memberikan

kompensasi kepada korban, namun pula peradilan

memerintahkan negara untuk mengubah hukum domestik dari

negara (Peru) yang memberikan amnesti kepada pelaku

kejahatan internasional.242

                                                                                                                          239 Lihat juga Romero v. El Salvador, Case 11.481, Inter-Am.

C.H.R. 37, OEA/ser. L/V./II.106, __ p. 5-8. Dikatakan "The right to the truth is a collective right that enables society to have access to information essential to the development of democracies."

240 Misalnya dalam Bulacio v. Argentina, 2003 Inter-Am. Ct. H.R.

(ser. C) No. 100, p. 120-121 (Sept. 18, 2003), dikatakan “combating impunity demands that society knows the truth about past violations.”

241 Barrios Altos v. Peru, 2001 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No.

83, p. 14 (Sept. 3, 2001).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 105: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

98

 

Dapat disimpulkan bahwa praktek peradilan regional di

Amerika Latin menentang keras pemberian amnesti, tanpa

terkecuali. Kalaupun situasi dalam masa transisi politik

tidak memungkinkan adanya penuntutan atau peradilan

terhadap pelaku kejahatan internasional, kondisi demikian

tidak memberikan hak kepada negara untuk memberi amnesti.243

Menurut penafsiran Robertson, dalam hal ini, hukum

internasional memang memberikan keleluasaan bagi negara

tersebut untuk tidak melakukan proses hukum sebelum negara

berada dalam kondisi yang stabil, namun hukum internasional

segera berlaku segera sesaat bahaya yang mengancam negara

sudah berlalu.244

C. Legalitas Amnesti dalam Hukum Internasional yang

Berkaitan Ekstradisi Pinochet dari Inggris

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       242 Ibid. Lihat Margaret Popkin, “The Serrano Sisters: El Salvador

in the Inter-American Court of Human Rights.” http://www.derechos.org/ nizkor/salvador/doc/serrano.html (12 April 2008).

243 Lihat juga UN Human Rights Commission, General Comment no. 20

(Pasal 7), 44th session (2002) yang membahas mengenai kemutlakan pemulihan yang efektif bagi korban pelanggaran HAM.

244 Robertson, op. cit., hal. 303. Dikatakan, “since a grant of

amnesty can under most constitutional arrangements be revoked by whichever body has plenary power in the State, a duty to do so may retrospectively arise under international law once the danger of reprisals has passed.”

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 106: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

99

 

Meskipun kasus penahanan mantan diktator Cile,

Jenderal Pinochet, di Inggris merupakan kasus yang diadili

di peradilan domestik Inggris, kasus ini banyak mengungkap

permasalahan-permasalahan hukum internasional dan menarik

perhatian banyak ahli hukum internasional.245 Telah

dijelaskan dalam sub-bab sebelumnya bahwa kepemimpinan

Pinochet melakukan berbagai praktek pelanggaran HAM berat

yang tergolong sebagai kejahatan internasional.246 Praktek

ini dilakukan sejak rejimnya menggulingkan pemerintahan

Salvador Allende yang dipilih secara demokratis dan sangat

intensif pada masa awal berkuasanya rejim Pinochet.247

Sebelum ia turun dari jabatannya, Pinochet memberikan

amnesti menyeluruh kepada segenap aparat militer yang

melakukan tindakan-tindakan tersebut.248

Mayoritas teror, penyiksaan, penghilangan paksa,

penahanan di luar hukum, dan berbagai praktek pelanggaran

HAM lain dilakukan oleh Intelejen Cile, DINA, yang dipimpin

                                                                                                                          245 Lihat Sands, op. cit., hal. 23; Steiner dan Alston, op. cit.,

hal. 1198; Robertson, op. cit., hal. 332. 246 Lihat catatan kaki no. 38-39; Fröhlich, op. cit., hal. 272;

Sands, op. cit., hal. 23. 247 Robertson, op. cit., hal. 332. 248 Lihat catatan kaki no. 38-39; Fröhlich, op. cit., hal. 272;

Sands, op. cit., hal. 23.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 107: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

100

 

oleh tangan kanan Pinochet, Manuel Contreras Sepuvelda.249

Contreras menyatakan bahwa segala tindakan “anti-terorisme”

yang ia lakukan merupakan perintah langsung dari Jenderal

Pinochet, dan ia melapor langsung kepada sang Jenderal.

Dalam masa penahanannya, Contreras membeberkan segala

detail atas tindakan DINA tersebut.250 Salah satu kejahatan

yang dibeberkan adalah “Operation Condor,” operasi militer

yang ditujukan untuk memberantas “teroris” musuh Cile di

seluruh dunia. Termasuk di dalam korban Operation Condor

tersebut adalah warga negara Inggris dan Spanyol.251

Pada 22 September 1998, Pinochet yang sudah turun dari

jabatannya, namun mendapatkan jabatan Senator di Cile,

berkunjung ke London untuk melakukan pemeriksaan kesehatan

yang ia lakukan secara berkala secara teratur. Pada 16

Oktober 1998, Hakim Spanyol, Baltasar Garzon mengeluarkan

                                                                                                                          249 “Manuel Contreras and the Birth of Dina,” http://www.remember-

chile.org.uk/beginners/contdina.htm (2 April 2008). 250 Dalam upaya untuk mengurangi hukuman yang akan diberikan

terhadapnya dalam berbagai perkara penghilangan paksa di Mahkamah Agung Cile, Kepada DINA, Manuel Contreras, menyatakan bahwa tindakan tersebut dan berbagai tindakan pelanggaran HAM lain dilakukan atas perintah dari Jenderal Pinochet. Jonathan Frankin and Monte Reel, “Former Secret Police Chief Blames Pinochet for Abuses,” http://www.washingtonpost. com/wp-dyn/content/article/2005/05/14/AR2005051401013. html (2 April 2008).

251 Sands, op. cit., hal. 24.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 108: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

101

 

perintah penahanan untuk menahan Pinochet atas dasar

tindakan genosida dan terorisme yang, berdasarkan kesaksian

Contreras dalam Operation Condor pada masa 1976-1983,

mengakibatkan korban warga negara Spanyol.252

Kasus mengenai legalitas surat perintah penahanan

(aresst warrant) ini kemudian diadili di Pengadilan

Inggris, yang mana Spanyol (dalam perkara diwakili oleh

Crown Prosecution Service) dianggap tidak berhak untuk

menahan dan mengekstradisi Jenderal Pinochet atas alasan

imunitas yang dimiliki oleh kepala negara (state

immunity),253 terlebih tindakan yang dituduhkan terhadapnya

dilakukan pada saat Pinochet menjadi kepala negara dan

dilakukan dalam kapasitas resmi kenegaraan.254

Selain topik utama tersebut, kasus ini juga memberikan

pedoman mengenai legalitas pemberian amnesti dalam hukum

internasional. Setidaknya terdapat tiga prinsip yang dapat

ditarik dalam kasus ini.

                                                                                                                          252 Human Rights News, “Cile: Pinochet Indicted for Human Rights

Crimes,” http://www.hrw.org/english/docs/2004/12/13/chile9840.htm (2 April 2008); Lihat juga Sands, op. cit., hal. 25.

253 Untuk pendalaman mengenai doktrin state immunity, lihat

Wallace, op. cit., hal. 115-118. 254 Regina v. Bartle, House of Lords, 24 March 1999, 2 All ER 97,

(1999) 2 WLR 827.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 109: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

102

 

Pertama, terhadap kejahatan yang memiliki

karakteristik jus cogens, terdapat kewajiban erga omnes

untuk memeriksa, menuntut, dan mengadili pelakunya.255

Prinsip sebenarnya sudah diakui sejak lama dalam hukum

internasional.256 Namun catatan penting dalam perkara ini

adalah semakin diakui bahwa penyiksaan, sebagai tindakan

yang dilakukan oleh rejim Pinochet, mengandung

karakteristik jus cogens sehingga tidak dapat disimpangi

dalam keadaan apapun, termasuk apabila negara berada dalam

masa transisi politik.257

Kedua, dalam hal suatu negara tidak mau untuk

mengadili perkara tersebut melalui pemberian amnesti

terhadap pelaku kejahatan dengan alasan seperti “untuk

menciptakan perdamaian” atau karena “negara berada dalam

                                                                                                                          255 Lihat kembali bab II penelitian ini dalam sub-bab “Tinjauan

Umum Mengenai Kejahatan Internasional.” 256 Bassiouni (a), op. cit., hal. 167. 257 Robertson, op. cit., hal. 95 dan hal. 266. Dalam perkara

Augusto Pinochet yang disidangkan di Inggris, dikatakan bahwa, “ever since 1945, torture on a large scale has featured as one of the crimes against humanity ….[which]… has the character of jus cogens …[which]… justifies states in taking universal jurisdiction over torture wherever committed. International law provides that offences jus cogens may be punished by any state because the offenders are ‘common enemies of mandking and all nations jave an equal interest in their apprehension and prosecution…” (huruf tebal dari penulis).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 110: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

103

 

masa transisi politik,” maka kewajiban untuk memeriksa,

menuntut, dan mengadili tidak hilang, melainkan beralih

kepada forum lain yang kompeten.258 Negara yang mana

wilayahnya terjadi kejahatan internasional pun tidak

memiliki alasan untuk tidak mengadili pelakunya, kecuali

negara tersebut memilih untuk mengekstradisi pelaku

(dikenal juga dengan istilah aut dedere, aut judicare).259

Kesimpulan ini dapat ditindaklanjuti dengan berbagai

perbuatan, misalnya dengan pengambilalihan perkara oleh

Mahkamah Pidana Internasional berdasarkan prinsip

komplementaritas,260 atau diadili oleh forum pengadilan dari

negara lain.261

                                                                                                                          258 Ian Brownlie, Public International Law, 6th ed, (Oxford: Oxford

University Press, 2003), hal.303. Dikatakan, “if perpetrators of crimes against humanity cannot be prosecuted

or even sued for damages in their home state –because they remain in power or have been granted amnesties –then a secondary duty may devolve upon another state to bring or permit proceedings should they come within its jurisdiction, on the principle that crimes against international law ‘may be punished by any state which obtains custody of persons suspected of responsibility.” (huruf tebal dari penulis).

Teori ini berhasil dipraktekan dalam perkara Pinochet. 259 Lihat kembali Pasal 7 Konvensi Anti Penyiksaan. 260 Terdapat tiga situasi berdasarkan Statuta Mahkamah Pidana

Internasional (MPI) yang berkaitan dengan pemberian amnesti. Pertama, dalam hal penuntut tidak melaksanakan atau menghentikan penyidikan atau penuntutan berdasarkan Pasal 53 ayat (3). Kedua, dalam konteks putusan penerimaan perkara (admissibility) berdasarkan Pasal 18 dan Pasal 19. Ketiga, dalam kasus penundaan penyidikan atau penuntutan atas permohonan Dewan Keamanan PBB berdasarkan Pasal 16.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 111: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

104

 

Ketiga, amnesti yang diberikan oleh suatu negara

kepada pelaku kejahatan internasional memang merupakan

tindakan berdaulat dari negara tersebut, namun hanya

memiliki kekuatan hukum domestik, yang artinya hanya

berlaku di yurisdiksi negara yang memberikan. 262 Artinya,

suatu negara dalam masa transisi politik dapat saja

melandaskan argumennya pada permasalahan domestik (misalnya

keadaan “darurat umum” sesuai pasal 4 ICCPR atau prinsip

necessity dalam hukum kebiasaan internasional yang

memperbolehkan dilakukannya derogasi terhadap prinsip HAM),

namun pemberian amnesti tersebut tidak mengikat negara

lain, yang memiliki yurisdiksi universal dalam mengadili

pelaku kejahatan internasional yang sedang berada di

wilayahnya. 263 Oleh karena itu, dalam perkara Pinochet,

pengadilan Inggris tidak terikat terhadap amnesti yang

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       Lihat Carsten Stahn, “Complementarity, Amnesty, and Alternative

Forms of Justice: Some Interpretative Guidelines for the International Criminal Court,” Journal of International Criminal Justice (July 2005): 695.

261 Lihat kembali Brownlie, op. cit., hal. 303. 262 Robertson, op. cit., hal. 303. 263 Lihat Robertson, op. cit., hal. 303. Dikatakan, “The amnesty may be valid under domestic law, and the action

justified in international law either under Article 4 of the Civil Covenant (a derogation taken in time of public emergency)… or under the accepted customary law notions of necessity… But such amnesties are not binding on other states, which may take universal jurisdiction to try a torturer who come within their borders.”

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 112: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

105

 

diberikan oleh Pinochet di Cile. Pengadilan Inggris,

sebaliknya, terikat dengan prinsip yurisdiksi universal

untuk mengadili kejahatan internasional, termasuk

penyiksaan yang dilakukan oleh Pinochet.

D. Hubungan Antara Pemberian Amnesti dengan Komisi

Kebenaran: Praktek di Afrika Selatan dan Sierra Leone

1. Hubungan antara Right to Know dengan Pembentukan

Komisi Kebenaran

Dalam perkembangannya, di berbagai negara yang

mengalami masa transisi politik, pemberian amnesti

dikembangkan dengan penggabungan mekanisme tersebut dengan

suatu komisi kebenaran.264 Komisi ini merupakan suatu

lembaga independen yang didirikan untuk mencari dan

menyatakan kebenaran atas segala permasalahan HAM yang

terjadi pada rejim sebelumnya.265 Komisi ini tidak melakukan

penuntutan, namun (secara umum) mencatat dan mengkompilasi

segala kejadian yang terjadi di masa lalu, siapa

                                                                                                                          264 Steiner dan Alston, op. cit., hal. 1216.

265 Declan Roche, “Truth Commission and the International Criminal

Court,” British Journal of Criminology (July 2005): 567.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 113: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

106

 

pelakunya,266 dan motivasi (politik) apa di belakangnya.

Komisi kebenaran merupakan kontradiksi dari proses

penuntutan yang dilakukan karena beberapa alasan, terutama

karena instabilitas iklim demokrasi dan banyaknya pelaku

kejahatan yang harus diadili.

Bassiouni mencoba meninjau keberadaan komisi kebenaran

berdasarkan hak korban. Menurutnya, pilihan untuk membuat

komisi kebenaran adalah lebih baik dibandingkan memberikan

amnesti secara menyeluruh untuk kepentingan politik melalui

mekanisme yang tidak mengakomodasi kepentingan korban

secara demokratis.267 Selanjutnya dikatakan, pertanggung-

jawaban pelaku kejahatan internasional dapat diberikan

secara alternatif, sepanjang tetap diikuti dengan adanya

hukuman, atau setidak-tidaknya hukuman alternatif.268

Dengan memberikan kesempatan baik bagi para korban dan

pelaku kejahatan untuk menyuarakan aspirasinya dan

memberikan rekomendasi dalam menyelesaikan permasalahan di

masa lalu, komisi kebenaran diperkenalkan untuk pertama

kalinya di negara Amerika Selatan untuk memeriksa

                                                                                                                          266 Steiner dan Alston, op. cit., hal. 1226-1233. 267 Bassiouni (a), op. cit., hal. 731. 268 Bassiouni, op. cit., hal. 730.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 114: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

107

 

pelanggaran HAM yang dilakukan diktator militer di

Argentina, Cile, El Savador, dan Guatemala dan dianggap

berhasil dalam prakteknya di Afrika Selatan.269

Ditinjau dari segi hukum internasional, keberadaan

komisi kebenaran merupakan pengejawantahan dari Right to

Know, atau hak kolektif masyarakat untuk mengetahui

kebenaran. Hal ini antara lain tergambar dalam Update Set

of Principles of 2005 yang banyak mengatur mengenai

mekanisme kerja dari komisi kebenaran.270 Komisi kebenaran

dalam prinsip ini diartikan sebagai ”official, temporary,

non-judicial fact-finding bodies that investigate a pattern

of abuses of human rights or humanitarian law, usually

committed over a number of years.”271 Agar suatu komisi

kebenaran diakui legalitasnya oleh masyarakat

internasional, lembaga ini harus selaras dengan kewajiban

umum negara untuk melakukan langkah efektif dalam mencegah

impunitas.272

                                                                                                                          269 Roche, op. cit., hal. 567. 270 Lihat kembali Sub-bab “Tinjauan Umum Mengenai Keadilan

Transisional” poin 3. 271 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005,

Definitions point D.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 115: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

108

 

Secara struktural, bagian pertama dari Right to Know

adalah mengatur mengenai ketentuan dari hak tersebut,273

sedangkan pada bagian kedua (commission of inquiry)

mengatur mengenai secara rinci aspek hukum yang perlu

diperhatikan dalam komisi kebenaran, yaitu:274 pembentukan

komisi kebenaran, tugas komisi kebenaran, jaminan yang

dibutuhkan, dan tindak lanjut dari laporan yang

dihasilkan.275 Satu hal penting yang harus diperhatikan

dalam kaitannya dengan pemberian amnesti adalah bahwa

pembentukan komisi kebenaran tidak boleh dimaksudkan untuk

menggantikan (substitusi) peradilan, baik perdata,

administrasi, maupun pidana.276

Selain itu, Naomi Roht-Arriaza, ahli hukum

internasional dan keadilan transisional, menyimpulkan bahwa

hukum internasional memberikan tiga hak mendasar bagi

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       272 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005, Prinsip

I. Lihat Basari, op. cit., hal. 57.

273 Update Set of Principles to Combat Impunity 2005, Prinsip 2-5, yaitu inalienable right to the truth, the duty to preserve memory, the victim’s right to know, dan guarantees to give effect to the right to know.

274 Basari, op. cit., hal. 58. 275 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005, Prinsip

6-13. 276 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005, Prinsip

8.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 116: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

109

 

korban kejahatan internasional: hak untuk mendapatkan

kebenaran, keadilan, dan reparasi.277 Ketiga hak tersebut

adalah saling independen antara satu sama lain. Dengan

demikian, pemenuhan salah satu hak tersebut tidak berari

menyebabkan hak lainnya tidak perlu dipenuhi.278 Dalam

perspektif ini, pun suatu komisi kebenaran berhasil

memenuhi Right to Know suatu masyarakat, tidak berarti hak

untuk memperoleh keadilan bagi korban harus dihilangkan.279

Dengan demikian, keberadaan komisi kebenaran di suatu

negara memang dapat menjustifikasi pemberian amnesti, namun

hanya sebatas kejahatan minor,280 dan bukan kejahatan yang

                                                                                                                          277 Written Testimony of Naomi Roht-Arriaza, Professor of Law,

University of California, Hastings College of the Law, before the Indonesian Constitutional Court, 2 Agustus 2006. Diakses berdasarkan surat elektronik pribadi dengan Naomi Roht-Arriaza.

278 Ibid. 279 Ibid. Dikatakan, “International law and practice recognize

three separate, independent but interrelated obligations of states, and corresponding rights of victims: the right to truth, justice and reparation. Fulfillment of one does not mean the others can be ignored, nor can one be tied to and dependent upon others.”    

280 Kesimpulan ini didapatkan berdasarkan perkembangan doktrin

yang menyatakan bahwa penuntutan dan peradilan dapat saja difokuskan kepada “the most serious crimes” dan “the most responsible perpetrators.” Artinya, untuk kejahatan tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM berat, pelaku yang bertindak hanya atas dasar perintah dapat diberikan amnesti.

Lihat Pasal 1 dan Pasa 7(1) Statuta International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia dan International Criminal Tribunal for Rwanda. Lihat juga Security Council Res. 1329 of 30 November 2000, yang mana memperhatikan “of the position expressed by the International

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 117: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

110

 

tergolong sebagai kejahatan internasional karena itu tipe

kejahatan tersebut, hak korban baru dapat dipenuhi apabila

pelaku diperiksa, dituntut, dan diadili dalam proses

peradilan.

2. Permasalahan Hukum Internasional dalam Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan

Banyak pihak yang menganggap bahwa keberhasilan komisi

kebenaran yang patut dijadikan contoh adalah South Africa

Truth and Reconciliation Commissions (SATRC) yang dibentuk

menyusul pemilihan presiden demokratis pertama pada tahun

1994, yang diketuai oleh tokoh karismatik mantan Uskup

Agung dan peraih Nobel, Desmond Tutu.281 Dipimpin oleh figur

seperti Mandela dan Uskup Tutu, SATRC dianggap berhasil

memberikan kontribusi maksimal bagi proses transisi politik

di Afrika Selatan secara damai dalam kerangka negara

demokratis, sehingga menjadi negara tersebut sebagai model

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       Tribunals that civilian, military and paramilitary leaders should be tried before them in preference to minor actors.”

281 Lihat Mary Burton, “Custodians of Memory: South Africa’s Truth

and Reconciliation Commission,” International Journal of Legal Information (Summer 2004): 417. Dikatakan, “South Africa is widely admired for its peaceful transition from a period of discrimination and oppression to a legitimate functioning democracy in which human rights are recognized and protected by the Constitution and the courts.“

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 118: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

111

 

bagi negara lain yang juga berada dalam masa transisi

politik.282

Langkah pertama Presiden Nelson Mandela setelah

memenangi pemilihan adalah mendorong pembentukan Promotion

of National Unity and Reconciliation Act (1995) yang

membentuk SATRC.283 Dalam enam tahun perjalanannya, SATRC

memiliki tiga fungsi utama, yaitu:

1. Pengumpulan bukti-bukti dan kesaksian menyangkut

pelanggaran HAM berat yang pernah dilakukan

(dilakukan oleh Komisi Pelanggaran HAM),

2. Memberikan amnesti kepada setiap individu yang

melakukan pengakuan publik secara penuh telah

melakukan kejahatan politik (dilakukan oleh

Komisi Amnesti),

3. Memberikan reparasi dan rehabilitasi kepada

Presiden menyangkut pemulihan hak para korban dan

melakukan reformasi institusi kenegaraan

                                                                                                                          282 Roche, op. cit., hal. 567. 283 Promotion of National Unity and Reconciliation Act, No. 34 of

1995.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 119: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

112

 

(dilakukan oleh Komisi Reparasi dan

Rehabilitasi),284

Komisi Amnesti dalam SATRC memiliki kewenangan untuk

memberikan amnesti terhadap setiap tindakan, kealpaan atau

kesengajaan, sepanjang pelakunya memberikan pengakuan penuh

(full disclosure) terhadap semua fakta yang relevan.

Tindakan tersebut harus memiliki motif politik sebagaimana

diatur dalam act mengenai SATRC.285 Setelah seseorang

diberikan amnesti, orang tersebut tidak dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana atas tindakan tersebut, termasuk

dilakukan penuntutan terhadapnya.286 Ia juga tidak dapat

diminta untuk memberikan reparasi bagi korban, ataupun

dimintai pertanggungjawaban perdata.287 Terhitung hingga

                                                                                                                          284 Ibid. Chapter 3. Lihat juga Roche, op. cit., hal. 567. Dikatakan, “[O]ver the next

six years, the Commission's work was done by three main committees: a Human Rights Violation Committee, responsible for collecting evidence from victims; an Amnesty Committee, responsible for handing out amnesties to individuals who made full, public confessions to political crimes; and a Reparation and Rehabilitation Committee, charged with making recommendations to the President about matters such as victim reparation and institutional reform. In 1998, the commission issued a five-volume report (and then a further report in 2001 upon the conclusion of its amnesty hearings).”

285 Promotion of National Unity and Reconciliation Act, ch. 4, P

20(1). 286 Promotion of National Unity and Reconciliation Act, P

20(7)(a).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 120: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

113

 

Maret 2002, setelah Komite Amnesti benar-benar menjalankan

seluruh tugasnya dan menyelesaikan laporan akhirnya,

tercatat terdapat 7.112 permohonan amnesti, dan 1.146

diantaranya dikabulkan.288 Kewenangan SATRC untuk memberikan

amnesti adalah suatu terobosan karena tidak dimiliki oleh

komisi serupa di negara lain, namun kewenangan ini diikuti

pula dengan hak untuk memanggil saksi atau terdakwa

(subpoena), melakukan penggeledahan dan penyitaan, serta

dilengkapi dengan anggaran yang memadai.289

Pertanyaannya kemudian adalah, jika memang SATRC

dianggap berhasil memuluskan transisi politik di Afrika

Selatan, apakah dengan demikian amnesti yang diberikan

kepada pelanggar HAM di negara tersebut dianggap sesuai

dengan hukum internasional? Atau justru terjadi konflik di

antara hukum internasional dengan praktek di Afrika

Selatan?

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       287 Ibid. 288 Sherrie L. Russell-Brown, “Out of the Crooked Timber of

Humanity: The Conflict Between South Africa’s Truth and Reconciliation Commission and International Human Rights Norms Regarding ‘Effective Remedy’” Hastings International and Comparative Law Review (Winter 2003): 259.

289 Report of Truth and Reconciliation Commission of South Africa,

5 vol., 1998, Vol. I Chapter 4: The Mandate, <http://www.info.gov.za/ otherdocs/2003/trc/> (1 Juni 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 121: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

114

 

Secara eksplisit sebenarnya sudah dapat terlihat bahwa

pemberian amnesti terhadap pelaku pelanggaran HAM berat

yang tergolong sebagai kejahatan internasional di Afrika

Selatan sudah seharusnya bertentangan dengan hukum

internasional.290 Namun demikian, dalam prakteknya pemberian

amnesti tersebut tetap dilaksanakan, meskipun bukannya

tanpa hambatan hukum. Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan

beberapa kali menerima permohonan untuk menguji

konstitusionalitas klausul pemberian amnesti tersebut.

Dalam perkara Azanian Peoples Organisation (AZAPO) v.

President of the Republic of South Africa, Mahkamah

Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan hukum di Afrika

Selatan menyediakan mekanisme pemulihan hak bagi korban.291

Di sisi lain, pengadilan telah berjalan efektif untuk

mengadili pelaku yang tidak meminta atau tidak mendapatkan

amnesti. Mahkamah juga berpendapat bahwa klausul amnesti

                                                                                                                          290 Termasuk dalam ketentuan hukum internasional yang dilanggar

adalah kewajiban untuk menuntut pelaku kejahatan internasional, dan hak korban kejahatan internasional untuk mendapatkan pemulihan atas tindakan yang menimpa dirinya. Lihat Russel-Brown, op. cit., hal. 262. (South African Government's establishment of the TRC does not appear to constitute an "effective remedy" and indeed appears to have been in conflict with international human rights "effective remedy" norms for those gross human rights violations).

291 Steiner and Alston, op. cit., hal. 1244.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 122: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

115

 

tidak bertentangan dengan hukum internasional.292 Dalam

bahasa Robertson, pemberian amnesti tidak mengadopsi

mekanisme di Cile yang dilakukan oleh rejim pelaku

kejahatan itu sendiri.293 Dalam hal ini, kewenangan SATRC

yang sangat kuat, melebihi komisi kebenaran di negara lain,

memang sudah sangat mengakomodasi prinsip-prinsip Update

Sets of Principle of 2005 dengan menjunjung pemenuhan

”Right to Know” masyarakat Afrika Selatan secara

keseluruhan. Keunggulan SATRC memang berada pada

keberhasilannya untuk membeberkan fakta sejarah mengenai

kejahatan apartheid yang terjadi.294

Pendapat ini sedikit berbeda dengan pertimbangan

Mahkamah Konstitusi ketika mengadili permohonan untuk

menolak klausul pemberian amnesti oleh janda Steven Biko,

aktivis kulit hitam karismatik yang dibunuh.295 Mahkamah

mengakui bahwa impunitas dapat terjadi dengan pemberian

amnesti, namun tanpa ”mechanism for providing amnesty... a

                                                                                                                          292 Steiner and Alston, op. cit., hal. 1244. 293 Robertson, op. cit., hal. 320. 294 Robertson, op. cit., hal. 320. 295 Lihat Carla Hesse and Robert Post, ed, Human Rights in

Political Transitions: Gettysburg to Bosnia, (New York: Zone Books, 1999), hal. 13.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 123: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

116

 

peaceful transition to a democratic society based on

freedom and equality” tidak akan terwujud.296 Bahkan

pemberian amnesti terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan

dapat dijustifikasi demi kebutuhan untuk memperoleh

kebenaran. Di sisi lain, Mahkamah juga mengakui bahwa

argumen tersebut memang bertentangan dengan hukum

internasional. Namun, hukum internasional harus diletakan

di bawah (subordinasi) dari hukum nasional Afrika

Selatan.297 Meskipun permohonannya ditolak oleh Mahkamah

Konstitusi, keluarga korban Steven Biko masih memperoleh

keadilan karena permohonan amnesti dari pelaku ditolak oleh

SATRC.298

Paul Van Zyl, ahli hukum internasional yang juga

Sekretaris Eksekutif SATRC mengakui bahwa ketentuan amnesti

dalam SATRC bertentangan dengan hukum internasional.299

                                                                                                                          296 Ibid. Lihat juga Aeyal M. Gross, “The Constitution,

Reconciliation, and Transitional Justice: Lessons From South Africa and Israel,” Stanford Journal of International Law (Winter 2004): 75.

297 Ibid. 298 Ibid. Dalam perkembangannya, penuntutan dihentikan karena

alasan kurangnya bukti yang mendukung. Gross, op. cit., hal. 75. 299 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang Perkara

Nomor 006/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Terhadap UUD 1945, Acara Mendengar Keterangan Saksi/Ahli Dari Pemohon (V), (http://www.mahkamahkonstitusi. go.id) (3 April 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 124: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

117

 

Satu-satunya alasan mengapa ketentuan tersebut tidak

dicabut oleh Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan adalah

karena Konstitusi itu sendiri yang memperbolehkan pemberian

amnesti.300 Seandainya Konstitusi Afrika Selatan tidak

mencantumkan klausul amnesti, sangat besar kemungkinan

Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan akan membatalkan

pemberian amnesti karena dianggap bertentangan dengan hukum

internasional.301

                                                                                                                          300 Ziyad Motala, “The Use of the Truth Commission in South Africa

as an Alternative Dispute Resolution Mechanism Versus International Law Obligations,” Santa Clara Law Review (2005): 920. Konstitusi Afrika Selatan yang disusun pada tahun 1993 merupakan “Konstitusi Transisi,” yang mana di dalamnya terkandung berbagai pertimbangan politik dan ekonomi. Keberadaan ketentuan amnesti dalam konstitusi merupakan wujud tarik ulur kepentingan antara para reformis (Mandela) dengan kaum apartheid yang membutuhkan jaminan bagi rejimnya akan kebebasan.

301 Mahkamah Konstitusi, op. cit. Selengkapnya pernyataan Paul Van

Zyl adalah “The only truth commission after more than thirty two commission that have operated in the world that has granted amnesty for gross violation of human rights has been the South African Commission. So I want to straight to Your Honor that the South African approach were the truth commission grant amnesty for gross violation is the exception not the rules. The reason why South African truth commission granted amnesty has to do with the particular nature of negotiation which brought apartheid to an end. During those negotiations the apartheid government indicated it would not lead the democracy came to South African unless there was an amnesty. And they made Nelson Mandela and the leader of the South African human rights movement make constitutional promise to grant amnesty. So South Africa constitution has a clause on it which obligates the new government to grant amnesty. And the principle reason why the South Africa constitutional court upheld the amnesty in South African truth commission was because it arouse from constitutional provision in South Africa constitution. If that amnesty was not in South African constitution, Constitutional Court would be very likely not upheld the amnesty.”

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 125: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

118

 

Namun demikian, Van Zyl menganggap SATRC berhasil

karena mampu menjalankan penegakan hukum yang efektif dan

berjalan seiiringan dengan pemberian oleh SATRC. Van Zyl

memberikan contoh bahwa pengadilan Afrika Selatan mampu

menghukum pimpinan senior kepolisian atas kejahatan

apartheid. Konsekuensinya, banyak sekali polisi yang

mengajukan permohonan amnesti ke SATRC agar terhindar dari

pemidanaan.302 Sebaliknya, ketika pengadilan menyatakan

bebas seorang senior militer, aparat militer bawahannya

tidak ada satupun yang mengajukan permohonan karena

menganggap mereka tidak akan dihukum, sehingga tidak perlu

mengajukan permohonan amnesti.303

Dapat disimpulkan bahwa keberhasilan amnesti di Afrika

Selatan sangat bergantung pada pengadilan yang berhasil

“menakuti” pelaku kejahatan untuk segera memberikan

kesaksian pada SATRC ketimbang harus menghadapi hukuman.

Sebagaimana diformulasikan oleh pernyataan analogis Hesse

dan Post, penuntutan internasional melalui ICTY tidak akan

sendirinya menegakan aturan hukum di Bosnia, melainkan

hanya dapat dilakukan oleh orang-orang Bosnia melalui

                                                                                                                          302 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, op. cit.

303 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, op. cit.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 126: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

119

 

institusi-institusi Bosnia.304 Dalam hal ini, meskipun

ketentuan hukum internasional sudah memberikan pedoman yang

tegas, efektivitas mekanisme keadilan transisional sangat

bergantung pada budaya hukum dari suatu masyarakat secara

lokal.305

3. Amnesti sebagai Bagian dari Kompromi Politik di Sierra

Leone yang Didukung oleh Masyarakat Internasional

Sejak tiga puluh tahun terakhir, PBB sebagai lembaga

yang bertugas menjaga perdamaian internasional memiliki

peran besar dalam menciptakan perjanjian perdamaian di

berbagai negara yang sedang mengalami konflik bersenjata.306

Dalam beberapa negara seperti Kamboja, El Salvador, Haiti,

Sierra Leone, dan Afrika Selatan, PBB sendiri yang

mendorong, membantu negosiasi, dan mendukung pemberian

                                                                                                                          304 Hesse and Post, dalam Hesse and Post, ed, op. cit. 305 Lars Waldorf, “Mass Justice for Mass Atrocity: Rethinking

Local Justice as Transitional Justice,” Temple Law Review (Spring 2006): 1.

306 Untuk melihat peran PBB dalam penjagaan perdamaian, lihat Richard M. Price and Mark W. Zacher, United Nations and Global Security, ed, (New York: Palgrave McMillan, 2004).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 127: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

120

 

amnesti sebagai salah satu mekanisme untuk menciptakan

perdamaian dan pemerintahan yang demokratis.307

Dikatakan oleh Akhavam, penasehat hukum bagi ICTY,

bahwa kecuali masyarakat internasional bersedia untuk

menggunakan kekerasan untuk menyingkirkan suatu rejim,

kerjasama di antara pemimpin (negara dan pemberontak)

dibutuhkan untuk menghentikan krisis humaniter. Sangat

tidak realistis untuk mengharapkan suatu rejim menyerah

dalam perjanjian perdamaian apabila mereka dan kelompoknya

harus menghadapi ancaman penjara seumur hidup.308 Namun

demikian, ditegaskan oleh Bassiouni bahwa pertukaran

(barter) antara pertanggungjawaban pelaku dalam hukum

pidana internasional dengan penyelesaian politik (misalnya

dengan perjanjian perdamaian) tidak dapat menghilangkan

kewajiban internasional.309

Sierra Leone merupakan contoh klasik dari bentuk

kompromi politik dalam menyelesaikan konflik di suatu

negara dengan bantuan masyarakat internasional. Pada

1990an, perang saudara antara Revolutionary United Front

                                                                                                                          307 Scharf, op. cit., hal. 343.

308 Scharf, op. cit., hal. 343. 309 Bassiouni (a), op. cit., hal. 731.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 128: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

121

 

(RUF) melawan pemerintah berlangsung tragis dengan korban

puluhan ribu jiwa. RUF juga didukung oleh Presiden Liberia,

Charles Taylor.310 Dalam rangka mengekstraksi kekayaan alam

berupa emas dan berlian, RUF melakukan berbagai kejahatan

termasuk penculikan, mutilasi, pembunuhan sistematis,

pemerkosaan, dan perekrutan tentara anak.311

Pada 7 Juli 1999, dicapai kesepakatan Lome Peace

Agreement antara Pemerintah Sierra Leone dengan pemimpin

RUF, Foday Sankoh.312 Beberapa pihak luar yang terlibat

antara lain Jesse Jakson (utusan AS untuk perdamaian),

Charles Taylor, dan bahkan perwakilan dari Sekretariat

Jenderal PBB yang ikut menandatangai perjanjian

tersebut).313

Dalam perjanjian tersebut, amnesti diberikan berupa

“absolute and free pardon” untuk semua “kombatan dan

kolaborator” berupa “no official or judicial action” untuk

                                                                                                                          310 Williamson, op. cit. 311 Payam Akhavan, “Beyond Impunity: Can International Criminal

Justice Prevent Future Atrocities,” American Journal of International Law (January 2001): 28.

312 Peace Agreement Between the Government of Sierra Leone and the

Revolutionary United Front of Sierra Leone, July 7, 1999, <http:// www.sc-sl.org/lomeratificationact.html> (15 Februari 2008).

313 Robertson, op. cit., hal. 302.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 129: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

122

 

segala tindakan yang dilakukan untuk kepentingan mereka

masing-masing.314 Serupa dengan situasi di Afrika Selatan,

secara umum pemberian amnesti didukung oleh masyarakat yang

sudah lelah dengan konflik berkepanjangan.315 Secara

mengejutkan, PBB yang terlibat dalam pembentukan perjanjian

ini dari awal, mengeluarkan reservasi di detik-detik akhir

penandatanganan. PBB mengubah pendirian sebelumnya yang

mendukung pemberian amnesti bagi pelaku kejahatan di Sierra

Leone, menjadi menentang mekanisme impunitas tersebut.

Setelah mendapat arahan dari Kofi Annan, perwakilan PBB

yang menandatangani perjanjian Lome menyatakan bahwa,

“The United Nations interprets that the amnesty shall not apply to international crimes of genocide, crimes

                                                                                                                          314 Pasal IX Lome Agreement berbunyi: “(2) After the signing of the present Agreement, the Government

of Sierra Leone shall also grant absolute and free pardon and reprieve to all combatants and collaborators in respect of anything done by them in pursuit of their objectives, up to the time of the signing of the present Agreement.

(3) To consolidate the peace and promote the cause of national reconciliation, the Government of Sierra Leone shall ensure that no official or judicial action is taken against any member of the RUF/SL, ex-SLA, or CDF in respect of anything done by them in pursuit of their objectives as members of those organizations, since March 1991, up to the time of the signing of the present Agreement...“

Lihat juga Daniel J. Macaluso, “Note, Absolute, and Free Pardon: The Effect of the Amnesty Provision in the Lome Agreement on the Jurisdiction of the Special Court of Sierra Leone,” Brooklyn Journal of International Law (2001): 363.

315 Karen Gallagher, “No Justice, No Peace: The Legalities and

Realities of Amnesty in Sierra Leone,” Thomas Jefferson Law Review (Fall 2000): 192.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 130: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

123

 

against humanity, war crimes, and other serious violations of international law.”316

Pernyataan tersebut sejalan dengan penafsiran atas

Pasal 6 ayat (5) Protokol II Konvensi Jenewa yang mengatur

pemberian amnesti. Menurut International Committee of the

Red Cross (ICRC) ketika memberikan pendapat kepada Penuntut

dalam ICTY tahun 1997, dikatakan bahwa,

“Article 6(5) of Protocol II is the only and very limited equivalent in the law of non international armed conflict of what is known in the law of international armed conflict as “combatant immunity”, i.e., the fact that a combatant may not be punished for acts of hostility, including killing enemy combatants, as long as he respected international humanitarian law, and that he has to be repatriated at the end of active hostilities. In non-international armed conflicts, no such principle exists, and those who fight may be punished, under national legislation, for the mere fact of having fought, even if they respected international humanitarian law. The “travaux préparatoires” of [article] 6(5) indicate that this provision aims at encouraging amnesty, i.e., a sort of release at the end of hostilities, for those detained or punished for the mere fact of having participated in hostilities. It does not aim at an amnesty for those having violated international humanitarian law.”317 (huruf tebal dari penulis).

                                                                                                                          316 Robertson, op. cit., hal. 302. Harus diakui, pernyataan PBB

demikian terkesan hipokrit karena sebenarnya PBB juga terlibat dan mendukung penuh pembentukan Abidjan Peace Agreement tahun 1996 antara Pemerintah Sierra Leone dengan RUF. Perjanjian damai tersebut juga mengandung pasal “broad amnesty.” Lihat Schabas, op. cit., hal. 154-57.

317 Pernyataan dari Dr. Toni Pfanner, Head of the Legal Division,

ICRC Headquarters, Geneva, dalam Cassel, op. cit., hal. 218.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 131: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

124

 

Lome Agreement ini juga dilengkapi dengan dua lembaga

HAM, yakni “autonomous quasi-national” Human Rights

Commission (HRC) dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

(KKR). HRC berwenang untuk melakukan investigasi terhadap

pelanggaran HAM yang terjadi setelah perjanjian Lome dan

memberikan rekomendasi terhadap rehabilitasi korban.318

Sementara itu, KKR Sierra Leone bertujuan untuk “address

impunity ... and facilitate genuine healing and

reconciliation.”319 Meskipun demikian, perjanjian ini tidak

memberikan modalitas atau mandat apapun bagi KKR Sierra

Leone dalam menjalankan tugasnya sehingga kewenangannya

terkesan sangat ambigu.320

Selanjutnya, Sankoh secara personal mendapatkan

amnesti321 dan sebagai pemimpin RUF mendapatkan posisi

sebagai Wakil Presiden Sierra Leone dan Ketua Komisi

Pengembangan Sumber Daya Mineral Strategis sebagai bentuk

                                                                                                                          318 Pasal XXV dan XXVI ayat (2) dan (3) Lome Agreement. 319 Pasal XXVI ayat (1) Lome Agreement. 320 Gallagher, op. cit., hal. 189. 321 Pasal IX ayat (1) Lome Agreement.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 132: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

125

 

pembagian kekuasaan dengan Presiden Kabbah.322 Dalam

perkembangannya, Sankoh ternyata melakukan maneuver

politik. Lome Agreement tidak memperbaiki situasi konflik,

pembantaian tetap terus terjadi, dan ekstraksi berlebihan

atas emas dan berlian terus dilakukan. RUF bahkan

menyandera ratusan pasukan penjaga perdamaian dari UN

Assistance Mission in Sierra Leone. Sankoh mencoba kabur

dari negaranya, namun akhirnya ditahan dan dihadapkan pada

tuntutan pidana.323

4. Mekanisme Pemberian Amnesti Dalam Pengadilan Khusus

dan Komisi Kebenaran di Sierra Leone

Dalam bagian ini akan dibahas dua instrumen di Sierra

Leone, KKR dan pengadilan khusus, dan hubungan di antara

keduanya yang saling koeksisten menjadikan Sierra Leone

sebagai “best practice” pemberian amnesti bagi negara yang

mengalami masa transisi politik.

                                                                                                                         

322 Pemanfaatan berlian untuk membiayai perang dikenal juga dengan istilah “blood diamond.” Lihat Joseph Stiglitz, Making Globalization Work the Next Step to Global Justice, (London: Penguin Books, 2006), hal. 133 dalam bab “Lifting the Resource Curse.”

323 William A. Schabas, “Amnesty, The Sierra Leone Truth and

Reconciliation Commission and the Special Court for the Sierra Leone,” UC Davis Journal of International Law and Policy (Fall 2004): 145.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 133: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

126

 

Menindaklanjuti Lome Agreement, KKR Sierra Leone

dibentuk berdasarkan “Truth and Reconciliation Act of

2000,” yang meskipun merupakan institusi domestik, namun

didukung penuh oleh PBB dari segi pendanaan, personal, dan

bantuan teknis lainnya.324 Tujuan KKR ini adalah untuk

menciptakan catatan sejarah yang imparsial mengenai

pelanggaran HAM dan hukum humaniter internasional terkait

dengan konflik bersenjata di Sierra Leone sejak tahun 1991

hingga penandatanganan Lome Agreement, merespons kebutuhan

korban, dan mendukung pemulihan dan rekonsiliasi untuk

mencegah pelanggaran dan penderitaan yang sama terulang

kembali.325 Secara spesifik, KKR Sierra Leone menyediakan

mekanisme agar korban dan pelaku memiliki forum untuk

mengutarakan suaranya326 melalui berbagai sistem secara umum

dipraktekan oleh KKR di berbagai negara di dunia (seperti

pengumpulan dokumen, aliansi dengan pemimpin masyarakat,

                                                                                                                         324 Michael Nesbitt, “Lessons from the Sam Hinga Norman Decision

of the Special Court for Sierra Leone: How Trials and Truth Commission Can Co-Exist,” German Law Journal (Oktober 2007)” 989.

325 The Truth and Reconciliation Act of 2000, Part III -

"Functions of the Commission", paragraf 6(1). 326 Nesbitt, op. cit., hal. 990.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 134: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

127

 

dengar pendapat umum , dan lainnya). Laporan akhir KKR akan

memberikan rekomendasi bagi pemerintah Sierra Leone.327

Setelah Lome Agreement mengalami kegagalan, pada Mei

2000, Dewan Keamanan PBB memberikan mandat bagi peluncuran

pasukan penjaga perdamaian (peacekeeping) PBB di Sierra

Leone dengan dukungan utama dari Inggris. Pada akhirnya RUF

dapat dikalahkan dan peluang perdamaian kembali terbuka.328

Kemudian, pada Juni 2002, Presiden Kabbah, menulis

surat kepada Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, untuk

meminta masyarakat internasional mengadili pelaku yang

bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi pada masa

konflik. Presiden Kabbah berpendapat bahwa kejahatan

tersebut berlangsung sangat berat sehingga membutuhkan

                                                                                                                          327 The Truth and Reconciliation Act of 2000, Part III -

"Functions of the Commission". 328 Pada 7 Februari 2000, Dewan Keamaman PBB mengeluarkan Resolusi

1289 yang menambah jumlah pasukan perdamaian mencapai 11,100 personil. Lihat SCOR Res. 1289, U.N. SCOR, 4099th mtg., U.N. Doc S/RES/1289 (2000), <http://ods-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N00/283/50/PDF/N002835 0.pdf?OpenElement> (23 Januari 2008).

Pada 19 Mei 2000, Dewan Keamanan PBB semakin agresif dengan menambah jumlah pasukan mencapai 13,600.Lihat SCOR Res. 1299, U.N. SCOR, 4145th mtg., U.N. Doc S/RES/1299 (2000), <http://ods-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N00/439/60/PDF/N0043960.pdf?OpenElement> (23 januari 2003).

Pada 4 Agustus 2000, mandat dari pasukan perdamaian diubah, sehingga menjadi “tasks as deterring and countering the threat of [Revolutionary United Front] attack by responding robustly." SCOR Res. 1313, U.N. SCOR, 4184th mtg., U.N. Doc S/RES/1313 (2000), <http:ods-dds ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N00/439/60/PDF/N0043960.pdf?OpenElement> (23 Januari 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 135: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

128

 

perhatian seluruh komunitas internasional.329 Segera sesudah

itu, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1415 tahun

2000 yang meminta Sekretaris Jenderal PBB memulai negosiasi

untuk membentuk peradilan khusus.330 Pada akhirnya, dibentuk

“Sierra Leone Special Court” (SLSC), suatu lembaga

internasional yang merupakan campuran (hibrid) antara

peradilan nasional dan peradilan internasional atas

kesepakatan antara Pemerintah Sierra Leone dan PBB.331

Pembentukan peradilan khusus ini disetujui oleh parlemen

dan diratifikasi sehingga membuat peradilan tersebut tunduk

di bawah hukum Sierra Leone.332

                                                                                                                          329 Letter from Alhaji Ahmed Tejan Kabbah, President of The

Republic of Sierra Leone, to Kofi Annan, Secretary General, United Nations (June 12, 2000) (on file with the Cardozo School of Law Public Law, Policy and Ethics Journal) dalam Williamson, op. cit.

330 SCOR Res. 1415, U.N. SCOR, 4546th mtg., U.N. Doc S/RES/1415

(2002), <http://ods-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N02/404/63/PDF/N024 0463.pdf?OpenElement (23 Januari 2008). Lihat juga Press Release, United Nations, Council Asks Secretary-General, Sierra Leone to Negotiate Agreement for Creation of Independent Special Court, SC/6910, (Aug. 14, 2000), http:// www.un.org/News/Press/docs/2000/20000814. sc6910.doc.html (23 Januari 2008).

331 Nesbitt, op. cit., hal. 991. Lihat juga The Government of Sierra Leone, Agreement between the

United Nations and the Government of Sierra Leone on the Establishment of a Special Court for Sierra Leone appending the Statute of the Special Court, signed in Freetown on 16 January 2002.

332 Lihat the Statute of the Special Court of Sierra Leone of

2002.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 136: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

129

 

SCSL akan mengadili “those who bear greatest

responsibility”333 atas kejahatan yang dilakukan sejak 30

November 1996, yakni ketika perjanjian perdamaian pertama

ditandatangani antara pemerintah dengan RUF. Peradilan akan

mengadili pelaku kejahatan yang tergolong sebagai kejahatan

perang dalam hukum humaniter internasional, kejahatan

terhadap kemanusiaan, dan pelanggaran HAM berat dalam hukum

internasional seperti pemanfaatan anak sebagai tentara.

Dalam beberapa kasus, hukum domestik Sierra Leone juga

digunakan. Statuta SCSL secara tegas menyebutkan bahwa

tidak ada pemberian amnesti bagi pelaku kejahatan

internasional tersebut.334

Berdasarkan prinsip ini, SCSL melakukan terobosan

dengan mengeluarkan putusan yang menyatakan tidak

berlakunya ketentuan mengenai amnesti dalam Lome Agreement.

Dalam perkara Kondewa, amnesti yang diberikan kepada Allieu

Kondewa selaku komandan Civil Defense Force Sierra Leone

dibatalkan oleh pengadilan.335 Argumentasi hukum yang

                                                                                                                          333 Ibid., Pasal 1. 334 Untuk melihat persinggungan antara kewenangan SCSL dengan

pasal-pasal pada Lome Agreement, lihat Schabas, op. cit., hal 159.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 137: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

130

 

diberikan oleh SCSL serupa dengan argumentasi pada perkara

Pinochet: ketentuan hukum domestik dapat mengatur,

membatasi, melarang, atau bahkan memberikan amnesti, namun

hukum internasional bekerja pada dimensi yang berbeda.336

Artinya, hukum internasional, sepanjang diakomodasi dalam

forum yang kompeten, dapat membatalkan suatu ketentuan

amnesti yang diberikan terhadap pelaku yang paling

bertanggung jawab atas suatu kejahatan internasional (dalam

SCSL kejahatan terhadap kemanusiaan).337

Kesimpulan ini diperkuat dalam kasus Prosecutor v.

Morris Kallon and Brima Bazzy Kamara.338 Dalam perkara ini,

disimpulkan bahwa Perjanjian Lome yang memuat klausul

amnesti bukan merupakan perjanjian internasional sehingga

tidak menciptakan hak dan kewajiban dalam hukum

internasional.339 Oleh karena itu, penafsiran dan

pelaksanaan klausul amnesti harus diterapkan secara

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       335 Prosecutor v. Kondewa, SCSL-04-14 AR 72, decision on Amnesty

Provided by the Lome Accord, 25 Mei 2004. 336 Ibid. 337 Robertson, op. cit., hal. 317-318.  338 Prosecutor v. Morris Kalon, SCSL-2004-15-AR72 (E) dan

Prosecutor v. Brima Bazzy Kamara, SCSL-2004-16-AR72 (E), Decision on Challenge to Jurisdiction: Lome Accord Amnesty, 13 Maret 2004.

339 Ibid.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 138: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

131

 

domestik dan hanya berlaku untuk pengadilan domestik. SCSL

tidak dapat digolongkan sebagai pengadilan domestik karena

lembaga tersebut mengadili kejahatan yang dapat digolongkan

sebagai kejahatan internasional, sehingga dengan demikian,

pemberian amnesti yang dilarang dalam hukum internasional

dapat dibatalkan oleh SCSL.340

Dalam kaitannya dengan mekanisme pencarian kebenaran,

mekanisme KKR pada Sierra Leone juga dianggap sangat lemah

dan tidak memiliki insentif yang kuat. Hal ini karena

berbeda dengan mekanisme SATRC di Afrika Selatan yang mana

amnesti hanya diberikan bagi mereka yang mengaku telah

melakukan kejahatan, amnesti di Sierra Leone sudah

diberikan sejak awal kepada seluruh pelaku kejahatan

melalui perjanjian Lome.341 Oleh karena itu, pelaku

kejahatan tidak memiliki dorongan untuk hadir dalam forum-

forum publik yang diadakan oleh KKR Sierra Leone.342 Bahkan

mekanisme kerja di antara SCSL dengan KKR Sierra Leone

tidak saling beriiringan dan terkoordinasi, sebagaimana

                                                                                                                          340 Ibid. 341 Beth K. Dougherty, “Searching for Answers: Sierra Leone’s

Truth and Reconciliation Commission,” African Studies Quarterly (Fall 2004): 47.

342 Ibid.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 139: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

132

 

terlihat dalam kekacauan proses pembagian informasi dalam

kasus Sam Hinga Norman.343

Dengan demikian, klausul pemberian amnesti dalam

Perjanjian Lome tidak saja melanggar kewajiban negara dalam

melakukan penuntutan atas pelaku kejahatan internasional

dan pemenuhan hak korban atas keadilan, reparasi, dan

kebenaran, melainkan melanggar juga hak masyarakat secara

keseluruhan (Right to Know) untuk mengetahui kebenaran.

“Pembatalan secara tidak langsung” klausul amnesti melalui

SCSL (dengan menyatakan bahwa mekanisme amnesti hanya

berlaku domestik sehingga tidak berlaku dalam peradilan

hibrid-internasional) merupakan satu langkah konkret Sierra

Leone dalam menjunjung hukum internasional.

                                                                                                                          343 http://www.sc-sl.org/norman.html (5 April 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 140: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

133

 

BAB IV

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL ATAS PEMBERIAN AMNESTI

TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL DI INDONESIA

I. Mekanisme Pemberian Amnesti dalam Undang-Undang

tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia

A. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang tentang

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Masa transisi politik menuju demokrasi di Indonesia

berlangsung sejak bergulirnya era reformasi pada tahun

1998. Tonggak dimulainya era ini adalah ketika Jenderal

(Purn) Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden

Republik Indonesia (RI) pada tanggal 21 Mei 1998, menyusul

tuntutan mundur dari berbagai pihak di tengah terpuruknya

keadaan sosial dan ekonomi.344 Penegakkan HAM pada rejim

                                                                                                                          344 Kajian transisi mengenai Indonesia pasca soeharto dapat

dilihat antara lain dalam Chris Manning dan Peter Van Diemmen, eds, Indonesia in Transition: Social Aspects of Reformasi and Crisis, (Singapore: ISEAS, 2000). Stanley, eds, Indonesia di Tengah Transisi,

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 141: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

134

 

Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto dianggap

mengecewakan oleh berbagai kalangan.345 Berbagai praktek

Pelanggaran HAM diduga berhubungan dengan penyalahgunaan

kekuasaan negara, terutama oleh militer.346 Oleh karena itu,

era reformasi dipandang sebagai titik terang dalam

menyelesaikan berbagai perkara yang lama terpendam. Seluruh

Presiden yang memimpin RI beserta lembaga tinggi negara

lainnya pasca reformasi dihadapkan pada tuntutan berbagai

pihak yang terfokus pada penyelesaian perkara pelanggaran

HAM yang selama ini terjadi mengendap.347

Upaya lembaga-lembaga negara dalam merespons tuntutan

masyarakat untuk segera menyelesaikan segala pelanggaran

HAM yang pernah terjadi dilakukan dengan berbagai cara.

Setelah melakukan perubahan besar-besaran dalam ketentuan

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       (Jakarta: Propatria, 2000), William Liddle, eds, Crafting Indonesian Democracy, (Bandung: Mizan bekerjasama dengan LIPI dan Ford Foundation, 2001).

345 Hikmahanto Juwana (a), “Assessing Indonesia’s Human Rights

Practise in Post Soeharto Era: 1998-2003,” Singapore Journal of International and Comparative Law (2003).

346 Untuk melihat tipologi praktek pelanggaran HAM yang terjadi selama ini di Indonesia, lihat M.M. Billah, Tipologi dan Praktik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003. Lihat juga Kombespol Susno Duaji, Praktik-Praktik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003.

347 Hikmahanto Juwana, op. cit. Lihat juga Arinanto, op. cit.,

hal. 247-336.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 142: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

135

 

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 melalui perubahan kedua,348

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga melakukan

pembahasan terhadap Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi

Negara yang tertuang dalam Ketetapan MPR VIII/MPR/2000

tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada

Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Tahun 2000. Dalam Ketetapan ini, diberikan suatu

pandangan khusus mengenai HAM, yakni,

”c. Penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Penyelesaian Kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia terkesan lamban, diskriminatif, dan belum tuntas sementara praktek pelanggaran Hak Asasi Manusia tetap berlangsung bahkan seringkali terjadi penyalahgunaan upaya penegakan Hak Asasi Manusia.” 349

Sehubungan dengan penilaian tersebut, MPR menugaskan

Presiden untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran

HAM secara serius dan adil.350 Berkaitan dengan penyelesaian

                                                                                                                          348 Jimly Asshidiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah

Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia: 2002).

349 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 7-18 Agustus 2000, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI: 2000), hal. 100.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 143: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

136

 

kasus-kasus pelanggaran HAM, MPR juga menugaskan kepada

Presiden melalui Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang

”Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional” agar dibentuk

suatu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.351 Adapun penugasan

tersebut secara rinci dinyatakan sebagai berikut.

”...membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra-yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dengan undang-undang. Komisi ini bertugas untuk mengungkapkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah setelah pengungkapan kebenaran dapat dilakukan melalui pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegaskan persatuan dan kesatuan bangsa dengan sepenuhnya memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.”352 (huruf tebal dari penulis).

Selanjutnya, pada 23 November 2000, sebagai pengganti

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun

1999, ditetapkanlah UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        350 Ibid. 351 Ibid., hal. 67. 352 Ibid., hal. 67.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 144: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

137

 

Hak Asasi Manusia.353 Salah satu latar belakang pembentukan

Pengadilan HAM adalah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM

yang berat, sebagaimana telah diupayakan dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 1 tahun 1999, namun dianggap tidak

memadai.354 Dalam Pasal 47 UU tentang Pengadilan HAM,

dinyatakan bahwa,

“(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang.”355

Penjelasan Pasal 47 kemudian menyatakan bahwa,

”Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk

memberikan alternatif penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat, dilakukan diluar Pengadilan HAM.”356 (huruf tebal dari penulis).

Dalam pelaksanaan sidang tahunan MPR tahun 2001,

masalah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM kembali

                                                                                                                          353 Republik Indonesia (a), Undang-undang tentang Pengadilan Hak

Asasi Manusia, UU Nomor 26 tahun 2000, LN Nomor 208 tahun 2000, TLN No. 4012.

354 Ibid., bagian Menimbang” butir c. 355 Ibid., Pasal 47. 356 Ibid., Penjelasan Pasal 47.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 145: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

138

 

menjadi perhatian serius. Kembali MPR menilai bahwa

penyelesaian kasus pelanggaran HAM belum dilaksanakan

secara cepat, adil, dan tuntas, bahkan masih terkesan

lamban dan diskriminatif sehingga belum memenuhi rasa

keadilan masyarakat.357 Ketetapan MPR yang ditetapkan pada

tahun 2000 dianggap belum direalisasikan oleh pemerintah,

khususnya mengenai pembentukan Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi. Oleh karena itu, MPR menugaskan agar Presiden

bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar membentuk UU

tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.358 Seolah menjadi

sekedar retorika, pada tahun 2002, MPR dalam ketetapannya

kembali merekomendasikan, dengan bahasa yang relatif sama,

agar Presiden dan DPR segera membentuk UU tentang Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi.359

Setelah mengalami perdebatan yang cukup panjang,360

akhirnya disahkan Undang-undang Nomor 27 tahun 2004 tentang

                                                                                                                          357 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan

Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI: 2000), hal. 90.

358 Ibid. 359 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 2002, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI: 2000), hal. 62.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 146: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

139

 

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi361 (UU tentang KKR), yang

menjadi landasan berjalannya Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi (KKR) Indonesia.

Pembentukan UU tentang KKR tidak diiringi dengan

komitmen politik pemerintah untuk segera membentuk dan

menjalankan lembaga tersebut. Hal demikian dapat terlihat

dari lambatnya proses seleksi, yang sebenarnya sudah

dimulai sejak 28 Maret 2005 ketika Presiden Yudhoyono

membentuk Panitia Seleksi Calon Anggota KKR dengan

Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2005.362 Proses seleksi

tidak kunjung membuahkan hasil hingga pada akhirnya UU

tentang KKR dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.363

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        360 Lihat Basari, op. cit., hal. 1-10. 361 Indonesia (b), Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi, UU No. 27 tahun 2004, LN No. 114 Tahun 2004, TLN No. 4425.

362 “Mou Helsinki Momentum Baru untuk KKR,” Harian Kompas (26

Oktober 2006) yang menjabarkan kronologis pembentukan KKR. 363 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 tentang

Pengujian atas UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 147: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

140

 

B. Berbagai Kelemahan Konsepsi dalam Undang-Undang

tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

KKR Indonesia sebagaimana diatur dalam UU tentang KKR

memiliki kelemahan-kelemahan yang sifatnya mendasar

(fundamen) yang menyebabkan KKR apabila mulai

diimplementasikan akan mengalami berbagai hambatan yang

sangat signifikan.

1. Jenis Kejahatan yang Dapat Masuk ke Dalam Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi Bergantung Kepada Jenis

Kejahatan dalam Pengadilan HAM

Kelemahan yang paling mendasar dari UU tentang KKR

adalah bahwa UU tersebut merupakan “amanat” dari UU Nomor

26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.364 Oleh karena itu,

secara logika, maka kasus-kasus yang dapat diungkap

kebenarannya dan kemudian dicoba ditemukan rekonsiliasi

hanyalah kasus yang termasuk dalam ruang lingkup kejahatan

sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Pengadilan HAM, yakni

genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.365 Hal ini

                                                                                                                          364 Lihat kembali Pasal 47 UU tentang Pengadilan HAM dalam

Indonesia (a), op. cit.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 148: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

141

 

kemudian kembali ditegaskan dalam UU tentang KKR yang

mengkonfirmasi hubungannya dengan UU tentang Pengadilan

HAM.”366

Konsepsi demikian bertentangan dengan praktek-praktek

komisi kebenaran lain di berbagai negara di dunia.

Sebagaimana termuat dalam Updated Set of Principles to

Combat Impunity, komisi kebenaran dimaksudkan untuk

menemukan kebenaran dari semua pelanggaran HAM yang terjadi

di suatu negara, tidak hanya pelanggaran HAM yang tergolong

sebagai kejahatan internasional.367 Kerancuan mendasar ini

semakin memperkuat dugaan bahwa semangat UU tentang

Pengadilan HAM yang menjadi landasan UU tentang KKR dibuat

bukan untuk mengadili pelaku kejahatan, melainkan untuk

melepaskan diri dari yurisdiksi pengadilan internasional

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       365 Lihat kembali Pasal 7 UU tentang Pengadilan HAM dalam

Indonesia (a), op. cit. 366 Indonesia (b), op. cit., dalam butir Menimbang huruf a

dikatakan,“Bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang terjadi pada masa sebelum berlakunya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM harus ditelusuri kembali untuk mengungkapkan kebenaran, menegakkan keadilan, dan membentuk budaya menghargai hak asasi manusia sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional;”

367 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005,

Definitions point D. Lihat catatan kaki nomor 272.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 149: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

142

 

dalam beberapa kasus pelanggaran HAM yang berat di

Indonesia.368

2. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Bersifat Substitutif

dengan Pengadilan HAM dan Tidak Bersifat Komplementer

Ditegaskan secara terang dalam Penjelasan Pasal 47 UU

tentang Pengadilan HAM bahwa KKR memang dimaksudkan sebagai

alternatif dari Pengadilan HAM.369 Begitupula dalam Pasal 44

UU KKR dikatakan bahwa “Pelanggaran hak asasi manusia yang

berat telah diungkapkan dan diselesaikan oleh komisi,

perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak

asasi manusia ad-hoc.”370 Ketentuan ini jelas bertentangan

dengan Updated Set of Principles yang menyatakan bahwa

pembentukan komisi kebenaran tidak boleh dimaksudkan untuk

menggantikan (substitusi) peradilan, baik perdata,

administrasi, maupun pidana,371 karena hal ini dapat

                                                                                                                          368 Tentang semangat pembentukan Pengadilan HAM ini, lihat

Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional sebagai Instrumen Politik: Beberapa Pengalaman Indonesia sebagai Studi Kasus,” Jurnal Hukum Internasional (Oktober 2003): 93.

369 Lihat kembali Penjelasan Pasal 47 UU tentang Pengadilan HAM

dalam Indonesia (a), op. cit. 370 Indonesia (b), op. cit., Pasal 44.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 150: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

143

 

mengurangi akses terhadap keadilan bagi korban kejahatan

internasional dan gagal merumuskan mekanisme disinsentif

bagi mereka yang tidak mau membuka seluruh kebenaran.

3. UU tentang KKR Memiliki Kelemahan yang Mendasar

Mengenai Mekanisme Pemberian Amnesti

Dalam kaitannya dengan pemberian amnesti, terdapat

beberapa ketentuan dalam UU tentang KKR yang mengundang

perdebatan. Pertama, Pasal 1 ayat (9) yang berbunyi,

“Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”372

Kedua, Pasal 27-29 mengenai mekanisme pemberian

amnesti yang berbunyi,

“Pasal 27 Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Pasal 28 (1) dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran

hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya undang-undang nomor 26

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       371 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005, Prinsip

8. Lihat kembali catatan kaki nomor 277. 372 Indonesia (b), op. cit., Pasal 1 ayat (9).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 151: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

144

 

tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian maka komisi dapat memberikan rekomendasi kepada presiden untuk memberikan amnesti.

(2) … (3) pernyataan perdamaian sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) wajib dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak dan ketua komisi.

Pasal 29 (1) dalam hal pelaku dan korban saling memaafkan,

rekomendasi pertimbangan amnesti wajib diputuskan oleh komisi.”373

Ketentuan mengenai amnesti tersebut menimbulkan

beberapa pertanyaan yang terkait dengan prinsip-prinsip

hukum internasional, yakni antara lain:

1. Bukankah pemberian amnesti terhadap pelanggaran HAM

berat yang tergolong sebagai kejahatan internasional

dilarang dalam hukum internasional?;

2. Apakah mekanisme dalam UU tentang KKR, khususnya

pemberian reparasi yang bergantung pada faktor

eksternal korban seperti pemberian amnesti dan faktor-

faktor lainnya, bertentangan dengan prinsip

perlindungan korban dalam hukum internasional?;

                                                                                                                          373 Indonesia (b), op. cit., Pasal 27-29.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 152: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

145

 

3. Apabila pemberian amnesti dianggap sangat diperlukan

dalam melakukan rekonsiliasi di Indonesia, apakah

mekanisme dalam UU tentang KKR telah memadai dalam

mengungkapkan kebenaran yang hakiki, termasuk memenuhi

“Right to Know” masyarakat Indonesia?

Permasalahan ini lah yang harus dijawab oleh Mahkamah

Konstitusi Indonesia dalam persidangan pengujian UU tentang

KKR ini.

C. Pendapat Ahli Hukum Internasional Mengenai Amnesti

beserta Mekanisme Pemberiannya dalam Undang-Undang

tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Dalam persidangan pengujian UU No. 27 tahun 2004 di

hadapan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, terdapat

empat ahli hukum internasional yang memberikan pandangannya

mengenai legalitas KKR Indonesia dalam hukum

internasional.374 Seluruh ahli hukum internasional tersebut

sepakat bahwa terdapat kerancuan mekanisme pemberian

amnesti dalam UU KKR yang menyebabkan pelanggaran atas

                                                                                                                          374Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang

Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Terhadap UUD 1945, Acara Mendengar Keterangan Saksi/Ahli Dari Pemohon (V) dan (VI), (http://www. mahkamahkonstitusi. go.id) (3 April 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 153: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

146

 

prinsip-prinsip hukum internasional. Berikut adalah

pemikiran dari para ahli tersebut.375

1. Pendapat Douglass Cassel

Douglass Cassel adalah guru besar hukum internasional

di Notre Dame Law School dan Northwestern University,

Amerika Serikat.376 Dalam keterangan tertulis yang

diberikannya sebagai ahli pada Mahkamah Konstitusi

Indonesia, beliau memberikan pendapat bahwa UU KKR

Indonesia bertentangan dengan hukum internasional, terutama

apabila ditinjau dari tiga prinsip dasar: (1) kewajiban

untuk melakukan investigasi dan pengungkapan kebenaran

kepada publik, (2) hak korban kejahatan internasional, dan

(3) penuntutan pidana dan penghukuman bagi kejahatan yang

tergolong sebagai kejahatan internasional.377

                                                                                                                         

375 Berikutnya hanya akan dijabarkan tiga pemikiran ahli, yaitu Douglass Cassel, Naomi-Roht Arriaza, dan Paul Van Zyl. Ahli Rudy Rizky tidak dijabarkan karena memberikan penjelasan yang serupa dengan ahli lainnya.

376 Douglass Cassel, “http://www.nd.edu/~kellogg/faculty/fellows/

cassel.shtml (11 April 2008). 377 “WRITTEN TESTIMONY OF PROFESSOR DOUGLASS CASSEL BEFORE THE

CONSTITUTIONAL COURT OF INDONESIA,” JULY 6, 2006, dalam email pribadi dengan kolega penulis.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 154: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

147

 

Pertama, UU KKR tidak memenuhi kewajiban internasional

suatu negara (Indonesia) untuk melakukan investigasi

terhadap suatu perkara kejahatan internasional dan

pengungkapan kebenarannya. kepada publik. Cassel

menyimpulkan pendapat ini atas pertimbangan bahwa:

• Batas waktu 90 hari untuk melakukan investigasi harus

dianggap sangat sempit untuk menyelidiki dan menyidik

genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, mengingat

kejahatan tersebut dilakukan di suatu wilayah negara

yang luas dan dalam periode yang sangat lama hingga

beberapa dekade.378

• Definisi UU KKR mengenai kebenaran yang diartikan

sebagai “kebenaran atas suatu peristiwa yang dapat di

ungkapan berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia

yang berat, baik mengenai korban, tempat, maupun waktu”

dianggap tidak selaras dengan konteks yang lebih luas

dari “kebenaran sosial.” Kebenaran, dalam hal ini

tercakup pula “Right to Know” seharusnya meliputi pula

                                                                                                                          378 Indonesia (b), op. cit., Pasal 24, yang berbunyi, “Dalam hal

komisi telah menerima pengaduan atau laporan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang disertai permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti, komisi wajib memberi keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90 9sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.”

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 155: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

148

 

penyebab dan pola pelanggaran, latar belakang dan

konteks terjadinya pelanggaran tersebut, dan pelajaran

yang dapat diambil dari kejadian masa lalu tersebut

sehingga dapat tidak terulang lagi di masa depan,

khususnya untuk genosida dan kejahatan terhadap

kemanusiaan.379

• Tidak ada insentif bagi pelaku pelanggaran HAM yang

berat untuk memberikan keterangannya mengenai suatu

kebenaran dan kemudian memohon amnesti, karena tidak

ada ancaman yang berarti bagi pelaku, misalnya akan

menghadapi tuntutan pidana, apabila ia tidak memberikan

keterangannya.

• Tidak ada persyaratan yang jelas dan tegas untuk

menentukan apakah suatu keterangan pelaku kejahatan

telah diberikan secara lengkap dan dijabarkan

seluruhnya pengetahuan yang ia miliki sehingga pelaku

tersebut layak untuk diberikan amnesti.380

• Korban dapat merasa tertekan/terpaksa untuk memberikan

permohonan maaf, bahkan apabila kebenaran tidak

                                                                                                                          379 Indonesia (b), op. cit., Pasal 1 ayat (1). 380 Lihat Indonesia (b), op. cit., Pasal 23 dan Pasal 28 ayat (2).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 156: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

149

 

sepenuhnya diungkap, karena sang korban sangat

menginginkan diberikan reparasi terhadap dirinya. Dalam

UU KKR, jika seorang pelaku kejahatan tidak mendapatkan

amnesti, maka korban tidak akan mendapatkan reparasi.381

Kedua, UU KKR tidak memenuhi kewajiban dalam hukum

internasional yang memberikan perlindungan dan pemulihan

berupa reparasi bagi korban kejahatan internasional. Cassel

mengungkapkan pemikiran ini berlandaskan pemikiran bahwa:

• Kompensasi dan rehabilitasi bagi korban hanya dapat

diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.382

Dengan demikian, kompensasi dan rehabilitas hanya dapat

diberikan dalam situasi-situasi tertentu saja. Dalam

kondisi ketika pelaku kejahatan tidak teridentifikasi,

atau pelaku tersebut tidak diberikan amnesti oleh

Presiden atas pertimbangan DPR, atau tidak dimaafkan

oleh korban, maka korban tidak mendapatkan kompensasi

dan rehabilitasi.383

                                                                                                                          381 Indonesia (b), op. cit., Pasal 27, 28 dan 29. 382 Indonesia (b), op. cit., Pasal 27. 383 Indonesia (b), op. cit., Pasal 25-27.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 157: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

150

 

• Tidak ada mekanisme yang jelas mengenai pemberian

restitusi bagi para korban.384

• Kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi dapat ditunda

hingga tiga tahun, meskipun tidak ada alasan atau

justifikasi yang signifikan untuk melakukan penundaan

tersebut.385

• Tidak ada ketentuan yang dapat mengukur penerimaan

(acceptance) pemerintah atau negara mengenai

penyimpangan yang terjadi di masa lalunya, misalnya

melalui penerimaan atas segala fakta yang terjadi,

permintaan maaf secara resmi oleh negara, ataupun

memorial bagi para korban.386

• Tidak ada ketentuan yang dapat menjamin tidak akan

terjadi tindakan yang sama terulang lagi di masa depan

(non-repetition), misalnya dengan adanya perlindungan

terhadap aktivis HAM.387

                                                                                                                         

384 Indonesia (b), op. cit., Pasal 27. 385 Indonesia (b), op. cit., Pasal 21 ayat (1). 386 Indonesia (b), op. cit., Pasal 1 ayat (6), (7), dan (8). 387 Indonesia (b), op. cit., Pasal 1 ayat (6), (7), dan (8).

Bandingkan dengan Basic Principles, Prinsip IX butir 23. Lihat kembali catatan kaki nomor 135.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 158: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

151

 

Ketiga, Cassel juga berpendapat bahwa UU KKR

bertentangan dengan hukum internasional karena UU tersebut

mengijinkan pemberian amnesti bagi kejahatan yang tergolong

sebagai kejahatan internasional, yakni genosida dan

kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana tercantum dalam

Pasal 24-29.388 Telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya

bahwa hukum internasional mengijinkan pemberian amnesti

bagi berbagai bentuk kejahatan, namun tidak bagi yang

tergolong sebagai kejahatan internasional.389

2. Pendapat Naomi-Roht Arriaza

Naomi-Roht Arriaza adalah guru besar hukum

internasional dan keadilan transisional di University of

California (UCLA).390 Dalam keterangan tertulis yang

diberikannya sebagai ahli pada Mahkamah Konstitusi

Indonesia, beliau memberikan pendapat bahwa setidaknya UU

                                                                                                                          388 Hal ini merupakan implikasi dari dependensi UU tentang KKR

terhadap UU tentang Pengadilan HAM sebagaimana tercantum dalam Pasal 47 UU tentang Pengadilan HAM.

389 Lihat kembali Bab II mengenai “TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL ATAS PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL.”

390 Naomi-Roht Arriaza, http://www.uchastings.edu/?pid=746, (11 April 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 159: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

152

 

KKR bertentangan dengan hukum internasional jika ditinjau

dari empat perspektif.391

Pertama, tidak ada ketentuan untuk menyimpulkan dan

menyatukan segala kebenaran yang terkumpul mengenai

penyebab, latar belakang, konteks, dan pola pelanggaran HAM

yang terjadi sehingga didapatkan satu “catatan sejarah

nasional.” UU KKR hanya mengatur bahwa kebenaran

diungkapkan berdasarkan situasi spesifik/tertentu saja,

namun tidak diungkap apakah diantara kejadian dan

pelanggaran tersebut saling berkaitan. Hal ini terkait

dengan pemenuhan “Right to Know” dalam situasi masyarakat

yang berada pada masa transisi politik.392

Kedua, tidak ada persyaratan bagi KKR untuk memberikan

rekomendasi yang bertujuan untuk mencegah pelanggaran yang

sama terulang kembali di masa depan.

Ketiga, reparasi yang diberikan kepada korban sangat

bergantung pada faktor-faktor eksternal dari korban itu

sendiri. Pemberian amnesti yang dikaitkan dengan reparasi

                                                                                                                         

391 “Testimony of Naomi Roht-Arriaza, Professor of Law, University of California, Hastings College of the Law, before the Constitutional Court,” diakses melalui email pribadi dengan kolega penulis.

392 Lihat kembali hubungan antara “Right to Know” dengan

pembentukan Komisi Kebenaran dalam catatan kaki nomor 271.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 160: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

153

 

korban memang telah menjadi praktek internasional di

berbagai negara transisi. SATRC di Afrika Selatan misalnya,

memiliki dua komite yang terpisah untuk memberikan

rekomendasi bagi reparasi korban dan pemberian amnesti bagi

pelaku kejahatan. Namun keduanya berjalan dengan

independen, yang mana tidak diberikannya amnesti bagi

pelaku kejahatan atau tidak lengkapnya informasi yang

diberikan pelaku untuk mengungkapkan kebenaran tidak berati

reparasi tidak diberikan kepada korbannya.393 Dengan

demikian, selain melanggar hukum internasional, Pasal 27 UU

KKR juga bertentangan dengan praktek di berbagai negara

lain.394

Keempat, amnesti diberikan kepada kejahatan yang tidak

dapat diberikan amnesti berdasarkan hukum internasional.395

Kembali jika berkaca pada praktek internasional, komisi

kebenaran di Afrika Selatan juga memberikan amnesti dengan

persyaratan (conditional amnesty) apabila pelaku membuka

informasi secara lengkap. Terlepas dari segala

kontroversinya, SATRC Afrika Selatan setidaknya memberikan

                                                                                                                          393 Testimony of Naomi Roht-Arriaza, op. cit. 394 Testimony of Naomi Roht-Arriaza, op. cit. 395 Testimony of Naomi Roht-Arriaza, op. cit.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 161: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

154

 

mekanisme yang tegas bahwa bagi pelaku yang tidak diberikan

amnesti atau terbukti tidak memberikan informasi secara

menyeluruh harus menghadapi tuntutan pidana. Begitupula di

negara seperti Sierra Leone, Timor Leste, atau Rwanda mampu

merumuskan konsep pemberian amnesti yang berkeadilan dalam

komisi kebenarannya.396 KKR Indonesia di lain sisi, justru

dianggap memberikan impunitas bagi pelaku kejahatan

internasional.

3. Pendapat Paul Van Zyl

Paul Van Zyl adalah guru besar hukum internasional dan

keadilan transisional yang juga mantan Sekretatis Eksekutif

SATRC dan sekarang bekerja pada International Center for

Transitional Justice (ICTJ). Dalam keterangan tertulis yang

diberikannya sebagai ahli pada Mahkamah Konstitusi

Indonesia, beliau memberikan pendapat mewakili ICTJ sebagai

berikut.397

                                                                                                                          396 Testimony of Naomi Roht-Arriaza, op. cit. 397 Pendapat Van Zyl merupakan Amicus Brief ICTJ kepada Mahkamah

Konstitusi Indonesia. Lihat ICTJ Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court, “Pernyataan Tertulis ICTJ: Keabsahan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” www.ictj.org/static/Asia/Indonesia/ testimony.bah.pdf (11 April 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 162: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

155

 

ICTJ berpendapat bahwa ketentuan dalam UU KKR,

terutama yang berkaitan dengan pemberian amnesti (Pasal 1

ayat (9) UU KKR) dan kondisi pemberian reparasi yang

tergantung dengan amnesti (Pasal 27 UU KKR) bertentangan

terutama dengan Pasal 2(3), 6(1), 7, 9(5) and 14(6) dari

ICCPR.398 Ketentuan pemberian amnesti dalam Pasal 1 ayat (9)

UU KKR juga harus dianggap bertentangan dengan Pasal 14

Konvensi Anti Penyiksaan.399

D. Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi Indonesia

Mengenai Konstitusionalitas Undang-Undang tentang

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Dalam memberikan putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK)

menganalisis kesesuaian UU tentang KKR dengan UUD 1945 dan

hukum internasional, khususnya Pasal 27, Pasal 44, dan

Pasal 1 ayat (9). Dalam kaitannya dengan legalitas amnesti,

pertimbangan hukum yang layak dikaji adalah ketika memutus

konstitusionalitas Pasal 27 dan Pasal 1 ayat (9).

                                                                                                                          398 ICTJ Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court, op.

cit. 399 ICTJ Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court, op.

cit.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 163: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

156

 

Pertama, menyangkut Pasal 27.400 MK melihat adanya

inkonsistensi landasan pemikiran dalam pasal tersebut. Hal

ini karena penekanan atas pemberian reparasi bagi korban

dan amnesti bagi pelaku menekankan pada individual criminal

responsibility, padahal pelanggaran HAM yang terjadi di

masa lalu sangat sulit untuk dilacak secara lengkap. Oleh

karena itu, MK berpendapat,

“Mestinya dengan pendekatan demikian, yang digantungkan pada amnesti hanyalah restitusi, yang merupakan ganti rugi yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga. Di pihak lain, jika tujuannya adalah rekonsiliasi, dengan pendekatan yang tidak bersifat individual, maka yang menjadi titik tolak adalah adanya pelanggaran HAM berat dan adanya korban yang menjadi ukuran untuk rekonsiliasi dengan memberikan kompensasi dan rehabilitasi. Kedua pendekatan tersebut, dalam hubungan dengan restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi tidak dapat digantungkan pada satu pokok masalah yang tidak mempunyai keterkaitan. Karena, amnesti merupakan hak prerogatif Presiden,

                                                                                                                         400 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Pasal 27 tersebut

menentukan bahwa kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana ditentukan oleh Pasal 19, yaitu pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi, diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Penjelasan pasal tersebut menentukan bahwa, apabila pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban sebagai ahli warisnya, pelaku pelanggaran HAM berat dapat mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden. Apabila permohonan beralasan, Presiden dapat menerima permohonan tersebut, dan korban diberikan kompensasi dan/atau rehabilitasi. Sedangkan apabila permohonan amnesti ditolak, kompensasi dan rehabilitasi tidak diberikan negara, dan perkaranya ditindak lanjuti untuk diselesaikan berdasarkan ketentuan UU Pengadilan HAM.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 164: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

157

 

yang pengabulan atau penolakannya tergantung kepada Presiden.401 (huruf tebal dari penulis).

Selain itu, apabila terjadi pelanggaran HAM, hal

tersebut merupakan tanggung jawab negara untuk memberikan

pemulihan bagi korbannya. Penentuan adanya amnesti sebagai

syarat merupakan hal yang menyampingkan perlindungan hukum

dan keadilan yang dijamin oleh UUD 1945 dan hukum kebiasaan

internasional serta praktek universal sebagaimana termuat

dalam Basic Principles.402 Basic Principles menetapkan

adanya adequate, effective and prompt reparation for harm

sufferred, yang dimaksudkan untuk memajukan keadilan dalam

penanganan pelanggaran HAM berat, dengan memberikan

reparation yang proporsional sesuai dengan bobot

pelanggaran dan kerugian yang dialami.403

Kedua, menyangkut pemberian amnesti bagi pelaku

pelanggaran HAM yang berat sebagaimana tercantum dalam

Pasal 1 ayat (9) UU tentang KKR. Menurut MK, Praktek

                                                                                                                         401 Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 tentang

Pengujian atas UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hal. 121.

402 Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 tentang

Pengujian atas UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hal. 122.

403 Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 tentang

Pengujian atas UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hal. 122.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 165: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

158

 

internasional maupun General Comment Komisi HAM PBB umumnya

berpendapat bahwa amnesti tidak diperkenankan dalam

pelanggaran HAM berat (yang tergolong sebagai kejahatan

internasional).404 Dikatakan bahwa meskipun KKR dimaksudkan

untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi keberadaan

perdamaian dan rekonsiliasi nasional, tapi perlu upaya yang

menentukan batasan terhadap amnesti, yaitu pelaku tidak

boleh diuntungkan oleh amnesti tersebut. Amnesti seyogianya

tidak mempunyai akibat hukum sepanjang menyangkut hak

korban untuk memperoleh pemulihan (reparation), dan

lagipula amnesti tidak boleh diberikan kepada mereka yang

melakukan pelanggaran hak asasi dan hukum humaniter

internasional yang merupakan kejahatan internasional yang

tidak memperbolehkan pemberian amnesti ataupun kekebalan

dalam bentuk lainnya.405

Meskipun General Comment, Laporan Sekretaris Jenderal

PBB, atau Prinsip-Prinsip yang tercantum dalam berbagai

dokumen internasional belum diterima sebagai hukum

                                                                                                                          404 Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 tentang

Pengujian atas UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

405 Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 tentang

Pengujian atas UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hal. 124.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 166: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

159

 

(internasional) yang mengikat, MK melihat bahwa pengertian

demikian merupakan muatan UUD 1945 yang mengatur tentang

prinsip-prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia yang

dimuat dalam Pasal 28G Ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk

bebas dari penyiksaan, Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 yaitu

hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa, Pasal 28 Ayat

(4) dan Ayat (5) UUD 1945 yaitu perlindungan, pemajuan dan

pemenuhan hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab

negara.406

E. Permasalahan Hukum Internasional yang Timbul dalam

Pengujian Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi

1. Kedudukan Hukum Internasional dalam Konstitusi

Indonesia

Dalam putusannya, MK berpendapat bahwa pemberian

amnesti terhadap pelaku pelanggaran HAM yang berat yang

tergolong sebagai kejahatan internasional bertentangan

dengan UUD 1945. Sebelum membahas lebih jauh mengenai hal

                                                                                                                          406 Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 tentang

Pengujian atas UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hal. 124.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 167: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

160

 

tersebut, patut dicermati apakah MK memiliki kewenangan

untuk memutus perkara dengan menggunakan landasan hukum

internasional.

Jika dikaitkan dengan teori hubungan antara hukum

nasional dan hukum internasional, perlu diketahui apakah

Indonesia menganut aliran monisme atau dualisme.407 Sejauh

ini, sikap Indonesia dalam dua aliran tersebut masih belum

cukup konsisten untuk mencapai suatu kesimpulan aliran mana

yang dianut.408

Sementara itu, Prof. Jimly Asshidiqie, Guru Besar

Hukum Tata Negara Universitas Indonesia yang juga Ketua MK,

berpendapat bahwa hukum internasional yang digunakan oleh

MK dalam memberikan pertimbangan hukum adalah hukum

kebiasaan internasional dan praktek-praktek universal yang

sudah dianggap sebagai prinsip hukum umum yang diakui oleh

negara beradab.409 Perkembangan hukum konstitusi dewasa ini

mengarah pada konvergensi prinsip-prinsip dasar, terutama

dalam bidang HAM yang memiliki nilai-nilai universal,

                                                                                                                          407 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum

Internasional,(Bandung: PT Alumni, 2003). 408 Ibid. 409 Wawancara dengan Prof. Jimly Asshidiqie di Gedung Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia, 16 April 2008.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 168: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

161

 

meskipun mungkin instrumen internasional yang memuat

prinsip tersebut belum diratifikasi.410

Terlebih lagi, ketentuan UUD 1945 di bidang HAM

mengadopsi prinsip-prinsip HAM yang termuat dalam

perjanjian-perjanjian internasional dan sudah dipraktekan

di berbagai negara. Oleh karena itu, MK Indonesia, dan

begitu juga Mahkamah Konstitusi di negara-negara lain di

dunia, sangat lazim untuk menggunakan ketentuan hukum

internasional sebagai landasan pertimbangan hukumnya. Hal

ini diperkuat oleh Rudi Rizky, ahli hukum internasional

yang juga Hakim Pengadilan HAM ad-hoc Indonesia. Dalam

keterangannya di hadapan sidang MK, ia mengatakan bahwa,

“Saya berpendapat bahwa memang itu berlaku di Indonesia, Universal Declarations of Human Rights itu bukan instrumen hukum yang untuk diratifikasi, tetapi dia hanya common standards of achievement tetapi fakta membuktikan bahwa hampir semua konstitusi itu juga memuat hal-hal yang sama, bukankah itu bisa kita katakan sebagai customary international law… Kemudian kalau berkaitan dengan ICCPR jelas sudah kita ratifikasi, tapi sebelum ratifikasi pun sebetulnya banyak ketentuan-ketentuan yang kita adopsi ke dalam Undang-undang No.39 tahun 1999, jadi itu juga penerimaan dari norma internasional sebelum kita ratifikasi… Convention Against Torture juga sama itu juga sudah diratifikasi bahkan oleh Indonesia itu

                                                                                                                          410 Ibid.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 169: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

162

 

adalah mengikat kepada Indonesia…”411 (huruf tebal dari penulis).

Ketika berbicara spesifik mengenai pemanfaatan Updated

Set of Principles dan Basic Principles dalam pertimbangan

MK untuk memutus konstitusionalitas UU tentang KKR, Rizky

menyatakan bahwa,

“ICCPR tentu termasuk hak korban atas remedy yang efektif itu adalah yang mengikat terhadap Indonesia. Mungkin permasalahan ketika menyebut Updated Set of Principles tadi ada Guidelines... Kalau kita lihat bahwa ketika kita menyatakan terikat dengan ICCPR kita terikat kepada ketentuan tentang bahwa korban berhak atas remedy yang efektif. Tentunya diperlukan guidelines. Guidelines itu bukan instrumen yang mengikat, tetapi ketika kita ingin melaksanakan konvensi itu, maka sebetulnya acuan itulah yang harus diikuti walaupun itu bukan instrument hukum yang mengikat. Banyak Guidelines, Standards, Code of conduct tapi itu bukan susunan hukum yang mengikat, tapi kalau tekad kita, komitmen kita yang diwujudkan dalam peratifikasian itu hendak dilaksanakan, kita harus mengikuti Guidelines dan semua susunan hukum internasional seperti itu.”412 (dengan saduran penulis).

                                                                                                                          411 Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang

Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Terhadap UUD 1945, Acara Mendengar Keterangan Saksi/Ahli Dari Pemohon (V), hal. 80.

412 Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang

Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Terhadap UUD 1945, Acara Mendengar Keterangan Saksi/Ahli Dari Pemohon (V), hal. 80.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 170: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

163

 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perkembangan

modern dari ilmu hukum menyebabkan terjadinya konvergensi

antara hukum internasional dan hukum konstitusi, khususnya

yang berkaitan dengan hukum HAM. Pemanfaatan hukum

internasional, termasuk traktat dan hukum kebiasaan

internasional menjadi suatu hal yang tidak dapat

dihindarkan dalam pembahasan konstitusi negara. Sementara

itu, ketentuan dan dokumen internasional yang sifatnya

tidak mengikat pun juga dapat menjadi landasan hukum

sepanjang diperlukan untuk menafsirkan komitmen negara

dalam menjalankan hukum internasional dan sepanjang prinsip

yang terkandung di dalamnya merupakan postulat dari

prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh negara

beradab.413

2. Analisis Hukum Internasional terhadap UU tentang

KKR Khususnya yang berkaitan dengan Pemberian

Amnesti

Terdapat tiga hal yang patut dielaborasi dari

pengujian UU tentang KKR ini. Dua hal pertama, legalitas

                                                                                                                          413 Lihat catatan kaki nomor 48 yang menjabarkan mengenai Pasal 38

ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yang menjadi pedoman sumber hukum internasional.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 171: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

164

 

pemberian amnesti dalam hukum internasional dan amnesti

sebagai alasan pemberian reparasi, sudah secara tegas

dijawab oleh MK. Sementara itu, relevansi amnesti dengan

pemenuhan “Right to Know” belum dielaborasi lebih jauh

sehingga membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam.

Pertama, bahwa amnesti yang diberikan kepada pelaku

kejahatan internasional adalah bertentangan dengan hukum

internasional. Tidak banyaknya pembahasan MK mengenai

legalitas pemberian amnesti menunjukan kepercayaan MK

terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional yang

disampaikan, sehingga prinsip pelarangan ini secara mutlak

diterima dalam sistem hukum di Indonesia. Pendapat berbeda

(dissenting opinion) Hakim I Dewa Gede Palguna yang mencoba

meninjau amnesti sebagai perwujudan kedaulatan negara tidak

mampu mengalahkan penerimaan prinsip yurisdiksi universal

dari kejahatan yang tergolong sebagai kejahatan

internasional.414

Kedua, bahwa pemberian amnesti tidak dapat dijadikan

alasan untuk memberikan reparasi kepada korban kejahatan

internasional telah secara tepat diputus oleh MK. Salah

                                                                                                                          414 Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 tentang

Pengujian atas UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hal. 137.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 172: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

165

 

satu esensi dasar dari pelarangan amnesti adalah untuk

melindungi hak korban dalam mencapai keadilan, memperoleh

reparasi, dan mengetahui kebenaran.415 Argumentasi utama

model pemberian amnesti melalui komisi kebenaran adalah

bahwa mekanisme tersebut tetap menjamin ketiga hak korban

tersebut, tidak seperti amnesti menyeluruh yang lazim

dilakukan oleh rejim diktator di Amerika Latin.416 Apabila

dalam pemberian amnesti di komisi kebenaran ternyata korban

masih terhalang dalam mendapatkan reparasi, maka hal

demikian menjadi sangat ironis dan tidak lain merupakan

pengkhianatan dari eksistensi suatu komisi kebenaran itu

sendiri.

Ketiga, bahwa kalaupun diberikan, amnesti harus

disusun sedemikian rupa sehingga mampu memenuhi “Right to

Know” masyarakat Indonesia yang sedang berada di dalam masa

transisi politik. Konsep “Right to Know” merupakan panduan

internasional yang sangat penting dalam merumuskan konsepsi

keadilan transisional di suatu negara.417 Keberhasilan

                                                                                                                          415 Lihat kembali catatan kaki nomor 120 dan 137. Lihat pula

Bassiouni (b), op. cit., hal. 207. 416 Cassel, op. cit., dalam catatan kaki nomor 189. Lihat pula

Tittemore, op. cit., hal. 429 dalam catatan kaki nomor 188.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 173: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

166

 

Afrika Selatan dengan SATRC-nya, meskipun di satu sisi

melanggar kewajiban negara untuk menuntut dan mengadili

pelaku kejahatan internasional, di sisi lain mampu memenuhi

“Right to Know” masyarakatnya secara keseluruhan mengenai

kebenaran yang sesungguhnya di negara tersebut.418

Bagaimana perwujudan konsep ini dalam UU tentang KKR

memang tidak diangkat dalam pengujian di MK karena sangat

sulit pula menemukan relevansinya dengan UUD 1945. Namun

demikian, berdasarkan pernyataan tertulis dari Cassel,

beberapa konsep “Right to Know” yang ia angkat dapat

dijadikan pedoman untuk mengungkapkan kebenaran dan

mencapai rekonsiliasi di Indonesia.419 Beberapa poin penting

yang dapat dijadikan pelajaran oleh Indonesia antara lain:

apakah yang dimaksud dengan kebenaran sosial, bagaimana

merumuskan jangka waktu bagi proses pengungkapan kebenaran,

bagaimana menentukan validitas suatu kebenaran, dan

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       417 Lihat kembali Orentlicher (b), op. cit., dalam catatan kaki

nomor 178. 418 Lihat Burton, op. cit., hal. 417, dalam catatan kaki nomor

282. 419 “WRITTEN TESTIMONY OF PROFESSOR DOUGLASS CASSEL BEFORE THE

CONSTITUTIONAL COURT OF INDONESIA,” op. cit.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 174: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

167

 

bagaimana memberikan insentif bagi para pengungkap

kebenaran.420

Sebagai contoh dalam kaitannya dengan amnesti,

pemenuhan “Right to Know” di Afrika Selatan sangat

bergantung pada mekanisme amnesti yang sukses menjadi

insentif bagi pelaku kejahatan untuk mengungkapkan

pengetahuan yang dimilikinya. Sementara itu, penuntutan dan

peradilan berjalan efektif sehingga mampu menjadi pendorong

yang “menakuti” pelaku kejahatan yang tidak mau mengakui

kejahatannya.421 Namun demikian, apabila tetap ingin

berlandaskan kepada prinsip hukum internasional yang secara

tegas menolak pemberian amnesti kepada pelaku kejahatan

internasional, maka “best practice” di Afrika Selatan hanya

dapat diterapkan pada kejahatan yang tidak tergolong

sebagai kejahatan internasional.422

                                                                                                                          420 Ibid. 421 Lihat kembali “WRITTEN TESTIMONY OF PROFESSOR DOUGLASS CASSEL

BEFORE THE CONSTITUTIONAL COURT OF INDONESIA,” op. cit., Robertson, op. cit.

422 Lihat kembali “Testimony of Naomi Roht-Arriaza, Professor of

Law, University of California, Hastings College of the Law, before the Constitutional Court.”

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 175: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

168

 

Jika kembali berkaca kepada situasi transisi politik

di Indonesia,423 pemberian amnesti bagi pelaku kejahatan

internasional tidak seharusnya secara serta merta ditolak

karena bertentangan dengan hukum internasional. Sesuai

dengan prinsip bahwa “transitional justice is a local

justice,”424 seharusnya Indonesia mampu merumuskan konsep

amnesti-nya sendiri tanpa menciptakan impunitas bagi

pelaku.

Penulis berpendapat bahwa disamping terdapat mekanisme

pemberian amnesti yang mengedepankan prinsip “insentif dan

disinsentif” (stick and carrot) bagi pelaku kejahatan

internasional, beberapa prasyarat yang perlu diperhatikan

dalam merumuskan mekanisme amnesti di masa transisi politik

di Indonesia adalah: (1) adanya figur kepemimpinan nasional

yang mampu meraih simpati masyarakat, dan (2) adanya

                                                                                                                          423 Situasi di Indonesia sebenarnya berbeda dengan negara-negara

lain yang juga mengalami masa transisi politik. Di Afrika Selatan, Sierra Leone, negara bekas Yugoslavia, atau beberapa negara di Amerika Latin, jatuhnya suatu rejim otoritarian diikuti pula dengan hancurnya struktur rejim tersebut. Sementara di Indonesia, jatuhnya pemimpin Orde Baru tidak serta merta diikuti oleh jatuhnya perangkat rejim Orde Baru tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan masih berkuasanya infrastruktur utama penopang kekuasaan Orde Baru, yakni partai politik dan militer dalam mempengaruhi peta kekuasaan di Indonesia, meskipun sudah beralih menjadi bentuk yang berbeda.

424 Lihat Waldorf, op. cit., hal. 1 serta Hesse and Post, dalam

Hesse and Post, ed, op. cit.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 176: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

169

 

kepercayaan kolektif dari segenap masyarakat Indonesia

mengenai upaya penyelesaian perkara pelanggaran HAM yang

terjadi di masa lalu yang ditandai dengan meningkatkan

kepercayaan publik terhadap kinerja penegakan hukum.425

Selama kedua prasyarat tersebut belum dicapai, “Right to

Know” akan selamanya tidak mampu dipenuhi dan tidak akan

ada satu alasan pun yang dapat memperbolehkan pemberian

amnesti bagi pelaku kejahatan internasional di Indonesia.

II. Mekanisme Pemberian Amnesti dalam Komisi Kebenaran dan

Persahabatan Indonesia-Timor Leste

A. Sejarah Pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan

Indonesia-Timor Leste

Satu lembaga lain yang memiliki kewenangan pemberian

amnesti dalam konteks pelanggaran HAM berat yang tergolong

sebagai kejahatan internasional adalah Komisi Kebenaran dan

Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste. Komisi ini

dibentuk berdasarkan kesepakatan bilateral antara Indonesia

                                                                                                                          425 Lihat Daniel Sparringa, “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi:

Penyelesaian atas Warisan Rejim Otoritarian dan Penyelamatan Masa Depan di Indonesia,” Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII Badan Pembinaan Hukum Nasional, Denpasar Bali, 14-18 Juli 2003.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 177: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

170

 

dan Timor Leste untuk menuntaskan berbagai permasalahan

pelanggaran HAM yang tergolong sebagai kejahatan

internasional dalam konteks masa transisi politik pasca

kemerdekaan Timor-Timur dari Indonesia pada tahun 1999.426

Berikut ini diberikan kronologi historis mengenai

berbagai perkembangan yang berujung pada pembentukan

lembaga ini dalam perspektif keadilan transisional di Timor

Leste.

1. Konflik dalam Penentuan Jajak Pendapat di Timor Timur

Pasca dekolonialisasi Timor Timur dari Portugal tahun

1974, terjadi perang saudara di antara faksi-faksi di

wilayah tersebut. Kesempatan ini digunakan oleh Indonesia

dengan melakukan berbagai operasi intelejen dan mencapai

puncaknya pada 7 Desember 1975 ketika invasi ke Timor Timur

dilakukan.427 Semenjak masa tersebut, Timor-Timur dianggap

menjadi bagian dari wilayah Indonesia, meskipun berbagai

                                                                                                                         

426 Lihat Kerangka Acuan Komisi Kebenaran dan Persahabatan, 9 Maret 2005. (untuk selanjutnya disebut Kerangka Acuan).

427 Sekilas mengenai konflik Timor Timur dalam perspektif hukum

internasional, lihat Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional, (Jakarta: PT Tatanusa, 2007), hal. 91-114, dalam Bab “Penyelesaian Masalah Timor Timur dalam Kerangka PBB.”

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 178: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

171

 

pelanggaran HAM yang terjadi kerap dilaporkan oleh LSM-LSM

lokal dan internasional.428

Dengan jatuhnya rejim Orde Baru pada 1998, Presiden

Habibie sebagai pengganti Presiden Soeharto mengajukan

suatu solusi politik dengan menawarkan kepada masyarakat

Timor-Timur untuk memilih antara merdeka atau otonomi

khusus.429 Pada bulan Mei 1999, dicapai kesepakatan antara

Indonesia, Portugal, dan PBB untuk menyiapkan suatu “jajak

pendapat” yang akan dikelola oleh Misi PBB di Timor-Timur

(UN Mission in East Timor- UNAMET), dengan tanggung jawab

keamanan berada pada Indonesia.430 Pada 30 Agustus 1999,

mayoritas masyarakat Timor-Timur akhirnya memilih untuk

merdeka. Namun demikian, periode sebelum dan sesudah jajak

pendapat dipenuhi dengan kekerasan dan berbagai praktek

pelanggaran HAM berat.431

                                                                                                                          428 Megan Hirst, Meraih Persahabatan, Melepas Kebenaran: Laporan

Pemantauan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste,(Jakarta: International Center for Transitional Justice, 2008), hal. 5.

429 Suryokusumo, op. cit., hal. 98-99. 430 Suryokusumo, op. cit., hal. 101. 431 Hirst, op. cit., hal. 6.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 179: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

172

 

2. Pembentukan Komisi Penyelidikan (Commission of

Inquiry) PBB

Respon awal terhadap kekerasan yang terjadi di Timor

Timur dituangkan dalam dua laporan Komisi Penyelidikan

(Commission of Inquiry in East Timor) PBB, yang

menyimpulkan bahwa tentara Indonesia (TNI) terlibat dalam

pengorganisasian milisi yang melakukan kekerasan di Timor

Timur pada sekitar tahun 1999, sehingga harus bertanggung

jawab terhadap pelanggaran HAM yang terjadi.432 Komisi ini

merekomendasikan, apabila peradilan yang kredibel gagal

digelar di Indonesia, sebuah pengadilan internasional harus

dibentuk.433

3. Pengadilan HAM di Indonesia dan Pengadilan Kejahatan

Berat di Timor-Leste

Pada tahun 1999, Komnas HAM Indonesia mendirikan

sebuah Komite Penyelidikan Khusus (KPP-HAM) untuk

mengumpulkan informasi tentang pelanggaran HAM di Timor

Timur. Laporan KPP HAM menyebutkan keterlibatan tentara dan

                                                                                                                          432 Report of the United Nations Independent Special Commissions

of Inquiry for Timor Leste, http://www.ohchr.org/Documents/ Countries/COITimorLeste.pdf (1 Juni 2008).

433 Ibid.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 180: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

173

 

pejabat Indonesia dalam pelanggaran HAM yang sistematis,

merujuk 33 nama yang diduga mempunyai pertanggungjawaban

individu, dan merekomendasikan pembentukan suatu pengadilan

HAM yang dapat mengadili tindak kejahatan internasional di

Timor-Timur.434

Menanggapi laporan tersebut dan tekanan internasional,

Pengadilan HAM ad hoc dibentuk pada tahun 2001 untuk

mengadili tindak kejahatan di Timor Leste.435 Kejaksaan

Agung melakukan penyelidikan dan mengeluarkan dakwaan

terhadap 18 orang. Sidang dilangsungkan antara bulan Maret

2002 hingga Agustus 2003. Enam terdakwa dinyatakan bersalah

pada tingkat pertama, dan hanya dua yang tidak dibebaskan

di tingkat banding, yaitu Jose Abilio Suares dan Eurico

Guiterres. Keduanyapun pada akhirnya dibebaskan pada

tingkat Peninjauan Kembali (PK).436 Namun demikian, proses

penuntutan dan peradilan tersebut dianggap cacat oleh

                                                                                                                          434 Lihat “Ringkasan Eksekutif Laporan KPP HAM,” http://

www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/08/06/0102.html (1 Juni 2008). 435 Pengadilan HAM Ad-Hoc dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden

Nomor 53 tahun 2001, 23 April 2001 dan Keputusan Presiden Nomor 96 tahun 2001, 1 Agustus 2001.

436 Lihat “Mahkamah Agung Kabulkan PK Abilio,” http://www.

tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/11/04/brk,20041104-62,id.html (1 Juni 2008); “Eurico Gutteres Bebas,” http://www.tempointeraktif.com/ hg/nasional/2008/04/04/brk,20080404-120491,id.html (1 Juni 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 181: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

174

 

berbagai pihak, antara lain karena: kurangnya perlindungan

saksi, kelemahan institusi peradilan, dan kurangnya niat

Kejaksaan Agung dalam melakukan penyidikan dan pengumpulan

bukti-bukti.437

Sementara itu, pada tahun 2000, PBB mendirikan Panel

Khusus untuk Kejahatan Berat (Special Penal for Serious

Crimes) dalam Pengadilan Distrik Dili dengan kewenangan

untuk mengadili tindak kejahatan berat (genosida, kejahatan

perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, pembunuhan,

kekerasan seksual, dan penyiksaan).438 PBB juga mendirikan

Unit Kejahatan Berat (Serious Crimes Unit) pada Kejaksaan

Timor Leste untuk melakukan penuntutan atas kejahatan

berat. Setelah mandatnya dihentikan oleh DK PBB Mei 2005,

Unit ini telah mendakwa 391 orang, dengan 84 putusan

bersalah dan 3 putusan bebas.439 Unit ini pun dikritik

                                                                                                                          437 UNTAET/REG/2000/15, 6 June 2000, [Regulation 2000/15],

http://www.un.org/peace/etimor/untaetR/Reg0015E.pdf (23 Maret 2008). 438 Section 1, para 1.1. dari Regulation 2000/15. 439 Carl DeFaria, “ET’s Quest for Justice-The Srious Crimes File,”

(Pencarian Keadilan Timor Timur), (makalah dipaparkan dalam UNMISET-Simposium Internasional dalam Operasi Perdamaian PBB Pascakonflik Timor Leste: Pencapaian dan Pembelajaran, 28 April 2005), sebagaimana dikutip oleh Hirst, op. cit., hal. 7.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 182: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

175

 

karena tidak memiliki strategi penuntutan yang jelas dan

kekurangan fasilitas pendukung.440

Sebagai pendukung kinerja mekanisme peradilan, Timor

Leste juga mendirikan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan

Rekonsiliasi Timor Leste (disingkat dalam bahasa Portugis

CAVR).441 Mandat komisi ini secara garis besar adalah

mencari kebenaran atas pelanggaran HAM dalam kurun wakti

1975-1999, melakukan rekonsiliasi di tingkat komunitas atas

kejahatan yang tidak berat, melakukan rehabilitasi korban,

serta melakukan rekomendasi.442 Dalam rekomendasi ini, CAVR

menyatakan bahwa perlu perbaikan proses peradilan atas

kejahatan internasional, dan pembentukan pengadilan

internasional apabila keadilan tetap gagal ditegakan.443

                                                                                                                          440 Hirst, op. cit., hal. 7. 441 Untuk seluruh informasi lengkap terkait CAVR, lihat situs

resmi CAVR (yang merupakan singkatan dari Commisao de Alcohimento, Verdade e Reconcilicao) dalam http://www.cavr-timorleste.org (1 Juni 2008).

442 Ibid. 443 Laporan resmi CAVR adalah “Chega! The Report of the Commission

of Reception, Truth, and Reconciliation in Timor Leste,” http://www.cavr-timorleste.org/en/chegaReport.htm (1 Juni 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 183: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

176

 

4. Komisi Ahli (Commission of Expert) PBB

Pada Februari 2005, Komisi Ahli dibentuk oleh Sekjen

PBB untuk menanggapi kegagalan Pengadilan HAM ad hoc di

Indonesia.444 Komisi ini bertugas melakukan penilaian

kinerja Pengadilan HAM ad hoc Indonesia dan Panel Khusus di

Dili, merekomendasikan tindakan untuk memastikan

akuntabilitas, rekonsiliasi, dan keadilan bagi para korban,

dan mempertimbangkan analisisnya dapat membantu KKP.445

Dalam laporannya pada 26 Mei 2005, disimpulkan bahwa

terdapat kegagalan dalam proses Pengadilan HAM di

Indonesia, mengkritik peradilan kejahatan berat di Timor

Leste, dan menuntut adanya sebuah pengadilan internasional,

jika tidak ada perbaikan mendasar dalam kedua mekanisme

keadilan domestik dalam waktu enam bulan.446

                                                                                                                          444 Untuk laporan lengkap Komisi Ahli PBB, lihat “Letter dated 24

June 2005 from the Secretary General Addressed to the President of the Security Council,” (UN. Doc. S/2005/458) http://daccessdds.un.org/ doc/UNDOC/GEN/N05/426/17/PDF/N0542617.pdf?OpenElement (1 Juni 2008).

445 Komisi Ahli menjalankan tugasnya hingga awal tahun 2005,

ketika ToR KKP sudah ditandatangani namun KKP belum menjalankan tugasnya.

446 “Letter dated 24 June 2005 from the Secretary General

Addressed to the President of the Security Council,” op. cit.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 184: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

177

 

B. Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor

Leste

1. Impunitas sebagai Semangat Pembentukan Komisi

Kebenaran dan Persahabatan

Meskipun proses peradilan sudah dilakukan baik di

Indonesia maupun Timor Leste, tidak kredibelnya proses-

proses tersebut menyebabkan tekanan internasional untuk

menuntut pertanggungjawaban dalam pelanggaran HAM yang

terjadi tidak berhenti.447 Hal ini misalnya dapat dilihat

dari pembentukan Komisi Ahli oleh DK PBB, yang dianggap

sebagai ancaman terhadap pendekatan “rekonsiliasi” yang

dijalankan oleh kedua negara. Dari pihak Timor Leste pun,

para pemimpinnya tidak menyetujui pembentukan pengadilan

internasional dengan alasan menjaga hubungan persahabatan

yang baik dengan Indonesia.448

Dari penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa semangat

utama pembentukan KKP adalah untuk mencegah pembentukan

pengadilan internasional yang kemungkinan besar akan

direkomendasikan oleh Komisi Ahli PBB (yang memang pada

                                                                                                                          447 Lihat kembali laporan Commission of Expert, “Letter dated 24

June 2005 from the Secretary General Addressed to the President of the Security Council,” op. cit.

448 Hirst, op. cit., hal. 10-12.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 185: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

178

 

akhirnya direkomendasikan demikian). Kesimpulan ini juga

dapat dilihat dari pernyataan publik dari perwakilan kedua

negara tersebut.449 Dengan demikian, dilihat dari perspektif

PBB (yang mana Komisi Ahlinya menyimpulkan terjadinya

kegagalan dalam peradilan atas pelanggar HAM di Indonesia

dan Timor Leste), keberadaan KKP tidak lain bertujuan untuk

mengulur waktu450 penuntasan pertanggungjawaban atas

pelanggaran HAM, sehingga menyebabkan impunitas.

Setelah melalui serangkaian negosiasi yang dimulai

oleh Presiden Megawati (Indonesia) dan Presiden Xanana

Gusmao (Timor Leste), disepakati pembentukan suatu “komisi

kebenaran dan rekonsiliasi internasional.” Konsep ini

berkembang dari suatu komisi internasional menjadi komisi

bilateral bernama Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP).

Begitupula terdapat perbedaan yang pada awalnya diusulkan

dibentuk berdasarkan resolusi DK PBB, ternyata hanya

                                                                                                                          449 Hirst, op. cit., hal. 12. 450 Jika DK PBB menyetujui laporan Komisi Ahli PBB, maka sejak

saat itu durasi 6 bulan mulai berlaku bagi Indonesia maupun Timor Leste untuk meninjau ulang proses peradilan domestiknya. Apabila kemudian setelah lewat masa tersebut tidak terdapat perkembangan yang signifikan, pengadilan internasional dapat dibentuk. Hingga saat ini, laporan Komisi Ahli tetap belum dibahas oleh DK PBB karena menunggu hasil kerja KKP.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 186: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

179

 

dibentuk melalui kesepakatan bilateral.451 Pada akhirnya,

Kerangka Acuan (Term of Reference) dari KKP difinalisasi

dan diluncurkan pada 9 Maret 2005. Kerangka Acuan tersebut

ditandatangani di Jakarta oleh Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono (Indonesia) dan Presiden Xanana Gusmao (Timor

Leste).

2. Kewenangan Komisi Kebenaran dan Persahabatan

berdasarkan Kerangka Acuan

Berdasarkan Kerangka Acuan, KKP memiliki beberapa

kewenangan (dalam bentuk mandat), yang secara garis besar

terdiri dari: (1) memeriksa dokumen-dokumen dari empat

mekanisme keadilan transisional yang terjadi di Indonesia

dan Timor Leste (yakni Laporan KPP-HAM, Pengadilan HAM Ad-

Hoc untuk Timor Timur, CAVR, dan Panel Khusus Kejahatan

Berat) untuk kemudian mengungkapkan kebenaran mengenai

pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1999 di Timor

Timur, (2) mengeluarkan laporan akhir yang disebarluaskan

kepada publik, serta (3) memberikan rekomendasi yang

bertujuan untuk memulihkan luka masa lalu dan memulihkan

                                                                                                                          451 Hirst, op. cit., hal. 12.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 187: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

180

 

harkat dan martabat manusia. Secara lebih lengkap, paragraf

14 Kerangka Acuan KKP menyebutkan bahwa:

a. Reveal the factual truth of the nature, causes, and

the extent of reported violations of human rights that occurred in the period leading up to and immediately following the popular consultation in Timor-Leste in August 1999: i. review all the existing materials documented by

the Indonesian National Commission of Inquiry on Human Rights Violations in East Timor in 1999 (KPP HAM) and the Ad-hoc Human Rights Court on East Timor, as well as the Special Panels for Serious Crimes, and the Commission of Reception, Truth and Reconciliation in Timor-Leste;

ii. examine and establish the truth concerning reported human rights violations including patterns of behavior, documented by the relevant Indonesian institutions and the Special Panels for Serious Crimes (as contained in its indictment letters) with a view to recommending follow-up measures in the context of promoting reconciliation and friendship among peoples of the two countries.

b. Issue a report, to be made available to the public,

… , establishing the shared historical record of the reported human rights violations that took place in the period leading up to and immediately following the popular consultation in Timor-Leste in August 1999.

c. Devise ways and means as well as recommend

appropriate measures to heal the wounds of the past, to rehabilitate and restore human dignity, inter alia: i. recommend amnesty for those involved in human

rights violations who cooperate fully in revealing the truth;

ii. recommend rehabilitation measures for those wrongly accused of human rights violations;

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 188: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

181

 

iii. recommend ways to promote reconciliation between peoples based on customs and religious values;

iv. recommend innovative people-to-people contacts and cooperation to further enhance peace and stability.452 (garis bawah dan huruf tebal dari penulis).

Hingga penelitian ini disusun, terdapat banyak

permasalahan dan kritik terhadap kinerja KKP, terutama

dalam pelaksanaan mekanisme konsultasi publik. Saat ini,

KKP telah menyelesaikan mandatnya pada awal bulan Februari

2008, setelah mengalami dua kali perpanjangan mandat. Namun

demikian, berhubungan penelitian ini merupakan studi

normatif, analisis berikutnya berlandaskan kesesuaian

Kerangka Acuan KKP dengan hukum internasional.

C. Permasalahan Hukum Internasional dalam Komisi

Kebenaran dan Persahabatan Menyangkut Kewenangan

Pemberian Amnesti

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditemukan

permasalahan mendasar dalam perspektif hukum internasional,

                                                                                                                          452 Lihat “Terms of Reference for the Commission of Truth and

Friendship Established by the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste,” [selanjutnya disebut Kerangka Acuan KKP], paragraf 14, http://etan.org/et2005/march/06/10tor.htm (1 Juni 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 189: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

182

 

terutama yang berkaitan dengan pemberian amnesti terhadap

pelaku kejahatan internasional, yaitu: apakah mekanisme

kerja KKP, khususnya menyangkut pemberian amnesti, telah

memadai berdasarkan prinsip-prinsip HAM dan hukum

internasional?

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Kerangka

Acuan KKP mengandung klausul yang memberikan kewenangan

bagi KKP untuk merekomendasikan pemberian amnesti terhadap

pelaku pelanggar HAM yang kooperatif untuk mengungkapkan

seluruh kebenaran.453 Dalam Kerangka Acuan memang tidak

dijelaskan mengenai pelaku pelanggaran HAM apa saja yang

dapat diberikan amnesti. Namun demikian, jika melihat

dokumen yang dianalisis oleh KKP, yakni Laporan KPP-HAM,

Pengadilan HAM Ad-Hoc untuk Timor Timur, CAVR, dan Panel

Khusus Kejahatan Berat, maka dapat disimpulkan bahwa

pemberian amnesti dalam mekanisme KKP lebih diarahkan

kepada pelaku pelanggaran HAM yang tergolong sebagai

kejahatan internasional.

Permasalahan dalam klausula pemberian amnesti tersebut

juga semakin kompleks apabila dikaitkan dengan ketentuan-

                                                                                                                          453 Kerangka Acuan KKP, Paragraf 14 butir (c) 1.  

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 190: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

183

 

ketentuan lain dalam Kerangka Acuan. Terdapat kemungkinan

pelanggaran prinsip-prinsip hukum internasional dalam

Kerangka Acuan. Dalam Paragraf 3, dijabarkan lima prinsip

yang melandasi kerja KKP, yang mana dua diantaranya adalah:

1. Berdasarkan semangat untuk melihat ke masa mendatang

dan pendekatan rekonsiliatif, proses KKP tidak akan

mengarah kepada penuntutan dan lebih menekankan kepada

pertanggungjawaban institusi;454

2. Tidak akan mendahului proses peradilan atas

pelanggaran HAM di Timor Leste pada tahun 1999, dan

pula tidak akan merekomendasikan pembentukan lembaga

peradilan apapun.455

Berdasarkan kedua prinsip tersebut, laporan akhir KKP

memang sejak awal dimaksudkan sebagai penyelesaian akhir

terhadap segala kasus pelanggaran HAM tanpa adanya proses

peradilan. Pelaksanaan prinsip tersebut juga berarti

menghilangkan kemungkinan pembentukan peradilan

internasional dalam menyelesaikan perkara pelanggaran HAM

di Timor Leste. Dikaitkan dengan prinsip-prinsip tersebut,

pembentukan Kerangka Acuan KKP dikritik karena “designed to

                                                                                                                          454 Kerangka Acuan KKP, Paragraf 13 butir (c). 455 Kerangka Acuan KKP, Paragraf 13 butir (e).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 191: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

184

 

shield from prosecution those who bear primary

responsibility for crimes committed in Timor Leste under

the guise of a truth and reconciliation function whose

fulfilment is uncertain.”456

Amnesti sendiri (telah dibahas dalam Bab II dan Bab

III sebelumnya) dilarang dalam hukum internasional. Namun

demikian, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang

ada, pemberian amnesti itu sendiri sebenarnya tidak

bertentangan secara langsung dengan hukum internasional,

melainkan yang bertentangan adalah implikasi-implikasi

hukum yang ditimbulkan. Dalam konteks mekanisme KKP,

implikasi tersebut adalah gugurnya kewajiban menyidik,

menuntut, dan mengadili pelaku kejahatan internasional,457

diabaikannya hak korban kejahatan internasional,458 dan

                                                                                                                          456 Lihat, Judicial System Monitoring Programme, “Commission of

Truth and Friendship” Seeks to End the Search for Justice whilst “Commission of Experts” Keeps it Alive, press release on March 14, 2005, http://www.jsmp.minihub.org/Press%20Release/CTF&CoF/ComparingCTF andCoE(e).pdf (1 Juni 2008).

457 Lihat kembali Bab II Sub C. Instrumen hukum internasional yang

digunakan untuk menerapkan prinsip ini adalah Konvensi Jenewa 1949, Konvensi Genosida, Konvensi Anti Penyiksaan, Kovenan Hak Sipil dan Politik, hukum kebiasaan internasional, dan berbagai pernyataan resmi dalam berbagai dokumen internasional.

458 Lihat kembali Bassiouni (b), op. cit., hal. 246, dan The Basic

Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 192: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

185

 

khusus dalam masa transisi politik, tidak dipenuhinya

“Right to Know” suatu masyarakat dalam transisi.459

Berdasarkan pandangan demikian, mekanisme pemberian amnesti

pada KKP melanggar hukum internasional atas beberapa

pertimbangan sebagai berikut.

Pertama, pemberian amnesti tidak memberikan insentif

maupun disinsentif apapun kepada pelaku pelanggaran HAM

karena sejak awal Kerangka Acuan sudah menegaskan tidak

akan membuka pertanggungjawaban individu terhadap

pelanggaran HAM di Timor-Timur dan memfokuskan kepada

pertanggungjawaban institusi. Paragraf 10 Kerangka Acuan

KKP sudah menyatakan bahwa,

“Indonesia and Timor-Leste have opted to seek truth and promote friendship as a new and unique approach rather than the prosecutorial process. True justice can be served with truth and acknowledgement of responsibility. The prosecutorial system of justice can certainly achieve one objective, which is to punish the perpetrators; but it might not necessarily lead to the truth and promote reconciliation.”460 (huruf tebal dari penulis).

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       Serious Violations of International Humanitarian Law yang diadopsi oleh PBB.

459 Lihat kembali Bab IV Sub A poin 3, dan Update Set of

Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity of 2005.  

 460  Kerangka Acuan KKP, Paragraf 10.  

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 193: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

186

 

Hal ini kemudian kembali ditegaskan dalam paragraf 12

tentang prisip kerja KKR yang sekali lagi menyatakan bahwa

melakukan penuntutan terhadap pelaku kejahatan

internasional di Timor Leste bukan merupakan suatu

pilihan.461 Klausula tersebut sudah secara nyata melanggar

kewajiban hukum internasional untuk menyidik, menuntut, dan

mengadili pelaku kejahatan internasional.462

Jika memang sejak awal proses penuntutan untuk mencari

pertanggungjawaban individu atas kasus kejahatan

internasional sudah diabaikan, lantas apakah fungsi amnesti

dalam Kerangka Acuan KKP ini? Pelaku kejahatan

internasional tidak akan mendapatkan “manfaat pribadi”

dengan mengakui kesalahannya dan memohon amnesti, karena

sejak awal “manfaat” tersebut sudah melekat tanpa adanya

pemberian amnesti. Begitupula tidak ada “hukuman” bagi sang

pelaku (dengan diadili di hadapan sidang pengadilan)

apabila ia tidak berniat untuk mengungkapkan kebenaran.

Dengan demikian, mekanisme amnesti dalam Kerangka Acuan KKP

                                                                                                                           461  Kerangka Acuan KKP, Paragraf 13 butir (c).    462  Lihat kembali Bab II Sub C.  

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 194: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

187

 

tidak lain dari suatu instrumen hukum yang memiliki

semangat impunitas.

Kedua, pemberian amnesti tidak diikuti dengan adanya

pemulihan tiga hak dasar korban dalam hukum internasional,

yaitu hak untuk mendapatkan keadilan, hak untuk mendapatkan

pemulihan yang efektif, serta hak untuk mengetahui

kebenaran. Kerangka Acuan KKP tidak sekalipun menyebut

istilah “korban” (victim), sehingga perlu dikritik

keberpihakan Kerangka Acuan tersebut terhadap korban

pelanggaran HAM, khususnya yang tergolong sebagai kejahatan

internasional. Dalam perspektif ini, mekanisme pemberian

amnesti melanggar beberapa prinsip dasar hak korban.

Akses korban terhadap keadilan terhalang karena

pemberian amnesti tidak diiringi dengan proses penuntutan

dan peradilan, sehingga tidak ada kesempatan bagi korban

untuk menyuarakan pandangannya di hadapan pengadilan.463

Kerangka Acuan KKP juga tidak menjabarkan dampak pemberian

amnesti terhadap pemulihan hak-hak korban. Telah dijelaskan

dalam bab sebelumnya bahwa korban memiliki hak untuk

                                                                                                                           463  Hak korban untuk mendapatkan akses terhadap keadilan, tercakup

pula kewajiban negara untuk melakukan penuntutan. Hal ini karena hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan meliputi hak korban untuk memberikan keterangan di pengadilan dan hak untuk mendapatkan pemulihan yang efektif. Bassiouni (b), op. cit., hal. 265.  

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 195: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

188

 

pemulihan,464 dan hak tersebut harus dipenuhi seandainya

amnesti memang pada akhirnya diberikan. Sebaliknya,

Kerangka Acuan memilih untuk membisu mengenai mekanisme

ini, sehingga tidak ada jaminan bahwa hak korban akan

dipenuhi jika amnesti diberikan.465 Termasuk dalam hak

korban tersebut adalah hak untuk mengetahui kebenaran, yang

sebenarnya dapat dipenuhi dalam proses peradilan. Dengan

demikian, terdapat pelanggaran yang nyata terhadap hak

korban dalam hukum internasional.

Ketiga, pemberian amnesti tidak memberikan jaminan

terpenuhinya “Right to Know” masyarakat Indonesia maupun

Timor Leste. “Right to Know” dapat terpenuhi apabila

terdapat suatu sistem yang mendorong para pihak, termasuk

pemerintah, pelaku, maupun korban, untuk mengungkapkan

kebenaran yang hakiki.466 Amnesti, jika digunakan dengan

tepat, dapat menjadi “reward” bagi pelaku pelanggaran HAM

                                                                                                                          464 Hak untuk mendapatkan pemulihan yang efektif terdiri dari hak

untuk mendapatkan restitusi, kompensasi ekonomi, rehabilitasi, dan jaminan non-repetisi. Lihat kembali Prinsip 19-25 Basic Principle.

465 Lihat Amara Paripurna, “Victim’s Rights to Remedy and the Role

of CTF,” http://amiraparipurna.wordpress.com/2008/05/31/victims-right-to-remedy-and-the-role-of-ctf/ (3 Juni 2008).

466 Lihat Orentchelier (a), op. cit., mengenai “Update Set of

Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity of 2005.”

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 196: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

189

 

yang mengungkapkan kebenaran, sepanjang tersedia mekanisme

“punishment” bagi mereka yang menolak bekerjasama.467 Dengan

Prinsip dan Mandat KKP sebagaimana tercantum di Kerangka

Acuan, “kebenaran yang hakiki” tidak akan dapat terungkap

Karena gagal menciptakan suatu kondisi yang mendorong

setiap pihak yang terlibat untuk menceritakan setiap

kejadian.

Sebagian besar pelaku yang diduga melakukan kejahatan

internasional telah dinyatakan tidak bersalah oleh

Pengadilan HAM ad-hoc di Indonesia. Saat ini mereka

dilindungi dari proses peradilan selanjutnya, setidaknya di

Indonesia, oleh prinsip ne bis in idem.468 Sementara itu,

yang belum dituntut ataupun diadili, pun juga terlindungi

karena sudah terdapat jaminan bahwa proses pengungkapan

kebenaran di KKP tidak akan berujung pada penuntutan.

Absennya mekanisme pertanggungjawaban pidana secara

individu ini membuat para tertuduh tidak menghadapi ancaman

pidana dalam bentuk apapun.                                                                                                                          

467 Pola ini merupakan pondasi utama keberhasilan KKR di Afrika

Selatan untuk selamat dari kritik internasional karena memberikan amnesti bagi pelaku pelanggar HAM.

468 Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang yang terlibat dalam

tindak pidana kejahatan tidak bisa segera dituntut lagi atas tuduhan yang sama. Konsep ini tertuang dalam Pasal 76 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia dan Pasal 14 (7) ICCPR.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 197: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

190

 

Selain itu, laporan ICTJ juga mencatat beberapa

kelemahan Kerangka Acuan KKP mengenai amnesti, khususnya

dalam menyusun mekanisme “amnesti untuk kebenaran.”

Kelemahan tersebut adalah:

a. Rekomendasi pemberian amnesti hanya diberikan kepada

orang-orang yang didekati oleh KKP sebagai saksi,

tidak dibuka untuk umum sebagaimana dilakukan dalam

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan.469

b. Tidak adanya mekanisme investigasi untuk menguji

kesaksian dari mereka yang memohon rekomendasi

amnesti, termasuk mekanisme investigasi silang (cross

examination) dengan para korban.470

c. Tidak adanya publikasi mengenai kriteria subyek

(pelaku) ataupun obyek (jenis kejahatan) yang dapat

diberikan amnesti.471

d. Tidak adanya kemungkinan penuntutan dan peradilan.

Dari beberapa kelemahan tersebut, poin terakhir

merupakan kelemahan utama KKP, karena seharusnya ancaman

                                                                                                                         

469 Di Afrika Selatan, permohonan amnesti terbuka bagi siapapun, dan formulir permohonan amnesti disebarkan ke seluruh wilayah negara. Lihat Hirst, op. cit., hal. 28.

470 Hirst, op. cit., hal. 28-29. 471 Hirst, op. cit., hal. 28-29.  

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 198: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

191

 

penuntutan adalah “pancingan” utama bagi pelaku untuk

mengungkapkan kebenaran. Dengan kegagalan mekanisme

“insentif-disinsentif” semacam ini dalam KKP, proses

pencarian kebenaran dalam rangka memenuhi “Right to Know”

pun bukan merupakan keniscayaan dan kemungkinan besar akan

berujung pada kegagalan.

Pada akhirnya, dengan memperhatikan segala kelemahan

pada KKP, perlu diingat bahwa KKP belum tentu menjadi akhir

dari segala penyelesaian. Tentu kemungkinan bahwa laporan

akhir KKP akan mengungkapkan suatu hal (baca: kebenaran)

yang baru selain informasi pada CAVR, SCU Timor Leste, KPP-

HAM Indonesia, ataupun dokumen-dokumen pada Pengadilan HAM

ad-hoc Indonesia sangat kecil. Jika kredibilitas laporan

KKP diragukan oleh komunitas internasional, terutama oleh

laporan Komisi Ahli PBB yang bertugas untuk melaporkan

langsung ke DK PBB, proses pengungkapan kebenaran akan

kejadian di Timor Timur tahun 1999 masih jauh dari selesai.

Satu-satunya cara bagi Indonesia dan Timor Leste untuk

menghindari tekanan internasional dan nasional (terutama

dari para korban) bukanlah lari dari kenyataan, melainkan

menghadapinya dengan mengungkapkan kebenaran. Sepanjang

negara melaksanakan kewajibannya untuk melakukan penuntutan

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 199: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

192

 

dan peradilan, hak korban dilindungi, dan hak masyarakat

untuk mengetahui kebenaran dipenuhi, mekanisme apapun

(termasuk amnesti) merupakan suatu keniscayaan di tengah

situasi transisi politik di Timor Leste, setidaknya untuk

mencegah terjadinya amnesia sejarah bahwa disana pernah

terjadi kekerasan yang melukai rasa kemanusiaan.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 200: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

193

 

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Uraian sebelumnya telah menjelaskan berbagai aspek

hukum internasional mengenai legalitas pemberian amnesti

terhadap pelaku kejahatan internasional, khususnya yang

dilakukan dalam konteks situasi transisi politik di suatu

negara. Dapat disimpulkan beberapa poin penting dalam

uraian tersebut, yaitu bahwa:

1. Adanya karakteristik khusus dari kejahatan internasional

(timbulnya kewajiban bersama (erga omnes) untuk

memberikan pertanggungjawaban individu dan penerapan

prinsip yurisdiksi universal) memberikan perlakuan yang

khusus pula menyangkut pemberian amnesti terhadap

pelakunya. Meskipun pemberian amnesti merupakan hak yang

dimiliki suatu negara berdaulat, namun khusus menyangkut

kejahatan internasional, amnesti tidak boleh menciptakan

impunitas sehingga harus dilarang. Beberapa prinsip yang

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 201: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

194

 

digunakan sebagai landasan untuk melarang pemberian

amnesti terhadap kejahatan internasional adalah:

a. Kewajiban negara melakukan penindakan atas pelaku

kejahatan internasional. Kewajiban negara melakukan

penindakan tersebut mengharuskan negara untuk membawa

pelaku kejahatan internasional ke peradilan, sehingga

tidak dapat diberikan amnesti karena berarti merupakan

intervensi terhadap proses peradilan. Prinsip ini

terkandung antara lain dalam: (1) Empat Konvensi

Jenewa tahun 1949, (2) Konvensi Genosida, (3) Konvensi

Anti Penyiksaan, (4) Kovenan Internasional mengenai

Hak Sipil dan Politik, (5) hukum kebiasaan

internasional, dan (6) berbagai dokumen Perserikatan

Bangsa-Bangsa.

b. Perlindungan hak atas korban kejahatan internasional.

Dalam hukum kebiasaan internasional, sebagaimana

termuat dalam The Basic Principles and Guidelines on

the Right to a Remedy and Reparation for Victims of

Gross Violations of International Human Rights Law and

Serious Violations of International Humanitarian Law

(Selanjutnya “Basic Principle”), terdapat tiga hak

korban kejahatan internasional: (1) hak untuk

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 202: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

195

 

mendapatkan akses terhadap keadilan, (2) hak untuk

mendapatkan pemulihan yang efektif (terdiri dari

restitusi, kompensasi ekonomi, rehabilitasi, dan

jaminan non-repetisi), serta (3) hak untuk mengetahui

kebenaran. Pemberian amnesti melanggar hak tersebut

karena menghilangkan proses peradilan, yang mana di

forum tersebut korban seharusnya dapat mengungkapkan

suaranya, mencari kebenaran, serta mendapatkan

pemulihan.

2. Sementara itu, khusus dalam situasi transisi politik,

hukum kebiasaan internasional merespons dengan membentuk

prinsip “Right to Know.” Sebagai pengakuan atas hak

kolektif masyarakat transisi untuk mengetahui kebenaran

akan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, prinsip

ini termaktub dalam Update Set of Principles for the

Protection and Promotion of Human Rights through Action

to Combat Impunity of 2005. Pemberian amnesti secara

menyeluruh dapat melanggar hak ini karena menutup dan

menghentikan akses masyarakat terhadap kebenaran. Namun

demikian, terdapat kemungkinan justifikasi pemberian

amnesti sepanjang Right to Know terpenuhi. Beberapa

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 203: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

196

 

contoh pemberian amnesti dalam masa transisi politik

antara lain:

a. Praktek di Amerika Latin: secara umum, yurisprudensi

Inter-American Court of Human Rights (IACHR) dan

pedoman yang disusun oleh Inter-American Commission of

Human Rights mengarah pada pelarangan amnesti secara

mutlak. Referensi utama pelarangan amnesti adalah

kasus Velásquez-Rodríguez v. Honduras (1988) dan kasus

Barios Altos v. Peru (2001).

b. Kasus peradilan Pinochet di Inggris: penangkapan

mantan pemimpin Cile, Agusto Pinochet, di Inggris

memperkuat pelarangan pemberian amnesti. Pinochet

sebenarnya sudah memperoleh amnesti, namun peradilan

Inggris menyatakan amnesti tersebut tidak berlaku

karena dianggap hanya berlaku secara domestik

(teritorial Cile), sehingga tidak dapat menderogasi

penindakan kejahatan-kejahatan internasional yang

memiliki yurisdiksi universal.

c. Pemberian amnesti di Afrika Selatan: SATRC (Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan) memiliki

kewenangan pemberian amnesti sehingga banyak dikritik

karena dianggap melanggar hukum internasional. Alasan

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 204: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

197

 

utama masyarakat internasional tidak mempermasalah-

kannya adalah karena mekanisme amnesti di SATRC

dijadikan sebagai insentif bagi pelaku kejahatan untuk

mengaku dan mengungkapkan kebenaran, sementara amnesti

juga diiringi dengan ancaman peradilan sebagai

disinsentif bagi mereka yang tidak rela maju ke SATRC.

d. Pemberian amnesti di Sierra Leone: Amnesti di Sierra

Leone pada awalnya tercantum dalam Lome Agreement,

suatu kesepakatan perdamaian antara pemerintah dan

pemberontak RUF yang difasilitasi oleh PBB. Setelah

Lome Agreement mengalami kegagalan, dibentuk Special

Court of Sierra Leone (SCSL), yang mana di forum

tersebut, klausul amnesti pada Lome Agreement

dibatalkan oleh pengadilan. Hal ini terlihat dalam

Prosecutor v. Morris Kallon and Brima Bazzy Kamara

(2004) dan Prosecutor v. Kondewa (2004).

3. Indonesia juga memiliki mekanisme pemberian amnesti

terhadap pelaku kejahatan internasional dalam konteks

transisi politik yang terjadi di Indonesia pasca

reformasi tahun 1998, yakni dalam Undang-undang tentang

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), serta Kerangka

Acuan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 205: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

198

 

Leste (KKP). Dapat disimpulkan bahwa mekanisme pemberian

rekomendasi amnesti pada UU KKR bertentangan dengan

hukum internasional karena:

a. KKR yang memiliki kewenangan pemberian rekomendasi

amnesti merupakan mekanisme substitusi dari Pengadilan

HAM, artinya pelaku yang tidak diadili di Pengadilan

HAM akan memberikan kesaksiannya pada KKR.

b. Pemulihan hak korban bergantung pada dikabulkan atau

tidak suatu permohonan amnesti. Padahal, hak korban

adalah suatu kewajiban negara yang wajib diberikan

tanpa syarat apapun.

Sementara itu, dalam Kerangka Acuan KKP, dikatakan

bahwa KKP memiliki mandat untuk memberikan rekomendasi

amnesti. Namun demikian, mandat tersebut harus

dianggap bertentangan dengan hukum internasional

karena:

a. Dengan semangat KKP yang mengarah kepada impunitas

karena tidak tidak melanjutkan proses peradilan,

mekanisme amnesti tidak akan memberi manfaat

(insentif) bagi pelaku yang mengaku, dan tidak akan

menjadi ancaman (disinsentif) bagi pelaku yang

tidak mengaku. Mekanisme demikian juga tidak

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 206: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

199

 

berpengaruh apapun terhadap pemenuhan “Right to

Know” masyarakat Indonesia dan Timor Leste.

b. Tidak ada mekanisme yang jelas mengenai implikasi

pemberian amnesti terhadap hak para korban, yakni

hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan, hak

mendapatkan reparasi, maupun hak mengetahui

kebenaran.

Jika dikonstruksikan dengan format yang berbeda dan

disusun ke dalam satu paragraf, inti sari dari hasil

penelitian ini adalah sebagai berikut.

Bahwa pada prinsipnya terdapat dua pendekatan dalam

meninjau legalitas pemberian amnesti terhadap pelaku

kejahatan internasional dalam masa transisi politik.

Pendekatan pertama menggunakan prinsip HAM internasional,

yang mana menentang secara mutlak pemberian amnesti.

Kalaupun situasi dalam masa transisi politik tidak

memungkinkan adanya penuntutan atau peradilan terhadap

pelaku kejahatan internasional, kondisi demikian tidak

memberikan hak kepada negara untuk memberi amnesti. Dalam

hal ini, hukum internasional memang memberikan keleluasaan

bagi negara tersebut untuk tidak melakukan proses hukum

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 207: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

200

 

sebelum negara berada dalam kondisi yang stabil, namun

hukum internasional segera berlaku segera sesaat bahaya

yang mengancam negara sudah berlalu. Pendekatan kedua

adalah melihat kenyataan terhadap situasi transisi politik

yang terjadi di suatu negara, yakni meninjau sejauh mana

amnesti dapat bermanfaat bagi pengungkapan kebenaran dan

rekonsiliasi. Dengan kata lain, hukum merupakan instrumen

politik. Dengan pendekatan ini, amnesti bukan tidak

dilarang dalam hukum internasional, melainkan akibat dari

amnesti itulah yang harus diantisipasi oleh instrumen

hukum. Sepanjang amnesti diikuti dengan pemenuhan hak

korban kejahatan internasional, memperhatikan mekanisme

penuntutan dan peradilan, serta mendorong pengungkapan

kebenaran sejarah terhadap praktek kejahatan yang dilakukan

oleh rejim masa lalu, maka mekanisme tersebut

diperbolehkan.

Pada akhirnya, berikut ini diberikan suatu diagram

yang diharapkan mampu merangkum gagasan-gagasan utama yang

dihasilkan dari penelitian ini.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 208: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

201

 

Masa Transisi Politik

B. Rekomendasi

Masyarakat internasional telah melahirkan berbagai

ketentuan hukum dan standar yang berkaitan mengenai

amnesti, termasuk dalam konteks transisi politik. Konvensi,

putusan peradilan internasional, standar, pedoman, maupun

berbagai dokumen tersebar dan dapat dimanfaatkan oleh

negara-negara di dunia untuk merumuskan konsep dan amnesti

AMNESTI Pendekatan hukum sebagai instrumen

politik

Pendekatan hukum HAM internasional

- Yurisdiski universal - Kewajiban erga omnes - Kewajiban menindak - Norma jus cogens - Aut dedere aut

judicare - Hak korban kejahatan

internasional - Right to Know

- Peradilan HAM Regional Amerika Latin

- Special Court for Sierra Leone

- Kasus Pinochet di Inggris

Hambatan riil dalam: - Menciptakan

rekonsiliasi - Memantapkan

persatuan nasional - Mengungkapkan

kebenaran hakiki - Menentukan

pertanggungjawaban

- Mekanisme SATRC di Afrika Selatan

SOLUSI

Sifat komplementer dan “stick and

carrot”: Amnesti sebagai

insentif, melengkapi

peradilan sebagai disinsentif untuk

mengungkap kebenaran

Pemenuhan hak

korban

Kegagalan = Impunitas KKR Indonesia

KKP Indonesia Timor Leste

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 209: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

202

 

yang tepat sesuai dengan situasi transisi politik di

negaranya masing-masing dengan mengacu kepada “best

practice” berbagai negara lain.

Kurangnya pedoman dan acuan seharusnya tidak dapat

dijadikan alasan bagi Indonesia atas kegagalannya dalam

menciptakan konstruksi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

serta Komisi Kebenaran dan Persahabatan dengan Timor Leste

yang sesuai dengan hukum internasional. Tidak adanya

kemauan politik, khususnya dari pemerintah, menjadi alasan

utama yang harus segera ditingkatkan.

Indonesia tidak dapat menghindari kenyataan atas

kekerasan dan kejahatan yang terjadi di wilayahnya, telebih

yang mendapat perhatian dari segenap masyarakat

internasional. Kebenaran bukan untuk dihindari, melainkan

untuk diterima, disadari, dan dijadikan pelajaran untuk

menatap masa depan yang lebih baik. Impunitas tidak

menyelesaikan permasalahan, melainkan hanya mengulur waktu

sebelum ledakan kemarahan sejarah menjadi kenyataan.

Atas dasar pemikiran tersebut, rekomendasi konsep

amnesti bagi pelaku kejahatan internasional di Indonesia

adalah sebagai berikut.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 210: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

203

 

a. Amnesti seharusnya menjadi bagian dari “stick and

carrot” dari pencarian kebenaran. Amnesti harus

menjadi insentif bagi pelaku yang mengungkapkan

kebenaran secara penuh (full disclosure). Sementara

itu, pemberian amnesti hanya menjadi instrumen

pelengkap (kompelementer) dari peradilan yang juga

berfungsi sebagai disinsentif bagi mereka yang tidak

ingin mengaku, memberikan keterangan palsu, atau tidak

mengungkapkan kebenaran secara penuh.

b. Pemberian amnesti harus mempertimbangkan sejauh mana

hak korban sudah dipenuhi, khususnya hak atas

pemulihan dan hak untuk mengetahui kebenaran. Hak

mendapatkan pemulihan termasuk hak mendapatkan

restitusi, kompensasi ekonomi, rehabilitasi, dan

jaminan non-repetisi. Dalam situasi transisi politik,

penghargaan publik terhadap korban (misalnya dengan

diberikan gelar “pahlawan,” pendirian monumen,

peringatan hari besar, atau kegiatan seremonial

lainnya) adalah hal yang tidak boleh dilupakan,

apalagi dalam konteks penciptaan rekonsiliasi.

Mekanisme amnesti sebagaimana direkomendasikan dalam

penelitian ini adalah solusi yang jika diintegrasikan

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 211: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

204

 

dengan berbagai formula keadilan transisional lainnya,

dapat menjadi jawaban untuk menyeimbangkan antara kepatuhan

terhadap prinsip HAM dan hukum internasional, dengan

praktek riil dan politik yang mengekang negara, pemerintah,

dan masyarakat dalam menyelesaikan pelanggaran HAM yang

tergolong sebagai kejahatan internasional.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 212: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Jurnal Ilmiah Antkowiak, Thomas M. “Truth as Right and Remedy in

International Human Rights Experience.” Michigan Journal of International Law (Summer 2002).

Akhavan, Payam. “Beyond Impunity: Can International

Criminal Justice Prevent Future Atrocities.” American Journal of International Law (January 2001).

Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik

di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2005.

Ashhidiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam

Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Asshidiqie, Jimly. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah

Perubahan Keempat. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia: 2002.

Basch, Fernando Felipe. “The Doctrine of the Inter-American

Court of Human Rights Regarding State’s Duty to Punish Human Rights Violations and Its Dangers.” Academy on Human Rights and Humanitarian Law (2007).

Bassiouni, M. Cherif. “International Recognition of

Victim’s Rights.” Human Rights Law Review (2006). Bassiouni, M. Cherif. Introduction to International

Criminal Law, (2003).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 213: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

Benoit, James Paul. “The Evolution of Universal Jurisdiction Over War Crimes.” Naval Law Review (2006).

Bohl, Kristin. “Breaking the Rules of Transitional

Justice,” Wisconsin International Law Journal (Spring 2006).

Bottini, Gabriel. “Universal Jurisdiction After the

Creation of The International Criminal Court.” New York University Journal of International Law and Politics (Winter-Spring 2004).

Brownlie, Ian. Public International Law. 6th ed. Oxford:

Oxford University Press, 2003. Burke-White, William W. “Reframing Impunity: Appling

Liberal International Law Theory to an Analysis of Amnesty Legislation.” Harvard International Law Journal (Summer 2001).

Burton, Mary. “Custodians of Memory: South Africa’s Truth

and Reconciliation Commission.” International Journal of Legal Information (Summer 2004).

Cassel, Douglas. “Lessons from the Americas: Guidelines for

International Response to Amnesties for Atrocities.” 59 Law and Contemporary Problems 205 (Autumn 1996).

Chesterman, Simon. “Rough Justice: Establishing the Rule of

Law in Post-Conflict Territories.” Ohio State Journal on Dispute Resolution (2005).

Coonan, Terence. “Rescuing History: Legal and Theological

Reflections on the Task of Making Former Torturers Accountable.” Fordham International Law Journal (1996).

Daly, Erin. “Transformative Justice: Charting a Path to

Reconciliation.” International Legal Perspectives (Fall 2001-Spring 2002).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 214: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

Dixon, Martin. Textbook on International Law. London: Blackstone Press, 1990.

Dougherty, Beth K. “Searching for Answers: Sierra Leone’s

Truth and Reconciliation Commission.” African Studies Quarterly (Fall 2004).

Fukuyama, Francis. The End of History and The Last Man.

Diterjemahkan oleh MH Amrullah, The End of History and The Last Man, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, (Yogyakarta: Qalam, 1999).

Fröhlich, Anita. “Reconciling Peace With Justice: a

Cooperative Division of Labor.” Suffolk Transnational Law Review (Summer 2007).

Gallagher, Karen. “No Justice, No Peace: The Legalities and

Realities of Amnesty in Sierra Leone.” Thomas Jefferson Law Review (Fall 2000).

Gross, Aeyal M. “The Constitution, Reconciliation, and

Transitional Justice: Lessons From South Africa and Israel.” Stanford Journal of International Law (Winter 2004)

Hamid, Usman. ”Menjajaki Pembentukan Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi,” Teropong 4 (Januari 2004). Haque, Adil Ahmad. “Group Violence and Group Vengeance:

Toward a Retributivist Theory of International Criminal Law.” Buffalo Criminal Law Review (2005).

Havel, Brian F. “In Search of a Theory of Public Memory:

The State, The Individual, and Marcel Proust.” Indiana Law Journal (Summer 2005).

Hirst, Megan. Meraih Persahabatan, Melepas Kebenaran:

Laporan Pemantauan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste. Jakarta: International Center for Transitional Justice, 2008.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 215: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

Hesse, Carla and Robert Post. Ed. Human Rights in Political Transitions: Gettysburg to Bosnia. New York: Zone Books, 1999.

Hollywood, Dana Michael. “The Search for Post-Conflict

Justice in Iraq: A Comparative Study of Transitional Justice Mechanisms and Their Applicability to Post-Saddam Iraq.” Brooklyn Journal of International Law (2007).

Huntington, Samuel. The Clash of Civilizations and The

Remaking of World Order. New York: Simon and Schuster, 1996.

Huntington, Samuel. The Third Wave: Democratization in The

Late Twentieh Century. Norman and London: University of Oaklahoma Press, 1991.

Jemadu, Aleksius. “Proses Peacebuliding di Aceh: Dari MoU

Helsinki menuju Undang-undang Tentang Pemerintahan Aceh.” Jurnal Hukum Internasional 4 (Juli 2006).

Joyner, Christopher C. “Redressing Impunity for Human

Rights Violations: The Universal Declaration and the Search for Accountability.” 26 Denver Journal of International Law and Policy (1998).

Juwana, Hikmahanto. “Assessing Indonesia’s Human Rights

Practise in Post Soeharto Era: 1998-2003.” Singapore Journal of International and Comparative Law (2003).

Juwana, Hikmahanto. “Hukum Internasional sebagai Instrumen

Politik: Beberapa Pengalaman Indonesia sebagai Studi Kasus.” Jurnal Hukum Internasional (Oktober 2003).

Kaplan, Robert D. The Coming of Anarchy: Shattering Dreams

of the Post Cold War. New York: Vintage Books, 2000. Kielsgard, Mark D. “War On the International Criminal

Court.” New York City Law Review (Summer 2005).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 216: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

Kuhner, Timothy K. “The Status of Victims in the Enforcement of International Criminal Law.” Oregon Review of International Law (Spring 2004).

Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum

Internasional. Bandung: PT Alumni, 2003. Levinson, Jareed. “Indonesia’s Odyssey: A Nation’s Long,

Perilous Journey to the Rule of Law and Democracy.” Arizona Journal of International and Comparative Law (Spring, 2001).

Liddle, William. Eds. Crafting Indonesian Democracy.

Bandung: Mizan bekerjasama dengan LIPI dan Ford Foundation, 2001.

Little, J. Alex. “Balancing Accountability and Victim

Autonomy at the International Criminal Court.” Georgetown Journal of International Law (Winter 2007).

Macaluso, Daniel J. “Note, Absolute, and Free Pardon: The

Effect of the Amnesty Provision in the Lome Agreement on the Jurisdiction of the Special Court of Sierra Leone.” Brooklyn Journal of International Law (2001).

Manning, Chris and Peter Van Diemmen. eds. Indonesia in

Transition: Social Aspects of Reformasi and Crisis. Singapore: ISEAS, 2000.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Putusan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 7-18 Agustus 2000. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI: 2000.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Putusan

Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001. (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI: 2000).

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Putusan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 217: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

Indonesia tahun 2002. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI: 2000.

Martin, Claudia. “Catching Up with the Past: Recent

Decisions of the Inter-American Court of Human Rights Addressing Gross Human Rights Violations Perpetrated During the 1970-1980s.” Human Rights Law Review (2007).

Meyerstein, Ariel. “Transitional Justice and Post-Conflict

Israel/Palestine: Assessing the Applicability of the Truth Commission Paradigm.” Case Western Reserve Journal of International Law (2006-2007).

Motala, Ziyad. “The Use of the Truth Commission in South

Africa as an Alternative Dispute Resolution Mechanism Versus International Law Obligations.” Santa Clara Law Review (2005).

Nesbitt, Michael. “Lessons from the Sam Hinga Norman

Decision of the Special Court for Sierra Leone: How Trials and Truth Commission Can Co-Exist.” German Law Journal (Oktober 2007).

Ngungi, Joel M. “Policing Neo-Liberal Reforms: the Rule of

Law as an Enabling and Restrictive Discourse.” University of Pennsylvania Journal of International Economic Law (Fall 2005).

Orford, Anne. “Commissioning the Truth.” Columbia Journal

of Gender and Law (2006): 855. Peerenboom, Randall. “Human Rights and Rule of Law: What’s

The Relationship.” Goergetown Journal of International Law, (Spring 2005).

Robertson, Geoffrey. Crimes Against Humanity: The Struggle

for Global Justice. London: Penguin Group, 2006. Robertson, Geoffrey. “Ending Impunity: How International

Criminal Law Can Put Tyrants on Trial.” Cornell International Law Journal (Fall 2005).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 218: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

Roche, Declan. “Truth Commission and the International Criminal Court.” British Journal of Criminology (July 2005).

Russell-Brown, Sherrie L. “Out of the Crooked Timber of

Humanity: The Conflict Between South Africa’s Truth and Reconciliation Commission and International Human Rights Norms Regarding ‘Effective Remedy.’” Hastings International and Comparative Law Review (Winter 2003.

Schabas, William A. “Amnesty, The Sierra Leone Truth and

Reconciliation Commission and the Special Court for the Sierra Leone.” UC Davis Journal of International Law and Policy (Fall 2004).

Sands, Phillipe. Lawless World The Whistle-blowing Account

of How Bush and Blair are Taking the Law into Their Own Hands.London: Penguin Books, 2005.

Sarkin, Jeremy and Erin Daly. “Too Many Questions, Too Few

Answers: Reconciliation in Transnational Societies.” Columbia Human Rights Law Review (Summer 2004).

Schönsteiner, Judith. “Dissuasive Measures and the “Society

as a Whole: A Working Theory of Reparations in the Inter-American Court of Human Rights.” American University International Law Review (2007).

Slye, Ronald C. “The Legitimacy of Amnesties Under

International Law and General Principles of Anglo-American Law: Is A Legitimate Amnesty Possible.” Virginia Journal of International Law (Fall 2002).

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI

Press, 2005. Stahn, Carsten. “Complementarity, Amnesty, and Alternative

Forms of Justice: Some Interpretative Guidelines for the International Criminal Court.” Journal of International Criminal Justice (July 2005).

Stanley. Eds. Indonesia di Tengah Transisi, Jakarta:

Propatria, 2000.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 219: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

Steiner, Henry J. and Phillip Alston. International Human

Rights in Context Law, Politics, Morals. 2nd ed.Oxford: Oxford University Press, 2000.

Sterio, Milena. “Rethinking Amnesty.” Denver Journal of

International Law and Policy (Spring 2006). Stiglitz, Joseph. Making Globalization Work the Next Step

to Global Justice. London: Penguin Books, 2006. Stromseth, Jane E. “Pursuing Accountability For Atrocities

After Conflict: What Impact On Building Rule of Law?” Georgetown Journal of International Law (Winter 2007).

Suryokusumo, Sumaryo. Studi Kasus Hukum Internasional,

Jakarta: PT Tatanusa, 2007. Tittemore, Brian D. “Ending Impunity in the Americas: The

Role of the Inter-American Human Rights System in Advancing Accountability for Serious Crimes Under International Law.” Southwestern Journal of Law and Trade in the Americas (2006).

Teitel, Ruri G. Transitional Justice. Oxford: Oxford

University Press, 2000. Termorshuizen-Artz, Marjanne. “The Concept of Rule of Law.”

Jurnal Hukum Jentera 3 (November 2004). Tolbert, David and Andrew Solomon. “United Nations Reform

and Supporting Rule Of Law in Post Conflict Society.” Harvard Human Rights Journal (Spring 2006)

Triponel, Anna. “Can The Iraqi Special Tribunal Further

Reconciliation in Iraq.” Cardozo Journal of International and Comparative Law (Fall 2007).

Waldman, Ellen A. “Healing Hearts or Righting Wrongs?: A

Mediation on the Goals of “Restorative Justice.” Hamline Journal of Public Law and Policy (Spring 2004).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 220: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

Waldorf, Lars. “Mass Justice for Mass Atrocity: Rethinking Local Justice as Transitional Justice.” Temple Law Review (Spring 2006).

Wallace, Rebecca M.M International Law. 2nd Edition.

(London: Sweet & Maxwell, 1992). Widjajanto, Andi. “Kuadran Perdamaian Demokratik: Integrasi

Instalasi Demokrasi dan Trajektori Perdamaian.” Global Jurnal Politik Internasional 2 (Mei 2005)

Williamson, Ambassador Richard S. “Transitional Justice:

The UN and The Sierra Leone Special Court.” Cardozo Public Law, Policy and Ethics Journal (December 2003).

B. Dokumen-Dokumen Arinanto, Satya. ”Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi:

Permasalahan dan Prospek Pembentukannya di Indonesia.” (Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003).

Basari, Taufik. “In Searching for Transitional Justice: Can

the Truth and Reconciliation Commission in Indonesia Reveal “The Real Truth” for Reconciliation?” (Graduate Thesis Northwestern University School of Law) (2005).

Billah, M.M. Tipologi dan Praktik Pelanggaran Hak Asasi

Manusia di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003.

Committe Against Torture. Report of the Committee Against

Torture. Annex V U.N. Doc. A/45/44 (23 November 1989) dalam Annex V: Decisions of the Committee Against Torture under article 22 of the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment concerning Communications Nos. 1/1988, 2/1988 and 3/1988, at 111, U.N. Doc. A/45/44 (1990).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 221: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

Duaji, Kombespol Susno. Praktik-Praktik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003.

Human Rights Committee. General Comment No. 20 (44). U.N.

Doc. CCPR/C/21/Rev.1/Add.3 (1992). Note by Secretary General. “Promotion and Protection of

Human Rights, Impunity.” UN Economic and Social Council Commission on Human Rights, UN Doc. E/CN.4/2004/88.

Report of the Human Rights Committee. U.N. GAOR, 38th

Sess., Supp. No. 40, Annex XXII, 16, U.N. Doc. A/38/40 (1983).

Report of the Human Rights Committee. U.N. GAOR, 39th

Session, Supp. No. 40, Annex XIII, 13, U.N. Doc.A/39/40 (1984).

Report of the Human Rights Committee. U.N. GAOR, 40th

Sess., Supp. No. 40, Annex X, 16, U.N. Doc. A/40/40 (1985).

Sparringa, Daniel. “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi:

Penyelesaian atas Warisan Rejim Otoritarian dan Penyelamatan Masa Depan di Indonesia,” Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII Badan Pembinaan Hukum Nasional, Denpasar Bali, 14-18 Juli 2003.

Orentlicher, Diane. “Promotion and Protection of Human

Rights,” Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity, Addendum Update Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity.” UN Economic and Social Council Commission on Human Rights. UN. Doc. E/CN.4/2005/102.

Orentlicher, Diane. “Promotion and Protection of Human

Rights,” Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity.” UN Economic

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 222: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

and Social Council Commission on Human Rights. UN. Doc. E/CN.4/2005/102.

UN Human Rights Commission. General Comment no. 20 (Article

7), 44th session (2002). Written Testimony of Naomi Roht-Arriaza, Professor of Law,

University of California, Hastings College of the Law, before the Indonesian Constitutional Court, 2 Agustus 2006.

WRITTEN TESTIMONY OF PROFESSOR DOUGLASS CASSEL BEFORE THE

CONSTITUTIONAL COURT OF INDONESIA. JULY 6, 2006.

C. Internet dan Surat Kabar Chernichenko, Stanislav. “Definition of Gross and Large

Scale Violations of Human Rights as an International Crime, United Nations Economic and Social Council Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities E/CN.4/Sub.2/1993/10, 8 Juni 1999.” http://www.unhchr.ch/Huridocda/Huridoca.nsf/ TestFrame/fbfa353eea4c65d802567620054f3d0?Opendocument(2 Maret 2008).

Commission of Human Right (CHR) Resolution 2004/72,

“Impunity,” E/CN.4/RES/2004/72. 21 April 2004, (ap.ohchr.org/documents/ E/CHR/resolutions/E-CN_4-RES-2004-7.doc) (13 Maret 2008).

Frankin, Jonathan and Monte Reel. “Former Secret Police

Chief Blames Pinochet for Abuses.” http://www.washingtonpost.com/wpdyn/content/article/2005/05/14/AR2005051401013. html (2 April 2008).

Human Rights News. “Cile: Pinochet Indicted for Human

Rights Crimes.” http://www.hrw.org/english/docs/2004/ 12/13/chile9840.htm (2 April 2008).

ICTJ Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court.

“Pernyataan Tertulis ICTJ: Keabsahan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.”

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 223: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

www.ictj.org/static/Asia/Indonesia/ testimony.bah.pdf (11 April 2008).

Judicial System Monitoring Programme. “Commission of Truth

and Friendship” Seeks to End the Search for Justice whilst “Commission of Experts” Keeps it Alive, press release on March 14, 2005.” http://www.jsmp.minihub.org/Press%20Release/CTF&CoF/ComparingCTF andCoE(e).pdf (1 Juni 2008).

Paripurna, Amara. “Victim’s Rights to Remedy and the Role

of CTF.” http://amiraparipurna.wordpress.com/2008/ 05/31/victims-right-to-remedy-and-the-role-of-ctf/ (3 Juni 2008).

Popkin, Margaret. “The Serrano Sisters: El Salvador in the

Inter-American Court of Human Rights.” http://www.derechos.org/nizkor/salvador/doc/serrano.html (12 April 2008).

Press Release, United Nations. “Council Asks Secretary-

General, Sierra Leone to Negotiate Agreement for Creation of Independent Special Court, SC/6910.” (Aug. 14, 2000), http:// www.un.org/News/Press/docs/ 2000/20000814. sc6910.doc.html (23 Januari 2008).

SCOR Res. 1289, U.N. SCOR, 4099th mtg., U.N. Doc S/RES/1289

(2000), <http://ods-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N00/ 283/50/PDF/N002835 0.pdf?OpenElement> (23 Januari 2008).

SCOR Res. 1299, U.N. SCOR, 4145th mtg., U.N. Doc S/RES/1299

(2000), <http://ods-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N00/ 439/60/PDF/N0043960.pdf?OpenElement> (23 januari 2003).

SCOR Res. 1313, U.N. SCOR, 4184th mtg., U.N. Doc S/RES/1313

(2000), <http:ods-dds ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N00/ 439/60/PDF/N0043960.pdf?OpenElement> (23 Januari 2008).

SCOR Res. 1415, U.N. SCOR, 4546th mtg., U.N. Doc S/RES/1415

(2002), <http://ods-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N02/

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 224: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

404/63/PDF/N024 0463.pdf?OpenElement> (23 Januari 2008).

UN General Assembly, A/RES/47/133, Dec. 18 1992. <http://

www.un.org/documents/ga/res/47/a47r133.htm> (12 Maret 2008).

Walsh, Heather. “Chile's Pinochet Charged in Six

Disappearances (Update 2).” (Nov. 24, 2005), http://www.bloomberg.com (11 Januari 2008).

“Annual Reports Inter-American Commission on Human Rights

(1986).” http://www.cidh.oas.org/annualrep/86.87eng/ toc.htm (1 Juni 2008).

“Annual Reports Inter-American Commission on Human Rights,

88 p. 1 (1993) (Spanish).” http://www.cidh.oas.org/ annualrep/ 92eng/TOC.htm (1 Juni 2008).

“Argentina Legal Memorandum: The Full Stop and Due

Obedience Laws,” AMR 13/018/2003 (Amnesty International December 2003), http://web.amnesty.org/library/pdf/AMR130182003ENGLISH/$File/AMR1301803.pdf. (10 Februari 2008).

“Charles II, 1660: An Act of Free and Generall Pardon

Indempnity and Oblivion,” Statutes of the Realm: volume 5: 1628-80 (1819), hal. 226-234. http://www.british-history.ac.uk/report.aspx?compid =47259 (16 Maret 2008).

“Chega! The Report of the Commission of Reception, Truth,

and Reconciliation in Timor Leste,” http://www.cavr-timorleste.org/en/chegaReport.htm (1 Juni 2008).

“Commisao de Alcohimento, Verdade e Reconcilicao,”

http://www.cavr-timorleste.org (1 Juni 2008). “Confederate Amnesty,” http://www.sonofthesouth.net/

leefoundation/civil-war/1865/May/confederate amnesty.htm (16 Maret 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 225: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

“Corte Suprema de Justicia,” 14/6/2005, "Simón, Julio Héctor y otros s/ privación ilegítima de la libertad, etc./recurso de hecho," http://www.csjn.gov.ar/ (25 Februari 2008).

“Douglass Cassel,” <http://www.nd.edu/~kellogg/faculty/

fellows/cassel.shtml> (11 April 2008). “Eurico Gutteres Bebas,” http://www.tempointeraktif.com/

hg/nasional/2008/04/04/brk,20080404-120491,id.html (1 Juni 2008).

“Mahkamah Agung Kabulkan PK Abilio,” http://www.

tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/11/04/brk,20041104-62,id.html (1 Juni 2008)

“Manuel Contreras and the Birth of Dina,”

http://www.rememberchile.org.uk/beginners/contdina.htm (2 April 2008).

“Mou Helsinki Momentum Baru untuk KKR,” Harian Kompas (26

Oktober 2006). “Naomi-Roht Arriaza,” http://www.uchastings.edu/?pid=746,

(11 April 2008). “Letter dated 24 June 2005 from the Secretary General

Addressed to the President of the Security Council,” (UN. Doc. S/2005/458) http://daccessdds.un.org/ doc/UNDOC/GEN/N05/426/17/PDF/N0542617.pdf?OpenElement (1 Juni 2008).

“Peace Agreement Between the Government of Sierra Leone and

the Revolutionary United Front of Sierra Leone, July 7, 1999.” <http:// www.sc-sl.org/lomeratificationact.html> (15 Februari 2008).

“Report of the United Nations Independent Special

Commissions of Inquiry for Timor Leste,” http://www.ohchr.org/Documents/Countries/COITimorLeste.pdf (1 Juni 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 226: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

“Report of Truth and Reconciliation Commission of South Africa, 5 vol., 1998, Vol. I Chapter 4: The Mandate.” <http://www.info.gov.za/ otherdocs/2003/trc/> (1 Juni 2008).

“Ringkasan Eksekutif Laporan KPP HAM,” http://

www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/08/06/0102.html (1 Juni 2008).

“Special Court for Sierra Leone,” <http://www.scsl.org/

norman.html> (5 April 2008). “Study Concerning The Right to Restitution, Compensation

And Rehabilitation For Victims Of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms,” U.N. Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities, U.N. ESCOR, 45th sess., Agenda Item 4, at para. 137(5), U.N. Doc. E/CN.4/Sub.2/1993/8. <http://www.unhchr.ch/Huridocda/Huridoca.nsf/TestFrame/d54b00c78f25b5dfc1256b3e0049da83?Opendocument> (12 Maret 2008).

“Terms of Reference for The Commission of Truth and

Friendship Established by The Republic of Indonesia and The Democratic Republic of Timor-Leste,” http://www.ctf-ri-tl.org/ctf1/index.php?option=com_ content&task=view&id=61&Itemid=44 (10 Maret 2008).

“The Administration of Justice and the Human Rights of

Detainees: the Question of the Impunity of Perpetrators of Human Rights Violations (Civil and Political).” Revised Final Report Prepared by Mr. Joinet pursuant to Sub-Comission Decision 1996/119, UN Doc. E/CN.4/Sub.2/1997/20/Rev. 1,2 Oktober 2007 at Annex II (for the Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity), <http://www.unhcr.ch/huridocda/huridocda. nsf/(Symbol)/E.CN.4.sub.2.1997.20.Rev.1.En

“UNTAET/REG/2000/15,” 6 June 2000, [Regulation 2000/15],

http://www.un.org/peace/etimor/untaetR/Reg0015E.pdf (23 Maret 2008).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 227: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

D. Legislasi Internasional dan Peraturan Perundang-

undangan Domestik Republik Indonesia. Undang-undang tentang Hak Asasi

Manusia. UU Nol 39 tahun 1999, LN No. 165 tahun 1999, TLN No. 3886.

Republik Indonesia. Undang-undang tentang Komisi Kebenaran

dan Rekonsiliasi. UU No. 27 tahun 2004, LN No. 114 tahun 2004, TLN No. 4425.

Republik Indonesia. Undang-undang tentang Pengadilan Hak

Asasi Manusia. UU Nomor 26 tahun 2000, LN Nomor 208 tahun 2000, TLN No. 4012.

United Nations, Vienna Convention on the Law of Treaties. Geneva Convention For the Amelioration of the Condition of

the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field; Aug. 12, 1949.

Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of

the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, Aug. 12, 1949.

Geneva Convention Relative to the Treatment of Prisoners of

War, Aug. 12, 1949. Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian

Persons in Time of War, Aug. 12, 1949. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August

1949, and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), 1977.

Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of

Genocide, Dec. 9, 1948, 102 Stat. 3045, 78 U.N.T.S. 277

Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or

Degrading Treatment or Punishment, Dec. 10, 1984, S. Treaty Doc. No. 100-20 (1988), 1465 U.N.T.S. 85.

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 228: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

United Nations, International Covenant on Civil and

Political Rights, Dec. 16, 1966. United Nations, Convention (II) with Respect to the Laws

and Customs of War on Land berikut dengan lampirannya: Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land 1899.

United Nations, Convention (IV) Respecting the Laws and

Customs of War on Land 1907, (1908). Promotion of National Unity and Reconciliation Act, No. 34

of 1995 South Africa. The Truth and Reconciliation Act of 2000, Sierra Leone. The Government of Sierra Leone, Agreement between the

United Nations and the Government of Sierra Leone on the Establishment of a Special Court for Sierra Leone appending the Statute of the Special Court, signed in Freetown on 16 January 2002.

The Statute of the Special Court of Sierra Leone of 2002.

E. Kasus Barcelona Traction Case (1970), ICJ Reports 3, hal. 32. Barrios Altos v. Peru, 2001 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No.

83, hal. 14 (Sept. 3, 2001). Blake v. Guatemala, 1998 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No.

36, hal. 96- 97 (Jan. 24, 1998).

Bulacio v. Argentina, 2003 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No. 100, hal. 120-121 (Sept. 18, 2003.

Caballero-Delgado v. Colombia, 1997 Inter-Am. Ct. H.R.

(ser. C) No. 31, p. 21 (Jan. 21, 1997).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 229: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

Carmelo Espinoza v. Chile, Case 11.725, Report No. 19/03, Inter-Am. C.H.R., OEA/Ser.L/V/II.118 Doc. 70 rev. 2 p. 588.

Garay Hermosilla et al. v. Chile, Case 10.843, Report No.

36/96, Inter-Am.C.H.R.,OEA/Ser.L/V/II.95 Doc. 7 rev. p. 111 (1997).

Ignacio Ellacuria, S.J.y Otros v. El Salvador, Case 10.488,

Report No. 136/99, OEA/Ser.L/V/II.106 Doc. 3 rev. at 608 (1999).

Las Hojas Massacre Case, case no. 10.287, 1992-1993 Annual

Reports Inter-American Commission on Human Rights, 88 p. 1 (1993) (Spanish).

Las Palmeras v. Colombia, 2001 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C)

No. 90, hal. 59-67 (Dec. 6, 2001). Lincoleo v. Chile, Case 11.711, Inter-Am. C.H.R. 61,

OEA/ser. L./V./II.111, doc. 20 (2001), __ 58-65. Loayza-Tamayo v. Peru, 1998 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No.

42, hal. 168 (Nov. 27, 1998). Mack Chang v. Guatemala, 2003 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C)

No. 101, hal. 275 (Nov. 25, 2003). Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang

Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Terhadap UUD 1945, Acara Mendengar Keterangan Saksi/Ahli Dari Pemohon (V), 4 Juli 2006.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang

Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Terhadap UUD 1945, Acara Mendengar Keterangan Saksi/Ahli Dari Pemohon (VI), 2 Agustus 2006.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara

Nomor 006/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian UU Nomor 27

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008

Page 230: PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN …

tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Terhadap UUD 1945.

Nicaragua Case, (Military and Paramilitary Activities In

and Against Nicaragua) (Nicaragua v. the United States) Case (Merits) ICJ Rep. 1986.

North Sea Continental Shelf Cases (1969), ICJ Reports. Paniagua-Morales v. Guatemala, 1998 Inter-Am. Ct. H.R.

(ser. C) No. 37, hal. 4-12 (Mar. 8, 1998). Prosecutor v. Anto Furundzija, Case No. IT-95-17/1-T,

Judgement, 10 Dec. 1998. Prosecutor v. Kondewa, SCSL-04-14 AR 72, decision on

Amnesty Provided by the Lome Accord, 25 Mei 2004. Prosecutor v. Morris Kalon, SCSL-2004-15-AR72 (E) dan

Prosecutor v. Brima Bazzy Kamara, SCSL-2004-16-AR72 (E), Decision on Challenge to Jurisdiction: Lome Accord Amnesty, 13 Maret 2004.

Regina v. Bartle, House of Lords, 24 March 1999, 2 All ER

97, (1999) 2 WLR 827. Reservations to the Convention on Genocide Case

(Reservations to the Convention of the Prevention and Punsihment of the crime of Genocide, Advisory Opinion, ICJ Reports 1951.)

Romero v. El Salvador, Case 11.481, Inter-Am. C.H.R. 37,

OEA/ser. L/V./II.106, __ hal. 5-8. Trujillo-Oroza v. Bolivia, 2002 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C)

No. 92, hal. 110 dan p. 231-232. (Feb. 27, 2002). Vargas-Areco v. Paraguay, 2006 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C)

No. 155, hal. 81 (Sept. 26, 2006). Velásquez-Rodríguez v. Honduras, 1988 Inter-Am. Ct. H.R.

(ser. C) No. 4, hal. 134 (July 29, 1988).

Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008