pemanfaatan variasi somaklonal

7
 142  Jurna l Litba ng Pert anian, 28(4) , 2009 PEMANFAATAN VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO  DALAM PERAKITAN TANAMAN TOLERAN CEKAMAN ABIOTIK Rossa Yunita  Bala i Bes ar Pene lit ian dan Peng emb anga n Biot ekn olog i dan Sumb erd aya Gen eti k Pert ani an,  Jalan Tentara Pela jar No. 3A, Bogor 16111 Telp. (0251) 8337975, Faks. (0251) 8338820, E-mail: [email protected], [email protected]  Diaj ukan: 11 Maret 2009; Dite rima : 15 Okto ber 2009 K ebutuhan komodi tas pert anian terus bertambah seiring dengan meningkatnya permintaan pasar dan konsumsi masyarakat. Upaya untuk meningkatkan produksi komoditas per- tanian dapat ditempuh melalui perluasan lahan dan peningkatan produktivitas.  Nam un , up ay a te rs eb ut me ng ha da pi masalah cekaman abiotik seperti ke- keringan, keracunan aluminium (Al) dan unsur mikro pada lahan masam, dan salinitas. Kekurangan air akan terus menjadi masalah dalam budi daya tanaman seiring makin kuatnya persaingan dalam  penggunaan air antara sektor pertanian dan nonpertanian. Kekurangan air terjadi tropis dan subtropis (Haug 1984; Moller et al . 1984). Indonesia mempunyai sekitar 47,60 juta hektar lahan podzolik merah kuning yang bersifat masam (Syarifuddin dan Abdurachman 1993). T anah masam dapat diperbaiki melalui  pengapuran sehingga sesuai untuk per- tumbuhan tanaman. Namun, pengapuran membutuhkan biaya yang mahal dan ber- sifat tidak permanen. Penggunaan tanam- an yang toleran tanah masam merupakan  pilihan yang lebih baik sehingga tanaman mampu berproduksi di lahan masam. Cekaman abiotik seperti keracunan Fe dan Mn, salinitas maupun suhu rendah  jug a memp eng aru hi pro duk tiv ita s ta- ABSTRAK Permintaan akan produk pertanian terus meningkat baik jumlah maupun kualitasnya. Upaya untuk memenuhi  permintaan tersebut dapat dilakukan melalui perluasan areal. Namun, upaya tersebut menghadapi masalah cekaman abiotik, seperti kekeringan, keracunan aluminium (Al) dan unsur mikro pada lahan masam, serta salinitas. Salah satu upaya untuk memecahkan masalah tersebut adalah dengan merakit varietas baru yang toleran terhadap cekaman abiotik. Perakitan varietas memerlukan sumber genetik dengan keragaman yang luas. Peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan dengan teknik variasi somaklonal dan induksi mutasi. Perubahan genetik yang ditimbulkan oleh variasi somaklonal dan induksi mutasi bersifat acak. Untuk mengarahkan keragaman somaklonal maupun induksi mutasi ke perubahan yang diinginkan, dapat digunakan teknik seleksi in vitro. Teknik ini berhasil diterapkan dalam perakitan varietas kedelai, padi, dan nilam yang toleran terhadap cekaman abiotik . Kata kunci: Variasi somaklonal, induksi mutasi, seleksi in vitro, cekaman abiotik ABSTRACT  Application of somaclonal variation and in vitro selection in improving plant tolerance to abiotic stresses The needs for agricultural products are continuously increasing in quantity and quality. To meet the demand, crop  produc tion may be conduct ed by area expans ion. Howeve r, this effor t face s some proble ms, especi ally abiot ic stresses, including drought, acid dry land, and tidal swampy area. One of the promising ways to solve the problems is by improving plant tolerance to abiotic stresses. Improvements of plant tolerance to abiotic stresses need much genetic variation sources. Somaclonal variation and mutation induction methods can be used to increase genetic variation in plants. However, the genetic changes resulted would be random.  In vitro selection can be used to obtain genetic changes needed. The method was successfully applied to improve plant tolerance to abiotic stresses on soybean, rice, and patchoully. Keywords: Somaclonal variation, mutation induction, in vitro selection, abiotic stresses  pa da sem ua je ni s ta nam an , te rut ama tanaman yang membutuhkan air dalam  jumlah banyak seperti padi d an pa lawija. Keracunan Al dan kahat hara meru-  pakan cekaman abiotik yang sering di-  jumpai pada lahan pertanian di Indonesia, terutama pada tanah masam. Tanaman yang keracunan Al akan terhambat per- kembangan akarnya sehingga menggang- gu pertumbuhan bagian atas tanaman. Terganggunya pertumbuhan bagian atas tanaman disebabkan oleh kahat hara seperti Mg, Ca, dan P , dan tidak seimbang- nya hormon. Lahan masam di dunia meliputi areal satu miliar hektar, yang tersebar di daerah

Transcript of pemanfaatan variasi somaklonal

PEMANFAATAN VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO DALAM PERAKITAN TANAMAN TOLERAN CEKAMAN ABIOTIKRossa YunitaBalai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No. 3A, Bogor 16111 Telp. (0251) 8337975, Faks. (0251) 8338820, E-mail: [email protected], [email protected] Diajukan: 11 Maret 2009; Diterima: 15 Oktober 2009

ABSTRAKPermintaan akan produk pertanian terus meningkat baik jumlah maupun kualitasnya. Upaya untuk memenuhi permintaan tersebut dapat dilakukan melalui perluasan areal. Namun, upaya tersebut menghadapi masalah cekaman abiotik, seperti kekeringan, keracunan aluminium (Al) dan unsur mikro pada lahan masam, serta salinitas. Salah satu upaya untuk memecahkan masalah tersebut adalah dengan merakit varietas baru yang toleran terhadap cekaman abiotik. Perakitan varietas memerlukan sumber genetik dengan keragaman yang luas. Peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan dengan teknik variasi somaklonal dan induksi mutasi. Perubahan genetik yang ditimbulkan oleh variasi somaklonal dan induksi mutasi bersifat acak. Untuk mengarahkan keragaman somaklonal maupun induksi mutasi ke perubahan yang diinginkan, dapat digunakan teknik seleksi in vitro. Teknik ini berhasil diterapkan dalam perakitan varietas kedelai, padi, dan nilam yang toleran terhadap cekaman abiotik. Kata kunci: Variasi somaklonal, induksi mutasi, seleksi in vitro, cekaman abiotik

ABSTRACTApplication of somaclonal variation and in vitro selection in improving plant tolerance to abiotic stresses The needs for agricultural products are continuously increasing in quantity and quality. To meet the demand, crop production may be conducted by area expansion. However, this effort faces some problems, especially abiotic stresses, including drought, acid dry land, and tidal swampy area. One of the promising ways to solve the problems is by improving plant tolerance to abiotic stresses. Improvements of plant tolerance to abiotic stresses need much genetic variation sources. Somaclonal variation and mutation induction methods can be used to increase genetic variation in plants. However, the genetic changes resulted would be random. In vitro selection can be used to obtain genetic changes needed. The method was successfully applied to improve plant tolerance to abiotic stresses on soybean, rice, and patchoully. Keywords: Somaclonal variation, mutation induction, in vitro selection, abiotic stresses

ebutuhan k o m o d i t a s p e r t a n i a n t e r u s bertambah seiring dengan meningkatnya permintaan pasar dan konsumsi masyarakat. Upaya untuk meningkatkan produksi komoditas pertanian dapat ditempuh melalui perluasan lahan dan peningkatan produktivitas. Namun, upaya tersebut menghadapi masalah cekaman abiotik seperti kekeringan, keracunan aluminium (Al) dan unsur mikro pada lahan masam, dan salinitas. Kekurangan air akan terus menjadi masalah dalam budi daya tanaman seiring makin kuatnya persaingan dalam penggunaan air antara sektor pertanian dan nonpertanian. Kekurangan air terjadi 142

K

pada semua jenis tanaman, terutama tanaman yang membutuhkan air dalam jumlah banyak seperti padi dan palawija. Keracunan Al dan kahat hara merupakan cekaman abiotik yang sering dijumpai pada lahan pertanian di Indonesia, terutama pada tanah masam. Tanaman yang keracunan Al akan terhambat perkembangan akarnya sehingga mengganggu pertumbuhan bagian atas tanaman. Terganggunya pertumbuhan bagian atas tanaman disebabkan oleh kahat hara seperti Mg, Ca, dan P, dan tidak seimbangnya hormon. Lahan masam di dunia meliputi areal satu miliar hektar, yang tersebar di daerah

tropis dan subtropis (Haug 1984; Moller et al. 1984). Indonesia mempunyai sekitar 47,60 juta hektar lahan podzolik merah kuning yang bersifat masam (Syarifuddin dan Abdurachman 1993). Tanah masam dapat diperbaiki melalui pengapuran sehingga sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Namun, pengapuran membutuhkan biaya yang mahal dan bersifat tidak permanen. Penggunaan tanaman yang toleran tanah masam merupakan pilihan yang lebih baik sehingga tanaman mampu berproduksi di lahan masam. Cekaman abiotik seperti keracunan Fe dan Mn, salinitas maupun suhu rendah juga mempengaruhi produktivitas taJurnal Litbang Pertanian, 28(4), 2009

naman. Masalah ini perlu diupayakan pemecahannya, antara lain dengan menanam varietas yang toleran. Teknik bioteknologi dapat dimanfaatkan dalam perakitan varietas toleran cekaman biotik, seperti kekeringan, keracunan Al, dan cekaman abiotik lainnya. Pada saat ini sangat sulit mencari sumber gen ketahanan terhadap cekaman abiotik dari tanaman yang sejenis. Untuk meningkatkan keragaman genetik pada tanaman yang bernilai ekonomis tinggi dapat memanfaatkan teknik variasi somaklonal dan induksi mutasi. Perubahan sifat genetik yang dihasilkan dengan metode ini sangat beragam. Untuk mengarahkan perubahan sifat ke arah yang diinginkan dapat digunakan metode seleksi in vitro. Dalam makalah ini akan dibahas perakitan varietas tanaman toleran terhadap cekaman biotik dengan memanfaatkan teknik bioteknologi tersebut.

VARIASI SOMAKLONALVariasi somaklonal pertama kali dikemukakan oleh Larkin dan Scowcroft (1981) dalam Kadir (2007), yang didefinisikan sebagai keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan melalui kultur sel, baik sel somatik seperti sel daun, akar, dan batang, maupun sel gamet. Skirvin et al. (1993) mendefinisikan variasi somaklonal sebagai keragaman genetik tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan. Variasi tersebut dapat berasal dari keragaman genetik eksplan yang digunakan atau yang terjadi dalam kultur jaringan. Variasi somaklonal yang terjadi dalam kultur jaringan merupakan hasil kumulatif dari mutasi genetik pada eksplan dan yang diinduksi pada kondisi in vitro. Variasi somaklonal merupakan perubahan genetik yang bukan disebabkan oleh segregasi atau rekombinasi gen, seperti yang biasa terjadi akibat proses persilangan. Thrope (1990) menggunakan istilah pre-existing cellular genetic, yaitu keragaman yang diinduksi oleh kultur jaringan. Keragaman ini dapat muncul akibat penggandaan dalam kromosom (fusi, endomitosis), perubahan jumlah kromosom (tagging dan nondisjunction), perubahan struktur kromosom, perubahan gen, dan perubahan sitoplasma (Kumar dan Mathur 2004). Variasi somaklonal dapat dikelompokkan menjadi keragaman yang diwariskan (heritable), yaitu yang dikendalikan secara genetik, dan keragaman yang tidakJurnal Litbang Pertanian, 28(4), 2009

diwariskan, yakni yang dikendalikan secara epigenetik. Keragaman somaklonal yang dikendalikan secara genetik biasanya bersifat stabil dan dapat diturunkan secara seksual ke generasi selanjutnya. Keragaman epigenetik biasanya akan hilang bila diturunkan secara seksual (Skirvin et al. 1993). Pemuliaan tanaman melalui kultur jaringan bermanfaat dalam merangsang keragaman genetik dan mempertahankan kestabilan genetik. Wattimena dan Mattjik (1992) menyatakan, keragaman genetik pada kultur jaringan dapat dicapai melalui fase tak berdiferensiasi (fase kalus dan sel bebas) yang relatif lebih panjang. Untuk mendapatkan kestabilan genetik pada teknik kultur jaringan, dapat dilakukan dengan cara menginduksi sesingkat mungkin fase pertumbuhan tak berdiferensiasi. Variasi somaklonal dalam kultur jaringan terjadi akibat penggunaan zat pengatur tumbuh dan tingkat konsentrasinya, lama fase pertumbuhan kalus, tipe kultur yang digunakan (sel, protoplasma, kalus jaringan), serta digunakan atau tidaknya media seleksi dalam kultur in vitro (Skirvin et al. 1993; Jain 2001). Zat pengatur tumbuh kelompok auksin 2,4-D dan 2,4,5-T biasanya dapat menyebabkan terjadinya variasi somaklonal. Pada tanaman kelapa sawit, perlakuan 2,4-D pada kultur kalus yang mampu beregenerasi membentuk tunas menyebabkan variasi somaklonal saat aklimatisasi di lapangan (Linacero dan Vazquez 1992; Jayasankar 2005). Beberapa sifat tanaman dapat berubah akibat variasi somaklonal, namun sifat lainnya tetap menyerupai induknya. Dengan demikian, variasi somaklonal sangat memungkinkan untuk mengubah satu atau beberapa sifat yang diinginkan dengan tetap mempertahankan karakter unggul lainnya yang sudah dimiliki oleh

tanaman induk. Mattjik (2005) menyatakan, dalam perbanyakan secara in vitro, yang terjadi adalah mutasi somatik. Sel yang bermutasi saat membelah akan membentuk sekumpulan sel yang berbeda dengan sel asalnya. Tanaman yang berasal dari sel-sel yang bermutasi akan membentuk tanaman yang mungkin merupakan klon baru yang berbeda dengan induknya. Beberapa hasil pemanfaatan variasi somaklonal untuk menghasilkan tanaman unggul baru disajikan pada Tabel 1. Perbaikan tanaman melalui variasi somaklonal telah banyak dilakukan, antara lain untuk sifat ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Cara tersebut bermanfaat bila dapat menambah komponen keragaman genetik yang tidak ditemukan di alam serta mengubah sifat dari kultivar yang ada menjadi lebih baik, terutama untuk tanaman yang diperbanyak secara vegetatif atau menyerbuk sendiri (Ahloowalia 1990).

INDUKSI MUTASIMutasi adalah perubahan genetik, baik perubahan pada gen tunggal, sejumlah gen maupun susunan kromosom. Perubahan dapat terjadi pada setiap bagian tanaman, khususnya bagian yang selnya aktif membelah (Micke dan Donini 1993). Secara umum, mutasi dihasilkan oleh segala tipe perubahan genetik yang mengakibatkan perubahan fenotipe yang diturunkan, termasuk keragaman kromosom, sehingga menyebabkan terjadinya keragaman genetik (Soeranto 2003). Mutasi dapat terjadi secara spontan atau acak, dan merupakan dasar sebagai sumber keragaman bagi tanaman dan sifat yang diwariskan. Mutasi dapat terjadi secara spontan di alam atau melalui induksi (Koornneef 1991). Secara mendasar, tidak terdapat perbedaan antara mutasi yang

Tabel 1. Beberapa perubahan sifat pada tanaman hasil variasi somaklonal.Tanaman Anggur Bawang Mawar Kedelai Padi Pisang Nilam Perubahan sifat Menjadi tanaman tetraploid Peningkatan ploidi Perubahan kelopak dan warna bunga Toleran lahan masam Toleran kekeringan Tahan penyakit fusarium Toleran kekeringan Sumber Kuskova et al. (1997) Do et al. (1999) Handayani et al. (2002) Mariska et al. (2004) Lestari et al. (2005) Mariska et al. (2006) Kadir (2007)

143

terjadi secara alami dan mutasi hasil induksi. Keduanya dapat menimbulkan variasi genetik sebagai dasar dalam seleksi tanaman (Soeranto 2003). Mutasi gen terjadi karena adanya perubahan pada struktur primer DNA. Mutasi juga dapat terjadi karena bertambah atau hilangnya satu atau lebih basa yang terdapat dalam satu molekul DNA (Micke dan Donini 1993; Van Harten 1998). Smith dan Wood (1991) mendefinisikan perubahan sekuen nukleotida pada gen yang menghasilkan mutasi gen, perubahan sekuen nukleotida pada gen yang menghasilkan perubahan asam amino dapat menghasilkan protein mutan. Mutasi gen juga dapat didefinisikan sebagai perubahan suatu bentuk alel menjadi bentuk alel lainnya. Perubahan tersebut terjadi dalam satu gen pada satu lokus kromosom atau disebut mutasi titik (Suzuki et al. 1993). Induksi mutasi dapat dilakukan pada tanaman dengan perlakuan bahan mutagen tertentu terhadap organ reproduksi tanaman seperti biji, setek batang, serbuk sari, akar rizoma, dan kalus (Soeranto 2003). Mutagen yang sering digunakan dalam pemuliaan tanaman yaitu mutagen kimia dan mutagen fisik (Koornneef 1991; Micke dan Donini 1993). Frekuensi dan spektrum mutasi bergantung pada jenis mutagen dan dosis yang digunakan. Mutagen fisik yang telah digunakan secara luas adalah sinar X dan sinar gama. Kedua mutagen fisik tersebut memiliki kemampuan penetrasi yang baik dan bersifat sebagai radiasi ion (Micke dan Donini 1993). Mutagen kimia umumnya berasal dari senyawa alkil, seperti etil metan sulfonat (EMS), dietil sulfat (DES), metil metan sulfonat (MMS), hidroksil-amina, dan nitrous acids (Soeranto 2003). Induksi mutasi menggunakan radiasi sinar X dan sinar gama paling banyak digunakan untuk mengembangkan varietas mutan. Hal ini terbukti dalam kurun waktu 70 tahun terakhir, telah dihasilkan 2.250 varietas mutan di seluruh dunia (Maluszynki et al. 2000). Sekitar 89% dari 1.585 varietas yang dilepas sejak tahun 1985 merupakan hasil induksi mutasi secara langsung, 64% di antaranya dikembangkan dengan menggunakan sinar gama dan hanya 22% dengan sinar X (Ahloowalia et al. 1990). Mutagen kimia merupakan senyawa kimia yang mudah terurai membentuk radikal yang aktif, dapat bereaksi dengan asam amino sehingga terjadi perubahan 144

sifat. Bahan kimia yang termasuk mutagen kimia dan berguna dalam pemuliaan tanaman adalah kelompok pengalkil seperti EMS, DES, etilin amina (EM), etil nitroso urea (ENH), dan metil nitroso urea serta kelompok azida. Kelemahan kelompok pengalkil adalah mudah terhidrolisis sehingga menjadi tidak aktif lagi sebagai mutagen, selain bersifat toksik. Keadaan ini dapat digunakan untuk menentukan waktu paruhnya. Selain itu, senyawa pengalkil sangat berbahaya bagi manusia karena bersifat karsinogen, terutama etilin amina yang sangat mudah menguap dengan titik didih 56C/760 mm (Ismachin 1988, tidak diterbitkan). Secara umum, proses mutasi dapat menimbulkan perubahan pada sifat genetik tanaman, baik ke arah positif maupun negatif, dan kemungkinan mutasi yang terjadi dapat kembali normal (recovery). Mutasi yang mengarah ke sifat positif dan diwariskan ke generasi berikutnya adalah yang dihendaki oleh pemulia tanaman pada umumnya (Soeranto 2003). Mutasi gen digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu microlesions dan macrolesions, yang dicirikan oleh adanya perubahan basa pada DNA (Van Harten 1998). Menurut Suzuki et al. (1993), ada tiga tipe perubahan basa, yaitu: 1) transisi, penggantian satu basa purin dengan satu purin atau penggantian satu basa pirimidin dengan pirimidin lain, 2) transfers, yaitu penggantian satu basa pirimidin dengan satu basa purin dan sebaliknya, dan 3) delesi, yaitu pasangan basa tertentu menghilang sehingga terjadi perubahan orientasi susunan pasangan basa. DNA sangat sensitif terhadap radiasi, sehingga radiasi sinar gama dapat menyebabkan perubahan DNA pada makhluk hidup (Van Harten 1998).

jaringan pada kultur in vitro kemungkinan akan mempunyai fenotipe yang toleran terhadap kondisi seleksi. Seleksi in vitro lebih efisien karena kondisi seleksi dapat dibuat homogen, tempat yang dibutuhkan relatif sedikit, dan efektivitas seleksi tinggi. Oleh karena itu, kombinasi antara induksi variasi somaklonal dan seleksi in vitro merupakan alternatif teknologi yang efektif dalam menghasilkan individu dengan karakter yang spesifik (Kadir 2007). Penggunaan teknik in vitro akan menghasilkan populasi sel varian melalui seleksi pada media yang sesuai. Intensitas seleksi dapat diperkuat dan dibuat lebih homogen. Populasi jaringan atau sel tanaman dapat diseleksi dalam media seleksi sehingga akan meningkatkan frekuensi varian dengan sifat yang diinginkan (Specht dan Greaf 1996; Biswas et al. 2002). Di Cina dan Korea, kombinasi kultur in vitro dan mutagen fisik merupakan teknik perbaikan varietas yang diprioritaskan untuk dikembangkan (Yi dan Le 1997; Yunchang dan Liang 1997). Dilaporkan bahwa kombinasi kedua perlakuan tersebut lebih efektif dan lebih efisien dibandingkan perlakuan tunggal. Melalui seleksi in vitro telah dihasilkan varietas baru tanaman yang tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik dengan sifat yang diwariskan (Van den Bulk 1991; Remotti et al. 1995). Beberapa gen seleksi dapat digunakan pada teknik in vitro untuk menghasilkan tanaman yang toleran cekaman abiotik seperti kekeringan, keracunan Al, pH tanah rendah, dan salinitas.

Seleksi In Vitro untuk Toleransi terhadap KekeringanSeleksi in vitro untuk mendapatkan varian yang toleran terhadap kekeringan dapat menggunakan agens seleksi berupa senyawa osmotik. Senyawa ini dapat menyimulasi kondisi kekeringan di lapangan. Senyawa osmotik yang paling banyak digunakan dalam simulasi cekaman kekeringan adalah polyethylene glycol (PEG) (Santos dan Ochoa 1994; Dami dan Hughes 1997). Senyawa PEG bersifat larut dalam air dan dapat menyebabkan penurunan potensi air secara homogen. Besarnya penurunan air sangat bergantung pada konsentrasi dan berat molekul PEG. Keadaan seperti ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan simulasiJurnal Litbang Pertanian, 28(4), 2009

SELEKSI IN VITROKeragaman genetik yang ditimbulkan oleh variasi somaklonal dan induksi mutasi bersifat acak. Untuk mengidentifikasi keragaman somaklonal maupun induksi mutasi ke arah perubahan yang diinginkan, dapat digunakan teknik seleksi in vitro. Pada teknik in vitro, seleksi ketahanan terhadap cekaman abiotik seperti kekeringan, keracunan Al, pH tanah rendah, dan salinitas dapat digabungkan dalam media kultur in vitro dan digunakan untuk menumbuhkan varian somaklon yang diperoleh. Tanaman hasil regenerasi

penurunan potensial air yang mencerminkan cekaman kekeringan bagi tanaman (Michel dan Kaufmann 1973). Penggunaan PEG sebagai media seleksi tidak membahayakan tanaman karena mempunyai berat molekul lebih besar dari 4.000. Dengan demikian, kerusakan atau kematian tanaman pada simulasi menggunakan senyawa PEG diyakini sebagai efek kekeringan, bukan efek langsung dari senyawa PEG karena senyawa tersebut tidak diserap oleh tanaman (Dami dan Hughes 1997; Verlues et al. 1998). Penggunaan PEG dalam induksi stres air pada tanaman sudah diterapkan cukup lama (Krizek 1985). Menurut Adkins et al. (1995), PEG mampu mendeteksi sel/kalus sebagai penapis in vitro sehingga dapat menyeleksi sel/kalus dan beregenerasi membentuk tanaman lengkap dengan tingkat toleransi yang lebih baik. Seleksi in vitro untuk mendapatkan sifat toleransi terhadap cekaman kekeringan telah dilakukan antara lain pada tanaman seledri (Cho dan Yong 1991), kacang tanah (Savin et al. 1991), kacang hijau (Gulati dan Jaiwal 1993), kentang, padi, dan sorgum (Banzai et al. 1991; Adkins et al. 1995; Duncan et al. 1995). Salah satu faktor yang berkaitan dengan sifat fisik fisiologi tanaman untuk bertahan dalam kondisi tercekam kekeringan adalah perubahan akumulasi prolin dalam jaringan. Prolin berperan sebagai osmoregulator (Hever 1999). Namun, tidak semua tanaman memiliki kandungan prolin yang tinggi dalam kondisi tercekam (Deb et al. 1996). Tanaman serealia menunjukkan variasi kuantitatif akumulasi prolin untuk karakter fisiologi sebagai respons terhadap cekaman kekeringan (Richard et al. 1987).

Seleksi In Vitro untuk Toleransi terhadap Al dan pH Tanah RendahTanaman akan keracunan Al bila konsentrasi Al dalam tanaman pada fase vegetatif melebihi 100 ppm, sedangkan normalnya berkisar antara 1518 ppm. Al umumnya terakumulasi pada ujung akar, tempat terjadinya pembelahan dan pemanjangan sel. Pada tanaman padi, jumlah anakan per rumpun dapat dijadikan indikator awal keracunan Al (Makarim 2005). Komponen seleksi yang digunakan yaitu Al dengan kondisi media yang memiliki kemasaman rendah. Unsur AlJurnal Litbang Pertanian, 28(4), 2009

dapat diberikan dalam bentuk AlCl3.6H2O atau garam mineral lainnya. Seleksi in vitro untuk meningkatkan ketahanan sel terhadap Al telah dilakukan pada tomat dan kentang (Stavarek dan Rains 1984), tembakau (Yamamoto 1994), dan sorgum (Smith et al. 1983; Ducan et al. 1995). Mariska et al. (2002) menggunakan metode seleksi in vitro dan radiasi sinar gama untuk meningkatkan ketahanan tanaman kedelai terhadap cekaman Al dan pH rendah. Pengujian di lapangan menghasilkan beberapa nomor kedelai yang memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap Al dan pH rendah dibandingkan varietas yang toleran. Diharapkan nomornomor harapan kedelai toleran Al dapat diperoleh untuk mendukung peningkatan produksi kedelai nasional. Purnamaningsih dan Mariska (2008) melakukan mutasi induksi dan seleksi in vitro pada tanaman padi dan memperoleh somaklon padi yang toleran terhadap Al setelah diseleksi menggunakan AlCl36H2O pada konsentrasi 100 dan 500 ppm dan pH rendah (Tabel 2). Sementara itu, Sutjahjo (2006) menggunakan seleksi in vitro untuk menghasilkan varietas jagung toleran Al. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian untuk mengetahui sistem toleransi tanaman terhadap cekaman Al. Menurut Taylor (1991), mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman Al berlangsung secara eksternal dan internal. Mekanisme eksternal dilakukan dengan cara mencegah Al masuk ke dalam sistem simplas dengan melakukan imobilisasi pada dinding sel, menciptakan sistem permeabilitas seleksi pada membran plasma, menginduksi kenaikan pH pada rizosfer dan apoplas akar, mengeluarkan Al dari dalam sel, dan mengeluarkan (eksudasi) fosfat dan ligan pengkelat Al.

Mekanisme internal dilakukan dengan pengkelatan Al pada sitosol oleh asam organik, protein atau ligan organik lainnya, melakukan kompartementasi Al pada vakuola, dan menginduksi sintesis protein tertentu, terutama protein pengkelat Al. Sekresi asam organik seperti asam malat, asam sitrat, asam oksalat, dan asam suksinat juga merupakan salah satu cara tanaman untuk menanggulangi pengaruh buruk Al. Perbedaan asam organik yang diekstrak dari akar mempengaruhi kemampuan pengendapan Al. Asam oksalat mempunyai kemampuan mengendapkan Al paling kuat, diikuti asam sitrat, asam malat, dan asam suksinat (Hue et al. 1986). Pada tanaman jagung, sel mampu mengeluarkan asam malat dan melepaskan fosfat untuk membentuk kompleks Al-fosfat sehingga mengurangi toksisitas Al (Pellet et al. 1995). Bukti yang mendukung bahwa asam malat berperan dalam mekanisme toleransi Al adalah: 1) pelepasan asam malat distimulasi secara spesifik oleh Al, 2) asam malat melindungi bagian tanaman gandum yang peka Al pada ujung akar ketika larutan hara ditambahkan Al, dan 3) banyak asam malat yang disekresi oleh akar.

Seleksi In Vitro untuk Toleransi terhadap SalinitasPengaruh merusak dari garam pada tanaman merupakan akibat dari kekurangan air, karena konsentrasi garam yang terlarut dalam tanah. Kondisi ini mempengaruhi rasio K+/ Na+ karena pemasukan Na+ dan konsentrasi ion Na yang merugikan tanaman. Respons umum tanaman terhadap cekaman garam, kekeringan, dan suhu rendah berupa akumulasi gula dan senyawa kompatibel lainnya. Senyawa ini

Tabel 2. Persentase rata-rata tanaman yang beregenerasi pada tiga metode seleksi in vitro.Konsentrasi Al (ppm) 100 200 300 400 500 Rata-rata Metode seleksi in vitro Tahapan kalus 50 28,60 31,60 13,30 0 22,70 Tahapan regenerasi 44,40 32,40 19,60 18,80 0 23,76 Tahapan embrio 40 24 25 11 0 24,10

Sumber: Purnamaningsih dan Mariska (2008).

145

berfungsi sebagai osmoprotektan (penjaga osmolaritas). Pada beberapa kasus, senyawa osmoprotektan berfungsi menjaga stabilitas biomolekul pada kondisi tercekam. Tanaman yang toleran dan tumbuh pada tanah bergaram mempunyai kandungan garam yang tinggi pada selnya. Penggunaan ion anorganik untuk mengatur tekanan osmosis menunjukkan bahwa tanaman harus mampu menoleransi kandungan garam yang tinggi dalam sel. Na+ bersifat toksik bagi tanaman karena berpengaruh negatif terhadap nutrisi K+, aktivitas enzim sitosol, fotosintesis, dan metabolisme. Berdasarkan analisis aktivitas enzim terhadap garam dapat disimpulkan bahwa tanaman yang toleran garam dapat menjauhkan Na+ dari sitosol. Tanaman melakukan beberapa cara untuk mempertahankan konsentrasi Na yang rendah dalam sel, yaitu dengan menghambat pemasukan garam, kompartementasi Na+ pada vakuola, dan mengaktifkan efluks Na+. Uraian di atas menunjukkan bahwa keragaman genetik tanaman dapat ditingkatkan melalui variasi somaklonal dan induksi mutasi, dan perubahannya diarahkan melalui seleksi in vitro. Komponen seleksi yang digunakan adalah NaCl. Metode ini telah dicoba pada tanaman tebu (Farid et al. 2006). Seleksi dimulai pada tahap kalus yang diregenerasi menjadi tunas (Tabel 3). Metode tersebut juga telah diterapkan oleh Salaem et al. (2005) pada tanaman padi. Kalus embriogenik padi yang telah diradiasi sinar gama mampu beregenerasi membentuk tunas

Tabel 3. Persentase rata-rata kalus yang beregenerasi pada beberapa varietas tebu dengan konsentrasi NaCl yang berbeda.Varietas TK 26 R 579 SM 86 PS 81362 Bukit Loe Q 81 Konsentrasi NaCl (g/l) 0 100 100 100 100 100 100 4 93,33 100 100 100 93,33 100 8 73,33 80 80 93,33 60 80 12 0 53,33 53,33 60 20 73,33 16 0 13,33 6,67 6,67 0 33,33 NP JBD 11,590 11,992 12,395 12,636 12,8770,05

Sumber: Farid et al. (2006).

pada media seleksi yang mengandung NaCl tinggi. Metode ini juga telah dicoba oleh Pesqueira et al. (2006) pada tanaman jagung. Kalus embriogenik jagung yang telah dimutasi dengan sinar gama mampu beregenerasi membentuk tunas pada media yang mengandung NaCl tinggi. Selain pada tanaman padi dan jagung, seleksi in vitro telah digunakan untuk meningkatkan ketahanan sel terhadap salinitas pada beberapa tanaman yang bernilai ekonomis seperti alpokat (Rosas et al. 2003).

KESIMPULANCekaman abiotik pada lahan pertanian seperti kekeringan, keracunan Al, kahat hara, dan salinitas merupakan kondisi alam dengan segala keseimbangannya yang

perlu ditangani secara arif. Salah satu upaya untuk mengatasinya adalah dengan merakit varietas tanaman yang toleran pada kondisi tersebut. Seleksi in vitro yang dikombinasikan dengan variasi somaklonal atau mutasi genetik merupakan alternatif teknologi yang banyak digunakan untuk menghasilkan varietas tanaman yang toleran terhadap cekaman abiotik seperti pada kedelai, padi, dan nilam. Agens seleksi yang digunakan pada tiap cekaman abiotik berbeda, bergantung pada kondisi cekaman. Seleksi toleransi terhadap kekeringan dapat menggunakan PEG, dan untuk keracunan Al dengan meningkatkan kandungan Al pada media seleksi hingga ambang batas. Seleksi tanaman yang toleran pada kondisi salinitas dapat menggunakan media seleksi Na tinggi dan agens seleksi lainnya dengan disesuaikan kondisi di alam.

DAFTAR PUSTAKAAdkins, S.W., R. Kunamuvatchaidach, and I.D. Godiwin. 1995. Somaclonal variation in ricedrought tolerance and other agronomic characters. Aust. J. Bot. 43: 201109. Ahloowalia, B.S. 1990. In vitro radiation induced mutagenesis in potato. p. 3946. In R.S. Sangan and B. Sangan-Norreel (Eds.). The Impact of Biotechnology in Agriculture. Kluwer Acad. Pub., The Netherlands. Banzai, K.C., Shantha-Nagorojan, N.P. Sukamoran, and S. Nagarojan. 1991. A rapid screening technique for drought resistance in potato (Solanum tuberosum L.). Potato Res. 34: 241248. Biswan, B., Chowdhurry, A. Bhattacharya, and B. Mandal. 2002. In vitro screening for increasing drought tolerance in rice. In vitro Cell. Dev. Biol-Plant 38: 525530. Cho, H.J. and W.J. Yong. 1991. Effect of PEG and ABA on storage starch accumulation and the survival dessicated somatic embryos of Rural Dev. Admin-Biotechnology. Ros. Rep. 33(3): 1320. Dami, I. and H. Hughes. 1997. Leaf anatomy and water losses of in vitro PEG-treated valiant grape. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 57: 129132. Deb, N., B. Alam, S.D. Gupta, and B.C. Ghosh. 1996. Cell membrane stability of leaf tissue and its relationship with drought tolerance in arachis. Indian J. Exp. Biol. 34: 1.044. Do, G., B.B. Seo, J.M. Ko, S.H. Lee, J.H. Pak, I.S. Kim, and S.D. Song. 1999. Analysis of somaclonal variation through tissue culture and chromosomal localization of rDNA sites by fluorescent in situ hybridization in wild Allium tuberosum and regeneration of variant. Plant Cell Tiss. Org Cult. 57: 113 119. Duncan, R.R., R.M. Waskom, and M.W. Nohars. 1995. In vitro screening and field evaluation of tissue culture regenerated sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench) for soil stress tolerance. Euphytica 85: 371380. Farid, M.B., Y. Musa, Nassaruddin, dan Darmawan. 2006. Variasi somaklonal tebu tahan salinitas melalui mutagenesis in vitro. J. Agrivigor 5(3): 247258. Jurnal Litbang Pertanian, 28(4), 2009

146

Gulati, A. and P.K. Jaiwal. 1993. Selection and characterization of mannitol-tolerant callus lines of Vigna radiata (L.) Wilczek. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 34: 3541. Handayani, W. Darliah, I. Mariska, dan R. Purnamaningsih. 2002. Peningkatan keragaman genetik mawar mini melalui kultur in vitro dan iradiasi sinar gama. Berita Biologi 5(4): 365371. Haug, A. 1984. Molecular aspects of alumunium toxicity. CRC Crit. Rev. Plant Sci.: 345373. Hever. 1999. Osmoregulatory role of proline in plant exposed to environmental stress. p. 675695. In M. Perssarakli (Ed.). Handbook of Plant and Crop Stress. Second Edition, Revised and Expanded. C.H.IP.S. Hue, N.V., G.R. Croddock, and F. Adam. 1986. Effect of organic acids on Al toxicity in subsoil. Soil Sci. Soc. Am. J. 50: 2834. Jain, S.M. 2001. Tissue culture-derived variation in crop improvement. Euphytica 118: 153 156. Jayasankar, S. 2005. Variation and tissue culture. In N.T. Robert and J.G. Dennis (Ed). Plant Development and Biotechnology. CRC Press, London. 358 pp. Kadir, A. 2007. Induksi Variasi Somaklon melalui Iradiasi Sinar Gama dan Seleksi In Vitro untuk Mendapatkan Tanaman Nilam Toleran terhadap Cekaman Kekeringan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 173 hlm. Koornneef, M. 1991. Variation and mutant selection in plant cell and tissue culture in biotechnological innovation. p. 99115. In Crop Improvement. Open Universiteit Nederland and Thames Polytechnic, United Kingdom. Krizek, D.T. 1985. Methods of inducing water stress in plant. Hort. Sci. (20): 1.0281.038. Kumar, P.S. and V.L. Mathur. 2004. Chromosomal instability in callus culture of Pisum sativum. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 78: 267 271. Kuskova, V.B., N.M. Piven, and Y.Y. Gleba.1997. Somaclonal variation and in vitro induced mutagenesis in grapevine. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 49: 1727. Lestari, E.G., I. Mariska, D. Sukmadjaja, dan D Suardi. 2005. Seleksi in vitro dan identifikasi tanaman padi varietas Gajah Mungkur, Towuti dan IR64 yang tahan kekeringan. Kumpulan Makalah Seminar Hasil Penelitian Tahun 2004. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Linacero, R. and A. Vazquez. 1992. Cytogenetic variation in rye regenerated plants and their progeny. Genome 35: 428430. Makarim, A.K. 2005. Cekaman abiotik utama dalam peningkatan produktivitas tanaman. Makalah pada Seminar Pemanfaatan Bioteknologi untuk Mengatasi Cekaman Abiotik pada Tanaman, Bogor 22 September 2005. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Jurnal Litbang Pertanian, 28(4), 2009

Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. 15 hlm. Maluszynki, M.K., L. Nichterlein, Van Zanten, and B.S. Ahloowalia. 2000. Officially released mutant varietiesThe FAO/IAEA Database. Mutant Breed Rev. 12: 184. Mariska, I., S. Hutami, dan M. Kosmiatin. 2002. Peningkatan toleransi terhadap aluminium dan pH rendah pada tanaman kedelai melalui kultur in vitro. Dalam N. Hilmy, M. Ismachin, F. Suhadi, E.L. Pattiradjawane, S. Sutrisno, M. Utama, Wandono, M. Sumatra, Mugiono, E. Suwadji, S. Yatim, Ishak, N.D. Leswara, dan K. Idris (Ed). Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi. Badan Tenaga Atom Nasional, Jakarta. Mariska, I., E. Syamsudin, D. Sopandie, S. Hutami, A. Husni, M. Kosmiatin, dan A.V. Novianti. 2004. Peningkatan ketahanan tanaman kedelai terhadap aluminium melalui kultur in vitro. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 23(2): 4652. Mariska, I., M. Kosmiatin, E.G. Lestari, dan I. Rostika. 2006. Seleksi in vitro tanaman pisang ambon kuning untuk ketahanan terhadap penyakit layu fusarium. Laporan Akhir Rusnas Buah Tropis. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. 20 hlm. Mattjik, N.A. 2005. Peranan Kultur Jaringan dalam Perbaikan Tanaman. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Kultur Jaringan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 24 September 2005. 102 hlm. Michel, B.E. and M.R. Kaufmann. 1973. The osmotic potential of polyethylene glycol 6000. Plant Physiol. 57: 914916. Micke, A. and B. Donini. 1993. Induced mutation. p. 5277. In M.D. Hayward, N.O. Bosemark, and I. Romagosa (Eds.). Plant Breeding Principles and Prospects. Chapman & Hall, London. Moller, T., J.C. Bailar, J. Kleinberg, C.O. Guss, M.E. Castellion, and C. Motz. 1984. Chemistry with Inorganic Qualitative Analysis. Acid Press, Inc., Orlando. Pellet, D.M., D.L. Grunes, and L.V. Kochian. 1995. Organic acid exudation as an alumunium-tolerance mechanism in maize (Zea mays L.). Planta 196: 788795. Pesqueira, J., M.D. Garca, S. Staltari, and M.C. Molina. 2006. NaCl effects in Zea mays L. x Tripsacum dactyloides (L.) L. hybrid calli and plants. Electronic J. Biotechnol. 9(3): 16. Purnamaningsih, R. dan I. Mariska. 2008. Pengujian nomor-nomor harapan padi tahan Al dan pH rendah hasil seleksi in vitro dengan kultur hara. Jurnal Agrobiogen 4(1): 1823. Remotti, P.C., H.J.M. Loffer, and L. Van VlotenDoting. 1995. Selection of cell lines and regeneration of plants resistant to fusaric acid from Gladiolus grandiflorus cv. Peter Pears. Euphytica 96(2): 237245.

Richard, R.A., C.W. Denett, C.O. Qualset, E. Edstein, J.D. Norlyn, and M.D. Winslow. 1987. Variation in yield of grain and biomass in wheat, barley and tricale in a salt-affected fuclid. Field Crops Res. 15: 227. Rosas, H.G., S.S. Garcia, G.R. Reyes, J.L.R. Ontiveros, and A.C.R. Villaseor. 2003. Preliminary results on in vitro selection for tolerance to chloride excess in avocado. Revista Chapingo Serie Horticultura 9(1): 3943. Salaem, M.Y., Z. Mukhtar, A.A. Cheema, and B. M. Atta. 2005. Induced mutation and in vitro techniques as a method to induce salt tolerance in Basmati rice (Oryza sativa L.). Intl. J. Environ. Sci. 2(2): 141145. Santos, D.M.S and A.N. Ochoa. 1994. PEG-tolerant cell clones of chili pepper growth, osmotic potential and solute accumulation. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 37: 18. Savin, N.B., A. Gupta, S. Prakhas, and B. Biswas. 1991. Isolation and characterization of a salt tolerant line of Arachis hypogaea L. using in vitro culture. Acta Hort. 289: 219 222. Skirvin, R.M., M. Norton, and K.D. Mc Pheeter. 1993. Somaclonal variation: Has it proved useful for plant improvement. Acta Hort. 336: 333340. Smith, C.A. and E.J. Wood. 1991. Molecular Biology and Biotechnology. Chapman & Hall, Tokyo. Smith, R.H., S. Bhaskaran, and K. Scherz. 1983. Sorghum plant regeneration from alumunium selection media. Plant Cell Rep. 2: 129132. Soeranto, H. 2003. Peran iptek nuklir dalam pemuliaan tanaman untuk mendukung industri pertanian. Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta. Specht, J.E. and G.L. Greaf. 1996. Limitation and potential for genetic manipulation of soybeans. In D.P.S. Verma and R.C. Shoemaker (Eds.). Soybeans: Genetics, Molecular Biology and Biotechnology. CAB Intl., England. Stavarek, S.J. and D.W. Rains. 1984. The development of tolerance cell to mineral stress. Hort. Sci. 19: 377382. Sutjahjo, S.H. 2006. Seleksi in vitro untuk ketenggangan terhadap Al pada empat genotipe jagung. Jurnal Akta Agraria 9(2): 61 66. Suzuki, D.T., A.J.F. Griffiths, J.H. Miller, and R.C. Lewontin. 1993. An Introduction to Genetic Analysis. W.H. Freeman and Co., New York. Syarifuddin, A. dan A. Abdurachman. 1993. Optimasi pemanfaatan sumber daya lahan berwawasan lingkungan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Bogor, 2325 Agustus 1993. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Taylor, G.J. 1991. Current views of the aluminium stress response-the physiological basis

147

tolerance. Curr. Tap. Biohem. Physiol. 10: 5793. Thrope, T.A. 1990. The current status of plant tissue culture. p. 13. In S.S. Bhojwani (Ed.). Plant Tissue Culture: Application and Limitations. Elsevier Sci. Publ., Amsterdam, Oxford, New York, Tokyo. Van den Bulk, R.W. 1991. Application of cell and tissue culture and in vitro selection for disease resistance breeding A review. Euphytica 56: 269285. Van Harten, A.M. 1998. Mutation Breeding. Theory and Practical Application. Cambridge University Press, New York. p. 111 162.

Verlues, P.E., E.S. Obes, and R.E. Sharp. 1998. Root growth and oxygen relation at low water potential. Impact of oxygen availability in polyethylene glycol solution. Plant Physiol. 116: 1.4031.412. Wattimena, G.A. dan N.A. Mattjik. 1992. Pemuliaan tanaman secara in vitro. Dalam Tim Laboratorium Kultur Jaringan (Ed.). Bioteknologi Tanaman. PAU Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Yamamoto, Y. 1994. Quantitative estimation of aluminium toxicity in cultured tobacco cell. Correlation between alumunium uptake and growth inhibitor. Plant Cell Physiol. 35(4): 575583.

Yi and Le. 1997. Development of genetic resources by in vitro application of radiation. Proc. Seminar on Mutation Breeding in Oil and Industrial Crops for Regional Nuclear Cooperation in Asia. RDA, STA. Most and JAIF. Suwon, Korea, 1218 October 1997. Yunchang, L. and Q. Liang. 1997. A review and prospect of mutation breeding of oil crops in China. Proc. Seminar on Mutation Breeding in Oil and Industrial Crops for Regional Nuclear Cooperation in Asia. RDA, STA. Most and JAIF. Suwon, Korea, 1218 October 1997.

148

Jurnal Litbang Pertanian, 28(4), 2009