PEMANFAATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) … · 2013-09-09 · cleaning process, such as crude...
Transcript of PEMANFAATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) … · 2013-09-09 · cleaning process, such as crude...
PEMANFAATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER OLEIN UNTUK PEMBUATAN
HEAVY DUTY CLEANER
RACHMANIA WIDYASTUTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pemanfaatan
Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Olein untuk Pembuatan
Heavy Duty Cleaner” adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini
Bogor, Agustus 2012
Rachmania Widyastuti F351090071
ABSTRACT
RACHMANIA WIDYASTUTI. F351090071. Utilization of Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) from Olein based Methyl Ester in Heavy Duty Cleaner Making. Under the Direction of ANI SURYANI and ERLIZA HAMBALI.
The industry related to materials that are very difficult to remove in the cleaning process, such as crude oil, grease, oil, or other materials need heavy duty cleaning products that can handle the difficulty in cleaning. Cleaning products that have a tough task to clean the dirt is sometimes called a heavy duty cleaner. This product is effective for cleaning storage tank, reception tank, pipes, floors, equipment or machinery. Just like any other cleaning products, in the formulation of heavy duty cleaner needed surfactant.
The purposes of this research were to obtain heavy duty cleaner utilizing methyl ester sulfonic acid (MESA) from olein based methyl ester, to know the performance generated from heavy duty cleaner, and financial feasibility information of heavy duty cleaner industry. This research started with preparation of C16 dominant methyl ester, olein based methyl ester, MESA production by sulphonating methyl ester with SO3 as reactant in a single tube falling-film reactor, then followed by MESA characterization. Furthermore, continued with heavy duty cleaner making and characterisazion.
Design of the research was using factorial completely rendomized with two factors including type of MESA and NaOH concentration. The type of MESA consist of four levels (MESA olein off grade, MESA olein steady state, MESA olein C16 dominant off grade and MESA olein C16 dominant steady state). NaOH concentration consist of four levels ( 35%, 40%, 45% and 50%). Washing capasity value was chosen as key parameter because it was representing the performance of heavy duty cleaner in removing impurity. Based on variance analysis, MESA types gave significance influence to the value of product washing capasity, whereas NaOH concentration was not giving significance influence. The highest washing capasity average value was generated from MESA olein dominant C16 steady state type. The results showed that heavy duty cleaner which used MESA olein dominan C16 steady state type with 35% NaOH concentration was resulting 98,11% emultion stability, 9 ml/ ml 0,1% sample solution foaming capacity, 13,75% foam stability, and 91,31% washing capasity was the best composition obtain. Based on four investment criteria, those were NPV (Rp 19.210.855.000), IRR (19%), B/C Ratio (1,52) and PBP (5,36 years) show that it is feasible to run.
Key word: heavy duty cleaner, MESA, heavy duty cleaner composition
RINGKASAN
RACHMANIA WIDYASTUTI. F351090071. Pemanfaatan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Olein untuk Pembuatan Heavy Duty Cleaner. Dibimbing oleh ANI SURYANI dan ERLIZA HAMBALI.
Industri yang berkaitan dengan bahan-bahan yang sangat sulit dihilangkan dalam proses pembersihannya, seperti minyak mentah, gemuk, oli, atau bahan lainnya membutuhkan produk pembersih yang mampu menangani kesulitan dalam pembersihannya. Produk pembersih yang memiliki tugas berat untuk membersihkan kotoran-kotoran tersebut pada umumnya disebut dengan heavy duty cleaner. Produk ini efektif untuk membersihkan tangki timbun, tangki penerimaan, pipa, lantai, peralatan ataupun mesin. Sama seperti produk pembersih lainnya, dalam formulasi heavy duty cleaner dibutuhkan surfaktan.
Surfaktan yang populer digunakan adalah petroleum sulfonat. Salah satu contohnya yaitu linear alkilbenzen sulfonat (LAS). Surfaktan ini diproduksi dari fraksi minyak bumi. Minyak bumi bersifat tidak terbarukan (non renewable) dan tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu perlu dimanfaatkan bahan baku lain yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. Olein sawit memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku surfaktan di Indonesia. Produk surfaktan yang dihasilkan akan memiliki kelebihan, yaitu lebih ramah lingkungan, tahan terhadap salinitas tinggi dan air sadah. Olein sawit mengandung asam lemak dominan C16 dan C18. MES C16 memperlihatkan daya detergensi terbaik, kemudian diikuti oleh C18 dan C14. Salah satu pendekatan yang dapat diaplikasikan untuk mendapatkan metil ester olein dominan C16 antara lain melalui fraksinasi metil ester olein.
Mehtyl ester sulfonic acid (MESA) merupakan produk antara yang dihasilkan selama proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat (MES). Pada proses sulfonasi secara kontinyu, sebelum mencapai kondisi steady state produk yang dihasilkan belum dapat diaplikasikan. Jika kondisi steady state dicapai pada jam ke-6, maka MESA sebelum jam ke-6 akan terbuang dan produk ini disebut MESA off grade. Selain itu MESA berwarna gelap. Senyawa pemberi warna gelap pada MESA merupakan senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Warna gelap (hitam) pada MESA inilah yang menjadi pertimbangan MESA tidak digunakan sebagai bahan baku produk pembersih perkakas rumah tangga atau untuk pembersih kain. Oleh karena itu diperlukan alternatif pemanfaatan, salah satunya yaitu mencoba mengaplikasikan MESA sebagai cleaning agent untuk industri yang berkaitan dengan bahan-bahan yang sulit dihilangkan dalam proses pembersihannya, seperti industri perminyakan.
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mendapatkan heavy duty cleaner dengan memanfaatkan methyl ester sulfonic acid (MESA) dari metil ester olein, mengetahui kinerja heavy duty cleaner yang dihasilkan dan mengetahui informasi kelayakan finansial dari industri heavy duty cleaner. Produk heavy duty cleaner terbaik ditentukan berdasarkan pengukuran sifat fisikokimia dan kinerja dari heavy duty cleaner yang dihasilkan. Pengukuran sifat fisikokima meliputi viskositas, bobot jenis dan stabilitas emulsi. Pengukuran kinerja dari heavy duty cleaner yang dihasilkan meliputi daya pembusaan, stabilitas busa dan daya cuci.
Penelitian ini diawali dengan persiapan fraksinasi metil ester dominan C16, pembuatan surfaktan MESA dengan mereaksikan metil ester dengan SO3 pada reaktor single tube falling film, lalu karakterisasi MESA. Selanjutnya dilakukan pembuatan dan analisis sifat fisik dan kinerja heavy duty cleaner. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor, yaitu jenis MESA dan konsentrasi NaOH. Jenis MESA terdiri dari empat taraf, yaitu MESA olein off grade, MESA olein steady state, MESA olein dominan C16 off grade dan MESA olein dominan C16 steady state. Konsentrasi NaOH terdiri dari empat taraf, yaitu 35%, 40%, 45% dan 50%.
Nilai daya cuci dipilih sebagai parameter penentu karena mewakili kinerja dari heavy duty cleaner dalam menghilangkan kotoran. Berdasarkan analisis keragaman, jenis MESA memberikan pengaruh nyata terhadap nilai daya cuci produk, sedangkan konsentrasi NaOH tidak memberikan pengaruh yang nyata. Nilai rata-rata daya cuci tertinggi yaitu pada jenis MESA olein dominan C16 steady state. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa heavy duty cleaner yang menggunakan jenis MESA olein dominan C16 steady state dengan konsentrasi NaOH 35% menghasilkan stabilitas emulsi 98,11%, daya pembusaan 9 ml/ ml larutan sampel 0,1%, stabilitas busa 13,75% dan daya cuci 91,31% sudah dapat digunakan. Berdasarkan empat kriteria investasi yang digunakan yaitu NPV (Rp 19.210.855.000), IRR (19%), B/C Ratio (1,52) dan PBP (5,36 tahun) menunjukkan bahwa industri heavy duty cleaner layak untuk dijalankan.
Kata kunci: heavy duty clenaer, MESA, komposisi heavy duty cleaner
C Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan daan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMANFAATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER OLEIN UNTUK PEMBUATAN
HEAVY DUTY CLEANER
RACHMANIA WIDYASTUTI
Tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ika Amalia Kartika, STP, MT
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : Pemanfaatan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester
Olein untuk Pembuatan Heavy Duty Cleaner
Nama : Rachmania Widyastuti
NIM : F351090071
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali, MSi Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
Tanggal Ujian : 29 Juni 2012 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian ini adalah Pemanfaatan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil
Ester Olein untuk Pembuatan Heavy Duty Cleaner. Penyusunan tesis ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Dalam penyusunan tesis ini, berbagai pihak telah banyak memberikan
dorongan, bantuan serta masukan sehingga dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA dan Prof. Dr.
Ir. Erliza Hambali, Msi selaku pembimbing yang telah memberikan pengetahuan,
arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat; staf di Laboratorium SBRC LPPM
IPB dan Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, PT Mahkota
Indonesia; rekan-rekan di Departemen Teknologi Industri Pertanian angkatan
2009. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, suami dan
seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih banyak kekurangan, oleh
karenanya kritik dan saran sangat penulis harapkan guna menyempurnakan
penulisan ini. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga
karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2012
Rachmania Widyastuti
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandarjaya, Lampung Tengah pada tanggal 23 Juli
1986. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SDK No. 3
Bandarjaya Lampung Tengah dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP
Negeri 3 Terbanggi Besar Lampung Tengah. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA
Negeri I Terbanggi Besar Lampung Tengah dan pada tahun yang sama diterima di
Universitas Lampung melalui SPMB di jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Pertanian serta meraih gelar Sarjana Teknologi Pertanian (STP) di
Universitas Lampung tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan
pendidikan program S2 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. ix
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2. Tujuan ............................................................................................ 2 1.3. Hipotesa ......................................................................................... 3 1.4. Ruang Lingkup ............................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Heavy Duty Cleaner ........................................................................ 5 2.2. Surfaktan ........................................................................................ 8 2.3. Metil Ester Olein ............................................................................ 13 2.4. Methyl Eter Sulfonic Acid (MESA) ................................................. 18 2.5. Kajian Analisis Finansial ................................................................ 22
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat ......................................................................... 25 3.2. Bahan dan Alat ............................................................................... 25 3.3. Metode Penelitian............................................................................ 25
3.3.1. Persiapan Fraksinasi Metil Ester Olein Dominan C16................ 26 3.3.2. Analisis Sifat Fisikokimia Metil Ester Olein ............................ 26 3.3.3. Proses Produksi dan Analisis Methyl Ester Sulfonic
Acid .......................................................................................... 26 3.3.4. Proses Pembuatan dan Analisis Sifat Fisik dan
Kinerja Heavy Duty Cleaner ..................................................... 27 3.4. Rancangan Percobaan ...................................................................... 28 3.5. Analisis Finansial ............................................................................ 29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Persiapan Fraksinasi Metil Ester Olein Dominan C16 ...................... 33 4.2. Sifat Fisikokimia Metil Ester Olein dan Metil Ester Olein
Dominan C16 ................................................................................... 35 4.3. Sifat fisikokimia Methyl Ester Sulfonic Acid .................................... 38 4.4. Sifat Fisik dan Kinerja Heavy Duty Cleaner .................................... 41
4.4.1. Stabilitas Emulsi ..................................................................... 41 4.4.2. Daya Pembusaan ...................................................................... 42 4.4.3. Stabilitas Busa ........................................................................ 44 4.4.4. Daya Cuci ............................................................................... 45
4.5. Penentuan Produk dari Kinerja Terbaik ........................................... 47
4.6. Aspek Finansial Heavy Duty Cleaner dari MESA Olein Terbaik ............................................................................................ 48
4.6.1. Asumsi Analisis Finansial ..................................................... 48 4.6.2. Biaya Investasi ....................................................................... 50 4.6.3. Penyusutan ............................................................................ 56 4.6.4. Biaya Operasional ................................................................. 56 4.6.5. Harga Penjualan dan Perkiraan Penerimaan ........................... 60 4.6.6. Modal Kerja ........................................................................... 61 4.6.7. Pembiayaan ........................................................................... 61 4.6.8. Proyeksi Laba Rugi ............................................................... 63 4.6.9. Break Even Point (BEP) ....................................................... 63 4.6.10. Kriteria Kelayakan Investasi ................................................. 64
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan .................................................................................... 67 5.2. Saran .............................................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 69
LAMPIRAN ................................................................................................. 75
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi heavy duty cleaner ................................................................ 5
2 Komposisi heavy duty exothermic all-purpose cleaning ......................... 5
3 Komposisi heavy duty degreaser cleaning ............................................... 6
4 Komposisi heavy duty degreaser cleaning .............................................. 6
5 Komposisi heavy duty aerosol cleaner ................................................... 7
6 Karakteristik larutan kaustik soda 50% ................................................... 8
7 Komposisi asam lemak beberapa produk kelapa sawit ............................ 15
8 Karakteristik metil ester sulfonat (MES)................................................. 22
9 Titik didih asam lemak pada berbagai tekanan ....................................... 33
10 Sifat fisiko kimia metil ester olein dan metil ester dominan C16 .............. 35
11 Sifat fisik methyl ester sulfonic acid ....................................................... 40
12 Rincian modal investasi (dalam ribuan rupiah) ...................................... 50
13 Rincian biaya pembelian alat dan mesin (dalam ribuan rupiah) ............... 51
14 Rincian biaya bangunan (dalam ribuan rupiah) ....................................... 53
15 Harga sewa lahan industri heavy duty cleaner (dalam ribuan rupiah) .................................................................................................. 53
16 Rincian biaya perlengkapan (dalam ribuan rupiah) ................................ 54
17 Rincian biaya prainvestasi (dalam ribuan rupiah) .................................. 55
18 Rincian bunga selama pembangunan pabrik (dalam ribuan rupiah) .................................................................................................. 55
19 Rincian biaya tenaga kerja tak langsung (dalam ribuan rupiah) ............... 57
20 Rincian biaya tenaga kerja langsung (dalam ribuan rupiah) ................... 57
21 Biaya bahan baku, bahan penolong dan utilitas produksi dalam ribuan rupiah) ........................................................................................ 58
22 Kebutuhan utilitas kantor (dalam ribuan rupiah) ..................................... 58
23 Rincian biaya pemeliharaan (dalam ribuan rupiah) ................................. 59
24 Rincian biaya asuransi (dalam rupian rupiah) ........................................ 59
25 Rincian pajak (dalam ribuan rupiah) ....................................................... 60
26 Harga dan penerimaan (dalam ribuan rupiah) ........................................ 61
27 Struktur pembiayaan (dalam ribuan rupiah) ........................................... 62
28 Angsuran modal investasi tetap (dalam ribuan rupiah) ........................... 62
29 Angsuran modal kerja (dalam ribuan rupiah) .......................................... 62
30 Proyeksi laba rugi (dalam ribuan rupiah) ............................................... 63
31 Analisis BEP (dalam ribuan rupiah) ....................................................... 64
32 Kriteria kelayakan investasi ................................................................... 64
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Molekul air ditarik oleh molekul air yang lain dengan kekuatan
yang sama dalam tiga arah (Hargreaves 2003) ........................................ 9
2 Ilustrasi pembentukan micelle (Hargreaves 2003) .................................. 10
3 Mekanisme pembersihan oleh surfaktan (Hargreaves 2003) ................... 11
4 Diagram alir proses produksi biodiesel .................................................. 14
5 Reaksi transesterifikasi pada proses produksi biodiesel ......................... 15
6 Molekul asam lemak ............................................................................. 16
7 Struktur kimia MESA dari metil ester olein dominan C16 ....................... 18
8 Reaksi sulfonasi untuk pembuatan MES (Watkins, 2001) ....................... 19
9 Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi (Jungerman, 1979) ................................................................................. 19
10 Diagram alir proses pembuatan heavy duty cleaner ................................ 27
11 Produk fraksinasi metil ester olein ......................................................... 34
12 Bahan baku pembuatan Methyl Ester Sulfonic Acid ............................... 36
13 Grafik komposisi FAME hasil fraksinasi metil ester olein ..................... 37
14 Tahapan reaksi pembentukan MESA pada sulfonasi metil ester ............. 39
15 Grafik pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya pembusaan heavy duty cleaner ................................................................................. 43
16 Grafik pengaruh jenis MESA terhadap nilai stabilitas busa heavy duty cleaner ................................................................................. 45
17 Grafik pengaruh jenis MESA terhadap daya cuci heavy duty cleaner ................................................................................................... 47
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Prosedur analisis metil ester olein .......................................................... 77
2 Diagram alir pengolahan methyl ester sulfonic acid ............................... 78
3 Prosedur analisis methyl ester sulfonic acid (MESA) .............................. 80
4 Prosedur analisis produk heavy duty cleaner .......................................... 82
5 Proses fraksinasi metil ester olein .......................................................... 83
6 Proses produksi methyl ester sulfonic acid (MESA) .............................. 84
7 Proses pembuatan heavy duty cleaner .................................................... 85
8 Hasil analisis ragam terhadap stabilitas emulsi heavy duty cleaner ........ 86
9 Analisis daya pembusaan dan stabilitas busa pada heavy duty cleaner ................................................................................................... 87
10 Data hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap daya pembusaan heavy duty cleaner ............................................................... 88
11 Data hasil penelitian, hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas busa heavy duty cleaner ............................................ 89
12 Analisis daya cuci pada heavy duty cleaner ............................................ 90
13 Data hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap daya cuci heavy duty cleaner ................................................................................. 91
14 Spesifikasi mesin dan peralatan pada produksi heavy duty cleaner ................................................................................................... 92
15 Penyusutan dan nilai sisa (dalam ribuan rupiah) .................................... 93
16 Rincian biaya operasional (dalam ribuan rupiah) ................................... 95
17 Neraca masa industri heavy duty cleaner ............................................... 97
18 Rincian modal kerja (dalam ribuan rupiah) ............................................ 98
19 Proyeksi arus kas (dalam ribuan rupiah) ................................................ 99
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Industri yang berkaitan dengan bahan-bahan yang sangat sulit dihilangkan
dalam proses pembersihannya, seperti minyak mentah, gemuk, oli, atau bahan
lainnya membutuhkan produk pembersih yang mampu menangani kesulitan dalam
pembersihannya. Produk pembersih yang memiliki tugas berat untuk
membersihkan kotoran-kotoran tersebut pada umumnya disebut dengan heavy
duty cleaner. Produk ini efektif untuk membersihkan tangki timbun, tangki
penerimaan, pipa, lantai, peralatan ataupun mesin. Sama seperti produk pembersih
lainnya, dalam formulasi heavy duty cleaner dibutuhkan surfaktan.
Surfaktan yang populer digunakan adalah petroleum sulfonat. Salah satu
contohnya yaitu linear alkilbenzen sulfonat (LAS). Surfaktan ini diproduksi dari
minyak bumi. Minyak bumi bersifat tidak terbarukan (non renewable) dan tidak
ramah lingkungan. Oleh karena itu perlu dimanfaatkan bahan baku lain yang
dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. Olein sawit memiliki potensi untuk
dimanfaatkan sebagai bahan baku surfaktan di Indonesia. Produk surfaktan yang
dihasilkan akan memiliki kelebihan, yaitu lebih ramah lingkungan, tahan terhadap
salinitas tinggi dan air sadah. Olein sawit mengandung asam lemak dominan C16
dan C18. Hui (1996) menyatakan bahwa alkil ester asam lemak C14, C16 dan C18
baik digunakan untuk bahan baku surfaktan karena mampu memberikan tingkat
detergensi yang terbaik, mampu mempertahankan aktivitas enzim dan memiliki
toleransi terhadap ion Ca lebih baik. Watkins (2001) menyatakan bahwa metil
ester palmitat (C16) merupakan salah satu komponen metil ester yang sangat baik
apabila digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan surfaktan metil ester
sulfonat (MES). Asam lemak C16 dan C18 mampu memberikan tingkat detergensi
yang tinggi sehingga potensial sebagai bahan baku pembuatan surfaktan. MES C16
memperlihatkan daya detergensi terbaik, kemudian diikuti oleh C18 dan C14. Salah
satu pendekatan yang dapat diaplikasikan untuk mendapatkan metil ester olein
dominan C16 antara lain melalui fraksinasi metil ester olein. Melalui aplikasi
teknologi tersebut maka dapat memperbaiki karakteristik metil ester, terutama
sebagai bahan baku surfaktan.
Mehtyl ester sulfonic acid (MESA) merupakan produk antara yang
dihasilkan selama proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat
(MES). Pada proses sulfonasi secara kontinyu, sebelum mencapai kondisi steady
state produk yang dihasilkan belum dapat diaplikasikan. Jika kondisi steady state
dicapai pada jam ke-6, maka MESA sebelum jam ke-6 akan terbuang dan produk
ini disebut MESA off grade. Selain itu MESA berwarna gelap. Selain itu MESA
berwarna gelap. Senyawa pemberi warna gelap pada MESA merupakan senyawa
polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi (Yamada and Matsunani
(1996); Roberts et al. (2008). Warna gelap (hitam) pada MESA inilah yang
menjadi pertimbangan MESA tidak digunakan sebagai bahan baku produk
pembersih perkakas rumah tangga atau untuk pembersih kain. Oleh karena itu
diperlukan alternatif pemanfaatan, salah satunya yaitu mencoba mengaplikasikan
MESA sebagai cleaning agent untuk industri yang berkaitan dengan bahan-bahan
yang sulit dihilangkan dalam proses pembersihannya, seperti industri
perminyakan.
Susi (2010) telah melakukan kajian terhadap proses aging pasca sulfonasi
metil ester olein sawit menggunakan Singletube Falling Film Reactor (STFR) dan
pengaruhnya terhadap karakteristik MESA dengan kondisi proses sulfonasi
terbaik yaitu kontak gas SO3 dan metil ester olein dilakukan pada laju alir 50
ml/menit, suhu input 100⁰ C, MESA diakumulasikan pada proses sulfonasi 2-3
jam serta suhu aging 80⁰ C selama 60 menit. Kondisi proses ini menghasilkan
MESA yang memiliki karakteristik bahan aktif 23,04%, viskositas 96,5 cP, pH
0,76, bilangan iod 21,09 mg I/g, bilangan asam 14,02 mg KOH/g, warna (Klett)
630, emulsi 85,45% dan stabil selama 10,53 menit.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendapatkan heavy duty cleaner
dengan memanfaatkan methyl ester sulfonic acid (MESA) dari metil ester olein,
mengetahui kinerja heavy duty cleaner yang dihasilkan dan mengetahui informasi
kelayakan finansial dari industri heavy duty cleaner.
1.3. Hipotesa
Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini yaitu MESA olein dan MESA olein dominan C16 dengan kualitas off grade dan steady state diduga mempunyai karakteristik yang berbeda, sehingga akan berpengaruh terhadap kinerja heavy duty cleaner yang dihasilkan.
1.4. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Persiapan fraksinasi metil ester olein dominan C16
2. Analisis sifat fisikokimia metil ester olein dan metil ester olein dominan
C16
3. Proses sulfonasi metil ester dengan menggunakan gas SO3
4. Analisis sifat fisikokimia beberapa jenis surfaktan methyl ester sulfonic
acid
5. Proses Pembuatan heavy duty cleaner
6. Analisis sifat fisik dan kinerja heavy duty cleaner
7. Analisis finansial produksi heavy duty cleaner
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Heavy Duty Cleaner
Dalam industri produk pembersih, heavy duty cleaner merupakan agen
pembersih yang digunakan untuk membersihkan kotoran-kotoran berat seperti
minyak mentah, oli, dan gemuk. Produk ini efektif untuk membersihkan tangki
penyimpanan, tangki penerimaan, pipa, lantai, peralatan dan mesin. Ada beberapa
contoh formula heavy duty cleaner, salah satu komposisi heavy duty cleaner yaitu
formula yang berasal dari Flick (1999) seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi heavy duty cleaner
Bahan Konsentrasi (%) Water 74 Na4EDTA (Ethylenediaminetetracetic acid) 2 TKPP (Tetra Potassium Pyrophosphate) 4 Pilot SXS-40 5 KOH, 45% Calamide C
10 5
Selain itu sudah ada beberapa paten untuk produk heavy duty cleaner.
Selwyn et al. (1974) telah mempatenkan heavy duty exothermic all-purpose
cleaning composition. Komposisi dari produk ini ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi heavy duty exothermic all-purpose cleaning
Bahan Konsentrasi (%) Sodium hidroksida 49,60 Sodium bisulfat 47,44 Sodium dodecyl benzene sulfonate 1,70 Dye 0,01 Sodium ddichloroisocinaturate 1,00 Dedusting oil 0,25 Sumber: Selwyn et al. (1974)
Produk heavy duty cleaner ini memiliki manfaat sebagai bahan pembersih
rambut, saluran dan karat, yang di dalamnya terdiri dari campuran bahan aktif
yang penting, bahan asam dan alkali kaustik, yang ketika kontak dengan air,
mampu menghasilkan cairan panas. Cairan ini dapat digunakan dalam pelarutan
atau penghancuran lemak, minyak, kotoran, rambut dan karat. Bahan lainnya yang
terkandung pada produk heavy duty cleaner ini yaitu surfaktan yang cocok, agen
pemutihan, germisida, dan sejenisnya.
Ahmed (2000) telah mempatenkan heavy duty degreaser cleaning
compositions and methods of using the same. Penemuan ini berhubungan dengan
komposisi heavy duty degreaser clener dan metode untuk penggunannya.
Penemuan ini khususnya berhubungan dengan komposisi pembersih yang
berguna untuk membersihkan minyak, pelumas dan saluran pembuangan gas pada
otomotif dan industri. Selain itu juga dapat digunakan untuk membersihkan
minyak atau shortening yang tertinggal pada alat penggorengan atau peralatan
masak lainnya. Komposisi dari produk ini ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi heavy duty degreaser cleaning
Bahan Konsentrasi (%) EDTA-Na4 (30%) 13,65 HP3PO4 (75%) 4,52 Sulfonic L12-6 2,03 Neodol 91-2.5 2,03 Sodium xylene 15,10 Sumber: Ahmed (2000)
Palmore (2011) telah mempatenkan vissualy enhancing heavy duty
degreaser-cleaning composition. Penemuan ini berhubungan dengan komposisi
pembersih gemuk atau pembersih pada umumnya, khususnya yangberhubungan
dengan komposisi pembersih gemuk atau pembersih yang berguna untuk
menghilangkan minyak dan mentega dari permukaan logam. Komposisi dari
produk ini ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi heavy duty degreaser cleaning
Bahan Konsentrasi (%) Sodium hidroksida 90,0 Trisodium fosfat 8,5 Tripotasium fosfat 1,0 Polychlorinated copper phthalocyanine 0,5 Sumber: Palmore (2011)
Strand et al. (1972) telah mempatenkan heavy duty aerosol cleaner.
Komposisi heavy duty aerosol cleaner diadaptasi untuk membersihkan lantai
dengan permukaan yang keras tanpa efek yang merugikan pada lantai tersebut.
Pembersih ini terdiri dari suspensi thixotropic bentonit, partikel abrasif, agen
untuk pencegahan korosi, minimal satu asam lemak alkanolamide lebih tinggi
untuk menghasilkan busa, dan air yang cukup untuk menghasilkan viskositas yang
diinginkan. Formula dari produk ini ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Formulasi heavy duty aerosol cleaner
Bahan Konsentrasi (%) Bentonit 24 Isopropyl alcohol 13 Amonium hidroksida, 28% 6 Silika 72 Coconut fatty acid diethanol amide 5,1 Sumber: Strand et al. (1972)
Pada penelitian ini, selain menggunakan surfaktan methyl ester sulfonic
acid (MESA), dalam komposisinya terdapat NaOH. NaOH adalah zat padat
rapuh berwarna putih yang sangat kuat dalam menyerap kelembaban dan karbon
dioksida dari udara. Istilah lain untuk NaOH adalah kaustik soda. Istilah kaustik
soda digunakan karena sifatnya yang korosif terhadap kulit. Penggunaan
tradisionalnya dalam bidang sabun, tekstil dan pengolahan minyak bumi masih
menonjol (Austin 1984).
Menurut Buehr (1962), Salah satu konsumen terbesar kaustik soda adalah
industri pulp dan kertas. Industri ini menggunakan kaustik soda dalam
pembuatan pulp dan proses pemutihan, de-inking limbah kertas, dan pengolahan
limbah cair. Kaustik soda adalah bahan baku dasar dalam pembuatan berbagai
bahan kimia, yaitu digunakan sebagai perantara dan reaktan dalam proses yang
menghasilkan pelarut, plastik, serat sintetis, pemutih, perekat, pelapis, herbisida,
pewarna, tinta, dan kegiatan farmasi yang berkaitan dengan aspirin.
Kaustik soda, sebagai larutan 50%, merupakan cairan yang tidak berbau
dan tidak berwarna. Pada semua bentuk, kaustik soda sangat korosif dan reaktif.
Larutan kaustik soda bereaksi dengan logam seperti aluminium, magnesium,
seng, timah, kromium, perunggu, kuningan, tembaga, dan campuran
mengandung logam-logam ini. Kaustik soda dapat bereaksi dengan kebanyakan
jaringan hewan, termasuk kulit, kulit manusia, dan mata (Anonimb 2009).
Karakteristik larutan kaustik soda disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik larutan kaustik soda 50%
Boiling Point 289°F (143°C)
Melting Point Mengkristal mulai suhu 54 – 49°F (12 – 15°C)
Solidification Point 41°F (5°C)
Daya larut Larut dalam air, alkohol dan gliserol
Specific Gravity (Air = 1) 1,53 pada suhu 60°F (15,6°C)
pH >14,0 pada suhu 20°C
Sumber: Anonim (2009b) Kaustik soda berfungsi sebagai penetralisir sifat keasaman yang dimiliki
oleh MESA. Bahan ini berbentuk lempengan atau padatan tipis-tipis (flake).
Sebelum direaksikan dengan MESA, flake tersebut harus dilarutkan dengan air.
Jika larutan yang diinginkan berkadar 40% maka perbandingan antara lempengan
kaustik dengan air kurang lebih adalah 40:60 (perbandingan pendekatan).
2.2. Surfaktan
Surfaktan (surface active agent) merupakan senyawa organik yang dalam molekulnya memiliki sedikitnya satu gugus hidrofilik dan satu gugus hidrofobik. Apabila ditambahkan ke suatu cairan pada konsentrasi rendah, maka dapat mengubah karakteristik tegangan permukaan dan antarmuka cairan tersebut. Antarmuka adalah bagian dimana dua fasa saling bertemu/kontak. Permukaan yaitu antarmuka dimana satu fasa kontak dengan gas, biasanya udara (Shaw 1980).
Surfaktan memiliki kecenderungan terabsorpsi pada permukaan atau antar muka sistem, sehingga dapat mempengaruhi energi bebas permukaan antarmuka sistem, seperti pada permukaan campuran minyak dan air yang tidak saling campur tetapi terpisah karena perbedaan berat jenis. Bagian kepala bersifat yang hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang sangat polar, sedangkan bagian ekor yang bersifat hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation atau nonion, sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi yang beragam di industri (Hui 1996; Hasenhuettl 1997).
Surfaktan sebagai bahan aktif dalam deterjen memiliki fungsi tertentu dalam proses pencucian. Surfaktan berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan, berperan dalam peristiwa adsoprsi, pembentukan micelle dan deterjensi.
1. Penurunan Tegangan Permukaan
Menurut Hargreaves (2003), tegangan permukaan merupakan gaya yang terjadi di antara molekul dalam cairan. Setiap molekul dalam cairan mengalami gaya dalam tiga dimensi (arah) dari molekul tetangga. Molekul yang berada di permukaan cairan mengalami defisiensi di posisi atas, tetapi kuat di tiga arah lainnya seperti diilustrasikan pada gambar di bawah ini. Gambar 1 menyajikan interaksi antar molekul air yang menyebabkan terjadinya tegangan permukaan.
Gambar 1. Molekul air ditarik oleh molekul air yang lain dengan kekuatan yang sama dalam tiga arah (Hargreaves 2003)
Sebagian besar surfaktan, pada tingkat 0.1%, akan mengurangi tegangan
permukaan air dari 72 menjadi 32 mN m-1 (dyne cm-1). Hal ini terjadi karena
molekul-molekul dalam sebagian besar cairan saling tertarik satu sama lain oleh
gaya van der Walls yang menggantikan ikatan hidrogen air (Hargreaves 2003).
Surfaktan digunakan untuk menurunkan tegangan permukaan media cair (Cooper
dan Zajic 1980). Hal ini disebabkan oleh kehadiran gugus hidrofilik dan
hidrofobik dalam satu molekul yang menyebabkan surfaktan cenderung berada
pada antar fasa yang berbeda tingkat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak
dengan air atau udara dengan air. Pembentukan film pada antar muka ini dapat
menurunkan energi antar muka dan menyebabkan sifat-sifat khas molekul
surfaktan (Georgeiou et al. 1992).
2. Adsorpsi
Ketika molekul surfaktan berada di dalam air, gugus hidrofilik ditarik
menuju molekul air (molekul polar ditarik molekul polar yang lain). Kondisi
kontradiktif terjadi karena molekul surfaktan lebih memilih berada dalam
permukaan cairan dimana orientasi gugus lipofilik jauh dari air. Efek molekul
pada permukaan dikenal sebagai adsorpsi dan menjadi dasar untuk mengetahui
perilaku molekul surfaktan. Akibat dari mekanisme ini adalah efek terhadap
tegangan permukaan dapat terjadi dalam waktu singkat (Hargreaves 2003).
Bagian hidrokarbon dari molekul surfaktan berperan dalam kelarutan dalam
minyak karena kelompok ionik (polar) memiliki afinitas terhadap air untuk
menarik rantai hidrokarbon nonpolar ke dalam larutan. Hal ini terjadi dalam
rentang waktu yang lebih lama, didorong oleh hidrasi dari kelompok kepala
hidrofilik. Kontribusi kecil juga diperoleh dari gaya van der Waals yang terjadi
sepanjang ekor lipofilik (Durbut 1999).
3. Pembentukan Micelle
Pada konsentrasi yang cukup tinggi, molekul-molekul surfaktan akan beragregat membentuk sebuah struktur melingkar yang disebut micelle, sedangkan gugus hidrofilik berorientasi keluar micelle. Agregasi molekul surfaktan didorong oleh adanya gaya van der Waals yang terjadi sepanjang ekor lipofilik dan gaya tolak ionik dari gugus hidrofilik. Ilustrasi pembentukan micelle dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Ilustrasi pembentukan micelle (Hargreaves 2003)
Pada kondisi tersebut konsentrasi surfaktan disebut dengan critical micelle concentration (CMC). Pada konsentrasi surfaktan dibawah CMC, tegangan permukaan dan antar muka turun dengan meningkatnya konsentrasi, namun pada saat konsentrasi mencapai taraf CMC atau lebih tinggi dari itu, tidak terjadi penurunan tegangan permukaan dan antar muka atau penurunannya sangat rendah (Schueller dan Romanousky 1998).
4. Deterjensi
Deterjensi adalah proses penghilangan kotoran dari suatu permukaan.
Adapun hal-hal yang harus menjadi perhatian dalam proses ini, antara lain: sifat
alamiah kotoran, substrat atau permukaan dimana kotoran menempel, proses yang
dilibatkan dalam penghilangan kotoran, jenis air yang digunakan dan juga suhu.
Proses pencucian yang efektif harus menunjukkan fungsi-fungsi dasar selama
proses penghilangan kotoran, antara lain netralisasi komponen-komponen kotoran
yang bersifat asam, emulsifikasi minyak dan lemak, deflokulasi partikel kotoran,
pengendapan kotoran dan pencegahan proses redeposisi (Anonim 2009a).
Bagaimana deterjen bekerja merupakan kajian yang kompleks karena
melibatkan banyak fungsi bahan yang berbeda, variasi substrat dan campuran
berbagai jenis pengotor (soiling). Efektifitas dalam menurunkan tegangan
antarmuka antara air, partikel pengotor (soil) dan subtrat (permukaan bahan yang
dicuci) merupakan faktor penting agar proses wetting dapat diperoleh (Hargreaves
2003). Molekul yang diadsorpsi pada tegangan antarmuka air-udara tidak secara
langsung berpengaruh terhadap deterjensi, tetapi membentuk busa yang berperan
sebagai indikator yang menunjukkan deterjen telah digunakan. Surfaktan dengan
konsentrasi tinggi (nilai CMC yang tinggi) akan efektif dalam proses deterjensi
(Hargreaves 2003). Mekanisme pembersihan oleh surfaktan ditunjukkan pada
Gambar 3.
Gambar 3 mengilustrasikan oily soil dihilangkan dari substrat (permukaan
bahan yang dicuci) yang melibatkan molekul surfaktan di dalam air. Pada gambar,
ekor lipofilik ditarik menuju oily soil dan teradsorpsi ke dalamnya dengan kepala
hidrofilik mengarah ke luar menuju air. Oily soil terdispersi ke dalam air dengan
cara yang hampir sama dengan formasi emulsi oil-in-water (O/W). Secara
simultan, molekul surfaktan teradsorbsi menuju permukaan subtrat dengan gugus
hidrofilik mengarah ke air, mencegah oily soil teredeposisi kembali. Ketika
konsentrasi surfaktan dalam jumlah tinggi membentuk misela, sebagian oily soil
dapat dihilangkan dengan cara solubilisasi membentuk busa mikro-emulsi
(Hargreaves 2003).
Gambar 3. Mekanisme pembersihan oleh surfaktan (Hargreaves 2003).
Surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi ke dalam empat kelompok
dasar, yaitu : (a) berbasis minyak lemak, seperti mono gliserida, digliserida, poligliserol ester, fatty alkohol sulfat, fatty alkohol etoksilat, MES, dietanolamida, sukrosa ester, dan sebagainya, (b) berbasis karbohidrat, seperti alkil poliglikosida dan N-metil glukamida, (c) ekstrak bahan alami, seperti lesitin dan saponin, serta (d) biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme, seperti rhamnolipida, sophorolipida, lipopeptida, threhaloslipida dan sebagainya (Flider 2001).
Pada penelitian ini surfaktan yang digunakan adalah methyl ester sulfonic acid (MESA). MESA merupakan produk antara yang dihasilkan selama proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat (MES). Pada proses sulfonasi secara kontinyu, sebelum mencapai kondisi steady state produk yang dihasilkan belum dapat diaplikasikan. Jika kondisi steady state dicapai pada jam ke-6, maka MESA sebelum jam ke-6 akan terbuang dan produk ini disebut MESA off grade. MESA ini di produksi dari metil ester olein. Olein sawit memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku surfaktan di Indonesia. Produk surfaktan yang dihasilkan akan memiliki kelebihan, yaitu lebih ramah lingkungan, tahan terhadap salinitas tinggi dan air sadah.
2.3. Metil Ester Olein
Menurut SNI (1999), metil ester adalah ester yang dibuat melalui proses
esterifikasi asam lemak dengan metil alkohol dan berbentuk cairan. Metil ester
diproduksi melalui proses transesterifikasi menggunakan metanol atau disebut
metanolisis. Proses metanolisis terhadap minyak atau lemak akan menghasilkan
metil ester dan gliserol melaui pemecahan molekul trigliserida.
Metil ester mampu dihasilkan dengan beberapa teknik baik menggunakan
konversi enzimatik maupaun proses kimiawi. Konversi menggunkan proses
biologi digunakan enzim lipase dalam menghasilkan biodiesel. Proses produksi
biodiesel dengan enzim lipase ini disebut sebagai lipase-catalyzed
transesterification (Mittelbach 1990). Secara kimiawi, proses pembuatan
biodiesel bisa dilakukan dengan esterifikasi-transesterifikasi kimiawi (dua tahap)
dan poses transesterifikasi langsung (satu tahap). Proses dua tahap biasanya
dilakukan untuk sumber minyak nabati dengan kadar FFA (free fatty acid) tinggi.
Meher et al. (2006) menyebutkan proses esterifikasi minyak kedelai
menggunakan katalis H2SO4 sebanyak 1% dan rasio molar Sementara itu, tahap
transesterifikasi langsung digunakan jika kandungan FFA sangat kecil (Nimcevic
et al. 2000). Menurut Ma dan Hanna (2001), minyak dengan FFA kurang dari 1%
dapat dikonversi menjadi metil ester menggunakan katalis basa, sedangkan
Ramadhas et al. (2005) dan Sahoo et al. (2007) mensyaratkan FFA kurang dari
2%. Skema diagram produksi biodiesel menurut Gerpen (2005) dapat dilihat pada
Gambar 4.
Pengering
Netralisasi dan pencucian
Penghilangan
metanol
Separator
Metil ester
Reaktor
Biodiesel akhir
Rektifikasi metanol/air
Acidulation dan pemisahan
Penghilangan metanol
Metanol
Minyak
Katalis
Gliserol (50%)
Asam
Air Air cucian
Asam
Asam lemak bebas
Air Penyimpanan metanol
Gambar 4. Diagram alir proses produksi biodiesel
Transesterifikasi merupakan reaksi kimia antara trigliserida dan alkohol
dengan adanya katalis untuk menghasilkan mono-ester atau biodiesel (Sharma dan
Singh 2009). Menurut Ma dan Hanna (2001), sumber alkohol yang digunakan
dapat bermacam-macam. Apabila direaksikan dengan metanol, maka akan didapat
metil ester, apabila direaksikan dengan etanol akan didapat etil ester. Metanol
lebih banyak digunakan sebagai sumber alkohol karena rantainya lebih pendek,
lebih polar dan harganya lebih murah dari alkohol lainnya.
Menurut Hui (1996), transesterifikasi menjadi proses paling efektif untuk
mengkonversi trigliserida (minyak atau lemak) menjadi molekul ester.
Transesterifikasi berfungsi untuk menggantikan gugus alkohol gliserol dengan
alkohol sederhana seperti metanol atau etanol dengan bantuan katalis seperti
sodium metilat, NaOH atau KOH. Menurut Vicente et al. (2004) katalis KOH
memberikan yield metil ester lebih tinggi yaitu sekitar 91,67% dibandingkan
dengan katalis NaOH (85,9%). Darnoko dan Cheryan (2000) telah melakukan
proses transesterifikasi secara kontinyu menggunakan suhu proses 60oC, waktu
proses 1 jam dengan menggunakan katalis KOH 1% (w/w) terlarut dalam metanol
dengan perbandingan rasio mol reaktan antara metanol dengan minyak sebesar 6:1
menghasilkan rendemen sebesar 95%. Jumlah katalis yang diperlukan dalam
proses transesterifikasi adalah sebesar 0,7% sampai dengan 1,5% dan menurut
Leung dan Guo (2006) jumlah katalis KOH yang diperlukan sebanyak 1,1%,
sedangkan katalis NaOH yang diperlukan sebanyak 1,5%. Reaksi transesterifikasi
antara trigliserida minyak nabati menjadi aklil ester atau biodiesel dapat dilihat
pada Gambar 5 (Knothe 2004).
O CH2–O–C–R CH2–OH │ O O │
CH–O–C–R + 3 R’OH 3 R’–O–C–R + CH–OH │ O │
CH2–O–C–R CH2–OH
Trigliserida Alkohol Alkil Ester Gliserol (Minyak Nabati) (Biodiesel)
katalis
Gambar 5. Reaksi transesterifikasi pada proses produksi biodiesel
Secara umum proses fraksinasi minyak sawit dapat menghasilkan 73%
olein, 21% stearin, 5% Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), dan 0,5% limbah.
Olein sawit merupakan fraksi cair yang dihasilkan dari proses fraksinasi minyak
sawit setelah melalui pemurnian. Karakteristik fisik olein sawit bersifat cair pada
suhu ruang, berbeda dengan stearin sawit yang bersifat padat pada suhu ruang.
Komposisi asam lemak beberapa produk sawit ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit
Asam Lemak Jenis Bahan
CPO a) PKO b) Olein c) Stearin c) PFAD d)
Laurat (C12:0) < 1,2 40 – 52 0.1 – 0.5 0.1 – 0.6 0.1 – 0.3
Miristat (C14:0) 0.5 – 5.9 14 – 18 0.9 – 1.4 1.1 – 1.9 0.9 – 1.5
Palmitat (C16:0) 32 – 59 7 – 9 37.9 – 41.7 47.2 – 73.8 42.9 – 51.0
Palmitoleat (C16:1) < 0.6 0,1 – 1 0.1 – 0.4 0.05 – 0.2 -
Stearat (18:0) 1.5 – 8 1 – 3 4.0 – 4.8 4.4 – 5.6 4.1 – 4.9
Oleat (18:1) 27 – 52 11 – 19 40.7 – 43.9 15.6 – 37.0 32.8-39.8
Linoleat (C18:2) 5.0 – 14 0.5 – 2 10.4 – 13.4 3.2 – 9.8 8.6-11.3
Linolenat (C18:3) < 1.5 0.1 – 0.6 0.1 – 0.6
Arachidonat (C20:0) 0.2 – 0.5 0.1 – 0.6
Sumber : a) Godin dan Spensley (1971) dalam Salunkhe et al. (1992). b) Swern (1979). c) Basiron (1996). d) Hui (1996).
Dari Tabel 7 menunjukkan bahwa olein sawit lebih didominasi oleh C18 dan
C16. Metil ester asam lemak C16 merupakan salah satu bahan baku pembuatan
surfaktan dengan nilai tambah yang tinggi. Diketahui bahwa surfaktan dari C16
mempunyai daya detergensi yang tinggi. Biodiesel dari minyak sawit memiliki
kandungan fraksi metil ester palmitat (C16:0) dan metil ester oleat (C18:1) paling
dominan masing-masing sekitar 40-47% dan 36-44% (Knothe 2008). Komponen
ini sangat baik apabila digunakan secara spesifik untuk produk turunan
berikutnya.
Panjang rantai dan letak ikatan rangkap menentukan sifat fisik baik asam
lemak maupun trigliserida itu sendiri. Distribusi asam lemak jenuh (ikatan
tunggal) dan asam lemak tidak jenuh (ikatan rangkap) dalam gliserol dalam
minyak nabati tidak terjadi secara acak, namun ditentukan oleh enzim lipase
selama proses biosintesis pada jaringan tanaman sawit (Mittelbach dan
Remschmidt 2006).
Setiap asam lemak memiliki sifat spesifik meski memiliki jumlah karbon yang sama. Ada tidaknya ikatan rangkap sangat berpengaruh terhadap sifat asam lemak tersebut. Gambar 6 adalah beberapa molekul asam lemak penyusun trigliserida minyak (Cole dan Thompson 2001).
(a) (b) (c)
Gambar 6. Molekul asam lemak
(Asam stearat C18:0 (a); Asam oleat C18:1 (b); Asam linoleat C18:2 (c))
Ketiga asam lemak diatas memiliki jumlah atom karbon yang sama yaitu 18 atom. Hal yang membedakan adalah ketidakjenuhan dilihat dari ada tidaknya ikatan rangkap. Asam stearat tidak memiliki ikatan rangkap dan disebut sebagai molekul asam lemak jenuh. Berbeda dengan asam lemak stearat, asam lemak oleat memiliki 1 ikatan rangkap cis dan asam linoleat memiliki 2 ikatan rangkap cis. Ikatan ini mempengaruhi struktur dan titik beku. Ketaren (1996), menyebutkan bahwa panjang rantai dan kejenuhan molekul minyak dan lemak mempengaruhi sifat fisiko kimia secara keseluruhan meliputi densitas, bilangan iod, bilangan penyabunan, bilangan asam, titik didih, titik nyala, titik beku, dan sifat yang lainnya.
Menurut Watkins (2001), surfaktan MES dengan bahan baku dominan metil
ester palmitat memiliki sifat deterjensi yang sangat baik. Sementara itu Knothe
(2008) juga menyebutkan bahwa biodiesel yang memiliki kandungan metil ester
1 ikatan rangkap cis
2 ikatan rangkap cis
oleat (C18:1) dominan sangat baik apabila digunakan sebagai bahan bakar.
Karakteristik melting point metil ester oleat pada suhu -20oC cocok untuk
pemanfaatan bahan bakar pada suhu rendah. Viskositas kinematik C18:1 meningkat
dari 4,51 mm2/s pada suhu 40oC menjadi 21,33 mm2/s pada suhu -10oC. Selain itu
juga C18:1 sebagai bahan bakar yang menghasilkan emisi NOx paling kecil
dibandingkan metil ester lainya. Salah satu pendekatan yang dapat diaplikasikan
untuk mendapatkan metil ester olein dominan C16 antara lain melalui fraksinasi
metil ester olein.
Teknologi fraksinasi merupakan salah satu teknik dalam pemisahan
komponen melalui perbedaan titik didih. Teknologi Fraksinasi juga umum dikenal
dengan istilah distilasi. Distilasi pada suhu rendah memiliki keuntungan yaitu
mencegah pembentukan produk polimer, mencegah kerusakan produk,
menghasilkan rendemen yang tinggi, menghasilkan produk dengan kemurnian
yang tinggi dan dapat diaplikasikan pada kapasitas yang besar (Lee et al. 2004).
Melalui aplikasi teknologi tersebut maka dapat memperbaiki karakteristik metil
ester, terutama sebagai bahan baku surfaktan.
2.4. Methyl Ester Olein Sulfonic Acid (MESA)
Surfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah MESA yang
merupakan produk antara yang dihasilkan selama proses sulfonasi untuk
menghasilkan metil ester sulfonat (MES). MES merupakan surfaktan anionik
yang sejak tahun 1990an mulai digunakan sebagai bahan baku dalam industri
detergen bubuk. Surfaktan ini termasuk ke dalam kelompok surfaktan anionik.
Surfaktan anionik adalah senyawa yang bermuatan negatif dalam bagian aktif
permukaan (surface-active) atau pusat hidrofiliknya (misalnya RCOO-Na, R
adalah fatty hydrophobe). Surfaktan ini memiliki sifat dispersi yang paling baik
dan dalam bentuk larutan dapat mengalami ionisasi. MESA yang digunakan pada
penelitian ini dibuat dari metil ester olein dan metil ester olein dominan C16 hasil
fraksinasi. Struktur kimia MESA dari metil ester olein dominan C16 ditunjukkan
pada Gambar 7.
CH3 – (CH2)13 – CH – COOCH3
SO3H
Gambar 7. Struktur kimia MESA dari metil ester olein dominan C16
Proses sulfonasi menghasilkan produk turunan yang terbentuk melalui
reaksi kelompok sulfat dengan minyak, asam lemak (fatty acid), ester, dan alkohol
lemak (fatty alcohol). Jenis minyak yang biasanya disulfonasi adalah minyak
yang mengandung ikatan rangkap ataupun grup hidroksil pada molekulnya. Bahan
baku minyak yang digunakan pada industri adalah minyak berwujud cair yang
kaya akan ikatan rangkap (Bernardini 1983). Distribusi asam lemak yang
beragam dan tingginya komponen asam lemak tidak jenuh, yaitu oleat sekitar
25,19%, menyebabkan tingginya peluang SO3 melekat pada ikatan rangkap ME.
Berger (2009) menyebutkan surfaktan yang paling sesuai untuk aplikasi EOR
adalah surfaktan anionik yang diturunkan dari asam lemak tidak jenuh, karena
efektif dalam menurunkan tegangan antarmuka dan tahan terhadap suhu dan
salinitas tinggi serta mempunyai kemampuan adsorpsi yang tinggi pada batuan
reservoir.
Proses sulfonasi dapat dilakukan dengan mereaksikan asam sulfat, sulfit,
NaHSO3, atau gas SO3 dengan ester asam lemak (Bernardini, 1983; Watkins
2001). Reaksi sulfonasi menggunakan gas SO3 merupakan reaksi yang paling
efektif dibandingkan dengan menggunakan reagen sulfonasi lainnya. Metode
sulfonasi dengan menggunakan SO3 merupakan proses yang sedang menjadi
fokus perhatian saat ini. Hal ini disebabkan karena penggunaan SO3 sebagai agen
sulfonasi menghasilkakn reaksi sulfonasi yang zero waste. Gas SO3 yang
dimasukkan ke dalam sistem reaksi akan bergabung dengan molekul alkil ester
menjadi alkil ester sufonat, sedangkan sisa gas SO3 yang tidak bergabung akan
dikembalikan lagi ke dalam sistem reaksi melalui mekanisme loop (Foster 1996).
Reaksi sulfonasi untuk pembuatan MES dapat dilihat pada Gambar 8.
O
Metil ester sulfonat
SO2OSulfur trioksida Metil ester
OCH3 Rn-SO3 Rn C C C OCH+
Gambar 8. Reaksi sulfonasi untuk pembuatan MES (Watkins 2001)
Reaksi sulfonasi molekul asam lemak dapat terjadi pada tiga sisi yaitu (1)
gugus karboksil; (2) bagian α-atom karbon; (3) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap)
(Gambar 9).
Gambar 9. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi
(Jungermann 1979)
Menurut Stein dan Bumann (1975), suhu dan rasio mol reaktan merupakan
faktor penting dalam proses sulfonasi dimana peningkatan suhu dapat
mempercepat laju reaksi dengan meningkatkan jumlah fraksi molekul yang
mencapai energi aktivasi, sementara rasio mol reaktan harus dikendalikan dalam
proses sulfonasi karena kelebihan reaktan (SO3) akan menyebabkan pembentukan
produk samping.
Kajian sulfonasi minyak nabati untuk menghasilkan surfaktan MES telah di
lakukan oleh beberapa peneliti. Pore (1976) melakukan reaksi sulfonasi alkil α-
sulfopalmitat dengan menggunakan natrium bisulfit pada suhu antara 60 – 100oC
dengan waktu reaksi 3 sampai 6 jam tanpa pemurnian menghasilkan tegangan
permukaan 40,2 mN/m dan 9,7 mN/m.
Sheats dan MacArthur (2002) mengkaji pengaruh suhu dan rasio mol
reaktan dalam proses sulfonasi untuk menghasilkan MES dengan mereaksikan gas
SO3 dan metil ester dalam tubullar falling film reactor pada perbandingan reaktan
gas SO3 dan metil ester 1,2:1 hingga 1,3:1 pada suhu 50 – 60oC. Proses sulfonasi
menggunakan Falling Film Reactor (FFR) dengan laju sekitar 0,1 kg mol per jam.
Suhu masuk gas SO3 ke dalam reaktor adalah 42oC dan suhu masuk untuk metil
ester sekitar 40 – 56oC.
Baker (1993) melakukan proses sulfonasi dengan mereaksikan alkil ester
dan gas SO3 dalam falling film reactor, dengan perbandingan reaktan antara SO3
dan alkil ester yaitu 1,1:1 hingga 1,4:1, pada suhu 75 – 79oC selama 20 – 90
menit.
Smith dan Stirton (1967) mensulfonasi metil, etil dan isopropil ester asam
palmitat dan stearat secara langsung melalui penambahan SO3 cair pada rasio
molar 2,4 : 1 pada suhu 60oC dan mereesterifikasi menggunakan metil, etil atau
isopropil alkohol sebelum netralisai untuk meningkatkan rendemen alpha sulfo
fatty acid hingga 70 – 80% dan menurunkan produk samping disodium sulfofatty
acid (disalt). Sulfonasi ester dimulai dengan pembentukan komplek SO3 dengan
eter. Pembentukan komplek ini mengaktifkan atom H pada posisi alpha. Kondisi
sulfonasi terbaik untuk menghasilkan produk sulfonat menggunakan bahan baku
metil stearat yaitu pelarut CCL4 1 g, suhu sulfonasi 60 oC, selama 1 jam dan
meresterifikasi menggunakan 40 ml alkohol selama 4 jam produk yang dihasilkan
terdiri dari 90% sodium alpha sulfonat dan 1% garam disodium.
Mujdalipah (2010) melakukan kajian terhadap proses produksi Methyl Ester
Sulfonic Acid dari metil ester olein dengan kodisi proses sulfonasi terbaik
menggunakan STFR slaka 5 L pada suhu proses sulfonasi 90oC dan lama proses
sulfonasi 90 menit. Kondisi ini menhasilkan MESA yang memiliki karakteristik
kadar air 0,49%, pH 2,66, bilangan asam 24,88 ml NaOH/g sampel, kadar bahan
aktif 31,44%, dan bilangan iod 11,95 mg I/ g sampel. MESA yang dihasilkan
memiliki kinerja menurunkan tegangan permukaan air dari 65,22 dyne/cm
menjadi 37,08 dyne/cm serta menurunkan IFT antara minyak dan air formasi dari
30 dyne/cm menjadi 2,99 dyne/cm atau menurunkan IFT air – minyak sebesar
90,03%.
Susi (2010) melakukan kajian terhadap proses aging pasca sulfonasi metil
ester olein sawit menggunakan Singletube Falling Film Reactor (STFR) dan
pengaruhnya terhadap karakteristik MESA dengan kondisi proses sulfonasi
terbaik yaitu kontak gas SO3 dan metil ester olein dilakukan pada laju alir 50
ml/menit suhu input 100⁰ C, MESA diakumulasikan pada proses sulfonasi 2-3
jam serta suhu aging 80⁰ C selama 60 menit. Kondisi proses ini menghasilkan
MESA yang memiliki karakteristik bahan aktif 23,04%, viskositas 96,5 cP, pH
0,76, bilangan iod 21,09 mg I/g sampel, bilangan asam 14,02 mg KOH/g, warna
(Klett) 630, emulsi 85,45% dan stabil selama 10,53 menit.
Proses sulfonasi akan menghasilkan produk berwarna gelap, sehingga
dibutuhkan proses pemurnian, meliputi pemucatan dan netralisasi (Watkins 2001).
Oleh karena itu diperlukan tahap pemurnian. Pemurnian bertujuan untuk
mengurangi warna gelap akibat terbentuknya komponen warna dan menghasilkan
MES yang memiliki daya kinerja yang lebih baik. Sherry et al. (1995) melakukan
proses pemurnian palm C16 – 18 kalium metil ester sulfonat (KMES) yang diteliti
tanpa proses pemucatan. Pemurnian produk dilakukan dengan mencampurkan
ester sulfonat dengan 10 – 15 persen metanol di dalam digester dan dilanjutkan
dengan proses netralisani berupa penambahan 50% KOH.
Menurut Matheson (1996), MES memperlihatkan karakteristik dispersi yang
baik, sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang
tinggi (hard water), ester asam lemak C14, C16 dan C18 memberikan tingkat
deterjensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability).
Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa
kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya
deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas
enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium dan
kandungan garam (di-salt) lebih rendah. Karakteristik MES dari berbagai bahan
baku dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Karakteristik surfaktan metil ester sulfonat (MES)
Karakteristik Metil Ester
C12 – C14 C16 C18 Lemak Tallow
Rendemen MES (%b/b) 70,7 80,3 78,4 77,9 Disodium karboksi sulfonat (di-salt) (b/b) 2,1 5,5 4,8 4,74,7 Metanol (%b/b) 0,46 0,18 0,23 0,22 Hidrogen peroksida (%b/b) 0,10 0,04 0,02 0,02 Air (%b/b) 14,0 0,7 1,8 1,6 Petroleum ether extractables (PEX) (%b/b)
2,6 3,2 3,9 2,8
Sodium karboksilat (%b/b) 0,16 0,29 0,29 0,29 Sodium sulfat (%b/b) 1,99 2,07 2,83 2,85 Sodium metil sulfat (%) 8,0 7,7 7,8 9,5 pH 5,0 5,6 5,6 4,3
Klett color 5% aktif 11 35 79 168 Sumber: MacArthur et al. (2002)
2.5. Kajian Analisis Finansial
Aspek finansial adalah suatu analisis yang membandingkan antara biaya dan
manfaat untuk menentukan apakah suatu proyek akan menguntungkan selama
umur proyek (Husnan dan Suwarsono 2000). Menurut Kasmir dan Jakfar (2006),
penelitian dalam aspek finansial dilakukan untuk menilai biaya-biaya yang akan
dikeluarkan dan meneliti seberapa besar pendapatan yang akan diterima jika
proyek dijalankan. Menurut Umar (2005), tujuan menganalisis aspek keuangan
dari studi kelayakan proyek bisnis adalah untuk menentukan rencana investasi
melalui perhitungan biaya dan manfaat yangdiharapkan dengan membandingkan
antara pengeluaran dan pendapatan, serta ketersediaan dana, biaya modal,
kemampuan proyek untuk membayar kembali dana tersebut dalam waktu yang
telah ditentukan dan menilai apakah proyek akan dapat berkembang terus.
Ditambahkan pula oleh Suratman (2002) bahwa aspek keuangan berkaitan dengan
bagaimana menentukan kebutuhan jumlah dana dan pengalokasianya serta
mencari sumber dana yang efisien, sehingga memberikan tingkat keuntungan
yang menjanjikan bagi investor. Tingkat keuntungan yang menjanjikan bagi
investor adalah tingkat keuntungan yang diukur berdasarkan kas bukan
berdasarkan laba akuntansi.
Evaluasi aspek finansial dilakukan untuk memperkirakan jumlah dana yang
diperlukan. Selain itu juga dipelajari struktur pembiayaan serta sumber dana yang
menguntungkan (Djamin 1984). Dari aspek finansial dapat diperoleh gambaran
tentang struktur pemodalan bagi perusahaan yang mencakup seluruh kebutuhan
modal untuk dapat melaksanakan aktivitas mulai dari perencanaan sampai pabrik
beroperasi. Secara umum, biaya dikelompokkan menjadi biaya investasi dan biaya
modal kerja. Kemudian dilakukan penilaian aliran dana yang diperlukan dan
kapan dana tersebut dapat dikembalikan sesuai dengan jumlah waktu yang
ditetapkan, serta apakah proyek tersebut menguntungkan atau tidak ( Edris 1993).
Penentuaan apakah suatu proyek investasi dikatakan layak diperlukan
teknik-teknik kriteria penilaian investasi yang didasarkan pada aliran kas proyek
yang bersangkutan. Pada umumnya metode yang biasa digunakan dalam
penentuan kriteria investasi adalah Payback Period, Net Present Value, Internal
Rate of Return, dan Profitability Index, serta Break Even Point (Umar 2005).
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - September 2011 di laboratorium SBRC Institut Pertanian Bogor dan PT Mahkota Indonesia. 3.2. Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metil ester olein, gas SO3, dan NaOH. Bahan kimia yang digunakan untuk analisa antara lain KOH, H2SO4 95%, metanol, HCl, phenolphtalein, Na2SO4, pati, air suling (aquades), sikloheksan, asam asetat glasial 96%, kalium iodida, Na2S2O3, K2Cr2O7, larutan Wijs, toluen, kloroform, petroleum eter, indikator metilene blue, dan Cetyltrimethylammonium Bromide (CTAB) dan xylen.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini merupakan peralatan proses dan peralatan analisa. Alat proses yang digunakan adalah reaktor sulfonasi STFR (Single Tube Falling Film Reactor) dan hotplate stirrer. Peralatan analisa yang digunakan antara lain yaitu viscometer brookfield, tensiometer Du Nouy, blender, pH meter, timbangan analitik, sudip, gelas kimia 100 ml, gelas kimia 300 ml, gelas kimia 500 ml, gelas kimia 1000 ml, erlenmeyer 500 ml, erlenmeyer 1000 ml, pipet 1 ml, pipet 5 ml, pipet 10 ml, pipet 25 ml, gelas arloji, pengaduk gelas, botol sampel, jirigen 5 L, jirigen 20 L.
3.3. Metode Penelitian
Tahapan proses yang dilakukan pada penelitian ini yaitu persiapan fraksinasi metil ester olein dominan C16, analisis sifat fisikokimia bahan baku sulfonasi, proses produksi Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA), analisis sifat fisikokimia Methyl Ester Sulfonic Acid yang dihasilkan, proses pembuatan heavy duty cleaner dan analisis sifat fisik serta kinerja heavy duty cleaner yang dihasilkan.
3.3.1. Persiapan Fraksinasi Metil Ester Olein Dominan C16
Proses fraksinasi metil ester dilakukan menggunakan fractional distillation
system. Kondisi prosesnya menggunakan tekanan 37,5 mmHg dan suhu 235oC
selama 12 jam. Prosedur pengoperasian alat fraksinasi yaitu memasukkan sampel
metil ester ke dalam boiling vessel melalui iinput valve, kemudian semua valve
ditutup. Setelah itu pompa vakum dijalankan dan boilling vessel dipanaskan
menggunakan burner yang dihubungkan dengan tabung gas sampai suhu yang
diinginkan tercapai. Setelah suhu terccapai, valve reflux dibuka beberapa saat
untuk menstabilkan proses dan meningkatkan kemurnian produk. Tahapan
selanjutnya valve reflux ditutup dan valve menuju tangki penampung dibuka, serta
sirkulasi air dijalankan untuk mendinginkan reflux.
3.3.2. Analisis Sifat Fisikokimia Metil Ester Olein
Tahapan ini dilakukan untuk mengetahui sifat fisikokimia dari metil ester
minyak kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan baku. Analisis meliputi
densitas, viskositas, bilangan iod, bilangan asam, bilangan penyabunan dan
komposisi asam lemak. Prosedur analisis metil ester olein dapat dilihat pada
Lampiran 1.
3.3.3. Proses Produksi dan Analisis Sifat Fisikokimia Methyl Ester Sulfonic
Acid
Proses produksi MESA dilakukan melalui proses sulfonasi dengan
menggunakan Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Terdapat tiga reaksi
yang terjadi dalam reaktor, yaitu: kontak antara fase gas dan liquid, penyerapan
gas SO3 dari fase gas dan reaksi dalam fase liquid. Metil ester dipompakan ke
head reactor, masuk ke liquid chamber dan mengalir turun membentuk liquid film
dengan ketebalan tertentu yang dibentuk oleh corong head. Diagram alir
pengolahan metil ester olein menjadi MESA dapat dilihat pada Lampiran 2.
Kondisi proses produksi MESA menggunakan laju alir umpan 50 ml/menit,
gas SO3 1/4 valve dan akumulasi MESA selama 1 jam pada sulfonasi 2 – 3 jam,
kemudian di aging pada suhu 80oC selama 60 menit. MESA yang dihasilkan
dianalisis sifat fisikokimianya meliputi tegangan permukaan, densitas dan
viskositas. Prosedur analisis methyl ester sulfonic acid (MESA) dapat dilihat pada
Lampiran 3.
3.3.4. Proses pembuatan dan Analisis Sifat Fisik dan Kinerja Heavy Duty
Cleaner
Pada penelitian ini faktor perlakuan yang diujikan adalah jenis MESA dan
konsentrasi NaOH. Jenis MESA yang digunakan yaitu MESA olein off grade,
MESA olein steady state, MESA olein dominan C16 off grade dan MESA olein
dominan C16 steady state dan konsentrasi NaOH yang digunakan yaitu 35%,
40%, 45% dan 50%. Proses pembuatan heavy duty cleaner dilakukan dengan
mencampurkan bahan-bahan penyusunnya hingga homogen dan mencapai pH 7.
Proses pertama yang dilakukan dalam pembuatan heavy duty cleaner adalah
membuat larutan NaOH sesuai konsentrasi yang ditentukan. Larutan NaOH yang
telah dibuat ditambahkan ke dalam surfaktan pada suhu 60 – 80oC sambil
dilakukan pengadukan. Diagram alir proses formulasi heavy duty cleaner dapat
dilihat pada Gambar 10.
Heavy duty cleaner yang dihasilkan dianalisis sifat fisiknya meliputi
stabilitas emulsi dan kinerja heavy duty cleaner yang meliputi daya pembusaan,
stabilitas busa, daya cuci. Setelah itu dibandingkan dengan produk yang ada di
pasaran dengan parameter sifat fisik dan kinerja yang sama. Prosedur analisis
heavy duty cleaner dapat dilihat pada Lampiran 4.
3.4. Rancangan Percobaan
Dalam proses produksi heavy duty cleaner menggunakan Rancangan Acak
Lengkap Faktorial (RAL). Faktorial dengan 2 perlakuan yaitu jenis surfaktan
MESA dan konsentrasi NaOH.
NaOH
Homogenasi
Air
NaOH 35%, 40%, 45% dan 50%
MESA
Homogenasi
Heavy Duty Cleaner
Gambar 10. Diagram alir proses pembuatan heavy duty cleaner
Jenis surfaktan MESA terdiri dari 4 taraf, yaitu:
M1 : MESA olein off grade
M2 : MESA olein steady state
M3 : MESA olein dominan C16 off grade
M4 : MESA olein dominan C16 steady state
Konsentrasi NaOH terdiri dari 4 taraf , yaitu:
N1 : 35%
N2 : 40%
N3 : 45%
N4 : 50%
Percobaan dilakukan 2 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis
menggunakan Anova, untuk mengetahui perbedaan perlakuan dilakuan uji Jarak
Berganda menurut Duncan pada taraf 5%.
Model rancangan percobaannya adalah sebagai berikut:
Yijk = µ + Mi + Nj + MNij + εijk
Yij = Variabel respon percobaan karena pengaruh jenis MESA taraf ke-i,
konsentrasi NaOH taraf ke-j dan ulangan ke-k dengan i = 1, 2, 3, 4; j =
1, 2, 3, 4 dan k = 1, 2
µ = Pengaruh rata-rata yang sebenarnya
Mi = Pengaruh jenis MESA pada taraf ke-i
Nj = Pengaruh konsentrasi NaOH pada taraf ke-j
MNij = Interaksi antara jenis MESA dan konsentrasi NaOH
εijk = Pengaruh galat dari faktor M taraf ke-i, faktor N taraf ke-j dan ulangan
ke-k
3.5. Analisis Finansial
Kajian analisis ini dilakukan untuk menduga kelayakan dari desain proses
produksi pada industri. Langkah pertama yang perlu dilakukan yaitu pengamatan
terhadap keseluruhan tahapan simulasi proses. Prosedur untuk menentukan
simulasi proses meliputi penentuan bahan yang digunakan, penentuan kapasitas
produksi, pemilihan unit operasi yang sesuai, serta penentuan kondisi input yang
diinginkan (temperatur, waktu, formula dan kondisi lainnya).
Menurut Gray et al. (1993), dalam rangka mencari ukuran yang menyeluruh
sebagai dasar penerimaan atau penolakan atas pengurutan suatu proyek, telah
dikembangkan berbagai cara yang dinamakan kriteria investasi. Metode penilaian
yang digunakan untuk menentukan kelayakan investasi ini meliputi: net present
value, internal rate of return, benefit cost ratio, break even point, pay back
period.
1. Net Present Value (NPV)
Menurut Soeharto (1999), NPV didasarkan pada konsep mendiskonto
seluruh aliran kas masuk dan keluar selama umur proyek (investasi) ke nilai
sekarang, kemudian menghitung angka neto maka akan diketahui selisihnya
dengan memakai dasar yang sama yaitu harga pasar (saat ini). Rumus NPV yaitu
sebagai berikut.
Keterangan
(C)t = aliran kas masuk tahun ke-t
(Co)t = aliran kas keluar tahun ke-t
n = umur unit usaha hasil investasi
i = arus pengembalian (rate of return)
t = waktu
Indikasinya,
NPV = positif, usulan dapat diterima, semakin tinggi nilai NPV maka
semakin baik
NPV = negatif, usulan ditolak
NPV = 0 berarti netral
2. Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return (IRR) adalah arus pengembalian yang menghasilkan
NPV aliran kas masuk=aliran kas keluar. Untuk IRR ditentukan terlebih dahulu
NPV=0, kemudian dicari berapa besar arus pengembalian (diskonto) (i) agar hal
tersebut terjadi. Rumus IRR yaitu sebagai berikut.
Keterangan
(C)t = aliran kas masuk tahun ke-t
(Co)t = aliran kas keluar tahun ke-t
i = arus pengembalian (diskonto)
n = tahun
Indikasinya,
IRR > arus pengembalian (i) yang diinginkan (required rate of return),
maka diterima
IRR < arus pengembalian (i) yang diinginkan (required rate of return),
maka ditolak.
3. Benefit/Cost Ratio (B/C Ratio )
Menurut Soeharto (1999), Benefit/cost ratio adalah perbandingan manfaat
terhadap biaya. Pada proyek-proyek swasta benefit umumnya berupa pendapatan
minus biaya di luar biaya pertama (misalnya untuk produksi dan operasi. Rumus
B/C ratio yaitu sebagai berikut.
keterangan
B/C ratio = Benefit cost ratio
R = Nilai sekarang pendapatan
(C)op = Nilai sekarang biaya (di luar biaya pertama)
Cf = Biaya pertama
Indikasinya,
B/C ratio > 1 usulan diterima
B/C ratio < 1 usulan ditolak
B/C ratio = 1 netral
4. Pay Back Period (PBP)
Pay Back Period menurut Soeharto (1999) adalah jangka waktu yang
digunakan untuk mengembalikan modal investasi, dihitung dari aliran kas bersih.
Aliran kas bersih sendiri adalah selisih pendapatan dikurangi pengeluaran
pertahun. Bila aliran kas tiap tahunnya berubah-ubah maka rumusnya sebagai
berikut:
Keterangan
Cf = Biaya pertama
An = Aliran kas pada tahun n
n = Tahun pengembalian ditambah 1
5. Break even point (BEP)
Menurut Ibrahim (2003), Break even point adalah titik pulang pokok dimana
total revenue sama dengan total cost. Semakin besar keuntungan yang diterima
maka semakin cepat waktu pengembalianya. Rumus untuk menghitung BEP yaitu
sebagai berikut.
Keterangan
a : biaya tetap
b : biaya variabel per unit
p : harga per unit
q : jumlah produksi
BEP (jumlah produksi) =
BEP (rupiah) =
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Persiapan Fraksinasi Metil Ester Olein Dominan C16
Kinerja proses fraksinasi terbaik adalah mendapatkan kondisi proses dengan
tekanan paling rendah sehingga suhu proses tidak terlalu tinggi dan produk tidak
mengalami kerusakan karena panas, sehingga didapatkan rendemen metil ester
olein dominan C16 paling tinggi. Selain itu, parameter penting lainnya adalah
diukur dari kemurnian produk yang dihasilkan dari proses fraksinasi ini.
Pemilihan kondisi proses fraksinasi dilakukan melalui pendekatan beberapa
literatur. Knothe (2002) menyebutkan bahwa pada tekanan 747,04 mmHg (996
mbar) titik didih metil ester palmitat adalah 416,5oC. Hasil uji kinerja fraksinasi
dengan menggunakan suhu 250oC, ditemukan polimer yang merupakan biodiesel
rusak akibat pemansasan terlalu tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pemakaian suhu 250oC untuk fraksinasi yang tidak sesuai. Pendekatan lain yang
digunakan adalah menentukan titik didih metil ester palmitat dari asam lemak
palmitat menurut Tabel 9. Alat fractional distillation system dan produk metil
ester dominan C16 dapat dilihat pada Lampiran 5.
Tabel 9. Titik didih asam lemak pada berbagai tekanan
Tekanan
(mmHg)
Titik Didih Asam Lemak
C6:0 C8:0 C10:0 C12:0 C14:0 C16:0 C18:0
1 61,7 87,8 120,3 130,2 149,2 167,4 183,6
2 71,9 97,9 121,13 141,8 161,1 179,0 195,9
4 82,8 109,1 132,7 154,1 173,9 192,2 209,2
8 94,6 121,3 145,5 167,4 187,6 206,1 224,1
16 107,3 134,6 159,4 181,8 202,4 221,5 240,0
32 120,8 149,2 174,6 197,4 218,3 238,4 257,1
64 136,0 165,3 191,3 214,6 236,3 257,1 276,8
128 152,5 183,3 209,8 234,3 257,3 278,7 299,7
256 171,5 203,0 230,6 256,6 281,5 303,6 324,8
512 192,5 225,6 254,9 282,5 309,0 332,6 355,2
760 205,8 239,7 270,0 298,9 326,2 351,5 376,1
Sumber : Gunstone et al. (1994)
Berdasarkan Tabel 9, titik didih asam lemak palmitat dengan tekanan 16-32
mmHg berkisar antara 221,5-238,4oC. Melalui asosiasi dengan kemampuan
vakum alat fraksinasi sebesar 20–31 mmHg, maka dipilih rentang suhu yang
digunakan 225-235oC dengan lama proses 10 dan 12 jam. Setiap satuan running
fraksinasi digunakan 50 l sampel metil ester. Proses fraksinasi ini menghasilkan
dua fraksi metil ester yang memiliki sifat berbeda, yaitu metil ester hasil
fraksinasi (HF) dan metil ester sisa fraksinasi (SF). HF merupakan destillate atau
produk metil ester yang teruapkan pada penggunaan suhu fraksinasi. SF
merupakan metil ester yang tidak teruapkan selama proses fraksinasi karena
memiliki titik didih yang lebih tinggi. Produk fraksinasi metil ester olein dapat
dilihat pada Gambar 11.
(a) (b)
Gambar 11. Produk fraksinasi metil ester olein (Metil ester HF (a); Metil ester SF (b))
Kondisi proses fraksinasi terbaik ditunjukkan dengan kemurnian produk
tertinggi yang diharapkan. Hasil proses fraksinasi yang mampu menghasilkan
fraksi metil ester palmitat (C16:0) terbaik pada suhu 235oC selama 12 jam dengan
kemurnian 80,17 % (b/v). Proses fraksinasi berpengaruh pada perubahan sifat
fisikokimia metil ester. Metil ester hasil fraksinasi (HF) mengalami beberapa
perubahan diantaranya penurunan densitas, penurunan bilangan iod, penurunan
bilangan asam, kadar FFA serta derajat asam.
4.2. Sifat Fisikokimia Metil Ester Olein dan Metil Ester Dominan C16
Metil ester olein dalam penelitian ini digunakan sebagai bahan baku dalam
pembuatan methyl ester sulfonic acid. Metil ester dominan C16 diperoleh dari
proses frakasinasi, yang kemudian diberikan pengujian sifat fisikokimia terhadap
kedua jenis metil ester olein tersebut. Sifat fisikokimia metil ester olein dan metil
ester olein dominan C16 disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Sifat fisikokimia metil ester olein dan metil ester dominan C16
Parameter Metil Ester Olein Metil Ester Dominan C16 Densitas (g/cm3) 0,87 ± 0,001 0,864 ± 0,001 Bilangan Iod (mg Iod/g) 57,14 ± 0,33 26,61 ± 4,59 Bilangan Penyabunan (mg KOH/g) 96,90 ± 0,11 184,33
Bilangan Asam (mg KOH/g) 0,27 ± 0,01 0,12 ± 0,009 FFA (%) 0,12 ± 0,01 0,06 ± 0,004 Komposisi asam lemak (%) Laurat (C12:0) Miristat (C14:0) Palmitat (C16:0) Stearat (C18:0) Oleat (C18:1) Linoleat (C18:2) Linolenat (C18:3) Arachidat (C20:0)
0,21 0,62
29,64 3,20
29,89 11,95 0,24 0,41
-
1,05 80,17 0.41 14,31 4,10
- -
Metil ester olein dominan C16 memiliki nilai densitas lebih rendah
dibandingkan dengan metil ester olein. Nilai densitas yang kecil berakibat pada
nilai viskositas yang rendah juga. Metil ester olein dominan C16 memiliki
viskositas yang lebih cair dibandingkan dengan metil ester olein. Hal ini
disebabkan karena metil ester dominan C16 tersusun oleh komponen Palm Fatty
Acid Distillate (FAME) dengan berat molekul yang lebih rendah. Bahan baku
pembuatan methyl ester sulfonic acid dapat dilihat pada Gambar 12.
Bilangan iod yang dihasilkan dari metil ester olein dominan C16 lebih
rendah dibandingkan dengan metil ester olein. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
metil ester olein dominan C16 lebih didominasi oleh metil ester dengan ikatan
jenuh (ikatan tunggal). Mittelbach (1994) dan Worgette et al. (1998) menyatakan
bahwa bilangan iod merupakan gambaran banyaknya komponen ikatan tidak
jenuh dalam biodiesel. Merurut Ketaren (2008), bilangan iod adalah jumlah (g)
iod yang dapat diikat oleh 100 g lemak. Ikatan rangkap yang terdapat pada asam
lemak yang tidak jenuh akan bereaksi dengan iod atau senyawa-senyawa iod.
Gliserida dengan tingkat ketidakjenuhan yang tinggi, akan mengikat iod dalam
jumlah yang lebih besar.
(a) (b)
Gambar 12. Bahan baku pembuatan Methyl Ester Sulfonic Acid (Metil ester olein (a); Metil ester olein dominan C16 (b))
Bilangan penyabunan adalah jumlah mg KOH yang diperlukan untuk
menyabunkan satu g minyak atau lemak. Apabila sejumlah contoh minyak atau
lemak disabunkan dengan larutan KOH berlebihan dalam alkohol maka KOH
akan bereaksi dengan trigliserida, yaitu tiga molekul KOH bereaksi dengan satu
molekul minyak atau lemak. Larutan alkali yang tertinggal ditentukan dengan
titrasi menggunakan asam, sehingga jumlah alkali yang turut bereaksi dapat
diketahui (Ketaren 2008). Bilangan penyabunan dari metil ester olein dominan C16
memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan metil ester olein yaitu 184,33 mg
KOH/g.
Bilangan asam adalah jumlah mg KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan
asam-asam lemak bebas dari 1 g minyak atau lemak. Bilangan asam dipergunakan
untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak atau
lemak. Nilai bilangan asam untuk metil ester olein dominan C16 lebih rendah
dibandingan bilangan asam metil ester olein. Semakin rendah bilangan asam yang
dihasilkan semakin rendah pula kandungan free fatty acid. Kadar asam lemak
bebas atau free fatty acid (FFA) memperlihatkan penurunan pada metil ester olein
dominan C16 dibandingkan dengan metil ester olein. Rendahnya nilai FFA
diakibatkan karena rendahnya kadar asam lemak bebas dalam metil ester olein
dominan C16.
Kemurnian metil ester palmitat yang terkandung dalam metil ester olein
dominan C16 adalah 80,17% (b/v). Hal ini berarti dalam 100 ml metil ester
terdapat 80,17 g fraksi metil ester palmitat. Nilai ini didapat dari analisis
menggunakan gas kromatografi. Kandungan metil ester dominan palmitat sangat
baik apabila diaplikasikan sebagai bahan baku untuk pembuatan surfaktan MES
khususnya untuk produk pencuci dan pembersih (washing and cleaning product).
Kondisi ini didukung oleh Watkins (2001) yang menyatakan bahwa pemanfaatan
metil ester palmitat (C16) sebagai bahan baku surfaktan akan memberikan sifat
deterjensi paling baik, kemudian diikuti oleh metil ester miristat (C14) dan metil
ester oleat (C18). Komposisi FAME metil ester hasil fraksinasi ditunjukkan pada
Gambar 13.
Gambar 11 menunjukkan hasil analisis gas kromatografi terhadap komposisi
Gambar 13. Grafik komposisi FAME hasil fraksinasi metil ester olein
Kondisi Proses (suhu (oC) - waktu (jam))
Dari Gambar 13 dapat dilihat bahwa metil ester hasil fraksinasi
mengandung metil ester palmitat (C16:0) secara dominan. Pada metil ester hasil
fraksinasi, selain metil ester palmitat terdapat metil ester lain yang mampu terbaca
oleh GC, yaitu metil ester miristat (C14:0), metil ester stearat (C18:0), metil ester
oleat (C18:1), metil ester linoleat (C18:2).
4.3. Sifat Fisikokimia Methyl Ester Sulfonic Acid
Surfaktan methyl ester sulfonic acid pada penelitian ini dibuat sebagai bahan
aktif dalam heavy duty cleaner. Methyl ester sulfonic acid yang digunakan
merupakan hasil sulfonasi metil ester olein tanpa fraksinasi dan hasil fraksinasi
(MESA olein dominan C16). Methyl ester sulfonic acid diproduksi menggunakan
reaktor Singletube falling film dengan tinggi reaktor 6 m dan diameter dalam 25
mm yang dikembangkan oleh Hambali et al. (2009). Gas SO3 sebagai agen
pensulfonasi diperoleh dari PT. Mahkota Indonesia. Gas SO3 yang dihasilkan
memiliki konsentrasi 25 – 26%. Oleh karena itu diperlukan instalasi pensuplai
udara kering untuk mengencerkan gas SO3 menjadi 4 – 7% agar dapat digunakan
dalam proses sulfonasi metil ester. Proses produksi methyl ester sulfonic acid
(MESA) dan produk yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 6.
Pada proses sulfonasi, gas SO3 dialirkan dalam tube, di dinding bagian
dalam reaktor dialirkan metil ester olein dalam bentuk film tipis. Kedua bahan
tersebut mengalir. Kontak antara metil ester olein dan gas SO3 dimulai dari
puncak reaktor dan mengalir membentuk film tipis ke seluruh permukaan
menuruni reaktor. Karakteristik reaktor harus dapat menghasilkan ketebalan film
metil ester yang tepat dan konstan, sehingga kontak dengan gas SO3 terjadi merata
di sepanjang tube. Ketebalan lapisan film harus dijaga konstan sepanjang tube
ketika dilakukan sulfonasi. Apabila film yang terbentuk menebal pada beberapa
tempat dan menipis di tempat lain, metil ester akan mengalir melalui lintasan
tertentu di dalam dinding reaktor. Lapisan film yang menipis pada bagian reaktor
dapat mengering dan terbentuk kerak. Pembentukan kerak menyebabkan MESA
tidak dapat dikeluarkan dan dapat pula menghambat aliran bahan baku. Tahapan
reaksi pembentukan MESA pada sulfonasi metil ester (MacArthur et al. 1998)
dapat dilihat pada Gambar 14.
O O
R – CH2 – C – OCH3 (I) + SO3 R – CH2 – (C – OCH3): SO3 (II)
O O
R – CH2 – (C – OCH3): SO3 (II) + SO3 R – CH – (C – OCH3): SO3 (III)
SO3H
O O
R – CH – (C – OCH3): SO3 (III) R – CH – C – OCH3 (IV) + SO3
SO3H SO3H
Gambar 14. Tahapan reaksi pembentukan MESA pada sulfonasi metil ester
Absorpsi SO3 oleh metil ester dalam singletube falling film reactor (STFR)
ditunjukkan oleh mekanisme reaksi yang cepat yang membentuk produk
intermediet (II), biasanya dilukiskan sebagai satu sulfonated anhydride.
Sulfonated anhydride dapat bereaksi kembali dengan molekul SO3 kedua melalui
bentuk enol-nya. Molekul sulfonated anhydride yang membawa dua unit SO3,
dapat kehilangan satu unit SO3 yang dapat bereaksi dengan molekul metil ester
lain. Untuk itu perlu digunakan SO3 berlebih. dalam kondisi reaksi yang
setimbang, produk intermediet (II) tersebut akan mengaktifkan gugus alfa (α)
pada rangkaian gugus karbon metil ester sehingga membentuk produk intermediet
(III). Selanjutnya, produk intermediet (III) tersebut mengalami restrukturisasi
dengan melepaskan gugus SO3. Dengan terlepasnya gas SO3 selama proses aging
tersebut, maka terbentuklah methyl ester sulfonic acid (MESA) (IV). SO3 yang
dilepaskan lalu akan mengkonversi sisa produk intermediet (II) membentuk
produk intermediet (III). Produk intermediet (III) kemudian dikonversi menjadi
MESA (IV) (MacArthur et al. 1998). Sifat Fisiko kimia methyl ester sulfonic acid
yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 11.
Densitas merupakan salah satu sifat dasar fluida yang didefinisikan massa
per satuan volume sampel pada suhu 25oC. Efek temperatur pada densitas cairan
tidak dapat diabaikan karena cairan akan meregang mengikuti perubahan
temperatur. Hasil analisis densitas pada MESA dengan kualitas offgrade
menghasilkan nilai densitas yang lebih rendah dibandingkan dengan MESA
dengan kualitas steadystate. Peningkatan densitas terjadi karena semakin
banyaknya gugus SO3 yang terikat dengan metil ester, sehingga meningkatkan
pembentukan MESA. Menurut MacArthur et al. (1998), mekanisme reaksi
bertahap pembentukan MESA pada reaktor sulfonasi akan mempengaruhi
penambahan gugus SO3H- yang terbentuk, sehingga menambah berat molekul
senyawa dan meningkatkan densitas.
Tabel 11. Sifat fisik methyl ester sulfonic acid
Parameter MESA Olein Offgrade
MESA Olein Steadystate
MESA Olein dominan C16 Offgrade
MESA Olein dominan C16 steadystate
Densitas (g/cm3)
0,96 1,01 0,95 0,96
Viskositas (cP)
14 28 10 12
Tegangan Permukaan (dyne/cm)
38,8 37,7 36,0 35,0
Viskositas atau kekentalan suatu cairan merupakan sifat fluida yang
dipengaruhi oleh ukuran molekul atau gaya antarmolekul. Terikatnya gugus
sulfonat pada metil ester menjadikan MESA cenderung memiliki ukuran molekul
yang lebih besar sehingga memiliki viskositas yang lebih tinggi dibandingkan
bahan bakunya. Analisis viskositas MESA yang diperoleh menunjukkan variasi
rata-rata 10 cP – 28 cP. Peningkatan viskositas MESA disebabkan oleh terikatnya
gugus sulfonat pada rantai hidrokarbon metil ester. Semakin banyak gugus SO3
yang terikat pada metil ester, mengakibatkan peningkatan bobot molekul.
Semakin besar bobot molekul, viskositas cairan akan menjadi lebih tinggi.
Viskositas tinggi disebabkan adanya gaya tarik menarik antarmolekul yang besar
dalam cairan, rantai molekul yang tidak teratur, serta suhu sehingga molekul lebih
sulit bergerak.
Tegangan permukaan merupakan fenomena akibat adanya
ketidakseimbangan antara gaya-gaya yang dialami oleh molekul-molekul yang
berada di permukaan antara molekul-molekul cairan dengan udara akibat gaya
tarik menarik antara molekul-molekul cairan lebih besar dibanding pada gas.
Resultan gaya yang terjadi pada molekul-molekul di permukaan cenderung
menggerakkan molekul-molekul tersebut menuju pusat cairan sehingga
menggerakkan cairan berperilaku membentuk lapisan tipis yang menyelimuti
seperti kulit (Rosen 2004). Tegangan permukaan air sebelum ditambahkan
surfaktan MESA sebesar 50,63 dyne/cm. Hasil analisis tegangan permukaan air
dengan beberapa jenis MESA bervariasi antara 35,0 – 38,8 dyne/cm.
4.4. Sifat Fisik dan Kinerja Heavy Duty Cleaner
Analisis sifat fisik yang dilakukan terhadap heavy duty cleaner yaitu
stabilitas emulsi, sedangkan kinerjanya yaitu daya pembusaan, stabilitas busa dan
daya cuci. Proses pembuatan heavy duty cleaner dapat dilihat pada Lampiran 7.
4.4.1. Stabilitas Emulsi
Emulsi merupakan sistem dispersi yang terdiri dari dua cairan yang imisibel
(tidak dapat bercampur), dimana droplet suatu cairan (fase terdispersi) terdispersi
pada cairan media yang lain (fase kontinyu). Untuk mendispersikan dua cairan
yang imisibel diperlukan komponen ketiga yaitu emulsifier. Dalam penyimpanan
beberapa proses kerusakan emulsi dapat terjadi dimana tergantung pada distribusi
ukuran partikel dan perbedaan densitas antara droplet dan medium (Tadros 2005).
Stabilitas emulsi menunjukkan ketahanan emulsi dalam kondisi
penyimpanan yang berubah-ubah, sehingga komponen-komponen aktifnya tidak
hilang, rusak atau berkurang akibat perubahan suhu atau lamanya penyimpanan.
Kestabilan suatu emulsi dipengaruhi oleh tegangan permukaan antar kedua fasa,
sifat zat yang teradsoprsi pada lapisan interfasial, besar muatan listrik partikel,
ukuran partikel, volume fasa terdispersi, viskositas medium pendispersi,
perbedaan densitas kedua fasa serta kondisi penyimpanan (Bennet 1947; Rieger
dan Rhein 1995).
Nilai stabilitas emulsi produk yang dihasilkan berkisar antara 96,74% -
99,49% (Lampiran 8 a). Kisaran nilai tersebut menunjukkan bahwa produk yang
dihasilkan memiliki nilai stabilitas emulsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
produk pembanding (75,55%). Hasil penelitian yang diperoleh Susi (2010),
stabilitas emulsi MESA dari metil ester olein yang dinetralkan menggunakan
NaOH yaitu berkisar antara 63,6 – 95,0%. Berdasarkan analisa keragaman
(Lampiran 8 b), jenis MESA, konsentrasi NaOH dan interaksi antara keduanya
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap stabilitas emulsi produk. Analisa
keragaman tersebut dilakukan pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05).
Menurut Schick (1987), stabilitas emulsi akan mencapai maksimum apabila
gaya tolak antara globula-globula fase terdispersi mencapai maksimum,
sebaliknya gaya tarik-menarik akan mencapai minimum dimana gaya tarik-
menarik berasal dari gaya Van der Waals. Nilai stabilitas emulsi dari heavy duty
cleaner menujukkan peningkatan sejalan dengan kemampuan surfaktan MESA
dalam menurunkan tegangan permukaan. Menurut Sibuea (2008), tegangan
permukaan air dapat turun dikarenakan molekul surfaktan terorientasi dan
teradsorbsi pada permukaan larutan dengan gugus hidrofobik menghadap udara.
Gaya kohesif cairan yang tinggi menyebabkan gaya kohesif hidrokarbon lebih
rendah dari tegangan air, sehingga tegangan permukaan turun. Semakin tinggi
kemampuan menurunkan tegangan permukaan, maka semakin tinggi stabilitas
emulsi.
4.4.2. Daya Pembusaan
Pembentukan busa disebabkan oleh adanya surfaktan yang menguatkan area
lemah pada molekul air dan menurunkan tegangan permukaan air yang
menyebabkan busa dapat terbentuk pada permukaan air. Busa yang berbentuk
gelembung disebabkan adanya udara yang mengisi ruang tengah dari busa,
sehingga bila tekanan udara dalam busa terlalu tinggi maka akan menekan lapisan
film dinding-dinding busa, dan gelembung busa akan pecah. Analisis daya
pembusaan dilakukan untuk mengetahui kemampuan heavy duty cleaner untuk
menghasilkan busa. Hasil pengukuran daya pembusaan dinyatakan sebagai
volume busa selama 0,5 menit. Pengukuran daya pembusaan dapat dilihat pada
Lampiran 9.
Nilai daya pembusaan produk yang dihasilkan berkisar antara 9 ml/200 ml
larutan sampel 0,1% - 55 ml/200 ml larutan sampel 0,1% (Lampiran 10 a).
Kisaran nilai tersebut menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan memiliki nilai
daya pembusaan yang lebih rendah dibandingkan dengan produk pembanding
(315 ml/200 ml larutan sampel 0,1%). Kemampuan untuk menghasilkan busa
yang banyak tidak dapat dijadikan parameter untuk menghasilkan produk
pembersih dengan kualitas tinggi. Adanya persepsi konsumen bahwa semakin
banyak busa maka akan semakin baik daya cuci produk pembersih tersebut,
merupakan pernyataan yang tidak benar.
Berdasarkan analisa keragaman (Lampiran 10 b), jenis MESA memberikan
pengaruh nyata terhadap daya pembusaan produk, sedangkan konsentrasi NaOH
dan interaksi antara jenis MESA dan konsentrasi NaOH tidak memberikan
pengaruh yang nyata. Analisa keragaman tersebut dilakukan pada tingkat
kepercayaan 95% (α = 0,05). Pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya
pembusaan ditunjukkan pada Gambar 15.
M1 = MESA olein off grade ; M2 = MESA olein steady state ; M3 = MESA olein dominan C16
off grade ; M4 = MESA olein dominan C16 steady state
Gambar 15. Grafik pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya pembusaan heavy duty cleaner
Hasil uji Duncan (Lampiran 10 c) menunjukkan bahwa jenis MESA olein
offgrade (M1) berbeda nyata dari jenis MESA lainnya. Nilai rata-rata daya
pembusaan yang dihasilkan dari perlakuan jenis MESA olein offgrade
menunjukkan angka yang paling besar yaitu 48,44 ml/200 ml larutan sampel
0,1%. Menurut Cavitch (2001), setiap asam lemak memberikan sifat yang berbeda
pada sabun yang dihasilkan. Asam lemak dengan rantai karbon 12-14 memberikan
fungsi yang baik untuk pembusaan sementara asam lemak dengan rantai karbon
16-18 baik untuk kekerasan dan daya detergensi. MESA olein offgrade memiliki
nilai daya pembusaan paling tinggi dikarena jenis MESA ini dibuat dari metil
ester olein yang belum difraksinasi, sehingga masih mengandung asam lemak C12
dan C14 yang memiliki fungsi baik dalam pembusaan, berbeda dengan MESA
olein dominan C16 yang dibuat dari metil ester olein hasil fraksinasi dengan
kandungan dominan C16 yang memberikan sifat baik untuk kekerasan dan daya
detergensi.
4.4.3. Stabilitas Busa
Analisis stabilitas busa dilakukan untuk mengetahui kemampuan deterjen
cair dalam mempertahankan kestabilan busa yang dihasilkan. Analisis ini
dilakukan berurutan dengan analisis daya pembusaan. Stabilitas busa disebabkan
adanya penambahan NaOH yang menaikkan kerapatan muatan negatif diantara
dinding busa sampai kapasitas optimum dari dinding busa, sehingga stabilitas
busa meningkat. Kenaikan muatan negatif membentuk gaya tolak menolak
diantara lapisan buih, yang menyebabkan antar buih tidak saling menyatu
Stabilitas busa dikaitkan dengan penurunan volume busa terhadap faktor aging,
yaitu dengan menghubungkan volume busa terhadap waktu (MPOB 2001 dalam
Sidik 2009).
Nilai stabilitas busa produk yang dihasilkan berkisar antara 8,85% - 61,90%
(Lampiran 11 a). Berdasarkan analisa keragaman (Lampiran 11 b), jenis MESA
memberikan pengaruh nyata terhadap stabilitas busa produk, sedangkan
konsentrasi NaOH dan interaksi antara jenis MESA dan konsentrasi NaOH tidak
memberikan pengaruh yang nyata. Analisa keragaman tersebut dilakukan pada
tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya
pembusaan ditunjukkan pada Gambar 16.
Hasil uji Duncan (Lampiran 11 c) menunjukkan bahwa formula heavy duty
cleaner yang menggunakan jenis MESA olein off grade (M1) berpengaruh nyata
terhadap stabilitas busa dibandingankan dengan jenis MESA yang lain. Nilai rata-
rata daya pembusaan jenis MESA olein off grade yaitu 50%. Nilai stabilitas busa
tertinggi dihasilkan dari produk dengan formula yang menggunakan jenis MESA
olein off grade dan konsentrasi NaOH 50%, yaitu 61,90%. Nilai ini lebih tinggi
jika dibandingkan dengan nilai stabilitas busa yang dihasilkan oleh produk
pembanding (46,02%).
M1 = MESA olein off grade ; M2 = MESA olein steady state ; M3 = MESA olein dominan C16
off grade ; M4 = MESA olein dominan C16 steady state
Gambar 16. Grafik pengaruh jenis MESA terhadap nilai stabilitas busa heavy duty cleaner
Nantakupa (2010) telah melakukan formulasi produk pembersih sebagai
biodegradable hard surface cleaner menggunakan kombinasi surfaktan metil
ester sulfonat (MES) dan sodium lauryl ether sulphate (SLES) dan menghasilkan
stabilitas busa 92,50%. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai stabilitas
heavy duty cleaner yang dihasilkan. Nilai stabilitas busa yang tinggi dapat
diperoleh dengan menggunakan dua jenis surfaktan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Anonim (2008) dalam Nantakupa (2010), bahwa campuran dua jenis
surfaktan mampu meningkatkan stabilitas busa. Faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi stabilitas busa yaitu kerapatan muatan di antara molekul-molekul
surfaktan (kapasitas dinding busa) dan elastisitas dinding busa. Selain itu
pengukuran stabilitas busa dapat dipengaruhi oleh suhu saat pengukuran,
kecepatan pengocokan dan kecepatan angin saat pengukuran.
4.4.4. Daya Cuci
Proses pembersihan terjadi melalui pembentukan micelle oleh surfaktan
yang mampu membentuk globula zat pengotor. Proses pelepasan globula zat
pengotor terjadi melalui penurunan tegangan antar muka dan dibantu dengan
adanya interaksi elektrostatik antar muatan (Lynn 1996). Proses pencucian
menggunakan larutan heavy duty cleaner terhadap pipa yang sudah diberi
pengotor oli bekas dapat dilihat pada Lampiran 12. Nilai daya cuci produk yang
dihasilkan berkisar antara 80,12% - 94,73% (Lampiran 13 a).
Berdasarkan analisa keragaman (Lampiran 13 b), jenis MESA memberikan
pengaruh nyata terhadap nilai daya cuci produk, sedangkan konsentrasi NaOH dan
interaksi antara jenis MESA dan konsentrasi NaOH tidak memberikan pengaruh
yang nyata. Analisa keragaman tersebut dilakukan pada tingkat kepercayaan 95%
(α = 0,05). Pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya cuci ditunjukkan pada
Gambar 17.
M1 = MESA olein off grade ; M2 = MESA olein steady state ; M3 = MESA olein dominan C16
off grade ; M4 = MESA olein dominan C16 steady state
Gambar 17. Grafik pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya cuci heavy duty cleaner
Hasil uji Duncan (Lampiran 13 c) menunjukkan bahwa jenis MESA olein
off grade (M1) berpengaruh nyata terhadap nilai daya cuci. Nilai rata-rata daya
cuci yang dihasilkan dari formula yang menggunakan jenis olein off grade yaitu
82,52%. Nilai ini merupakan nilai terendah dari nilai daya cuci yang
menggunakan MESA jenis lain. Nilai rata-rata daya cuci tertinggi yaitu pada jenis
MESA olein dominan C16 steady state (M4). Nilai daya cuci tertinggi dihasilkan
oleh MESA olein dominan C16 steady state dengan NaOH 50% (94,73%). Nilai
ini sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai daya cuci yang dihasilkan
oleh produk pembanding (95,58%).
Jika dilihat pada Gambar 17, heavy duty cleaner yang menggunakan MESA
off grade menghasilkan nilai daya cuci yang lebih rendah dibandingkan dengan
heavy duty cleaner yang menggunakan MESA steady state. Hal ini diduga karena
kadar bahan pengotor meningkat, sehingga mempengaruhi daya adsorbsi dari
surfaktan. Peningkatan kadar bahan pengotor juga mengganggu pembentukan
micelle karena molekul surfaktan sudah mengadsorbsi bahan pengotor. Pada
MESA off grade masih terkandung metil ester yang belum terkonversi menjadi
MESA karena belum tersulfonasi secara sempurna. Kandungan metil ester ini
yang dapat meningkatkan kadar bahan pengotor sehingga mengurangi kinerja
surfaktan dalam proses pembersihan.
4.5. Penentuan Produk dari Kinerja Terbaik
Untuk mendapatkan produk heavy duty cleaner terbaik dari seluruh
perlakuan yang dicobakan diperlukan metode penentuan yang dapat mewakili
sifat fisikokimia dan kinerja heavy duty cleaner yang terbaik. Dalam memilih
perlakuan terbaik digunakan parameter-parameter yang diujikan pada produk
heavy duty cleaner yang dihasilkan, yaitu stabilitas emulsi, daya pembusaan,
stabilitas busa dan daya cuci.
Nilai kepentingan tertinggi diberikan pada daya cuci karena parameter uji
ini mewakili kinerja heavy duty cleaner dalam menghilangkan kotoran. Pada hasil
uji daya cuci didapatkan daya cuci terbaik pada produk yang menggunakan jenis
MESA olein dominan C16 steady state (M4). Stabilitas emulsi diberikan
kepentingan tinggi karena parameter ini dapat mewakili ketahanan produk ketika
disimpan pada suhu dan lama penyimpanan yang bervariasi. Pada uji stabilitas
emulsi didapatkan hasil uji tertinggi yang sama, yaitu pada produk yang
menggunakan jenis MESA olein dominan C16 steady state (M4).
Daya pembusaan dan stabilitas busa mendapat tingkat kepentingan lebih
rendah. Kebanyakan konsumen berpikir bahwa daya pembusaan berhubungan
dengan tingginya tingkat deterjensi. Pada kenyataannya, busa tidak berhubungan
langsung dengan deterjensi dalam pembersihan. Tingkat pembusaan yang
berlebihan dapat menyebabkan surface active cleaning agent tertentu membentuk
konsentrat dalam busa, sehingga mengurangi kontak dengan kain yang akan
dibersihkan (Hui 1996). Namun dikarenakan konsumen dari cleaning agent ini
adalah pihak industri, sehingga daya dan stabilitas busa tidak terlalu dipentingkan.
Konsentrasi NaOH yang digunakan pada pembuatan heavy duty cleaner
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap semua parameter yang diujikan
pada produk yang dihasilkan. Oleh karena itu dari empat konsentrasi NaOH (35%,
40%, 45% dan 50%), dipilih konsentrasi terendah untuk digunakan dalam
pembuatan heavy duty cleaner, yaitu NaOH 35%. Dari penentuan produk terbaik
diperoleh bahwa produk menggunakan MESA olein dominan C16 dengan
konsentrasi NaOH 35% sudah dapat digunakan dalam pembuatan heavy duty
cleaner.
4.6. Aspek Finansial Heavy Duty Cleaner dari MESA Olein Terbaik
Aspek finansial mengkaji mengenai perkiraan modal investasi, biaya
operasional, struktur pembiayaan, rencana penerimaan, proyeksi laba rugi,
proyeksi arus kas dan kriteria investasi.
4.6.1. Asumsi Analisis Finansial
Penentuan aspek finansial ini menggunakan beberapa asumsi untuk
memudahkan perhitungan. Asumsi-asumsi yang digunakan dijelaskan sebagai
berikut:
1. Analisis finansial dilakukan selama 10 tahun.
Mempertimbangkan umur ekonomis mesin dan peralatan sekitar 10 tahun.
2. Jumlah hari kerja 300 hari dalam setahun.
Direncanakan dalam satu minggu terdiri 6 hari produksi
3. Kapasitas terpasang 20 ton/hari
4. Produksi pada tahun ke-1 hingga ke-2 adalah 90% dari kapasitas
terpasang, tahun ke-3 hingga ke-10 adalah 100% dari kapasitas terpasang.
5. Harga bangunan:
8. Ruang proses produksi : Rp 2.000.000/m2
9. Ruang nonproduksi : Rp 1.000.000/m2
6. Harga yang ditetapkan oleh PT. Mahkota Indonesia antara lain:
Harga sewa lahan : Rp 250.000/m2/tahun
Harga SO3 : Rp 4.375/kg
Harga udara kering : Rp 1.000/kg
Harga Steam : Rp 1.300/kg
Harga air : Rp 12.500/m3
Harga listrik : Rp 700/kwh
7. Harga bahan tambahan
Harga NaOH : Rp 3.000/kg
8. Harga Metil ester olein : Rp 15.000/kg
9. Berdasarkan perkiraan biaya menurut Peters et al. (2004), maka penetapan
biaya adalah sebagai berikut:
10. Biaya instalasi pemipaan industri bahan berbentuk cair sebesar 68%
dari harga pembelian mesin dan peralatan produksi
11. Biaya instalasi listrik 11% dari harga pembelian mesin dan peralatan
produksi
12. Kontingensi 10% dari harga pembelian mesin dan peralatan produksi
13. Biaya asuransi 1% dari awal pembelian barang yang diasuransikan
14. Biaya laboratorium ditetapkan sebesar 10% dari biaya operator
15. Biaya distribusi dan pemasaran ditetapkan sebesar 2% dari biaya total
produksi
10. Penyusutan menggunakan Straight Line Methode
16. Nilai sisa mesin dan peralatan, instalasi pemipaan, instalasi listrik,
perlengkapan dan kendaraan ditetapkan sebesar 10% dari harga awal
pembelian
17. Nilai sisa bangunan sebesar 50% dari harga pembangunan
18. Umur ekonomis mesin dan peralatan, pemipaan, instalasi listrik,
kendaraan dan perlengkapan adalah 10 tahun
19. Umur ekonomis bangunan adalah 20 tahun
11. Besarnya pajak ditetapkan sebagai berikut:
Pajak bumi dan bangunan sebesar 0,1% dari total investasi (UU no 26
tahun 2000)
Pajak kendaraan sebesar 0,5% dari harga pembelian (UU no 22 tahun
1999)
Pajak penghasilan untuk perusahaan sebesar 25% (www. pajak.goid)
12. Skema pembiayaan investasi adalah 65% dari pembiayaan bank dan 35%
dari pembiayaan sendiri. Skema pembiayaan ini mengacu pada skema
pembiayaan maksimum yang ditawarkan oleh Bank Mandiri. Bunga 12%
berdasarkan bunga pada Bank Mandiri untuk industri turunan kelapa
sawit.
13. Pembayaran kredit menggunakan metode sliding rate
14. Jangka waktu pembayaran kredit modal investasi tetap adalah lima tahun,
sedangkan kredit modal kerja selama dua tahun.
4.6.2. Biaya Investasi
Sebelum industri heavy duty cleaner ini dapat berjalan, terdapat modal yang
harus dikeluarkan pada awal pendirian. Modal ini dinamakan modal investasi
yang terdiri dari modal investasi tetap dan modal kerja. Modal investasi tetap
berhubungan dengan kebutuhan manufakturing dan fasilitas pabrik. Modal
investasi tetap terdiri atas biaya untuk pembelian peralatan dan mesin,
pemasangan dan instalasi pemipaan dan listrik, bangunan, lahan, perlengkapan,
pembelian kendaraan, biaya kontingensi dan termasuk bunga selama
pembangunan atau IDC (interest during construction) yang diperhitungkan
sebesar 10% dalam satu tahun. Modal kerja merupakan modal yang diperlukan
untuk menjalankan kegiatan operasional industri. Modal ivestasi yang diperlukan
untuk mendirikan industri ini ditunjukkan pada Tabel 12.
Tabel 12. Rincian modal investasi (dalam ribuan rupiah) No Komponen Nilai (Rp) A. Modal investasi tetap 1 Biaya Pembelian Alat dan Mesin 2.566.400 2 Biaya Pemipaan 1.745.152 3 Biaya instalasi listrik 282.304 4 Bangunan 597.000 5 Lahan 1.831.554 6 Biaya perlengkapan 132.100 7 Biaya kendaraan 1.050.000 8 Biaya pra investasi 7.542.000 9 Biaya Kontingensi 1.574.651
10 Bunga selama pembangunan 1.125.875 Subtotal 18.447.036
B. Modal kerja subtotal 20.383.313 Total investasi 38.830.349
1) Biaya pembelian peralatan dan mesin
Mesin dan peralatan yang digunakan terdiri dari beberapa tangki dan
reaktor. Pengoprasian mesin ini semi otomatis dengan kendali di lakukan
di ruang operator. Spesifikasi mesin dan peralatan yang dibutuhkan pada
produksi heavy duty cleaner ditunjukan pada Lampiran 14.
Biaya pembelian mesin dan alat adalah biaya yang digunakan untuk
membeli mesin dan peralatan produksi. Biaya ini terdiri dari pembelian
material, asesoris yang dibutuhkan pada peralatan tersebut dan ongkos
fabrikasinya. Harga pembelian tangki merupakan harga material berupa
lembaran plat yang dibutuhkan untuk membuat tangki sesuai dengan
kapasitas yang diinginkan dan telah ditambah ongkos fabrikasinya, selain
itu telah lengkap dengan asesoris tangki seperti pompa gear, termometer
dan presseure gauge. Harga Multi Tube Film Reaktor terdiri dari harga
material, biaya fabrikasinya dan harga pembelian SO3 flow meter. Detail
biaya pembelian peralatan dan mesin ditunjukkan pada Tabel 13.
Tabel 13. Rincian biaya pembelian alat dan mesin (dalam ribuan rupiah)
No Nama alat dan mesin Jumlah (unit)
Harga/unit (Rp)
SubTotal (Rp)
1 Tangki penyimpanan bahan baku 1 232.100 232.100 2 Tangki penyimpanan HDC 2 417.500 835.000 3 Tangki fraksinasi 1 295.200 295.200 4 Tangki masukan metil ester 2 130.700 261.400 5 Multi Tube Film Reactor 1 295.200 295.200 6 Tangki pematangan 2 75.900 151.800 7 Tangki formulasi 2 112.200 224.400 8 Scrubber 1 223.700 223.700 9 Quencher 1 3.200 3.200
10 Oil & Gas Separator 1 6.500 6.500 11 Cyclone 1 3.100 3.100 12 Tangki penyimpanan NaOH 1 34.800 34.800 Total biaya alat dan mesin 2.566.400
2) Pemipaan dan instalasinya
Biaya pemipaan terdiri dari material yang dibutuhkan dalam
pemipaan, katup dan insulasi pemipaan serta ditambah instalasi pemipaan.
Penentuan harga ini melalui pendekatan estimasi modal investasi
berdasarkan penurunan biaya peralatan. Biaya pemipaan pada proses yang
bahan bakunya berbentuk cairan mencapai 68% dari total harga pembelian
peralatan dan mesin (Peters et al. 2004). Bila biaya pembelian peralatan
alat dan mesin mencapai Rp 2.566.400.000, maka biaya pemipaan dan
instalasinya mencapai Rp 1.745.152.000.
3) Biaya instalasi listrik
Biaya instalasi listrik terdiri dari biaya material yang dibutuhkan
dalam pembelian material ditambah instalasi listrik. Penentuan harga ini
melalui pendekatan estimasi modal investasi berdasarkan penurunan biaya
peralatan. Biaya instalasi listrik pada proses yang mencapai 11% dari total
harga pembelian peralatan dan mesin (Peters et al. 2004). Bila biaya
pembelian peralatan alat dan mesin mencapai Rp 2.566.400.000 maka
biaya instalasi listriknya mencapai Rp 282.304.000.
4) Bangunan
Bangunan meliputi bangunan untuk ruang produksi dan
nonproduksi. Ruang produksi terdiri dari unit pemasukan metil ester, unit
sulfonasi, unit pematangan, unit formulasi, unit penyimpanan NaOH.
Ruang nonproduksi meliputi kantor, unit penyimpanan bahan baku, unit
penyimpanan heavy duty cleaner, laboratorium, bengkel, kontrol produksi,
penanganan limbah, jalan dan parkir. Estimasi biaya untuk membangun
ruang produksi adalah sebesar Rp 2.000.000/m2 yang terdiri dari dua
tingkat, tingkat dasar untuk ruang produksi dan tingkat kedua untuk tangki
penyimpanan NaOH. Estimasi biaya untuk membangun ruangan
nonproduksi sebesar Rp 1.000.000/m2 yang hanya terdiri dari satu tingkat.
Rincian biaya bangunan ditunjukkan pada Tabel 14.
1) Lahan
Berdasarkan pertimbangan pemakaian SO3 di PT. Mahkota
Indonesia, maka lahan industri heavy duty cleaner akan berada di dalam
lokasi PT. Mahkota Indonesia. Bentuk kerjasamanya adalah Industri heavy
duty cleaner membayar biaya sewa lahan selama jangka waktu tertentu
sebesar Rp 250.000/m2/tahun dengan kenaikan sebesar 5%/tahun. Kontrak
kerjasama ini akan diperbaharui setiap 10 tahun. Rincian harga lahan
dijelaskan pada Tabel 15.
Tabel 14. Rincian biaya bangunan (dalam ribuan rupiah)
No Komponen Luas area (m2)
Harga per m2 (Rp)
Sub total Harga (Rp)
A Ruang proses produksi 2.000
1 Proses produksi 15 30.000 B Ruang nonproduksi 1 Laboratorium 40
1.000 40.000
2 Kontrol Proses 15 15.000 3 Kantor 127 127.000 4 Pengolahan Limbah 5 5.000 5 Penyimpanan Bahan
baku 54 54.000
6 Penyimpanan produk 96 96.000 7 Bengkel 30 30.000 8 Jalan dan parkir 200 200.000
Total biaya bangunan 582 597.000
Tabel 15. Harga sewa lahan industri heavy duty cleaner (dalam ribuan rupiah)
Tahun Luas lahan (m2) Harga lahan/m2 Subtotal 1 582 250 145.500 2 263 153.066 3 276 160.632 4 290 168.780 5 304 176.928 6 319 185.658 7 335 194.970 8 352 204.864 9 370 215.340 10 388 225.816
Total 1.831.554
2) Biaya perlengkapan
Biaya perlengkapan terdiri dari biaya perlengkapan kantor,
perlengkapan laboratorium, perlengkapan pemeliharaan alat dan mesin,
peralatan kebersihan dan peralatan keamanan/ APD (Alat Pelindung Diri).
Rincian biaya perlengkapan ditunjukkan pada Tabel 16.
Tabel 16. Rincian biaya perlengkapan (dalam ribuan rupiah)
No Komponen Jumlah Satuan Harga/unit (Rp)
Subtotal (Rp)
1 Perlengkapan kantor a. Meja kursi pimpinan 1 set 3.000 3.000 b. Meja kursi manajer 3 set 2.500 7.500 c. Meja kursi supervisor 3 set 2.000 6.000 d. Meja kursi tenaga pembantu 5 set 1.500 7.500 e. Meja kusi ruang meeting 1 set 3.500 3.500 f. Meja kursi tamu 1 set 1.000 1.000 g. File cabinet 12 unit 800 9.600 h. Komputer 10 unit 4.000 40.000 i. Printer 10 unit 600 6.000 j. Telepon 2 unit 500 1.000 k. Faksimili 1 unit 1.500 1.500 l. AC 2 unit 2.500 5.000
2 Perlengkapan laboratorium 1 unit 30.000 30.000 3 Perlengkapan pemeliharaan 1 unit 5.000 5.000 4 Perlengkapan keamanan/APD 1 unit 5.000 5.000 5 Perlengkapan kebersihan 1 unit 500 500 Total biaya perlengkapan 132.100
1) Biaya kendaraan
Biaya kendaraan berupa biaya yang digunakan untuk membeli tiga
kendaraan operasional seharga Rp 350.000.000/buah sehingga total biaya
sebesar Rp 1.050.000.000.
2) Biaya prainvestasi
Biaya prainvestasi meliputi biaya perizinan, riset, konsultasi dan
feasibility study. Biaya perizinan sendiri berupa biaya untuk mendapatkan
Izin Usaha Industri (IUI), Undang-Undang Gangguan (UUG) dan Analisa
Mutu Lingkungan (AMDAL). Besarnya biaya awal riset ditetapkan Rp
2.000.000 dan biaya Engineering, Procurement, and Consulting (EPC)
ditetapkan Rp 5.000.000.000 serta biaya feasibility study sebesar Rp
500.000.000. Rincian biaya prainvestasinya ditunjukkan pada Tabel 17.
Tabel 17. Rincian biaya prainvestasi (dalam ribuan rupiah)
No Komponen Sub Total (Rp) 1 Biaya Perijinan a. IUI 4.000 b. UUG 8.000 c. AMDAL 30.000 2 Biaya riset 2.000.000 3 Biaya EPC 5.000.000 4 Feasibility study 500.000 Total biaya prainvestasi 7.542.000
3) Kontingensi
Faktor kontingensi diperhitungkan sebesar 10% dari total investasi
(pembelian peralatan dan mesin, pemipaan dan instalasinya, listrik dan
instalasinya, lahan, bangunan, biaya kendaraan, biaya perlengkapan, biaya
prainvestasi). Faktor kontingensi merupakan kompensasi dari kejadian
yang tidak dapat diprediksi misalnya bencana alam, kesalahan dalam
estimasi dan biaya yang tidak terduga lainnya.
4) Bunga selama pembangunan
Bunga selama pembangunan pabrik diperhitungkan sebesar 12% dari
nilai investasi tetap. Nilai dari investasi tetapnya sebesar Rp
17.323.691.000 dengan 65% didanai dari pinjaman bank sehingga jumlah
pinjamannya sebesar Rp 11.260.400.000. Bunga ini berjangka waktu satu
tahun dengan skema pembiayaan dibayar pada akhir semester pertama dan
akhir semester kedua. Perhitungan bunga investasi tetap ditunjukkan pada
Tabel 18.
Tabel 18. Rincian bunga selama pembangunan pabrik (dalam ribuan rupiah)
Tahun Skema (%)
Kebutuhan dana (Rp)
Modal sendiri (Rp)
Pinjaman (Rp)
Bunga selama pembangunan
(Rp) I - 1 50 8.661.846 3.031.646 5.630.200 675.624 I - 2 50 8.661.846 3.031.646 5.630.200 675.624
100 17.323.691 6.063.292 11.260.400 1.351.248
4.6.3. Penyusutan
Penyusutan dihitung menggunakan metode garis lurus (staight line
methode). Nilai sisa mesin dan peralatan, instalasi pemipaan, instalasi listrik,
perlengkapan dan kendaraan ditetapkan sebesar 10% dari harga awal pembelian.
Nilai sisa bangunan sebesar 50% dari harga pembangunan.
Selanjutnya, umur ekonomis mesin dan peralatan, pemipaan, instalasi
listrik, perlengkapan dan kendaraan adalah 10 tahun. Umur ekonomis bangunan
adalah 20 tahun. Rincian nilai sisa dan nilai penyusutan ditunjukkan pada
Lampiran 15.
4.6.4. Biaya Operasional
Biaya operasional yang dikeluarkan pada industri heavy duty cleaner terdiri
dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap merupakan biaya yang tidak
dipengaruhi oleh naik turunnya produksi yang dihasilkan, sedangkan biaya
variabel dipengaruhi oleh naik turunnya produksi. Biaya tetap industri heavy duty
cleaner antara lain biaya tenaga kerja tidak langsung, biaya administrasi kantor,
biaya utilitas kantor, biaya pemeliharaan, biaya asuransi, biaya pemasaran, biaya
laboratorium, pajak dan penyusutan. Biaya variabel industri heavy duty cleaner
antara lain biaya pembelian bahan baku, biaya bahan penolong, biaya utilitas
produksi dan biaya tenaga kerja langsung. Rincian biaya operasional dijelaskan
pada Lampiran 16.
1) Biaya tenaga kerja
Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam industri heavy duty cleaner
sebanyak 21 orang yang terdiri atas tenaga kerja langsung dan tenaga kerja
tidak langsung. Tenaga kerja langsung terdiri dari 6 orang operator, 1
orang laboran, 1 orang teknisi dan 2 orang supir, sedangkan tenaga kerja
tidak langsung terdiri dari 1 orang direktur, 3 orang manajer, 3 orang
supervisor, 2 orang tenaga keuangan, 1 orang tenaga riset dan 1 orang
tenaga pemasaran.
Gaji tenaga kerja terdiri dari gaji pokok dan tunjangan. Gaji pokok
terdiri dari 13 bulan gaji, sedangkan tunjangan 12 bulan gaji. Besarnya
tunjangan ditetapkan 30% dari gaji pokok. Rincian gaji tenaga kerja tidak
langsung dan tenaga kerja langsung ditunjukkan pada Tabel 19 dan Tabel
20.
Tabel 19. Rincian biaya tenaga kerja tak langsung (dalam ribuan rupiah)
Jabatan Jumlah Gaji pokok /orang
/bulan(Rp)
Tunjangan /orang/ bulan
(Rp)
Gaji dan tunjangan
/tahun (Rp) Direktur 1 30.000 9.000 498.000 Manager 3 15.000 4.500 747.000 Supervisor 3 8.000 2.400 398.400 Tenaga keuangan 2 5.000 1.500 166.000 Tenaga riset 1 8.000 2.400 132.800 Tenaga pemasaran 1 5.000 1.500 83.000 Subtotal biaya tenaga kerja tak langsung 2.025.200
Tabel 20. Rincian biaya tenaga kerja langsung (dalam ribuan rupiah)
Jabatan Jumlah Gaji pokok
/orang /bulan(Rp)
Tunjangan /orang/
bulan (Rp)
Gaji dan tunjangan
/tahun (Rp) Teknisi pemeliharaan 1 5.000 1.500 83.000 Laboran 1 5.000 1.500 83.000 Sopir 2 5.000 1.500 166.000 Operator 6 5.000 1.500 498.000 Subtotal biaya tenaga kerja langsung 830.000
1) Biaya bahan baku, bahan penolong dan utilitas produksi
Biaya bahan baku terdiri dari biaya bahan baku utama berupa metil
ester olein. Biaya bahan penolong terdiri dari biaya untuk pembelian
NaOH, udara kering dan gas SO3. Neraca masa industri heavy duty cleaner
dapat dilihat pada Lampiran 17. Biaya utilitas produksi terdiri atas biaya
steam, air dan listrik. Rincian biaya bahan baku, bahan penolong dan biaya
utilitas produksi ditunjukkan pada Tabel 21.
2) Biaya kebutuhan administrasi kantor
Biaya administrasi kantor ditetapkan sebesar Rp 5.000.000/bulan.
Biaya ini meliputi pembelian perlengkapan kantor, seperti kertas, peralatan
tulis, tinta dan lain sebagainya.
Tabel 21. Biaya bahan baku, bahan penolong dan utilitas produksi (dalam ribuan rupiah) Komponen Kebutuhan/
hari Kebutuhan/
tahun Satuan Harga/
satuan (Rp)
Biaya/ tahun (Rp)
Biaya bahan baku
Metil ester olein 36.763 11.028.900 kg 15 165.433.500 Subtotal 165.433.500 Biaya bahan penolong
NaOH untuk scrubber
368 110.289 kg 3 330.867
NaOH 600 180.000 kg 3 540.000 Gas SO3 5.344 1.603.152 kg 4,375 7.013.790 Udara kering 8.878 2.663.400 kg 1 2.663.400 Subtotal 10.548.057 Biaya utilitas produksi
Steam 1134,27 340.281 kg 1,3 442.365 Air 0,4 120 m3 12,5 1.500 Listrik 81.170 24.351.000 kwh 0,7 17.045.700 Subtotal 17.489.565
3) Biaya utilitas kantor
Biaya utilitas kantor meliputi biaya listrik, air dan telepon yang
digunakan oleh kantor. Kebutuhannya ditunjukkan pada Tabel 22.
Tabel 22. Kebutuhan utilitas kantor (dalam ribuan rupiah)
No Komponen Kebutuhan/tahun Satuan Harga (Rp) Subtotal (Rp) 1 Air 90 m3 12,500 1.125 2 Listrik 24.211 kw 0,7 16.948 3 Telepon 36.000
Total biaya utilitas kantor 54.073
4) Biaya laboratorium
Biaya laboratorium meliputi biaya pembelian bahan kebutuhan
laboratorium. Biayanya ditetapkan sebesar 10% dari biaya gaji operator
(Peter et al. 2004). Bila biaya gaji operator sebesar Rp 498.000.000/tahun
maka biaya laboratorium mencapai Rp 49.800.000/tahun.
5) Biaya pemeliharaan
Biaya pemeliharaan terdiri dari biaya pemeliharaan bangunan,
instalasi, mesin dan peralatan serta kendaraan. Biaya ini diasumsikan 10%
dari harga pembelian. Rincian biaya pemeliharaan ditunjukkan pada Tabel
23.
Tabel 23. Rincian biaya pemeliharaan (dalam ribuan rupiah)
No Komponen Subtotal (Rp) 1 Mesin dan peralatan 256.640 2 Instalasi Pemipaan 174.515 3 Instalasi Listrik 28.230 4 Bangunan 59.700 5 Perlengkapan 13.210 6 Kendaraan 105.000
Total biaya pemeliharaan 637.296
6) Biaya asuransi
Asuransi terdiri dari biaya dari objek yang diasuransikan. Objek
yang diasuransikan antara lain bangunan, mesin dan peralatan serta
kendaraan. Asumsi biaya asuransi sebesar 1% dari nilai beli objek. Rincian
biaya asuransi ditunjukkan pada Tabel 24.
Tabel 24. Rincian biaya asuransi (dalam rupian rupiah)
No Komponen Subtotal (Rp) 1 Bangunan 5.970 2 Mesin dan peralatan 25.664 3 Kendaraan 10.500
Total biaya asuransi 42.134
7) Pajak
Pajak yang dikenakan berupa pajak bumi dan bangunan serta pajak
kendaraan. Pajak bumi dan bangunan diperhitungkan sebesar 0,1% /tahun
dari total investasi kendaraan (UU No 22 tahun 1999). Rincian pajak
ditunjukkan pada Tabel 25.
Tabel 25. Rincian pajak (dalam ribuan rupiah)
No Komponen Subtotal (Rp) 1 Pajak Bumi dan bangunan 1.832 2 Pajak kendaraan 5.250
Total 7.082
8) Biaya distribusi dan pemasaran
Biaya distribusi dan pemasaran ditetapkan 2% dari biaya total
produksi (biaya variabel dan biaya tetap), yaitu sebesar Rp 3.616.895.000.
4.6.5. Harga Penjualan dan Perkiraan Penerimaan
Biaya per unit produk heavy duty cleaner ditentukan menggunakan metode
full costing dengan rumus sebagai berikut:
biaya tetap + biaya variabel Biaya per unit produk =
Jumlah produk yang dihasilkan
Biaya untuk memproduksi heavy duty cleaner per kilognya pada tahun
pertama sebesar Rp 34.262, sedangkan pada tahun ke dua Rp 34.058, tahun ke
tiga Rp 33.708, tahun ke empat Rp 33.657, tahun ke lima Rp 33.607 dan tahun ke
enam hingga tahun ke sepuluh mencapai Rp 33.557. harga jual heavy duty cleaner
perkilognya ditetapkan sebesar Rp 36.500, sehingga profit yang diterima berkisar
antara 6,53 – 8,77%.
Perkiraan penerimaan seluruhnya berasal dari penjualan heavy duty cleaner.
Asumsi yang digunakan seluruh produksi habis terjual. Produksi heavy duty
cleaner pada tahun pertama dan kedua mencapai 90% dari kapasitas terpasang.
Hal ini mempertimbangkan daur hidup produk yang pada awal pendirian berada
dalam fase pertumbuhan, sedangkan pada tahun ke tiga hingga ke sepuluh berada
dalam fase stabil, yaitu produksi mencapai 100% kapasitas terpasang. Harga dan
penerimaan industri heavy duty cleaner ditunjukkan pada Tabel 26.
Tabel 26. Harga dan penerimaan (dalam ribuan rupiah)
Tahun Biaya Total (Rp)
Kapasitas Produksi
(kg)
Biaya Produksi
(Rp)
Harga Jual (Rp)
Profit (%)
Penerimaan (Rp)
1 185.012.790 5.400.000 34.262 36.500 6,53 197.100.000 2 183.915.161 5.400.000 33.058 36.500 7,17 197.100.000 3 202.247.645 6.000.000 33.708 36.500 8,28 219.000.000 4 201.944.965 6.000.000 33.657 36.500 8,45 219.000.000 5 201.642.285 6.000.000 33.607 36.500 8,61 219.000.000 6 201.339.606 6.000.000 33.557 36.500 8,77 219.000.000 7 201.339.606 6.000.000 33.557 36.500 8,77 219.000.000 8 201.339.606 6.000.000 33.557 36.500 8,77 219.000.000 9 201.339.606 6.000.000 33.557 36.500 8,77 219.000.000 10 201.339.606 6.000.000 33.557 36.500 8,77 219.000.000
4.6.6. Modal Kerja
Modal kerja ini merupakan modal yang digunakan untuk menjalankan
operasional perusahaan hingga memperoleh penerimaan. Penentuan nilai modal
kerja ini dipengaruhi dengan perputaran modal kerja itu sendiri. Asumsi yang
digunakan dalam penentuan modal kerja adalah sebagai berikut:
1. Account receivable (piutang usaha) sebesar 45 hari
Hal ini mempertimbangkan konsumen baru membayar barang yang telah
mereka beli selama 45 hari setelah mereka melakukan transakasi pembelian.
2. Account payable (hutang usaha) sebesar 45 hari
Hal ini mempertimbangkan perusahaan dapat melakukan kredit pembelian
bahan baku dalam jangka waktu 45 hari.
3. Inventori (persediaan) sebesar 15 hari
Hal ini mempertimbangkan bahwa harus ada persediaan untuk minimal
satu kapasitas tangki penyimpanan. Kapasitas satu tangki penyimpanan
sendiri cukup menyimpan minyak selama 15 hari. Rincian kebutuhan modal
kerja ditunjukkan pada Lampiran 18.
4.6.7. Pembiayaan
Pendirian industri heavy duty cleaner ini dibiayai dengan modal sendiri dan
modal pinjaman dari bank dengan perbandingan 65:35. Hal ini mengacu pada
kebijakan salah satu bank yaitu bank Mandiri, bahwa maksimal porsi pembiayaan
bank, baik untuk modal investasi ataupun modal kerja maksimal 65%. Struktur
pembiayaan ditunjukkan pada Tabel 27.
Tabel 27. Struktur pembiayaan (dalam ribuan rupiah)
Jenis Kredit Kebutuhan investasi
Modal sendiri 35%(Rp)
Pinjaman 65 %(Rp)
Modal investasi tetap 18.674.939 6.063.292 12.611.647 Modal Kerja 20.383.313 7.134.159 13.249.153
Jumlah 39.058.252 13.197.451 25.860.800
Lama masa peminjaman kredit modal investasi tetap adalah 5 tahun,
sedangkan untuk kredit bunga modal investasi tetap maupun modal kerja. Hal ini
mengacu pada bunga yang diberlakukan di bank Mandiri untuk pembiayaan
industri turunan kelapa sawit. Pembayaran bunga ditetapkan dengan
menggunakan metode slidding rate. Proyeksi pembayaran angsuran bersama
bunganya pada tiap tahun ditunjukkan pada Tabel 28 dan Tabel 29.
Tabel 28. Angsuran modal investasi tetap (dalam ribuan rupiah)
Tahun Jumlah kredit (Rp)
Angsuran pokok (Rp)
Bunga (Rp) Jumlah Angsuran
(Rp) 0 12.611.647 1 12.611.647 2.522.329 1.513.398 4.035.727 2 10.089.318 2.522.329 1.210.718 3.733.048 3 7.566.988 2.522.329 908.039 3.430.368 4 5.044.659 2.522.329 605.359 3.127.688 5 2.522.329 2.522.329 302.680 2.825.009
Jumlah 12.611.647 4.540.193 17.151.840
Tabel 29. Angsuran modal kerja (dalam ribuan rupiah)
Tahun Jumlah kredit (Rp)
Angsuran pokok (Rp)
Bunga (Rp)
Jumlah Angsuran (Rp)
0 13.249.153 1 13.249.153 6.624.577 1.589.898 8.214.475 2 6.624.577 6.624.577 794.949 7.419.526
Jumlah 13.249.153 2.384.848 15.634.001
4.6.8. Proyeksi Laba Rugi
Proyeksi laba rugi menggambarkan besarnya keuntungan dan kerugian pada
industri ini. Proyeksi ini memuat mengenai pengeluaran dan penerimaan secara
keseluruhan. Selisih antara penerimaan dengan pengeluaran produksi dinamakan
laba operasi. Laba operasi setelah pengurangan pajak merupakan laba bersih.
Pajak penghasilan ditetapkan sebesar 25%. Ini berdasarkan pajak penghasilan
yang berlaku di Indonesia untuk badan perusahaan. Rincian laba rugi industri
ditunjukkan pada Lampiran 19, sedangkan proyeksi laba rugi ditunjukkan pada
Tabel 30.
Tabel 30. Proyeksi laba rugi (dalam ribuan rupiah)
Tahun Penerimaan (Rp)
Biaya Produksi
(Rp)
Laba operasi Pajak Laba
bersih
1 197.100.000 185.012.790 12.087.210 3.021.803 9.065.408 2 197.100.000 183.915.161 13.184.839 3.296.210 9.888.629 3 219.000.000 202.247.645 16.752.355 4.188.089 12.564.267 4 219.000.000 201.944.965 17.055.035 4.263.759 12.791.276 5 219.000.000 201.642.285 17.357.715 4.339.429 13.018.286 6 219.000.000 201.339.606 17.660.394 4.415.009 13.245.296 7 219.000.000 201.339.606 17.660.394 4.415.009 13.245.296 8 219.000.000 201.339.606 17.660.394 4.415.009 13.245.296 9 219.000.000 201.339.606 17.660.394 4.415.009 13.245.296 10 219.000.000 201.339.606 17.660.394 4.415.009 13.245.296
4.6.9. Break Even Point (BEP)
Break even point (BEP) merupakan titik dimana total biaya produksi sama
dengan total biaya penerimaan. Analisis BEP menunjukkan pada tahun pertama
industri ini harus menjual minimal sebesar 2.463.702 kg, pada tahun ke dua
sebesar 2.197.060 kg, kemudian pada tahun ke tiga menurun menjadi 1.930.417
kg dan terus menurun hingga pada tahun ke sepuluh. Titik impas berada pada
1.709.831 kg, yaitu pada tahun ke enam. Titik impas industri heavy duty cleaner
ditunjukkan pada Tabel 31.
Tabel 31. Analisis BEP (dalam ribuan rupiah)
Tahun Biaya Tetap (Rp)
Harga Jual (Rp)
Produksi perunit
Biaya Variabel per
Unit (Rp) BEP (kg) BEP (Rp)
1 10.141.780 36,500 5.400.000 32,384 2.463.702 89.925.128 2 9.044.151 36,500 5.400.000 32,384 2.197.060 80.192.674 3 7.946.522 36,500 6.000.000 32,384 1.930.417 70.460.221 4 7.643.843 36,500 6.000.000 32,384 1.856.888 67.776.422 5 7.341.163 36,500 6.000.000 32,384 1.783.360 65.092.623 6 7.038.484 36,500 6.000.000 32,384 1.709.831 62.408.824 7 7.038.484 36,500 6.000.000 32,384 1.709.831 62.408.824 8 7.038.484 36,500 6.000.000 32,384 1.709.831 62.408.824 9 7.038.484 36,500 6.000.000 32,384 1.709.831 62.408.824 10 7.038.484 36,500 6.000.000 32,384 1.709.831 62.408.824
4.6.10. Kriteria Investasi
Penilaian kriteria investasi menggunakan metode NPV, IRR, B/C ratio dan
PBP. Tabel perhitungan metode NPV, IRR, B/C ratio dan PBP ditunjukkan pada
Tabel 32.
Tabel 32. Kriteria kelayakan investasi
Kriteria kelayakan Nilai Satuan NPV 19.210.855.000 Rp IRR 19 % B/C Ratio 1,52 PBP 5,36 tahun
1. Net Present Value (NPV)
Net Present Value merupakan salah satu metode untuk menentukan
kelayakan dengan mempertimbangkan nilai waktu uang. Nilai keuntungan
yang diterima pada tahun sekarang akan berbeda pada keuntungan nilai
yang akan datang walaupun secara nominalnya sama. Industri heavy duty
cleaner ini memiliki NPV sebesar Rp 19.210.855.000 dengan discount
rate sebesar 12% (sesuai dengan bunga pinjaman). Nilai NPV industri ini
menunjukkan nilai positif, sehingga dapat dikatakan industri ini layak.
2. Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return merupakan tingkat yang menghasilkan NPV
sama dengan nol. Industri dikatakan layak bila nilai IRR lebih besar dari
suku bunga yang telah ditetapkan. Nilai IRR industri ini adalah 19%. Nilai
ini lebih besar dari tingkat suku bunga (12%), sehingga industri ini dapat
dikatakan layak.
3. Benefit/ Cost Ratio (B/C Ratio)
Benefit/ Cost Ratio merupakan perbandingan manfaat terhadap biaya.
Bila nilai B/C ratio > 1 maka proyek layak dijalankan. Nilai B/C Ratio
Industri heavy duty cleaner sebesar 1,52, sehingga layak untuk dijalankan.
4. Pay Back Period (PBP)
Pay Back Period merupakan metode penilaian kriteria dengan tidak
mempertimbangkan nilai waktu. Metode ini melihat berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk mengembalikan modal investasi awal. Perhitungan
PBP menunjukkan bahwa pada tahun awal pendirian kas masih negatif
sebesar Rp 18.674.939.000. Hal yang sama juga terjadi pada tahun
pertama, kas masih negatif sebesar Rp 19.929.843.000. Tahun ke dua arus
kas mampu menghasilkan Rp 1.276.691.000, tahun ke tiga menghasilkan
Rp10.576.905.000, tahun ke empat menghasilkan Rp 10.803.915.000,
tahun ke lima menghasilkan Rp 11.030.925.000 dan tahun ke enam
menghasilkan Rp 13.780.264.000. Ini menunjukkan pay back period
terjadi antara tahun ke lima dan ke enam, yaitu 5,36 tahun atau sekitar 5
tahun lebih 4 bulan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Nilai daya cuci dipilih sebagai parameter penentu karena mewakili kinerja
dari heavy duty cleaner dalam menghilangkan kotoran. Berdasarkan analisis
keragaman, jenis MESA memberikan pengaruh nyata terhadap nilai daya cuci
produk, sedangkan konsentrasi NaOH tidak memberikan pengaruh yang nyata.
Nilai rata-rata daya cuci tertinggi yaitu pada jenis MESA olein dominan C16
steady state.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa heavy duty cleaner yang
menggunakan jenis MESA olein dominan C16 steady state dengan konsentrasi
NaOH 35% menghasilkan stabilitas emulsi 98,11%, daya pembusaan 9 ml/ ml
larutan sampel 0,1%, stabilitas busa 13,75% dan daya cuci 91,31% sudah dapat
digunakan. Berdasarkan empat kriteria investasi yang digunakan yaitu NPV (Rp
19.210.855.000), IRR (19%), B/C Ratio (1,52) dan PBP (5,36 tahun)
menunjukkan bahwa industri heavy duty cleaner layak untuk dijalankan.
5.2. Saran
Dalam proses pencucian, pada penelitian ini menggunakan dosis aplikasi
1%. Dosis ini belum memberikan hasil yang optimum, sehingga perlu dicari
kembali dosis aplikasi heavy duty cleanaer untuk proses pencuciannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed FU, penemu; Kay Chemical Incorporated. 5 Desember 2000. Heavy Duty Degreaser Cleaning compositions and Methods of Using The Same. US paten 6 156 716.
Anonim. 2009a. Detergen Formulatory. PQ Coorporation, Penysilvania. Anonim. 2009b. Caustic Soda (Sodium Hidroksida). Georgia Gulf Corporation.
Plaquemine, Louisiana [AOAC] Official Method of Analysis of the Association of Official Analitical
Chemist. 1984. Washington: AOAC. [ASTM] American Society for Testing and Material. 2001. Annual Book of
ASTM Standards: Soap and Other Detergents, Polishes, Leather, Resilient Floor Covering. Baltimore: ASTM
Austin GT. 1984. Shreve’s Chemical Process Industries. Fifth Edition. Singapore:
McGraw-Hill. Baker J, penemu; The procter & Gamble Company. 16 Desember 1993. Process
for Making Sulfonated Fatty Acid Alkyl Ester Surfactant. US patent 5 475 134.
Basiron Y. 1996. Bailey’s Industrial oil and Fat Products. Edisi ke-5 Volume
ke-2. New York: J Wiley. Bennet H. 1947. Practical Emulsion. Edisi ke-2. New York, USA: Chemical
Publshing Co. Inc, Brooklyn. Berger P. 2009. Surfactants Based on Monounsaturated Fatty Acids for Enhanced
Oil Recovery. Inform 20:682-685. Bernardini E. 1983. Vegetable oils and fats processing. Volume ke-2. Rome:
Interstampa. Buehr W. 1962. Caustic Soda Production Tecnique. Park Ride: Noyes. Cole PA , Thompson PR. 2001 Probing the mechanism of enzymatic phosphoryl
transfer with a chemical trick. Proc Natl Acad Sci 98:8170-8171. Cooper DG, Zajic JE. 1980. Surface Active Compound From Microorganism. Adv
Appl Microbiol 26: 229-253.
Darnoko D, Cheryan M. 2000. Continous Produstion of Palm Methyl Ester. J Am Oil Chem Soc 77(12):1269 – 1272.
Djamin Z. 1984. Perencanaan dan Analisis Proyek. Jakarta: Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia. Durbut P. 1999. Surface Activity. Handbook of Detergents Part A: Properties.
New York: Marcel Dekker. Edris M. 1993. Penuntun Penyususn Studi Kelakyakan Proyek. Bandung: Sinar
Baru. Flick EW. 1999. Advance Cleaning Product Formulation. Vol 5. New York:
Noyes Publ. William Andrew Publishing, LCC. Flider FJ. 2001. Commercial Considerations and Market for Naturally Derived
Biodegradable Surfactants. Inform 12(12):1161 – 1164. Foster NC. 1996. Sulfonation and Sulfation Processes. In: Spitz, L. (Ed). Soap and
Detergens: Atheoretical and Practical Rev. AOCS Press, Champaign, Illinois.
Georgeiou G, Lin S dan Sharma MM. 1992. Surface-Active Compounds From
Microorganism. J. Biotechnol 10:60 – 65. Gerpen JV. 2005. Biodiesel Processing and Production. Fuel Processing Technol
86:1097 – 1107. Gray C, Simanjuntak P, Sabur LK, Maspatiella PFL, Varley RGC. 1993.
Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: PT Gedia Pustaka Utama. Gunstune F D, Harwood JL, Padly FB. 1994. The Lipid. Edisi ke-2. USA. Hambali E, M Rivai, P Suarsana, Sugihardjo dan E Zulchaidir, peneliti. 2009.
Peningkatan Nilai Tambah Minyak Sawit Melalui Perkembangan Teknologi Proses Produksi Surfaktan MES dan Aplikasinya untuk meningkatkan Produksi Minyak Bumi Menggunakan Metode Huff dan Puff. Buku Catatan Harian Peneliti Periode Juni – Oktober 2009. SBRC LPPM-IPB. Bogor.
Hasenhuettl GL. 1997. Overview of Food Emulsifier. In : Food Emulsifier and
Their Applications. G.L. Hasenhuettl dan R.W. Hartel (Eds.). New York: Chapman & Hall.
Hargreaves T. 2003. Chemical Formulation : An Overview surfactant-Based
Preparations Used in Everyday Life. Cambridge: RSC Paperbacks. Hui YH. 1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Product. Vol ke-3. United State: A
Wiley Interscience Publication. J Wiley.
Husnan S dan Suwarsono. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta: AMP
YKPN Ibrahim YHM. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: PT. Rineka Cipata. Jungermann E. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Product. Edisi ke-4, volume
ke-1. New York: J Wiley. Ketaren S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak. Jakarta: UI-Press. Knothe G. 2002. Structure indices in fatty acid chemistry. J Am Oil Chem Soc
79:847 – 854. Knothe G. 2008. Five Approaches to Improving the Fuel Properties of Biodiesel
[abstract]. Including "Designer" Biodiesel 2nd International Congress on Biodiesel. Munich, Germany.
Lee SH, Faessler, Peter, Kolmetz K, Seang KW. 2004. Advanced fractionation
technology for the oleochemical industry. Paper : Oil and Fats International Congress 2004, World Congress on Oleochemicals 2004, Malaysian Palm Oil Board, Malaysia
Leung DYC, Guo Y. 2006. Transesterification of neat and used frying:
optimization for biodiesel production. Fuel Processing Technol 87:883 – 900
Ma F, Hanna MA. 2001. Biodiesel Production : Areview. Bioresource Technol
70:77 – 82. MacArthur BW, Brooks B, Sheats WB, Foster NC. 2002. Meeting The Challenge
of Methylester Sulfonation. USA: The Chemiton Corporation. Matheson KL. 1996. Formulation of Household and Industrial Detergents. In :
Soap and detergens : A Theorotical and Practical Review. Spitz, L. (Ed). AOCS Press, Champaign, Illinois.
Meher LC, Vidya Sagar D, Naik SN. 2006. Technical Aspects of Biodiesel
Produsction by Transesterification – a review. Renewable and Sustainable Energy Rev 10:248 – 268.
Mittelbach ML. 1990. Catalyze Alcoholysis of Sunflower Oil. J Am Chem Soc
67(3): 168-170. Mittelbach M, Koncar M. 1994. Process for Preparing Fatty Acid Alkyl Esters.
European Patent EP 0708813 B1.
Mujdalipah S. 2010. Proses produksi Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Olein Sawit Menggunakan Single Tube Falling Film Reactor (STFR) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Nantakupa DMH. 2010. Foemulasi Deterjen Cari Berbasis Asam Sebagai
Biodegradable Hard Surface Cleaner [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Nimcevic D, Puntigam R, Worgetter M, Gapes R. 2000. Preparation of Rapeseed
Oil ester of Low Aliphatic Alcohol. J Am Oil Chem Soc 77 (3): 275-280 Palmor JF, penemu. 16 Agustus 2011. Vissualy Enhancing Heavy Duty
Degreaser-Cleaning Composition. US patent 7 998 971 B1. Peters MS, Klaus DT, Ronald EW. 2004. Plant Design and Economic Chemichal
Engineering. New York: Mc Graw-Hill. Pore J. 1976. Oil and Fats Manual. Intercept Ltd, Andover, New York. Ramadhas AS, Jayaraj S, Muraleedharan C. 2005. Biodiesel production from
hight FFA rubber seed oil. Fuel 84: 335 – 340. Roberts DW, Giusti L, Forcella A. 2008. Chemistry of Methyl Ester Sulfonates.
Biorenew Res 5:2-19. Rosen MJ 2004. Surfactans and Interfacial Phenomena. Edisi ke-3. New jersey:
J Wiley. Sahoo PK, Das LM, Babu MKG, Maik SN. 2007. Biodiesel Development from
High acid Value Polanga Seed Oil and Performance Evaluation in a Cl engine. Fuel. 86: 448 – 454.
Salunkhe JK, Chavan RN, Adsule SS, Khadam. 1992. World Oilseeds Chemistry,
Technology, and Utilization. New York : AVI Book Publ. by van Nostrans Reinhold.
Schick MJ. 1987. Nonionic Surfactants Physical Chemistry. New York: Marcel
Dekker. Schueller R, Romanousky P. 1998. Cosmetics and Toiletries Magazine:
Understanding Emulsions. Illinois: Allured Publishing Corp. Selwyn JA, River F, James OG, penemu; Chemtrust Industries Corporation. 12
Februari 1974. Heavy Duty Exothermic All-Purpose Cleaning Composition. US patent 3 791 977
Sharma YC, Singh B. 2009. Development of biodiesel: Current scenario.
Renewable and Sustainable Energy Rev 13:1646 – 1651.
Shaw DJ. 1980. Introduction to Colloid and Surface Chemistry. Oxford:
Butterworhts. Sheats WB, MacArthur BW. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products. USA: The
Cheminthon Corporation.
Sherry AE, Chapman BE, Creedon MT, Jordan JM, Moese RL. 1995. Nonbleach process for the puryfication of palm C16 – 18 methyl ester sulfonates. J Am Oil Chem Soc 72(7):835 – 841.
Sibuea P. 2008. Virgin Coconut Oil: Penyembuh Ajaib dari Buah Kelapa. Bogor:
LIPI. Sidik NR. 2009. Kajian Pengaruh Konsentrasi Metil Ester Sulfonat (MES) dan
Konsentrasi Alkali (KOH) Terhadap Kinerja Deterjen Cair Industri. [skripsi] Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Smith FD, Stirton J. 1967. Alpha-Sulfonation of Alkyl Palmitates and Strearates.
J Am Oil Chem Soc 44:405 – 406. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1999. Metil Ester. Jakarta: SNI No. 06-6048-
1999 Soeharto. 1999. Manajemen Proyek dari Konseptual Sampai Operasional.
Jakarta: Erlangga.
Stein W, Baumann H. 1974. α-Sulfonated Fatty Acids and Esterss: Manufacturing Process, Properties, and Aplications. J Am Chem Soc 50:322 – 329.
Strand DL, Maplewood, Roger LA, penemu; Minnesota Mining and
Manifacturing Company. 21 Maret 1972. Heavy Duty Aerosol Cleaner. US patent 3 650 956.
Susi. 2010. Proses Aging Pasca Sulfonasi Metil Ester Olein Sawit Menggunakan
Singletube Falling. Film Reactor (STFR) dan Pengaruhnya Terhadap Karakteristik MESA. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Swern D. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Edisi ke-4 volume ke-
1. New York: J Wiley. Tadros TF. 1992. Encyclopedia of Physical Science and Technology. Edisi ke-2
volme ke-16. California: Academic Pr, Inc. Umar H. 2005. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: PT. Gedia Pustaka Utama.
Vicente G, Martinez M, Aracil J. 2004. Integrated biodiesel production : a comparison of different homogenous catalysts systems. Bioresource Technol 92 : 297 – 305.
Watkins C. 2001. All Eyes are on Texas. Inform 12 :1152-1159. Worgetter M, Prankl H, Rathbauer J. 1998. Eigenschaften von Biodiesel.
Fachtagung biodiesel. Optimierungspotentiale and Umwelteffekte. Landbauforschung Volkenrode. Sonerhelft 190: 31-43.
Yamada K, Matsutani S. 1996. Analysis of the Dark-Colored Impurities in
Sulfonated Fatty Acid Methyl Ester. J Am Oil Chem Soc 73:121 – 125.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur analisis metil ester olein
1. Densitas Biodiesel (SNI 01-2891-1992) Densitas merupakan perbandingan berat dari suatu volume sampel pada
suhu 25oC dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Peralatan yang digunakan adalah piknometer 5 ml. Piknometer dibersihkan dengan cara dibilas dengan aseton kemudian dengan dietil eter. Piknometer kosong diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W0). Piknometer yang bersih dan kering diisi dengan air destilasi yang telah didihkan dan didinginkan pada suhu 20oC dan piknometer disimpan dalam water bath (penangas air) pada suhu konstan 25oC selama 30 menit. Piknometer berisi air diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W1). Catat volume air dalam piknometer (V1). Piknometer dibersihkan dan dikeringkan. Sampel dimasukkan ke dalam piknometer hingga meluap dan pastikan tidak terbentuk gelembung udara lalu ditutup. Piknometer bagian luar dikeringkan, kemudian piknometer berisi sampel dimasukkan ke dalam penangas pada suhu konstan 25oC selama 30 menit. Piknometer kemudian diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W2).
W2 – W0 Densitas =
V1
Keterangan : V1 = volume air dalam piknometer W0 = bobot piknometer kososng W1 = bobot piknometer beserta air W2 = bobot piknometer beserta sampel
2. Bilangan Iod (AOAC, 1995)
Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0,5 g di dalam erlenmeyer 200 ml, lalu dilarutkan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi hanus. Semua bahan di atas dicampur merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama 1 jam. Sebagian iodiom akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10 ml larutan KI 15%. iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai warna biru larutan tidak terlalu pekat. Selanjutnya ditambahkan larutan kanji 1% dan titrasi kembali sampai warna biru hilang. Balanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak
(B-S) x N x 12,69 Bilangan iod = G Keterangan: B = ml Na2S2O3 blanko S = ml Na2S2O3 contoh N = normalitas Na2S2O3 G = berat contoh 12,69 = berat atom iod/10
3. Bilangan Penyabunan (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 2 g contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer
250 ml. Kemudian ditambahkan 25 ml KOH alkohol 0,5 N dengan menggunakan pipet dan beberapa butir batu didih. Erlenmeyer yang berisi larutan dihubungkan dengan pendingin tegak dan dididihkan di atas penangas air atau penangas listrik selama satu jam. Lalu ditambahkan 0,5 – 1 ml fenolftalein ke dalam larutan tersebut dan dititer dengan HCl 0,5 N sampai warna indikator berubah menjadi tidak berwarna. Lakukan juga blanko.
Bilangan penyabunan Keterangan: V0 = volume HCl 0,5 N yang diperlukan pada peniteran blanko (ml) V1 = volume HCl 0,5 N yang diperlukan pada peniteran contoh (ml) M = bobot contoh (g)
4. Metode Analisis Standar Bilangan Asam, FFA, dan Derajat Asam Biodiesel Sebanyak 19 – 21 ± 0,05 g contoh biodiesel ester alkil ditimbang ke dalam
sebuah labu erlenmeyer 250 ml, kemudian 100 ml campuran pelarut yang telah dinetralkan ditambahkan ke dalam labu erlenmeyer tersebut. Dalam keadaan teraduk kuat, larutan isi labu Erlenmeyer dititrasi dengan larutan KOH dalam alkohol sampai kembali berwarna merah jambu dengan intensitas yang sama seperti pada campuran pelarut yang telah dinetralkan di atas. Warna merah jambu ini harus bertahan paling sedikitnya 15 detik. Volume titran yang dibutuhkan dicatat. 56,1 x V x N Bilangan Asam = m M x V x N Kadar FFA = 10 m 100 x V x N Derajat Asam = m
Keterangan : V = volume larutan KOH dalam alkohol yang dibutuhkan pada titrasi (ml) N = normalitas eksak larutan KOH dalam alkohol m = berat contoh biodiesel ester alkil (g)
= 56,1 x T x (V0 – V1)
m =
56,1 x T x (V0 – V1)
Lampiran 2. Diagram alir pengolahan methyl ester sulfonic acid
MESA off grade
Fraksinasi
Metil Ester
ME C16 ME C18:1
Sulfonasi ME C16
Generator SO3
Air Supply MESA
SO3
Oksidasi (420-450oC)
Burning (700oC)
Melting (136oC)
Sulfur Supply
Lampiran 3. Prosedur analisis methyl ester sulfonic acid (MESA)
1. Tegangan Permukaan Metode du Nouy (ASTM D 1331, 2000)
Metode pengujian ini dilakukan untuk menentukan tegangan permukaan larutan surfaktan dengan menggunakan alat Tensiometer du Nouy. Peralatan dan wadah contoh yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu. Wadah yang digunakan biasanya terbuat dari bahan gelas dengan diameter lebih besar dari 6 cm. Wadah gelas dicuci dengan larutan chromicsulfuric acid, kemudian dibilas dengan air destilata. Cincin platinum merupakan bagian dari alat Tensiometer, memiliki diameter 4 atau 6 cm. Sebelum digunakan, cincin dicuci terlebih dahulu dengan pelarut yang sesuai dan dibilas dengan air destilata, lalu dikeringkan. Posisi alat diatur supaya horizontal dengan water pas dan diletakkan pada tempat yang bebas dari gangguan, seperti getaran, angin, sinar matahari dan panas. Larutan contoh dimasukkan ke dalam gelas dan diletakkan diatas dudukan (platform) pada Tensiometer. Suhu cairan sampel diukur dan dicatat. Selanjutnya cincin platinum dicelupkan ke dalam sampel tersebut (lingkaran logam tercelup 3 - 5 mm di bawah permukaan cairan), dengan cara menaikkan dudukan (platform). Skala vernier Te nsiometer di set pada posisi nol dan jarum penunjuk harus berada pada posis berimpit dengan garis pada kaca.
Selanjutnya platform diturunkan perlahan, dan pada saat yang bersamaan skrup kanan diputar sedemikian rupa sehingga jarum penunjuk tetap berimpit dengan garis pada kaca. Proses ini diteruskan sampai film cairan tepat putus. Pada saat cairan putus skala dibaca dan dicatat sebagai nilai tegangan permukaan. Pengukuran dilakukan paling sedikit dua kali. Kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan permukaan dapat dilakukan dengan menambahkan konsentrasi surfaktan sebanyak 10 persen (dalam air). Nilai tegangan permukaan setelah ditambahkan surfaktan diukur kembali. Kemudian dibandingkan nilai tegangan permukaan air sebelum dan sesudah ditambahkan surfaktan. 2. Densitas
Tahap awal pengukuran densitas minyak ditentukan bobot air terlebih dahulu. Piknometer bersih dan kering ditimbang di dalam neraca analitik dan dicatat bobot piknometer kosong. Kemudian piknometer diisikan dengan air destilasi yang telah didihkan dan dinginkan pada suhu 20oC selama 10 menit dan simpan piknometer dalam water bath bersuhu konstan 25 - 27 oC selama 30 menit. Kemudian piknometer diangkat, dikeringkan, dan ditimbang. Dicatat bobot piknometer berisi air. Dalam tahap kedua tentukan bobot contoh. Contoh yang telah disaring didinginkan sampai suhu 20oC selama 10 menit, lalu dimasukkan ke dalam piknometer hingga meluap dan pastikan tidak terbentuk gelembung udara. Kemudian dikeringkan bagian luar piknometer dan kemudian ditempatkan piknometer dalam water bath bersuhu konstan 25oC selama 30 menit. Setelah itu piknometer diangkat, dikeringkan, dan ditimbang. Dicatat bobot piknometer yang berisi contoh minyak. Kemudian dihitung densitas dari contoh surfaktan.
Perhitungan Densitas:
(berat pignometer dan contoh) – (berat pignometer kosong)
Densitas = (berat pignometer dan air) – (berta pignometer kosong
3. Viskositas Pengukuran viskositas atau kekentalan sampel dilakukan dengan pengisian
sampel ke dalam gelas piala 250 ml. Penentuan nilai viskositas menggunakan viskometer Brookfield dengan spindel nomor 1 pada putaran 50 rpm jika menggunakan Model RV atau 30 rpm jika menggunakan Model LV viskometer.
Steker dipastikan telah dipasang pada power supply. Tombol hitam pada viskometer digunakan sebagai pengontrol on (ke kanan) untuk menyalakan, off untuk mematikan (ke kiri), atau pause (tengah). Viskometer LV dapat diset untuk 4 macam spindel dengan kaki penahan yang lebih sempit; viskometer RV diset untuk 7 macam spindel dengan wadah dengan kaki penahan yang lebih lebar; HA dan HB viskometer diset untuk 7 macam spindel tanpa kaki. Kecepatan (dalam rpm) diatur dengan tombol di bagian atas viskometer pada kecepatan yang diinginkan.
Viskometer yang digunakan adalah viskometer LV dengan kecepatan 30 rpm Jarum merah untuk membaca skala dipastikan di titik nol. Gunakan tuas di belakang viskometer untuk mengatur kemiringan sehingga jarum merah berhimpit pada titik nol. Spindel dipasang sesuai kekentalan sampel. Makin kental sampel, makin kecil nomor spindel yang digunakan. Sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml. Kaki penahan diturunkan tetapi tidak sampai menyentuh dasar gelas piala. Tombol kontrol ditekan on. Saat piringan skala berputar, skala yang ditunjuk jarum merah dibaca pada putaran pertama.
Lampiran 4. Prosedur analisis produk heavy duty cleaner 1. Stabilitas Emulsi (Acton dan Saffle, 1970)
Sejumlah bahan emulsi yang sudah ditimbang seberat 5 g dimasukkan ke dalam wadah alumunium. Wadah dan bahan tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 45oC selama satu jam, kemudian bersuhu 0 oC selama satu jam. Selanjutnya dipanaskan kembali dalam oven dengan suhu 45oC dan biarkan sampai beratnya konstan. Rumus untuk menghitung stabilitas emulsi adalah sebagai berikut:
Berat fase yang tersisa
SE (%) = x 100% Berat total emulsi
2. Daya Pembusaan dan Stabilitas Busa (Malayasian Palm Oil Board, 2001) Larutan sampel 0,1% sebanyak 200 ml diblender pada kecepatan level satu
selama tiga detik, kemudian dimasikkan kedalam gelas ukur 500 ml. Volume busa dicatatsetelah didiamkan 0,5 menit dan 5,5 menit. Nilai daya pembusaan adalah volume busa setelah pendiaman selama 0,5 menit. Stabilitas busa adalah perbandingan volume busa ketika 5,5 menit terhadap volume busa 0,5 menit.
3. Daya Pencucian Bahan Pengotor pada Pipa (Lynn, 2005, modifikasi)
Sampel heavy duty cleaner sebanyak 1% dilarutkan di dalam air dan digunakan sebagai larutan pencuci. Pipa bersih ditimbang dan dihitung sebagai M1. Pipa direndam ke dalam pengotor selama 30 menit dan ditimbang sebagai M2. Pipa kotor direndam dalam larutan pencuci selama 30 menit dan cuci, ditimbang sebagai M3.
M3 – M1
Daya deterjensi = x 100 M1 – M2
Lampiran 5. Proses fraksinasi metil ester olein
Rangkaian fractional distillation system
Metil ester dominan C16 hasil fraksinasi
Lampiran 6. Proses produksi methyl ester sulfonic acid (MESA)
Proses sulfonasi menggunakan Single Tube Falling Film Reactor (STFR)
MESA hasil sulfonasi metil ester olein
Lampiran 7. Proses pembuatan heavy duty cleaner
Pemanasan MESA (60 – 80oC) sebelum ditambahkan NaOH
Heavy duty cleaner dan produk komersial sebagai pembanding
Lampiran 8. Data hasil penelitian dan hasil analisis ragam terhadap stabilitas emulsi heavy duty cleaner
A. Data hasil uji stabilitas emulsi heavy duty cleaner
Konsentrasi
NaOH
Jenis MESA
MESA 1 MESA 2 MESA 3 MESA 4
35% 97,90 96,74 99,01 98,11
40% 97,15 97,98 99,29 98,43
45% 99,09 98,52 97,50 99,18
50% 98,75 99,20 98,99 99,49
B. Tabel anova
Source of Variation SS df MS F F crit
Sample 6,125105 3 2,041702 1,762285 3,238872
Columns 2,823588 3 0,941196 0,812389 3,238872
Interaction 11,33823 9 1,259803 1,087393 2,537667
Within 18,53686 16 1,158554
Total 38,82378 31 Keterangan: F hitung < F tabel, tidak berbeda nyata pada α = 0,05
Lampiran 9. Analisis daya pembusaan dan stabilitas busa pada heavy duty cleaner
Larutan heavy duty cleaner 1%
Pengukuran daya pembusaan dan stabilitas busa
Lampiran 10. Data hasil penelitian, hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap daya pembusaan heavy duty cleaner
A. Data hasil uji daya pembusaan heavy duty cleaner
Konsentrasi
NaOH
Jenis MESA
MESA 1 MESA 2 MESA 3 MESA 4
35% 45,00 9,00 11,50 9,00
40% 52,50 11,00 12,00 10,50
45% 55,00 12,00 14,00 17,50
50% 40,00 17,50 40,00 11,00
B. Tabel anova
Source of Variation SS df MS F F crit
Sample 235,8438 3 78,61458 0,723829 3,238872
Columns 8129,281 3 2709,76 24,9496 3,238872
Interaction 196,8438 9 21,87153 0,201378 2,537667
Within 1737,75 16 108,6094
Total 10299,72 31
Keterangan: F hitung < F tabel, tidak berbeda nyata pada α = 0,05 F hitung > F tabel, berbeda nyata pada α = 0,05
C. Uji lanjut Duncan
Duncan Grouping Mean MESA
A 48,438 1
B 12,188 4
B 11,875 3
B 10,875 2
Lampiran 11. Data hasil penelitian, hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas busa heavy duty cleaner A. Data hasil uji stabilitas busa heavy duty cleaner
Konsentrasi
NaOH
Jenis MESA
MESA 1 MESA 2 MESA 3 MESA 4
35% 48,21 16,11 17,42 13,75
40% 43,75 13,33 15,56 11,82
45% 46,19 12,50 13,85 9,46
50% 61,90 9,09 10,10 8,85
B. Tabel anova
Source of Variation SS df MS F F crit
Sample 235,8438 3 78,61458 0,723829 3,238872
Columns 8129,281 3 2709,76 24,9496 3,238872
Interaction 196,8438 9 21,87153 0,201378 2,537667
Within 1737,75 16 108,6094
Total 10299,72 31
Keterangan: F hitung < F tabel, tidak berbeda nyata pada α = 0,05 F hitung > F tabel, berbeda nyata pada α = 0,05
C. Uji lanjut Duncan
Duncan Grouping Mean MESA
A 50,014 1
B 14,213 3
B 14,226 2
B 10,658 4
Lampiran 12. Analisis daya cuci pada heavy duty cleaner
Perendaman pipa dalam pengotor (oli bekas)
Perendaman pipa yang sudah direndam pengotor dalam larutan pencuci (heavy duty cleaner)
Lampiran 13. Data hasil penelitian, hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap daya cuci heavy duty cleaner
A. Data hasil uji daya cuci heavy duty cleaner Konsentrasi
NaOH
Jenis MESA
MESA 1 MESA 2 MESA 3 MESA 4
35% 86,11 92,89 88,73 91,31
40% 80,12 91,48 91,56 93,65
45% 82,45 91,05 90,71 92,74
50% 81,42 89,45 92,40 94,73
B. Tabel anova
Source of Variation SS df MS F F crit
Sample 2,354742 3 0,784914 0,187227 3,238872
Columns 49,89727 3 16,63242 3,967364 3,238872
Interaction 45,42599 9 5,047333 1,20395 2,537667
Within 67,07697 16 4,192311
Total 164,755 31
Keterangan: F hitung < F tabel, tidak berbeda nyata pada α = 0,05 F hitung > F tabel, berbeda nyata pada α = 0,05
D. Uji lanjut Duncan
Duncan Grouping Mean MESA
A 93,110 4
A 91,217 2
A 90.850 3
B 82,524 1
Lampiran 14. Spesifikasi mesin dan peralatan pada produksi heavy duty cleaner No Nama Mesin dan
Peralatan Jumlah Mesin
Spesifikasi Fungsi
1 Tangki penyimpanan bahan baku
1 Kapasitas 166,244 m3 Tempat penyimpanan bahan baku metil ester
2 Tangki penyimpanan HDC
2 Kapasitas 331,172 m3 b ahan stainless steel
Tempat penyimpanan produk HDC
3 Tangki masukan metil ester
2 Kapasitas 0,754m3 bahan stainless steel, dilengkapi dengan flow meter, pressure gauge, dan termometer
Tempat penampungan sementara dari tangki penyimpanan metil ester sebelum dialirkan menuju reaktor
4 Fractional distillation system
1 Alat ini dilengkapi dengan boiling vesel, coloumn, condensor, pompa dan tangki air
Tempat proses fraksinasi metil ester olein
5 Single Tube Falling Film Reactor (STFR)
1 Reaktor dilengkapi dengan pressure gauge, termometer dan SO3 flow meter
Tempat reaksi sulfonasi antara metil ester dengan gas SO3
6 Tangki pematangan 2 Kapasitas 1,178 m3, bahan stainless steel, dilengkapi pengaduk, pressure gauge,dan termometer
Tempat menyempurnakan reaksi dengan cara pengadukan
7 Tangki formulasi 2 Kapasitas 1,178 m3, bahan stainless steel, dilengkapi pengaduk, pressure gauge, temometer, dan pompa NaOH otomatis
Tempat reaksi formulasi
8 Srubber 1 Kapasitas 1,178 m3, dilengkapi pH meter
Tempat penanganan limbah oleum dan sisa-sisa gas
9 Quencher 1 Kapasitas 0,032 m3 Tempat pengenceran gas SO3 dengan udara kering
10 Cyclone 1 Kapasitas 0,032 m3 Tempat mengalirkan sisa-sisa gas sebelum dialirkan menuju scrubber
11 Oil & gas separator 1 Kapasitas 0,130 m3 Tempat pemisahan asam metil ester ulfonat dengan gas SO3
12 Tangki penyimpanan NaOH
1 Kapasitas 6,706 m3 Tempat penyimpanan NaOH
Lampiran 15. Penyusutan dan nilai sisa (dalam ribuan rupiah)
Komponen Nilai (Rp) Nilai sisa (Rp) Penyusutan (Rp)
Mesin dan Peralatan Tangki penyimpanan bahan baku 232.100 23.210 20.889 Tangki penyimpanan HDC 835.000 83.500 75.150 Tangki fraksinasi 295.200 29.520 26.568 Tangki masukan metil ester 261.400 26.140 23.526 Multitube falling film reactor 295.200 29.520 26.568 Tangki pematangan 151.800 15.180 13.662 Tangki netralisasi 224.400 22.440 20.196 Scrubber 223.700 22.370 20.133 Quencher 3.200 320 288 Oil & Gas Separator 6.500 650 585 Cyclone 3.100 310 279 Tangki penyimpanan NaOH 34.800 3.480 3.132 subtotal 2.566.400 256.640 230.976
Pemipaan 1.745.152 174.515 157.064 subtotal 1.745.152 174.515 157.064
Instalasi listrik 282.304 28.230 25.407 subtotal 282.304 28.230 25.407
Bangunan Proses produksi 30.000 15.000 750 Laboratorium 40.000 20.000 1.000 Kontrol proses 15.000 7.500 375 Kantor 127.000 63.500 3.175 Pengolahan limbah 5.000 2.500 125 Penyimpanan bahan baku 54.000 27.000 1.350 Penyimpanan produk 96.000 48.000 2.400 Bengkel 30.000 15.00 0 750 Jalan dan parkir 200.000 100.000 5.000 subtotal 597.000 298.500 14.925
Lampiran 15. Penyusutan dan nilai sisa (dalam ribuan rupiah) ...lanjutan
Komponen Nilai (Rp) Nilai sisa (Rp) Penyusutan (Rp)
Perlengkapan Perlengkapan kantor Meja kursi pimpinan 3.000 300 270 Meja kursi manajer 7.500 750 675 Meja kursi superviser 6.000 600 540 Meja kursi tenaga pembantu 7.500 750 675 Meja kusi ruang meeting 3.500 350 315 Meja kursi tamu 3.300 330 297 File cabinet 9.600 960 864 Komputer 40.000 4.000 3.600 Printer 8.000 800 720 Telepon 1.000 100 90 Faksimili 1.500 150 135 AC 6.000 600 540 Perlengkapan laboratorium 30.000 3.000 2.700 Perlengkapan pemeliharaan 5.000 500 450 Perlengkapan keamanan/APD 2.000 200 180 Perlengkapan kebersihan 500 50 45 subtotal 134.400 13.440 12.096
Kendaraan 1.050.000 105.000 94.500 subtotal penyusutan kendaraan 1.050.000 105.000 94.500
Total 6.375.256 876.326 534.968
Lampiran 16. Rincian biaya operasional (dalam ribuan rupiah)
Komponen Tahun 1 2 3 4 5
Kapasitas 90% 90% 100% 100% 100% Biaya variabel Bahan baku 148.890.150 148.890.150 165.433.500 165.433.500 165.433.500 Bahan penolong 9.493.251 9.493.251 10.548.057 10.548.057 10.548.057 Utilitas produksi 15.740.609 15.740.609 17.489.565 17.489.565 17.489.565 Tenaga kerja langsung 747.000 747.000 830.000 830.000 830.000 Subtotal 174.871.010 174.871.010 194.301.122 194.301.122 194.301.122 Biaya tetap Tenaga kerja tidak langsung 2.025.200 2.025.200 2.025.200 2.025.200 2.025.200 Kebutuhan administrasi kantor 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 Utilitas kantor 54.073 54.073 54.073 54.073 54.073 Laboratorium 49.800 49.800 49.800 49.800 49.800 Pemeliharaan 637.296 637.296 637.296 637.296 637.296 Asuransi 42.134 42.134 42.134 42.134 42.134 Pajak 7.082 7.082 7.082 7.082 7.082 Distribusi dan Pemasaran 3.627.702 3.627.702 3.627.702 3.627.702 3.627.702 Depresiasi 534.968 534.968 534.968 534.968 534.968 Bunga investasi tetap 1.513.398 1.210.718 908.039 605.359 302.680 Bunga modal kerja 1.589.898 794.949 - - - subtotal 10.141.780 9.044.151 7.946.522 7.643.843 7.341.163 Total 185.012.790 183.915.161 202.247.645 201.944.965 201.642.285
95
Lampiran 16. Rincian biaya operasional (dalam ribuan rupiah) ...lanjutan
Komponen Tahun 6 7 8 9 10
Kapasitas 100% 100% 100% 100% 100% Biaya variabel Bahan baku 165.433.500 165.433.500 165.433.500 165.433.500 165.433.500 Bahan penolong 10.548.057 10.548.057 10.548.057 10.548.057 10.548.057 Utilitas produksi 17.489.565 17.489.565 17.489.565 17.489.565 17.489.565 Tenaga kerja langsung 830.000 830.000 830.000 830.000 830.000 Subtotal 194.301.122 194.301.122 194.301.122 194.301.122 194.301.122 Biaya tetap Tenaga kerja tidak langsung 2.025.200 2.025.200 2.025.200 2.025.200 2.025.200 Kebutuhan administrasi kantor 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 Utilitas kantor 54.073 54.073 54.073 54.073 54.073 Laboratorium 49.800 49.800 49.800 49.800 49.800 Pemeliharaan 637.296 637.296 637.296 637.296 637.296 Asuransi 42.134 42.134 42.134 42.134 42.134 Pajak 7.082 7.082 7.082 7.082 7.082 Distribusi dan Pemasaran 3.627.702 3.627.702 3.627.702 3.627.702 3.627.702 Depresiasi 534.968 534.968 534.968 534.968 534.968 Bunga investasi tetap - - - - - Bunga modal kerja subtotal 7.038.484 7.038.484 7.038.484 7.038.484 7.038.484 Total 201.339.606 201.339.606 201.339.606 201.339.606 201.339.606
96
Lampiran 17. Neraca masa industri heavy duty cleaner
Fraksinasi
Metil ester olein 36.763 kg
Sisa Fraksinasi 22.058 kg
Gas dari Pabrik 33.399 kg
Pengenceran
Udara kering 8,874 kg
Oleum 423 kg
Gas SO3 7%
Sulfonasi
MESA
Sisa gas 36.763 kg
Pematangan Sisa gas 396 kg
NaOH 600 kg Formulasi
HDC 600 kg
ME olein dominan C16 14.705 kg
41.854
41.854
19.796
19.796
19.400
Lampiran 18. Rincian modal kerja (dalam ribuan rupiah)
No Komponen Hari 1 2 3 4 5 1 Account Receivable 45 produk 24.637.500 24.637.500 27.375.000 27.375.000 27.375.000 2 Inventory 15 produk 12.318.750 12.318.750 13.687.500 13.687.500 13.687.500 3 Account Payable 45 bahan baku (18.611.269) (18.611.269) (20.679.188) (20.679.188) (20.679.188) Total 18.344.981 18.344.981 20.383.313 20.383.313 20.383.313
No Komponen Hari 6 7 8 9 10 1 Account Receivable 45 produk 27.375.000 27.375.000 27.375.000 27.375.000 27.375.000 2 Inventory 15 produk 13.687.500 13.687.500 13.687.500 13.687.500 13.687.500 3 Account Payable 45 bahan baku (20.679.188) (20.679.188) (20.679.188) (20.679.188) (20.679.188) Total 20.383.313 20.383.313 20.383.313 20.383.313 20.383.313
98
Lampiran 19. Proyeksi arus kas (dalam ribuan rupiah)
Komponen Tahun 0 1 2 3 4 5
Penerimaan bersih Laba bersih - 9.065.408 9.888.629 12.564.267 13.018.276 13.245.286 Depresiasi - 534.968 534.968 534.968 534.968 534.968 Nilai sisa - - - - - - subtotal - 9.600.376 10.423.597 13.099.235 13.326.244 13.553.254
Pengeluaran bersih Investasi + bunga sebelum pembangunan 18.674.939 - - - - -
Modal Kerja - 20.383.313 - - - - Angsuran modal investasi tetap - 2.522.329 2.522.329 2.522.329 2.522.329 2.522.329 Angsuran modal kerja - 6.624.577 6.624.577 - - - Subtotal 18.674.939 29.530.218 9.146.906 2.522.329 2.522.329 2.522.329
Arus kas bersih (18.674.939) (19.929.834) 1.276.691 10.576.905 10.803.915 11.030.925 DF 1 0,91 0,83 0,75 0,68 0,62 Present value (18.674.939) (18.118.039) 1.055.117 7.946.585 7.379.219 6.849.336 Present value kumulatif (18.674.939) (36.792.978) (35.737.861) (27.791.276) (20.412.056) (13.562.720)
99
Lampiran 19. Proyeksi arus kas (dalam ribuan rupiah ...lanjutan Komponen Tahun 6 7 8 9 10 Penerimaan bersih Laba bersih 13.245.296 13.245.296 13.245.296 13.245.296 13.245.296 Depresiasi 534.968 534.968 534.968 534.968 534.968 Nilai sisa - - - - 876.326 subtotal 13.780.264 13.780.264 13.780.264 13.780.264 14.656.589 Pengeluaran bersih Investasi + bunga sebelum pembangunan - - - - -
Modal Kerja - - - - - Angsuran modal investasi tetap - - - - - Angsuran modal kerja - - - - - Subtotal - - - - - Arus kas bersih 13.780.264 13.780.264 13.780.264 13.780.264 14.656.589 DF 0,56 0,51 0,47 0,42 0,39 Present value 7.778.600 7.171.454 6.428.595 5.844.177 5.650.750 Present value kumulatif (5.784.121) 1.287.334 7.715.928 13.560.105 19.210.855
100